Laporan Tahunan 2003 Balai Penelitian Pascapanen Pertanian
1
I. PENDAHULUAN Strategi pembangunan pertanian selama ini lebih banyak diarahkan pada usaha meningkatkan produksi pertanian. Peningkatan produktivitas belum menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan petani, karena selama ini petani hanya mampu menjual hasil panennya dalam bentuk bahan mentah. Pemasaran hasil dalam bentuk bahan mentah, memiliki beberapa kelemahan diantaranya: nilai tambah rendah, mudah rusak, daya simpan terbatas, dan konsistensi mutu sulit dijamin. Selain itu, penanganan hasil panen juga masih lemah dengan tingginya tingkat kehilangan hasil panen. Data dari Ditjen BP2HP (2003) menunjukkan tingkat kehilangan hasil panen padi selama tahun 1997-2002 masih tinggi yaitu rata-rata mencapai 24,61% per tahun (Ditjen BP2HP). Kegiatan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan sistem pertanian secara keseluruhan, yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah hingga pemasaran produk akhir. Peran kegiatan pascapanen menjadi sangat penting, karena merupakan salah satu sub-sistem agribisnis yang mempunyai peluang besar dalam upaya meningkatkan nilai tambah produk agribisnis. Sebagai gambaran, nilai PDB yang dihasilkan industri pengolahan berbahan baku komoditas primer perkebunan adalah sebesar Rp. 1.666,6 triliun atau lebih dari empat kali lipat nilai Product Domestic Bruto (PDB) komoditas primer perkebunan yang besarnya Rp. 37,6 triliun (Saragih, 2000). Dibanding dengan produk segar, produk olahan mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar. Data BPS menunjukkan bahwa perolehan devisa dari ekspor produk olahan pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2000 rata-rata sebesar US$ 4.638,2 juta per tahun, sementara ekspor produk segar hanya mencapai US$ 119,2 ribu per tahun. Walaupun Indonesia merupakan salah satu produsen utama produk pertanian dunia, tetapi daya saing komoditas Indonesia di pasar internasional masih lemah. Beberapa komoditas ekspor unggulan seperti sawit, karet, kakao, kelapa, lada dan minyak atsiri, belum mampu menguasai pangsa pasar maupun menjadi acuan harga internasional. Hal ini terjadi, karena selama ini hanya mengandalkan keunggulan komparatif dengan kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (factor–driven), sehingga produk yang dihasilkan didominasi oleh produk primer atau bersifat natural recources-based dan unskilled-labor intensive (Saragih, 2003). Mutu produk pertanian yang tidak konsisten dan tingginya cemaran (seperti
2
aflatoxin dan bakteri salmonella, kotoran dan hama gudang) merupakan salah satu penyebab rendahnya daya saing produk pertanian Indonesia. Untuk kepentingan kebutuhan pasar di dalam negeri, Indonesia mengimpor cukup besar produk maupun komponen bahan industri, bahan pangan, dan pakan yang bahan bakunya tersedia cukup besar di Indonesia seperti pati dan produk turunan, konsentrat pakan, parfum, aneka produk makanan, produk oleo-chemical, bahan kosmetika, dan farmasi. Dilihat dari data impor, maka pada kurun waktu (tahun 1997-2000) rata-rata impor produk olahan mencapai US$ 1.894,7 juta dan produk segar mencapai US$ 1.358,9 juta (BPS, 2000). Besarnya nilai impor ini menunjukkan bahwa produksi pertanian dan industri pengolahannya khususnya yang bahan bakunya tersedia di dalam negeri harus dipacu perkembangannya. Pengembangan agribisnis dan agroindustri yang berdaya saing dalam menyongsong perdagangan bebas memberi konsekuensi bahwa pengembangan agroindustri harus berbasis pada inovasi teknologi. Pengolahan lebih lanjut dan pengembangan produk baru diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk dan memaksimalkan nilai ekonomi komoditas pertanian, yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Dengan memperhatikan issue dan tantangan dalam sistem dan usaha agribisnis, maka perakitan dan pengembangan inovasi teknologi pascapanen membutuhkan pendekatan serta strategi penelitian dan pengembangan yang lebih komprehensif. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian (Balitpasca) merupakan institusi baru di lingkup Badan Litbang Pertanian. Berdirinya Balitpasca berdasarkan Kepmen No. 76/Kpts/OT.210/1/2002 tanggal 29 Januari 2002. Sebagai institusi penelitian eselon III, tugas pokok Balitpasca melaksanakan kegiatan penelitian bidang pascapanen pertanian. Berdasarkan Kepmen No. 632/Kpts/OT.140/12/2003 tanggal 30 Desember 2003, Balitpasca ditingkatkan statusnya menjadi unit eselon IIB dengan nama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB-Pascapanen). BB-Pascapanen mempunyai tugas tidak hanya melaksanakan penelitian teknologi pascapanen termasuk juga pengembangan dari teknologi pascapanen yang dihasilkan. Selama periode tahun 2002 – 2004, telah ditetapkan Program Utama Penelitian Pascapanen jangka menengah sebagai berikut: (1) program penelitian penyediaan teknologi pangan alternatif, (2) program penelitian peningkatan pemanfaatan hasil dan limbah pertanian, (3) program penelitian peningkatan daya saing produk segar dan olahan hasil pertanian, (4) program penelitian mendukung sistem manajemen mutu dan keamanan 3
pangan, dan (5) program diseminasi hasil penelitian untuk percepatan pengembangan agroindustri. Berbagai pencapaian target keluaran kegiatan penelitian dari tahun 2002-2003 telah mulai memperlihatkan hasil, namun demikian diperlukan tindak lanjut dengan kerjasama kemitraan untuk mempercepat komersialisasi dan transfer teknologi.
4
II. PROGRAM PENELITIAN 2.1. VISI DAN MISI Balai Penelitian Pascapanen Pertanian (Balitpasca) mempunyai tugas pokok melaksanakan penelitian. Dalam melaksanakan tugas pokoknya tersebut, Balitpasca menyelenggarakan fungsi : a. Pelaksanaan penelitian karakterisasi bahan, pengembangan produk baru dan pemanfaatan limbah hasil pertanian. b. Pelaksanaan penelitian teknologi proses fisik, kimia dan mikrobiologi. c. Pelaksanaan penelitian sistem mutu dan keamanan produk hasil pertanian. d. Pelaksanaan penelitian komponen teknologi sistem dan usaha agribisnis bidang pascapanen pertanian. Departemen Pertanian, dalam koridor pembangunan pertanian di masa mendatang mempunyai misi pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan terdesentralisasi. Sesuai dengan misi Departemen Pertanian tersebut, Badan Litbang Pertanian telah menetapkan visinya, yaitu menjadi lembaga penelitian, pengkajian dan pengembangan pertanian dengan citra proaktif dan partisipatif dalam menciptakan, merekayasa dan mengembangkan IPTEK di sektor pertanian, untuk mewujudkan pertanian tangguh yang modern dan efisien berbasis sumberdaya, Selaras dengan hal itu, maka Balitpasca mengemban visi dan misi sebagai berikut : VISI Menjadi institusi terdepan dalam inovasi teknologi pascapanen untuk menunjang pengembangan agroindustri yang berdaya saing. MISI
Menghasilkan teknologi pascapanen untuk pembentukan produk baru bermutu tinggi
Merakit komponen teknologi pascpanen untuk menghasilkan model agroindustri pada skala UKM
Menyusun pangkalan data karakteristik bahan/produk untuk pengembangan sistem manajemen mutu pada proses produksi
5
2.2. PENDEKATAN STRATEGIS Kegiatan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan sistem pertanian secara keseluruhan, yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah hingga pemasaran produk akhir. Sejalan dengan hal itu, keberadaan Balitpasca sangat terkait dengan mandat Balai Penelitian Komoditas dalam mengembangakan hasil pertanian yang berkualitas, dengan Pusat Litbang Sosial Ekonomi Pertanian dalam penggalangan subsistem pasar (termasuk aspek market intelligence), dengan Balai Besar Alsintan dalam diseminasi hasil penelitian. Penelitan pascapanen pertanian pertanian diarahkan untuk dapat memecahkan berbagai masalah yang berkaitan dengan rendahnya mutu dan daya saing produk pertanian, besarnya kehilangan hasil akibat pengelolaan panen dan pascapanen yang kurang benar. Langkah-langkah strategis yang akan ditempuh adalah :
Mengutamakan perakitan komponen teknologi pascapanen yang telah banyak dihasilkan untuk menjadi suatu model agroindustri yang siap diimplementasikan dan lebih berdaya guna dalam satu wilayah pembangunan pertanian.
Menyelaraskan model agroindustri dengan kebijakan pengembangan kawasan agribisnis yang dicanangkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah (pengembangan agropolitan) serta ketersediaan mitra usaha.
Mengembangkan sistem manajemen mutu untuk meningkatkan daya saing agroindustri, khususnya bagi industri rakyat di bidang pengelolaan hasil pertanian komoditas lokal.
Menggali potensi produk, khususnya dari komoditas lokal, sebagai suatu penelitian yang bersifat visioner, bioprospektif dan berorietansi HaKI untuk menghasilkan produkproduk baru atau bahan pendukung yang mampu meningkatkan efisiensi proses.
2.3. PROGRAM PENELITIAN 2001-2004 a. Program penelitan menyediakan teknologi pangan alternatif. Tujuan program penelitian adalah dapat memenuhi kebutuhan pangan melalui diversifikasi produk, khususnya berbahan baku non-beras. Sasaran produk diarahkan pada penyiapan bahan pangan untuk masyarakat kurang gizi, balita, kecukupan gizi dan pangan untuk keadaan darurat (instan). Penelitian juga diarahkan untuk mengangkat bahan pangan tradisional menjadi bahan pangan yang bermutu dengan citra tinggi.
6
b. Progarm penelitian peningkatan pemanfaatan hasil dan limbah pertanian. Program penelitian ini bertujuan untuk menampung berbagai penelitian yang bersifat visioner dan eksploratif dalam usaha peningkatan nilai tambah komoditas pertanian, baik dari produk yang sudah ada, maupun penanganan bahan baku dan limbah pertanian, sehingga dapat lebih bermanfaat bagi industri pangan, kosmetik dan farmasi. Kegiatan penelitian ini dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi kimia, biofisika dan bioproses. c. Program penelitian peningkatan daya saing produk segar dan olahan hasil pertanian Program penelitian ini bertujuan meningkatkan daya saing produk melalui perbaikan mutu, efisiensi proses, penciptaan model agroindustri terpadu, perakitan dan peningkatan skala komponen teknologi pascapanen. Kegiatan penelitian menyangkut pengamanan terhadap aspek tekno-sosio-ekonomis bagi kelayakan operasi dan panduan komponen teknologi pascapanen yang telah dihasilkan. d. Program penelitian mendukung pengembangnan sistem mutu dan keamanan pangan Penelitian ini bertujuan mengembangkan sistem manajemen mutu yang sesuai bagi agroindustri
berbasis
komoditas
unggulan
Indonesia
untuk
dapat
bersaing
sehubungandengan masuknya produk impor. Penelitian diarahkan pada pengembangan model agroindustri yang menggunakan sistem mutu dan pengawasan terhadap keamanan pangan. e. Program diseminasi hasil penelitian untuk percepatan pengembangan agroindustri Program ini merupakan upaya penyampaian inovasi teknologi pascapanen yang dihasilkan kepada pengguna, seperti petani, pengusaha dan pemerintah yang dilakukan melalui berbagai medium dan cara. Kerjasama internal unit penelitian lingkup Badan Litbang Pertanian dan instansi terkait di daerah akan dilakukan untuk mendapatkan umpan balik bagi teknologi yang diintroduksi.
7
III. HASIL KEGIATAN PENELITIAN 3.1. PENGEMBANGAN MODEL AGROINDUSTRI TEPUNG KASAVA SKALA KECIL MENENGAH Pengembangan agroindustri aneka tepung dari bahan sumber karbohidrat lokal diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan pangan dan mengurangi ketergantungan terhadap beras. Teknologi pengolahan tepung kasava dapat memberikan nilai tambah sebesar 3,7 trilyun bila seluruh produksi ubi kayu (16 juta ton) diolah menjadi tepung kasava. Nilai tambah tersebut disajikan pada Tabel 3.1. Tepung kasava berpotensi sebagai pengganti atau substitusi terigu impor. Tepung kasava dapat menggantikan 20-80% terigu pada beragam produk. Bila teknologi substitusi diterapkan, maka dapat dihemat devisa sebesar 1,84-7,36 trilyun rupiah (Tabel 3.2).
Malang
: Mitra Koperasi Bumi Pertiwi Indonesia Lampung : Mitra Kel.Tani Setia Harapan dan CV Patricia Tangerang
Teknologi yang dilitkaji:
Teknologi pengolahan tepung kasava kapasitas 1 ton ubikayu/hari
Keunggulan teknologi:
Rendemen 27-30% Daya simpan bahan baku lebih lama Mutu tepung kasava lebih baik dengan kadar HCN dibawah 40 ppm
Gambar 3.1. Model Agroindustri Tepung Kasava Tabel 3.1. Nilai tambah penerapan teknologi pengolahan tepung kasava Tepung Kasava Ubi Segar Produksi (ton) Rendemen (27%) Harga Produk (Rp/ton) Nilai Produk (Rp) Selisih nilai=(6,9-3,2)=3,7 trilyun
16 juta 4,32 juta 1,6 juta 6,9 trilyun
16 juta 200 ribu 3,2 trilyun
8
Tabel 3.2. Nilai substitusi tepung kasava terhadap tepung terigu Nominal Impor terigu/tahun (ton) Harga/ton (Rp) Nilai impor terigu (Rp) Substitusi tepung kasava Nilai substitusi (Rp)
4 juta 2,3 juta 9,2 trilyun 20-80% (setara 0,8-3,2 juta ton) 1,84-7,36 Trilyun
Ubikayu (Manihot esculenta Crantzs. L) merupakan sumber karbohidrat lokal yang jumlahnya melimpah dan harganya relatif murah. Untuk meningkatkan bargaining position petani ubikayu serta meningkatkan ketersediaan bahan pangan sumber karbohidrat pendamping beras dan terigu dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan, maka dikembangkan agroindustri tepung kasava. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan tepung kasava antara lain: (1) masyarakat mempunyai penilaian yang rendah terhadap ubikayu; (2) tepung kasava merupakan produk yang belum memasyarakat; (3) flavor spesifik ubikayu yang ada pada tepung kasava dan keterbatasan sifat kemekaran mengurangi preferensi konsumen; dan (4) minimnya informasi penggunaan tepung kasava untuk produk non pangan. Penelitian ini bertujuan untuk memantapkan dan mengembangkan agroindustri tepung kasava yang kompetitif, membantu meningkatkan ketersediaan pangan sumber karbohidrat pendamping beras dan terigu maupun bahan baku untuk industri pangan dan non pangan, mengembangkan produk olahan, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya petani ubikayu dan labu kuning. Pada tahun 2003 dilakukan 3 kegiatan yaitu: (1) Pemantapan agroindustri tepung kasava; (2) Karakterisasi, pengembangan produk dan pemanfaatan limbah; (3) Kelembagaan dan pemasaran. Pemantapan agroindustri tepung kasava Berdasarkan keragaman di lapang dan prospek pengembangan, maka kegiatan agroindustri tepung kasava difokuskan di daerah Lampung. Optimalisasi teknologi tepung kasava di kelompok tani Setia Harapan, Desa Tambah Subur, Kec. Purbolinggo Utara, Kab. Lampung Timur mempunyai tujuan antara lain: mengoptimalkan kapasitas produksi tepung kasava, perbaikan kualitas tepung kasava sesuai dengan keinginan konsumen, konsistensi terhadap produksi, kualitas dan harga tepung terjangkau oleh konsumen, dan kepercayaan konsumen terhadap persyaratan higienitas selama proses produksi. 9
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, telah dilakukan kegiatan antara lain: a. Evaluasi terhadap kendala pada setiap tahap pengolahan. Kendala pengolahan terutama terletak pada tahap pengeringan. Agar kapasitas produksi meningkat dapat dilakukan dengan merubah sistem produksi. Pengeringan dilakukan tidak hanya menggunakan alat pengering, tetapi juga dengan cara penjemuran. Selain itu dilakukan pelatihan penggunaan alat pengering sistem bak, sehingga kapasitas produksi meningkat dari 200 kg/6 jam menjadi 600 kg/6 jam. b. Mengatasi keluhan konsumen terhadap mutu tepung yang kurang halus dan berbau apek terutama disimpan dalam waktu lama. Untuk meningkatkan kehalusan tepung dilakukan penambahan alat ayakan 100 mesh. Bau apek disebabkan tingginya kadar air tepung kasava sehingga terjadi fermentasi dalam penyimpanan. Untuk mencegah bau, kadar air tepung dipertahankan agar tidak lebih dari 14%. c. Memberi jaminan mutu kepada konsumen dengan menerapkan sistem manajemen mutu melalui kegiatan perbaikan sistem dokumentasi, sosialisasi pembinaan sumber daya
manusia
yang
terlibat
dalam
sistem
produksi,
penataan
ruangan,
mengoptimalkan agar setiap tahap proses dicapai efisiensi yang akan mempengaruhi biaya produksi dan harga produk lebih murah dan terjangkau. Karakterisasi dan pengembangan produk dan pemanfaatan limbah Tepung kasava mengandung karbohidrat 81,75%, kadar air 12%, kadar abu 0,75%, kadar serat kasar 3,34%, lemak 0,32%, glutamat 2,01 mg/g, gliserin 0,01 mg/g dan kalori 395,86 kal/100 g. Selain itu tepung kasava juga mengandung beberapa jenis vitamin, diantaranya vitamin A 5,97 mg/100 g, vitamin B 7,96 mg/100 g, dan vitamin C 5,95 mg/100 g. Granula tepung kasava mulai tergelatinisasi dalam waktu 29,0 menit pada suhu 65,0oC. Granula tepung pecah dalam waktu 30,0 menit dengan suhu 94,0oC dan viskositas 700 B U. Formula untuk tiap produk makanan dari bahan tepung
kasava telah
direkomendasikan dan diuraikan dalam buku kumpulan resep makanan dari bahan tepung kasava. Untuk produk non pangan, telah diadakan kerjasama dengan PT. Pachira sebagai pembeli tepung kasava yang akan dimanfaatkan sebagai bahan baku industri produk setengah jadi “Texturiza”, yaitu produk pangan fungsional kaya serat.
10
Kelembagaan dan pemasaran Dalam kegiatan ini, di provinsi Lampung diusahakan terbentuk jaringan dengan lembaga-lembaga yang terkait. Untuk bidang budidaya dan teknologi, bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan BPTP, bidang permodalan bekerjasama dengan Bappeda dan perbankan, dan bidang koperasi dan perdagangan bekerjasama dengan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi. Untuk memperoleh dukungan yang lebih luas lagi, harus bekerjasama dengan Badan Ketahanan Pangan Daerah dan DPRD setempat, membuat jaringan pasar dengan para pengguna/konsumen, baik konsumen industri maupun rumah tangga. Direncanakan pula adanya sosialisasi pertemuan antara Balitpasca, BPTP Lampung, Pemda Kab. Lampung Tengah dan Lampung Timur untuk membahas tentang kerjasama kemitraan dalam pembinaan teknis dan pemasaran tepung kasava di Lampung. Dalam upaya merintis pasar, telah dilakukan kerjasama dengan Dinas Perindustrian Kota Bogor. Untuk mempelajari jalur pemasaran tapioka, yang diharapkan dapat juga digunakan sebagai acuan tata niaga tepung kasava, telah dilakukan penjajagan dengan pabrik Tapioka Kujang dan pabrik Tapioka Setia di Bogor. Peluang pasar lainnya dengan PT. Pachira sedang dirintis kembali. Hasil pertemuan kedua dengan PT. Pachira pada bulan Desember 2003 telah ada kesepakatan bahwa pada pertengahan bulan Februari 2004 PT. Pachira akan membeli lagi tepung kasava dari kelompok tani Setia Harapan (binaan BB-Pascapanen) sebanyak 4 ton. Selain itu pada tahun 2003 juga dilakukan partisipasi 4 kali ekspose, yaitu: (1) Agro Food Expo, Senayan, Jakarta; (2) Pameran Produksi Indonesia, Jakarta; (3) Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Lahan Pasang-surut, Kalimantan Selatan; (4) Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Lahan Irigasi, Sulawesi Selatan. 3.2. PENELITIAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN TEPUNG SUKUN Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia tidak sebanding dengan produksi padi nasional, sehingga perlu dicari upaya lain untuk memenuhi kebutuhan pangan. Untuk memenuhi sumber karbohidrat sebagai bahan pangan, buah sukun merupakan salah satu pilihan sebagai bahan pangan lokal potensial pengganti beras. Buah sukun telah lama dimanfaatkan sebagai bahan pangan, berupa makanan pokok, makanan ringan maupun makanan lainnya. 11
Teknologi penepungan perlu dikembangkan karena dalam bentuk tepung mempunyai beberapa keuntungan antara lain akan lebih mudah dicampur, dibentuk dan lebih cepat masak menjadi berbagai bentuk produk olahan, serta lebih tahan lama disimpan. Bentuk tepung merupakan produk setengah jadi, dan merupakan bahan baku utama dalam diversifikasi pangan untuk menunjang program ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Tujuan penelitian ini antara lain: (1) mengevaluasi sifat fisikokimia buah dan tepung sukun dari seluruh Indonesia diharapkan dapat dirakit produk olahan tertentu yang sesuai dan mendapatkan formula produk olahan (ekstrudat) dari tepung sukun, (2) melakukan uji penerimaan konsumen tepung sukun dan produk olahannya untuk membuka peluang pemasaran, dan (3) mengidentifikasikan potensi wilayah sentra produksi sukun untuk lokasi pengembangan agroindustri tepung sukun. Kegiatan penelitian pada tahun 2003 terdiri dari 3 kegiatan, yaitu: (1) Evaluasi karakteristik sifat fisikokimia bahan mentah dan tepung sukun dari berbagai varietas di Indonesia, serta uji fungsional produk olahannya, (2) Uji preferensi konsumen produk tepung dan hasil olahannya, (3) Identifikasi potensi penerapan model agroindustri tepung sukun. Evaluasi karakteristik buah dan tepung sukun Warna kulit buah sukun ada yang hijau, hijau kekuningan dan hijau kecoklatan, tergantung varietas dan tingkat kematangan. Semakin tua buah sukun, semakin lebar lingkar mata pada kulit buahnya. Warna daging juga tergantung dari varietas dan kematangan, ada yang berwarna putih, putih kekuningan dan kuning. Semakin tua buah sukun, warna daging buah semakin kuning. Bentuk permukaan buah sukun ada yang berduri dan tidak berduri. Tingkat kematangan buah sukun ditandai dengan keluarnya getah yang semakin lama permukaan penuh dengan getah dan warna getah berubah dari warna putih menjadi coklat/hitam. Semakin besar ukuran buah, semakin tua tingkat kematangan optimum. Buah sukun ada yang berukuran kecil (lingkaran buah kurang dari 40 cm), sedang (lingkaran buah 40-44 cm) dan besar (lingkaran buah lebih dari 45 cm). Berat dan tingkat kekerasan buah sukun ditentukan oleh tingkat kematangan buah. Semakin tua sampai tingkat kematangan optimum akan meningkatkan berat buah, tetapi 12
kekerasannya semakin berkurang. Kekerasan buah sukun muda sebesar 0,4-1,7 kg/g dan kekerasan buah sukun tua sebesar 0,04-1.0 kg/g. Berdasarkan berat, buah sukun dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu Kelompok I (berat buah 350-500 gram per buah), Kelompok II (500-110 gram per buah), dan Kelompok III (berat buah lebih dari 110 gram per buah). Rendemen tepung sukun sangat bervariasi antara 17-24,4%. Tingkat kemasakan buah sangat menentukan rendemen tepung sukun. Semakin tua akan semakin tinggi rendemen tepung sukun, karena semakin tua kadar patinya meningkat. Tingkat keputihan tepung sukun antara 50-70%. Tepung paling putih dihasilkan dari buah sukun dengan tingkat kematangan sedang. Sukun yang lewat matang akan dihasilkan tepung yang tinggi kadar gulanya, sehingga tidak cepat kering. Kadar air buah sukun segar antara 68-72%, abu antara 0,9-1.0%, protein antara 0,81,0%, lemak antara 0,2-0,4% dan karbohidrat antara 26-33%. Nilai gizi tepung sukun ditentukan oleh kadar air antara 2-6%, kadar abu antara 2,0-3,8%, kadar protein antara 23,6%, kadar lemak antara 0,7-1,3% dan karbohidrat antara 87-91%. Tepung sukun dengan kadar amilosa antara 11-17% menunjukkan tekstur produk olahan yang sangat pulen, sedangkan yang berkadar amilosa 17-20% menghasilkan produk olah yang pulen. Kandungan gula total pada sukun rendah yaitu antara 0,21-0,32%. Kandungan pektin pada sukun Cilacap, Sukabumi dan Kediri cukup tinggi yaitu sekitar 20%, sedangkan pada sukun Kulonprogo, P. Seribu, Bone dan Purworejo kandungan pektinnya rendah (10%). Sukun Bone-Jumpie mengandung vitamin A (64 IU) dan vitamin C (9 mg/100 mg) tertinggi dibanding sukun lainnya. Viskositas puncak tepung sukun lebih dari 1000 BU, berarti mempunyai daya mengembang mekar dibandingkan terigu. Sifat fitokimia menunjukkan bahwa tepung sukun mengandung senyawa aktif alkaloid dan saponin yang banyak digunakan dalam pengobatan. Secara empiris sukun digunakan sebagai obat untuk menekan asam urat. Rendemen hasil olahan sukun dari sukun segar sebagai berikut: sukun kupas sebesar 83,63%, kulit sukun 16,37%, bagian hati sukun sebesar 8,03%, rendemen sawut/chip kering sebesar 20,82% dan rendemen tepung sukun sebesar 20,10%. Rendemen tepung sukun tergantung pada varietas. Komposisi tepung komposit sukun dengan formula 1 (tepung jagung : tepung sukun) dengan penambahan tepung sukun sampai 40% dapat meningkatkan kadar protein 2% dan 13
kadar lemak 1,5%. Pada formula 2 (tepung terigu : tepung sukun) dengan penambahan tepung sukun sampai 40% dapat meningkatkan kadar protein 3%, tetapi tidak meningkatkan kadar lemak. Penggunaan substitusi tepung jagung dan tepung terigu, disamping dapat memperbaiki tekstur produk, juga memperbaiki nilai gizinya. Pengembangan produk dan uji preferensi konsumen produk olahannya Semakin meningkat konsentrasi tepung sukun, penambahan air agar adonan kalis akan semakin banyak sehingga akan meningkatkan rendemen mie mentah. Rendemen mie mentah dari campuran 30% tepung sukun dan 70% tepung terigu. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa warna, aroma, tekstur dan kesukaan mie mentah dan mie kering dengan penggunaan tepung sukun sampai konsentrasi 40% masih disukai oleh konsumen. Identifikasi potensi pengembangan agroindustri tepung sukun Daerah-daerah sentra produksi sukun telah dilakukan identifikasi yaitu DKI Jakarta (Kepulauan Seribu), Jawa Tengah (Kabupaten Cilacap dan Purworejo), DI. Yogyakarta (Kabupaten Kulon Progo) dan Sulawesi Selatan (Kabupaten Bone). Petani sukun (n=14) membudidayakan varietas sukun daging kuning (di Cilacap) dan sukun gundul dengan cara stek, setelah tinggi bibit 30-50 cm dipindah. Pemupukan dengan pupuk kompos sampai pohon mulai berbuah (3 tahun). Hama yang menyerang adalah uret dan ulat busuk buah. Umur pohon sukun yang ada antara 8-10 tahun. Saat panen optimum ditandai dengan buah sukun berwarna hitam karena tertutup getah, duri kulit mulai gundul dan mata lingkar pada kulit melebar. Cara panen bervariasi di tiap daerah antara lain dengan alat bambu/kayu/gantar dengan arit atau dengan alat penampung kantong kain. Pada saat pengumpulan dan transportasi, banyak buah yang memar dan tergores sehingga menurunkan harga. Penyimpanan sukun segar belum ditemukan dan sangat dibutuhkan mengingat sukun adalah buah klimaterik. Produksi buah/pohon 80-150 buah, dengan harga di petani untuk sukun ukuran besar Rp 1200,- -Rp 1500,- per buah dan ukuran kecil Rp 700,- - Rp 1000,- per buah. Musim panen dua kali per tahun yaitu Juli-Agustus dan Desember-Januari. Di tingkat petani buah sukun dibuat kripik, digoreng, digetuk atau disayur. Pedagang pengumpul (n=8) mengumpulkan buah sukun segar dari pengrampal (pemanen). Masing-masing pengumpul mempunyai 13-40 orang tenaga pengrampal. Harga 14
sukun segar ditentukan oleh ukuran biji, tingkat kemasakan buah, kerusakan mekanis dan warna kulit buah. Setiap pemanen memetik sekitar 100 buah per hari. Setiap 100 buah pemetikan, ratarata jatuh sebanyak 5-10%, dan buah muda ikut terpanen mencapai 5-30%. Berat rata-rata buah sukun adalah 1 kg per buah. Distribusi sukun segar oleh pedagang diangkut menggunakan truk, dengan sistem curah. Daya muat 3000 buah per truk setiap kali kirim. Pengiriman ke Jakarta 2 hari sekali, pada musim kemarau (Juli-Agustus) selama 2 bulan, pada musim penghujan (Desember-Januari) selama 4 bulan. Produk olahan sukun yang sudah dikomersialkan terbatas pada produk kripik dan stik. Produksinya masih berdasarkan pesanan, belum kontinyu. Bahan baku berasal dari daerah setempat. Sukun yang dipilih untuk pembuatan kripik adalah sukun yang sudah tua, berukuran besar, tidak ada bekas jatuhan, dan berdaging buah kuning. Setiap 3 kg sukun dapat menghasilkan 0,5 kg stik sukun atau 1 kg kripik/ceriping sukun. Daya simpan kripik sukun sekitar 1 bulan. 3.3. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PANGAN TRADISIONAL PROSPEKTIF SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN POKOK Penelitian pengembangan teknologi pangan tradisional prospektif sebagai alternatif pangan pokok bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi pangan tradisional. Hal ini diharapakan dapat memacu konsumsi pangan pokok di luar beras dan tercapainya ketahanan pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sagu tergolong sebagai sumber karbohidrat yang potensial di wilayah Kawasan Timur Indonesia. Produk olahan sagu yang teridentifikasi memiliki prospek sebagai bahan pangan pokok alternatif adalah mi sagu dan sagu bakar. Mi merupakan produk olahan pangan yang mudah penerimaannya bagi masyarakat. Kajian jenis pangan pokok Pangan pokok adalah sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi atau secara teratur dikonsumsi sebagai makanan utama, selingan, sebagai sarapan atau sebagai makanan pembuka atau penutup. Beras, jagung, ubi kayu dan ubi jalar merupakan sumber karbohidrat utama bagi penduduk Indonesia. Hasil pengamatan di lokasi penelitian dan studi literatur menunjukkan bahwa sagu berperan sebagai sumber karbohidrat di beberapa daerah. Di daerah Jawa Barat terutama Bogor, Sukabumi dan Cianjur sagu sebagai pangan pokok 15
dikonsumsi dalam bentuk mi yang dikenal dengan sebutan mi gleser (Bogor) atau mi leor (Sukabumi) dan sebagian kecil dalam bentuk bubur sagu. Mi sagu biasanya disajikan dengan bumbu kacang. Mi merupakan bentuk makanan yang sudah populer, bersifat fleksibel dan tidak menimbulkan kesan inferior. Sagu bakar merupakan makanan tradisional di Kawasan Indonesia Timur seperti Ambon, Papua dan sebagian Sulawesi Selatan. Di Luwu (Sulsel), sagu bakar disebut dange atau sagu lempeng. Sagu bakar juga dikenal di daerah Bogor, Jawa Barat dengan nama sang rangi. Dange dimakan dengan cara dicelupkan dalam teh panas atau air panas atau dinikmati dengan lauk seperti ikan bakar. Biasanya dange dijadikan bekal melaut karena tahan lama. Di Jawa, sagu rangi diolah lebih lanjut menjadi bubur dengan menambahkan gula merah dan santan. Sagu rangi merupakan makanan padat seperti bubur kacang hijau atau bubur sumsum. Sagu bakar meskipun dapat dikonsumsi secara fleksibel namun justru kurang populer. Di daerah Sulawesi Selatan, sebagai pangan pokok sagu dikonsumsi dalam bentuk kapurung. Gel sagu merupakan keunikan dalam makanan tersebut. Abubakar (2003, komunikasi pribadi) menyatakan bahwa kapurung merupakan hidangan khas Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan yang memiliki nilai gizi lengkap karena di dalamnya sudah tersedia karbohidrat (sagu), protein dan lemak (ikan, udang atau daging ayam) serta vitamin dan mineral (sayur-sayuran). Salah satu kelemahan kapurung adalah perlu waktu relatif lama untuk menyajikan, karena gel sagu harus dibuat dalam keadaan segar. Pangan pokok berbasis beras, jagung, ubi jalar dan ubi kayu telah banyak dikaji dan diteliti. Sebaliknya kajian terhadap pangan pokok berbasis sagu masih relatif terbatas. Di lain pihak pangan tersebut memiliki peluang untuk dikembangkan. Abner dan Miftahorrahman (2000) menyebutkan bahwa potensi sagu sebagai salah satu sumber karbohidrat belum dimanfaatkan secara maksimal. Indonesia memiliki areal sagu sekitar 1128 juta ha atau 51,3% dari luas areal sagu dunia. Diperkirakan 90% areal sagu Indonesia berada di Irian Jaya. Saat ini peranan sagu sebagai sumber bahan pangan pokok telah digeser oleh beras. Konsumsi sagu di tingkat rumah tangga untuk wilayah KTI cenderung berkurang dengan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Agar peran sagu sebagai sumber karbohidrat utama dapat dipertahankan maka produk olahannya perlu dikembangkan sesuai dengan permintaan konsumen dan perubahan gaya hidup masyarakat. Oleh karena itu pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada pangan pokok berbasis sagu. 16
Kajian proses Kajian proses yang dilaksanakan dalam penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menyusun Standart Operating Procedure (SOP) bagi produk yang bersangkutan, agar dapat memberikan jaminan kualitas bagi konsumen pada taraf komersialisasinya. Ekstraksi sagu Ekstraksi sagu terdiri dari beberapa tahap: pemarutan, filtrasi, pengendapan dan pengeringan. Tingkat aplikasi teknologi dinilai sangat rendah. Peralatan semi mekanis yang digunakan berupa alat pemarut sederhana, sedangkan filtrasi masih dikerjakan secara manual. Hasil filtrasi diendapkan dalam bak penampung sederhana (dari kulit batang sagu) atau permanen (dari semen). Pati hasil ekstraksi dijemur. Di daerah palopo, pati sagu umumnya dijual dalam keadaan pati basah yang dikemas dalam kemasan tradisional yang disebut tumang. Rendemen pati sagu sekitar 20%. Karena jenis sagu dan proses ekstraksinya beragam maka dapat dipahami jika karakteristik sagupun beragam. Sudradjat (1985) melaporkan bahwa rendemen dan kualitas pati sagu yang diekstrak secara mekanis lebih bagus kualitasnya dibanding cara ekstraksi tradisional atau cara fermentasi. Menurut Sanusi (1991) dengan menggunakan larutan kaporit 0,5-6% dapat meningkatkan warna putih pati sagu. Mi sagu Pembuatan mi sagu terdiri dari beberapa tahap yaitu pembuatan biang, pembentukan adonan, pencetakan, pemasakan, perendaman dan penirisan. Sebagian besar proses dikerjakan secara manual dengan peralatan sederhana yang dirakit oleh bengkel lokal. Proses diawali dengan membuat ”biang” dengan cara menambahkan air mendidih ke dalam suspensi pati sagu yang telah ditambah dengan pewarna dan bahan pengeras hingga terbentuk gel. Selanjutnya ke dalam biang ditambah sagu sambil terus diaduk hingga adonan kalis dan siap cetak. Setelah dicetak, mi dimasak dalam air mendidih hingga terapung, diangkat dan direndam dalam air mengalir selama beberapa jam. Mi diangkat, ditiriskan dan diberi minyak agar tidak lengket. Setelah beberapa saat mi dikemas untuk dipasarkan. Dari hasil observasi tampak bahwa yang dimaksud biang adalah pati yang tergelatinisasi sempurna dan berfungsi sebagai pengikat (binder) sehingga adonan menjadi lebih mudah ditangani. Oleh karena itu binder dapat dianalogikan dengan gluten pada mi terigu. 17
Sagu bakar Proses pembuatan sagu bakar pada dasarnya adalah merupakan aplikasi perlakuan panas pada tingkat kadar air tertentu terhadap pati yang dikenal dengan HMT (Heat Moisture Treatment). Proses pembuatan sagu bakar di Palopo (Sulawesi Selatan) sedikit berbeda dengan proses serupa di Bogor. Di Palopo sagu bakar biasanya berasal dari pati sagu segar dicampur dengan pati sagu kering untuk mendapatkan adonan dengan kadar air yang sesuai (adonan berbentuk hablur) kemudian dimasukkan ke dalam cetakan (dari tanah liat) yang telah dipanaskan terlebih dahulu dan dibiarkan selama beberapa menit agar matang. Bahan kemudian dikeluarkan dari cetakan, dibiarkan dingin kemudian dikemas. Sagu bakar di Bogor dibuat dari pati sagu kering. Sagu ditambah air hingga kadar air tertentu (35-45%) selanjutnya dimasukkan ke dalam cetakan (dari plat baja) dan dipanaskan selama beberapa detik, dikeluarkan dari cetakan dan dijemur kemudian dikemas. Penggunaan plat baja diduga menyebabkan produk mengalami case hardening sehingga produk menjadi keras dibagian luar karena baja menghantar panas lebih cepat dibanding tanah liat. Gejala case hardening tidak tampak pada sagu bakar yang diproses di Palopo. Kajian sifat produk Hasil analisis menunjukka bahwa sifat fisik dan kimia pati sagu yang diperoleh dari pengrajin mi di Sukabumi sangat bervariasi. Hal ini dapat dipahami karena proses ekstraksi pati juga beragam. Nilai L (?), a (?) dan b (?) pada pengukuran warna dengan chromameter rata-rata adalah 96,90; 0,39; dan 4,39. Nilai pH suspensi pati 5,20-6,88 sedangkan kadar amilosa bervariasi antara 20-33%. Angka ini berada dalam kisaran kadar amilosa pati sagu yang dilaporkan oleh Ahmed et. al., (1999). Sifat fungsional pati sagu dievaluasi dengan alat brabender. Pati sagu mulai tergelatinisasi pada suhu sekitar 70oC dan tidak lama kemudian (sekitar 3-7 menit) pati tergelatinisasi sempurna. Gel pati sagu tidak stabil dalam proses pemanasan. Gel pati sagu mengeras pada proses pendinginan, seperti yang ditunjukkan oleh nilai setback positif. Keragaman sifat ini dapat dipahami karena contoh berasal dari sumber yang berbeda dan diolah dengan cara yang bervariasi pula. Keragaman sifat pasta sagu tentunya akan berpengaruh terhadap sifat produk yang dihasilkan. Berdasarkan klasifikasi Schoch dan Maywald (1968), pati sagu termasuk tipe A yang ditandai dengan tingginya viskositas puncak dan viskositas tersebut berkurang selama proses pemanasan. Lii dan Chang (1981) 18
menyatakan pati tipe A kurang sesuai untuk diolah menjadi mi, namun hal ini dapat diatasi dengan cara menambahkan aditif yang sesuai. Pengrajin mi menambahkan tawas (potas alum). Hingga saat ini tawas masih diijinkan sebagai bahan aditif pangan. Selain ditentukan oleh sifat bahan baku, karakteristik mi juga sangat ditentukan oleh proses pengolahannya. Hasil analisis di laboratorium dan uji organoleptik menunjukkan adanya variasi yang sangat beragam pada sifat/mutu mi sagu. Nilai L, a dan b pada pengukuran warna berturut-turut adalah 69 sampai 82, 4-17 dan (-38) sampai (-23). Variasi warna yang sangat tajam terjadi karena setiap pengrajin menambahkan pewarna yang jumlahnya berbeda-beda. Mi yang diuji memiliki nilai kekerasan 10-45 kg dengan kelengketan 200-273 g.cm. Kadar air mi dan lemak masing-masing berkisar antara 73-81% dan 3-5%. Tingginya kadar lemak karena ada penambahan minyak untuk mencegah lengketnya untaian mi. Hingga saat ini belum ada acuan atau standar mutu untuk mi sagu. SNI yang ada masih terbatas untuk mi terigu, bihun maupun soun. Warna, tekstur dan aroma mi dinyatakan suka oleh panelis. Seperti halnya mi, karakteristik sagu bakar juga sangat bervariasi. Ditinjau dari tingkat kekerasannya, sagu bakar Palopo lebih lunak (0,98 kg) dibanding sagu bakar Bogor yang diperoleh dari supermarket dan pasar tradisional masing-masing yaitu 2,98 kg dan 1,37 kg. Sagu bakar Palopo kurang mampu mengembang dibanding dua jenis sagu bakar lainnya. Sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, sagu bakar diolah melalui aplikasi perlakuan panas HMT pada sagu. Stute (1992), Hoover dan Savanthan (1994) melaporkan perlakuan HMT mengakibatkan perubahan sifat fisiko-kimia pati. Perubahan yang terjadi tergantung jenis pati dan kondisi HMT. Perubahan tipe pati akibat perlakuan HMT dilaporkan oleh Collado dan Corke (1999) pada pati ubi jalar. Sifat pasta sagu bakar sangat berbeda dengan sifat pasta pati sagu yang alami (native starch). Berdasarkan klasifikasi Schoch dan Maywald (1968), sagu bakar cenderung menunjukkan karakter tipe B, sedangkan sagu alami termasuk dalam tipe A. Kajian sosial ekonomi Kajian aspek ekonomi hanya diterapkan pada industri pengolahan mi. Usaha pengolahan mi sagu yang dikaji merupakan usaha kecil skala rumah tangga, yang lokasi usahanya menyatu dengan tempat tinggal pemiliki usaha. Pengetahuan teknologi pengolahan sagu diperoleh secara turun menurun. 19
Tenaga kerja pada usaha ekstraksi sagu dan pembuatan mi sagu termasuk kelompok usia produktif dengan tingkat pendidikan lulus sekolah dasar (>6 tahun). Mereka berasal dari lingkungan keluarga dan beberapa orang berasal dari luar keluarga. Jam kerja rata-rata pada usaha mi sagu masih dibawah standar yaitu kurang dari 8 jam/hari. Pada usaha mi sagu upah yang diterima sekitar Rp 11.875,- (tenaga keluarga) dan Rp 14.500,- (tenaga luar). Kajian ekonomi disusun dengan asumsi: Kapasitas produksi normal yaitu sekitar 600 kg mi gleser ( dari sagu ) perhari Rendemen 350% Tenaga kerja 8 orang per hari kerja Jam kerja 8 jam/hari, 30 hari per bulan Produksi dilakukan di tempat yang disewa dengan harga Rp 1.500.000,-/tahun Harga sagu Rp 2200,-/kg Harga mi di tingkat pengrajin Rp 950,-/kg Tidak ada beban pajak Tidak ada pinjaman modal komersial dari pihak lain Usaha mi gleser memerlukan modal tetap sekitar 40 juta rupiah untuk pengadaan sarana produksi. Modal kerja yang diperlukan sekitar 51 juta rupiah. Biaya tetap dan biaya variabel masing-masing mencapai 44 juta rupiah dan 52 juta rupiah. Berdasarkan indeks keuntungan tampak bahwa usaha mi gleser secara ekonomis tidak memberi keuntungan cukup besar (B/C rasio 1,06). Nilai tambah ekonomi juga relatif kecil, hanya sekitar Rp 186,/kg bahan baku. Namun demikian ada keuntungan sosial yang bisa diperoleh yaitu terbukanya lapangan kerja. Pembuatan mi sagu di laboratorium Mi sagu dibuat di laboratorium berdasarkan hasil kajian dan penelitian lapang. Tujuannya untuk mempelajari pengaruh jenis bahan baku dan formula terhadap sifat produk yang dihasilkan. Dengan demikian akan diperoleh informasi dasar yang diperlukan untuk mengembangkan mi berbasis sagu di wilayah lain. Pati yang digunakan terdiri dari pati sagu yang diperoleh dari Palopo ( Sulawesi Selatan ), pati sagu dari pengrajin mi gleser di Pancasan Bogor ( Jawa Barat ) dan pati sagu aren yang dibeli dari pasar di Bogor. Formula yang diuji meliputi penambahan aditif berupa tawas, minyak sayur dan campuran antara tawas dan 20
minyak sayur. Minyak sayur dipilih karena mampu berkompetisi dengan air pada proses gelatinisasi dan hal ini diharapkan akan memberi keuntungan tertentu. Hasil uji analisis laboratorium menunjukkan a sagu aren tampak lebih cerah dibanding sagu Palopo dan Pancasan di Bogor. Sedangkan sifat lainnya tidak terlalu bervariasi. Kadar amilosa antara 24-26%. Meskipun demikian tampak sifat pastanya sangat berbeda. Sifat pasta pati sagu aren sangat berbeda dengan sifat pati sagu asal Palopo maupun Pancasan Bogor. Meskipun disebut dengan sagu aren, hal ini belum dapat dipastikan bahwa pati yang bersangkutan berasal dari pohon aren (Arenga pinnata). Berbeda dengan dua jenis sagu lainnya, sagu aren termasuk dalam tipe B. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bahan baku dan formula secara terpisah maupun bersama-sama mempengaruhi rendemen mi dan sifat/mutu lainnya. Rendemen mi dari pati sagu Palopo dan Pancasan relatif sama ( sekitar 300% ), sedangkan pati aren memberikan rendemen rendah (sekitar 260%). Pada saat gelatinisasi, pati aren dari pasar Bogor kurang mampu mengembang dibanding dua jenis pati lainnya seperti ditunjukkan oleh rendahnya nilai viskositas puncak pada kurva brabendernya. Hal ini merupakan salah satu kemungkinan yang menyebabkan rendahnya rendemen mi yang bersangkutan. Formula adonan dengan tambahan berupa minyak sayur juga menghasilkan rendemen mi rendah (270%) dibanding formula yang mengadung tawas. Kekerasan mi bervariasi antara 20-42 kg tergantung formula, sedangkan kelengketan antara 196-234 g.cm tergantung pada jenis sagunya. Losses pada saat pemasakan, warna dan komposisi kimia mi ditentukan oleh kombinasi antara jenis sagu dan formula mi. Tingkat kehilangan (losses) berkisar antara 1.57%. Nilai L,a dan b pada pengukuran warna berkisar antara 44 sampai 73, -0,44 sampai 1,6 dan –0,2 sampai 3. Mi yang dibuat di laboratorium tidak diberi pewarna. Kadar air dan kadar lemak masing-masing adalah 67-76% dan 5-7%. Angka ini sebanding dengan nilai yang ada pada mi gleser yang beredar di pasar. Panelis menyatakan suka hingga sangat suka terhadap warna, aroma dan tekstur mi pati sagu yang dibuat di laboratorium. 3.4. PENELITIAN PENGEMBANGAN MODEL BERDAYA SAING
AGROINDUSTRI
PADI
Kegiatan penelitian ini diarahkan untuk membangun model agroindustri padi terpadu berbasis inovasi teknologi dan bersifat komersial, dengan memaksimumkan nilai tambah dari produk utama (beras) dan produk sampingnya. Model yang dibangun ini berlokasi di 21
Laboratorium Karawang, selanjutnya akan menjadi rujukan untuk pembangunan agroindustri padi terpadu. Inovasi teknologi pada model agroindustri padi ini adalah dihasilkannya teknologi pengolahan beras (beras kepala, beras kristal, dan beras slip) dan teknologi pengolahan hasil samping (tepung beras dari beras pecah dan menir, briket arang sekam, dan dedak awet). Model yang dikembangkan ini memiliki kapasitas produksi 1,2 ton GKG/jam. Produk yang dihasilkan adalah beras super (44-48%), beras kristal (11-12%), tepung beras (810%), dedak awet (8-10%) dan briket arang sekam 8%. Nilai jual dari produk samping tersebut dapat menutup biaya produksi, sedangkan nilai jual dari produk utama merupakan keuntungan, sehingga model agroindustri ini dapat meningkatkan pendapatan usaha penggilingan. Telah dilakukan MoU antara BB-Pascapanen dengan Dinas Pertanian Kabupaten Subang dan implementasi model agroindustri padi terpadu telah dilakukan pada tahun 2003. Peningkatan mutu beras dilakukan dengan cara: (1) memilah beras kepala dari beras pecah (menir), sesuai dengan standar mutu, (2) penampakan visual beras ditingkatkan dengan cara refining dengan refiner untuk menghasilkan beras kristal, sehingga didapatkan hasil beras yang mempunyai kenampakan lebih bersih dan cemerlang. Penggunaan beras berkadar amilosa tinggi dan alat penepung disk mill menghasilkan tepung yang lebih halus dan lebih putih. Penggilingan beras dengan bahan bakar sekam akan diperoleh beras hasil giling dengan persentase beras kepala sebesar 93%, beras patah 5%, dan menir 1%. Efisiensi pembuatan arang sekam sistem cerobong (diameter 20 cm) dengan kapasitas pembakaran mencapai 15 kg/jam menghasilkan rendemen arang sekam mencapai 75,45% dan kadar abu 1%. Proses pemanfaatan dedak menggunakan metoda penyangraian menghasilkan produk dedak dan bekatul awet. Produk dedak dan bekatul awet dapat dimanfaatkan menjadi bahan pangan dan pakan.
d
a
b
c
Gambar 3.2. Pengolahan padi terpadu dan produknya (a). beras kristal, (b). tepung beras, (c). dedak awet dan (d). briket arang sekam. 22
Produk samping dari penggilingan padi perlu diolah dan ditangani dengan baik sehingga dapat menghasilkan produk olahan bernilai ekonomi tinggi dan mampu meningkatkan pendapatan bagi usaha penggilingan padi. Produk samping berupa beras pecah, menir dan bekatul jumlahnya semakin meningkat, karena konsumen beras menghendaki beras dengan kadar beras kepala tinggi dan derajat sosoh seratus persen. Pada tahun 2003 dilakukan pengembangan model sistem agroindustri padi terpadu di Penggilingan Padi (PP) Laboratorium Karawang, PP Intisari, Rengasdengklok, Karawang, dan penerapan sistem manajemen mutu di PP Gapoktan Pancasari, Subang. Tujuan penelitian sistem agroindustri padi terpadu 2003 adalah : 1. Penerapan model teknologi penggilingan padi dengan pengolahan hasil samping dan pemanfaatan limbahnya secara terpadu. 2. Implementasi model sistem agroindustri padi terpadu di lokasi petani untuk mengembangkan manajemen mutu sebagai pilot percontohan. Kegiatan yang dilakukan meliputi: a. Penerapan teknologi pengolahan beras b. Penerapan teknologi pengolahan hasil samping c. Penerapan teknologi pemanfaatan limbah d. Penerapan model sistem agroindustri terpadu Parameter yang digunakan antara lain: a. Unjuk kerja paket teknologi, sinergi proses dalam kelembagaan dalam sistem agroindustri dan pemasaran b. Kelengkapan unit proses dengan panduan prosedur kerja dan prosedur pengolahan c. Kelayakan ekonomi dalam hal operasional dan pengelolaan Unjuk kerja paket teknologi PP. Lab. Karawang mempunyai fasilitas peralatan yang lengkap untuk menerapkan model sistem agroindustri padi terpadu. Sistem kelembagaan internal telah terbentuk, operator peralatan telah terlatih dan telah tersusun buku panduan prosedur pengelolaan. Namun masih ada kendala kurangnya sosialisasi pemanfaatan produk samping dan produk sisa sehingga pemasarannya sulit. Di PP. Intisari Rengasdengklok, seluruh paket teknologi model agroindustri padi terpadu telah dilatihkan. Dari 3 macam teknologi yang disosialisasikan, 2 teknologi telah 23
diadopsi oleh PP. Intisari secara komersial yaitu teknologi pengolahan produk utama dan teknologi pemanfaatan produk sisa. Pada PP. Gapoktan Pancasari, telah dilakukan sosialisasi mengenai sistem manajemen mutu. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Subang memberikan pembinaan aspek pra panen dengan memperhatikan GAP. Balitpasca berperan memberikan supervisi dan konsultasi unit proses penggilingan, sosialisasi tentang GMP, serta melakukan uji preferensi pasar produk beras yang mengacu pada SNI dengan responden rumah tangga dan pedagang. Uji model sistem agroindustri padi terpadu Dari gabah kering giling (GKG) sebanyak 4624 kg yang digiling di penggilingan padi Laboratorium Karawang, dihasilkan beras giling 2979 kg sebagai produk utama, 54,5 kg beras menir dan 384,5 kg dedak atau bekatul sebagai produk samping, serta 1103.5 kg sekam sebagai produk sisa atau limbah. Produk samping berupa beras menir sebanyak 44.5 kg diolah lebih lanjut menjadi tepung, sedangkan sisanya diolah lebih lanjut menjadi karak legendar. Produk samping lainnya berupa dedak diolah lebih lanjut menjadi dedak awet. Produk sisa atau limbah diolah menjadi arang sekam dan dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin pengering gabah . Tanpa menggunakan model agroindustri terpadu penggilingan 4624 kg GKG→ menjadi beras hasil giling, akan
mendapatkan keuntungan sebesar Rp 357.450,-. Bila
menggunakan model sistem agroindustri terpadu mendapatkan keuntungan sebesar Rp 624.687,- atau ada nilai tambah sebesar Rp 267.237,-. Dengan meningkatkan mutu produk juga akan terjadi peningkatan keuntungan. Dengan memproduksi beras poles dan menerapkan agroindustri padi terpadu, keuntungan yang didapat mencapai Rp 1.400.426,dengan nilai tambah mencapai Rp 741.734,- . Dalam satu kali proses dengan menggunakan bahan awal GKG, lebih menguntungkan daripada bahan awal dalam bentuk GKP (gabah kering panen). Hal ini dikarenakan harga jual GKG/GKS di tingkat petani sering lebih rendah dari harga jual GKP. Disamping itu, pengusaha penggilingan yang membeli GKP harus keluar biaya tambahan untuk proses pengeringan GKP menjadi GKG. Biaya pengeringan dengan cara penjemuran mencapai Rp 12-15,- per kg GKP dengan mesin pengering gabah BBS dapat mencapai Rp 40-50,-/kg GKP dan dengan pengering gabah BBM dapat mencapai Rp 60,-/kg GKP. 24
Pengeringan GKP menjadi GKG dapat mengakibatkan susut bobot mencapai 10-15% tergantung pada kadar air GKP pada awal pengeringan. Penggilingan gabah di PP. Intisari dengan membeli gabah berupa 14 ton GKP, kemudian dijemur menjadi GKG selanjutnya digiling menjadi beras poles, tanpa menerapkan model agroindustri terpadu, diperoleh keuntungan sebesar Rp 378.800,-. Keuntungan ini relatif kecil dibanding bila memproses langsung dari GKG. Meskipun demikian penggilingan padi umumnya lebih menyukai membeli dalam bentuk GKP daripada GKG, karena lebih mudah mendapatkan gabah untuk memenuhi kapasitas giling dan mutu produk lebih terjamin. Petani menjual GKG dalam jumlah kecil dan gabah berasal dari penjemuran dengan fasilitas yang tidak memadai sehingga mutunya rendah. Meskipun dengan peningkatan mutu dapat meningkatkan nilai jual beras, tidak otomatis penggilingan beras memproduksi beras dengan mutu tinggi, karena tidak ada artinya memproduksi beras berkualitas tinggi bila tidak ada permintaan pasar. 3.5. PENELITIAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN MENDUKUNG AGROINDUSTRI BUAH-BUAHAN
PUREE
MANGGA
Puree merupakan produk antara dari pengolahan buah-buahan, dan merupakan bahan baku industri jus, sirup serta industri pangan lainnya. Produk berbentuk puree akan memudahkan dalam transportasi, mutu produk lebih konsisten, dan daya simpan lebih lama, sehingga kontinuitas bahan baku untuk industri lanjutan dapat terjamin. Kegiatan penelitian ini diarahkan untuk membangunan model agroindustri puree mangga berbasis inovasi teknologi dan bersifat komersial. Model agroindustri yang dibangun berlokasi di Kabupaten Cirebon. Model ini akan menjadi rujukan untuk pembangunan agroindustri puree mangga. Inovasi teknologi pada model puree mangga ini menghasilkan teknologi pengolahan puree mangga skala kecil-menengah yang sesuai untuk dikembangkan di pedesaan. Selain aspek teknologi, juga dilakukan pembinaan manajemen usaha agroindustri, sehingga diharapkan petani tidak hanya memperoleh pendapatan dari usaha taninya (on farm) tetapi juga dari usaha pengolahan puree-nya. Model yang dikembangkan ini memiliki kapasitas 500 kg buah mangga per jam dengan rendemen puree 45 – 50 %. Telah disusun MoU dengan Pemda Kabupaten Cirebon dan CV. Promindo Utama, yang akan mendukung pendanaan untuk pembangunan pabrik mini pada tahun 2004. Pihak Kementerian Negara Riset dan Teknologi juga telah
25
bersedia menyediakan dana ventura (start-up capital) untuk mendukung pengembangan model agroindustri puree mangga tersebut pada tahun 2004. Tabel 3.3. Nilai tambah penerapan teknologi pengolahan puree mangga (tahun) Puree Mangga Mangga Segar Jumlah Produksi (30%) (ton) 300.000 Rendemen (50%) 150.000 Harga (Rp/ton) 12 juta Nilai Produk (Rp) 1,8 trilyun Selisih nilai akibat pengolahan puree=(1,8-0,75)=1,05 trilyun rupiah/tahun
300.000 2,5 juta 0,75 trilyun
Pengembangan model pengolahan puree pada agroindustri rakyat dapat menghemat devisa Rp. 1,8 trilyun/tahun, karena produk puree selama ini masih diimpor. Teknologi ini dapat diterapkan untuk komoditas buah-buahan yang lain seperti sirsak, jeruk, jambu dan sebagainya. Pengembangan unit pengolahan puree mangga dan sirsak Penyediaan alat untuk proses pasteurisasi telah diselesaikan yakni pembuatan pasteurisasi tipe hidro dengan bahan bakar gas. Alat ini dilengkapi dengan kontrol suhu agar suhu relatif stabil. Alat ini juga dilengkapi dengan batu api sehingga panas yang ada didalam sistem menjadi lebih stabil dan dapat ditinggikan. Rendemen puree sirsak dengan menggunakan mesin rata-rata sebesar 42%. Rendemen ini adalah lebih rendah dibanding kinerja manual namun demikian pengolahan dengan mesin akan lebih cepat dibanding dengan pengolahan manual.Waktu yang dibutuhkan untuk mengupas dan pulper sirsak adalah 46 menit tiap 20 kg sirsak dengan kecepatan mengupas 1,3 menit per 20 kg. Optimalisasi pembuatan puree mangga untuk mendukung pabrik mini yang telah dilaksanakan di laboratorium. Puree mangga kweni setelah 1 minggu, 60% produk (20 oBrix) rusak, sedangkan produk (40 oBrix), semuanya masih bagus. Pada pengamatan setelah 2 minggu semua produk rusak. Hasil Demikian juga pada percobaan buah mangga kemang, dengan meningkatkan masa pasteurisasi mengunakan kemasan gelas aqua, tampak bahwa peningkatan konsentrasi gula hanya sedikit meningkatkan daya simpan. Namun demikian dengan meningkatkan masa pasteurisasi hingga 2 menit, nampak menimbulkan kerusakan warna yang sangat nyata walaupun daya simpannya sedikit bertambah. Penyimpanan lanjutan pada 22 oC, seminggu sesudahnya terjadi kerusakan pada semua produk. Daya simpan perlakuan ini masih jauh 26
dari harapan referensi, sehingga masih perlu dicari perlakuan untuk memperpanjang daya simpan terutama tanpa menggunakan pengawet.
Gambar 3.3. Puree mangga dan unit pengolahannya
3.6. TEKNOLOGI EKSTRAKSI MINYAK BUNGA MELATI MENDUKUNG PENGEMBANGAN INDUSTRI MINYAK ATSIRI BERBASIS BUNGA Minyak melati merupakan bahan baku untuk industri kosmetika, parfum, farmasi, sabun, dan produk pewangi lainnya. Prospek industri minyak atsiri berbasis bunga
di
Indonesia cukup kompetitif, dengan beragam keuntungan seperti terbukanya lapangan kerja, peningkatan nilai tambah yang dapat diperoleh melalui diversifikasi hasil olahannya, dan dapat membuka peluang investasi agroindustri. Teknologi ekstraksi minyak melati terdiri dari rangkaian alat leaching apparatus, evaporator dan distiller. Teknologi ekstraksi yang dikembangkan dapat menekan kehilangan produk dan pelarut, sehingga dapat diperoleh rendemen dan mutu minyak yang tinggi.
Dengan waktu ekstraksi 20 menit (satu kali
ekstraksi), rendemen minyak melati kasar mencapai 0,383%. Pencucian ampas yang diikuti ekstraksi lanjutan mampu meningkatkan rendemen hingga 0,408%. 27
A. Perbaikan teknologi ekstraksi minyak bunga melati Perbaikan teknologi dilakukan pada leaching apparatus untuk meningkatkan recovery pelarut, dan produksi minyak pada musim kemarau untuk mendapatkan rendemen minyak yang lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa recovery pelarut meningkat dari 74% menjadi 84%. Rendemen absolut yang dihasilkan adalah 0,108%. Perbaikan yang dilakukan adalah penambahan keranjang peniris dalam leaching apparatus, dan lubang pengeluaran ampas yang lebih besar, serta tangki yang dapat dimiringkan sehingga memudahkan operasi. Leaching apparatus juga ditingkatkan kapasitasnya menjadi skala pilot yang dapat mengolah bunga melati hingga 20-30 kg. Dengan kapasitas yang lebih besar tersebut dapat langsung diaplikasikan untuk skala usaha kecil menengah. Rendemen concrete Concrete hasil ekstraksi minyak bunga melati yang dihasilkan meningkat terus dari bulan Juni dan pada bulan Agustus-September 2003 dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Perlakuan ekstraksi satu tahap dan dua tahap tidak memberikan perbedaan pada rendemen concrete. Teknik pencucian ternyata menghasilkan rendemen paling rendah pada semua bulan perlakuan. Hal ini terjadi karena banyaknya pelarut yang hilang terserap ampas pertama dan kadar minyak dalam ampas sudah sangat rendah. Rendemen concrete yang dihasilkan dari ekstraksi bulan Juni-September 2003 ditunjukkan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4: Rendemen concrete yang dihasilkan dari ekstraksi bulan Juni-September 2003 Bulan Perlakuan Ekstraksi satu tahap Ekstraksi dua tahap Pencucian
Juni 8,36 g cd 0,278% ab 11,74 g abc 0,205% abcd 2,85 g e 0,123% cd
Juli 8,15 g cd 0,272% ab 13,75 g ab 0,242% abc 3,53 g de 0,152% bcd
Agustus 8,71 g c 0,29% a 13,65 g ab 0,242% abc 2,69 g e 0,109% d
September 10,14 g bc 0,338% a 15,25 g a 0,267% ab 3,02 g e 0,113% d
Keterangan: Notasi huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada kategori data berat concrete dan persentase concrete
Rendemen absolut Concrete selanjutnya diproses menjadi absolut untuk mendapatkan rendemen absolut. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian pada bulan Desember 2002, Januari dan Maret 2003, maka terlihat bahwa Agustus dan September 2003 terjadi peningkatan rendemen absolut yang dihasilkan. Pasa bulan September memperoleh absolut 0,191, sementara pada 28
bulan sebelumnya lebih rendah. Hasil penelitian ini memperkuat penelitian terdahulu bahwa rendemen absolut yang diperoleh lebih tinggi pada musim kemarau dibandingkan musim hujan seperti pada perolehan absolut bulan Desember 2002 dan Januari 2003. Rendemen absolute yang dihasilkan dari ekstraksi bulan Juni-September 2003 ditunjukkan pada Tabel 3.5. Tabel 3.5: Rendemen absolute yang dihasilkan dari ekstraksi bulan Juni – September 2003 Rendemen absolute hasil ekstraksi (berat dan persen) Juni Juli Agustus September 1. Ekstraksi satu tahap 4,622 g a 4,43 g a 4,747 g a 6,92 g a 0,155% abc 0,148% abc 0,158% ab 0,191% a 2. Ekstraksi dua tahap 5,407 g a 8,84 g a 9,527 g a 9,50 g a bcd ab a 0,094% 0,156% 0,169% 0,170% a a a a 3. Pencucian 1,507 g 3,10 g 1,587 g 2,66 g a 0,065% d 0,132% abcd 0,065% d 0,087% cd Keterangan: Notasi huruf kecil yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada kategori data berat concrete dan persentase concrete Perlakuan
Recovery pelarut Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi proses ekstraksi adalah jumlah pelarut yaitu heksan murni yang dapat diambil kembali dari proses. Hasil penelitian menunjukkan bahwa recovery heksan yang paling tinggi pada perlakuan pencucian, dan yang paling rendah pada perlakuan ekstraksi dua tahap. Perlakuan ekstraksi dua tahap yang berarti flitrat yang telah mengandung minyak ditambahkan bunga segar lagi, mengakibatkan banyak kehilangan pelarut. Kehilangan heksan disebabkan terserap pada bunga yang jumlahnya lebih banyak pada perlakuan ekstraksi dua tahap daripada perlakuan ekstraksi satu ekstraksi maupun perlakuan pencucian. Recovery pelarut berkisar antara 67,4581,69%. Kisaran yang cukup besar pada recovery pelarut antar perlakuan, selain disebabkan oleh perlakuan, juga disebabkan oleh peralatan. Percobaan ini menggunakan unit ekstraksi yang dirancang pada TA 2002, dan hasil perbaikan unit ekstraksi TA 2003 sudah berhasil meningkatkan recovery pelarut dengan adanya penambahan alat peniris pada leaching apparatus.
29
Tabel 3.6: Persentase pelarut murni yang dapat diperoleh kembali dari proses ekstraksi bulan Juni-September 2003 Rendemen absolute hasil ekstraksi (berat dan persen) Juni Juli Agustus September 79,22 77,68 70,83 76,06 70,99 69,01 65,36 64,36 83,60 79,97 75,42 87,77
Perlakuan 1. Ekstraksi satu tahap 2. Ekstraksi dua tahap 3. Pencucian
B. Mutu minyak melati yang dihasilkan Analisis fisik dan kimiawi dilakukan terhadap minyak melati yang diperoleh untuk mengetahui mutunya. Parameter yang digunakan untuk menentukan mutu minyak melati adalah indeks bias, bilangan asam dan bilangan ester serta komponen penyusunnya. Hasil analisis indeks bias, bilangan asam dan bilangan ester dari absolute yang dihasilkan ditunjukkan pada Tabel 3.7 Tabel 3.7: Indeks bias, bilangan asam dan bilangan ester absolute melati hasil ekstraksi Nilai tiap unsur mutu
Unsur mutu Perlakuan ekstraksi
1. Indeks bias Ekstraksi satu tahap Ekstraksi dua tahap Pencucian 2. Bilangan asam Ekstraksi satu tahap Ekstraksi dua tahap Pencucian 3. Bilangan ester Ekstraksi satu tahap Ekstraksi dua tahap Pencucian
Juni
Juli
Agustus
September
1,733 1,729 1,683
1,4787 1,4606 1,4612
1,2778 1,4511 1,3742
1,4553 1,4880 1,4576
11,2 10,9 14,10
11,2 8,8 11,3
9,8 8,8 11,7
7,8 7,8 10,7
97,8 116,5 10,8
189,8 132,8 93,8
90,3 98,7 39,3
112,9 147,9 184,5
C. Perhitungan bianya ekstraksi dan harga kasar absolute melati Proses ekstraksi satu tahap, biaya prosesnya sekitar Rp. 87.380,- dan menghasilkan concrete rata-rata 8 gram atau absolute rata-rata 4 gram, maka harga dasar concrete adalah Rp. 9.255,- atau absolute Rp. 21.845,- tiap gram. Pada ekstraksi dua tahap, dengan biaya proses Rp. 127.880,- menghasilkan concrete 13 gram atauabsolut 6 gram, maka harga dasar concrete adalah Rp. 8.793,- atau absolute Rp. 21.314,-. Sementara, untuk teknik pencucian, ternyata membutuhkan biaya yang lebih besar yaitu Rp. 63.250,- menghasilkan concrete 3 gram atau absolute 2 gram, maka harga dasar concrete adalah Rp. 16.650,- dan absolute adalah Rp. 31.625,-.Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka absolute melati paling 30
murah dihasilkan dari ekstraksi dua tahap atau satu tahap, sedangkan proses pencucian membutuhkan biaya proses yang lebih besar. D. Teknologi ekstraksi untuk menghasilkan minyak bunga mawar Bahan yang digunakan adalah bunga mawar tabor merah dan putih yang dicampur dengan perbandingan 1 : 1. Percobaan yang telah dikerjakan adalah penentuan waktu lama ekstraksi. Perlakuan yang diterapkan adalah 20, 30, 40, 50, dan 60 menit. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 3.8. Dengan membandingkan perolehan persen absolute mawar akan dapat ditentukan waktu proses yang paling sesuai. Tabel 3.8: Hasil ekstraksi bunga mawar pada berbagai lama proses Perlakuan 1. Ekstraksi selama 20 menit 2. Ekstraksi selama 30 menit 3. Ekstraksi selama 40 menit 4. Ekstraksi selama 50 menit 5. Ekstraksi selama 60 menit
Concrete, %
Absolut, %
0,1290 0,1840 0,2200 0,1850 0,2200
0,100 0,109 0,108 0,108 0,120
Recovery heksan, % 74,7920 79,0830 82,8020 79,6880 67,9690
Kehilangan pelarut, % 25,2080 20,9170 17,1980 20,3130 32,0310
Berdasarkan hasil percobaan penentuan waktu ekstraksi, maka untuk penelitian selanjutnya digunakan waktu ekstraksi 20 menit. Perlakuan yang diterapkan untuk ekstraksi minyak mawar adalah: ekstraksi satu tahap, dua tahap dan tiga tahap. Hasil percobaan menghasilkan concrete 0,156% dengan hasil absolute 0,067% pada perlakuan ekstraksi satu tahap dengan recovery heksan 79,70%. Untuk perlakuan ekstraksi dua tahap menghasilkan concrete 0,112% dengan absolute 0,0345% dengan recovery pelarut sebesar 77,89%. Selanjutnya untuk perlakuan pencucian menghasilkan concrete 0,272% dengan absolute 0,0675% dan recovery pelarut 78,39%. Mutu absolute mawar yang dihasilkan ditunjukkan pada Tabel 3.9. Tabel 3.9: Hasil analisa mutu absolute mawar Perlakuan 1. Ekstraksi satu tahap 2. Ekstraksi dua tahap 3. Pencucian
Mutu absolut Bilangan asam 9,62 9,45 9,70
Indeks bias 1,3745 1,3742 1,3755
31
Bilangan ester 82,95 84,40 71,36
3.7. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PEMBUATAN PASTA CABAI DAN TOMAT SKALA PILOT Cabai merah (Capsicum annum L.) dan tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan komoditas hortikultura yang dikenal sebagai bahan makanan sehari-hari maupun sebagai bahan baku industri pangan dan obat-obatan. Sebagaimana produk pertanian pada umumnya, cabai merah yang mengandung air 80-90% mudah rusak akibat aktivitas kimia dan biologi, demikian juga halnya dengan tomat. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan teknik pengolahan yang bertujuan untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu. Tujuan jangka pendek penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi terbaik dalam pembuatan bubuk cabai/pasta kering dalam skala pilot, pasta cabai dalam skala laboratorium dan pasta tomat dalam skala laboratorium dan pilot. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mengembangkan pasta cabai dan tomat dalam suatu model agroindustri. Bubuk cabai merah dibuat dengan mengeringkan cabai merah dalam alat pengering Through Flow Air Dryer (TFAD) yang berkapasitas 100 kg. Dalam penelitian ini telah dicoba mengeringkan 30 kg cabai merah dengan tiga kali ulangan. Proses pengeringan berlangsung selama 10-15 jam, dengan rendemen 10%. Cabai kering yang diperoleh kemudian digiling untuk mendapatkan bubuk cabai dengan ukuran 60 dan 120 mesh. Analisa yang dilakukan adalah pengukuran kadar air, warna, dan uji organoleptik. Perlakuan pada percobaan ini adalah penyimpanan dan penambahan asam akorbat pada pasta basah yang dibuat dari pasta kering. Bubuk cabai kering mempunyai kadar air 10,2%, dengan tekstur, warna, dan aroma yang disukai oleh panelis. Perlakuan penyimpanan dan penambahan asam askorbat sedang dalam proses. Pasta cabai dan tomat dibuat dengan perlakuan perbedaan varietas, blansing dan penambahan bahan pengental. Produk pasta dianalisa sifat fisik dan kimianya, selain itu juga dilakukan pengukuran warna dan uji organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ketiga varietas cabai besar, yaitu TW, Tanjung dan Victory, yang mempunyai rendemen pasta tertinggi adalah varietas Victory (26%). Pasta cabai dengan perlakuan tanpa blansing lebih baik dari, pada pasta cabai dengan perlakuan blansing dalam hal kadar air dan warna. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pembuatan pasta tomat dari ketiga varietas tomat yang digunakan, yaitu Arthaloka, Marta, dan Idola pada prinsipnya semua dapat 32
diterima panelis. Perlakuan tanpa blansing ternyata juga lebih baik dalam hal tingkat kadar air dan warna daripada perlakuan dengan blansing. Dalam skala pilot telah diuji coba sebanyak 15 kilogram bubur tomat dan cabai yang dievaporasi pada suhu 90oC dan tekanan vakum 60 cmHg. Dari uji coba ini, diketahui bahwa kinerja evaporator vakum belum optimal. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya kerak pasta pada dinding tangki evaporator dan pasta belum mencapai tingkat kekentalan yang diinginkan. Untuk itu, diperlukan modifikasi berupa penambahan batang pengaduk pada tangki evaporator untuk mencegah pengkerakan pasta tomat. 3.8. PENGEMBANGAN MODEL AGROINDUSTRI MENENGAH MINYAK NILAM TERPADU
SKALA
KECIL
Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas perdagangan Indonesia yang digunakan sebagai bahan penting untuk industri obat-obatan, flavor, fragrance, dan parfum. Guna meningkatkan ekspor, memenuhi kebutuhan di dalam negeri, dan mengantisipasi persaingan di pasar dunia, diperlukan perbaikan sistem agroindustri penyulingan minyak atsiri yang meliputi aspek: teknologi proses penyulingan, rekayasa alat penyuling, dan manajemen kelembagaan petani minyak atsiri. Salah satu model penyulingan SBCS-1000 telah diuji coba sebagai pilot plant di Desa Cikondang Kec. Cingambul Kab. Majalengka. Model ini telah menarik perhatian Pemda Jawa Barat dengan disediakannya dana APBD untuk pengembangan areal tanaman nilam. Minyak atsiri (essential oil) merupakan salah satu komoditas perdagangan yang digunakan sebagai bahan penting untuk industri obat-obatan, flavor, fragrance, dan parfum. Di Indonesia tercatat 14 jenis minyak atsiri yang sudah diekspor, salah satu diantaranya yaitu minyak nilam (patchouli oil). Pada tahun 2000 volume ekspor minyak nilam Indonesia sekitar 1052 ton dengan nilai US $ 16.24 juta, sedangkan impornya sekitar 8.1 ton dengan nilai US $ 123 ribu. Pada tahun 2001-2002, telah dilakukan penelitian perbaikan sistem penyulingan minyak atsiri dan pengembangannya. Dari hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan bahwa limbah penyulingan daun nilam serta ekstrak limbahnya mengandung senyawa alkaloid, saponin, glikosida, dan flavonoid yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan produk pestisida dan pewangi ruangan. Berdasarkan hasil kegiatan tahun 2002, maka pada tahun 2003 dilakukan pengembangan kelembagaan dan aplikasi sistem manajemen mutunya. 33
Selain itu dilaksanakan pembuatan produk pewangi ruangan (dupa dan lilin) dari limbah minyak nilam pada skala laboratorium serta uji efektifitas produk. Tujuan dari penelitian ini yaitu: (1). Mengembangkan model agroindustri minyak nilam pada skala komersial di sentra produksi dan pnataan manajemen kelembagaan serta penerapan sistem manajemen mutunya; (2). Memperoleh teknologi proses pengolahan limbah penyulingan nilam yang aplikatif pada skala industri kecil. Sasaran dari penelitian ini yaitu: (1). Mendapatkan model agroindustri minyak nilam yang efisien dan aplikatif di lapangan; (2). Mendapatkan teknologi proses pengolahan limbah penyulingan nilam dan formulanya untuk pewangi ruangan. Kegiatan penelitian pengembangan model agroindustri skala kecil menengah minyak nilam terpadu terdiri atas pengembangan metode dan teknologi proses penyulingan minyak nilam, serta teknologi pemanfaatan limbah penyulingan nilam. Dalam upaya pengembangan metode dan teknologi proses penyulingan minyak nilam dengan menggunakan alat SBCS 100 dilakukan pelatihan bagi petani, kelompok tani dan pengrajin, serta pembentukan kelembagaan agribisnis minyak nilam di sentra produksi (di Cikondang-Majalengka). Selain itu diterapkan sistem manajemen mutu dan prosedur standar operasional, yang meliputi: prosedur panen, perlakuan bahan baku setelah panen, dan prosedur penyulingan. Dalam kegiatan penelitian teknologi pengolahan limbah penyulingan nilam, dilakukan pendekatan karakteristik limbah termasuk analisis bahan aktif, pengolahan limbah menjadi produk pewangi ruangan (dupa dan lilin), serta pengujian produk. Penelitian teknologi penyulingan diarahkan pada penerapan sistem manajemen mutu dalam penyulingan minyak nilam di tingkat kelompok tani dan pengrajin minyak atsiri, serta pembinaan kemitraan. Berdasarkan data yang terkumpul akan dilakukan penyusunan prosedur standar operasional. Penelitian teknologi pengolahan limbah diarahkan pada kegiatan perbaikan metode pengolahan limbah penyulingan nilam menjadi produk pestisida dan pewangi ruangan, serta pengujian bahan baku/produknya. Hasil percobaan penyulingan minyak nilam dengan alat SBCS-1000 di Cikondang ditunjukkan pada Tabel 3.10.
34
Tabel 3.10: Hasil percobaan penyulingan minyak nilam dengan alat SBCS-1000 Bobot bahan (kg) 80 90 100 80 90 100 80 90 100
Lama penyulingan (jam) 6 6 6 7 7 7 8 8 8
Rendemen Minyak Nilam (%) 2,46 2,52 2,28 2,56 2,63 2,36 2,67 2,78 2,48
Kadar Patchouly Alkohol (%) 30 31 30 32 33 32 33 34 32
Revisi rancangan SNI Nilam oleh BSN dan Deperindag mengusulkan agar kadar patchouli alcohol minimum 31%. Dibandingkan dengan hasil percobaan, maka lama penyulingan nilam dengan alat SBCS-1000 harus lebih dari 7 jam. Analisis biaya penyulingan minyak nilam menunjukkan bahwa harga jual minyak nilam minimal yang dapat menguntungkan penyuling/petani nilam yaitu Rp 175.000,-/kg dengan rendemen minyak paling sedikit 1,8%. bila rendemen minyak mencapai 2,4% harga jual minimal adalah Rp 150.000,-/kg. Kenyataannya rata-rata petani/penyuling nilam hanya mampu mencapai rendemen 2,0%. hal itu antara lain dipengaruhi oleh kualitas bahan baku terna nilam, lama penyulingan dan cara penyulingan yang dipakai. Identifikasi masalah pengembangan agroindustri minyak atsiri di Garut dan Bandung Minyak atsiri yang sudah berkembang di Garut yaitu akar wangi. Minyak atsiri yang potensial untuk dikembangkan adalah nilam. Kendala yang dihadapi petani/pengrajin nilam yaitu: (1) fluktuasi harga minyak nilam; (2) kesulitan air untuk pendingin (karena musim kemarau); (3) tanaman rusak/mati akibat penyakit dan kemarau. Petani/pengrajin nilam mengharapkan adanya bantuan dari instansi terkait berupa bantuan modal kerja, unit penyulingan yang terbuat dari plat SS, informasi pasar, serta diharapkan ada standar harga yang sama-sama menguntungkan baik, bagi petani/pengrajin, maupun pedagang dan eksportir. Minyak atsiri yang sudah berkembang di Bandung yaitu serai wangi. Minyak nilam belum dikembangkan. Namun pedagang pengumpul minyak nilam banyak berdomisili di Bandung, sasaran pengumpulannya adalah Majlengka, Kuningan, Garut, dan Tasikmalaya.
35
Identifikasi masalah pengembangan agroindustri minyak nilam di Purbalingga Di lapangan mulai nampak masalah hama/penyakit, terutama penyakit buduk (akibat virus) dan hama trips. Masalah pascapanen yang menonjol adalah rendemen minyak rata-rata 1,5%, kadar patchouli alcohol 28-33% dan kadar Fe yang tinggi. Identifikasi masalah pengembangan agroindustri minyak nilam di Bengkulu Kondisi tanaman di lapangan tidak terawat baik, kurang pupuk, dan ada gejala terserang hama/penyakit. Di beberapa tempat terlihat tanaman rusak/mati karena pengaruh kemarau. Penyulingan dilakukan dengan cara dikukus dan uap langsung menggunakan ketel dari plat besi. Rendemen minyak nilam 1,5-2,5% tergantung mutu dan lama penyulingan. Penyulingan dilaksanakan selama 10-12 jam dengan bahan bakar kayu bakar. Identifikasi masalah pengembangan agroindustri minyak nilam di Lampung Kondisi tanaman nilam kurang terawat baik, kurang pupuk dan ada gejala hama/penyakit. Sebagian pembeli mempersyaratkan kadar patchouli alcohol di atas 32% dengan harga yang tidak berbeda dengan yang di bawah 32%. Petani/pengrajin minyak nilam mengharapkan adanya kerjasama dan koordinasi dengan petani/pengrajin minyak nilam di Jawa, terutama dalam menghadapi masalah fluktuasi harga minyak nilam. Rencana kerjasama pengembangan agribisnis minyak nilam Dalam rangka mensosialisasikan teknologi dan mencari mitra untuk pemasaran produk minyak nilam, telah dilakukan Gelar Teknologi dan Temu Usaha Minyak Atsiri pada tanggal 16-17 Desember 2002 di Majalengka. Sebagai tindak lanjut dari Gelar Teknologi dan Temu Usaha, telah diadakan pertemuan pada tanggal 5 Februari 2003 di Bandung yang difasilitasi oleh Dinas Perkebunan Jawa Barat, antara Balitpasca, Balittro, BPTP Jawa Barat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Majalengka, PT. Bioekstrak Agroindustri dan Kelompok Tani nilam. Pada pertemuan tersebut telah dilahirkan beberapa kesepakatan antara lain: a. Unit instalasi penyulingan minyak atsiri yang telah dibangun oleh Balitpasca di desa Cikondang, Kab. Majalengka akan dijadikan sebagai model pengembangan sstem agribisnis minyak nilam. b. PT. Bioekstrak Agroindustri bersedia menjadi mitra sebagai penjamin pasar minyak nilam produksi unit instalasi penyulingan binaan Balitpasca, dengan harga di atas pasar lokal. 36
c. Pemerintah Daerah khususnya Kab. Majalengka, akan mendorong dan memfasilitasi pengembangan tanaman nilam maupun mengkondisikan iklim usaha agribisnis minyak nilam yang sehat. d. Balitpasca akan berperan dalam pembinaan teknologi, sehingga pengoperasian unit instalasi penyulingan sesuai standar prosedur penyulingan dan kualitas minyak dapat dijamin. Penyiapan dan penataan kelembagaan unit usaha Rancangan bentuk kelembagaan unit usaha tani nilam disusun berdasarkan skala usaha tani, kondisi sosial ekonomi petani/kelompok tani dan dengan melibatkan unsur-unsur terkait. Unsur-unsur kelembagaan yang telah ada yaitu kelompok tani nilam mekar, unit pengolahan, pemerintahan Desa Cikondang, pembina teknis serta kelembagaan pemasaran. Kelompok tani memasok bahan baku ke unit usaha pengolahan yang dimiliki oleh Balitpasca, kelompok tani dan Pemerintah desa. Unit usaha pengolahan dibina oleh Balitpasca, Balittro, Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Pemerintah Desa. Minyak nilam yang dihasilkan akan dipasarkan ke koperasi dan pihak swasta. Penerapan Sistem Manajemen Mutu Sistem manajemen mutu pada dasarnya dibangun oleh 5 pilar utama, yaitu pasar, sumber daya manusia, sistem atau prosedur, aspek produksi dan infrastruktur. Upaya penerapan sistem manajemen mutu yang dilaksanakan pada penelitian ini sampai dengan Desember 2003 antara lain penerapan prosedur cara panen dan penanganan pascapanen yang tepat. Penggunaan ketel penyuling yang efisien dan terbuat dari stainless steel merupakan salah satu syarat agar rendemen dan mutu yang dihasilkan dapat memenuhi SNI No. 062385-1998. Untuk penyulingan nilam usaha skala kecil menengah (luas areal tanaman nilam 15-25 ha) dianjurkan menggunakan penyulingan secara dikukus (metode uap dan air). Fasilitas di Desa Cikondang telah tersedia 2 unit. Salah satunya adalah alat penyuling SBCS-1000 yang mempunyai volume ketel 1000 liter serta dilengkapi dengan fasilitas pengembangan dan sarana pendukung lainnya. Selain itu pada tahun 2002 telah dibuat alat penyuling minyak atsiri dengan cara uap langsung kapasitas 1000 liter yang diberi nama SD1000. 37
Analisis Sosial Ekonomi Petani Nilam Dari hasil analisis ekonomi diperoleh angka pendapatan bersih dengan tingkat bunga 50% dan harga jual minyak nilam Rp 150.000,-/kg adalah Rp 65.000.000,-. Usaha tani dan penyulingan nilam di Desa Cikondang, Kec. Cingambul secara sosial disambut baik oleh petani dan tokoh masyarakat setempat. Diseminasi Hasil Penelitian Diseminasi hasil penelitian akan diadakan pada Februari-Maret 2004. Bentuk acara diseminasi tersebut antara lain temu usaha antara petani dan pengusaha, kunjungan lapang ke lokasi pembibitan dan penyulingan minyak nilam di Cikondang, serta penandatanganan MoU antara pihak-pihak yang terkait seperti kelompok tani dengan mitra swasta, atau Koperasi Tani Nilam dengan Kantor Menristek, atau Balitpasca dengan kelompok tani dan Kantor Menristek, atau Balittro dengan Pemda Kab. Majalengka. Teknologi Pemanfaatan Limbah Penyulingan Minyak Nilam Ekstrak limbah nilam dengan konsetrasi 20% masih dapat membunuh serangga S litura sampai 40% secara semprot serangga, sedangkan terhadap O purnacalis dapat membunuh sampai 40% dengan cara semprot pakan. Limbah penyulingan nilam serta ekstrak limbahnya masih mengandung senyawa alkaloid, saponin, glikosida dan flavonoid. Alkaloida piperin yang terdapat dalam lada dapat berfungsi sebagai antibakteri dan pestisida. Senyawa lain yang berguna sebagai pestisida antara lain tanin dan triterpenoid. Saponin dan flavonoid dapat digunakan selain sebagai antibakteri juga sebagai antikanker. Kegiatan tahun 2003 dikonsentrasikan kepada pembuatan produk lilin dan dupa dari limbah penyulingan minyak nilam dalam skala laboratorium. Dari hasil kegiatan tahun 2002, ekstrak limbah nilam mempunyai kemampuan membunuh serangga pertanian sampai 40%. Hal ini berarti untuk meningkatkan daya bunuh limbah tersebut harus ditambahkan bahan aktif kedua. Pemilihan bahan aktif kedua tersebut yaitu minyak serai wangi atau minyak cengkeh. Pembuatan Lilin Blanko Berdasarkan sifat-sifat dari lilin blanko yang telah dibuat, lilin yang terbaik akan digunakan sebagai basis lilin pada pembuatan lilin aromatik. Lilin dengan campuran bahan parafin, stearin dan cera alba dengan perbandingan 6:1:3 adalah lilin yang terpilih sebagai 38
basis lilin. Karakteristik dari lilin tersebut cukup baik, yaitu sumbu, fisik lilin, dan uji nyalanya cukup stabil selama pembakaran. Pembuatan Lilin Aromatik Dari pengamatan terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan aktif maka kondisi saat lilin menyala kurang baik, sumbu lilin cepat habis dan nyala tersebar ke semua permukaan lilin. Demikian juga dengan aromanya, semakin tinggi konsentrasi bahan aktif aroma minyak atsiri saat menyala sangat menyengat terutama yang menggunakan sereh wangi. Pembuatan Dupa/Obat Nyamuk Bakar Penelitian pembuatan dupa/obat nyamuk bakar terdiri atas percobaan pendahuluan dan percobaan utama. Dalam percobaan pendahuluan produk pewangi ruangan bentuk dupa/obat nyamuk bakar meliputi: a. Penentuan jumlah penambahan air, gom, dan bahan aktif. Setelah dilakukan trial and error, diperoleh hasil sebagai berikut: (1) penambahan air 120 ml; (2) penambahan gom 19.5 g setelah produk jadi dan dapat terbakar secara kontinyu; (3) penambahan bahan aktif minimal 4 g, dan maksimal 12 g, yang ditentukan berdasarkan hasil adonan yang baik. b. Uji daya bakar bahan pengisi. Bahan pengisi yang memiliki daya bakar paling lama adalah tepung batok, dan daya bakar paling singkat adalah tepung akar wangi. Percobaan utama pembuatan produk pewangi ruangan bentuk dupa/obat nyamuk bakar meliputi pengamatan karakteristik produk dan uji efektifitas.
Gambar 3.4. Model pilot penyulingan minyak atsiri dan minyak nilam hasil penyulingan
3.9 PENGEMBANGAN MODEL AGROINDUSTRI TERPADU BERBASIS PENGOLAHAN KULIT-BULU DAN DAGING KELINCI EKSOTIS Kelinci mempunyai karakteristik daging dan kulit bulu serta bulu yang bernilai tinggi. Olahan daging kelinci berupa sosis dapat meningkatkan nilai jual hampir Rp. 50.000,-, 39
padahal harga daging mentahnya hanya Rp 20.000,- - Rp. 25.000,- per kilogram. Melihat peluang usaha yang besar dari produk olahan komoditas kelinci, maka telah dilakukan penelitian pengembangan model agroindustri terpadu berbasis pengolahan kulit-bulu dan daging kelinci eksotik yang sasaran akhirnya membentuk model agroindustri kemitraan. Hasil identifikasi lokasi di beberapa daerah dengan memperhatikan potensi dan karakteristik wilayah untuk pengembangan pengolahan daging dan kulit-bulu kelinci maka ditetapkan lokasi penelitian di Desa Kepakisan-Dieng, Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah. Pertimbangan penentuan kedua kabupaten tersebut selain adanya perusahaan yang dapat dijadikan mitra kerjasama, juga adanya kelompok tani yang diharapkan dapat membantu pengembangan model agroindustri ini. Kehadiran breeding centre yang dikelola PT Dirra Farm (Dieng Rex Rabbit Farm) yang berlokasi di desa Kepakisan Kabupaten Banjarnegara, memungkinkan dikembangkannya model inti-plasma di lokasi tersebut. Sementara di Kabupaten Wonosobo, adanya PT Lembu Aji Perkasa memungkinkan dijalinnya kerjasama untuk pengembangan agroindustri kelinci. Kelompok Tani yang terdapat pada kedua lokasi terpilih yaitu Kelompok Tani Toto Raharjo di desa Kepakisan Kab. Banjarnegara dan Kelompok Tani di desa Kejajar Kab. Wonosobo. Penelitian ini mencakup kegiatan introduksi model teknologi pengolahan daging kelinci (sosis, nugget, kornet, bakso, dendeng, dan abon) dan teknologi penyamakan kulit bulu. A. Introduksi model teknologi pengolahan daging kelinci menjadi berbagai produk olahan Kegiatan sosialisasi dan pelatihan teknologi pengolahan produk kelinci merupakan tahap pertama. Kegiatan introduksi dilakukan dengan kooperator, swasta dan Dinas Peternakan/Perikanan Kab. Wonosobo serta Sub Dinas Peternakan Kab. Banjarnegara. Materi pelatihan yang diberikan meliputi pengolahan daging kelinci menjadi sosis, bakso, nugget, dan burger. Peralatan yang diintroduksi untuk pengolahan daging adalah food processor dan stuffer sosis serta alat-alat pendukung lainnya seperti kompor gas, panci pengukus, dan pressure cooker. Modul pengolahan daging dan pengolahan kulit-bulu kelinci yang dibuat berisi prosedur pembuatan produk-produk daging dan penyamakan kulit, dan dibagikan kepada peserta. Produk pengolahan daging (sosis, nugget, kornet, bakso, dendeng, dan abon) yang dihasilkan selama 2 hari berturut-turut ternyata habis dikonsumsi oleh seluruh peserta dan 40
tak terkendala dengan preferensi daging, sehingga para peserta pengolahan daging memiliki keyakinan untuk mencoba menjual sendiri produknya. B. Introduksi model teknologi penyamakan kulit/kulit-bulu kelinci Introduksi teknologi penyamakan kulit/kulit-bulu kelinci dilakukan bersamaan dengan introduksi pengolahan daging. Untuk memperlancar introduksi teknologi ini maka pihak PT Dirra sebagai breeding centre telah siap untuk menggunakan teknologi yang dikembangkan. Produksi kelinci potong PT Dirra masih relatif kecil yaitu sekitar 30-50 ekor per bulan. PT Dirra bersedia memberikan imbalan jasa penyamakan kulit sebesar Rp. 6.500 per lembar kulit bulu (> 1 ft persegi/lembar), dengan ketentuan teknologi dan bahan kimia disediakan Balitpasca. Nilai ini Rp. 1.500 lebih besar dari biaya penyamakan di Balai Kulit, Karet dan Plastik Yogyakarta. PT Dirra telah mulai melakukan penyamakan dengan menggunakan teknologi dan bahan kimia yang disediakan Balitpasca. Terhitung selama tahun 2003, pihak PT Dirra telah melakukan penyamakan sebanyak 285 lembar, dengan kontribusi ke Balitpascca sebesar Rp. 1.852.500. Untuk pengolahan penyamakan kulit bulu kelinci, dilakukan kerjasama penelitian dengan Balai Penelitian Kulit, Karet dan Plastik Yogyakarta dengan tujuan meningkatkan mutu kulit samak dan pengolahan limbah kulit secara sederhana. C. Pengembangan Teknologi Selain berbagai kegiatan pengembangan, juga dilakukan penelitian Laboratorium, yang merupakan lanjutan dari kegiatan TA. 2002. Penelitian yang dilakukan adalah pengolahan daging menjadi sosis, karage, nugget, dan kornet, dengan variabel perlakuan adalah tingkat dan jenis bahan pengisi (kentang, maizena atau tapioka) dan bahan pengikat ISP (isolate soybean protein dan susu skim). a. Sosis Kadar susu skim atau isolat protein yang digunakan 4,4%, sedangkan tepung tapioka, maizena ataupun tepung kentang digunakan sebanyak 3,36%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan ISP maupun skim sebagai bahan pengisi dan tapioka, maizena ataupun tepung kentang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali pada tepung kentang pada parameter stabilitas emulsi, daya ikat air, kekerasan dan intensitas warna merah. Penggunaan ISP meningkatkan biaya produksi yang cukup tinggi dan lebih sukar diperoleh terutama 41
untuk pengolahan skala rumah tangga, sehingga disarankan untuk menggunakan susu skim. Kadar lemak yang cukup tinggi berasal dari suplemen omega-3 dan omega-6 sebanyak 9,5%, dengan asumsi konsumsi 100 g sosis per hari cukup untuk memenuhi kebutuhan harian kedua senyawa ini. b. Nugget Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung tapioka dianggap yang paling memungkinkan untuk diolah pada skala kecil, selain biaya produksi yang lebih rendah, rasa dan tekstur secara organoleptik lebih disukai. Kadar bahan kimia pada umumnya tidak jauh berbeda. Seperti pada sosis, kadar lemak tinggi berasal dari suplemen omega-3 dan omega-6, sedangkan tambahan lainnya berasal dari minyak yang digunakan saat menggoreng produk. c. Kornet Penelitian pengolahan kornet dilakukan dengan menguji peubah bahan pengisi (aren dan tapioka) dalam kombinasinya dengan campuran bahan pengisi (skim dan isolate soybean protein). Kandungan campuran bahan pengisi umumnya berkisar antara 10-15% dalam produk olahan. Dalam penelitian ini digunakan kombinasi skim: ISP = 1:3 dan 3:1. Dari hasil analisis kimia, analisis fisik dan rendemen produk, tidak terdapat perbedaan yang nyata, kecuali tepung aren dalam kombinasi dengan skim konsentrasi rendah, memberikan nilai kekerasan yang lebih rendah dari perlakuan lainnya. D. Model agroindustri Model agroindustri merupakan tujuan akhir dari penelitian ini, karena diharapkan dengan pengujian model, adopsi teknologi dapat terlaksana. Dari beberapa daerah yang menjadi sasaran, hanya Banjarnegara dan Wonosobo yang saat ini menunjukkan potensi terciptanya agroindustri. Model agroindustri yang ditawarkan untuk lokasi Banjarnegara dan Dieng adalah model inti plasma. Inti berfungsi sebagai penyedia dan/atau pemasar bahan baku bagi anggotanya. Diharapkan pada akhirnya anggota itu sendiri dapat belajar untuk memasarkan produknya tanpa bergantung pada intinya, sehingga nilai tambah tetap dapat diperoleh oleh pengolah. Inti dapat berupa perusahaan (dalam hal ini PT Dirra), atau Kelompok maupun Koperasi.
42
A
B
Gambar 3.5. Produk kulit bulu kelinci eksotik, (A) hasil olahan tradisional, (B) hasil
penelitian
Gambar 3.6: Diversifikasi produk olahan daging kelinci
Dari 15 kg daging, dengan nilai Rp. 450.000 dan biaya tenaga produksi (Rp. 75.000) serta bumbu dan campuran pelengkap (Rp. 75.000) diperoleh hasil Rp. 1.125.000, sehingga margin keuntungan adalah Rp. 525.000. Dari keuntungan ini, Balitpasca memperoleh 20% senilai Rp. 105.000 yang disetor sebagai sisa hasil usaha. Model agroindustri kulit, belum dapat berjalan seperti yang diharapkan karena ketersediaan bahan baku yang terbatas. Namun demikian, beberapa peternak yang memperoleh pelatihan, telah dapat melakukan pengolahan sendiri. Model agroindustri daging di Banjarnegara dan Wonosobo, dibentuk dalam bentuk kelompok, dengan harapan masing-masing anggota kelompok pada akhirnya dapat berdiri sendiri dan/atau dapat dibantu kelompoknya, terutama dalam pengadaan bahan baku dan pemasaran. Nengingat ketersediaan modal dan bahan baku yang sangat terbatas, maka usaha pemanfaatan teknologi secara individual belum dapat dilakukan. Produk olahan yang sudah dipasarkan adalah bakso. Sebagai bantuan awal untuk pengolahan dan pemasaran produk daging kelinci, kooperator memperoleh 15 kg daging dari kegiatan penelitian ini. Keuntungan
43
yang diperoleh dibagi sesuai perjanjian yaitu 70% untuk pengolah, 20% untuk Balitpasca, dan 10% untuk Dinas. 3.11. TEKNOLOGI PENGOLAHAN MENTE Pengolahan kacang mete di tingkat petani selama ini menghasilkan rendemen kacang sebesar 25% dengan kadar kacang belah yang sangat tinggi (± 40%), sementara kacang utuhnya relatif rendah (60%). Pengembangan teknologi pengolahan mete melalui proses pengukusan dan introduksi alat bantu pengupas tipe MM-99, mampu meningkatkan presentasi kacang utuh hingga 90%. Melalui teknologi ini, petani mete dapat memperoleh nilai tambah sebesar Rp 687,5 untuk setiap kilogram gelondong mente yang diolah lebih besar. Pendapatan yang diperoleh dari penerapan teknologi mi sebesar Rp 3.237,50/kg, dibandingkan yang diperoleh petani dengan teknologi yang selama ini dikuasainya. Minyak kulit biji mete (CNSL) merupakan produk samping dari pengolahan kacang mente, yang mengandung senyawa fenolik. Pemisahan kardanol dari CNSL dapat dilakukan melalui tahapan proses: (1) dekarboksilasi CNSL untuk mengkonversi asam anakardat di dalam CNSL menjadi kardanol, dan (2) pemisahan kardanol dari CNSL dengan distilasi vakum. Dekarboksilasi dapat dilakukan dengan pemanasan. Kondisi optimum dicapai dengan pemanasan 140oC selama 1 jam. Kardanol dipisahkan dari CNSL dengan distilasi vakum (4-8 mmHg) pada suhu tinggi. Temperatur optimum dicapai pada suhu distilasi 280oC dengan rendemen destilat (kardamal) 74%. Karakteristik destilat CNSL yang diperoleh sesuai dengan karakteristik kardanol. Kardanol merupakan senyawa fenolik sehingga dapat dipakai untuk mensubtitusi fenol dalam berbagai produk industri seperti cat, vernis, coating, dan perekat kayu lapis. 3.12. PENELITIAN PERBAIKAN SISTEM AGROINDUSTRI PENGOLAHAN KEDELAI
MANAJEMEN
MUTU
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi keragaan teknis dan manajemen agroindustri pengolahan kedelai. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan jaminan mutu produk olahan kedelai (tahu). Perbaikan ini penting, mengingat melalui pendekatan agroindustri skala kecil-menengah tersebut diharapkan dapat diperoleh selling point tersendiri yang mungkin dimanfaatkan untuk meningkatkan daya saing dan memenangkan pasar. Secara makro, penerapan sistem mutu pada agroindustri ini juga dapat dipakai sebagai bukti 44
atau acuan dalam penetapan kebijakan yang terkait dengan kemungkinan masuknya produk serupa (khususnya tahu) dari negara lain, seiring dengan perkembangan pasar global. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan sistem manajemen mutu pada industri tahu UD Cinta Sari di DI Yogyakarta mampu memberikan jaminan terhadap konsistensi mutu tahu. Dengan memperhatikan kualitas bahan baku (kedelai), kadar protein tahu meningkat menjadi 19,21% dibandingkan sebelum diterapkan sistem manajemen mutu (17,13%). Penataan peralatan dan alur proses memberikan efektifitas dan efisiensi selama proses produksi. Efisiensi lahan yang dicapai sebesar 17,06% dan penghematan waktu mencapai 20% ( 1,5 jam) dalam satu batch produksi (32 kg). Penerapan sistem manajemen mutu meningkatkan B/C rasio dari 1,063 menjadi 1,37. 3.13. LITKAJI PENGEMBANGAN MODEL PENGOLAHAN PADI
Penelitian Litkaji Pengembangan Model Pengolahan Padi dilaksanakan di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat sebagai lokasi pengkajian kegiatan PFI3. Tujuannya adalah meningkatkan pendapatan petani melalui perbaikan mutu gabah dan beras. Sebagai tahap pertama penelitian, telah dilakukan survai identifikasi lokasi, penerapan teknologi pascapanen, dan keadaan mutu gabah dan beras yang dihasilkan oleh petani maupun penggilingan padi. Survey dilakukan semi terstruktur dengan pendekatan PRA. Dari 20 responden diperoleh kesimpulan petani belum menerapkan teknologi pascapanen dengan benar, sehingga mutunya rendah. Kandungan hampa dan kotoran di atas 5%, beras pecah lebih 30%, menir > 5%. Penggilingan padi umumnya menerapkan satu pass (80%), sehingga derajat sosohnya hanya mencapai 80-85% dengan rendemen giling 60-62%. Tataniaga beras belum lancar, sehingga nilai tawar gabah petani sangat rendah. Pendapatan petani berpeluang ditingkatkan melalui perbaikan mutu hasil panen padinya, dalam suatu kelembagaan. 3.14. PENELITIAN PRODUKSI SAYURAN INSTAN MELALUI TEKNOLOGI FAR INFRARED (FIR)
Komoditas sayuran merupakan produk yang mudah rusak. Kerusakan yang terjadi
diantaranya disebabkan oleh mikroba akibat kontaminasi yang terjadi selama proses pengolahan atau penanganan pascapanen. Untuk itu diperlukan suatu teknologi yang dapat mengatasi masalah yang terjadi, sehingga dapat menekan kerusakan dan aman untuk dikonsumsi.
45
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi status teknologi pengeringan sayuran yang sudah ada dan mengembangkan teknologi far infra red (FIR) untuk meningkatkan nilai tambah komoditas sayuran melalui produk sayuran instan berkualitas. Keluaran dari penelitian ini adalah model teknologi FIR untuk menghasilkan sayuran kering wortel, seledri, bayam, daun bawang, dan jamur. Sasaran penelitian ini adalah tercapainya percepatan penerapan dan pengembangan teknologi FIR untuk produksi sayuran instan sebagai salah satu proses dalam pengembangan agroindustri yang memiliki nilai tambah dan nilai komersial. Hasil yang telah dicapai adalah model teknologi FIR, informasi status teknologi sayuran kering, karakteristik fisiko-kimia sayuran segar dan sayuran kering melalui teknologi FIR pada skala laboratorium. Tabel 3.11: Kondisi kadar air dan waktu proses pengeringan pada jarak sumber radiasi FIR 18 cm No.
Sayuran
1. 2. 3. 4. 5.
Wortel Bayam Seledri Brokoli Jamur
Kadar air, (%) Awal Akhir 91,90 87,94 84,08 87,20 89,45
8,53 11,96 16,01 12,71 10,49
Waktu, (menit) 21 9 9 15 21
Percobaan terhadap lima jenis sayuran (Tabel 3.11), menunjukkan bahwa pada jarak sumber radiasi FIR dengan bahan sejauh 18 cm pada suhu 95-110oC, memerlukan waktu pengeringan beragam dengan kisaran 9-21 menit. Kandungan vitamin C pada sayuran kering yang dihasilkan melalui teknologi FIR ditunjukkan pada Tabel 3.12. Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara signifikan sayuran instan yang diproses menggunakan teknologi FIR menghasilkan kandungan vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan produk kering hasil sinar matahari. Sedangkan kandungan vitamin A sayuran instan menggunakan teknologi FIR jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produk kering hasil sinar matahari. Tabel 3.12 : Kandungan vitamin C pada sayuran kering No.
Jenis Sayur
1. 2. 3. 4. 5.
Wortel Bayam Seledri Brokoli Jamur
Vitamin C, (mg) FIR Sinar Matahari 3,443 4,003 6,593329 5,784 7,711 6,965 6,829 5,777 6,809 7,549
46
Tabel 3.13: Kandungan vitamin A pada sayuran kering No.
1.
2.
Jenis Analisis
FIR
Retinol I II III Rata-rata Beta karoten I II III Rata-rata
Vitamin A, (ppm) Sinar Matahari
95,957 102,17 99,411 99,17
69,414 68,112 69,112 68,879
96,415 97,503 89,911 94,609 114,97
49,447 49,754 49,903 49,701 77,16
3.15. TEKNOLOGI ISOLASI EUGENOL DAN SINTESIS ISO-EUGENOL DARI MINYAK DAUN CENGKEH SKALA KECIL
Sebagian besar minyak daun cengkeh Indonesia diekspor dan dikenal di pasar dunia sebagai Indonesian clove-leaf oil, sebagian kecil diolah menjadi eugenol. Minyak daun cengkeh Indonesia diolah menjadi beberapa produk isolat dan derivatnya seperti eugenol, eugenol asetat, isoeugenol, vanilin, dan etil vanilin yang mempunyai harga jual lebih tinggi dan banyak digunakan dalam industri flavor makanan, minuman, dan industri farmasi. Eugenol sebagai komponen terbesar dari minyak daun cengkeh dapat diisolasi dengan metode fisik dan kimia. Isolasi secara kimia relatif lebih mudah dan murah karena tidak memerlukan peralatan yang mahal seperti halnya isolasi secara fisik, sehingga dapat diusahakan oleh industri kecil menengah. Hasil penelitian isolasi iso-eugenol dari minyak daun cengkeh dihasilkan produk isoeugenol kasar berupa cairan berwarna gelap dan mempunyai aroma harum seperti bunga cengkeh. Suhu dan waktu reaksi isomerisasi berpengaruh nyata terhadap rendemen dan sifat fisiko-kimia iso-eugenol kasar yang dihasilkan. Senyawa alkaloid, saponin, dan glikosida terdapat pada bonggol, batang dan daun, sedangkan ampas penyulingan mengandung saponin. Isolasi eugenol pada skala laboratorium menghasilkan rendemen eugenol 67,8-68,3% dengan tingkat kemurnian 99,3-99,5%, bobot jenis 1,0919-1,1670, warna kuning kecoklatan. Uji proses isolasi eugenol pada skala proses 20 liter dengan peralatan hasil rancang bangun menghasilkan rendemen eugenol 66,9-67,6% dengan kemurnian 93,2-98,5%. Biaya pokok isolasi eugenol pada skala proses 20 liter adalah Rp. 91.726,2/liter dan harga minimal agar proses tersebut masih menguntungkan adalah Rp. 98.846,-/liter sedangkan titik impas 47
produksinya 170,3 liter/tahun dengan asumsi harga eugenol Rp. 90.000,-/liter dan harga minyak cengkeh Rp. 50.000,-/liter. Dalam kondisi pasar saat ini dimana harga eugenol lebih rendah, usaha produksi pada skala 20 liter belum menguntungkan. Pada proses sintesis isoeugenol, perlakuan dengan KOH 60%, lama pemanasan 120 menit pada suhu 190 oC menghasilkan rendemen 99,8% dengan tingkat kemurnian 45,95%. Perlakuan dengan NaOH 30% menghasilkan rendemen 75,42% tapi dengan tingkat kemurnian 51,32%. Karakteristik mutu eugenol dan iso-eugenol umumnya sudah memenuhi syarat, kecuali warnanya yang masih gelap kuning kecoklatan. A. Isolasi Eugenol Percobaan verifikasi pendahuluan metode isolasi eugenol dari minyak daun cengkeh berdasarkan metode yang dikembangkan sebelumnya, telah dilaksanakan pada skala proses 2 liter bahan baku minyak daun cengkeh dengan menggunakan peralatan gelas di laboratorium. Rendemen, sifat fisiko-kimia dan kemurnian eugenol hasil isolasi dari minyak daun cengkeh disajikan pada Tabel 3.14. Tabel 3.14: Sifat fisiko-kimia eugenol hasil isolasi dari minyak daun cengkeh Ulangan
Rendemen eugenol, (%)
1 2 3
68,0 67,8 68,3
Kemurnian eugenol, (%) 99,3 99,5 99,4
Bobot jenis (25oC) 1,067 1,067 1,069
Indeks bias (25oC) 1,5377 1,5374 1,5379
Kelarutan dalam alkohol Larut 1:1 Larut 1:1 Larut 1:1
Warna Kuning coklat Kuning coklat Kuning coklat
Hasil percobaan pendahuluan isolasi eugenol menunjukkan bahwa rendemen eugenol dan persentase kandungan eugenol dalam larutan eugenol hasil isolasi (yang menunjukkan tingkat kemurnian eugenol) dan karakteristik sifat fisiknya telah memenuhi persyaratan standar perdagangan yang berlaku (Standar EOA, 1970). Walaupun demikian, warna larutan eugenol hasil isolasi masih agak gelap (kuning kecoklatan) yang mungkin disebabkan karena warna minyak daun cengkeh sebagai bahan bakunya juga kuning kecoklatan (agak gelap). Warna gelap tersebut juga disebabkan larutan NaOH teknis yang digunakan dalam reaksi saponifikasi masih mengandung ion besi (Fe3+) yang akan bereaksi dengan senyawa eugenol membentuk cairan berwarna gelap. Untuk mendapatkan eugenol yang berwarna kuning muda seperti disyaratkan dalam standar mutu, mungkin perlu dilakukan destilasi eugenol pada tekanan vakum. Walaupun demikian, larutan eugenol 48
dengan kondisi warna seperti tersebut di atas, sudah dapat diperdagangkan dengan harga lebih rendah dibanding eugenol berwarna kuning jernih. Eugenol berwarna kuning jernih umumnya diproduksi dengan metode fraksinasi yang membutuhkan peralatan lebih mahal. Metode isolasi eugenol tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam proses scale-up dengan menggunakan peralatan yang telah dirancang bangun pada skala proses 20 liter. B. Sintesis iso-eugenol Percobaan pendahuluan sintesis iso-eugenol pada skala laboratorium dengan menggunakan bahan baku eugenol hasil proses isolasi dari minyak daun cengkeh telah dilaksanakan
dengan
melakukan
modifikasi
metode
Bedoukian
(1967)
dalam
Laksmanahardja et al., (2002), yaitu dengan menggunakan larutan KOH teknis sebagai basa pada proses saponifikasi eugenol. Hal ini dilakukan karena penggunaan larutan NaOH teknis pada penelitian sebelumnya menghasilkan rendemen iso-eugenol yang masih dianggap rendah yaitu rata-rata 75,42% dengan tingkat kemurnian 51,32%. Dibandingkan dengan penggunaan NaOH dalam reaksi saponifikasi eugenol sebagai bagian dari reaksi sintesis isoeugenol sebagaimana dilakukan pada penelitian sebelumnya, penggunaan KOH ternyata dapat meningkatkan rendemen iso-eugenol yang dihasilkan. C. Rancang bangun peralatan proses Rancang bangun peralatan proses meliputi: (a) satu unit ketel reaksi berpengaduk mekanik, (b) satu unit ketel pemisah, dan (c) satu unit autoclave bertekanan yang dilengkapi pengaduk mekanis sebagai ketel reaksi proses isomerisasi eugenol menjadi iso-eugenol. Ketel reaksi dan ketel pemisah telah selesai dibuat, dengan spesifikasi: (1) bahan kontruksi ketel besi tahan karat (SS) 2 mm, (2) kapasitas masing-masing ketel 20 liter cairan, (3) pengaduk ketel digerakkan motor listrik 1 HP dengan sirip pengaduk berbentuk V, (4) kecepatan putaran pengaduk bersifat tetap yaitu 300 rpm, (5) peralatan untuk proses batch. Ketel reaksi dan ketel pemisah akan digunakan dan diuji untuk proses isolasi eugenol dari minyak daun cengkeh. Eugenol yang dihasilkan digunakan sebagai bahan baku untuk proses isolasi isoeugenol yang reaksi isomerisasinya dari eugenol menjadi iso-eugenol dilakukan dalam ketel autoclave bertekanan. Ketel autoclave bertekanan dirancang berkapasitas 20 liter, dapat dioperasikan sampai tekanan 12 bar, dilengkapi klep pengaman tekanan, jaket pemanas listrik dengan panel pengontrol suhu dan pengaduk mekanis dengan tenaga motor listrik 1,5 HP. 49
D. Uji proses isolasi eugenol dan sintesis iso-eugenol Uji proses isolasi eugenol dilakukan dengan menggunakan peralatan ketel reaksi (pengaduk) dan ketel pemisah hasil rancang bangun yang masing-masing berkapasitas 20 liter/proses. Hasil uji proses isolasi eugenol menunjukkan bahwa rendemen eugenol yang dihasilkan masih di bawah kandungan eugenol minyak daun cengkeh sebagai bahan bakunya yaitu 76,0%. Dengan kisaran rendemen 66,9-67,3%, berarti tingkat recoverynya 88,03-88,5%. Masih rendahnya tingkat recovery ini, disebabkan masih belum sempurnanya proses pemisahan cairan sehingga masih terjadi loss (kehilangan cairan eugenol karena masih ikut dengan cairan non-eugenol pada proses pemisahan). Walaupun demikian tingkat recovery tersebut masih cukup memadai, walaupun idealnya mendekati 100%. Ditinjau dari segi mutu, tingkat kemurnian eugenol yang disyaratkan USP (United States Pharmacopea) adalah minimal 98,0%. Ada dua ulangan percobaan yang menghasilkan kemurnian eugenol lebih rendah dari 98,0%. Hal ini mungkin disebabkan (1) bahan baku minyak daun cengkeh tidak homogen, (2) pengadukan yang tidak sempurna karena pada waktu uji ada penundaan pengerjaan. Karakteristik bobot jenis eugenol yang dihasilkan agak lebih tinggi dibandingkan standar, walaupun karakteristik indeks biasnya memenuhi standar. Walaupun warna eugenol yang dihasilkan berwarna agak gelap (kuning coklat) namun warna seperti ini dapat diterima dalam perdagangan eugenol kasar (crude eugenol), karena pada proses lanjutannya akan dimurnikan dengan cara destilasi vakum. 3.16. TEKNOLOGI PENGOLAHAN MINYAK KELAPA MURNI 2 Penggunaan produk minyak kelapa murni lebih diutamakan untuk kesehatan dan
kosmetika, sedangkan minyak kelapa biasa digunakan untuk minyak goreng. Spesifikasi produk minyak kelapa murni pada Tabel 3.7 menunjukkan bahwa produk minyak kelapa murni yang dihasilkan mempunyai kadar air dan asam lemak bebas (FFA) berturut-turut adalah 0,114% dan 0,010%. Berdasarkan hasil tersebut produk minyak kelapa murni memenuhi syarat mutu Codex Stan 19-1981 (Rev. 2-1999). Produk minyak kelapa murni disajikan pada Gambar 3.8. Kadar asam lemak minyak kelapa murni pada Gambar 3.8., menunjukkan besarnya kandungan asam laurat (48%) dari minyak kelapa murni yang dihasilkan. Asam laurat merupakan komponen penting penyusun dari produk minyak kelapa murni. Minyak kelapa murni memiliki kandungan asam laurat yang sangat tinggi (45-50%), yang membedakannya 50
dengan minyak kelapa biasa (konvensional). Kondisi proses pengeringan yang digunakan dalam proses scale-up adalah suhu pengeringan 75oC dan lama pengeringan 45 menit.
Gambar 3.7: Produk minyak kelapa murni
a. b. c. d. e.
Tabel 3.15: Spesifikasi produk minyak kelapa murni Karakteristik Kadar Kadar air (%) 0,114 Asam lemak bebas (%) 0,010 Densitas (60oC) 0,910 Bilangan iod 10 Bilangan penyabunan 251
marat
1%
Gugus < C12
11% 6%
As. Stearat
10%
Asam lemak
As. Oleat
As. Palmitat
21%
As. Miristat
48%
As. Laurat 0%
10%
20%
30%
40%
Kadar asam lemak, (%) Gambar 3.8: Kadar asam lemak minyak kelapa murni
51
50%
60%
Keunggulan teknologi proses yang dikembangkan waktu proses produksi minyak lebih singkat ± 3 jam (tradisional 24-26 jam), kebutuhan air relatif sedikit (ekstraksi kering), dan hemat energi. Teridentifikasi proses pengembangan untuk produk samping yakni pemanfaatan
ampas kelapa dengan mengisolasi senyawa galaktomannan yang dapat
meningkatkan nilai tambah dari produk-produk berbasis kelapa. Dalam ampas kelapa terdapat galaktomannan 61%, mannan 26%, dan selulosa 13%. Telah terbentuk kerjasama penelitian dengan pola kemitraan antara Badan Litbang Pertanian dengan Disperindag Kabupaten Cianjur dan Koperasi Mutiara Baru Cianjur Selatan. 3.17 PENGEMBANGAN MODEL AGROINDUSTRI BERBASIS PENGOLAHAN DAGING DAN BULU ITIK
Itik merupakan komoditas ternak yang memiliki peluang pengembangan, termasuk sebagai komoditas ekspor, melalui industri pengolahan hasil ternak. Daging itik dapat diolah menjadi sosis, abon, dan dendeng bermutu tinggi, sedangkan pengolahan yang populer adalah pengasapan, yang dipengaruhi oleh jenis bahan dan lama pengasapan. Harga itik asap dapat mencapai antara Rp. 40.000 – 50.000,-. Bulu itik yang bermutu dengan warna putih (bersih), setelah mengalami proses separasi dengan rendemen down-feather tinggi (> 10%), diekspor ke Eropa dengan harga Rp. 90.000 – 100.000,- per kg. Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah itik melalui agroindustri terpadu berbasis pengolahan daging dan bulu itik. Peningkatan nilai tambah itik tersebut dilakukan melalui teknologi pengasapan daging dan teknologi separasi bulu. Hasil identifikasi lokasi di beberapa daerah dengan memperhatikan potensi pemotongan, pengolahan, dan aktivitas pengolah didaerah lokasi maka ditetapkan lokasi penelitian dan pengembangan agroindustri berbasis pengolahan daging dan bulu itik di desa Nglengis – Banyurejo Kec. Tempel Kab. Sleman, DIY.
52
IV. KEGIATAN KERJASAMA KEMITRAAN Kegiatan kerjasama kemitraan pada tahun 2003 merupakan kelanjutan dari kegiatan yang telah dimulai pada tahun 2001 dan 2002, selain kegiatan baru pada tahun 2003. Kegiatan kerjasama kemitraan tersebut sebagai berikut: 1. Pengembangan Agroindustri Minyak Nilam Kegiatan pengembangan agroindustri minyak nilam dengan mitra kerjasama Pemda Kab. Majalengka, Jawa Barat, yang dalam pelaksanaannya melibatkan (1) Koperasi Tani Nilam Mekar Mulya, berlokasi di Desa Cikondang, Kec. Cingambul, Kab. Majalengka, (2) PT Bioekstrak Agroindustry, produsen dan eksportir minyak atsiri berkedudukan di Jakarta (kantor pusat) dan Desa Cimahi, Kec. Cicantayan, kabupaten Sukabumi (lokasi pabrik). Status dan perkembangan kerjasama: a. Kerangka Acuan Kerjasama Penelitian dan Naskah Kesepakatan Kerjasama Penelitian
antara Balai Penelitian Pascapanen Pertanian dan Pemda Kabupaten
Majalengka (cq. Dinas Kehutanan dan Perkebunan) telah ditandatangani pada tanggal 27 Mei 2003. b. Telah dilakukan pembuatan bangunan pabrik/unit pengolahan minyak nilam lengkap dengan 1 unit ketel penyuling kapasitas 1000 liter dan telah dilakukan uji produksi penyulingan minyak nilam. Telah dilakukan pelatihan/bimbingan kepada tenaga operator yang merupakan karyawan Koperasi. Selama 2003 telah dilakukan produksi minyak nilam, dan minyaknya telah dipasarkan selain ke PT Bioekstrak juga ke pembeli lainnya. c. Telah dilakukan Gelar Teknologi Agroindustri Minyak Nilam di Majalengka , bekerja sama dengan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Majalengka, dihadiri oleh pengusaha, petani, pengrajin minyak nilam, Badan Litbang Pertanian, Pemda Propinsi Jabar dsb.
53
2. Pengembangan Model Agroindustri Tepung Kasava Skala Kecil Menengah Kegiatan pengembangan model agroindustri tepung kasava dengan mitra kerjasama Kelompok Tani Setia Harapan, Kabupaten lampung Timur, Lampung, Koperasi Bumi Pertiwi, Lampung dan CV Pacira, Tanggerang. Status dan Perkembangan: a. Telah dibuat Kerangka Acuan dan Naskah Kerjasama yang disepakati bersama. b. Telah dibuat unit pengolahan tepung kasava dengan bangunannya. c. Telah dilaksanakan proses produksi pengolahan tepung kasava. d. Telah dilakukan proses pembelian tepung kasava oleh mitra( CV. Pacira ). e. Kerjasama berlanjut pada tahun 2004 3. Teknologi Ekstraksi Minyak Bunga Melati Kegiatan penelitian teknologi ekstraksi minyak bunga melati dengan mitra kerjasama: PT. Rezki Fortuna Andama, produsen dan pedagang minyak atsiri di Yogyakarta. Status dan Perkembangan: a. Telah dilakukan penjajagan kerjasama dan pembuatan peralatan ekstraksi serta uji produksi di Jakarta. b. Peralatan akan segera dipasang di Yogyakarta dilanjutkan dengan uji produksi. c. Pemasaran produk akan dilakukan oleh PT Rezki Fortuna Andama. d. Kegiatan dilanjutkan pada tahun 2004. 4. Teknologi Pengolahan Puree Mangga Kegiatan penelitian teknologi pengolahan puree mangga dengan mitra kerjasama Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon dan CV Promindo Utama, Cirebon. Status dan Perkembangan: a. Pada tahun 2003 telah dimulai penjajagan kerjasama , pembuatan unit pengolahan dan bangunan pabrik serta uji produksi. b. Kegiatan kerjasama ini mendapat bantuan dana “start-up capital” dalam program Technopreneurship dari Kementerian Ristek dan Teknologi. c. Kegiatan dilanjutkan pada tahun 2004.
54
5. Teknologi Agroindustri Padi Terpadu Kegiatan penelitian teknologi agroindustri padi terpadu dengan mitra kerjasama Pemda Kabupaten Subang dan Karawang, Jabar, Perusahaan Penggilingan Padi Intisari Karawang & Gapoktan, Subang Status dan Perkembangan: a. Kerangka Acuan dan Naskah Kerjasama Pengembangan Agroindustri Padi Melalui Penerapan Sistem Manajemen Mutu telah ditandatangani pada tanggal 23 Juni 2003 dengan Pemda Kabupaten Subang. b. Kerangka Acuan dan Naskah Kerjasama Penerapan Teknologi Sistem Agroindustri Terpadu telah ditandatangani dengan Perusahaan Penggilingan Padi Intisari, Karawang pada tanggal 22 Oktober 2002 dan kegiatannya dilanjutkan pada tahun 2003. c. Kegiatan telah berjalan dalam bentuk penyediaan dan supervisi teknologi serta produksi beras melalui penerapan sistem manajemen mutu untuk menghasilkan beras bermutu yang dapat meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani. d. Kegiatan dilanjutkan pada tahun 2004. 6. Teknologi Pengolahan Kulit Bulu dan Daging Kelinci Eksotis. Kegiatan penelitian teknologi pengolahan kulit bulu daging kelinci eksotis dengan mitra kerjasama PT Dieng Rex Rabbit Farm, Wonosobo dan Pemda Kabupaten Wonosobo. Status dan Perkembangan: a. Kerangka Acuan dan Naskah Kerjasama dengan Kel. Tani Toto Raharjo, Dieng, Wonosobo telah ditandatangani tanggal 1 april 2003, diketahui oleh Dinas Pertanian, Peternakan & Perikanan Kabupaten. Wonosobo. b. Uji produksi telah dilakukan di lokasi dan telah dilakukan uji pemasaran. Kendala utama adalah bahan baku kelinci belum mencukupi, masih sangat terbatas sehingga diperlukan unit peternakan kelinci yang dapat memasok bahan baku. c. Diperlukan pengembangan kelembagaan yang terintegrasi mulai dari pasokan bahan baku sampai pemasaran. d. Kegiatan akan dilanjutkan dan disempurnakan pada 2004.
55
7. Teknologi Pengolahan Minyak Kelapa Murni Secara Terpadu Kegiatan penelitian teknologi pengolahan minyak kelapa murni dengan mitra kerjasama Dinas Perdagangan dan Industri Kabupaten Cianjur dan Koperasi Mutiara Baru, Agrabinta, Kabupaten Cianjur. Status dan Perkembangan: a. Kerangka Acuan dan Naskah Kerjasama telah ditandatangani pada tanggal 23 Oktober 2003 b. Kerjasama bertujuan mengembangkan teknologi pengolahan minyak kelapa murni, pembinaan kemitraan dan penyediaan sarana dan prasarananya. c. Peralatan proses telah dibuat dan diuji coba, menunggu pemasangan dan uji coba produksi di Agrabinta, kabupaten Cianjur. d. Kegiatan akan dilanjutkan pada tahun 2004. 8. Teknologi Pengawetan Bunga Kering Kegiatan penelitian pengawetan bunga kering dengan mitra kerjasama PT. Florina, Jakarta. Status dan Perkembangan: a. PT Florina sebagai mitra telah berminat membeli formula pengawetan bunga kering. b. Kesepakatan selanjutnya akan dirundingkan pada tahun 2004 termasuk kelanjutan kerjasamanya.
56
V. KEGIATAN ESKPOSE BALAI PENELITIAN PASCAPANEN Badan Litbang Pertanian mempunyai peranan yang penting dan strategis untuk menghasilkan teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan kualitas secara berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat dalam upaya mendukung dan mengembangkan ketahanan pangan dan agribisnis. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, penyampaian informasi dan teknologi hasil pertanian kepada para pengguna dalam bentuk promosi teknologi dan hasil penelitian
merupakan tugas pokok dari Badan Litbang
Pertanian Melalui kegiatan promosi hasil penelitian dan penyebarluasan informasi berupa ekspose, diharapkan teknologi dan hasil penelitian yang telah dihasilkan oleh masing-masing unit kerja termasuk Balitpasca dapat sampai dan diadopsi oleh masyarakat pengguna serta pada gilirannya dapat meningkatkan citra Balitpasca sebagai penghasil teknologi di bidang pascapanen pertanian. Keragaan promosi dan diseminasi serta komunikasi hasil penelitian dengan memberdayakan open show room berfungsi sebagai sarana membangun citra Balitpasca dan sebagai media promosi hasil penelitian menuju komersialisasi hasil penelitian. Keragaan promosi dan diseminasi yang bersifat eksternal diawali dengan perkenalan organisasi dan Tupoksi Balitpasca, kemudian ditindaklanjuti dengan promosi hasil-hasil kegiatan baik dari aspek penelitian, pengembangan maupun penerapan dan pembinaan dalam rangka adopsi teknologi dan menjaring mitra kerja. Beberapa kegiatan diseminasi dan komunikasi hasil penelitian yang berupa ekspose, gelar teknologi maupun seminar telah dilakukan oleh Balitpasca. Berdasarkan jaring kegiatan ekspose dapat dipilah menjadi dua jenis kegiatan yaitu : a) Ekspose yang dikoordinir oleh Sekretariat Badan Litbang serta b) Ekspose diluar agenda Sekretariat Badan Litbang. I. Ekspose Koordinasi Sekretariat Badan Litbang Pelaksanaan kegiatan promosi di Badan Litbang Pertanian dilaksanakan melalui beberapa kegiatan diantaranya pameran atau ekspose. Kegiatan ini melibatkan semua unit kerja lingkup Badan Litbang Pertanian dengan koordinasi Sekretariat Badan Litbang dalam hal ini Bagian Kerjasama, Iptek dan Humas.
57
Tabel 3.18. : Kegiatan Diseminasi dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Balitpasca melalui Koordinasi Sekretariat Badan Litbang No
Topik/Penyelenggara
Waktu
Tempat
4-6 Juni 2003
Malang, Jawa Timur
1.
Sewindu BPTP Jawa Timur, BPTP Jawa Timur
2.
Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian di Soropadan, Ungaran, Puslitbang Sosek Pertanian
15 Juli 2003
Ungaran, Jawa Tengah
3.
Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian di Lahan Rawa Pasang Surut, Balitra Kalsel
30-31 Juli 2003
Kalimantan Selatan
4.
Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian di Lahan Irigasi, Puslitbangtan
6-7 Agustus 2003
Sulawesi Selatan
5.
Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian, BBP Mektan
12 Agustus 2003
BBP Mektan
6.
Ekspose Inovasi Teknologi Lahan Kering dan Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Sawit-Sapi
9-10 September 2003
Kantor Gubernur Bengkulu
7.
Pekan Biogen Pertanian 2003 dan Seminar Peraturan dan Kebijakan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian
8-12 Desember 2003
Balitbiogen Bogor
1. Ekspose Sewindu BPTP Jawa Timur Penyelenggaraan kegiatan Sosialisasi dan Ekspose Teknologi Unggulan dilakukan dengan harapan masyarakat agribisnis dan pengguna teknologi pertanian khususnya di Jawa Timur dapat memperoleh informasi teknologi terbaru untuk mendorong pengembangan kreatifitas dan inovasi bagi kepentingan agribisnis yang lebih menguntungkan secara berkelanjutan. Tema ekspose adalah : “Sewindu pengabdian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian kepada petani. Manfaat yang diharapkan dari terselenggaranya kegiatan ekspose ini adalah terjadinya arus timbal balik informasi pengembangan teknologi pascapanen, sehingga dapat memperkaya dan mempertajam arah pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Pelaksanaan ekspose yang berlangsung pada tanggal 4-6 Juni 2003, kegiatan Sosialisasi dan Ekspose Teknologi Unggulan dikemas dalam bentuk : a. Ekspose Dalam Ekspose tersebut ditampilkan teknologi-teknologi tepat guna dalam rangka peningkatan produktivitas, efisiensi, kualitas, pengolahan hasil dan alat mesin pertanian.
58
b. Seminar Nasional Seminar Nasional yang difokuskan pada topik yang berkaitan dengan „‟Daya Saing Sektor Pertanian menghadapi AFTA” 2003, yang dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 2003. materi yang disampaikan oleh Balitpasca ditunjukkan pada Tabel 3.19 Tabel 3.19. : Materi ekspose Balitpasca pada ekspose sewindu BPTP Jawa Timur No. 1.
Judul Teknologi Aneka Tepung
Leaflet
Panel
*
*
Produk - Aneka kue kering - Aneka kue basah - Buku resep
2.
Model Agroindustri Pengolahan Mangga dan Sirsak
*
Teknologi Pewarnaan Bunga Sedap Malam
*
4.
Teknologi Proses Bunga Kering
*
-
- Rangkaian Bunga Kering
5.
Model Sistem Agroindustri Padi Berdaya Saing
-
-
- Beras merah
3.
*
- Puree sirsak - Puree mangga
-
- Formula pewarnaan - Bunga segar
2. Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian di Soropadan, Ungaran Materi yang disampaikan oleh Balitpasca pada kegiatan ekspos inovasi teknologi pertanian di Soropadan, ditunjukkan pada Tabel 3.20 Tabel 3.20. : Materi ekspose Balitpasca pada inovasi teknologi pertanian di Soropadan No. 1.
Judul Teknologi Aneka Tepung
Leaflet
Panel
*
*
Produk - Aneka kue kering - Aneka kue basah - Buku resep
2.
Model Agroindustri Pengolahan Mangga dan Sirsak
*
3.
Teknologi Pemurnian Minyak Nilam
*
4.
Teknologi Proses Bunga Kering
*
5.
Teknologi Pengolahan Mente
*
- Puree sirsak - Puree mangga
*
- Rangkaian bunga kering *
59
- Minyak Nilam - Mente
3. Ekspose Nasional Teknologi Lahan Rawa/Pasang Surut Luas lahan Indonesia diperkirakan sekitar 190 juta ha yang terbagi atas 3 ekosistem, yaitu ekosistem lahan irigasi, lahan kering dan lahan rawa. Ekosistem lahan rawa diperkirakan luasnya 30 juta ha dan masih belum dimanfaatkan secara optimal yang tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Dibandingkan dengan ekosistem lahan irigasi dan lahan kering, lahan rawa/pasang surut memerlukan penanganan yang lebih seksama karena kondisi lahannya yang labil, terutama masalah tata air dan timbulnya zat-zat beracun. Tabel 3.21. : Materi Balitpasca pada ekspose nasional teknologi lahan rawa/pasang surut No.
Topik/Tema
1.
Tepung Alabio
2.
Puree Jeruk
3.
Agroindustri padi terpadu
4.
Kacang-kacangan: a. b. c.
Labu
Poster
Leaflet
Olahan/Produk
Kuning
Olahan berbentuk mie basah & kue kering Olahan dalam bentuk puree segar Produk berupa beras, briket arang sekam, dan dedak awet -
-
-
-
6.
Buku Resep Aneka Olahan Tepung Non-Beras Tepung Ubi Alabio
7.
Tepung Pisang
-
8.
Tepung Talas
-
9.
Tomat
-
Saus
10.
Pisang segar (masak)
-
Jam, keripik
11.
Nanas
-
Keripik
12.
Nangka
-
Keripik
5.
Kacang kedelai Kacang merah Kacang hijau
Keterangan
Olahan susu Olahan susu Olahan susu -
-
Berupa buku Kue kering, kue basah, mie, jam
Teknologi pengelolaan lahan rawa telah dihasilkan melalui kegiatan penelitian. Hasilhasil penelitian tersebut perlu disebarluaskan kepada pengguna seperti petani, dunia usaha, dan pengambil kebijakan antara lain melalui Pameran Nasional Teknologi Lahan Rawa/Pasang Surut. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang telah dihasilkan selama ini serta mendapatkan umpan balik dari pengguna 60
untuk memperbaiki kinerja penelitian di masa yang akan datang. Tema kegiatan ini adalah inovasi teknologi lahan rawa/pasang surut. Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah terjadinya arus timbal balik informasi pengembangan teknologi pascapanen, sehingga dapat memperkaya dan mempertajam arah pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Materi yang ditampilkan oleh Balitpasca pada kegiatan tersbut ditunjukkan pada Tabel 5.4. 4. Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian di Lahan Irigasi Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan berbagai inovasi teknologi, baik berupa varietas unggul, teknologi produksi, alsintan, pascapanen, maupun rekayasa sosial komoditas pertanian. Teknologi yang tersedia perlu disebarluaskan kepada pengguna dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan melalui efisiensi dan nilai tambah, serta memberikan kontribusi bagi pembangunan pertanian. Salah satu upaya penyebarluasan teknologi dilakukan melalui Ekspose Teknologi Pertanian di lahan irigasi. Hal ini dikaitkan dengan adanya kompetisi penggunaan lahan irigasi untuk non pertanian serta upaya optimalisasi lahan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani. Tema ekspose adalah “Pertanian Lahan Irigasi Tulang Punggung Ketahanan Pangan Nasional untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Pelestarian Lingkungan”. Materi ekspose di lahan irigasi
adalah rancang bangun
pembangunan sistem dan usaha agribisnis di lahan irigasi yang terbagi dalam 3 subsistem yaitu subsistem agribisnis hulu (pembenihan, varietas unggul inbrida, varietas unggul hibrida, dan ideal), on farm (pengelolaan tanaman terpadu/PTT), integrasi sistem padi ternak/ISPT, komponen teknologi penunjang PTT seperti varietas, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, penggunaan alsintan, serta pengelolaan panen), dan hilir (sistem pengembangan alsintan, pascapanen, permodalan, dan pemasaran), untuk dapat dikembangkan di beberapa daerah spesifik lokasi ataupun dikembangkan oleh swasta. Materi ekspose yang ditampilkan dalam acara ekspose adalah gelar teknologi di lapang, ekspose di dalam ruangan, temu usaha antara peneliti dan dunia usaha, serta temu wicara peneliti/penyuluh dengan petani
61
5. Ekspose Inovasi Teknologi Pertanian Lahan Kering dan Seminar tentang Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi di Bengkulu Kegiatan Ekspose dan Seminar dilaksanakan di Bengkulu pada tanggal 9-10 September 2003 yang dikoordinir oleh Puslitbang Peternakan. Acara berlangsung di halaman Kantor Gubernur Bengkulu dengan tema “Inovasi Teknologi Lahan Kering untuk Meningkatkan Kesejahteraan Petani”. Selain kegiatan Ekspose dan Seminar diadakan juga acara kegiatan Temu Bisnis dan kunjungan lapang serta dialog interaktif untuk lebih memperjelas dan membuktikan keberhasilan Sistem Integrasi Sapi di perkebunan Kelapa Sawit Agricinal Keikutsertaan Balitpasca untuk menginformasikan produk teknologi dengan tujuan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah. Materi yang ditampilkan berupa poster dan produk. Materi Poster meliputi poster teknologi pascapanen kelinci, teknologi proses bunga kering, teknologi pengolahan puree mangga, teknologi tepung kasava, dan teknologi olahan ternak. Produk yang ditampilkan meliputi produk pengolahan kelinci ( baso, nugget, kornet, dan sosis), bunga kering, formula bunga kering, puree mangga, abon, dendeng dan yoghurt. II. Ekspose diluar agenda Sekretariat Badan Litbang Pertanian Selain mengikuti ekspose yang dikoordinir oleh Sekretariat Badan Litbang Pertanian, Balitpasca juga mengikuti kegiatan pameran lainnya baik yang tingkat nasional maupun internasional. Beberapa kegiatan pameran yang diikuti disajikan pada Tabel 3.22. Tabel 3.22. : Kegiatan Diseminasi dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian diluar Agenda Sekretariat Badan Litbang 1.
Pameran Inovasi Teknologi Agro & Food Ekspo 2003
1-4 Mei 2003
Jakarta
2.
Pameran Produksi Indonesia
8-11 Mei 2003
Jakarta
3
Seminar APEC
Agustus 2003
Bali
4.
Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional V
5-9 Oktober 2003
GOR Sidoarjo Jawa Timur
5.
Hari Pangan Sedunia Tahun 2003
24-26 Oktober 2003
Lap. Turangga Jateng
6.
Peringatan 100 tahun Pendidikan Pertanian
17-21 Desember 2003
Kampus Cibalagung, Cikaret, STTP Bogor
62
Seta,
Semarang,
1. Agro & Food Ekspo 2003 Pameran Agro & Food Ekspo merupakan agenda tetap penyelenggaraan pameran inovasi
dibidang
pertanian
dan
industri
serta
bidang
pendidikan,
sehingga
penyelenggaraannya selalu dilaksanakan pada tanggal 2 Mei bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Pada pelaksanaan penyelenggaraan Agro & Food Expo tahun 2003 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bergabung dengan sebagian besar unit kerja dibawahnya menjadi satu stand besar Departemen Pertanian. Tema kegiatan ini adalah “Inovasi teknologi pertanian untuk pengembangan usaha agribisnis”. Manfaat
yang
diharapkan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah terjadinya arus timbal balik informasi pengembangan teknologi pascapanen, sehingga dapat memperkaya dan mempertajam arah pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kegiatan pameran ini dikemas dalam bentuk acara pameran dan demonstrasi teknologi. Materi pameran Balitpasca pada Agro & Food Ekspo 2003 disajikan pada Tabel 3.23. Tabel 3.23. : Materi pameran Balitpasca pada Agro & Food Ekspo 2003 No. 1.
Judul Teknologi Aneka Tepung
Leaflet
Panel
Produk
*
*
- Aneka kue kering dan kue basah - Buku resep
2. 3.
Model Agroindustri Pengolahan Mangga dan Sirsak
*
Agroindustri Terpadu Pengolahan Kulit dan Daging Kelinci
*
*
- Puree sirsak - Puree mangga
*
- Sosis - Nugget - Bakso - Kornet - Gantungan kunci
4.
Teknologi Pewarnaan Bunga Sedap Malam
*
5.
Teknologi Proses Bunga Kering
*
6.
Model Sistem Agroindustri Padi Berdaya Saing
- Formula pewarnaan - Bunga segar - Rangkaian Bunga Kering - Beras merah
a. Pameran Pameran Agro & Food Ekspo 2003 menampilkan panel-panel teknologi unggulan yang didukung display produk, alat-mesin pertanian dan pengolahan pangan, benih, bibit, dan brosur. Pada arena ini diperkenalkan situs Badan Litbang Pertanian. 63
b. Demonstrasi teknologi Demonstrasi teknologi dilaksanakan di arena pameran untuk mendemonstrasikan teknologi unggulannya. Demontrasi teknologi dilaksanakan pada tanggal 2 Mei - 4 Mei 2003 dengan melibatkan pengusaha, peneliti/perekayasa dengan nara sumber di bidang penelitian, yaitu Ir. Sri Widowati, MappSc, Suyanti, BSc dan Dr. Setyadjit, MAppSc. 2. Pameran Produksi Indonesia Bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional yang ke-75 ini, Pemerintah RI menggelar Pameran Produksi Indonesia 2003 (PPI 2003). Pameran ini diselenggarakan untuk menumbuhkembangkan kembali kebanggaan, kecintaan dan kepercayaan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat terhadap produksi Indonesia dalam rangka mewujudkan kebangkitan nasional di bidang ekonomi. Tema pameran Pameran Produksi Indonesia 2003 adalah “Indonesia bangkit! Membangun Produk Nasional Unggulan: Berjaya di Pasar Lokal, Bersaing di Pasar Global”. Melalui kegiatan Pameran Produksi Indonesia 2003 maka diharapkan terjadinya arus timbal balik informasi pengembangan teknologi pascapanen, sehingga dapat memperkaya dan mempertajam arah pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kegiatan pameran ini dikemas dalam bentuk acara pameran. Pameran Produksi Indonesia 2003 menampilkan panel-panel teknologi unggulan yang didukung display produk, alat-mesin pertanian dan pengolahan pangan, benih, bibit, dan brosur. Pada arena ini diperkenalkan situs Badan Litbang Pertanian. Tabel 3.24. : Materi pameran Balispasca pada Pameran Produksi Indonesia 2003 No. 1.
Judul
Leaflet
Panel
*
*
Teknologi Aneka Tepung
Produk - Aneka kue kering - Aneka kue basah - Buku resep
2.
Model Agroindustri Pengolahan Mangga dan Sirsak
*
Teknologi Pewarnaan Bunga Sedap Malam
*
4.
Teknologi Proses Bunga Kering
*
5.
Model Sistem AI Padi Berdaya Saing
3.
*
- Puree sirsak - Puree mangga - Formula pewarnaan - Bunga segar - Rangkaian Bunga Kering - Beras merah
64
3. Seminar Internasional APEC ke-3 Pelaksanaan seminar yaitu di Inna Putri Bali Hotel, Nusa Dua Bali, 23-26 Agustus 2004. Pada kegiatan ke-21 ASEAN atau ke-3 Seminar APEC tentang Teknologi Pascapanen ini dihadiri oleh peneliti, pengusaha industri pangan dan pejabat struktural Departemen terkait. Isu utama yang dibahas adalah : Manajemen pascapanen produk pertanian yang mudah rusak, perikanan dan biji-bijian, keamanan pangan pada produk pertanian, penerapan standar mutu, persepsi dan penerimaan konsumen, manajemen lingkungan, akses pasar dan strategi pemasaran, manajemen rantai pemasaran dan nilai tambah produk pertanian. Tema Seminar APEC ke-3 adalah “Keamanan Pangan, Jaminan Mutu dan Keberlanjutan Lingkungan Hidup Terhadap Peluang Pengembangan Sektor Pascapanen”. Materi pameran Balitpasca yang ditampilkan pada seminar tersebut ditunjukkan pada Tabel 3.25. Tabel 3.25. : Materi pameran Balitpasca pada Seminar APEC ke-3 No.
Topik/Tema
Poster
Leaflet
Olahan/Produk
1.
Hiasan Bunga Kering
2.
Puree Mangga
3.
Agroindustri padi terpadu
4.
Pasta Cabai dan Tomat
-
5.
Teknologi Olahan Mente
-
6.
Tepung Labu Kuning
-
7.
Teknologi Degreening Jeruk
-
8.
Teknologi Sayuran Kering
-
Keterangan
Bunga segar yang diawetkan Olahan dalam bentuk puree segar Produk berupa beras, briket arang sekam, dan dedak awet
4. Hari Pangan Sedunia di Ambarawa Fungsi strategis pangan bagi kehidupan manusia oleh FAO diperingati setiap tahun dalam kegiatan Hari Pangan Sedunia (HPS). Berdasarkan hasil KTT Pangan pada bulan Juli 2002, yang menyatakan bahwa kelaparan merupakan penyebab sekaligus dampak dari kemiskinan maka mengikis kelaparan serta pembangunan pertanian dan pedesaan merupakan langkah yang sangat vital dalam mengentaskan kemiskinan.
Pada tahun 2003 telah
ditetapkan “International Alliance Against Hunger” sebagai tema internasional peringatan HPS dan tema nasionalnya “Menggalang Peran Serta Masyarakat Memerangi Kelaparan untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga”. 65
Peringatan HPS ke-23 dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan yang arahnya mengacu pada upaya pemantapan ketahanan pangan.
Berbagai kegiatan dalam rangka
peringatan tersebut diantaranya: seminar, perlombaan, pameran, dan bazar. Badan Litbang Pertanian ikut serta dalam kegiatan pameran, dimana dalam pelaksanaannya terbagi dalam dua yaitu pameran inti dan pameran pada acara puncak peringatan HPS yang keduanya samasama bernama Pameran Ketahanan Pangan. Materi pameran Balitpasca pada HPS 2003 ditunjukkan pada Tabel 3.26. Tabel 3.26. : Materi pameran Balitpasca pada Hari Pangan Sedunia 2003 Panel Teknologi Proses Tepung Sukun Tepung Labu Kuning Teknologi Pascapanen Kelinci
Produk display Tepung dan Sawut Sukun, Labu Kuning Produk Kulit Kelinci: Gantungan kunci, tas, dan kulit kelinci
Produk olahan Sukun: Keripik sukun segar, kue gabus, kue keju Daging Kelinci: Sosis, nugget, kornet, bakso
5. Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional V di Propinsi Jawa Timur Sesuai dengan arah Kebijakan Pembangunan Nasional, berbagai upaya dalam rangka pemberdayaan masyarakat telah banyak dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat. Perkembangan lingkungan strategis Nasional dan Global menuntut upaya tersebut perlu terus ditingkatkan dengan berbagai program yang melibatkan masyarakat untuk berperan aktif sesuai dengan potensi yang dimiliki. Berkenaan dengan itu salah satu pendekatan yang dipandang dapat meningkatkan proses memberdayakan masyarakat adalah melalui pendekatan teknologi yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat yaitu teknologi yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara ekonomis dan sederhana atau yang disebut Teknologi Tepat Guna. Teknologi Tepat Guna yang dikembangkan sesuai kemampuan masyarakat merupakan teknologi yang dapat bertumpu pada sumber daya yang ada, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Hal inilah yang menjadi latar belakang dilaksanakannya Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional V di Propinsi Jawa Timur. Tema Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional V “Pemanfaatan inovasi teknologi pertanian tepat guna menjawab tantangan pembangunan sistem dan usaha agribisnis”. Materi pameran Balitpasca yang ditampilkan pada Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional V ditunjukkan pada Tabel 3.27.
66
Tabel 3.27 : Materi pameran Balitpasca pada Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional V Panel Teknologi Proses Tepung Sukun Teknologi Puree mangga dan sirsak Teknologi pengembangan model pengolahan mente
Produk Tepung Sukun, dan produk olahannya Puree mangga dan sirsak Bunga sedap malam Bunga kering
6. Pameran dan Bazar Peringatan 100 Tahun Pendidikan Pertanian, Bogor Dalam rangka memperingati 100 tahun Pendidikan Pertanian, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) Bogor mengadakan kegiatan Pameran dan Bazaar yang dilaksanakan pada tanggal 17-21 Desember 2003, bertempat di Kampus STPP Cibalagung, Bogor. Pada kesempatan tersebut Balitpasca ikut berpartisipasi dengan menampilkan poster, leaflet, dan beberapa produk yang dijual diantaranya produk olahan kelinci (bakso, nugget, kornet, dan gantungan kunci), formula pewarnaan bunga sedap malam, formula bunga kering, beras pandan wangi, dan puree mangga.
67
VI. VII.
A.
MANAJEMEN PENELITIAN
Sumber Daya Manusia (SDM)
Balai Penelitian Pascapanen Pertanian (Balitpasca) didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 76/KPTS/OT.210/1/2002 tanggal 29 Januari 2002 sebagai unit eselon III. Balai ini telah mulai berfungsi menghasilkan teknologi pascapanen mendukung pengembangan agroindustri yang berdaya saing
Dalam implementasi tupoksinya, Balitpasca harus melayani keluaran dari 12 Bali Komoditas di bawah 4 Puslitbang, untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi produk yang bernilai tambah tinggi yang kemudian disalurkan kepada 27 BPTP di seluruh Indonesia. Tugas dan fungsi tersebut sukar dilaksanakan dalam posisi Balitpasca sebagai eselon III.
Tenaga SDM yang berada di Balitpasca telah cukup untuk peningkatan kapasitas kerja Balitpasca. Saat ini telah aktif 127 orang yang terdiri atas 54 orang tenaga peneliti, teknisi 38 orang dan administrasi 35 orang. Kualifikasi tenaga peneliti tersebut beserta pengelompokkannya berdasarkan jabatan fungsionalnya dapat dilihat pada Tabel 3.28. Tabel 3.28. : Kualifikasi Peneliti Berdasarkan Jabatan Fungsionalnya No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jabatan Fungsional Ahli Peneliti Peneliti Ajun Peneliti Asisten Peneliti Non Fungsional
Jumlah 8 orang 13 orang 15 orang 1 orang 17 orang
Ketiga laboratorium (Pasarminggu, Bogor dan Karawang) mampu mendukung penelitian melalui proses kimia, mikrobiologi, fisik, dan manajemen mutu.
68
B.
Keuangan 1. Dana Rutin dan Pembangunan Untuk TA. 2003 Balitpasca belum memperoleh dana rutin. Pada tahun tersebut alokasi yang tersedia bagi kegiatan Balitpasca pada tahun 2003 adalah Dana Pembangunan masih melekat pada Balai Penelitian Tanaman Hias dan Balai Penelitian Padi.
Dana yang tersedia adalah Dana Pembangunan sebesar Rp.
6.429.534.000,-. Hingga bulan Desember 2003 TA. 2003 DIP tahun 2003 Bagian Proyek Pengembangan Teknologi Pascapanen Pertanian telah menyerap dana seperti tersedia pada Tabel 3.29. Tabel 3.29. Realisasi/Penyerapan Dana Pembangunan TA. 2003 Realisasi Anggaran Uraian Jumlah % setelah revisi a. Rupiah Murni b. Pinjaman Luar Negeri Jumlah
5.539.527.000
5.409.819.762
97,65
Sisa Anggaran 129.710.238
890.007.000
803.684.894
90,30
86.322.106
6.429.534.000
6.213.501.656
96.64
216.032.344
Anggaran Pembangunan TA. 2003 tersebut digunakan untuk menunjang pelaksanaan 8 kegiatan yang tersebar di 3 lokasi yaitu Pasarminggu, Bogor dan Karawang, dan kegiatan lain yang terkait dengan pelaksanaan proyek. 2. Penerimaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Balai Penelitian Pascapanen untuk TA. 2003 belum dapat melaksanakan kewajiban untuk memungut PNBP karena belum mempunyai Dana Rutin. C.
Sarana Fasilitas penelitian telah cukup tersedia, Balitpasca didukung oleh bangunan laboratorium, bangsal pengolahan dan administrasi yang berlokasi di Pasarminggu Jakarta (luas lahan 1 Ha, bangunan 1323 m2), Bogor (lahan 2 Ha, bangunan 5190 m2). Uraian rinci dari masing-masing laboratorium dan bangsal tersebut disampaikan sebagai berikut:
69
1. Sarana Laboratorium dan Bangsal Pengolahan Hasil Balitpasca Balitpasca memiliki laboratorium analisis dan bangsal pengolahan hasil di tiga lokasi, yaitu Laboratorium Bogor, Pasarminggu dan Karawang yang masingmasing memiliki spesifikasi terhadap bahan baku atau produk yang ditangani dan dihasilkan. 1.1 Laboratorium Bogor a. Laboratorium analisis Merupakan laboratorium utama/induk Balitpasca yang menangani aspek kimia, mikrobiologi, fraksinasi, fermentasi dan organoleptik. Sedangkan fasilitas yang disediakan merupakan peralatan analisis dengan ketelitian tinggi untuk identifikasi struktur dan isolasi senyawa dan lain sebagainya. b. Bangsal pengolahan hasil
Bangsal pengolahan minyak atsiri (aneka minyak atsiri; produk derivatnya dan produk formulasinya)
Bangsal pengolahan hasil ternak (daging: daging asap, sosis, dendeng, bakso, karage, nugget, abon, dan kornet; kulit: kulit samak dan bulu; susu pasteurisasi, yoghurt, kefir, keju, dodol susu, caramel/candy serta kerupuk susus)
Bangsal pengolahan kedelai
1.2 Laboratorium Pasarminggu a. Laboratorium analisis
Merupakan laboratorium pendukung untuk analisis keamanan pangan untuk produk makanan dan minuman (juice, sari buah, campuran dan produk turunannya, candy)
Melayani analisis proksimat untuk analisis mutu produk minuman dan produk turunannya
70
b. Bangsal pengolahan hasil
Bangsal pengolahan sari buah dan produk turunannya, pasteurisasi dan canning (produk berbasis buah dan sayuran)
Bangsal pengolahan produk roti berbasis aneka tepung (kasava, sukun, labu kuning, sagu dan produk tepung lainnya)
1.3 Laboratorium Karawang a. Laboratorium analisis
Mendukung analisis sifat-sifat rheology dan sifat fisik bahan (aneka tepung)
Melayani analisis proksimat
b. Bangsal pengolahan hasil
Bangsal pengolahan aneka tepung turunannya (proses kering dan basah)
Bangsal pengolahan beras
Uji fungsional model
Bengkel perekayasaan
2. Fasilitas Untuk melaksanakan berbagai kegiatan di ketiga laboratorium tersebut dipersiapkan peralatan-peralatan spesifik berupa peralatan analisis dan pengolahan: berupa peralatan pengolahan hasil ternak, minyak atsiri, aneka tepung dan makanan/minuman.
71