ANALISIS AKSES DAN KONSUMSI PANGAN PADA KELUARGA PENERIMA DAN BUKAN PENERIMA PROGRAM DESA MANDIRI PANGAN DI DESA CIPARIGI DAN DESA SUKADANA KABUPATEN CIAMIS
FRIDA AGUSTIANI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ABSTRACT FRIDA AGUSTIANI. The Analysis of Accesss and Food Consumption from The Participant and Non Participant Household of Desa Mandiri Pangan in Ciparigi and Sukadana Village Ciamis Regency. Under Direction of YAYUK FARIDA BALIWATI. The main purpose of this research was to analyze access and food consumption from the participant and non participant householdof desa mandiri pangan in Ciparigi and Sukadana village, Ciamis regency. This research were also particularlytry toIdentify and analyze:1) The characteristics of participant and non participanthousehold of Desa Mandiri Pangan, 2) Food access (social and economic) component ofthe participant and non participant householdof Desa Mandiri Pangan,3)Food consumption from the participant and non participant householdof Desa Mandiri Pangan, and 4) Correlation between food access and food consumption from the participant and non participant householdof Desa Mandiri Pangan. This research was conductedusing the cross sectional design. Total sample sizeof 84 household, consisted 42 households of Desa Mandiri Pangan participant and 42 households of non participant. The results show that household participant have higher access and food consumption (energy and protein consumption level) than non participant household. Independent test shows a significant difference (p<0,05)of food access between participant and non participant household. The test show no difference between food consumption (energy and protein level) of participant and non participant household (p>0,05). Pearson correlation test for the total sample results show that there was no correlation (p>0,05) between food accesswith consumption level (energy and protein).Meanwhile,income with total expenditure approach (p<0,05) and food expenditure (p<0,01)have positive correlation with consumption level (energy and protein). Pearson correlation test for the participant household results show that food access has no correlation (p>0,05) with consumption level (energy and protein).Meanwhile,income with expenditure approach and food expenditure have positive correlation (p<0,05) with energy consumption level. Pearson correlation test for non participant household results show that food access has no correlation (p>0,05) with consumption level (energy and protein). Family member has negative correlation (p<0,05) with energy consumption level, while food expenditure approach has positive correlation (p<0,01) with consumption level (energy and protein).
Key words: food access, food consumption, the participant and non participant household
RINGKASAN FRIDA AGUSTIANI. Analisis Akses dan Konsumsi Pangan pada Keluarga Penerima dan Bukan Penerima Program Desa Mandiri Pangan di Desa Ciparigi dan Desa Sukadana Kabupaten Ciamis. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI. Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui akses dan konsumsi pangan pada keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Adapun tujuan khususnya adalah: 1) Mengetahui karakteristik keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan, 2)Menganalisis akses pangan secara sosial dan ekonomipada keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan, 3) Menganalisis konsumsi pangan pada keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan, 4)Menganalisis hubungan akses pangan dengankonsumsi pangan padakeluarga penerima dan bukan penerima program. Penelitian ini merupakan jenis penelitian evaluasi dengan studi cross sectional.Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara purposive yakni Desa Ciparigi dan Desa Sukadana. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan Desember 2011.Populasi merupakan keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Teknik pengambilan contoh dipilih secara purposive.Contoh keluarga penerima program desa mandiri pangan merupakan keluarga yang menerima program desa mandiri pangan minimal empat tahun. Contoh keluarga bukan penerima program desa mandiri pangan adalah keluarga yang tinggal di suatu daerah yang memiliki karakteristik tempat tinggal yang hampir sama dengan keluarga penerimaserta memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi contoh keluarga pada kelompok bukan penerima adalah: 1) Keluarga dengan status perkawinan menikah, 2) Pendidikan ayah setingkat SD, 3) Status kepemilikan rumah adalah miliki sendiri, 4) Dinding terluas terbuat dari bambu, 5) Lantai terluas terbuat dari bambu/kayu, 6) Penerangan rumah memakai listrik PLN, 7) Sumur sebagai sumber air minum, dan 8) Keluarga tergolong miskin berdasarkan data kemiskinan. Jumlah contoh pada kelompok penerima dan bukan penerima program ditentukan dengan menggunakan rumus Solvin (1960) dan dihasilkan masing-masing 42 keluarga pada kelompok penerima dan kelompok bukan penerima, sehingga total 84 keluarga. Jenis data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan (usia ayah dan Ibu, serta pekerjaan ayah), akses pangan secara sosialyang diukur melalui jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, pengetahuan gizi ibu, akses pangan secara ekonomi yang diukur melalui pengeluaran total dan pengeluaran pangan per kapita per bulan, serta konsumsipangan keluarga berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein. Pengolahan data yang dilakukan diolah dengan menggunakan bantuan softwareMicrosoft Excel dan Statistical Program for Social Science (SPSS) 16.0 for Windows. Analisis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif, uji independent t-test, dan uji korelasi pearson. Berdasarkan usia ayah dan ibu serta pekerjaan ayah, dapat diketahui bahwa pada kelompok penerima maupun kelompok bukan penerima, sebagian besar ibu tergolong usia dewasa sedang (30-49 th). Usia ayah pada kelompok penerima (42,9%) tergolong dewasa sedang, sedangkan pada kelompok bukan penerima (42,9%) tergolong dewasa lanjut. Adapun rata-rata usia ayah (57,4±11,5) tahun dan ibu (49,1±11,2) tahun pada kelompok bukan penerima programlebih tua dibandingkan dengan rata-rata usia ayah (50,4±10,9) tahun dan
iv
ibu(43,5±10,1) tahun pada kelompok penerima. Sebagian besar pekerjaan ayah pada kelompok penerima adalah petani (38,1%), berbeda dengan kelompok bukan penerima program yang bekerja sebagai buruh tani (42,9%). Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara usia ayah dan ibu pada kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Keluarga pada kelompok penerima (95,2%) dan bukan penerima (92,9%) memiliki akses pangan komponen jumlah anggota keluarga yang tergolong tinggi. Sebagian besar akses pangan komponen pendidikan ayah dan ibu serta pengetahuan gizi ibu, pada kelompok penerima (83,3%;95,2%;50,0%) dan bukan penerima (90,5%;100,0%;54,8%) tergolong sedang.Pengeluaran total dan pengeluaran pangan per kapita per bulan sebagai komponen akses pangan pada kelompok penerima (78,6%;71,4%) dan bukan penerima (45,2%;45,2%) tergolong tinggi. Adapun rata-rata pengeluaran total dan pangan per kapita per bulan berturut-turut 377958,3±170417,0 dan 179712±70389,6 rupiah pada kelompok penerima, serta 239960,9±111110,2 dan 138485,5±66880,2 rupiah pada kelompok bukan penerima program. Adapun rata-rata akses pangan komponen jumlah anggota keluarga pada kelompok bukan penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok penerima, berbeda halnya dengan akses pangan komponen pendidikan ayah dan ibu, pengetahuan gizi ibu, pengeluaran total dan pengeluaran pangan per kapita per bulan pada kelompok penerima yang lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima program.Akses pangan pada kelompok penerimasecara keseluruhan (47,6%) tergolong lebih tinggi, sedangkan akses pangan pada kelompok bukan penerima tergolong sedang (59,5%). Hasil uji beda independent t-test menujukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara pengeluaran total dan pengeluaran pangan per kapita per bulan serta akses pangan pada kelompok penerima dan bukan penerima program. Adapun konsumsi pangan pada kelompok penerima (31,0%) maupun bukan penerima (42,9%) sebagian besar tergolong defisit berat, adapun rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein pada kelompok penerima (82,8%;93,9%) lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima program (82,6%;85,5%) jenis pangan yang lebih banyak dikonsumsi adalah nasi sebagai sumber energi dan ikan sebagai sumber protein hewani. Hasil uji beda independent t-test menujukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara tingkat konsumsi energi dan protein pada kelompok penerima dan bukan penerima program. Hasil uji korelasipearson pada keseluruhan contoh menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara akses pangan komponen pengeluaran total (p<0,05) dan pengeluaran pangan (p<0,01) per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi energi dan protein. Hasil uji korelasipearson pada kelompok penerima menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) antara akses pangan komponen pengeluaran total dan pengeluaran pangan dengan tingkat konsumsi energi. Hasil uji korelasipearson pada kelompok bukan penerima program menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan (p<0,05) antara jumlah anggota keluarga dengan tingkat konsumsi energi, dan terdapat pula hubungan yang signifikan (p<0,01) antara pengeluaran pangan per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi energi dan protein. Hasil uji korelasipearson pada kelompok penerima, bukan penerima, dan keseluruhan kelompok menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi dan protein.
ANALISIS AKSES DAN KONSUMSI PANGAN PADA KELUARGA PENERIMA DAN BUKAN PENERIMA PROGRAM DESA MANDIRI PANGAN DI DESA CIPARIGI DAN DESA SUKADANA KABUPATEN CIAMIS
FRIDA AGUSTIANI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Mayarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Analisis Akses dan Konsumsi Pangan pada Keluarga Penerima dan Bukan Penerima Program Desa Mandiri Pangan di Desa Ciparigi dan Desa Sukadana Kabupaten Ciamis Nama : Frida Agustiani NIM : I14070025
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Yayuk F Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Disetujui:
PRAKATA Bismillahirahmanirrohim Alhamdulillah wa syukurillah segala puji hanya untuk Alloh SWT yang telah memudahkan segala urusan hamba-Nya ini sehingga skripsi yang berjudul “Analisis Akses dan Konsumsi Pangan pada Keluarga Penerima dan Bukan Penerima Program Desa Mandiri Pangan di Desa Ciparigi dan Desa Sukadana Kabupaten Ciamis” dapat diselesaikan dengan lancar. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari berbagai dukungan banyak pihak, sehingga penulis merasa berkeinginan untuk dapat mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada: 1.
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing yang telah begitu bersabar atas berbagai kekurangan penulis, begitupun halnya dengan waktu, dan fikiran yang telah banyak diluangkan serta bebagai arahan, saran, serta motivasi untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Drajat Martianto, MS selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi yang telah memberikan berbagai saran dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
3.
Bapak, Mamah, Kakak-kakak tercinta Teh Elis, A Toto, A Heri, Teh Ine, A Sandri, serta keponakan-keponakan tersayang aang, de iya, neng zia. azi, dan iza yang selalu ada memberikan kasih sayang untuk penulis dengan berbagai dukungan moril, materi, tenaga, fikiran, semangat, dan doa yang tidak henti-hentinya untuk penulis selama ini.
4.
Kandaku Viester Dolles yang telah begitu banyak memberikan kepercayaan, waktu, tenaga, moril, keceriaan, motivasi selama ini kepada penulis dalam menyelesaikan segala sesuatunya sehingga skripsi ini dapat selesai.
5.
Bapa dan Mamah Erin, yang telah memberikan tempat, waktu, dan kenyamanan tempat tinggal selama penulis melakukan penelitian, Pa Erwin, Pa Iing, Pa Kuswana, Pa Sutiswan, Teh Herher yang telah mendampingi dan memberikan bantuan dalam memperoleh data dari responden setempat.
6.
Aparat pemerintahaan setempat yakni Badan Ketahanan Pangan Ciamis, Kecamatan Desa Sukadana, Desa Ciparigi, Desa Sukadana yang telah berkenan bekerjasama serta memberikan kesediaan waktu dan berbagai keperluan data untuk kelengkapan skripsi ini.
7.
Seluruh responden penelitian yang telah berkenan memberikan waktu untuk diwawancara oleh penulis dalam memperoleh data.
viii
8.
Sahabat-sahabatku tercinta Ima Karimah, S.Gz, Resta Tatiyana, S.Gz, Erin Roslina, Eka Praditya Juniar, Nadia Svenskarin N, S.Gz, Sumi Arofi,S.Gz, teman seperjuanganku dari SMA Resi Nurlinda, dan Puti Fitria, S.Hut, The Ceriwiser Risma Junita, S.Kpm, Ida Parida, teman-teman omda ciamis Nenden M, S.Hut, Lia H, S. Hut, dan Meli MU, S.Hut, teman bimbingan seperjuangan Hadi Guna, Ayuningtyas NH, Nesyi Febi, Yudistira, yang selalu memberikan waktu, keceriaan, kebersamaan selama ini kepada penulis.
9.
Mba Dewi Ratih, S.Gz, Mba Suci, S.Gz, Mba Siska, S.Gz yang selalu memberikan saran dan dukungannya selama ini kepada penulis.
10. Keluarga besar Gizi Masyarakat angkatan 44 untuk setiap kenangan yang berharga. 11. Seluruh pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga Alloh SWT membalas kebaikan hati dengan berbagai kemuliaan bagi seluruh pihak yang selama ini telah membantu, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan masyarakat, aamiin.
Bogor, Januari 2012
Frida Agustiani
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara, puteri pasangan Bapak Eman Setiaman dan Ibu Atikah. Penulis dilahirkan di Kota Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 04 Agustus 1989. Pendidikan awal penulis adalah taman kanak-kanak Ade Irma dan Kania pada tahun 1994, kemudian penulis melanjutkan sekolah ke sekolah dasar yang ditempuh pada tahun 19942001 di SDN II Sukajadi, Ciamis. Jenjang pendidikan sekolah menengah penulis ditempuh pada tahun 2001-2004 di SMPN 5 Ciamis dan pada tahun 2004-2007 penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Ciamis. Tahun 2007, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama
menjadi
mahasiswa
penulis
aktif
mengikuti
kegiatan
kemahasiswaan seperti kegiatan Ikatan Muslim TPB 2007-2008 sebagai bendahara umum, komunitas divisi olahraga dan seni HIMAGIZI periode 20082009 serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan himpunan mahasiswa tersebut. Tahun 2009-2010 penulis aktif sebagai bendahara divisi PSDM HIMAGIZI. Tahun 2010, penulis aktif sebagai peserta Go Field LPPM IPB di Bantarjati, Bogor, serta berperan aktif sebagai pendamping Pos Pemberdayaan Keluarga LPPM IPB di Desa Surade, Sukabumi, Jawa Barat.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ......................................................................................................... x DAFTAR TABEL ................................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................xvi PENDAHULUAN.................................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................................. 2 Tujuan Umum ............................................................................................... 2 Tujuan Khusus.............................................................................................. 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4 Program Desa Mandiri Pangan ........................................................................ 4 Konsep Livelihood ........................................................................................ 4 Tahapan Kemandirian Pangan ..................................................................... 6 Metode Evaluasi Program............................................................................. 7 Akses Pangan .................................................................................................. 8 Jumlah Anggota Keluarga........................................................................... 13 Pendidikan Ayah dan Ibu ............................................................................ 14 Pengetahuan Gizi Ibu ................................................................................. 14 Pengeluaran Keluarga ................................................................................ 15 Pengeluaran Pangan .................................................................................. 16 Konsumsi Pangan .......................................................................................... 16 Metode Recall ............................................................................................. 17 Tingkat Konsumsi Energi dan Protein ......................................................... 17 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 18 METODE ........................................................................................................... 20 Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian .......................................................... 20 Teknik Penarikan Contoh ............................................................................... 20 Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan Data ................................................ 21 Pengolahan dan Analisis Data ....................................................................... 22 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 30 Keadaan Umum Wilayah ................................................................................ 30 Desa Ciparigi .............................................................................................. 30 Desa Sukadana .......................................................................................... 30
xi
Karakteristik Penduduk Desa Ciparigi dan Sukadana..................................... 30 Pendidikan .................................................................................................. 30 Pekerjaan ................................................................................................... 31 Karakteristik Keluarga Contoh ........................................................................ 32 Usia Ayah dan Ibu ...................................................................................... 32 Pekerjaan Ayah .......................................................................................... 34 Akses Pangan ................................................................................................ 36 Jumlah Anggota Keluarga........................................................................... 37 Pendidikan Ayah dan Ibu ............................................................................ 39 Pengetahuan Gizi Ibu ................................................................................. 42 Pengeluaran Total Per Kapita Per Bulan .................................................... 44 Pengeluaran Pangan Per Kapita Per Bulan ................................................ 51 Keseluruhan Akses Pangan........................................................................ 53 Konsumsi Pangan .......................................................................................... 54 Hubungan Akses Pangan dengan Konsumsi Pangan .................................... 60 Hubungan Akses Pangan Komponen Jumlah Anggota Keluarga dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein ......................................................... 60 Hubungan Akses Pangan Komponen Pendidikan Ayah dan Ibu dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein ......................................................... 63 Hubungan Akses Pangan Komponen Pengetahuan Gizi Ibu dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein ......................................................... 70 Hubungan Akses Pangan Komponen Pengeluaran Total Per Kapita Per Bulan dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein .................................. 75 Hubungan Akses Pangan Komponen Pengeluaran Pangan Per Kapita Per Bulan dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein ............................ 79 Hubungan Akses Pangan dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein ... 84 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 89 Kesimpulan .................................................................................................... 89 Saran ............................................................................................................. 89 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 91 LAMPIRAN ........................................................................................................ 94
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jenis dan cara pengumpulan data .................................................................. 22 2 Pengkategorian variabel penelitian ................................................................. 23 3 Sebaran contoh berdasarkan usia ayah .......................................................... 33 4 Sebaran contoh berdasarkan usia ibu............................................................. 33 5 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah ................................................. 35 6 Sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga .................................. 37 7 Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen jumlah anggota keluarga ........................................................................................................ 38 8 Sebaran contoh berdasarkan pendididkan ayah ............................................. 39 9 Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pendidikan ayah ....... 40 10 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ibu ................................................ 41 11 Sebaran contoh berdasarkan akses pangan pendidikan ibu ......................... 42 12 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi ibu ...................................... 42 13 Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu ................................................................................................................. 43 14 Rata-rata, minimal, dan maksimal pengeluaran keluarga contoh .................. 45 15 Persentase pengeluaran keluarga contoh ..................................................... 47 16 Perbandingan persentase pengeluaran pada kelompok penerima setahun sesudah adanya program dan kondisi saat ini ............................................... 49 17 Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan............................................................................................. 51 18 Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pengeluaran pangan .......................................................................................................... 52 19 Sebaran contoh berdasarkan akses pangan ................................................. 54 20 Konsumsi pangan pada kelompok penerima dan bukan penerima program berdasarkan jenis pangan per kapita per hari ................................................ 55 21 Perbandingan konsumsi energi aktual contoh dengan konsumsi energi yang dianjurkan berdasarkan kelompok pangan (Kal/kap/hr) ........................ 57 22 Rata-rata tingkat konsumsi keluarga contoh per kapita per hari .................... 57 23 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi .................................. 58 24 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi protein ................................. 59 25 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen jumlah anggota keluarga pada keseluruhan contoh ........................................................................................................... 61
xiii
26 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan berdasrkan jumlah anggota keluarga pada keluarga penerima program ......................................................................................... 62 27 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan berdasarkan komponen jumlah anggota keluarga pada kelompok bukan penerima program .............................................................. 63 28 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pendidikan ayah pada total keseluruhan contoh ... 64 29 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi serta akses pangan komponen pendidikan ayah pada kelompok penerima program .................... 65 30 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi serta akses pangan komponen pendidikan ayah pada kelompok bukan penerima program ......... 67 31 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pendidikan ibu pada total keseluruhan contoh ...... 68 32 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pendidikan ibu pada kelompok penerima .............. 69 33 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pendidikan ibu pada kelompok bukan penerima ... 70 34 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu pada keseluruhan contoh .... 71 35 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu pada kelompok penerima .... 73 36 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu pada kelompok bukan penerima ....................................................................................................... 74 37 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan pada keseluruhan kelompok .................................................................................. 76 38 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok penerima ....................................................................................................... 77 39 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok Bukan penerima ............................................................................................ 78 40 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan pada keseluruhan kelompok .................................................................................. 80 41 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan pada kelompok penerima ....................................................................................... 81 42 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan pada kelompok bukan penerima ............................................................................ 83 43 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan pada keseluruhan kelompok ................................................... 84
xiv
44 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan pada kelompok penerima ....................................................... 85 45 Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan pada kelompok bukan penerima............................................. 87 46 Nilai rata-rata, nimimum, maksimum, dan standar deviasi variabel ............. 103 47 Uji normalitas terhadap variabel penelitian .................................................. 104 48 Hasil uji beda variabel antara keluarga penerima dan bukan penerima program....................................................................................................... 104 49 Hasil uji hubungan antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada keseluruhan contoh ......................................................... 105 50 Hasil uji hubungan antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga penerima program ............................................. 105 51 Hasil uji hubungan antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga bukan penerima program .................................. 106 52 Kecenderungan JART terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga penerima dan bukan penerima program ....................................... 107 53 Kecenderungan pendidikan ayah dan ibu terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga penerima dan bukan penerima program....................................................................................................... 107 54 Kecenderungan pengetahuan gizi ibu terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga penerima dan bukan penerima program ............ 108 55 Kecenderungan pengeluaran total dan pangan per kapita per bulan terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga penerima dan bukan penerima program ..................................................................... 108 56 Kecenderungan akses pangan terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga penerima dan bukan penerima program ................... 109
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka kerja livelihood .................................................................................. 5 2 Konsumsi dan akses pangan pada keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan ......................................................................... 19 3 Bagan sebaran penduduk Desa Ciparigi dan Desa Sukadana berdasakan tingkat pendidikan ........................................................................................... 31 4 Sebaran penduduk Desa Ciparigi dan Desa Sukadana berdasarkan pekerjaan ........................................................................................................ 32
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kuesioner Penelitian ....................................................................................... 95 2 Hasl Uji Statistik Contoh ............................................................................... 103 3 Kecenderungan akses pangan dengan tingkat konsumsi energi dan protein ........................................................................................................... 107
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan dan kerawanan pangan sampai saat ini masih menjadi masalah utama di Indonesia terutama di daerah perdesaan. Menurut BPS (2010) pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang atau 13,33% dari total penduduk Indonesiaberada dibawah garis kemiskinan, dengan persentase terbesar yakni 64,23% penduduk miskin tersebut berada di daerah perdesaandan sebagian besar bekerja pada sektor pertanian.Kemiskinan berkaitan erat dengan kerawanan pangan, sebagai akibat ketidakmampuan dalam mengakses pangan. Masyarakat miskin cenderung berpendapatan rendah sehingga daya beli mereka pun menjadi rendah termasuk daya beli makanan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan.Hal
tersebut
menunjukkan
bahwa
kemiskinan
merupakan
permasalahan yang bersifat multidimensional, sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus (Mulyono 2008). Menurut BKP (2010) salah satu fokus pembangunan pertanian dalam penanganan masalah kerawanan pangan dan kemiskinan adalah meningkatkan ketahanan pangan sekaligus kesejahteraan keluarga. Perwujudan tersebut dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil yaitu perdesaan yang merupakan daerah berbasis kegiatan pertanian dan memiliki persentase penduduk miskin terbanyak. Salah satu program prioritas Badan Ketahanan Pangan yang bergerak dalam meningkatkan ketahanan pangan di tingkat perdesaan adalah program desa mandiri pangan. Program Desa Mandiri Pangan yang sasarannya adalah keluarga miskin merupakan suatu program yang bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif dari hari ke hari, secara berkelanjutan yang dibangun dengan kemampuan masyarakat desa itu sendiri. Program desa mandiri pangan dilaksanakan dalam empat tahap selama empat tahun, dimana tahap ke empat merupakan tahap kemandirian. Program tersebut telah dimulai sejak tahun 2006 hingga sekarang tahun 2011 yang telah mencapai tahap kemandirian. Badan Ketahanan Pangan (2011) menyatakan bahwa sampai tahun 2010 terdapat 1.885 desa di 379 kabupaten/kota pada 33 provinsi desa rawan pangan yang telah menjadi desa mandiri pangan.Kabupaten Ciamis pada tahun 2006 telah mendapatkan bantuan program desa mandiri pangan, hal ini diduga karena Kabupaten Ciamis memiliki 40% kecamatan yang tergolong
rawan
pangan,
dengan
rata-rata
kecamatan
di
2
Kabupaten Ciamis memiliki satu hingga dua desa yang termasuk daerah rawan pangan. Desa Ciparigi merupakan desa penerima program mandiri pangan sejak tahun 2006 dan pada tahun 2010 Desa Ciparigi telah menjadi desa mandiri pangan. Indikator dalam suatu program merupakan suatu alat pengukuran langsung berhasil atau tidaknya suatu program. Adapun indikator keberhasilan kemandirian program desa mandiri pangandalam pengembangan sistem ketahan pangan
diantaranya
meningkatkan
penyediaan
dan
distribusi
pangan,
pengembangan usaha produktif, kemampuan keluarga dalam mengakses pangan, pelayanan masyarakat dalam akses permodalan, kesehatan, dan sarana usaha, serta peningkatan konsumsi pangan.Berbagai upaya tersebut diharapkan mampu mengurangi kemiskinan yang secara langsung akan meningkatkan akses keluarga dalam memperoleh pangan sehingga zat gizi yang dibutuhkan dapat tercukupi. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk menganalisis akses dan konsumsi panganpadakeluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui akses dan konsumsi pangan pada keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Tujuan Khusus 1. Mengetahui karakteristik penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan 2. Menganalisis akses pangan secara ekonomi dan sosialpada keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan 3. Menganalisis konsumsi pangan padakeluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. 4. Menganalisis hubungan akses pangan dengankonsumsi pangan pada keluarga penerima dan bukan penerima program.
3
Hipotesis 1. Akses pangan pada keluarga penerima lebih baik dibandingkan keluarga bukan penerima program. 2. Konsumsi pangan pada keluarga penerima lebih baik dibandingkan keluarga bukan penerima program. 3. Akses
panganberhubungan
dengankonsumsipanganpadakeluarga
penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat konsumsi energi dan protein antara keluarga penerima dan bukan penerima
program
perbandingan
desa
tersebut
mandiri
dapat
pangan.
menjadi
Selain
itu
pertimbangan
pengembangan program desa mandiri pangan selanjutnya.
diharapkan pemerintah
hasil dalam
TINJAUAN PUSTAKA Program Desa Mandiri Pangan Menurut BKP (2010) pembangunan ketahanan pangan merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan nasional, oleh karena itu pemerintah berupaya membangun ketahanan pangan melalui program–program yang mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa upaya untuk mencapai tujuan tersebut, Badan Ketahanan Pangan melaksanakan 3 program prioritas, yakni: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP), (2) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani (PPKP); dan (3) Program Penerapan Kepemerintahan yang Baik (PPKB). Program peningkatan ketahanan pangan bertujuan untuk menjamin masyarakat agar memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal. Berkaitan dengan tujuan dan sasaran program tersebut, Badan Ketahanan Pangan melaksanakan 3 kegiatan prioritas: (1) Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan LDPM); (2) Pengembangan Desa Mandiri Pangan (Demapan) dan Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP); dan (3) Diversifikasi Pangan. Program desa mandiri pangan merupakan program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di desa rawan pangan, dengan karakteristik kualitas sumberdaya masyarakat rendah, terbatasnya sumber daya modal, akses teknologi, dan infrastruktur pedesaan. Adapun konsep tujuan utama program desa mandiri pangan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep tersebut merupakan penjabaran dari konsep livelihood. Konsep Livelihood Menurut Saragih et. al. (2007) secara etimologis, makna kata livelihood itu meliputi aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), yang dimiliki oleh individu maupun keluarga. Adapun kerangka berfikir livelihood diawali dengan cara suatu individu atau keluarga dapat mempertahankan hidupnya pada suatu kondisi tertentu, diantaranya dengan menggunkan aset yang ada misalnya sumberdaya alam, sosial, manusia, finansial, dan fisik yang kemudian
akan
memberikan
suatu
perubahan
terhadap
suatu
struktur
pemerintahan. Perubahan struktur pemerintahan tersebut dilakukan melalui pembentukan
kebijakan-kebijakan
baru
yang
pada
akhirnya
berupaya
menghasilkan suatu perubahan dalam kehidupan diantaranya pendapatan yang
5
lebih baik, meningkatnya kesejahteraan, serta keamanan pangan yang lebih baik.
Sumber: Saragih, et. al. (2007) Gambar 1Kerangka kerja livelihood
Konsep program desa mandiri pangan dengan livelihood menunjukkan bahwa, program tersebut merupakan suatu program yang ditujukkan untuk merubah suatu kondisi kerentanan (masyarakat dengan kualitas sumberdaya masyarakat rendah, terbatasnya sumber daya modal, akses teknologi, dan infrastruktur pedesaan) menuju suatu kondisi yang lebih baik terhadap kehidupannya. Kondisi kerentanan terutama di wilayah perdesaan yang sebagian masyarakatnya bekerja disektor pertanian dengan rata-rata usia lebih dari 45 tahun (Nurmanaf et. al. (2004), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008) dalam Departemen Pertanian 2010). Usia seseorang terutama ayah atau ibu sebagai sumber nafkah keluarga dikelompokan berdasarkan WNPG (2004) menjadi usia dewasa awal, dewasa sedang, dewasa lanjut, dan manula. Usia seseorang tergolong dewasa awal apabila tergolong usia antara 19-29 tahun, usia tergolong dewasa sedang apabila seseorang berusia antara 30-49 tahun.
6
Usia seseorang tergolong dewasa lanjut apabila usianya berada diantara umur 50-64 tahun, sedangkan seseorang tergolong manula apabila seseorang berusia lebih dari sama dengan 65 tahun. Bekerja merupakan kegiatan melakukan pekerjaan
dengan
maksud
memperoleh
atau
membantu
memperoleh
penghasilan atau keuntungan. Usia dan pekerjaan seseorang merupakan salah satu aset livelihood yang akan digunakan untuk mempertahankan hidup dirinya atau keluarga. Program desa mandiri pangan sebagai suatu strategi livelihood dengan fokus kegiatan dibidang ketahanan pangan bertujuan meningkatkan kesejahteraan terutama meningkatkan akses pangan keluarga sehingga kebutuhan pangan keluarga dapat tercukupi. Tahapan Kemandirian Pangan Menurut Badan Ketahanan Pangan (2010) pencapaian tujuan desa mandiri pangan dilakukan dalam kurun waktu empat tahun, meliputi tahap persiapan, tahap penumbuhan, tahap pengembangan, dan tahap kemandirian. Tahap persiapan dilaksanakan dalam waktu satu tahun dengan kegiatan mempersiapkan aparat pelaksana dan masyarakat melalui sosialisasi, pelatihanpelatihan,dan pendampingan; penetapan desa pelaksana dan penyusunan data base RTM sasaran dan potensi desa. Indikator keberhasilan pada tahap persiapan meliputi: (1) Ditetapkannya lokasi desa pelaksana Proksi Desa Mapan (2) Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang Proksi Desa Mapan (3) Tersusunnya data base Desa Mandiri Pangan (4) Terbentuknya Pokja di tiap tingkatan dan terbentuknya Tim Pangan Desa (5) Terbentuknya kelompok afinitas di lokasi sasaran (6) Terpilihnya tenaga pendamping (7)Terlaksananya
pelatihan
aparat
tingkat
propinsi,
kabupaten,
desa,
pendamping dan masyarakat pelaksana Proksi Desa Mandiri Pangan (8) Tersusunnya Rencana Pembangunan Wilayah Desa secara partisipatif (RPWD). Ruang
lingkup
pelaksanaan
kegiatan
tahap
penumbuhan
dalam
pengembangan sistem ketahanan pangan terlihat dari indikator keberhasilannya, yakni; (1) meningkatnya diversifikasi produksi pangan, (2) berkembangnya intensifikasi
usaha,
(3)
tumbuhnya
lumbung
pangan
masyarakat,
(4)
meningkatnya kegiatan usaha-usaha perdagangan bahan pangan oleh anggota kelompok afinitas maupun kelompok lainnya di tingkat desa, (5) meningkatnya
7
pemasaran hasil secara kolektif di desa, (6) terbentuknya lembaga pemasaran (pasar) di tingkat desa maupun wilayah yang lebih luas untuk menampung hasilhasil produksi masyarakat, (7) tersedianya informasi pasar harga dan jenis komoditi pangan, (8) meningkatnya penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya wilayah, (9) tersedianya teknologi pengolahan dan produk pangan, (10) meningkatnya keterampilan masyarakat dalam mengolah pangan, (11) meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pangan beragam, bergizi, berimbang dan aman. Tahap pengembangan merupakan tahapan ketiga pelaksanaan proksi desa mapan yang ditunjukkan dengan adanya penguatan dan pengembangan dinamika dan usaha produktif kelompok afinitas, pengembangan fungsi kelembagaan layanan modal, kesehatan, pendidikan, sarana usaha tani, dan lain-lain. Terdapat kemajuan sumber pendapatan, peningkatan daya beli, gerakan tabungan masyarakat, peningkatan ketahanan pangan rumah tangga, peningkatan pola pikir masyarakat, serta peningkatan keterampilan dan pengetahuan masyarakat. Tahap kemandirian merupakan tahapan keempat atau (tahun ke IV) dalam pelaksanaan Proksi Desa Mapan yang ditunjukkan oleh bekerjanya sistem ketahanan pangan yang ditandai ketersediaan dan kecukupan pangan, kemudahan akses distribusi pangan wilayah, kestabilan harga pangan, serta konsumsi pangan yang cukup, beragam, bergizi, berimbang dan aman sampai tingkat rumah tangga.Tahun 2010 kegiatan Desa Mandiri Pangan memasuki tahap kemandirian, sehingga untuk menentukan capaian kemandirian desa sasaran yang diharapkan sesuai tujuan dan sasaran program perlu dilakukan evaluasi (BKP 2009b). Metode Evaluasi Program Menurut PNPM Mandiri (2008) evaluasiadalah menilai secara berkala apa yang telah dihasilkan, untuk mengetahui apakah proyek berhasil mencapai tujuan-tujuan utamanya. Pemantauan dan evaluasi adalah alat pengelolaan yang berguna untuk pengambilan keputusan dan memastikan bahwa tindakan perbaikan dapat segera diambil secara cepat dan tepat. Beberapa jenis evaluasi yang dapat dilakukan antara lain: 1. Evaluasi Keluaran (Output) Evaluasi yang dilakukan untuk melihat sejauh mana perubahan kesejahteraan yang terjadi dengan membandingkan kondisi saat ini dari warga
8
miskin dan kelompok sasaran lainnya, setelah berjalannya program (tahunan). Dasar pengukuran dan evaluasi ini dari hasil survey dasar yang dilakukan oleh para konsultan program sektor. Evaluasi ini dapat dilakukan berbagai pihak, baik penangung jawab program maupun pihak-pihak lain secara independen. 2. Evaluasi Dampak (Impact) Evaluasi dampak dengan fokus utama pada dampak yang menggunakan metode campuran, baik menggunakan teknik kuantitatif maupun kualitatif. Sejumlah survei akan dilakukan untuk mengukur dampak program, dengan menggunakan survei rumah tangga, Susenas (survey sosial ekonomi nasional), dan studi kualitatif. Keseluruhan survei menggunakan teknik perbedaan ganda dengan melihat: kondisi sebelum dan sesudah, serta wilayah perlakuan dan wilayah kontrol (dengan dan tanpa intervensi program). Kajian Suryahadi (2007) dalam Bappenas (2007a) dampak suatu program dapat diketahui dengan melihat selisih indikator antara kelompok penerima dan bukan penerima program. Ruang lingkup evaluasi dampak meliputi: perubahan tingkat hidup (livelihood) dan perubahan pola pikir (mindset) dengan Vectorial Project Analysis (VPA) dilakukan periode tahunan atau setiap tahap pelaksanaan Desa Mandiri Pangan. Indikator kemajuan tingkat kehidupan (livelihood) dikelompokkan sebagai indikator yang bersifat fisik (tangible) atau indikator-indikator yang dapat diukur secara kuantitatif. Indikator tersebut akan menggambarkan kemajuan fisik status ketahanan pangan yang antara lain diukur melalui beberapa sub indikator yaitu: (1) Pendapatan, dan (2) Konsumsi pangan. 6.3. Studi Khusus/Tematik Studi khusus atau tematik merupakan jenis evaluasi untuk mempertajam hasil pemantauan dan berbagai jenis evaluasi reguler di atas. Evaluasi tematik dilakukan saat dimulainya program sampai beberapa tahun kedepan setelah adanya program. Beberapa contohevaluasi tematik diantaranya:kaji cepat prasarana fisik untuk mengevaluasi mutu infrastruktur yang dibangun dengan standar
PNPM
Mandiri,
pengkajian
operasional
dan
perawatanuntuk
mengevaluasi tata cara operasional dan perawatan infrastruktur, pengkajian dampak ekonomi dan tingkat pengembalian untuk mengukur dampak ekonomi program PNPM Mandiri, dan sebagainya. Akses Pangan Bappenas (2007b) menyatakan bahwa akses pangan berkaitan dengan konsumsi pangan dan tingkat konsumsi pangan dalam keluarga tersebut dapat
9
menggambarkan konsumsi pangan. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan. Menurut Rachmat et. al (2010) akses pangan tingkat keluarga diartikan sebagai kemampuan keluarga dalam memperoleh pangan yang cukup secara terus menerus melalui berbagai cara, seperti produksi pangan keluarga, persediaan pangan keluarga, jual beli, dan tukarmenukar. Akses pangan dipengaruhi oleh beberapa aspek diantaranya akses fisik, akses ekonomi, dan akses sosial (Departemen Pertanian 2008). Secara fisik akses pangan dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan/produksi pangan dan sarana/prasarana infrastruktur dasar seperti akses jalan, pasar, transportasi yang mendukung lancarnya distribusi pangan untuk menjamin pasokan pangan tersedia dengan cukup dimana saja dan setiap waktu. Indikator fisik terdiri dari ketersediaan pangan pokok (padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar) dan infrastuktur. Ketersediaan pangan pokok berupa rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan bersih pangan dan pokok (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar dalam ton GKG, PK, dll). Indikator infrastruktur berupa persentase desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat dan persentase desa yang tidak mempunyai pasar dan jarak terdekat ke pasar lebih dari (minimum) 3 km. Persentase desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, digunakan sebagai indikator yang mewakili akses/infastruktur jalan, karena semakin besar persentase akses desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, maka semakin buruk aksesnya terhadap pangan. Persentase desa yang tidak mempunyai pasar dan jarak terdekat ke pasar minimum 3 km, karena pasar merupakan sarana untuk memperoleh segala macam kebutuhan manusia termasuk pangan, akses pasar dan jarak terdekat ke pasar akan mempengaruhi tingkat akses pangan. Kepemilikan pasar suatu desa akan mempengaruhi rumah tangga dalam mengakses pangan. Jarak terdekat ke pasar lebih dari 3 km akan mempengaruhi wkatu tempuh ke pasae yang akan mempengaruhi dalam mengakses pangan. Semakin sulit akses rumah tangga ke pasar semkin rendah akses pangannya. Secara ekonomi akses pangan dipengaruhi oleh daya beli masyarakat terhadap
pangan.
Daya
beli
antara
lain
dipengaruhi
oleh
sumber
matapencaharian dan pendapatan. Mata pencaharian merupakan faktor penentu pendapatan rumah tangga yang selanjutnya menjadi penentu kemampuan akses
10
pangannya. Indikator ekonomi dilihat dari daya beli pangan (ukuran kemampuan masyarakat rata-rata penduduk dalam membeli pangan) meliputi persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinann, persentase penduduk yang bekerja kuarang dari 36 jam per minggu, serta nilai product domestic regional bruto (PDRB) ekonomi kerakyatan per kapita. Akses sosial antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduk, bantuan sosial, budaya/kebiasaan makan, konflik sosial/kemanan dan lainnya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi kesempatan atau peluangnya untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik dengan pendapatan yang lebih baik pula. Konflik sosial yang menimbulkan situasi tidak aman di suatu wilayah dapat menghambat pasokan pangan ke wilayah dapat menghambat pasokan pangan ke wilayah tersebut yang menghambat akses penduduk terhadap pangan. Indikator sosial mencakup persentase penduduk yang tidak tamat sekolah dasar (SD) Akses fisik bersifat kewilayahan karena dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan dan produksi pangan serta sarana/prasarana infrastruktur dasar seperti akses jalan, pasar dan transportasi yang mendukung lancarnya distribusi pangan. Beberapa contoh indikator akses fisik diantaranya: persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai, dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik.Akses penghubung misalnya kendaraan beroda empat, merupakan sarana dalam mempermudah penyaluran pangan ke suatu daerah. Akses ekonomi dipengaruhi oleh persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan dan persentase penduduk yang bekerja kurang dari 36 jam dalam seminggu. Persentase keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan diartikan sebagai keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar diantaranya pangan, hal tersebut menyebabkan akses pangan seseorang menjadi rendah. Akses ekonomi dilihat dari pengeluaran total dan pengeluaran pangan per kapita per bulan. Akses sosial adalah kemampuan keluarga untuk mendapatkan pangan agar mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang dilihat dari persentase keluarga yang tidak tamat sekolah dasar. Jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, serta pengetahuan gizi ibu dapat pula dijadikan sebagai indikator akses sosial.Akses sosial keluarga terhadap pangan merupakan suatu akses/cara untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan agar dapat memenuhi kebutuhan pangan. World Food Programme (2005) menjelaskan bahwa
11
pendidikan juga mempengaruhi akses pangan melalui sumber daya tunai/cash dalam jangka waktu pendek dan berpengaruh terhadap kapasitas produksi dan pendapatan dalam jangka waktu yang panjang. Akses pangan sosial antara lain dipengaruhi oleh pendidikan (Departemen Pertanian 2008). Hildawati (2008) menambahkan jumlah anggota keluarga dalam dimensi akses sosial. Akses sosial adalah kemampuan keluarga untuk mendapatkan pangan agar mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang dilihat dari jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, dan pengetahuan gizi ibu. Berbagai komponen yang mempengaruhi akses pangan tersebut digabungkan untuk mengetahui indeks akses pangan. Berdasarkan indeks tersebut, akses pangan digolongkan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan tergolong rendah apabila indeks kompositnya lebih dari 0,36; akses pangan tergolong sedang apabila indenks kompositnya berada diantara 0,36-0,68; sedangkan akses pangan tergolong tinggi apabila indeks komposit akses pangan lebih dari sama dengan 0,68 (Departemen Pertanian 2008). Menurut Departemen Pertanian (2008) akses pangan secara ekonomi ditentukan oleh banyaknya penduduk miskin dan daya beli terhadap pangan. Badan Pusat Statistik tahun 2008 mendefinisikan kemiskinan adalah suatu kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang, yang tidak mampu menyelenggarakan hidup sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan seperti pangan, perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Salah satu persoalan kemiskinan adalah kerentanan (Saldanha 1998). Menurut Sumodiningrat (1999) terdapat lima klasifikasi kemiskinan, yakni: a. Kemiskinan absolut digolongkan apabila hasil pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan. b. Kemiskinan relatif digunakan untuk menunjukkan ketimpangan pendapatan yang berguna untuk mengukur ketimpangan antar wilayah yang dilakukan pada suatu wilayah tertentu. c. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diukur atas kurangnya perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi, atau
12
peraturan
resmi
yang
mencegah
seseorang
memanfaatkan
kesempatan yang ada. d. Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yakni: (1) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif. (2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (daerah-daerah yang kritis SDA dan daerah terpencil). (3) rendahnya
derajat
pendidikan
dan
perawatan
kesehatan,
terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. e. Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman dan bencana alam atau dampak dari suatu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Berdasarkan golongannya, Sajogyo (1977) mengklasifikasikan orang miskin dalam tiga golongan yakni: lapisan miskin, miskin sekali, dan paling miskin. Golongan lapisan miskin adalah golongan orang yang memiliki pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak lebih dari 360 Kg tetapi kurang dari 480 Kg. Golongan miskin sekali adalah golongan orang yang memiliki pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak 240-360 Kg, sedangkan golongan paling miskin adalah golongan yang memiliki pengahasilan per kapita per tahun beras kurang dari 240 Kg. Cara mengukur kemiskinan dengan pendekatan kemiskinan absolut adalah memperhitungkan standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi (kalori dan protein) dengan mengungkapkan masalah garis kemiskinan. Besar kecilnya penduduk miskin dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur melalui pengeluaran per kapita per bulan. Semakin tinggi persentase penduduk miskin maka semakin rendah akses pangan penduduk di wilayah tersebut. Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan Kabupaten Ciamis adalah Rp 193652 (BPS 2010). Menurut Irawan dan Romdiati dalam WNPG (2000) yang mengklasifikasikan penduduk miskin berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan,
13
apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka tergolong miskin. Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis kemiskinan maka tergolong tidak miskin atau sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan maka digolongkan tidak miskin dan tergolong tinggi. Daya beli keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan merupakan fungsi dari akses pangan dimensi ekonomi. Suatu keluarga berdasarkan pekerjaannya memiliki satu atau lebih sumber pendapatan untuk membeli pangan dan kebutuhan lainnya. Anggota keluarga yang menjadi sumber keuangan utama biasanya ayah atau suami, tetapi ada pula pencari nafkah itu ibu atau istri. Suatu kondisi ditinjau dari akses ekonomi keluarga, apabila suami dan ibu memiliki pekerjaan maka akses ekonominya menjadi lebih baik (Hildawati 2008). Menurut Susanti (1999) pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Tingginya pendapatan tersebut diikuti dengan tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga tingkat pendapatan akan mencerminkan kemampuan membeli bahan pangan. Jumlah Anggota Keluarga Menurut Sukandar (2009) jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga dalam sebuah keluarga yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama.Berdasakan banyaknya jumlah anggota dalam suatu keluarga, besarnya keluarga dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yakni keluarga kecil, sedang, dan banyak. Golongan keluarga kecil adalah keluarga dengan jumlah anggota kurang dari atau sama dengan empat orang. Keluarga tergolong sedang apabila jumlah anggota keluarganya lima sampai enam orang, sedangkan golongan keluarga banyak adalah keluarga dengan jumlah anggota keluarga lebih dari atau sama dengan tujuh orang (BKKBN 1998). Harper et al. (1985) menghubungkan antara besarnya keluarga, pendapatan, dan konsumsi. Keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit dalam memenuhi kebutuhan pangannya jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki jumlah keluarga sedikit. Terdapat pula pernyataan
bahwa
keluarga
yang
konsumsi
pangannya
kurang
akan
menyebabkan anak mudah atau sering menderita gizi kurang. Menurut Hildawati (2008) semakin kecil suatu keluarga maka semakin mudah akses pangan keluarga dalam memperoleh pangan. Hal tersebut dijelaskan oleh Sanjur (1982) bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak akan berusaha membagi makanan
14
yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keuarga. Pendidikan Ayah dan Ibu Tingkat pendidikan orang tua yakni ayah dan ibu merupakan salah satu faktor yang mampu mempengaruhi pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi. Pendidikan seseorang pun akan memengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu, pendidikan rendah (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/sederajat hingga tamat SLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/sederajat) (BPS 2007). Pendidikan yang tergolong tinggi belum tentu menjadikan konsumsi makan suatu keluarga menjadi lebih baik, hal ini dikarenakan pendidikan ayah tidak mampu berdiri sendiri, melainkan akan berinteraksi dengan sikap dan keterampilan gizi (Suharjo 1982 dalam Sukandar 2009). Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan gizi ibu merupakan pemahaman seorang ibu tentang ilmu gizi, zat gizi serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah atau buruk. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal, selain itu pengetahuan gizi dapat diperoleh dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar atau majalah, mendengar siaran radio, dan menyaksikan siaran televisi atau pun penyuluhan kesehatan atau gizi (Khomsan 2002). Khomsan (2002) menyatakan bahwa walaupun keluarga memiliki daya beli cukup dan pangan juga tersedia, namun apabila pengetahuan pangan dan gizinya masih rendah maka akan sulit bagi keluarga yang bersangkutan untuk dapat memenuhi konsumsi pangannya baik secara kuantitas maupun kualitas. Pengetahuan gizi ibu diperoleh dari pendidikan formal/informal menurut Susanto (1996) dalam Sihite (2010) merupakan salah satu aspek sosial yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan dimensi akses pangan secara sosial. Pengetahuan gizi ibu yang tergolong tinggi tidak menjamin keluarga tersebut memiliki tingkat konsumsi protein yang cukup, hal ini diduga karena pengaruh pengetahuan gizi ibu terhadap konsumsi makanan tidak selalu linear. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri
15
tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi (Suharjo 1982 dalam Sukandar 2009). Terdapat tiga kategori untuk penilaian tingkat pengetahuan gizi, yaitu kurang, sedang, dan baik. Contoh yang mendapatkan total skor <60 persen dikategorikan kurang. Jika contoh mendapatkan total skor antara 60 sampai 80 persen maka termasuk kategori sedang dan jika contoh mendapatkan total skor >80 persen maka termasuk kategori baik (Khomsan 2000). Pengeluaran Keluarga Menurut BPS (2010), data pengeluaran keluarga lebih menggambarkan pendapatan keluarga yang meliputi penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain seperti pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, dan pemberian. Data pengeluaran
dapat
menggambarkan
pola
konsumsi
keluarga
dalam
pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Menurut Moho dan Wagner
(1981)
dalam
Hildawati
(2008),
data
pengeluaran
dapat
menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah, biasanya akan lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka oleh karena itu, data pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya. Kajian Purwantini dan Ariani (2008) bahwa semakin tinggi persentase pengeluaran pangan suatu keluarga maka semakin kurang sejahtera keluarga tersebut. Beras merupakan pangan pokok sehingga proporsi pengeluaran untuk beras menjadi dominan di Indonesia (Ariani dan Purwantini 2002). Penelitian Purwanti (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi persentase pengeluaran pangan maka semakin kurang sejahtera keluarga tersebut. Pengeluaran per kapita per bulan apabila semakin berada diatas garis kemiskinan maka semakin tinggi pula kemampuan suatu keluarga dalam mengakses pangan. Pengeluaran keluarga sebagai pendekatan pendapatan keluarga dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Penggolongan tersebut didasarkan pada konsep Irawan dan Romdiati dalam WNPG (2000) yang mengkalsifikasikan penduduk miskin berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan, apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka akses pangan rendah. Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis kemiskinan maka tergolong tidak miskin, atau akses pangan sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan maka dikatakan tidak
16
miskin, dan lebih tinggi diatas garis kemiskinan sehingga digolongkan menjadi akses pangan tinggi. Pengeluaran Pangan Pengeluaran pangan sebagai pendekatan daya beli terhadap pangan seperti yang dijelaskan menurut Departemen Pertanian (2008) bahwa akses pangan termasuk didalamnya daya beli terhadap pangan. Kemampuan membeli pangan terutama kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Akses pangan akan semakin tinggi apabila pengeluaran pangan pun tinggi, sehingga akses pangan dikategorikan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Pengeluaran pangan semakin tinggi apabila pengeluaran tersebut berada semakin jauh diatas garis kemiskinan makanan, sebagai pemenuhan kebutuhan minimum. Pengkategorian tersebut didasarkan melalui pendekatan seperti halnya pengeluaran total per kapita per bulan, dimana akses pangan tinggi apabila jarak antara pengeluaran dengan garis kemiskinan makanan lebih dari 20%. Akses pangan tergolong sedang apabila jarak antara pengeluaran pangan dengan garis kemiskinan makanan antara satu sampai dengan 20% dari garis kemiskinan makanan. Akses pangan tergolong rendah apabila pengeluaran pangan dibawah garis kemiskinan makanan. Garis kemiskinan makanan yang digunakan adalah garis kemiskinan makanan Kabupaten Ciamis yaitu Rp 115010. Konsumsi Pangan Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) konsumsi pangan adalah informasi pangan yang dimakan atau dikonsumsi seseorang atau kelompok orang, baik berupa jenis maupun jumlahnya pada waktu tertentu, artinya konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah maupun jenis pangan yang dikonsumsi.Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994), terdapat dua pengertian tentang penilaian konsumsi pangan, yaitu penilaian terhadap kandungan zat gizi makanan dan membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan angka kecukupan. Penilaian terhadap kandungan zat gizi makanan digunakan apabila ingin membandingkan kandungan zat gizi antar berbagai makanan atau suatu hidangan, sedangkan membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau
17
kelompok orang dengan angka kecukupan digunakan apabila ingin mengetahui tingkat konsumsi zat gizi seseorang atau keluarga. Metode Recall Menurut Arisman (2007) metode recall merupakan metode yang cukup baik diterapkan dalam survei terhadap kelompok masyarakat. Metode recall merupakan metode yang digunakan dengan cara mencatat jumlah dan jenis bahan pangan yang dikonsumsi pada beberapa waktu lalu, bisanya recall dilakukan 24 jam. Ukuran keluarga dan jumlah pangan yang dikonsumsi ditanyakan kepada responden kemudian dikonversikan ke dalam satuan berat. Wawancara ini hendaknya dilakukan secara mendalam agar responden dapat memberikan jawaban mengenai jenis dan memperkirakan jumlah bahan pangan (Suhardjo et. al. 1988). Jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menanyakan bentuk ukuran keluarga (URT) seperti potong, ikat, gelas, piring, dan alat atau ukuran lain yang biasa digunakan di keluarga yang kemudian akan dikonversikan ke dalam bentuk gram. Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan dan mudah (Kusharto & Sa’diyyah 2008). Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Tingkat konsumsi energi dan proteinmerupakanindikator kebutuhan pangan
minimum
(BPS
2008).Seseorang
atau
kelompok
orang
(rumahtangga/keluarga) yang mengkonsumsi energi dan atau protein kurang dari 70% angka kecukupan (recommended dietary allowances), maka seseorang atau kelompok orang(rumahtangga/keluarga) tersebut dikatakan konsumsi pangannya kurang/tidak(Sukandar 2009). Depkes (1996) mengklasifikasikan tingkat konsumsi energi dan protein ke dalam lima golongan, yaitu defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal (90-119%) dan lebih (>120%). Penilaian tingkat konsumsi energi dan protein rata-rata untuk satu keluarga merupakan perbandingan antara rata-rata konsumsi energi dan protein aktual dengan rata-rata kebutuhan energi dan protein keluarga. Rata-rata kebutuhan energi dan proteinkeluarga, didapatkan dariperhitungan kebutuhan energi dan protein individu anggota keluarga yang kemudian dirata-ratakan sehingga didapatkan rata-rata kebutuhan energi atau protein keluarga. Kebutuhan energi dan protein individu dihitung dengan membandingkan berat badan aktual individu disetiap keluarga dengan berat badan
ideal
dikalikan
dengan
kecukupan
dianjurkan(Hardinsyah & Martianto 1992).
energi
atau
protein
yang
KERANGKA PEMIKIRAN Kemiskinan berkaitan erat dengan kerawanan pangan, sebagai akibat ketidakmampuan dalam mengakses pangan. Masyarakat miskin sebagian besar tinggal di perdesaan dan cenderung berpendapatan rendah sehingga daya beli mereka pun menjadi rendah termasuk daya beli makanan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan menjadi rendah.Salah satu program prioritas Badan Ketahanan Pangan yang bergerak dalam meningkatkan ketahanan pangan di tingkat perdesaan dengan konsep merujuk pada livelihoodadalah program desa mandiri pangan. Meningkatnya akses pangan keluarga, berkembangnya usaha produktif, dan terlayaninya masyarakat terhadap akses permodalan merupakan suatu strategi
peningkatan
kesejahteraan
keluarga
sebagai
indikator
keberhasilankemandirian program. Indikator keberhasilan tersebut menunjukkan bahwa program tersebut berupaya meningkatkan akses pangan keluarga, sehingga dapat meningkatkan konsumsi pangan keluarga. Karakteristik keluarga diataranya usia ayah dan ibu serta pekerjaan ayah sebagai aset tingkat kesejahteraan
keluarga
berpengaruh
dalam
menentukan
kesejahteraan
keluarga. Menurut Departemen Pertanian (2008) akses pangan keluarga terdiri dari akses sosial dan ekonomi. Akses pangan secara ekonomi diukur berdasarkan pengeluaran
total
sedangkanakses
dan
sosial
pengeluaran keluarga
pangan
diantaranya
per jumlah
kapita
per
anggota
bulan,
keluarga,
pendidikan ayah dan ibu, serta pengetahuan gizi ibu merupakan komponen dalam mengukur akses pangan keluarga. Konsumsi pangan keluarga secara riil dapat digambarkan dari tingkat konsumsienergi dan protein keluarga. Hal tersebut berkaitan dengan akses pangan keluarga (Bappenas 2007b).Kerangka pemikiran ini dapat dilihat secara terperinci dalam bagan berikut:
19
Karakteristik keluarga Umur ayah dan ibudan pekerjaan ayah
Akses pangan secara ekonomi -Pengeluaran keluarga - Pengeluaran pangan
Akses pangan secara sosial - Jumlah anggota keluarga - Pendidikan ayah dan ibu - Pegetahuan gizi ibu
Akses Pangan Keluarga
Konsumsi Pangan
Keterangan: : Hubungan yang dianalisis : Variabel yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis : Variabel yang tidak dianalisis
Gambar 2Konsumsi dan akses pangan pada keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian evaluasi dengan studi cross sectional. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara purposive yakni Desa Ciparigi dan Desa Sukadana. Desa Ciparigi, Kecamatan Sukadana merupakan desa yang dijadikan sebagai desa penerima program mandiri pangan yang telah memasuki
tahap
kemandirian,
Sukadana
sebagai
desa
sedangkan
bukan
Desa
penerima
Sukadana,
program
Kecamatan
mandiri
pangan.
Pengumpulan data dilakukan mulai bulan Maret 2010 sampai dengan September 2011. Teknik Penarikan Contoh Teknik pengambilan contoh dipilih secara purposive. Populasi merupakan keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Contoh keluarga penerima program desa mandiri pangan merupakan keluarga yang menerima program desa mandiri pangan minimal empat tahun. Contoh keluarga bukan penerima program desa mandiri pangan adalah keluarga yang tinggal di suatu daerah yang tergolong memiliki karakteristik tempat tinggal yang hampir sama dengan keluarga penerima, dimana daerah tersebut memiliki persentase penduduk miskin tertinggi berdasarkan data sosial, tenaga kerja, dan transmigrasi daerah setempat tahun 2010 serta memenuhi kriteria inklusi. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencocokan contoh sesuai dengan kondisi keluarga pada keluarga bukan penerima sebelum adanya program desa mandiri pangan (Suryahadi 2007dalam Bappenas 2007a). Kriteria inklusi untukkeluarga bukan penerima adalah: 1) Keluarga dengan status perkawinan menikah, 2) Pendidikan ayah setingkat SD, 3) Status kepemilikan rumah adalah miliki sendiri, 4) Dinding terluas terbuat dari bambu, 5) Lantai terluas terbuat dari bambu/kayu, 6) Penerangan rumah memakai listrik PLN, 7) Sumur sebagai sumber air minum, dan 8) Keluarga tergolong miskin berdasarkan data kemiskinan (data sosial, tenaga kerja, dan transmigrasi daerah setempat tahun 2010). Jumlah populasi keluarga penerima adalah 70 kepala keluarga, data tersebut didapatkan dari hasil evaluasi program desa mandiri pangan oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP). Jumlah contoh pada kelompok penerima dan bukan penerima program ditentukan dengan menggunakan rumus Solvin (1960).
21
n=
N 1 + N(e)2
=
70 1 + 70 (0,1)2
= 41
n = jumlah contoh N = jumlah populasi e = nilai kritis (batas ketelitian) yang digunakan yaitu persen kelonggaran penelitian karena kesalahan pengambilan sampel populasi (margin error/standar 0,1) Jumlah total contoh pada penelitian ini adalah 82 kepala keluarga, dengan 41 kepala keluarga pada kelompok penerima dan 41 kepala keluarga pada kelompok bukan penerima. Jumlah contoh tersebut ditambahkan masingmasing lima kepala keluarga untuk menghindari data yang hilang, sehingga total contoh seluruhnya adalah 92 kepala keluarga. Setelah data dikumpulkan dan dientry jumlah contoh dari masing-masing kelompok menjadi 42 kepala keluarga, sehingga total contoh keseluruhan adalah 84 kepala keluarga. Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan Data Data terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer didapat dengan bantuan kuesioner yang dilakukan dengan cara wawancara dan recall 1 X 24 jam kepada keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan (Lampiran 1). Alat pengukur data primer menggunakan kuesioner yang diujicobakan terlebih dahulu. Jenis data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan (usia ayah dan Ibu, serta pekerjaan ayah), akses pangan secara sosialdiukur melalui jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, dan pengetahuan gizi ibu, akses pangan secara ekonomi yang diukur melalui pengeluaran total dan pengeluaran pangan per kapita per bulan, serta tingkat konsumsikeluarga berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein (Lampiran 1). Data sekunder terdiri dari profil desa; laporan hasil analisis data dasar keluarga dan survey keluarga Desa Ciaprigi; data kependudukan: sosial, tenaga kerja, dan transmigrasi daerah setempat tahun 2010, yang diperoleh dari BKP Kabupaten Ciamis, Desa Ciparigi, Desa Sukadana, dan Kecamatan Sukadana. Berikut jenis dan cara pengumpulan data primer dan sekunder yang disajikan dalam Tabel 1.
22
Tabel 1Jenis dan cara pengumpulan data Kategori
Variabel Data Keluarga Miskin Bukan Penerima Program Karakteristik Keluarga
Akses Pangan secara Ekonomi Data Primer Akses Pangan secara Sosial
Konsumsi Pangan
Data Sekunder
Jenis Data Karakteristik Keluarga Peneriam Program - Umur Ayah dan Ibu - Pekerjaan Ayah - Pengeluaran Total Per Kapita Per Bulan - Pengeluaran Pangan Per Kapita Per Bulan - Jumlah Anggota Keluarga - Pendidikan Ayah - Pendidikan Ibu - Pengetahuan Gizi Ibu - Jumlah Pangan - Jenis Pangan
- Profil desa - Letak desa - Data keluarga penerima program - Data keluarga bukan penerima
Cara Pengumpulan Data Wawancara
Wawancara
Wawancara
Wawancara
Wawancara termasuk recall 24 jam - Arsip desa - Arsip desa - Arsip laporan hasil analisis DDRT dan SRT BKP 2006 - Arsip di kecamatan
Pengolahan dan Analisis Data Data-data yang diperoleh akan ditabulasikan dan dianalisis dengan bantuan paket program Microsoft Excel dan Statistical Program for Social Science (SPSS) 16.0 for Windows. Analisis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif,uji independent t-test, dan uji korelasi. Analisis deskiptif dilakukan untuk menggambarkan karakteristik keluarga, akses pangan secara ekonomi, akses pangan secara sosial,
akses pangan, dan tingkat konsumsi keluarga
berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein keluarga penerima dan bukan penerima program. Uji independent t-test digunakan untuk melihat perbedaan akses pangan serta tingkat konsumsi energi dan protein antara keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Analisis korelasipearson dilakukan untuk mengetahui hubungan komponen akses pangan dengan tingkat konsumsi energi dan protein. Rata-rata tingkat konsumsi keluarga dapat diketahui dengan membandingkan antara rata-ratakonsumsi gizi aktual
23
keluarga dengan rata-rata angka kecukupan gizi keluarga yang dianjurkan, dinyatakan dengan persen.
RTKG =
RAKGi Aktual RAKGi
x 100 %
RTKG = Rata-rata tingkat konsumsi gizi keluarga RAKGi aktual = Rata-rata angka konsumsi zat i gizi i aktual keluarga RAKGi = Rata-rata angka kecukupan gizi i yang dianjurkan Analisis terhadap akses pangan secara ekonomi didasarkan kepada pengeluaran total sebagai cerminan pendapatan yang sebenarnya dan pengeluaran pangan sebagai kemampuan dalam membeli pangan (Sajogyo dalam Hildawati 2008). Akses pangan secara sosial didasarkan pada jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, serta pengetahuan gizi ibu. Pengkategorian variabel penelitian ini meliputi karakteristik keluarga, akses pangan secara sosial, akses pangan secara ekonomi, dan tingkat konsumsi energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2Pengkategorian variabel penelitian No. 1.
2.
3.
4.
Variabel Usia ayah dan ibu (tahun)
Besar Keluarga (orang) Pendidikan ayah dan ibu
Pengetahun Gizi Ibu (%)
5.
Pengeluaran Total
6.
Pengeluaran Pangan
7.
Akses Pangan (%)
8.
Tingkat Konsumsi Energi dan Protein (%)
Kategori Dewasa awal: 19-29 Dewasa sedang: 30-49 Dewasa lanjut: 50-64 Manula: >=65 Keluarga kecil: ≤ 4 Keluarga sedang: 5-6 Keluarga besar: ≥ 7 Rendah: < SD (< 6 tahun) Sedang: tamat SD-SLTP (6-9 tahun) Tinggi: > SLTP (> 9 tahun) Rendah: < 60 Sedang: 60-80 Tinggi: > 80 Rendah:
20%GK Rendah: 20%GK Rendah: <0,36 Sedang: 0,36-0,68 Tinggi: >=0,68 Defisit tingkat berat : <70 Defisit tingkat sedang : 70-79 Defisit tingkat ringan : 80-89 Normal : 90-119 Lebih : >120
Sumber WNPG (2000)
BKKBN (1998)
BPS (2007)
Khomsan (2000) Romdiati dalam WNPG (2000) Romdiati dalam WNPG (2000) Departemen Pertanian (2008)
Depkes (1996)
Metode yang digunakan untuk menentukan akses pangan diawali dengan melakukan pengolahan terhadap akses pangan secara sosial dan akses pangan
24
secara ekonomi. Akses pangan secara sosial terdiri dari jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, dan pengetahuan gizi ibu. Jumlah anggota keluarga merupakan salah satu komponen akses sosial, yang dikriteriakan menjadi keluarga besar, sedang, dan kecil. Akses sosial keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarganya dibagi menjadi tiga ketegori, yakni akses sosial tergolong rendah apabila jumlah anggota keluarganya besar, akses sosial tergolong sedang apabila jumlah anggota keluarganya tergolong sedang, sedangkan akses sosial tergolong tinggi apabila jumlah anggota keluarganya tergolong kecil. Akses pangan tergolong rendah diberi kode 1, akses pangan sedang diberi kode 2, dan akses pangan tinggi diberi kode 3. Skoring untuk akses pangan rendah adalah 0, akses pangan sedang diberi skor 1, dan akses pangan tinggi diberi skoring 2. Pendidikan ayah dan ibu juga merupakan salah satu komponen akses sosial, yang dikriteriakan menjadi pendidikan rendah, sedang, dan tinggi. Akses sosial keluarga berdasarkan pendidikan ayah dan ibu dibagi menjadi tiga ketegori, yakni akses sosial rendah apabila pendidikan ayah dan ibu tergolong rendah, akses sosial tergolong sedang apabila pendidikan ayah dan ibu tergolong sedang pula, sedangkan akses sosial tergolong tinggi apabila pendidikan ayah dan ibu tergolong tinggi. Akses pangan tergolong rendah diberi kode 1, akses pangan sedang diberi kode 2, dan akses pangan tinggi diberi kode 3. Skoring untuk akses pangan rendah adalah 0, akses pangan sedang diberi skor 1, dan akses pangan tinggi diberi skoring 2. Pengetahuan gizi ibu juga merupakan salah satu komponen akses sosial, yang dikriteriakan menjadi pengetahuan gizi rendah, sedang, dan tinggi. Data pengetahuan gizi ibu didapatkan dengan metode wawancara melaui kuesioner (Lampiran 1). Jumlah pertanyaan yang diajukan sebanyak terdiri dari 10 pertanyaan mengenai pengetahuan gizi secara umum, apabila jawaban benar akan mendapat skor 1 dan jika jawaban salah akan mendapat skor 0. Total skor pengetahuan gizi akan dikategorikan menjadi tiga kelompok berdasarkan Khomsan (2000) yaitu: kurang (persentase nilai <60%), sedang (persentase nilai 60-80%), dan tinggi (persentase nilai >80%). Akses sosial keluarga berdasarkan pengetahuan gizi ibu dibagi menjadi tiga ketegori, yakni akses sosial rendah apabila pengetahuan gizi ibu tergolong rendah, akses sosial tergolong sedang apabila pengetahuan gizi ibu tergolong sedang pula, sedangkan akses sosial tergolong tinggi apabila pengetahuan gizi ibu tergolong tinggi. Skoring Akses
25
pangan tergolong rendah diberi kode 1, akses pangan sedang diberi kode 2, dan akses pangan tinggi diberi kode 3. Skoring untuk akses pangan rendah adalah 0, akses pangan sedang diberi skor 1, dan akses pangan tinggi diberi skoring 2. Akses pangan secara ekonomi berdasarkan pengeluaran keluarga digolongkan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan secara ekonomi digolongkan berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Ciamis (BPS 2010). Akses pangan tergolong rendah apabila total pengeluaran keluarga kurang dari garis kemiskinan. Berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan, apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka akses pangan rendah. Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis kemiskinan maka tergolong tidak miskin, atau akses pangan sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan maka dikatakan tidak miskin, dan lebih tinggi diatas garis kemiskinan sehingga digolongkan menjadi akses pangan tinggi, begitu pun halnya dengan komponen akses pangan berdasarkan pengeluaran pangan per kapita per bulan yang dibandingkan dengan garis kemiskinan makanan. Akses pangan tergolong rendah diberi kode 1, akses pangan sedang diberi kode 2, dan akses pangan tinggi diberi kode 3. Skoring untuk akses pangan rendah adalah 0, akses pangan sedang diberi skor 1, dan akses pangan tinggi diberi skoring 2. Hasil skoring masing-masing komponen kemudian dirange antara 0-100. Akses pangan keseluruhan merupakan gabungan dari komponen-komponen dimensi akses pangan dalam range 0-100. Hasil gabungan range akses pangan tersebut ditransformasikan kedalam indeks. Adapun indeks akses pangan: Indeks akses pangan =
Total komponen-skor min
Skor Maks-skor min
Akses pangan dikriteriakan berdasarkan indeks akses pangan, yakni akses pangan tergolong rendah apabila indeks kompositnya kurang dari 0,36; akses pangan tergolong sedang apabila indenks kompositnya berada diantara 0,36-0,68; sedangkan akses pangan tergolong tinggi apabila indeks komposit akses pangan lebih dari sama dengan 0,68 (Departemen Pertanian 2008). Definisi Operasional Desa mandiri pangan adalah desa yang mendapatkan program mandiri pangan minimal empat tahun atau telah mencapai tahap kemandirian dihitung sejak tahun 2006.
26
Keluarga penerima program adalah keluarga yang telah mendapatkan program selama minimal empat tahun, tinggal di desa penerima program mandiri pangan, telah menikah, status rumah milik sendiri, pendidikan ayah setingkat SD, dinding terluas terbuat dari bambu, lantai terluas terbuat dari bambu/kayu, penerangan rumah memakai listrik PLN, dan sumur sebagai sumber air minum. Keluarga bukan penerima program adalah keluarga tergolong miskin yang tinggal di desa yang tidak mendapatkan program mandiri pangan, wilayahnya memiliki karakteristik yang sama dengan keluarga pada kelompok penerima, merupakan wilayah yang tergolong memiliki persentase penduduk miskin terbanyak, serta termasuk dalam kriteria inklusi, yaitu: 1) Keluarga dengan status perkawinan menikah, 2) Pendidikan ayah setingkat SD, 3) Status kepemilikan rumah adalah miliki sendiri, 4) Dinding terluas terbuat dari bambu, 5) Lantai terluas terbuat dari bambu/kayu, 6) Penerangan rumah memakai listrik PLN, 7) Sumur sebagai sumber air minum, dan 8) Keluarga tergolong miskin berdasarkan data kemiskinan (data sosial, tenaga kerja, dan transmigrasi daerah setempat tahun 2010). Pekerjaan ayah adalah macam pekerjaan yang dilakukan atau ditugaskan kepada ayah contoh dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Usia ayah dan ibu adalah angka yang menunjukkan lamanya hidup ayah dan ibu contoh yang dikelompokan menjadi tiga kelompok kedewasaan. Berdasarkan WNPG (2000) usia dewasa dikelompokan menjadi usia dewasa awal, dewasa sedang, dewasa lanjut, dan manula. Usia seseorang tergolong dewasa awal apabila tergolong usia antara 19-29 tahun, usia tergolong dewasa sedang apabila seseorang berusia antara 30-49 tahun. Usia seseorang tergolong dewasa lanjut apabila usianya berada diantara umur 50-64 tahun, sedangkan seseorang tergolong manula apabila seseorang berusia lebih sama dengan 65 tahun. Akses pangan adalah kemampuan keluarga dalam memperoleh pangan yang diukur dari komposit komponen akses ekonomi (pengeluaran total dan pengeluaran pangan per kapita per bulan) dan akses sosial (jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu, dan
27
pengetahuan gizi ibu) yang kemudian dikategorikan berdasarkan indeks
akses
pangan.
Indeks
akses
pangan
dihitung
dari
pembagian antara skor hasil pengurangan total komponen dan nilai minimum dengan skor maksimum. Berdasarkan nilai indeks tersebut, akses pangan digolongkan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan tergolong rendah apabila indeks kompositnya kurang dari 0,36; akses pangan tergolong sedang apabila indeks kompositnya berada diantara 0,36-0,68; sedangkan akses pangan tergolong tinggi apabila indeks komposit akses pangan lebih dari sama dengan 0,68 (Departemen Pertanian 2008). Akses
pangan
secara
sosial
adalah
kemampuan
keluarga
contoh
dalammemperoleh pangan yang ditentukan oleh jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu, dan pengetahuan gizi ibu. Akses pangan secara ekonomi adalah kemampuan keluarga dalam membeli bahan pangan berdasarkan pendekatan pengeluaran per kapita per bulan yang dikategorikan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan tergolong rendah, sedang, dan tinggi apabila total pengeluaran keluarga tergolong rendah, sedang, dan tinggi. Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya jumlah anggota dalam suatu keluarga yang digolongkan menjadi tiga golongan, yakni keluarga kecil dengan jumlah anggota kurang dari atau sama dengan empat, sedang dengan jumlah anggota keluarganya lima sampai enam orang, dan banyak jika jumlah anggota keluarganya lebih dari atau sama dengan tujuh orang. Pendidikan ayahdan ibu adalah jenjang formal yang telah ditempuh oleh ayah dan ibu contoh dalam mendapatkan pengetahuan berdasarkan kategori pendidikan rendah (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/sederajat hinggan tamatSLTP/sederajat),
dan
pendidikan
tinggi
(diatas
SLTP/sederajat). Pengetahuan gizi ibu adalah wawasan yang dimiliki oleh seorangibu terkait pangan dan gizi secara umum, yang didapatkan dengan metode wawancara melaui kuesioner. Jumlah pertanyaan yang diajukan
28
sebanyak terdiri dari 10 pertanyaan mengenai pengetahuan gizi secara umum, apabila jawaban benar akan mendapat skor 1 dan jika jawaban salah akan mendapat skor 0. Total skor pengetahuan gizi akan dikategorikan menjadi tiga kelompok berdasarkan Khomsan (2000) yaitu: kurang (persentase nilai <60%), sedang (persentase nilai 60-80%), dan tinggi (persentase nilai >80%). Pengeluaran total per kapita per bulan adalah banyaknya uang yang dikeluarkan keluarga untuk keperluan pangan dan non pangan anggota keluarga selama satu bulan yang dikategorikan menjadi pengeluaran rendah, sedang, dan tinggi. Pengkategorian tersebut berdasarkan garis kemiskinan makanan Kabupaten Ciamis Rp 193652 (BPS 2010). Pengeluaran tergolong rendah apabila total pengeluaran keluarga per kapita per bulan kurang dari garis kemiskinan.
Berdasarkan
jarak
pengeluaran
terhadap
garis
kemiskinan, apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka tergolong miskin atau rendah. Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis kemiskinan maka tergolong tidak miskin, atau akses pangan sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan maka dikatakan tidak miskin,
dan
lebih
tinggi
diatas
garis kemiskinan
sehingga
digolongkan menjadi akses pangan tinggi. Pengeluaran pangan per kapita per bulan adalah banyaknya uang yang dikeluarkan keluarga untuk keperluan pangan anggota keluarga selama satu bulan yang dikategorikan menjadi pengeluaran rendah, sedang, dan tinggi. Pengkategorian tersebut berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Ciamis Rp115010 (BPS 2010). Pengeluaran tergolong rendah apabila total pengeluaran pangan keluarga per kapita per bulan kurang dari garis kemiskinan. Berdasarkan jarak pengeluaran
pangan
terhadap
garis
kemiskinan,
apabila
pengeluaran pangan berada dibawah garis kemiskinan makanan maka tergolong miskin dan tergolong
pengeluaran rendah.
Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis kemiskinan maka tergolong tidak miskin, digolongkan menjadi pengeluaran sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20% garis
29
kemiskinan maka dikatakan tidak miskin, dan lebih tinggi diatas garis kemiskinan sehingga digolongkan menjadi pengeluaran tinggi. Konsumsi pangan contoh adalah Informasi pangan yang diukur berdasarkan jumlah pangan baik tunggal maupun beragam yang dikonsumsi contoh dengan metode recall 1x24 jam. Kandungan energi dan protein yang dikonsumsi dilihat dari kandungan energi dan zat gizi pangan dalam DKBM. Rataan kandungan energi dan protein pangan dibandingkan dengan AKE dan AKP (per orang per hari) yang dianjurkan (WNPG 2004). Tingkat konsumsi energi adalah persentase perbandingan antara jumlah energi yang dikonsumsi keluarga (aktual) dengan angka rata-rata konsumsi energi keluarga yang dianjurkan. Rata-rata angka ratarata konsumsi energi keluarga yang dianjurkan dihitung dari ratarata kebutuhan energi individu dalam setiap keluarga. Angka kebutuhan energi individu dihitung dengan membandingkan berat badan aktual dengan berat badan ideal berdasarkan jenis kelamin yang dikalikan dengan angka kebutuhan energi yang tercantum dalam AKE (WNPG 2004). Tingkat konsumsi protein adalah persentase perbandingan antara jumlah protein yang dikonsumsi keluarga (aktual) dengan angka rata-rata konsumsi protein keluarga yang dianjurkan. Rata-rata angka konsumsi protein keluarga dihitung dari total kebutuhan protein individu dalam setiap keluarga. Angka kebutuhan protein individu dihitung dengan membandingkan berat badan aktual dengan berat badan ideal berdasarkan jenis kelamin yang dikalikan dengan angka kebutuhan protein yang tercantum dalam AKP (WNPG 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Desa Ciparigi Wilayah Desa Ciparigi menurut data umum dan geografis merupakan salah satu desa di Kecamatan Sukadana, yang berbatasan dengan Kecamatan Cisaga dan Kecamatan Cijeungjing. Desa Ciparigi berbatasan pula dengan Desa Salakaria di sebelah utara, Desa Danasari di sebelah selatan, Desa Karanganyar di sebelah barat, dan Desa Bunter di sebelah timur. Luas Wilayah Desa Ciparigi adalah 843,361 Ha, dengan ketinggian wilayah Desa Ciparigi dari permukaan laut adalah 300 m. Memiliki curah hujan dengan hari terbanyak 99 hari dengan volume curah hujan per tahun 330 mm. Adapun jumlah dusun di Desa Ciaprigi adalah 6 dusun, yang terdiri dari 39 RT dan 12 RW dengan jumlah penduduk pada
Mei
2011adalah1127
kepala
keluarga.
Sebaran
penduduk
Desa
Ciaprigimenurut usia, menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Ciparigi termasuk usia 15 tahun ke atas (BKP 2009a). Desa Sukadana Desa Sukadana merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Sukadana yang berbatasan dengan Desa Margajaya di sebelah utara, Desa Margaharja di sebelah timur, Desa Salakaria di sebelah selatan, dan Desa Cipaku di sebelah barat. Luas wilayah Desa Sukadana adalah 767.049 Ha, yang terdiri dari 8 dusun dengan 40 RT dan 19 RW dengan jumlah penduduk 1426 kepala keluarga pada Mei 2011. Ketinggian wilayah Desa Sukadana dari permukaan laut kurang lebih 500 m. Rata-rata curah hujan antra 2685 ml/thn. Sebaran penduduk berdasarkan usia menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk berusia 71 tahun ke atas (KPH Ciamis 2011). Karakteristik Penduduk Desa Ciparigi dan Sukadana Pendidikan Berdasarkan Gambar 3, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan sebagian besar penduduk Desa Ciparigi adalah tamat SD (44,0%). Terdapat pula 31,6% penduduk dengan pendidikan tamat SLTP; 17,7% penduduk yang tamat SLTA; dan sebagian kecil penduduk yakni: 3,5% merupakan lulusan S1; 2,1% lulusan D1-D3; dan 1,1% tidak tamat SD (BKP 2009a). Adapun tingkat pendidikan pada sebagian besar penduduk Desa Sukadana (53,0%) adalah tamatan SLTA; 22,0% penduduk dengan pendidikan tidak tamat SD; 11,0% penduduk dengan pendidikan tamat SD; 8,0% penduduk merupakan tamat
31
SLTP; dan sebagian kecil diantaranya merupakan lulusan D1-D3 (5,0%); dan 2,0% merupakan lulusan S1-S2 (KPH Ciamis 2011). 60,0
53,0
50,0
44,0
40,0 30,0
31,6 22,1 17,8
20,0 11,0 10,0
8,0
1,1
2,0
0,6 1,0
1,4
D1
D2
1,1
2,0 2,5
0,5 0,0 0,5
0,0 Tidak Tamat Tamat Tamat tamat SD SLTP SLTA SD Ciparigi
D3
S1
S2
Sukadana
Gambar 3Bagan sebaran penduduk Desa Ciparigi dan Desa Sukadana berdasakan tingkat pendidikan dalam persentase
Rata-rata terbesar tingkat pendidikan penduduk Desa Ciparigi apabila dibandingkan dengan rata-rata terbesar tingkat pendidikan penduduk Desa Sukadana, diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk Desa Sukadana lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan penduduk Desa Ciparigi. Terdapat sebagian kecil penduduk Desa Sukadana yang memiliki tingkat pendidikan lulus S2, sedangkan di Desa Ciparigi tidak terdapat penduduk yang memiliki tingkat pendidikan S2. Penduduk yang tidak tamat SD lebih banyak terdapat di Desa Sukadana, dibandingkan di Desa Ciparigi. Pekerjaan Berdasarkan Gambar 4, dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk di Desa Ciparigi (51,1%) bekerja sebagai buruh tani. Terdapat pula (24,1%) penduduk yang bekerja sebagai petani; (11,3%) penduduk bekerja sebagai buruh non tani; pedagang (9,4%); dan diantaranya yakni (3,1%) penduduk bekerja sebagai PNS; dan sebagian kecil (0,8%) penduduk bekerja dibidang jasa. Tidak terdapat penduduk yang tidak memeiliki pekerjaan di Desa Ciparigi (BKP 2009a). Sebagian besar penduduk di Desa Sukadana (58,0%) bekerja sebagai buruh tani, dan terdapat pula (17,8%) yang bekerja dibidang jasa seperti tukang ojeg dan penjahit (KPH Ciamis 2011). Penduduk yang bekerja sebagai
32
petani di Desa Sukadana hanya (8,5%), dan terdapat (6,6%) pedagang; dan sebagian kecil pekerjaan penduduk yakni (3,1%) penduduk bekerja sebagai PNS/ABRI. Terdapat pula penduduk yang tidak bekerja yakni sebesar (6,0%). 58,0
60,0
51,1
50,0 40,0 30,0
24,2 17,8
20,0 8,5 10,0
9,5 6,6
11,3 0,0
0,8
6,1 3,1 3,1 0,0
0,0
Ciparigi
Sukadana
Gambar 4Sebaran penduduk Desa Ciparigi dan Desa Sukadana berdasarkan pekerjaan dalam persentase
Perbandingan pekerjaan penduduk antara Desa Ciparigi dan Desa Sukadana menunjukkan bahwa, penduduk yang bekerja sebagai buruh tani, jasa, dan penduduk yang tidak bekerja lebih banyak terdapat di Desa Sukadana dibandingkan dengan penduduk Desa Ciparigi. Penduduk yang bekerja sebagai petani, pedagang, buruh non tani, dan PNS/ABRI pada kedua desa, lebih banyak terdapat di Desa Ciparigi dibandingkan dengan Desa Sukadana. Karakteristik Keluarga Usia Ayah dan Ibu Berdasarkan WNPG (2004) usia dewasa dikelompokan menjadi usia dewasa awal, dewasa sedang, dewasa lanjut, dan manula. Usia seseorang tergolong dewasa awal apabila seseorang tergolong berusia antara 19-29 tahun, usia tergolong dewasa sedang apabila seseorang berusia antara 30-49 tahun. Usia seseorang tergolong dewasa lanjut apabila usianya berada pada kisaran umur 50-64 tahun, sedangkan usia seseorang tergolongmanula apabila berusia lebih dan atau sama dengan 65 tahun. Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar (42,9%) usia ayah pada keseluruhan contoh tergolong dewasa lanjut, dan terdapat (34,5%) contoh dengan usia ayah yang tergolong dewasa sedang.
33
Sebagian kecil (22,5%) contoh dengan usia ayah tergolong manula, dan tidak terdapat contoh dengan usia ayah yang tergolong dewasa awal. Adapun kisaran umur ayah pada keseluruhan contoh antara 31-80 tahun dengan rata-rata usia 30,4±11,7 tahun. Tabel 3Sebaran contoh berdasarkan usia ayah Usia Ayah Dewasa awal (19-29 th) Dewasa sedang (30-49 th) Dewasa Lanjut (50-64 th) Manula (>=65) Total Rata-rata
Penerima n
%
0 0,0 18 42,9 18 42,9 6 14,3 42 100,0 50,4±11,0
Bukan Penerima n
Total
%
0 0,0 11 26,2 18 42,9 13 31,0 42 100,0 57,4±11,5
n
%
0 0,0 29 34,5 36 42,9 19 22,6 84 100,0 30,4±11,7
Usia ayah pada kelompok penerima (42,9%) masing-masing tergolong usia dewasa sedang dan lanjut dan sebagian kecil (14,3%) tergolong manula. Rata-rata usia ayah pada kelompok penerima adalah 50,4±11,0 tahun. Usia ayah pada kelompok bukan penerima sebagian besar (42,9%) tergolong dewasa lanjut, terdapat (31,0%)keluarga dengan usia ayah yang tergolong manula. Sebagian kecil (26,2%) keluarga dengan usia ayah yang tergolong dewasa sedang. Adapun rata-rata usia ayah pada kelompok bukan penerima adalah 57,4±11,5 tahun. Persentase keluarga dengan usia ayah yang tergolong dewasa sedang lebih tinggi pada kelompok penerima dibandingkan kelompok bukan penerima, sedangkan persentase keluarga dengan usia ayah yang tergolong manula lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima. Persentase usia ayah yang tergolong dewasa lanjut antara kelompok penerima dan bukan penerima adalah sama. Adapun rata-rata usia ayah pada kelompok bukan penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok penerima program. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara usia ayah pada kelompok penerima dan bukan penerima program. Tabel 4Sebaran contoh berdasarkan usia ibu Usia Ibu Dewasa awal (19-29 th) Dewasa sedang (30-49 th) Dewasa Lanjut (50-64 th) Manula (>=65) Total Rata-rata
Penerima n % 5 11,9 22 52,4 14 33,3 1 2,4 42 100,0 43,5±10,0
Bukan Penerima n % 2 4,8 18 42,9 18 42,9 4 9,5 42 100,0 49,1±11,2
Total n % 7 8,3 40 47,6 32 38,1 5 6,0 84 100,0 46,3±11,0
34
Tabel 4 menunjukkan bahwa, sebagian besar (47,6%) usia ibu pada keseluruhan
contoh
tergolong
dewasa
sedang,
dan
terdapat
(38,1%)
contohdengan usia ibu yang tergolong dewasa lanjut. Terdapat pula (8,3%) contoh dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal, dan hanya sebagian kecil (5,6%) contoh dengan usia ibu yang tergolong manula. Adapun rata-rata usia ibu adalah 46,3±10,9 tahun dengan kisaran umur antara 30-70 tahun. Usia ibu pada kelompok penerima program sebagian besar (52,4%) tergolong dewasa sedang, terdapat (33,3%)keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa lanjut. Terdapat pula (11,9%)keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal, dan sebagian kecil (2,4%) keluarga dengan usia ibu yang tergolong manula. Adapun rata-rata usia ibu pada kelompok penerima program adalah 43,5±10,0 tahun. Usia ibu pada kelompok bukan penerima program masing-masing (42,9%) tergolong usia dewasa sedang dan lanjut, terdapat (9,5%)keluarga dengan usia ibu yang tergolong manula dan sebagian kecil (4,8%) keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal. Adapun ratarata usia ibu pada kelompok bukan penerima program adalah 49,1±11,2tahun. Persentase keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa awal dan sedang lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan kelompok bukan penerima program desa mandiri pangan. Hal tersebut berbeda pada persentase keluarga dengan usia ibu yang tergolong dewasa lanjut dan manula yang lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program. Adapun rata-rata usia ibu pada kelompok bukan penerima lebih tinggi dibandingkan rata-rata usia ibu pada kelompok penerima program desa mandiri pangan. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara usia ibu pada kelompok penerima dan bukan penerima program. Pekerjaan Ayah Sebagian besar (38,1%) pekerjaan ayah pada keseluruhan contoh adalah buruh tani, dan terdapat (28,6%) contoh dengan pekerjaan sebagai petani. Sebagian kecil yakni (1,2%) merupakan persentase contoh dengan pekerjaan ayah sebagai PNS dan tidak bekerja. Menurut Nurmanaf et. al. (2004), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008) dalam Susilowati et. al. (2010) pekerjaan dibidang pertanian lebih banyak di wilayah pedesaan. Adapun sektor pertanian menurut Nurmanaf et. al. (2004), Rusastra et. al (2005), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008) dalam Susilowati et. al. (2010) pekerjaan disektor pertanian
35
lebih didominasi oleh tenaga kerja berumur 25-45 tahun, sedangkan tenaga kerja muda lebih banyak bekerja diluar sektor pertanian. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini: Tabel 5Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah Jenis Pekerjaan Tidak bekerja Petani Pedagang Buruh tani Buruh non tani PNS/ABRI/Polisi Jasa Lainnya Total
Penerima n % 0 0,0 16 38,1 6 14,3 14 33,3 1 2,4 1 2,4 2 4,8 2 4,8 42 100,0
Bukan Penerima n % 1 2,4 8 19,1 6 14,3 18 42,9 2 4,8 0 0,0 4 9,5 3 7,1 42 100,0
Total n % 1 1,2 24 28,6 12 14,3 32 38,1 3 3,6 1 1,2 6 7,1 5 6,0 84 100
Berdasarkan Tebel 5 dapat diketahui bahwa, sebagian besar (38,1%) ayah
pada
kelompok
penerima
bekerja
sebagai
petani,
dan
terdapat
(33,3%)keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai buruh tani. Terdapat pula (14,3%)keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai pedagang, dan masing-masing (4,8%)keluarga dengan pekerjaan ayah dibidang jasa dan lainnya. Pekerjaan dibidang jasa seperti tukang ojeg, supir, penjahit, dan pembuat sumur sedangkan jenis pekerjaan lain diantaranya pemulung, ketua rukun warga, ketua rukun tetangga, dan juru tulis desa. Sebagian kecil (2,4%) masing-masing keluarga bekerja sebagai buruh non tani dan PNS. Tidak terdapat ayah dengan status pekerjaan tidak bekerja pada kelompok penerima program desa mandiri pangan. Sebagian besar (42,9%) pekerjaan ayah pada kelompok bukan penerima program adalah buruh tani. Terdapat sebanyak (19,1%) keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai petani, terdapat pula (14,3%)keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai pedagang, dan sebanyak (9,5%) bekerja dibidang jasa, serta (7,1%)keluarga
dengan
pekerjaan
ayah
dibidang
lainnya.
Terdapat
(4,8%)keluarga dengan pekerjaan ayah yang sebagai buruh non tani, dan terdapat pula sebagian kecil (2,4%) keluarga degan status pekerjaan ayah yang tidak bekerja. Persentase keluarga dengan pekerjaan ayah sebagai petani dan PNS lebih tinggi pada kelompok penerima program dibandingkan kelompok bukan penerima program, sedangkan persentase keluarga dengan pekerjaan ayah yang tidak bekerja, buruh tani, buruh non tani, jasa, dan lainnya lebih tinggi pada
36
kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program desa mandiri pangan. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara pekerjaan ayah pada kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Akses Pangan Akses pangan keluarga diartikan sebagai kemampuan suatu keluarga untuk memperoleh pangan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Adapun dalam mewujudkan hal tersebut akses pangan dipengaruhi oleh beberapa aspek diantaranya akses fisik, akses ekonomi, dan akses sosial (Departemen Pertanian 2008). Akses fisik bersifat kewilayahan karena dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan dan produksi pangan serta sarana dan prasarana infrastruktur dasar seperti akses jalan, pasar, dan transportasi yang mendukung lancarnya distribusi pangan. Hal tersebut diduga menjadi penyebab hasil uji reliabelitas terhadap akses fisik menjadi sama karena karakteristik kewilayahaan di kedua desa hampir sama, sehingga akses fisik tidak menjadi variabel yang diukur dalam penelitian ini. Akses pangan sosial antara lain dipengaruhi oleh pendidikan (Departemen Pertanian 2008). Hildawati (2008) menambahkan jumlah anggota keluarga dalam dimensi akses sosial. Menurut Departemen Pertanian (2008) akses pangan secara ekonomi ditentukan oleh banyaknya penduduk miskin dan daya beli terhadap pangan. Besar kecilnya penduduk miskin dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur melalui pengeluaran per kapita per bulan. Keragaan akses pangan dibagi menjadi tiga kategori yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Semakin tinggi akses pangan suatu keluarga maka keluarga tersebut akan semakin mudah dalam nemperoleh pangan. Akses pangan secara sosial antara lain dipengaruhi oleh pendidikan (Departemen Pertanian 2008). Hildawati (2008) menambahkan jumlah anggota keluarga dalam dimensi akses sosial. Akses sosial adalah kemampuan keluarga untuk mendapatkan pangan agar mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang dilihat dari jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah dan ibu, serta pengetahuan gizi ibu. Akses pangan berdasarkan dimensi akses sosial dikatergorikan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi.
37
Jumlah Anggota Keluarga Menurut Sukandar (2009) jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga dalam sebuah keluarga yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama.Berdasarkan jumlah anggota keluarga, suatu keluarga digolongkan menjadi keluarga besar, sedang, dan kecil (BKKBN 1998). Keluarga tergolong besar apabila jumlah anggota keluarga lebih dari sama dengan tujuh orang, apabila suatu keluarga berjumlah lima sampai enam orang, keluarga digolongkan menjadi keluarga sedang. Keluarga digolongkan sebagai keluarga kecil apabila jumlah anggota keluarga kurang dari sama dengan empat orang. Menurut Hildawati (2008) semakin kecil suatu keluarga maka semakin mudah akses pangan keluarga dalam memperoleh pangan. Hal tersebut dijelaskan oleh Sanjur (1982) bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keuarga. Akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan jumlah anggota keluarga dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan tergolong rendah apabila jumlah anggota keluarga tergolong besar, akses pangan tergolong sedang apabila jumlah anggota keluarga tergolong sedang, dan akses pangan tergolong tinggi apabila jumlah anggota keluarga kecil (Hildawati 2008). Tabel 6Sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga Jumlah Anggota Keluarga Keluarga Kecil: ≤ 4 Keluarga Sedang: 5-6 Keluarga Besar: ≥ 7 Total Rata-Rata
Penerima Program n % 40 95,2 2 4,8 0 0,0 42 100,0 3,1±1,0
Bukan Penerima n % 39 92,9 3 7,1 0 0,0 42 100,0 2,8±1,0
Total n % 79 94,1 5 6,0 0 0,0 84 100,0 3,0±1,0
Tabel 6menunjukkan sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga, dapat diketahui bahwa sebagian besar (94,1%) keluarga dari keseluruhan contoh tergolong keluarga kecil dan sebagian kecil keluarga (6,0%) tergolong keluarga sedang. Tidak terdapat keluarga yang tergolong keluarga besar pada kedua kelompok. Rata-rata jumlah anggota keluarga pada keseluruhan contoh adalah 3,0±1,0 orang yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Adapun kisaran jumlah anggota keluarga antara 2-6 orang.
38
Berdasarkan Tabel 6dapat diketahui bahwa sebagian besar (95,4%) keluarga pada kelompok penerima program tergolong keluarga kecil, dan terdapat hanya sebagian kecil (4,8%) keluarga yang tergolong keluarga sedang. Adapun rata-rata jumlah anggota keluarga pada kelompok penerima adalah 3,1±1,0 orang. Begitupun halnya pada kelompok bukan penerima program, yang sebagian besar (92,9%) keluarga tergolong keluarga kecil dan terdapat hanya (7,1%) keluarga yang tergolong keluarga sedang. Adapun rata-rata jumlah anggota keluarga pada kelompok bukan penerima program adalah 2,8±1,0 orang. Persentase keluarga yang tergolong kecil pada kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima, namun persentase keluarga dengan jumlah anggota keluarga sedang lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program desa mandiri pangan Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa, sebagian besar keluarga (94,1%) dari keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan tinggi, dan (6,0%) tergolong akses pangan sedang. Akses pangan pada kelompok penerima sebagian besar (95,0%) tergolong akses pangan tinggi, dan terdapat hanya (4,8%) keluarga yang tergolong akses pangan sedang. Akses pangan pada kelompok bukan penerima sebagian besar (92,9%) tergolong akses pangan tinggi dan sebagian kecil (7,1%) tergolong akses pangan sedang. Tabel 7Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen jumlah anggota keluarga Akses Pangan Rendah Sedang Tinggi Total
Penerima n 0 2 40 42
% 0,0 4,8 95,2 100,0
Bukan Penerima n % 0 0,0 3 7,1 39 92,9 42 100,0
Total n % 0 0,0 5 6,0 79 94,1 84 100,0
Persentase keluarga dengan akses pangan tinggi, lebih tinggi pada kelompok
penerima
dibandingkan
kelompok
bukan
penerima
program,
sedangkan persentase keluarga dengan akses pangan sedang lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima program desa mandiri pangan. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen jumlah anggota keluarga antara kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan.
39
Pendidikan Ayah dan Ibu Menurut BPS (2007) pendidikan dikelompokan menjadi pendidikan rendah, sedang, dan tinggi. Pendidikan rendah (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/sederajat sampai tamat SLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/sederajat). Pendidikan ayah pada seluruh contoh sebagian besar (87,0%) adalah pendidikan sedang, sebanyak (9,2%) pendidikan ayah tergolong tinggi dan hanya (3,6%)ayah yang berpendidikan rendah. Rata-rata lama pendidikan ayah padakeseluruh contoh adalah 6,8±2,2 tahun dengan kisaran lamanya sekolah antara nol (tidak sekolah) sampai dengan 12 tahun. Tabel 8Sebaran contoh berdasarkan pendididkan ayah Pendidkan Ayah Rendah: < SD (< 6 tahun) Sedang: tamat SD-SLTP (6-9 tahun) Tinggi: > SLTP (> 9 tahun) Total Rata-rata
Penerima n % 1 2,4 35 83,3 6 14,3 42 100,0 7,4±2,3
Bukan Penerima n % 2 4,8 38 90,5 2 4,8 42 100,0 6,3±1,97
Total n % 3 3,6 73 86,9 8 9,5 84 100 6,8±2,2
Pendidikan ayah pada kelompok penerima didominasi oleh pendidikan sedang (83,3%) serta terdapat pula keluarga denganpendidikan ayah yang tergolong tinggi (14,3%) dan hanya terdapat (2,4%)ayah yang berpendidikan rendah. Rata-rata lama pendidikan ayah kelompok penerima program adalah 7,4±2,3 tahun. Sebagian besar pendidikan ayah pada kelompok bukan penerima adalah pendidikan sedang (90,5%), dan hanya terdapat (4,8%)ayah dengan pendidikan rendah dan tinggi. Rata-rata lamanya pendidikan ayah pada kelompok bukan penerima program
adalah
6,3±2,0 tahun. Persentase
pendidikan ayah yang tergolong rendah dan sedang, lebih tinggi persentasenya pada kelompok bukan penerima program dibandingkan dengan kelompok penerima program. Persentase ayah yang berpendidikan tinggi, lebih tinggi terdapat pada kelompok penerima program dibandingkan kelompok bukan penerima program. Akses pangan secara sosial salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah seseorang memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik, sehingga akses pangan seseorang akan menjadi lebih baik pula. Akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan pendidikan ayah dan ibu dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi (Departemen Pertanian 2008). Berdasarkan
40
Tabel9 dapat diketahui bahwa, sebagian besar (87,0%) keluarga pada keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan sedang, terdapat (9,5%) keluarga dengan akses pangan tinggi dan sebagian kecil (3,6%) keluarga dengan akses pangan rendah. Tabel 9Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pendidikan ayah Akses Pangan Rendah Sedang Tinggi Total
Peneriama n % 1 2,4 35 83,3 6 14,3 42 100,0
Bukan Penerima n % 2 4,8 38 90,5 2 4,8 42 100,0
Total n 3 73 8 84
% 3,6 86,9 9,5 100,0
Keluarga pada kelompok penerima sebagian besar tergolong memiliki akses pangan sedang (83,3%) dan (14,3%) keluarga yang tergolong akses tinggi, akses pangan tersebut digolongkan berdasarkan komponen pendidikan ayah. Akses pangan keluarga berdasarkan pendidikan ayah, pada kelompok bukan penerima sebagian besar tergolong sedang (90,5%) dan hanya (4,8%) keluarga masing-masing tergolong akses pangan tinggi dan rendah. Persentase keluarga yang memiliki akses pangan tinggi lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan berdasarkan komponen pendidikan keluarga antara kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Menurut Kasryno (2000) dalam Departemen Pertanian (2010) tenaga kerja pertanian di wilayah pedesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat sekolah, hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya akses pangan. Nurmanaf et. al. (2004), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008) dalam Departemen Pertanian (2010) menambahkan bahwa tamatan SD merupakan ciri dominan tenaga kerja di bidang pertanian dan di wilayah pedesaan. Tingkat pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang mampu mempengaruhi pemberian makan, pola konsumsi pangan, dan status gizi keluarga, serta berpengaruh pula dalam memperoleh tambahan pendapatan dan pekerjaan. Menurut BPS (2007) pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu, pendidikan rendah (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/sederajat sampai tamat
41
SLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/sederajat). Pendidikan sebagian besar Ibu dari keseluruhan contoh adalah pendidikan sedang dengan (86,9%) terdapat (9,5%) pendidikan ibu yang tergolong tinggi, dan pendidikan ibu yang tergolong rendah hanya (3,6%). Rata-rata lama pendidikan ibu pada seluruh contoh adalah 6,5±1,9 tahun dengan kisaran lamanya sekolah antara nol (tidak sekolah) sampai dengan 12 tahun. Tabel 10Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ibu Pendidkan Ibu Rendah: < SD (< 6 tahun) Sedang: tamat SD-SLTP (6-9 tahun) Tinggi: > SLTP (> 9 tahun) Total Rata-rata
Peneriama n 1
% 2,4
40
95,2
1 2,4 42 100,0 6,7±1,8
Bukan Penerima n % 0 0,0 42
100,0
0 0,0 42 100,0 6,3±2,0
Total n 3
% 3,6
73
86,9
8 9,5 84 100,0 6,5±2,0
Berdasarkan Tabel 10, diketahui bahwa sebagian besar pendidikan ibu pada kelompok penerima adalah pendidikan sedang (95,2%), sedangkan pendidikan rendah dan tinggi persentasenya sama yaitu (2,4%). Rata-rata lama pendidikan ibu pada kelompok penerima program adalah 6,7±1,8 tahun. Pendidikan ibu pada kelompok bukan penerima program seluruhnya tergolong berpendidikan sedang dengan rata-rata lamanya pendidikan adalah 6,3±2,0 tahun. Persentase pendidikan ibu yang tergolong rendah dan tinggi lebih banyak terdapat pada kelompok penerima program, dibandingkan dengan kelompok bukan penerima program. Persentase ibu yang berpendidikan sedang, lebih banyak terdapat pada kelompok bukan penerima program dibandingkan kelompok penerima program. Rata-rata lama pendidikan ayah lebih lama dibandingkan dengan ibu. Akses pangan secara sosial salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendididkan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin mudah seseorang memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik, sehingga akses pangan seseorang akan menjadi lebih baik pula. Akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan pendidikan ibu dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi (Departemen Pertanian 2008). Akses pangan berdasarkan pendidkan ibu sebagian besar keluarga contoh tergolong sedang (87,9%), dan terdapat keluarga dengan akses pangan tinggi sebesar (9,5%), sedangkan sebagian kecil (3,6%) akses pangan yang tergolong rendah.
42
Berdasarkan pendidikan ibu, akses pangan pada kelompok penerima sebagian besar tergolong sedang (95,3%), sedangkan sebagian kecilnya (2,4%) tergolong akses pangan rendah dan tinggi. Akses pangan keluarga pada kelompok bukan penerima seluruhnya (100,0%) tergolong sedang. Persentase akses pangan yang tergolong sedang pada kelompok bukan penerima lebih tinggi daripada kelompok penerima namun berbeda dengan akses pangan yang tergolong tinggi dan rendah, persentasenya lebih tinggi pada kelompok penerima. Hasil uji beda (Independent t-test) menunjukkan bahwa, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pendidikan ibu pada kelompok penerima dan bukan penerima program. Tabel 11Sebaran contoh berdasarkan akses pangan pendidikan ibu Peneriama
Akses Pangan
n 1 40 1 42
Rendah Sedang Tinggi Total
% 2,4 95,2 2,4 100,0
Bukan Penerima n % 0 0,0 42 100,0 0 0,0 42 100,0
Total n 3 73 8 84
% 3,6 86,9 9,5 100,0
Pengetahuan Gizi Ibu Menurut Sanjur (1982) pengetahuan gizi ibu merupakan pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, dan interaksi antara zat gizi terhadap staus gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi dikategorikan menjadi tiga kategori, yakni pengetahuan gizi rendah, sedang, dan tinggi. Pengetahuan gizi rendah apabila persentase jawaban benar terhadap seluruh pertanyaan kurang dari 60, sedangkan pengetahuan gizi yang sedang apabila persentase jawaban benar terhadap keseluruhan pertanyaan antara 60 sampai dengan 80. Pengetahuan gizi ibu tergolong tinggi apabila persentase jawaban benar terhadap seluruh pertanyaan lebih dari 80 (Khomsan 2000). Pengetahuan gizi ibu seluruh contoh 52,4% termasuk pengetahuan gizi sedang, dengan rata-rata skor 61,9±21,4. Tabel 12Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan gizi ibu Pengetahuan Gizi Ibu Rendah (<60) Sedang (60-80) Tinggi (>80) Total Rata-rata
Penerima n % 15 35,7 21 50,0 6 14,3 42 100,0 63,8±23,6
Bukan penerima n % 16 38,1 23 54,8 3 7,1 42 100,0 60,0±19,1
Total n % 31 36,9 44 52,4 9 10,7 84 100,0 61,9±21,2
Berdasarkan Tabel 12, Pengetahuan gizi ibu pada kelompok penerima program
sebagian
besar
(50,0%)
tergolong
sedang,
dan
terdapat
43
(35,7%)keluarga dengan pengetahuan gizi ibu yang tergolong rendah. Sebagian kecil (14,3%) keluarga tergolong memiliki pengetahuan gizi ibu yang tinggi. Ratarata skor pengetahuan gizi ibu pada kelompok penerima adalah 63,8±23,6. Pengetahuan gizi ibu pada kelompok bukan penerima program sebagian besar (54,8%) tergolong sedang, dan terdapat (38,1%) keluarga dengan pengetahuan gizi ibu yang tergolong rendah. Sebagian kecil (7,1%) keluarga tergolong memiliki pengetahuan gizi ibu yang tinggi. Rata-rata skor pengetahuan gizi ibu adalah 60,0±19,1. Persentase ibu yang memiliki pengetahuan gizi tinggi pada kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok bukan penerima, sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan gizi ibu yang tergolong sedang dan rendah lebih banyak terdapat pada kelompok bukan penerima dibandingkan kelompok penerima. Khomsan (2002) menyatakan bahwa walaupun keluarga memiliki daya beli cukup dan pangan juga tersedia, namun bila pengetahuan pangan dan gizinya masih rendah maka akan sulit bagi keluarga untuk dapat memenuhi konsumsi pangannya baik secara kuantitas maupun
kualitas. Menurut Susanto (1996)
dalam
ibu
Sihite
(2010)
pengetahuan
gizi
diperoleh
dari
pendidikan
formal/informal yang merupakan salah satu aspek sosial yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan dimensi akses pangan secara sosial. Semakin tinggi pengetahuan gizi, akses pangan akan semakin tinggi. Akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan pengetahuan gizi dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa, akses pangan berdasarkan pengetahuan gizi ibu pada seluruh contoh tergolong sedang (52,4%), terdapat 36,9% keluarga dengan akses pangan rendah, dan sebagian kecil (10,7%) keluarga dengan akses pangan tinggi. Tabel 13Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu Pengetahuan Gizi Ibu Rendah Sedang Tinggi Total Rata-rata
Penerima
Bukan penerima
n % 15 35,7 21 50,0 6 14,3 42 100,0 63,8±23,6
n % 16 38,1 23 54,8 3 7,1 42 100,0 60,0±19,1
Total n % 31 36,9 44 52,4 9 10,7 84 100,0 61,9±21,2
Sebagian besar akses pangan kelompok penerima (50,0%) tergolong akses pangan sedang, terdapat (35,7%) keluarga dengan akses pangan rendah, dan sebagian kecil (14,3%) keluarga dengan akses pangan tinggi. Keluarga pada
44
kelompok bukan penerima sebagian besar (54,8%) tergolong memiliki akses pangan sedang, terdapat (38,1%) keluarga dengan akses pangan rendah, dan hanya sebagian kecil (7,1%) keluarga dengan akses pangan tinggi. Persentase keluarga yang tergolong memiliki akses pangan yang tinggi pada kelompok penerima, lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok bukan penerima program. Akses pangan yang tergolong rendah persentasenya lebih tinggi pada kelompok bukan penerima dibandingkan pada kelompok penerima program. Hal tersebut diduga karena adanya informasi yang dapat menambah pengetahuan gizi ibu saat adanya program desa mandiri pangan, misalnya saat diadakannya pembinaan untuk sosialisasi gerakan makan beragam, bergizi, seimbang dan aman bagi Ibu hamil, menyusui, balita, dan anak sekolah. Hasil uji beda (Independent t-test) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu pada kelompok penerima dan bukan penerima. Menurut Departemen Pertanian (2008)akses pangan secara ekonomi ditentukan oleh banyaknya penduduk miskin dan daya beli terhadap pangan. Besar kecilnya penduduk miskin dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur melalui pengeluran per kapita per bulan. Pengeluaran Total Per Kapita Per Bulan Menurut BPS (2008) data pengeluaran keluarga dapat diindikasikan sebagai pendapatan keluarga. Data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi keluarga
dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif
tetap.Dikemukakan pula bahwa pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah, biasanya akan lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka, oleh karena itu, data pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya (Moho dan Wagner 1981 dalam Hildawati 2008). Pengeluaran keluarga dikelompokan menjadi pengeluaran pangan dan non pangan. Pengeluaran keluarga per kapita per bulan dihitung berdasarkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan seluruh anggota keluarga yakni kebutuhan pangan maupun non pangan dalam sebulan. Pengeluaran per kapita per bulan didapatkan dengan mengakumulasikan pengeluaran pangan dan nonpangan keluarga dengan pendekatan pengeluaran tahunan kemudian
45
dikonversikan dalam bulan. Setelah dikonversikan dalam bulan kemudian dibagi dengan banyaknya anggota keluarga. Tabel 14Rata-rata, minimal, dan maksimal pengeluaran keluarga contoh Statistik Pengeluaran total Penerima Bukan Penerima Total Nasional*) Pengeluaran Pangan Penerima Bukan Penerima Total Nasional*) Pengeluaran non pangan Penerima Bukan Penerima Total Nasional*) *) Data susenas 2010 diolah
Rata-rata
Min
Max
Sd
377958,3 239960,9 308959,6 370636,0
129900,0 48162,5 48162,5 -
847850,0 628117,0 847850,0 -
170417,0 111110,2 158942,0 -
179712,0 138485,5 159098,8 194545,0
67000,0 39175,0 39175,0 -
393567,0 294150,0 393567,0 -
70389,6 56831,1 66880,2 -
198246,3 101475,4 149860,9 176091,0
23900,0 8987,5 8987,5 -
487100,0 385533,0 487100,0 -
122950,2 74438,4 112133,1 -
Rata-rata pengeluaran total nasional adalah sebesar Rp370636 dengan rata-rata pengeluaran pangan dan non pangan berturut-turut adalah sebesar 194545,0 dan 176091,0 rupiah. Adapun rata-rata pengeluaran total keluarga per kapita per bulan seluruh contoh adalah 308959,6±158942,0 rupiah dengan kisaran pengeluaran antara 129900,0-847850,0 rupiah (Tabel 14). Rata-rata pengeluaran pangan dan non pangan pada seluruh contoh, berturut-turut adalah 159098,8±66880,2 dan 149860,9±112133,1 rupiah. Rata-rata pengeluaran pangan dan non pangan keluarga per kapita per bulan pada kelompok penerima berturut-turut 179712±70389,6 dan 198246,3±122950,2 rupiah. Adapun rata-rata total pengeluaran keluarga per kapita per bulan pada kelompok penerima adalah 377958,3±170417,0 rupiah. Rata-rata pengeluaran pangan dan non pangan pangan dan non pangan keluarga per kapita per bulan pada kelompok bukan penerima berturut-turut 138485,5±56831,1 dan 101475,4±74438,4 rupiah, dengan total pengeluaran per kapita per bulan adalah 239960,9±111110,2 rupiah. Rata-rata pengeluaran total, pangan, dan non pangan keluarga pada kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima. Rata-rata pengeluaran total dan pengeluaran non pangan per kapita per bulan kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan rata-rata pengeluaran total dan non pangan per kapita per bulan pada kelompok bukan penerima, total, dan nasional, berbeda halnya dengan rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan secara nasional yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata pengeluaran
46
pangan per kapita per bulan pada kelompok penerima, bukan penerima, dan total. Perbedaan rata-rata pendapatan yang diukur melalui pengeluaran antara kelompok penerima dan kelompok bukan penerima program mengindikasikan adannya dampak program Desa Mandiri Pangan dalam meningkatkan pendapatan. Hal tersebut sesuai dengan kajian Suryahadi (2007) dalam Bappenas (2007a) dampak suatu program dapat diketahui dengan melihat selisih indikator antara kelompok penerima dan bukan penerima program. Perbedaan pendapatan tersebut merupakan dampak yang diharapkan terjadi dalam suatu program, adapun perbedaan pendapatan antara kelompok penerima dan bukan penerima adalah Rp 137997,4 yang artinya dengan adanya program Desa Mandiri Pangan, keluarga penerima dapat memiliki rata-rata pendapatan per kapita per bulan Rp 137997,4 lebih tinggi dibandingkan rata-rata pendapatan per kapita per bulan keluarga yang tidak mendapatkan program Desa Mandiri Pangan. Pengeluaran pangan dikelompokan menjadi pengeluaran padi-padian (seperti beras, jagung, tepung terigu), umbi-umbian (seperti ubi jalar, singkong, kentang), ikan, daging, telur dan susu, minyak dan lemak (minyak kelapa, minyak goreng, dan mentega), sayur, buah, kacang-kacangan (tempe, tahu, dan kacang tanah), bahan minuman (gula pasir, gula merah, teh, kopi), bumbu-bumbuan (garam, kecap, saos, bumbu) dan lainnya (kerupuk, mie). Pengeluaran non pangan
mencakup
pengeluaran
perumahan
dan
fasilitas
keluarga
(sewa/merawat rumah, PAM, listrik), barang dan jasa (alas kaki, bahan bakar, kebersihan dan kecantikan, rokok, transport selain anak, pendidikan, kesehatan), pakaian, barang tahan lama (sikat cuci, sapu), pajak dan asuransi (sumbangan, pajak, arisan, tabungan), serta keperluan pesta dan upacara (hiburan). Pengeluaran pangan keseluruhan contoh per kapita per bulan didominasi (44,7%) oleh pengeluaran padi-padian terutama beras, hal ini diduga karena beras merupakan pangan pokok sehingga proporsi pengeluaran untuk beras menjadi dominan (Ariani dan Purwantini 2002). Kondisi pengeluaran pangan secara nasional pun masih didominasi oleh pengeluaran padi-padian (25,0%). Persentase
pengeluaran
padi-padian
pada
keseluruhan
contoh
apabila
dibandingkan dengan pengeluaran padi-padian secara nasional masih jauh lebih tinggi pada keseluruhan contoh. Pengeluaran non pangan sebagian besar contoh didominasi (73,5%) oleh pengeluaran barang dan jasa terutama
47
pengeluaran rokok, begitupun jenis peneluaran non pangan secara nasional yang didominasi pula oleh pengeluaran barang dan jasa (42,6%). Tabel 15Persentase pengeluaran keluarga contoh Penerima Jenis Pengeluaran
Persentase Pengeluaran (%) sub total total
Pangan Padi-padian 44,4 21,1 Umbi0,7 0,3 umbian Ikan 2,9 1,4 Daging 4,9 2,3 Telur & Susu 5,3 2,5 Minyak & 5,6 2,7 Lemak Sayur 2,1 1,0 Buah 1,7 0,8 Kacang5,3 2,5 Kacangan Bahan 8,4 4,0 minuman Bumbu6,5 3,1 bumbuan Makan & Minuman 11,3 5,4 jadi Lainnya 4,4 2,1 Sub Total 100,0 47,5 Non Pangan Perumahan & Fasilitas 6,9 3,6 RT Barang & 75,8 39,8 Jasa Pakaian 3,6 1,9 Barang 0,4 0,2 tahan lama Pajak & 16,4 8,6 Asuransi Keperluan Pesta & 0,5 0,3 Upacara Sub Total 100,0 52,5 TOTAL 100,0 *) Data susenas 2010 diolah
Bukan Penerima Persentase Pengeluaran (%) sub Total total
Total
Nas*)
Persentase Pengeluaran (%) sub Total total
Persentase Pengeluaran (%) sub Total total
50,9
30,7
44,7
23,8
23,0
13,1
0,8
0,5
0,7
0,4
1,5
0,8
4,8 2,2 4,3
2,9 1,3 2,6
5,0 3,4 4,6
2,7 1,8 2,4
10,3 3,7 5,5
5,4 2,0 2,9
5,0
3,0
5,0
2,7
4,8
2,5
2,0 0,8
1,2 0,5
2,0 1,2
1,0 0,7
9,7 5,1
5,1 2,7
7,6
4,6
6,0
3,2
3,0
1,6
12,6
7,6
9,7
5,2
5,8
3,1
5,6
3,4
5,8
3,0
2,6
1,4
4,0
2,5
7,5
4,0
2,9
1,5
4,8 100,0
2,9 60,29
4,3 100,0
2,3 53,3
20,0 100,0
10,5 52,5
8,0
3,2
7,0
3,3
34,1
16,2
77,0
30,6
73,5
34,4
42,6
20,2
3,7
1,5
3,5
1,6
7,5
3,6
0,5
0,2
0,4
0,2
10,9
5,2
14,5
5,8
15,2
7,1
2,0
0,9
0,1
0,0
0,4
0,2
3,0
1,4
100,0
39,7 100,0
100,0
46,7 100,0
100,0
47,5 100,0
Pengeluaran keluarga per kapita per bulan pada kelompok penerima program didominasi oleh pengeluaran non pangan (52,5%) dan sebesar
48
(47,5%)merupakan
pengeluaran
pangan,
hal
tersebut
berbeda
dengan
persentase pengeluaran secara nasional yang persentase pengeluarannya lebih tinggi untuk pangan (55,2%). Pengeluaran non pangan pada kelompok penerima didominasi oleh pengeluaran barang dan jasa (75,8%) terutama rokok, apabila dibandingkan dengan persentase pengeluaran barang dan jasa secara nasional (33,2%), pengeluaran barang dan jasa pada kelompok penerima lebih tinggi. Pengeluaran pangan kelompok penerima didominasi oleh pengeluaran padipadian yakni (44,4%) dari total pengeluaran pangan, apabila dibandingkan dengan pengeluaran padi-padian secara nasional (25,0%), pengeluaran kelompok penerima terhadap padi-padian lebih tinggi. Hal ini diduga karena meskipun kelompok penerima sebagain besar merupakan petani dimana menurut Susilowati et. al. (2010) petani merupakan pemilik lahan, namun lahan yang dimiliki terutama sawah tersebut tidak mampu menghasilkan beras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal tersebut didukung oleh hasil kajian (Ariani dan Purwantini 2002) penduduk masih lebih mengutamakan konsumsi beras dibandingkan konsumsi pangan lainnya. Persentase pengeluaran pangan pada kelompok penerima program lebih rendah apabila dibandingkan dengan persentase pengeluaran pangan per kapita per bulan secara nasional (51,4%) (BKP 2011). Pengeluaran keluarga per kapita per bulan pada kelompok bukan penerima program didominasi oleh pengeluaran pangan yakni (60,3%) dan pengeluaran non pangan (39,7%). Persentase pengeluaran pangan pada kelompok bukan penerima lebih tinggi dibandingkan pengeluaran pangan secara nasional. Hal ini berkaitan pula dengan persentase pengeluaran padi-padian yang cukup tinggi (50,9%) apabila dibandingkan dengan pengeluaran padipadian secara nasional dan pada kelompok penerima, tingginya persentase pengeluaran padi-padian diduga karena sebagian besar ayah pada kelompok penerima bekerja sebagai buruh tani yang diduga tidak memiliki lahan untuk menanam padi. Hal tersebut diduga menjadi alasan besarnya pengeluaran padipadian terutama beras. Persentase pengeluaran non pangan sebagian besar didominasi oleh pengeluaran barang dan jasa (76,9%) terutama rokok. Persentase pengeluaran non pangan per kapita per bulan pada kelompok penerima lebih rendah, apabila dibandingkan dengan persentase pengeluaran non pangan secara nasional (46,7%).
49
Rata-rata pengeluaran total keluarga per kapita per bulan pada kelompok penerima adalah 377958,3±170417,0 rupiah dengan persentase pengeluaran pangan (47,5%). Rata-rata total pengeluaran pada kelompok bukan penerima program (239960,9±111110,2 rupiah) dengan persentase pengeluaran pangan (60,3%). Adapun persentase pengeluaran pangan pada kelompok penerima lebih rendah dibandingkan dengan persentase pengeluaran pangan pada kelompok bukan penerima program. Hal tersebut sesuai dengan hasil data SUSENAS dalam (Purwantini dan Ariani 2008) bahwa semakin tinggi pengeluaran total keluarga makan persentase pengeluaran pangan akan semakin kecil. Hasil kajian Sudaryanto et. al. (1999) menyatakan bahwa tingkat pendapatan berhubungan negatif dengan persentase pengeluaran pangan, apabila pendapatannya semakin tinggi maka semakin rendah pula persentase pengeluaran untuk pangan. Tabel 16Perbandingan persentase pengeluaran pada kelompok penerima setahun sesudah adanya program dan kondisi saat ini Pengeluaran (Rp) Persentase (%) Setahun Setahun Sesudah Nas**) Sesudah Nas**) Setelah Setelah Pangan 70354,1 179712 194545 46,3 47,5 52,5 Non Pangan 81679,3 198246,3 176091 53,7 52,5 47,5 100,0 100,0 Total 152033,3 377958,3 370636 100,0 *) Setahun setelah adanya program DEMAPAN data sekunder BKP diolah **) Data susenas 2010 diolah Jenis Pengeluaran
Perbandingan pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok penerima setahun setelah adanya program dengan kondisi saat ini dapat dilihat pada Tabel 16. Diketahui bahwa setahun setelah adanya program desa mandiri pangan, rata-rata pengeluaran total per kapita per bulan lebih rendah dibandingkan dengan kondisi saat ini. Adapun rata-rata persentase pengeluaran pangan setahun setelah adanya program pada kelompok penerima lebih rendah dibandingkan kondisi saat ini. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dengan meningkatnya pengeluaran, persentase pengeluaran pangan cenderung tidak menjadi lebih rendah, hal tersebut berbeda dengan Hukum Engle yang menyatakan semakin tingginya pendapatan (pengeluaran) suatu keluarga maka persentase pengeluaran untuk pangan akan semakin kecil. Hasil tersebut meskipun berbeda dengan Hukum Engle namun sesuai dengan hasil analisis PATANAS yakni dengan semakin tingginya pengeluaran keluarga maka persentase pengeluaran pangan tidak selalu lebih kecil. Menurut Kusharti et. al. (2008) dan Susilowati et. al. (2009) dalam Susilowati et. al (2010) faktor yang
50
mempengaruhi kecenderungan pangeluaran pangan yang meningkat tidak diikuti dengan kecilnya persentase pengeluaran pangan salah satunya karena adanya perubahan selera makan masyarakat, sehingga apabila dihubungkan dengan hasil penelitian diduga pada kelompok penerima terjadi perubahan selera terhadap makanan setahun setelah adanya program dengan kondisi saat ini. Akses pangan secara ekonomi ditentukan oleh banyaknya penduduk miskin. Besar kecilnya penduduk miskin dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan (Departemen Pertanian 2008). Menurut BPS (2008) data pengeluaran keluarga dapat diindikasikan sebagai pendapatan keluarga. Data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap.Semakin tinggi persentase penduduk miskin maka semakin rendah akses pangan penduduk di wilayah tersebut. Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan Kabupaten Ciamis adalah Rp 193652 (BPS 2010). Pengeluaran per kapita per bulan apabila semakin berada diatas garis kemiskinan maka semakin tinggi pula kemampuan suatu keluarga dalam mengakses pangan. Pengeluaran keluarga sebagai pendekatan pendapatan keluarga dikelompokan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Penggolongan tersebut didasarkan pada konsep Irawan dan Romdiati dalam WNPG (2000) yang mengklasifikasikan penduduk miskin berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan, apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka akses pangan rendah. Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis kemiskinan maka tergolong tidak miskin, atau akses pangan sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan maka dikatakan tidak miskin, dan apabila lebih tinggi diatas garis kemiskinan maka digolongkan menjadi akses pangan tinggi. Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar (61,9%) keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan tinggi, terdapat (28,6%) keluarga yang tergolong akses pangan rendah, dan sebagian kecil (9,5%) keluarga yang tergolong akses pangan sedang. Keluarga pada kelompok penerima sebagain besar (78,6%) tergolong memiliki akses pangan tinggi, terdapat (16,7%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan rendah, dan sebagian kecil (4,8%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan sedang. Keluarga pada kelompok bukan penerima sebagian besar (45,2%) tergolong memiliki akses
51
pangan yang tinggi, dan terdapat (40,5%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan rendah yang merupakan persentase terbesar kedua. Sebagian kecil (14,3%) keluarga tergolong memiliki akses pangan sedang. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa persentase keluarga dengan akses pangan tinggi lebih besar pada kelompok penerima, sedangkan persentase keluarga yang tergolong memiliki akses pangan rendah dan sedang, lebih tinggi pada kelompok bukan penerima
program
dibandingkan
kelompok
penerima
program.
Masih
terdapatnya keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok penerima program mengindikasikan bahwa tidak sepenuhnya program desa mandiri pangan tersebut mampu meningkatkan pendapatan keluarga penerima program, namun tingginya akses pangan pada kelompok penerima diduga karena rendahnya persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan pada kelompok penerima dibandingkan kelompok bukan penerima program, sehingga daya beli keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan lebih mudah pada kelompok penerima program. Hal tersebut terlihat dari tingginya pendapatan yang diukur melalui pendekatan pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok penerima dibandingkan kelompok bukan penerima program. Perbedaan tersebut diduga karena adanya program desa mandiri pangan yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penyaluran bantuan dibidang pertanian seperti penyaluran bantuan dana sosial, pemberian domba pada kelompok, penanaman pohon pisang sepuluh per kepala keluarga. Tabel 17Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan Akses Pangan Rendah (20%GK) Total Rata-rata
Penerima n 7
% 16,7
2
4,8
33 78,6 42 100,0 377958,3±170417,0
Bukan Penerima n % 17 40,5 6
14,3
19 45,2 42 100,0 239960,9±111110,2
Total n 24
% 28,6
8
9,5
52 61,9 84 100,0 308959,6±158942,0
Pengeluaran Pangan Per Kapita Per Bulan Akses pangan secara ekonomi diartikan sebagai kemampuan suatu keluarga dalam membeli pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pengeluaran pangan sebagai pendekatan daya beli terhadap pangan seperti yang dijelaskan menurut Departemen Pertanian (2008) bahwa akses pangan termasuk didalamnya daya beli terhadap pangan. Kemampuan membeli pangan
52
terutama kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Akses pangan akan semakin tinggi apabila pengeluaran pangan pun tinggi, sehingga akses pangan dikategorikan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Pengeluaran pangan semakin tinggi apabila pengeluaran tersebut berada semakin jauh diatas garis kemiskinan makanan, sebagai pemenuhan
kebutuhan
minimum.
Pengkategorian
tersebut
didasarkan
melaluipendekatan seperti halnya pengeluaran per kapita per bulan, dimana akses pangan tinggi apabila jarak antara pengeluaran dengan garis kemiskinan makanan lebih dari 20%. Akses pangan tergolong sedang apabila jarak antara pengeluaran pangan dengan garis kemiskinan makanan antara satu samapai dengan 20% dari garis kemiskinan makanan. Akses pangan tergolong rendah apabila pengeluaran pangan dibawah garis kemiskinan makanan. Garis kemiskinan makanan yang digunakan adalah garis kemiskinan makanan Kabupaten Ciamis yaitu Rp 115010. Tabel 18Sebaran contoh berdasarkan akses pangan komponen pengeluaran pangan Akses Pangan Rendah(<20% GKM) Sedang (20-120% GKM) Tinggi (>120% GKM) Total Rata-rata
Penerima n % 6 14,3 6 14,3 30 71,4 42 100,0 179712,0±70389,6
Bukan Penerima n % 12 28,6 11 26,2 19 45,2 42 100,0 138485,0±66880,2
Total n % 18 21,4 17 20,2 49 58,3 84 100,0 159098,8±66880,2
Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa, sebagian besar (58,3%) keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan tinggi, terdapat (21,4%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan rendah, serta sebagian kecil (20,2%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan sedang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar keluarga dari keseluruhan contoh mampu memenuhi kebutuhan minimum makanan yang ditunjukan dengan ratarata pengeluaran pangan keseluruhan contoh berada diatas garis kemiskinan makanan. Rata-rata contoh lebih mengutamkan konsumsi pangan dibandingkan non pangan. Sebagian besar keluarga pada kelompok penerima tergolong memiliki akses pangan tinggi (71,4%), dan masih terdapat keluarga yang tergolong
53
memiliki akses pangan rendah dan sedang dengan persentase yang sama yaitu (14,3%). Keluarga pada kelompok bukan penerima program sebagian besar (45,2%) tergolong memiliki akses pangan yang tinggi, terdapat (28,6%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan rendah, dan sebagian kecil (26,2%) keluarga tergolong memiliki akses pangan sedang. Persentase keluarga dengan akses pangan tinggi pada kelompok penerima lebih tinggi dibandingakan kelompok bukan penerima. Adapun rata-rata pengeluaran pangan pada kelompok penerima dan bukan penerima program berturut-turut adalah Rp 179712,0±70389,6 dan Rp 138485,5±66880,2. Hasil uji beda independent ttestmenunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara pengeluaran pangan per kapita per bulan pada kelompok penerima dan bukan penerima program. Adapun perbedaan pengeluaran pangan antara keluarga penerima dan bukan penerima program adalah Rp 41226,5. Rata-rata tingginya daya beli pangan keluarga pada kelompok penerima diduga karena adanya beberapa program peminjaman bantuan modal sosial dan adanya lembaga keuangan desa yang berperan sebagai penyedia modal usaha kelompok. Keseluruhan Akses Pangan Akses pangan keluarga ditentukan oleh gabungan seluruh komponen dengan mengkatergorikan masing-masing komponen, kemudian memberikan skor yang selanjutnya skor tersebut dirange kedalam nilai antara 0-100. Kategori akses pangan ditentukan berdasarkan nilai indeks yang diolah berdasarkan pendekatan indeks akses pangan Departemen Pertanian (2008). Akses pangan tergolong tinggi apabila nilai indeks lebih dari sama dengan 0,68 dan akses pangan tergolong sedang apabila nilai indeks komposit akses pangan antara 0,36 sampai dengan 0,68. Akses pangan tergolong rendah apabila nilai indeks komposit akses pangan kurang dari 0,36. Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa sebagian besar (52,4%) keseluruhan contoh tergolong memiliki akses pangan sedang, dan terdapat sebesar (38,1%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan tinggi, dan hanya sebagian kecil (9,2%) keluarga yang tergolong memiliki akses pangan rendah. Adapun rata-rata nilai indeks komposit akses pangan keseluruhan contoh adalah
0,6±0,2. Adapun keluarga pada kelompok penerima program
sebagian besar (47,6%) tergolong memiliki akses pangan tinggi dan persentase terbesar kedua (45,2%) adalah keluarga dengan akses pangan yang tergolong sedang. Rata-rata indeks komposit akses pangan keluarga penerima program
54
adalah 0,7±0,2. Sebagian besar keluarga pada kelompok bukan penerima tergolong
memiliki
akses
pangan
yang
sedang
dan
terdapat
hanya
(28,6%)keluarga dengan akses pangan yang tergolong tinggi. Sebagian kecil (11,9%) keluarga tergolong memiliki akses pangan rendah. Adapun rata-rata indeks komposit akses pangan kelompok bukan penerima program adalah 0,6±0,16. Tabel 19Sebaran contoh berdasarkan akses pangan Akses Pangan Rendah (<0,36) Sedang (0,36-0,68) Tinggi (>0,68) Total Rata-rata
Penerima n 3 19 20 42
% 7,1 45,2 47,6 100 0,7±0,2
Bukan Penerima n % 5 11,9 25 59,5 12 28,6 42 100 0,6±0,2
Total n 8 44 32 84
% 9,52 52,38 38,10 100 0,6±0,2
Sebagian besar keluarga dengan akses pangan tinggi terdapat pada kelompok penerima, sedangkan pada kelompok bukan penerima sebagian besar keluarga memiliki akses pangan sedang. Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara akses pangan keluarga pada kelompok penerima dan bukan penerima program. Hal ini diduga karena rata-rata sebagian besar keluarga pada kelompok penerima, memiliki akses pangan yang tergolong tinggi lebih banyak pada setiap komponen akses pangannya. Konsumsi Pangan Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) konsumsi pangan adalah informasi pangan yang dimakan dikonsumsi seseorang atau kelompok orang, baik berupa jenis maupun jumlahnya pada waktu tertentu, artinya konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah maupun jenis pangan yang dikonsumsi. Konsumsi pangan pada kelompok penerima dan bukan penerima dilakukan dengan metode recall 1x24 jam, konsumsi masing-masing individu keluarga dihitung kemudian dirata-ratakan. Penggolongan kelompok pangan dibagi menjadi sepuluh kelompok yakni sembilan kelompok pertama merupakan penggolongan berdasarkan pola pangan harapan, dan satu kelompok pangan terakhir merupakan kelompok jajanan pabrik yang perhitungan kandungan gizinya berdasarkan nutritions fact pada label
kemasan.
Kelompok
pangan
berdasarkan
pola
pangan
harapan
dikelompokan menjadi padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, serta
55
pangan lainnya. Kelompok padi-padian terdiri dari jenis beras, jagung, dan tepung terigu. Kelompok umbi-umbian terdiri dari ubi jalar, singkong, kentang, dan talas; sedangkan pangan hewani terdiri dari daging sapi, daging ayam, susu, telur, dan ikan. Kelompok buah/biji berminyak terdiri dari kelapa. Kelompok kacang-kacangan terdiri dari jenis kacang kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau; sedangkan gula terdiri dari gula pasir dan gula merah. Kelompok pangan lainnya diantaranya terdiri dari minuman ringan, makanan ringan, mie, dan sebagainya Tabel 20Konsumsi pangan pada kelompok penerima dan bukanpenerima program berdasarkan jenis pangan per kapita per hari Kelompok Pangan Padi-padian
Sub Total Umbi
Jenis Pangan Beras Jagung Tp terigu Singkong Ubi jalar Kentang Talas
Sub Total Pangan hewani Sub Total Minyak dan lemak Sub Total Biji-bijian Sub Total Kacangkacangan Sub Total Gula
Daging sapi Daging ayam Telur Ikan Susu Minyak sawit Kelapa Tahu Tempe Kacang tanah Kacang ijo gula pasir gula merah
Sub Total Sayuran dan sayur buah buah Sub Total Lain-lain Minuman Sub Total Jajanan pabrik
Berat (gr) 157,8 2,5 4,0 164,4 2,4 3,8 2,4 1,0 9,6 1,0 2,5 18,0 40,7 28,2 90,4
Penerima E P (Kal) (g) 563 6,7 4 0,0 11 0,3 578 7,0 7 0,0 4 0,1 2 0,0 1 0,0 14 0,1 2 0,2 4 0,3 51 3,0 139 14,7 76 2,0 272 20,2
Bukan Penerima Berat E P (gr) (Kal) (g) 329,2 596 7,0 0,0 0 0,0 13,8 26 0,5 343,0 622 7,5 6,3 19 0,1 3,1 4 0,0 5,6 4 0,1 0,3 0 0,0 15,3 27 0,2 1,3 2 0,2 0,7 1 0,1 11,9 32 1,9 46,3 143 16,5 5,9 14 0,3 66,1 192 19,0
2,9
26
0,0
2,6
24
0,0
2,9 5,6 5,6 11,8 18,3
26 11 11 15 59
0,0 0,1 0,1 0,6 3,2
2,6 3,0 3,0 9,1 21,4
24 3 3 11 63
0,0 0,1 0,1 0,5 3,9
2,5
8
0,3
1,0
5
0,3
1,0 33,6 2,3 1,7 4,0 37,2 28,7 65,9 20,0 20,0 176,2
3 85 7 6 13 12 26 38 79 79 350
0,2 4,3 0,0 0,0 0,0 0,6 0,3 0,9 2,2 2,2 7,2
0,0 31,5 2,2 5,1 7,3 21,2 35,0 56,2 17,2 17,2 105,8
0 79 7 19 26 5 31 36 72 72 276
0,0 4,7 0,0 0,0 0,0 0,4 0,5 0,9 2,2 2,2 3,6
56
Sub Total Total
176,2
350 1466
7,2 42,0
105,8
276 1357
3,6 38,2
Berdasakan Tabel 20, dapat diketahui bahwa sebagian besar konsumsi pangan pada kelompok penerima dan bukan penerima adalah beras dengan rata-rata energi yang disumbangkan berturut-turut adalah 563 dan 596 Kal/kap/hari. Adapun sumbangan protein terbesar pada kelompok penerima maupun bukan penerima berasal dari pangan hewani. Sebagian besar keluarga cenderung mengkonsumsi ikanterutama ikan asin, dibandingkan jenis pangan sumber protein hewani lainnya. Konsumsi tempe dan tahu sebagai salah satu pangan golongan kacang-kacangan sebagai sumber protein nabati lebih tinggi dibandingkan konsumsi daging, apabila dilihat pada Tabel 20 konsumsi daging pada kelompok penerima atau pun kelompok bukan penerima masih tergolong rendah. Daging unggas yang lebih banyak dikonsumsi oleh kedua kelompok adalah daging ayam, adapun pada kelompok penerima konsumsi daging ayam lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima. Konsumsi makanan jajanan pada kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima program, hal tersebut diduga karena anak-anak keluarga pada kelompok penerima lebih banyak yang tergolong usia sekolah dan lebih mengutamakan jajan di sekolah. Adapun rata-rata konsumsi energi dan protein pada kelompok penerima dan bukan penerima berturut-turut adalah 1466 Kal/kapita/hari dan 42,0 g/Kap/hr serta 1357 Kal/Kap/hr dan 38,2 g/Kap/hr. Kebutuhan gizi seseorang harus dipenuhi sesuai dengan komposisi standar atau komposisi normatifserta keseimbangan gizi (diet balance), apabila merujuk pada anjuran konsumsi energi untuk beberapa kelompok pangan, konsumsi energi keluarga dari beberapa kelompok pangan masih dibawah standar. Tabel 21 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi aktual pada sebagian besar kelompok pangan pada kelompok penerima maupun kelompok bukan penerima program desa mandiri pangan, lebih rendah dibandingkan konsumsi energi yang dianjurkan. Kelompok pangan yang konsumsi energinya masih rendah pada kelompok penerima diantaranya kelompok padi-padian, umbi-umbian, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, serta sayur dan buah, sedangkan pada kelompok bukan penerima konsumsi energi pada keseluruhan kelompok pangan masih tergolong lebih rendah dibandingkan konsumsi energi yang dianjurkan dari masing-masing kelompok pangan. Kelompok pangan yang konsumsi energi aktualnya telah memenuhi
57
konsumsi energi standar pada kelompok penerima adalah pangan hewani dan kelompok pangan lainnya, sedangkan pada kelompok bukan penerima adalah kelompok pangan lainnya saja. Kelompok pangan lainnya pada kelompok penerima maupun kelompok bukan penerima yang lebih sering dikonsumsi adalah kopi. Tabel 21 Perbandingan konsumsi energi aktual contoh dengan konsumsi energi yang dianjurkan berdasarkan kelompok pangan(Kal/kap/hr)
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lainnya Jajanan pabrik Jumlah
Konsumsi Energi Standar (Kal/kap/hr) 1000 120 240 200 60 100 100 120 30 2000
Konsumsi Energi Aktual (Kal/kap/hr) Bukan Penerima Penerima 622 578 27 14 192 272 24 26 3 11 79 85 13 26 38 72 79 36 350 276 1466 1357
Keluarga pada kelompok penerima maupun kelompok bukan penerima, mengkonsumsi jajanan pabrik yang memberikan kontribusi energi cukup tinggi, hal ini diduga karena sebagian besar jajanan pabrik tersebut tergolong kelompok pangan padi-padian. Kontribusi energi dari pangan jajanan lebih kurang satu per tiga dari konsumsi energi yang dianjurkan untuk kelompok pangan padi-padian. Adapun total konsumsi energi pada kelompok penerima maupun kelompok bukan penerima masih kurang dari konsumsi energi yang dianjurkan. Tabel 22Rata-rata tingkat konsumsi keluarga contoh per kapita per hari Konsumsi Konsumsi Rata-rata Angka Konsumsi Tingkat Konsumsi
Penerima Energi Protein (Kal) (gr)
Bukan Penerima Energi Protein (Kal) (gr)
Total Energi Protein (Kal) (gr)
1466
44,0
1357
38,2
1412
41,1
1780 82,8
47,1 93,9
1697 82,6
46,0 85,5
1739 82,7
46,6 89,7
Seseorang atau kelompok orang (keluarga) yang mengkonsumsi energi dan atau protein kurang dari 70% angka konsumsi (recommended dietary allowances), maka seseorang atau kelompok orang(keluarga) tersebut dikatakan konsumsi pangannya kurang(Sukandar 2009). Depkes (1996) mengklasifikasikan tingkat konsumsi energi ke dalam lima golongan, yaitu defisit tingkat berat
58
(<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%), normal (90-119%), dan lebih (>120%). Persentase rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein keluarga pada kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok bukan penerima. Kurangnya konsumsi energi rata-rata tersebut diduga karena rata-rata frekuensi makan keluarga contoh hanya dua kali sehari, dan jarang sekali keluarga yang mengkonsumsi makanan selingan sebagai tambahan energi. Konsumsi pangan masyarakat terhadap ikan asin lebih tinggi apabila dibandingkan dengan sumber protein lainnya seperti telur, ikan segar, dan daging (Tabel 20). Tabel 23Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi Tingkat Konsumsi Energi Def. Berat (<70%) Def.Sedang (70-79%) Def.Ringan (80-89%) Normal (90-119%) Over (>120%) Total Rata-rata
Penerima n % 13 31,0 7 16,7 7 16,7 9 21,4 6 14,3 42 100,0 82,8±29,9
Bukan Penerima n % 18 42,9 5 11,9 6 14,3 8 19,1 5 11,9 42 100,0 82,6±35,3
Total n % 31 36,9 12 14,3 13 15,5 17 20,2 11 13,1 84 100,0 82,7±32,5
Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa sebagian besar (36,9%) keluarga pada keseluruhan contoh memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat. Hal ini diduga karena sebagian besar keluarga memiliki kebiasaan makan dua kali, yakni siang dan sore hari tanpa adanya selingan makan. Terdapat (20,2%) keluarga yang merupakan persentase terbesar kedua pada keseluruhan contoh yang memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Adapun rata-rata tingkat konsumsi energi pada keseluruhan contoh tergolong defisit ringan yakni 82,7±32,5. Sebagian besar keluarga pada kelompok penerima (30,4%) dan bukan penerima program (42,9%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat dan persentase terbesar kedua pada kelompok penerima (21,4%) maupun kelompok bukan penerima (19,1%) tergolong memiliki tingkat konsumsi energi yang normal. Adapun rata-rata tingkat konsumsi energi pada kelompok penerima dan bukan penerima berturut-turut adalah 82,8±29,9 dan 82,57±35,30. Sebagian besar keluarga pada kelompok penerima memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, begitupun halnya dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program. Hasil uji beda independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara tingkat konsumsi energi antara kelompok penerima dan bukan penerima program
59
desa mandiri pangan. Rendahnya tingkat konsumsi energi pada kelompok penerima diduga karena alokasi pendapatan (pendekatan pengeluaran) tidak diutamakan untuk pemenuhan pangan. Adapun rata-rata tingkat konsumsi energi pada kelompok penerima dan bukan penerima program hampir sama, diduga karena kelompok bukan penerima program mampu memenuhi kebutuhan energinya
terutama
sebagian
besar
kontribusi
energi
dari
beras
dikarenakankelompok bukan penerima program merupakan keluarga penerima bantuan raskin. Menurut BPS (2008) pangan sebagai salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi minimum salah satunya dinyatakan dari pemenuhan kebutuhan gizi
minimum
yaitu
perkiraan
energi
dan
protein.
Depkes
(1996)
mengklasifikasikan tingkat konsumsi protein ke dalam lima golongan, yaitu defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (8089%), normal (90-119%), dan lebih (>120%). Tabel 24 menunjukkan bahwa sebagian besar (45,2%) keseluruhan contoh tergolong memiliki tingkat konsumsi protein yang defisit berat dan persentase kedua terbesar (23,8%) keluarga tergolong normal. Adapun persentase tingkat konsumsi protein pada keseluruhan contoh adalah 89,7±53,4 yang tergolong defisit ringan. Tabel 24Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi protein Tingkat Konsumsi Protein Def. Berat (<70%) Def.Sedang (70-79%) Def.Ringan (80-89%) Normal (90-119%) Over (>120%) Total Rata-rata
Penerima n 17 2 1 11 11 42
% 40,5 4,8 2,4 26,2 26,2 100,0 93,9±54,0
Bukan Penerima n % 21 50,0 4 9,5 1 2,4 9 21,4 7 16,7 42 100,0 85,5±53,0
Total n % 38 45,2 6 7,1 2 2,4 20 23,8 18 21,4 84 100,0 89,7±53,4
Sebagian besar keluarga pada kelompok penerima (40,5%) dan bukan (50,0%) penerima program memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan persentase terbesar kedua antara kelompok penerima (26,2%) dan bukan penerima (21,4%) program adalah sama tergolong normal. Keluarga pada kelompok penerima maupun kelompok bukan penerima sebagian besar tergolong memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat. Rendahnya tingkat konsumsi energi dan protein pada kelompok penerima diduga karena alokasi pendapatan (pendekatan pengeluaran) tidak diutamakan untuk pemenuhan pangan, tetapi untuk non pangan yakni barang dan jasa terutama rokok (Tabel 15).Adapun rata-rata tingkat konsumsi protein pada kelompok
60
penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima program. Keluarga pada kelompok penerima maupun bukan penerima banyak mengkonsumsi ikan asin dibandingkan ayam dan daging sapi, namun apabila dilihat dari segi pengeluarannya, sebagian besar keluarga penerima rata-rata mengalokasikan pengeluaran pangannya untuk kelompok pangan ikan dan daging lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima program. Hasil uji beda independent ttest menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara tingkat konsumsi protein antara kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Berdasarkan hasil uji beda independent t-test terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada kedua kelompok menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan, hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga yang menerima program desa mandiri pangan tidak lebih baik daripada keluarga yang tidak mendapatkan program desa mandiri pangan. Rendahnya tingkat konsumsi energi dan protein pada kelompok penerima, diduga karena alokasi pendapatan (pendekatan pengeluaran) tidak diutamakan untuk pemenuhan pangan. Hal tersebut terlihat dari persentase pengeluaran terbesar keluarga pada kelompok penerima yang merupakan barang dan jasa, yakni pengeluaran untuk rokok. Adanya program desa mandiri pangan ternyata diduga hanya dapat meningkatkan pendapatan (pendekatan pengeluaran) keluarga, namun tingkat konsumsi energi dan protein keluarga tidak dapat ditingkatkan. Hubungan Akses Pangan dengan Konsumsi Pangan Hubungan Akses Pangan Komponen Jumlah Anggota Keluarga dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Hasil penelitian Ambarwati (2009) menujukkan bahwa jumlah anggota keluarga berhubungan dengan tingkat konsumsi energi dan protein sebagai komponen akses pangan. Hasil sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi serta akses pangan berdasarkan komponen jumlah anggota keluarga pada kelompok penerima dan bukan penerima menunjukkan bahwa, sebagian besar (38,0%) keluarga dengan akses pangan tinggi memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat dan terdapat (21,5%) keluarga yang memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Sebagian besar (60,0%) keluarga dengan akses pangan sedang memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit ringan.
61
Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan berdasarkan komponen besar keluarga dengan tingkat konsumsi energi pada keseluruhan contoh. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dengan jumlah anggota keluarga yang tergolong lebih besar cenderung memiliki tingkat konsumsi energi yang lebih baik. Pembagian makan antara keluarga yang tergolong kecil ataupun jumlah anggota keluarga lebih banyak memiliki kecenderungan konsumsi yang sama, atau rata-rata keluarga pada keseluruhan contoh tidak mengalami pembagian makan. Tabel 25Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen jumlah anggota keluarga pada keseluruhan contoh Akses Pangan Energi Tinggi Sedang Rendah Total Protein Tinggi Sedang Rendah Total
Def. Berat (>70%)
Def. Sedang (70-79%) n %
Total Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
Over (>120%) n
%
n
%
Total
n
%
30 1 0 31
38,0 20,0 0.0 36,9
11 1 0 12
13,9 20,0 0,0 14,3
10 3 0 13
12,7 60,0 0,0 15,5
17 0 0 17
21,5 0,0 0,0 20,2
11 0 0 11
13,9 0,0 0,0 13,1
79 5 0 84
100,0 100,0 0,0 100,0
37 1 0 38
46,8 20,0 0,0 45,2
5 1 0 6
6,3 20,0 0,0 7,1
2 3 0 5
2,5 60,0 0,0 6,0
18 0 0 18
22,8 0,0 0,0 21,4
17 0 0 17
21,5 0,0 0,0 20,2
79 5 0 84
100,0 100,0 0,0 100,0
Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa pada keseluruhan contoh keluarga dengan akses pangan tinggi, sebagian besar (46,8%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat sedangkan keluarga dengan akses pangan sedang, sebagian besar (60,0%) tergolong defisit sedang. Hasil ujikorelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen jumlah anggota keluarga dengan tingkat konsumsi protein. Hal ini mengindikasikan bahwa keluarga dengan jumlah anggota kecil pun memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, artinya pada keseluruhan contoh penelitian tidak terjadi perbedaan pembagian makanan dalam satu keluarga dengan jumlah keluarga kecil atau pun besar. Berdasarkan Tabel 26 dapat diketahui bahwa sebagian besar keluarga pada kelompok penerima dengan akses pangan tinggi (32,5%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat. Keluarga dengan akses pangan sedang sebagian besar (50,0%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit sedang.Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat
62
hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan berdasarkan besar keluarga dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok penerima.Hal tersebut mengindikasikan bahwa keluarga dengan jumlah anggota yang lebih banyak dapat memiliki tingkat konsumsi energi yang lebih baik dibandingkan keluarga dengan jumlah anggota yang relatif lebih kecil. Diduga pada kelompok penerima tidak terjadi perbedaan pembagian makanan dalam satu keluarga dengan jumlah keluarga kecil atau pun besar. Kecenderungan hubungan jumlah anggota keluarga terhadap tingkat konsumsi energi pada kelompok penerima, dapat dilihat pada Tabel 51 (Lampiran 3) Tabel 26Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan berdasrkan jumlah anggota keluarga pada keluarga penerima program Akses Pangan
Def. Berat (>70%) n
Energi Tinggi Sedang Rendah Total Protein Tinggi Sedang Rendah Total
%
Def. Sedang (70-79%) n %
Penerima Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
Over (>120%) n
Total
%
n
%
13 0 0 13
32,5 0,0 0,0 31,0
6 1 0 7
15,0 50,0 0,0 16,7
6 1 0 7
15,0 2,5 0,0 16,7
9 0 0 9
22,5 0,0 0,0 21,4
6 0 0 6
15,0 0,0 0,0 14,3
40 2 0 42
100,0 100,0 0,0 100,0
17 0 0 17
42,5 0,0 0,0 40,5
2 1 0 3
5,0 50,0 0,0 7,1
1 1 0 2
2,5 50 0 4,76
9 0 0 9
22,5 0,0 0,0 21,4
11 0 0 11
27,5 0,0 0,0 26,2
40 2 0 42
100,0 100,0 0,0 100,0
Keluarga pada kelompok penerima dengan akses pangan tinggi sebagian besar (42,5%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, sedangkan pada keluarga dengan akses pangan sedang (50,0%) masing-masng tergolong defisit sedang dan ringan. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan berdasarkan jumlah anggota keluarga dengan tingkat konsumsi protein. Hal ini mengindikasikan bahwa keluarga dengan akses pangan komponen jumlah anggota kecil pun, memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat. Kecenderungan jumlah anggota keluarga terhadap tingkat konsumsi protein pada kelompok penerima, dapat dilihat pada Tabel 51 (Lampiran 3) Berdasarkan Tabel 27 dapat diketahui bahwa sebagian besar keluarga bukan penerima dengan dengan akses pangan tinggi (43,6%), memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat. Keluarga dengan akses pangan sedang sebagian besar (66,7%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong
63
defisit ringan. Terdapat kecenderungan bahwa semakin kecil keluarga bukan penerima program tingkat konsumsi energi pun cenderung lebih baik. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan (p<0,05) antara akses pangan berdasarkan jumlah anggota keluarga dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok bukan penerima. Hal tersebut mengindikasikan adanya pembagian makan terutama pangan sumber energi (beras) pada keluarga bukan penerima program. Kecenderungan jumlah anggota keluarga terhadap tingkat konsumsi energi pada kelompok bukan penerima, dapat dilihat pada Tabel 51 (Lampiran 3) Tabel 27Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan berdasarkan komponen jumlah anggota keluarga pada kelompok bukan penerima program Akses Pangan Energi Tinggi Sedang Rendah Total Protein Tinggi Sedang Rendah Total
Def. Berat (>70%)
Def. Sedang (70-79%) n %
Bukan Penerima Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
17 1 0 18
43,6 33,3 0,0 42,9
5 0 0 5
12,8 0,0 0,0 11,9
4 2 0 6
10,3 66,7 0,0 14,3
8 0 0 8
20,5 0,0 0,0 19,1
20 1 0 21
51,3 33,3 0,0 50,0
3 0 0 3
7,7 0,0 0,0 7,1
1 2 0 3
2,6 66,7 0,0 7,1
9 0 0 9
23,1 0,0 0,0 21,4
Over (>120%) n
Total
%
n
%
5 0 0 5
12,8 0,0 0,0 11,9
39 3 0 42
100,0 100,0 0,0 100,0
6 0 0 6
15,4 0,0 0,0 14,3
39 3 0 42
100,0 100,0 0,0 100,0
Keluarga pada kelompok bukan penerima dengan akses pangan tinggi sebagian besar (51,3%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, sedangkan pada keluarga dengan akses pangan sedang (66,7%) defisit ringan. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan berdasarkan jumlah anggota keluarga dengan tingkat konsumsi protein. Hal ini mengindikasikan bahwa keluarga dengan jumlah anggota kecil pun memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat. Kecenderungan jumlah anggota keluarga terhadap tingkat konsumsi protein pada kelompok bukan penerima, dapat dilihat pada Tabel 51 (Lampiran 3) Hubungan Akses Pangan Komponen Pendidikan Ayah dan Ibu dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Menurut Departemen Pertanian (2008) akses pangan dipengaruhi oleh pendidikan, yang semakin tinggi pendidikan sesorang maka semakin tinggi pulakesempatan seseorang untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik,
64
sehingga akses pangan menjadi lebih baik pula. Menurut Ambarwati (2009) pendidikan ayah behubungan dengan tingkat konsumsi energi, dan begitu pun halnya dengan tingkat pendidikan ibu yang berhubungan dengan tingkat konsumsi energi dan protein. Tabel 28 menunjukkan bahwa pada keseluruhan contoh sebagian besar (66,7%) keluarga dengan akses pangan rendah memiliki tingkat konsumsi energi yang lebih dan hanya sebagian kecil (33,3%) keluarga dengan pendidikan rendah memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit ringan. Keluarga dengan akses pangan sedang sebagian besar (42,5%) tergolong defisit berat dan hanya terdapat (19,2%) keluarga yang tergolong memiliki tingkat konsumsi energi normal, sedangkan keluarga dengan akses pangan yang tergolong tinggi sebagian besar (37,5%) masing-masing memiliki persentase yang sama tergolong defisit sedang dan normal. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 28. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan berdasarkan pendidikan ayah dengan tingkat konsumsi energi pada keseluruhan contoh. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan ayah yang lebih tinggi tidak menjamin pemenuhan kebutuhan terutama energi yang lebih baik, karena dengan pendidikan ayah yang tergolong rendah pun konsumsi energi cenderung tercukupi. Tabel 28Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pendidikan ayah pada total keseluruhan contoh Akses Pangan
Def. Berat (>70%) n
Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
%
Def. Sedang (70-79%) n %
Total Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
n
%
Over (>120%)
Total
0 31 0 31
0,0 42,5 0,0 36,9
0 9 3 12
0,0 12,3 37,5 14,3
1 10 2 13
33,3 13,7 25,0 15,5
0 14 3 17
0,0 19,2 37,5 20,2
2 9 0 11
66,7 12,3 0,0 13,1
3 73 8 84
100,0 100,0 100,0 100
0 37 1 38
0,0 50,7 12,5 45,2
1 5 0 6
33,3 6,8 0,0 7,1
0 2 0 2
0,0 2,7 0,0 2,4
0 16 4 20
0,0 21,9 50,0 23,8
2 13 3 18
66,7 17,8 37,5 21,4
3 73 8 84
100,0 100,0 100,0 100,0
Sebagian besar (66,7%) keluarga pada keseluruhan contoh dengan akses pangan rendah memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong lebih, sedangkan sebagian kecil (33,3%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit sedang. Keluarga dengan akses pangan sedang, sebagianbesar (50,7%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit
65
berat. Keluarga dengan akses pangan tinggi sebagian besar (50,0%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pendidikan ayah dengan tingkat konsumsi protein pada total contoh. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keluarga dengan pendidikan ayah yang tergolong rendah pun dapat memiliki tingkat konsumsi protein yang lebih baik dibandingkan keluarga dengan pendidikan ayah yang tergolong lebih tinggi. Tabel 29Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi serta akses pangan komponen pendidikan ayah pada kelompok penerima program Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Def. Berat (>70%)
Def. Sedang (70-79%) n %
Penerima Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
Over (>120%) n
%
n
%
Total
n
%
0 13 0 13
0,0 37,1 0,0 31,0
0 6 1 7
0,0 17,1 16,7 16,7
0 5 2 7
0,0 14,3 33,3 16,7
0 6 3 9
0,0 17,1 50,0 21,4
1 5 0 6
100,0 14,3 0,0 14,3
1 35 6 42
100,0 100,0 100,0 100,0
0 17 0 17
0,0 48,6 0,0 40,5
0 2 0 2
0,0 5,7 0,0 4,8
0 1 0 1
0,0 2,9 0,0 2,4
0 8 3 11
0,0 22,9 50,0 26,2
1 7 3 11
100,0 20,0 50,0 26,2
1 35 6 42
100,0 100,0 100,0 100,0
Tabel 29 menunjukkan bahwa keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok penerima, seluruhnya memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong lebih. Keluarga dengan akses pangan sedang sebagian besar (37,2%) tergolong defisit berat dan hanya terdapat (17,1%) keluarga yang tergolong memiliki tingkat konsumsi energi normal, sedangkan keluarga dengan akses pangan tinggi sebagian besar (50,0%), tingkat konsumsi energinya tergolong normal. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 29. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pendidikan ayah dengan tingkat konsumsi energi keluarga pada kelompok penerima. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan ayah yang lebih tinggi tidak menjamin pemenuhan kebutuhan terutama energi yang lebih baik, karena dengan pendidikan lebih rendah pun konsumsi energi sudah tergolong normal.Kecenderungan hubungan antara pendidikan ayahterhadap tingkat konsumsi energipada kelompok penerima, dapat dilihat pada Tabel 52 (Lampiran 3).
66
Seluruh keluarga pada kelompok penerima dengan akses pangan berdasarkan komponen pendidikan
ayah yang rendah memiliki tingkat
konsumsiprotein yang tergolong lebih, sedangkan keluarga dengan akses pangan sedang, sebagian besar (48,6%)memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat. Keluarga dengan akses pangan tinggi sebagian besar (50,0%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pendidikan ayah dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok penerima.Hal tersebut mengindikasikan bahwa keluarga dengan pendidikan ayah yang tergolong rendah pun cenderung dapat memiliki tingkat konsumsi protein yang lebih baik dibandingkan keluarga dengan pendidikan ayah yang tergolong lebih tinggi. Kecenderungan hubungan antara pendidikan ayah terhadap tingkat konsumsi proteinpada kelompok penerima, dapat dilihat pada Tabel 52 (Lampiran 3). Pendidikan ayah yang tinggi, tidak menjamin konsumsi pangan keluarga lebih baik. Menurut BKP (2008), pendidikan yang tinggi akan memberikan kesempatan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, sehingga pendapatan pun akan lebih baik. Pendidikan yang tinggi meskipun diduga akan meningkatkan pendapatan apabila pendapatan keluarga tidak dialokasikan untuk pemenuhan pangan, tingkat konsumsi energi atau pun protein tidak akan lebih baik. Pendidikan yang tinggi pun apabila tidak disertai dengan sikap dan keterampilan gizi yang baik diduga dapat menghambat pemenuhan tingkat konsusmi energi atau protein (Suharjo 1982 dalam Sukandar 2009). Tabel 30 menunjukkan bahwa keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok bukan penerima program masing-masing (50,0%) tergolong memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit ringan dan berlebih. Keluarga dengan akses pangan sedang sebagian besar (47,4%) tergolong defisit berat dan terdapat (21,1%) keluarga yang tergolong memiliki tingkat konsumsi energi normal, sedangkan keluarga dengan akses pangan tinggi seluruhnya tergolong memiliki tingkat konsumsi energi defisit sedang. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 30. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pendidikan ayah dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok bukan penerima program. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan ayah yang lebih tinggi tidak
67
menjamin pemenuhan kebutuhan terutama energi yang lebih baik, karena dengan
pendidikan
rendah
pun
konsumsi
energi
cenderung
lebih
baik.Kecenderungan hubungan antara pendidikan ayah terhadap tingkat konsumsi energipada kelompok bukan penerima, dapat dilihat pada Tabel 52 (Lampiran 3). Seluruh keluarga pada kelompok bukan penerima dengan akses pangan rendah masing-masing (50,0%) tergolong memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit sedang dan berlebih. Keluarga dengan akses pangan sedang sebagian besar (52,6%) tergolong defisit berat dan terdapat (21,1%) keluarga yang tergolong memiliki tingkat konsumsi protein normal. Keluarga dengan tingkat akses pangan tinggi masing-masing sebesar (50,0%) memiliki tingkat konsumsi
protein
yang
tergolong
defisit
berat
dan
normal.
Hasil
uji
korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pendidikan ayah dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok bukan penerima. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keluarga dengan pendidikan ayah yang lebih rendah pun cenderung dapat memiliki tingkat konsumsi protein yang lebih baik dibandingkan keluarga dengan pendidikan yang lebih tinggi. Kecenderungan antara hubungan pendidikan ayah terhadap tingkat konsumsi proteinpada kelompok bukan penerima, dapat dilihat pada Tabel 52 (Lampiran 3). Tabel 30Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi serta akses pangan komponen pendidikan ayah pada kelompok bukan penerima program Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Def. Berat (>70%)
Def. Sedang (70-79%) n %
Bukan Penerima Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
n
%
Over (>120%)
Total
n
%
0 18 0 18
0,0 47,4 0,0 42,9
0 3 2 5
0,0 7,9 100,0 11,9
1 5 0 6
50,0 12,5 0,0 14,3
0 8 0 8
0,0 21,1 0,0 19,1
1 4 0 5
50,0 10,5 0,0 11,9
2 38 2 42
100,0 100,0 100,0 100,0
0 20 1 21
0,0 52,6 50,0 50,0
1 3 0 4
50,0 7,9 0,0 9,5
0 1 0 1
0,0 2,6 0,0 2,4
0 8 1 9
0,0 21,1 50,0 21,4
1 6 0 7
50,0 15,8 0,0 16,7
2 38 2 42
100,0 100,0 100,0 100,0
Pendidikan ayah yang tinggi, tidak menjamin konsumsi pangan keluarga lebih baik. Menurut BKP (2008), pendidikan yang tinggi akan memberikan kesempatan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, sehingga pendapatan pun akan lebih baik. Pendidikan yang tinggi meskipun
68
diduga akan meningkatkan pendapatan apabila pendapatan keluarga tidak dialokasikan untuk pemenuhan pangan, tingkat konsumsi energi atau pun protein tidak akan lebih baik. Pendidikan yang tinggi pun apabila tidak disertai dengan sikap dan keterampilan gizi yang baik diduga dapat menghambat pemenuhan tingkat konsusmi energi atau protein (Suharjo 1982 dalam Sukandar 2009). Tabel 31 menunjukkan bahwa keluarga dengan akses pangan rendah dan tinggi berdasarkan pendidikan ibu pada keseluruhan contoh, seluruhnya tergolong defisit berat. Keluarga dengan akses pangan sedang sebagian besar (36,6%) tergolong defisit berat dan terdapat 20,7% keluarga yang tergolong memiliki tingkat konsumsi energi normal. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 31. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi energi pada keseluruhan contoh. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan ibu yang lebih tinggi tidak menjamin pemenuhan kebutuhan energi yang lebih baik. Menurut Madanijah (2004) pendidikan ibu yang tinggi tidak selalu diikuti dengan pengetahuan yang memadai tentang gizi, diduga kemampuan memilih makanan untuk dikonsumsi dapat terhambat. Tabel 31Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pendidikan ibu pada total keseluruhan contoh Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Def. Berat (>70%)
Def. Sedang (70-79%) n %
Total Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
1 30 1 32
100,0 36,6 100,0 38,1
0 12 0 12
0,0 14,6 0,0 14,3
0 12 0 12
0,0 14,6 0,0 14,3
0 17 0 17
1 37 0 38
100,0 45,1 0,0 45,2
0 6 0 6
0,0 7,3 0,0 7,1
0 2 0 2
0,0 2,4 0,0 2,4
0 20 0 20
Over (>120%)
Total
n
%
n
%
0,0 20,7 0,0 20,2
0 11 0 11
0,0 13,4 0,0 13,1
1 82 1 84
100,0 100,0 100,0 100,0
0,0 24,4 0,0 23,8
0 17 1 18
0,0 20,7 100,0 21,4
1 82 1 84
100,0 100,0 100,0 100,0
Seluruh keluarga pada keseluruhan contoh dengan pendidikan ibu yang tergolong rendah memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat. Keluarga dengan pendidikan ibu yang tergolong sedang, sebagian besar (45,1%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat dan terdapat (24,4%) keluarga dengan tingkat konsumsi proten yang tergolong normal. Keluarga dengan tingkat pendidikan ibu yang tergolong tinggi seluruhnya
69
memiliki
tingkat
konsumsi
protein
yang
tergolong
lebih.
Hasil
uji
korelasipearsonmenunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi protein pada keseluruhan kelompok. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keluarga dengan pendidikan ibu yang tergolong lebih rendah pun dapat memiliki tingkat konsumsi protein yang lebih baik dibandingkan keluarga dengan pendidikan yang lebih tinggi. Menurut Madanijah (2004) pendidikan ibu yang tinggi tidak selalu diikuti dengan pengetahuan yang memadai tentang gizi, diduga kemampuan memilih makanan untuk dikonsumsi dapat terhambat. Tabel 32 menunjukkan bahwa keluarga dengan akses pangan yang tergolong rendah dan tinggi pada kelompok penerima, seluruhnya memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat. Keluarga dengan akses pangan yang tergolong sedang sebagian besar (30,0%) tergolong defisit berat dan hanya terdapat (22,5%) keluarga yang tergolong memiliki tingkat konsumsi energi normal. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 32. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi
energi
keluarga
pada
kelompok
penerima.
Hal
tersebut
mengindikasikan bahwa pendidikan ibu yang lebih tinggi tidak menjamin pemenuhan kebutuhan terutama energi yang lebih baik, karena dengan pendidikan lebih rendah pun konsumsi energi sudah tergolong normal. Menurut Madanijah (2004) pendidikan ibu yang tinggi tidak selalu diikuti dengan pengetahuan yang memadai tentang gizi, diduga hal tersebut berkaitan dengan kemampuan memilih makanan untuk dikonsumsi. Kecenderungan hubungan antara pendidikan ibu pada kelompok penerima dengan tingkat konsumsi energi, dapat dilihat pada Tabel 52 (Lampiran 3). Tabel 32Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pendidikan ibu pada kelompok penerima Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah
Def. Berat (>70%)
Def. Sedang (70-79%) n %
Penerima Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
n
%
Over (>120%)
Total
n
%
1 12 1 14
100,0 30,0 100,0 33,3
0 7 0 7
0,0 17,5 0,0 16,7
0 6 0 6
0,0 15,0 0,0 14,3
0 9 0 9
0,0 22,5 0,0 21,4
0 6 0 6
0,0 15,0 0,0 14,3
1 40 1 42
100,0 100,0 100,0 100,0
1
100,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
1
100,0
70
Sedang Tinggi Total
16 0 17
40,0 0,0 40,5
2 0 2
5,0 0,0 4,8
1 0 1
2,5 0,0 2,4
11 0 11
27,5 0,0 26,2
10 1 11
25,0 100,0 26,2
40 1 42
100,0 100,0 100,0
Seluruh keluarga pada kelompok penerima dengan akses pangan yang tergolong rendah memiliki tingkat konsumsi protein defisit berat begitupun halnya keluarga dengan akses pangan sedang, sebagian besar (40,0%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat. Keluarga dengan akses pangan yang tinggi seluruhnya tergolong lebih. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok penerima. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan ibu yang lebih tinggi tidak menjamin pemenuhan konsumsi energi dan protein yang lebih baik, karena dengan pendidikan sedang pun konsumsi energi atau protein masih tergolong defisit. Kecenderungan hubungan antara pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi energi dan proteinpada kelompok penerima, dapat dilihat pada Tabel 52 (Lampiran 3). Tabel 33Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pendidikan ibu pada kelompok bukan penerima Pendidikan Ibu Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Def. Berat (>70%)
Def. Sedang (70-79%) n %
Bukan Penerima Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
n
%
Over (>120%)
Total
n
%
0 18 0 18
0,0 42,9 0,0 42,9
0 5 0 5
0,0 11,9 0,0 11,9
0 6 0 6
0,0 15,0 0,0 14,3
0 8 0 8
0,0 19,1 0,0 19,1
0 5 0 5
0,0 11,9 0,0 11,9
0 42 0 42
0,0 100,0 0,0 100,0
0 21 0 21
0,0 50,0 0,0 50,0
0 4 0 4
0,0 9,5 0,0 9,5
0 1 0 1
0,0 2,4 0,0 2,4
0 9 0 9
0,0 21,4 0,0 21,4
0 7 0 7
0,0 16,7 0,0 16,7
0 42 0 42
0,0 100,0 0,0 100,0
Tabel 33 menunjukkan bahwa seluruh keluarga pada kelompok bukan penerima program tergolong memiliki akses pangan sedang yang sebagian besar tingkat konsumsi energi dan proteinnya tergolong defisit berat. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara pendidikan ibu dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada kelompok bukan penerima.Hal tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan ibu yang lebih tinggi tidak menjamin pemenuhan konsumsi protein yang lebih baik, karena dengan pendidikan sedang pun konsumsi protein masih tergolong defisit. Kecenderungan hubungan antara pendidikan ibu pada kelompok penerima
71
dengan tingkat konsumsi protein, dapat dilihat pada Tabel 52 (Lampiran 3). Menurut Madanijah (2004), pendidikan ibu yang tinggi tidak selalu diikuti dengan pengetahuan yang memadai tentang gizi, diduga kemampuan memilih makanan untuk dikonsumsi dapat terhambat. Hubungan Akses Pangan Komponen Pengetahuan Gizi Ibudengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Menurut Sanjur (1982) pengetahuan gizi ibu merupakan pemahaman seseorang tentang ilmu gizi, zat gizi, dan interaksi antara zat gizi terhadap staus gizi dan kesehatan. Ibu sebagai penentu penyelenggaraan tingkat keluarga sangat berpengaruh terhadap konsumsi keluarga. Kaitan antara pengetahuan gizi ibu dengan akses pangan keluarga, bahwa pengetahuan gizi ibu yang diperoleh dari pendidikan formal maupun informal ataupun informasi dari media akan memberikan pengaruh terhadap cara suatu keluarga memperoleh pangan yang baik. Tabel 34Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu pada keseluruhan contoh Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Def. Berat (>70%)
Def. Sedang (70-79%) n %
Total Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
12 17 2 31
38,7 38,6 22,2 36,9
4 5 3 12
12,9 11,4 33,3 14,3
6 6 1 13
19,4 13,6 11,1 15,5
2 13 2 17
13 24 1 38
41,9 54,5 11,1 45,2
3 3 0 6
9,7 6,8 0,0 7,1
5 2 0 7
16,1 4,6 0,0 8,3
4 6 5 15
Over (>120%)
Total
n
%
n
%
6,4 29,6 22,2 20,2
7 3 1 11
22,6 6,8 11,1 13,1
31 44 9 84
100,0 100,0 100,0 100,0
12,9 13,6 55,6 17,9
6 9 3 18
19,4 20,4 33,3 21,4
31 44 9 84
100,0 100,0 100,0 100,0
Berdasarkan Tabel 34 dapat diketahui bahwa, keluarga dengan akses pangan rendah pada keseluruhan kelompok sebagian besar (38,7%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat dan terdapat hanya (6,5%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi normal. Keluarga dengan akses pangan sedang sebagian besar (38,6%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, dan terdapat (23,0%) keluarga yang merupakan persentase tebesar kedua memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Keluarga dengan akses pangan yang tergolong tinggi sebagian besar (33,3%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit sedang dan
72
terdapat (22,2%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu dengan tingkat konsumsi energi pada keseluruhan contoh. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengetahuan gizi ibu yang tergolong lebih tinggi pun cenderung tidak menjamin tingkat konsumsi energi yang lebih baik, karena dengan pengetahuan gizi ibu yang tergolong tinggi pun rata-rata keluarga masih memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit. Menurut Sanjur (1982) pengetahuan gizi ibu tidak selalu linear dalam mempengaruhi tingkat konsumsi keluarga, karena pengetahuan gizi tidak dapat berdiri sendiri tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Keluarga dengan akses pangan rendah pada keseluruhan contoh sebagian besar (41,9%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan hanya terdapat (12,9%) keluarga yang memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Keluarga dengan akses pangan sedang sebagian besar (54,5%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan hanya (13,6%) keluarga dengan tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Berbeda dengan keluarga yang memiliki akses pangan tinggi sebagian (55,6%) besar tergolong normal, dan sebagian kecil (11,1%) tergolong defisit berat. Data selengkapnya dapat dilihat dari Tabel 34. Keluarga dengan akses pangan sedang dan tingkat konsumsi protein tergolong defisit berat, apabila dibandingkan dengan keluarga yang tergolong akses pangan rendah, menunjukan bahwa akses pangan yang tergolong lebih tinggi pun tingkat konsumsi protein tergolong tidak lebih baik. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu dengan tingkat konsumsi protein pada keseluruhan contoh. Menurut Sanjur (1982) pengetahuan gizi ibu tidak selalu linear dalam mempengaruhi tingkat konsumsi keluarga, karena pengetahuan gizi tidak dapat berdiri sendiri tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Berdasarkan Tabel 35 dapat diketahui bahwa, keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok penerima sebagian besar (40,0%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat dan terdapat pula (26,7%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi lebih. Keluarga dengan akses pangan
73
sedang sebagian besar (38,1%) tergolong memiliki tingkat konsumsi energi normal, dan (28,6%) keluarga yang merupakan persentase tebesar kedua memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat. Keluarga dengan akses pangan tinggi sebagian besar (33,3%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit sedang. Tabel 35Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu pada kelompok penerima Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Def. Berat (>70%)
Def. Sedang (70-79%) n %
Penerima Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
n
%
Over (>120%)
Total
n
%
6 6 1 13
40,0 28,6 16,8 31,0
2 3 2 7
13,3 14,3 33,3 16,8
3 3 1 7
20,0 14,3 16,8 16,8
0 8 1 9
0,0 38,1 16,8 21,4
4 1 1 6
26,7 4,8 16,7 14,3
15 21 6 42
100,0 100,0 100,0 100,0
6 11 0 17
40,0 52,4 0,0 40,5
2 0 0 2
13,3 0,0 0,0 4,8
0 1 0 1
0,0 4,8 0,0 2,4
4 3 4 11
26,8 14,3 66,7 26,2
3 6 2 11
20,0 28,6 33,3 26,2
15 21 6 42
100,0 100,0 100,0 100,0
Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok penerima. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengetahuan gizi ibu yang tergolong lebih tinggi pun cenderung tidak menjamin tingkat konsumsi energi yang lebih baik, karena dengan akses pangan berdasarkan pengetahuan gizi ibu yang tergolong tinggi pun rata-rata keluarga masih memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit. Menurut Sanjur (1983) pengetahuan gizi ibu tidak selalu linear dalam mempengaruhi tingkat konsumsi keluarga, karena pengetahuan gizi tidak dapat berdiri sendiri tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Kecenderungan hubungan antara pengetahuan gizi ibu terhadap tingkat konsumsi energipada kelompok penerima, dapat dilihat pada Tabel 53 (Lampiran 3). Keluarga dengan akses pangan yang tergolong rendah pada kelompok penerima sebagian besar (40,0%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat dan terdapat (26,7%) keluarga dengan tingkat konsumsi protein normal. Begitu pun halnya pada keluarga dengan akses pangan sedang yang
sebagian
besar
(52,4%)
tergolong
defisit
berat,
dan
terdapat
(14,3%)keluarga yang memiliki tingkat konsumsi protein tergolong normal. Keluarga dengan akses pangan tinggi sebagian besar (66,7%) memiliki tingkat
74
konsumsi protein yang tergolong normal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keluarga dengan akses pangan berdasarkan pengetahuan gizi ibu yang sedang, dibandingkan keluarga dengan akses pangan yang rendah pun masih memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dengan demikian akses pangan berdasarkan pengetahuan gizi yang tergolong lebih tinggi pun tingkat konsumsi proteinnya cenderung tidak lebih baik. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok penerima. Menurut Sanjur (1983) pengetahuan gizi ibu tidak selalu
linear
dalam
mempengaruhi
tingkat
konsumsi
keluarga,
karena
pengetahuan gizi tidak dapat berdiri sendiri tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Kecenderungan hubungan antara pengetahuan gizi ibu terhadap tingkat konsumsi proteinpada kelompok penerima, dapat dilihat pada Tabel 53 (Lampiran 3). Tabel 36Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu pada kelompok bukan penerima Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Def. Berat (>70%)
Def. Sedang (70-79%) n %
Bukan Penerima Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
n
%
Over (>120%)
Total
n
%
6 11 1 18
37,5 47,8 33,3 42,9
2 2 1 5
12,5 8,7 33,3 11,9
3 3 0 6
18,8 7,5 0,0 15,0
2 5 1 8
12,5 21,7 33,3 19,1
3 2 0 5
18,8 8,7 0,0 11,9
16 23 3 42
100,0 100,0 100,0 100,0
7 13 1 21
43,8 56,5 33,3 50,0
1 3 0 4
6,2 13,0 0,0 9,5
5 1 0 6
12,5 4,4 0,0 14,3
0 3 1 4
0,0 13,0 33,3 9,5
3 3 1 7
18,8 13,0 33,3 16,7
16 23 3 42
100,0 100,0 100,0 100,0
Berdasarkan Tabel 36 dapat diketahui bahwa, keluarga dengan akses pangan yang tergolong rendah pada kelompok bukan penerima sebagian besar (37,5%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat dan terdapat (12,5%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi normal. Keluarga dengan akses pangan sedang sebagian besar (47,8%) tergolong memiliki tingkat konsumsi energi yang defisit berat dan (21,7%) keluarga yang merupakan persentase terbesar kedua memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Keluarga dengan akses pangan yang tergolong tinggi masing-masing (33,3%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat,sedang,
75
dan normal. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok bukan penerima. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengetahuan gizi ibu yang tergolong lebih tinggi pun cenderung tidak menjamin tingkat konsumsi energi yang lebih baik. Menurut Sanjur (1983) pengetahuan gizi ibu tidak selalu linear dalam mempengaruhi tingkat konsumsi keluarga, karena pengetahuan gizi tidak dapat berdiri sendiri tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Kecenderungan hubungan antara pengetahuan gizi ibu terhadap tingkat konsumsi energipada kelompok bukan penerima, dapat dilihat pada Tabel 53 (Lampiran 3). Keluarga dengan akses pangan yang tergolong rendah pada kelompok bukan penerima sebagian besar (43,8%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat. Begitu pun halnya pada keluarga dengan akses pangan sedang yang sebagian besar (56,5%) tergolong defisit berat, dan terdapat (13,0%) keluarga yang memiliki tingkat konsumsi protein tergolong normal. Keluarga dengan akses pangan yang tergolong tinggi masing-masing (33,3%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, normal, dan lebih. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keluarga dengan akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu yang lebih tinggi, tingkat konsumsi proteinnya tidak menjadi lebih baik pula. Menurut Sanjur (1983) pengetahuan gizi ibu tidak selalu linear dalam mempengaruhi tingkat konsumsi keluarga, karena pengetahuan gizi tidak dapat berdiri sendiri tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi. Hasil uji korelasipearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pengetahuan gizi ibu dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok bukan penerima. Kecenderungan hubungan antara pengetahuan gizi ibu terhadap tingkat konsumsi protein pada kelompok bukan penerima, dapat dilihat pada Tabel 53 (Lampiran 3). Hubungan Akses Pangan Komponen Pengeluaran Total Per Kapita Per Bulandengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Menurut Departemen Pertanian (2008) pengeluaran mempengaruhi akses pangan suatu keluarga. Hasil penelitian Hildawati (2008) pengeluaran keluarga per kapita per bulan berhubungan positif dengan akses pangan, dan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi energi dan protein. Berdasarkan Tabel 37 sebagian besar (37,5%) keluarga dengan akses pangan rendah pada keseluruhan contoh memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, adapun sebanyak (25,0%) keluarga memiliki tingkat konsumsi energi yang
76
tergolong normal. Sebagian besar (37,5%) keluarga dengan akses pangan sedang tergolong defisit berat dan lebih. Berdasarkan tingkat konsumsienergi serta rata-rata pengeluaran per kapita per bulan yang merupakan komponen akses pangan, menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi energi dengan menigkatnya pengeluaran per kapita per bulan pada keseluruhan contoh. Hasil uji korelasipearson
menunjukan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan (p<0,05) antara akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi energi pada keseluruhan kelompok. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin tinggi pengeluaran maka tingkat konsumsi energi semakin lebih baik, sesuai dengan Hildawati (2008) bahwa pengeluaran mempengaruhi tingkat konsumsi energi. Tabel 37Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan pada keseluruhan kelompok Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Total Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
n
%
n
%
Def. Sedang (70-79%) n %
9 3 19 31
37,5 37,5 36,5 36,9
2 2 8 12
8,3 25,0 15,4 14,3
6 0 7 13
25,0 0,0 13,5 15,5
6 0 11 17
25,0 0,0 21,2 20,2
1 3 7 11
4,2 37,5 13,5 13,1
24 8 52 84
100,0 100,0 100,0 100,0
12 4 22 38
50,0 50,0 42,3 45,2
1 0 5 6
4,2 0,0 9,6 7,1
0 0 2 2
0,0 0,0 3,8 2,4
6 2 12 20
25,0 25,0 23,1 23,8
5 2 11 18
20,8 25,0 21,2 21,4
24 8 52 84
100,0 100,0 100,0 100,0
Def. Berat (>70%)
Over (>120%)
Total
Sebagian besar (50,0%) keluarga dengan akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan yang rendah dan sedang pada keseluruhan contoh memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat. Begitupun halnya dengan akses pangan yang tergolong tinggi, sebagian besar (42,3%) tergolong defisit berat, dan (23,1%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 37. Adapun rata-rata pengeluaran per menunjukkan
bahwa
kapita per
terdapat
bulan pada keseluruhan contoh
kecenderungan
semakin
meningkatnya
pengeluaran per kapita per bulan semakin lebih baik tingkat konsumsi proteinnya. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) antara akses pangan komponen pengeluaran per kapita
77
per bulan dengan tingkat konsumsi protein pada keseluruhan kelompok. Hal tersebut
mengindikasikan
bahwa
semakin
tinggi
pengeluaran
maka
tingkatkonsumsi protein semakin lebih baik, sesuai dengan Hildawati (2008) bahwa pengeluaran mempengaruhi tingkat konsumsi protein. Berdasarkan Tabel 38 sebagian besar (42,9%) keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok penerima memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, sedangkan persentase terbesar (50,0%) pada keluarga dengan akses pangan sedang tergolong defisit berat dan lebih. Keluarga dengan akses pangan tinggi sebagian besar (27,3%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, dan terdapat (21,2%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit sedang dan normal. Berdasarkan tingkat konsumsi energi serta rata-rata pengeluaran per kapita per bulan yang merupakan
komponen
akses
pangan,
menunjukkan
bahwa
terdapat
kecenderungan peningkatan konsumsi energi dengan menigkatnya pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok penerima. Tabel 38Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok penerima Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Penerima Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
Def. Sedang (70-79%) n %
3 1 9 13
42,9 50,0 27,3 31,0
0 0 7 7
0,0 0,0 21,2 16,7
2 0 5 7
28,6 0,0 15,2 16,7
2 0 7 9
28,6 0,0 21,2 21,4
4 1 12 17
57,1 50,0 36,4 40,5
0 0 2 2
0,0 0,0 6,1 4,8
0 0 1 1
0,0 0,0 3,0 2,4
2 0 9 11
28,6 0,0 27,3 26,2
Def. Berat (>70%)
Over (>120%) n
Total
%
n
%
0 1 5 6
0,0 50,0 15,2 14,3
7 2 33 42
100,0 100,0 100,0 100,0
1 1 9 11
14,3 50,0 27,3 26,2
7 2 33 42
100,0 100,0 100,0 100,0
Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) antara akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok penerima. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin tinggi pengeluaran maka tingkat konsumsi energi semakin lebih baik, sesuai dengan Hildawati (2008) bahwa pengeluaran mempengaruhi tingkat konsumsi energi. Kecenderungan hubungan antara pengeluaran total pada kelompok penerima terhadap tingkat konsumsi energi, dapat dilihat pada Tabel 54 (Lampiran 3).
78
Sebagian besar (57,1%) keluarga dengan akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan yang rendah pada kelompok penerima memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat. Begitupun halnya dengan akses pangan yang tergolong sedang sebagian besar (50,0%) keluargamemiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat dan lebih. Adapun keluarga dengan akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan yang tergolong tinggi, sebagian besar (36,4%) tergolong defisit berat, dan terdapat (27,3%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong normal dan lebih. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 38. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok penerima. Kecenderungan hubungan antara pengeluaran total pada kelompok penerima terhadap tingkat konsumsi protein, dapat dilihat pada Tabel 54 (Lampiran 3). Tabel 39Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok bukan penerima Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Bukan Penerima Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
n
%
n
%
Def. Sedang (70-79%) n %
6 2 10 18
35,3 33,3 52,6 42,9
2 2 1 5
11,8 33,3 5,3 11,9
4 0 2 6
23,5 0,0 5,0 15,0
4 0 4 8
23,5 0,0 21,1 19,1
1 2 2 5
5,9 33,3 10,5 11,9
17 6 19 42
100,0 100,0 100,0 100,0
8 3 10 21
47,1 50,0 52,6 50,0
1 0 3 4
5,9 0,0 15,8 9,5
0 0 1 1
0,0 0,0 2,5 2,4
4 2 3 9
23,5 33,3 15,8 21,4
4 1 2 7
23,5 16,7 10,5 16,7
17 6 19 42
100,0 100,0 100,0 100,0
Def. Berat (>70%)
Over (>120%)
Total
Berdasarkan Tabel 39 sebagian besar (35,3%) keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok bukan penerima memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat dan terdapat (23,5%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Keluarga dengan akses pangan sedang memiliki persentase sama (33,3%) dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, defisit sedang,dan lebih. Keluarga dengan akses pangan tinggi sebagian besar (52,6%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, dan terdapat (21,1%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit normal. Berdasarkan tingkat konsumsi energi serta rata-
79
rata pengeluaran per kapita per bulan yang merupakan komponen akses pangan, menunjukkan bahwa dengan menigkatnya pengeluaran per kapita per bulan pada kelompok bukan penerima, tingkat konsumsi energi pun menjadi lebih baik. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) antara akses pangan komponen pengeluaran per kapita perbulan dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok bukan penerima. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin tinggi pengeluaran maka tingkat konsumsi energi semakin lebih baik, sesuai dengan Hildawati (2008) bahwa pengeluaran mempengaruhi tingkat konsumsi energi. Kecenderungan hubungan antara pengeluaran total terhadap tingkat konsumsi energi pada kelompok bukan penerima, dapat dilihat pada Tabel 54 (Lampiran 3). Sebagian besar (47,1%) keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok bukan penerima memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan terdapat (23,5%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Begitupun halnya dengan akses pangan yang tergolong sedang sebagian besar (50,0%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan (33,3%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Adapun keluarga dengan akses pangan yang tergolong tinggi, sebagian besar (52,6%) tergolong defisit berat, dan (15,8%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit sedang dan normal. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 39. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok bukan penerima. Kecenderungan hubungan antara pengeluaran total terhadap tingkat konsumsi proteinpada kelompok bukan penerima, dapat dilihat pada Tabel 54 (Lampiran 3). Hubungan Akses Pangan Komponen Pengeluaran Pangan Per Kapita Per Bulandengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Akses pangan yang secara ekonomi diartikan sebagai kemampuan suatu keluarga dalam membeli pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pengeluaran pangan sebagai pendekatan daya beli terhadap pangan seperti yang dijelaskan menurut Departemen Pertanian (2008) bahwa akses pangan termasuk didalamnya daya beli terhadap pangan. Berdasarkan Tabel 40 sebagian besar (61,1%) keluarga dengan akses pangan rendah pada keseluruhan contoh memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat,
80
adapun (22,2%) keluarga memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit ringan. Sebagian besar (41,2%) keluarga dengan akses pangan sedang tergolong defisit berat dan terdapat (35,3%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Keluarga dengan akses pangan yang tergolong tinggi sebagian besar (26,5%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergoiong defisit berat, dan (20,4%) keluarga memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong normal dan lebih. Berdasarkan tingkat konsumsi energi serta rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan yang merupakan komponen akses pangan, menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan dengan meningkatnya pengeluaran pangan per kapita per bulan dengan semakin baikpula tingkat konsumsi energinya pada keseluruhan contoh. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,01) antara akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi energi pada keseluruhan kelompok. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin tinggi pengeluaran pangan maka tingkat konsumsi energi semakin lebih baik. Tabel 40Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan pada keseluruhan kelompok Total Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
n
%
Def. Sedang (70-79%) n %
11 7 13 31
61,1 41,2 26,5 36,9
2 2 8 12
11,1 11,8 16,3 14,3
4 1 8 13
11 8 19 38
61,1 47,1 38,8 45,2
1 0 5 6
5,6 0,0 10,2 7,1
0 1 1 2
Def. Berat (>70%)
Def. Ringan (80-89%) n %
Normal (90-119%)
Over (>120%)
Total
n
%
n
%
n
%
22,2 5,9 16,3 15,5
1 6 10 17
5,6 35,3 20,4 20,2
0 1 10 11
0,0 5,9 20,4 13,1
18 17 49 84
100,0 100,0 100,0 100,0
0,0 5,9 2,0 2,4
5 4 11 20
27,8 23,5 22,4 23,8
1 4 13 18
5,6 23,5 26,5 21,4
18 17 49 84
100,0 100,0 100,0 100,0
Keluarga pada keseluruhan contoh yang sebagian besar keluarga dengan akses pangan rendah (61,1%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat dan terdapat (27,8%) keluarga dengan tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Adapun keluarga dengan akses pangan sedang pada keseluruhan contoh sebagian besar (47,1%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan terdapat (23,5%) keluarga dengan tingkat konsumsi protein yang tergolong normal dan lebih. Begitupun halnya dengan
81
akses pangan yang tergolong tinggi, sebagian besar (38,8%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan (26,5%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong lebih. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 40. Adapun berdasarkan rata-rata pengeluaran pangan per kapita per
bulan
pada
keseluruhan
contoh
menunjukkan
bahwa
terdapat
kecenderungan dengan semakin meningkatnya pengeluaran pangan per kapita per
bulan
semakin
lebih
baik
tingkat
konsumsi
proteinnya.
Hasil
uji
korelasipearson menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,01) antara akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan dengan
tingkat
konsumsi
protein
pada
keseluruhan
kelompok.
Hal
tersebutmengindikasikan bahwa semakin tinggi pengeluaran pangan maka tingkat konsumsi protein semakin lebih baik. Tabel 41Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan pada kelompok penerima Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Penerima Def. Normal (90Ringan 119%) (80-89%) n % n %
n
%
Def. Sedang (70-79%) n %
3 3 7 13
50,0 50,0 23,3 31,0
1 1 5 7
16,7 16,7 16,7 16,7
1 0 6 7
16,7 0,0 20,0 16,7
1 2 6 9
16,7 33,3 20,0 21,4
3 3 11 17
50,0 50,0 36,7 40,5
0 0 2 2
0,0 0,0 6,7 4,8
0 0 1 1
0,0 0,0 3,3 2,4
3 2 6 11
50,0 33,3 20,0 26,2
Def. Berat (>70%)
Over (>120%) n
Total
%
n
%
0 0 6 6
0,0 0,0 20,0 14,3
6 6 30 42
100,0 100,0 100,0 100,0
0 1 10 11
0,0 16,7 33,3 26,2
6 6 30 42
100,0 100,0 100,0 100,0
Berdasarkan Tabel 41 sebagian besar (50,0%) keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok penerima memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat dan terdapat (16,7%) keluarga memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit sedang, ringan dan normal. Begitupun halnya dengan persentase terbesar (50,0%) pada keluarga dengan akses pangan sedang yang memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, dan terdapat (33,3%) keluarga yang merupakan persentase terbesar kedua, dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Adapun keluarga dengan akses pangan tinggi sebagian besar (23,3%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, dan terdapat (20,0%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit ringan, normal, dan lebih.
82
Berdasarkan tingkat konsumsi energi serta rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan yang merupakan komponen akses pangan, menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan dengan meningkatnya pengeluaran pangan per kapita per bulan dengan semakin baik pula tingkat konsumsi energinya pada kelompok penerima. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) antara akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok penerima. Kecenderungan hubungan antara pengeluaran pangan dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok penerima, dapat dilihat pada Tabel 54 (Lampiran 3). Keluarga dengan akses pangan yang rendah pada kelompok penerima memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat (50,0%) dannormal (50,0%). Begitupun halnya dengan akses pangan yang tergolong sedang sebagian besar (50,0%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat dan terdapat (33,3%) keluarga dengan tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Adapun keluarga dengan akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan, yang tergolong tinggi sebagian besar (36,7%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan terdapat pula (33,3%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong lebih. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 41. Berdasarkan tingkat konsumsi protein serta rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan yang merupakan komponen akses pangan, menunjukkan bahwa tidak terdapat kecenderungan dengan meningkatnya pengeluaran pangan per kapita per bulan dengan semakin baik pula tingkat konsumsi energinya pada kelompok penerima. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keluarga dengan pengeluaran pangan per kapita per bulan yang lebih tinggi cenderung tingkat konsumsi proteinnya tidak menjadi lebih baik. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok penerima. Kecenderungan hubungan antara pengeluaran pangan dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok penerima, dapat dilihat pada Tabel 54 (Lampiran 3). Berdasarkan Tabel 42 sebagian besar (66,7%) keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok bukan penerima memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit ringan, dan terdapat (25,0%) keluarga dengan tingkat
83
konsumsi energi yang tergolong defisit ringan. Keluarga dengan akses pangan sedang (36,4%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat dan normal. Keluarga dengan akses pangan tinggi sebagian besar (31,6%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, dan terdapat (21,1%) keluarga memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong normal dan lebih. Berdasarkan tingkat konsumsi energi serta rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan yang merupakan komponen akses pangan, menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan dengan menigkatnya pengeluaran pangan per kapita per bulan pada kelompok bukan penerima, tingkat konsumsi energi pun menjadi lebih baik. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,01) antara akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok bukan penerima. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin tinggi pengeluaran pangan maka tingkat konsumsi energi semakin lebih baik. Kecenderungan hubungan antara pengeluaran pangan dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok bukan penerima, dapat dilihat pada Tabel 54 (Lampiran 3). Tabel 42Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan pada kelompok bukan penerima Bukan Penerima Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
n
%
Def. Sedang (70-79%) n %
8 4 6 18
66,7 36,4 31,6 42,9
1 1 3 5
8,3 9,1 15,8 11,9
3 1 2 6
25,0 9,1 5,0 15,0
0 4 4 8
0,0 36,4 21,1 19,1
0 1 4 5
0,0 9,1 21,1 11,9
12 11 19 42
100,0 100,0 100,0 100,0
8 5 8 21
66,7 45,4 42,1 50,0
1 0 3 4
8,3 0,0 15,8 9,5
0 1 0 1
0,0 9,1 0,0 2,4
2 2 5 9
16,7 18,2 26,3 21,4
1 3 3 7
8,3 27,3 15,8 16,7
12 11 19 42
100,0 100,0 100,0 100,0
Def. Berat (>70%)
Def. Ringan (80-89%)
Normal (90-119%)
Over (>120%)
n
n
%
n
%
n
%
%
Total
Sebagian besar (66,7%) keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok bukan penerima memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan terdapat (16,7%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Begitupun halnya dengan akses pangan yang tergolong sedang sebagian besar (45,4%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan (27,3%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein
84
yang tergolong lebih. Adapun keluarga dengan akses pangan yang tergolong tinggi, sebagian besar (42,1%) tergolong defisit berat, dan terdapat (26,3%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 42. Berdasarkan tingkat konsumsi protein serta rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan yang merupakan komponen akses pangan, menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan dengan meningkatnya pengeluaran pangan per kapita per bulan pada kelompok bukan bukan penerima, tingkat konsumsi energi pun menjadi lebih baik. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,01) antara akses pangan komponen pengeluaran pangan per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok bukan penerima. Kecenderungan hubungan antara pengeluaran pangan dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok bukan penerima, dapat dilihat pada Tabel 54 (Lampiran 3). Hubungan Akses Pangan dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Berdasarkan Tabel 43 sebagian besar (37,5%) keluarga dengan akses pangan rendah pada keseluruhan contoh memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, adapun (25,0%) keluarga memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Sebagian besar (37,5%) keluarga dengan akses pangan sedang tergolong defisit berat dan lebih. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi pada keseluruhan contoh. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dengan akses pangan yang lebih baik tidak menjamin tingkat konsumsi energi yang semakin lebih baik pula. Tabel 43Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan pada keseluruhan kelompok Total Akses Pangan
Def. Berat (>70%) n
Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
%
Def. Sedang (70-79%) n %
Def. Ringan (80-89%) n %
Normal (90-119%)
Over (>120%)
Total
n
%
n
%
n
%
4 17 10 31
50,0 38,6 31,2 36,9
0 7 5 12
0,0 15,9 15,6 14,3
4 5 4 13
50,0 11,4 12,5 15,5
0 7 10 17
0,0 15,9 31,2 20,2
0 8 3 11
0,0 18,2 9,4 13,1
8 44 32 84
100,0 100,0 100,0 100,0
4 20 14 38
50,0 45,4 43,8 45,2
1 3 2 6
12,5 6,8 6,2 7,1
0 1 1 2
0,0 2,3 3,1 2,4
2 11 7 20
25,0 25,0 21,9 23,8
1 9 8 18
12,5 20,4 25,0 21,4
8 44 32 84
100,0 100,0 100,0 100,0
85
Keluarga pada keseluruhan contoh yang sebagian besar (50,0%) keluarga dengan akses pangan rendah memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat dan terdapat (25,0%) keluarga dengan tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Adapun keluarga dengan akses pangan sedang pada keseluruhan contoh sebagian besar (45,4%) memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan (25,0%) tergolong normal. Begitupun halnya dengan akses pangan yang tergoong tinggi, sebagian besar (43,8%) tergolong defisit berat, dan (21,9%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 43. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan dengan tingkat konsumsi protein pada keseluruhan kelompok. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dengan akses pangan yang semakin tinggi tidak menjamin tingkat konsumsi protein semakin lebih baik pula. Tabel 44Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan pada kelompok penerima Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Penerima Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
Def. Sedang (70-79%) n %
2 6 5 13
66,7 31,6 25,0 31,0
0 4 3 7
0,0 21,1 15,0 16,7
1 3 3 7
33,3 15,8 15,0 16,7
0 2 7 9
0,0 10,5 35,0 21,4
2 8 7 17
66,7 42,1 35,0 40,5
0 2 0 2
0,0 10,5 0,0 4,8
0 0 1 1
0,0 0,0 5,0 2,4
1 5 5 11
33,3 26,3 25,0 26,2
Def. Berat (>70%)
Over (>120%) n
Total
%
n
%
0 4 2 6
0,0 21,1 10,0 14,3
3 19 20 42
100,0 100,0 100,0 100,0
0 4 7 11
0,0 21,1 35,0 26,2
3 19 20 42
100,0 100,0 100,0 100,0
Berdasarkan Tabel 44 sebagian besar (66,7%) keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok penerima memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat dan terdapat (33,3%) keluarga yang memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit ringan. Persentase terbesar (31,6%) pada keluarga dengan akses pangan sedang tergolong defisit berat, dan terdapat (21,1%) keluarga yang merupakan persentase terbesar kedua, dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit sedang dan lebih. Adapun keluarga dengan akses pangan tinggi sebagian besar (35,0%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong normal.Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok penerima. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
86
dengan akses pangan yang lebih tinggi, tingkat konsumsi energinya tidak menjadi lebih baik. Kecenderungan hubungan antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok penerima, dapat dilihat pada Tabel 55 (Lampiran 3). Sebagian besar (66,7%) keluarga dengan akses pangan yang rendah pada kelompok penerima memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan terdapat (33,3%) keluarga dengan tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Begitupun halnya dengan akses pangan yang tergolong sedang sebagian besar (42,1%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat dan terdapat (26,3%) keluarga dengan tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Adapun keluarga dengan akses pangan komponen pengeluaran per kapita per bulan yang tergolong tinggi, sebagian besar (35,0%) tergolong defisit berat, dan (25,0%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 44. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa tidakterdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok penerima. Kecenderungan hubungan antara akses pangan dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok penerima, dapat dilihat pada Tabel 55 (Lampiran 3). Program desa mandiri pangan diduga hanya dapat meningkatkan akses pangan terutama komponen pengeluaran total dan pengeluaran pangan, tetapi tidak dapat meningkatkan konsumsi energi dan protein sebagai tujuan program tersebut. Hal tersebut diduga karena dengan adanya peningkatan pendapatan (pendekatan pengeluaran) keluarga penerima program desa mandiri pangan belum dapat mengalokasikan pendapatan tersebut untuk membeli pangan, hal tersebut dapat terlihat dari persentase pengeluaran non pangan untuk barang dan jasa pada kelompok penerima, terutama rokok (Tabel 15). Hasil penelitian Ambarwati (2009) menunjukkan bahwa, sebagian besar rumahtangga penerima program pemberdayaan memiliki rata-rata tingkat kecukupan energi per kapita per hari tergolong defisit tingkat sedang (77,1%). Hal tersebut dapat terjadi karena dengan meningkatnya pendapatan penerima program pemberdayaan dengan adanya bantuan dalam menambah modal usaha dari program pemberdayaan yang diikuti, pendapatan tersebut tenyata lebih dialokasikan untuk pengeluaran nonpangan seperti sandang dan papan dibandingkan untuk pengeluaran pangan. Berdasarkan fenomena tersebut dapat dikatakan bahwa
87
keikutsertaan dalam program pemberdayaan ekonomi masyarakat belum tentu dapat menyebabkan peningkatan jumlah konsumsi pangan pesertanya. Berdasarkan Tabel 45 sebagian besar (60,0%) keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok bukan penerima memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit ringan. Keluarga dengan akses pangan sedang sebagian besar (40,0%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, dan terdapat (20,0%) keluarga yang memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Keluarga dengan akses pangan tinggi sebagian besar (41,7%) memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit berat, dan terdapat (25,0%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong normal. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok bukan penerima. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin tingginya akses pangan maka tidak menjamin tingkat konsumsi energinya menjadi semakin lebih baik. Kecenderungan hubungan antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi pada kelompok bukan penerima, dapat dilihat pada Tabel 55 (Lampiran 3). Tabel 45Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan pada kelompok bukan penerima Akses Pangan Energi Rendah Sedang Tinggi Total Protein Rendah Sedang Tinggi Total
Bukan Penerima Def. Normal Ringan (90-119%) (80-89%) n % n %
n
%
n
%
n
%
Def. Sedang (70-79%) n %
2 11 5 18
40,0 44,0 41,7 42,9
0 3 2 5
0,0 12,0 16,7 11,9
3 2 1 6
60,0 8,0 8,3 14,3
0 5 3 8
0,0 20,0 25,0 19,1
0 4 1 5
0,0 16,0 8,3 11,9
5 25 12 42
100,0 100,0 100,0 100,0
2 12 7 21
40,0 48,0 58,3 50,0
1 1 2 4
20,0 4,0 16,7 9,5
0 1 0 1
0,0 4,0 0,0 2,4
1 6 2 9
20,0 24,0 16,7 21,4
1 5 1 7
20,0 20,0 8,3 16,7
5 25 12 42
100,0 100,0 100,0 100,0
Def. Berat (>70%)
Over (>120%)
Total
Sebagian besar (40,0%) keluarga dengan akses pangan rendah pada kelompok bukan penerima memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan terdapat (20,0%) keluarga dengan tingkat konsumsi energi yang tergolong defisit sedang, normal, dan lebih. Begitupun halnya dengan akses pangan yang tergolong sedang sebagian besar (48,0%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong defisit berat, dan (24,0%) keluarga memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong normal. Adapun keluarga
88
dengan akses pangan yang tergolong tinggi, sebagian besar (58,3%) tergolong defisit berat, dan (16,7%) keluarga memiliki tingkat konsumsi proteinyang tergolong defisit sedang dan normal. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 45. Hasil uji korelasipearson menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok bukan penerima. Kecenderungan hubungan antara akses pangan dengan tingkat konsumsi protein pada kelompok bukan penerima, dapat dilihat pada Tabel 55 (Lampiran 3).Tingginya akses pangan pada kelompok bukan penerima tidak menjamin tingkat konsumsi energi dan protein menjadi lebih baik, hal tersebut diduga karena keluarga dengan akses pangan tinggi terutama keluarga dengan pendapatan tinggi, selain mengalokasikan pendapatannya (pendekatan pengeluaran) untuk kebutuhan pokok, tetapi juga sebagian besar dialokasikan untuk barang dan jasa, terutama rokok (Tabel 15).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Karakteristik keluarga yang meliputi usia ayah dan ibu serta pekerjaan ayah, menunjukkan bahwa pada kelompok penerima maupun kelompok bukan penerima, sebagian besar ibu tergolong usia dewasa sedang. Usia ayah pada kelompok penerima (42,9%) tergolong dewasa sedang, sedangkan pada kelompok bukan penerima (42,9%) tergolong dewasa lanjut. Adapun rata-rata usia ayah dan ibu pada kelompok bukan penerima program lebih tua dibandingkan dengan rata-rata usia ayah dan ibu pada kelompok penerima. Pekerjaan ayah pada kelompok penerima adalah petani, berbeda dengan kelompok bukan penerima program yang sebagian besar bekerja sebagai buruh tani. 2. Akses pangan secara keseluruhan pada kelompok penerima tergolong lebih tinggi dibandingkan akses pangan pada kelompok bukan penerima program. Hasil uji beda independent t-test menujukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara akses pangan komponen pengeluaran total serta pengeluaran pangan per kapita per bulan, dan akses pangan pada kelompok penerima dan bukan penerima program. 3. Rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein pada kelompok penerima lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan penerima program, namun hasil uji beda independent t-test menujukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0,05) antara tingkat konsumsi energi dan protein pada kelompok penerima dan bukan penerima program. 4. Hasil uji korelasipearson pada kelompok penerima, bukan penerima, dan keseluruhan kelompok menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi dan protein. Saran 1. Terdapatnya tingkat konsumsi energi dan protein yang masih tergolong defisit berat perlu ditindaklanjuti, salah satunya adalah melalui peningkatan pengetahuan gizi ibu pada keluarga penerima dan bukan penerima program melalui penyuluhan pentingnya mengkonsumsi pangan yang cukup, terutama pemenuhan kebutuhan energi dan protein. 2. Diperlukan adanya peningkatan akses pangan untuk kelompok bukan penerima program, misalnya dengan menjadikan desa pada kelompok
90
tersebut sebagai desa mandiri pangan. Perlu berbagai upaya misalnya pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat sehingga mampu meningkatkan pendapatan keluarga dan penyuluhan tentang pangan dan gizi. 3. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai pengaruh keikutsertaan keluarga penerima program terhadap status gizi keluarga.
DAFTAR PUSTAKA Ambarwati R. 2009. Akses Pangan Rumah Tangga Penerima Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Kaitannya dengan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein di Kota dan Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Ariani M, Purwantini TB. 2002. Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca Krisis Ekonomi Di Propinsi Jawa Barat. Forum Agro Ekonomi. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Ariefiani R. 2009. Pola Asuh Makan Dan Kesehatan pada Rumah Tangga yang Tahan dan Tidak Tahan Pangan serta Kaitannya dengan Status Gizi Anak Balita di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Arisman. 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007a. Kumpulan Bahan Latihan Pemantauan dan Evaluasi Program-program Pengentasan Kemiskinan. Jakarta. ___________________. 2007b. Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi 2006 – 2010. Jakarta. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nsional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2011. Pedoman Umum Desa Mandiri Pangan 2011. Jakarta ___________________. 2010a. Pedoman Umum Program Aksi Desa Mandiri Pangan Menuju Gerakan Kemandirian Pangan 2010. Jakarta ___________________. 2010b. Pedoman Teknis Program Kerja Dan Anggaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010. Jakarta ___________________. 2009a. Laporan Pendampingan Program Desa Mandiri Pangan Desa Ciparigi Kecamatan Sukadana 2006. Ciamis ___________________. 2009b. Pedoman Umum Program Aksi Desa Mandiri Pangan Menuju Gerakan Kemandirian Pangan 2009. Jakarta ___________________. 2006. Laporan Pendampingan Program Desa Mandiri Pangan Desa Ciparigi Kecamatan Sukadana 2006. Ciamis [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Data dan Informasi Kemiskinan tahun 2004. Jakarta: BPS. ___________________. 2007. Data dan Informasi Kemiskinan 2005-2006. Jakarta: BPS.
92
___________________. 2008. Statistics). Jakarta: BPS.
Indikator
Kesejahteraan
Rakyat
(Welfare
___________________ Kabupaten Ciamis. 2010. Statistik Daerah Kabupaten Ciamis 2010. Ciamis: BPS. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1996. 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Kesehatan Keluarga. Departemen Pertanian. 2008. Peta Akses Pedesaan. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Hardinsyah, Martianto D 1992. Gizi Terapan. Bogor: PAU IPB. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: IPB Press Hildawati I. 2008. Analisis Akses Pangan serta Pengaruhnya Terhadap Tingkat Konsumsi Energi dan Protein pada Keluarga Nelayan Miskin [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Irawan PB, Romdiati H. 2000.Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Beberapa Implikasinya untuk Strategi Pembangunan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VII. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia hlm 193-239. Karsyono. 2000. Pola Penyerapan Tenaga Kerja Pedesaan di Indonesia. Prosiding. Dalam: Perubahan Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Jakarta: LIPI [KPH Ciamis] Kesatuan Pemangku Hutan Ciamis. 2011. Pengkajian Desa Secara Partisipatif Desa Bunter Kecamatan Sukadana Kabupaten Ciamis. Kusharto CM, Sa’diyyah NY. 2008. Diktat Penilaian Konsumsi Makan. Bogor: Departemen Gizi Mayarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Madanijah S. 2004. Model Pendidikan “GI PSI SEHAT” Bagi Ibu serta Dampaknya tehadap Perilaku Ibu, Lingkungan Pembelajaran, Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Usia Dini [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Penny DH. 1990. Kemiskinan: Peran Sistem Pasar. Rahayu et. al, Penerjemah. Mubyarto, Editor. Jakarta: UI Press. Terjemahan dai: Starvation: The Role of The Market System.
Purwantini TB, Ariani M. 2008. Pola Pengeluaran dan Konsumsi Pangan pada Rumah Tangga Petani Padi. Makalah. Dalam: Seminar Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Padi di Bogor, 19 November 2008.
93
[PNPM] Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri. 2008. Pedoman Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi. Jakarta Rachmat M et.al. 2010. Proposal Kajian Sistem Cadangan Pangan Masyarakat Pedesaan untuk Mengurangi 25% Resiko Kerawanan Pangan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Depatemen Pertanian. Saldanha J. 1998. Pertumbuhan Ekonomi, Survei Ekonomi Politik di Indonesia. Analisis CSIS Studi Pembangunan Politik, Pertumbuhan dan Kerja Intelektual, 02: hal 126-151 Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. New York: PrenticeHall Inc Enlewood Cliffs. Shite NW. 2011. Analisis Determinan Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Kota Medan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soekirman. 1994. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Suhardjo, Hardinsyah, dan Riyadi H. 1988. Survei Konsumsi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas (PAU) IPB kerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi. ___________________. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi aksara Bekerjasama dengan Pusat antar universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sukandar, D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi Petani Daerah Pasang Surut di Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor ___________________. 2009. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi dan Sanitasi Petani Transmigran di Rokan Hulu, Provinsi Riau. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor Sumarwan. 2004. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sumodiningrat G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Susilowati et. al. 2010. Indikator Pertanian dan Pedesaan: Karakter Sosial Ekonomi Petani Padi. Pusat Analisis Sosial Ekonomo dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depatermen Pertanian.
LAMPIRAN
95
Lampiran 1Kuesioner Penelitian Sheet: 1.Cover KUESIONER ANALISIS TINGKAT KONSUMSI ENERGI KAITANNYA DENGAN AKSES PANGAN KELUARGA PENERIMA DAN BUKAN PENERIMA PROGRAM DESA MANDIRI PANGAN Status Penerima
:...........................................................
(1=Penerima Desa Mandiri Pangan, 2=Bukan penerima Desa Mandiri Pangan)
No. Responden Nama Responden Nama KK RT RW Desa Kecamatan Kabupaten/Kota Tanggal wawancara Nama Enumerator
:........................................................... :........................................................... :........................................................... :........................................................... :........................................................... :........................................................... :........................................................... :........................................................... :........................................................... :...........................................................
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
96
Sheet 2 : Karkel A. Karakteristik keluarga
A1
A2
No
Nama
A3 Status dl klg
A4
A51
A52 Umur
Sex
Tahun
Bulan
A6 BB Kg
A7 Fisio logi
A8 Pendidikan Terakhir
A9 Pekerjaan Utama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Keterangan: Status dalam keluarga Sex Umur Berat badan (BB) Fisiologis Pendidikan terakhir Pekerjaan utama
Sheet 3: Income B. Pendapatan B1
Ang gota klg Suami
Istri
Lainnya
: 1 = suami, 2 = istri, 3 = anak, 4 = lainnya : 1 = laki-laki, 2 = perempuan : tahun = untuk orang dewasa, Umur: bulan = untuk bayi dan balita : BB contoh diukur dalam (Kg) : 1 = hamil trimester 1, 2 = hamil trimester 2, 3 = hamil trimester 3, 4 = menyusui 6 bulan pertama, 5 = menyusui 6 bulan kedua : 1 = tidak sekolah, 2 = SD, 3 = SLTP, 4= SLTA, 5 = Perguruan tinggi : 1 = tidak bekerja, 2= petani, 3 = pedagang, 4 = buruh tani, 5 = buruh non tani, 6= PNS/ABRI/polisi, 7=jasa (tukang ojek, tukang cukur, calo), 8 = IRT, 9=lainnya
B2
B3
Jenis Pekerjaan Hr
Pendapatan*) Rp per Mg Bln
B4
Jumlah waktu Kerja Th
Hr/ Mg
Mg/ Bl
1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3.
Jenis Pekerjaan
: 1 = tidak bekerja, 2= petani, 3 = pedagang, 4 = buruh tani, 5 = buruh non tani, 6= PNS/ABRI/polisi, 7=jasa (tukang ojek, tukang cukur, calo), 8 = IRT, 9=lainnya, jika tidak termasuk ke dalam kode pekerjaannya ditulis
Bln/ Th
97
Sheet 4: Pengeluaran C. Pengeluaran C1
No
C2
C3
Jenis pengeluaran
Pengeluaran Rp per Harian
1
PANGAN 1. Beras Sub total 1.1 2. Umbi-umbian 2.1. Ubi jalar 2.2. Singkong 2.3. Kentang Sub total 1.2 3. Jagung Sub total 1.3 4. Lauk (sebutkan) 4.1. Telur Ayam 4.2. Daging Ayam 4.3. Ikan Asin 4.4. Ikan segar 4.5. Tahu 4.6. Tempe 4.7. Daging sapi 4.8. 4.9. 4.10. Sub total 1.4 5. Sayur Sub total 1.5 6. Buah Sub total 1.6 7. Minyak goreng Sub total 1.7
Mingguan
Bulanan
Tahunan
98
No
Jenis pengeluaran
Pengeluaran Rp per Hari
8. Minuman 8. 1. Susu 8. 2. Kopi 8. 3. Gula 8. 4. Teh Sub total 1.8 9. Jajanan (Bakso, snack, permen, dll) 10.Lainnya 10.1. Kerupuk 10.2. Garam 10.3. Kecap 10.4. Saos 10.5. Bumbu 10.6. Mie 10.7. Tepung 10.8. 10.10. Sub total 1.10 Tot Pangan
2
NON PANGAN 1.Sekolah 1.1.SPP/BP3/Les 1.2.Uang transport 1.3.Buku/alat tulis 1.4. Seragam sekolah 1.6. Sepatu 1.7. Sub total 2.1 2. Pakaian/jahit baju Sub total 2.2
Minggu
Bulan
Tahunan
99
No
Jenis pengeluaran
Pengeluaran Rp per Hari
3. Alas kaki Sub total 2.3 4. Bahan bakar 4.1. Minyak tanah 4.2. Kayu bakar 4.3. Gas 4.4. Bensin 4.5. 4.6. Sub total 2.4 5. Kesehatan 5.1.Jasa pengobatan/pijit/bidan/mantri 5.2. Vitamin/suplemen/jamu 5.3. Obat-obatan 5.4. KB Sub total 2.5 6. Alat kebersihan/kecantikan 6.1. Sabun mandi 6.2. Odol 6.3. Sampoo 6.4. Conditioner 6.5. Sikat gigi 6.6. Kapas/pembalut 6.7. Sabun Cuci 6.8. Sikat pakaian 6.9. Bedak 6.10. Lipstik 6.11. Deodoran 6.12. Minyak wangi 6.13. Sapu 6.14.
Minggu
Bulan
Tahunan
100
No
Jenis pengeluaran
Pengeluaran Rp per Hari
Minggu
Bulan
6.16. Sub total 2.6 7. Rokok Sub total 2.7 8. Lain-lain 8.1. Transpor selain anak 8.2. Sewa/ merawat rumah 8.3. PAM/beli air bersih 8.4. Rekreasi/hiburan 8.5. Sumbangan 8.6. Kredit/ Arisan 8.7. Pembayaran pajak 8.8. Telepon 8.9. Listrik 8.10. Tabungan 8.11 8.12 8.13 8.14 Sub total 2.8 Tot Non Pangan TOTAL PENGELUARAN
Sheet 5: PengGiz D. Pengetahuan Gizi D11. Apakah yang dimaksud dengan makanan bergizi: 1. Segala sesuatu yang dimakan yang mengandung nilai gizi dan bermanfaat bagi tubuh. 2. Segala sesuatu yang bermanfaat bagi tubuh. 3. Makanan yang enak-enak. D12. Makanan yang kita konsumsi harus bergizi dan ….. 1. Mengandung banyak lemak 2. Beraneka ragam 3. Mahal harganya D13. Makanan yang beraneka ragam terdiri dari: 1. Nasi, sayuran, buah-buahan, lauk nabati, dan lauk hewani
Tahunan
101
2. Nasi, sayuran, buah-buahan, lauk nabati, dan susu 3. Nasi, sayuran, lauk nabati, lauk hewani, dan susu D14. Bahan makanan yang menjadi sumber karbohidrat: 1. Tahu, tempe, ikan, daging 2. Beras, singkong, jagung 3. Bayam, wortel, kangkung D15. Bahan makanan sumber protein hewani adalah: 1. Ikan, telur, tahu 2. Tempe, kacang tanah, tahu 3. Susu, ikan, telur D16. Bahan makanan sumber vitamin dan mineral: 1. Tahu, tempe, ikan, daging 2. Beras, singkong, jagung 3. Bayam, wortel, pisang D17. Sayur dan buah banyak mengandung serat yang berfungsi untuk: 1. Memperhalus kulit 2. Memperlancar pencernaan 3. Mencerahkan mata D18. Apakah manfaat penambahan garam beryodium dalam makanan bagi kesehatan: 1. Untuk mencegah penyakit gondok 2. Untuk mencegah keguguran 3. Untuk mencegah kebutaan D19.Anak kecil yang sering mengalami sariawan dan gusi berdarah disebabkan karena kekurangan zat Gizi: 1. Zat besi 2. Vitamin C 3. Vitamin K D20. Salah satu manfaat sarapan pagi adalah 1. Agar tidak sakit 2. kenyang disaat pagi hari 3. menambah energi Sheet 7: recall E. Recall 1x24 jam E1
Anggot a Klg
0
Waktu Makan
E2
N
Kode Pangan
Nama Pangan
Banyaknya URT
Pagi
S1
Siang
Gr
Konsumsi URT
Gr
102
S2
Malam
Pagi
S1 Siang
S2
Malam
Pagi
S1 Siang
S2
Malam
Lampiran 2Hasl Uji Statistik Contoh Tabel 46Nilai rata-rata, nimimum, maksimum, dan standar deviasi variabel Statistik Besar Keluarga
Usia Ayah
Lama Sekolah Ayah
Usia Ibu
Lama Sekolah Ibu
Pengetahuan Gizi
Pengeluaran
Akses Pangan TKE
TKP
Kelompok Penerima Bukan Penerima Total Penerima Bukan Penerima Total Penerima Bukan Penerima Total Penerima Bukan Penerima Total Penerima Bukan Penerima Total Penerima Bukan Penerima Total Penerima Bukan Penerima Total Penerima Bukan Penerima Total Penerima Bukan Penerima Total Penerima Bukan Penerima Total
min 2 2 2 31 34 31 4 0 0 20 26 20 0 0 0 20 10 10 129900,00 48162,50 48162,50 0,25 0,33 0,33 28,88 28,38 0,25 12,83 15,63 12,83
Max 6 5 6 70 80 80 12 12 12 65 70 70 12 12 12 100 90 100 847850,00 628116,67 847850,00 1 0,83 0,83 148,92 181,11 1 287,13 254,61 287,13
rata-rata 3,14 2,81 2,98 50,45 57,43 30,39 7,38 6,29 6,83 43,50 49,07 46,29 6,71 6,29 6,50 63,81 60,00 61,90 377958,31 239960,91 308959,61 0,67 0,57 0,57 82,84 82,57 0,62 93,88 85,50 89,69
sd 0,98 0,97 0,98 10,91 11,48 11,67 2,27 1,97 2,18 10,02 11,17 10,91 1,85 1,97 1,91 23,58 19,13 21,42 170417,00 111110,15 158942,03 0,16 0,16 0,16 29,93 35,30 0,16 54,02 53,01 53,36
103 103
Tabel 47Uji normalitas terhadap variabel penelitian Uji Normalitas
Usia Ayah
Usia Ibu
Pekerjaan Ayah
p n
0,725 84
0,676 84
2,603 84
JART
Tingkat Konsumsi Energi
Tingkat Konsumsi Protein
Pendidikan Ayah
Pendidikan Ibu
Penggiz
2,244 84
0,904 84
0,901 84
3,870 84
4,333 84
1,349 84
Pengeluaran Total Per Kapita Per Bulan 1,223 84
Pengeluaran Pangan Per Kapita Per Bulan 0,857 84
Akses Pangan 1,900 84
Tabel 48Hasil uji beda variabel antara keluarga penerima dan bukan penerima program Variabel Usia Ayah Usia Ibu Pekerjaan Ayah JART Tingkat Konsumsi Energi Tingkat Konsumsi Protein Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu Penggiz Pengeluaran Total Per Kapita Per Bulan Pengeluaran Pangan Per Kapita Per Bulan AksesPangan
Nilai p 0,005 0,018 0,189 0,120 0,969 0,475 0,059 0,149 0,418 0,000 0,004 0,004
p<0,05 p<0,05 P>0,05 P>0,05 P>0,05 P>0,05 P>0,05 P>0,05 P>0,05 p<0,05 p<0,05 p<0,05
Interpretasi berbeda signifikan berbeda signifikan tidak berbeda signifikan tidak berbeda signifikan tidak berbeda signifikan tidak berbeda signifikan tidak berbeda signifikan tidak berbeda signifikan tidak berbeda signifikan berbeda signifikan berbeda signifikan berbeda signifikan
104 104
Tabel 49Hasil uji hubungan antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada keseluruhan contoh Variabel JART Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu Penggiz Pengeluaran Total Per Kapita Per Bulan Pengeluaran Pangan Per Kapita Per Bulan AksesPangan
Tingkat Konsumsi Energi r p n -0,108 0,328 84 -0,002 0,985 84 -0,093 0,399 84 0,026 0,814 84 0,219 0,045 84 0,380 0,000 84 0,135 0,222 84
Tingkat Konsumsi Protein r p n 0,11 0,321 84 0,107 0,335 84 0,03 0,789 84 0,031 0,778 84 0,226 0,039 84 0,310 0,004 84 0,133 0,227 84
Tabel 50Hasil uji hubungan antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga penerima program Tingkat Konsumsi Energi r p 0,157 0,320 0,108 0,498 -0,064 0,686 -0,022 0,891
n 42 42 42 42
0,316
0,042
0,353
AksesPangan 0,174 Keterangan: r = Kekuatan Korelasi p = nilai probabilitas n = jumlah contoh
Variabel JART Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu Penggiz Pengeluaran Total Per Kapita Per Bulan Pengeluaran Pangan Per Kapita Per Bulan
Tingkat Konsumsi Protein r p 0,277 0,075 0,171 0,279 0,068 0,669
n 42 42 42
42
0,248
0,113
42
0,022
42
0,224
0,153
42
0,271
42
0,173
0,272
42
105 105
Tabel 51Hasil uji hubungan antara akses pangan dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga bukan penerima program Variabel
Tingkat Konsumsi Energi
Tingkat Konsumsi Protein
r
p
n
r
p
n
JART Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu Penggiz Pengeluaran Total Per Kapita Per Bulan Pengeluaran Pangan Per Kapita Per Bulan
-0,340 -0,128 -0,151 -0,022 0,170 0,460
0,028 0,421 0,339 0,891 0,283 0,002
42 42 42 42 42 42
-0,087 -0,012 -0,067 -0,096 0,171 0,402
0,585 0,941 0,673 0,546 0,279 0,008
42 42 42 42 42 42
AksesPangan
0,113
0,476
42
0,055
0,73
42
Keterangan: r = Kekuatan Korelasi p = nilai probabilitas n = jumlah contoh
106 106
Lampiran 3Kecenderungan akses pangan dengan tingkat konsumsi energi dan protein Tabel 52Kecenderungan JART terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga penerima dan bukan penerima program JART Tingkat Konsumsi Energi Protein
2 73,86 72,03
Penerima 4 89,06 108,02
3 85,38 96,90
5 88,20 116,01
6 74,18 118,55
2 94,37 91,68
Bukan Penerima 3 4 78,12 58,48 80,28 72,31
5 72,48 92,10
Tabel 53Kecenderungan pendidikan ayah dan ibu terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga penerima dan bukan penerima program Tingkat Konsumsi Ayah Energi Protein Ibu Energi Protein
Pendidikan Penerima 4
6
9
137,04 287,13
76,87 77,63
90,12 94,61
0 69,86 59,05
6 85,29 94,76
9 76,34 90,88
12
0
90,99 124,80 133,84 167,49 Pendidikan 12 0 87,46 124,80 132,44 167,49
Bukan Penerima 6 9
12
80,18 75,79
83,64 115,52
70,58 61,62
6 80,18 75,79
9 84,90 118,18
12 73,95 81,93
107 107
Tabel 54Kecenderungan pengetahuan gizi ibu terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga penerima dan bukan penerima program Pengetahuan Gizi Ibu Tingkat Konsumsi Energi Protein
Penerima
Bukan Penerima
20
30
40
50
60
70
80
90
100
10
30
40
50
60
70
80
90,00
85,78 156,63
79,41 66,66
83,96 91,91
76,02 84,51
85,30 71,71
68,94 69,84
84,68 100,14
83,24 120,58
92,51 119,94
79,83 112,18
54,26 58,60
109,54 118,50
74,97 78,26
83,92 106,20
67,72 52,38
92,95 78,07
84,10 124,84
Tabel 55Kecenderungan pengeluaran total dan pangan per kapita per bulan terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga penerima dan bukan penerima program Tingkat Konsumsi Total Energi Protein Pangan Energi Protein
Pengeluaran Penerima 326130,95 405367,86
165096,90
232820,83
77,18 75,60
64,36 83,81
72,55 75,31
62,44 70,74
74,57 69,49
80,60 97,07
Bukan Penerima 202949,29 252119,64
475622,02
662711,31
107368,57
170054,37
93,07 105,13
92,67 107,26
97,23 116,18
73,89 79,57
87,26 100,56
101,61 80,27
93,09 105,20
87,18 121,57
99,16 99,22
60,24 70,08
76,09 76,74
72,74 67,98
286530,95
420742,62
69,44 72,60
75,55 83,20
87,66 96,78
102,07 88,21
81,71 81,08
102,55 128,88
108 108
Tabel 56Kecenderungan akses pangan terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga penerima dan bukan penerima program Akses Pangan Penerima Tingkat Konsumsi Energi Protein
0,28 63,34 62,63
0,48 88,79 120,21
0,66 78,50 80,67
Bukan Penerima
0,76 86,87 96,22
0,96 91,36 146,39
0,33 69,17 79,05
0,42 76,01 76,51
0,50 78,88 81,19
0,58 111,83 135,04
0,67 91,54 80,88
0,75 75,59 60,59
0,83 94,51 164,82
109 109