i
STUDI PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI BUDIDAYA JAMBU KRISTAL (Psidium guajava L.) PADA RUMAHTANGGA PETANI DI DESA BANTARSARI
ZULMIZIAR MARWANDANA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal (Psidium guajava L.) pada Rumahtangga Petani di Desa Bantarsari adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014
Zulmiziar Marwandana NIM I34090032
iii
ABSTRAK ZULMIZIAR MARWANDANA. Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal (Psidium guajava L.) pada Rumahtangga Petani di Desa Bantarsari. Di bawah bimbingan SITI SUGIAH MUGNIESYAH. Penelitian yang mengacu pada teori Rogers dan Shoemaker tentang Paradigma Proses Pengambilan Keputusan Inovasi yang dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2013 di Desa Bantarsari dilakukan secara sengaja (purposive). Seluruh variabel yang menghubungkan pada proses tersebut dibuktikan dalam penelitian. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu dan rumahtangga. Dari 38 rumahtangga yang menjadi responden dalam penelitian ini, diketahui jumlah total anggota rumahtangga petani BJK adalah 191 orang yang terdiri dari 99 orang laki-laki dan 92 orang perempuan. Menurut kelompok umur, diketahui mayoritas anggota rumahtangga petani tergolong usia produktif (15-64 tahun) sebesar 77.49 persen. Dilihat dari jenis kelaminnya, anggota rumahtangga laki-laki pada kelompok umur lansia (>60 tahun) lebih 2.62 persen lebih tinggi dibanding anggota rumahtangga perempuan. Pertama, tahap pengenalan, hanya pada Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan(X4) dengan Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK pada taraf α=0.05. Selanjutnya yang cukup berhubungan pada taraf α=0.10 adalah Pola Perilaku Komunikasi (X8) selebihnya tidak berhubungan. Kedua, tahap persuasi, terdapat lima variabel yang berhubungan pada taraf α=0.05 adalah Tingkat Kompatibilitas BJK (X10), Tingkat Kerumitan BJK (X11), Tingkat Kemungkinan Dicoba BJK (X12), Tingkat Kemungkinan Diamati Hasil BJK (X13), dan Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK (Y1). Ketiga, pada tahap keputusan hanya Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK (Y2) yang berhubungan pada taraf α=0.05. Keempat, tahap implementasi, variabel Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan(X4) dan Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK (Y3) berhubungan nyata pada taraf α=0.05. Kelima, tahap konfirmasi yang berhubungan adalah Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan(X4) dan Tingkat Implementasi Petani terhadap BJK (Y4) selebihnya pada konsep kepuasan petani terhadap BJK tidak ada yang berhubungan. Dari hasil uji korelasi tersebut maka Proses pengambilan keputusan inovasi (PK Inovasi) BJK di Desa Bantarsari tergolong tipe proses pengambilan keputusan inovasi opsional yang terjadi bila unit pengambil keputusan dan unit adopsi inovasi dilakukan oleh individu setiap petani BJK. Hasil uji Korelasi Rank Spearman menunjukkan seluruh proses tahapan pengambilan keputusan inovasi berhubungan nyata pada taraf α=0.05.
Kata kunci: pengambilan keputusan inovasi, budidaya jambu kristal, rumahtangga petani.
iv
ABSTRACT ZULMIZIAR MARWANDANA. Study on Innovation Decision Making about Crystal Guava Cultivation (Psidium Guajava L.) in Farmer Households, Bantarsari Village. Supervised by SITI SUGIAH MUGNIESYAH. Research refers to the theory of Rogers and Shoemaker on Decision Making Process Innovation Paradigm conducted in April to May 2013 in the village of Bantarsari done intentionally (purposive). All variables linking the process is evidenced in the research. The unit of analysis in this study are individuals and households. Of the 38 households who were respondents in this study, note the total number of household members are farmers BJK 191 people consisting of 99 men and 92 women. By age group, known to the majority of members of farm households belonging to the productive age (15-64 years) amounted to 77.49 percent. Judging from her gender, male household members in the age group of elderly (> 60 years) is 2.62 percent higher than female household members. First, the introduction stage, only the frequency of participation Adopters (X4) with Introductory Rate Farmers against BJK at level α =0.05 level. Furthermore, a fairly related to the level of α =0.10 is the Communication Behavior (X8) the rest are not related. Secondly, persuasion stage, there are five variables related to the level of α =0.05 is Level Compatibility BJK (X10), BJK Complexity Level (X11), Level Possible Attempted BJK (X12), Possible Rate Observed Results BJK (X13), and the rate of introduction farmers against BJK (Y1). Third, the decision stage only Level Persuasion Farmers against BJK (Y2) related to the level of α =0.05 level. Fourth, the implementation phase, variable frequency Participation Adopters (X4) and Level Decision Farmers against BJK (Y3) significantly correlated to the level of α =0.05 level. Fifth, the confirmation stage is related Adopters Participation Frequency (X4) and Level of Implementation of Farmers against BJK (Y4) rest on the concept of satisfaction to the farmer no related BJK. From the results of the correlation test , the decision-making process of innovation (Innovation PK) in the village of Bantarsari classified BJK type optional innovation decision-making process that occurs when a decision-making units and units of the adoption of innovations carried out by each individual farmer BJK. Spearman Rank Correlation test results show all the stages of the decisionmaking process related real innovation at the level of α =0.05 level . Keywords: households
decision making innovation,
crystal guava cultivation, farming
v
STUDI PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI BUDIDAYA JAMBU KRISTAL (Psidium guajava L.) PADA RUMAHTANGGA PETANI DI DESA BANTARSARI
ZULMIZIAR MARWANDANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
vi
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa NIM
: Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal (Psidium guajava L.) pada Rumahtangga Petani di Desa Bantarsari : Zulmiziar Marwandana : I34090032
Disetujui oleh
Ir. Siti Sugiah Mugniesyah, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
vii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal (Psidium guajava L.) pada Rumahtangga Petani di Desa Bantarsari”. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan sebagai Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Dalam tulisan ini penulis mendeskripsikan pengambilan keputusan inovasi rumahtangga petani di Desa Bantarsari dalam berbudidaya jambu kristal. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat diselesaikan karena bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: a) Ibu Ir Siti Sugiah Mugniesyah, MS selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah berbagi ilmu dan pengalaman berkenaan studi pengambilan keputusan inovasi budidaya jambu kristal pada rumahtangga petani; serta atas curahan waktu, pikiran, dan dukungan, baik moral maupun materil sejak penyusunan studi pustaka, penulisan proposal hingga penyelesaian skripsi ini. b) Ibu Dr Ir Ekawati Sri Wahyuni, MS sebagai dosen Pembimbing Akademik sekaligus menjadi dosen penguji wakil Departemen SKPM, serta kepada Dr Ir Pudji Muljono, MSi yang telah bersedia menjadi dosen penguji utama. c) Bapak Prof Dr Ir Machfud, MS dan Saudari Asri Suliastri yang ikhlas membantu dan memberi saran dalam pengolahan data. d) Kepada Dr. Anas D Susila sebagai ketua University Farm Institutut Pertanian Bogor (UF-IPB) dan Farida Nur Fitriana, STp selaku penanggung jawab jambu kristal dari Taiwan International Corporation and Development Fund, yang telah bersedia menerima dan memberikan izin untuk melakukan penelitian di desa binaan budidaya jambu kristal dan telah membantu penulis mengumpulkan data sekunder. e) Warga masyarakat di Desa Bantarsari pada umumnya dan khususnya kepada semua anggota rumahtangga petani budidaya jambu kristal yang telah bersedia diwawancarai dan berbagi pengalaman mereka dalam berbudidaya jambu kristal. Hanya karena keikhlasan mereka dalam berbagi informasi dan pengalaman tersebut, penulisan skripsi ini dapat dilakukan. f) Keluarga Bapak Rahman, yang telah bersedia menerima dan mengizinkan penulis untuk tinggal bersama mereka, serta atas keikhlasan mereka memberi dukungan moral dan fasilitas selama penulis melaksanakan penulisan. g) Bapak Zulkifli Fudhail, orang tua tercinta, serta kakak Zulfia Marwandana, kakak Zulfaidha Marwandana, adik Zulfakar Yauri Marwandana, adik Andi Zulfadillah Marwandana, dan adik Zulmihram Marwandana, yang selalu berdoa, memberi motivasi, dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis.
viii
h) Kepada keluarga dermawan Ibu Fatimah Kalla, Bapak Pulu Niode, serta kakak Ari, dan Adik Rani yang sudah mengasuh penulis sejak menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga menjadi mahasiswi di Institut Pertanian Bogor (IPB). i) Teman-teman terdekat saya Nanang, Finka Dwi Utami, dan Emma Hijriati penulis berterima kasih atas persahabatan, dorongan semangat, dan berbagi pengalaman selama proses perkuliahan dan proses penulisan. Kepada Fifa penulis ucapkan terima kasih atas semangat dan perjuangan bersama-sama dalam mengikuti bimbingan skripsi.
Bogor, September 2014
Zulmiziar Marwandana
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Kegunaan Penelitian
3
PENDEKATAN TEORITIS
4
Tinjauan Pustaka
4
Kerangka Pemikiran
8
Hipotesis
9
Definisi Operasional
10
METODE
14
Metode Penelitian
14
Lokasi dan Waktu Penelitian
14
Penentuan Sampel dan Responden
15
Pengolahan Analisis Data
15
KEADAAN UMUM DESA BANTARSARI
16
Kondisi Geografis dan Luas Wilayah Desa
16
Keadaan Umum Penduduk
17
Kondisi Sosial
18
Sarana dan Prasarana
20
GAMBARAN UMUM PROYEK TAIWAN ICDF/UF-IPB
21
Sejarah dan Struktur Organisasi Proyek Taiwan ICDF/UF IPB
21
Hubungan Kemitraan antara Taiwan ICDF/UF-IPB dengan Petani Mitra
22
x
PROFIL RUMAHTANGGA PETANI ADOPTER BUDIDAYA JAMBU KRISTAL (BJK) DI DESA BANTARSARI
26
Karakteristik ART Petani Adopter BJK
26
Karakteristik Rumahtangga Petani Adopter BJK
31
TAHAPAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN ADOPSI INOVASI BUDIDAYA JAMBU KRISTAL (PSIDIUM GUAJAVA L.) DI DESA BANTARSARI
35
Tahap Pengenalan terhadap BJK
35
Tahap Persuasi terhadap BJK
38
Tahap Keputusan terhadap BJK
39
Tahap Implementasi terhadap BJK
40
Tahap Konfirmasi terhadap BJK
41
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TAHAPAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
43
SIMPULAN DAN SARAN
52
Simpulan
52
Saran
53
DAFTAR PUSTAKA
54
LAMPIRAN
56
RIWAYAT HIDUP
77
xi
DAFTAR TABEL Tabel 1
Tahapan kegiatan budidaya jambu kristal (Psidium guajava L.)
7
Tabel 2
Luas dan persentase wilayah Desa Bantarsari menurut penggunaannya, tahun 2011 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantarsari menurut kelompok umur dan jenis kelamin, tahun 2011
17
Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantarsari menurut tingkat pendidikan, tahun 2011 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantarsari menurut jenis pekerjaan, tahun 2011 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantarsari menurut tingkat kesejahteraan, tahun 2011 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantarsari menurut agama, tahun 2011
18
Jumlah dan persentase bibit yang ditanam petani di Desa Bantarsari Jumlah petani adopter BJK di Kabupaten Bogor menurut desa binaan, tahun 2011 Standar mutu jambu kristal per grade mutu
23
Jumlah dan persentase anggota rumahtangga petani adopter BJK menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Desa Bantarsari, tahun 2013 Jumlah dan persentase anggota rumahtangga petani adopter BJK menurut pekerjaan dan jenis kelamin, tahun 2013 Jumlah dan persentase anggota rumahtangga petani adopter BJK menurut kelompok umur dan status perkawinan, tahun 2013 Jumlah dan persentase anggota rumahtangga petani adopter BJK menurut tingkat pendidikan formal dan jenis kelamin, tahun 2013 Jumlah dan persentase kepemilikan ternak pada rumahtangga petani adopter BJK Desa Bantarsari, tahun 2013 Jumlah dan persentase anggota rumahtangga menurut kepemilikan benda teknologi rumahtangga petani adopter BJK Desa Bantarsari, tahun 2013 Jumlah dan persentase rumahtangga petani adopter BJK menurut luas kepemilikan lahan usahatani Desa Bantarsari, tahun 2013
27
Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11
Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14
Tabel 15 Tabel 16
Tabel 17
17
19 19 20
23 24
28 29 30
31 32
32
xii
Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20 Tabel 21 Tabel 22 Tabel 23 Tabel 24 Tabel 25
Tabel 26 Tabel 27 Tabel 28
Tabel 29
Tabel 30 Tabel 31
Tabel 32
Tabel 33 Tabel 34
Jumlah dan persentase petani di Desa Bantarsari menurut pengalaman berusahatani Jumlah dan persentase petani di Desa Bantarsari menurut pengalaman berbudidaya jambu kristal Jumlah dan persentase keterangan umum rumahtangga petani BJK Desa Bantarsari, tahun 2013 Jumlah dan persentase petani BJK Desa Bantarsari menurut waktu pengenalan inovasi BJK, tahun 2013 Jumlah dan persentase sumber informasi tentang inovasi budidaya jambu kristal Desa Bantarsari, tahun 2013 Jumlah dan persentase petani yang mengenal inovasi budidaya jambu kristal Desa Bantarsari, tahun 2013 Jumlah dan persentase petani yang suka terhadap inovasi budidaya jambu kristal Desa Bantarsari, tahun 2013 Jumlah dan persentase responden yang memutuskan untuk menerima inovasi BJK menurut unsur panduan BJK secara baku Desa Bantarsari, tahun 2013 Jumlah dan persentase petani yang mengimplementasikan inovasi budidaya jambu kristal Desa Bantarsari, tahun 2013 Jumlah dan persentase petani yang konfirmasi terhadap inovasi budidaya jambu kristal Desa Bantasari, tahun 2013 Korelasi antara saluran komunikasi, kondisi sebelumnya, dan kaakteristik unit pengambilan keputusan dengan tingkat pengenalan petani terhadap BJK Korelasi antara saluran komunikasi, tahap pengenalan, dan persepsi petani terhadap BJK dengan tingkat persuasi petani terhadap BJK Korelasi antara saluran komunikasi dan tahap persuasi dengan tingkat keputusan petani terhadap BJK Korelasi antara Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan dan tingkat keputusan petani terhadap BJK dengan tingkat implementasi petani terhadap BJK Korelasi antara saluran komunikasi, tingkat implementasi petani terhadap BJK, dan kepuasan petani BJK dengan tingkat konfirmasi petani terhadap BJK Jumlah dan persentase petani BJK menurut pendapatan yang diperoleh Produksi rata-rata (ton/ha) usahatani petani BJK menurut stratum dan kelas kelompok
33 33 34 35 36 37 38 40
41 42 43
45
47 48
48
49 49
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
Gambar 2 Gamber 3 Gambar 4
Hubungan Antar Variabel Independen dan Variabel Dependen dalam Proses Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal (Psidium guajava L) Struktur Organisasi Taiwan ICDF/UF IPB Jambu kristal berdasarkan grade mutu Persentase Anggota Rumahtangga Petani BJK Desa Bantarsari menurut Jenis Kelamin, Tahun 2013
14
22 24 26
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7
Data produksi buah jambu biji Di Indonesia Peta Desa Bantarsari Paradigma Proses Pengambilan Keputusan Inovasi Daftar Sensus Mansyarakat yang Terlibat sebagai Petani BJK Hasil Uji Korelasi Rank Spearman dengan SPSS 18 Nilai minimal, maksimal, dan rata-rata variabel Dokumentasi Penelitian
56 58 59 60 61 75 76
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN) 20042009 dinyatakan bahwa lingkup pembangunan bidang Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup (LH) meliputi: revitalisasi pertanian dan perbaikan pengelolaan SDA dan perbaikan fungsi LH. Selanjutnya, dalam RPJMN 20102014, dinyatakan bahwa pembangunan SDA dan LH masih terus diarahkan kepada dua kelompok, yaitu: (i) pemanfaatan SDA yang mendukung pembangunan ekonomi, dan (ii) peningkatan kualitas dan kelestarian LH. Khusus dalam pemanfaatan SDA dalam mendukung pembangunan ekonomi dijabarkan melalui tiga prioritas, diantaranya adalah Peningkatan Ketahanan Pertanian, Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Untuk hal ini, pemerintah telah mengintroduksikan beragam inovasi kepada masyarakat petani, diantaranya inovasi komoditi hortikultura. Kebijakan pemerintah terkait komoditi hortikultura tercantum dalam Permentan Nomor 60 Tahun 2012 dan Permendag Nomor 60 Tahun 2012, yang didalamnya dinyatakan bahwa impor hortikultura hanya dapat dilakukan apabila produksi dan pasokan produk hortikultura di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat sehingga dibuat Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Hal ini telah berdampak pada peningkatan nilai impor komoditas buah pada periode 2007-2011, meskipun bersifat fluktuatif. Diketahui bahwa pada tahun 2007 nilai impor komoditas buah sebesar 449.5 juta dolar dan pada tahun 2011 sebesar 856.2 juta dolar, atau meningkat sebesar 18 persen. Dari data komoditi buah yang diimpor pada periode tersebut tidak tertulis secara eksplisit tentang komoditi jambu. Dalam hal produksi jambu biji dalam negeri, diketahui bahwa pada periode 1997-2011 terdapat peningkatan produksi, yakni dari 160.469 ton menjadi 211 836 ton atau meningkat sekitar 51 367 ton. Data pada tahun 2011 menunjukkan bahwa total produksi jambu biji di Indonesia sebesar 883 969 ton. Jika dilihat menurut distribusi produksinya diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat menduduki rangking pertama, yaitu 17.8 persen dari total produksi jambu di Indonesia pada tahun yang sama. Tingginya produksi jambu biji di Provinsi Jawa Barat diduga juga mencakup produksi jambu kristal (dapat dilihat pada Lampiran 1). Sebagaimana diketahui, jambu kristal pertama kalinya diperkenalkan kepada masyarakat petani sebagai perwujudan dari salah satu misi IPB, khususnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai kebutuhan masyarakat agraris pada masa sekarang dan kecenderungan pada masa yang akan datang, sehingga ketersediaan buah-buahan di dalam negeri dapat terpenuhi. Introduksi inovasi budidaya jambu kristal tersebut dilakukan melalui sebuah proyek kerja sama antara University Farm IPB (UF-IPB) dengan Misi Teknik Taiwan yang dikenal sebagai Taiwan International Corporation and Development Fund (Taiwan ICDF). Setelah melalui penelitian awal, tanaman jambu kristal diintroduksikan kepada petani di desa lingkar kampus (Desa Cikarawang) melalui Program Hibah Kompetisi Institusi (PHKI) IPB pada periode 2008-2010.
2
Budidaya jambu kristal selanjutnya berkembang dan sekitar 5 000 pohon bibit jambu kristal telah disebar kepada banyak petani (Permana et al. 2012). Sejak diintroduksikannya kepada masyarakat petani di Kabupaten Bogor, telah ada beberapa penelitian tentang perkembangan budidaya jambu kristal tersebut. Selain Permana et al (2012), penelitian lainnya dilakukan oleh Rahman (2011) dan Narundana (2011). Rahman meneliti tentang “Penyimpanan Jambu Biji Crystal Terolah Minimal dan Berlapis Edibel dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi”, sementara penelitian Narundana (2011) mengenai “Studi Kelayakan Bisnis Tanaman Buah Jambu Kristal pada Kelompok Tani Desa, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor”. Berdasar penelusuran atas sejumlah literatur yang ada, tampaknya belum ada penelitian yang secara khusus mempelajari tentang pengambilan keputusan inovasi budidaya jambu kristal yang diintroduksikan oleh Taiwan ICDF/UF-IPB tersebut. Sehubungan dengan penjelasan di atas, menjadi penting untuk melakukan penelitian berkenaan pengambilan keputusan inovasi budidaya jambu kristal (Psidium guajava L.). Selain untuk mempelajari proses pengambilan keputusan inovasi budidaya jambu kristal di kalangan rumahtangga petani, juga diharapkan dapat memberi gambaran atas kontribusi IPB pada umumnya dan khususnya Taiwan ICDF dalam memberdayakan rumahtangga petani di Kabupaten Bogor. Perumusan Masalah Umum diketahui bahwa masyarakat petani itu tergolong heterogen dalam hal profil rumahtangga maupun karakteristik individu anggota rumahtangganya. Merujuk pada Rogers dan Shoemaker (1973) dan Rogers (1983) sebagaimana dikutip Mugniesyah (2006) bahwa pada tahap pengenalan (knowledge) pada proses pengambilan keputusan inovasi dipengaruhi oleh karakteristik unit pengambil keputusan, yang meliputi tiga aspek: karakteristik sosial-ekonomi, kepribadian, dan perilaku komunikasi. Sehubungan dengan itu, bagaimanakah karakteristik sosial-ekonomi, kepribadian, dan perilaku komunikasi petani pembudidaya jambu kristal? Sehubungan dengan diintroduksikannya inovasi budidaya jambu kristal pada rumahtangga petani di Kabupaten Bogor, serta merujuk pada teori Pengambilan Keputusan Inovasi -selanjutnya ditulis PK Inovasi- dari Rogers dan Shoemaker (1973) dan Rogers (1983) sebagaimana dikutip Mugniesyah (2006), pengambilan keputusan inovasi diartikan sebagai suatu proses yang mencakup suatu rangkaian kegiatan penerimaan atau penolakan inovasi oleh individu (unit pengambil keputusan), yang berlangsung melalui lima tahapan yang berlangsung secara berurutan, yaitu tahap-tahap: pengenalan, persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi. Sehubungan dengan itu, bagaimanakah berlangsungnya tahap pengambilan keputusan inovasi budidaya jambu kristal di kalangan rumahtangga petani di Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor. Sebagaimana dikemukakan oleh kedua ahli tersebut diatas, terdapat sejumlah variabel yang berasal dari empat faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan inovasi yang meliputi: pengalaman terdahulu, saluran komunikasi, karakteristik unit pengambil keputusan inovasi, dan penerimaan atau persepsi unit PK inovasi terhadap inovasi. Sehubungan dengan itu, variabelvariabel apa sajakah dari keempat faktor tersebut yang mempengaruhi setiap
3
tahapan pada proses PK Inovasi budidaya jambu kristal di kalangan rumahtangga petani di Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor? Mengingat introduksi inovasi budidaya jambu kristal oleh Taiwan ICDF/UF-IPB sudah berlangsung sekitar lima tahun (2008-2013), adakah permasalahan yang dihadapi para petani dalam berbudidaya jambu kristal tersebut? Apakah permasalahan tersebut mempengaruhi perilaku PK Inovasi petani, khususnya pada tahap konfirmasi? Tujuan Penelitian Berdasar perumusan masalah di atas, tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pengambilan keputusan inovasi budidaya jambu kristal di Desa Bantarsari dan tujuan khusus adalah untuk: 1. Mendeskripsikan keadaan umum wilayah penelitian dan Proyek Taiwan ICDF/UF-IPB. 2. Mendeskripsikan profil individu dan rumahtangga petani adopter Inovasi Budidaya Jambu Kristal. 3. Menjelaskan Proses Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal, khususnya di kalangan rumahtangga petani di Desa Bantarsari Kabupaten Bogor, yang mencakup tahap-tahap: pengenalan, persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi. 4. Menganalisis hubungan sejumlah variabel independen dengan variabel dependen pada setiap tahapan pada Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal di kalangan rumahtangga petani di Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor. 5. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi para petani pengadopsi inovasi (adopter) budidaya jambu kristal dan cara mengatasinya. Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dalam menerapkan berbagai konsep dan teori berkenaan proses pengambilan keputusan inovasi, yaitu dalam konteks introduksi Inovasi Budidaya Jambu Kristal pada Rumahtangga Petani di Desa Bantarsari, Kabupaten Bogor. 2. Bagi pihak lain, khususnya para peneliti di bidang riset pengambilan keputusan inovasi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan informasi awal bagi studi pengambilan keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal di Kabupten Bogor dan wilayah lainnya di Indonesia. Selain itu, diharapkan dapat berkontribusi pada pengembangan riset pengambilan keputusan sebagai bagian dari komunikasi pembangunan di Indonesia. 3. Bagi Taiwan ICDF, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi perkembangan hasil-hasil pemberdayaan masyarakat di sekitar kampus IPB.
4
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Pengambilan Keputusan Inovasi Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mugniesyah (2006), inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau objek yang dipandang sebagai baru oleh individu. Menurut kedua ahli tersebut, PK Inovasi melalui lima tahapan. Adapun pengertian dan perilaku individu yang mengalami setiap tahapan pada proses keputusan inovasi tersebut adalah sebagai berikut: 1) Pengenalan (Knowledge), adalah tahap dimana individu mulai mengenal tentang adanya inovasi dan memperoleh beberapa pengertian tentang bagaimana fungsi/kegunaan dari inovasi tersebut. 2) Persuasi (Persuasion), adalah tahap dimana individu membentuk sikap suka atau tidak suka terhadap inovasi. 3) Keputusan (Decision), adalah tahap dimana individu melakukan aktivitasaktivitas yang akan membawanya kepada membuat suatu pilihan untuk memutuskan menerima atau menolak inovasi. 4) Penerapan (Implementation), adalah tahap dimana individu melaksanakan dalam kehidupan nyata inovasi yang telah dia ambil keputusannya. 5) Konfirmasi (Confirmation), adalah tahap dimana individu mencari penguatan atau pengukuhan atas keputusan inovasi yang telah dibuatnya, akan tetapi dia dapat mengubah keputusannya yang terdahulu, jika dia diperkenalkan pada informasi yang bertentangan dengan inovasi yang telah dia adopsi atau dia tolak sebelumnya. Kelima tahapan PK Inovasi tersebut dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1 (Lampiran 3). Selanjutnya Rogers dan Shoemaker membedakan pengambilan keputusan inovasi ke dalam empat tipe, yaitu opsional, kolektif, otoritas, dan kontigensi. Perbedaan keempatnya terletak pada siapa yang menjadi unit pengambil keputusan dan unit adopsi inovasinya. Pada PK Inovasi Opsional, unit pengambil keputusan, dan unit adopsi inovasinya adalah individu, sementara pada PK Inovasi Kolektif, unit pengambil keputusan dan unit adopsi inovasinya adalah suatu sistem sosial/kelompok atau dengan perkataan lain pengambilan keputusan berlangsung melalui konsensus diantara anggota sistem sosial. Pada PK Inovasi Otoritas, proses pengambilan keputusan inovasi melibatkan seseorang atau unit pengambilan keputusan lainnya (lembaga) yang mempunyai posisi kekuasaan atasan (superordinat), sedangkan unit adopsinya anggota sistem sosial (subordinat). Adapun pada PK Inovasi Kontingensi, proses pengambilan keputusan inovasi tertentu dilakukan setelah ada keputusan tipe lain mendahuluinya (Mugniesyah 2006). Pada Pengambilan Keuputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal termasuk pada tipe opsional karena pada unit pengambilan keputusan adalah petani yang berbudidaya jambu kristal dan unit adopsinya adalah individu/petani yang berbudidaya jambu kristal.
5
Budidaya Jambu Kristal (Psidium guajava L.) Jambu kristal merupakan hasil mutasi dari sejenis jambu yang sebenarnya berasal dari Thailand, ditemukan pada tahun 1991 di District Koa Shiung-Taiwan. Pada tahun yang sama, jambu kristal yang dikembangkan oleh Taiwan itu diintroduksikan ke Indonesia melalui kerja sama Misi Teknik Taiwan. Awalnya diintroduksikan di Yogyakarta, namun dalam perkembangannya, jambu kristal yang ditanam di Yogyakarta mengalami kegagalan karena pada saat dicoba ditanam pada musim kemarau, dimana tanahnya mengalami retak lebar, sehingga menyebabkan akar tanaman menjadi putus dan akhirnya tanaman menjadi mati (Permana et al. 2012). Karakteristik fisik buah jambu kristal berbeda dengan jambu biji lainnya yaitu: biji jambu kristal kurang dari tiga persen bagian buah, daging buahnya putih kekuning-kuningan dengan rasa manis agak asam, teksturnya agak keras, renyah, dan beromama wangi, jambu kristal bentuknya seperti buah apel dengan ukuran diameter antara 10-15 cm, dan kulit buahnya bila matang berwarna hijau keputih-putihan. Jambu kristal dapat dikonsumsi sebagai makanan buah segar maupun olahan yang mempunyai gizi dan mengandung vitamin A dan C yang tinggi, dengan kadar gula delapan persen. Jambu kristal mempunyai rasa dan aroma yang khas disebabkan oleh senyawa eugenol. Meskipun jambu ini seperti jambu bangkok, tetapi daging buahnya lebih tebal dan bijinya sedikit. Pembibitan jambu biji kristal dapat dilakukan dengan stek, cangkok, dan okulasi. Bibit jambu kristal ini merupakan hasil persilangan antara jambu Indonesia yang diambil sebagai batangnya dengan jambu Taiwan yang merupakan bagian atas tanaman jambu. Jambu Taiwan digunakan sebagai bibit adalah tanaman jambu yang sudah pernah berbuah. Hal ini bertujuan untuk mempercepat terjadinya proses pembuahan, sehingga waktu yang dibutuhkan untuk memetik hasil tanam tidak terlalu lama (Narundana 2011). Merujuk panduan budidaya jambu kristal secara baku dari Taiwan ICDF/UF-IPB meliputi serangkaian aktivitas dari sejak persiapan lahan sampai dengan panen. Adapun rangkaian aktivitas dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil-hasil Studi Adopsi dan Difusi di Indonesia Hasil penelitian Mugniesyah dan Lubis (1990) menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan inovasi Supra Insus di Dua WKPP Kasus, di WKBPP Binong, UHSI XI dominan tergolong tipe pengambilan keputusan otoritas. Pada proses pengambilan keputusan inovasi Supra Insus ada dua fase yaitu: fase pengambilan keputusan dan fase keputusan. Dalam fase pertama dilakukan oleh unit pengambilan keputusan yang terdiri dari unsur pemerintah yaitu Camat Binong, Kepala Desa Mariuk, dan Kepala Desa Tambak dahan. Fase kedua dilakukan oleh unit pelaksana yang melibatkan empat kelompok yang berjenjang yaitu: kelompok KTNA UHSI XI, Kelompok Kontak Tani Andalan WKPP, dan Kelompok Kontak Tani di masing-masing WKPP kasus. Terdapat hubungan yang nyata antar variabel terpengaruh pada PK Inovasi, khususnya antar tahap pengenalan dengan tahap persuasi, tahap persuasi dengan tahap keputusan, serta antara tahap implementasi dengan tahap keputusan. Dari sejumlah variabel, terdapat sembilan variabel yang berhubungan nyata dengan tahap konfirmasi, kecuali pada tingkat stratum. Sembilan variabel ini adalah tingkat pendidikan, pengalaman berusahatani, stratum, kebutuhan inovasi
6
termasuk dalam variabel ciri-ciri individu yang berhubungan nyata dengan konfirmasi responden untuk tetap meneruskan keputusan yang telah dilaksanakannya. Variabel frekuensi penyuluhan, tingkat keuntungan relatif, tingkat kerumitan yang rendah, dan tingkat kesesuaian berhubungan nyata, namun tingkat kerumitan dan tingkat kesesuaian berhubungan negatif terhadap tahap konfirmasi. Hasil penelitian Purnaningsih (2006) menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan petani terhadap inovasi pola kemitraan agribisnis terjadi melalui interaksi antara petugas atau pihak mitra dengan petani, kemudian menyebar melalui interaksi sesama petani dan keluarganya dalam suatu komunitas. Pihak yang berperan dalam proses keputusan bermitra adalah: petugas pendamping dari perusahaan, koperasi atau pedagang pengumpul, teman sesama petani dan keluarga petani. Variabel yang sangat baik dapat memprediksi keputusan petani untuk bermitra adalah tingkat kebutuhan bermitra, kepastian pasar, pengalaman berusahatani, persepsi tentang tingkat kerumitan proses bermitra, dan ketersediaan sarana transportasi dan telekomunikasi. Pada penelitian tersebut merujuk teori Rogers, namun variabel yang digunakan kurang konsisten. Hal ini hampir sama pada hasil penelitian Carmelita (2002) tentang Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pola Komunikasi Kelompok pada Proses Pengambilan Keputusan Inovasi (Kasus Inovasi Jamur Tiram pada Kelompok Tani Andalan di Kabupaten Bogor) dan merujuk teori Rogers namun tidak konsisten. Pada teori tersebut faktor karakteristik unit pengambilan keputusan ada hubungan dengan tahap pengenalan akan tetapi dalam penelian tersebut tidak terdapat hubungan.
7
Tabel 1 Tahapan kegiatan budidaya jambu kristal (Psidium guajava L.) Tahap Kegiatan Keterangan Penggemburan lahan Penggemburkan terlebih dahulu dengan menggunakan cangkul Pembuatan lubang Pembuatan lubang tanaman berukuran 40 x 40 x 40 cm Jarak tanam 3mx3m Pemupukan sebelum Pemberian kapur pertanian (dolomit) sebanyak 200 Tanam gr/lubang tanam Pemupukan masa 250-300 gr KNO3 atau 100 gr KCL per pohon berbuah Pupuk Kandang (per pohon) Umur 0-2 tahun 25 kg pupuk kandang per 4 bulan Umur 2-5 tahun 40-50 kg pupuk kandang per 4 bulan Umur >5 tahun 40-50 kg pupuk kandang per 4 bulan dengan menggunakan pupuk ayam telur atau pupuk kambing Pupuk Daun Umur 0-2 tahun Gandasil D sebesar 2 gr/lt pupuk daun per bulan Umur 2-5 tahun Gandasil B, Gandasil D sebesar 2 gr/lt pupuk daun per 2 minggu Umur >5 tahun Gandasil B, Gandasil D sebesar 2 gr/lt pupuk daun per 2 minggu Pemupukan NPK Umur 0-2 tahun Mutiara, Phonska sebesar 100-150 gr NPK per bulan Umur 2-5 tahun Mutiara, Phonska sebesar 350-500 g per 3 bulan Umur >5 tahun Mutiara, Phonska sebesar 350-500 g per 3 bulan Rebahkan dan Merebahkan 45 sampai dengan 60 derajat dan pemangkasan pemangkasan dilakukan dengan cara memangkas tiga ruas dari posisi buah terakhir/ujung daun atau 50 cm dari pangkal tanaman. Pengendalian Hama Pengendalian hama serangga menggunakan larutan Terpadu metindo, jika ada gulma menggunakan roundup, jamur menggunakan dithane, cacing menggunakan furadan. Panen Dilakukan setelah 4 (empat) bulan pasca munculnya bunga atau 2.5 bulan sejak pembungkusan. Pasca panen Pengumpulan buah jambu kristal dengan memasukkannya ke dalam keranjang untuk selanjutnya disortir. Penyortiran buah dilakukan untuk mengategorikan kualitas buah jambu kristal ke dalam grade A, grade B, dan grade C. Setelah disortir, buah jambu kristal disortir untuk kemudian diangkut dan dipasarkan ke Taiwan ICDF atau University Farm IPB.
8
Kerangka Pemikiran Penelitian yang berjudul “Studi Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal (Psidium guajava L.) pada Rumahtangga Petani di Desa Bantarsari” ini merujuk pada konsep dan teori PK Inovasi dari Rogers dan Shoemaker (1971) yang dikutip Mugniesyah (2006) serta dari hasil empiris beberapa penelitian berkenaan PK Inovasi komoditi pertanian sebagaimana dideskripsikan di atas. Merujuk pada Mugniesyah dan Lubis (1990), dalam penelitian ini proses PK Inovasi Budidaya Jambu Kristal diartikan sebagai suatu proses yang mencakup suatu rangkaian kegiatan penerimaan atau penolakan Inovasi Budidaya Jambu Kristal oleh para petani di Desa Bantarsari, yang meliputi lima tahapan, yaitu: pengenalan, persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi. Sehubungan dengan itu variabel dependen dalam penelitian ini adalah: Tingkat Pengenalan Petani terhadap Budidaya Jambu Kristal Petani (Y1), Tingkat Persuasi Budidaya Jambu Kristal Petani (Y2), Tingkat Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal Petani (Y3), Tingkat Implementasi Budidaya Jambu Kristal Petani (Y4), dan Tingkat Konfirmasi Budidaya Jambu Kristal Petani (Y5). Setiap variabel dependen tersebut diduga berhubungan dengan variabel independen dari sejumlah faktor yang tercakup pada Gambar 1. Dalam penelitian ini, Budidaya Jambu Kristal selanjutnya akan disingkat menjadi BJK. Tahap pengenalan (knowledge) menunjuk pada gejala dimana para petani mengetahui adanya inovasi BJK dan memperoleh pengertian mengenai manfaat dari penerapan inovasi tersebut pada usahatani mereka. Mengacu kepada teori PK Inovasi dan inovasi BJK, tahap ini diduga berhubungan dengan berbagai faktor yakni saluran komunikasi yang menyebabkan petani memperoleh informasi tentang BJK, pengalaman terdahulu, serta karakteristik unit pengambil keputusan, yakni individu petani. Merujuk pada penjelasan introduksi inovasi dari hasil studi empiris studi terdahulu, dalam penelitian ini diduga terdapat tiga variabel independen pada faktor kondisi sebelumnya yang mempengaruhi tahap ini, yaitu Praktek Berusahatani Sebelumnya (X1), Tingkat Kebutuhan Petani atas BJK (X2), dan Tingkat Keinovativan Petani (X3). Mengingat petani BJK memperoleh informasi dan mendapat bimbingan dari Taiwan ICDF serta harus melalui kelompok taninya, maka pada saluran komunikasi ada variabel independen yang diduga berpengaruh terhadap tahap ini, termasuk empat tahap selainnya (Y1 sampai dengan Y5), yaitu Partisipasi Adopter BJK (X4). Variabel Y1, diduga juga dipengaruhi oleh sejumlah variabel pada faktor karakteristik Unit PK Inovasi, yang meliputi karakteristik sosial ekonomi, kepribadian, dan perilaku komunikasi. Pada karakteristik sosial ekonomi, variabel yang diduga berhubungan adalah: Tingkat Pendidikan Formal (X5), Tingkat Pendidikan Non-Formal (X6), Tingkat Pengalaman Berusahatani (X7), merupakan variabel independen pada faktor kepribadian yang diduga berpengaruh, sementara variabel independen pada faktor perilaku komunikasi yang diduga berpengaruh adalah Terdedah Komunikasi Interpersonal, Terdedah Media Massa, dan Pola Perilaku Komunikasi (X8). Tahap persuasi menunjuk pada gejala dimana setelah mengenal inovasi Budidaya Jambu Kristal (BJK) petani membentuk sikap suka (setuju) atau tidak suka (tidak setuju) terhadap inovasi BJK. Selain variabel pada Saluran Komunikasi (X4) sebagaimana dikemukakan di atas, tahap ini diduga dipengaruhi
9
oleh Tingkat Pengenalan terhadap BJK (Y1) dan lima variabel pada faktor penerimaan petani atas Inovasi BJK, yaitu Tingkat Keuntungan Relatif BJK (X9), Tingkat Kompatibilitas BJK (X10), Tingkat Kerumitan terhadap BJK (X11), Tingkat Kemungkinan Dicoba (X12), dan Tingkat Kemungkinan Diamati Hasil BJK (X13). Tingkat Keputusan BJK Petani adalah tahap dimana petani memutuskan untuk menerima atau menolak inovasi BJK. Keputusan untuk menerima atau menolak tersebut dilakukan melalui serangkaian musyawarah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai proses penerapan menggunakan apa, bagaimana dan penentuan waktu penerapan beberapa unsur inovasi BJK. Tahap ini dipengaruhi oleh variabel Tingkat Persuasi BJK Petani (Y2) dan variabel pada Saluran Komunikasi (X4). Tahap yang keempat adalah tahap implementasi, yakni tahap pelaksanaan hasil keputusan dari pada unit pengambil keputusan. Tahap ini dipengaruhi oleh X4 dan Tingkat Keputusan Inovasi BJK Petani (Y3). Tingkat Konfirmasi Petani terhadap (Y5) adalah tahap terakhir dari proses pengambilan keputusan inovasi yang merupakan gejala dimana petani BJK akan berusaha mencari informasi lebih lanjut untuk menguatkan keputusan yang telah dibuatnya tadi. Pada tahap ini petani diduga akan mengubah atau tidak mengubah keputusan yang telah dilaksanakannya, tergantung kepada pengalaman yang diperolehnya dari pelaksanaan unsur-unsur inovasi BJK. Sesuai dengan paradigmanya, Y5 ini diduga berhubungan dengan dua variabel saluran komunikasi serta tahap implementasi. Dari aspek pengalaman yang diperoleh pada Tingkat Implementasi tersebut diduga terdapat dua variabel independen, yaitu: Tingkat Produksi BJK (X14) dan Tingkat Pendapatan yang Diperoleh (X15). Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara variabel-variabel pada faktor kondisi terdahulu (Tingkat Kebutuhan Petani atas BJK dan Tingkat Keinovativan Petani), saluran komunikasi (Tingkat Frekuensi Pembinaan oleh Taiwan) serta karakteristik unit PK Inovasi (Tingkat Pendidikan Formal, Tingkat Pendidikan Non-formal, dan Tingkat Pengalaman Berusahatani) dengan Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK. 2. Terdapat hubungan antara variabel-variabel Tingkat pengenalan BJK petani dengan faktor saluran komunikasi (Frekuensi Pembinaan oleh ICDF dan Frekuensi Pertemuan Kelompok Tani BJK) serta persepsi petani terhadap Inovasi BJK (Tingkat Keuntungan Relatif Berbudidaya BJK, Tingkat Kompatibilitas BJK, Tingkat Kerumitan BJK, Tingkat Kemungkinan Dicoba, dan Tingkat Kemungkinan Diamati Hasil BJK) dengan Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK. 3. Terdapat hubungan antara variabel-variabel saluran komunikasi dan Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK dengan Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK. 4. Terdapat hubungan antara saluran komunikasi dan Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK dengan Tingkat Implementasi Petani terhadap BJK. 5. Terdapat hubungan antara saluran komunikasi, Tingkat Implementasi Petani terhadap BJK, dan Tingkat Kepuasan Petani (Tingkat Produksi BJK dan
10
Tingkat Pendapatan yang Diperoleh) dengan Tingkat Konfirmasi Petani terhadap BJK. Definisi Operasional 1. Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK (Y1) adalah pengetahuan petani mengenai teknis BJK yang mencakup kegiatan pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman, panen, hingga pasca panen. Skor nol jika tidak mengetahui dan skor satu jika mengetahui. 2. Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK (Y2) adalah pendapat petani untuk setuju/tidak setuju atau suka/tidak suka terhadap BJK. Skor untuk setuju mendapat nilai satu dan skor untuk tidak setuju mendapat nilai nol. 3. Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK (Y3) adalah pernyataan petani untuk menerima/menolak jika mau menyatakan mau menerima BJK di lahan usahatani mereka. Skor nol jika menolak dan skor satu jika menerima. 4. Tingkat Implementasi BJK Petani (Y4) adalah pelaksanaan keputusan petani untuk menerima atau menolak BJK oleh petani sebagai konsekuensi. Skor nol jika menolak dan skor satu jika menerima. 5. Tingkat Konfirmasi Petani terhadap BJK (Y5) adalah petani mencari penguatan atau pengukuhan atas keputusan inovasi yang telah dibuatnya, akan tetapi dia dapat mengubah keputusannya yang terdahulu, jika dia diperkenalkan pada informasi yang bertentangan dengan inovasi yang telah dia adopsi atau dia tolak sebelumnya, sehingga skor satu jika menerima dan skor nol jika menolak. 6. Praktek Berusahatani Sebelumnya (X1) adalah jenis praktek budidaya tanaman sebelumnya. Jika sebelumnya pada lahan tersebut ditanami tanaman yang jarang menghasilkan (jarang panen) kemudian lahan tersebut digunakan untuk berbudidaya jambu kristal, maka skor yang dimiliki semakin tinggi. Jika sebelumnya pada lahan tersebut non-tanaman (perikanan, peternakan) maka skor diberi satu, usahatani sebelumnya tanaman hortikultura (buah-buahan) diberi skor dua, usahatani sebelumnya hortikultura dengan jenis komoditi sayur-sayuran (kangkung, bayam, terong, dll) diberi skor tiga, bila usahatani sebelumnya tanaman padi/jagung/ubi diberi skor empat, dan jika usahatani sebelumnya ditanami singkong maka memiliki skor tertinggi yakni lima. 7. Tingkat Kebutuhan Petani atas BJK (X2) adalah motivasi atau alasan petani untuk mengadopsi BJK pada lahan usahatani. Masing-masing alasan diberi skor satu dan diakumulasikan dari total alasan berbudidaya. Jumlah alasan yang terbanyak ada lima alasan dan jumlah alasan tekecil ada satu alasan, sehingga skor terendah satu dan skor tertinggi lima. 8. Tingkat Keinovativan Petani (X3) adalah waktu (hari/bulan/tahun) yang dibutuhkan petani sejak mendengar/mengenal Inovasi BJK sampai dengan menerapkannya pada usahatani lahan kering mereka. Waktu terendah tiga hari dan tertinggi 720 hari. 9. Partisipasi Adopter BJK (X4) adalah banyaknya kegiatan penyuluhan yang diterapkan dari ICDF dalam proses penyuluhan BJK sampai petani mengadopsi BJK. Jumlah frekuensi tertinggi 20 pertemuan dan terendah nol pertemuan. 10. Tingkat Pendidikan Formal (X5) adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti individu, dibedakan ke menjadi lima, yaitu: skor satu jika
11
Tingkat pendidikan formal tamat atau sedang SD/sederajat; skor dua jika Tingkat Pendidikan Formal tamat atau sedang SLTP/sederajat; skor tiga jika Tingkat Pendidikan Formal SLTA/sederajat; skor empat jika Tingkat Pendidikan Formal akademi; dan skor lima jika Tingkat Pendidikan Formal sarjana (S1). 11. Tingkat Pendidikan Non-Formal (X6) adalah skor kegiatan pendidikan di luar sekolah (PLS) yang pernah diikuti oleh petani, baik pelatihan dan/atau kursus, seminar, lokakarya, pameran, mimbar sarasehan, dan lainnya, sehingga dibagi menjadi lima, yaitu: skor satu jika tidak pernah mengikuti PLS; skor dua jika mengikuti satu PLS; skor tiga jika mengikuti dua PLS; skor empat jika mengikuti tiga PLS; dan skor lima jika mengikuti empat PLS. 12. Tingkat Pengalaman Berusahatani (X7) adalah total lamanya (bulan/tahun) petani responden berusahatani dalam sektor pertanian, minimal pengalaman berusahatani petani adalah dua tahun dan maksimalnya 44 tahun. 13. Pola Perilaku Komunikasi (X8) adalah akumulasi skor dari interaksi komunikasi (pergaulan) petani dengan beragam sumber informasi yang diperoleh melalui komunikasi interpersonal baik lokalit maupun kosmopolit dan komunikasi bermedia dan media massa. Pada komunikasi interpersonal lokalit diukur dari pola interaksi dominan dengan sumber-sumber informasi yang berdomisili di satu RT, satu RW, satu kampung, satu dusun, dan satu desa; berturut-turut diberi skor satu, skor dua, skor tiga, skor empat, dan skor lima. Pada komunikasi kosmopolit diukur dari status sumber informasi yang berinteraksi dengan petani: ketua kelompok tani, kontak tani/tokoh masyarakat di tingkat: desa, kecamatan, kebupaten, provinsi, dan nasional; berturut-turut diberi skor satu, skor dua, skor tiga, skor empat, skor lima, dan skor enam. Pada komunikasi bermedia dan/atau media massa yang dibedakan menurut jenis media massanya: radio, surat kabar, buku, telepon, televisi, dan internet; berturut-turut diberi skor skor satu, skor dua, skor tiga, skor empat, skor lima, dan skor enam. Total skor terendah satu dan tertinggi delapan. 14. Tingkat Keuntungan Relatif BJK (X9) adalah rata-rata keuntungan (rupiah dan atau produksi) yang diperoleh dari budidaya dengan metode Inovasi BJK. Tingkat keuntungan relatif Inovasi BJK ini dihitung dengan dua cara: (a) produktivitas adalah jumlah produksi BJK dalam satuan ton per/ha dan (b) keuntungan relatif pendapatan adalah hasil jual produksi BJK dikurangi dengan biaya produksi BJK. Secara umum dapat dikatakan semakin tinggi keuntungan relatif suatu inovasi, semakin cepat petani akan mengadopsi inovasi. Sehingga dari hasil panen petani adopter BJK terendah 50kg dan tertinggi 700kg. 15. Tingkat Kesesuaian/Kompatibilitas BJK (X10) adalah derajat dimana aktivitas dan/atau BJK dipandang sesuai (tidak bertentangan/konsisten) dengan aktivitas dan/atau teknologi budidaya jambu biji yang biasanya dan kebutuhankebutuhan petani terhadap BJK. Secara keseluruhan ada 13 aktivitas pada Inovasi BJK. 16. Tingkat Kerumitan BJK (X11) adalah derajat atau tingkat dimana suatu inovasi dianggap sulit untuk diterapkan dan digunakan. Setiap inovasi bisa bermakna dalam suatu kontinum sederhana ke kompleks. Tingkat kerumitan BJK dianggap lebih sulit diaplikasikan dibanding metode budidaya konvensional. Pada penelitian ini Tingkat Kerumitan diganti menjadi Tingkat Kemudahan.
12
Skor satu jika mudah dan skor nol jika tidak mudah. Secara keseluruhan ada 13 aktivitas pada Inovasi BJK. 17. Tingkat Kemungkinan Dicobanya BJK (X12) adalah derajat dimana suatu inovasi dapat dicoba dalam skala kecil sehingga dari sejumlah komponen aktivitas dan/atau ke teknologi dalam BJK dianggap relatif mudah diaplikasikan oleh petani. Secara keseluruhan ada 13 aktivitas pada Inovasi BJK, dimana minimalnya ada enam aktivitas dan maksimalnya ada sebelas aktivitas yang diketahui petani BJK. 18. Tingkat Kemungkinan Diamati BJK (X13) adalah derajat dimana hasil-hasil penerapan suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain dan dirasakan manfaatnya oleh petani. Semakin tinggi kemungkinan untuk diamati hasilnya semakin tinggi penerimaan anggota sistem sosial terhadap suatu inovasi. Skor satu jika dapat diamati dan skor nol jika tidak mungkin diamati. Secara keseluruhan ada 13 aktivitas pada Inovasi BJK. 19. Tingkat Produksi BJK (X14) produksi yang dicapai berupa buah Jambu Kristal yang dihasilkan oleh usahatani BJK per hektar (kg) yang dibedakan ke dalam rendah, sedang, dan tinggi. Dari jumlah produksi yang dicapai terendah sebesar 50 kg dan tertinggi mencapai 700 kg. 20. Tingkat Pendapatan yang Diperoleh (X15) adalah total rupiah yang diperoleh dari BJK per hektar yang dihitung dari total hasil penjualan dikurangi dengan biaya produksi dalam setahun yang dibedakan ke dalam: (1) rendah, jika nilai minimal pendapatan Rp7.027.000,- s.d. Rp67.211.500,- dan (2) tinggi, jika pendapatan diatas Rp67.211.500,-.
SALURAN KOMUNIKASI Frekuensi Partisipasi Dalam Penyuluhan (X4)
T. PENGENALAN PETANI TERH BJK (Y1)
KONDISI SEBELUMNYA
T. PERSUASI PETANI TERH BJK (Y2)
KEPUTUSAN BJK T. KEP PETANI TERH BJK (Y3)
T. IMPLEMENTASI PETANI TERH BJK (Y4)
1. Praktek Berusahatani Sebelumnya (X1) 2. Tingkat Kebutuhan Petani atas BJK (X2) 3. Tingkat Keinovativan Petani (X3)
KARAKTERISTIK UNIT PENGAMBILAN KEPUTUSAN
1. Karakteristik Sosial Ekonomi Tingkat Pendidikan Formal (X5) Tingkat Pendidikan Non-Formal (X6) Tingkat Pengalaman Berusahatani (X7) 2. Perilaku Komunikasi Pola Perilaku Komunikasi (X8)
13
T.KONFIRMASI PETANI TERH BJK (Y5)
TINGKAT KEPUASAN PETANI 1. Tingkat produksi BJK (X14) 2. Tingkat Pendapatan yang Diperoleh (X15)
PERSEPSI PETANI TERHADAP INOVASI BJK
1. 2. 3. 4. 5.
Tingkat Keuntungan Relatif BJK (X9) Tingkat Kompatibilitas BJK (X10) Tingkat Kerumitan BJK (X11) Tingkat Kemungkinan Dicoba (X12) Tingkat Kemungkinan Diamati Hasil BJK (X13)
Keterangan Y X
: Berhubungan : Variabel Dependen : Variabel Independen
Gambar 1. Hubungan Antar Variabel Independen dan Variabel Dependen dalam Proses Pengambilan Keputusan Inovasi Budidaya Jambu Kristal (Psidium guajava L)
14
METODE Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei, sementara pendekatan kualitatif dilakukan dengan metode wawancara mendalam dan observasi. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk memperoleh gambaran umum proses pengambilan keputusan Inovasi BJK pada petani yang mengadopsi inovasi (adopter) BJK. Survei dalam penelitian ini meliputi survei rumahtangga dan individu petani adopter BJK, semuanya dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Survei rumahtangga petani dilakukan untuk memperoleh data tentang profil rumahtangga petani, terutama tentang aspek demografi, penguasaan lahan, aset produksi pertanian dan barang berharga, serta partisipasi dalam beragam kelembagaan, baik formal maupun informal. Kuesioner pada survei rumahtangga ini dilakukan dengan mengadaptasi kuesioner profil rumahtangga dan kuesioner usahatani yang diadaptasi dari penelitian Riset Unggulan Terpadu tentang Pemberdayaan Wanita dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan untuk Meningkatkan Ekonomi dan Ketahanan Pangan Rumahtangga (Mugniesyah. 2001). Survei pada tingkat individu dilakukan untuk mengumpulkan data primer tentang semua variabel dependen dan independen sebagaimana dikemukakan pada Gambar 1. Adapun wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan untuk mengumpulkan informasi baik tentang proses Pengambilan Keputusan Inovasi BJK, serta permasalahan yang dihadapi petani setelah mengadopsi Inovasi BJK. Observasi dilakukan dengan mengikuti pertemuan kelompok dan kunjungan usahatani BJK, yang dimaksudkan untuk lebih mengetahui aspek-aspek teknis dalam BJK. Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data primer dan sekunder. Data primer mencakup semua data variabel dependen dan independen sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Selain itu juga data berkenaan gambaran umum penerapan Inovasi BJK yang diperoleh melalui wawancara mendalam, dan observasi. Adapun data sekunder mencakup semua data berkenaan penyelenggaraan dan perkembangan BJK yang tercantum dalam buku panduan BJK dari Taiwan ICDF/UF-IPB, dan data sekunder lainnya berupa Profil Desa Bantarsari (untuk mengetahui kondisi umum lokasi penelitian). Selain itu, mencakup data berkenaan dengan ketersediaan infrastruktur di desa, dan kebijakan pemerintah. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Bantarsari, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Bantarsari merupakan salah satu yang yang jumlah petani pembudidaya jambu kristalnya terbanyak (Tabel 9). Penelitian ini berlangsung dari minggu ketiga bulan April sampai dengan akhir bulan Mei 2013.
15
Penentuan Sampel dan Responden Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Bantarsari di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Adapun populasi contoh dalam penelitian ini adalah masyarakat petani di desa tersebut yang berbudidaya jambu kristal. Penentuan responden ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa di Desa Bantarsari terdapat Kelompok Petani BJK yang dibentuk sejak adanya introduksi jambu kristal oleh Taiwan ICDF/UF-IPB sejak tahun 2008. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu (petani BJK) dan rumahtangga. Unit analisis individu digunakan untuk menganalisis tahapan pengambilan keputusan. Pengolahan dan Analisis Data Data primer yang telah terkumpul diedit terlebih dahulu untuk kemudian dimasukkan (entry) ke dalam sistem data dalam komputer dengan menggunakan Program Microsoft Excel 2010. Data yang sudah dientry tersebut selanjutnya, adapun diolah dan dianalisis ke dalam bentuk tabulasi frekuensi dan tabulasi silang dengan menggunakan PIVOT, khususnya untuk mendeskripsikan profil individu dan rumahtangga, serta menjelaskan setiap tahapan proses keputusan Inovasi BJK dan semua variabel yang ada dalam penelitian ini sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Untuk pengujian hipotesis dalam penelitian ini digunakan program SPSS 18 for windows. Adapun pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan statistik non parametrik Uji Korelasi Rank Spearman (rs). Uji korelasi Rank Spearman dipilih dengan pertimbangan bahwa variabel-variabel bebas dan tidak bebas dalam penelitian ini menggunakan pengukuran dalam skala ordinal. Tingkat kesalahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 5 persen atau pada taraf nyata α 0.05, yang berarti memiliki tingkat kepercayaan 95 persen. Nilai probabilitas (P) yang diperoleh dari hasil pengujian dibandingkan dengan taraf nyata untuk menentukan apakah hubungan antara variabel nyata atau tidak. Bila nilai P lebih kecil dari taraf nyata α 0.05 maka hipotesis diterima, terdapat hubungan nyata. Sebaliknya bila nilai P lebih besar dari taraf nyata α 0.05 maka hipotesis tidak diterima, yang berarti tidak terdapat hubungan nyata dan nilai koefisien korelasi γs diabaikan.Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada Pedoman Penulisan Karya Ilmiah IPB.
16
KEADAAN UMUM DESA BANTARSARI Kondisi Geografis dan Luas Wilayah Desa Secara administratif, Desa Bantarsari merupakan salah satu desa dari tujuh desa yang ada di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa Bantarsari berbatasan dengan sejumlah desa yang terletak di dua kecamatan. Di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Cimulang yang berlokasi di kecamatan yang sama, dan dengan tiga desa yang berlokasi di Kecamatan Kemang, berturut-turut dengan Desa Bojong di sebelah Timur, dengan Desa Bantar Jaya di sebelah Selatan, dan Desa Pabuaran di sebelah Barat . Lokasi Desa Bantarsari berjarak sekitar lima kilometer dari ibukota kecamatan, 21 kilometer dari ibukota Kabupaten Bogor, 161 kilometer dari ibukota Provinsi Jawa Barat, atau 83 kilometer dari ibukota Negara Republik Indonesia. Perjalanan menuju Desa Bantarsari dapat ditempuh melalui trayek angkutan umum atau kendaraan roda dua (motor). Trayek angkutan umum dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Kecamatan Dramaga menuju Desa Bantarsari adalah melalui trayek angkutan umum Kampus Dalam yang berpangkal di Terminal Laladon atau Bubulak. Selanjutnya dari Terminal Laladon atau Bubulak naik trayek 32 arah Kabupaten Cibinong dan turun di perbatasan lampu merah Jalan Semplak. Kemudian, melanjutkan perjalanan trayek Anyar-Parung dan turun di Jalan Salabenda, dan trayek terakhir angkutan umum khusus masuk ke desa dengan nomor trayek 63. Trayek khusus angkutan masuk ke dalam desa tidak banyak, sehingga penumpang akan menunggu satu hingga dua jam. Sehingga, untuk menempuh Desa Bantarsari dari perjalanan awal dari kampus dalam menggunakan empat trayek angkutan umum. Namun jika tidak bersedia menunggu lama angkutan umum yang masuk ke desa, bisa ditempuh dengan trayek yang lebih mudah dan lebih cepat dengan menggunakan ojek motor, yakni dari perbatasan lampu merah Jalan Semplak menggunakan trayek pasar AnyarBantarkambing, yang selanjutnya turun di pangkalan ojek Lumbung dan masuk ke dalam desa dengan menggunakan ojek motor. Sehingga biaya yang dibutuhkan untuk sekali sampai di Desa Bantarsari sebesar Rp15.000,00 dan pulang pergi sebesar Rp30.000,00. Secara administratif, Desa Bantarsari terdiri dari empat buah dusun (kampung) dan tujuh buah Rukun Warga (RT), dimana setiap RW terdapat Rukun Tetangga (RT). Adapun jumlah RT di masing-masing RW, yakni RW1 terdapat empat RT, RW 2 terdapat empat RT, RW 3 terdapat empat RT, RW 4 terdapat tiga RT, RW 5 terdapat empat RT, RW 6 terdapat lima RT, dan RW 7 terdapat tiga RT, sehingga jumlah keseluruhan RT sebanyak 27 buah. Luas wilayah Desa Bantarsari dapat dilihat pada Tabel 2. Luas wilayah Desa Bantarsari seluruhnya 347.272 ha yang sebagian besar lahannya digunakan untuk lahan pertanian sekitar 80 persen baik berupa kebun maupun sawah. Dari angka tersebut luas wilayah sawah yang paling dominan digunakan sebesar sekitar 60 persen. Lahan kebun tersebut ditanami tanaman
17
hortikultura baik buah-buahan maupun tanaman sayuran, serta tanaman palawija berupa antara lain bengkuang dan singkong. Adapun lahan sawah dimanfaatkan untuk budidaya padi. Tabel 2 Luas dan persentase wilayah Desa Bantarsari menurut penggunaannya, tahun 2011 Penggunaan lahan Luas (Ha) Perkantoran desa 0.10 Kuburan 5.17 Pekarangan 25.00 Pemukiman 35.00 Kebun 67.00 Sawah 215.00 Total 347.27 Sumber: Data Potensi Desa Bantarsari 2011
Persen (%) 0.03 1.49 7.20 10.08 19.29 61.91 100.00
Dari hasil observasi di lapangan, ada penggunaan lahan seperti perkantoran sekolah tampaknya tidak dimasukkan pada luas wilayah perkantoran desa. Keadaan Umum Penduduk Dengan wilayah seluas wilayah 347 272 ha atau sekitar 2 km2, Desa Bantarsari memiliki kepadatan penduduk sekitar 3 272 jiwa/km2 dengan penyebaran penduduk yang tidak merata. Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantarsari menurut kelompok umur dan jenis kelamin, tahun 2011 Laki-laki Golongan Umur (tahun) Jumlah (orang) Persen (%) 0-1 (Balita) 224 7.14 2-4 202 6.44 5-6 194 6.19 7-12 433 13.81 13-15 205 6.54 16-18 181 5.77 19-25 430 13.71 26-35 530 16.90 36-45 241 7.68 46-50 141 4.50 51-60 178 5.68 61-75 138 4.40 75+ 39 1.24 Total (jiwa) 3 136 100.00 Sumber: Data Potensi Desa Bantarsari 2011
Perempuan Jumlah (orang) Persen (%) 213 7.32 222 7.63 152 5.23 333 11.45 297 10.21 170 5.84 319 10.97 420 14.44 332 11.41 136 4.68 151 5.19 128 4.40 36 1.24 2 909 100.00
18
Berdasar Potensi Desa Bantarsari Tahun 2011, jumlah penduduk di desa ini tercatat sebanyak 6 045 jiwa, yang terdiri atas 3 136 jiwa laki-laki, dan 2 909 jiwa perempuan. Jumlah tersebut berasal dari 1 859 Kepala Keluarga (KK), dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak tiga orang. Adapun data distribusi penduduk di Desa Bantarsari menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasar data pada Tabel 3 diketahui mayoritas penduduk Desa Bantarsari tergolong usia kerja atau usia produktif (15-60 tahun) yakni sebesar 4 265 jiwa atau sebesar 70.5 persen dari jumlah total. Penduduk usia yang tegolong dalam usia sekolah (SD-SMA), yakni mereka pada kelompok umur 5-19 tahun sekitar 30 persen, sementara penduduk lanjut usia (umur ≥ 61 tahun) sekitar 380 jiwa atau 6.2 persen. Adapun penduduk usia bawah lima tahun atau balita (umur 0-4 tahun) sebanyak 1.063 jiwa atau sekitar 17.5 persen. Tabel 4
Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantarsari menurut tingkat pendidikan, tahun 2011 Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persen (%) Tamatan Perguruan Tinggi 83 2.03 Tamat SLTA/Sederajat 696 16.99 Tamat SLTP/Sederajat 1 460 35.64 Tamat SD/Sederajat 1 430 34.91 Tidak Tamat SD/MI 427 10.42 Total 4 096 100.00 Sumber: Data Potensi Desa Bantarsari 2011 Berdasarkan data pada Tabel 4, diketahui bahwa mayoritas warga masyarakat Desa Bantarsari, terdiri atas mereka yang berpendidikan tamat SLTA/Sederajat sebesar 29.45 persen. Berdasarkan Program Education for All (EFA) yang dicanangkan oleh permerintah adalah komitmen pendidikan selama 12 tahun, di Desa Bantarsari terbukti program tersebut telah dijalankan. Sedikitnya masyarakat yang lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dikarenakan tidak adanya fasilitas gedung SMA di Desa Bantarsari dan untuk menjangkau keluar dari desa tersebut dengan menggunakan transportasi membutuhkan dana yang tinggi. Kondisi Sosial Mayoritas penduduk Desa Bantarsari beragama Islam mencapai 95 persen dan kehidupan beragama di Desa Bantarsari dalam keadaan baik. Dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Desa Bantarsari mayoritas mata pencahariannya buruh/jasa, mereka tidak tergantung kepada tanah pertanian dari jumlah usia kerja. Untuk melihat kondisi sosial masyarakat Desa Bantarsari, dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Pada Tabel 5 terlihat bahwa mayoritas penduduk Desa Bantarsari bekerja di sektor pertanian. Hal ini juga diperkuat oleh data Tabel 2 luas wilayah Desa Bantarsari menurut penggunaannya dimana mayoritas lahan berupa lahan pertanian sebesar 81.2 persen. Selanjutnya diikuti oleh mereka yang bekerja di sektor jasa (buruh kebun, buruh bangunan, dan pengemudi) sebesar 426 orang
19
atau sebesar 27.89 persen. Pada sektor perdagangan sebanyak 107 orang atau 7.22 persen. Tabel 5
Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantarsari menurut jenis pekerjaan, tahun 2011
Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Sektor Pertanian Petani pemilik tanah 97 Petani penggarap tanah 67 Buruh tani 309 Buruh Kebun 72 Sub-Total 545 Sektor Industri Industri kecil (garmen) 3 Buruh Industri 164 Sub-Total 167 Sektor Jasa Pedagang 107 PNS/TNI/POLRI 40 Pengemudi/jasa 94 Pensiunan 27 Pertukangan (buruh bangunan) 247 Sub-Total 515 Total 1 227 Sumber: Data Potensi Desa Bantarsari 2011
Persen (%) 7.91 5.46 25.18 5.87 44.42 0.24 13.37 13.61 8.72 3.26 7.66 2.20 20.13 41.97 100.00
Dari penjelasan data di atas, hal tersebut di atas diperkuat dari data Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6
Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantarsari menurut tingkat kesejahteraan, tahun 2011 Tingkat Kesejahteraan Jumlah (orang) Persen (%) KS III+ 15 0.87 KS III 135 7.79 KS II 430 24.81 KS I 559 32.26 Pra KS 594 34.28 Total 1 733 100.00 Sumber: Data Potensi Desa Bantarsari 2011 Pada Tabel 6 di atas, kondisi mata pencaharian, pendidikan, dan lainnya penduduk tersebut berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan penduduk. Secara keseluruhan penduduk di Desa Bantarsari tergolong pada tingkat kesejahteraan Pra KS, KS I, dan KS II, yakni sekitar 90 persen. Pada kondisi luas lahan sawah sebesar 215 ha dengan jumlah 1 859 Kepala Keluarga (KK) sehingga setiap KK memperoleh ±0,1 ha lahan sawah.
20
Pada Tabel 7 di bawah ini dapat dilihat keadaan penduduk menurut agama yang mereka anut. Tabel 7 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bantarsari menurut agama, tahun 2011 Agama Jumlah (orang) Persen (%) Islam 6 433 98.92 Budha 55 0.85 Kristen Protestan 15 0.23 Total 6 503 100.00 Sumber: Data Potensi Desa Bantarsari 2011 Masyarakat Desa Bantarsari mayoritas penduduknya beragama Islam dan mereka merupakan masyarakat lokal (etnik Sunda) Adapun penduduk yang beragama bukan Islam umumnya adalah penduduk pendatang dari luar desa yang terdiri dari etnik Cina yang beragama Budha dan etnik Batak yang beragama Kristen Protestan. Sarana dan Prasarana Desa Bantarsari mempunyai sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan masyarakat, diantaranya fasilitas umum seperti lapangan olahraga, taman, dan jalur hijau. Selain itu, di desa ini terdapat 12 masjid dan lima unit mushola yang tersebar. Dalam hal prasarana pendidikan, di desa ini terdapat empat unit Taman Kanak-kanak (TK), tiga unit Sekolah Dasar (SD), dua unit Sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI), dan dua unit Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kelembagaan yang ada di Desa Kemang meliputi kelembagaan formal dan informal. Kelembagaan formal terdiri dari lembaga pemerintahan seperti Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) beranggotakan sembilan orang dan Lembaga Kemasyarakatan Desa yang meliputi kelompok Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) beranggotakan 16 orang, Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT), Karang Taruna, Posyandu, dan Kelompok Rukun Tani. Kelompok Rukun Tani di Desa Bantarsari adalah salah satu kelembagaan di bidang pertanian. Tujuan terbentuk kelompok ini adalah untuk membantu mobilisasi transaksi produk-produk pertanian. Dalam mendukung program Keluarga Berencana (KB), di desa ini terdapat sarana dan prasarana kesehatan antara lain satu unit pos KB desa dan delapan unit posyandu, dimana hampir semua akseptor KB menggunakan pil atau dengan suntik. Di desa ini terdapat satu orang bidan dan empat orang dukun bayi/paraji. Untuk memudahkan petani dalam pengairan dan irigasi sawah terdapat prasarana pengairan, yakni tiga unit sungai dan satu buah saluran irigasi.
21
GAMBARAN UMUM PROYEK TAIWAN ICDF/UF-IPB Sejarah dan Struktur Organisasi Proyek Taiwan ICDF/UF IPB Taiwan International Cooperative Development Fund (Taiwan ICDF) adalah organisasi yang menetapkan pendirian Misi Teknik Taiwan, yang didirikan sejak tahun 1959 di Vietnam. Sekarang Misi Teknik Taiwan telah memiliki 204 Teknisi di 25 negara yang tersebar antara lain di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika, Amerika Tengah, Asia Pasifik, Karibia, dan Amerika Selatan. Sejak tahun 1984, Misi Teknik Taiwan telah melakukan proyek-proyek di Indonesia antara lain proyek perikanan di Probolinggo dan Situbondo, Jawa Timur yang berlangsung hingga bulan Desember 2007. Adapun pada tahun 1998 hingga bulan Desember 2006 melakukan proyek kedelai di Lawang, Jawa Timur. Pada tahun 1990 hingga bulan Mei 2005 melakukan proyek jamur di Sleman Yogyakarta. Sejak tahun 1996 hingga sekarang, Misi Teknik Taiwan melakukan proyek agribisnis beberapa kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Tengah antara lain di Mojokerto, Boyolali, Sleman, dan Bogor. Proyek penelitian ini merupakan hasil kesepakatan antara IPB dan TTM (Taiwan Technical Mission) yang ditandatangani pada bulan April 2006, yang kemudian diikuti kegiatan persiapan lahan yang dilakukan pada bulan Mei 2006. Proyek ini memiliki aset berupa lahan seluas enam hektar. Di atas lahan enam hektar tersebut terdapat beberapa bangunan yang terdiri dari tempat pembibitan, tempat pembimbingan, ruang pengemasan (packing room), rumah kaca (green house), lahan demonstrasi, lahan produktif, kantor pos satpam, garasi, tempat parkir. Konstruksi sarana dibangun pada 26 Februari 2007 dan mulai resmi dibuka pada 24 Oktober 2007. Kegiatan utama yang dilakukan adalah penyuluhan melalui metode penyuluhan: demonstrasi, pelatihan, lokakarya (workshop), kunjungan, produksi bibit, pemasaran, serta pameran promosi. Misi Teknik Taiwan bekerjasama dengan University Farm Institut Pertanian Bogor bergerak di bidang usaha proyek agribisnis yang saat ini diberi nama Agribusiness Development Center (ADC). Alamat kantor berada di Cikarawang RT/RW 003/007, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Struktur organisasi terdiri dari Misi Teknik Taiwan yang mengelola proyek agribisnis, untuk bagian tim jambu kristal dipimpin oleh Mr. Liao. Adapun pihak University Farm IPB menunjuk beberapa staf sebagai counterpart dalam pengelolaan dan pembinaan di setiap produk agribisnis, khusus untuk jambu kristal adalah Ibu Farida Nur Fitriana, STP. Struktur organisasi perusahaan selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3. Sebagaimana terlihat pada Gambar 3, terdapat empat sub proyek produk agribisnis yang dikelolah oleh Taiwan ICDF adalah produk agribisnis sayuran organik, sayuran non organik dan jambu kristal. Sayuran organik yang dibudidayakan antara lain berupa bayam merah dan hijau (edible amaranth), selada keriting (lettuce), cai sim (rape), kangkung (water spinach), kailan (chinese kale), dan sawi sendok (pai choi). Produk sayuran non organik antara lain asparagus, tomat ceri, pare putih, bunga kucai, buncis muda (baby buncis), oyong, labu, lobak, okra, kacang panjang merah, terong bulat, terong panjang, dan
22
pepaya. Adapun komoditi buah yang dibudidayakan dan menjadi unggulan ICDF/IPB adalah jambu kristal, yang di dalamnya tidak hanya mencakup kegiatan produksi, tetapi juga meliputi pengolahan, penyortiran, pengemasan, penyimpanan, dan pemasaran. Taiwan International Cooperation and Development Fund
University Farm Institut Pertanian Bogor
Expert Sayuran Organik : Huang Chih Hisen Sayuran non organik : Chiu Wen Chi Jambu Kristal : Liao Marketing : Wu Chiung Feng
Counterparts Sayuran organik Sayuran non organik Jambu Kristal Fitriana Marketing
: Tisna : Koko : Farida Nur
Agribussiness Development Centre (ADC) Farm Manager : Ezipotia Rusli
: Hima
Asisten Ahli Sayuran Organik
Asisten Ahli Sayuran Non Organik
Asisten Ahli Jambu Kristal
Asisten Ahli Marketing
KARYAWAN
Gambar 2 Struktur organisasi Taiwan ICDF/UF IPB (Taiwan ICDF/UF-IPB. 2012) Hubungan Kemitraan antara Taiwan ICDF/UF-IPB dengan Petani Mitra Seperti dapat dilihat pada Gambar 2, yang menjadi penanggung jawab kemitraan dengan petani pembudidaya jambu kristal adalah Counterparts Jambu Kristal. Produk agribisnis yang dipasarkan oleh Taiwan ICDF/UF-IPB berasal dari lahan proyek Taiwan ICDF/UF-IPB dan lahan yang dikuasai petani mitra. Sistem kerja sama dengan petani mitra berupa sistem yarnen (bayar saat panen), yakni sistem kerja sama dimana petani mitra memperoleh bibit yang ditanam di lahannya yang diperoleh dari Taiwan ICDF/UF-IPB yang seharga Rp25 000.-. Dalam sistem yarnen tersebut petani diwajibakan menyetorkan sebesar 25 persen untuk cicilan pelunasan bibit tiap pengiriman jambu. Bentuk kemitraan yang dibangun antara petani dengan Taiwan Technical Mission atau TTM yaitu petani
23
berperan sebagai produsen utama dari komoditi-komoditi yang dikembangkan dan TTM berperan sebagai tenaga pendamping bagi petani untuk mendapatkan produksi yang lebih baik. Jumlah dan persentase bibit yang ditanam petani di Desa Bantarsari dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah dan persentase bibit yang ditanam petani di Desa Bantarsari Jumlah bibit yang ditanam 30-200 200-350 350-500 Total Sumber: Data Primer
Jumlah (orang) 23 9 6 38
Persen (%) 60.53 23.68 15.79 100.00
Tabel 8 menyajikan data jumlah bibit yang ditanam petani di Desa Bantarsari tergolong pada kategori rendah yaitu jumlah bibit yang ditanam sebanyak 30-200 pohon di lahan usahatani mereka. Dari jumlah total pembudidaya jambu kristal hanya enam orang yang menamam jambu kristal sebanyak 350-500 pohon di lahan usahatani mereka. Petani mitra pembudidaya jambu kristal tersebar di beberapa desa di Kabupaten Bogor, dan yang terbanyak ada di Desa Cikarawang dan Desa Bantarsari yang hampir mencapai 103 orang. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah yang menjelaskan jumlah petani BJK yang tertinggi berbudidaya jambu kristal adalah Desa Bantarsari sebesar 42 orang dan dilanjutkan Desa Cikarawang sebesar 29 orang. Tabel 9 Jumlah petani adopter BJK di Kabupaten Bogor menurut desa binaan, tahun 2011 Persen (%) Nama Desa Binaan Jumlah (orang) 40.78 Desa Bantarsari 42 28.16 Desa Cikarawang 29 3.88 Desa Bantarjaya 4 2.91 Desa Tegal 3 1.94 Desa Bojong 2 1.94 Desa Cibatok 2 1 22.33 Lainnya (23 desa) 23 100.00 Total 103 Sumber: Data Petani Desa Binaan 2011 Terdapat perjanjian antara Taiwan ICDF/UF-IPB dengan petani mitra yakni petani mitra wajib memasarkan hasil panennya kepada pihak Taiwan ICDF/IPB dan harus melakukan sortasi (grading). Terdapat tiga grade jambu kristal yang akan dibeli oleh Taiwan ICDF/UF-IPB yaitu grade A, B, dan C 1
Desa Ciherang, Desa Babakan, Desa Rancabungur, Desa Bangkong, Desa Tapos, Desa Cibitung, Desa Pamijahan, Desa Gunung Sari, Desa Cimayang, Desa Gunung Bunder, Desa Cikeas, Desa Pasir Jaya, Desa Tangkil, Desa Tegal Waru, Desa Cinangneng, Desa Sukaharja, Desa Bubulak, Desa Tegal Lega, Desa Cijujung, Desa Tambelang, dan Desa Cibumian
24
dengan ketetapan harga berurut-turut sebesar Rp15 000.-, Rp7 000.-, Rp5 000.per kg. Tampilan untuk jambu kristal berdasarkan grade mutu dapat dilihat pada Gambar 3.
Grade A
Grade B
Grade C
Gambar 3 Jambu kristal berdasarkan grade mutu (Taiwan ICDF/UF-IPB. 2012) Keterangan untuk standar mutu jambu kristal yang diterapkan di Taiwan ICDF/UFIPB pada saat penyortiran dijabarkan pada Tabel 10.
Tabel 10 Standar mutu jambu kristal per grade mutu Klasifikasi Grade Keterangan Grade A -ukuran buah seragam dan memiliki bobot kurang lebih 300 gram, - bentuk buah mendekati bulat atau bulat, - warna kulit buah hijau muda, dan -ekstur permukaan buah mulus, tidak ada bercak kecoklatan akibat serangan penyakit, kebusukan, atau akibat benturan fisik. Grade B - ukuran 250 sampai 300 gram, - bentuk buah tidak bulat sempurna, dan - tekstur permukaan terdapat sedikit bercak kecokelatan Grade C -ukuran buah tidak seragam, cenderung kecil sekitar 250 gram - tekstur permukaan buah tidak mulus, terdapat bercak kecokelatan, terdapat cacat akibat benturan fisik, warna kulit buah kekuningan dan bentuk buah tidak sempurna.
Hubungan antara Taiwan ICDF/UF-IPB dengan Keikutsertaan Petani dalam Budidaya Jambu Kristal (BJK) di Desa Bantarsari Hubungan antara Taiwan ICDF/UF-IPB dengan petani BJK melalui kerja sama (kemitraan) dalam bentuk yarnen. Kemitraan ini dilakukan secara tertulis/kontrak namun tidak mengikat. Dalam kemitraan tersebut petani mitra sebagai pemasok utama bagi pangsa pasar Taiwan ICDF/UF IPB dan memperoleh bibit secara gratis dan yarnen. Dalam menentukan harga jual dari hasil panen berada sepenuhnya di tangan Taiwan ICDF/UF-IPB dimana harga yang
25
ditawarkan kepada petani lebih tinggi dari harga pasar, namun hasil panen tersebut terlebih dahulu disortir sesuai mutu grade. Selain mendapatkan bibit, petani juga memperoleh pendampingan teknis cara berbudidaya jambu kristal. Oleh karena itu pendampingan teknis untuk petani adopter BJK penting dilakukan oleh Taiwan ICDF/UF-IPB dalam meningkatkan kualitas hasil panen dari BJK. Pendampingan yang dilakukan ICDF/UF-IPB salah satunya adalah penyuluhan mengenai aspek teknis budidaya jambu kristal yang dilakukan hampir dilakukan setiap bulan baik diselenggarakan di kantor ICDF/UF-IPB maupun dilakukan langsung di desa binaan. Namun pertemuan yang dilakukan tersebut lebih banyak dilakukan di kantor dibanding langsung di desa. Jumlah petani binaan Taiwan ICDF/UF-IPB sampai saat ini sudah lebih dari 100 petani yang tersebar di seluruh kabupaten/kotamadya Bogor.
26
PROFIL RUMAHTANGGA PETANI ADOPTER BUDIDAYA JAMBU KRISTAL (BJK) DI DESA BANTARSARI Bab ini mengemukakan profil rumahtangga petani adopter budidaya jambu kristal (selanjutnya ditulis BJK), khususnya berkenaan karakteristik anggota rumahtangga dan rumahtangga di Desa Bantarsari yang disurvei penelitian ini. Profil rumahtangga petani adopter BJK mencakup karakteristik individu dan rumahtangga. Anggota rumahtangga (selanjutnya ditulis ART) meliputi jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan, status perkawinan, dan tingkat pendidikan formal. Adapun karakteristik rumahtangga petani adopter BJK, meliputi: kepemilikan ternak, benda-benda berharga, serta penguasaan lahan yang dimiliki. Responden tersebar di empat kampung, yakni: Hulurawa, Bantarsari, Bojong Tengah, dan Baru. Jumlah populasi petani BJK di Kampung Hulurawa sebesar 19 orang, di Kampung Bantarsari lima orang, Kampung Bojong Tengah tujuh orang, dan Kampung Baru sebanyak tujuh orang, sehingga jumlah keseluruhan petani BJK di Desa Bantarsari berjumlah 38 petani yang terdiri empat individu perempuan dan 34 individu laki-laki dengan cara sensus. Karakteristik Anggota Rumahtangga Petani Adopter BJK Rata-rata Jumlah Anggota Rumahtangga dan Jenis Kelamin Dari hasil survei rumahtangga diketahui bahwa jumlah ART dari total rumahtangga petani adopter sebanyak 191 orang, atau rata-rata terdapat sekitar 5 orang per rumahtangga. Hal ini diduga karena mayoritas rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian masih menganut sistem nilai “Banyak Anak Banyak Rezeki”. Selain itu diduga juga karena melemahnya pelaksanaan Program Keluarga Berencana yang dicanangkan Pemerintah Kabupaten Bogor. Menurut jenis kelaminnya, ART Petani Adopter BJK terdiri atas 99 orang laki-laki (51.83 persen) dan 92 orang perempuan (48.17 persen). Kondisi lebih tingginya persentase ART laki-laki dibanding ART perempuan ini tidak jauh berbeda dengan kondisi umum penduduk di Desa Bantarsari, dimana persentase penduduk laki-lakinya sedikit lebih tinggi dibanding penduduk perempuan.
2 48%
1 52%
Gambar 4 Persentase anggota rumahtangga petani BJK Desa Bantarsari menurut jenis kelamin, tahun 2013
27
Anggota Rumahtangga menurut Kelompok Umur Pada Tabel 11 di bawah ini disajikan data komposisi ART petani adopter BJK menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Dari tabel tersebut diketahui bahwa mayoritas ART adopter BJK tergolong usia produktif (15-64 tahun) sebesar 77.49 persen. Adapun sisanya adalah mereka yang tidak produktif. Pada kelompok usia bukan produktif ( <15 tahun), persentase ART perempuan lebih tinggi sekitar 0.52 persen dibanding laki-laki. Adapun persentase ART petani BJK yang tergolong usia lanjut (65 tahun ke atas) karena sudah lansia sebesar 4.19 persen. Tabel 1 Jumlah dan persentase anggota rumahtangga petani adopter BJK menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Desa Bantarsari, tahun 2013 Laki-laki Perempuan Total Kelompok Umur Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen (tahun) (orang) (%) (orang) (%) (orang) (%) <15 17 8.90 18 9.42 35 18.32 15-19 9 4.71 9 4.71 18 9.42 20-24 10 5.24 7 3.66 17 8.90 25-29 6 3.14 10 5.24 16 8.38 30-34 12 6.28 5 2.62 17 8.90 35-39 6 3.14 12 6.28 18 9.42 40-44 9 4.71 10 5.24 19 9.95 45-49 8 4.19 3 1.57 11 5.76 50-54 5 2.62 6 3.14 11 5.76 55-59 6 3.14 6 3.14 12 6.28 60-64 5 2.62 4 2.09 9 4.71 65+ 6 3.14 2 1.05 8 4.19 Total 99 51.83 92 48.17 191 100.00 Menurut jenis kelaminnya, persentase ART laki-laki lebih tinggi 3.66 persen dibanding ART perempuan. Terdapat 8.90 persen ART yang tergolong lanjut usia atau lansia (berumur ≥60 tahun). Menurut jenis kelaminnya, ART lakilaki pada kelompok umur ini lebih tinggi 2.62 persen disbanding kelompok ART perempuan pada kelompok umur yang sama. Berdasar pada pendapat Rusli (1995) tentang rumus analisis ketergantungan individu (dependency ratio)2, dapat diketahui besaran beban tanggungan setiap rumahtangga dengan cara menghitung rasio ART usia muda dan lanjut usia (lansia) dengan jumlah ART usia produktif. Dari data tersebut diperoleh nilai ketergantungan individu (dependency ratio) sebesar 30. Artinya setiap 100 orang ART usia produktif harus menanggung 30 orang ART usia tidak produktif. Dengan perkataan lain, analisis ketergantungan individu menunjukkan bahwa adopter BJK di Desa Bantarsari mempunyai tingkat ketergantungan yang rendah, yakni sekitar 0.3 atau kurang dari satu. Ini memperkuat data jumlah
2
Rumus Dependency Ratio =
Jumlah penduduk umur 0 − 14 tahun dan 65 + Jumlah penduduk umur 15 − 64 tahun
28
penduduk usia kerja lebih banyak daripada jumlah penduduk yang bukan usia kerja (penduduk usia muda dan tua atau lanjut usia). Anggota Rumahtangga menurut Jenis Pekerjaan Secara umum pekerjaan ART petani adopter BJK di Desa Bantarsari menurut jenis pekerjaannya dapat dikategorikan ke dalam enam jenis pekerjaan, yaitu: petani pemilik, butuh tani, pedagang, PNS, pensiunan, dan karyawan. Pada Tabel 12 menyajikan data mengenai kondisi rumahtangga menurut jenis pekerjaan. Terdapat sekitar 38 persen ART petani BJK bekerja di sektor pertanian dan berstatus sebagai petani pemilik. Hal ini dimungkinkan pada bab sebelumnya mengenai keadaan desa telah dijelaskan luas lahan sawah dan kebun tergolong tinggi sehingga dimungkinkan adanya hubungan tingginya ART petani BJK yang bekerja di sektor pertanian karena masih banyak lahan persawahan di Desa Bantarsari. Tabel 12 Jumlah dan persentase anggota rumahtangga petani adopter BJK menurut pekerjaan dan jenis kelamin, tahun 2013 Jenis Pekerjaan Utama Petani Pemilik Buruh Tani Sub total Pedagang PNS Pensiunan Karyawan (buruh industri/pegawai swasta) Sub total Total
Laki-laki Perempuan Jumlah Persen Jumlah Persen (orang) (%) (orang) (%) Sektor Pertanian 25 30.86 6 7.40 6 7.40 0 0.00 31 38.27 6 7.40 Sektor Jasa 6 7.40 1 1.23 3 3.70 4 4.93 4 4.93 0 0.00
Total Jumlah Persen (orang) (%) 31 6 37
38.27 7.40 45.67
7 7 4
8.64 8.64 4.93
21
25.93
5
6.17
26
32.09
34 65
4198 80.25
10 16
12.35 19.75
44 81
54.32 100.00
Jika dilihat dari jenis kelaminnya, diketahui bahwa persentase ART lakilaki yang bekerja sebagai petani lebih tinggi sekitar 10 persen dibanding ART perempuan. Hal ini diduga ART perempuan umumnya ART perempuan dewasa pada rumahtangga mengaku sebagai ibu rumahtangga. Diketahui juga sekitar 30 persen penduduk Desa Bantarsari tidak bekerja karena termasuk tergolong ke dalam usia sekolah dan masih di bawah umur empat tahun, sehingga belum termasuk golongan umur yang produktif dalam bekerja. Beberapa lainnya anggota rumahtangga yang bekerja selain di sektor pertanian, yakni sebagai pedagang, PNS, karyawan, dan pensiunan. Data di atas terdapat 110 ART yang tergolong Ibu Rumahtangga (IRT) dan masih tergolong pelajar sehingga total ART awalnya 191 ART menjadi 81 ART karena IRT dan pelajar tidak termasuk jenis pekerjaan.
29
Berdasar data pada Tabel 12, diketahui bahwa mayoritas ART adopter BJK bekerja di sektor pertanian yakni sebesar 38.27 persen. Menurut jenis kelaminnya, persentase ART laki-laki yang bekerja disektor ini sebesar 30 persen, atau 23 persen lebih tinggi dibanding ART perempuan. Hal ini terjadi karena ART laki-laki umumnya berperan sebagai kepala keluarga, sehingga mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk mencari nafkah bagi anggota keluarganya.
Status Perkawinan Anggota Rumahtangga Sebagaimana terlihat pada Tabel 13, secara umum proporsi ART Petani Adopter BJK yang berstatus kawin dan belum kawin tidak berbeda jauh, dengan persentase berturut-turut 53.40 persen dan 45.55 persen. Perbedaannya sekitar delapan persen. Tabel 13
Kelompo k Umur <15 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+ Total
Jumlah dan persentase anggota rumahtangga petani adopter BJK menurut kelompok umur dan status perkawinan, tahun 2013 Kawin Jumla h (orang Perse ) n (%) 1 0.52 0 0.00 1 0.52 7 3.66 9 4.71 16 8.38 18 9.42 11 5.76 10 5.24 12 6.28 9 4.71 8 4.19 102 53.40
Belum Kawin Jumla h (orang Perse ) n (%) 34 17.80 18 9.42 16 8.38 9 4.71 8 4.19 2 1.05 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 87 45.55
Janda/duda Jumla h (orang Persen ) (%) 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 1 0.52 0 0.00 1 0.52 0 0.00 0 0.00 0 0.00 2 1.05
Total Jumla h (orang Perse ) n (%) 35 18.32 18 9.42 17 8.90 16 8.38 17 8.90 18 9.42 19 9.95 11 5.76 11 5.76 12 6.28 9 4.71 8 4.19 191 100.00
Hal menarik yang dapat diperhatikan dari informasi Tabel 13 adalah bahwa tidak ditemukan adanya ART Petani yang menikah dibawah umur (>15 tahun). Ini sesuai dengan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa batas usia yang diizinkan dalam suatu perkawinan diatur dalam pasal 7 ayat (1) yaitu, jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sebagaimana terlihat pada tabel tersebut, pada ART adopter BJK di Desa Bantarsari tidak ditemukan adanya ART adopter BJK yang menikah pada umur kurang dari 19 tahun. Ini artinya, meskipun sebelumnya banyak temuan yang menggambarkan bahwa ART di perdesaan cenderung melakukan pernikahan di usia muda, maka untuk saat sekarang keadaan tersebut telah mengalami perubahan Selain itu, perlu diketahui bahwa dari total ART yang berstatus kawin, terdapat delapan orang atau sekitar empat persen anggota rumahtangga yang
30
belum menikah pada umur 30-34 tahun yang dominan terdiri dari jenis kelamin laki-laki. Hal ini dikarenakan masih adanya yang pengangguran dan masih masih nyaman berkerja di perusahaan swasta. Tingkat Pendidikan Formal Anggota Rumahtangga Tingkat pendidikan formal yang dijelaskan di bawah ini berkenaan dengan pendidikan formal. Pendidikan formal adalah kegiatan pendidikan yang diikuti ART petani adopter BJK di Desa Bantarsari dalam lingkup pendidikan sekolah formal, yakni mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT) pendidikan formal ART petani adopter BJK tergolong sedang, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14
Jumlah dan persentase anggota rumahtangga petani adopter BJK menurut tingkat pendidikan formal dan jenis kelamin, tahun 2013
Tingkat Pendidikan Formal SD tidak tamat SD tamat SMP/Sederajat SMA/Sederajat Akademi Perguruan tinggi Total
Laki-laki Jumlah Persen (ART) (%) 2 1.11 27 15.08 9 5.02 28 15.64 3 1.67
Perempuan Jumlah Persen (ART) (%) 4 2.23 28 15.64 16 8.93 16 8.93 11 6.14
Total Jumlah Persen (ART) (%) 6 3.35 55 30.72 25 13.96 44 24.58 14 7.82
23
12.85
9
5.02
32
17.87
93
51.96
86
48.04
179
100.00
Secara keseluruhan, persentase tertinggi ART petani BJK Desa Bantarsari ada pada tingkat pendidikan lulusan SD (30.72 persen) dan yang terendah adalah tingkat SD tidak tamat (3.35 persen). Hal ini diduga karena adanya wajib program belajar 12 tahun. Hal menarik yang dapat dilihat pada tabel tersebut adalah proporsi tingkat pendidikan formal kategori perguruan tinggi tergolong tinggi dikarenakan sadarnya ART atas pentingnya pendidikan. Membandingkan tingkat pendidikan formal dan jenis kelaminnya, diketahui bahwa proporsi ART Petani Adopter BJK antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda jauh, dengan persentase berturut-turut 51.96 persen dan 48.04 persen. Pada Tingkat pendidikan akademi, ART Petani BJK perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki, sebaliknya pada tingkat pendidikan perguruan tinggi, ART Petani BJK laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Pada data di atas anggota rumahtangga dari 191 ART menjadi 179 ART dikarenakan ART yang tidak sekolah tidak termasuk dalam Tingkat Pendidikan Formal. Hal yang menarik adalah bahwa pada persentase ART perempuan yang sedang bersekolah, baik di jenjang pendidikan SD, SMA, maupun Akademi menunjukkan persentase yang lebih tinggi dibanding ART laki-laki. Data tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai yang menganggap anak laki-laki lebih didahulukan dalam mendapatkan pendidikan, tidak terjadi lagi pada masa sekarang. Kondisi ini diduga dapat terjadi karena zaman yang sudah semakin modern, sehingga sistem nilai masyarakat pun semakin maju.
31
Karakteristik Rumahtangga Petani Adopter BJK Kepemilikan Benda Berharga Kepemilikan benda berharga merupakan karakteristik rumahtangga petani dimana melalui kepemilikan benda-benda tersebut akan diperoleh gambaran mengenai kondisi dari rumahtanga tersebut. Adapun kepemilikan benda berharga terdiri dari kepemilikan atas ternak, alat transportasi, dan alat-alat atau perabot rumahtangga. Terdapat tiga jenis ternak yang dimiliki oleh rumahtangga adopter petani BJK, yakni domba, kerbau, dan ayam. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 15, rata-rata kepemilikan ternak ayam menunjukkan jumlah tertinggi, sementara pada ternak domba menunjukkan jumlah paling rendah. Tabel 15 Jumlah dan persentase kepemilikan ternak pada rumahtangga petani adopter BJK Desa Bantarsari, tahun 2013 Jenis Ternak Jumlah (ekor) Persen (%) Domba 6 10.17 Kerbau 13 22.03 Ayam 40 67.80 Kondisi tersebut terkait dengan lahan pekarangan yang sempit di Desa Bantarsari. Dalam beternak domba ataupun kerbau memerlukan kandang dan lahan pekarangan yang cukup luas dalam perawatannya. Sehingga petani adopter BJK beternak ayam karena tidak memerlukan kandang khusus dan lahan pekarangan yang luas. Selanjutnya, pada Tabel 16 disajikan data berkenaan benda berharga yang dimiliki rumahtangga petani adopter BJK. Diketahui bahwa persentase tertinggi ada pada kepemilikan televisi sebesar 97.40 persen. Televisi, kompor gas, dan motor, memiliki sedikit perbedaan. Persentase kepemilikan kompor gas dan motor berturut-turut sebesar 94.70 persen dan 92.10 persen. Ketiga kepemilikan teknologi rumahtangga adopter BJK di Desa Bantarsari merupakan kepemilikan yang paling banyak dibandingkan barang teknologi lainnya. Sehingga dapat diartikan bahwa masyarakat petani adopter BJK telah memposisikan televisi salah satu kebutuhan primer (harus terpenuhi) dalam kehidupannya. Adapun persentase kepemilikan benda teknologi rumahtangga lainnya secara berturut-turut adalah kulkas, handphone, sepeda, DVD, komputer, mobil, dan yang terakhir adalah radio. Kepemilikan kompor gas di Desa Bantarsari pada umumnya merupakan subsidi dari program pemerintah pada tahun 2004. Selain itu, pada tersebut terlihat kepemilikan mobil di Desa Bantarsari. Terdapat tiga petani adopter BJK yang memiliki benda tersebut. Hal tersebut dikarenakan adanya hubungan dengan status kepemilikan lahan yang dimiliki dan jumlah pohon jambu kristal yang ditanam dilahan adopter BJK masing-masing. Di antara semua petani adopter BJK, petani adopter yang memiliki mobil tersebut
32
adalah lahan yang dimiliki di atas dua hektar dan jumlah pohon yang ditanam di lahan jambu kristal mencapai 500 pohon. Tabel 16
Jumlah dan persentase anggota rumahtangga menurut kepemilikan benda teknologi rumahtangga petani adopter BJK Desa Bantarsari, tahun 2013 Kepemilikan teknologi Jumlah (unit) Persen (%) Rumahtangga Mobil 3 7.8 Motor 35 92.1 Sepeda 9 23.7 TV Berwarna 37 97.4 Radio 1 2.6 DVD Player 9 23.7 Komputer 5 13.2 Kulkas 30 78.9 Kompor Gas 36 94.7 Handphone (HP) 29 76.3
Luas Lahan Usahatani Luas lahan (sawah, kebun, kolam) yang dikuasai rumahtangga petani adopter BJK berkisar antara 0–2.652 ha, dengan rata-rata penguasaan seluas 0.38 ha. Selanjutnya, dengan merujuk pada kriteria stratifikasi penguasaan lahan menurut Sayogyo (1990), hasil penelitian menunjukkan sebagian besar besar petani adopter BJK tergolong lapisan bawah yaitu pada kisaran <0.25 ha. Petani adopter BJK yang memiliki luas lahan pada kisaran 0.25-0.50 ha sebanyak 31.58 persen sedangkan golongan lapisan atas dengan luas lahan >0.5 ha sebanyak 15.79 persen. Dan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 17 berikut. Tabel 17 Jumlah dan persentase rumahtangga petani adopter BJK menurut luas kepemilikan lahan usahatani Desa Bantarsari, tahun 2013 Kategori Luas Lahan (Ha) Tidak berlahan (tuna kisma) <0.25 0.25-0.5 >0.5 Total
Jumlah (orang) 2 18 12 6 38
Persen (%) 5.26 47.37 31.58 15.79 100.00
Pengalaman Berusahatani Petani BJK Pengalaman berusahatani petani BJK merupakan lamanya petani bekerja di sektor pertanian. Berdasarkan Tabel 15, disajikan jumlah dan persentase petani menurut pengalaman berusahatani. Diketahui 13 petani BJK lamanya berusahatani dalam sektor pertanian dua tahun sampai 23 tahun (34.21 persen), sebanyak 17 petani BJK lama berusatani di sektor pertanian 15-29 tahun (44.74), dan hanya delapan petani BJK lama berusatani di sektor pertanian 29-44 tahun (21.05).
33
Tabel 18 Jumlah dan persentase petani di Desa Bantarsari menurut pengalaman berusahatani Pengalaman Berusahatani Jumlah (orang) Persen (%) 2-14 tahun 13 34.21 15-29 tahun 17 44.74 30-44 tahun 8 21.05 Hal tersebut di atas juga didukung pada Tabel 18 mengenai pengalaman petani BJK dalam berbudidaya jambu kristal. Diketahui jumlah dan persentase petani BJK yang berbudidaya jambu kristal berdasarkan lama mereka berusahatani didominasi pada selang waktu 28-42 bulan (golongan sedang). Sebanyak 16 petani BJK (42.11 persen) yang memiliki pengalaman berbudidaya jambu kristal 12-27 bulan, dan selebihnya sebanyak 2 orang petani BJK (5.26 persen) yang telah berbudidaya jambu kristal dalam selang waktu antara 42-60 bulan. Tabel 19 Jumlah dan persentase petani di Desa Bantarsari menurut pengalaman berbudidaya jambu kristal Pengalaman Berbudidaya Jambu Kristal Jumlah (orang) Persen (%) 12-27 bulan 16 42.11 28-42 bulan 20 52.63 42-60 bulan 2 5.26 Keterangan Umum Rumahtangga Petani BJK Tabel 20 menyajikan keterangan umum rumahtangga petani BJK di Desa Bantarsari. Baik dari kepemilikan rumah, jenis atap rumah, jenis dinding rumah, jenis lantai rumah, jenis penerangan, jenis bangunan rumah, jenis bahan bakar masak, sumber air minum, sumber air mandi/mencuci, maupun jenis tempat pembuangan air besar. Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh kategori keterangan umum rumahtangga persentase 100 persen kecuali keterangan pada jenis dinding rumah, jenis lantai rumah jenis bangunan rumah, dan jenis bahan bakar masak. Ada satu petani BJK yang jenis dinding rumah masih menggunakan rumah. Pada jenis bangunan rumah petani BJK di Desa Bantarsari beragam yakni ada yang bangunan tunggal, bangunan bertingkat, dan bangunan bergandeng. Selain itu keterangan rumahtangga petani BJK yaitu pada jenis penggunaan jenis bahan bakar masak. Hampir seluruhnya menggunakan bahan bakar gas dalam membantu kegiatan dapur. Namun, masih ada satu petani BJK yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar dalam memasak. Hal menarik pada penggunaan jenis bahan bakar dalam memasak, beberapa petani BJK menggunakan listrik dalam memasak.
34
Tabel 20 Jumlah dan persentase keterangan umum rumahtangga petani BJK Desa Bantarsari, tahun 2013 Kategori Keterangan Umum Jumlah (orang) Persen (%) Rumahtangga Kepemilikan Rumah (Milik 38 100.00 Sendiri) Jenis Atap Rumah (Genting) 38 100.00 Jenis Dinding Rumah Tembok 37 97.37 Kayu 1 2.63 Jenis Lantai Rumah Keramik 36 94.74 Ubin/semen 2 5.26 Jenis Penerangan (Lampu) 38 100.00 Jenis Bangunan Rumah Bangunan Tunggal 35 92.11 Bangunan Gandeng 2 1 2.63 Bangunan Bertingkat 2 5.26 Jenis Bahan Bakar Masak Listrik 5 13.16 Gas 32 84.21 Minyak Tanah 1 2.63 Sumber Air Minum Minum (Sumur) 38 100.00 Air Mandi/Mencuci (Sumur) 38 100.00 Jenis Tempat Mandi (Kamar 38 100.00 Mandi Sendiri) Jenis Tempat Pembuangan Air 38 100.00 Besar (Tengki Septik)
35
TAHAPAN PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN ADOPSI INOVASI BUDIDAYA JAMBU KRISTAL (Psidium guajava L.) PADA RUMAHTANGGA PETANI DI DESA BANTARSARI Seperti telah dikemukakan sebelumnya, proses pengambilan keputusan Inovasi BJK mencakup 5 (lima) yang berurutan, dimulai tahap pengenalan kemudian diikuti 4 (empat) tahapan berikutnya yaitu tahap persuasi, tahap pengambilan keputusan, tahap implementasi atau pelaksanaan, dan tahap konfirmasi. Di bawah ini akan diuraikan setiap tahapan proses pengambilan keputusan Inovasi BJK di tingkat kelompok tani kasus yang ada di Desa Bantarsari. Untuk menelaah mengenai variabel-variabel apa saja yang menentukan setiap tahapan dan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan proses pengambilan keputusan Inovasi BJK di antara petani BJK dapat dilihat pada tabel hasil uji Korelasi Rank Spearman seperti telah dijelaskan pada Metodelogi. Adapun hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Tahap Pengenalan Petani terhadap BJK Inovasi BJK diintroduksikan oleh Taiwan ICDF/UF-IPB kepada petani di Kabupaten Bogor sejak tahun 2008, termasuk petani di Desa Bantarsari. Namun demikian, tidak semua petani BJK yang mengenal pada tahun yang sama, sebagaimana terlihat pada Tabel 20. Berbagai penyebaran informasi inovasi BJK yang dilakukan dari Taiwan ICDF/UF-IPB mengenai cara berbudidaya jambu kristal yang baku, baik melalui pola komunikasi (saluran interpersonal, media massa) maupun melalui saluran komunikasi (penyuluhan BJK). Kegiatan ini dilakukan sejak tahun 2008. Untuk melihat sejauh mana kegiatan penyebaran informasi mengenai BJK yang mampu menarik perhatian petani dan menjadikan mereka mengenal akan adanya Inovasi BJK, berikut dikemukakan data mengenai waktu pertama kali petani BJK mengetahui/mengenal adanya Inovasi BJK yang dapat dillihat pada Tabel 21. Tabel 21 Jumlah dan persentase petani BJK Desa Bantarsari menurut waktu pengenalan inovasi BJK, tahun 2013 Waktu Pengenalan Jumlah (orang) Persen (%) 2008 2 5.26 2009 4 10.53 2010 25 65.79 2011 6 15.79 2012 1 2.63 Total 38 100.00 Pada Tabel 21 diketahui para petani adopter BJK mengalami PK Inovasi dalm lima tahapan. Pada tahap pengenalan mayoritas petani sekitar 65.00 persen mengenal pada tahun 2010. Meskipun BJK diperkenalkan tahun 2008, namun mayoritas (65 persen) mengenal tahun 2010. Hal ini dimungkinkan lokasi dan pola hubungan komunikasi petani BJK. Seperti diketahui, Desa Bantarsari
36
berjauhan dengan pusat informasi (Taiwan ICDF/UF-IPB) dibanding desa binaan dari Taiwan ICDF/UF-IPB lainnya sehingga pada tahu 2008 hanya dua orang yang mengetahui adanya Inovasi BJK. Adapun petani yang mengetahui adanya Inovasi BJK pada tahun 2008 dikarenakan mendapat informasi melalui sesama petani di luar desa yang memiliki hubungan kekeluargaan. Demikian pula dalam hal pola komunikasinya adalah komunikasi interpersonal kosmopolit dan lokalit. Hal di atas tampaknya berhubungan pula dengan sumber informasi Inovasi BJK bagi petani BJK di Desa Bantarsari, yang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 22. Dari Tabel 21 diketahui bahwa sebagian besar petani BJK memperoleh informasi dari Taiwan ICDF/UF-IPB dan sesama anggota kelompok petani BJK. Tabel 22
Jumlah dan persentase sumber informasi tentang inovasi budidaya jambu kristal Desa Bantarsari, tahun 2013 Sumber Informasi Jumlah Persen (%) PPL 3 6.52 Ketua Kelompok BJK 1 2.17 Sesama Kelompok Anggota BJK 15 32.60 Sesama Petani di Desa 1 2.17 Sesama Petani di Luar Desa 3 6.52 Surat Kabar 2 4.34 TV 1 2.17 Taiwan ICDF/UF-IPB 18 39.13 Lainnya (diri sendiri) 2 4.34
Oleh karena yang perkenalkan Taiwan ICDF/UF-IPB maka sumber informasi mayoritas diperoleh dari Taiwan ICDF/UF-IPB (39.13 persen) diikuti oleh dari sesama anggota kelompok petani BJK (32.60 persen). Sumber infomasi ini termasuk ke dalam sumber komunikasi interpersonal. Selain komunikasi interpersonal, sebagian besar petani BJK mengemukakan bahwa sumber informasi Inovasi BJK juga diperoleh melalui komunikasi massa sebesar 6.51 persen yang terdiri dari surat kabar dan televisi. Hal tersebut menunjukkan bahwa persentase petani BJK yang mendapat informasi dari sumber komunikasi interpersonal menunjukkan angka yang lebih tinggi dibanding sumber informasi melalui komunikasi massa. Adapun beberapa petani BJK mendapatkan informasi mengenai Inovasi BJK malalui sesama petani di luar desa dikarenakan memiliki hubungan keluarga. Pelatihan budidaya jambu kristal yang dilakukan oleh Taiwan ICDF/UFIPB merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan petani mengenai cara berbudidaya jambu kristal. Dari hasil wawancara terhadap petani BJK di Desa Bantarsari dapat diketahui gambaran persentase dalam hal pengenalan Inovasi BJK secara baku yang dapat dilihat pada Tabel 23. Pada tabel tersebut diketahui bahwa tidak semua petani yang berbudidaya jambu kristal mengenal setiap aspek teknologi sesuai panduan yang diberikan Taiwan ICDF/UF-IPB kecuali pada penggemburan lahan yang menggunakan cangkul, pengendalian hama serangga dengan menggunakan metindo, dan pemasaran ke Taiwan ICDF/UF-IPB. Persentase berturut-turut ketiga unsur tersebut adalah 97.36 persen, 100 persen, dan 100 persen. Sementara itu yang sama sekali rendah adalah pemupukan.
37
Tabel 23 Jumlah dan persentase petani yang mengenal inovasi budidaya jambu kristal Desa Bantarsari, tahun 2013 Panduan Inovasi Budidaya Jambu Kristal Jumlah (orang) Persen (%) Kategori Budidaya Jambu Kristal Penggemburan Lahan dengan cangkul 37 97.36 Pembuatan Lubang Tanam (40x40x30 cm) 22 57.89 Jarak Tanam 3x3 m 18 47.36 Pemupukan Sebelum Tanam (dolomit) 1 2.63 Pemupukan Periode Berbuah (pemberian 1 2.63 KCl) Pupuk Kandang 7 18.42 Pupuk Daun (Gandasil) 3 7.89 Pemupukan NPK 3 7.89 Pemangkasan (dahan yang tua dan sekitar 3 14 36.84 ruas dari ujung daun) Pengendalian Hama Terpadu Pengendalian Hama Serangga (Metindo) 38 100.00 Pengendalian Hama Cacing (Furadan) 9 23.68 Pasca Panen Grading 22 57.89 Pemasaran (ICDF/UF-IPB) 38 100.00 Pembuatan lubang tanam yang seharusnya diberikan penyuluhan dari ICDF/UF-IPB (yakni ukuran 40x40x30 cm) tidak diketahui, padahal pada budidaya jambu kristal hal mendasar yang perlu diketahui adalah pembuatan lubang tanam, namun petani BJK menggunakan ukuran lubang tanam sesuai ukuran polybag (20x20 cm). Hal ini dimungkinkan karena hal tersebut tidak diperlukan untuk dilakukan oleh petani BJK. Selain itu pada kategori pemupukan sebelum tanam dan pemupukan pada periode berbuah menunjukkan persentase rendah yaitu 2.63 persen padahal pemupukan seperti penggunaan KCl bermanfaat untuk pertumbuhan buah. Hal ini disebabkan modal yang dikeluarkan semakin tinggi padahal keinginan petani modal sedikit dengan keuntungan yang memuaskan. Adapun unsur pemangkasan pada buah tanaman jambu kristal yang seharusnya jika pada satu dahan terdapat tiga buah yang berderet secara bersamaan tumbuh maka salah satu dari tiga buah tersebut harus di pangkas, namun mayoritas petani BJK tidak melakukan pemangkasan pada buah tersebut, akan tetapi ketiga buah tersebut dibiarkan tumbuh. Hal ini terjadi dikarenakan sistem nilai petani BJK “Tanaman diciptakan oleh Tuhan, maka buah yang tumbuh pada tanaman jambu kristal adalah rezeki. Sehingga tidak dibolehkan dipangkas/dibuang”. Mayoritas petani BJK hanya memprioritaskan kuantitas tidak memperhatikan kualitas dari buah jambu kristal. Kegunaan pemangkasan pada buah tersebut di lakukan supaya kualitas buah baik seperti bobot buah, bentuk yang bulat, tidak berwarna kecokelatan, dan mimiliki rasa yang manis yang baik. Tabel di atas juga menunjukkan seluruh petani BJK di Desa Bantarsari tidak mengenal tata cara unsur pembuatan lubang tanam sesuai panduan dari Taiwan ICDF/UF-IPB sementara untuk grading (57.89 persen). Dalam hal
38
pemasaran baik pemasaran hasil BJK ke Taiwan ICDF/UF-IPB atau pun pemasaran hasil BJK ke tengkulak seluruh petani BJK mengetahui. Tahap Persuasi terhadap BJK Tahap Persuasi merupakan tahap dimana seseorang individu membentuk sikap suka atau tidak suka terhadap tahapan Inovasi BJK secara baku. Untuk melihat pembentukan suka atau tidak suka petani BJK terhadap Inovasi BJK, ditanyakan persetujuan mereka terhadap setiap unsur/tahapan BJK secara baku. Dari hasil wawancara terhadap petani BJK di Desa Bantarsari diperoleh infomasi mengenai sikap petani terhadap setiap unsur Inovasi BJK seperti terlihat pada Tabel 24. Tabel 24 Jumlah dan persentase petani yang suka terhadap inovasi budidaya jambu kristal Desa Bantarsari, tahun 2013 Panduan Inovasi Budidaya Jambu Kristal Jumlah (orang) Kategori Budidaya Jambu Kristal Penggemburan Lahan dengan cangkul 38 Pembuatan Lubang Tanam (40x40x30 cm) 38 Jarak Tanam 3x3 m 38 Pemupukan Sebelum Tanam (dolomit) 4 Pemupukan Periode Berbuah (pemberian 8 KCl) Pupuk Kandang 38 Pupuk Daun (Gandasil) 8 Pemupukan NPK 38 Pemangkasan (dahan yang tua dan sekitar 3 36 ruas dari ujung daun) Pengendalian Hama Terpadu Pengendalian Hama Serangga (Metindo) 38 Pengendalian Hama Cacing (Furadan) 9 Pasca Panen Grading 20 Pemasaran (ICDF/UF-IPB) 38
Persen (%) 100.00 100.00 100.00 10.52 21.05 100.00 21.05 100.00 94.73 100.00 23.68 52.63 100.00
Pada Tabel 24 diketahui bahwa tidak semua petani BJK yang mengenal unsur BJK secara baku mau menerapkan setiap unsur Inovasi BJK. Tidak semua petani BJK setuju terhadap tahapan Inovasi BJK. Secara umum diketahui bahwa jumlah dan persentase mereka yang setuju terhadap setiap unsur Inovasi BJK tinggi, kecuali pada kategori pemupukan sebelum tanam dengan dolomit dan pemupukan periode berbuah. Pada kategori pasca panen diketahui bahwa jumlah dan persentase mereka yang setuju terlihat setuju pemasaran ke ICDF. Namun hal tersebut terjadi di awal adopsi Inovasi BJK, seluruh petani BJK memasarkan hasil BJK ke Taiwan ICDF/UF-IPB dan seiring berjalannya waktu hampir seluruh petani mulai memasarkan hasil BJK ke tengkulak dikarenakan pada pemasaran
39
ICDF menurut hasil wawancara membutuhkan waktu untuk melakukan grade terhadap hasil BJK sedangkan pemasaran ke tengkulak tidak dilakukan grade hasil BJK. Dalam membedakan mutu grade hasil panen BJK dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan sikat. Sehingga saat ini hanya beberapa yang masih memasarkan hasil BJK ke ICDF dan selebihnya memasarkan ke tengkulak. Sehingga tidak semua tingginya pengetahuan mereka dalam pasca panen dibarengi dengan sikap mereka. Berikut penuturan dari salah satu responden dalam penelitian ini: “...kalau Bapak mah Neng masih bawa hasil panen jambu kristal ke ICDF, soalnya Bapak kan masih punya utang dari bayar bibit. Lumayan kalau semua yang di bawa ke ICDF masuk grade A. Utang Bapak jadi berkurang.” (MAJ, 47 tahun) Beberapa petani BJK yang awal diintroduksikan Inovasi BJK diterapkan sesuai aturan dari Taiwan ICDF/UF-IPB, namun tidak lama kemudian penerapan tersebut tidak diterapkan karena biaya pemeliharaan BJK memerlukan modal yang besar. Seperti contohnya, walaupun menyukai unsur Inovasi BJK, namun belum tentu sesuai dengan ketentuan secara baku dari Taiwan ICDF/UF-IPB. Dalam berbudidaya jambu kristal yang sesuai dengan panduan dari Taiwan ICDF/UFIPB seluruh unsur dilakukan petani BJK namun tidak sesuai dengan komposisi setiap unsur. Salah satu contohnya, petani BJK menerapkan pemupukan kandang. Pemupukan kandang pada BJK yang sesuai dari Taiwan ICDF/UF-IPB adalah 50 kg per 4 bulan. Namun petani BJK di Desa Bantarsari menerapkan pemupukan kandang hampir seluruhnya setengah berat dari sesuai anjuran Taiwan ICDF/UFIPB. Tahap Keputusan terhadap BJK Tahap keputusan sebagai tahap ketiga dari proses pengambilan keputusan Inovasi BJK menunjuk kepada aktivitas mental dimana petani memutuskan untuk menerima atau menolak anjuran 13 unsur panduan BJK secara baku. Sub bab ini mengemukakan unsur-unsur teknologi Inovasi BJK manakah yang diputuskan untuk diterima atau tidak diterima oleh petani BJK di Desa Bantarsari. Unsurunsur Inovasi BJK yang diputuskan untuk diterima oleh petani BJK di Desa Bantarsari pada awal diintroduksikannya Inovasi BJK dapat dilihat pada Tabel 25. Dari tabel tersebut terlihat bahwa persentase petani BJK yang memutuskan untuk menerapkan unsur teknologi Inovasi BJK tinggi, namun tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dari Taiwan ICDF/UF-IPB. Walaupun awal diintroduksikan Inovasi BJK petani di Desa Bantarsari menerapkan unsur-unsur Inovasi BJK, namun pada tahun 2013 (sesuai waktu penelitian dari penulis), mayoritas petani tidak menerapkan yang sesuai ketentuan. Hal ini menunjukkan bahwa pihak yang mengambil keputusan untuk menerapkan Inovasi BJK tidak sepenuhnya dilakukan oleh individu petani BJK. Adanya kerja sama Yarnen (Bayar Panen) dari lembaga Taiwan ICDF/UF-IPB, sehingga memudahkan petani BJK dalam memulai menerapkan Inovasi BJK di Desa Bantarsari. Berikut pernyataan dari salah satu petani BJK:
40
“...di kebon Bapak dulu nanamnya singkong. Pas tahun 2010, dengerdenger ada jambu biji yang enggak ada bijinya. Modalnya juga katanya enggak susah, soalnya bibitnya dipinjemin dari orang ICDF. Abis panen baru bayar 25 persen dari hasil panen. Akhirnya Bapak mau nanam…” (SYA, 58 tahun). Tabel 25 Jumlah dan persentase responden yang memutuskan untuk menerima inovasi BJK menurut unsur panduan BJK secara baku Desa Bantarsari, tahun 2013 Panduan Inovasi Budidaya Jambu Kristal Jumlah (orang) Kategori Budidaya Jambu Kristal Penggemburan Lahan dengan cangkul 38 Pembuatan Lubang Tanam (40x40x30 cm) 38 Jarak Tanam 3x3 m 38 Pemupukan Sebelum Tanam (dolomit) 3 Pemupukan Periode Berbuah (pemberian KCl) 8 Pupuk Kandang 38 Pupuk Daun (Gandasil) 8 Pemupukan NPK 38 Pemangkasan (dahan yang tua dan sekitar 3 ruas 36 dari ujung daun) Pengendalian Hama Terpadu Pengendalian Hama Serangga (Metindo) 38 Pengendalian Hama Cacing (Furadan) 9 Pasca Panen Grading 10 Pemasaran (ICDF/UF-IPB) 38
Persen (%) 100.00 100.00 100.00 7.89 21.05 100.00 21.05 100.00 94.73 100.00 23.68 26.31 100.00
Seperti dijelaskan pada tahap persuasi, petani BJK menerapkan sesuai unsur Inovasi BJK di awal diintroduksikan BJK namun sejak 2013 (penelitian), mayoritas petani BJK mulai tidak menerapkan unsur-unsur Inovasi BJK. Hal ini dimungkinkan pihak pengambil keputusan (petani BJK) merasa kurang yakin terhadap keuntungan dari setiap unsur Inovasi BJK.
Tahap Implementasi terhadap BJK Tahap keempat dari proses pengambilan keputusan Inovasi BJK adalah tahap yang menunjukkan pada berapa banyak unsur yang sudah diputuskan oleh petani responden pada tahap keputusan yang pada pelaksanaanya diterapkan oleh petani pada usahatani mereka. Dari hasil wawancara tidak diketahui bahwa tidak semua unsur panduan Inovasi BJK diterapkan oleh petani BJK di Desa Bantarsari, seperti terlihat pada Tabel 26.
41
Tabel 26
Jumlah dan persentase petani yang mengimplementasikan inovasi budidaya jambu kristal Desa Bantarsari, tahun 2013
Panduan Inovasi Budidaya Jambu Kristal Jumlah (orang) Kategori Budidaya Jambu Kristal Penggemburan Lahan dengan cangkul 38 Pembuatan Lubang Tanam (40x40x30 cm) 22 Jarak Tanam 3x3 m 18 Pemupukan Sebelum Tanam (dolomit) 1 Pemupukan Periode Berbuah (pemberian KCl) 1 Pupuk Kandang 38 Pupuk Daun (Gandasil) 2 Pemupukan NPK 3 Pemangkasan (dahan yang tua dan sekitar 3 11 ruas dari ujung daun) Pengendalian Hama Terpadu Pengendalian Hama Serangga (Metindo) 38 Pengendalian Hama Cacing (Furadan) 9 Pasca Panen Grading 10 Pemasaran (ICDF/UF-IPB) 38
Persen (%) 100.00 57.89 47.36 2.63 2.63 100.00 5.26 7.89 28.94 100.00 23.68 26.31 100.00
Tabel 26 menunjukkan bahwa petani BJK yang menerapkan unsur-unsur panduan Inovasi BJK hampir semua unsur memiliki persentase yang rendah, kecuali pada penggemburan lahan dengan cangkul dan pengendalian hama pada serangga dengan penggunaan metindo. Tahap Konfirmasi terhadap BJK Berbeda dengan teori proses adopsi konvensional yang menyatakan bahwa tahap terakhir suatu proses adopsi selalu berakhir dengan adopsi. Pada proses pengambilan keputusan inovasi yang dikemukakan oleh Rogers (1983) yang dikutip Mugniesyah (2006) dinyatakan bahwa tahap adopsi (tahap implementasi pada teori proses pengambilan keputusan inovasi) bukan merupakan tahap terakhir dari proses mental yang terjadi pada diri individu yang mengalami proses adopsi. Dalam hal ini seseorang akan melakukan konfirmasi atau pengukuhan terhadap apa yang telah diterapkan. Data mengenai unsur-unsur Inovasi BJK mana saja yang masih akan diterapkan dan mana yang tidak akan atau tidak ingin diteruskan atau sebaliknya dapat dilihat pada Tabel 27. Secara umum petani BJK yang akan menerapkan unsur-unsur Inovasi BJK untuk selanjutnya tergolong rendah, kecuali pada unsur penggemburan lahan dan pengendalian hama serangga yang tergolong tinggi. Dari Tabel 27 diketahui bahwa unsur Inovasi BJK yang dinyatakan tidak ingin diterapkan lebih lanjut oleh sebagian besar petani BJK adalah pembuatan lubang, pemupukan, dan pemangkasan tanaman BJK.
42
Tabel 27
Jumlah dan persentase petani yang konfirmasi terhadap inovasi budidaya jambu kristal Desa Bantasari, tahun 2013
Panduan Inovasi Budidaya Jambu Kristal Jumlah (orang) Kategori Budidaya Jambu Kristal Penggemburan Lahan dengan cangkul 38 Pembuatan Lubang Tanam (40x40x30 cm) 22 Jarak Tanam 3x3 m 18 Pemupukan Sebelum Tanam (dolomit) 1 Pemupukan Periode Berbuah (pemberian 1 KCl) Pupuk Kandang 38 Pupuk Daun (Gandasil) 2 Pemupukan NPK 3 Pemangkasan (dahan yang tua dan sekitar 3 11 ruas dari ujung daun) Pengendalian Hama Terpadu Pengendalian Hama Serangga (Metindo) 38 Pengendalian Hama Cacing (Furadan) 9 Pasca Panen Grading 7 Pemasaran (ICDF/UF-IPB) 38
Persen (%) 100.00 57.89 47.36 2.63 2.63 100.00 5.26 7.89 28.94 100.00 23.68 18.42 100.00
Dari tahap pengenalan hingga tahap konformasi petani BJK yang menagdopsi BJK, pada awalnya hasil panen BJK dipasarkan ke Taiwan ICDF. Namun sekitar tahun 2012 hingga sekarang mayoritas petani mulai tidak memasarkan hasil panen BJK ke Taiwan ICDF tapi kepada tengkulak. Hal ini disebabkan beberapa hal yaitu waktu yang dibutuhkan dalam membedakan mutu grade buah jambu kristal membutuhkan waktu yang lama sehingga petani merasa tidak efisien. Selain itu, hasil panen yang dibawa ke Taiwan ICDF tidak semua dapat diterima. Sehingga petani merasa kecewa jika hasil panen yang dibawa namun tidak diterima. Hal ini didukung dari pernyataan salah satu petani BJK: “…panen pertama kali bawa buah jambu kristal ke ICDF. Hasilnya ratusan kilo. Pas bapa bawa ke ICDF yang diterima oleh ICDF ga nyampe 50 kilo. Ratusan kilo dibawa pulang dan dibuang di depan rumah. Bapak marah dan cape cape nyikat, bayar karyawan, yang diterima cuma segitu. Makanya Neng, dari sejak itu Bapak lebih baik jual ke tengkulak. Ngga perlu cape cape angkut, tengkulaknya langsung ambil di kebon sendiri dan panen sendiri. Trus yang ngga super juga dibeli. Jadi ngga ada yang kebuang Neng, kecuali yang busuk aja…” (ADA, 63 tahun)
43
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TAHAPAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, fokus studi Pengambilan Keputusan Inovasi ini adalah pada Inovasi Budidaya Jambu Kristal (BJK) yang diintroduksikan Taiwan ICDF/UF-IPB kepada para petani di Desa Bantarsari. Sehubungan dengan itu, bab ini mengemukakan deskripsi serta hasil uji statistik atas sejumlah hipotesis berkenaan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan tahapan pengambilan keputusan yang meliputi: Saluran Komunikasi, Kondisi Sebelumnya, Karakteristik Unit Pengambilan Keputusan, Persepsi Petani terhadap Inovasi BJK, dan Tingkat Kepuasan Petani. Penjelasan lebih rinci mengenai faktor-faktor tersebut disajikan pada sub bab di bawah ini. Hubungan Antara Saluran Komunikasi, Kondisi Sebelumnya, dan Karakteristik Unit Pengambilan Keputusan dengan Tahap Pengenalan Petani terhadap BJK Terdapat beberapa variabel independen yang diduga berhubungan dengan tahap pengenalan petani BJK terhadap unsur-unsur berbudidaya jambu kristal. Gambaran mengenai hubungan antar variabel tersebut disajikan pada Tabel 28 melalui uji korelasi Rank Spearman. Tabel 28
Korelasi antara saluran komunikasi, kondisi sebelumnya, dan kaakteristik unit pengambilan keputusan dengan tingkat pengenalan petani terhadap BJK Variabel Independen yang Diduga Tingkat Pengenalan Petani Berhubungan terhadap BJK (Y1) Rs Sig Saluran Komunikasi Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) 0.378 0.019* Kondisi Sebelumnya Praktek Berusahatani Sebelumnya (X1) 0.25 0.130 Tingkat Kebutuhan Petani atas BJK (X2) 0.1 0.549 Tingkat Keinovativan Petani terhadap BJK (X3) 0.052 0.757 Karakteristik Unit Pengambilan Keputusan Tingkat Pendidikan Formal (X5) 0.265 0.107 Tingkat Pendidikan Non Formal (X6) 0.113 0.501 Tingkat Pengalaman Berusahatani (X7) -0.036 0.832 Pola Perilaku Komunikasi (X8) 0.284 0.084** Keterangan: *hubungan sangat nyata; **hubungan nyata Dari delapan variabel yang diduga memiliki hubungan, yang berhubungan nyata dengan Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK (Y1) adalah Frekuensi
44
Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) pada taraf α= 0.05 dan Pola Perilaku Komunikasi (X8) pada taraf α= 0.10. Dari tiga variabel faktor kondisi sebelumnya pada penelitian ini [Praktek Berusahatani Sebelumnya (X1), Tingkat Kebutuhan Petani atas BJK (X2), dan Tingkat Keinovativan Petani (X3)] tidak satupun yang berhubungan nyata dengan Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK (Y1). Ini berarti bahwa Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK tidak berhubungan dengan semakin lamanya praktek berusahatani sebelumnya, semakin tingginya tingkat kebutuhan petani, dan tingkat keinovativan petani. Usahatani sebelumnya mayoritas tanaman hortikultura baik jenis buahbuahan seperti jambu biji, pepaya, maupun tanaman hortikultura yang jenis komoditi sayur-sayuran seperti kangkung, bayam, terong, dan sebagainya. Sehingga mayoritas petani mengenal budidaya jambu kristal menjadi sesuatu yang baru baik cara berbudidaya maupun waktu panen usahatani sebelumnya berbeda dengan BJK. Dikatakan rendah jika waktu yang dibutuhkan dalam panen tanaman hortikultura dalam jangka waktu pendek, seperti kangkung. Waktu yang dibutuhkan dari penanaman hingga panen sangat cepat sehingga memiliki tingkatan rendah. Semakin jarang panen pada lahan tersebut maka praktek berusahatani sebelumnya semakin tinggi. Namun beberapa petani masih bercocok tanam secara tumpang sari pada lahan BJK. Jenis komoditi tersebut berbeda-beda. Salah satu contohnya pada waktu bibit jambu kristal berumur tiga bulan jenis komoditi yang dapat ditanam secara tumpang sari di lahan BJK adalah kacang merah, bengkoang, jahe, dll. Hal ini diangggap petani BJK lahan untuk jambu kristal belum tumbuh sehingga cahaya matahari dapat terkena ke seluruh tanaman. Selain itu petani BJK merasa lahan harus dimanfaatkan. Pada Tingkat Kebutuhan Petani atas BJK (X2) homogen karena sulitnya air irigasi sehingga jika tanaman yang sepert kurang menanam yang membutuhkan air seperti padi atau sayuran. Begitu pun pada Tingkat Keinovativan Petani (X3) homogen karena petani mau menanam jika yarnen dan mengikuti penyuluhan yang sama di awal diintroduksikan BJK oleh Taiwan ICDF/UF-IPB. Dikatakan tinggi jika waktu yang dibutuhkan petani BJK dari mengetahui sampai mulai berbudidaya jambu kristal adalah jangka waktu pendek. Sehingga walaupun ketiga variabel tersebut semakin tinggi namun penambahan pengetahuan akan unsur berbudidaya jambu kristal tidak bertambah. Merujuk pada Rogers dan Shoemaker (1971), saluran komunikasi adalah cara-cara melalui mana sebuah pesan diperoleh penerima dari sumber informasi, yang dibedakan ke dalam saluran komunikasi interpersonal dan media massa. Saluran komunikasi interpersonal lebih efektif membangun dan merubah sikap, sementara saluran media massa efektif merubah pengetahuan tentang inovasi. Sehingga hasil pengujian korelasi pada tabel tersebut menunjukkan bahwa Frekuensi Partisipasi Penyuluhan Adopter (X4) berhubungan nyata dengan Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK dengan nilai Rs 0.378 pada taraf α= 0.05. Hal ini dimungkinkan karena sebagaimana dikemukakan konsultan Taiwan ICDF/UF-IPB jika mereka tidak mengikuti penyuluhan maka mereka tidak akan mendapat bantuan kredit berupa bibit jambu kristal dengan sistem yarnen (bayar panen). Frekuensi partisipasi penyuluhan diketahui dari banyaknya frekuensi pertemuan yang diikuti oleh petani BJK. Dari total pertemuan penyuuhan sebanyak 20 kali, rata-rata frekuensi partisipasi penyuluhannya enam kali.
45
Pada faktor karakteristik unit pengambilan keputusan [Tingkat Pendidikan Formal (X5), Tingkat Pendidikan Non Formal (X6), dan Tingkat Pengalaman Berusahatani (X7)] menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata dengan Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK (Y1) kecuali pada Pola Perilaku Komunikasi (X8) cukup berhubungan dan cukup signifikan pada taraf α=0.10. Tingginya tingkat pendidikan formal yang ditempuh oleh petani BJK namun pengetahuan tentang unsur berbudidaya jambu kristal tidak bertambah. Hal ini dimungkinkan karena pendidikan yang sama sehingga homogeny, dan mayoritas mengikuti penyuluhan hanya dari Taiwan ICDF/UF-IPB. Sama halnya pada tingkat pengalaman berusahatani. Lamanya pengalaman usaha tani membuat petani akan lebih berhati-hati dalam melakukan setiap tindakan mereka dalam berbudidaya jambu kristal. Namun pada petani BJK di Desa Bantarsari, lamanya mereka berusaha tani tidak membuat mereka memiliki pengetahuan yang bertambah. Pada pola perilaku komunikasi diketahui dari akumulasi interaksi komunikasi (pergaulan) petani BJK dengan beragam sumber informasi yang diperoleh melalui komunikasi interpersonal komunikasi bermedia dan media massa. Walaupun sumber informasi yang diperoleh mayoritas diperoleh melalui komunikasi interpersonal atau tergolong kosmopolit namun informasi yang diperoleh mengenai berbudidaya jambu kristal tidak utuh. Hubungan Antara Saluran Komunikasi, Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK, dan Persepsi Petani terhadap BJK dengan Tahap Persuasi Petani terhadap BJK Untuk melihat yang terjadi pada tahap persuasi pada bab sebelumnya, faktor-faktor atau variabel-variabel apakah yang berperan menentukan gejala tersebut, dapat dilihat pada hasil uji korelasi Rank Spearman pada Tabel 29. Tabel 29 Korelasi antara saluran komunikasi, tahap pengenalan, dan persepsi petani terhadap BJK dengan tingkat persuasi petani terhadap BJK Variabel Independen yang Diduga Berhubungan Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK (Y2) Rs Sig Saluran Komunikasi Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) 0.120 0.473 Tahap Pengenalan 0.487 0.002* Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK (Y1) Persepsi Petani terhadap BJK Tingkat Keuntungan Relatif (X9) -0.107 0.521 Tingkat Kompatibilitas (X10) 0.560 0.000* Tingkat Kemudahan (X11) 0.864 0.000* Tingkat Kemungkinan Dicoba BJK (X12) 0.873 0.000* Tingkat Kemungkinan Diamati Hasil BJK (X13) 0.937 0.000* Keterangan: *hubungan sangat nyata; **hubungan nyata
46
Pada hipotesis penelitian ini adalah Terdapat hubungan antara variabelvariabel Tingkat pengenalan BJK petani dengan faktor saluran komunikasi (Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan) serta persepsi petani terhadap Inovasi BJK (Tingkat Keuntungan Relatif Berbudidaya BJK, Tingkat Kompatibilitas BJK, Tingkat Kerumitan BJK, Tingkat Kemungkinan Dicoba, dan Tingkat Kemungkinan Diamati Hasil BJK) dengan Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK. Dari tujuh peubah yang diduga berhubungan nyata dengan Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK (Y2), yang berhubungan nyata adalah Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK (Y1), Tingkat Kompatibilitas BJK (X10), Tingkat Kerumitan BJK (X11), Tingkat Kemungkinan Dicoba BJK (X12), dan Tingkat Kemungkinan Diamati Hasil BJK (X13). Hal ini berarti semakin tinggi kelima variabel tersebut maka semakin tinggi sikap petani BJK untuk mau menerima unsur-unsur inovasi dalam berbudidaya jambu kristal. Pada Tingkat Keuntungan Relatif (X9) tidak berhubungan dengan Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK (Y2). Hal ini dimungkinkan hasil panen dalam berbudidaya jambu kristal tetap ada setiap hari dibanding tanaman sebelumnya seperti palawija yang membutuhkan waktu tanam sekitar setahun namun hasil panen hanya sekali. Selain itu, karena petani bermitra dengan cara yarnen yang sampai saat ini masih banyak yang belum melunasi dan tidak siap dengan perjanjian yang dilakukan dengan Taiwan ICDF/UF-IPB namun tidak mengikat sehingga tergolong homogen dan tidak ditampung semua hasil panen BJK di Taiwan ICD/UF-IPB jadi tidak ada keuntungan yang dirasakan di mata petani. Sehingga sikap petani BJK yang tidak mau menerima unsur-unsur inovasi dalam berbudidaya jambu kristal tidak berhubungan dengan keuntungan relatif. Dengan kata lain, walaupun tingginya tingkat keuntungan relatif yang dirasakan oleh petani BJK namun sikap mau menerima unsur-unsur inovasi dalam berbudidaya jambu kristal tidak bertambah. Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK berhubungan sangat nyata dengan Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK (rs= 0.487). Bagitu pun pada Tingkat Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) tidak ada hubungan yang nyata dengan Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK (Y2). Frekuensi petani mengikuti penyuluhan merupakan salah satu faktor yang menentukan. Namun di Desa Bantarsari dikarenakan Tingkat Persuasi yang homogen sehingga tinggi rendahnya frekuensi penyuluhan yang diikuti oleh petani tidak mempengaruhi peningkatan sikap. Selain itu, hal ini dimungkinkan sulitnya trayek dari Desa Bantarsari menuju tempat pelatihan (Taiwan ICDF/UF-IPB). Sehingga frekuensi petani BJK dalam mengikuti penyuluhan tentang BJK merupakan salah satu faktor penentu individu dalam mengambil keputusan. Berikut salah satu penuturan dari petani BJK. “…Kalo ada undangan dari ICDF kadang Bapak enggak ikut. Soalnya usia Bapak sudah tua, terus pelatihannya di ICDF jauh, Neng. Tapi pernah ikut pelatihan waktu di sini. Ada orang ICDF yang datang…” (IHA, 68 tahun)
47
Hubungan Antara Saluran Komunikasi dan Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK dengan Tahap Keputusan Petani terhadap BJK Untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) dan Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK (Y2) dengan Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK (Y3) dapat dilihat pada Tabel 30 hasil uji korelasi Rank Spearman di bawah ini. Tabel 30 Korelasi antara saluran komunikasi dan tahap persuasi dengan tingkat keputusan petani terhadap BJK Tingkat Keputusan Petani terhadap Variabel Independen yang Diduga BJK (Y3) Berhubungan Rs Sig Saluran Komunikasi Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan 0.153 0.358 (X4) Tahap Persuasi Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK (Y2) 0.813 0.000* Keterangan: *hubungan sangat nyata; **hubungan nyata Pada Tabel 29 di atas diketahui Tingkat Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) tidak berhubungan dengan Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK (Y3) dengan nilai rs=0.153. Artinya, semakin tingginya Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan dalam mengikuti penyuluhan dari Taiwan ICDF/UF-IPB tidak mempengaruhi kemauan petani BJK memutuskan unsur-unsur dalam berbudidaya jambu kristal. Pada Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK (Y2) berhubungan sangat nyata dengan Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK (Y3) dimana nilai rs= 0.813. Hal ini dimungkinkan semakin tinggi sikap mau menerima unsur-unsur dalam berbudidaya jambu kristal maka semakin tinggi kemauan petani BJK memutuskan.
Hubungan Antara Saluran Komunikasi dan Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK dengan Tahap Implementasi Petani terhadap BJK Untuk menelaah variabel-variabel yang berhubungan dengan tahap implementasi pada proses pengambilan keputusan inovasi budidaya jambu kristal ini, dilakukan uji korelasi Rank Spearman, dengan hasil seperti terlihat pada Tabel 31. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan kedua variabel independen tersebut (Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan dan Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK) berhubungan nyata dengan Tingkat Implementasi Petani terhadap BJK (Y4) dengan nilai rs berturut-turut adalah 0.401 dan 0.560. Dengan kata lain semakin tinggi Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan dan Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK maka semakin mau menerapkan unsur-unsur tersebut dalam berbudidaya jambu kristal. Hal ini dimungkinkan karena seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa petani
48
memperoleh bibit melalui kerja sama yarnen karena mengikuti pelatihan. Selain itu kegiatan BJK dipraktekkan di lahan usahatani masing-masing. Tabel 31 Korelasi antara Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan dan tingkat keputusan petani terhadap BJK dengan tingkat implementasi petani terhadap BJK Tingkat Implementasi Petani Variabel Independen yang Diduga terhadap BJK (Y4) Berhubungan Rs Sig Saluran Komunikasi Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) 0.401 0.013* Tahap Keputusan Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK (Y2) 0.560 0.000* Keterangan: *hubungan sangat nyata; **hubungan nyata Hubungan Antara Saluran Komunikasi, Tingkat Implementasi Petani terhadap BJK, dan Kepuasan Petani BJK dengan Tingkat Konfirmasi Petani terhadap BJK Untuk mengetahui gambaran mengenai variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi tahap konfirmasi diantara petani BJK di Desa Bantarsari, dilakukan hasil uji korelasi Rank Spearman. Pada Tabel 32 dapat dilihat hasil uji korelasi Rank Spearman. Tabel 32
Korelasi antara saluran komunikasi, tingkat implementasi petani terhadap BJK, dan kepuasan petani BJK dengan tingkat konfirmasi petani terhadap BJK Variabel Independen yang Diduga Tingkat Konfirmasi Petani Behubungan terhadap BJK (Y5) Rs Sig Saluran Komunikasi Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) 0.426 0.008* Tahap Impelemtasi Tingkat Impelemtasi Petani terhadap BJK (Y4) 0.967 0.000* Kepuasan Petani terhadap BJK Tingkat Produksi BJK (X14) 0.247 0.134 Tingkat Pendapatan yang Diperoleh (X15) 0.222 0.180 Keterangan: *hubungan sangat nyata; **hubungan nyata Pada Tabel 32 di atas menyajikan bahwa dari keempat variabel yang diduga berhubungan, yang memiliki hubungan yang sangat nyata dengan Tingkat Konfirmasi Petani terhadap BJK (Y5) adalah Tingkat Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) dan Tingkat Impelemtasi Petani terhadap BJK (Y4). Sehingga, jika kedua variabel tersebut tinggi maka Tingkat Konfirmasi Petani terhadap BJK pun tinggi. Berbeda dengan variabel dari kepuasan petani atas BJK [Tingkat Produksi Petani BJK (X14) dan Tingkat Pendapatan yang Diperoleh (X15)] tidak ada
49
hubungan yang nyata dengan Tingkat Konfirmasi Petani terhadap BJK (Y5). Hal ini dimungkinkan karena hasil panen usahatani BJK lebih tinggi dibanding usahatani sebelumnya sehingga hasil kepuasan petani atas BJK tergolong homogeny. Hal ini didukung salah satu keuntungan yang diperoleh petani dari hasil berbudidaya jambu kristal adalah pendapatan yang diperoleh dalam satu tahun periode yang dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Jumlah dan persentase petani BJK menurut pendapatan yang diperoleh Pendapatan yang diperoleh (dalam juta rupiah) Jumlah (orang) Persen (%) 7 -51 22 57.89 51-95 8 21.05 96-141 8 21.05 Salah satu. Tabel 33 menunjukkan jumlah dan persentase petani BJK menurut pendapat yang diperoleh dari hasil berbudidaya jambu kristal di Desa Bantarsari. Pendapatan dan produksi petani tergolong dalam kategori rendah yaitu pendapatan petani didominasi pada kategori rendah antara Rp7 027 000.- sampai Rp51 800 000.- per tahun sebanyak 22 orang atau 57.89 persen. Selain itu, tingkat pendapatan yang diperoleh petani BJK pada kategori sedang yaitu Rp51 900 000.sampai Rp95 900 000.- per tahun sebanyak delapan orang (21.05 persen). Tingkat pendapatan yang diperoleh petani BJK di Desa Bantarsari pada kategori tinggi dengan nominal antara Rp96 000 000.- sampai Rp141 450 000.- per panen (omset) adalah sebanyak delapan orang atau 21.05 persen. Pada Tabel 34terlihat bahwa hasil produksi rata-rata per hektar jika dilhat menurut stratum petani BJK. Tabel 34 Produksi rata-rata (ton/ha) usahatani petani BJK menurut stratum dan kelas kelompok Stratum Jumlah (ton/ha) Stratum I (< 0.25 Ha) 1.3 Stratum II (0.25-0.5 Ha) 2.4 Stratum III (> 0.5 Ha) 3 Hasil di atas tampaknya berhubungan dengan rendahnya penerapan unsurunsur dalam berbudidaya jambu kristal diantara setiap petani BJK dari setiap stratum pada setiap ketiga kelas kelompok.
Permasalahan yang dihadapi Petani Adopter BJK di Desa Bantarsari dalam Bekerjasama dengan Taiwan ICDF/UF IPB Sebagaimana diketahui di atas petani mitra harus mengikuti pelatihan/penyuluhan yang diikuti di kantor atau di langsung di desa. Dari hasil penelitian di Desa Bantarsari (salah satu desa binaan Taiwan ICDF/UF IPB) frekuensi keikutsertaan petani adopter BJK dalam mengikuti penyuluhan mengenai budidaya jambu kristal yang dimulai dari pengolahan, pemeliharaan, hingga pasca panen yang diikuti oleh petani adopter BJK termasuk rendah. Dari
50
jumlah frekuensi tertinggi sebanyak 20 pertemuan yang diikuti, ada sembilan petani adopter BJK yang sama sekali belum pernah mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Taiwan ICDF/UF IPB, walaupun telah dikatakan sebelumnya diadakan setiap bulan di kantor Taiwan ICDF/UF IPB. Dari hasil temuan lapangan, beberapa hal yang menjadi permasalahan sebagai berikut: Pertama, mayoritas petani adopter BJK tidak menaati peraturan kerja sama yarnen. Seperti yang telah dikatakan pada sub bab di atas (gambaran umum perusahaan), salah satu bentuk kerja sama antara perusahaan dan petani adopter BJK adalah dalam bentuk yarnen. Sejak awal diintroduksikan jambu kristal tahun 2008 sampai dengan waktu penelitian hasil panen yang seharusnya dikirim ke Taiwan ICDF/UF IPB mayoritas petani BJK tidak lagi mengirimkan. Walaupun awalnya dikirim, namun yang terjadi mayoritas belum membayar hutang dalam bentuk yarnen. Dari hasil wawancara dengan pihak Taiwan ICDF/UF IPB, yang menjadi salah satu kendala adanya perjanjian tertulis kerja sama yarnen namun tidak ada yang menjadi aturan dan mengikat secara hukum antara Taiwan ICDF/UF IPB dengan petani di seluruh desa binaan di Kabupaten Bogor. Selain itu, beberapa oknum yang memanfaatkan kerja sama yarnen tersebut, salah satunya data petani yang terdaftar adopter BJK yang meminjam bibit dalam bentuk yarnen terdaftar dalam data. Namun pada saat ditagih dari pihak ICDF, petani tersebut tidak merasa pernah meminjam bibit. Sehingga setelah ditelusuri, ada beberapa oknum yang memanfaatkan hal ini. Menggunakan nama petani tersebut dalam meminjam, namun bibitnya tidak diberikan ke petani yang bersangkutan. Kedua, mayoritas petani adopter BJK di Desa Bantarsari masih memiliki persepsi bahwa pendidikan tidak terlalu penting mengenai cara berbudidaya jambu kristal yang sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) dari Taiwan ICDF/UF IPB. Jika petani adopter BJK mengikuti sesuai SOP teknis BJK, hasil panen akan menghasilkan kualitas yang baik. Salah satu contoh penemuan di lapangan adalah unsur pemangkasan. Mayoritas petani adopter BJK tidak memangkas pohon jambu kristal. Jika petani adopter BJK memiliki persepsi yang baik mengenai keuntungan dan manfaat dari memangkas maka kualitas panen yang dihasilkan akan baik. Ketiga, trayek angkutan dari Desa Bantarsari menuju kantor Taiwan ICDF/UF IPB menyulitkan. Mayoritas petani merasakan transportasi ke lokasi penyuluhan membutuhkan modal yang tinggi. Seperti yang telah dijelaskan pada Bab Keadaan Umum Desa Bantarsari total biaya pulang pergi yang dibutuhkan sebesar Rp30 000.00. Perjalanan menuju Desa Bantarsari dapat ditempuh melalui trayek angkutan umum. Trayek angkutan umum dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Kecamatan Dramaga menuju Desa Bantarsari melalui trayek angkutan umum kampus dalam yang berpangkal di Terminal Laladon atau Bubulak. Selanjutnya dari Terminal Laladon atau Bubulak naik trayek 32 arah Kabupaten Cibinong dan turun di perbatasan lampu merah Jalan Semplak. Kemudian, melanjutkan perjalanan trayek Anyar-Parung dan turun di Jalan Salabenda, dan trayek terakhir angkutan umum khusus masuk ke desa dengan nomor trayek 63. Trayek khusus angkutan masuk ke dalam desa tidak banyak, sehingga penumpang akan menunggu satu hingga dua jam. Untuk menempuh Desa Bantarsari dari perjalanan awal dari kampus dalam menggunakan empat trayek angkutan umum. Namun jika tidak bersedia menunggu lama angkutan umum yang masuk ke desa,
51
bisa ditempuh dengan trayek yang lebih mudah dan lebih cepat dengan menggunakan ojek motor, yakni dari perbatasan lampu merah Jalan Semplak menggunakan trayek pasar Anyar-Bantarkambing, kemudian turun di pangkalan ojek Lumbung dan masuk ke dalam desa dengan menggunakan ojek motor. Keempat, pengiriman hasil panen BJK ke Taiwan ICDF/UF-IPB merupakan salah satu kewajiban petani adopter BJK yang telah bekerjasama yarnen. Namun mayoritas petani adopter BJK berpendapat dan yang terjadi di lapangan, hasil panen BJK dijual ke tengkulak. Hal ini terjadi dikarenakan petani adopter BJK mengemukakan bahwa untuk memasukkan ke Taiwan ICDF/UF-IPB hasil panen BJK harus disortir terlebih dahulu, disikat dengan menggunakan sikat gigi, dan membutuhkan waktu dalam penyelesaian. Dibanding tengkulak, langsung datang ke Desa Bantarsari tanpa disortir dan dibedakan mutu grade dapat diterima semua hasil BJK. Selain itu, yang membuat petani tidak menjual hasil panen BJK ke Taiwan ICDF/UF-IPB biaya pengiriman dan hasil penjualan tidak sesuai mutu grade yang telah petani adopter BJK sortir. Biaya setiap pengiriman ke Taiwan ICDF/UF-IPB menggunakan transportasi motor (ojek) sebesar Rp1 000.00 per kilogram. Jika hasil panen sebesar 100 kg maka biaya transportasi sekali pengiriman berjumlah Rp100 000.00. Petani merasa jika memasukkan hasil panen BJK ke Taiwan ICDF/UF-IPB belum tentu masuk mutu grade yang terbaik yaitu grade A dan grade B. Hasil wawancara dengan pihak Taiwan ICDF/UF-IPB, salah satu yang menjadi masalah kurangnya pendampingan khususnya pengontrolan di lapangan adalah sumber daya manusia yang bekerja di Taiwan ICDF/UF-IPB khusus budidaya jambu kristal hanya satu orang. Hal ini sesuai pada Gambar 2 Struktur Organisasi Taiwan ICDF/UF IPB. Solusi dari Taiwan ICDF/UF-IPB dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi petani adopter BJK yang telah berlangsung adalah: 1. Menaikkan harga hasil panen BJK di atas harga dari tengkulak yang diterapkan di akhir tahun 2013. Awalnya jambu kristal grade A, grade B, dan grade C dari petani mitra akan dibeli oleh Taiwan ICDF/UF-IPB dengan harga berturut-turut Rp15 000.00, Rp7 000.00, dan Rp5 000.00 per kg. Pada akhir tahun 2013 harga jambu kristal dinaikkan berturut-turut dengan harga Rp20 000.00, Rp10 000.00, dan Rp7.000 per kg. Solusi dari Taiwan ICDF/UF-IPB dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi petani adopter BJK yang belum berlangsung adalah: 1. Pembuatan ruang pengemasan (packing room) di setiap desa binaan. Hal ini menjadi salah satu program dari pemerintah. Sehingga masalah petani dalam pengiriman ke Taiwan ICDF/UF-IPB dirasakan karena jarak yang jauh maka petani adopter BJK bisa memasok hasil panen di packing room yang ada di setiap desa. Bantuan transportasi dari yang akan didapatkan dari pihak IPB untuk membantu dalam berbudidaya jambu kristal, namun hal ini belum terealisasikan sampai saai ini.
52
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari 38 rumahtangga yang menjadi responden dalam penelitian ini, diketahui jumlah total anggota rumahtangga petani BJK adalah 191 orang yang terdiri dari 99 orang laki-laki dan 92 orang perempuan. Menurut kelompok umur, diketahui mayoritas anggota rumahtangga petani tergolong usia produktif (15-64 tahun) sebesar 77.49 persen. Dilihat dari jenis kelaminnya, anggota rumahtangga laki-laki pada kelompok umur lansia (>60 tahun) lebih 2.62 persen lebih tinggi dibanding anggota rumahtangga perempuan. Pada kelompok umur >15 tahun tidak ditemukan anggota rumahtangga yang menikah. Hubungan antara sejumlah variabel independen terhadap inovasi budidaya jambu kristal dengan setiap tahapan pada PK Inovasi BJK di kalangan petani di Desa Bantarsari melalui uji korelasi Rank Spearman adalah: 1. Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK (Y1), hanya pada Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) dengan Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK pada taraf α= 0.05. selanjutnya yang cukup berhubungan pada taraf α= 0.10 adalah Pola Perilaku Komunikasi (X8). Selebihnya tidak berhubungan. 2. Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK (Y2), dari tujuh variabel yang diduga berhubungan terdapat lima variabel yang berhubungan pada taraf α= 0.05 adalah Tingkat Kompatibilitas BJK (X10), Tingkat Kerumitan BJK (X11), Tingkat Kemungkinan Dicoba BJK (X12), Tingkat Kemungkinan Diamati Hasil BJK (X13), dan Tingkat Pengenalan Petani terhadap BJK (Y2). 3. Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK (Y3) hanya pada Tingkat Persuasi Petani terhadap BJK (Y2) yang berhubungan pada taraf α= 0.05. 4. Tingkat Implementasi Petani terhadap BJK (Y4), kedua variabel yang diduga berhubungan menunjukkan hasil korelasi yang berhubungan nyata pada taraf α= 0.05 yaitu variabel Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) dan Tingkat Keputusan Petani terhadap BJK (Y3) 5. Tingkat Konfirmasi Petani terhadap BJK (Y5), yang berhubungan nyata pada taraf α= 0.05 adalah Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) dan Tingkat Implementasi Petani terhadap BJK (Y4) selebihnya pada konsep kepuasan petani terhadap BJK tidak ada yang berhubungan. Dari hasil uji korelasi tersebut maka Proses pengambilan keputusan inovasi (PK Inovasi) BJK di Desa Bantarsari tergolong tipe proses pengambilan keputusan inovasi opsional yang terjadi bila unit pengambil keputusan dan unit adopsi inovasi dilakukan oleh individu setiap petani BJK. Hasil uji Korelasi Rank Spearman menunjukkan seluruh proses tahapan pengambilan keputusan inovasi berhubungan nyata pada taraf α= 0.05. Permasalahan yang dihadapi petani yang telah memutuskan mengadopsi inovasi budidaya jambu kristal salah satu adalah pada proses pasca panen harus mengirimkan hasil panen ke Taiwan ICDF/UF IPB. Namun yang terjadi di lapangan, hampir seluruh petani memasarkan hasil panen BJK ke tengkulak. Salah satu yang menjadi masalah adalah jarak antara Desa Bantarsari dan Taiwan
53
ICDF/UF IPB tergolong jauh. Rendahnya Tingkat Konfirmasi dalam menerapkan inovasi BJK yang sesuai SOP dimungkinkan karena rendahnya Tingkat Penyuluhan yang diikuti sehingga akan mempengaruhi kualitas hasil panen BJK dan keuntungan yang diperoleh petani adopter BJK. Saran Tidak terlaksana seutuhnya penerapan (adopsi) aktivitas Inovasi BJK di Desa Bantarsari merupakan bukti kurang adanya pendampingan/penyuluhan baik dari Taiwan ICDF maupun dari penyuluh pemerintah. Selain itu, informasi mengenai aktivitas Inovasi BJK secara baku dari Taiwan ICDF belum tersampaikan secara jelas kepada petani BJK, sebagai bukti banyaknya petani BJK yang tidak menerapkan aktivitas Inovasi BJK yang baku. Penyuluh dari pemerintah harus mengikuti perkembangan sehingga tidak hanya dari Taiwan ICDF/University Farm IPB namun ada pendampingan dari penyuluh pemerinta. Untuk itu diperlukan adanya pendekatan lebih lanjut dengan adopter petani BJK. Selain dari aktivitas budidaya jambu kristal, permasalahan yang dihadapi adalah peminjaman yang dilakukan oleh mitra tani sampai saat ini masih banyak yang belum melunasi dengan cara yarnen (bayar panen). Selanjutnya keluhan mengenai pemasaran dari hasil panen jambu kristal, memerlukan peranan IPB dalam memasilitasi pasar tani atau pun sebagai tengkulak.
54
DAFTAR PUSTAKA Astuti DA, Suhardjito D, Prijono D, Wahyuni ES, Purba M, Hutagaol P, Mandang T, Kesumawati U, Arianti L, Achmadi SS et al. 2012. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bogor (ID): IPB Press. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2011. Produksi Buah Jambu Biji di Indonesia. [internet]. [diunduh pada 7 Februari 2013]. Dapat diunduh dari: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_suby ek=55¬ab=4. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2011. Produksi Buah Jambu Biji Setiap Provinsi. [internet]. [diunduh pada 22 Februari 2013]. Dapat diunduh dari: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_suby ek=55¬ab=3. [Deptan] Departemen Pertanian. 2012. Perkembangan Nilai Ekspor Impor Komoditas Buah 2007-20011. [internet]. [diunduh pada 7 Februari 2013]. Dapat diunduh dari: http://hortikultura.deptan.go.id/?q=node/428. Kabupaten Bogor. [internet]. [diunduh pada 7 Februari 2013]. Dapat diunduh dari: https://www.bogorkab.go.id/potensi-daerah/pertanian/. Mugniesyah SS. 2001. Pemberdayaan Wanita dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan untuk Meningkatkan Ekonomi dan Ketahanan Pangan Rumahtangga. Laporan Riset Unggulan Terpadu. Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Mugniesyah SS. 2006. Materi Bahan Ajar Ilmu Penyuluhan. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat: Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Mugniesyah SS, Lubis DP. 1990. Studi Hubungan Tipe Pengambilan Keputusan Inovasi Supra Insus dengan Adopsi Supra Insus di Tingkat Petani Kelompok Tani. (Studi Kasus di WKPP Tambakdahan dan WKPP Mariuk, KPP Binong Subang Jawa Barat). Bogor: Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Narundana VT. 2011. Studi Kelayakan Bisnis Tanaman Buah Jambu Kristal pada Kelompok Tani Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Permana RS, Anshori MF, Rabbani MNN, Hidayanti INN, Fajriah N. 2012. Laporan Akhir Magang Liburan Mengenai Teknik Budidaya Tanaman Jambu Kristal di Cikarawang. Departemen Agronomi dan Hortikultura: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. [Permendag] Peraturan Menteri Perdagangan. 2012. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2012 tentang Impor Hortikultura. Jakarta (ID): Permendag. [Permentan] Peraturan Menteri Pertanian. 2012. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2012 Tentang Impor Hortikultura. Jakarta (ID): Permentan. Purnaningsih N. 2006. Adopsi Inovasi Pola Kemitraan Agribisnis Sayuran di Provinsi Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
55
Rahman RN. 2011. Penyimpanan Jambu Biji Crystal Terolah Minimal dan Berlapis Edibel dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rusli S. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. Edisi Revisi. Jakarta [ID]: PT. Pusaka LP3ES. 173 hal. van den Ban AW, Hawkins HS. 1996. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius.
56
LAMPIRAN Lampiran 1 Data Produksi Buah Jambu Biji Di Indonesia Tabel 1 Produksi Buah Jambu Biji menurut Setiap Provinsi (ton) Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Provinsi Jawa Barat Jawa Timur Sumatera Utara Jawa Tengah Lampung Sulawesi Selatan Sumatera Barat Bengkulu Sulawesi Tengah Sulawesi Barat Aceh Banten Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Sumatera Selatan Kalimantan Tengah Bali Jambi Riau Kalimantan Timur Bangka Belitung Nusa Tenggara Barat Sulawesi Utara Maluku Sulawesi Tenggara DI Yogyakarta Kepulauan Riau Maluku Utara Papua Nusa TenggaraTimur Gorontalo Papua Barat DKI Jakarta Indonesia
Sumber: BPS 2011
Jambu Biji
Persen (%)
157.030 111.207 79.659 76.334
17.76 12.58 9.01 8.64
42.550 37.533 37.133 33.102 31.883 28.353
4.81 4.25 4.20 3.74 3.61 3.21
27.044 26.291 25.270 23.635 23.100 17.533
3.06 2.97 2.86 2.67 2.61 1.98
17.059 16.693 11.787 10.865 10.716 6.431
1.93 1.89 1.33 1.23 1.21 0.73
5.741 5.414 4.615 4.242 4.216 2.902
0.65 0.61 0.52 0.48 0.48 0.33
2.166 1.211 1.167 861 226
0.25 0.14 0.13 0.10 0.03
883.969
100
57
Tabel 2 Produksi Buah Jambu Biji di Indonesia menurut Tahun 1997-2011 No
Tahun
Jambu Biji (Ton)
Persen (%)
1
1997
160.469
5.88
2
1998
148.462
5.44
3
1999
139.341
5.11
4
2000
128.621
4.71
5
2001
137.598
5.04
6
2002
162.120
5.94
7
2003
239.107
8.76
8
2004
210.320
7.71
9
2005
178.509
6.54
10
2006
196.180
7.19
11
2007
179.474
6.58
12
2008
212.260
7.78
13
2009
220.202
8.07
14
2010
204.551
7.50
15
2011
211.836
7.76
Total
2.729.050
100
Sumber: BPS 2011
58
Lampiran 2 Peta Desa Bantarsari Desa Bantarsari, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor
Sumber: Google Map
59
Lampiran 3 Paradigma Proses Pengambilan Keputusan Inovasi SALURAN KOMUNIKASI
KONDISI SEBELUMNYA 1. Praktek Terdahulu 2. Masalah-masalah kebutuhan yang dirasakan 3. Keinovativan
I PENGENALAN
II PERSUASI
III KEPUTUSAN
IV IMPLEMENTASI
ADOPSI
MENOLAK KARAKTERISTIK UNIT PENGAMBILAN KEPUTUSAN 1. Karakteristik sosial ekonomi 2 . Variabel Kepribadian 3. Perilaku Komunikasi
PERSEPSI TERHADAP CIRI-CIRI INOVASI 1. 2. 3. 4. 5.
Keuntungan Relatif Kompatibilitas Kompleksitas Kemungkinan Dicoba Kemungkinan Diamati
Gambar 1. Pradigma Proses Pengambilan Keputusan Inovasi (Sumber: Rogerss EM (1983) dikutip Mugniesyah (2006)
V KONFIRMASI
Malanjutkan Adopsi Berhenti Adopsi Melanjutkan Menolak Mengadopsi Kemudian
60
Lampiran 4 Daftar Sensus Masyarakat yang Terlibat sebagai Petani BJK Daftar Sensus Masyarakat yang Terlibat sebagai Petani BJK di Desa Bantarsari, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat No. Responden
Nama Responden
Jenis Kelamin
Alamat (Kampung)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 33 34 35 36 37 38 39
SAP SUP ADA AMA MAJ UDI ACP IST SUK JAM MAD CEC ATA ASE SAE FAJ ENH MAS IMA ANW SAN ODI ACE MAM CEP BAS JUA NYI MAT OBI SUL MUR RUH SYA WAH SUT SUD IHA
L L L L L L L L L L L L L L L L P L L L L L L L L L P L L L L P P L L L L L
Hulurawa Hulurawa Hulurawa Hulurawa Hulurawa Hulurawa Bantarsari Hulurawa Hulurawa Hulurawa Hulurawa Hulurawa Hulurawa Hulurawa Bantarsari Bojong Tengah Bojong Tengah Bojong Tengah Hulurawa Hulurawa Bantarsari Bantarsari Bojong Tengah Hulurawa Hulurawa Bojong Tengah Kampung Baru Kampung Baru Kampung Baru Kampung Baru Kampung Baru Hulurawa Kampung Baru Kampung Baru Bojong Tengah Bojong Tengah Bantarsari Hulurawa
61
Lampiran 5 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel-variabel independen dan dependen Variabel-variabel
T. Pengenalan (Y1) Rs Sig 0.25 0.13
Tahapan Pengambilan Keputusan Inovasi T. Persuasi (Y2) T. Keputusan (Y3) T. Implementasi (Y4) Rs Sig Rs Sig Rs Sig
Praktek Berusahatani Sebelumnya (X1) Tingkat Kebutuhan Petani atas BJK 0.1 0.549 (X2) Tingkat Keinovativan Petani terhadap 0.052 0.757 BJK (X3) Variabel Frekuensi Partisipasi dalam 0.378 0.019* 0.12 0.473 0.153 Penyuluhan (X4) 0.265 0.107 Tingkat Pendidikan Formal (X5) 0.113 0.501 Tingkat Pendidikan Non Formal (X6) -0.036 0.832 Tingkat Pengalaman Berusahatani (X7) 0.284 0.084** Pola Perilaku Komunikasi (X8) -0.107 0.521 Tingkat Keuntungan Relatif (X9) 0.56 0.000* Tingkat Kompatibilitas (X10) 0.864 0.000* Tingkat Kerumitan (X11) Tingkat Kemungkinan Dicoba BJK 0.873 0.000* (X12) Tingkat Kemungkinan Diamati Hasil 0.937 0.000* BJK (X13) Tingkat Produksi BJK (X14) Tingkat Pendapatan yang Diperoleh (X15) 0.487 0.002* T. Pengenalan (Y1) 0.813 T. Persuasi (Y2) T. Keputusan (Y3( T. Implementasi (Y4) Keterangan : * Signifikansi α=0.05 (sangat berhubungan dan signifikan) ** Signifikansi α=0.10 (berhubungan dan cukup signifikan)
0.358
0.401
0.013*
T. Konfirmasi (Y5) Rs Sig
0.426
0.008*
0.247
0.134
0.222
0.180
0.967
0.000*
0.000* 0.56
0.000*
62
Nonparametric Correlations Notes Output Created
06-Jul-2014 23:20:48
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
38
File Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each pair of variables are based on all the cases with valid data for that pair.
Syntax
NONPAR CORR /VARIABLES=Y1 Y2 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Resources
Processor Time
00:00:00,015
Elapsed Time
00:00:00,047
Number of Cases Allowed
174762 cases
a. Based on availability of workspace memory
[DataSet0] Correlations Y1 Spearman's rho
Y1
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Y2
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Y2
1,000 .
,487
**
,002 38
38
**
1,000
,487
,002 . 38
38
a
63
NONPAR CORR /VARIABLES=Y2 Y3 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Nonparametric Correlations Notes Output Created
06-Jul-2014 23:21:46
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
38
File Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each pair of variables are based on all the cases with valid data for that pair.
Syntax
NONPAR CORR /VARIABLES=Y2 Y3 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Resources
Processor Time
00:00:00,016
Elapsed Time
00:00:00,016
Number of Cases Allowed
174762 cases
a. Based on availability of workspace memory
[DataSet0] Correlations Y2 Spearman's rho
Y2
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Y3
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Y3
1,000 .
,813
**
,000 38
38
**
1,000
,813
,000 . 38
38
a
64
NONPAR CORR /VARIABLES=Y3 Y4 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Nonparametric Correlations Notes Output Created
06-Jul-2014 23:22:45
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
38
File Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each pair of variables are based on all the cases with valid data for that pair.
Syntax
NONPAR CORR /VARIABLES=Y3 Y4 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Resources
Processor Time
00:00:00,000
Elapsed Time
00:00:00,015
Number of Cases Allowed
174762 cases
a. Based on availability of workspace memory
[DataSet0] Correlations Y3 Spearman's rho
Y3
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Y4
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Y4
1,000 .
,560
**
,000 38
38
**
1,000
,560
,000 . 38
38
a
65
NONPAR CORR /VARIABLES=Y4 Y5 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Nonparametric Correlations Notes Output Created
06-Jul-2014 23:23:20
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
38
File Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each pair of variables are based on all the cases with valid data for that pair.
Syntax
NONPAR CORR /VARIABLES=Y4 Y5 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Resources
Processor Time
00:00:00,000
Elapsed Time
00:00:00,015
Number of Cases Allowed
174762 cases
a. Based on availability of workspace memory
[DataSet0] Correlations Y4 Spearman's rho
Y4
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Y5
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Y5
1,000 .
,967
**
,000 38
38
**
1,000
,967
,000 . 38
38
a
66
NONPAR CORR /VARIABLES=X4 Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Nonparametric Correlations Notes Output Created
06-Jul-2014 23:27:37
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
38
File Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each pair of variables are based on all the cases with valid data for that pair.
Syntax
NONPAR CORR /VARIABLES=X4 Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Resources
Processor Time
00:00:00,031
Elapsed Time
00:00:00,031
Number of Cases Allowed
92521 cases
a. Based on availability of workspace memory
[DataSet0]
a
67
Correlations X4 Spearman's X4
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Y2
Y3
Y4
Y5
,019
,473
,358
,013
,008
38
38
38
38
38
38
*
1,000
**
,279
,002
,090
,000
,000
38
38
38
38
1,000
**
**
Sig. (2-tailed)
,019 .
,378
38
38
Correlation Coefficient
,120
**
Sig. (2-tailed)
,473
,487
,487
,002 .
38
38
**
1,000
Sig. (2-tailed)
,358
,090
38
38
38
*
**
**
,813
,000 .
Correlation Coefficient
,401
Sig. (2-tailed)
,013
,000
,002
38
38
38
Sig. (2-tailed)
,849
**
,487
,435
**
,474
**
38
38
38
**
1,000
,560
,000 . 38 ,474
**
,006
,003
38
38
38
38
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
**
,003
,000
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
,560
,000
,008
N
**
38
,279
**
,435
**
38
,153
,426
,849
**
,006
Correlation Coefficient
Correlation Coefficient
,487
**
,426
,002
38
,843
,813
,843
*
,000
38
N
Y5
,401
,378
N
Y4
,153
Correlation Coefficient
N
Y3
,120
.
N
Y2 *
1,000
N Y1
Y1
,967
**
,000 38
38
**
1,000
,967
,000 . 38
38
68
NONPAR CORR /VARIABLES=Y1 X1 X2 X3 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Nonparametric Correlations Notes Output Created
06-Jul-2014 23:24:47
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
38
File Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each pair of variables are based on all the cases with valid data for that pair.
Syntax
NONPAR CORR /VARIABLES=Y1 X1 X2 X3 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Resources
Processor Time
00:00:00,015
Elapsed Time
00:00:00,031
Number of Cases Allowed a. Based on availability of workspace memory
120989 cases
a
69
[DataSet0] Correlations Y1 Spearman's rho
Y1
Correlation Coefficient
,052
,130
,549
,757
38
38
38
38
Correlation Coefficient
,250
1,000
,003
-,134
Sig. (2-tailed)
,130 .
,987
,421
N X2
.
38
38
38
38
Correlation Coefficient
,100
,003
1,000
,073
Sig. (2-tailed)
,549
,987 .
N X3
X3 ,100
N
1,000
X2 ,250
Sig. (2-tailed)
X1
X1
,661
38
38
38
38
Correlation Coefficient
,052
-,134
,073
1,000
Sig. (2-tailed)
,757
,421
38
38
N
,661 . 38
38
70
NONPAR CORR /VARIABLES=Y1 X5 X6 X7 X8 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Nonparametric Correlations
Notes Output Created
06-Jul-2014 23:28:51
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
38
File Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each pair of variables are based on all the cases with valid data for that pair.
Syntax
NONPAR CORR /VARIABLES=Y1 X5 X6 X7 X8 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Resources
Processor Time
00:00:00,031
Elapsed Time
00:00:00,031
Number of Cases Allowed a. Based on availability of workspace memory
[DataSet0]
104857 cases
a
71
Correlations
Y1 Spearman's rho
Y1
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
1,000
.
N X5
,265
Sig. (2-tailed)
,107 .
X7
X8
,265
,113
-,036
,284
,107
,501
,832
,084
38
38
38
38
,023
**
,049
,892
,000
,771
1,000
-,590
38
38
38
38
Correlation Coefficient
,113
,023
1,000
,157
,199
Sig. (2-tailed)
,501
,892 .
,347
,231
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
38
38
38
38
38
-,036
**
,157
1,000
-,045
-,590
,832
,000
38
38
38
38
38
Correlation Coefficient
,284
,049
,199
-,045
1,000
Sig. (2-tailed)
,084
,771
,231
38
38
38
N X8
X6
38
N X7
38
Correlation Coefficient
N X6
X5
N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
,347 .
,791
,791 . 38
38
72
NONPAR CORR /VARIABLES=Y2 X10 X11 X12 X13 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Nonparametric Correlations Notes Output Created
06-Jul-2014 23:30:57
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data
38
File Missing Value Handling
Definition of Missing
User-defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each pair of variables are based on all the cases with valid data for that pair.
Syntax
NONPAR CORR /VARIABLES=Y2 X10 X11 X12 X13 /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE.
Resources
Processor Time
00:00:00,015
Elapsed Time
00:00:00,031
Number of Cases Allowed a. Based on availability of workspace memory
[DataSet0]
104857 cases
a
73
Correlations Y2 Spearman's rho
Y2
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
1,000 .
N X10
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X11
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X12
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
X13
X10
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
X11
,560
**
X12
,864
**
X13
,873
**
,937
**
,000
,000
,000
,000
38
38
38
38
38
**
1,000
,560
,000 . 38
38
**
**
,864
,000 38 ,873
**
,452
,452
**
,417
**
**
,492
**
,004
,009
,002
38
38
38
1,000
**
,004 . 38
,417
,819
,926
**
,000
,000
38
38
38
**
1,000
,819
**
,000
,009
38
38
38
38
38
**
**
**
**
1,000
,937
,492
,000 .
,857
,926
,000
,002
,000
38
38
38
,000
,857
,000 . 38
38
74
Lampiran
6
Nilai
minimal,
maksimal,
dan
rata-rata
variabel
Nama Variabel T. Pengenalan (Y1) T. Persuasi (Y2) T. Keputusan (Y3( T. Implementasi (Y4) T. Konfirmasi (Y5) Praktek Berusahatani Sebelumnya (X1)
Min 3 8 6 2 2 2
Tingkat Kebutuhan Petani atas BJK (X2)
1
5
2.18
Tingkat Keinovativan Petani terhadap BJK (X3)
3
720
168.29
1
20
5.77
1
5
2.32
1
4
1.97
1
5
2.61
1 50 2 7
5 700 9 12
3.13 250 4.63 9.29
7
12
8.97
8
12
9.37
700 141 450 000.00
250 51 815 673.11
Variabel Frekuensi Partisipasi dalam Penyuluhan (X4) Tingkat Pendidikan Formal (X5) Tingkat Pendidikan Non Formal (X6) Tingkat Pengalaman Berusahatani (X7) Pola Perilaku Komunikasi (X8) Tingkat Keuntungan Relatif (X9) Tingkat Kompatibilitas (X10) Tingkat Kerumitan (X11) Tingkat Kemungkinan Dicoba BJK (X12) Tingkat Kemungkinan Diamati Hasil BJK (X13) Tingkat Produksi BJK (X14) Tingkat Pendapatan yang Diperoleh (X15)
50 7 027 000.00
Max 10 12 12 8 8 5
Rata-rata 5.61 9.24 8.16 4.42 4.32 3.03
75
Lampiran 7 Dokumentasi Penelitia
Gambar 1 Area penanaman jambu kristal di Desa Bantarsari
Gambar 2 Tanaman jambu kristal
Gambar 3 Salah seorang responden penelitian
76
Gambar 4 Buah jambu kristal
Gambar 5 Tempat pemasaran lewat tengkulak
Gambar 6 Bibit jambu kristal
77
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 9 Januari 1991 di Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan adalah anak ketiga dari enam bersaudara yang dilahirkan dari pasangan Ibu Marwatiah (almarhumah) dan Bapak Zulkifli Fudhail. Penulis menempuh pendidikan formal di SD Negeri 199 Tanah Kongkong Bulukumba selama tiga tahun dan tiga tahun berikutnya di SD Negeri Unggulan 221 Bulukumba sejak tahun 1997 hingga 2003. Penulis selanjutnya menempuh pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 06 Makassar pada tahun 2003 hingga 2006 dan pendidikan menengah atas di Sekolah Islam Athirah Makassar pada tahun 2006 hingga 2009. Pada tahun 2009 penulis masuk Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan memilih program studi di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Departemen SKPM), Fakultas Ekologi Manusia. Selain menempuh studi, penulis juga aktif menjadi relawan Unit Kegiatan Mahasiswa Korps Sukarela Palang Merah Indonesia Unit I Institut Pertanian Bogor (UKM KSR PMI Unit I IPB) dan menjadi juga anggota di Pramuka IPB. Penulis pernah menjadi ketua divisi Medis dalam kegiatan Ecology Sport & Art Event (E’SPENT) pada tahun 2012. Di samping itu, penulis juga pernah menjadi guru privat di Kharisma Prestasi, Bogor pada tahun 2011 hingga 2012. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti pengisi acara dalam kegiatan-kegiatan kampus sebagai pembaca puisi, seperti Ruang Seni dan Sastra (RASSA), Ladang Seni, Jalanan Bukan Sandaran, dan Welcome Party 46. Sejak awal tahun 2014, penulis aktif dalam kegiatan wirausaha di Institut Pertanian Bogor Entrepreneurs Community (IPB-EC).