i
KEMISKINAN DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DI PULAU SEBUKU, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN
Oleh Intan Yuliastry I34070059
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor 2011
ii
ABSTRACT Fishers living condition including the poverty that occurred in the fishing communities on small islands not yet widely available. Therefore this study is very important. The objective of this study research are 1) what was the level of poverty in the fishers on the island of Sebuku; 2) how about adaptation strategies undertaken by the fishers residing on the island of Sebuku; 3) what are the factors that influence the level of poverty and adaptation strategies of fishers on the island of Sebuku; 4) what is the attitude of fishers towards regional autonomy policy, the entry of mining companies and climatic conditions on the island of Sebuku. This research was conducted with a combination of quantitative and qualitative methods. Correlations is using rank spearman. Location of the study were purposively selected, Rampa Village and Sekapung Village. Sampling using simple random sampling technique. Based on field research, both in the Rampa Village and Sekapung Village, there were nothing included in the category of very poor and poor households based on criteria of BLT (Bantuan Langsung Tunai), while the relative poverty of poor households was used the criteria of the agreement from Rampa Village and Sekapung Village community. Fishers do various adaptation strategies, especially when a bad season. The majority of respondents have a negative attitude toward the policy of regional autonomy and the companies comers on the Sebuku Island. The result showed a positive correlation between the experience of going to sea with attitudes toward climate conditions (r=0.81) and levels of education with an attitude against the companies comers (r=0.30), but there was a negative correlation between the income level attitudes towards the companies comers (r=0.67) and the experience of going to sea with the attitude towards the companies comers (r=0.23). Other variables have no correlation. Key words : fishers, small island, poverty, adaptation strategies
iii
RINGKASAN INTAN YULIASTRY. Kemiskinan dan Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau Sebuku,
Kabupaten Kotabaru,
Kalimantan Selatan.
Di bawah bimbingan
RILUS A. KINSENG Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sektor perikanan sebagai salah satu aktivitas yang memberi kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa terutama jika dikelola dengan baik, namun yang terjadi sebanyak 32.529,9 juta orang atau 14,15 persen dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2009 masih termasuk kategori miskin. Masyarakat yang tinggal di sekitar pantai terutama mereka yang berada di pulau-pulau kecil menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Terkait dengan perubahan sistem pemerintahan di dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi dinamika kehidupan nelayan. Perubahan terjadi pada setiap kehidupan manusia sepanjang masa, termasuk pada masyarakat nelayan di pulau kecil. Tekanan, ancaman dan perubahan erat kaitannya dengan kemiskinan nelayan. Perubahan yang berkaitan dengan mata pencaharian, mendorong nelayan melakukan strategi adaptasi untuk mempertahankan hidup. Desa Rampa dan Desa Sekapung merupakan desa nelayan yang sebagian besar kepala keluarganya bermata pencaharian sebagai nelayan namun memiliki karakteristik yang berbeda yang dapat dibandingkan dan saling melengkapi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam dan metode survai. Peneliti mengambil masing-masing 30 responden dari setiap desa menggunakan teknik simple random sampling dengan mengundi unsur-unsur penelitian atau satuan-satuan elementer (pengundian). Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan analisis data secara statistik menggunakan uji statistik Rank Spearman. Penelitian ini ingin melihat bagaimana faktor eksternal (kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim) berpengaruh terhadap dimensi kehidupan nelayan di pulau kecil yang dilihat dari tiga aspek, yaitu kondisi kemiskinan, strategi adaptasi dan sikap nelayan serta melihat bagaimana
iv
hubungan antara karakteristik individu nelayan (usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut) dengan sikap nelayan mengenai kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim. Berdasarkan penelitian di lapang, baik di Desa Rampa maupun di Desa Sekapung tidak ada yang termasuk dalam kategori sangat miskin dan miskin berdasarkan kriteria rumah tangga miskin Bantuan Langsung Tunai (BLT), ratarata pendapatan per kapita lebih tinggi daripada garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada bulan Maret 2010, yaitu Rp196.753,00,- per kapita / bulan, sedangkan kemiskinan relatif memakai kriteria miskin lokal. Nelayan melakukan berbagai strategi adaptasi terutama ketika musim paceklik. Mayoritas responden memiliki sikap negatif baik terhadap kebijakan otonomi daerah dan juga terhadap masuknya perusahaan tambang di Pulau Sebuku. Hasil korelasi menunjukan bahwa variabel yang menunjukkan hubungan adalah pengalaman melaut dengan sikap terhadap kondisi iklim dan tingkat pendidikan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang, sedangkan tingkat pendapatan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan dan pengalaman melaut dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang ada korelasi namun hubungannya berbanding terbalik. Variabel lainnya tidak berkolerasi.
v
KEMISKINAN DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DI PULAU SEBUKU, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN
Oleh: INTAN YULIASTRY I34070059
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor 2011
vi
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama
: Intan Yuliastry
NRP
: I34070059
Judul
: Kemiskinan dan Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA NIP. 19590506 198703 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus: _____________________
vii
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KEMISKINAN DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DI PULAU SEBUKU, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN” BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN BAIK OLEH PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
KECUALI
SEBAGAI
BAHAN
RUJUKAN
YANG
DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT
DENGAN
SESUNGGUHNYA
DAN
SAYA
BERSEDIA
BERTANGGUNGJAWAB ATAS PERNYATAAN INI.
Bogor, Juni 2011
Intan Yuliastry NRP. I34070059
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Barabai, Kalimantan Selatan pada tanggal 16 Juli 1989. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, anak dari pasangan suami istri Bapak Bambang Heri Purnomo dan Ibu Ellis Mulyani. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Pertiwi Bogor (1994-1995), Sekolah Dasar di SD Negeri Panyileukan 03 Bandung (1995-2001), Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 34 Bandung (2001-2004) dan Sekolah Menengah Atas di SMA Pasundan 1 Bandung (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Selama di IPB, penulis tergabung dalam UKM MAX! dan KOPMA pada tahun 2007, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai staf divisi Journalistic dari tahun 2008-2009. Kemudian pada tahun kepengurusan 2009-2010 penulis dipercaya menjadi manager divisi Journalistic HIMASIERA. Selain itu penulis juga bergabung dalam IMPEMA (Ikatan Mahasiswa Peminat Ekologi Manusia). Penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian dalam beberapa event di IPB antara lain ESPENT (Ecology Sport event) tahun 2010 yang diadakan oleh Fakultas Ekologi Manusia, ENDEMIC (Entertainer Development in Action) oleh HIMASIERA tahun 2010 dan Pelatihan Journalistic yang diadakan oleh divisi Journalistic HIMASIERA tahun 2009, kepanitiaan dalam Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun 2009 dan kepanitiaan dalam Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia tahun 2009. Diakhir kepengurusan, penulis juga tergabung dalam kepanitiaan konser amal “Kami Peduli, Kamu?“ yang diadakan oleh HIMASIERA pada tahun 2010. Penulis juga aktif sebagai asisten dosen mata kuliah Dasar-dasar Komunikasi pada tahun 2009-2010.
ix
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat, berkat dan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Kemiskinan Dan Strategi Adaptasi Nelayan Di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan”. Penulis sangat bersyukur karena penyusunan Skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya dan sesuai dengan yang direncanakan. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarmya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian Skripsi ini, antara lain: 1.
Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan Karunia-Nya yang luar biasa dan tiada habisnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA. sebagai dosen pembimbing Skripsi atas kesabarannya telah membimbing, memberikan kritik dan saran yang membangun serta selalu memberikan motivasi yang sangat membantu penulis dalam penulisan Skripsi ini.
3.
Dr. Ir. Lala M Kolopaking, MS selaku dosen penguji utama dan Ir. Anna Fatchiya, M.Si selaku dosen penguji wakil departamen yang telah memberikan kritik dan sarannya dalam penulisan skripsi ini.
4.
Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS. sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan, semangat dan membantu penulis dalam menghadapi permasalahan akademik.
5.
Ayahanda, Bambang Heri Purnomo dan Ibunda, Ellis Mulyani tercinta yang selalu mencurahkan kasih sayang, dukungan moral dan finansial serta doa yang tiada henti kepada penulis.
6.
Anggoro Pramudityo Nugroho, S. Kom dan Mutiara Dea Wardani, kakak dan adik dari penulis yang selalu mendukung dan memotivasi penulis dan mencurahkan kasih sayang.
x
7.
Dodi Santosa, S. Kom yang selalu memberikan dukungan, bantuan dan semangat serta mendengar keluh kesah dalam penulisan Skripsi ini.
8.
Keluarga Bapak Haris Mufasih, Ibu, Nene, Afni juga Ikhsan yang telah membantu, membimbing, menyemangati, menghibur dan memfasilitasi penulis selama di lapang.
9.
Teman seperjuangan bimbingan Hardiyanti Dharma Pertiwi yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam penulisan Skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat tercinta Dewi Agustina, Titania Aulia, Noviani Anggraeni, Hireng Ambaraji, Eka Wijayanti, Anies Wahyu N, Nyimas Nadya Izana, Maya Rahmawaty, Turasih dan sahabat-sahabat lainnya yang tidak dapat ditulis satu persatu yang selalu mendengarkan keluh-kesah penulis serta tidak pernah berhenti untuk memberikan semangat, doa dan dukungan yang sangat luar biasa kepada penulis dalam penulisan Skripsi ini. 11. Teman-teman KPM 44 yang selalu memberikan keceriaan dan semangat dalam penulisan Skripsi ini. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian Skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan Skripsi ini. Penulis berharap Skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, Juni 2011
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2 Masalah Penelitian ....................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4 1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................... 4 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjuan Pustaka ............................................................................................ 5 2.1.1 Pulau-pulau Kecil .............................................................................. 5 2.1.1.1 Karakteristik Pulau-pulau Kecil ............................................ 5 2.1.1.2 Isu dan kondisi Pulau-pulau kecil ......................................... 7 2.1.2 Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan .......................... 8 2.1.3 Kemiskinan ........................................................................................ 9 2.1.4 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan ................................................. 14 2.1.5 Strategi Adaptasi Nelayan ................................................................. 16 2.1.6 Sikap .................................................................................................. 18 2.2 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 19 2.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 22 2.4 Definisi Operasional .................................................................................... 22 BAB III PENDEKATAN LAPANGAN .......................................................................... 28 3.1 Metode Penelitian ....................................................................................... 28 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................... 28 3.3 Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 29 3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ......................................................... 30 BAB IV GAMBAR LOKASI PENELITIAN .................................................................. 32 4.1 Kondisi Geografis ......................................................................................... 32 4.1.1 Kondisi Geografis Desa Rampa ......................................................... 32 4.1.2 Kondisi Geografis Desa Sekapung .................................................... 33 4.2 Kondisi Ekonomi ......................................................................................... 34 4.2.1 Kondisi Ekonomi Desa Rampa .......................................................... 34 4.2.2 Kondisi Ekonomi Desa Sekapung ..................................................... 34 4.3 Kondisi Sosial .............................................................................................. 35 4.3.1 Kondisi Sosial Desa Rampa ............................................................... 35
xii
4.3.2 Kondisi Sosial Desa Sekapung .......................................................... 38 4.4 Gambaran Umum Kondisi Perikanan .......................................................... 41 4.4.1 Gambaran Umum Kondisi Perikanan di Desa Rampa ....................... 41 4.4.2 Gambaran Umum Kondisi Perikanan di Desa Sekapung .................. 42 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 44 5.1 Kondisi Kemiskinan Nelayan di Pulau Sebuku ........................................... 44 5.1.1 Kondisi Kemiskinan Nelayan Berdasarkan Garis Kemiskinan BPS ................................................................................ 47 5.1.2 Kondisi Kemiskinan Nelayan Berdasarkan Kriteria Rumah Tangga Miskin Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) ............... 52 5.2 Stategi Adaptasi Nelayan di Pulau Sebuku .................................................... 56 5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat “Kemiskinan” dan Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau Sebuku ............................................................... 68 5.4 Sikap Nelayan Terhadap Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim di Pulau Sebuku ........................... 80 5.4.1 Hubungan Karakteristik Individu Nelayan dengan Sikap Terhadap Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim di Pulau Sebuku ................................... 84 BAB VI PENUTUP ......................................................................................................... 90 6.1 Kesimpulan .................................................................................................. 90 6.2 Saran ............................................................................................................ 91 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 93
xiii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3.
Perbandingan Karakteristik Pulau kecil, Pulau Besar dan Benua .................. 6 Kriteria Pengukuran Koefisien Korelasi ......................................................... 31 Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Menurut Kategori Kemiskinan BLT di Desa Rampa dan Desa Sekapung ...................................................... 52 Tabel 4. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Menurut Kriteria Rumah Tangga Miskin BLT di Desa Rampa dan Desa Sekapung .............................. 53 Tabel 5. Persentase Sikap Nelayan Terhadap Aspek Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim Di Desa Rampa dan Desa Sekapung ................................................................................................. 81 Tabel 6. Hubungan antara Karakteristik Individu Nelayan dengan Sikap Nelayan Terhadap Aspek Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim ......................................................... 85
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4 Gambar 5. Gambar 6.
Kerangka Analisis Kemiskinan dan Strategi Adaptasi di Pulau Kecil ........ 21 Rata-Rata Pendapatan Nelayan Desa Rampa Berdasarkan Musim Tangkap Udang Windu, Cumi-cumi dan Musim Paceklik ......................... 50 Sketsa Lokasi Pertambangan di Pulau Sebuku ........................................... 58 Sketsa Lokasi Tangkap Nelayan Desa Sekapung ....................................... 71 Sketsa Lokasi Tangkap Nelayan Desa Rampa ........................................... 74 Sketsa Lokasi Cumi-Cumi dan Udang Bubuk Nelayan Desa Rampa ........ 76
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3.
Peta Lokasi Penelitian Desa Sungai Bali, Kecamatan Pulau Sebuku,Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan ........ 97 Hasil Uji Korelasi Rank Spearman................................................ 98 Dokumentasi Lapang ................................................................... 99
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang secara geografis memiliki lautan
lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia adalah 3.166.163 km2 dan daratan seluas 2.027.087 km2 (Nawi, 1993). Besarnya potensi laut yang dimiliki oleh Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal dan merata terutama bagi kesejahteraan masyarakat secara luas. Masyarakat yang tinggal disekitar pantai terutama mereka yang berada di pulau-pulau kecil menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Berdasarkan zonezone penyebaran atau wilayah perikanan laut utama dunia, maka Indonesia adalah salah satu zone yang kaya atau terbanyak ikan di dunia, dengan demikian eksploitasi sumberdaya ikan oleh para nelayan secara besar-besaran diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan (Anwar dalam Nawi, 1993). Sejalan dengan pernyataan di atas, sektor perikanan merupakan salah satu aktivitas yang memberi kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa terutama jika sumberdaya tersebut dikelola dengan baik, namun yang terjadi sebanyak 32.529,9 juta orang atau 14,15 persen dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2009 masih termasuk kategori miskin (BPS, 2009). Penduduk miskin tersebar dan umumnya tinggal di daerah perdesaan, termasuk desa-desa pesisir. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), wilayah desa pesisir meliputi 8.090 buah desa dan menampung 16.420.000 jiwa penduduk yang 32,14 persen diantaranya termasuk kategori penduduk miskin (DKP, 2007 dalam IPB, 2008). Disamping itu, berdasarkan data Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun 2010, pada tahun 2009 diperkirakan jumlah nelayan di Indonesia adalah sebanyak 2.255.650 orang. Kemiskinan juga terjadi pada masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil di Indonesia, mereka adalah komunitas yang terbelenggu dalam kemiskinan dan menggantungkan hidup dari sumberdaya alam yang tersedia disekitarnya, hal ini karena pulau kecil mempunyai sifat yang khas akibat kecilnya ukuran daratan
2
serta terisolasi (insular) dari pulau besar (mainland). Pulau-pulau kecil mengandung banyak sumberdaya di dalamnya, sebagaimana disebutkan dalam UU No 27 tahun 2007 pasal 1 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil, bahwa sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan1. Pulau-pulau kecil Salah satu pulau kecil di Indonesia adalah Pulau Sebuku yang terletak di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Pulau Sebuku memiliki berbagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dan dikelola demi kesejahteraan masyarakatnya. Pulau ini mengandung batu bara, bijih besi dan minyak bumi di dalamnya. Terkait dengan perubahan sistem pemerintahan menjadi desentralisasi yang dijelaskan dalam UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 yang kemudian di revisi menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yakni memberi kewenangan pada Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan daerah termasuk pengelolaan sumberdaya alam daerah. Kewenangan ini diwujudkan dengan membuka kesempatan bagi investor ataupun perusahaan swasta untuk masuk dan mengelola sumberdaya tersebut. Hal ini terjadi pada pengelolaan sumberdaya alam terutama sumberdaya bahan tambang di Pulau Sebuku. Perubahan
sistem
pemerintah
merupakan
faktor
eksternal
yang
mempengaruhi dinamika kehidupan nelayan, terutama keberadaan swasta dalam pengelolaan sumberdaya alam di Pulau Sebuku akan berdampak pada kehidupan masyarakat. Sejalan dengan dinamika kehidupan nelayan yang terjadi, masyarakat memang tidak statis dalam satu titik tertentu, karena selalu terjadi perubahan baik karena faktor internal maupun eksternal, baik secara cepat maupun lambat. Perubahan terjadi pada setiap kehidupan manusia sepanjang masa, termasuk pada masyarakat nelayan di pulau kecil. Kebijakan daerah lainnya terutama dalam tujuannya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setelah otonomi daerah, seringkali hanya memberi manfaat bagi golongan tertentu dan mengesampingkan posisi nelayan sebagai golongan masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi pada sumberdaya laut. Keadaan ini membuat nelayan semakin sulit untuk melepaskan diri dari belenggu 1
Diakses dari http://www.bpkp.go.id/unithukumuu2001727-07.pdf pada tanggal 22 Juni 2011
3
kemiskinan. Tekanan, ancaman dan perubahan erat kaitannya dengan kemiskinan nelayan. Perubahan terutama yang berkaitan dengan mata pencaharian seperti perubahan iklim yang tidak menentu dan tidak dapat diprediksi, berpengaruh terhadap aktifitas melaut nelayan untuk mencari ikan sebagai sumber penghasilan. Hal ini mendorong nelayan untuk melakukan strategi adaptasi dalam menghadapi tekanan, ancaman maupun perubahan untuk mempertahankan hidup.
1.2
Masalah Penelitian Kemiskinan
merupakan
masalah
pembangunan
yang
multidimensi.
Sebagian besar kemiskinan terjadi di daerah pedesaan termasuk desa-desa pesisir. Nelayan adalah kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar pantai dan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut, namun identik dengan kemiskinan. Kemiskinan juga terjadi pada kelompok nelayan yang berada di pulau-pulau kecil. Selain kemiskinan, nelayan juga mengalami perubahanperubahan dalam kehidupannya, hal ini karena masyarakat tidak statis dan akan mengalami perubahan sepanjang masa. Perubahan pada nelayan terutama yang mempengaruhi mata pencaharian, mendorong mereka melakukan strategi adaptasi untuk bertahan dalam kondisi perubahan yang terjadi. Perubahan pada kondisi iklim ditambah adanya otonomi daerah yang ditandai dengan masuknya perusahaan tambang diduga mempengaruhi dinamika kehidupan nelayan. Hanya saja informasi mengenai kehidupan dan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan di pulau-pulau kecil belum banyak tersedia. Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat kemiskinan pada kaum nelayan di Pulau Sebuku? 2. Bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan yang berada di Pulau Sebuku? 3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan dan strategi adaptasi nelayan di Pulau Sebuku? 4. Bagaimana sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim di Pulau Sebuku?
1.3
Tujuan Penelitian
4
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis tingkat kemiskinan pada kaum nelayan di Pulau Sebuku. 2. Menganalisis strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan yang berada di Pulau Sebuku. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan dan strategi adaptasi nelayan di Pulau Sebuku. 4. Menganalisis sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim di Pulau Sebuku.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini dapat berguna bagi berbagai lapisan dan pihak-pihak yang terkait, yaitu: 1.
Bagi masyarakat Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat dapat melihat sejauh mana kondisi kehidupan nelayan di pulau kecil terkait dengan tingkat kemiskinan pada kaum nelayan di pulau kecil dan bagaimana strategi adaptasi yang dilakukannya.
2.
Bagi perguruan tinggi Penelitian ini dapat berguna bagi perguruan tinggi sebagai salah satu wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu bidang penelitian dan peningkatan pengetahuan mengenai kemiskinan juga strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan di pulau kecil serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan dan strategi adaptasi tersebut.
3.
Bagi pemerintah Bagi pemerintah penelitian ini dapat digunakan sebagai modal informasi dalam memahami isu-isu yang terjadi pada masyarakat nelayan di pulau kecil termasuk mengetahui sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim. Agar dapat menginspirasi untuk pengadaan program yang mengarah pada pengentasan kemiskinan pada kaum nelayan.
5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Pulau-pulau kecil secara harfiah merupakan pulau berukuran kecil yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya (Abubakar, 2004). Pulau-pulau kecil memiliki beragam manfaat dan peran bagi kehidupan manusia sebagaimana disebutkan oleh Dahuri (1998), bahwa pulaupulau kecil mempunyai peran yang sangat penting, seperti mempengaruhi iklim global, siklus hidrologi, biogeokimia dan penyerap limbah. Pulau-pulau kecil juga memberi manfaat lain seperti jasa lingkungan untuk pariwisata, kegiatan budidaya yang menambah pendapatan dan devisa serta sebagai tempat yang menyimpan plasma nutfah yang sangat berharga bagi kehidupan manusia (Abubakar, 2004). UU No 27 Tahun 2007 Pasal 1 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menyebutkan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya2. Pulau kecil merupakan entitas yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus seperti keterpencilan, terbatasnya luas lahan, terbatasnya sumberdaya manusia dan jauh dari pasar. Pengelolaan pulau-pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah regional lainnya, seperti yang ada di daratan pulau besar (mainland) (Maanema, 2003). Fauzi (2002) menjelaskan bahwa terdapat empat kendala khas pulau-pulau kecil yang harus dipertimbangkan dalam penilaian ekonomi sumberdaya pulaupulau kecil, yaitu ukuran luasnya yang kecil (smallness), isolasi, ketergantungan (dependence), dan kerentanannya (vulnerability). Adapun perbedaan dari pulau kecil dengan pulau besar maupun benua yang dilihat dari karakteristik geografis, geologi, biologi dan ekonomi disajikan dalam tabel 1.
2
Diakses dari http://www.bpkp.go.id/unithukumuu2001727-07.pdf pada tanggal 22 Juni 2011
6
Tabel 1. Perbandingan Karakteristik Pulau Kecil, Pulau Besar dan Benua. Pulau Kecil Pulau Besar Benua Karakteristik Geografis Jauh dari benua Dekat dari benua Area sangat besar Dikelilingi oleh laut Dikelilingi sebagian Suhu udara luas oleh laut bervariasi Area kecil Area besar Iklim musiman Suhu udara stabil Suhu udara agak bervariasi Iklim sering berbeda dengan pulau besar Iklim mirip benua terdekat terdekat Karakteristik Geologi Umumnya karang atau Sedimen atau Sedimen atau vulkanik metamorfosis metamorfosis Sedikit mineral Beberapa mineral Beberapa mineral penting penting penting Tanahnya porous/ Beragam tanah Beragam tanahnya permeabel Karakteristik Biologi Keanekaragaman Keanekaragaman Keanekaragaman hayati rendah hayati sedang hayati tinggi Pergantian spesies Pergantian spesies Pergantian spesies tinggi agak rendah biasanya sedang Tinggi pemijahan Sering pemijahan Sedikit pemijahan massal hewan laut massal hewan laut massal hewan laut bertulang belakang bertulang belakang bertulang belakang Karakteristik Ekonomi Sedikit sumberdaya Sumberdaya daratan Sumberdaya daratan daratan agak luas luas Sumberdaya laut lebih Sumberdaya laut lebih Sumberdaya laut penting penting sering tidak penting Jauh dari pasar Lebih dekat pasar Pasar relatif mudah Sumber : Bengen (2002c) Terdapat dua pandangan mengenai pemanfaatan pulau-pulau kecil, sebagaimana disebutkan oleh Bengen (2002c) yakni pandangan pertama menyatakan bahwa pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang harus dilindungi karena memiliki fungsi ekologis penting. Pandangan kedua melihat pulau-pulau kecil sebagai kawasan potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Perbedaan pandangan terjadi karena perbedaan kepentingan dari setiap stakeholder yang terlibat di dalamnya, namun pemanfaatan pulau-pulau kecil pada dasarnya tetap harus disertai dengan perencanaan yang baik untuk pembangunan
7
yang berkelanjutan, hal ini mengingat pulau kecil memiliki sifat yang khas. Brookfield (1990) dalam Susilo (2003) mengemukakan sifat khas pulau kecil diantaranya: 1. Kecuali pulau kecil tersebut berlokasi di daerah yang strategis untuk perdagangan atau berada di dekat pulau besar atau benua, ukuran yang kecil ini akan menjadi pembatas struktural yang mengakibatkan tidak adanya fleksibilitas pemanfaatan sumberdaya untuk merespon adanya perubahan peluang. Ruang dan sumberdaya alam menjadi sangat terbatas. Persediaan air tawar (air tanah) juga sangat terbatas atau terdapat interusi air laut sehingga pada pulau-pulau yang terletak di daerah yang jarang turun hujan akan menghadapi bahaya kekeringan. 2. Pulau kecil mempunyai kendala utama pada transportasi sehingga hubungan dengan daerah lain menjadi terbatas atau mahal. 3. Pulau kecil sangat rentan baik secara fisik maupun secara ekologis. Secara fisik pulau kecil menghadapi bahaya tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut, proporsi erosi tanah lebih besar akibat sedikitnya daerah serapan air (catchment area). Secara ekologis pulau kecil menghadapi ancaman kerusakan ekosistem yang lebih besar dan bahkan beberapa spesies endemik telah dilaporkan hilang karena hadirnya manusia tanpa adanya pengawasan yang memadai.
2.1.1.2 Isu dan Kondisi Pulau-pulau Kecil Pulau-pulau kecil di Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan strategis penting yaitu pulau-pulau kecil terluar yang secara geografis berbatasan dengan laut lepas dan perbatasan yang menjadi titik dasar (TD) sebagai acuan dalam penetapan batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan lain-lain (Abubakar, 2004). Dahuri (1998) menyatakan bahwa potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan di pulau-pulau kecil perbatasan terdiri dari sumberdaya hayati (padang lamun, terumbu karang dan hutan mangrove) yang sangat berperan dalam mengendalikan keseimbangan ekosistem termasuk kelestarian biota-biota perairan. Potensi sumberdaya non
8
hayati seperti bahan tambang, energi laut dan jasa lingkungan (terutama pariwisata) dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pulau-pulau kecil juga memiliki berbagai permasalahan yang khas selain memiliki potensi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Permasalahan yang terjadi di pulau-pulau kecil diantaranya kondisi yang relatif terisolasi dan jauh dari pulau induk, terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian seperti: jalan, pelabuhan, pasar, listrik maupun lembaga keuangan menyebabkan tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakatnya rendah serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia akibat kurangnya fasilitas pendidikan, tidak tersedianya media informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan (Bengen, 2002). Permasalahan lain yang terjadi di pulau-pulau kecil terutama pulau yang terluar dan berbatasan dengan negara tetangga sebagaimana disebutkan dalam Dishidros TNI-AL (2003), bahwa terdapat permasalahan utama di 13 pulau-pulau kecil perbatasan adalah (1) rawan penangkapan ikan legal, (2) rawan perampokan, (3) rawan penyelundupan, (4) rawan okupasi negara lain, dan (5) rawan pengaruh ipoleksosbud dari negara lain.
2.1.2 Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan (wewenang, hak, kewajiban dan tanggung jawab) sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke daerah otonom sehingga daerah otonom itu dapat melakukan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam masalah-masalah pengelolaan pembangunan untuk mendorong dan meningkatkan kinerja pembangunan (Salam, 2007). Sebagaimana disebutkan dalam UU No 32 tahun 2004 pasal 1, bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia3.
3
Diakses dari http://www.linkpdf.com/ebookviewer.php?url=http://landspatial.bappenas.go.id/peraturan/the _file/UU_No32-2004.pdf pada tanggal 9 Desember 2010
9
Crutchfielf
(1972)
dalam
Suryadi
(1984),
mengemukakan
bahwa
pengelolaan perikanan meliputi peraturan-peraturan mengenai kematian karena kegiatan
perikanan,
meningkatkan
produksi
alami
ikan,
mendorong
pengembangan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan untuk mengubah sediaan yang bersifat laten menjadi sumberdaya yang bernilai ekonomi. Adapun Satria dkk (2002), menyebutkan bahwa desentralisasi pengelolaan laut merupakan wujud demokratisasi karena semakin terbuka kesempatan nelayan lokal berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya. Hutagalung dkk (2007) menjelaskan di dalam buku Pembangunan Perdesaan dan Daerah Pesisir Pada Era Milenium III, berdasarkan Pasal 18 ditetapkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud di atas meliputi : 1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; 2. Pengaturan administratif; 3. Pengaturan tata ruang; 4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; 5. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan 6. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
2.1.3
Kemiskinan Kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau masyarakat
tidak mampu mencapai kecukupan dalam hal kebutuhan dasar manusia, khususnya menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan dan bukan pangan (pakaian, perumahan dan jasa) (Fauzi, 1992). Mangkuprawira (1993) menjelaskan bahwa kemiskinan sering disebut pula sebagai ketidakberdayaan dalam pemenuhan kebutuhan pokok baik materi maupun bukan materi. Materi dapat berupa pangan, pakaian, kesehatan dan papan, sedangkan bukan materi berbentuk kemerdekaan,
10
kebebasan hak asasi, kasih sayang, solidaritas, sikap hidup, rasa syukur dan sebagainya. Nelayan adalah komunitas yang identik dengan kemiskinan. Perubahan sistem pemerintahan menjadi desentralisasi yang ditandai dengan pemberian kewenangan pada pemerintah daerah diharapkan mampu mengatasi masalah daerah termasuk kemiskinan, namun sebagaimana Matdoan (2009) menjelaskan mengenai dampak dari kebijakan maupun program yang telah dijalankan Pemerintah di Maluku Tenggara, belum berdampak nyata terhadap kehidupan nelayan dalam pengentasan kemiskinan. Hal ini sejalan dengan penelitian Kinseng dkk (2010) bahwa kebijakan setelah desentralisasi atau otonomi daerah tidak banyak berpengaruh terhadap kehidupan nelayan. Hermanto (1995) dalam Fauziah dan Widodo (2008), menyebutkan beberapa ciri kemiskinan pada masyarakat nelayan, diantaranya adalah pendapatan yang berfluktuasi sepanjang tahun, pengeluaran yang cenderung pada kegiatan konsumtif, tingkat pendidikan keluarga yang rendah, kelembagaan yang belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga belum dapat dimanfaatkan dengan baik dan akses terhadap permodalan yang rendah. Kemiskinan
merupakan
masalah
utama
pembangunan
yang
juga
multidimensi. Ellis (1983) dalam Fauziah dan Widodo (2008) membedakan kemiskinan dalam tiga dimensi yaitu ekonomi, sosial dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah keadaan dimana terjadi kekurangan sumberdaya yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan ekonomi dibedakan menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah keadaan seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum, sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai perkembangan masyarakat sekitar. Kemiskinan sosial merupakan kemiskinan sebagai akibat rendahnya kemampuan dalam membangun jaringan sosial serta struktur yang tidak mampu mendukung usaha peningkatan produktivitas. Kemiskinan sosial disebabkan oleh adanya faktor sikap mental dan nilai budaya yang ada dalam masyarakat sehingga sering disebut juga sebagai kemiskinan kultural. Kemiskinan
11
politik adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Nikijuluw (2001) menjelaskan bahwa kemiskinan yang merupakan indikator ketidakberdayaan masyarakat nelayan disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal diluar individu nelayan, yaitu struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini maka kemiskinan semakin berkurang. Keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar atau di lingkup nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka. Rasdani (1993) dalam Karunia (2009) menyebutkan bahwa kemiskinan struktural disebabkan oleh kurang modal, kurang pendidikan, tidak punya keahlian yang lebih produktif, tidak punya pendukung yang kuat dalam masyarakat dan tidak punya semangat untuk memperbaiki nasibnya. Kemiskinan struktural juga ditandai oleh tidak punya kemampuan dari dalam untuk mengembangkan diri, posisinya lemah dan pasrah sehingga tercipta kebudayaan kemiskinan (culture of poverty). Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel tersebut diantaranya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural sulit diatasi bila tidak ada keinginan dan kemauan secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabelvariabel yang melekat, inheren dan menjadi gaya hidup tertentu. Variabel-variabel kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu serta ketaatan pada panutan. Kemiskinan kultural ini sulit diatasi terutama karena pengaruh panutan
12
(patron) baik yang bersifat formal maupun informal, yang sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural. Kemiskinan tidak serta merta sama pada setiap masyarakat yang miskin, namun terdapat tingkatan dari kemiskinan tersebut. Sebagaimana klasifikasi tingkat kemiskinan menurut Sayogyo (1977), yaitu klasifikasi tingkat kemiskinan didasarkan pada nilai pengeluaran per kapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu (1) miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg untuk daerah kota, (2) miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk daerah kota, (3) paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 beras untuk daerah kota. Depsos (2005) dalam Muljono dkk (2010) juga menjelaskan indikator seseorang dikatakan miskin dapat direfleksikan sesuai tingkat kemiskinan sesungguhnya di Masyarakat. Adapan ciri keluarga miskin diantaranya: 1. Penghasilan rendah, atau berada di bawah garis sangat miskin yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran per-orang per-bulan berdasarkan standar BPS per wilayah provinsi dan kabupaten kota. 2. Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/beras untuk orang miskin/santunan sosial) 3. Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga per-tahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per-orang per-tahun) 4. Tidak mampu mengobati pengobatan, jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit 5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya 6. Tidak memiliki harta (assets) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin 7. Tinggal di rumah yang tidak layak huni 8. Sulit memperoleh air bersih. Indikator kesejahteraan rakyat oleh Badan Pusat Statistik dilihat dari beberapa aspek, diantaranya kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan,
13
ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, dan sosial lainnya (BPS, 2008). Aspek kependudukan dilihat dari jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, persebaran dan kepadatan penduduk, angka beban ketergantungan dan fertilitas. Aspek kesehatan dan gizi dilihat dari derajat dan status kesehatan penduduk, pemberian ASI dan gizi balita dan pemanfaatan fasilitas tenaga kesehatan. Aspek Pendidikan dilihat dari Angka Melek Huruf (AHM) dan tingkat pendidikan, tingkat partisipasi sekolah, putus sekolah dan rasio murid-guru dan murid-kelas. Aspek ketenagakerjaan dilihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), tingkat pendidikan, lapangan usaha dan status pekerjaan, jumlah jam kerja dan pekerja anak (10-14 tahun). Aspek taraf dan pola konsumsi dilihat dari perkembangan kemiskinan, taraf konsumsi energi dan protein, perkembangan tingkat kesejahteraan, perkembangan distribusi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Aspek perumahan dan lingkungan dilihat dari kualitas tempat tinggal. Aspek sosial lainnya dilihat dari perjalanan “wisata”, akses pada informasi dan hiburan, akses pada teknologi komunikasi dan informasi dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga. Nilai garis kemiskinan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik mengacu pada kebutuhan minimum 2100 kkal per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non-makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi serta kebutuhan rumah tangga dan individu yang mendasar lainnya. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan (BPS, 2005/2006). Selain mengeluarkan indikator garis kemiskinan, BPS juga mengeluarkan indikator/kriteria rumah tangga miskin sasaran BLT yang disebutkan dalam Kumpulan Naskah Pembentukan Peraturan Pelaksanaan UU SJSN. Terdapat 14 kriteria untuk menentukan rumah tangga miskin, yaitu: 1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang 2) Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah / bambu / kayu murahan 3) Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah / tembok tanpa diplester
14
4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga lain 5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik 6) Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai / air hujan 7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah 8) Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu 9) Hanya membeli lebih satu stel pakaian baru dalam setahun 10) Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari 11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik 12) Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 600.000,-perbulan 13) Pendidikan tertinggi kelapa keluarga: tidak sekolah / tidak tamat SD / hanya SD 14) Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp 500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Berbagai definisi kemiskinan telah disebutkan oleh beberapa ahli sebelumnya, maka definisi kemiskinan pada penelitian ini yaitu suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia, khususnya menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan dan bukan pangan (pakaian, perumahan dan jasa).
2.1.4 Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Kusnadi (2002) dalam Karunia (2009) menyatakan bahwa kemiskinan dan tekanan sosial maupun ekonomi yang dihadapi nelayan berakar pada faktor kompleks yang saling terkait. Faktor tersebut diklasifikasikan ke dalam faktor alami dan faktor non-alami. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Faktor nonalamiah, berkaitan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan,
15
ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial yang pasti, lemahnya penguasaan jaring pemasaran dan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini. Penyebab terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan menurut Pangemanan (1994), diantaranya kurangnya akses kepada sumber-sumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar maupun rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, selain itu dapat pula disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya tingkat kesehatan serta alasan-alasan lainnya seperti kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa sektor pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan. Chamsyah (2006) mengatakan bahwa kemiskinan adalah bencana sosial yang banyak dihubungkan dengan sebab-sebab tertentu. Semula, tidak dapat diterima sebagai kondisi alami, namun terdapat faktor internal dan eksternal dari masyarakat yang menjadi miskin. Beberapa penyebab kemiskinan antara lain : 1. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pikiran, pilihan atau kemampuan diri individu yang miskin; 2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga dan perencanaan keluarga sejahtera; 3. Penyebab sub-budaya (“sub-cultural”), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar, seperti keyakinan , norma, adat dan agama; 4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah dan ekonomi; 5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
16
2.1.5 Strategi Adaptasi Nelayan Masyarakat pasti mengalami perubahan dalam hidupnya, karena tidak ada manusia yang statis pada satu titik. Perubahan yang terjadi bisa dalam waktu yang lama namun juga bisa dalam waktu yang cepat. Perubahan yang terjadi tidak hanya pada satu aspek, sebagaimana yang disebutkan oleh Soekanto (1982), bahwa perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, normanorma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya. Perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat bukan sematamata sebagai suatu kemajuan (progress) namun juga dapat berarti kemunduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu (Soekanto, 1982). Syarbani (2002) dalam Yulianto (2010) menjelaskan bahwa setiap masyarakat mengalami perubahan sepanjang masa. Perubahan yang terjadi ada yang samar, ada yang mencolok, ada yang lambat, ada yang cepat, ada yang sebagian atau terbatas dan ada yang menyeluruh. Samuel Koenig (1957) dalam Soekanto (1982) mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasimodifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modikasi mana terjadi sebab intern maupun sebab ekstern. Salah satu dari sebab ekstern yang memicu terjadinya perubahan pada kehidupan yaitu adanya aktivitas pertambangan. Retna (2003) menyatakan bahwa adanya aktivitas masyarakat di lokasi pertambangan batubara sangat berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan hidup masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pertambangan. Perubahan juga terjadi pada berbagai aspek pola kehidupan nelayan. Perubahan-perubahan terutama yang berkaitan dengan mata pencaharian sebagai nelayan berdampak pada keberlanjutan hidup. Perubahan iklim tentu berpengaruh terhadap strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan, hal ini karena pekerjaan sebagai nelayan sangat tergantung pada musim untuk melaut dengan pendapatan yang fluktuatif terutama ketika musim paceklik. Kondisi tersebut mengakibatkan tingkat pendapatan nelayan pada sektor perikanan tidak pasti. Akibatnya, dalam kehidupan sehari-hari rumah tangga nelayan umumnya mengikutsertakan anggota rumah tangga lainnya seperti istri untuk bekerja dan pada musim paceklik nelayan bekerja pada sektor non perikanan untuk mencari
17
pendapatan tambahan (Pancasasti, 2008). Berbagai strategi adaptasi dilakukan nelayan untuk beradaptasi dengan kondisi yang dinamis untuk mempertahankan hidup. Strategi merupakan suatu pilihan yang digunakan terhadap beberapa alternatif pilihan yang tersedia, sedangkan strategi nafkah menurut Dharmawan (2001) adalah segala kegiatan atau keputusan yang diambil anggota rumah tangga untuk bertahan hidup (survival) dan atau membuat hidup lebih baik. Tujuan dari bertahan hidup ini adalah membangun beberapa strategi untuk keamanan dan keseimbangan mata pencaharian rumah tangga. Kusnadi (2000) dalam Rofikoh (2007) menjelaskan bahwa strategi adaptasi yang biasanya dilakukan adalah memobilisasi peran perempuan (kaum istri) dan anak-anaknya untuk mencari nafkah. Keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labour of sex) yang berlaku pada masyarakat setempat. Carner (1984) menyatakan bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh rumah tangga miskin pedesaan antara lain : 1. Melakukan beraneka ragam pekerjaan meskipun dengan upah yang rendah 2. Memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan. 3. Melakukan migrasi ke daerah lain biasanya migrasi desa-kota sebagai alternatif terakhir apabila sudah tidak terdapat lagi pilihan sumber nafkah di desanya. Hasil penelitian Rofikoh (2007) menjelaskan tentang strategi adaptasi nelayan untuk survival dalam mensikapi tekanan untuk mempertahankan hidup terutama saat paceklik yaitu: Pertama, nelayan melakukan diversifikasi pekerjaan (berdagang, bertani, buruh serabutan) namun ada pula nelayan yang memilih tidak bekerja serabutan tetapi memperbaiki peralatan. Kedua, melibatkan peran perempuan dan anak pada kegiatan usaha berbasis perikanan dan kelautan (pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar, buruh upahan, maupun tenaga pengolah), peran wanita sangat strategis terutama pada ranah pasca panen dan pemasaran hasil perikanan. Kaum perempuan banyak terlibat dalam kegiatan pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk seperti arisan, pengajian berdimensi
18
kepentingan ekonomi, simpan pinjam dan jaringan sosial yang bisa dimanfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga. Ketiga, menjual barang berharga milik keluarga, berhutang (pada saudara, koperasi atau juragan), dan sumbangan keluarga/penghasilan maupun menganggur.
2.1.6 Sikap Fishbein dan Ajzen (1975) berpendapat bahwa, sikap merupakan predisposisi (keadaan yang mudah terpengaruh) emosional yang dipelajari untuk menanggapi atau bereaksi secara konsisten terhadap suatu obyek, baik dalam bentuk tanggapan positif maupun tanggapan negatif. Lau dan Shani (1992) menyebutkan bahwa sikap diartikan sebagai kecenderungan individu untuk menanggapi dengan cara tertentu terhadap situasi, benda, ide, orang dan isu. Sikap seseorang terhadap sesuatu dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman, pengetahuan, perasaan, emosi, cara berfikir, kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai. Sarwono (1992) menggunakan konsep W. McGuire yang mendefinisikan sikap sebagai respon manusia yang menempatkan objek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan. Objek yang dipikirkan adalah segala sesuatu (benda, orang dan lain-lain) yang bisa dinilai oleh manusia Wagito (2002) dalam Mulyandari (2006) mengatakan bahwa pembentukan dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu: a. Faktor Internal (individu itu sendiri), yaitu cara dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak. Faktor internal itu merupakan faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan. b. Faktor eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada si luar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap. Faktor-faktor tersebut yaitu sifat objek yang dijadikan sasaran, kewibawaan orang yang mengemukakan suatu sikap, sifat orang-orang atau sekelompok orang yang mendukung sifat tersebut, media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap dan situasi pada saat sikap itu dibentuk.
19
Zanden (1984) menjelaskan bahwa sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, afektif dan perilaku. Komponen kognitif menunjukkan bagaimana seseorang mengetahui tentang suatu objek, kejadian, situasi, pemikiran, keyakinan dan ide mengenai sesuatu. Komponen afektif adalah berupa perasaan atau emosi terhadap obyek aktual, kejadian atau situasi yang berkaitan. Komponen perilaku menunjukkan kecenderungan untuk bertindak berkaitan dengan obyek, kejadian atau situasi yang dihadapi. Gerungan (1996) menjelaskan bahwa sikap mempunyai ciri-ciri antara lain: (1) sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya, (2) sikap itu dapat berubah-ubah bila terdapat keadaan dan syarat tertentu, karena sikap itu dapat dipelajari, (3) sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu terhadap suatu objek, (4) objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tertentu, (5) sikap mempunyai segi motivasi dan segi perasaan, sehingga hal inilah yang membedakan sikap dari kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki seseorang. Berdasarkan definisi-definisi yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap dalam penelitian ini adalah kecenderungan individu untuk menanggapi suatu objek, dapat berupa situasi, benda, ide, orang dan isu baik dalam bentuk tanggapan positif maupun tanggapan negatif dan dapat dipelajari.
2.2
Kerangka Pemikiran Setiap masyarakat mengalami perubahan sepanjang masa. Perubahan juga
terjadi pada masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan di pulau kecil mengalami perubahan walaupun secara geografis pulau kecil memiliki karakteristik yang khas yaitu
ukuran
luasnya
yang
kecil
(smallness),
isolasi,
ketergantungan
(dependence), dan kerentanannya (vulnerability). Perubahan yang terjadi dapat dipicu oleh faktor eksternal maupun faktor internal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, kebijakan setelah desentralisasi atau otonomi daerah tidak banyak berpengaruh terhadap kehidupan nelayan, sehingga kebijakan otonomi daerah di Pulau Sebuku akan dilihat sebagai salah satu faktor yang diduga mempengaruhi dinamika kehidupan nelayan.
20
Masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim di Pulau Sebuku juga akan dilihat sebagai faktor eksternal yang diduga mempengaruhi kehidupan nelayan. Hal ini karena adanya aktivitas masyarakat di lokasi pertambangan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan hidup masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pertambangan. Perubahan iklim diduga berpengaruh terhadap strategi adaptasi yang dilakukan nelayan, karena pekerjaan sebagai nelayan sangat tergantung pada musim untuk melaut dengan pendapatan yang fluktuatif terutama ketika musim paceklik. Faktor eksternal di luar kehidupan nelayan di Pulau Sebuku akan dilihat dari tiga aspek, yaitu kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim, dimana kondisi kemiskinan diduga berpengaruh terhadap strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan. Sikap seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh berbagai faktor, dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi sikap akan dilihat dari faktor internal yaitu karakteristik individu nelayan terhadap faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari lingkungan di luar individu yang merupakan obyek dan mempengaruhi sikap seseorang. Sikap nelayan disini adalah sikap nelayan terhadap faktor eksternal (kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim). Faktor internal dilihat dari karakteristik individu nelayan, yaitu usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut.
21
Faktor eksternal: Kebijakan otonomi daerah Masuknya perusahaan tambang Kondisi iklim
Dinamika kehidupan nelayan di pulau kecil
Kondisi kemiskinan
Strategi adaptasi
Sikap nelayan
Karakteristik individu nelayan:
Usia Tingkat pendapatan Tingkat pendidikan Jumlah tanggungan keluarga Pengalaman melaut
Gambar 1. Kerangka Analisis Kemiskinan dan Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau Kecil Keterangan Gambar : Tentang : Dimensi kehidupan nelayan : Pengaruh : Hubungan : Batasan aspek yang dikaji
Berdasarkan Gambar 1, faktor eksternal dilihat dari tiga aspek, yaitu kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim diduga berpengaruh terhadap dinamika kehidupan nelayan, karena ketiga aspek dari faktor eksternal tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat terutama yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Dinamika kehidupan nelayan dalam penelitian ini dilihat dari tiga komponen, yaitu kondisi kemiskinan, strategi adaptasi dan sikap nelayan, dimana kondisi kemiskinan dan sikap nelayan terhadap tiga faktor eksternal berpengaruh terhadap strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan. Faktor Internal dari karakteristik individu nelayan diduga
22
memiliki hubungan dengan sikap nelayan tentang faktor eksternal (kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim).
2.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian adalah
sebagai berikut: 1. Diduga semakin tinggi usia maka semakin positif sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim. 2. Diduga semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin positif sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim. 3. Diduga semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin positif sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim. 4. Diduga semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka semakin positif sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim. 5. Diduga semakin tinggi pengalaman melaut maka semakin positif sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim.
2.4
Definisi Operasional
a. Dinamika kehidupan nelayan adalah perubahan yang terjadi pada pola kehidupan nelayan seiring berjalannya waktu, baik lambat maupun cepat yang berhubungan dengan kehidupan nelayan di Pulau Sebuku. Dinamika kehidupan nelayan Pulau Sebuku yang dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada tiga aspek, yaitu kondisi kemiskinan, strategi adaptasi dan sikap nelayan tentang kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim. Dinamika kehidupan nelayan diketahui dengan mangajukan
pertanyaan
langsung
pada
menggunakan metode wawancara mendalam.
responden
dan
informan
23
b. Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kemiskinan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan indikator yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu garis kemiskinan (pangan dan non-pangan) serta kriteria rumah tangga miskin sasaran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan BPS wilayah perdesaan di Provinsi Kalimantan Selatan. Selain menggunakan indikator garis kemiskinan untuk menentukan penduduk miskin, digunakan juga 14 indikator / kriteria rumah tangga miskin sasaran BLT. Terdapat 14 kriteria untuk menentukan rumah tangga miskin, yaitu: 1 Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang 2 Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah / bambu / kayu murahan 3 Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah / tembok tanpa diplester 4
Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga lain
5 Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik 6
Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai / air hujan
7
Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah
8
Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu
9
Hanya membeli lebih satu stel pakaian baru dalam setahun
10 Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari 11 Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik 12
Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 600.000,perbulan
13
Pendidikan tertinggi kelapa keluarga: tidak sekolah / tidak tamat SD / hanya SD
14
Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal
24
Rp 500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Untuk jawaban setiap item : Ya
skor 1
Tidak
skor 0
Total skor minimum = 0,
Total skor maksimum = 14
Kriteria penilaian : memenuhi 14 kriteria
= sangat miskin
(di beri kode 1)
memenuhi 11 – 13 kriteria
= miskin
(di beri kode 2)
memenuhi 9 – 10 kriteria
= hampir miskin
(di beri kode 3)
memenuhi < 9 kriteria
= tidak miskin
(di beri kode 4)
c. Strategi adaptasi adalah segala kegiatan atau keputusan yang diambil anggota rumah tangga untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bertahan hidup. Strategi adaptasi diketahui dengan mangajukan pertanyaan langsung kepada responden dan informan menggunakan metode wawancara mendalam. d. Sikap nelayan adalah kecenderungan individu untuk menanggapi suatu objek, yaitu kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim baik dalam bentuk tanggapan positif maupun tanggapan negatif. Sikap terhadap faktor eksternal diukur menggunakan skala likert berskala lima (Rakhmat, 1997). Cara mengukur dan memberi skor sikap responden baik terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim. Untuk jawaban setiap item : Sangat setuju
skor 4
Setuju
skor 3
Netral/ragu-ragu
skor 2
Tidak setuju
skor 1
Sangat tidak setuju
skor 0
Total skor minimum = 0,
Total skor maksimum = 40
25
Penjumlahan skor setiap pertanyaan dari masing-masing aspek disebut sebagai skor sikap nelayan baik terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim dibagi dengan jumlah pertanyaan dari masing-masing aspek yang kemudian dikategorikan dengan menggunakan rumus Rank Spearman, yaitu: R = nilai maksimal-nilai minimal Jumlah rank a. sikap terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang atau kondisi iklim dengan total skor berada pada interval 0 < x ≤ 0,8 diberi skor 0 b. sikap terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang atau kondisi iklim dengan total skor berada pada interval 0,8 < x ≤ 1,6 diberi skor 1 c. sikap terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang atau kondisi iklim dengan total skor berada pada interval 1,6 < x ≤ 2,4 diberi skor 2 d. sikap terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang atau kondisi iklim dengan total skor berada pada interval 2,4 < x ≤ 3,2 diberi skor 3 e. sikap terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang atau kondisi iklim dengan total skor berada pada interval 3,2 < x ≤ 4,0 diberi skor 4
Penjumlahan dari skor setiap pertanyaan dari masing-masing aspek disebut sebagai skor sikap nelayan baik terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim yang dikategorikan menjadi: a. sikap nelayan baik kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang atau kondisi iklim jika kecenderungan jawaban sangat setuju dan setuju dikategorikan sebagai sikap positif, dengan total skor berada pada interval 21 < x ≤ 40 diberi kode 2
26
b. sikap nelayan baik kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang atau kondisi iklim jika kecenderungan jawaban sangat tidak setuju dan tidak setuju dikategorikan sebagai sikap negatif, dengan total skor berada pada interval 0 < x ≤ 20 diberi kode 1 e. Karakteristik individu nelayan dilihat dari: Usia adalah lama tahun hidup responden hingga pada saat penelitian dilakukan. Usia diukur dengan mangajukan pertanyaan langsung kepada responden. Usia dibagi dalam tiga kategori berdasarkan rata-rata usia responden secara emic, yaitu: a. Tinggi
: usia responden 50 tahun – 64 tahun = skor 3
b. Sedang : usia responden 35 tahun – 49 tahun = skor 2 c. Rendah : usia responden 20 tahun – 34 tahun = skor 1 Tingkat pendapatan ialah jumlah uang dalam rupiah yang diperoleh responden dari mata pencaharian sebagai nelayan yang dihitung per bulan. Tingkat pendapatan diukur dengan mangajukan pertanyaan langsung kepada responden. Tingkat pendapatan dibagi dalam tiga kategori berdasarkan rata-rata jumlah pendapatan responden secara emic, yaitu: a. Tinggi
:
pendapatan
yang
diperoleh
perbulan
responden
perbulan
responden
perbulan
responden
Rp3.000.000 ≤ x < Rp 4.500.000 = skor 3 b. Sedang :
pendapatan
yang
diperoleh
Rp1.500.000 ≤ x < Rp 3.000.000 = skor 2 c. Rendah :
pendapatan
yang
diperoleh
=skor 1
b. Tidak tamat SD =skor 2 c. Tamat SD
=skor 3
27
d. Tidak tamat SMP =skor 4 e. Tamat SMP
=skor 5
Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jumlah tanggungan keluarga diukur dengan mangajukan pertanyaan langsung kepada responden. Jumlah tanggungan keluarga dibagi dalam tiga kategori berdasarkan rata-rata jumlah tanggungan keluarga responden secara emic. a. Banyak : jumlah tanggungan keluarga responden 4-5 orang = skor 3 b. Sedang : jumlah tanggungan keluarga responden 2-3 orang = skor 2 c. Sedikit : jumlah tanggungan keluarga responden 0-1 orang = skor 1 Pengalaman melaut adalah lamanya seseorang berprofesi sebagai nelayan dan pergi melaut yang diukur dengan satuan tahun. Pengalaman melaut diukur dengan mangajukan pertanyaan langsung kepada responden. Pengalaman melaut dibagi dalam tiga kategori berdasarkan rata-rata Pengalaman melaut responden secara emic, yaitu: a. Tinggi : pengalaman melaut responden 40 ≤ x < 60 tahun= kode 3 b. Sedang : pengalaman melaut responden 20 ≤ x< 40 tahun = kode 2 c. Rendah : pengalaman melaut responden 0 ≤ x < 20 tahun = kode 1
28
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif.
Strategi penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian adalah metode studi kasus yang bersifat deskriptif, untuk mengetahui bagaimana faktor eksternal (kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim) berpengaruh terhadap dimensi kehidupan nelayan di pulau kecil yang dilihat dari tiga aspek, yaitu kondisi kemiskinan, strategi adaptasi dan sikap nelayan. Pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang mementingkan diperolehnya informasi atau data dari subyek penelitian secara alamiah, berdasarkan pengalaman sosial mereka masing-masing, dan data yang didapatkan merupakan data deskriptif berupa kata-kata dari subyek penelitian. Pendekatan kuantitatif merupakan penelitian yang menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Penelitian kuantitatif menggunakan metode survei. Penelitian kuantitaif ini bersifat explanatory research yang menjelaskan hubungan-hubungan kausal antara variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun, 1989). Pendekatan kuantitatif ini digunakan untuk melihat bagaimana hubungan antara karakteristik individu nelayan (usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut) dengan sikap nelayan mengenai kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim. Data kuantitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui instrumen utama penelitian survei, yaitu kuesioner. 3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Pulau Sebuku merupakan Kecamatan di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan
Selatan. Pulau Sebuku dibagi dalam delapan desa, yaitu Desa Sungai Bali, Desa Rampa, Desa Ujung, Desa Serakaman, Desa Belambus, Desa Mandin, Desa Kanibungan dan Desa Sekapung. Dari delapan desa tersebut, penelitian ini dilakukan di Desa Rampa dan Desa Sekapung. Lokasi penelitian dipilih secara
29
sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Rampa dan Desa Sekapung merupakan desa nelayan yang sebagian besar kepala keluarganya bermata pencaharian sebagai nelayan namun memiliki karakteristik yang berbeda yang dapat dibandingkan dan saling melengkapi. Penelitian dilaksanakan dalam waktu satu bulan. Kegiatan penelitian meliputi pengambilan data lapangan, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. 3.3
Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi:
1. Data sekunder, meliputi hasil dokumentasi dan studi literatur (Kabupaten dalam Angka 2010, Kecamatan dalam Angka 2010, dan Profil Desa 2010) dan hasil penelitian sebelumnya, dapat berupa jurnal, skripsi, tesis, disertasi, makalah dan informasi dari internet. 2. Data primer yang diperoleh dari wawancara dengan responden dan informan. Terdapat dua subjek dalam penelitian ini yaitu informan dan responden. Informan adalah seseorang yang dapat menjelaskan dan memberikan keterangan atau gambaran mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain dan lingkunganya. Informan yang dipilih adalah tokoh masyarakat seperti elit desa, ketua RW, ketua RT, tokoh agama, serta masyarakat yang memiliki pengaruh kuat di desa tersebut. Banyaknya informan tidak dibatasi, akan tetapi informan tersebut dapat memberikan informasi yang relevan dan dapat membantu peneliti dalam menjawab perumusan masalah dalam penelitian ini. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nelayan yang berada di Desa Rampa dan Desa Sekapung. Responden dalam penelitian ini yaitu rumah tangga nelayan. Responden adalah individu yang dapat memberikan keterangan atau informasi mengenai dirinya sendiri. Untuk memperoleh responden, maka ditentukan kerangka percontohan (sampling frame) yaitu rumah tangga nelayan di Desa Rampa dan Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Pengambilan responden dalam penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling dengan mengundi unsur-unsur penelitian atau satuan-satuan elementer (pengundian) dari sampling frame yang ada. Simple random sampling
30
adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan atau peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel (Singarimbun, 1989). Jumlah responden yang diambil sejumlah 30 rumah tangga dari masing-masing desa agar dapat dilakukan uji statistik. Responden diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah disusun.
3.4
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu dan rumah tangga. Unit
analisis individu digunakan untuk menganalisis sikap nelayan tentang kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim di Pulau Sebuku, sementara unit analisis rumah tangga digunakan untuk menganalisis kondisi kemiskinan dan strategi adaptasi. Skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur sikap nelayan tentang kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim dengan menggunakan skala likert. Data kuantitatif yang diperoleh pada penelitian ini akan ditabulasikan. Data hasil kuesioner dari responden akan diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS 16.0 for Windows, kemudian dilakukan analisis data secara statistik dengan menggunakan uji statistik Rank Spearman yang berfungsi untuk menentukan besarnya hubungan dua variabel yang berskala ordinal (Sarwono, 2006). Uji statistik Rank Spearman untuk mengetahui hubungan antara karakteristik individu nelayan (usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut) dengan sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim dengan menggunakan nilai taraf nyata sebesar 10% atau sama dengan 0,1. Apabila P-value < 0,1 maka terima H1 yaitu ada korelasi antar variabel pada taraf nyata 10 % dan apabila P-value > 0,1 maka terima H0 yaitu tidak ada korelasi antar variabel pada taraf nyata 10%. Uji hipotesis Rank Spearman : H0 : tidak ada korelasi antar variabel H1 : ada kolerasi antar variabel
31
Adapun rumus koefisien korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut: ρ atau rs = 1 - 6∑di2 n(n2-1) keterangan : ρ atau rs = koefisien korelasi Rank Spearman di = determinan n = jumlah data / sampel Koefisien korelasi Rank Spearman (rxy) menunjukkan kuat tidaknya antara indikator x terhadap variabel X dengan indikator y terhadap variabel Y maupun variabel X terhadap variabel Y sehingga digunakan batasan koefisien korelasi untuk mengkategorikan nilai r. Kriteria pengukuran dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 2. Kriteria pengukuran Koefisien Korelasi Kisaran Kriteria 0 - 0,249
Menunjukkan tidak adanya hubungan atau lemah sekali
0,250 – 0,499
Menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah
0,500 – 0,749
Menunjukkan hubungan yang erat atau tinggi
0,750 – 1
Menunjukkan hubungan yang sangat erat atau sangat kuat sekali dan dapat diandalkan
32
BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
4.1
Kondisi Geografis
4.1.1 Kondisi Geografis Desa Rampa Desa Rampa termasuk ke dalam Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis Desa Rampa terletak di ujung utara dari Pulau Sebuku dan memiliki luasan 17 km2 atau 6,92 persen dari luas Pulau Sebuku dan terdiri dari 97 persen dataran dan 3 persen berbukit dari luas wilayah. Desa Rampa berbatasan dengan desa maupun laut, dengan batas wilayah yaitu Sebelah Utara
: Desa Ujung / Tanjung Mangkok
Sebelah Timur
: Desa Sungai Bali
Sebelah Selatan
: Desa Serakaman
Sebelah Barat
: Selat Sebuku
Desa Rampa merupakan pintu gerbang Kecamatan Pulau Sebuku, jumlah penduduk sebanyak 1.059 jiwa yang terdiri dari 523 laki-laki dan 536 perempuan dengan kepadatan penduduk 62 jiwa tiap km2 dimana sebanyak 75 persen penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan. Jarak tempuh dari Desa Rampa menuju Desa Sungai Bali sebagai Ibukota Kecamatan Pulau Sebuku adalah 1 km karena letak desa yang bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh satu buah jembatan, sedangkan jarak tempuh dari Desa Rampa menuju Ibukota Kabupaten Kotabaru sejauh 44 km, dengan jarak tempuh satu jam menggunakan speedboat dan dua jam menggunakan kapal motor besar berukuran 12 x 6 meter melalui Selat Sebuku. Desa Rampa dipengaruhi oleh dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan dengan suhu udara maksimum rata-rata antara 30,5°C – 32,9°C dan musim hujan dengan suhu udara minimum rata-rata antara 22,7°C - 24,7°C. Penyinaran matahari yang tinggi menyebabkan tingginya intensitas penguapan sehingga selalu terdapat awan aktif dan udara yang penuh sehingga seringkali terjadi turun hujan. Desa Rampa memiliki rata-rata curah hujan berkisar antara 0,9 - 13,5 mm dengan jumlah hari hujan berkisar antara 5 - 28 hari / tahun.
33
Terdapat dua musim terkait dengan aktivitas nelayan pergi ke laut, yaitu musim paceklik atau musim angin tenggara atau musim angin selatan yaitu pada bulan Juni hingga bulan Desember, pada kurun waktu ini nelayan mengurangi lamanya aktivitas melaut. Pada musim tangkap atau musim angin barat maupun musim pancaroba yaitu pada bulan Januari hingga bulan Mei, nelayan banyak mendapat hasil tangkap / panen secara rutin setiap harinya dengan beberapa jenis mata usaha itu sendiri yang dimiliki oleh para nelayan Desa Rampa. Pemanfaatan wilayah Desa Rampa menurut topografinya adalah untuk lahan pertanian sayuran, perikanan, perumahan penduduk, jalan jembatan dan jalan lingkungan. 4.1.2 Kondisi Geografis Desa Sekapung Desa Sekapung termasuk ke dalam Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis Desa Sekapung terletak di ujung selatan dari Pulau Sebuku dan memiliki luasan 37 km2 atau 15,07 persen dari luas Pulau Sebuku. Jarak dari Desa Sekapung menuju Ibukota Kecamatan (Desa Sungai Bali) yaitu 30 km2 sedangkan jarak menuju Ibukota Kabupaten adalah 86 km2. Desa Sekapung berbatasan dengan desa maupun selat, dengan batas wilayah yaitu : Sebelah Utara
: Desa Kanibungan
Sebelah Timur
: Selat Makassar
Sebelah Selatan
: Selat Makassar
Sebelah Barat
: Desa Sungai Buah
Jumlah penduduk Desa Sekapung adalah 1.481 jiwa yang terdiri dari 752 laki-laki dan 729 perempuan dengan kepadatan penduduk 40 jiwa per km2. Desa Sekapung dipengaruhi oleh dua musim terkait dengan aktivitas nelayan pergi ke laut, yaitu musim paceklik atau musim angin tenggara atau musim angin selatan yaitu pada bulan Juni hingga bulan Desember, pada kurun waktu ini nelayan sulit mendapat hasil tangkap dan mengadakan aktivitas di laut. Namun pada musim tangkap atau musim angin barat maupun musim pancaroba yaitu pada bulan Januari hingga bulan Mei, nelayan banyak mendapat hasil tangkap. Pemanfaatan wilayah Desa Sekapung menurut topografinya adalah untuk lahan pertanian, perkebunan, perikanan, perumahan penduduk dan jalan.
34
4.2
Kondisi Ekonomi
4.2.1 Kondisi Ekonomi Desa Rampa Kondisi ekonomi di Desa Rampa ditunjang oleh tenaga kerja produktif sebanyak 77,44 persen dari jumlah penduduk seluruhnya. Mata pencaharian masyarakat di Desa Rampa terdiri dari beberapa sektor, diantaranya adalah sektor swasta sebanyak 21,19 persen, pertanian dan nelayan sebanyak 53,2 persen dan PNS sebanyak 3,1 persen serta mata pencaharian tidak tetap (pengangguran) sebanyak 7,59 persen. Prosentase masyarakat yang memiliki mata pencaharian (tidak menganggur) menduduki posisi tertinggi dibawah yang bekerja disektor swasta. Sebelum perusahaan tambang masuk di Pulau Sebuku, mayoritas masyarakat Desa Rampa bermata pencaharian sebagai nelayan, namun kini setelah ada pertambangan beberapa masyarakat berpindah mata pencaharian pada sektor swasta yaitu bekerja pada perusahaan tambang. Seluruh nelayan di Desa Rampa sudah memiliki perahu sendiri, baik itu jenis perahu dayung sampan maupun Kapal Motor (KM) dengan kekuatan dari 20 PK hingga 30 PK. Kepemilikan perahu dan alat tangkap oleh masing-masing nelayan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi di Desa Rampa juga tidak terlepas dari peranan agen atau biasa disebut penukar / pengumpul udang. Agen membeli hasil tangkap nelayan yang kemudian menjualnya ke Kotabaru. Hal ini karena tidak adanya lembaga maupun pihak lain yang membantu dalam pemasaran hasil tangkapan nelayan, seperti Koperasi Unit Desa (KUD) maupun Tempat Pelelangan Ikan (TPI). 4.2.2 Kondisi Ekonomi Desa Sekapung Kondisi ekonomi di Desa Sekapung dilihat dari mata pencaharian masyarakat terdiri atas beberapa sektor diantaranya adalah sektor swasta, pertanian, perkebunan dan nelayan serta berdagang. Sebelum perusahaan tambang masuk di Pulau Sebuku, mayoritas masyarakat Desa Sekapung bermata pencaharian sebagai nelayan yang memiliki bagan tancap dan kapal, namun setelah masuknya perusahaan tambang jumlah nelayan semakin berkurang karena
35
mereka bekerja pada perusahaan tambang terutama masyarakat yang memiliki ijazah dan keterampilan bekerja di lapang. Pada awalnya seluruh nelayan Desa Sekapung memiliki armada dan jenis alat tangkap sendiri dengan hasil tangkap (udang, ikan tenggiri, cumi dan ikan teri) minimal yang dapat diperoleh pada saat musim adalah 10 sampai 50 kg/hari. Kini jumlah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan sudah berkurang dan tersebar pada pekerjaan lainnya diluar nelayan, hal ini terlihat dari jumlah armada dan alat tangkap yang tersisa di desa yang dimiliki oleh nelayan. Mereka menggunakan jenis armada yang sama, yaitu Kapal Motor (KM) dengan mesin “domping” berkekuatan mulai dari 20 PK hingga 30 PK. Pertumbuhan ekonomi nelayan di Desa Sekapung tidak terlepas dari peranan agen atau biasa disebut penukar / pengumpul. Agen membeli hasil tangkap nelayan dan menjualnya ke Kotabaru. Di sisi lain, tidak adanya lembaga maupun pihak lain yang membantu dalam pemasaran hasil tangkapan nelayan, seperti Koperasi Unit Desa (KUD) maupun Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sehingga agen sangat berperan besar bagi perekonomian nelayan di Desa Sekapung. Pertumbuhan ekonomi masyarakat secara keseluruhan didorong oleh perusahaan tambang batubara melalui bantuan infrastruktur desa dan keterampilan membuat kerupuk amplang bagi kelompok ibu-ibu.
4.3
Kondisi Sosial
4.3.1 Kondisi Sosial Desa Rampa Kondisi sosial masyarakat Desa Rampa dapat ditunjukkan oleh beberapa hal, diantaranya : a.
Pendidikan Pendidikan penduduk Desa Rampa masih rendah, mayoritas mereka
berpendidikan hanya sampai bangku Sekolah Dasar (SD) karena alasan membantu orang tua melaut dan tidak memiliki biaya untuk sekolah. Hal ini berdampak pada rendahnya SDM masyarakat nelayan Desa Rampa. Kesadaran akan pentingnya pendidikan sudah baik, terlihat dari tingkat pendidikan anak-anak di Desa Rampa mulai dari taman kanak-kanak hingga
36
Sekolah Menengah Atas, bahkan beberapa menyekolahkan anaknya di luar kota, baik Banjarmasin maupun kota-kota lainnya. b. Tenaga Kerja Pada awalnya mayoritas masyarakat Desa Rampa adalah nelayan, mereka secara turun-temurun melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Masuknya perusahaan tambang menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar untuk bekerja menjadi karyawan maupun buruh. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, prosentasi tenaga kerja yang berasal dari masyarakat lokal masih kecil dibanding dengan pekerja non-lokal. Hal ini terkait masih rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan/skill SDM lokal. Sebagian besar dari masyarakat Desa Rampa yang bekerja di perusahaan adalah pendatang yang menyewa tempat tinggal di Desa Rampa. c.
Suku Masyarakat Desa Rampa terdiri dari beberapa suku, diantaranya suku
Banjar, Bugis, Mandau dan Bajau. Mayoritas suku di Desa Rampa adalah suku Banjar. Terdapat pendatang yang bekerja di perusahaan namun tinggal menetap di Desa Rampa. Pendatang banyak berasal dari Jawa dan Sumatera. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Banjar. Tidak terdapat persaingan mata pencaharian antara masyarakat lokal dengan pendatang. Eratnya hubungan kekeluargaan digambarkan dengan tingginya kesadaran saling tolong-menolong sesama warga desa sebagai salah satu bentuk strategi adaptasi yang dilakukan. Selain itu, mereka saling bekerja sama ketika melakukan akfitas di laut seperti memberi tumpangan pada nelayan lain yang tidak memiliki perahu jenis Kapal Motor (KM) walaupun waktu melaut ditentukan oleh pemilik kapal. d. Kesehatan Pada bidang kesehatan, terdapat satu buah puskesmas pembantu dengan peralatan dan tenaga kesehatan serta dilengkapi dengan kendaraan mobilisasi “puskesmas keliling”. Puskesmas berlokasi di Desa Sungai Bali dan tepat berada disamping kantor kecamatan. Kemajuan dan keberhasilan yang telah dicapai desa Rampa juga masih terus dihadapkan pada tantangan
37
dan masalah kesehatan lain sebagai akibat terjadinya transisi demografi dan transisi epidemiologi karena adanya perubahan keadaan sosial, tingkat pendidikan, keadaan ekonomi, kondisi lingkungan dan pengaruh globalisasi. Di sisi lain terjadi peningkatan kejadian untuk penyakit non infeksi seperti penyakit-penyakit degeneratif dan penyakit akibat perilaku masyarakat. e.
Prasarana dan Sarana Desa Infrastruktur merupakan pemicu pembangunan suatu wilayah serta
sebagai roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan pendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Infrastruktur umum Desa Rampa yaitu satu buah mesjid, empat buah langgar, satu buah GOR / aula dan sumber penerangan sudah menggunakan listrik serta irigasi. Fasilitas listrik masuk di Desa Rampa hanya pada pukul 18.00 WIT hingga pukul 06.00 WIT, namun belum semua rumah di Desa Rampa menggunakan sumber penerangan dari listrik. Ketersediaan jaringan air bersih yang digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari mereka alirkan dari sumur di hutan menggunakan pipa. Sumur dimiliki secara pribadi dan sebagian besar rumah tangga di desa memiliki sumur yang dialirkan ke rumah masing-masing. Jenis rumah masyarakat Desa Rampa adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu dan pada umumnya didirikan diatas rawa karena lokasi desa langsung berhadapan dengan muara sungai. Desa Rampa belum memiliki infrastruktur sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Atas. Fasilitas sekolah tersedia di Desa Sungai Bali, sehingga masyarakat Desa Rampa mengenyam pendidikan di Desa Sungai Bali. Hal ini karena jarak desa 1 km, namun pada tahun 2008 Desa Rampa sudah membangun Taman Pendidikan Al-qur’an (TPA). Sarana infrastruktur pendukung dalam pemasaran hasil laut di jual pada agen pengumpul yang terdapat di desa. Agen pengumpul memeiliki peran dalam perekonomian desa. Hal ini karena ketiadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
38
f. Prasarana dan Sarana Transportasi Letak Desa Rampa sangat strategis karena merupakan jalur yang menghubungkan transportasi laut dari Desa Rampa ke Kabupaten dan antar Kecamatan lain. Ruas jalan desa yang melewati batas Desa Rampa ke Ibukota Pulau Sebuku / Desa Sungai Bali 1 km yang menghubungkan jalan antar Desa Rampa dengan Desa Ujung / Tanjung Mangkok sekitar 10 km. Panjang jalan desa seluruhnya berjumlah ± 2,73 km yang terdiri dari jalan utama dan jalan lingkungan yang terbuat dari kayu. Jalan utama terpanjang 1.500 meter yang terletak di RT 01, RT 02, RT 03 dan RT 04, sedangkan jalan lingkungan tersebar diseluruh wilayah RT 02. Hal ini karena seluruh bangunan rumah di Desa Rampa dibangun diatas rawa. Kegiatan sektor transportasi merupakan tulang punggung pola distribusi baik barang maupun penumpang. Alat transportasi yang digunakan untuk ke kota atau kecamatan lainnya yaitu speedboat dan Kapal Motor (KM) berukuran besar untuk membawa barang. Jalan di Desa Rampa berupa jembatan yang terbuat dari kayu dengan lebar 2 meter dan hanya cukup untuk dilalui kendaraan sepeda motor maupun gerobak, sehingga tidak dapat dilalui oleh kendaraan beroda empat.
4.3.2
Kondisi Sosial Desa Sekapung
Kondisi sosial masyarakat Desa Sekapung dapat ditunjukkan oleh beberapa hal, diantaranya : a.
Pendidikan Pendidikan penduduk Desa Sekapung masih rendah, mayoritas mereka
berpendidikan hanya sampai bangku Sekolah Dasar (SD), karena alasan membantu orang tua melaut dan tidak memiliki biaya untuk sekolah. Hal ini berdampak pada rendahnya SDM masyarakat nelayan Desa Sekapung. Kesadaran akan pentingnya pendidikan anak sudah baik, terlihat dari tingkat pendidikan anak-anak di Desa Sekapung mulai dari taman kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas, bahkan beberapa menyekolahkan anaknya di luar kota, baik Sulawesi, Banjarmasin, Jawa maupun kota-kota lainnya.
39
b. Tenaga Kerja Pada awalnya seluruh masyarakat Desa Sekapung adalah nelayan, mereka secara turun-temurun melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Beberapa warga bergerak di bidang jasa transportasi speedboat. Masuknya perusahaan tambang menyerap tenaga kerja dari masyarakat yang memenuhi kriteria (pendidikan) untuk bekerja menjadi karyawan maupun buruh. Pemuda ada yang meneruskan menjadi nelayan, bekerja di perusahaan tambang, membuka jasa cuci motor maupun menganggur. c.
Suku Masyarakat Desa Sekapung terdiri dari beberapa suku, diantaranya
Bajau, Banjar, Jawa dan didominasi oleh suku Bugis Mandar. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Bugis Mandar antar sesama penduduk lokal dan bahasa Banjar antar penduduk lokal dengan pendatang. Tidak terdapat persaingan mata pencaharian antara masyarakat lokal dengan pendatang. Pada kehidupan sehari-hari, baik masyarakat lokal maupun pendatang saling tolong-menolong sebagai salah satu bentuk strategi adaptasi yang dilakukan. Selain itu, mereka saling bekerja sama ketika melakukan akfitas di laut seperti memberi tumpangan pada nelayan lain yang tidak memiliki perahu jenis Kapal Motor (KM) walaupun waktu melaut ditentukan oleh pemilik kapal. d. Kesehatan Pada bidang kesehatan, sudah tersedia fasilitas bangunan puskesmas dengan peralatan dan tenaga kesehatan. Puskesmas berlokasi di Desa Sekapung dengan seorang mantri dan seorang bidan. Posyandu keliling rutin diadakan selama satu kali dalam satu bulan pada setiap tanggal 20 dan tidak dikenakan biaya. Kesadaran masyarakat berobat ke puskesmas dan periksa kandungan ke bidan tinggi. Hal ini terlihat dari masyarakat yang sudah menggunakan bantuan bidan dalam proses persalinannya dan periksa ke puskesmas ketika berobat. Penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat Desa Sekapung adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut), biasanya karena masalah kondisi
40
sanitasi rumah yang kurang baik dan atau kondisi cuaca yang tidak mendukung serta dipengaruhi oleh daya tahan tubuh yang lemah. Terdapat program 5 tahun pemerintah dalam pengobatan massal pencegahan kaki gajah bagi masyarakat Desa Sekapung. e.
Prasarana dan Sarana Desa Infrastruktur merupakan pemicu pembangunan suatu wilayah serta
sebagai roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan pendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Infrastruktur umum yang terdapat di Desa Sekapung, diantaranya lima buah mesjid, satu buah pasar, satu buah GOR / aula, satu buah lapangan, satu buah puskesmas dan sekolah masing-masing satu buah mulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas serta terdapat irigasi. Sumber penerangan di Desa Sekapung masih menggunakan mesin genset dari pukul 18.00 WIT hingga pukul 22.00 WIT. Ketersediaan jaringan air bersih yang digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari mereka alirkan dari sumber mata air sumur di gunung menggunakan pipa yang dialiri ke setiap rumah dan ditampung dalam penampung umum. Mereka mendirikan rumah panggung yang terbuat dari kayu diatas permukaan tanah namun sebagian dari warga di RW 4 mendirikan rumah panggungnya disisi laut. Sarana infrastruktur pendukung dalam pemasaran hasil laut di jual pada agen pengumpul yang terdapat di desa. Agen pengumpul memeiliki peran dalam perekonomian desa. Hal ini karena ketiadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). f. Prasarana dan Sarana Transportasi Letak Desa Sekapung di ujung selatan dari Pulau Sebuku, waktu yang ditempuh untuk mencapai Ibukota Pulau Sebuku / Desa Sungai Bali adalah satu jam perjalanan menggunakan sepeda motor. Desa Sekapung terdiri dari jalan utama dan jalan lingkungan. Jalan utama terbuat dari beton yang sudah dibangun dengan menggunakan semen dan bahan material lainnya sedangkan jalan lingkungan masih berupa tanah yang ditumbuhi oleh rerumputan.
41
Kegiatan sektor transportasi merupakan tulang punggung pola distribusi baik barang maupun penumpang. Alat transportasi yang digunakan adalah milik masyarakat karena tidak ada kendaraan operasional desa, baik speedboat maupun Kapal Motor (KM), sedangkan untuk ke kota atau kecamatan lainnya dapat menggunakan speedboat dan Kapal Motor (KM) berukuran besar khusus membawa barang. Sebanyak 15 warga desa memiliki speedboat yang digunakan sebagai alat transportasi menuju ke kota, mereka memiliki kelompok speedboat yang mengatur jadwal operasional, hal ini karena izin trayek terbatas hanya 3 hingga 4 speedboat yang diperbolehkan beroperasi
dalam
satu
hari, sehigga mereka
menggunakan sistem antri.
4.4
Gambaran Umum Kondisi Perikanan
4.4.1 Gambaran Umum Kondisi Perikanan Di Desa Rampa Desa Rampa merupakan desa nelayan dimana mayoritas dari penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Hal ini karena letak desa yang langsung berhadapan dengan muara sungai yang menghubungkan desa dengan Selat Sebuku. Masyarakat Desa Rampa mendirikan rumah panggung yang terbuat dari kayu di atas rawa. Jumlah nelayan yang ada di Desa Rampa adalah sebanyak 127 Kepala Keluarga. Mayoritas nelayan sudah memiliki armada dan alat tangkap masing-masing. Hal ini terkait dengan mata pencaharian utama mereka sebagai nelayan yang mengandalkan sumberdaya laut dan perikanan dan sudah dilakukan secara turun-temurun. Armada tangkap nelayan di Desa Rampa, yaitu Kapal Motor (KM) yang kekuatannya bervariasi mulai dari 20 PK hingga 30 PK dengan mesin “domping” dan beberapa masih menggunakan perahu dayung sampan. Mayoritas nelayan memiliki lebih dari 1 jenis alat tangkap terutama nelayan yang menggunakan kapal motor (KM). Hal ini karena jenis tangkapan mereka beragam, setiap alat tangkap untuk masing-masing jenis tangkapan adalah berbeda pada setiap musim. Ketika musim udang windu dari bulan Januari hingga bulan Mei, maka jaring yang mereka gunakan adalah lampara dasar mini dengan mata jaring lebih kecil untuk udang kecil dan menggunakan gondrong / rengge / tramell nett untuk
42
udang yang berukuran besar (udang windu). Pada jangka waktu bulan yang sama, dengan menggunakan jenis alat tangkap lampara dasar mini dengan ukuran mata jaring yang lebih besar untuk menangkap cumi-cumi. Selanjutnya musim ikan ada pada setiap musim, namun untuk ikan jenis habu-habu maupun ikan selangat ada pada jangka waktu bulan Juni hingga Desember, dengan jenis alat tangkap menggunakan gill nett. Lokasi tangkap udang windu nelayan di Desa Rampa yaitu mulai dari Nusantara, Gusung Bangau dan daerah Karang hingga sepanjang Selat Makassar termasuk sekitar “perumahan bule”4. Lokasi utama tangkap udang windu adalah Gusung Bangau dan daerah Karang. Lokasi tangkap ikan selangat dan ikan habuhabu di sepanjang Selat Sebuku hingga Pulau Manti, sedangkan lokasi tangkap cumi-cumi sekaligus udang bubuk mulai dari Nusantara, daerah Karang, Tanjung Parapat, Kumpyor hingga Tanjung Gunung.
4.4.2 Gambaran Umum Kondisi Perikanan Di Desa Sekapung Desa Sekapung merupakan desa nelayan
dimana mayoritas
dari
penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Hal ini karena letak desa yang langsung berhadapan dengan Selat Makassar. Masyarakat Desa Sekapung mendirikan rumah panggung yang terbuat dari kayu di atas permukaan tanah, namun beberapa sudah membangun rumah dari beton. Jumlah nelayan yang ada di Desa Sekapung adalah sebanyak 58 Kepala Keluarga. pada awalnya seluruh masyarakat Desa Sekapung adalah nelayan, namun masuknya perusahaan tambang menyerap banyak tenaga kerja termasuk nelayan sebelum terjadi pemutihan (pergantian management perusahaan). Mayoritas nelayan sudah memiliki armada dan alat tangkap masing-masing. Hal ini terkait dengan mata pencaharian utama mereka sebagai nelayan yang mengandalkan sumberdaya laut dan perikanan dan sudah dilakukan secara turun-temurun. Armada tangkap nelayan di Desa Sekapung yaitu Kapal Motor (KM) yang kekuatannya bervariasi mulai dari 20 PK hingga 30 PK dengan mesin “domping”. Mayoritas nelayan memiliki lebih dari satu jenis alat tangkap, setiap alat tangkap 4
Perumahan Bule adalah satu satu lokasi tangkap udang windu nelayan di Desa Sekapung, disebut perumahan bule karena lokasi tangkap berada dekat dengan lokasi pemukiman para turis yang berasal dari luar negeri atau bisa disebut bule, sehingga lokasi tangkap ini dikenal dengan sebutan perumahan bule
43
untuk masing-masing jenis tangkapan adalah berbeda pada setiap musim. Ketika musim udang windu dari bulan Januari hingga bulan Mei, maka jaring yang mereka gunakan adalah gondrong / rengge / tramell nett untuk udang yang berukuran besar (udang windu). Pada jangka waktu lainnya, ketika jumlah udang windu yang dapat ditangkap mulai menurun, nelayan menangkap ikan tenggiri menggunakan pancing tonda. Wilayah tangkap ikan tenggiri nelayan di Desa Sekapung di sepanjang Selat Makassar, sedangkan lokasi utama penangkapan udang windu terpusat disekitar “perumahan bule”.
44
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Kondisi Kemiskinan Nelayan Di Pulau Sebuku Kondisi kemiskinan banyak dialami oleh masyarakat secara luas, termasuk
pada kaum nelayan. Fauzi (1992) menyebutkan bahwa kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau masyarakat tidak mampu mencapai kecukupan dalam hal kebutuhan dasar manusia, khususnya menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan dan bukan pangan (pakaian, perumahan dan jasa). Pada awalnya seluruh nelayan di Pulau Sebuku masih menggunakan perahu dayung sampan dan menjual hasil tangkapnya masing-masing ke Kotabaru. Mereka menjual hasil tangkapan ketika sudah terkumpul banyak dengan cara kolektif pada nelayan yang hendak ke Kotabaru menjual hasil tangkapan karena pada saat itu belum ada agen tempat menjual hasil tangkap di desa. Perjalanan yang ditempuh menuju Kotabaru memerlukan waktu yang cukup lama, bahkan nelayan memilih bermalam di Kotabaru karena kelelahan mendayung. Mereka menjual hasil tangkapan pada pembeli dari Jepang untuk keperluan karyawan / di ekspor ke negaranya. Udang windu yang dijual pada pembeli adalah udang windu dengan kualitas yang bagus, sehingga pembeli udang windu tersebut memberi kepercayaan pada nelayan untuk membeli hasil tangkapannya. Kepercayaan yang diberikan berupa modal baik berupa uang maupun armada dan alat tangkap yang dapat digunakan nelayan untuk terus menjual udang windu dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Modal yang diterima dapat dipinjamkan pada nelayan lainnya di desa untuk keperluan melaut, sehingga dengan adanya modal tersebut para nelayan merasa diuntungkan karena dapat dengan lancar memenuhi kebutuhan dan keperluan melaut. Pemberi modal pun merasa untung karena kebutuhan akan udang windu tersebut terpenuhi. Seiring berjalannya waktu, keuntungan terutama berupa uang yang dimiliki nelayan yang biasa dititipkan untuk menjual hasil tangkapan ke Kotabaru menjadi terakumulasi hingga kini menjadi agen pengumpul / pembeli udang windu dari nelayan di desanya.
45
Agen memberi bantuan berupa kapal dan atau alat tangkap bagi nelayan untuk mencari udang windu, hanya saja hasil yang ditangkap harus dijual pada agen bersangkutan karena secara tidak langsung nelayan tersebut sudah terikat. Ikatan berupa hutang pada agen dapat dilunasi dengan cara mencicil dari pengurangan 10% setiap hasil penjualan, sehingga nelayan yang masih terikat tidak diperbolehkan menjual hasil tangkapan pada agen lainnya sebelum hutangnya sudah lunas. Pada awalnya agen pengumpul / pembeli udang hanya satu namun seiring berjalannya waktu agen bertambah. Kesempatan menjadi agen terbuka bagi siapa saja termasuk nelayan jika memiliki modal yang kuat. Keberadaan agen pengumpul / penjual udang windu terutama sangat besar peranannya bagi perekonomian di desa, terutama bagi kehidupan nelayan. Salah satunya sebagai jaminan terjualnya hasil tangkap nelayan. Hingga kini sebagian besar nelayan sudah memiliki Kapal Motor (KM) dengan kekuatan mesin 20 PK – 30 PK dan alat tangkap untuk mencari tangkapan. Kondisi kemiskinan nelayan di Pulau Sebuku dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan indikator yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu Garis kemiskinan (pangan dan non pangan) serta kriteria rumah tangga miskin sasaran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Berdasarkan indikator garis kemiskinan BPS, pendapatan per kapita nelayan dari kedua desa tersebut berada di atas garis kemiskinan (pangan dan non pangan) BPS per bulan Maret 2010. Berdasarkan kriteria rumah tangga miskin penerima BLT, tidak ada responden yang termasuk dalam kategori miskin maupun sangat miskin. Kriteria miskin lokal yang digunakan pada nelayan di Desa Rampa, yaitu: 1. Masih menggunakan perahu dayung sampan untuk melakukan aktifitas penangkapan di laut. 2. Memiliki banyak tanggungan keluarga namun sumber pendapatan keluarga hanya mengandalkan kepala keluarga. 3. Dilihat dari kepemilikan harta benda, maka nelayan yang dikatakan miskin secara lokal yaitu nelayan yang tidak memiliki alat ekektronik maupun kendaraan bermotor Nelayan yang masih menggunakan perahu dayung sampan dengan berbagai alasan, diantaranya karena tidak sanggup membeli kapal motor lengkap dengan
46
mesin. Harga kapal motor lengkap dengan mesin mencapai Rp 10.000.000,00 dimana harga mesinnya saja adalah Rp5000.000,00. Hanya saja bagi beberapa nelayan, alasan masih menggunakan perahu dayung sampan karena faktor usia yang sudah tua sehingga kesulitan untuk menghidupkan mesin dan atau karena cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Wilayah tangkap nelayan yang masih menggunakan perahu dayung sampan hanya di sekitar Selat Sebuku dan rata-rata nelayan yang masih menggunakan perahu dayung sampan hanya memiiki jenis jaring rengge / gondrong / tramel nett untuk menangkap udang windu dengan ukuran 5 hingga 7 payah.5 Kondisi nelayan di Desa Sekapung cenderung homogen mengingat mereka berasal dari suku yang sama yaitu Banjar dan menganggap antara satu dan lainnya masih memiliki hubungan saudara, selain itu karena setiap nelayan sudah memiliki masing-masing armada tangkap lengkap dengan alat tangkap. Mereka beranggapan bahwa mendapat tangkapan adalah karena faktor keberuntungan dan hoki. Hasil tangkap cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kriteria lokal yang digunakan untuk menentukan nelayan yang berada dalam kondisi miskin di Desa Sekapung, yaitu : 1. Memiliki banyak tanggungan keluarga namun sumber pendapatan keluarga hanya mengandalkan kepala keluarga. 2. Dilihat dari kondisi rumah, maka rumah nelayan yang dikategorikan miskin yaitu rumah yang masih beratapkan daun nipah dengan dinding semi permanen dari kayu dan biasanya sudah tua karena rumah warisan dari orang tua. 3. Dilihat dari kapal yang dimiliki, maka nelayan yang dikategorikan miskin secara lokal yaitu nelayan yang mesin kapalnya sudah tua dan bentuk kapalnya tidak bersih akibat jarang dirawat seperti di cat karena perawatan kapal membutuhkan waktu kurang lebih satu minggu untuk tidak menurunkan kapal tersebut ke laut, sehingga nelayan yang miskin jarang merawat kapalnya karena harus mencari nafkah di laut.
5
Payah adalah fish / set jaring berukuran 25 x 1,5 meter
47
4. Dilihat dari kepemilikan harta benda, maka nelayan yang dikatakan miskin secara lokal yaitu nelayan yang tidak memiliki alat elektronik maupun kendaraan bermotor. 5.1.1 Kondisi Kemiskinan Nelayan Berdasar Garis Kemiskinan BPS Kondisi kemiskinan nelayan di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan yang diukur dengan menggunakan indikator Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu Garis kemiskinan (pangan dan non pangan). Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan provinsi Kalimantan Selatan daerah pedesaan, yaitu Rp196.753,00,- per kapita / bulan pada bulan Maret 2010 berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS PROV KALSEL. Seseorang atau rumah tangga dikatakan miskin apabila pendapatan atau pengeluaran per kapitanya sama atau dibawah garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS. Berdasarkan hasil lapang menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan per kapita responden nelayan di Desa Rampa adalah Rp 801.300,00 per kapita / bulan. Angka ini lebih tinggi daripada garis kemiskinan yang ditetapkan BPS untuk bulan maret 2010, yaitu Rp196.753,00 per kapita / bulan, sehingga nelayan di Desa Rampa termasuk dalam kategori tidak miskin. Pendapatan per kapita / bulan responden nelayan di Desa Rampa paling rendah yaitu Rp 229.250,00 dan paling tinggi yaitu Rp 2.125.000,00 sehingga nelayan di Desa Sekapung juga termasuk dalam kategori tidak miskin. Hal ini karena wilayah tangkap nelayan lebih luas dan tidak dibatasi serta mayoritas rumah tangga nelayan di Desa Rampa sudah memiliki armada dan alat tangkap masing-masing sehingga tidak tergantung pada majikan / bos ketika akan melakukan aktifitas penangkapan. Armada yang dimiliki adalah Kapal Motor (KM) dengan kekuatan 20 PK sampai 30 PK walaupun beberapa nelayan masih menggunakan jenis perahu dayung sampan. Kekuatan perahu (besarnya PK) mempengaruhi waktu tempuh yang diperlukan untuk mencapai lokasi tangkap. Perbedaan kekuatan perahu yang dimiliki nelayan ditentukan pada kemampuan mereka membeli mesin karena semakin besar kekuatan maka semakin mahal harga pembeliannya, namun kekuatan perahu nelayan tidak memicu konflik ketika sedang melakukan aktifitas penangkapan pada lokasi yang
48
sama. Kekuatan perahu hanya berpengaruh terhadap waktu yang diperlukan untuk mencapai lokasi tangkap. Hal ini karena hasil tangkapan yang dapat mereka peroleh dipengaruhi oleh jenis alat tangkap yang mereka gunakan, sehingga jenis alat tangkap dapat memicu konflik diantara nelayan. Nelayan yang menggunakan alat tangkap lebih canggih seperti trawl, sedangkan nelayan lainnya hanya menggunakan jaring atau rengge akan memicu terjadinya konflik. Hal ini karena jumlah yang dapat diperoleh oleh nelayan yang menggunakan trawl akan lebih banyak daripada nelayan yang menggunakan rengge, namun penggunaan trawl dapat mengganggu ekosistem karena tidak dapat dilakukan tangkap pilih, artinya baik kecil maupun besar biota yang ada akan terjaring. Alat tangkap yang mereka gunakan untuk masing-masing musim baik udang windu, cumi-cumi maupun ikan habu-habu dan ikan selangat adalah sama, yaitu gondrong / rengge / tramel nett untuk menangkap udang windu dan lampara dasar mini untuk menangkap cumicumi serta jaring ikan atau gill nett untuk menangkap ikan habu-habu dan ikan selangat. Kondisi iklim tidak mempengaruhi aktifitas melaut nelayan terutama ketika musim paceklik mereka tetap dapat melakukan aktifitas melaut dan istirahat pada puncak musim paceklik ketika kencangnya angin menyebabkan gelombang besar di laut. Rata-rata pendapatan per kapita responden nelayan di Desa Sekapung adalah Rp 505.325,00 / bulan. Angka ini lebih tinggi daripada garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada bulan Maret 2010, yaitu Rp 196.753,00,- per kapita / bulan, pendapatan responden nelayan di Desa Sekapung paling rendah yaitu Rp213.400,- dan paling tinggi yaitu Rp 917.000,-. Sama halnya dengan nelayan di Desa Rampa, nelayan di Desa Sekapung juga sudah memiliki armada dan alat tangkapnya masing-masing, sehingga mereka tidak tergantung pada majikan / bos untuk melakukan aktifitas penangkapan, namun yang membedakannya adalah frekuensi sering tidaknya nelayan turun ke laut mencari tangkapan. Armada yang dimiliki adalah jenis Kapal Motor (KM) dengan kekuatan 20 PK sampai 30 PK. Kekuatan perahu (besarnya PK) mempengaruhi waktu tempuh yang diperlukan untuk mencapai lokasi tangkap. Perbedaan kekuatan perahu yang dimiliki nelayan ditentukan pada kemampuan mereka membeli mesin karena semakin besar kekuatan maka
49
semakin mahal harga pembeliannya, namun kekuatan perahu nelayan tidak memicu konflik ketika sedang melakukan aktifitas penangkapan pada lokasi yang sama. Kekuatan perahu hanya berpengaruh terhadap waktu yang diperlukan untuk mencapai lokasi tangkap. Hal ini karena hasil tangkapan yang dapat mereka peroleh dipengaruhi oleh jenis alat tangkap yang mereka gunakan, sehingga jenis alat tangkap dapat memicu konflik diantara nelayan. Nelayan yang menggunakan alat tangkap lebih canggih seperti trawl, sedangkan nelayan lainnya hanya menggunakan jaring atau rengge akan memicu terjadinya konflik. Hal ini karena jumlah yang dapat diperoleh oleh nelayan yang menggunakan trawl akan lebih banyak daripada nelayan yang menggunakan rengge, namun penggunaan trawl dapat mengganggu ekosistem karena tidak dapat dilakukan tangkap pilih, artinya baik kecil maupun besar biota yang ada akan terjaring. Jenis alat tangkap yang mereka gunakan untuk masing-masing musim baik udang windu maupun ikan tenggiri adalah sama yaitu gondrong / rengge / tramel nett untuk menangkap udang windu dan pancing tonda untuk menangkap ikan tenggiri serta beberapa nelayan memiliki bagan tancap untuk menjaring cumi-cumi dan ikan teri. Hanya saja pada saat musim paceklik atau musim angin tenggara nelayan lebih memilih tidak turun kelaut, hal ini berdampak pada besarnya pendapatan yang dapat diperoleh nelayan. Maka dari itu, jika dibandingkan dengan pendapatan nelayan di Desa Rampa, jumlah pendapatan yang dapat diperoleh nelayan di Desa Sekapung lebih rendah, namun kedua desa tetap masih berada diatas garis kemiskinan yang ditetapkan BPS per kapita / bulan pada bulan maret 2010. Rentang perbedaan pendapatan yang diperoleh oleh responden nelayan di Desa Rampa lebih bervariasi dibandingkan dengan pendapatan nelayan di Desa Sekapung, dimana rentang perbedaan secara pendapatan nelayan di Desa Sekapung cenderung lebih kecil. Hal ini karena nelayan di Desa Sekapung hanya mengandalkan udang windu sebagai jenis tangkapan utama mereka dan menangkap ikan tenggiri sebagai jenis tangkapan sampingan, sedangkan ketika musim angin tenggara atau musim paceklik kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk tidak turun ke laut, sehingga ketika musim paceklik pendapatan mereka menurun. Selain itu, jumlah minyak yang tersedia di desa sangat terbatas menyebabkan nelayan tidak dapat turun ke laut ketika persediaan minyak langka.
50
Dilihat dari lokasi tangkap, maka lokasi tangkap nelayan Desa Rampa lebih strategis. Jenis tangkapan nelayan di Desa Rampa selalu ada pada setiap bulan dan musim, sehingga rata-rata pendapatan per kapita nelayan di Desa Rampa lebih tinggi daripada di Desa Sekapung. Musim hasil tangkap dan perkiraan jumlah pendapatan per tahun berdasarkan musim cenderung dapat diperkirakan. Sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.
Keterangan Gambar : Warna merah : musim cumi-cumi Warna hijau : musim udang windu Warna biru : musim paceklik
Gambar 2. Rata-Rata Pendapatan Nelayan Desa Rampa Berdasarkan Musim Tangkap Udang Windu, Cumi-cumi dan Musim Paceklik Musim tangkap udang windu yaitu bulan Januari hingga bulan Mei. Pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret terjadi peningkatan jumlah tangkapan udang windu dengan puncak musim tangkap udang windu pada bulan Maret, namun mulai bulan April hingga Mei hasil tangkap udang windu mulai menurun. Pada saat musim udang windu mulai naik, harga jual udang windu mencapai Rp45.000,00 – Rp 55.000,00 / kg. Jumlah tangkapan udang windu yang dapat diperoleh nelayan dapat mencapai 10 hingga 60 kg / hari / orang, sedangkan ketika sedang tidak musim hanya mendapat 1 hingga 5 kg / hari / orang. Rata-rata
51
pendapatan yang dapat diperoleh nelayan di Desa Rampa adalah Rp 5.000.000 / bulan, pendapatan setiap masing-masing nelayan bervariasi dengan pendapatan berkisar dari Rp 4.000.000,00 hingga Rp 7.000.000,00 / bulan pada musim udang windu. Musim paceklik atau musim angin tenggara terjadi mulai dari bulan Juni hingga bulan Oktober. Pada bulan Juni sampai dengan bulan Agustus mulai memasuki musim paceklik dimana hasil tangkapan mulai menurun dengan puncak dari musim paceklik ada pada bulan Agustus, dimana pada bulan Agustus angin bertiup kencang menyebabkan terjadi gelombang besar sehingga nelayan benarbenar tidak dapat pergi ke laut namun pada saat seperti ini mereka mengisi waktu dengan melakukan aktifitas perlombaan untuk memperingati HUT RI. Selain itu, mereka juga melaksanakan kegiatan yang sudah menjadi budaya dan biasa disebut dengan “hari nelayan”. Pada pelaksanaan hari nelayan, tidak ada satu nelayan pun yang diperbolehkan turun ke laut maupun pergi meninggalkan desa dan menjemur pakaian, kecuali datang menuju Pulau Sebuku. Mulai bulan Agustus akhir hingga bulan Oktober musim paceklik mulai menurun yang ditandai meningkatnya hasil tangkapan nelayan. Pada saat musim paceklik, pendapatan rata-rata yang diperoleh nelayan adalah Rp 1.000.000,00 / bulan, namun bagi nelayan yang lebih rajin mencari tangkapan ke laut dapat mencapai Rp 2.000.000,00 / bulan. Ketika musim paceklik, nelayan menangkap ikan habu-habu dan ikan selangat di sepanjang Selat Sebuku. Musim tangkap cumi-cumi yaitu bulan November hingga bulan Maret. Pada bulan November sampai dengan bulan Januari terjadi peningkatan jumlah tangkapan cumi-cumi dengan puncak musim tangkap cumi-cumi pada bulan Januari, namun mulai bulan Februari hingga Maret hasil tangkap cumi-cumi mulai menurun. Pada saat musim mulai naik, harga jual cumi-cumi mencapai Rp18.000,00 / kg. Jumlah tangkapan cumi-cumi yang dapat diperoleh nelayan mencapai 100 hingga 200 kg / hari / orang, sedangkan ketika sedang tidak musim hanya mendapat 3 hingga 10 kg / hari / orang. Rata-rata pendapatan yang dapat diperoleh nelayan di Desa Rampa adalah Rp 3.000.000 / bulan, pendapatan masing-masing
nelayan
bervariasi
dengan
pendapatan
berkisar
Rp2.000.000,00 hingga Rp 4.000.000,00 / bulan ketika musim cumi-cumi.
dari
52
5.1.2 Kondisi Kemiskinan Nelayan Berdasar Kriteria Rumah Tangga Miskin Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) BPS mengeluarkan indikator / kriteria rumah tangga miskin sasaran BLT, selain mengeluarkan indikator garis kemiskinan untuk menentukan penduduk miskin. Terdapat 14 kriteria untuk menentukan rumah tangga miskin. Berdasarkan kriteria ini, jika memenuhi 14 kriteria maka termasuk dalam kategori sangat miskin, jika memenuhi 11 – 13 kriteria maka termasuk dalam kategori miskin, jika memenuhi 9 – 10 kriteria maka termasuk dalam kategori hampir miskin dan jika memenuhi < 9 kriteria maka termasuk dalam kategori tidak miskin. Sebagaimana data hasil disajikan dalam Tabel 4. Tabel 3. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Menurut Kategori Kemiskinan BLT di Desa Rampa dan Desa Sekapung. Desa Rampa Desa Sekapung Kategori Kemiskinan BLT n % N % Sangat Miskin
0
0
0
0
Miskin
0
0
0
0
Hampir miskin
2
6,7
3
10
Tidak miskin
28
93,3
27
90
Jumlah
30
100
30
100
Berdasarkan tabel 4, terdapat sebanyak 28 rumah tangga atau 93,3% responden nelayan di Desa Rampa termasuk dalam kategori tidak miskin dan sebanyak 2 rumah tangga atau 6,7% responden nelayan di Desa Rampa termasuk dalam kategori hampir miskin, sedangkan sebanyak 27 rumah tangga atau 90% responden termasuk dalam kategori tidak miskin dan sebanyak 3 rumah tangga atau 10% responden nelayan di Desa Sekapung termasuk dalam kategori hampir miskin. Baik nelayan di Desa Rampa maupun nelayan di Desa Sekapung tidak ada rumah tangga yang termasuk dalam kategori miskin dan sangat miskin. Jika melihat kriteria miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang telah ditetapkan, maka kondisi kemiskinan yang terjadi di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan sebenarnya tidak terakomodasi. Hal ini karena kriteria miskin untuk menentukan rumah tangga penerima bantuan bias Jawa, padahal kondisi
53
dan tingkat kemiskinan yang terjadi di Jawa berbeda dengan kondisi dan tingkat kemiskinan yang terjadi di luar Jawa. Kondisi rumah tangga nelayan menurut kriteria BLT disajikan dalam Tabel 5. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Menurut Kriteria Rumah Tangga Miskin BLT Di Desa Rampa dan Desa Sekapung. No
Kriteria Rumah Tangga Miskin BLT
1
Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah / bambu / kayu murahan Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah / tembok tanpa diplester Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga lain Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai / air hujan Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu Hanya membeli lebih satu stel pakaian baru dalam setahun Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 600.000,-perbulan Pendidikan tertinggi kelapa keluarga : tidak sekolah / tidak tamat SD / hanya SD Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya
2 3
4 5 6
7 8 9 10 11 12
13 14
Desa Rampa N % 1 3,3
Desa Total Sekapung N % N % 11 36,7 12 20
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5 16,7 14 46,7 19 31,7 13 43,3
0
0 13 21,7
30
100
0
0 30
50
30
100 30
100 60
100
10 33,3 0 15
0
9 0
30 19 31,7 0
0
0
50 25 83,3 40 66,7
5 16,7
9
30 14 23,3
3
10 12
40 15
25
27
90 18
60 45
75
5 16,7
6
20 11 18,3
54
Berdasarkan hasil lapang yang tersaji dalam tabel 4, sebanyak 12 responden atau 20 % dari kedua Desa masih memiliki luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang, dimana 11 responden atau 36,7% berasal dari Desa Sekapung dan 1 responden atau 3,3% berasal dari Desa Rampa. Kriteria BLT melihat kondisi rumah sebagai salah satu indikator untuk menentukan rumah tangga sasaran penerima BLT, namun sebagian besar penduduk di Pulau Sebuku secara umum, termasuk Desa Rampa dan Desa Sekapung mendirikan rumah, baik lantai maupun dinding yang terbuat dari kayu atau biasa disebut rumah panggung dengan ukuran beragam, mulai dari 4x6 meter, 5x8 meter hingga 5x25 meter. Kayu yang digunakan adalah kayu dengan kualitas yang cukup baik dan kuat, yaitu jenis kayu Meranti dan jenis kayu Ulin. Maka dari itu, tidak ada responden dari kedua desa yang jenis lantai tempat tinggal yang terbuat dari kayu kualitas rendah dan jenis dinding tempat tinggal terbuat dari kayu kualitas rendah / tembok tanpa diplester. Artinya rumah seluruh nelayan di Desa Rampa adalah rumah panggung yang terbuat dari kayu namun kayu dengan kualitas yang baik dan mendirikan rumah di atas rawa berbeda dengan Desa Sekapung yang mendirikan rumahnya di atas permukaan tanah dan hanya sebagian warga di RW 4 yang mendirikan rumah di atas laut walaupun beberapa responden sudah membangun rumahnya dari beton dan mengambil pasir dari bibir pantai. Dilihat dari kriteria sumber penerangan listrik desa, sebanyak 13 responden atau 43,3% berasal dari Desa Rampa belum menggunakan sumber penerangan listrik. Seluruh rumah di Desa Sekapung sudah menggunakan genset yang menyala dari pukul 18.00 WIT hingga pukul 23.00 WIT atas bantuan dari perusahaan batubara, sedangkan Desa Rampa menggunakan sumber penerangan dari listrik walaupun hanya setengah hari, yaitu dari pukul 18.00 WIT hingga pukul 06.00 WIT. Hanya saja 43,3% responden dari nelayan di Desa Rampa belum menggunakan listrik sendiri. Mereka menyiasatinya dengan menyambung listrik dari rumah lain sebelum ada pemeriksaan. Sebanyak 19 responden atau 31,7% dari kedua desa tidak mampu mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu, dimana sebanyak 9 responden atau 30% berasal dari Desa Sekapung dan sebanyak 10 responden atau 33,3% berasal dari Desa Rampa. Hal ini karena bagi mereka sudah cukup
55
dengan mengkonsumsi hasil laut tangkapan seperti udang, cumi-cumi, kepiting, kerang, ikan dan hasil laut lainnya. Mereka mengkonsumsi daging hanya jika ada acara besar, mengingat harga daging yang mahal dan mereka harus ke kota untuk mendapatkannya. Sebagian nelayan yang mengkonsumsi susu karena mendapat jatah dari perusahaan bagi nelayan maupun keluarga yang salah satu anggotanya ada yang bekerja di perusahaan, terkadang mereka mendapat susu dari tetangganya yang bekerja di perusahaan. Hal ini karena setiap pegawai perusahaan mendapat jatah susu setiap satu minggu sekali. Semua responden sudah mampu membeli lebih satu stel pakaian baru dalam setahun. Hal ini karena baik di Desa Sekapung maupun di Desa Rampa terbuka peluang berusaha terutama ketika masuknya perusahaan tambang, salah satunya adalah usaha kredit pakaian dimana para penjual pakaian berkeliling desa dan mengetuk pintu rumah masyarakat untuk menawarkan dagangan serta diperbolehkan bagi pelanggannya untuk membayar dengan cara kredit atau mencicil, sehingga dalam satu tahun responden dapat membeli pakaian lebih dari satu stel. Sebanyak 14 responden atau 23,3% dari kedua desa belum sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik, hal ini terkait dengan pemahaman mereka akan pentingnya berobat di puskesmas, dimana sebanyak 9 responden atau 30% berasal dari Desa Sekapung dan sebanyak 5 responden atau 16,7% berasal dari Desa Rampa. Hal ini karena kesadaran masyarakat nelayan untuk berobat ke puskesmas tinggi terlihat dari sebagian besar masyarakat nelayan sudah menggunakan jasa bidan ketika menjalani proses persalinan dan berobat pada ahli kesehatan di Puskesmas walaupun tidak gratis dalam menebus obat, hanya saja beberapa responden memilih hanya membeli obat di warung dan atau berobat pada mantri. Sebanyak 15 responden atau 25% dari kedua desa masih memiliki sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: nelayan, buruh bangunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp600.000,-perbulan, dimana sebesar 40% atau 12 responden berasal dari Desa Sekapung dan sebanyak 3
56
responden atau 10% berasal dari Desa Rampa6. Hal ini karena ketidak pastian jumlah hasil tangkapan yang diperoleh nelayan setiap kali turun ke laut berdampak pada ketidak pastian pendapatan yang diperoleh nelayan, ketika sedang musim pendapatan nelayan tinggi namun ketika paceklik pendapatan nelayan berkurang. Terkait dengan hal tersebut, maka nelayan yang rajin turun ke laut dapat menutupi kekurangan untuk memenuhi kebutuhan ketika musim paceklik, berbeda dengan nelayan yang jarang bahkan tidak turun ke laut sama sekali ketika musim paceklik, sehingga pendapatan yang diperoleh tidak mampu mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dan hanya mengandalkan tabungan ketika pendapatan mereka tinggi pada musim tangkap. Pendapatan dalam kurun waktu satu bulan nelayan di Desa Rampa mampu mencapai lebih dari Rp 600.000,00, bahkan pada saat musim tangkap dapat mencapai Rp 1.000.000,00 Rp3.000.000,00 dalam satu hari. Pada musim paceklik atau musim angin tenggara nelayan yang pergi ke laut akan memperoleh pendapatan minimal Rp 20.000,00Rp 100.000,00 / hari. Sebanyak 11 responden atau 18,3% dari kedua desa tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya, dimana sebanyak 6 responden atau 20% berasal dari Desa Sekapung dan sebanyak 5 responden atau 16,7% berasal dari Desa Rampa. Hal ini berkaitan dengan kemampuan setiap rumah tangga dalam penggunaan pendapatan (manajemen keuangan rumah tangga) untuk mengatur keuangan ketika musim tangkap dan paceklik, terlihat dari barang-barang elektronik yang dimiliki, misalnya emas, televisi, kulkas dan sepeda motor.
5.2
Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau Sebuku Strategi merupakan suatu pilihan yang digunakan terhadap beberapa
alternatif pilihan yang tersedia, sedangkan strategi nafkah menurut Dharmawan (2001) adalah segala kegiatan atau keputusan yang diambil anggota rumah tangga untuk bertahan hidup (survival) dan atau membuat hidup lebih baik. Tujuan dari 6
Berdasarkan pengisian langsung kuasioner kriteria BLT, menurut perkiraan mereka pendapatan yang diperoleh kurang dari Rp 600.000,00 namun setelah dihitung secara konkret pendapatan per kapita perbulan mereka lebih dari Rp 600.000,00.
57
bertahan hidup ini adalah membangun beberapa strategi untuk keamanan dan keseimbangan mata pencaharian rumah tangga. Secara geografis, pulau kecil termasuk Pulau Sebuku dikelilingi oleh laut sehingga masyarakat yang tinggal di pulau kecil pada umumnya menggantungkan hidup pada sumberdaya alam di sekitar untuk bertahan hidup. Masyarakat nelayan menggantungkan hidup dari sumberdaya laut dan perikanan. Bekerja sebagai nelayan sudah dilakukan sejak lama dan turun-temurun sebagai salah satu strategi mereka untuk bertahan hidup. Terkait dengan perubahan yang terjadi karena faktor eksternal, yaitu kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim, strategi adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat nelayan beragam. Sebagaimana disebutkan dalam UU No 32 tahun 2004 pasal 1, bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Definisi lainnya di sebutkan oleh Salam (2007), bahwa desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan (wewenang, hak, kewajiban dan tanggung jawab) sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke daerah otonom sehingga daerah otonom itu dapat melakukan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam masalah-masalah pengelolaan pembangunan untuk mendorong dan meningkatkan kinerja pembangunan. Pulau Sebuku adalah pulau kecil yang di dalamnya terkandung sumberdaya alam termasuk tambang, hutan dan laut. Pengelolaan sumberdaya alam di Pulau Sebuku terutama sumberdaya tambang dikelola oleh swasta. Hal ini terkait dengan kewenangan pemerintah untuk memberi kesempatan pada perusahaan tambang swasta dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam daerah termasuk diantaranya bahan tambang bijih besi dan batubara untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Swasta yang memperoleh izin beroperasi dalam rangka mengelola sumberdaya tambang di Pulau Sebuku membawa perubahan bagi masyarakat di Pulau Sebuku terutama yang bermata pencaharian berkebun, baik membuka peluang berusaha masyarakat maupun membuka lapangan pekerjaan sebagai buruh dan karyawan di perusahaan. Mereka mendapat ganti rugi dari perusahaan
58
karena sebagian dari lahan milik mereka digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan, berbeda dengan nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Masyarakat yang pada awalnya hanya berkebun dan menyadap karet di hutan maupun bekerja sebagai nelayan, kini memiliki pilihan jenis mata pencaharian lainnya, yaitu menjadi buruh di perusahaan. Pilihan jenis mata pencaharian semakin beragam terutama bagi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, yaitu minimal SMP dan atau SMA agar dapat bekerja di perusahaan. Lokasi pertambangan yang terdapat di Pulau Sebuku disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Sketsa Lokasi Pertambangan di Pulau Sebuku
59
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan baik nelayan di Desa Rampa maupun nelayan di Desa Sekapung dikategorikan menjadi kegiatan produktif dan kegiatan non produktif. Kegiatan produktif, termasuk diantaranya yaitu: a.
Bekerja di perusahaan tambang Masuknya perusahaan tambang membawa perubahan pada kehidupan
masyarakat secara umum di Pulau Sebuku, terutama perubahan yang berkaitan dengan sosial dan ekonomi masyarakat. Perubahan karena masuknya perusahaan tambang tidak terlalu berdampak bagi kehidupan nelayan di Desa Rampa, perubahan lebih berdampak pada masyarakat nelayan yang bekerja pada perusahaan. Tidak semua nelayan yang melamar bekerja pada perusahaan diterima karena tidak memenuhi persyaratan sebagai karyawan. Hal ini karena kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Desa Rampa masih rendah, rata-rata pendidikan hanya sampai bangku Sekolah Dasar (SD), sedangkan untuk bekerja di perusahaan memiliki batas pendidikan yang sudah ditentukan (minimal SMA). Di samping pendidikan dan kualitas SDM yang masih rendah, nelayan di Desa Rampa juga tidak memiliki kemampuan dan pengalaman selain menjadi nelayan. Sebagian besar dari mereka memilih tetap menjadi nelayan walaupun hasil yang diperoleh tidak pasti setiap kali melakukan trip dibandingkan dengan mendapat upah yang jelas setiap bulan dari perusahaan namun berada dibawah aturan dan tekanan atasan / mandor. Sebagian dari anak-anak nelayan di Desa Rampa sudah menempuh pendidikan hingga minimal tamat SMP dan bekerja sebagai buruh di perusahaan tambang bijih besi di Pulau Sebuku. Nelayan dengan tingkat pendidikan lebih tinggi yang memenuhi syarat bekerja di perusahaan terutama apabila kenal dengan salah satu orang di dalam perusahaan akan lebih dipermudah jika ingin bekerja di perusahaan, namun bekerja di bagian lapangan. Beberapa nelayan yang sudah bekerja di perusahaan tetap tidak meninggalkan pekerjaan sebelumnya turun ke laut, mereka tetap melakukan aktifitas penangkapan jika sedang off dan atau ketika sedang pergantian shift sebagai strategi untuk mendapat pendapatan lebih banyak karena tidak hanya mengandalkan salah satu mata pencaharian saja. Berbeda dengan nelayan di Desa Rampa, nelayan di Desa Sekapung banyak terserap menjadi tenaga kerja pada perusahaan tambang batubara pada saat
60
perusahaan mulai berdiri dengan sistem kontrak, sehingga ketika kontrak sudah habis dan terjadi pergantian manajemen pada tahun 2008, banyak karyawan yang kembali menjadi nelayan walaupun beberapa dari mereka memilih keluar desa untuk bekerja pada perusahaan lain dan atau menoreh karet di hutan. Ada nelayan yang menjadi karyawan namun tetap melakukan aktifitas melaut sebagai pekerjaan sampingan pengisi waktu luang. Tujuan mereka bekerja di perusahaan bagi beberapa nelayan hanya untuk mengumpulkan modal, sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak SF pada tanggal 21 Maret 2011. “Sebenernya saya masuk ke perusahaan niatnya untuk ngumpulin modal aja, karena lebih enak jadi nelayan atau buka usaha sendiri daripada kerja di perusahaan. Kalo jadi nelayan kita bebas kapan aja mau turun ke laut, kalo kerja di perusahaan banyak aturan, kerja juga dibawah komando dari jam 6 pagi sampe jam 6 malem. Tapi ya kalo di perusahaan kita jelas dalam satu bulan pasti dapat gaji, ga kaya nelayan kan ga pasti, untung-untungan.” Terdapat nelayan yang memang tidak memilih bekerja di perusahaan sebagai mata pencaharian karena merasa gaji yang diperoleh tidak sesuai, sebagaimana hasil wawancara dengan JR pada tanggal 24 Maret 2011. “Kerja di perusahaan engga cukup buat kasih makan anakanak, engga mencukupi kebutuhan hidup. Paling tinggi dapat gaji hanya Rp1.800.000,00. Mending ke laut walau untung-untungan tapi bisa dapat Rp1000.000,00 satu hari kalo lagi rejeki. Asal kita turun pasti dapat kadang Rp30.000,00, Rp50.000,00, Rp100.000,00 atau Rp200.000,00 tapi pasti dapat, bahkan bisa lebih gede daripada gaji di perusahaan, Mbak.” b.
Memperluas jangkauan wilayah tangkap Adanya perusahaan membawa dampak baik langsung maupun tidak
langsung terhadap lingkungan. Dilihat dari segi limbah perusahaan, dampak pencemaran laut dari sisa material hasil pertambangan yang terbawa air hujan mengalir menuju muara sungai hingga ke laut. Hal ini disadari oleh semua nelayan baik di Desa Rampa maupun di Desa Sekapung cukup merugikan posisi mereka karena matinya biota laut sehingga mengurangi jumlah tangkapan yang dapat diperoleh. Keadaaan ini menyebabkan ikan dan jenis tangkapan lain yang
61
biasa dapat dengan mudah diperoleh nelayan hanya di muara sungai kini tidak dapat ditemukan lagi. Nelayan menyadari bahwa keberadaan perusahaan di Pulau Sebuku sebenarnya merugikan, namun aksi protes dan meminta ganti rugi nelayan pada perusahaan baik langsung maupun melalui pemerintah kota bahkan Bupati belum mendapat kepastian / jaminan dan tindakan nyata untuk membantu mereka. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak JH pada tanggal 19 Maret 2011. “Umaa..sejak ada perusahaan di Pulau Sebuku nelayan semakin saja tertindas, kalo ada kejadian-kejadian di laut sana, mana ada perusahaan mau ganti rugi. Kita sudah laporkan keluhan-keluhan nelayan di sini ke bapak-bapak yang terhormat bahkan sampai ke Bupati mana ada keluhan kami ini didengar. Belum lagi saya dengar akan ada operasi pengeboran, lama-lama tenggelam sudah ini pulau. Tinggal tunggu saja kapan waktunya.” Nelayan menyikapi masalah-masalah yang ada terutama kaitannya dengan adanya operasi perusahaan tambang di sekitar dengan berusaha mengadukannya pada pihak yang dirasa lebih berwenang, hanya saja posisi mereka yang cenderung lebih termarjinalkan, maka mereka tidak dapat bertindak apa-apa dan pasrah. Sebagai strategi yang mereka lakukan dengan menangkap hasil laut di lokasi yang lebih jauh, sehingga strategi yang mereka lakukan adalah memperluas jangkauan wilayah tangkap. c.
Mengoplos bahan bakar menggunakan minyak tanah Semakin jauh wilayah tangkap menyebabkan semakin banyak jumlah bahan
bakar yang diperlukan untuk melakukan satu kali perjalanan sehingga semakin besar juga biaya operasional termasuk didalamnya biaya transportasi yang dibutuhkan. Ketersediaan minyak di desa terbatas, sedangkan kebutuhan mereka terhadap minyak tinggi baik untuk keperluan rumah tangga sehari-hari maupun untuk keperluan bahan bakar armada tangkap yaitu kapal motor (KM). Selain sulit dicari, minyak yang dijual di warung harganya lebih mahal. Kebutuhan bahan bakar untuk pergi kelaut bagi nelayan yang menggunakan kapal motor (KM) disiasati dengan mengoplos bahkan sama sekali menggunakan minyak tanah untuk mesin kapal walaupun nelayan menyadari bahwa penggunaan minyak pada mesin kapal akan mengakibatkan mesin kapal lebih cepat rusak. Hal ini mereka lakukan karena harga minyak tanah jatah jauh lebih murah daripada harga solar.
62
Berbeda dengan mesin kapal yang masih baru, mereka menggunakan solar sebagai bahan bakar armada dan tidak mengoplos dengan minyak tanah agar mesin kapal tidak cepat rusak. Sebagaimana hasil wawancara dengan Ibu ID pada tanggal 24 Maret 2011. “Minyak sekarang sakit Mba, terkadang sulit didapat. Pernah satu hari nelayan disini tidak pergi melaut karena tidak ada minyak, jadi harus ke kota dulu baru dapat minyak. Terkadang jatah minyak juga kurang, ga cukup. Jatah minyak sehari selawi liter7 harganya cuma Rp3500,00 / liter, sisanya kalo kurang ya harus beli sendiri di warung harganya lebih mahal, bisa sampe Rp5000,00 / liter. Habis mau gimana lagi Mba, kalo pake solar mahal, sakit Mba karena 1 liternya Rp6.000,00” d.
Membeli emas dan alat-alat elektronik Pendapatan yang diperoleh nelayan setelah menjual hasil tangkap dan
dikurangi biaya operasional mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pendapatan yang mereka peroleh ketika musim tangkap yaitu pada bulan Januari hingga Juni, penghasilan yang didapat oleh nelayan menjadi besar. Besarnya pendapatan yang diperoleh nelayan ketika musim tangkap, sebagian mereka gunakan untuk membeli emas sebagai simpanan yang dapat mereka jual kembali ketika musim paceklik dan membeli barang-barang elektronik, namun dapat pula hanya ditabung atau disimpan di rumah. e.
Memobilisasi peran keluarga (istri dan anak) Sejalan dengan Kusnadi (2000) dalam Rofikoh (2007) menjelaskan bahwa
strategi adaptasi yang biasanya dilakukan adalah memobilisasi peran perempuan (kaum istri) dan anak-anaknya untuk mencari nafkah. Hal ini juga terjadi pada masyarakat nelayan di Desa Rampa, istri berperan dalam aktifitas pasca panen, termasuk diantaranya menjemur ikan bagi beberapa keluarga yang memiliki kemampuan. Mereka juga berjualan kue, makanan dan berdagang di rumahnya maupun menjadi buruh cuci, sedangkan peranan anak laki-laki selain meneruskan pekerjaan ayahnya sebagai nelayan dan atau bekerja pada perusahaan tambang di Pulau Sebuku dan anak perempuan membantu pekerjaan rumah.
7
Selawi liter dalam bahasa Indonesia adalah 25 liter
63
Tidak berbeda jauh, peran istri nelayan di Desa Sekapung juga membantu dalam proses pasca panen dan menjemur ikan. Hanya saja terdapat kelompok istri nelayan binaan perusahaan batubara dalam mengolah ikan tenggiri menjadi kerupuk amplang. Kerupuk amplang dijual ke Kota dan menjadi pemasukan tambahan. Beberapa orang ada yang bekerja menyadap karet di kebun dan sebagian lainnya memecah kayu untuk membuat jalan aspal yang kemudian dibeli oleh perusahaan. Kegiatan ini menambah penghasilan keluarga, sedangkan peran pemuda ada yang membuka jasa cuci motor dan bengkel. f.
Mengadakan kegiatan pranata sosial ekonomi (arisan) Arisan merupakan salah satu cara mereka menabung dan strategi adaptasi
komunitas. Arisan dapat diikuti namun tidak diwajibkan untuk seluruh rumah tangga nelayan di Desa Rampa dengan membayar Rp30.000,00 setiap hari dengan jumlah arisan yang didapat sebesar Rp6.000.000,00. Uang ini yang kemudian digunakan untuk membeli perahu, jaring ataupun alat tangkap lain maupun bahan bakar dan keperluan melaut lainnya serta keperluan hidup mereka. Kaum perempuan banyak terlibat dalam kegiatan pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk seperti arisan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga. Arisan yang terdapat di Desa Rampa ada beberapa jenis, yaitu Rp50.000,00 / minggu, Rp500.000,00 / bulan maupun Rp100.000,00 / hari. Hanya saja jarang nelayan yang ikut arisan dengan membayar Rp100.000,00 / hari karena dirasa cukup berat dan tidak mampu, sehingga pilihan arisan dengan membayar Rp100.000,00 / hari banyak diikuti oleh para agen dan pedagang besar. g.
Memiliki dan mengganti jenis alat tangkap sesuai musim tangkapan Terkait dengan kondisi iklim, pulau kecil memiliki karakteristik geografis
yang berbeda dengan pulau besar maupun benua, salah satunya adalah suhu udara stabil dan iklim sering berbeda dengan pulau besar terdekat (Bengen, 2002c). Jika terjadi perubahan iklim yang tidak menentu pada pulau besar, maka iklim pada pulau kecil cenderung stabil. Hal ini terlihat dari kemampuan nelayan memprediksi kapan musim tangkap dan kapan musim paceklik, nelayan juga mampu memprediksi kapan musim ikan, cumi, udang windu, kepiting, udang lobster maupun jenis hasil tangkapan lainnya.
64
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan di Desa Rampa dalam menghadapi perubahan musim dengan cara mengganti jenis alat tangkap berdasarkan jenis hasil tangkap sesuai musim dan memiliki lebih dari satu jenis alat tangkap untuk masing-masing musim hasil tangkap. Wilayah tangkap nelayan Desa Rampa lebih luas termasuk Selat Sebuku dan Selat Makassar. Tangkapan utama nelayan di Desa Rampa adalah udang, cumi dan ikan. Strategi yang dilakukan oleh nelayan yaitu menyesuaikan jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap udang, cumi maupun ikan berbeda. Ketika musim udang windu dari bulan Januari hingga bulan Mei, maka jaring yang mereka gunakan adalah lampara dasar mini dengan mata jaring lebih kecil untuk udang kecil dan menggunakan gondrong / rengge / tramell nett untuk udang yang berukuran besar. Pada jangka waktu bulan yang sama, dengan menggunakan jenis alat tangkap lampara dasar mini dengan ukuran mata jaring yang lebih besar untuk menangkap cumi-cumi. Musim ikan ada pada setiap musim, namun untuk ikan jenis habu-habu maupun ikan selangat ada pada jangka waktu bulan Juni hingga Desember, dengan jenis alat tangkap menggunakan gill nett. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak SB pada tanggal 15 Maret 2011. “Kalo air lagi besar kita cari udang, alat yang kita pake ya gondrong, tapi kalo lagi ga musim udang kita tetep kelaut cari ikan pake alatnya pancing ikan, kalo ikan ga ada musimnya, ada terus disini. Nah, kalo lagi musim cumi baru kita “narik” (menggunakan jenis alat tangkap lampar dasar mini). Tetapi kalo lagi ga musim udang atau cumi ya kita bisa aja cari lobster atau kepiting. Jadi kita disini pake alat tangkapnya sesuai musim tangkap.” Berbeda dengan keadaan nelayan di Desa Rampa, nelayan di Desa Sekapung tidak dapat melaut jika terjadi musim angin tenggara atau musim paceklik. Pada saat ini angin bertiup kencang menyebabkan ombak besar tidak memungkinkan bagi nelayan untuk tetap pergi ke laut satu hari penuh, mereka hanya pergi hingga siang atau menjelang siang, namun beberapa nelayan memilih tidak pergi ke laut sama sekali ketika musim angin tenggara. Hal ini juga karena letak geografis Desa Sekapung berada di ujung sebelah selatan dan langsung berhadapan dengan Selat Makassar sebagai wilayah tangkap. Sebagaimana hasil wawancara dengan bapak DL pada tanggal 19 Maret 2011.
65
“Wah kalo udah masuk bulan 6 (Juni) pang nelayan disini mulai jarang turun ke laut, Mbak. Apalagi bulan 7 (Juli) dan 8 (Agustus), umaa. Soalnya disini pernah gin ada kapal nelayan yang tenggelam kebawa ombak waktu melaut sampe 2 hari di laut baru ketemu, Mbak. Serem juga, daripada nyawa yang jadi korban mending diem aja di rumah ga usah ke laut.” h.
Jenis armada tangkap yang digunakan Beberapa nelayan yang masih menggunakan dayung sampan di Desa Rampa
hanya menggunakan rengge / gondrong / tramel nett dengan 5 hingga 7 payah untuk menangkap udang windu, sedangkan beberapa nelayan perahu dayung sampan lainnya memiliki berbagai jenis alat tangkap termasuk jaring untuk mencari tangkapan di laut, hanya saja wilayah tangkap nelayan dayung sampan tidak sejauh nelayan yang sudah menggunakan Kapal Motor (KM) dengan mesin motor berkekuatan 20 PK hingga 30 PK. Berbeda dengan nelayan di Desa Rampa, nelayan di Desa Sekapung hanya menangkap udang windu dan ikan tenggiri. Armada yang mereka gunakan jenis Kapal Motor (KM) dengan kekuatan antara 20 PK hingga 30 PK, namun jenis alat tangkap yang mereka gunakan untuk menangkap udang windu yang berukuran besar dan pancing ikan atau biasa disebut pancing tonda untuk menangkap ikan tenggiri, sehingga pendapatan yang dapat diperoleh oleh nelayan di Desa Sekapung tidak sama dengan pendapatan yang dapat diperoleh oleh nelayan di Desa Rampa. i.
Merawat perahu, mesin kapal dan membenahi jaring Pekerjaan yang dilakukan oleh nelayan ketika sedang tidak melakukan
aktifitas melaut di kedua desa adalah merawat perahu dan mesin kapal serta membenahi jaring. Hal ini dilakukan agar perahu tidak cepat rusak dan jaring dapat digunakan kembali pada penangkapan selanjutnya. Jaring hanya dapat digunakan selama satu musim saja, sehingga untuk musim berikutnya nelayan harus membeli jaring yang baru karena sudah tidak dapat digunakan. Jaring yang dibutuhkan dapat mencapai 5 hingga 17 payah sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing nelayan, dengan harga satu payah mencapai Rp125.000,00-Rp250.000,00.
66
j.
Mencari kerang merah, memancing ikan dan membentang jaring (merempa) Pada saat paceklik, nelayan di Desa Rampa hanya 2 sampai 7 hari saja
istirahat di rumah ketika terjadi gelombang besar, beberapa pekerjaan yang dilakukan ketika tidak ke laut yaitu mencari kerang merah atau kerang darah dengan harga jual bervariasi tergantung ukuran kerang, memancing ikan di muara sungai, merempa8, mencari dan menjual kayu bakar dari hutan bahkan beberapa nelayan membuat sendiri perahu sampan, baik untuk mereka gunakan sendiri maupun untuk mereka jual dan menambah penghasilan keluarga. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak IH pada tanggal 17 maret 2011. “Saya membuat perahu untuk dipakai sendiri saja, untuk pergi ke laut, sebelumnya saya sudah menjual 12 perahu yang sama (perahu sampan) karena kalo beli sendiri mahal, bisa sampai Rp400.000,00-Rp500.000,00, kalo bikin sendiri kan tinggal beli kayunya saja paling Rp200.000,00-Rp250.000,00 juga cukup, alatnya saya pinjam punya sodara saya.” Jangka waktu istirahat tidak melaut para nelayan di Desa Sekapung lebih panjang dibandingkan dengan nelayan di Desa Rampa, bahkan hingga berbulanbulan terutama ketika musim paceklik atau musin angin tenggara. Pekerjaan yang dilakukan nelayan hanya santai di rumah bersama keluarga hingga gelombang di laut mulai tenang, beberapa nelayan melakukan aktifitas merempa di sisi-sisi pantai ketika air laut surut agar saat terjadi air pasang, ikan yang terbawa ke sisi pantai tersangkut pada jala / jaring yang di pasang tersebut. Selain merempa, beberapa nelayan melakukan aktifitas memancing ikan di pinggir-pinggir pantai, ikan maupun biota laut yang didapat biasanya hanya mencukupi untuk dikonsumsi keluarga saja. Sebelum adanya perusahaan tambang, hampir seluruh nelayan di Desa Sekapung masing-masing memiliki bagan tancap di laut untuk menjaring cumi dan ikan teri. Kayu yang digunakan untuk membuat bagan tancap dapat dengan mudah mereka peroleh dari hutan di Pulau Sebuku, namun selama 5 tahun terakhir terdapat larangan bagi masyarakat untuk menebang pohon di hutan, mereka yang 8
Merempa adalah kegiatan membentangkan jaring di sepanjang sisi-sisi pantai ketika air laut surut dengan tujuan menjaring ikan, karena ketika air laut pasang maka ikan terbawa arus ke sisi pantai dan terjaring di dalam jaring yang dibentang nelayan.
67
melakukan penebangan pohon di hutan Pulau Sebuku akan dikenai sanksi yang cukup tegas. Hal ini menyebabkan jumlah bagan tancap yang ada mulai berkurang. Selain karena adanya larangan menebang pohon juga karena modal yang dibutuhkan untuk membuat bagan tancap tidak sedikit, sedangkan pendapatan nelayan di Desa Sekapung sudah semakin menurun terutama ketika masuknya perusahaan tambang batubara yang berlokasi paling dekat dengan Desa Sekapung. Bagan tancap yang tersisa dimiliki oleh nelayan-nelayan yang termasuk kategori kaya dan mayoritas dari bagan tancap tersebut adalah milik masyarakat dari desa lain diluar masyarakat Desa Sekapung. Bagan tancap akan rusak bahkan rubuh ketika terjadi ombak besar. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak DH pada tanggal 17 Maret 2011. “Dulu disini banyak bagan sampai tidak terhitung di laut sana. Semua nelayan di sini punya bagan tancap. Cuma sekarang aja mulai sakit. Masyarakat ga boleh lagi nebang pohon sembarangan di hutan, kalo ketahuan bisa-bisa kena sangsi. Ketat sekarang aturannya. Sudah kayu nya sulit didapat, biaya membuatnya juga mahal, makin “sakit” saja. Nah kelihatan sekarang sisa bagan tancap yang ada di laut itu tidak sebanyak dahulu. Belum lagi kalo ombak sedang kencang, bisa-bisa sampe rubuh itu bagan nelayan. Sekarang sisa bagan ya sudah bukan bagan milik nelayan lagi, yang punya duit aja sama punya perusahaan.” Strategi berhutang pada agen pengumpul, toko maupun warung merupakan kegiatan yang termasuk dalam kategori non-produktif. Strategi yang dilakukan oleh nelayan di Desa Rampa dan Desa Sekapung untuk memenuhi keperluan operasional melaut maupun kebutuhan sehari-hari pada musim paceklik dapat dengan cara berhutang, baik hutang pada agen pengumpul maupun toko atau warung. Sebagian besar nelayan di Desa Rampa masih memiliki hutang. Mereka berhutang terutama ketika sedang tidak mendapat hasil tangkapan ataupun hasil yang didapat dalam satu kali trip hanya sedikit, maka tidak ada penghasilan bersih yang dapat dibawa pulang ke rumah karena habis digunakan untuk menutupi biaya operasional dan biaya kebutuhan makan dan rokok selama di laut. Kekurangan modal untuk membeli alat tangkap nelayan akan dipinjamkan dari Agen pengumpul, tetapi nelayan menjadi terikat pada agen pengumpul untuk menjual hasil tangkapnya. Setiap hasil penjualan dipotong dengan cicilan hutang
68
setiap kali melakukan transaksi jual hasil tangkapan. Harga jual ditentukan oleh agen secara sepihak. Harga yang diberlakukan tidak berbeda antara agen satu dengan agen lainnya, namun tiga perempat dari harga apabila langsung menjualnya ke kota. Walaupun demikian agen pengumpul ini berperan besar dalam sistem perekonomian di desa, karena tidak terdapat lembaga lainnya seperti Koperasi Unit Desa (KUD) maupun Tempat pelelangan Ikan (TPI). Terdapat sebanyak 5 agen di Desa Rampa. Nelayan yang sudah terikat pada salah satu agen tidak dapat menjual hasil tangkapannya pada agen lain, kecuali nelayan sudah melunasi hutangnya ataupun agen baru bersedia melunasi hutang nelayan pada agen lama (terikat sebelumnya). Beberapa nelayan di Desa Sekapung tetap melakukan kegiatan penangkapan di sekitar “perumahan bule” ketika musim paceklik atau musim angin barat hingga pukul 09.00 WIT atau 10.00 WIT. Hanya saja sebagian besar nelayan di Desa Sekapung lebih banyak yang memilih tidak turun ke laut ketika musim paceklik atau musim angin barat karena besarnya gelombang, namun mereka juga tidak banyak melakukan aktifitas pekerjaan lain selain turun kelaut dan hanya bersantai serta mengobrol dengan tetangga lain sedangkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari mereka mengandalkan berhutang pada warung dan melunasinya ketika mendapat pemasukan dari hasil penjualan tangkapan. Berdasarkan uraian diatas, bahwa semakin nelayan berada dalam kondisi “miskin” maka semakin banyak strategi adapatasi yang dilakukan untuk menutupi kebutuhan hidup, sedangkan nelayan yang tidak termasuk dalam kondisi “miskin” tetap melakukan strategi hanya saja tujuannya bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan namun mengakumulasi modal yang mereka miliki.
5.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat “Kemiskinan” dan Strategi Adaptasi Nelayan Di Pulau Sebuku Kusnadi (2002) dalam Karunia (2009) menyatakan bahwa kemiskinan dan
tekanan sosial maupun ekonomi yang dihadapi nelayan berakar pada faktor kompleks yang saling terkait. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat “kemiskinan” baik di Desa Rampa maupun di Desa Sekapung, diantaranya :
69
a.
Kondisi alam / natural Faktor kondisi alam diantaranya wilayah tangkap dan jenis tangkapan. Hal
ini karena berkaitan dengan potensi sumberdaya. Secara struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa, Desa Rampa dan Desa Sekapung merupakan desa nelayan. Hal ini karena secara geografis letak kedua desa tersebut langsung berdekatan dengan laut bahkan dikelilingi oleh laut, sehingga mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan yang memanfaatkan dan sekaligus bergantung dari sumberdaya laut dan perikanan. Letak Desa Rampa di ujung sebelah utara Pulau Sebuku, sedangkan letak Desa Sekapung di ujung sebelah selatan dari Pulau sebuku. Kedua desa terletak pada pulau yang sama, namun pendapatan maksimal yang dapat diperoleh nelayan sangat berbeda. Rata-rata pendapatan nelayan di Desa Rampa dapat mencapai Rp6000.000,00 / bulan pada saat musim, sedangkan pendapatan nelayan di Desa Sekapung mencapai Rp3000.000 / bulan pada musim dan jenis tangkapan utama yang sama, yaitu udang windu. Perbedaan pendapatan yang diperoleh antara kedua desa tersebut karena wilayah tangkap nelayan Desa Sekapung tidak seluas wilayah tangkap nelayan di Desa Rampa. Wilayah tangkap ikan tenggiri nelayan di Desa Sekapung di sepanjang Selat Makassar, sedangkan lokasi utama penangkapan udang windu terpusat disekitar “perumahan bule”. Pada awalnya nelayan di Desa Sekapung menangkap udang windu di “perumahan bule” dan Pulau Haur. Pulau Haur merupakan salah satu lokasi penangkapan udang windu yang strategis bagi nelayan di Desa Sekapung sebelum perusahaan mengadakan operasi bongkar muat batubara di laut. Adanya operasi bongkar muat batubara menyebabkan aktifitas nelayan mencari tangkapan di Pulau Haur menjadi berkurang. Letak Pulau Haur dekat dengan lokasi bongkar muat material batubara di laut oleh perusahaan tambang di Pulau Sebuku, material yang jatuh ke laut berdampak pada perpindahan biota laut sehingga mengurangi jumlah biota yang ada di sekitar. Hal ini berpegaruh terhadap jumlah tangkapan nelayan yang kemudian berdampak pula pada pendapatan yang dapat diperoleh nelayan karena berkurangnya ketersediaan udang di lokasi. Nelayan yang melabuhkan jaring di sekitar lokasi bongkar muat beresiko merusak jaring karena tersangkut batubara yang terjatuh ke laut, sedangkan nelayan mengandalkan alat
70
tangkap untuk menjaring tangkapan. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak DN di Desa Sekapung pada tanggal 29 Maret 2011. “Mulai tahun 2005 pendapatan nelayan disini bakurang, pang sampai 85%. Kalo kada percaya takunakan haja lawan nelayannelayan disini. Limbah sama material barubara nang gugur waktu bongkar muat di laut jelas, jadi undang, cumi lawan iwak susah dicari. Nelayan wayah ini kasian, Mbak. Mau minta ganti rugi lawan perusahaan hanyar janji-janji haja pang, buktinya sampai wayah ini gin kadada jua.” “Mulai tahun 2005 pendapatan nelayan disini berkurang sampai 85%. Jika tidak percaya tanya saja dengan nelayan-nelayan disini. Limbah dan material barubara yang jatuh sewaktu bongkar muat di laut jelas merugikan karena udang, cumi dan ikan menjadi susah dicari. Keadaan nelayan kini mengkhawatirkan. Mau minta ganti rugi pada perusahaan hanya janji-janji saja, buktinya sampai sekarang tidak ada.” Keberadaan perusahaan tambang membawa dampak baik bagi masyarakat maupun bagi lingkungan, baik positif maupun negatif. Adapun gambaran lokasi tangkap nelayan di Desa Sekapung disajikan dalam Gambar 4.
71
Gambar 4. Sketsa Lokasi Tangkap Nelayan Desa Sekapung
72
Wilayah tangkap nelayan di Desa Rampa lebih luas daripada wilayah tangkap nelayan di Desa Sekapung. Lokasi tangkap udang windu nelayan di Desa Rampa terdiri dari beberapa, yaitu mulai dari Nusantara, Gusung Bangau dan daerah Karang hingga sepanjang Selat Makassar termasuk sekitar “perumahan bule”. Hanya saja yang menjadi lokasi utama tangkap udang windu adalah Gusung Bangau dan daerah Karang. Nelayan di Desa Rampa juga menangkap cumi-cumi, ikan selangat dan ikan habu-habu, mereka menangkap ikan selangat di sepanjang Selat Sebuku hingga Pulau Manti, sedangkan lokasi tangkap cumi-cumi sekaligus udang bubuk mulai dari Nusantara, daerah Karang, Tanjung Parapat, Kumpyor hingga Tanjung Gunung. Berdasarkan lokasi tangkap nelayan, posisi desa mempengaruhi jarak yang harus ditempuh oleh nelayan menuju lokasi tangkap. Desa Rampa tertetak di ujung Utara Pulau Sebuku, banyak lokasi tangkap yang tersebar di bagian utara Pulau Sebuku, sehingga berpengaruh terhadap wilayah tangkap nelayan di Desa Rampa yang lebih strategis karena mencakup Selat Makassar dan juga Selat Sebuku, sedangkan letak Desa Sekapung yang terletak di ujung selatan Pulau Sebuku dan wilayah tangkap nelayan lebih terbatas karena jarak yang ditempuh menuju bagian utara cukup jauh dan membutuhkan lebih banyak minyak / bahan bakar dibandingkan dengan nelayan di Desa Rampa. Hal ini berpengaruh terhadap jumlah tangkapan yang dapat diperoleh. Nelayan di Desa Rampa dapat tetap melakukan aktifitasnya ke laut walaupun sedang terjadi musim angin tenggara atau musim paceklik, mereka menangkap hasil laut dari Selat Sebuku karena terlindung oleh Pulau Sebuku sehingga waktu istirahat nelayan ketika paceklik tidak berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Pada saat musim tangkap atau pancaroba, wilayah tangkap nelayan di Desa Rampa dapat berpindah ke Selat Makassar. Sebagian besar dari nelayan di Desa Rampa menggunakan jenis alat tangkap lampara dasar mini, sehingga kesempatan mendapat hasil tangkapan dalam jumlah banyak sangat besar. Berbeda dengan kondisi nelayan di Desa Sekapung yaitu wilayah tangkap hanya di Selat Makassar dan tidak terdapat pulau lain yang melindungi pada saat
73
musim angin tenggara dari bulan Juni hingga bulan Desember sehingga nelayan istirahat dari aktifitas melaut dan mengandalkan pekerjaan lain di luar turun ke laut. Hanya saja beberapa nelayan tetap pergi kelaut pada saat musim angin tenggara, namun hanya setengah hari pukul 05.00 WIT hingga pukul 10.00 WIT. Baik di Desa Rampa maupun di Desa Sekapung tidak ada kebijakan yang ditujukan khusus untuk kehidupan nelayan, kebijakan yang ada hanya ditujukan bagi kebutuhan masyarakat desa secara umum seperti infrastruktur desa, seperti sekolah, jalan, saluran air bersih maupun sarana dan prasarana umum lainnya. Tidak terdapat Koperasi Unit Desa (KUD) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk membantu positioning nelayan dalam menentukan harga jual hasil tangkap, sehingga hasil tangkap nelayan langsung dijual pada agen / pengumpul / pembeli yang ada di masing-masing desa tersebut dengan harga yang telah ditentukan. Hal ini berdampak pada jumlah pendapatan yang diperoleh oleh nelayan dari hasil penjualan tangkapan. Jenis tangkapan nelayan berpengaruh terhadap pendapatan yang dapat mereka peroleh. Pendapatan yang diperoleh berpengaruh terhadap kondisi ekonomi nelayan. Hal ini karena udang windu adalah tangkapan utama nelayan Desa Sekapung dan Desa Rampa selain itu harga jual yang ditawarkan oleh agen di Desa Rampa relatif lebih tinggi daripada harga jual yang ditawarkan oleh agen di Desa Sekapung. Lokasi tangkap nelayan Desa Rampa disajikan dalam Gambar 5.
74
75
b.
Gambar 5. Sketsa Lokasi Tangkap Nelayan Desa Rampa Faktor effort nelayan / kultural Perbedaan pendapatan yang diperoleh nelayan di Desa Sekapung dan
nelayan di Desa Rampa terlihat pula dari jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap cumi-cumi. Jika di Desa Sekapung lebih mengandalkan bagan tancap untuk menjaring cumi-cumi dan ikan teri bagi yang memiliki bagan, namun di Desa Rampa nelayan menangkap cumi-cumi ketika hasil tangkapan udang windu mulai menurun. Jenis alat tangkap mempengaruhi hasil tangkap yang dapat diperoleh, jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Desa Sekapung adalah rengge / gondrong / tramel nett untuk menangkap udang windu, bagan tancap untuk menangkap cumi-cumi dan ikan teri serta pancing tonda untuk menangkap ikan tenggiri, namun tidak ada yang menggunakan lampara dasar mini dan gill nett (jaring ikan), sehingga jumlah hasil tangkap yang dapat diperoleh tidak sebanyak nelayan yang mengunakan lampara dasar mini dan gill nett (jaring ikan) untuk menangkap cumi-cumi dan ikan pada nelayan di Desa Rampa. Nelayan di Desa Rampa menggunakan lampara dasar mini untuk menangkap cumi-cumi sekaligus udang bubuk (udang berukuran kecil). Hanya saja alat tangkap yang digunakan untuk menangkap udang windu di Desa Rampa sama dengan Desa Sekapung, yaitu rengge / tramel nett atau disebut gondrong, sehingga pendapatan yang diperoleh menjadi berbeda antara nelayan di Desa Sekapung dengan nelayan di Desa Rampa. Hal ini terkait dengan kesepakan pada nelayan di Desa Sekapung yang tidak memperbolehkan nelayan menggunakan jenis alat tangkap lampara dasar mini. Lokasi tangkap cumi-cumi dan udang bubuk pada nelayan di Desa Rampa sebagaimana disajikan dalam Gambar 6.
76
77
Gambar 6. Sketsa Lokasi Tangkap Cumi-cumi dan Udang Bubuk Nelayan Desa Rampa Armada tangkap nelayan di Desa Rampa sama seperti di Desa Sekapung, yaitu jaring atau rengge / gondrong / tramel nett dengan armada tangkap Kapal Motor (KM) berkekuatan 20 – 30 PK. Beberapa nelayan di Desa Rampa masih menggunakan perahu dayung sampan untuk melakukan aktifitas melaut, mereka yang masih menggunakan perahu sampan dikategorikan sebagai nelayan yang termasuk dalam golongan miskin karena jangkauan lokasi tangkap lebih terbatas daripada nelayan yang menggunakan kapal motor (KM). Selain itu, alat tangkap yang mereka gunakan hanya rengge / gondrong / tramel nett dengan ukuran yang lebih kecil yaitu hanya 5 hingga 7 payah. Bahkan beberapa memiliki alat tangkap yang kualitasnya sudah tidak baik jika digunakan untuk menangkap udang karena sudah mulai rusak sehingga udang tidak terjaring. Harga kapal motor yang sudah lengkap adalah sekitar Rp 10.000.000,00 dan nelayan yang menggunakan perahu dayung sampan adalah nelayan yang cenderung sudah tua maupun nelayan yang tidak banyak memiliki tanggungan keluarga, mereka tidak mampu membeli kapal motor selain karena harganya yang mahal juga karena mereka sudah tidak kuat untuk menghidupkan mesin dan turun kelaut hanya sekedar hobi maupun untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja. Perbedaan pendapatan antara nelayan satu dengan lainnya di Desa Rampa adalah rajin tidaknya seseorang pergi ke laut mencari hasil tangkapan, sehingga faktor malas dan pasrah juga boros pada nelayan merupakan salah satu penyebab mereka berada dalam kondisi miskin secara kultural yang relatif ukurannya di desa tersebut. Hal ini karena nelayan yang menggunakan perahu dayung sampan juga dapat memiliki pendapatan yang besar terutama ketika sedang musim jika mereka rajin turun ke laut. Tidak jauh berbeda, faktor rajin tidaknya nelayan di Desa Sekapung juga mempengaruhi pendapatan nelayan yang kemudian menentukan apakah seseorang berada dalam kondisi miskin secara kultural yang relatif di Desa tersebut. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak ZA di Desa Rampa pada tanggal 28 Maret 2011. “Nelayan disini enak sebenarnya, Mbak. Bisa ke laut terus, hasil juga sebenarnya ada terus walaupun musim sakit tapi bisa dapat Rp20.000,00-Rp50.000,00 dalam satu kali turun, asal mau turun aja.
78
Mereka tinggal sesuaikan jaring yang digunakan. Cuma kan yang namanya orang ya, ada yang turun terus ada juga yang istirahat saja dirumahnya.” Kemampuan mengatur keuangan rumah tangga merupakan faktor lain yang menyebabkan kemiskinan. Hal ini mengingat pendapatan nelayan yang berfluktuasi dan tidak tetap, sehingga nelayan terutama istri nelayan bertanggung jawab terhadap pengaturan dan penggunaan keuangan rumah tangga. Kemampuan mengatur keuangan dengan bijak menentukan kemampuan memenuhi kebutuhan keluarga. Nelayan akan terjebak dalam kondisi kemiskinan dan serba kekurangan ketika pengeluaran lebih tinggi daripada pendapatan, dimana pendapatan terbesar digunakan untuk konsumsi yang berlebihan tanpa memikirkan apa yang akan terjadi dengan esok hari, lusa dan masa depannya. Nelayan cenderung bersifat konsumtif dalam menggunakan keuangan keluarga terhadap barang-barang elektronik, namun sebagian nelayan menghabiskan seluruh pendapatannya hanya untuk keperluan sehari-hari seperti makanan dan kebutuhan operasional melaut. Sebagaimana hasil wawancara dengan Ibu HD pada tanggal 28 Maret 2011. “Aku baisi tiga kapal, abahnya satu, anak-anak baisi masingmasing sebuting. Ongkos sabuah kapal sehari haja bisa Rp100.000,00 tamasuk nukar minyak, nasi lawan wadai. Pandapatan sahari sebuting balapan bisa Rp50.000,00 sampai Rp115.000,00 tarus bisa jua kadada dapat, minyak gin kada tebulik. Anak ulun nang paling halus kalas 2 SD sangunya haja ka sakolahan Rp10.000,00 kaina bulik sakola Rp10.000,00 lagi gasan balanjanya. Ulun nang panting bisa makan hari ini haja, kada mamikirakan menukar emas atau membaiki rumah, esok kalo kada dapat hasil bahutang dahulu lawan bos, kaina kalo sudah ada dapat hanyar dibayar.” (saya punya tiga balapan, suami saya satu, anak saya masingmasing juga punya satu. Pengeluaran untuk satu balapan dalam satu hari sekitar Rp100.000,00 termasuk untuk minyaknya dan bekal (makanan dan cemilan), sedangkan satu balapan bisa mendapat Rp50.000,00 sampai Rp 115.000,00 dalam satu hari, namun bisa juga tidak dapat. Anak saya yang paling kecil kelas 2 SD, setiap hari bekal sekolah Rp10.000,00, setelah pulang sekolah jajan lagi Rp10.000,00. Saya sih yang penting bisa makan hari ini, ga mikirin beli emas atau perbaiki rumah, besok kalo ga dapat hasil, ya ngutang dulu sama bos).
79
Faktor yang mempengaruhi strategi adaptasi nelayan baik di Desa Rampa maupun di Sekapung, diantaranya : a.
Tingkat pendidikan Terkait dengan masuknya perusahaan tambang di pulau sebuku, dampaknya
dirasakan oleh seluruh masyarakat Pulau Sebuku termasuk pada kehidupan nelayan terutama berkaitan dengan mata pencaharian nelayan, dimana hasil tangkapan nelayan menjadi berkurang daripada sebelumnya. Hal ini karena masuk dan beroperasinya perusahaan tambang di Pulau Sebuku baik langsung maupun tidak langsung limbah buangan yang tidak dikelola dengan baik akan berakhir ke laut mengingat Pulau Sebuku merupakan pulau kecil yang dikelilingi oleh laut. Hal ini berdampak pada matinya biota laut tangkapan nelayan dan mengurangi jumlah tangkapan nelayan yang ada di laut. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar kesempatan bekerja di perusahaan tambang sebagai strategi, mereka mendapat jaminan pendapatan setiap bulan ketika bekerja di perusahaan. Dilihat dari kesempatan kerja di perusahaan tidak banyak berpengaruh terhadap nelayan di Desa Rampa, hal ini karena nelayan tidak memenuhi persyaratan bekerja di perusahaan akibat masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan / skill yang dimiliki (kualitas SDM) masyarakat Desa Rampa yang mayoritas adalah nelayan yang menggantungkan hidup dari sumberdaya laut dan perikanan. Selain itu, nelayan tidak memiliki pengalaman bekerja di perusahaan. Namun yang terjadi di Desa Sekapung, sebagian besar masyarakat termasuk nelayan terserap bekerja di perusahaan tambang sekitar pada saat perusahaan baru didirikan, kini karena ketatnya persyaratan dan terjadi pergantian manajemen, maka banyak karyawan yang kembali menjadi nelayan. Beberapa nelayan memang mengundurkan diri dari perusahaan dan kembali menjadi nelayan karena alasan lain, baik karena ketidakcocokan upah, aturan yang mengikat maupun pekerjaan yang terlalu berat. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak SR pada tanggal 29 Maret 2011. “Saya dulu sempat kerja di perusahaan selama 7 tahun, tapi ya keluar masuk di beberapa perusahaan. Saya ngumpulin modal aja buat beli balapan sama rengge, soalnya balapan dan rengge saya pernah hilang. Jadi daripada ga ada yang bisa dikerjain, saya cobacoba melamar, ngumpul-ngumpul modal buat beli balapan sama
80
rengge lagi. Malah saya sudah diangkat jadi karyawan permanen. Tapi ga enak Mbak, bangun jam 7 dimarahin, banyak aturan. Mending jadi nelayan aja terserah kita mau berangkat kapan ga ada yang marah.” Selain itu, terdapat warga yang bekerja di perusahaan dan masih menjadi nelayan. Mereka tidak dapat meninggalkan aktifitas sebagai nelayan walaupun sudah menjadi karyawan tetap dengan jaminan fasilitas kesehatan dari perusahaan. Bekerja sebagai nelayan tetap dilakukan walaupun menjadi sampingan ketika sedang off maupun pergantian shift malam di perusahaan. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak MS pada tanggal 30 Maret 2011. “Pekerjaan sih enak di perusahaan, tenaganya ga banyak terkuras, gajinya juga jelas setiap bulan pasti ada. Kalo nelayan ga tentu, Dek. Terkadang dapat bisa lebih daripada perusahaan tapi terkadang juga sakit. Tapi kalo nelayan ga terikat aturan. Jadi saya tetap kelaut kalo lagi off atau kalo lagi shift malam, kan siangnya kosong jadi bisa kelaut dulu sampai jam 14.00 wit, setelah itu kalo mau istirahat ya istirahat dulu.“ b.
Kondisi Iklim / natural Kondisi iklim pada nelayan di Desa Sekapung lebih besar pengaruhnya
dibanding pada nelayan di Desa Rampa, hal ini terkait dengan posisi desa di Pulau Sebuku dan wilayah penangkapan sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya. Nelayan hanya turun ke laut setengah hari bahkan tidak turun sama sekali ketika musim angin tenggara atau disebut musim paceklik. Nelayan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut dan perikanan, sehingga penghasilan nelayan ketika paceklik lebih rendah bahkan tidak ada sama sekali. Disisi lain, kebutuhan hidup adalah setiap hari dan tidak berhenti, untuk memenuhinya nelayan melakukan berbagai strategi adaptasi.
5.4
Sikap Nelayan Terhadap Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim Di Pulau Sebuku Sikap nelayan baik terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya
perusahaan tambang dan kondisi iklim di Pulau Sebuku dibagi dalam dua kategori berdasarkan jumlah skor dari jawaban masing-masing responden, yaitu negatif
81
untuk skor 0 hingga 20 dan positif untuk skor 21 hingga 40. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner di lapang pada sebanyak 60 responden di dua desa nelayan yaitu Desa Rampa dan Desa Sekapung didapatkan hasil yang disajikan dalam tabel 7. Tabel 5. Persentase Sikap Nelayan Terhadap Aspek Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim di Desa Rampa dan Desa Sekapung. Desa (%) Total (%) Desa Rampa Desa Sekapung Aspek / isu Positif Kebijakan
Negatif
Positif
Negatif
Positif
Negatif
8,3
41,7
15
35
23,3
76,7
8,3
41,7
18,3
31,7
26,6
73,4
31,7
18,3
31,7
18,3
63,4
36,6
Otonomi Daerah Masuknya Perusahaan Tambang Kondisi Iklim
Berdasarkan tabel 6, sebanyak 76,7% nelayan memiliki sikap negatif terhadap kebijakan otonomi daerah di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 41,7 % nelayan berasal dari Desa Rampa dan 35 % nelayan berasal dari Desa Sekapung. Hal ini karena tidak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah. Bahkan nelayan merasa pengelolaan sumberdaya sebelum otonomi daerah justru lebih baik daripada setelah otonomi daerah. Hasil tangkapan nelayan sejak 10 tahun yang lalu bersamaan dengan otonomi daerah tidak lebih banyak daripada sebelumnya bahkan wilayah tangkap setelah otonomi daerah semakin jauh daripada sebelumnya. Hal ini terkait dengan berkurangnya hasil tangkap yang dirasakan terutama semenjak masuknya perusahaan tambang karena limbah, sehingga nelayan harus mencari hasil tangkapan di lokasi yang lebih jauh daripada sebelumnya. Selain itu, belum ada program maupun bantuan yang ditujukan khusus bagi kehidupan nelayan di Pulau Sebuku. Nelayan merasa tidak dibantu dan diperhatikan oleh pemerintah daerah karena kebutuhan dan keluhan yang
82
mereka adukan tidak ditanggapi terutama berkaitan dengan kerugian yang dirasakan nelayan karena kehadiran perusahaan tambang yang melakukan operasinya di Pulau Sebuku. Selain itu, peraturan mengenai batas-batas wilayah tangkap dan jalur penangkapan yang diberlakukan sejak sebelum otonomi daerah, sanksinya tidak ditegakkan, sehingga banyak nelayan yang melanggar dan tidak ada sanksi yang membuat mereka jera. Sebanyak 23,3% nelayan memiliki sikap positif terhadap kebijakan otonomi daerah di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 8,3% nelayan berasal dari Desa Rampa dan 15% nelayan berasal dari Desa Sekapung. Hal ini terkait dengan adanya salah satu anggota keluarga maupun sanak saudara yang bekerja sebagai perangkat desa dan merasa bahwa kebijakan kebijakan yang dibuat sudah dirasakan manfaatnya oleh semua lapisan masyarakat, yaitu program bantuan pemerintah untuk masyarakat secara umum di Pulau Sebuku seperti pembangunan fasilitas umum dan infrastruktur desa walaupun belum ada program yang langsung ditujukan bagi kehidupan nelayan. Sebanyak 73,4% nelayan memiliki sikap negatif terhadap masuknya perusahaan tambang di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 41,7 % nelayan berasal dari Desa Rampa dan 31,7 % nelayan berasal dari Desa Sekapung. Hal ini karena masuknya perusahaan tambang di Pulau Sebuku dirasa merugikan nelayan, terlihat dari ketidaksetujuan nelayan jika perusahaan tambang harus tetap beroperasi di Pulau Sebuku. Terkait dengan limbah perusahaan yang mengalir terbawa air hujan ke muara sungai dan diteruskan ke laut. Limbah yang mengalir ke laut lepas mengganggu biota laut. Hal ini berdampak pada jumlah tangkapan yang dapat diperoleh nelayan menjadi berkurang. Selain jumlah tangkapan yang berkurang, wilayah tangkap nelayan juga semakin jauh. Semakin jauh lokasi penangkapan maka akan semakin banyak minyak / bahan bakar yang dibutuhkan untuk menjalankan kapal, sedangkan masuknya perusahaan tambang tidak membantu memenuhi kebutuhan hidup nelayan. Selain limbah yang teralirkan menuju ke laut, perusahaan juga melakukan operasi bongkar muat material hasil tambang di laut. Material yang terjatuh ke laut saat bongkar muat membuat biota laut berpindah ke lokasi lain, selain itu tak jarang pula nelayan yang melabuhkan jaring untuk mencari tangkapan di sekitar lokasi bongkar muat material tambang
83
menjadi rusak karena material yang tersangkut pada jaring nelayan. Selain material yang tersangkut di jaring milik nelayan, kayu yang masih tertancap di dasar laut setelah pembuatan bagan tancap untuk meletakan mesin pengeboran di laut oleh perusahaan terkadang tidak habis dibongkar, akibatnya nelayan yang beroperasi dan melabuhkan jaring menjadi rusak karena jaring tersangkut pada kayu karena ketika pasang kayu tidak terlihat bahkan dapat menyebabkan kapal nelayan tertabrak kayu dan tenggelam. Hal ini telah dilaporkan dan diminta pertanggungjawabannya kepada perusahaan, pada awalnya perusahaan memberi ganti rugi, hanya saja pada kasus yang sama dan terjadi pada nelayan lainnya menjadi tidak diperdulikan karena dianggap sengaja menabrakan kapal pada kayu agar mendapat ganti rugi dari perusahaan. Jaring adalah alat tangkap yang digunakan nelayan untuk mencari tangkapan sebagai mata pencaharian utama mereka, sedangkan kerusakan pada jaring membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk mengganti dengan jaring yang baru. Harga satu payah mencapai Rp125.000,00-Rp250.000,00. Sebanyak 26,6% nelayan memiliki sikap positif terhadap masuknya perusahaan tambang di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 8,3 % nelayan berasal dari Desa Rampa dan 18,3 % nelayan berasal dari Desa Sekapung. Responden yang memiliki sikap positif sebagian besar adalah responden yang bekerja pada perusahaan. Hal ini terkait dengan kesempatan kerja dimana tidak semua nelayan memenuhi persyaratan kerja pada perusahaan karena faktor pendidikan dan keterampilan, sedangkan nelayan yang bekerja pada perusahaan mendapat jaminan pendapatan pada setiap bulannya. Selain itu, mereka tetap melakukan aktifitas melaut ketika sedang off / pergantian shift sehingga pendapatan yang mereka dapatkan lebih besar karena berasal dari dua sumber. Besarnya angka yang bersikap positif terhadap masuknya perusahaan tambang di Desa Sekapung lebih banyak daripada nelayan di Desa Rampa. Hal ini karena pada awalnya perusahaan tambang batubara masuk di Pulau Sebuku dan kontraktornya di sekitar Desa Sekapung lebih banyak menyerap tenaga kerja yang berasal dari masyarakat lokal sebelum terjadi pemutihan atau pergantian manajemen perusahaan, sedangkan perusahaan tambang bijih besi dan kontraktornya di sekitar Desa
84
Rampa tidak banyak menyerap tenaga kerja yang berasal dari nelayan di Desa Rampa. Sebanyak 36,6% nelayan memiliki sikap negatif terhadap kondisi iklim di Pulau Sebuku, , dimana sebanyak 18,3 % nelayan berasal dari Desa Rampa dan 18,3 % nelayan berasal dari Desa Sekapung. Responden yang memiliki sikap negatif ini sebagian besar adalah nelayan yang berasal dari Desa Sekapung. Hal ini terkait dengan letak desa secara geografis yang kemudian sangat dipengaruhi musim ketika akan turun ke laut. Desa Sekapung langsung berhadapan dengan laut lepas ke arah Selat Makassar sehingga ketika terjadi angin musim tenggara atau paceklik, nelayan cenderung memilih istirahat dirumah dan tidak turun ke laut, sehingga pendapatan mereka berkurang. Sebanyak 63,4% nelayan memiliki sikap positif terhadap kondisi iklim di Pulau Sebuku, dimana sebanyak 31,7 % nelayan berasal dari Desa Rampa dan 31,7 % nelayan berasal dari Desa Sekapung. Hal ini karena bagi nelayan di Desa Rampa ketika musim angin tenggara atau paceklik tidak mempengaruhi mereka untuk turun ke laut karena posisi desa yang mengahadap ke Selat Sebuku serta terhalang pulau-pulau lainnya sehingga gelombang dan angin cenderung stabil dan mereka tetap dapat melakukan aktifitas penangkapan di laut.
5.4.1. Hubungan Karakteristik Individu Nelayan dengan Sikap terhadap Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim Di Pulau Sebuku Hasil uji Rank Spearman dengan menggunakan alpha 10 % atau sama dengan 0,1 tentang hubungan karakteristik individu nelayan dengan sikap terhadap kebijakan otonomi daerah, sikap terhadap masuknya perusahaan tambang dan sikap terhadap kondisi iklim baik dari nelayan di Desa Rampa maupun di Desa Sekapung berdasarkan karakteristik individu nelayan yang dilihat dari usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut. Karakteristik individu nelayan dibagi menjadi 3 kategori, yaitu rendah, sedang dan tinggi, kecuali pendidikan terakhir yang dikategorikan berdasarkan tingkatan pendidikan yang pernah ditempuh oleh responden. Kategori
85
dari karakteristik individu nelayan dibagi berdasarkan data emic yang ada di lapang. Tabel 6. Hubungan antara Karakteristik Individu Nelayan dengan Sikap Nelayan Terhadap Aspek Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim. Karakteristik individu nelayan Aspek / isu
usia
Tingkat pendapatan
Tingkat
Jumlah
Pengalaman
pendidikan
tanggungan
melaut
keluarga Kebijakan otonomi daerah
.082
.066
.066
-.032
-.117
-.185
-.238
.281*
.057
-.293*
.181
-.113
-.064
.154
.227
Masuknya perusahaan tambang Kondisi iklim Keterangan : **. Korelasi signifikan pada taraf nyata 0.01 *. Korelasi signifikan pada taraf nyata 0.05 Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis, didapatkan angka korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu pengalaman melaut dengan sikap terhadap kondisi iklim adalah sebesar 0,081. Karena P value (Sig. (2-tailed)) < alpha (0,1=10%) maka terima H1, artinya ada korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu pengalaman melaut dengan sikap terhadap kondisi iklim. Hipotesis bahwa semakin tinggi pengalaman melaut maka semakin positif sikap nelayan terhadap kondisi iklim diterima. Artinya ada kecenderungan semakin tinggi atau lama pengalaman nelayan melakukan aktifitas di laut maka semakin positif sikap mereka terhadap kondisi iklim. Nelayan yang semakin tinggi tingkat pengalaman melaut maka semakin baik keterampilan dan pengetahuannya terhadap kondisi di laut. Pengalaman melaut termasuk diantaranya mampu menentukan jenis biota yang sedang musim, dimana lokasi yang strategis untuk melakukan penangkapan dan jenis jaring apa yang digunakan
86
sesuai jenis tangkapan serta mampu membaca keadaan cuaca dan kondisi iklim yang baik untuk turun ke laut. Di samping itu, musim tangkap di Pulau Sebuku cenderung stabil dimana kondisi iklim yang terjadi juga lebih mudah untuk di prediksi. Maka dari itu, semakin tinggi pengalaman akan semakin paham juga pada kondisi di laut. Pemahaman yang baik terhadap kondisi iklim berdampak terhadap jumlah tangkapan yang dapat diperoleh. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis, didapatkan angka korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu tingkat pendidikan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang adalah sebesar 0,030. Karena P value (Sig. (2-tailed)) < alpha (0,1=10%) maka terima H1, artinya ada korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu tingkat pendidikan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang. Hipotesis bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin positif sikap nelayan terhadap masuknya perusahaan tambang diterima. Artinya ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan nelayan maka semakin positif sikap mereka terhadap masuknya perusahaan tambang. Nelayan yang menempuh tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki lebih banyak kesempatan terhadap alternatif jenis pekerjaan yang dapat mereka lakukan di luar nelayan, termasuk bekerja pada perusahaan tambang. Hal ini terkait dengan salah satu syarat untuk bekerja menjadi pegawai di perusahaan tambang sekitar yaitu memiliki ijazah dan atau memiliki kemampuan / skill. Bekerja pada perusahaan memiliki jaminan pendapatan yang pasti pada setiap bulannya. Bahkan, nelayan yang bekerja di perusahaan tambang tetap dapat melakukan aktifitas turun ke laut ketika off dan atau ganti shift kerja, sehingga penghasilan mereka dapat berasal dari dua sumber. Maka dari itu, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik atau positif sikap nelayan terhadap masuknya perusahaan tambang karena mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk bekerja pada perusahaan. Begitu pula sebaliknya, nelayan yang memiliki tingkat pendidikan rendah, maka semakin negatif sikap mereka terhadap masuknya perusahaan tambang. Hal ini karena attachment mereka tinggi pada pekerjaan sebagai nelayan sementara alternatif pada pekerjaan lainnya rendah. Rendahnya attachment ini dikarenakan pekerjaan lain terutama menjadi pegawai di perusahaan tambang sekitar tidak memenuhi syarat ijazah dan kemampuan /
87
skill. Maka dari itu, sikap mereka negatif terhadap masuknya perusahaan tambang karena tidak banyak menyerap tenaga kerja dan kecilnya peluang mereka untuk dapat bekerja di perusahaan tambang ataupun alternatif pekerjaan lain. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis, didapatkan angka korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu tingkat pendapatan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang adalah sebesar 0,067. Karena P value (Sig. (2-tailed)) < alpha (0,1=10%) maka terima H1, artinya ada korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu tingkat pendapatan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang namun hubungannya berbanding terbalik. Hipotesis bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin positif sikap nelayan terhadap masuknya perusahaan tambang diterima. Artinya ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin negatif sikap nelayan terhadap masuknya perusahaan tambang karena hubungannya berbanding terbalik. Tingginya pendapatan yang diperoleh nelayan artinya banyak hasil tangkapan nelayan yang dijual kepada agen. Nelayan yang memiliki tingkat pendapatan tinggi adalah nelayan yang rajin melakukan aktifitas melaut dengan pengalaman melaut yang tinggi. Hal ini terkait dengan kemampuan mereka membaca dan memahami kondisi iklim dan keadaan di laut. Pemahaman yang baik terhadap kondisi iklim dan keadaan di laut berdampak terhadap jumlah tangkapan yang dapat diperoleh. Nelayan yang memiliki tingkat pendapatan dari hasil melaut tinggi merasa nyaman dan menggantungkan hidup untuk tetap bekerja dilaut terkait dengan minimnya kesempatan mereka bekerja di luar menjadi nelayan, sehingga apabila terdapat sesuatu yang mengganggu livelihood mereka di laut, mereka lebih sensitif dan merasa terusik. Terkait dengan hal tersebut, masuknya perusahaan tambang tidak terlepas dari limbah yang berdampak terhadap pencemaran di laut terutama pada biota tangkapan nelayan baik langsung maupun tidak langsung menyebabkan biota yang dapat ditangkap nelayan menjadi berkurang. Maka dari itu, semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin semakin negatif sikap nelayan terhadap masuknya perusahaan tambang. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis, didapatkan angka korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu pengalaman melaut
88
dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang adalah sebesar 0,023. Karena P value (Sig. (2-tailed)) < alpha (0,1=10%) maka terima H1, artinya ada korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu pengalaman melaut dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang, namun hubungannya berbanding terbalik. Hipotesis bahwa semakin tinggi pengalaman melaut maka semakin positif sikap nelayan terhadap masuknya perusahaan tambang diterima. Artinya ada kecenderungan semakin tinggi tingkat pengalaman melaut maka semakin negatif sikap mereka terhadap masuknya perusahaan tambang karena hubungannya berbanding terbalik. Nelayan yang memiliki pengalaman cukup lama di laut mendapat hasil tangkap lebih banyak karena semakin baik keterampilan dan pengetahuannya terhadap kondisi di laut. Pengalaman melaut termasuk diantaranya mampu menentukan jenis biota yang sedang musim, dimana lokasi yang strategis untuk melakukan penangkapan dan jenis jaring apa yang digunakan sesuai jenis tangkapan serta mampu membaca keadaan cuaca dan kondisi iklim yang baik untuk turun ke laut mereka juga menyadari dampakdampak yang dirasakan terutama setelah perusahaan beroperasi di Pulau Sebuku. Nelayan yang memiliki pengalaman tinggi berasal dari golongan nelayan yang cenderung sudah tua. Nelayan yang lebih tua memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, dimana rendahnya tingkat pendidikan maka rendah pula attachment mereka terhadap alternatif pekerjaan lainnya dan semakin kecil pula kesempatan mereka bekerja di luar nelayan termasuk di perusahaan tambang. Nelayan yang memiliki tingkat pendapatan dari hasil melaut tinggi sudah merasa nyaman dan menggantungkan hidup untuk tetap bekerja dilaut terkait dengan minimnya kesempatan mereka bekerja di luar menjadi nelayan, sehingga apabila terdapat sesuatu yang mengganggu livelihood mereka di laut, mereka lebih sensitif dan merasa terusik. Terkait dengan hal tersebut, masuknya perusahaan tambang tidak terlepas dari limbah yang berdampak terhadap pencemaran di laut terutama pada biota tangkapan nelayan baik langsung maupun tidak langsung menyebabkan biota yang dapat ditangkap nelayan menjadi berkurang. Sehingga mereka memiliki sikap yang negatif terhadap masuknya perusahaan tambang. Beberapa variabel tidak memiliki korelasi dengan sikap terhadap faktor eksternal, baik terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan
89
tambang maupun kondisi iklim. Diantaranya adalah usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut dengan sikap terhadap kebijakan otonomi daerah. Karena P value (Sig. (2-tailed)) > alpha (0,1=10%) maka terima Ho, artinya tidak ada korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut dengan sikap terhadap kebijakan otonomi daerah. Hal ini karena otonomi daerah yang berlaku ditandai dengan pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah termasuk dalam bidang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, namun yang terjadi di Pulau Sebuku kebijakan dan aturan dilaut masih mengacu kepada aturan lama sebelum otonomi daerah, belum ada kebijakan yang dibuat untuk mengelola dan mengatur sumberdaya perikanan dan kelautan di era otonomi daerah. Selain itu, tidak ada program maupun bantuan yang ditujukan khusus bagi kehidupan nelayan. Pemberian kewenangan dari pusat pada daerah tidak berdampak apa-apa terhadap kehidupan nelayan di Pulau Sebuku dari tahun ke tahun. Selain itu, variabel karakteristik individu nelayan yaitu usia dan jumlah tanggungan keluarga dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang, usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah tanggungan keluarga dengan sikap terhadap kondisi iklim. Karena P value (Sig. (2-tailed)) > alpha (0,1=10%) maka terima Ho, artinya tidak ada korelasi antara variabel karakteristik individu nelayan yaitu usia dan jumlah tanggungan keluarga dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang serta usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah tanggungan keluarga dengan sikap terhadap kondisi iklim.
\
90
BAB VI PENUTUP
6.1
Kesimpulan Kondisi kemiskinan nelayan di Pulau Sebuku dalam penelitian ini diukur
menggunakan indikator yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu Garis kemiskinan (pangan dan non pangan) serta kriteria rumah tangga miskin sasaran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Baik di Desa Rampa maupun di Desa sekapung tidak ada yang termasuk dalam kategori sangat miskin dan miskin, ratarata pendapatan per kapita lebih tinggi daripada garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada bulan Maret 2010, yaitu Rp196.753,00,- per kapita / bulan, namun demikian jika menggunakan indikator lokal ada beberapa kelompok yang dianggap miskin. Nelayan berada dalam kondisi “miskin” maka semakin banyak strategi adapatasi yang dilakukan untuk menutupi kebutuhan hidup, sedangkan nelayan yang tidak termasuk dalam kondisi “miskin” tetap melakukan strategi hanya saja tujuannya bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan namun mengakumulasi modal. Strategi adaptasi nelayan baik di Desa Rampa maupun nelayan di Desa Sekapung dibedakan menjadi dua kategori yaitu kegiatan produktif, diantaranya memperluas jangkauan wilayah tangkap, mengoplos bahan bakar menggunakan minyak tanah, membeli emas dan barang-barang elektronik, memobilisasi peran keluarga (istri dan anak), mengadakan kegiatan pranata sosial ekonomi (arisan), memiliki dan mengganti jenis alat tangkap sesuai musim, mencari kerang merah, memancing ikan dan membentang jaring (merempa), mengolah ikan tenggiri menjadi kerupuk amplang, menyadap karet, memecah kayu (hanya di Desa Sekapung) serta kegiatan non-produktif, yaitu berhutang pada agen pengumpul dan toko / warung Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat “kemiskinan” baik di Desa Rampa maupun di Desa Sekapung, diantaranya yaitu faktor kondisi alam / natural dan effort nelayan / kultural. Hal ini karena berkaitan dengan potensi sumberdaya. Faktor yang mempengaruhi strategi adaptasi nelayan di Desa Rampa dan Desa Sekapung, diantaranya tingkat pendidikan dan kondisi iklim / natural. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar kesempatan bekerja di perusahaan
91
tambang sebagai strategi, mereka mendapat jaminan pendapatan setiap bulan ketika bekerja di perusahaan. Kondisi iklim pada nelayan di Desa Sekapung lebih besar pengaruhnya daripada pada nelayan di Desa Rampa, hal ini terkait dengan posisi desa di Pulau Sebuku dan wilayah penangkapan. Mayoritas responden memiliki sikap negatif terhadap kebijakan otonomi daerah dan terhadap masuknya perusahaan tambang di Pulau Sebuku. Hal ini karena tidak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah dan tidak ada program maupun bantuan yang ditujukan khusus bagi masyarakat nelayan. Masuknya perusahaan tambang di Pulau Sebuku dirasa merugikan nelayan, terkait dengan limbah perusahaan yang mengalir ke muara sungai dan diteruskan ke laut terutama ketika hujan, menyebabkan jumlah tangkapan nelayan menjadi berkurang dan wilayah tangkap semakin jauh. Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel yang menunjukkan hubungan adalah pengalaman melaut dengan sikap terhadap kondisi iklim dan tingkat pendidikan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang, sedangkan tingkat pendapatan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan dan pengalaman melaut dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang ada korelasi namun hubungan berbanding terbalik. Variabel lainnya tidak berkolerasi. 6.2
Saran 1. Kewenangan yang diberikan oleh Pusat kepada Daerah untuk mengelola sendiri rumah tangga dalam rangka otonomi daerah dimanfaatkan untuk melindungi nelayan sebagai komunitas lokal terutama hubungannya dengan perusahaan tambang terkait dengan fishing ground yang ada dengan pembuatan aturan-aturan lokal, pembatasan wilayah tangkap nelayan dan memperhatikan keberlanjutan ekologis dengan membuat aturan mengenai alat tangkap yang diperbolehkan untuk digunakan oleh nelayan. 2. Mengadakan pelatihan kegiatan produktif dan usaha produktif pengolahan hasil laut untuk menambah nilai jual (value added) berbasis rumah tangga nelayan bagi masyarakat nelayan di Desa Sekapung dan Desa Rampa terutama ketika menghadapi musim paceklik agar mereka tetap mendapat
92
pemasukan, seperti pembuatan kerupuk udang, kerupuk ikan maupun makanan olahan tangkapan lainnya. 3. Memberi beasiswa bagi anak-anak nelayan berprestasi dalam rangka meningkatkan kualitas dan jenjang pendidikan anak-anak nelayan agar mereka memiliki peluang dan kesempatan usaha maupun bekerja pada bidang lain selain menjadi nelayan. Hal ini terkait dengan strategi adaptasi yang dapat mereka lakukan dalam mendapatkan tambahan penghasilan. 4. Kriteria yang dibuat untuk menentukan sasaran rumah tangga miskin penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) bias Jawa, seperti jenis lantai dan dinding yang terbuat dari kayu, karena rumah kayu atau disebut rumah panggung merupakan salah satu budaya di daerah tertentu (Kalimantan), sehingga kriteria ini tidak menjawab kondisi kemiskinan yang terjadi di luar Pulau Jawa, Pulau Sebuku salah satunya. Sebaiknya kriteria yang digunakan untuk menentukan kondisi kemiskinan dapat mencakup miskin secara general dan dapat digunakan bagi seluruh daerah di Indonesia baik Jawa maupun luar Jawa, sehingga pembangunan dan rencana programprogram pemerintah yang akan datang dapat memenuhi kebutuhan masingmasing daerah sesuai kondisi dan keadaan setiap daerah.
93
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Mustafa. 2004. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan: Kasus Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik. 2008. Indikator Kesejahteraan Rakyat. No Publikasi: 07330.0915. Jakarta: BPS – Statistics Indonesia. , 2009. Badan Pusat Statistik. No Publikasi: 07330.0913. Jakarta: BPS – Statistics Indonesia. , 2005/2006. Statistik Indonesia: Statistic Yearbook Of Indonesia. No Publikasi: 06300.0613. Jakarta: BPS – Statistics Indonesia. Bengen, D. G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip-Prinsip Pengeolaannya. PKSPL-IPB. Bengen, D. G. 2002c. Pengembangan Konsep Daya Dukung dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Laporan Akhir Kerjasama antara Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor. Carner, G. 1984. Survival, interdependence and Competition Among The Philippine Rural Poor. People Centered Development. Kumarian Press. Connecticut. Chamsyah, B. 2006. Teologi Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: RMBOOKS. Dahuri, R. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Dharmawan, Arya Hadi. 2001. Farm Household Livelihood Strategies and Socioeconomic Changes in Rural Indonesia. Kiel: Wissenschaftsverlag Vauk Kiel KG. Dishidros TNI-AL. 2003. Menyikapi dan Menginventarisir Pulau-Pulau Kecil di Perbatasan dengan Negara Tetangga. Rapat dengar pendapat dengan komisi III DPR. Fauzi, A. 1992. Suatu Telaah Kemiskinan di Indonesia [makalah]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Fauzi, A. 2002. Valuasi ekonomi sumberdaya pulau-pulau kecil. Makalah disampaiakan pada Seminar Peluang Investasi Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Jakarta 10 Oktober 2002. Fauziah, Elys dan Widodo, Slamet. 2008. Strategi Nafkah Rumah Tangga Nelayan dalam Mengatasi Kemiskinan (Studi Kasus pada Rumah Tangga Nelayan di Kecamatan Kwanyar Kabupaten Bangkalan). [Laporan Penelitian Dosen Muda]. Madura: Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo. Fishbein, M dan Ajzen L. 1975. Belief, Attitude, Intention, and Behavior. An Introduction to theory and research. Massachusetts, Addison Wisley Publishing Co. Gerungan, W. A. 1996. Psikologi Sosial: Edisi Kedua. Bandung: Eresco.
94
IPB. 2008. Pokok Pikiran IPB: “Pembangunan Pertanian dan Pedesaan untuk Kesejahteraan Rakyat”. Disampaikan dalam Rangka Memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bogor. Karunia, R. Luki. 2009. Analisis Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Nelayan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. 2008. Kumpulan Naskah Pembentukan Peraturan Pelaksanaan UU SJSN: Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Sosial (RPP PBIJS): Pembahasan I-VIII, 2007-2008 (dalam proses pembentukan). Jakarta: Kedeputian Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat bekerjasama GTZ-GVG SHI SUPPORT. Kinseng, Rilus A., Muflikhati, Istiqlaliyah dan Murdianto. 2010. Kemiskinan dan Perjuangan Kaum Nelayan Di Era Desentralisasi. [laporan penelitian] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Lau, James B dan A.B. (Rami) Shani. 1992. Behavior in Organizations: An Experiental Approach. Homewood: Richard Irwin Inc. (masukin) Maanema, Max. 2003. Model Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mangkuprawira, S. 1993. Pendekatan Pengentasan Kemiskinan oleh Perguruan Tinggi. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Matdoan, Abul. 2009. Analisis Strategi Kebijakan Penanggulanggan Kemiskinan Pada Masyarakat Nelayan di Wilayah Pesisir Kabupaten Maluku Tenggara. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Muljono, Pudji dkk. 2010. Upaya Pemberdayaan Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan Melalui Model Posdaya, dalam Profil 50 Posdaya Binaan IPB. Jakarta: Yayasan DAMANDIRI. Mulyandari. 2006. Sikap dan Perilaku Mahasiswa Terhadap Penggunaan Ponsel: Kasus Mahasiswa Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor [skripsi]. Bogor: program studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nawi, Marnis. 1993. Pengaruh Status Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Terhadap Tingkat Kesejahteraannya di Kodya Padang. [Laporan Penelitian]. Padang: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Padang. Nikijuluw, V.P.H. 2001. Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu. Prosiding Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu, diselenggarakan pada tanggal 29 Oktober-3 November 2001 di Bogor. Kerjasama CRC-URI dengan PKSPL IPB. Pancasasti, Ranthy. 2008. Analisis Perilaku Ekonomi Rumah tangga dan Peluang Kemiskinan Nelayan Tradisional. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
95
Pangemanan, Jeannette F. 1994. Tingkat Kesejahteraan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan di Pesisir Pantai Sulawesi Utara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, KPK IPB UNSRAT. Rakhmat, Jalaludin. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Retna, Qomariah. 2003. Dampak Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) Batubara Terhadap Kualitas Sumber Daya Lahan dan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Banjar-Kalimantan Selatan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rofikoh, Nurul. 2007. Mekanisme Survival Strategi dan Kebijakan Jaminan Sosial Nelayan Tradisional di Kabupaten Brebes (Studi Kasus di Desa Kluwut Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes, Jawa Tengah). [Laporan Penelitian Dosen Muda]. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Salam, Dharma Setyawan. 2007. Otonomi Daerah: dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya. Jakarta: Djambatan. Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sarwono, S. W. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo. Satria, Arif dkk. 2002. Acuan Singkat Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: Pusat Kajian Agraria IPB, Partnership for Governance Reform in Indonesia, PT Pustaka Cidesindo Anggota Ikapi. Sayogyo. 1977. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. LPSP-IPB. Bogor. Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : Pustaka LP3ES Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Suryadi. 1984. Peranan Peraturan Pemerintah dalam Bidang Perikanan Terhadap Pendapatan Nelayan dan Kelestarian Sumberdaya Perikanan Laut. [Tesis]. Bogor : Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Susilo, Setyo B. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Toha-Sarumpaet, R.K., Djokosujatno, A., dan Leirissa, R.Z. (Ed.). 2007. Pembangunan Perdesaan dan Daerah Pesisir Pada Era Milenium III. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Yulianto A, Eko Harri. 2010. Perubahan Sosial Masyarakat Akibat Masuknya Perkebunan Kelapa Sawit di Desa Samuntai Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zanden, James W. Vander. 1984. Social Phychology. New York: Random House.
96
LAMPIRAN
97
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Desa Sungai Bali, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan
Sumber: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Kotabaru
98
Lampiran 2. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Correlations Sikap terhadap
Spearman's rho
usia
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Tingkat
Correlation
pendapatan
Coefficient Sig. (2-tailed) N
Tingkat
Correlation
pendidikan
Coefficient Sig. (2-tailed) N
Jumlah
Correlation
tanggungan
Coefficient
keluarga
Sig. (2-tailed) N
Pengalaman
Correlation
melaut
Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Sikap terhadap
masuknya
Sikap
kebijakan
perusahaan
terhadap
otonomi daerah
tambang
kondisi iklim
.082
-.185
.181
.531
.158
.167
60
60
60
.066
-.238
-.113
.619
.067
.389
60
60
60
.066
.281
*
-.064
.617
.030
.626
60
60
60
-.032
.057
.154
.809
.666
.239
60
60
60
-.117
-.293
*
.227
.374
.023
.081
60
60
60
99
Lampiran 3. Dokumentasi Lapang
Kegiatan jual beli hasil tangkapan nelayan
Proses penimbangan hasil tangkapan nelayan yang dijual pada agen
Kegiatan panen udang windu dari rengge / gondrong / tramel nett hasil tangkapan nelayan
Kegiatan panen hasil tangkapan udang windu
100
Udang windu sebagai tangkapan utama nelayan Desa Rampa dan Desa Sekapung
Gambaran rumah nelayan di Desa Rampa
Gambaran rumah nelayan di Desa Sekapung
Gambaran rumah nelayan di Desa Sekapung
101
Gambar bagan tancap untuk menjaring cumi-cumi dan ikan teri
Kegiatan mewawancarai responden
Gambaran lokasi pertambangan di Pulau Sebuku
Gambar alat tangkap rengge/gondrong