PERKEMBANGAN PERSENTASE PENDUDUK DEFISIT ENERGI DI INDONESIA TAHUN 1987-2010 DAN KAITANNYA DENGAN TINGKAT KEMISKINAN, PERTUMBUHAN EKONOMI, HARGA BERAS DAN LAJU INFLASI
ELFRIDA YULIANSARI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT Elfrida Yuliansari. Prevalence of severe undernourished population in Indonesia in 1987-2010, and it’s relation with poverty level, economic growth, rice price and inflation rate. Under the guidance of Drajat Martianto and Dadang Sukandar Undernourished is one of condition when the population don’t have access enough of energy in comparison to the Recommended Dietary Allowness (RDA). Food security is occurred when the population meet their food and dietary needs with a good. The purpose of this study were to analyze the prevalence of severe undernourished population in Indonesia in 1987-2010, and it’s relation with poverty level, economic growth, rice price and inflation rate. A descriptive study designed was implemented and a set of secondary data was used. The study show that during 1987 to 2010, prevalence of severe undernourished from 23,47% to 2,01% with the highest rate occurred in 1999 or affecting approximately 48,685,463 people. Based on the results of the correlation test, factors related to the severe undernourished (Energy Adequacy Level <70%) population are poverty level and inflation, while were not significantly correlated with the prevalence of rice price, economic growth, and GDP per capita.
Keyword: Food security, severe undernourished, rice price, inflation rate
RINGKASAN ELFRIDA YULIANSARI. Perkembangan Persentase Penduduk Defisit Energi di Indonesia Tahun 1987-2010 dan Kaitannya dengan Tingkat Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Harga Beras dan Laju Inflasi. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO dan DADANG SUKANDAR. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perkembangan persentase penduduk defisit energi di Indonesia tahun 1987-2010 dan kaitannya dengan tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, harga beras dan laju inflasi. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) Menganalisis perkembangan persentase penduduk defisit energi tahun 1987-2010; 2) Menganalisis hubungan antara persentase penduduk defisit energi dengan tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1987-2010; 3) Menganalisis perkembangan hubungan antara persentase penduduk defisit energi dengan harga riil beras di Indonesia tahun 1987-2010; 4) Menganalisis hubungan antara persentase penduduk defisit energi dengan inflasi total di Indonesia tahun 1987-2010; 5) Menganalisis hubungan antara persentase penduduk defisit energi dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun 1987-2010; 6) Menganalisis hubungan antara persentase penduduk defisit energi dengan PDB per kapita di Indonesia tahun 1987-2010. Penelitian ini dilakukan dengan mengolah data sekunder nasional tahun 1987-2010 diperoleh dari berbagai instansi terkait. Pengolahan data dilaksanakan di Bogor, Jawa Barat pada bulan April-Juli 2011. Jenis data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian seluruhnya merupakan data sekunder yang terdiri atas data konsumsi kalori rumah tangga di Indonesia tahun 1987-2010, tingkat Kemiskinan di Indonesia tahun 1987-2010, tingkat Inflasi total di Indonesia tahun 1987-2010, PDB di Indonesia tahun 1987-2010, jumlah penduduk di Indonesia tahun 1987-2010. Data-data tersebut diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 for Windows dan SPSS versi 16.0 for windows untuk melihat hubungan antara persentase rumah tangga defisit energi di Indonesia dengan tingkat kemiskinan, inflasi, harga beras, pertumbuhan ekonomi, dan PDB per kapita. Asumsi-asumsi tersebut digunakan agar hasil penelitian dapat diterima secara umum. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah datadata sekunder yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya benar. Penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu menggunakan data-data sekunder dari berbagai instansi yang dirancang secara khusus untuk kepentingan masingmasing instansi. Pada tahun 1987 hingga tahun 2010, persentase rumah tangga defisit energi di Indonesia berfluktuatif. Persentase penduduk defisit energi tingkat berat (< 70%) yang tertinggi terjadi tahun 1999 yaitu sebesar 23,47% yaitu sebanyak 48.685.463 jiwa sedangkan pesentase penduduk defisit energi tingkat berat yang terendah di Indonesia terjadi tahun 2005 yaitu sebesar 2,01% atau sebanyak 4.419.025 jiwa. Persentase penduduk defisit energi tingkat berat yang tertinggi pada tahun 1999 diduga terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan konsumsi pangan masyarakat di Indonesia menurun. Laju penduduk defisit energi yang mengalami penurunan terbesar terdapat pada tahun 1993 yaitu sebesar 77,43, sedangkan laju penduduk defisit energi yang mengalami peningkatan terbesar pada tahun 2006 yaitu sebesar 838,31 Hasil analisis korelasi sederhana diketahui bahwa antara persentase penduduk defisit energi tingkat berat ( TKE <70%) dengan tingkat kemiskinan (%) di indonesia pada tahun 1987-2010 memiliki hubungan positif dan nyata
(r=0,589, p<0,05). Tidak terdapat hubungan antara persentase penduduk defisit energi (TKE <70%) dengan harga beras di Indonesia pada tahun 1987-2010 (r=0,057, p>0,05. Persentase penduduk defisit energi (TKE <70%) dengan inflasi (%) di indonesia pada tahun 1987-2010 memiliki hubungan yang negatif dan nyata (r=-0,530, p<0,05). Tidak terdapat hubungan antara persentase penduduk defisit energi (TKE <70%) dengan pertumbuhan ekonomi (%) di indonesia pada tahun 1987-2010 (r=-0,435, p>0,05). Sedangkan hubungan persentase penduduk defisit energi (TKE <70%) dengan PDB per kapita di indonesia pada tahun 1987-2010 tidak memiliki hubungan (r=-0,102, p>0,05). Berdasarkan grafik hubungan antara persentase penduduk defisit energi (TKE <70%) dengan tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 1987-2010 persamaan garis yang diperoleh adalah y = -13,26 + 1,428x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang positif antara tingkat kemiskinan dengan persentase penduduk defisit energi (<70%). Berdasarkan hubungan hubungan antara persentase penduduk defisit energi dengan inflasi (%) di indonesia pada tahun 1987-2010 persamaan garis yang diperoleh adalah y = 17,06 - 0,854x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang negatif antara inflasi dengan persentase penduduk defisit energi (TKE <70%).
PERKEMBANGAN PERSENTASE PENDUDUK DEFISIT ENERGI DI INDONESIA TAHUN 1987-2010 DAN KAITANNYA DENGAN TINGKAT KEMISKINAN, PERTUMBUHAN EKONOMI, HARGA BERAS DAN LAJU INFLASI
ELFRIDA YULIANSARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN Judul
:
Perkembangan
Persentase
Penduduk
Defisit
Energi
di
Indonesia Tahun 1987-2010 dan Kaitannya dengan Tingkat Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Harga Beras dan Laju Inflasi. Nama
: Elfrida Yuliansari
NIM
: I14070014
Disetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si NIP. 19640324 198903 1 004
Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc NIP. 19590725 198609 1 001
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Disetujui :
vii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi
ini
dengan
baik.
Penulisan
skripsi
yang
berjudul
“Perkembangan Persentase Penduduk Defisit Energi di Indonesia Tahun 19872010 dan Kaitannya dengan Tingkat Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Harga Beras dan Laju Inflasi” ini dilakukan sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc selaku dosen pembimbing yang penuh kesabaran telah meluangkan waktu, kesabaran, ilmu, masukan, semangat dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2.
Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pemandu dan penguji yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis.
3.
Keluarga tercinta: Papa Abed Nego Aritonang, Mama Sukarsih, Adik-adik tersayang Fresti, Fenny, dan Dhio yang selalu setia mendukung penulis dalam penyelesaiaan skripsi ini, terima kasih untuk doa, kasih sayang, dan perhatian yang diberikan.
4.
Teman-teman Rempati Kost: Michelle, Ajeng, Hesti, Nyenyo, Sherly, Melinda, Mba Arta, dan bibi Mariana atas bantuan dan dukungannya serta semangat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5.
Teman-teman terkasih: Deviani, Lina, dan Tamia atas doa, semangat dan kasih sayang bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6.
Teman seperjuangan satu bimbingan: Nesyi Febi, Devi Sandy, dan A.A. Ayu Widi Utari. Sahabat-sahabatku di Gizi Masyrakat: Reny, Becky, Puput, Nonly, Hanum dan teman teman GM 44 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang selalu mendukung dan siap membantu penulis.
Bogor, Oktober 2011
Elfrida Yuliansari
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Palembang, Sumatera Selatan pada tanggal 12 Juli 1989 merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan bapak Abed Nego Aritonang dan ibu Sukarsih. Penulis mengawali pendidikan pada tahun 1995 sampai dengan 2001 di SD Kartika II-1 Palembang, Sumatera Selatan. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama Negeri 42 Palembang dan lulus pada tahun 2004 di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 5 Palembang, Sumatera Selatan dan lulus pada tahun 2007. Penulis mengawali pendidikan sebagai mahasiswa pada tahun 2007 di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis di IPB terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Departemen Gizi Masyarakat, dengan program studi Ilmu Gizi. Selama menjadi mahasiswa, penulis ikut organisasi IKAMUSI (Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya) IPB dan sebagai anggota HIMAGIZI (Himpunan Mahasiswa Gizi). Selain itu penulis ikut dalam berbagai kepanitiaan, seperti INTO (In Try Out) IKAMUSI, Nutrition Fair 2009, dan Seminar Gizi Nasional (SENZATIONAL). Penulis juga pernah melakukan KKP di desa Karacak dan Internship Dietetik (ID) di Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita Jakarta. Tahun 2011 Penulis melakukan penelitian mengenai “Perkembangan Persentase Rumah Tangga Defisit Energi di Indonesia Tahun 1987-2010 dan Kaitannya dengan Tingkat Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Harga Beras dan Laju Inflasi” di bawah bimbingan Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
ix
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ............................................................................................. iii LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... vii PRAKATA ................................................................................................. vii RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... viii DAFTAR ISI .............................................................................................. ix DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xii PENDAHULUAN ....................................................................................... Latar Belakang ............................................................................... Tujuan ............................................................................................ Kegunaan .......................................................................................
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. Konsumsi Pangan .......................................................................... Peran Beras dalam Sumbangan Energi Rumah Tangga dan Pola Pengeluaran Pangan ....................................................................... Defisit Energi terhadap Kebutuhan ................................................. Ketersediaan Pangan ..................................................................... Inflasi .............................................................................................. Kaitan Inflasi dengan Konsumsi Pangan ................................ Kemiskinan ..................................................................................... Kaitan Kemiskinan dengan Konsumsi Pangan ....................... Pengeluaran Konsumsi Pangan Penduduk ....................................
4 4 5 7 8 9 10 11 13 14
KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................... 16 METODE PENELITIAN ............................................................................. Waktu dan Tempat ......................................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................ Pengolahan dan Analisis Data ........................................................ Rumus Desil .......................................................................... Tingkat Kemiskinan ............................................................... Asumsi dan Keterbatasan Penelitian .............................................. Definisi Operasional .......................................................................
18 18 18 18 19 20 20 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 22 Perkembangan Persentase Penduduk Defisit Energi di Indonesia 1981-2010 ................................................................................... Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010 ......................... Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Harga Beras di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010 ................................. Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Inflasi di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010 ............................................... Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010 ......
22 27 31 35 39
x
Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan PDB per kapita di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010 ................................ 42 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 46 Kesimpulan ................................................................................... 46 Saran………… ................................................................................ 47 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 48 LAMPIRAN ................................................................................................ 53
xi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Jenis data yang digunakan, tahun dan sumbernya ....................... 18 Tabel 2 Persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) di Indonesia pada tahun 1987 sampai 2010 ..................................... 23 Tabel 3 Persentase penduduk miskin dan jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 1987 sampai 2010 ............................................. 28
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
Kerangka Pemikiran .............................................................. 17
Gambar 2
Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE <70%) Dengan Tingkat Kemiskinan (%) di Indonesia Pada Tahun 1987-2010 ................................................................... 30
Gambar 3
Perkembangan Harga Beras di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010..................................................................................... 32
Gambar 4
Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE <70%) dengan Harga Beras di Indonesia Pada Tahun 19872010 ...................................................................................... 33
Gambar 5
Perkembangan Inflasi di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010 ....................................................................................... 36
Gambar 6
Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE <70%) dengan Inflasi di Indonesia pada Tahun 1987-2010 .... 37
Gambar 7
Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010 ....................................................... 39
Gambar 8
Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE <70%) dengan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Pada Tahun 1987-2010 ................................................................... 41
Gambar 9
Perkembangan PDB per Kapita di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010 .................................................................. 43
Gambar 10 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE <70%) dengan PDB per kapita di Indonesia Pada Tahun 1987-2010 .............................................................................. 44
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu Negara yang ikut mengadopsi kesepakatan MDGs (Millenium Development Goals) dan juga menetapkan target-target pencapaian tujuan MDGs di tahun 2015 yang terdiri atas 8 tujuan dan pencapaian serta tantangannya dalam mencapai 18 target. Salah satu tujuan dari MDGs adalah penghilangan kemiskinan ekstrim dan kelaparan. Tujuan tersebut memiliki dua target yaitu menurunkan hingga setengahnya penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan ekstrim hingga 50% dan mengurangi jumlah penduduk yang menderita kelaparan hingga setengahnya. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mencapai Target pertama MDGs. Pada tahun 1990, 15,1% penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan ekstrim. Jumlahnya saat itu mencapai 27 juta orang. Saat ini proporsinya sekitar 7,5% atau hampir 17 juta orang. Pada tingkat nasional, dengan usaha yang lebih keras, Indonesia akan dapat mengurangi kemiskinan dan kelaparan hingga setengahnya pada 2015. Meskipun begitu, masih terdapat perbedaan yang cukup besar antara daerah kaya dan miskin. Banyak daerah miskin di perdesaan, terutama di wilayah timur Indonesia yang memerlukan kerja lebih keras untuk mencapai target mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Pencapaian tujuan MDG yang pertama tahun 2015 hanya akan dapat dilakukan dengan keikutsertaan dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan. (BAPPENAS 2008). Berdasarkan fakta yang ada di masyarakat sekarang ini masalah gizi masih sering terjadi di Indonesia. Masalah gizi adalah gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan dan atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Masalah gizi makro, terutama masalah kurang energi protein, telah mendominasi perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun. Kurang Energi Protein (KEP) adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsin makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Dampak yang disebabkan dari KEP adalah kematian pada anak dan juga berkaitan dengan menurunnya produktivitas kerja (Soekirman 2000). Konsumsi pangan sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi. Suatu rumah tangga dengan status ekonomi yang baik akan memiliki kemampuan dan peluang untuk mengkonsumsi pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik dibandingkan rumah tangga dengan status ekonomi
2
rendah. Bila dibandingkan antar wilayah, frekuensi dan jumlah konsumsi pangan serealia penduduk di wilayah padi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi dan jumlah konsumsi penduduk wilayah hortikultura. Konsumsi beras rumah tangga di wilayah padi (410 g/hari) lebih tinggi dibandingkan konsumsi di wilayah hortikultura (384 g/hari). Jumlah yang dikonsumsi tersebut memberikan kontribusi 1640 kkal/hari dan 1540 kkal/hari, atau sekitar 80% kecukupan energi tubuh per hari. Defisit energi dapat disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhinya baik dari segi ekonomi maupun sosial (Suhanda et al 2009). Tahun 1987-2010 telah terjadi banyak kejadian berupa perubahan di Indonesia seperti perubahan kepemimpinan, perubahan sistem tata kenegaraan dari sentralistik ke arah desentralisasi/otonomi daerah, perubahan ekonomi, dan perubahan-perubahan lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tahun tersebut sangat berpengaruh bagi Indonesia karena mempengaruhi situasi ekonomi, sosial, dan politik. Menurut Tambunan 2003 pertumbuhan ekonomi akan menciptakan keberlangsungan pembangunan ekonomi serta peningkatan kesejahteraan
dapat
tercapai.
Peningkatan
pertumbuhan
ekonomi
mengindikasikan adanya peningkatan pendapatan masyarakat, yang dapat berpengaruh
terhadap
tingkat
konsumsi
masyarakat.
Tingkat
konsumsi
masyarakat juga dapat dipengaruhi oleh kemiskinan, inflasi, dan harga beras. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang mencakup
banyak
segi,
dan
ditandai
dengan
pengangguran
dan
keterbelakangan yang nantinya menjadi ketimpangan antar sektor, wilayah dan antar kelompok atau golongan masyarakat (sosial) (Makmun 2003). Sedangkan inflasi adalah fenomena moneter yang disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam sektor moneter akibat dari ekspansi jumlah uang beredar (Atmadja 1999). Pada keadaan inflasi, harga barang dan jasa secara umum mengalami kenaikan. Apabila kenaikan harga ini terjadi terus menerus pada bahan pangan terutama bahan pangan pokok, maka akan menimbulkan krisis pangan yang pada akhirnya menimbulkan defisit energi pada masyarakat. Sebagian besar bahan pangan pokok masyarakat Indonesia berupa beras. Beras memiliki peranan yang sangat menentukan karena beras memberikan konstribusi energi lebih dari 50% dari total konsumsi energi masyarakat Indonesia (Martianto 2009). Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai perkembangan persentase penduduk defisit energi di Indonesia tahun 1987-2010 dan kaitannya dengan tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, harga beras dan laju inflasi.
3
Tujuan Tujuan umum Mengetahui perkembangan persentase penduduk defisit energi di Indonesia tahun 1987-2010 dan kaitannya dengan tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, harga beras dan laju inflasi. Tujuan khusus: 1. Menganalisis perkembangan persentase penduduk defisit energi tingkat berat tahun 1987-2010. 2. Menganalisis hubungan antara persentase penduduk defisit energi tingkat berat dengan tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 1987-2010. 3. Menganalisis perkembangan hubungan antara persentase penduduk defisit energi tingkat berat dengan harga beras di Indonesia tahun 19872010. 4. Menganalisis hubungan antara persentase penduduk defisit energi tingkat berat dengan inflasi total di Indonesia tahun 1987-2010. 5. Menganalisis hubungan antara persentase penduduk defisit energi tingkat berat dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun 1987-2010. 6. Menganalisis hubungan antara persentase penduduk defisit energi tingkat berat dengan PDB per kapita di Indonesia tahun 1987-2010. Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perkembangan rumah tangga defisit energi di Indonesia dan mengevaluasi terhadap pencapaian MDGs dalam penanggulangan kelaparan di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu informasi kepada pemerintah, masyarakat di Indonesia dan menjadi masukan bagi pihakpihak yang terkait untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Selanjutnya, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan advokasi bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan dan anggaran untuk mengatasi masalah tersebut sehingga dapat memberikan investasi dalam pembangunan ekonomi. Selain itu, pemerintah diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG’s).
4
TINJAUAN PUSTAKA Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan
seseorang
atau
kelompok
dengan
tujuan
tertentu.
Tujuan
mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (sekeluarga atau rumah tangga) pada waktu tertentu (Hardinsyah dan Martianto 1992). Konsumsi makanan bagi seseorang yang rawan terhadap kekurangan gizi (balita, ibu hamil) dipengaruhi oleh pola konsumsi keluarga dan pola distribusi makanan antar anggota keluarga keluarga (ayah, ibu, anak, balita). Selanjutnya pola distribusi makanan antar anggota keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa faktor yang penting yang diduga ada kaitannya dengan kebijaksanaan ekonomi makro adalah: tingkat upah kerja, alokasi waktu untuk keluarga terutama bagi wanita, kepala rumah tangga wanita, siapa pengambil keputusan di rumah tangga untuk pembelanjaan makanan dan sebagainya. Dalam hal ini faktor peranan wanita atau ibu rumah tangga sangat penting. Misalnya, meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat mengurangi waktu untuk tugastugas pemeliharaan anak, kurang pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan sebagainya, meskipun belum tentu hal itu berpengaruh negatif pada keadaan gizi bayi (Soekirman 2001). Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang. Bagi individu bahan makanan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi biologis, psikologis dan sosial. Fungsi biologi makanan adalah menyediakan zat-zat gizi bagi tubuh agar manusia dapat bekerja atau mempertahankan hidup. Fungsi psikologis memenuhi kebutuhan yang berhubungan dengan kepuasan, emosi dan perilaku. Misalnya keluarga tertentu sudah terpuaskan hanya dengan makanan sederhana, tetapi keluarga lainnya hanya puas kalau makanannya adalah makanan yang mewah. Sedangkan fungsi sosial adalah memenuhi kebutuhan interaksi sosial di dalam kelompok atau masyarakat. (Nasoetion dan Hadi 1995). Menurut Nasoetion dan Hadi (1995) tahap pertama kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan cara menilai konsumsi makanannya. Selama tahap ini, intake (kebutuhan yang masuk tubuh) satu atau lebih zat gizi makanan
5
biasanya tidak cukup, apakah karena defisiensi (kekurangan) primer, yaitu taraf zat gizi dalam menu yang rendah atau karena defisiensi sekunder. Pada defisiensi sekunder ini, intake zat gizi makanan mungkin tampaknya memenuhi kebutuhan zat gizi tubuh, tetapi karena berbagai faktor seperti obat-obatan tertentu,
komponen-komponen
makanan,
atau
penyakit,
mengganggu
penyerapan, transport, penggunaan, atau ekskresi zat-zat gizi, sehingga terjadilah defisiensi sekunder tersebut. Konsumsi atau pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor tidak hanya faktor ekonomi tetapi juga faktor budaya, ketersediaan, pendidikan, gaya hidup dan sebagainya. Walaupun selera dan pilihan masyarakat didasari pada
nilai-nilai
sosial,
ekonomi,
budaya,
agama,
pengetahuan,
serta
aksesibilitas, namun kadang-kadang unsur prestise menjadi sangat menonjol. Disisi lain masyarakat perkotaan pada umumnya mempunyai tingkat pendidikan formal dan pendapatan yang lebih baik daripada masyarakat desa. Variasi makanan dan minuman jadi di kota juga lebih banyak dan lebih mudah diperoleh baik di pasaran tradisional maupun di supermarket. Faktor-faktor ini yang mengakibatkan tingkat konsumsi pangan terutama pangan “luxury” di kota lebih tinggi daripada di wilayah desa. Misal, konsumsi daging sapi dan daging ayam tahun 1996 di kota, masing-masing mencapai 4 kali dan dua kali lebih besar daripada desa. Hanya konsumsi beras dan ubikayu di kota yang lebih kecil dibandingkan di desa (Martianto dan Ariani 2004). Peran Beras dalam Sumbangan Energi Rumah Tangga dan Pola Pengeluaran Pangan Beras merupakan pangan pokok yang dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi, maka sumbangan energi dari beras akan besar. Hasil rumusan Semiloka Penyusunan
Kebijakan
Perberasan
(2000)
menyebutkan
bahwa
beras
menyumbang sekitar 60-65 persen dari total konsumsi energi. Dari aspek mutu gizi, ketergantungan yang tinggi terhadap pangan nabati adalah kurang baik karena kurang lengkapnya kandungan asam amino esensial pada pangan nabati. Padahal asam amino tersebut terutama berasal dari pangan hewani yang sangat berperanan dalam proses pertumbuhan dan kecerdasan manusia, yang berdampak pada kualitas sumberdaya manusia (Hardinsyah dan Martianto, 1992). Sejak Orde Baru, beras menjadi komoditas strategis secara politis, sehingga peranan pemerintah terhadap perkembangan produksi dan konsumsi
6
beras sangat intensif. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pebesaran, mulai dari industri hulu sampai industri hilir. Kebijakan tersebut dilakukan secara terus menerus, termasuk diantaranya kebijakan beras untuk orang miskin yang dikenal dengan “raskin” yang diberlakuakn untuk semua propinsi. Dampak dari kebijakan yang bias pada komoditas beras adalah terjadinya pergeseran pola konsumsi pangan pokok masyarakat (Purwantini dan Ariani 2008) Penentuan pola konsumsi pangan pokok rumah tangga didasarkan pada sumbangan energi dari setiap komoditas pangan pokok terhadap total energi pangan pokok (pangan sumber karbohidrat). Kriteria yang digunakan seperti berikut : pola pangan pokok beras apabila sumbangan energi dari beras lebih besar dari 90 persen, sedangkan pola pangan pokok beras + komoditas lain bila masing-masing komoditas lain menyumbang lebih dari 5 persen (Puslit Agro Ekonomi,1989).
Berdasarkan
kriteria
tersebut,
hasil
analisis
dengan
menggunakan data SUSENAS 1979 diperoleh 11 jenis pola pangan pokok, dimana beras menjadi pola pangan pokok tunggal atau utama di setiap propinsi. Sedangkan jenis pangan yang menjadi pola pangan pokok kedua adalah umbiumbian, jagung, pisang dan sagu. Kelompok padi-padian terdiri dari tiga komoditas pangan yaitu beras, jagung dan tepung terigu. Karena beras sebagai pangan pokok, proporsi pengeluaran untuk beras dalam kelompok padi-padian akan dominan. Pada tahun 1996 secara agregat, pola konsumsi pangan pokok di Indonesia didominasi oleh beras, bahkan di pedesaan beras telah menjadi pola pokok tunggal. Namun setelah enam tahun kemudian, peranan umbi-umbian dan jagung telah tergeser dan diganti dengan mie instant. Sehingga pola pangan pokok pada tahun 2002 pada umumnya adalah beras+mie instant, bukan beras+umbi/jagung. Peran mie sebagai pangan pokok kedua terjadi di semua elemen masyarakat, tidak hanya pada rumah tangga menurut wilayah ( kota dan desa) tetapi juga menurut kelompok pendapatan. Mie instant tidak hanya dikonsumsi oleh kelompok pendapatan sedang dan tinggi tetapi juga kelompok pendapatan rendah (Ariani dan Purwantini 2008). Ketidakstabilan harga beras dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu (i) ketitakstabilan harga beras antar musim: perbedaaan harga antara musim panen dan musim paceklik; (ii) ketidakstabilan antar tahun karena pengaruh iklimseperti kekeringan atau kebanjiran, fluktuasi harga beras di pasar
7
internasional yang keduanya sulit diramalkan. Jadi stabilisasi harga melewati batas musim dan tahun, sehingga diperlukan kebijakan pemerintah untuk menstabilakannya. Ketidakstabilan harga musim terkait erat dengan panen raya berlangsung pada bulan Februari-Mei yang mencapai 60-65% dari total produksi padi nasional, dan produksi musim gadu pertama berlangsung antara JuniSeptember mencapai 25-30%, sisanya dihasilkan antara bulan Oktober-Januari. Bila harga padi/beras dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga beras/padi akan turun pada musim panen raya dan, sebaliknya, akan meningkat pesat pada musim paceklik (Oktober-Januari). Artinya, ketidakstabilan harga tersebut dapat memukul produsen pada musim panen dan menghantam konsumen pada musim paceklik, di samping akan berakibat luas pada ekonomi makro tidak terkecuali inflasi (Amang dan Sawit 1999). Defisit Energi terhadap Kebutuhan Sumber energi utama manusia 52 persen diperoleh dari padi-padian, sedangkan makanan lain seperti daging, susu, telur, dan sebagainya tergantung dari tingkat pendapatan (Suhardjo 2008). Energi yang digunakan oleh tubuh bukan hanya diperoleh dari proses katabolisme zat gizi yang tersimpan di dalam tubuh, tetapi juga berasal dari energi yang terkandung dalam makanan yang kita konsumsi (Arisman 2007). Konsumsi sesuatu zat gizi yang rendah atau yang kurang dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan konsekuensi berupa penyakit defisiensi, ataupun bila kekurangan hanya marginal dapat menimbulkan gangguan yang sifatnya lebih ringan atau menurunnya kemampuan fungsi. Karena itu untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal, mutlak diperlukan sejumlah zat gizi yang harus didapatkan dari makanan dalam jumlah sesuai dengan yang dianjurkan setiap harinya (Nasoetion dan Hadi 1995). Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif. Akibatnya, berat badan kurang dari berat badan seharusnya (ideal). Bila terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan pada anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi. Kebutuhan energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan kesehatan jangka-
8
panjang, dan yang memungkinkan pemeliharaan aktivitas fisik yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi. Kebutuhan energi total orang dewasa diperlukan untuk: (1) metabolism basal; (2) aktivitas fisik, dan (3) efek makanan atau pengaruh dinamik khusus (Energy Spesific Dynamic Actional/ SDA) (Almatsier 2006). Kebutuhan energi orang yang sehat dapat diartikan sebagai tingkat asupan
energi
yang
dapat
dimetabolisasi
dari
makanan
yang
akan
menyeimbangkan keluaran energi, ditambah dengan kebutuhan tambahan untuk pertumbuhan, kehamilan dan penyusunan yaitu energi makanan yang diperlukan untuk memelihara keadaan yang telah baik (Arisman 2007). Berdasarkan Depkes 1996, klasifikasi defisit energi terbagi menjadi lima yaitu: 1) TKE <70 % termasuk defisit tingkat berat, 2) 70%-79% termasuk defisit energi tingkat sedang, 3) 80%89% termasuk defisit energi tingkat ringan, 4) 90%-119% termasuk normal, dan 5) TKE ≥ 120% termasuk energi berlebihan. Ketersediaan Pangan Beberapa masalah yang terkait dengan ketersediaan pangan, di antaranya adalah kebutuhan pangan masyarakat lebih tinggi dari kapasitas produksi dalam negeri, pengurangan luas lahan pertanian produktif akibat konversi penggunaan untuk kepentingan non-pertanian, pola konsumsi yang masih sangat didominasi oleh beras, upaya diversifikasi pangan masih menghadapi keterbatasan pengetahuan dan keterjangkauan, pasokan pangan hingga tingkat rumah tangga sering terhambat sebagai akibat dari keterbatasan jaringan transportasi, beberapa produk pangan tidak tersedia sepanjang tahun karena siklus produksi alam jenis komoditas pangan yang dibudidayakan, faktor agroklimat,
dan
belum
berkembangnya
agroindustri
untuk
pengolahan
/pengawetannya, masih sering dijumpai produk pangan yang tidak memenuhi standar kesehatan pangan dan/atau sesuai dengan syarat kehalalannya, belum semua rumah tangga secara ekonomi mampu memenuhi kebutuhan pangan pokoknya, dan marjin keuntungan usahatani tanaman pangan sangat kecil, sehingga sangat menghambat motivasi petani untuk meningkatkan produksinya (Kadiman 2006).
9
Inflasi Inflasi adalah proses kenaikan harga barang jasa secara umum dan terus menerus. Kenaikan haga yang sifatnya sementara seperti momen hari raya (tidak terus menerus) dan kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lainnya (Mankiw 2006). Jenis inflasi menurut ukuran parah tidaknya dibagi ke dalam 4 kelompok yaitu: Inflasi ringan (di bawah 10% setahun) Inflasi sedang (antara 10%-30% setahun) Inflasi berat (antara 30%-100% setahun), dan Inflasi tak terkendali (di atas 100% setahun) Beberapa indeks yang sering digunakan untuk mengukur inflasi seperti: Indeks Harga Konsumen (IHK) : menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Dilakukan atas dasar survey bulanan di 45 kota, di pasar tradisional dan modern terhadap 283-397 jenis barang/jasa di setiap kota dan secara keseluruhan terdiri dari 742 komoditas. Indeks Perdagangan Besar : merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah. GDP Deflator : mencakup jumlah barang dan jasa yang masuk dalam perhitungan GNP diperoleh dengan membagi GDP nominal (atas dasar harga berlaku) dengan GDP Riil (atas dasar harga konstan/tahun dasar). Penggunaan Indeks yang bervariasi tersebut dikarenakan oleh adanya arti penting masing-masing barang yang tidak sama pada setiap kelompok masyarakat (Mankiw 2006). Berdasarkan BPS (2005) perkembangan inflasi selama periode 19952004, menunjukkan bahwa inflasi tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 77,6 persen, dan inflasi terendah terjadi pada tahun 1999 yaitu 2,0 persen. Tingginya inflasi tahun 1998 disebabkan oleh adanya krisis moneter yang kemudian menjadi krisis ekonomi yang menerpa Indonesia. Fundamental ekonomi Indonesia yang semakin terpuruk saat itu menyebabkan pemerintah tidak mampu mengendalikan harga-harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Pemerintahan
Orde
Baru
beranggapan
bahwa
pembangunan
ekonomi
dimungkinkan apabila stabilitas ekonomi telah dicapai. Oleh karena itu sejak pertengahan tahun 1968, segala potensi dan usaha dikonsentrasikan kepada
10
stabilitas dan rehabilitasi ekonomi. Salah satu usaha yang ditempuh adalah pengendalian harga kebutuhan masyarakat banyak. Usaha ini membuahkan hasil yang spektakuler, inflasi turun drastis menjadi hanya 9,9 persen di awal Pelita I, yaitu pada tahun 1969. Sejak tahun 1969 padaa umumnya perkembangan harga-harga cukup terkendali hingga tahun 1994. Selama 26 tahun, hanya 9 tahun terjadi inflasi yang lebih dari 10 persen (2 digit) yaitu di tahun 1972 sampai 1977, tahun 1979, 1980, dan 1983. Inflasi terendah terjadi pada
tahun
1971
yaitu
2,5
persen.
Pada
periode
tahun
1984-1994
perkembangan harga-harga sangat terkendali dengan tingkat inflasi 1 digit (di bawah 10 persen). Inflasi terendah dalam periode ini dicapai pada tahun 1985 sebesar 4,3 persen dan tahun 1992 sebesar 4,9 persen (BPS 2005). Secara umum, inflasi memiliki dampak positif dan negatif, tergantung parah tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, akan memberikan pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan menarik orang untuk menabung, bekerja dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi) keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian menjadi lesu, orang tidak bersemangat bekerja, melakukan investasi dan menabung, karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh akan kesulitan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu (Mankiw 2006). Kaitan Inflasi Dengan Konsumsi Pangan Inflasi adalah suatu keadaan dimana terdapat kenaikan harga umum secara terus menerus. Kenaikan harga bukan harga satu atau dua macan barang saja, melainkan kenaikan harga dari sebagian besar barang dan jasa. Di samping itu konsumsi makanan keluarga juga dipengaruhi oleh harga pangan dan harga bukan pangan. Harga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan riil rumah tangga. Sedangkan pendapatan riil rumah tangga selain ditentukan oleh tingkat harga juga oleh jumlah pendapatan nominal. Tingkat harga dipengaruhi oleh tingkat inflasi dan harga relatif antar berbagai barang dan jasa. Krisis ekonomi dan kebijaksanaan penyesuaianpenyesuaian yang diambil dapat mempengaruhi tingkat harga, melalui permintaan dan penawaran barang dan jasa, jumlah uang beredar, dan nilai
11
tukar uang. Seperti telah disebutkan sebelumnya, dampak negatif dari kenaikan harga makanan akan dirasakan terutama oleh rumah tangga miskin daripada keluarga mampu oleh karena keluarga miskin membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk makanan. Dengan menurunnya konsumsi makanan, resiko akan menurunnya keadaan gizi anggota rumah tangga, terutama yang rawan gizi, akan meningkat (Soekirman 1991). Guritno (1998) dalam Siregar (2009) mengatakan inflasi sebagai fenomena ekonomi yang terutama terjadi di Negara-negara berkembang seperti Indonesia sangat mempengaruhi kegiatan perekonomian. Tingkat inflasi adalah kenaikan harga barang secara umum yang menyebabkan terjadinya efek subsitusi. Konsumen akan mengurangi pembelian terhadap barang-barang yang harganya relatif mahal dan menambah pengeluaran konsumsi terhadap barangbarang yang relatif murah. Kenaikan tingkat harga umum tidak berarti bahwa kenaikan harga barang terjadi secara proporsional. Hal ini mendorong konsumen untuk mengalihkan konsumsinya dari barang yang satu ke barang yang lain. Inflasi yang tinggi akan melemahkan daya beli masyarakat terutama terhadap produksi dalam negeri yang selanjutnya akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap nilai mata uang nasional. Menurut penelitian Ariani (2005) konsumsi pangan termasuk konsumsi energi dan protein sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat dan kesadaran masyarakat terhadap pangan dan gizi. Tingkat konsumsi energi dan protein masyarakat berbeda antarkelompok pendapatan dan terdapat kecenderungan semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula tingkat konsumsinya. Dengan mengacu pada patokan anjuran dalam WNPG VI tahun 1998, seseorang akan terpenuhi konsumsi energi dan proteinnya apabila pendapatan per kapita perbulannya di atas Rp. 200.000. Sejalan dengan peningkatan pendapat, masyarakat akan dihadapkan pada banyak pilihan makanan yang sesuai selera tanpa kendala keuangan. Kemiskinan Dalam arti luas kemiskinan adalah suatu konsep terintegrasi yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan, 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Kemiskinan dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
12
a. Kemiskinan absolut, kondisi dimana seseorang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang dibutuhkan untuk bisa hidup dan bekerja. b. Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. c. Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar. d. Kemiskinan struktural, situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan. Kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: a. Kemiskinan alamiah, berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. b. Kemiskinan buatan, lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata (Suryawati 2005). Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini sering disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan dikatakan dalam
kondisi miskin.
Menurut
Sayogyo,
tingkat
kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan (Suryawati 2005).
13
Daerah pedesaan: a. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar beras per orang per tahun. b. Miskin sekali, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg nilai tukar beras per orang per tahun. c. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180 kg nilai tukar beras per orang per tahun. Daerah perkotaan: a. Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar beras per orang per tahun. b. Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg nilai tukar beras per orang per tahun. c. Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270 kg nilai tukar beras per orang per tahun. Kaitan Kemiskinan dengan Konsumsi Pangan Garis kemiskinan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup minimumnya, baik itu kebutuhan hidup mininumnya, baik itu kebutuhan hidup minimum makanan (perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan sebagainya). Berdasarkan hasil Widyakarya pangan dan Gizi tahun 1978, seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah dapat memenuhi kebutuhan energinya minimal sebesar 2100 kilokalori per hari. Mengacu kepada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan minimum energinya sebesar 2100 kilokalori perhari. Kemiskinan ekonomi sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, di mana untuk keluargakeluarga di negara berkembang sekitar dua pertiganya (Suhardjo 2008). Kebutuhan energi ini dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi berbagai jenis komoditi makanan, seperti beras, umbi-umbian, ikan, daging, dan sebagainya. Dalam perhitungan kebutuhan hidup minimum makanan, standar kebutuhan hidup minimum 2100 kilokalori didasarkan pada konsumsi makanan
14
dari penduduk kelas marjinal, yaitu penduduk yang hidupnya sedikit di atas estimasi awal garis kemiskinan yang diperoleh berdasarkan garis kemiskinan sebelumnya yang disesuaikan (di-inflate) dengan tingkat inflasi. Penduduk pada kelas tersebut disebut penduduk referensi (reference population) (BPS 2005). Pengeluaran Konsumsi Pangan Penduduk Salah satu indikator peningkatan kesejahteraan adalah perubahan pola konsumsi penduduk. Menurut hukum ekonomi bila selera tidak berbeda maka presentase pengeluaran untuk makanan akan menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan. Dengan demikian secara umum semakin meningkat pendapatan (kesejahteraan), semakin berkurang persentase pengeluaran untuk makanan. Sasaran pembangunan di bidang pangan adalah penyediaan pangan yang cukup dengan mutu gizi yang baik. Salah satu barometer yang dapat menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah meningkatnya pendapatan yang berdampak pada meningkatnya konsumsi pangan dengan gizi yang lebih baik. Pada tahun 1980 hampir 70 persen pengeluaran pendudukan digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Persentasenya dari tahun ke tahun menunjukan kecenderungan menurun, dan menjadi 54,6 persen pada tahun 2004. Selapa periode tersebut juga terjadi perubahan pola konsumsi makanan penduduk dengan meningkatnya presentase pengeluaran untuk makanan pokok. Pengeluaran untuk makanan pokok mengalami penurunan yang berarti yaitu dari 36,9 persen tahun 1980 menjadi 18,7 persen tahun 2004, sebaliknya pengeluaran untuk makanan menjadi meningkat dari 6,6 persen tahun 1980 menjadi 18,8 persen pada tahun 2004. Demikian pula pengeluaran untuk makanan berprotein tinggi (susu dan telur) mengalami peningkatan dari 17,6 persen tahun 1980 menjadi 20,1 persen pada tahun 2004. Gambaran ini memperlihatkan pergeseran pola konsumsi makanan penduduk sebagai cerminan modernisasi, sekaligus perubahan tingkat kesejahteraan (BPS 2005). Di Indonesia, yang menjadi pangan pokok adalah beras, jagung, ubikayu, ubi jalar, tales, sagu, pisang (khususnya di provinsi Papua) bahkan sekarang ditambah dengan makanan berupa mi instan, mi basah dan lain-lain yang bahan bakunya dari gandum. Pangan tersebut kecuali mi dikelompokkan dalam kelompok padi-padian dan umbi-umbian. Dengan demikian, pengeluaran untuk kedua kelompok pangan ini dapat digunakan sebagai cerminan sejauhmana situasi konsumsi pangan pokok. Secara rata-rata pangsa pengeluaran padipadian adalah terbesar dibandingakan dengan kelompok pangan lain. Namun
15
untuk di kota pengeluaran padi-padian terkalahkan dengan pengeluaran makanan/minuman jadi. Secara kualitatif memang terlihat perubahan konsumsi pada masyarakat kota. Masyarakat di perkotaan berubah perilaku makannya dari terbiasa makan di rumah menyukai
makan di luar rumah dengan membeli
makanan jadi. Kecendrungan tersebut sebagai dampak bermunculannya industri makanan olahan seperti rumah makan/restoran yang tersedia di mana-mana yang memberikan unsur kenyamanan, keindahan dan mampu membangkitkan selera konsumen (Ariani 2005)
16
KERANGKA PEMIKIRAN Defisit energi merupakan suatu keadaan dimana konsumsi energi kurang dari 70% dari anjuran Angka Kecukupan Energi (AKE). Di Indonesia masih terdapat penduduk yang mengalami defisit energi. Intake makanan terkait dengan berbagai macam faktor diantaranya adalah tingkat kemiskinan, inflasi, pertumbuhan ekonomi dan PDB per kapita. Kemiskinan dapat menyebabkan daya beli terhadap suatu pangan rendah yang disebabkan karena masyarakat miskin memiliki pendapatan yang
rendah.
Sehingga kemiskinan dapat
menyebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein disamping faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhinya. Secara tidak langsung, dengan adanya kemiskinan maka prevalensi penduduk defisit energi dapat meningkat. Beras merupakan makanan pokok yang sebagian besar dikonsumsi oleh penduduk di Indonesia karena beras menyumbang energi tertinggi dalam bahan pangan. Bagi masyarakat miskin, beras merupakan “single food” yang dikonsumsi karena masyarakat miskin tidak memiliki kemampuan daya beli makanan lainnya seperti lauk pauk, buah-buahan dan sebagainya. Harga beras sangat mudah bergeser atau berubah jika terjadi kenaikan inflasi. Masalah laju inflasi yang meningkat secara langsung mengakibatkan harga beras dan pangan lainnya yang terdapat di Indonesia ikut mengalami kenaikan harga. Harga beras di Indonesia dari tahun 1987-2010 semakin meningkat dari tahun ke tahunnya. Hal tersebut sama halnya dengan permasalahan kemiskinan dan pendapatan yang rendah. Harga beras yang terus menerus meningkat akibat inflasi dapat merupakan faktor yang mempengaruhi konsumsi energi yang rendah sehingga harga beras dan inflasi yang meningkat dapat meningkatkan prevalensi penduduk defisit energi di Indonesia. Selain itu Inflasi dapat mempengaruhi PDB per kapita yang akan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi prevalensi penduduk defisit energi di Indonesia. PDB merupakan salah satu indikator yang menggambarkan kondisi ekonomi di suatu Negara. Selain itu prevalensi penduduk defisit energi di Indonesia terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang mengindikasikan kesejahteraan suatu penduduk. Pertumbuhan ekonomi yang menurun dapat menyebabkan kesejahteraan penduduk mengalami penurunan yang akan berdampak pada konsumsi pangan, sehingga dapat meningkatkan prevalensi penduduk defisit energi.
17
Prevalensi Penduduk Defisit Energi
Tingkat
Harga
Kemiskinan
Beras
Gambar 1
Inflasi
Pertumbuhan ekonomi
PDB per kapita
Kerangka pemikiran perkembangan persentase penduduk defisit energi di Indonesia tahun 1987-2010 dan kaitannya dengan tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, harga beras dan laju inflasi
18
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dengan mengolah data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Data sekunder yang digunakan mencakup data konsumsi kalori (energi), jumlah penduduk, inflasi, harga beras, PDB per kapita, dan pertumbuhan ekonomi. Pengolahan, analisis dan intepretasi data dilakukan pada bulan April-Juli 2011 di Bogor, Jawa Barat. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data-data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder seperti tingkat kemiskinan, tingkat inflasi, tingkat PDB per kapita, jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk, konsumsi kalori rumah tangga, dan harga beras. Data yang digunakan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis data yang digunakan, tahun dan sumbernya No
Jenis Data
Tahun
1
Tingkat Kemiskinan di Indonesia
1987-2010
2
Tingkat Inflasi di Indonesia
1987-2010
3
Tingkat PDB per kapita di Indonesia
1987-2010
4
Jumlah penduduk di Indonesia
1987-2010
5
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
1987-2010
6
Konsumsi kalori rumah tangga di Indonesia
1987-2010
7
Harga Beras di Indonesia
1987-2010
Sumber Badan Pusat Statistik (BPS) Badan Pusat Statistik (BPS) Badan Pusat Statistik (BPS) Badan Pusat Statistik (BPS) Badan Pusat Statistik (BPS) SUSENAS Badan Urusan Logistik (BULOG)
Pengolahan dan Analisis Data Data penelitian yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan Microsoft excel dan SPSS versi 16.0 for windows. Tahap pengolahan data pertama adalah pengumpulan data dan kemudian dipilih berdasarkan variabel yang akan diteliti. Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel digunakan uji korelasi Pearson. Variabel-variabel tersebut adalah tingkat kemiskinan, harga beras, pertumbuhan ekonomi, PDB per kapita, dan laju inflasi. Uji korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan keeratan antara dua variabe yang simetris. Uji regresi digunakan untuk mempelajari hubungan antara variabel bebas (tingkat kemiskinan, harga beras, inflasi, pertumbuhan penduduk,
19
dan PDB per kapita) dan tak bebas (persentase penduduk defisit energi). Analisis hubungan kemiskinan, harga beras, dan laju inflasi terhadap tingkat konsumsi dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 16.0 for windows. Formulasi korelasi x dan y adalah sebagai berikut:
Keterangan:
rxy= korelasi x dan y n = ukuran sampel i = 1,2,3,4…
Model Regresi sederhana yang digunakan adalah sebagai berikut:
Y = β₀+ β₁X + ∈ Keterangan:
y = variabel tak bebas (terikat) X = variabel bebas β₀= parameter intercept β₁= parameter koefisien regresi ∈ = Galat Perumusannya bagi β₀ dan β₁ adalah sebagai berikut:
Keterangan:
X i = Rata-rata skor variabel X Yi = Rata-rata skor variabel Y Rumus Desil Persentase defisit energi dianalisis dengan menggunakan data yang sudah
ada
terlebih
dahulu
dikelompokan
secara
proporsional
dengan
menggunakan rumus desil (BPS dan Dirjen Peternakan 1986) sebagai berikut:
dej = Dej –De (j-l)
20
Dimana: dej
= persentase konsumsi pada desil ke-j
Dej
= persentase konsumsi sampai desil ke-j
De (j-l) = persentase konsumsi sampai dengan desil ke-(j-l) j = 1, 2, 3, …, 10 Untuk mencari persentase pengeluaran sampai dengan desil ke-j digunakan rumus:
Dej= Y(i-l) +
(j x 10 – P (i-l) )
Dimana: Y(i-l)
= persentase kumulatif konsumsi kelompok ke-(i-l)
yi
= persentase konsumsi kelompok ke-i
pi
= persentase penduduk kelompok ke-i
P(i-l)
= persentase kumulatif penduduk sampai dengan kelompok sebelum kelompok dimana desil ke-j terletak i = 1, 2, 3, …, 11
Tingkat kemiskinan Data tingkat kemiskinan menggunakan data yang berasal dari BPS. Tingkat kemiskinan dikatakan rendah jika presentase kemiskinan kurang dari 10%, dikatakan sedang jika presentasenya diantara 10-29%, dan dikatakan tinggi jika presentase kemiskinannya lebih dari 20%. Metode analisis yang digunakan analisis korelasi dengan menggunakan software SPSS 16.0 for Windows untuk melihat pengaruh variabel tingkat kemiskinan terhadap persentase rumah tangga defisit energi. Asumsi dan Keterbatasan Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
beberapa
asumsi
dan
mempunyai
keterbatasan. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya benar. Peneliti mempunyai keterbatasan yaitu menggunakan data-data sekunder dari berbagai instansi yang dirancang secara khusus untuk kepentingan masingmasing instansi. Definisi Operasional Defisit Energi adalah suatu kondisi dimana suatu penduduk mengkonsumsi energi < 70% dari jumlah angka kecukupan gizi (AKG). Garis kemiskinan adalah besarnya nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan
21
nonmakanan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk tetap berada pada kehidupan yang layak. Harga Berlaku adalah nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Harga Konstan adalah nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar. Inflasi adalah indikator yang dapat memberikan informasi tentang dinamika perkembangan harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Jumlah Penduduk adalah banyaknya jumlah penduduk suatu wilayah berdasarkan umur dan jenis kelamin pada suatu tertentu. Ketersediaan Pangan Wilayah adalah tersedianya pangan dari hasil produksi domestik atau dari sumber lain untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya di suatu wilayah tertentu. Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti sandang, pangan, tempat tinggal bahkan pendidikan. Konsumsi Pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (UU No. 7/1996). Produk Domestik Bruto adalah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu. Pengeluaran Pangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk memperoleh pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan rumahtangga sehari-hari yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan. Tingkat
Kemiskinan
adalah
presentase
penduduk
miskin
berdasarkan
pendekatan yang digunakan BPS yaitu berdasarkan pengeluaran konsumsi dengan batasan kemiskinan berpatokan pada kecukupan energi (2100 kkal/kapita/hari) dan kebutuhan dasar non makanan lainnya per kapita per hari (BPS 2005).
22
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Persentase Penduduk Defisit Energi di Indonesia 1987-2010 Salah satu indikator yang menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi biasanya disajikan dalam bentuk kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein dalam setiap jenis makanan tersebut (kandungan kalori dan protein untuk setiap jenis makanan diperoleh dari daftar komposisi bahan makanan Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan) kemudian hasilnya dijumlahkan (BPS 1994). Kesejahteraan dapat dikatakan makin baik apabila kalori dan protein yang dikonsumsi penduduk semakin meningkat sampai akhirnya melewati batas minimal konsumsi kalori dan protein (SUSENAS 1984). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2000 kkal/kap/hari. Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2100 kkal/kap/hari. Angka Kecukupan Gizi Tingkat konsumsi energi (TKE) diperoleh dengan cara membandingkan konsumsi energi aktual dengan angka kecukupan energi. Berdasarkan Depkes (1996), jika tingkat konsumsi energi < 70% dikatakan defisit tingkat berat, 70-79% dikatakan defisit tingkat sedang. 80-89% dikatakan defisit tingkat ringan, 90-119% dikatakan normal dan ≥ 120% dikatakan kelebihan. Tahun 1987 hingga 2010 telah terjadi banyak kejadian berupa perubahan di Indonesia seperti perubahan kepemimpinan,
perubahan sistem
tata
kenegaraan dari sentralistik ke arah desentralisasi/otonomi daerah, perubahan ekonomi, dan perubahan-perubahan lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tahun tersebut sangat berpengaruh bagi Indonesia karena mempengaruhi situasi ekonomi, sosial, dan politik. Perubahan tersebut dapat berdampak pada tingkat konsumsi energi di Indonesia yang mengakibatkan tingkat konsumsi energi defisit atau kekurangan energi. Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif. Akibatnya, berat badan kurang dari berat badan seharusnya (ideal). Bila terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan pada anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi (Almatsier 2006).
23
Berdasakan hasil pengolahan data SUSENAS tahun 1987 hingga 2010 dapat diketahui persentase rumahtangga defisit energi di Indonesia dengan indikator tingkat konsumsi energi <70% yang tergolong sebagai tingkat konsumsi energi defisit berat. Hasil pengolahan tersebut menunjukan bahwa di Indonesia memiliki penduduk di Indonesia yang defisit energi tingkat berat. Persentase penduduk defisit energi tingkat berat di Indonesia pada tahun 1987 sampai 2010 dapat dilihat secara rinci pada Tabel 2. Tabel 2 Persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) di Indonesia pada tahun 1987 sampai 2010 Persentase Laju Penduduk AKG Σ Penduduk Defisit Tahun Penduduk Defisit Defisit Energi (kkal) Energi (< 70%) Energi (< 70%) (<70%) per tahun 1987 18.498.785 10,84 1990
25.992.017
14,49
33,67
1993
6.184.747
3,27
-77,43
22.211.840
11,2
242,51
1999
48.685.463
23,47
109,55
2002
12.442.982
5,9
-74,86
2003
22.645.762
10,59
79,49
2004
8.781.453
4,05
61,76
1996
2100
2005
4.419.025
2,01
-50,37
2006
42.010.084
18,86
838,31
30.281.156
13,42
-28,84
2008
22.418.106
9,81
-26,90
2009
13.072.405
2007
2000
2010 30.502237 Sumber: SUSENAS 1987-2010 (diolah)
5,65
-42,41
12,84
127,26
Berdasarkan data pada tabel 2 dapat
diketahui perkembangan
persentase defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) di Indonesia. Pemantauan perkembangan tingkat defisit energi dilakukan berdasarkan data yang tersedia dan diperoleh, walaupun tidak tercatat dengan lengkap setiap tahunnya. Pada tahun 1987 hingga tahun 2002, data yang digunakan adalah data yang tersedia dengan periode tiga tahun sekali. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1987 hingga tahun 2002 pengambilan data yang dilakukan oleh SUSENAS secara panel. Berbeda halnya dengan data pada tahun 2002 hingga tahun 2010, pengambilan data dilakukan setiap setahun sekali. Persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) yang tertinggi di Indonesia terdapat pada tahun 1999 dengan persentase penduduk sebesar 23,47% yaitu sebanyak 48.685.463 jiwa sedangkan pesentase penduduk defisit energi tingkat berat yang terendah di
24
Indonesia terdapat pada tahun 2005 dengan persentase penduduk sebesar 2,01% yaitu sebanyak 4.419.025 jiwa. Persentase penduduk yang defisit energi tingkat berat (TKE <70%) setiap tahunnya selalu berubah. Pada tahun 1987 hingga tahun 1990 persentase defisit energi tingkat berat mengalami peningkatan yaitu dari 10,84% hingga menjadi 14,49% atau sebanyak 18.498.785 jiwa menjadi 25.992.017 jiwa dan pada tahun 1993 mengalami penurunan menjadi 3,27% atau sebanyak 6.184.747 jiwa. Sedangkan ada tahun 1996 hingga tahun 1999 mengalami peningkatan persentase penduduk yang defisit energi tingkat berat (TKE < 70%). Pada tahun 1996 persentase penduduk defisit energi sebesar 11,2% atau sebanyak 22.211.840 jiwa dan pada tahun 1999 sebesar 23,47% atau sebanyak 48.685.463 jiwa. Penurunan persentase yang cukup besar terjadi pada tahun 2002 dari tahun 1999 yaitu sebesar 23,47% menjadi 5,9% atau sebanyak 48.685.463 jiwa menjadi 12.442.982 jiwa, walaupun pada tahun berikutnya yaitu tahun 2003 mengalami peningkatan yaitu menjadi 10,59% atau sebanyak 22.645.762 jiwa dan mengalami penurunan kembali pada tahun 2004 dan 2005 yaitu sebesar 8,05% dan 2,01% atau sebanyak 17.454.493 jiwa dan 4.419.025 jiwa. Pada tahun 2006 kembali mengalami peningkatan kembali persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) yang cukup besar hingga menjadi 18,86% yaitu sebanyak 42.010.084 jiwa dan mengalami penurunan pesentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) setiap tahunnya hingga tahun 2009 yaitu sebesar 5,65% atau sebanyak 13.072.405 jiwa, namun pada tahun 2010 kembali meningkat menjadi 12,84% atau sebanyak 30.502.237 jiwa. Pada periode tahun tersebut, rata-rata laju penduduk defisit energi tingkat berat (TKE <70%) sebesar 9,36%. Laju penduduk defisit energi yang mengalami penurunan terbesar terdapat pada tahun 1993 yaitu sebesar 77,43%, sedangkan laju penduduk defisit energi yang mengalami peningkatan terbesar pada tahun 2006 yaitu sebesar 838,31%. Laju rata-rata penduduk defisit energi setiap tahunnya adalah sebesar 91,67%. Laju
tersebut
berubah
disebabkan
oleh
berbagai
faktor
yang
mempengaruhinya di antaranya perubahan kondisi ekonomi, politik, dan sosial yang telah terjadi di Indonesia. Laju peningkatan terbesar pada tahun 2006 terjadi akibat krisis BBM yang terjadi pada tahun 2005 sehingga mempengaruhi konsumsi pangan di Indonesia yang mengakibatkan penduduk defisit energi di Indonesia meningkat. Krisis BBM yang terjadi pada tahun 2005 tersebut
25
mengakibatkan semua harga barang meningkat. Dengan adanya peningkatan pada harga barang dan jasa termasuk harga pangan maka akan menyebabkan kemampuan daya beli penduduk terhadap suatu barang atau jasa akan menurun, sehingga penduduk mengurangi atau membatasi membeli barang atau jasa tersebut khususnya penurunan dalam pembelian pangan dikarenakan harga pangan yang terus meningkat. Penurunan daya beli terhadap pangan yang terjadi pada masa krisis BBM akan berdampak pada konsumsi penduduk yang menurun pula sehingga mengakibatkan kurangnya asupan energi atau defisit energi. Persentase penduduk defisit energi tingkat berat yang tertinggi pada tahun 1999 tersebut merupakan salah satu dampak dari dari kejadian yang terjadi Indonesia yaitu krisis ekonomi yang menyebabkan konsumsi pangan masyarakat di Indonesia menurun. Krisis ekonomi merupakan suatu kondisi perekonomian di suatu wilayah mengalami ketidakstabilan. Indonesia mengalami krisis ekonomi sejak pada tahun 1997. Hal ini berdampak pada kondisi ekonomi di Indonesia yang akan memperaruhi peningkatan inflasi. Secara tidak langsung, peningkatan inflasi dapat berdampak terhadap harga-harga barang dan jasa terutama harga pangan seperti beras. Harga beras sangat rentan sekali terhadap pergeseran inflasi yang terjadi di Indonesia. Beras merupakan bahan pangan pokok yang sebagian besar dikonsumsi di Indonesia karena beras menyumbang energi terbesar dari kebutuhan energi yang diperlukan oleh seseorang. Tahun 1987 hingga tahun 1993 merupakan tahun sebelum terjadinya krisis ekonomi. Tahun 1996 hingga 1999 merupakan masa terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Tahun 2002 hingga 2010 merupakan masa pasca terjadinya krisis ekonomi. Menurut Martianto (2009) pada krisis ekonomi terjadi perubahan strategis dalam pencapaian pemenuhan kebutuhan pangan. Daya beli yang menurun, masyarakat telah mengurangi pangan yang harganya mahal dan mensubstitusi dengan pangan murah. Oleh karena itu, hal tersebut dapat berdampak terhadap konsumsi energi rumah tangga di Indonesia sehingga terjadi defisit energi pada penduduk di Indonesia. Pada masa pasca terjadinya krisis ekonomi, persentase penduduk defisit energi mulai menurun. Hal tersebut diduga karena kondisi perekonomian di Indonesia mulai membaik yang dapat dilihat dengan pertumbuhan ekonomi pada masa pasca krisis ekonomi kian mengalami peningkatan. Selain itu juga pemerintah membuat program-program kebijakan umum ketahanan pangan pada masa pasca krisis ekonomi yang
26
membuat persentase penduduk defisit energi mulai mengalami penurunan walaupun pada tahun tertentu yang mengalami peningkatan. Pemerintah membuat kebijakan pangan pada tahun 2006-2009 yang tercantum dalam KUKP (Kebjakan Umum Ketahanan Pangan) 2006-2009 untuk mencegah dan menangani keadaaan rumah rawan pangan dan gizi. Kebijakan tersebut terdiri dari pengembangan isyarat dini dan penanggulangan keadaan rawan pangan, peningkatan keluarga sadar gizi melalui penyuluhan dan bimbingan sosial dengan menyempurnakan sistem komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dan pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga. Sedangkan kebijakan yang dilakukan pemerintah pada tahun 20102014 yang tercantum dalam KUKP (Kebjakan Umum Ketahanan Pangan) 20102014 dalam mencegah dan menangani keadaan rumah rawan pangan hampir sama dengan kebijakan yang telah ditentukan pada tahun 2006-2009 hanya saja terdapat penambahan beberapa kebijakan. Sehingga kebijakan tersebut terdiri dari pengembangan sistem isyarat dini dan keadaan rawan pangan dan gizi, pemantauan berkala tentang perkembangan pola pangan rumah tangga karena gagal panen dan paceklik, pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga, pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga, dan pemanfaatan cadangan pangan pemerintah di seluruh lapisan untuk dapat menanggulangi keadaan rawan pangan dan gizi. Menurut Badan Ketahanan Pangan (2007) kondisi penduduk yang defisit energi mencerminkan bahwa pola konsumsi pangan penduduk masih harus diperbaiki, upaya perbaikan konsumsi perlu dilaksanakan secara komprehensif baik dari segi dimensi fisik (penyediaan pangan sumber karbohidrat non beras, protein, vitamin dan mineral), dimensi ekonomi maupun dimensi perbaikan gizi serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya, sehingga konsumsi pangan menuju beragam, bergizi seimbang dan aman (konsumsi energi kalori dengan skor PPH 100) dapat dicapai pada tahun 2015. Untuk memperbaiki kualitas konsumsi pangan penduduk menuju beragam, bergizi seimbang dan aman pada masa yang akan datang dilakukan melalui penggalian potensi pangan lokal secara maksimal, pemanfaatan pekarangan sebagai sumber gizi keluarga, tersajinya data konsumsi pangan secara periode dan berkelanjutan, peningkatan kemampuan aparat dan masyarakat dalam pengembangan konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang serta didukung dengan promosi dan sosialisasi secara berkelanjutan. Selain itu, penanaman kesadaran pola konsumsi yang
27
sehat perlu dilakukan sejak dini melalui pendidikan formal dan non-formal. Dengan kesadaran gizi yang baik, masyarakat dapat menentukan pilihan pangan sesuai kemampuannya dengan tetap memperhatikan kuantitas, kualitas, keragaman dan keseimbangan gizi. Masyarakat juga dapat meninggalkan kebiasaan serta budaya konsumsi yang kurang sesuai dengan kaidaah gizi dan kesehatan. Kesadaran yang baik ini lebih menjamin terpenuhinya kebutuhan gizi masing-masing anggota keluarga sesuai dengan tingkatan usia dan aktivitasnya (DKP 2006). Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010 Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang mencakup
banyak
segi,
dan
ditandai
dengan
pengangguran
dan
keterbelakangan. Dengan demikian kemiskinan merupakan masalah bersama antara pemerintah, masyarakat dan segenap pelaku ekonomi. Kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Internal lebih banyak melibatkan faktor sumberdaya manusianya, sedangkan faktor eksternal menunjukan kondisi yang lebih kompleks karena satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Oleh karenanya, program akan berjalan efektif apabila memperhatikan unsur kedua-duanya. (Makmun 2003). Selama lebih dari tiga dekade terakhir, jumlah penduduk miskin telah banyak berkurang. Dalam periode 1970-1996, jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun dengan cepat dari 70 juta orang (60 persen) menjadi 22 juta orang (11,3 persen). Akan tetapi, pada saat krisis ekonomi terjadi pada pertengahan tahun 1997, jumlah penduduk miskin meningkat kembali. Pada tahun 1998, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 49,5 juta orang (24,2 persen). Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilakuakan telah menurunkan jumlah penduduk miskin selama periode 1998-2004. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih 36,2 juta orang (16,7 persen). Ditinjau dari segi distribusi pendapatan, masih terlihat adanya ketidakmerataan walaupun masih tergolong rendah (BPS 2004). Data yang lebih rinci mengenai jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin pada tahun 1987 hingga 2010 di Indonesia disajikan pada Tabel 3.
28
Tabel 3 Persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1987 sampai 2010 Tahun
Σ Penduduk Miskin
% Penduduk Miskin
1987
29.693.622
17,40
1990
27.086.221
15,10
1993
25.911.632
13,70
1996
34.646.504
17,47
1998
49.524.424
24,23
1999
48.602.489
23,43
2000
39.479.043
19,14
2001
38.291.880
18,41
2002
38.383.436
18,20
2003
37.251.102
17,42
2004
36.123.212
16,66
2005
35.110.364
15,97
2006
39.537.593
17,75
2007
37.411.444
16,58
2008
35.238.247
15,42
2009
32.738.855
14,15
2010 31.666.263 Sumber: BPS 2004-2010
13,33
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia yang tertinggi dari tahun 1987 hingga tahun 2010 terdapat pada tahun 1998 dan tahun 1999 dengan jumlah penduduk masing-masing 49.524.424 jiwa atau 24,23% dan 48.602.489 jiwa atau 23,43%. Hal tersebut disebabkan oleh dampak dari kejadian yang terjadi di Indonesia yaitu krisis ekonomi atau krisis moneter. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan mengalami puncaknya pada tahun 1998 telah mengakibatkan bertambahnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pada periode tahun 2000-2010 jumlah penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk yang miskin sebesar 17,75% atau sebanyak 39.537.593 jiwa. Namun pada tahun 2007 kembali menurun hingga tahun 2010. Peningkatan jumlah penduduk yang miskin tidak sepenuhnya terjadi kibat krisis ekonomi, melainkan sebagian terjadi karena perubahan standar yang digunakan. Jumlah penduduk miskin yang rendah selama beberapa tahun tersebut terdapat pada tahun 2010 dengan jumlah penduduk 31.666.263 jiwa atau dengan persentase penduduk miskin sebesar 13,33%. Pada masa pasca krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 (tahun 2001
29
hingga tahun 2010), tingkat kemiskinan di Indonesia mulai mengalami penurunan di setiap tahunnya walaupun pada tahun 2006 mengalami peningkatan. Namun pada tahun berikutnya mengalami penurunan kembali. Peningkatan tingkat kemiskinan yang terjadi pada tahun 2006 merupakan dampak dari krisis BBM yang telah terjadi pada tahun 2005. Pada saat krisis BBM terjadi, semua harga barang dan jasa mengalami peningkata sehingga kemampuan daya beli terhadap barang dan jasa pada tahun tersebut mengalami penurunan. Penurunan tingkat kemiskinan yang terjadi pada masa pasca krisis ekonomi tersebut diduga adanya program-program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan pemerintah. Salah satu program yang dilakukan adalah program
pengembangan
masyarakat.
Program-program
pengembangan
masyarakat, dalam pengentasan kemiskinan, yang mencakup peningkatan kapasitas masyarakat untuk bekerja sama, peningkatan keterampilan usaha dan peningkatan akses kepada sumber daya produktif, telah dilaksanakan oleh berbagai kementrian lingkup pemerintah maupun berbagai organisasi non pemerintah. Program ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga masyarakat miskin. Keberhasilan program tersebut memberikan peluang cukup tinggi bagi keluarga miskin untuk meningkatkan kualitas konsumsinya, ke arah pangan yang lebih beragam dan bergizi seimbang. Peluang ini akan memberikan hasil apabila disertai dengan proses penyadaran kepada mereka atas pentingnya mengkonsumsi pangan dan gizi yang seimbang, baik untuk kesehatan, produktivitas dan kecerdasan anak-anak generasi penerus mereka (DKP 2006). Hubungan antara persentase penduduk defisit energi (< 70%) dengan tingkat kemiskinan (%) di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 tersaji pada Gambar 2.
30
Gambar 2 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE < 70%) Dengan Tingkat Kemiskinan (%) di Indonesia Pada Tahun 1987-2010
Analisis korelasi dengan menggunakan metode Pearson menunjukkan bahwa adanya hubungan yang kuat dan signifikan (r=0,589, p<0,05) antara persentase penduduk defisit energi dengan tingkat kemiskinan. Arah hubungan yang positif menunjukkan semakin tinggi nilai tingkat kemiskinan (%) di Indonesia maka semakin tinggi penduduk di Indonesia yang defisit energi (< 70%). Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa persamaan garis yang diperoleh adalah y = -13,26 + 1,428x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang positif antara tingkat kemiskinan dengan persentase penduduk defisit energi (<70%) (ditandai dengan nilai slope yang positif). Koefisien regresi persamaan tersebut adalah 1,428, artinya setiap kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 1 satuan makan akan meningkatkan 1,428 kali penduduk defisit energi. Dari persamaan tersebut juga diperoleh nilai determinasi (R2) yaitu sebesar 0,347 yang memliki arti bahwa terdapat 34,7% faktor tersebut berpengaruh dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Berdasarkan hasil analisis tersebut penduduk defisit energi memiliki hubungan dengan tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan kata lain, masyarakat yang miskin cenderung mengalami defisit energi karena penduduk miskin tidak memiliki daya beli terhadap bahan pangan. Hal tersebut disebabkan karena penduduk miskin memiliki pendapatan yang rendah sehingga untuk membeli pangan mereka mengalami kesulitan untuk membeli bahan pangan. Konsumsi pangan merupakan faktor yang menentukan kebutuhan energi seseorang. Penduduk miskin yang mengkonsumsi pangan kurang dari
31
kebutuhannya maka akan memyebabkan kurangnya energi yang diperoleh dari angka kecukupan energi yang dianjurkan oleh Angka Kecukupan Gizi (AKG). Kekurangan energi tersebut yang terjadi pada penduduk miskin tersebut disebut sebagai penduduk yang defisit energi. Penduduk miskin yang mengalami kekurangan energi atau defisit energi memiliki dampak yang akan mempengaruhi pembangunan di Indonesia. Menurut Tjahjadi (2004), dampak yang ditimbulkan karena kemiskinan akan sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan masyarakat, karena keluarga miskin tidak mampu menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup, aman, dan bergizi sehingga rentan terhadap rawan pangan dan rawan gizi. Sudiman (2008) menyatakan bahwa rumahtangga atau masyarakat yang tingkat konsumsi atau asupan energinya rata-rata per orang per hari <2100 kkal disebut defisit energi atau kelaparan. Keterkaitan antara kelaparan dengan kemiskinan semakin jelas, karena pijakannya sama, yakni jika pada kelaparan digunakan batas asupan energi 2100 kkal per orang per hari sebagai kebutuhan rara-rata, sementara pada kemiskinan digunakan nilai rupiah untuk memenuhi 2100 kilo kalori. Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Harga Beras di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010 Tahun 1984 Indonesia telah mencapai tingkat swasembada beras yang antara lain ditandai dengan meningkatnya jumlah pembelian beras dalam negeri yang mencapai 2,5 juta ton dan menyusutnya keperluaan operasi pasar tahun 1984/1985 sebesar 70 juta ton sehingga terjadi surplus cadangan beras pemerintah pada tahun 1985 (Amrullah 2003). Beras merupakan pangan pokok utama bagi masyarakat Indonesia. Data Susenas menunjukkan bahwa hampir 100% rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi beras secara teratur pada saat survey. Secara rata-rata, beras memberikan konstribusi energi lebih dari 50% dari total konsumsi energi masyarakat Indonesia (Martianto 2009). Sampai sekarang beras masih merupakan makanan pokok bagi penduduk Indonesia pada
umumnya
sehingga
beras
mempunyai
peranan
yang
sangat
menentukan dalam pola konsumsi penduduk Indonesia. Beras mengandung nilai gizi yang besar di dalamnya, maka masyarakat Indonesia sangat menggantungkan dirinya kepada beras sebagai bahan pangan pokok. Oleh karena itu berbagai daya dan upaya dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia untuk memperoleh bahan pangan beras (Saliman 2004). Dengan dikarenakan beras sebagai bahan pangan pokok, maka harga beras memiliki
32
keterkaitan dengan konsumsi beras penduduk di Indonesia. Harga merupakan penentu sebagian penduduk di Indonesia dalam membeli suaru barang atau jasa. Apabila harga beras mengalami peningkatan maka penduduk akan membeli beras tersebut dengan jumlah yang sedikit. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap konsumsi energi penduduk di Indonesia. Dengan adanya konsumsi energi yang sedikit tersebut maka dapat menyebabkan penduduk mengalami kekurangan energi atau defisit energi. Harga beras sangat terkait dengan konsumsi energi penduduk Indonesia. Harga beras yang meningkat akan mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap
beras
tersebut.
Penigkatan
harga
beras
yang
terjadi
dapat
mempengaruhi konsumsi energi yang berasal dari beras itu sendiri karena beras memberikan energi tebesar dibandingkan dengan energi yang berasal dari pangan lain. Untuk mengetahui secara rinci harga beras dan perkembangannya pada tahun 1987 hingga 2010 di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber: Bulog 1990 dan 2000, BPS 2010 (diolah) Gambar 3 Perkembangan Harga Beras di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010
Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui perkembangan harga beras setiap tahunnya di Indonesia mulai dari tahun 1987 hingga tahun 2010. Harga beras yang digunakan dalam hal ini berupa harga berlaku yang diperoleh instansi terkait yaitu bulog. Harga beras yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan harga berlaku. Harga beras pada tahun 1987 hingga tahun 2010 selalu mengalami peningkatan harga setiap tahunnya walaupun ada beberapa tahun yang terkadang mengalami penurunan tetapi penurunan tersebut tidak
33
terlalu besar. Pada tahun 1998, harga beras mengalami peningkatan yang cukup besar daripada tahun 1997 yaitu sebesar Rp 980,5 dan meningkat mencapai Rp 1999,1 pada tahun 1998. Hal tersebut disebabkan karena pada tahun tersebut di Indonesia telah terjadi krisis ekonomi yang mempengaruhi harga beras sehingga harga beras meningkat cukup besar. Krisis ekonomi merupakan suatu keadaan perekonomian mengalami ketidakstabilan. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan inflasi meningkat dengan tajam yang kemudian akan mempengaruhi harga beras pada tahun 1998. Harga beras sangat rentan terhadap pergeseran inflasi yang terjadi di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Amang dan Sawit (1999) bahwa selama 30 tahun terakhir, baru pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis beras yang paling parah yang sebelumnya pernah terjadi pada tahun 1972. Harga beras terus meningkat di satu pihak, sedangkan di pihak lain pendapatan riil masyarakat semakin berkurang dan jumlah orang miskin terus bertambah karena krisi moneter dan ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan 1997, sehingga sebagian besar masyarakat sulit menjangkau beras yang tersedia di pasar, dan harganya tidak stabil. Berbagai kebijakan konvensional dan kebijakan baru diterapkan namun demikian belum mampu sepenuhnya meredam kenaikan harga beras dalam negeri dan memperbaiki daya beli masyarakat. Untuk mengetahui hubungan antara persentase penduduk defisit energi (< 70%) dengan harga beras di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE < 70%) dengan Harga Beras (Rupiah) di Indonesia Pada Tahun 1987-2010
34
Harga beras yang berkembang di Indonesia pada tahun 1987 hingga tahun 2010 dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat di Indonesia.
Analisis
korelasi
dengan
menggunakan
metode
Pearson
menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang nyata (r=0,057, p>0,05) antara persentase penduduk defisit energi dengan harga beras. Tidak adanya hubungan antara persentase penduduk defisist energi dengan harga beras diduga karena adanya program-program yang dilakukan oleh pemerintah seperti program operasi pasar khusus (OPK) dan program bantuan beras miskin (raskin) yang dilakukan setelah terjadinya krisis ekonomi sehingga harga beras tidak berhubungan langsung dengan penduduk yang defisit energi. Program-program yang dilakukan tersebut dapat membantu penduduk miskin untuk memperoleh bahan pangan pokok berupa beras. Sehingga apabila terjadi peningkatan pada harga beras, masyarakat miskin masih dapat membeli bahan pangan pokok tersebut karena sebagian harga dari bahan pangan pokok tersebut sudah mendapatkan subsidi dari pemerintah. Oleh karena itu, penduduk masih dapat mengkonsumsi bahan pangan pokok yang berupa beras untuk mencukupi energi di dalam tubuhnya. Program RASKIN merupakan salah satu program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang diluncurkan Oktober 2001. Program ini pengganti program Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras, yang diadakan untuk menanggulangi dampak krisis ekonomi 1998 yang sudah diluncurkan sejak 1 Juli 1998. Semula jumlah beras hanya 10 kilogram per keluarga, namun sejak Desember 2002 dinaikkan menjadi 20 kilogram per keluarga. Sejak mulai diluncukan harga beras itu tetap sama, yaitu Rp 1.000 per kilogram. Beras miskin (RASKIN) pada dasarnya adalah beras murah yaitu yang harga jualnya kepada masyarakat telah disubsidi oleh pemerintah, yang diberikan kepada keluarga prasejahtera dan sejahtera satu. Penetapan jumlah keluarga miskin yang berhak menerima RASKIN adalah sesuai dengan ketentuan pemerintah dalam hal ini Menko Kesra yaitu berdasarkan data dari BPS dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Kebijakan ini diambil oleh pemerintah agar dalam memberikan subsidi dan mengupayakan bantuan, dapat disalurkan tepat mencapai sasaran (Saliman 2004). Harga
beras
yang
selalu
mengalami
perubahan
akibat
adanya
pergeseran inflasi diperlukan stabilitas harga beras. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa harga beras sangat rentan terhadap pergeseran inflasi yang terjadi di
35
Indonesia. Menurut Arifin (2007) stabilitas harga menjadi salah satu dimensi yang penting dalam ketahanan pangan karena dapat menimbulkan konsekuensi ekonomi, politik, dan sosial kemasyarakatan yang berat. Indonesia dan negaranegara berkembang lain melakukan intervensi kebijakan untuk menjaga stabilitas harga pangan pokok dengan menjaga atau mengurangi tingkat fluktuasi harga agar tidak terlalu besar. Fluktuasi harga pangan dan komoditas pertanian umumnya terjadi antarwaktu karena pengaruh iklim dan cuaca (seasonal variations) serta perbedaan waktu tanam dan waktu panen yang berkisar tiga bulan atau lebih. Fluktuasi harga yang cenderung mengarah pada instabilitas harga pangan juga terjadi karena pengaruh lokasi dan wilayah produksi dan konsumsi. Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Inflasi di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010 Krisis moneter yang melanda Indonesia diawali dengan terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (terutama dolar Amerika), akibat adanya domino effect dari terdepresiasinya mata uang Thailand (bath), salah satunya telah mengakibatkan terjadinya lonjakan harga barangbarang yang diimpor Indonesia dari luar negeri. Lonjakan harga barang-barang impor ini, menyebabkan harga hampir semua barang yang dijual di dalam negeri meningkat baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terutama pada barang yang memiliki kandungan barang impor yang tinggi. Karena gagal mengatasi krisis moneter dalam jangka waktu yang pendek, bahkan cenderung berlarut-larut, menyebabkan kenaikan tingkat harga terjadi secara umum dan semakin berlarut-larut. Akibatnya, angka inflasi nasional melonjak cukup tajam. Lonjakan yang cukup tajam terhadap angka inflasi nasional yang tanpa diimbangi oleh
peningkatan
pendapatan
nominal
masyarakat,
telah menyebabkan
pendapatan riil rakyat semakin merosot. Pendapatan per kapita penduduk juga merosot relatif sangat cepat, yang mengakibatkan Indonesia kembali masuk dalam golongan negara miskin. Hal ini telah menyebabkan semakin beratnya beban hidup masyarakat, khususnya pada masyarakat strata ekonomi bawah. Jika melihat begitu dasyatnya pengaruh lonjakan angka inflasi di Indonesia (akibat dari imported inflation yang dipicu oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing) terhadap perekonomian nasional, maka dirasa perlu untuk memberikan perhatian ekstra terhadap masalah inflasi ini dengan cara mencermati kembali teori-teori yang membahas tentang inflasi; faktor-faktor yang
36
menjadi sumber penyebab timbulnya inflasi di Indonesia; serta langkah-langkah apakah yang sebaiknya diambil untuk dapat keluar dari perangkap inflasi ini (Atmadja 1999). Untuk mengetahui secara rinci inflasi dan perkembangannya pada tahun 1987 hingga 2010 di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.
Sumber: BPS 2005 Gambar 5 Perkembangan Inflasi di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010
Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui perkembangan inflasi setiap tahunnya di Indonesia mulai dari tahun 1987 hingga tahun 2010. Inflasi pada tahun 1987 hingga tahun 2010 relatif konstan walaupun terdapat di beberapa tahun yang mengalami penurunan maupun peningkatan. Pada tahun 1998, inflasi di Indonesia meningkat tajam yang disebabkan oleh kejadian krisis ekonomi atau krisis moneter. Peningkatan inflasi tersebut dapat dibilang merupakan peningkatan yang sangat tajam dari nilai inflasi sebesar 11,1% pada tahun 1997 kemudian meningkat menjadi 77,6% pada tahun 1998. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia menyebabkan kondisi perekonomian di Indonesia
mengalami
ketidakstabilan.
Ketidakstabilan
ekonomi
tersebut
menyebabkan inflasi di Indonesia mengalami pergeseran atau perubahan yang sangat tajam. Namun pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1999 atau pada masa pasca krisis ekonomi nilai inflasi di Indonesia mengalami penurunan yang cukup besar. Selama masa pasca krisis ekonomi, inflasi di Indonesia tidak mengalami peningkatan yang sangat besar lagi. Dapat dibilang inflasi pada masa pasca krsisis ekonomi terbilang konstan walaupun terjadi peningkatan dan penurunan, namun peningkatan dan penurunan tersebut tidak terlalu besar.
37
Pada tahun 2005, inflasi di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2004 yaitu dari 6,4% hingga mencapai 17,11%. Peningkatan tersebut diduga disebabkan oleh krisis BBM yang terjadi diIndonesia pada tahun 2005 sehingga nilai inflasi di Indonesia pada tahun tersebut mengalami peningkatan. Peningkatan inflasi yang terjadi di Indonesia sangat berpengaruh terhadap penigkatan harga-harga barang dan jasa yang berlaku. Menurut Atmadja (1999) menyatakan bahwa laju inflasi bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan golongan masyarakat manakah yang terkena imbas (yang menderita) dari inflasi yang sedang terjadi. Fenomena inflasi di Indonesia masih menjadi satu dari permasalahan ekonomi makro yang meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat. Inflasi yang berkembang di Indonesia pada tahun 1987 hingga tahun 2010 dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat di Indonesia. Untuk mengetahui hubungan antara persentase penduduk defisit energi (< 70%) dengan inflasi di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE < 70%) dengan Inflasi di Indonesia Pada Tahun 1987-2010
Analisis korelasi dengan menggunakan metode korelasi Pearson menunjukkan bahwa adanya hubungan yang kuat dan signifikan (r=-0,530, p<0,05) antara persentase penduduk defisit energi dengan tingkat kemiskinan.
38
Arah hubungan yang negatif menunjukkan semakin tinggi nilai tingkat inflasi (%) di Indonesia maka semakin rendah penduduk di Indonesia yang defisit energi (<70%). Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa persamaan garis yang diperoleh adalah y = 16,99 - 0,839x
sehingga dapat disimpulkan terdapat
hubungan yang negatif antara tingkat inflasi dengan persentase penduduk defisit energi (<70%) (ditandai dengan nilai slope yang positif). Koefisien regresi persamaan tersebut adalah 0,854, artinya setiap kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 1 satuan makan akan meningkatkan 0,854 kali penduduk defisit energi. Dari persamaan tersebut juga diperoleh nilai determinasi (R2) yaitu sebesar 0,283 yang memliki arti bahwa terdapat 28,3% faktor tersebut berpengaruh dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Hasil korelasi tersebut memiliki hasil yang negatif yaitu semakin tinggi tingkat inflasi maka penduduk defisit energi semakin meningkat. Hal tersebut diduga disebabkan oleh program-program yang dilakukan oleh pemerintah seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS). Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilaksanakan di Indonesia mencakup 5 bidang, yaitu pangan, tenaga kerja, pendidikan, kesehatan, dan modal usaha. Total anggaran yang dialokasikan untuk program itu selama tahun 1998 adalah Rp 17,5 triliun. Dana itu dihimpun dari ADB, Bank Dunia, UNICEF, masyarakat dan pemerintah. JPS akan dialokasikan secara langsung dan mengenai sasaran, yakni masyarakart miskin kurang mampu, pekerja terkena PHK, atau masyarakat yang kurang gizi (Kataren 2004). Program JPS ini dapat membantu penduduk miskin untuk memperoleh jaminan yang berupa pangan. Dengan adanya program JPS, masyarakat miskin masih bisa memperoleh bahan pangan pokok berupa beras yang akan dikonsumsi oleh mereka. Walaupun inflasi di Indonesia meningkat, dengan adanya program JPS ini maka dapat memperoleh makanan makanan. Inflasi sangat berpengaruh terhadap harga barang dan jasa terutama pada harga beras. Harga beras sangat rentan terhadap pergeseran inflasi yang terjadi di Indonesia. Salah satu program dari jarring Pengaman Sosial adalah Operasi Pasar Khusus (OPK) dan beras miskin (RASKIN). Program tersebut memberikan subsidi kepada harga beras sehingga penduduk miskin masih bisa membeli harga beras tersebut dengan harga yang murah. Jadi walaupun harga beras meningkat akibat peningkatan inflasi, maka penduduk miskin masih bisa membeli beras untuk dikonsumsi melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilakukan oleh pemerintah.
39
Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010 Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun yang dengan sendirinya kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun. Selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan
pertumbuhan
kesempatan
kerja
(sumber
pendapatan).
Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja akan
mengakibatkan
ketimpangan
dalam
pembagian
dari
penambahan
pendapatan tersebut (Cateris Paribus), yang selanjutnya akan menciptakan suatu
kondisi
pertumbuhan
ekonomi
dengan
peningkatan
kemiskinan.
Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri hanya bisa dicapai dengan peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDB yang terus menerus (Tambunan 2003). Untuk mengetahui secara rinci pertumbuhan ekonomi dan perkembangannya pada tahun 1987 hingga 2010 di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 7.
Sumber: BPS 2009 Gambar 7 Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010
Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui perkembangan pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya di Indonesia mulai dari tahun 1987 hingga tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1987 hingga tahun 2010 relatif konstan
40
walaupun terdapat di beberapa tahun yang mengalami penurunan maupun peningkatan. Pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi di Indonesia menurun tajam yang disebabkan oleh kejadian krisis ekonomi atau krisis moneter. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia merupakan suatu kondisi dimana perekonomian di Indonesia mengalami ketidakstabilan. Penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dibilang merupakan penurunan yang sangat tajam dari nilai pertumbuhan ekonomi sebesar 4,7% pada tahun 1997 kemudian menurun sangat tajam menjadi 13,13% pada tahun 1998. Namun pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1999 nilai pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu sebesar 0,79% dan pada tahun-tahun berikutnya juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada masa pasca krisis ekonomi yaitu pada tahun 2000 hingga tahun 2010, perumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun walaupun terdapat peningkatan di tahun-tahun tertentu. Pada masa krisis ekonomi, keadaan ekonomi di Indonesia sangat tidak stabil yang akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pada masa pasca krisis ekonomi, kondisi perekonomian mulai membaik dan mengalami kestabilan. Menurut Aji (2005) pertumbuhan ekonomi di negara Indonesia, tidak dapat
dilepaskan
dari
perubahan-perubahan
yang
terjadi
pada
sistem
perekonomian dunia. Liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi telah mempercepat laju pertumbuhan negara-negara tersebut. Perubahan tersebut yang disertai teknologi dan telekomunikasi telah mendorong berkurangnya hambatan-hambatan lalu lintas barang dan modal antar negara. Pertumbuhan ekonomi selama ini telah memberikan dampak perubahan terhadap kontribusi maupun laju pertumbuhan sektor-sektor ekonomi. Struktur perekonomian Indonesia terus mengalami perubahan mengikuti struktur perekonomian yang lazim di negara-negara maju, dimana kontribusi sektor-sektor tradisional, seperti sektor pertanian dan sektor pertambangan terhadap PDB semakin lama semakin berkurang, digantikan oleh sektor-sektor modern, seperti industri pengolahan dan jasa-jasa, seperti perdagangan, hotel, dan restoran. Pertumbuhan ekonomi yang berkembang di Indonesia pada tahun 1987 hingga tahun 2010 dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat di Indonesia. Untuk mengetahui hubungan antara persentase penduduk defisit
41
energi (< 70%) dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (< 70%) dengan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Pada Tahun 1987-2010
Berdasarkan hasil analisis korelasi dengan menggunakan metode Pearson menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang nyata (r=-0,435, p>0,05)
antara persentase penduduk defisit energi dengan pertumbuhan
ekonomi. Arah hubungan yang negatif menunjukkan semakin tinggi nilai pertumbuhan ekonomi di Indonesia maka semakin rendah penduduk di Indonesia yang defisit energi (< 70%). Pertumbuhan ekonomi akan menciptakan keberlangsungan pembangunan ekonomi serta peningkatan kesejahteraan dapat tercapai. Pertumbuhan ekonomi mengindikasikan pendapatan masyarakat sehingga jika pertumbuhan ekonomi baik maka pendapatan masyarakat dapat dikatakan baik. Berdasarkan hasil korelasi tidak terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penduduk defisit energi. Hal tersebut di duga karena pada prakteknya tidak semua penduduk yang tingkat pendapatannya meningkat tidak selalu membelanjakan tambahan pendapatannya untuk makanan guna memenuhi kebutuhan gizi, tidak jarang dibelanjakan untuk barang yang dapat meningkatkan status sosial ketimbang kebutuhan makanan yang bergizi (Sudiman 2008). Hal tersebut sesuai dengan Hukum Engel yang menyatakan
dengan
asumsi
selera
seseorang
adalah
tetap,
proporsi
pengeluaran rumah tangga untuk pangan atau semakin kecil seiring dengan semakin meningkatnya pendapatan.
42
Menurut
Tarigan
(2005),
pertumbuhan
ekonomi
wilayah
adalah
pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di daerah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dengan nilai riil, artinya dinyatakan dengan harga konstan. Hal itu juga menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi beroperasi di wilayah tersebut yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di suatu wilayah tersebut juga ditentukan oleh seberapa besar terjadi transfer-payment yang bagian pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah. Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan PDB per kapita di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010 Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar konstan. PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Perkembangan ekonomi dihitung berdasarkan perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dapat dihitung melalui pendekatan produksi, pengeluaran, pendapatan. PDB lazim disajikan menurut lapangan usaha (sektoral) dan menurut komponen penggunaan atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan (BPS 2005). Penelitian ini menggunakan PDB per kapita dengan harga konstan. PDB dengan harga tetap atau PDB riil, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun lain Angka-angka PDB merupakan hasil perkalian jumlah produksi (Q) dan harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka besarnya PDB akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut menunjukkan jumlah produksi (PDB riil). Mungkin kenaikan PDB hanya disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau merosot (BPS 2005). Untuk mengetahui secara rinci grafik perkembangan PDB per kapita pada tahun 1987 hingga 2010 di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 9.
43
Sumber: IMF (International Monetary Fund) Gambar 9 Perkembangan PDB per Kapita di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010
Berdasarkan gambar 9 dapat diketahui perkembangan PDB per kapita di Indonesia pada tahun 1987 hingga tahun 2010. Nilai PDB per kapita di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun walaupum pada tahun 1998 mengalami penurunan dan meningkat kembali pada tahun-tahun berikunya. . PDB per kapita pada tahun 1987 hingga tahun 2010 relatif meningkat walaupun terdapat di tahun 1998 dan 1999 menurun, namun pada tahun berikutnya terus meningkat hingga tahun 2010. PDB per kapita pada tahun 1997 sebesar Rp 7.482.391 yang kemudian mengalami penurunan pada tahun 1998 menjadi Rp 6.403.538 dan pada tahun 1999 mengalami penurunan kembali menjadi Rp 6.359.468. Pada tahun 1998, PDB per kapita di Indonesia menurun disebabkan oleh kejadian krisis ekonomi atau krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Krisis ekonomi yang
terjadi
di
Indonesia
merupakan
suatu
kejadian
yang
membuat
perekonomian di Indonesia mengalami ketidakstabilan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Tambunan (2003) yang menyatakan bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia membuat “keajaiban Indonesia” selama pemerintahan Soeharto menjadi tidak ada artinya lagi. Sektor keuangan perbankan yang pada masa Orde Baru berkembang sangat (bahkan terlalu) pesat hancur sama sekali. Penurunan PDB per kapita tersebut dapat dibilang
44
merupakan penurunan yang tidak terlalu tajam. Setelah terjadinya krisis ekonomi, pada tahun 2000 Indonesia kembali menata keadaan ekonominya sehingga PDB pada tahun 2000 mengalami peningkatan dari tahun 1999 yaitu sebesar Rp 6.775.003. Peningkatan tersebut tidak terlalu tajam namun selalu mengalami peningkatan pada setiap tahunnya hingga tahun 2010. PDB per kapita yang berkembang di Indonesia pada tahun 1987 hingga tahun 2010 dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat di Indonesia. Untuk mengetahui hubungan antara persentase penduduk defisit energi (< 70%) dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE < 70%) dengan PDB per kapita di Indonesia Pada Tahun 1987-2010
Berdasarkan hasil analisis korelasi dengan menggunakan metode korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang nyata (r=0,102, p>0,05) antara persentase penduduk defisit energi dengan PDB per kapita. Arah hubungan yang negatif menunjukkan semakin tinggi nilai PDB per kapita di Indonesia maka semakin rendah penduduk di Indonesia yang defisit energi tingkat berat (TKE < 70%). Berdasarkan hasil analisis penduduk defisit energi tidak memliki hubungan dengan PDB per kapita. PDB per kapita menggambarkan kondisi perekonomian di Indonesia. Jika PDB per kapita meningkat maka kondisi perekonomian di Indonesia membaik. Namun pada kenyataannya walaupun keadaan perekonomian membaik, penduduk di Indonesia masih mengalami kemiskinan. Dengan kata lain, penduduk yang kaya
45
akan semakin kaya sedangkan penduduk yang miskin akan semakin miskin. Penduduk miskin memiliki daya beli yang rendah terhadap barang dan jasa khsusnya terhadap pangan. Oleh karena itu penduduk defisit energi tidak memiliki hubungan dengan PDB per kapita. Menurut Tambunan (2003) peningkatan jumlah wilayah Produk Domestik Bruto (PDB) pada suatu sering kali menyatakan pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Bruto adalah total nilai akhir dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode waktu tertentu. Produk Domestik Bruto mencakup jumlah konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor bersih di negara tersebut.
Penduduk yang tingkat pendapatannya
meningkat tidak selalu membelanjakan tambahan pendapatannya untuk makanan guna memenuhi kebutuhan gizi, tidak jarang dibelanjakan untuk barang yang dapat meningkatkan status sosial ketimbang kebutuhan makanan yang bergizi (Sudiman 2008).
46
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Selama periode tahun 1987 hingga tahun 2010, persentase rumah tangga defisit energi berfluktuasi dengan persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) yang tertinggi pada tahun 1999 (23,47%) mencakup sekitar 48.685.463 jiwa yang terjadi akibat dari krisis ekonomi.
2.
Hasil uji korelasi menggunakan Pearson diketahui terdapat hubungan antara persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE <70%) dengan tingkat kemiskinan. Hal tersebut menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat kemiskinan maka prevalensi penduduk defisit tingkat berat akan meningkat.
3.
Berdasarkan uji korelasi menggunakan Pearson diketahui bahwa tidak ada hubungan antara persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE<70%) dengan harga beras yang berlaku pada saat itu.
4.
Hasil uji korelasi menggunakan Pearson diketahui bahwa terdapat hubungan yang negatif dan nyata antara persentase penduduk defisit energi tingkat berat dengan inflasi. Hal tersebut menyebutkan bahwa semakin tinggi nilai inflasi maka persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE<70%) akan menurun.
5.
Berdasarkan uji korelasi menggunakan Pearson diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE<70%) dengan pertumbuhan ekonomi.
6.
Berdasarkan uji korelasi menggunakan Pearson diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE<70%) dengan PDB per kapita.
7.
Hasil uji korelasi sederhana antara persentase rumah tangga yang defisit energi (<70%) yang dikaitkan dengan faktor faktor kemiskinan, harga beras, inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan PDB per kapita menunjukkan bahwa kemiskinan dan inflasi memiliki hubungan dengan persentase penduduk defisit energi tingkat berat (<70%). Sedangkan faktor harga beras, PDB per kapita dan pertumbuhan ekonomi tidak memiliki hubungan dengan persentase penduduk defisit energi tingkat berat (<70%).
47
Saran Penduduk di Indonesia yang mengalami defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) masih terbilang cukup besar pada umumnya. Sebaiknya kelompok penduduk yang mengalami defisit tingkat berat (TKE <70%) menjadi prioritas sasaran kebijakan pemerintah dan instansi terkait, program pembangunan perbaikan konsumsi pangan dan program-program penunjang lainnya. Salah satu upaya untuk meningkatkan perbaikan konsumsi kalori yaitu pemerintah lebih memperhatikan pendistribusian program RASKIN untuk masyarakat miskin agar tepat sasaran. Selain itu, diperlukan penanggulangan masalah kemiskinan di Indonesia seperti program-program yang dilakukan oleh pemerintah lebih dipertajam dan penguat penyaluran RASKIN yang dapat diakses secara penuh oleh seluruh rumahtangga miskin. .
48
DAFTAR PUSTAKA Aji OM. 2005. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia periode tahun 1984-2003 [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama. Amang B, Sawit H. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. Bogor: IPB Press. Amrullah S. 2003. Kebijakan Ekonomi Beras Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Urusan Logistik. Ariani M. 2005. Diversifikasi konsumsi pangan di Indonesia antara harapan dan kenyataan. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Mono27-7.pdf [3 April 2011] Ariani M dan Purwantini T. 2008. Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pasca Krisis Ekonomi Di Propinsi Jawa Barat. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(10)%20soca_mewa%20ariani%20dkk(1 ).pdf. [20 April 2011]. Arifin B. 2007. Diagnosis Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Arisman. 2007. Gizi Daur Dalam Kehidupan. Jakarta: EGC. Atmadja A. 1999. Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber penyebab dan pengendaliannya. Jurnal Akutansi dan Keuangan 1 (1). hlm 54-67. http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php [29 Juni 2011] [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2008. Usaha Pencapaian MDGs di Indonesia. Jakarta: Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2007. Rencana Strategis Pangan 2005-2009. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1987. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 1990. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 1993. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 1996. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.
49
. 1999. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2002. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2003. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2004. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. . 2005. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2005. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. . 2005. Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . . 2006. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2007. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2008. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2009. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. . 2010. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
[DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2010. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan. Hardinsyah dan D.Martianto. 1992. Gizi Terapan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen.Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor Hardinsyah dan Martianto D. 1992. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein Serta Penilaian Mutu Konsumsi Pangan. Jakarta: Wirasari. Kantor Menpora.
50
Hardinsyah et al. 2002. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Bogor: IPB dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahan Pangan, Deptan. [IMF] International Monetary Fund. 2011. World Economic Outlook Database. http://www.imf.org/ [27 Mei 2011] Kadiman K. 2006. Buku Penelitian,Pengembangan Teknologi.
Putih Indonesia 2005-2025. Jakarta: dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan
Ketaren N. 2004. Program jaring pengaman sosial dan administrasi pembangunan. Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Martianto D dan Mewa Ariani. 2004. Analisis perubahan konsumsi dan pola konsumsi pangan masyarakat dalam dekade terakhir. Di dalam: Soekirman et al., editor. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII; Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta : LIPI. hlm 183-207. Martianto D. 2009. Ketahanan pangan dan gizi (food and nutrition security) dalam konteks Indonesia. Di dalam: Hariyadi et al.; editor. Ketahanan Pangan sebagai Fondasi Ketahanan Nasional. Prosiding Seminar ”Menuju Ketahanan Pangan yang Kokoh: Sebagai Buffer Krisis dan Fondasi Ketahanan Nasional”; Bogor: SEAFAST Center IPB. Makmun. 2003. Gambaran kemiskinan dan action plan penanganannya. Makalah. Dalam: Kajian Ekonomi dan Keuangan 7 (2). http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CMakmun-2.pdf. [29 Juni 2011] Mankiw Gregory. 2006. Teori Makroekonomi. Jakarta: Erlangga. Nasoetion A dan Hadi R. 1995. Gizi Terapan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Purwantini T dan Ariani. 2008. Pola Pengeluaran dan Konsumsi Pangan Pada Rumahtangga Petani Padi. Makalah. Dalam: Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. 1989. Pola Konsumsi Pangan, Proporsi dan Ciri Rumah Tangga Dengan Konsumsi Energi Dibawah Standar Kebutuhan. Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes. dengan PAE, Deptan. Bogor. Saliman. 2004. Menggugat kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan : pelaksanaan program raskin. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
51
Siregar K. 2009. Analisis determinan konsumsi masyarakat di Indonesia [Tesis]. Medan: Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara. Soekirman. 1991. Dampak Pembangunan Terhadap Keadaan Gizi Masyarakat. Bogor: IPB. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Sudiman H. 2008. Tantangan Litbang Lintas Disiplin dalam Penanggulangan Masalah Kemiskinan, Kelaparan dan Gizi Kurang di Indonesia. Makalah. Dalam: Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Gizi Masyarakat. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Suhanda et al. 2009. Gold Standard Dan Indikator Garis Kemiskinan Rumahtangga Petani di Subang. Bogor: Departemen Pertanian. Suhardjo. 2008. Perencanaan Pangan Dan Gizi. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Suryawati C 2005. Memahami kemiskinan secara multidimensional. [29 http://www.jmpk-online.net/Volume_8/Vol_08_No_03_2005.pdf. November 2010]. Syarief H. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas. Bogor: IPB. Tambunan T. 2003. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Tarigan R. 2005. Ekonomi Regional. Jakarta: Bumi Aksara. Tjahjadi D. 2004. Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan. Dalam Kemandirian Pangan Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan; penyunting Suryana A. Jakarta: Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian & Harian Umum “Suara Pembaharuan”.
52
LAMPIRAN
Lampiran 1 Konsumsi energi penduduk berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 1987-2010 Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 1987 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
1364,78
1454,09
1540,56
1703,25
1857,93
1983,85
2083,34
2185,17
2280,00
2295,36
2540,93
1006853
5614484
12440604
46520008
37151158
37253550
15034529
15614750
persentase penduduk
0,59
3,29
7,29
27,26
21,77
21,83
8,81
9,15
persentase penduduk kumulatif
0,59
3,88
11,17
38,43
60,2
82,03
90,84
100
rata-rata konsumsi kalori jumlah penduduk
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 1990 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
rata-rata konsumsi kalori
1392,44
1453,27
1584,67
1741,01
1934,64
2065,70
2133,93
2192,53
2251,19
2350,81
2320,52
jumlah penduduk
950708
2834187
23947089
37472262
54208317
26817152
20377448
12753843
persentase penduduk
0,53
1,58
13,35
20,89
30,22
14,95
11,36
7,11
persentase penduduk kumulatif
0,53
2,11
15,46
36,35
66,57
81,52
92,88
100
53
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 1993 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
rata-rata konsumsi kalori
1410,40
1505,07
1621,74
1779,01
1917,76
1986,41
2029,10
2085,42
2137,48
2225,85
2382,25
jumlah penduduk
397186
5919957
19140563
53449834
39170066
37751546
15773942
7395218
10137690
persentase penduduk
0,21
3,13
10,12
28,26
20,71
19,96
8,34
3,91
5,36
persentase penduduk kumulatif
0,21
3,34
13,46
41,72
62,43
82,39
90,73
94,64
100
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 1996 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
rata-rata konsumsi kalori
1239,68
1404,11
1604,20
1786,21
1985,40
2142,81
2242,51
2343,72
2519,14
2590,88
2742,31
jumlah penduduk
277648
2538496
21160744
35757096
58484568
31592376
17075352
18622248
12811472
persentase penduduk
0,14
1,28
10,67
18,03
29,49
15,93
8,61
9,39
6,46
persentase penduduk kumulatif
0,14
1,42
12,09
30,12
59,61
75,54
84,15
93,54
100
54
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 1999 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
rata-rata konsumsi kalori
1257,61
1371,15
1552,87
1719,73
1914,15
2090,69
2195,14
2300,82
2536,62
jumlah penduduk
1410572
14375384
34766441
37525353
61359865
27506146
19561309
8546404
2385526
0,68
6,93
16,76
18,09
29,58
13,26
9,43
4,12
1,15
0,68
7,61
24,37
42,46
72,04
85,3
94,73
98,85
100
persentase penduduk persentase penduduk kumulatif
X
XI
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 2002 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
rata-rata konsumsi kalori
1248,80
1321,65
1488,20
1651,47
1837,86
2029,35
2186,39
2338,75
2491,99
jumlah penduduk
63269
1834813
10671439
20478196
62847604
43065372
39775363
22819164
9342781
persentase penduduk
0,03
0,87
5,06
9,71
29,8
20,42
18,86
10,82
4,43
persentase penduduk kumulatif
0,03
0,9
5,96
15,67
45,47
65,89
84,75
95,57
100
X
XI
55
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 2003 I rata-rata konsumsi kalori
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1321,53
1410,46
1577,56
1784,34
1998,12
2183,22
2292,06
2432,85
jumlah penduduk
0
1197510
7035369
15460704
57587381
46296577
46745643
27136423
12360010
persentase penduduk
0
0,56
3,29
7,23
26,93
21,65
21,86
12,69
5,78
persentase penduduk kumulatif
0
0,56
3,85
11,08
38,01
59,66
81,52
94,21
99,99
X
XI
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 2004 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
rata-rata konsumsi kalori
1240,86
1451,95
1627,57
1794,90
1983,38
2126,83
2253,06
2397,95
jumlah penduduk
1561147
7480497
16912428
50238584
46552542
49479693
30377323
14245468
persentase penduduk
0,72
3,45
7,8
23,17
21,47
22,82
14,01
6,57
persentase penduduk kumulatif
0,72
4,17
11,97
35,14
56,61
79,43
93,44
100
IX
X
XI
56
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 2005
rata-rata konsumsi kalori jumlah penduduk persentase penduduk persentase penduduk kumulatif
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
1342,46
1453,80
1581,51
1754,90
1938,62
2072,43
2213,73
2415,99
659556
3913366
9805399
44717897
44827823
52588598
39903138
23414238
0,3
1,78
4,46
20,34
20,39
23,92
18,15
10,65
0,3
2,08
6,54
26,88
47,27
71,19
89,34
100
IX
X
XI
IX
X
XI
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 2006 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
rata-rata konsumsi kalori
1139,81
1342,59
1396,67
1633,03
1811,33
1982,13
2132,83
2307,59
jumlah penduduk
467769
2361118
7239278
37265573
44816696
62324611
44371202
23900753
persentase penduduk
0,21
1,06
3,25
16,73
20,12
27,98
19,92
10,73
persentase penduduk kumulatif
0,21
1,27
4,52
21,25
41,37
69,35
89,27
100
57
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 2007 rata-rata konsumsi kalori jumlah penduduk persentase penduduk persentase penduduk kumulatif
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
1374,57
1606,15
1751,16
2000,78
2208,90
2347,57
2495,47
2568,52
5753871
28137557
38675039
59727437
54131516
23060612
8326190
7852342
2,55
12,47
17,14
26,47
23,99
10,22
3,69
3,48
2,55
15,02
32,16
58,63
82,62
92,84
96,53
100
IX
X
XI
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 2008 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
rata-rata konsumsi kalori
1358,97
1590,49
1799,00
1994,98
2169,36
2278,34
2370,37
2439,93
jumlah penduduk
2765128
20224286
34804053
60969936
63323723
27148532
10032160
9278034
persentase penduduk
1,21
8,85
15,23
26,68
27,71
11,88
4,39
4,06
persentase penduduk kumulatif
1,21
10,06
25,29
51,97
79,68
91,56
95,95
100
IX
X
XI
58
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 2009 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
rata-rata konsumsi kalori
1299,96
1441,98
1616,47
1821,66
2011,82
2151,09
2239,04
2345,86
jumlah penduduk
1087439
12355158
28157729
62331078
70822357
32183567
12424569
12008103
0,47
5,34
12,17
26,94
30,61
13,91
5,37
5,19
0,47
5,81
17,98
44,92
75,53
89,44
94,81
100
persentase penduduk persentase penduduk kumulatif
IX
X
IX
X
XI
Konsumsi berdasarkan pengeluaran per bulan tahun 2010 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
rata-rata konsumsi kalori
1254,10
1389,35
1563,35
1746,71
1948,48
2134,30
2242,73
2334,89
jumlah penduduk
665158
8219450
24088215
55659456
71528221
40669649
17484148
19242065
persentase penduduk
0,28
3,46
10,14
23,43
30,11
17,12
7,36
8,1
persentase penduduk kumulatif
0,28
3,74
13,88
37,31
67,42
84,54
91,9
100
XI
59