Laporan Tahunan 2004 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
1
PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Strategi pembangunan pertanian dalam dua dasawarsa yang lalu lebih banyak diarahkan pada usaha meningkatkan produksi pertanian. Upaya peningkatan keberhasilan
produktivitas
dan
pembangunan
produksi pertanian
pertanian seutuhnya,
belum
menunjukkan
terutama
dalam
peningkatan kualitas hidup petani. Peningkatan produktivitas belum menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan petani, selama petani hanya mampu menjual hasil panennya dalam bentuk bahan mentah. Pemasaran hasil dalam bentuk bahan mentah, memiliki beberapa kelemahan diantaranya: nilai tambahnya rendah, mudah rusak, daya simpan terbatas, dan konsistensi mutu sulit dijamin. Selain itu, penanganan hasil panen juga masih lemah dengan tingginya
tingkat
kehilangan
hasil
panen.
Sebagai
gambaran,
tingkat
kehilangan hasil panen padi selama tahun 1997-2002 rata-rata mencapai 24,61% per tahun (Ditjen BP2HP, 2003). Kegiatan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan sistem pertanian secara keseluruhan, yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah sampai pemasaran produk akhir. Peran kegiatan pascapanen menjadi sangat penting, karena merupakan salah satu sub-sistem agribisnis yang mempunyai peluang besar dalam upaya meningkatkan nilai tambah produk agribisnis. Sebagai gambaran, nilai PDB yang dihasilkan industri pengolahan berbahan baku komoditas primer perkebunan adalah sebesar Rp. 1.666,6 triliun atau lebih dari empat puluh kali lipat nilai PDB komoditas primer perkebunan yang besarnya Rp. 37,6 triliun (Saragih, 2003). Dibanding dengan produk segar, produk olahan mampu memberikan nilai tambah yang sangat besar. Harga kelapa di tingkat petani sangat rendah Rp. 250–500 per butir, bila diolah menjadi minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil/VCO) harganya Rp. 80.000–250.000 per kg (rendemen VCO = 1 kg/12-15 butir), belum termasuk nilai tambah dari produk sampingnya seperti: isotonic
2
drink air kelapa, nata de coco, tempurung dan sabut kelapa. Harga vanili mentah di tingkat petani sangat rendah berkisar Rp. 10.000–50.000 per kg polong segar, sedangkan harga vanili kering berkisar Rp. 400.000–3.000.000 per kg (rendemen = 1/6 kg polong segar). Hasil pertanian, terutama yang bersifat musiman seperti: cabai, mangga, tomat dan jeruk; biasanya merosot tajam pada saat musim panen, dan harga tersebut naik seiring dengan berkurangnya pasokan dari petani, sedangkan harga produk olahannya stabil dan tidak pernah turun. Walaupun Indonesia merupakan salah satu produsen utama produk pertanian dunia, tetapi daya saing komoditas Indonesia di pasar internasional masih lemah. Beberapa komoditas ekspor unggulan seperti sawit, karet, kakao, kelapa, lada dan minyak atsiri, belum mampu menguasai pangsa pasar maupun menjadi acuan harga internasional. Hal ini terjadi, karena selama ini hanya
mengandalkan
keunggulan
komparatif
dengan
kelimpahan
sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (factor–driven), sehingga produk yang dihasilkan didominasi oleh produk primer atau bersifat natural resources-based dan unskilled-labor intensive (Saragih, 2003). Mutu produk pertanian yang tidak konsisten dan tingginya cemaran (seperti aflatoxin dan bakteri salmonella, kotoran dan hama gudang) merupakan salah satu penyebab rendahnya daya saing produk pertanian Indonesia. Untuk kepentingan kebutuhan pasar di dalam negeri, Indonesia mengimpor
cukup besar produk maupun komponen bahan industri, bahan
pangan, dan pakan yang bahan bakunya tersedia cukup besar di Indonesia seperti pati dan produk turunan, konsentrat pakan, parfum, aneka produk makanan, produk oleo-chemical, bahan kosmetika, dan farmasi. Dilihat dari data impor, maka pada kurun waktu (tahun 1997-2000) rata-rata impor produk olahan mencapai US$ 1.894,7 juta dan produk segar mencapai US$ 1.358,9 juta (BPS, 2001). Besarnya nilai impor ini menunjukkan bahwa produksi pertanian dan industri pengolahan khususnya yang bahan bakunya tersedia di dalam negeri harus dipacu perkembangannya. Pengolahan lebih lanjut dan pengembangan
3
produk baru diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk dan memaksimalkan nilai ekonomi komoditas pertanian, yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Tingkat pendapatan pelaku agribisnis, khususnya petani dan pengolah skala
kecil-menengah
masih
tergolong
pada
tingkat
ekonomi
lemah.
Penguasaan teknologi maupun level teknologinya sebagian besar masih tergolong tradisional. Lemahnya adopsi teknologi baru, selain terbatasnya teknologi yang tersedia, juga disebabkan rendahnya kemampuan petani mengakses teknologi baru. Pengolahan lebih lanjut dan pengembangan produk baru diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk dan memaksimalkan nilai ekonomi komoditas pertanian, yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Pengembangan agribisnis dan agroindustri yang berdaya saing dalam menyongsong perdagangan bebas memberi konsekuensi pengembangan agroindustri harus berbasis inovasi teknologi. Dengan memperhatikan issu dan tantangan
dalam
sistem
dan
usaha
agribisnis,
maka
perakitan
dan
pengembangan inovasi teknologi pascapanen membutuhkan pendekatan serta strategi penelitian dan pengembangan yang lebih komprehensif.
B. TUGAS POKOK DAN FUNGSI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BBPascapanen) merupakan institusi baru di lingkup Badan Litbang Pertanian yang diawali dengan terbentuknya Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Berdirinya Balai Penelitian Pascapanen Pertanian (Balitpasca) berdasarkan Kepmen No. 76/Kpts/OT.210/1/2002 tanggal 29 Januari 2002, sebagai institusi penelitian setingkat eselon IIIA, mempunyai tugas pokok melaksanakan kegiatan penelitian bidang pascapanen pertanian. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 623/Kpts/OT.140/12/2003
tanggal 30 Desember 2003, organisasi Balai
Penelitian Pascapanen Pertanian ditingkatkan eselonnya menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (eselon IIB), dengan
4
tugas pokok melaksanakan dan
merumuskan program penelitian
dan
pengembangan teknologi pascapanen pertanian. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, BB-Pascapanen menyelenggarakan fungsi: a. Menyusun
program
dan
evaluasi
penelitian
dan
pengembangan
pascapanen; b. Melaksanakan penelitian identifikasi dan karakterisasi sifat fungsional dan mutu hasil pertanian; c. Melaksanakan penelitian pengolahan hasil, perbaikan mutu, pemanfaatan limbah, dan pengembangan produk baru; d. Melaksanakan penelitian teknologi proses fisik, kimia, dan biologi hasil pertanian; e. Melaksanakan penelitian sistem mutu dan keamanan pangan hasil pertanian; f. Melaksanakan pengembangan sistem informasi teknologi pascapanen pertanian; g. Melaksanakan pengembangan komponen teknologi sistem dan usaha agribisnis bidang pascapanen pertanian; h. Melaksanakan kerjasama dan pendayagunaan hasil penelitian pascapanen pertanian.
5
PROGRAM PENELITIAN
A. VISI DAN MISI Sebagai institusi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam penelitian
dan
pengembangan
teknologi
pascapanen
pertanian,
BB-
Pascapanen menetapkan visinya sejalan dengan visi pembangunan pertanian dan visi Badan Litbang Pertanian. Visi BB-Pascapanen dirumuskan berdasarkan kajian
orientasi
masa
depan
(future
oriented),
perubahan
paradigma
pembangunan pertanian, serta kebutuhan institusi yang profesional. Visi BBPascapanen dirumuskan sebagai berikut: Menjadi institusi utama dan andalan nasional dalam penelitian dan pengembangan inovasi teknologi pascapanen pertanian. Visi tersebut merupakan pandangan jauh ke depan, ke mana dan bagaimana meletakkan BB-Pascapanen pada landasan SDM yang kuat, disertai kebijakan penelitian dan pengembangan yang jelas dan terarah agar BB-Pascapanen memiliki posisi strategis bagi peningkatan daya saing sistem dan usaha agrabisnis yang berbasis inovasi teknologi. BB-Pascapanen harus mampu menjadi institusi yang memiliki kompetensi di bidang penelitian dan pengembangan pascapanen untuk mendukung dinamika dan nilai-nilai pembangunan pertanian. Harapan tersebut merupakan suatu kondisi yang menantang di masa depan baik cita, citra yang ingin diwujudkan mengingat situasi dan kondisi yang dihadapi saat ini. Untuk mewujudkan visi yang telah dirumuskan, maka disusun misi sebagai suatu kesatuan gerak dan langkah dalam mencapai visi. Dalam merumuskan misi ada 2 (dua) kepentingan yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu: (1) kepentingan internal (competence quality dan commitment growth) dan, (2) kepentingan eksternal (masyarakat/ stakeholders). Misi yang dirumuskan berkaitan erat dengan lembaga, karena keberhasilan organisasi akan diukur
6
dari keberhasilan misinya. Adapun rumusan Misi BB-Pascapanen adalah sebagai berikut: 1. Menciptakan inovasi teknologi pascapanen pertanian dalam rangka peningkatan nilai tambah hasil pertanian; 2. Melakukan pengembangan dan penyebarluasan inovasi teknologi dan rekomendasi kebijakan pascapanen pertanian sesuai dinamika kebutuhan pengguna; 3. Membangun
jaringan
kerjasama
nasional
dan
internasional
untuk
meningkatkan citra BB-Pascapanen; 4. Mengembangkan sistem kelembagaan dan kompetensi sumberdaya untuk meningkatkan kinerja institusi agar mampu memberikan pelayanan prima.
B. PENDEKATAN STRATEGIS Tahun 2004 merupakan tahun transisi perubahan Balai Penelitian Pascapanen Pertanian (Balitpasca) menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB-Pascapanen), serta periode transisi berakhirnya RIPP Balitpasca 2002–2004, yang akan dilanjutkan dengan Renstra BB-Pascapanen 2005–2009. Program yang dilaksanakan oleh BB-Pascapanen pada TA. 2004 merupakan pelaksanaan Tupoksi Balitpasca, karena kegiatan TA 2004 disusun pada tahun 2002. BB-Pascapanen sebagai salah satu institusi penelitian, dalam penyusunan program-program penelitian tidak terlepas dari perkembangan kebijakan Iptek Nasional. Adanya UU No. 18/2002 mengenai Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek, menimbulkan paradigma baru sebagai berikut: (a) kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga tingkat pusat
dan
daerah
lebih
digalakkan;
(b)
kerjasama
penelitian
dan
pengembangan antara lembaga publik dan swasta lebih dirangsang; (c) kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga nasional dan internasional memperoleh peluang lebih besar.
7
Kegiatan pascapanen merupakan bagian integral dari pengembangan sistem pertanian secara keseluruhan, yang dimulai dari aspek produksi bahan mentah hingga pemasaran produk akhir. Sejalan dengan hal itu, keberadaan BB-Pascapanen dalam melaksanakan tupoksinya sangat terkait dengan mandat unit kerja lainnya dibawah Badan Litbang Pertanian, seperti dengan Balai Penelitian Komoditas dalam mengembangkan hasil pertanian yang berkualitas, dengan Pusat Litbang Sosial Ekonomi Pertanian dalam aspek pemasaran, dan dengan Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian dalam aspek penggunaan alat-alat pengolahan. Pada tahun-tahun awal pelaksanaan program penelitian pascapanen (2002–2004),
prioritas
kegiatan
penelitian
diarahkan
kepada
perakitan
komponen dan scale up teknologi yang sudah tersedia untuk menghasilkan model agroindustri yang mempunyai daya saing tinggi melalui konsep pengolahan terpadu, sehingga dalam waktu yang relatif singkat teknologi yang dihasilkan
dapat
diimplementasikan
di
lapangan.
Untuk
mempertajam
pencapaian sasaran penelitian, maka kegiatan penelitian yang dilaksanakan dalam periode tersebut ditentukan berdasarkan kriteria : a. Hasil penelitian akan memberi nilai tambah yang tinggi. b. Adanya permintaan yang tinggi terhadap produk baik di dalam negeri maupun untuk kebutuhan ekspor. c. Ketersediaan mitra dalam pengembangan atau adopsi teknologi yang dihasilkan serta menunjang program pengembangan kawasan ekonomi terpadu, baik dari Direktorat Teknis maupun Pemerintah Daerah. d. Ketersediaan bahan baku atau sifat strategis dari komoditas dan luas pertanamannya. e. Peluang keberhasilan penelitian dipandang dari ketersediaan tenaga peneliti, keahlian, dan fasilitas yang diperlukan.
8
C. PROGRAM PENELITIAN 2002 - 2004 Selama periode tahun 2002-2004, telah ditetapkan Program Utama Penelitian Pascapanen jangka menengah sebagai berikut:
1. Program penelitian menyediakan teknologi pangan alternatif Tujuan program penelitian adalah dapat memenuhi kebutuhan pangan melalui diversifikasi produk, khususnya berbahan baku non-beras. Sasaran
produk
diarahkan
pada
penyiapan
bahan
pangan
untuk
masyarakat kurang gizi, balita, kecukupan gizi dan pangan untuk keadaan darurat (instan). Penelitian juga diarahkan untuk mengangkat bahan pangan tradisional menjadi bahan pangan yang bermutu dengan citra tinggi.
2. Program penelitian peningkatan pemanfaatan hasil dan limbah pertanian Program penelitian
ini
bertujuan
untuk
menampung
berbagai
penelitian yang bersifat visioner dan eksploratif dalam usaha peningkatan nilai tambah komoditas pertanian, baik dari produk yang sudah ada, maupun penanganan bahan baku dan limbah pertanian, sehingga dapat lebih bermanfaat bagi industri pangan, kosmetik dan farmasi. Kegiatan penelitian ini dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi kimia, biofisika dan bioproses.
3. Program penelitian peningkatan daya saing produk segar dan olahan hasil pertanian Proram penelitian ini bertujuan meningkatkan daya saing produk melalui perbaikan mutu, efisiensi proses, penciptaan model agroindustri terpadu,
perakitan
dan
peningkatan
skala
komponen
teknologi
pascapanen. Kegiatan penelitian menyangkut pengamatan terhadap aspek
tekno-sosio-ekonomis
bagi
kelayakan
operasi
dan
panduan
komponen teknologi pascapanen yang telah dihasilkan.
9
4. Program penelitian mendukung pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan Penelitian ini bertujuan mengembangkan sistem manajemen mutu yang sesuai bagi agroindustri berbasis komoditas unggulan Indonesia untuk dapat bersaing sehubungan dengan masuknya produk impor. Penelitian diarahkan pada pengembangan sistem mutu dan pengawasan terhadap keamanan pangan yang dapat diterapkan pada model agroindustri, khususnya skala UKM.
5. Program diseminasi hasil penelitian untuk percepatan pengembangan agroindusri Program ini merupakan upaya penyampaian inovasi teknologi pascapanen yang dihasilkan kepada pengguna, seperti petani, pengusaha dan pemerintah yang dilakukan melalui berbagai medium dan cara. Kerjasama internal unit penelitian lingkup Badan Litbang Pertanian dan instansi terkait di daerah akan dilakukan untuk mendapatkan umpan balik bagi teknologi yang diintroduksi.
10
HASIL KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN A. PROGRAM PENYEDIAAN TEKNOLOGI PANGAN ALTERNATIF 1. Penelitian Pengembangan Teknologi Pangan Berbasis Sagu, Sukun dan Labu Kuning
Sagu Sagu dinilai sebagai salah satu pangan pokok di Kawasan Timur Indonesia. Namun tidak dapat dipungkiri, sebagai pangan pokok, sagu masih menempati posisi di bawah beras atau terigu. Oleh karena itu produk olahan sagu perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keinginan masyarakat. Saat ini konsumen cenderung menginginkan produk yang sifatnya fleksibel, mudah dikonsumsi atau disajikan tanpa menimbulkan kesan inferior. Pada penelitian ini dilakukan perbaikan teknologi pembuatan mi sagu dan teknologi pembuatan sagu bakar. Pada penelitian tahun 2004, telah diperoleh karakteristik pati sagu dari Palopo Sulawesi Selatan yang diolah menjadi mi dan sagu lempeng. Pati sagu mempunyai kandungan air 12,47 %, kadar abu 0,29 %, lemak 0,53 %, protein 0,26 % dan amilosa 35,03 %.
Mi sagu Produk pangan olahan dalam bentuk mi merupakan salah satu produk yang dapat memenuhi selera konsumen. Pembuatan mi dari bahan baku pati sagu (Metroxylon Sp) agak berbeda dengan pembuatan mi dari bahan terigu. Berbeda dengan terigu, pati sagu tidak memiliki gluten dan hal ini mengakibatkan adonan agak sulit ditangani. Pembuatan mi sagu diawali
dengan
pembuatan
binder
yaitu
berupa pati
tergelatinasi.
Selanjutnya pati kering, ditambahkan ke dalamnya sambil diaduk hingga terbentuk adonan licin. Adonan dicetak, direbus, direndam dan ditiriskan serta dilumuri dengan minyak sayur agar tidak lengket. Penelitian untuk
11
memperbaiki mutu mi sagu dilakukan antara lain dengan perbaikan teknologi pengolahan dan mengurangi penggunaan aditif, sehingga menghasilkan mi sagu yang disukai konsumen dan produknya tidak berbau. Pada penelitian ini, mi yang dihasilkan dalam keadaan kering. Sebelum dikeringkan, mi diperam terlebih dahulu selama sekitar 24 jam di ruangan yang berbeda kondisinya. Ruang pemeraman adalah “Freezer”, “Cool Room” dan “Refrigerator”. Mi yang tidak diperam digunakan sebagai kontrol. Perlakuan pemeraman mengakibatkan perbedaan beberapa sifat fisik mi pati sagu terutama warna, lama waktu perebusan dan tekstur mi setelah direhidrasi. Sedangkan komposisi kimia mi sagu tidak dipengaruhi oleh perlakuan pemeraman. Warna mi lebih cerah diperoleh pada kondisi pemeraman di dalam freezer, sedangkan pemeraman di dalam cool room atau refrigerator menghaslkan mi yang warnanya sebanding dengan perlakuan kontrol (tanpa pemeraman). Waktu perebusan paling singkat (sekitar 7 menit) diperoleh pada mi sagu yang selama proses mengalami pemeraman di cool room. Perbedaan perlakuan pemeraman tidak mengakibatkan perbedaan cooking losses dan kapasitas pengembangan produk. Cooking losses dan kapasitas pengembangan mi sagu adalah 0,66-0,89% dan 238-257%. Mi yang tidak diperam dan yang diperam dalam cool room bersifat lebih tidak mudah patah dibanding mi yang diperan di dalam freezer maupun di dalam refrigerator. Perlakuan pemeraman mengakibatkan tekstur mi setelah rehidrasi menjadi relatif lebih mudah patah dibandingkan mi yang tidak menerima perlakuan pemeraman. Meskipun secara obyektif terdapat perbedaan warna mi dan tekstur mi (setelah rehidrasi), namun perbedaan tersebut tidak terdeteksi oleh panelis. Kadar RS (resistant starch) tidak banyak dipengaruhi oleh perlakuan pemeraman. Secara keseluruhan kadar RS di dalam mi sagu lebih besar (4-5 kali) dibanding mi instan (terigu). Pemeraman di dalam cool room dianggap paling baik karena menghasilkan mi yang cukup kuat serta membutuhkan waktu perebusan paling singkat.
12
Sebagai pangan pokok, mi sagu dikonsumsi bersamaan dengan bahan pangan lainnya agar diperoleh zat gizi yang memadai. Beberapa resep
olahan
mi
sagu
dikembangkan
dan
enam
diantaranya
dikembangkan lebih lanjut karena terbukti diminati oleh panelis. Resep yang dikembangkan kemudian dihitung nilai gizinya dengan bantuan Daftar Komposisi Bahan Makanan. 1. Mi sagu saus daging mempunyai kandungan kalori 160,4 kal dan protein 6,07 g; 2. Martabak mi sagu mempunyai kandungan kalori 159,2 kal dan protein 7,5 g; 3. Mi sagu sop asam pedas mempunyai kandungan kalori 147,7 kal dan protein 5,8 g; 4. Mi silet mempunyai kandungan kalori 214,9 kal dan protein 7,0 g; 5. Skutel mi sagu mempunyai kandungan kalori 221,5 kal dan protein 11,8 g; 6. Mi sagu bumbu kacang mempunyai kandungan kalori 338,6 kal dan protein 5,6 g. Mi sagu yang diperkenalkan di Masamba dan Makassar diterima oleh lebih dari 70% responden anak-anak, orang dewasa dan rumah tangga. Mi sagu yang diperkenalkan dapat memberikan kontribusi sekitar 7 % terhadap kebutuhan kalori anak usia sekolah. Mi memberikan kontribusi kalori 3 % berdasarkan angka kecukupan kalori rata-rata yaitu 2500 kalori.
Sagu bakar Secara tradisional, sagu bakar/sagu lempeng dibuat dengan cara memanaskan adonan secara langsung di dalam cetakan yang dibuat dari tanah liat. Cara ini seringkali kurang praktis.
Dalam penelitian ini proses
pembuatan sagu bakar dimodifikasi dengan cara memanaskan adonan secara tidak langsung di dalam cetakan kemudian dipanggang di dalam oven.
13
Pembakaran tidak langsung di dalam oven pada suhu 200 oC selama 5 menit
menghasilkan sagu
lempeng yang kompak dan
matang.
Pengembangan formula sagu lempeng dengan menambahkan bahanbahan lain yaitu susu skim dan madu (Formula I), susu skim dan gula pasir (Formula II), pisang dan gula (Formula III), pure labu kuning dan garam (Formula IV) serta pasta kacang hijau (Formula V) berpengaruh sangat nyata
terhadap
sifat
fisik
dan
komposisi
kimianya.
Formula
dapat
menambah pilihan/alternatif sagu lempeng dengan beberapa cita rasa. Sagu lempeng yang diperkaya dengan bahan-bahan lain (Formula I, II, III, IV dan V) memiliki warna lebih cerah dibanding sagu lempeng tanpa penambahan bahan lain (Formula Standar). Sagu lempeng Formula I, II dan III memiliki tekstur lebih lunak dan daya serap air lebih kecil (kurang dari 0,6 g/g) dibanding sagu lempeng Formula standar atau Formula IV dan V. Nilai aw sagu lempeng Formula I, II dan III juga kecil (kurang dari 0,60), sehingga dapat disimpan lebih lama dibanding Formula Standar maupun Formula IV dan V. Kadar protein di dalam sagu lempeng yang mengandung susu skim (Formula I dan II) atau kacang hijau (Formula V) mengandung protein masing-masing sekitar 4% dan 7%. Kadar protein dalam formula lainnya kurang dari 1%. Sagu lempeng yang mengandung kacang hijau memiliki rasa yang paling disukai oleh panelis, namun karena nilai aw cukup tinggi maka formula ini tidak tahan simpan.
Gambar 1.
Contoh Produk mi sagu yang disajikan dengan sop asam pedas untuk meningkatkan rasa dan kandungan gizinya
14
Sukun Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik sifat fisiko-kimia bahan mentah dan tepung sukun dari berbagai varietas di Indonesia, dan mengembangkan
produk
olahan
dari
bahan
tepung
sukun,
serta
mengidentifikasi potensi lokasi untuk penerapan model agroindustri tepung sukun. Rendemen tepung sukun yang diperoleh sebesar 21–23%. Buah sukun yang sudah dalam bentuk tepung mempunyai daya simpan yang lebih lama, lebih mudah dalam pengemasan dan penyimpanan, serta lebih mudah untuk diolah menjadi berbagai produk olahan lain. Hasil analisis terhadap sifat amilografi tepung sukun menunjukkan viskositas puncaknya lebih dari 1.000 BU. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tepung sukun mempunyai daya mengembang lebih baik dari terigu. Tepung sukun dapat dimanfaatkan untuk mensubstitusi tepung terigu sampai 40% dalam formulasi mi. Dalam proses pembuatan tepung sukun masih diperlukan perbaikan teknologi sebelum diaplikasikan di lapangan. Hal ini mengingat sifat sukun segar mudah terjadi pencoklatan setelah proses pengupasan yang akan mempengaruhi mutu tepung sukun. Diperlukan langkah optimal untuk mencegah pencoklatan selain diperlukan proses yang cepat untuk pengupasan.
Pengupasan
dilakukan
dengan
alat
pengupas
sukun,
kemudian langsung direndam air menghindari proses oksidasi. Perlu juga proses pengepresan untuk mengurangi air dan enzim poliphenolase, serta untuk mempercepat dalam pengeringan. Pada penelitian ini, telah dirancang teknologi proses pengeringan untuk mencapai kadar air kurang dari 14%. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah lama pengeringan (39, 45, dan 51 menit) dan lama spin (5, 10 dan 15 menit). Perlakuan tersebut memberikan pengaruh terhadap sifat kimiawi, fisik dan amilografi tepung sukun. Dengan perlakuan lama spin 10-15 menit dan lama pengeringan 39-51 menit pada suhu 650C menghasilkan rendemen, derajat patah, kehalusan dan viskositas tepung sukun paling baik.
15
Pengembangan produk berbasis sukun Produk kue kering, untuk pembuatan kue kering dari bahan tepung sukun sampai 20% masih diterima konsumen, namun di atas 20%, kue kurang disukai konsumen. Hasil uji organoliptik menunjukkan bahwa warna, penampakan dan kesukaan produk sampai subtitusi tepung kasava 20% masih disukai panelis, sedangkan masih adanya rasa pahit, aroma sukun menyebabkan kurang disukai panelis. Produk Roti, dari bahan substitusi tepung sukun pada terigu masih disukai panelis. Perbandingan terigu dengan tepung sukun menunjukkan formula 90:10. Hasil organoleptik roti sukun dengan bahan baku substitusi tepung pada terigu sampai 10% masih disukai panelis. Parameter yang mempengaruhi tingkat kesukaan panelis pada produk roti terutama karena semakin banyak substitusi tepung sukun produk roti kurang mekar dan aroma senyawa pada sukun semakin tajam dan tidak disukai panelis. Produk ekstrudat, produk ekstrusi tepung sukun dibuat dengan menggunakan alat ekstruder berulir tunggal. Ekstruder ini bekerja secara termodinamik dimana alat ini menghasilkan panas sendiri melalui konversi energi mekanik selama proses pengaliran bahan. Pemanasan awal dilakukan pada sekitar lubang "die". Kadar air awal bahan 18-20%, suhu selama
proses
150-178oC,
melalui
corong
pemasukan
bahan
akan
tercampur oleh ulir yang bergerak ke arah depan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula campuran tepung jagung dibanding tepung sukun dengan perbandingan 75:25 menghasilkan produk ekstrudat seperti pellet yang disukai oleh panelis. Uji preferensi konsumen dan pemasaran terhadap produk tepung sukun dan produk olahannya dilakukan melalui survey di Kabupaten Kediri. Untuk menarik konsumen, dilakukan uji klinis yang menghasilkan informasi tentang khasiat tepung sukun untuk menurunkan asam urat Dari hasil uji klinis menunjukkan bahwa pemberian ekstrak buah sukun dosis sedang (1,08 g/ 200 g berat badan tikus) dapat menurunkan kadar
16
asam urat darah sampai 0,925 mg/dl, selanjutnya untuk dosis rendah (0,54 g/ 200 g berat badan tikus) menurunkan asam urat sampai 0,66 mg/dl dan dosis tinggi (2,16 g/ 200 g berat badan tikus) dapat menurunkan asam urat sampai 0,3 mg/dl. Bila dibandingkan dengan pembanding (kontrol positif) yaitu allopurinol dengan dosis 5,4 mg/ 200 berat badan tikus dapat menurunkan asam urat sampai 2 mg/dl, berarti kemampuan ekstrak buah sukun untuk menanggulangi masalah asam urat lebih kecil dibanding dengan obat sintetis yang mengandung senyawa aktif allopurinol.
Pengembangan sistem kelembagaan agroindustri sukun Pada proses produksi bahan baku buah sukun dilakukan oleh petani sukun, sedangkan proses produksi tepung sukun dilakukan oleh Kelompok Tani "Laju Makmur". Kelompok wanita tani memproduksi hasil olahan pangan dari bahan baku tepung tersebut dan memasarkannya melalui tempat pemasaran yang khusus dibuat oleh kelompok tani. Instansi pemerintah sebagai fasilitator membantu dalam pembinaan pelaksanaan usaha agroindustri tepung sukun tersebut. Pembangunan industri pengolahan tepung sukun skala menengah diawali dengan membangun kelembagaan antar stakeholder. Dilakukan kesepakatan antara BB-Pascapanen dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan (Pemda Kabupaten Kediri) untuk menciptakan pasar produk-produk olahan dari bahan baku sukun sebagai "produk untuk oleh-oleh" khas Kabupaten Kediri. Jenis produk olahan sukun yang diproduksi antara lain kue kering (kue gabus, kue keju, kue gapit dan kue kering rasa coklat), kripik dan stik sukun. Labu Kuning Hasil penelitian terhadap analisis sifat fisik labu kuning untuk mengetahui pengaruh tingkat kematangan terhadap karakteristik fisik labu kuning. Perubahan fisik yang umum terjadi selama proses pematangan adalah perubahan warna kulit dan daging buah. Perubahan ini terjadi
17
karena perombakan pigmen klorofil. Hilangnya warna hijau pada kulit menjadi kuning disebabkan oleh struktur pigmen klorofil terdegradasi yang kemudian diikuti dengan pembentukan atau munculnya pigmen berwarna kuning sampai merah. Struktur sel kulit labu selama pematangan juga mengalami perubahan semakin keras, karena adanya sekumpulan sel-sel sklerenkim yang mengalami penebalan. Selain itu juga terbentuk lapisan lilin yang semakin tebal karena terjadi polimerisasi asam-asam hidrokarboksilat dengan beberapa kelompok senyawa yang dapat diesterkan. Hasil analisis skrining fitokimia labu kuning segar menunjukkan bahwa bahan aktif yang ada pada bagian buah, kulit dan biji labu kuning adalah alkaloid dan saponin. Hasil analisa secara kualitatif dengan reaksi warna menunjukkan bahwa kandungan bahan aktif pada bagian buah lebih tinggi dibandingkan pada kulit dan biji. Hal ini ditunjukkan dengan kepekatan warna yang dihasilkan pada saat reaksi warna berdasarkan asumsi warna yang lebih pekat berarti mengandung kadar bahan aktif yang lebih tinggi. Hasil analisis kandungan gizi labu kuning menunjukkan kandungan protein labu kuning cenderung mengalami penurunan selama proses pematangan buah (1,27-0,81%), sedangkan kadar lemak dan serat kasar mengalami peningkatan (0,20-0,43%) dan kadar pati selama proses pematangan cenderung mengalami penurunan (21,63-10,56%), hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan aktivitas enzim α-amilase yang menghidrolisis pati menjadi bentuk lebih sederhana. Kadar pektin selama proses pematangan ternyata tidak mengalami perubahan yang berarti (+ 6,90%). Hasil analisis terhadap kandungan vitamin A menunjukkan bahwa kadar vitamin A selama proses pematangan mengalami peningkatan (435992 IU/100 g). Penelitian mempersiapkan
pembuatan labu
kuning
produk sebagai
setengah
jadi
bahan
baku
bertujuan produk
untuk olahan,
penyimpanan bahan baku yang relatif lebih lama, serta lebih praktis pada saat membuat produk. Produk intermediate labu kuning dikembangkan
18
dalam bentuk puree dan tepung labu kuning. Penelitian pengolahan puree labu
kuning
dititikberatkan
pada
daya
simpan
produk.
Untuk
memperpanjang daya simpan digunakan pengawet yang terdiri atas tiga jenis yaitu bisulfit, benzoat dan potassium sorbat dengan konsentrasi 0,05%; 0,10% dan 0,15% dengan suhu penyimpanan yang berbeda yaitu suhu lemari es (5oC) dan suhu kamar (27-280C). Metode pembuatan puree labu kuning yang digunakan, yaitu (1) pengawet yang dicampur setelah labu kuning dihaluskan, dan (2) pengawet yang digunakan sebagai cairan perendam labu sebelum diblansir. Berdasarkan hasil uji fisik menunjukkan bahwa puree dengan metode kedua memiliki ciri fisik yang lebih baik dibandingkan metode 1, yaitu pada penyimpanan minggu kelima warna orange puree yang disimpan pada suhu dingin lebih cerah, cairan yang terpisah dari padatan puree labu hanya sedikit demikian pula
halnya
dengan pembentukan gas. Perubahan kadar air mengalami peningkatan selama penyimpanan 5 minggu, sedangkan kadar air pada penyimpanan di suhu dingin relatif tetap. Peningkatan kadar lemak pada puree yang disimpan di suhu dingin lebih rendah dibandingkan kadar lemak puree labu yang disimpan di suhu kamar. Sementara itu kadar abu dan kadar protein relatif tetap. Tingkat kecerahan warna puree labu setelah 5 minggu baik pada penyimpanan suhu dingin maupun suhu ruang tampak menurun, namun penurunan tingkat kecerahan warna puree pada suhu dingin tidak sebesar pada suhu ruang. Pada derajat kemerahan warna puree, beberapa perlakuan menunjukkan adanya perubahan warna dari kuning kemerahan menuju warna kuning keputih-putihan. Berdasarkan uji hedonik terhadap warna, tampak bahwa pada pengamatan minggu ke-0 pada suhu dingin maupun suhu ruang panelis menyukai warna puree labu pada taraf kesukaan 3,4 dengan penggunaan pengawet benzoat 0,05% dan bisulfit 0,15% dan tidak menyukai puree (1,8) pada penggunaan pengawet bisulfit 0,05%. Sedangkan kesukaan panelis terhadap aroma puree pada suhu dingin maupun suhu ruang adalah 3,2
19
pada penggunaan bisulfit 0,05% dan terendah (2,4) pada penggunaan sorbat 0,15%. Pengamatan uji kesukaan warna puree pada minggu kelima, menunjukan panelis menyukai (3,8) dengan penggunaan sorbat 0,15% dan benzoat 0,10% pada penyimpanan suhu dingin dengan intensitas warna 2,7; panelis tidak menyukai warna puree (1,5) dengan penggunaan pengawet bisulfit 0,05%. Pada suhu ruang, warna puree disukai (3,9) pada penggunaan sorbat 0,15% dengan intensitas warna 2,7; dan panelis tidak menyukai warna puree (1,80 pada penggunaan sorbat 0,05% dan 0,10%. Kesukaan terhadap aroma puree pada pengamatan minggu kelima adalah disukai (2,9) dengan penggunaan pengawet bisulfit 0,15% pada penyimpanan di suhu dingin dengan intensitas aroma 2,1; panelis tidak menyukai puree (2,0) pada penggunaan benzoat 0,05%. Sedangkan pada suhu ruang aroma puree disukai (2,8) dengan penggunaan benzoat 0,10% dan intensitas 2,1; panelis tidak menyukai aroma puree (1,5) pada penggunaan bisulfit 0,05% dengan intensitas 1,5. Penelitian pembuatan tepung labu kuning dilakukan dengan 3 perlakuan
yaitu
buah
labu
kuning
yang
dikuliti
dan
tidak
dikuliti,
menggunakan kapur dengan konsentrasi 0,15% dan 0,20% dengan lama perendaman 1 dan 2 jam. Rendemen tepung labu kuning yang tidak dikuliti berkisar antara 8,95% sampai 10,05%, lebih tinggi dibandingkan dengan tepung
tanpa
kulit
yaitu
6,27%
sampai
6,58%.
Lama
perendaman
mempengaruhi kadar air tepung. Perendaman 2 jam memberikan kadar air lebih kecil dibandingkan dengan perendaman 1 jam. Lama perendaman akan meningkatkan kekerasan bahan karena akan terjadi ikatan antara kalsium dengan pektin dalam buah sehingga terbentuk kalsium pektat yang keras dan mudah dikeringkan. Air kapur adalah sumber ion kalsium yang secara kimia akan berikatan dengan pektin dalam labu kuning membentuk kalsium pektat sehingga produk menjadi renyah. Kalsium pektat ditemukan pada semua buah dan sayuran serta merupakan sifat fitokimia yang penting
20
dan bertanggung jawab terhadap sifat kerenyahan, sehingga menimbulkan rasa yang enak dari buah dan sayuran. Menurut hasil penelitian oleh USDA, kalsium pektat dalam pencernaan akan mengikat asam empedu sehingga menginduksi pengurangan sejumlah asam yang terbentuk dari kolesterol. Tubuh selanjutnya akan mengeluarkan kolesterol dari darah untuk membuat lebih banyak asam empedu untuk pencernaan. Labu kuning yang berasal dari daerah yang berbeda menghasilkan nilai analisis proksimat yang berbeda. Labu kuning dari gunung Sindoro Jawa Tengah mempunyai kandungan protein, lemak dan serat kasar yang lebih tinggi dibandingan labu kuning dari Cimande Bogor dan Barru Sulawesi Selatan.
Perbedaan
ini
dapat
digunakan
sebagai
petunjuk
dalam
pembuatan berbagai jenis produk olahan yang diinginkan. Produk diet yang membutuhkan kadar serat kasar tinggi akan lebih baik bila menggunakan labu kuning asal gunung Sindoro. Labu yang berasal dari Barru mempunyai karakter kandungan gula yang lebih tinggi, sehingga mempunyai rasa yang lebih manis dibandingkan labu kuning lainnya Penelitian pengembangan produk olahan labu kuning mencakup dua kegiatan yaitu produk olahan berbasis puree labu kuning dan berbasis tepung labu kuning. Produk olahan berbasis puree labu kuning yang dikembangkan adalah agar/jelly labu kuning dan es krim sedangkan produk yang dikembangkan berbasis tepung labu kuning adalah serbuk instan labu kuning. Penelitian
pembuatan
agar
labu
kuning
dititikberatkan
pada
banyaknya puree labu kuning yang digunakan, yaitu 12,5%, 25% dan 37,5% serta jenis pengental (karagenan dan agar). Penggunaan puree sampai dengan 37,5% hasilnya menunjukkan bahwa produk belum memiliki karakter khas labu kuning (aroma, rasa), sehingga dicoba penambahan puree sampai 45%. Pembuatan jelly dengan menggunakan kombinasi karagenan dan agar masing-masing F1: 2% & 0%, F2: 2% & 2%, F3: 2% & 1% dan F4: 1% & 2% menunjukkan bahwa dari segi kekenyalan dan kepadatan produk F1
21
lebih lembek (masih cair) dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan F2 adalah jelly yang sangat keras. Hasil uji oleh panelis menunjukkan F4 memiliki tingkat kekenyalan dan kepadatan yang lebih disukai. Berdasarkan rasa, jelly F1 masih terdeteksi rasa pahit dan getir dari getah labu kuning, sedangkan jelly F4 lebih disukai dibandingkan F1, F2, dan F3. Tampaknya pada
formula
yang
lebih
banyak
mengandung
karagenan,
jelly
menunjukkan rasa pahit dan agak getir. Penelitian es krim terdiri atas dua perlakuan yaitu konsentrasi puree (50%, 60% dan 75%) dan jenis pati (pati jagung dan pati sagu). Hasil uji organoleptik terhadap sampel dengan konsentrasi pengental pati jagung dan arorut masing-masing 0,3; 0,4 dan 0,5% dengan konsentrasi labu kuning 50% menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai es krim dengan konsentrasi bahan pengental 0,4%. Hal ini disebabkan karena pengental pati jagung memiliki tekstur yang halus. Penambahan pati bertujuan untuk bahan pengental, amilosa yang merupakan salah satu komponen pati berperan dalam proses gelatinisasi. Lemak susu (krim) dalam pembuatan es krim berfungsi untuk memberi tekstur yang baik dan memberi ketahanan terhadap pelelehan es. Sifat lemak susu yang lunak juga dapat menghalang-halangi terbentuknya kristal-kristal es yang besar selama proses pembekuan. Bagian lain berupa bahan padatan susu tanpa lemak (skim) dalam pembuatan es krim berfungsi untuk menambah rasa, menurunkan titik beku dan meningkatkan kekentalan. Dalam jumlah yang lebih banyak dapat menyebabkan es krim menjadi lebih lambat meleleh. Laktosa di dalamnya selain memberi rasa manis juga dapat menurunkan titik beku, sedangkan proteinnya berfungsi menambah nilai gizi, memperbaiki cita rasa, membentuk pembuihan, pengikatan air dan tekstur menjadi lembut. Hasil analisis terhadap serbuk instan labu kuning yang dibuat menggunakan alat pengering mollen dryer menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi suhu dan kecepatan putar mollen dryer tidak mempengaruhi
22
seluruh parameter yang diamati serta tidak saling berinteraksi. Secara tunggal perlakuan suhu berpengaruh terhadap nilai kelarutan, perlakuan kecepatan putar berpengaruh terhadap total gula, serta perbedaan kelompok mempengaruhi nilai densitas kamba serbuk instan labu kuning. Tampak
bahwa
nilai
kelarutan
instan
labu
kuning
yang
dibuat
menggunakan suhu pengeringan 60oC lebih tinggi dibandingkan instan dengan suhu 70oC. Kecepatan putar mollen dryer 17 rpm mempunyai total gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan 12 rpm. Sedangkan labu kuning dari kelompok II memiliki densitas kamba lebih tinggi dibandingkan serbuk instan dari kelompok labu I.
Gambar 2.
a
b
c
d
Produk olahan labu kuning: a. Bahan labu, b. Puree labu kuning, c. Agar labu kuning, d. Tepung instan labu kuning.
B. PROGRAM PENINGKATAN DAYA SAING PRODUK SEGAR DAN OLAHAN HASIL PERTANIAN
1. Penelitian Pengembangan Produk Bunga Kering dan Ekstraksi Minyak Bunga Bunga Kering Alam tropika menyediakan berjenis-jenis tanaman berbunga dan berdaun indah yang sangat menarik untuk dijadikan ornamen maupun penghias lingkungan kantor, rumah tinggal maupun hotel. Kelemahannya bunga dan daun potong segar tidak tahan lama, sehingga hanya dapat dinikmati keindahannya dalam waktu yang singkat. Untuk mempertahankan keindahannya agar dapat dinikmati lebih lama, perlu diupayakan melalui pengawetan antara lain dengan pengeringan. Ada beberapa metode untuk mengawetkan bunga dengan pengeringan yaitu: pengeringan sederhana, pengeringan dengan media pengering, dan pengeringan yang didahului dengan pemberian formula pengisi. Setiap metode memberikan keindahan tersendiri. Formula yang akan digunakan sebagai bahan pengisi adalah formula pengawet (formula I) dari Balai Penelitian Tanaman Hias. Formula tersebut telah mampu memberikan penampakkan bunga kering tetap segar, tetapi kelemahannya bunga kering tersebut menyerap air bila disimpan di ruang yang memiliki kelembaban di atas 70 %, sehingga kelopak bunga menjadi lembek dan lemas. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan formula yang dapat memperbaiki tekstur bunga kering. Formula I ditambah pengencer dari satu bagian sampai enam bagian kemudian ditambah gula dengan dosis: 0%, 1%, 2% dan 3%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mawar kering dengan penambahan satu bagian formula I ditambah gula 1-3% memberikan penambahan yang terbaik. Selain itu semakin sedikit penambahan pengencer kelopak bunga terasa makin tebal. Bunga anyelir kering dengan perlakuan yang sama dengan bunga mawar hasilnya menunjukkan bahwa perlakuan satu bagian formula I ditambah 3–6 bagian pelarut ditambah gula 1–3%, menghasilkan warna
24
yang kuat. Untuk perlakuan satu bagian formula I ditambah 1–2 bagian pelarut ditambah gula 1–3% menghasilkan warna yang pudar. Pengeringan dengan silica gel terhadap beberapa jenis-jenis bunga hasilnya bunga yang berbentuk terompet seperti kamboja Jepang (Adenium), kembang sepatu, anggrek Dendrobium dan lain-lain bentuknya dapat dipertahankan, demikian juga dengan mawar hibrida seperti first red, kiss, papilon dan baby rose. Anyelir dari stadium kuncup sampai mekar penuh bentuknya dapat dipertahankan. Bunga dengan warna kuat seperti merah dan ungu tua jika dikeringkan dengan gel silika lebih tahan lama terhadap sinar langsung dibandingkan dengan bunga berwarna lembut. Pengeringan bunga anyelir dengan gel silika pada suhu ruang selama 7 hari dan suhu 500C selama 23 jam memberikan penampakan warna yang menarik tidak terlalu berbeda dengan warna segarnya, susut ukuran relatif kecil
(11,95–30,57%).
menghasilkan
warna
Sedangkan ke
arah
pengeringan
coklat.
dengan
Walaupun
microwave
bentuknya
dapat
dipertahankan, warnanya sangat tidak menarik. Pengeringan bunga mawar dengan gel silika di suhu ruang selama 7 hari, suhu 500C selama 23 jam, maupun microwave selama 8 menit, warna kuat dan susut ukuran tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun untuk warna yang lembut pengeringan dengan microwave menghasilkan warna yang berkesan kotor. Warnanya menjadi coklat kotor seperti bunga menjelang busuk. Pengeringan bunga krisan dengan gel silika terhadap beberapa jenis krisan hasilnya menunjukkan bahwa bunga krisan dengan susunan petal selapis bentuknya lebih dapat dipertahankan dibandingkan bunga krisan dengan susunan petal berlapis-lapis yang menghasilkan bentuk yang tidak kompak. Warna dapat dipertahankan, untuk krisan puma kering susut ukuran berkisar
16,66–33,33%;
bentuk
tetap
kompak
dan
warna
dapat
dipertahankan.
25
Ekstraksi Minyak Bunga Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan minyak bunga alamiah dari bunga khas Indonesia, antara lain melati, mawar dan sedap malam. Ekstraksi minyak bunga melati dan mawar dapat meningkatkan nilai tambahnya, karena berpeluang untuk mengisi kebutuhan industri parfum dan kosmetik. Tujuan penelitian untuk memperoleh rangkaian taknologi ekstraksi yang sesuai untuk produksi minyak bunga melati dan mawar, dan dapat dikembangkan untuk mendukung agroindustri skala UKM. Tahapan proses ekstraksi minyak bunga terdiri atas ekstraksi, leaching dan evaporasi. Kegiatan penelitian meliputi efisiensi penggunaan pelarut, ekstraksi minyak bunga skala pilot, analisis tekno-ekonomi dan ekstraksi minyak bunga mawar.
Percobaan ekstraksi minyak bunga mawar Penelitian ekstraksi minyak bunga mawar menggunakan leaching apparatus
kapasitas
3.000
g.
Pelarut
hasil
leaching
dievaporasi
menggunakan alat evaporator kapasitas 20 liter sampai 75% pelarut teruapkan, kemudian dilanjutkan penguapannya menggunakan evaporator vakum sampai berbentuk concrete dan absolut. Bunga mawar yang digunakan mawar merah dan mawar putih asal Bandungan Semarang (Jawa Tengah), dan mawar pink asal Boyolali. Bunga mawar putih asal Bandungan Semarang (Jawa Tengah) setelah diekstrak menghasilkan rendemen concrete lebih tinggi dibandingkan mawar merah yang berasal dari Bandungan dan mawar pink asal Boyolali. Rendemen concrete bunga mawar berkisar antara 0,18% - 0,28% dari 3000 g bunga yang digunakan. Untuk ekstraksi satu kali bunga mawar pink dihasilkan
concrete
0,22%,
sedangkan
bunga
mawar
merah
asal
Bandungan menghasilkan concrete 0,18%. Untuk perlakuan ekstraksi dua kali, ke dua jenis bunga mawar tersebut menghasilkan rendemen concrete
26
relatif sama,
mawar merah (5,28 g/3.000 g bunga) dan mawar putih (5,25
g/3.000 g bunga). Jumlah kehilangan pelarut heksan pada proses ekstraksi dua kali lebih besar dibandingkan ekstraksi satu kali (21,97%-26,54%). Hasil recovery pelarut pada perlakuan ekstraksi dua kali lebih kecil dibandingkan ekstrkasi satu kali (73,44%-78,03%). Kehilangan pelarut yang besar akan memperbesar biaya produksi minyak mawar. Heksan hasil recovery dapat digunakan kembali untuk proses ekstraksi.
Perbaikan teknologi ekstraksi minyak bunga melati Penelitian ekstraksi minyak bunga melati dimulai sejak tahun 2002–2004. Inovasi teknologi ekstraksi minyak melati dikembangkan bekerjasama dengan pihak swasta. Dalam hal ini BB-Pascapanen hanya berperan menyediakan teknologi, sedangkan produksi dan pemasaran dilakukan oleh pihak swasta. Pihak petani dan kelompok tani tidak terlibat secara langsung, hanya dampaknya bagi petani bila teknologi ini berkembang, dapat menyerap produksi bunga melati yang selama ini sangat tergantung pada satu pihak yaitu pabrik teh melati. Teknologi ekstraksi yang dikembangkan dapat menekan kehilangan produk dan pelarut, sehingga dapat diperoleh rendemen dan mutu minyak yang tinggi. Dengan waktu ekstraksi 20 menit (satu kali ekstraksi), rendemen concrete mencapai 0,383%. Pencucian ampas yang diikuti ekstraksi lanjutan mampu meningkatkan rendemen hingga 0,408%. Kehilangan pelarut heksan selama proses ekstraksi berkisar antara 10,31% - 19,18%, dengan jumlah recovery pelarut berkisar antara 80,82% 89,69%. Dari total kehilangan pelarut selama proses, jumlah kehilangan pelarut terbesar adalah pada saat proses leaching (10%-15%), sedangkan kehilangan pelarut pada saat proses evaporasi berkisar antara 2,83%-7,10%. Hal ini disebabkan karena pemisahan pelarut dari ampas bunga masih
27
dilakukan secara manual, sehingga hasilnya belum optimal. Pemerasan dilakukan dengan memasukkan ampas bunga kedalam. Leaching apparatus dapat berfungsi dengan baik. Jumlah pelarut yang hilang selama proses leaching dapat ditekan, sehingga jumlah pelarut untuk diproses lebih lanjut menjadi minyak bunga melati lebih banyak. Jumlah heksan yang hilang selama proses leaching berkisar antara 7%-10%. Dengan diperbaiki sistem pendingin, kehilangan pelarut selama proses dapat ditekan yaitu turun menjadi 4, 5-6%. Kehilangan pelarut yang besar dapat menyebabkan biaya operasional bertambah besar, karena heksan yang hilang selama proses merupakan salah satu komponen biaya produksi pada pembuatan minyak bunga melati.
Gambar 3.
Alat leaching yang dikembangkan pada proses ekstraksi minyak bunga melati
Perbandingan bunga dan pelarut 1 : 2,5 dapat meningkatkan rendemen concrete melati yang dihasilkan. Kombinasi perbandingan bunga dan pelarut 1 : 2,5 dan lama leaching 20 menit menghasilkan rendemen concrete tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya (0,33%) dan terendah diperoleh pada perlakuan lama leaching 40 menit dan perbandingan
bunga dan pelarut 1 : 2 (0,13%). Semakin lama waktu leaching, jumlah pelarut yang hilang semakin besar. Kehilangan pelarut selama leaching berkisar antara 1250 cc – 1900 cc atau 5,81% - 9,53% untuk sekali proses. Waktu leaching 20 menit menghasilkan kehilangan pelarut paling sedikit (1250 cc dan 1350cc atau 5,05% dan 5,81%) dibandingkan waktu leaching 30 menit dan 40 menit. Walaupun kehilangan pelarut paling kecil, namun waktu leaching 20 menit menghasilkan rendemen concrete paling tinggi. Selain hasil concrete yang lebih tinggi, waktu yang lebih singkat dapat menekan biaya proses pada pembuatan minyak melati. Penambahan waktu proses berarti penambahan biaya pada pemakaian listrik. Waktu leaching 30 menit dan 40 menit menghasilkan kehilangan pelarut yang tidak begitu banyak perbedannya. Kehilangan pelarut berkisar antara 1660 cc – 2050 cc (6,21% -9,53%).
Gambar 4. Evaporator vakum kapasitas 10 liter yang dikembangkan pada ekstraksi minyak bunga melati
proses
Hasil uji proses bunga sebanyak 50 kg dengan 2-3 tahapan proses leaching (15 kg, 15 - 20 kg, 20 - 30 kg) dengan lama leaching masingmasing 20 menit diperoleh hasil, jumlah kehilangan pelarut selama proses leaching sebanyak 9,14%. Proses evaporasi pelarut sampai menjadi concrete dibutuhkan waktu 13 jam dengan kecepatan evaporasi rata-rata
8-9,6 liter per jam. Proses lebih lanjut menjadi absolut diperoleh dari 50 kg bunga melati yang diproses dihasilkan absolut sebanyak 52,99 gram atau 0,105% dari berat bunga yang digunakan atau 30,28% dari total berat concrete yang diporses. Kehilangan pelarut selama evaporasi selama 13 jam sebanyak 3,19% dan concrete yang dihasilkan sebanyak 0,32-0,35% dari berat bunga yang digunakan.
Teknoekonomi Analisis teknoekonomi dilakukan untuk mengetahui biaya produksi minyak melati menggunakan ekstraksi dengan pelarut menguap heksan. Biaya dihitung berdasarkan biaya produksi 1000 kg/ton per bulan, harga bunga melati Rp.10.000/kg, dengan hasil concrete sebanyak 3500 gr dan absolut 1100 gr. Proses dilakukan menggunakan alat leaching dan evaporator vakum skala pilot. Dengan asumsi, proses leaching dilakukan tiga hari sekali, jumlah bunga yang diproses sebanyak 100 kg/hari, waktu proses
leaching 4-5 jam. Penguapan pelarut menggunakan evaportor
vakum kapasitas 10 liter dilakukan setiap hari selama 13 jam, dengan jumlah recovery pelarut sebanyak 100 liter/hari. Dalam setahun produksi hanya 5 bulan. Dari perhitungan teknoekonomi diperoleh B/C concrete 1,11 dan B/C absolut 1,02.
2. Penelitian Produksi Sayuran Instan Melalui Teknologi Far Infra Red (FIR) (20032004) Komoditas sayuran merupakan produk yang mudah rusak. Dalam penanganan pascapanen sayuran diperlukan teknologi pengeringan dengan
akumulasi
proses
yang
mampu
mempertahankan
atau
meminimalkan perubahan kandungan nutrisi, vitamin, aroma, rasa dan sifat rehidrasinya. Teknologi pengeringan dengan memanfaatkan radiasi dengan panjang gelombang lebih besar dari infrared dan lebih kecil dari microwave, yaitu radiasi Far Infrared (FIR) panjang gelombang 25-1000µm
30
(Hashimoto, 1992), merupakan terobosan teknologi pengeringan dengan perubahan karakteristik fisik dan kimia secara minimal. Penelitian produksi sayuran kering melalui teknologi Far Infrared (FIR) tahun 2004 sebagai kelanjutan tahun 2003 dan bertujuan untuk : (1) Mengoptimalkan
model
awal
teknologi
proses FIR; (2)
Mempelajari
karakteristik lanjutan fisikokimia dan fungsional sayuran segar dan kering; (3) Studi orientasi dan analisis kelayakan ekonomi untuk penerapan teknologi FIR skala ekonomi. Optimasi unit proses dalam kegiatan penelitian tahun 2004 telah menghasilkan teridentifikasinya kondisi operasional terbaik. Percobaan pengeringan teknologi FIR pada tahun 2003 suhu dapat memperbesar selang pengering dari kisaran 950-1500C menjadi 500C hingga 1500C (Tabel 1). Kisaran suhu yang rendah diperoleh dengan mengganti radiator FIR dari tipe WS 1201 dengan kapasitas termal 3900 Kkal/jam menjadi radiator tipe WS 601 dengan kapasitas termal 2000 Kkal/jam. Suhu operasional pengering dapat dikendalikan dengan penggunaan thermostat (50-1500C) untuk mencegah terjadinya kegosongan (over heating), sehingga kualitas hasil pengeringan
dapat
ditingkatkan.
Hasil
penelitian
model
optimal
penggunaan alat pengering FIR-KR2 menunjukkan bahwa suhu rata-rata 600C dicapai dengan mengatur suplai bahan bakar gas secara sentral. Penggunaan suhu 600C menghasilkan produk hasil pengeringan tanpa ada yang gosong. Pengendalian suhu pengering telah menghemat konsumsi bahan bakar LPG yang digunakan pada alat model FIR-KR1 dari 0,5 kg/jam menjadi 0,25 kg/jam setelah dilakukan optimasi pada alat yang baru. Pengaturan suhu dilakukan tergantung jenis dan karakteristik bahan yang akan dikeringkan, tetapi secara umum suhu yang diperlukan untuk pengeringan sayuran berkisar 50-600C. Optimasi unit proses dengan melakukan pengaturan kecepatan konveyor yang menggunakan puly statis diubah
menjadi
dinamis
dengan
menggunakan
speed
regulator.
31
Penggunaan regulator tersebut dapat mengubah kecepatan konveyor dengan kisaran kecepatan 0,01 m/s sampai 0,17 m/s.
Tabel 1. Komponen dan spesifikasi teknologi FIR model dikembangkan BB-Pascapanen No Komponen Spesifikasi Model Awal KR1 1 Nama Alat FIR-KR1 1 kg/jam 2 Kapasitas (kg input/jam) 3 Bahan bakar LPG 4 Konsumsi bahan bakar 0,5 kg/jam - Dimensi body (P x L x T) 300 x 40 x 75 cm - Panjang lintasan 3m - Lebar lintasan 40 cm 5 Model lintasan Lurus 6 Tenaga penggerak 1 hp 7 Sistem transmisi Vanbelt dan rantai 8 Jumlah radiator/model 2 buah/WS-1201 9 Kapasitas energi tiap radiator 3900 Kkal/jam 10 Kiasran temperatur (0C) 95-1500C
KR1 dan KR2
yang
Spesifikasi Model Optimasi KR2 FIR-KR2 5 kg/jam LPG 0,17 kg/jam 300 x 250 x 75 cm 12 m 40 cm Oval (kontinyu) 1 hp Vanbelt dan rantai 8 buah/WS-601 2000 Kkal/jam 50-1500C
Pengeringan sayuran bawang putih, bayam, seledri, cabe merah dan jamur merang melalui teknologi FIR ditempuh dalam waktu yang relatif singkat dan bervariasi yaitu antara 12 sampai 100 menit. Rendemen bahan sayuran kering terhadap bahan segar diperoleh dengan kisaran antara 8,9% sampai 24,4%. Bayam dan seledri memerlukan waktu pengeringan masingmasing 12 dan 20 menit. Pengeringan bawang putih, jamur merang dan cabe merah memerlukan waktu masing-masing 56, 60 dan 100 menit. Adanya perbedaan waktu pengeringan ini diantaranya karena faktor kadar air awal, ketebalan irisan dan bentuk strukturnya dari komoditas tersebut tidak sama. Kapasitas penyerapan air sayuran kering (rehidrasi) ditentukan dengan perendaman dalam air pada suhu 75-80oC dengan lama waktu ditentukan berdasar penambahan volume bahan kering (swelling). Rehidrasi sayuran kering bervariasi dan dapat mencapai 60-90% dari keadaan normalnya dengan waktu proses berkisar 3,5 hingga 6,51 menit. Bayam dan seledri
32
masing-masing memerlukan waktu 3,56 menit dan 4,52 menit. Sedangkan bawang putih, Jamur merang, dan cabe merah memerlukan waktu rehidrasi hampir sama yaitu sekitar 6-7 menit. Sifat rehidrasi tiap komoditas berbeda karena waktu dan kapasitas penyerapan air partikel, porositas dan tingkat kadar air keseimbangan untuk tiap komoditas tidak sama. Proses pengeringan dapat mempengaruhi kualitas bahan yang dikeringkan, seperti klorofil a dan b merupakan pigmen yang dominan terdapat pada sayuran hijau. Pigmen ini rentan terhadap perubahan fisik dan kimia selama pengolahan sayuran (Chen & Chen, 1993). Kadar klorofil pada sayuran kering akan mengalami penurunan setelah dikeringkan (Tabel 2). Perubahan yang terjadi pada seledri relatif kecil dibandingkan dengan yang lain. Sedangkan bayam sangat peka terhadap pemanasan sehingga terlihat penurunan yang cukup signifikan, walaupun secara visual relatif stabil.
Hal ini terjadi seperti yang dinyatakan Schwartz & Lorenzo (1991)
bahwa
jumlah klorofil yang tertinggal
selama pengolahan sayuran
tergantung pada suhu dan lamanya pemanasan. Volatile Reducing Substance (VRS) merupakan zat-zat yang mudah menguap dalam suatu bahan atau produk yang mudah direduksi yaitu senyawa sulfur seperti profil sulfur dan profenil sulfur dan aldehid seperti asetadelhid dan propanoldehid. Semakin tinggi kadar VRS pada suatu bahan
menunjukkan
pengeringan,
mutu
biasanya
yang
kadar
semakin
VRS
suatu
baik.
Dengan
bahan
akan
perlakuan mengalami
penurunan. Hasil pengeringan dengan FIR pada suhu 60OC, telah menurunkan kadar VRS. Kadar VRS seledri dan bayam kering tidak terjadi penurunan yang signifikan dibandingkan dengan bawang putih, jamur merang dan cabai merah yang penurunannya mencapai lebih dari 50%. Walaupun terdapat penurunan, tingkat kehilangannya masih menunjukkan aroma representatif secara visual (Tabel 2). Hal ini diduga lama pengeringan mempengaruhi kadar VRS pada sayuran kering tersebut.Proses pengeringan
33
dapat mempengaruhi penampakan dan aroma yang disebabkan oleh kehilangan volatil atau pembentukan volatil baru sebagai akibat dari reaksi oksidasi ataupun reaksi esterifikasi (Diaz-Maroto, et.al., 2002). Selain itu perendaman dalam larutan natrium bisulfit juga diduga ikut berperan dalam penurunan kadar VRS.
Tabel 2. Hasil analisa mutu pada sayuran dalam keadaan segar dan kering yang dikeringkan dengan teknologi FIR Komponen Mutu Sayuran Segar Klorofil Vitamin C VRS (mg/g) (mg/100g) (ppm) 1 Seledri 15,00 14,47 89,02 2 Jamur 1,25 6,58 12,61 3 Cabe merah 3,92 72,18 114,29 4 Bayam 25,07 82,42 13,94 5 Bawang putih 0,05 18,53 17,89 Sayuran Kering 1. Seledri 11,14 3,5 55,83 2. Jamur 1,52 x 10-6 5,1 x 10-3 3. Cabe merah 51,3 62 4. Bayam 6,45 43 11,58 5. Bawang Putih 0,03 1,8 5,86 Warna merupakan komponen penting dalam menentukan mutu sayuran kering. Tingkat kecerahan warna (L) pada bayam dan seledri kering mengalami pengeringan
kenaikan
dari
menyebabkan
bahan
segarnya.
terjadinya
Hal
degradasi
ini
diduga
senyawa
proses klorofil,
pergeseran pigmen warna hijau pada bayam dan seledri tersebut memberikan resultante/akumulasi penampilan warna pudar sehingga pada kromameter terukur sebagai warna yang lebih terang/cerah (L). Hal ini terjadi karena degradasi zat hijau daun (klorofil) pada bayam dan terbentuknya turunan-turunan klorofil (Von Elbec et,al., 1986).
Warna
kecoklatan pada jamur merang dan bawang putih kering memberikan indikasi terjadinya browning, proses pengeringan akan menghasilkan perubahan pigmen putih menjadi lebih pudar ke arah kuning yaitu nilai b
34
yang semakin besar. Khusus untuk cabe merah walaupun terdapat perubahan, secara visual masih terlihat cerah. Sayuran kering hasil pengeringan dengan teknologi FIR pada kondisi optimal dijadikan bahan untuk penelitian daya simpan.
Penelitian daya
simpan sayuran yang telah diketahui karakteristik fisikokimianya dilakukan dalam tiga kemasan (alumunium foil, polyethilene 0,1 mm dan 0,3 mm) dan ditempatkan pada ruang dengan AC (suhu 20-21oC; RH 63-85%) dan suhu ruang kamar (suhu 24-28oC; RH 79-92%). Penyimpanan dilakukan selama 8 minggu dengan tiga kali pengamatan
mutu pada awal penyimpanan,
serta setelah 4 dan 8 minggu. Hasil akhir setelah penyimpanan 8 minggu menunjukkan bahwa pada semua perlakuan seledri kering semakin hijau. Hal ini tidak dapat diartikan sebagai peningkatan kadar klorofil, tetapi kemungkinannya adalah adanya proses oksidasi atau reaksi non enzimatis pada komponen zat warna seledri kering yang menyebabkan warna seledri kering menjadi lebih gelap. Warna bayam
kering
cenderung
menurun.
Perubahan
warna
tersebut
kemungkinan terjadi karena adanya pencoklatan non enzimatis dan proses oksidasi (Saravagos, 1993). Sedangkan tingkat warna kuning pada jamur kering cenderung meningkat. Demikian juga kecerahan cabe merah kering cenderung menurun. Secara umum terjadinya transfer uap air dan migrasi komponen bahan kemasan turut mempengaruhi warna bayam kering selama penyimpanan. Dari tiga kemasan yang dipergunakan, aluminium foil menunjukkan hasil yang terbaik. Hasil analisis karakteristik fisik dan kimia sayuran kering menunjukkan bahwa teknologi FIR yang telah diaplikasikan pada bawang putih, seledri, bayam, cabe dan jamur dapat menurunkan kadar air dalam jangka waktu singkat tetapi dapat menekan kehilangan komponen mutu sayuran seperti kadar klorofil, vitamin C dan kandungan senyawa volatil (VRS).
Inovasi
teknologi FIR ini telah terdaftar HAKI-nya dengan nomor permohonan paten S00200400184.
Penggunaan teknologi FIR
sangat prospektif dan mulai
35
diminati untuk pengeringan bahan-bahan yang mengandung komponen aktif yang berkhasiat untuk kesehatan.
a. Pengering teknologi FIR dengan konveyor berjalan lurus
b. Pengering teknologi FIR dengan model oval
Gambar 5.
Dua model alat pengering teknologi FIR, a. Tipe konveyor lurus, b. Tipe konveyor oval
Hasil analisis ekonomi pengeringan sayuran dengan Teknologi FIR telah dilakukan dengan beberapa asumsi yaitu harga alat, harga produk, umur teknis alat, harga jual produk, bunga bank, upah tenaga kerja, dan jumlah hari operasional dalam satu tahun. Keuntungan yang diperoleh untuk jamur kering sebesar Rp. 31.040.000,- dan berada diurutan ketiga setelah bawang putih dan cabe yang memberikan keuntungan dengan nilai Rp. 58.040.000,dan Rp. 53.540.000,-. Keuntungan pada bawang putih yang besar dikarenakan nilai jual bawang putih kering yang cukup tinggi karena dapat digunakan di industri farmasi. Sedangkan nilai keuntungan jamur yang relatif kecil disebabkan rendemennya yang sangat rendah yaitu sekitar 10%. Keuntungan yang diperoleh produk seledri kering sebesar Rp.26.540.000,dan berada diurutan terakhir dalam memberikan keuntungan usaha
dibandingkan 4 komoditas sayuran lainnya. Sedangkan keuntungan usaha bayam yaitu sebesar Rp. 22.040.000,- B/C rasio dan produksi dari bawang putih dan cabe merah adalah 1,75 dan 1,78 sedangkan B/C rasio usaha jamur, seledri dan bayam yaitu masing-masing sebesar 1,4; 1,39 dan 1,37. Dengan demikian usaha pengeringan sayuran dengan teknologi FIR ini relatif layak untuk dikembangkan sebagai bidang usaha bagi kelompok usaha kecil menengah.
3. Penelitian Teknologi Pengolahan Puree Mangga dan Sirsak Skala Komersial Puree merupakan produk antara dari pengolahan buah-buahan, dan merupakan bahan baku industri jus, sirup serta industri pangan lainnya. Produk berbentuk puree akan memudahkan dalam transportasi, mutu produk lebih konsisten, dan daya simpan lebih lama, sehingga kontinuitas bahan baku untuk industri lanjutan dapat terjamin. Penelitian ini dimulai sejak tahun 2002 hingga 2004. Kegiatan penelitian pada tahun 2004 bertujuan menyempurnakan teknologi proses puree mangga dan sirsak, dan menguji model agroindustri pengolahan puree yang telah terelokasi di lapang baik dari aspek teknis maupun ekonomis. Rangkaian proses produksi yang dikembangkan yaitu: pemeraman, pencucian, sortasi, pengupasan dan perajangan, pulping, penyaringan, mixing, pasteurisasi dan packaging. Standar produk puree mangga sebagai berikut: TSS 40oBrix, kalium sorbat 0,1%, pH 3,7 dan vitamin C 0,2%. Pasteurisasi dilakukan pada suhu 80 oC
selama 14,45 menit. Produk puree mangga harus disimpan pada suhu
sejuk (<26 oC). Puree mangga (20 oBrix) yang dipasteurisasi pada suhu 65 oC selama 15 menit dan disimpan pada suhu 7oC, memiliki daya simpan hingga 14,3
bulan.
Rekomendasi
proses
untuk
puree
buah
sirsak
adalah
penambahan gula sampai dengan 40oBrix, kalium sorbat 0,1%, pH 3,7, dan vitamin C 0,2% dengan penurunan kualitas warna sangat kecil. Model agroindustri tersebut dibangun di sentra produksi mangga di Kabupaten Cirebon, dengan kapasitas 500 kg buah mangga per jam
37
dengan rendemen puree 50 %. Inovasi teknologi pada model agroindustri puree mangga ini merupakan teknologi pengolahan puree mangga skala kecil-menengah yang sesuai untuk dikembangkan di pedesaan (Gambar 6). Selain aspek teknologi, juga dilakukan pembinaan manajemen usaha agroindustri,
sehingga
pendapatan
dari
diharapkan
usahataninya
petani
(on
farm)
tidak
hanya
tetapi
juga
memperoleh dari
usaha
pengolahan puree-nya. Pengembangan model agroindustri puree mangga ini berkerjasama dengan Pemda Kabupaten Cirebon dan CV. Promindo Utama, yang akan mendukung pendanaan pembangunan pabrik mini (Gambar 7). Pihak Kementerian Negara Riset dan Teknologi juga telah menyediakan dana ventura (melalui program Start-Up Capital) untuk mendukung pengembangan model agroindustri puree mangga tersebut.
No Pendaftaran Merek di Dirjen HKI: D002005-002189
Gambar 6.
Unit pengolahan puree mangga dikembangkan BB-Pascapanen
skala
500
kg/jam
yang
Dampak dari kerjasama pengembangan agroindustri puree mangga yang diharapkan adalah meningkatnya pendapatan petani dengan
terjadinya peningkatan
harga
mangga di
petani, dan
pembagian
keuntungan dari pemilik saham di unit pengolahan. Puree dapat dipasarkan dengan harga Rp. 20.000/kg, jauh di atas biaya produksi Rp. 15.000/kg. Diluar musim mangga, model agroindustri ini dapat dimanfaatkan untuk pengolahan puree sirsak, jambu biji dan strawbery. Produk puree dari model agroindustri tersebut telah mulai dipasarkan dengan merk PURESSO. Model agroindustri puree dengan merk dagang PURESSO telah mendaftarkan dengan nomor merk dagang D002005-002189 P-IRI
serta
mendapatkan sertifikasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon dengan nomor P-IRT 213320903813. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian juga telah mendaftarkan mesin pulper untuk mendapakan paten dengan nomor pendaftaran S0020040004. Beberapa pengusaha seperti PT B, PT SF dan importir dari Jepang pada saat ini sedang dalam proses evaluasi pasar untuk menampung produk puree. Kemitraan lainnya yang sedang dalam penjajakan adalah permintaan dari sebuah LSM di Bali dan BPTP Jawa Tengah. Sedangkan Dinas Perindustrian dan Agro Bogor pada saat ini berencana
menerapkan model agroindustri puree
untuk dikembangkan dengan komoditas jambu biji pada areal 80 ha di wilayah Cilebut dan Citayam serta Tanah Sareal. Pengalihan Saham Pemerintah
Saham
Pembinaan Bahan baku
PETANI
income
Teknologi P roses Manajemen Usaha
PEMDA
Saham
-Kelembagaan -Dana
BB - PASCAPANEN
MODEL AGROINDUSTRI PUREE MANGGATERPADU
KEMENTERIAN RISTEK Start up Capital
income
MITRA USAHA CV. Promindo Utama
Saham PASAR -Sarana -Pengelola
Produk
Gambar 7. Pola kerjasama pengembangan model agroindustri puree mangga
4. Penelitian Model Agroindustri Pengolahan Mete Terpadu Saat ini mutu kacang mete hasil olahan petani masih rendah, baik dari aspek penampakan (warna kusam, kotor dan keriput) maupun dari tingkat keutuhannya (hanya mampu menghasilkan 55-60% kacang utuh). Hasil penelitian sebelumnya (skala bangsal) menunjukkan bahwa penerapan teknologi pengolahan kacang mete melalui proses pengukusan dan penggunaan alat pengupas (kacip) tipe MM-99 mampu meningkatkan kadar kacang utuh hingga 85-90%, yang disertai perbaikan penampakan dan higienitas produk. Melalui teknologi ini petani mete dapat memperoleh nilai tambah sebesar 27% per kg gelondong mete. Disamping itu, kulit mete yang merupakan limbah hasil pengupasan kacang mete umumnya belum dimanfaatkan oleh petani. Padahal dari kulit mete tersebut dapat dihasilkan minyak yang disebut Cashew Nut Shell Liquid (CNSL) dan produk turunannya yang bernilai ekonomi. Untuk meningkatkan nilai tambah dari pengolahan gelondong mete, penelitian ini pada dasarnya terbagi dua, yaitu pengembangan teknologi pengolahan kacang mete dan pengepresan CNSL di lapangan, serta penelitian
pengolahan
CNSL
dan
produk
turunannya
pada
skala
laboratorium. Dalam hal ini, untuk kegiatan penelitian pengembangan (di lapangan) dilakukan bekerjasama dengan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur.
Penelitian Pengembangan Teknologi pengolahan kacang
mete dan
pengepresan CNSL di Lapangan Sebagai persiapan proses produksi dalam rangka pengembangan model agroindustri mete terpadu, telah dilakukan penelitian (sosialisasi teknologi) pengolahan kacang mete dan uji coba pengepresan kulit mete terhadap kelompok petani pengolah mete yang berasal dari Desa Ketapang Laok dan Banyusokah, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, Madura. Di Sampang terdapat delapan kelompok petani
40
pengolah mete yang tersebar di Desa Ketapang Laok dan Banyusokah, masing-masing beranggotakan rata-rata 50 orang yang sebagian besar wanita. Mengingat belum tersedianya ruang khusus pengoperasian unit pengolah, pelatihan pengolahan kacang mete dilakukan di Kantor Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sampang. Persiapan dan pelatihan dilakukan selama tiga hari, yaitu dari tanggal 30 Agustus sampai dengan 1 September 2004 dan diikuti oleh 25 orang peserta (Gambar 8). Secara teknis peserta
mudah
dan
dapat
beradaptasi
dengan
teknologi
yang
disosialisasikan. Peserta tidak mengalami kesulitan dalam menggunakan kacip MM-99 dan persentase kacang mete utuh yang dihasilkan cukup tinggi, yaitu ±80%. Angka tersebut masih dapat ditingkatkan mengingat bahan (gelondong mete) yang dikupas tidak pada kondisi optimum. Menurut prosedur standar yang direkomendasikan, gelondong mete yang digunakan seharusnya telah dikeringkan (dijemur) selama tiga hari. Kenyataannya bahan yang digunakan peserta adalah gelondong kering panen satu hari penjemuran. Akibatnya, proses pengupasan sesudah pengukusan tidak optimal, karena kulit gelondong masih mengandung air yang cukup tinggi (kekerasan kulit yang diinginkan agar lebih mudah dikupas tidak tercapai).
Gambar 8. Kegiatan pelatihan pengupasan gelondong mete kerjasama pengembangan agroindustri mete dengan Pemda Jatim Walaupun
sebagian
dilakukan secara mekanis
besar
tahapan
pengolahan
kacang
mete
(hal baru bagi para petani), secara umum
41
peserta pelatihan tidak mengalami kesulitan dalam pengoperasian alat-alat tersebut. Pada proses pengukusan, dengan sumber uap berasal dari boiler (tekanan 1,3 atm selama 10 menit) tidak terdapat kendala yang timbul, demikian pula pada proses pengeringan kacang mete menggunakan pengering tipe rak. Pada proses pengupasan kulit ari juga tidak dijumpai permasalahan karena peserta sudah terbiasa melakukan kegiatan tersebut sebagaimana cara pengolahan tradisional. Hal baru lainnya yang dilakukan pada pelatihan ini yaitu pembersihan kernel (kacang ose) dengan menggunakan kuas sehingga diperoleh produk yang bersih dan mulus. Selanjutnya
dipraktekkan
cara
pengemasan
kacang
ose
dengan
menggunakan vaccum sealer. Pada tahap ini pun peserta sudah dapat melakukannya dengan baik. Uji coba pengepresan kulit mete untuk mendapatkan CNSL dilakukan di Desa Banyusokah dengan menggunakan alat press tipe screw, yang berkapasitas 700-1000 kg kulit mete per hari (Gambar 9). Pada uji coba ini masih ditemukan kendala, yaitu terjadinya penyumbatan pada saringan sehingga minyak tidak keluar secara sempurna. Setelah kemudian di perbaiki
diperoleh
peningkatan
hasil
namun
masih
belum
optimal.
Berdasarkan uji coba yang berulang kali, disimpulkan bahwa saringan perlu diganti dengan mengurangi satu lapisan rangkapnya, sehingga yang akan digunakan untuk produksi adalah saringan rangkap dua (mesh 70).
Gambar 9. Uji coba pengepresan kulit mete dengan alat tipe screw bagian dari kerjasama pengembangan agroindustri mete terpadu dengan Pemda Jatim
42
Penelitian
pengolahan
CNSL
dan
produk
turunannya
pada
skala
laboratorium Kegiatan
penelitian
ini
dimaksudkan
untuk
mendukung
pengembangan teknologi pengepresan kulit mete (CNSL) yang dilakukan di lapangan. Penelitian ini terbagi ke dalam empat kegiatan, yaitu (i) optimasi kondisi ekstraksi CNSL dari kulit mete, (ii) pemanfaatan CNSL sebagai bahan baku cat, (iii) pembuatan vernis dengan bahan baku resin dari kardanol, dan (iv) pemanfaatan CNSL sebagai bahan aktif dalam obat nyamuk bakar.
1. Optimasi kondisi ekstraksi CNSL dari kulit mete Pada penelitian ini bahan baku (kulit mete) yang digunakan berasal dari empat daerah sentra mete, yaitu Wonogiri (Jawa Tengah), Bima (NTB), Sampang (Madura, Jawa Timur), dan Pangkep (Sulawesi Selatan). Secara umum, pengepresan tiga kali pada setiap contoh akan menaikkan rendemen CNSL secara nyata. Namun lonjakan peningkatan rendemen CNSL terjadi pada dua kali pengepresan yaitu 4,55-6,38%. Selanjutnya pada pengepresan tiga kali peningkatan jumlah cairan yang diperoleh semakin kecil. Pada uji coba dengan empat kali pengepresan cairan minyak yang keluar
sudah
tidak
efektif,
bahkan
terjadi
kemacetan
pada
alat
pengepresan. Rendemen CNSL yang diperoleh dari kulit mete berbagai daerah (tiga kali pengepresan) berkisar 18,43 – 21,60%. Rendemen tertinggi diperoleh dari kulit mete yang berasal dari daerah Wonogiri dan terendah berasal dari Pangkep (Sulsel). Sifat-sifat fisiko-kimia dari keempat contoh bahan tersebut menunjukkan bahwa bobot jenis untuk bahan asal Wonogiri (1,0159 g/ml), Bima (1,0167g/ml) dan Sampang (1,0169 g/ml) hampir tidak berbeda, sedangkan yang berasal dari Pangkep (1,0670 g/ml) menunjukkan nilai yang lebih besar. Bilangan asam terendah berasal dari contoh Pangkep (93,95) dan diikuti oleh Bima (101,48), sedangkan contoh yang berasal dari Wonogiri
43
(107,71) dan Sampang (106,63) hampir tidak berbeda. Untuk bilangan iod nilai terendah berasal dari contoh Pangkep (181,54) dan tertinggi Wonogiri (186,71). Sementera itu, bilangan iod CNSL dari Sampang dan Bima, masingmasing yaitu 183,83 dan 185,82. Bilangan iod pada CNSL berhubungan dengan kandungan senyawa tidak jenuh, bila nilai ini semakin tinggi maka semakin tinggi pula kandungan senyawa tidak jenuhnya. Perbedaan yang terjadi baik pada rendemen CNSL yang diperoleh maupun sifat-sifat fisikokimia antara lain disebabkan perbedaan varitas maupun agroklimat dimana tanaman tumbuh.
Pemanfaatan CNSL sebagai bahan baku cat Komponen utama penyusun CNSL terdiri atas asam anakardat, kardanol dan kardol. Komponen-komponen ini merupakan senyawa fenolik yang mempunyai ikatan rangkap pada rantai sampingnya. Senyawa kardanol mempunyai struktur kimia yang mirip dengan fenol, sehingga berpeluang dimanfaatkan untuk mensubstitusi senyawa fenol, diantaranya dalam produk resin fenolik sebagai bahan baku cat. Senyawa kardanol memiliki rantai samping tak jenuh (C15) pada posisi meta dari inti fenolnya, yang merupakan pembedanya dari senyawa fenol. Komposisi kimia CNSL tersebut dipengaruhi oleh komponen asam anakardat yang bersifat termolabil, dan akan terdekomposisi menjadi kardanol dan karbon dioksida akibat pengaruh pemanasan. Penelitian pemanfaatan CNSL sebagai bahan baku cat dilakukan dalam dua percobaan yaitu: (1) pembuatan cat dengan bahan baku CNSL yang telah terdekarboksilasi dan (2) pembuatan cat dengan bahan baku kardanol dari CNSL. Formulasi cat yang diperoleh dari CNSL dekarboksilasi menunjukkan bahwa pada hasil pengujian daya
lentur
menunjukkan
bahwa semua
sampel memiliki cat yang lentur. Daya lekat cat terbaik diperoleh dari sampel (suhu formulasi resin 800C, dan perbandingan mol formaldehida
44
terhadap total fenolik 1,2 : 1), dengan daya lekat yang diperoleh termasuk ke
dalam
kategori
3
B
(5–15%
mengelupas).
Pengujian
kekerasan
menunjukkan bahwa cat yang dihasilkan memiliki kekerasan yang kurang baik. Cat yang diperoleh memiliki karakteristik sebagai berikut: bobot jenis (28oC) 1,0734, kadar padatan 62,46 % dan bahan menguap 37,54 % ; nilai tersebut sesuai dengan SNI 06-05-03-1989. Viskositas cat yang dihasilkan masih berada di atas SNI 70 – 85 KU, mengakibatkan aplikasi cat pada permukaan menjadi sulit, tetapi dapat diatasi dengan penambahan pelarut. Untuk pembuatan cat berbahan baku kardanol, terlebih dahulu dilakukan pemisahan kardanol dari CNSL. Kardanol dipisahkan dengan metode distilasi vakum. Tahap pertama CNSL dipanaskan pada suhu 140oC selama 1 jam, sehingga asam anakardat berubah menjadi kardanol, kemudian kardanol dipisahkan dengan metode destilasi vakum pada suhu 280oC dengan tekanan vakum (4-8 mmHg). Hasil yang diperoleh 74 % distilat (kardanol) dan 26 % sisa destilasi berupa cairan kental berwarna hitam dikenal dengan nama residol. Formulasi cat dari kardanol yang terbaik memiliki berat jenis 0,96 g/ml yang lebih rendah dari SNI 06-05-03-1989 (minimum 1,1 g/ml) namun lebih tinggi dari cat komersial (0,95 g/ml). Kadar padatan total bahan menguap cat berturut-turut 57,41 % dan 42,60 % yang memenuhi SNI (minimum 20 %) dan lebih tinggi dibandingkan cat komersial. Waktu mengering sentuh cat 5,25 jam dan mengering keras 24 jam yang belum memenuhi SNI (maksimum 3 jam dan 8 jam). Waktu kering sentuh cat komersial 3 jam, lebih cepat dibandingkan cat yang dihasilkan, sedangkan waktu kering kerasnya sama. Daya kilap cat 96,2 % yang jauh lebih tinggi dari cat komesial (75%). Ketahanan gores dan ketahanan pelarut lebih baik dibandingkan cat komersial. Namun daya lekat dan lentur cat masih kurang baik. Cat yang dihasilkan sebaiknya digunakan sebagai cat akhir (top coat)
45
Hasil evaluasi dari kedua jenis bahan baku cat (CNSL dekarboksilasi dan kardanol), terlihat formulasi cat dengan bahan baku kardanol mutunya lebih baik dibandingkan formulasi cat dengan bahan bahan baku CNSL dekarboksilasi. Mutu cat yang dihasilkan dari percobaan ini masih perlu ditingkatkan.
Pembuatan vernis dengan bahan baku resin dari kardanol Pada penelitian ini kardanol (komponen utama CNSL) dimanfaatkan untuk mensubstitusi fenol dalam resin fenolik, yang akan digunakan sebagai bahan baku vernis. Karakteristik resin kardanol formaldehida (viskositas dan kadar padatan) dipengaruhi baik oleh nisbah molar kardanol dengan formaldehida (F/P) maupun pH reaksi. Viskositas resin semakin meningkat dengan semakin tingginya nisbah molar. Hal yang sama juga terjadi pada kadar padatan resin. Viskositas resin yang dihasilkan dari pH reaksi 2 memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pH 3 dan pH 4. Viskositas resin yang terlalu tinggi tidak dikehendaki karena kelarutan resin menjadi berkurang dan mempersulit
pemrosesan
selanjutnya.
Tingginya
viskositas
resin
yang
dihasilkan dari pH 2, diduga disebabkan oleh adanya reaksi samping selama proses resinifikasi, yaitu polimerisasi melalui ikatan rangkap pada rantai samping kardanol. Seluruh resin yang dihasilkan diformulasi menjadi vernis dengan menambahkan bahan aditif, antara lain bahan pengering dan pelarut. Pengujian film vernis terdiri atas pengujian kuantitatif
(waktu kering dan
daya kilap) dan kualitatif (daya lentur, kekerasan, dan daya lekat). Hasil analisis statistik terhadap pengujian kuantitatif menunjukkan bahwa waktu kering dipengaruhi baik oleh nisbah molar F/P (Formalin/Phenol) dan pH reaksi. Terhadap daya kilap film perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata.
46
Vernis yang dihasilkan dari nisbah molar F/P 0,9 cenderung memiliki sifat film vernis yang lebih baik. Lapisan film vernis dari nisbah molar tinggi (F/P 0,9) lebih cepat mengering dibandingkan dengan nisbah molar F/P 0,7 dan 0,8. Terdapat kecenderungan peningkatan kekerasan lapisan film vernis sejalan dengan semakin tingginya nisbah molar F/P, namun sebaliknya daya lentur film
mengalami penurunan. Daya kilap dan daya lekat film relatif sama
untuk seluruh perlakuan nisbah molar F/P. Formulasi vernis terbaik diperoleh dari resin yang dihasilkan dari nisbah molar formaldehida terhadap kardanol 0,9 : 1 (F/P 0,9). Formula vernis tersebut sangat prospektif sebagai vernis kayu tipe interior karena memiliki kekerasan, kilap, dan daya lekat film yang cukup baik. Hasil pengujian film vernis menunjukkan bahwa waktu kering film vernis dapat memenuhi standar mutu vernis SNI No. 06-1009-1989. Sampel dengan nisbah molar F/P 0,9 dan pH 3 sangat prospektif digunakan sebagai vernis kayu tipe interior karena memiliki kekerasan, kilap, dan daya lekat film yang cukup baik.
Pemanfaatan CNSL sebagai bahan aktif dalam obat nyamuk bakar Formulasi obat nyamuk yang menggunakan bahan aktif CNSL yang belum mengalami pemanasan (kandungan asam anakardat tinggi) lebih baik dibandingkan CNSL yang telah didekarboksilasi atau dihidrogenasi. Penambahan allethrin juga sangat berpengaruh terhadap efektifitas obat nyamuk, dimana semakin rendah konsentrasi allethrin yang ditambahkan, maka efektifitasnya akan semakin rendah. Untuk uji efektifitas terhadap formula obat nyamuk menunjukkan bahwa campuran kandungan allethrin dan CNSL sangat berpengaruh terhadap LD50.
47
Gambar 10.
Vernis yang dihasilkan pada nisbah molar F/P 0.9 dengan pH reaksi 3 dalam media kayu
5. Teknologi Pengolahan Minyak Kelapa Murni Komoditas kelapa selama ini sebagian besar dimanfaatkan untuk kelapa sayur dan minyak goreng. Di beberapa tempat telah dikembangkan berbagai produk olahan dari kelapa dan pemanfaatan hasil samping diantaranya seperti desicated coconut, nata de coco, serat sabut dan arang tempurung. Minyak kelapa murni (virgin coconut oil) merupakan produk olahan dari kelapa yang memiliki nilai tambah tinggi tetapi belum banyak dikembangkan di Indonesia. Minyak kelapa murni merupakan minyak kelapa yang diperoleh melalui proses dengan penggunaan panas minimal dan tanpa proses pemurnian kimiawi. Minyak kelapa murni memiliki kandungan asam laurat yang sangat tinggi (45-50%). Penggunaan produk minyak kelapa murni lebih diutamakan untuk kesehatan dan kosmetika, sedangkan minyak kelapa biasa digunakan untuk minyak goreng. Teknologi pengolahan minyak kelapa murni dimplementasikan di lapangan dalam bentuk model agroindustri minyak kelapa murni terpadu di Desa Agrabinta, Cianjur Selatan. Unit pengolahan minyak kelapa murni yang dibangun memiliki kapasitas produksi 250 kg/jam kelapa parut (Gambar 11). Pengembangan model agroindustri ini bekerjasama dengan BPTP Jawa Barat, Dinas Perdagangan dan Industri Kab. Cianjur, dan Koperasi Mutiara
Baru (Gambar12). Keunggulan teknologi proses yang dikembangkan waktu proses produksi minyak ± 3 jam (tradisional 24 jam), kebutuhan air relatif sedikit (ekstraksi kering), dan hemat energi. Produk minyak kelapa murni yang dihasilkan dilapangan mengandung kadar asam lemak bebas (FFA) 0,01 % (standar CODEX maksimum 0,04%) dan kadar asam laurat 48% (komponen terpenting dalam minyak kelapa murni). Dampak dari kerjasama pengembangan agroindustri kelapa secara terpadu yang diharapkan adalah meningkatnya pendapatan petani dengan terjadinya peningkatan harga buah kelapa di petani, dan meningkatnya
pendapatan
masyarakat
terutama
anggota
Koperasi
Mutiara Baru. Unit produksi pengolahan minyak kelapa murni yang dikembangkan di Kabupaten Cianjur statusnya saat ini berada pada fase menuju komersialisasi. Produk minyak kelapa murni dipasarkan dengan nama Laurica dengan harga Rp. 80.000 per kg. Saat ini sedangan dilakukan pengembangan teknologi pengolahan isotonic drink dari air kelapa.
No Pendaftaran MerekD002005-002190
Gambar 11. Unit pengolahan minyak kelapa murni dengan sistem mekanis dengan yang dikembangkan BB-Pascapanen
49
Pembinaan
PETANI KELAPA
Kelapa
income
Teknologi Tinggi: -Produksi monolaurin dari minyak kelapa murni - Produksi galaktomannan dari ampas kelapa - Karbon aktif
MODEL AGROINDUSTRI MINYAK KELAPA MURNI TERPADU
Produk Intermediet
income
MITRA USAHA (Koperasi/UKM)
Royalti
Saham
BADAN BB-PASCAPANEN LITBANG PERTANIAN DAN BPTP
INDUSTRI HILIR
income
PEMDA
Saham
-Kelembagaan -Dana
Tekn.Tepat Guna Manajemen Usaha
Pengalihan saham pemerintah
Saham -Sarana -Pengelola
PASAR Produk
Produk
Gambar 12. Pola kerjasama pengembangan model agroindustri minyak kelapa murni terpadu C. PENGEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN 1. Penelitian Perilaku Kontaminan pada Komoditas Sayuran Sayuran merupakan komoditas yang mempunyai potensi sebagai sumber zat gizi bagi masyarakat dan juga sebagai sumber pendapatan maupun devisa. Sebagai bagian pangan utama, keamanan pangan komoditas sayuran perlu diperhatikan, terutama terkait dengan kebiasaan makan sebagian masyarakat Indonesia yang menyukai konsumsi sayuran dalam keadaan segar (mentah). Masalah utama keamanan pangan komoditas sayuran segar terletak pada tingginya tingkat kontaminasi baik oleh mikrobia, logam berat, maupun residu pestisida. Tujuan penelitian ini adalah untuk: mengidentifikasi jenis dan tingkat kontaminan mikrobia, logam berat dan residu pestisida pada komoditas sayuran segar;
menghimpun
berbagai data kontaminan dan keamanan pangan hasil pertanian, khususnya sayuran, sebagai data dasar (database) keamanan pangan. Sampel sayuran segar diambil dari dua lokasi sentra produksi sayuran segar yaitu Cipanas, Jawa Barat dan Malang, Jawa Timur. Cakupan sayuran yang diamati adalah kubis,
tomat dan wortel. Survai dilakukan dengan
mengajukan sejumlah pertanyaan kepada responden. Responden adalah petani dan pedagang sayuran di wilayah setempat. Dari setiap responden
diambil sejumlah sampel untuk diamati tingkat kontaminasi mikroba, logam berat dan residu pestisida di laboratorium. Data yang dihasilkan akan disusun
ke
dalam
bentuk
database.
Kegiatan
penjajakan
potensi
kontaminan pada sayuran juga dilakukan di propinsi DKI Jakarta. Kontaminan
yang dianalisis terdiri dari
tiga kelompok kontaminan,
yaitu logam berat, residu pestisida dan mikroba. Cemaran logam berat yang melebihi BMR yang direkomendasikan oleh Codex Alimentarius Commision (CAC), diantaranya cemaran Fe yang kadarnya mencapai lebih dari 40 mg/kg (ppm) atau diatas BMR yang direkomendasikan CAC sebesar 1,0 mg/kg (ppm). Demikian pula tingkat cemaran logam berat Pb masih diatas BMR yang direkomendasikan oleh CAC walaupun tidak terlalu jauh. Tingkat cemaran Pb yang terjadi pada sayuran kubis yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Timur berkisar 0,1-0,3 ppm. Nilai ini masih diatas BMR (0,1 ppm). Sedangkan tingkat kontaminan logam berat Zn, Cd dan As masih di bawah BMR. Cemaran logam berat Zn, Cd dan As pada tomat masih di bawah BMR. Sedangkan untuk cemaran logan berat Fe dan Pb pada tomat dari beberapa sampel masih di atas BMR yang direkomendasikan oleh CAC. Cemaran Fe pada tomat berkisar antara 37-49 ppm, masih di atas BMR yang direkomendasikan dari CAC sebesar 1,0 ppm. Demikian pula untuk tingkat cemaran Pb dari tomat yang dianalisis menunjukkan kadarnya masih diatas 0,1 ppm, lebih besar dari BMR (0,1 ppm). Tingkat cemaran logam berat pada wortel bervariasi antara 73-77 ppm. Tingkat BMR cemaran logam berat Fe yang direkomendasikan oleh CAC adalah sebesar 1,0 ppm. Dengan demikian cemaran Fe pada wortel jauh melebihi BMR yang direkomendasikan oleh CAC. Tingkat cemaran Pb pada wortel bervariasi antara 0,1-0,21 ppm.
Cemaran logam berat Pb pada
wortel masih diatas BMR yang direkomendasikan oleh CAC, kecuali cemaran Pb pada wortel yang diperoleh dari swalayan dari Jawa Barat kadarnya 0,1 ppm. Tingkat cemaran Fe dan Pb pada tomat perlu penanganan yang
baik agar tingkat cemaran dapat dikurangi sampai
51
batas aman seperti yang direkomendasikan oleh CAC. Untuk cemaran logam berat yang lain (Zn, Cd, dan As) masih pada tingkat yang aman yaitu di bawah BMR. Sayuran
yang
diamati
sebagian
besar
tidak
tercemar
oleh
penggunaan pestisida. Deteksi terhadap keberadaan residu dari kelompok Organoklorin, Organofosfat maupun kelompok Karbamat hanya mampu menangkap adanya senyawa Endosulfan, Metidation dan Klorpirofos pada komoditas kubis. Sementara itu pada tomat ditemukan adanya senyawa Metidation, Profenofos dan Karbofuran, sedangkan dalam wortel terdeteksi adanya Endosulfan dan Klorpirofos. Meskipun secara kualitatif, beberapa senyawa di atas dapat terdeteksi, namun secara kuantitatif kandungan senyawa tersebut masih berada di bawah ambang batas. Cemaran mikroba pada sayuran segar umumnya masih sangat tinggi, yaitu berkisar dari 3,3x104 yang ditemukan pada sayuran pada suatu swalayan (super market) hingga kebanyakan mengandung 106-107 sel per g sampel
pada
penanganan
tingkat
petani
dan
pasar
tradisional.
Kandungan ini jauh di atas ketentuan yang dipersyaratkan, yaitu 103 sel per g
sampel.
Populasi
mikroba
total
yang
tinggi
pada
sayur
segar
mengindikasikan adanya kontaminan mikroba yang merugikan. Teknologi optimal untuk budidaya dan penanganan sayuran segar yang dilakukan oleh pelaku usaha sayuran (petani, pedagang tradisional, dan pedagang swalayan) mampu menekan tingkat kontaminan logam berat, pestisida dan mikroba. Dari hasil tersebut dapat direkomendasikan perlunya penanganan sayuran segar secara komprehensif dari sejak proses produksi di lahan pertanaman hingga
siap di konsumsi. Konsep “safe from farm to table”
perlu diterapkan melalui pendekatan GAP dan GMP pada model Packing House Operation. Dari analisis yang dilakukan dengan cara membandingkan tingkat kontaminan sampel sayuran
yang diambil dari pelaku usaha
sayuran
diketahui tingkat kontaminan sayuran dari Jawa Timur lebih rendah
52
dibandingkan dengan sampel sayuran dari Jawa Barat.
Penanganan
sayuran yang dilakukan oleh pelaku usaha sayuran terhadap jenis sayuran tertentu akan
menghasilkan sayuran dengan tingkat cemaran tertentu.
Pelaku usaha petani sayuran
yang terbaik dalam menghasilkan sayuran
segar adalah: kubis dihasilkan oleh petani Sumber Brantas, tomat dihasilkan oleh petani Karang Ploso, dan wortel dihasilkan oleh petani Sumber Brantas. Pelaku usaha pedagang pasar tradisional yang terbaik dalam menangani sayuran segar adalah:
sayuran kubis ditangani oleh pedagang
Pasar
Karang Ploso, tomat ditangani oleh pedanga Pasar Batu, dan wortel ditangani oleh pedagang Pasar Mantung. Beberapa swalayan juga melakukan penanganan sayuran dengan baik dan beberapa lainnya melakukan penanganan sayuran secara lebih baik. Strategi
penanggulangan
kontaminan
dapat
disusun
dengan
memperhatikan terlebih dahulu teknologi yang dikuasai pelaku usaha sayuran saat ini. Teknologi budidaya yang mengacu pada program pengendalian hama-penyakit terpadu (PHT) selayaknya dapat diteruskan, karena
penggunaan
agrokimia
dalam
program
ini
terbukti
tidak
memberikan dampak negatif. Namun demikian pemilihan lokasi budidaya sebaiknya dipertimbangkan mengingat adanya kontaminasi logam berat, yang diduga berasal dari sistem lahan (tanah, air, dan udara) yang tercemar, baik secara alami maupun artifisial (misalnya dari
dari limbah
industri).
2. Penelitian Perbaikan Mutu dan Keamanan Pangan Susu di Tingkat Peternak dan Koperasi Susu Susu sebagai salah satu produk hasil ternak mempunyai kandungan gizi yang
lengkap,
petumbuhan
hal
tersebut
mikroba
mengakibatkan
memberikan
seperti
mudahnya
bakteri,
susu
peluang
kapang
mengalami
dan
yang
baik
khamir.
penurunan
bagi
Hal
mutu
ini dan
kerusakan, ditandai perubahan rasa, aroma, warna dan penampakan.
53
Keadaan demikian seringkali terjadi pada susu asal peternakan rakyat, dimana jumlah bakteri dapat mencapai puluhan juta sel/ml yang jauh dari standar yang disyaratkan oleh SNI dan Industri Pengolahan Susu (IPS). Selain hal di atas, penolakan susu oleh IPS disebabkan pula oleh rendahnya kadar lemak dan protein (kurang dari 3%), BKTL dan TS. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperbaiki teknologi penanganan susu ditingkat peternak dan koperasi susu. Dari beberapa wilayah yang diidentifikasi, terpilih dua koperasi sebagai kooperator, yaitu KSU Sarwa Mukti yang berlokasi di Lembang-Jawa Barat dan KSU Tandang Sari yang berlokasi di Tanjung Sari, Sumedang. Susu yang dikelola kedua koperasi tersebut berasal dari para pengumpul dan kolektor susu dari peternak, sehingga secara keseluruhan akan mempengaruhi mutu susu pada tingkat koperasi susu. mutu susu telah
Hasil analisis susu menunjukkan bahwa
memenuhi syarat SNI 2000 (kecuali TPC), yaitu dengan
kriteria : uji alkohol negatif, rata-rata nilai pH 6,71; BJ 1,028; kadar lemak 3,03%; kadar protein 2,6%, BKTL 8,78%. Nilai TPC susu mencapai 8,8 x 107 sel/mL, melampaui batas maksimum SNI 2000 yaitu 1 x 106 sel/mL, dengan cemaran mikroba jenis bakteri patogen E. coli dan S. agalactiae. Cemaran aflatoksin M1 mencapai 0,2275 ppb, masih dibawah batas maksimum yang disyaratkan SNI 2000, yaitu 0,001 ppm. Pestisida, antibiotika dan logam berat Pb juga masih berada di bawah batas maksimal residu SNI 2000, sedangkan tingkat cemaran logam berat Zn melebihi batas BMR yang disyaratkan SNI 2000 (3,3972 ppm), dengan tingkat cemaran mencapai 5,15 ppm. Selama penanganan dalam jalur distribusi terjadi penurunan proksimat susu kecuali BKTL, aflatoksin M1, penisilin, oksitetrasiklin, tetrasiklin, lindane, heptaklor, dan klopirifos, namun Bj, PH, Pb, Zn, klortetrasiklin dan TPC mengalami peningkatan. Di tingkat peternak, pengumpul dan koperasi ternyata mutu susu dengan nilai uji alkohol, pH, BJ, kadar lemak, kadar protein minimum dan BKTL telah memenuhi persyaratan standar mutu susu SNI 01-6366-2000,
54
namun masih tercemar oleh bakteri patogen E.coli, dan S. Agalactiae, TPC masih diatas standar SNI. Di tingkat peternak, pengumpul dan koperasi telah terdeteksi cemaran aflatoksin M1, antibiotika (penisilin, tetrasiklin dan chlortetrasiklin dan oksitetrasiklin), pestisida (lindan, heptaklor, klorpirifos, endosulfan dan Dieldrin) namun berada dibawah BMR yang dipersyaratkan SNI 2000.
Tingkat cemaran logam berat Cd (cadmium) mencapai 0,0122
ppm namun belum disyaratkan SNI 2000. Tingkat cemaran logam Pb (Plumbum) berada pada standar SNI 1998, adapun Zn (seng) berada di atas standar SNI 2000. Faktor yang sangat berperan terhadap mutu susu dan keamanannya adalah manajemen perternakan (pakan ternak, perkandangan) dan manajemen penanganan susu yang berada di tingkat peternakan. Sedangkan di tingkat pengumpul dan koperasi yang berperan adalah penanganan susu karena tempat terakumulasinya seluruh susu dari peternak. Kondisi tempat penampungan sangat memprihatinkan, tanpa adanya fasilitas pendingin dan pengujian mutu susu dilakukan dengan fasilitas minimum.
D. DISEMINASI HASIL PENELITIAN Setiap kegiatan
penelitian yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis
(UPT) lingkup Badan Litbang Pertanian diharapkan menghasilkan luaran yang berkualitas dan bermanfaat, baik dalam kaitannya dengan nilai tambah ilmiah maupun
nilai
tambah
agribisnis.
Untuk
itu
proses
penelitian
dan
pengembangan, mulai dari perencanaan hingga pelaporan, termasuk proses diseminasi, promosi dan komersialisasi kepada para pengguna (beneficiaries dan stakeholders) harus didukung oleh manajemen yang profesional. Sejalan dengan perubahan paradigma Badan Litbang Pertanian, maka setiap penelitian dan pengembangan pertanian harus selalu berorientasi pada nilai
tambah
ilmiah
dan
nilai
tambah
agribisnis. Nilai
tambah
ilmiah
dimaksudkan bahwa setiap penelitian harus bermuatan ilmiah, baik dalam
55
pelaksanaan
(pendekatan,
metodologi
dan
analisis)
(informasi dan publikasi ilmiah, HKI dan hak paten).
maupun
hasilnya
Nilai tambah agribisnis
diartikan bahwa setiap penelitian dan pengembangan harus bermanfaat, memiliki nilai ekonomi atau bersifat komersial. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BBPascapanen) sebagai UPT Badan Litbang Pertanian di bidang penelitian dan pengembangan
pascapanen
pertanian
telah
menghasilkan
berbagai
teknologi untuk dapat segera dimanfaatkan oleh masyarakat dan dunia usaha. Oleh karena itu berbagai kegiatan diseminasi yang dilaksanakan berupaya mendekatkan penghasil teknologi dan penggunanya serta mempercepat proses penyebaran informasi. Untuk itu, diperlukan pengembangan media informasi yang belum dapat dilaksanakan pada tahun 2003, seperti penerbitan Jurnal Ilmiah, buku teknologi, dan komunikasi lainnya. Belum dimilikinya jurnal ilmiah merupakan masalah yang harus segera diatasi, antara lain dengan menggali materi melalui seminar rutin dan segera menyusun Dewan Redaksi. Metode lain dalam mengenalkan teknologi perlu ditempuh selain pameran, misalnya open house untuk memberi kesempatan masyarakat mengenal dari dekat peragaan teknologi. Diseminasi pada tahap perkenalan organisasi yang telah berlangsung untuk mempromosikan Tupoksi Balai perlu ditindaklanjuti dengan promosi hasilhasil
kegiatan
penelitian
baik
dari
aspek
program
penelitian
dan
pengembangan maupun dalam upaya menjaring mitra kerjasama guna meningkatkan
keterpakaian
teknologi
oleh
pengguna. Komunikasi
hasil
kegiatan BB-Pascapanen perlu dilaksanakan dalam berbagai kegiatan seperti publikasi hasil penelitian, seminar, gelar teknologi, open house, maupun pameran dengan jadwal yang disusun secara terencana. Melalui kegiatan diseminasi dan komunikasi maka informasi dan teknologi pascapanen hasil penelitian BB-Pascapanen dapat sampai dan digunakan oleh masyarakat tani, dunia usaha, dan pengguna lainnya, dan pada gilirannya dapat meningkatkan nilai tambah bagi penggunanya. Publikasi
56
ilmiah
dapat
menjadi
media
komunikasi
ilmiah
antar
peneliti
bidang
pascapanen baik yang berasal dari lingkup Badan Litbang pertanian maupun perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya. Upaya menghimpun masukan dari stakesholders dapat memberikan arah kebutuhan teknologi yang kemudian dipecahkan melalui penelitian yang disusun dalam program pascapanen dalam Renstra lima tahun mendatang.
1. Diseminasi dan Komunikasi Hasil Penelitian 1.1. Temu Konsultasi dengan Pihak Swasta dan Lembaga Pemerintah Acara Temu Konsultasi diselenggarakan pada tanggal 26 Januari 2004 bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh lebih kurang 100 peserta baik dari Departemen Pertanian, Pemda, Swasta dan Para Peneliti. Temu konsultasi ini diselenggarakan dalam rangka: (1) mendapatkan informasi tentang arah dan kecenderungan (trend) pengembangan teknologi pascapanen dan pengolahan hasil di masa datang sebagai masukan untuk program dan kebijakan penelitian teknologi pascapanen 2005 – 2009; (2) mempromosikan hasil-hasil penelitian yang telah dicapai untuk mempercepat transfer teknologi ke dunia usaha dan stakeholder; (3) menggali kerjasama dan kemitraan dengan dunia usaha, instansi teknis dan masyarakat pengguna lainnya, baik dalam bentuk kerjasama penelitian maupun dalam bentuk komersialisasi hasil penelitian (komersialisasi paten, lisensi teknologi); dan (4) merumuskan arah dan kebijakan program litbang teknologi pascapanen yang dapat mendorong partisipasi swasta dan stakeholder dalam pengembangan usaha agroindustri berbasis teknologi.
1.2. Seminar Rutin Pascapanen Pertanian Seminar rutin diadakan setiap bulan dan pada tahun 2004 dimulai pada bulan Maret 2004 sampai dengan bulan Desember 2004.
Seminar rutin
dimaksudkan sebagai wahana untuk menyaring naskah-naskah yang akan dimuat dalam Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian, penyampaian metode
57
baru untuk penelitian, dan tukar menukar informasi iptek lainnya. Judul-judul makalah yang disampaikan pada seminar rutin tersebut adalah:
•
Rice quality management through better drying, milling and storage pratices : A case study in West Java and Central Java, Indonesia (Dr. Ridwan Rachmat).
•
Fisiologi kemasan dalam modifikasi atmosfir terhadap kesegaran etiologi bunga potong mawar (Ir. Sunarmani, MS).
•
Sintesis isoeugenol dari minyak daun cengkeh (Ir. Djajeng Sumangat, MSc).
•
Kajian pemisahan kardanol dari minyak kulit biji mete dengan metoda distilasi vakum (Ir. Risfaheri, MSi)
•
Perubahan sifat fisikokimia dan fungsional tepung beras akibat proses modifikasi ikat silang (Dr. S.Joni Munarso)
•
Pengaruh stater kombinasi berbagai jenis bakteri dan khamir terhadap sifat fisikokimia dan sensori kefir (Sri Usmiati, SPt, MSi)
•
Analisa perencanaan model pengembangan agroindustri minyak daun cengkeh (Ir. Agus Supriatna)
•
Efek androgenik ekstrak purwoceng terhadap anak ayam umur 3 hari (Dra. Sri Yuliani, Apt.)
•
Effect of MCP on the senescences of Srevilleasylia Inflorescences (Dr. Setyadjit, MAppSc)
•
Pengeringan gabah dengan bahan bakar sekam (Ir. Syafarudin Lubis )
•
Kajian kelayakan proses tepung dan pati dari umbi-umbian ditinjau dari sifat fisikokimia (Ir. Nur Richana, MS)
•
Sosialisasi Website BB- Pascapanen (Ir. Agus Supriatna).
•
Pengembangan kemitraan teknologi agroindustri minyak nilam (Ir.Pandji Laksamanaharja)
•
Pengembangan kemitraan teknologi agroindustri tepung kasava (Ir. Suismono,MS).
58
•
Pengembangan kemitraan teknologi agroindustri kulit- bulu dan daging kelinci (Dr. Yono C. Raharjo)
•
Pengembangan kemitraan teknologi agroindutri padi (Ir. Sudaryono).
•
Uji toksisitas ekstrak rimpang lempuyang gajah
terhadap larva udang
(Dra. Hernani,MSc)
•
Effektifitas lilin ekstrak limbah nilam terhadap lalat rumah tangga (Dra.Sri Yuliani, Apt).
•
Kinetika inaktivasi enzim polifenol oksidase pada pengolahan teh hijau (Andi Nur Alamsyah ,STP, MT)
•
Edible coating sosis itik (Mulyana Hadipernata, STP).
•
Kemajuan penelitian pengembangan teknologi pengolahan pasta cabai dan tomat
skala agroindustri mendukung agribisnis sayuran (Dr. Imam
Muhadjir)
•
Kinetika reaksi oksidasi enzimatik polifenol pada pengolahan teh hitam (Andi Nur Alamsyah, STP,MT)
•
Model dinamika ketersediaan sagu sebagai sumber ketahanan pangan (Ir. Agus Supriatna).
•
Pengembangan agroindustri minyak nilam di Majalengka (Ir. Christina Wienarti, MA)
•
Development of thermophilic bacteria capable of producing ethanol (Ir. Pujo Yuwono, MAppSc)
1.3.
Penerbitan Media Ilmiah Jurnal Pascapanen Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian (J. Pascapanen) Volume I Nomor
1, 2004, telah terbit pada bulan Desember 2004, dengan Nomor ISSN: 0216-1192. Peluncuran Jurnal tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 2004 di Kantor BB-Pascapanen, Bogor. Selanjutnya, J. Pascapanen didistribusikan kepada Peneliti, Penyuluh, Perguruan Tinggi, P2JP Departemen Pertanian, PDII LIPI, PUSTAKA dan seluruh Eselon II lingkup Badan Litbang Pertanian, BPTP, dan lembaga terkait lainnya.
59
1.4.
Pendaftaran Paten Teknologi dan Merek Produk Pendaftaran paten yang telah dilakukan oleh Balai Besar Litbang
Pascapanen Pertanian pada tahun 2004 adalah paten sederhana. Paten teknologi BB-Pascapanen yang sudah terdaftar adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Paten Teknologi BB-Pascapanen yang didaftar Desember 2003-2004 1. Mesin Pembubur Buah Dr. Setyadjit, MAppSc dengan Sistem Konveyor Ulir 2. Perekat Kayu Lapis Berbasis Ir. Risfaheri, MS Kardanol 3. Mesin Pembuat Sayuran Dr. Ridwan Rahmat, Kering dengan Teknologi Far et.al. Infrared
dalam kurun waktu S00200400181 14 Desember 2003 S00200400181 14 Maret 2004. S00200400184 1 Desember 2004
1.5. Penyebaran Informasi dan Teknologi Pascapanen Melalui Media Cetak dan Elektronik Beberapa topik hasil penelitian dan informasi kegiatan telah dilakukan diseminasi melalui media cetak. Dua naskah, yaitu: (1). “Seberapa organikkah pangan organik ?” yang ditulis oleh Dr. Joni Munarso, dan (2). “Radiasi Far Infra Red mempercepat pembuatan sayuran kering instan” oleh Dr. Ridwan Rachmat, telah diterbitkan dalam media internal Badan Litbang Pertanian yaitu Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pemuatan berbagai teknologi dan aktivitas BB-Pascapanen bekerjasama dengan Tabloid Sinar Tani telah direalisasikan dengan mengangkat topik “Menjalin kerjasama kemitraan untuk mempercepat komersialisasi teknologi”. Pada penerbitan ini mengetengahkan teknologi unggulan seperti pengolahan puree mangga yang telah dikembangkan bersama mitra CV. Promindo Utama dan Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon di Cirebon, teknologi pengolahan padi terpadu, teknologi pengolahan daging dan bulu kelinci, dan teknologi ekstraksi minyak daun nilam dengan model yang telah dikembangkan bersama mitra Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Majalengka di Desa Cikondang, Majalengka.
60
Promosi lainnya melalui Koran NTB-Post dan Lombok Post pada saat berlangsungnya Gelar Teknologi Tepat Guna Nasional yang menampilkan teknologi pengolahan minyak kelapa murni dan kegiatan lainnya. Penyebarluasan teknologi melalui media televisi belum banyak dilakukan dan perlu ditingkatkan pada tahun mendatang, mengingat media ini demikian luas dan cepat penyebarannya. Media radio sudah mulai dicoba bekerjasama dengan Radio Pertanian Ciawi guna mempromosikan kegiatan open house BBPascapanen pada bulan Agustus 2004. Kedepan, media radio ini akan digunakan untuk menyebarluaskan teknologi tepat guna bagi petani. Web milik BB-Pasacapanen yang telah dibuat embrionya sejak tahun 2004 telah diperbaiki penampilan/formatnya dan sebagian fitur-fitur yang tersedia telah diperbaharui (up-date) antara lain fitur teknologi, berita, profil, kerjasama, publikasi.
Nama
Web
adalah
Postharvestech
dengan
http://pascapanen.litbang.deptan.go.id/. Situs ini dihosting di
alamat
situs:
situs Badan
Litbang Pertanian (http://litbang.deptan.go.id/. Direncanakan situs tersebut akan dihosting juga di situs milik Pustaka.(www.pustaka-deptan.go.id). Hal mendesak yang harus dilakukan adalah melakukan up-dating secara kontinyu terhadap fitur-fitur yang telah ada.
2. Ekspose Nasional Teknologi Pascapanen 2.1.
Seminar dan Ekspose Nasional Teknologi Pascapanen Seminar dan Ekspose Nasional tersebut mencakup 4 kegiatan, yaitu : (1).
Seminar Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional, (2). Open House Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian, (3). Lomba Produk Olahan Jajanan Anak dengan Bahan Baku Aneka Tepung dan (4). Pameran pada Pekan Inovasi Teknologi Pertanian. Seluruh kegiatan tersebut berada di Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu yang berpadu dalam Pekan Inovasi teknologi Pertanian dalam rangka peringatan 30 tahun Badan Litbang Pertanian. Seminar Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional diselenggarakan pada tanggal 6 Agustus 2004. Seminar bertema Cinta Pangan Nusantara ini bertujuan
61
: (1) menghimpun gagasan pemikiran serta merumuskannya untuk menunjang kebijakan pengembangan pangan tradisional berdaya saing, (2) menghimpun dan menyebarkan (inventarisasi, diseminasi dan sosialisasi) komponen IPTEK inovatif
hasil
penelitian
dan
pengembangan
pangan
tradisional,
(3)
menghimpum dan menyebarkan karya teknologi tradisional berpotensi milik masyarakat Indonesia di bidang pengolahan pangan, (4) membangun dan mengembangkan jaringan kerjasama antara lembaga penelitian, pergururan tinggi, praktisi pengusaha dan pengambil kebijakan dalam mengembangkan industri pangan tradisional berdaya saing.
Gambar 13.
Pelaksanaan Seminar Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional, Bogor, 6 Agustus 2004
Seminar diikuti oleh 160 peserta, terdiri dari pejabat struktural baik dari Direktorat teknis maupun lingkup Badan Litbang Pertanian, peneliti, penyuluh, staf pengajar perguruan tinggi, pengusaha dan mahasiswa. Makalah utama yang dibahas pada Sidang Panel : 1. Strategi dan kebijakan pangan tradisional dalam rangka ketahanan pangan, (Dr. Ir. Kaman Nainggolan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian) 2. Potensi, peluang dan kendala bisnis pangan tradisional (Ir. Thomas Darmawan, GAPMMI)
3. Dukungan IPTEK dalam pengembangan pangan tradisional (Dr. Dahrul Syah, Pusat Kajian Pangan dan Gizi, IPB) 4. Program penelitian dan pengembangan pangan tradisional (Dr. Ridwan Thahir, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian) 5. Pengalaman
empiris
perusahaan
dodol
Garut
Picnic
dalam
pengembangan pangan tradisional (H. Ato Hermanto dan Ir Ayek Cahya P, PT Herlinah Cipta Pratama, pengusaha industri dodol Garut Picnic )
Open House Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian telah dilaksanakan mulai tanggal 3 sampai 7 Agustus 2004. Dari jumlah undangan yang disebar ke berbagai SMA dan sederajat yang berada di daerah Bogor dan sekitarnya, Perguruan Tinggi dan Perusahaan Swasta yang terkait, maka hampir sebagian besar undangan yang disebar direspon dengan datang mengunjungi open house. Rata rata pengunjung open house per hari sekitar 500 orang dengan jumlah mencapai sekitar 2.650 orang. Minat yang tinggi ditunjukkan oleh pengunjung terhadap teknologi yang ditampilkan, terutama yang berkaitan dengan teknologi pengolahan yang dioperasikan, seperti pengolahan tahu, susu kedele, minyak atsiri, pengolahan jambu mete, pengeringan sayur ataupun penggoreng vakum. Lomba Produk Olahan Jajanan Anak dengan Bahan Baku Aneka Tepung diikuti oleh 54 peserta utusan dari PKK, Darma Wanita, karyawati, mahasiswa, dan masyarakat umum yang berasal dari Jakarta dan Bogor. Tiap
peserta
terdiri dari dua orang. Peserta berasal dari PKK di lima wilayah Jakarta (Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Timur), Darma Wanita lingkup Departemen Pertanian Jakarta, Bogor, Sukamandi dan Lembang, peserta umum dan Karyawati lingkup Departemen Pertanian dari Jakarta dan Bogor. Dewan Juri terdiri dari 1 orang ahli gizi dan 2 orang ahli tata boga.
63
Pameran Pekan Inovasi Teknologi Pertanian berlangsung di halaman BBBiogen Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, mulai tanggal 3-8 Agustus 2004 dan dibuka oleh Menteri Pertanian. Stand BB-Pascapanen menempati area seluas 3x3x4 m2, atau sebanyak 3 stand dari sekitar 60 stand yang disediakan oleh panitia. Materi yang dipamerkan merupakan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh BB Pascapanen selama 3 tahun terakhir.
Gambar 14.
Suasana Stand BB-Pascapanen dalam Pekan Teknologi Pertanian, Bogor 3-8 Agustus 2004
Inovasi
2.2. Ekspose dan Gelar Teknologi Pascapanen Berkoordinasi dengan Badan Litbang Pertanian 2.2.1. Forum Komersialisasi Hasil Riset Teknologi Industri Pameran dan Temu Bisnis Forum Komersialisasi Hasil Riset Teknologi Industri diselenggarakan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan bekerjasama
dengan
Departemen
Pertanian,
Departemen
Kehutanan,
Departemen Kelautan Perikanan, Departemen Pendidikan Nasional serta Kementrian Riset dan Teknologi. Acara ini direncanakan menjadi agenda tetap Deperindag yang direncanakan dua kali setahun didalam mengkomersialkan hasil-hasil riset lembaga-lembaga penelitian yang ada. Pada pelaksanaan penyelenggaraan Forum Komersialisasi Hasil Riset Teknologi Industri,
Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian bergabung menjadi satu stand besar mewakili Departemen Pertanian.
64
Gambar 15.
Penandatanganan Naskah Kerjasama Teknologi Ekstraksi Minyak Bunga, pada acara Pameran dan Temu Bisnis. Forum Komersialisasi Hasil Riset Teknologi Industri, Jakarta 3-5 Maret 2004
Pameran dan temu bisnis pada Forum Komersialisasi Hasil Riset Teknologi Industri bertempat di Semanggi Expo, Kawasan Niaga Terpadu pada tanggal 3–5 Maret 2004. Pada acara pembukaan dilangsungkan acara penandatanganan naskah kerjasama antara pemilik teknologi dan mitra yang akan mengaplikasikan teknologi tersebut secara komersial. Dari Badan Litbang Pertanian, Kepala Badan Litbang telah menunjuk Teknologi ekstraksi bunga melati yang akan bermitra dengan PT Rezki Fortuna Andama, Yogyakarta untuk disyahkan kerjasamanya pada acara tersebut. Teknologi tersebut dipilih dari tiga teknologi yang diusulkan. Pada komersialisasi hasil riset dan teknologi industri, dilaksanakan seminar untuk membahas hasil riset yang mempunyai prospek untuk dimplementasikan secara nasional. Ada 40 materi yang didiskusikan dan 2 diantaranya dari BB Pascapanen yaitu Model agroindustri pengolahan puree mangga oleh Dr. Setyadjit, MAppSc. dan Teknologi prosessing daging, kulit-bulu kelinci oleh Dr. Yono Rahardjo.
2.2.2. Agro and Food Expo Kegiatan pameran dilaksanakan di Semanggi Expo, Jakarta pada tanggal 29 April-3 Mei 2004. Peserta Pameran Agro and Food Expo adalah unit kerja
lingkup
Departemen
Pertanian,
Departemen
Perindustrian
dan
Perdagangan, Perusahaan Swasta yang bergerak di bidang pangan, dan Pemda dari berbagai daerah di tanah air. Stand Badan Litbang Pertanian diisi oleh unit kerja lingkup Badan Litbang seperti:
PUSTAKA, Puslitbangnak,
Puslitbangtan, Puslitbang Horti, BBP Mekanisasi Pertanian, BB Pascapanen, BB Biogen, dan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia serta KP KIAT. Materi yang disajikan BB Pascapanen mewakili hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dan layak untuk dipromosikan.
Adapun
materi yang
dipamerkan adalah sebagai berikut : 1. Pemanfaatan Karbohidrat Lokal sebagai pangan alternatif 2. Agro Industri Pengolahan Puree Mangga 3. Agro Industri Padi Terpadu 4. Teknologi Pengolahan Minyak Kelapa Murni 5. Pewarnaan Bunga Sedap Malam 6. Pembuatan Bunga Kering 7. Pengolahan Daging, Kulit Bulu Kelinci 8. Pemanfaatan Minyak Nilam
2.2.3. Ekspose/Pameran Lainnya BB-Pascapanen
berpartisipasi
aktif
dalam
berbagai
kegiatan
ekspose/pameran baik yang diselenggarakan oleh swasta dan instansi lain. Adapun beberapa kegiatan yang telah diikuti antara lain:
•
Kegiatan PENAS diadakan pada tanggal 5-10 Juni 2004 bertempat di Kabupaten Tondano, Sulawesi Utara
•
Pameran pada Pekan Padi Nasional II
•
Gelar Teknologi Tepat Guna TTG Nasional VI di Lapangan Sarangkeang, Mataram, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 22-28 Agustus 2004
66
•
Sosialisasi Teknologi, Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Lembaga Riset Perkebunan Indonesia dan diselenggarakan di Hotel Lombok pada tanggal 22 Agustus 2004
•
Ritech Expo, dilaksanakan di Semanggi Expo, Jakarta pada tanggal 2729 Agustus 2004
Gambar 16. Kegiatan Ekspose BB-Pascapanen dalam Tahun 2004
•
Pameran Alat dan Mesin Pertanian, diselenggarakan oleh Bina Sarana Pertanian bekerjasama dengan BB Mekanisasi Pertanian dan Fakultas Teknologi Pertanian-UGM pada tanggal 7-12 September 2004 di Yogyakarta
•
Pameran Pangan pada Hari Pangan Sedunia, diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia pada tanggal 7-10 Oktober 2004, bertempat di Semanggi Expo, Jakarta
•
Ekspose Hortikultura Indonesia 2004, dilaksanakan
di Balai
Penelitian
Tanaman Buah, Solok, Sumatera Barat pada tanggal 8-11 Desember 2004
3. KERJASAMA PENELITIAN Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian telah melakukan serangkaian kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah, swasta maupun lembaga internasional. Beberapa kegiatan kemitraan yang telah dibina dan dikembangkan oleh BB-Pascapanen dalam tahun 2004 meliputi: 3.1. Pengembangan Kemitraan Teknologi Ekstraksi Minyak Nilam Kegiatan ini merupakan kegiatan kemitraan bekerjasama dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Majalengka yang naskah perjanjian kerjasamanya ditandatangani tanggal 23 Mei 2003. Mitra pelaksana kegiatan selain BB-Pascapanen adalah Dishutbun Kabupaten Majalengka dan Kelompok Tani Nilam Mekar di Desa Cikondang, Kecamatan Cingambul, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, sebagai pengguna teknologi. Tujuan akhir dari kegiatan adalah teradopsinya teknologi ekstraksi/penyulingan minyak nilam secara maksimal oleh pengguna sebagai komponen dalam usaha agroindustri minyak nilam. Kegiatan yang telah dilaksanakan adalah : a. Pelatihan Agroindustri Nilam Dilaksanakan bekerjasama dengan Dishutbun Majalengka di Balai Latihan Kejuruan Kehutanan (BLKK) Kadipaten, Majalengka, tanggal 14-16 Desember 2004 dengan peserta 35 orang 1 peserta dari BPTP Jabar dan 34 peserta petani dari
Desa Cikondang). Tujuan kegiatan adalah mensosialisasikan
teknik-teknik budidaya dan pengolahan nilam serta manajemen usaha agroindustrinya kepada para petani di lokasi kemitraan. Metodologi pelatihan meliputi (a) penyampaian materi pelatihan di kelas, (b) praktek lapang.
Materi pelatihan di kelas terdiri atas (a) Budi daya nilam, (b)
Pengolahan minyak nilam, (c) Manajemen usaha dan mutu, (d) Pemasaran. Praktek lapang terdiri atas (a) Praktek budidaya tanaman nilam, (b) Praktek pengolahan minyak nilam dan pemeliharaan peralatan, (c) Studi banding ke unit penyulingan minyak nilam di Kecamatan Argapura, Majalengka. Hasil pelatihan menunjukkan bahwa respon petani cukup baik dalam
68
memahami materi pelatihan dan telah membantu membangun antusiasme petani untuk ikut mengembangkan budidaya dan pengolahan nilam. b. Optimalisasi teknik penyulingan minyak nilam dengan alat penyuling SBCS1000. Diperoleh hasil bahwa lama penyulingan 7 jam dengan bobot bahan 90 kg merupakan yang terbaik dibandingkan lama penyulingan 8 jam. c. Penyiapan dan penataan kelembagaan unit usaha di antara unsur-unsur kelembagaan yang telah ada yaitu Kelompok Tani Nilam Mekar, unit usaha pengolahan,
pemerintahan
desa
Cikondang,
pembina
teknis
serta
kelembagaan pemasaran. Telah dibentuk koperasi Mekar Mulya sebagai wadah kelembagaan usaha, namun belum beroperasi maksimal karena kendala keterbatasan modal.
Alat suling sistem boiler penuh
A
Gambar 17.
B
Kegiatan Pengembangan Kemitraan Teknologi Ekstraksi Minyak Nilam di Majalengka (A), dan Pengembangan alat sling minyak nilam dengan sistem boiler (B).
Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pemasyarakatan dan pengembangan agroindustri minyak nilam adalah sebagai berikut : (1) Tidak tercapainya target perluasan pertanaman nilam untuk bahan baku. Hal ini disebabkan
penyediaan bibit dari Dinas Hutbun Majalengka kurang tepat
waktu selain faktor kualitas bibitnya yang menyebabkan tingginya tingkat
kematian bibit di lapang, selain juga faktor kekeringan.
Kurang berhasilnya
kelompok tani dalam mengembangkan tanaman bantuan Dinas ini juga menyebabkan agak terganggunya hubungan petani dengan Dinas Hutbun Majalengka ; (2) Sebagian petani belum sepenuhnya tertarik dalam budidaya nilam disebabkan secara tradisional masih mengandalkan tanaman lain (padi, ubi kayu, bawang, sayuran) sebagai sumber penghasilannya. Dilain pihak tingkat
pengetahuan
dan
ketrampilan
petani
yang
telah
mulai
membudidayakan nilam masih rendah; (3) Walaupun mutu minyak nilam yang dihasilkan
memenuhi
syarat
mutu
dan
dinilai
lebih
baik
oleh
pembeli/pedagang, tetapi
harga yang diterima masih harga standar dan
belum
harga
diberikan
bonus
sesuai
dengan
mutu
minyaknya;
(4)
Kelembagaan kelompok tani dan koperasi Nilam Mekar serta pengelolaannya masih baru dan memerlukan pembinaan dan fasilitas bantuan termasuk pendanaan dari Pemda Kabupaten Majalengka. Agar kendala dan masalah tersebut di atas dapat diatasi secara bertahap, diperlukan usaha-usaha sebagai berikut: (a) Dilanjutkannya kegiatan perluasan areal pertanaman nilam di lokasi yang telah dilaksanakan pada tahun 2004 dengan mendapat bantuan dana dan teknis dari Pemda Kabupaten Majalengka ; (b) Ditingkatkannya pembinaan oleh instansi terkait (BBPascapanen, Balittro dan Dishutbun Kabupaten Majalengka yang berkaitan dengan
aspek
teknis
budidaya,
pengolahan
hasil,
pemasaran
dan
kelembagaan maupun aspek sosial budaya. Dalam hal kelembagaan, pembinaan ketrampilan manajemen terhadap wadah kelompok tani dan koperasi yang telah dibentuk perlu terus ditingkatkan disamping bantuan akses permodalan serta pembentukan dan pembinaan kemitraan dengan swasta dalam kerjasama produksi dan pemasaran.
70
3.2.
Pengembangan Kemitraan Teknologi Pengolahan Kulit- Bulu dan Daging Kelinci Eksotis. Kegiatan pada tahun 2004 ini lebih menitik beratkan pada sosialisasi/gelar
teknologi, yang diselenggarakan di Lembang, Jawa Barat dan Manado, Sulawesi Utara. Sebelumnya dilaksanakan survey lokasi kegiatan, untuk dapat menentukan lokasi yang diperkirakan sesuai untuk kegiatan pengembangan. Daerah yang disurvai pada tahun 2004 adalah Manado, Lembang dan DiengBanjarnegara.
Berdasarkan
pertimbangan
potensi
dan
peluang
pengembangannya, terpilih lokasi Lembang dan Manado. Untuk lokasi Dieng, produk kulit bulu dari PT Dirra masih berlanjut, namun jumlah ternak relatif sedikit sehingga membangun unit penyamakan yang menguntungkan di lokasi belum memungkinkan. Upaya peningkatan populasi kelinci melalui kerjasama dengan masyarakat setempat kurang berhasil karena tingkat mortalitas tinggi. Lembang secara historis merupakan sentra produksi kelinci yang terbesar di Jawa Barat namun dengan tujuan pemeliharaan untuk menghasilkan kelinci hias (pet rabbit). Namun mengingat sebagai daerah wisata, potensi bisnis daging kelinci untuk restoran cukup besar, terbukti dengan kurangnya supply sehingga harus dipasok dari Ciwidey, Pangalengan dan Garut. Kegiatan Gelar Teknologi Pengolahan Produk Kelinci (Daging dan Kulit Bulu) di Lembang dilaksanakan tanggal 14-15 September 2004, dengan peserta 40 orang yang mayoritas adalah peternak dan pengolah produk kelinci. Acara ini dihadiri pula oleh Pembina Hipkindo (Himpunan Pengusaha, Peternak dan Penggemar Kelinci Indonesia). Untuk pengolahan daging, yang disampaikan adalah teori dan praktek pengolahan sosis, nugget, burger dan bakso, sedangkan
materi
pada
pengolahan
kulit
bulu
adalah
pemotongan,
pengulitan dan penyamakan kulit bulu. Respon peserta cukup antusias, antar lain ditunjukkan oleh dikonsumsinya seluruh produk olahan daging kelinci yang dibuat oleh peserta dan tidak terkendala dengan masalah preferensi daging, sehingga peserta mempunyai keyakinan untuk dapat
menjual sendiri
produknya.
71
Pada introduksi teknologi penyamakan kulit bulu, disampaikan teknik pemotongan
dan
pengulitan,
pengawetan
dan
penyimpanan
serta
penyamakan. Walaupun pesertanya sebagian adalah pedagang pengumpul, penyamak serta penjual kulit, namun ternyata belum mengetahui teknik pengolahan kulit bulu yang benar sehingga gelar teknologi tersebut sangat bermanfaat.
Secara umum respon peserta cukup positif. Tindak lanjutnya
adalah menunggu permintaan dan koordinasi dari peternak, pengolah dengan Dinas
terkait.
Diharapkan
dengan
introduksi
teknologi
tersebut
dapat
ditumbuhkan usaha pengolahan produk kelinci yang menghasilkan kulit bulu yang meningkat mutunya, diikuti dengan perbaikan harga serta diversifikasi produk olahan daging kelinci yang lebih memasyarakat. Kegiatan
Gelar
Teknologi
Pengolahan
Produk
Kelinci
di
Manado
diselenggarakan selama 2 hari (26-27 Desember 2004) bekerjasama dengan BPTP Sulawesi Utara di Kalasey, Manado. Diikuti oleh 63 orang peserta (kelompok peternak, pengusaha, staf Dinas Peternakan, Kantor Ketahanan Pangan Daerah Manado dan teknisi serta peneliti BPTP Sulawesi Utara). Kegiatan gelar teknologi dilakukan di Manado didasarkan pertimbangan dan kajian tahun sebelumnya Hasil survey tahun 2003 menunjukkan bahwa dengan mempertimbangkan struktur agroekosistem dan sosial ekonomi masyarakatnya, masyarakat
Sulawesi
Utara
khususnya
Manado
memiliki
potensi
pengembangan agribisnis dan pasar untuk produk daging dan kulit bulu kelinci eksotis. Berdasarkan kajian tersebut, pihak swasta dan KTNA sangat berminat menjadi mitra dalam penelitian pengembangan produk kelinci. Untuk tahap awal, pada tahun 2004 pihak swasta telah membangun kandang kelinci berkapasitas 320 kandang untuk 80 ekor induk dan 640 anak di daerah Modoinding (1300 m dpl) yang merupakan sentra produk sayuran dataran tinggi. Respon peserta pelatihan di Manado sangat positif, terbukti dengan adanya permintaan pelatihan serupa dari KTNA Sulut dan juga dari Kantor Ketahanan Pangan Manado pada tahun 2005. Untuk menindak lanjuti
72
pengembangan teknologi pengolahan kulit bulu kelinci tersebut, BPTP Sulawesi Utara
telah
dihimbau
untuk
dapat
berperan
lebih
aktif
dalam
memasyarakatkan dan mengembangkannya di Sulawesi Utara bersama dengan instansi/dinas terkait. BB-Pascapanen menyediakan bantuan supervisi teknologinya. Kelompok Tani Toto Raharjo di Dieng yang menjadi mitra kerjasama mengalami
hambatan
dalam pengembangan
ternak
kelinci, sehingga
teknologi pengolahan kulit bulu dan pengolahan daging kelinci di lokasi tersebut tidak dapat dilanjutkan, dan dipertimbangkan untuk pengalihan ke lokasi desa lain yang lebih prospektif. Desa Garung Kabupaten Wonosobo memiliki peternak yang berpeluang untuk kegiatan pembesaran ternak kelinci, sementara di desa lainnya berpotensi untuk pengolahan kulit bulu kelinci dan kambing. Kendala dan masalah yang dihadapi dalam pemasyarakatan dan pengembangan agroindustri kulit bulu Kelinci di beberapa lokasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
(1) Kurangnya populasi ternak kelinci di lokasi
Dieng, Jawa Tengah. PT Dirra Farm dan kelompok peternak Toto Raharjo sebagai mitra belum berhasil meningkatkan populasi ternak kelinci karena tingkat mortalitas ternak tinggi yang disebabkan keterbatasan ruang dan tenaga pemeliharaan. Mortalitas juga diduga karena pemberian sisa sayuran yang masih mengandung residu. Hal-hal tersebut menyebabkan terhentinya usaha pengolahan produk kelinci ; (2) Usaha pengembangan pengolahan produk daging kelinci di Lembang, kabupaten Bandung masih terbatas konsumsinya walaupun berpotensi karena secara tradisional sudah lama ada warung/restoran yang menjual makanan daging kelinci. Untuk pengembangan pengolahan kulit bulu, memerlukan usaha pemasyarakatan teknologi yang tepat dan didukung oleh penyediaan bahan baku ternaknya. Setelah dilakukan gelar teknologi di Lembang, diperlukan langkah lanjutan dari instansiinstansi terkait di Kabupaten Bandung agar permintaan untuk pelatihan dan magang dapat dari kelompok peternak dan pengusaha dapat diwujudkan.
73
3.3.
Pengembangan Kemitraan Agroindustri Tepung Kasava.
Kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun 2004 adalah: a. Pengembangan produk olahan tepung kasava yang diperlukan pasar, meliputi kegiatan: (a) pemilihan produk olahan yang layak, (b) uji preferensi konsumen/pengguna produk tepung kasava, (c) perbaikan teknik penyajian dan pengemasan.
b. Pembinaan sumber daya manusia terhadap pelaku agroindustri tepung kasava yang meliputi kegiatan: 1. Pelatihan penerapan sistem manajemen mutu (ISO 19-9001-2001) terutama pada persyaratan teknis karena pelatihan persayaratan manajemennya telah dilaksanakan pada tahun 2003. Pelatihan diikuti kelompok tani
dan operator unit pengolahan tepung kasava di lokasi
mitra binaan Kelompok Tani Setia Harapan, Desa Tambah Subur, Kecamatan Probolinggo Utara, Kabupaten Lampung Timur. 2. Gelar teknologi/promosi/pameran. Gelar teknologi, diselenggarakan pada tanggal 7 September 2004 bertempat di Auditorium BPTP Lampung, bekerjasama dengan BPTP Lampung dan Pemda Propinsi Lampung. Tujuan kegiatan gelar teknologi adalah dalam rangka promosi pemasaran tepung kasava dan menjalin kerjasama antar stakeholder dalam agroindustri ubi kayu di Lampung. Acara dalam gelar teknologi adalah seminar, pameran dan demonstrasi teknologi pengolahan makanan dari bahan tepung kasava.
Dalam acara seminar telah disampaikan makalah Peluang
Pengembangan
Agroindustri
Tepung
Kasava
Lampung
oleh
Ir.
Suismono, MS. Peserta gelar teknologi adalah petani/kelompok tani, pengusaha, dinas-dinas lingkup pemerintah daerah propinsi Lampung, anggota DPRD Propinsi Lampung, Dharma Wanita Pemda Propinsi Lampung, dosen perguruan tinggi dan peneliti. Promosi pemasaran juga dilakukan dengan membantu memasarkan tepung kasava
74
sebanyak 3.115 kg ke PT Pachira Distrinusa – Tangerang. Tepung kasava dari Kelompok Tani Setia Harapan, Lampung tersebut setelah diuji di laboratorium
PT
Pachira
Distrinusa,
ternyata
telah
memenuhi
persyaratan mutu walaupun dikategorikan mutu II.
Beberapa
kendala
dan
masalah
yang
dapat
dirumuskan
dalam
pemasyarakatan dan pengembangan agroindustri tepung kasava di Lampung adalah sebagai berikut: 1. Pemasaran
produk
masih
terbatas
jumlahnya.
Hal
ini
disebabkan
kurangnya informasi pemasaran tepung kasava ; hasil survey pemasaran menunjukkan bahwa ada peluang pemasaran ke beberapa perusahaan makanan antara lain di Jawa Barat dan juga pemasaran untuk bahan baku industri lokal serta bahan untuk ekspor. 2. Kapasitas produksi di mitra binaan dianggap masih rendah (1-2 ton/hari) dibandingkan dengan kapasitas produksi ubi kayu. 3. Ragam pemanfaatan tepung kasava masih
terbatas untuk produk
makanan. Usaha untuk mengatasi kendala-kendala tersebut antara lain; (a) meningkatkan
kapasitas
produksi
tepung,
(b)
meningkatkan
promosi
pemasaran, (c) meningkatkan tingkat mutu tepung, (d) menciptakan ragam produk olahan dari tepung kasava, tidak hanya untuk produk makanan tapi juga produk non-pangan.
3.4. Pengembangan Kemitraan Agroindustri Padi Tujuan dari kegiatan adalah: (1) Menyempurnakan inhouse model agroindustri padi yang sudah ada di Laboratorium Pascapanen Karawang, (2) Menerapkan paket industri padi berdaya saing yang menerapkan sistem manajemen mutu di penggilingan padi (PP) Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Pancasari, desa Jatireja, kecamatan
Compreng, Kabupaten Subang,
Jawa Barat. Hasil – hasil kegiatan pada tahun 2004 adalah sebagai berikut:
75
1. Penyempurnaan dan penerapan in-house model teknologi agroindustri padi di Laboratorium Pascapanen Karawang. Dilakukan bekerjasama dengan Koperasi Pascapanen Karawang. Yang ingin dicapai adalah mampu memproduksi hasil utama (beras), hasil samping
dan
limbah
yang
berkualitas
dengan
menerapkan
sistem
manajemen mutu. Telah dilakukan koordinasi dengan Koperasi Pascapanen Karawang untuk: (a) Menyamakan persepsi tentang sistem manajemen mutu,
(b)
Sosialisasi
Good
Agricultural
Practices
(GAP)
dan
Good
Manufacturing Practices (GMP), (c) Penyusunan petunjuk teknis GAP dan GMP, (d) Pembinaan teknik operasional agroindustri padi. Untuk mendapatkan gabah berkualitas baik, koperasi Pascapanen Karawang bekerjasama dengan kelompok tani Tirta Bakti, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang dengan luas lahan 27 ha. Pembinaan cara bercocok tanam yang baik dilakukan oleh Petugas Penyuluh Pertanian Lapanagn sesuai paket rekomendasi Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Karawang. Pembinaan
teknik
operasional
model
agroindustri
padi
di
penggilingan padi Laboratorium Pascapanen Karawang diarahkan untuk meningkatkan efisiensi aliran bahan dari satu unit proses ke unit proses lainnya
dalam
rangkaian
proses
penggilingan.
Sebagai
hasilnya,
penggilingan padi ini telah mampu menghasilkan produk utama (beras) yang berkualitas berupa beras slip, beras kepala dan beras kristal.
Mutu
beras giling yang dihasilkan selama tahun 2004 secara konsisten memenuhi persyaratan mutu beras SNI No. 01-6128-1999 dan masuk kelas mutu III dengan rendemen giling yang relatif tinggi yaitu rata-rata 65%.
Dalam
rangka mendapat jaminan pasar yang baik, telah dilakukan kerjasama antara Koperasi Pascapanen Karawang dengan PT Agrisindo selain kerjasama dengan kelompok tani Tirta Bakti untuk mendapatkan pasokan gabah yang bermutu. Kerjasama ini diharpkan akan menguntungkan baik bagi petani, Koperasi maupun PT Agrisindo. Produk samping (beras pecah
76
dan beras menir) telah dapat diolah menjadi tepung beras dan kerupuk legendar yang nilai jualnya lebih tinggi. Produk limbah (sekam) telah dapat dimanfaatkan menjadi arang/briket arang sekam. dihasilkan telah diminati dan
diuji
Arang sekam yang
oleh PT Joro Horticulture Supplier di
Lembang sebagai media tumbuh tanaman hidroponik dan mutunya dianggap terbaik dibandingkan arang sekam dari pabrik penggilingan lain. Kebutuhan arang sekam PT Joro 15 ton/tahun. Arang sekam juga telah digunakan
sebagai bahan bakar mesin pengering bahan bakar sekam
(BBS) di Laboratorium Karawang untuk pengeringan gabah. Hasilnya menunjukkan layak secara teknis maupun ekonomis terutama pada saat musim hujan.
2. Penerapan paket industri padi berdaya saing melalui penerapan sistem manajemen mutu di Penggilingan Padi Gapoktan Pancasari, Compreng, Subang.
Gapoktan terdiri dari 5 kelompok tani dengan areal sawah 500 ha di wilayah Peningkatan Mutu Intensifikasi (PMI) dengan binaan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang sehingga gabah kering panennya (GKP) terjamin mutunya dengan diterapkannya GAP. Dengan pembinaan BB-Pascapanen, PP Gapoktan Pancasari yang mulai
operasional
Oktober
2003
telah
mampu
menerapkan
sistem
manajemen mutu beras yang telah dapat memberi jaminan mutu beras bagi konsumennya.
Kegiatannya meliputi penerapan petunjuk teknis
budidaya (GAP) padi yang baik bersama Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Kabupaten
Subang
dan
penerapan
petunjuk
teknis
pengolahan/penggilingan (GMP) padi. Penerapannya terbukti dengan telah tercapainya konsistensi produksi beras 10 ton/hari dan konsistensi mutu berasnya. Dari bulan Januari sampai Oktober 2004 telah digiling 1.102 ton gabah kering giling berkualitas. Pemasaran berasnya telah mencakup
77
wilayah Jakarta dan Jawa Barat dengan menggunakan kemasan merek GPS. Dengan penerapan GAP, petani telah mampu memberi jaminan mutu gabahnya bagi penggilingan padi, sebaliknya penggilingan padi memberi jaminan gabah dibeli dengan harga layak bila memenuhi persyaratan mutu. Penggilingan memberi jaminan mutu berasnya bagi para pedagang beras dan dibeli dengan harga yang layak. Pendaftaran label SNI beras milik Gapoktan Pancasari dengan merek NYI POHACI telah disampaikan ke Departemen Kehakiman dan HAM dan sedang dalam proses. Beberapa
kendala
dan
masalah
yang
dihadapi
dalam
pemasyarakatan dan pengembangan kemitraan agroindustri padi adalah sebagai berikut:
1. Dalam
pengembangan
in-house
model
Laboratorium
Karawang,
kendala yang dihadapi antara lain pemasaran hasil olahan produk samping berupa
tepung beras. Pada tahun 2004, umumnya produk
samping (menir dan dedak) masih dipasarkan tanpa diolah lebih lanjut.
2. Walaupun sudah ada swasta (PT Joro, Lembang) yang membeli arang sekam, namun keuntungan yang diperoleh belum optimum, tidak sebanding dengan resiko yang terjadi dalam transportasi ke Lembang. Walaupun demikian mengingat arang sekamnya bermutu baik dan PT Joro membutuhkannya (15 ton/tahun), dapat dirundingkan kemungkinan harga jual yang lebih tinggi dari Rp. 3.750,-/karung (15 kg).
3. Proses pendaftaran sertifikasi SNI dan labelnya masih perlu menunggu dalam waktu lama karena di Indonesia belum ada lembaga sertifikasi produk yang mempunyai ruang lingkup untuk gabah dan beras.
78
4. Kendala yang dihadapi PP Gapoktan untuk berproduksi secara kontinyu pada tahun 2004 adalah tidak adanya fasilitas pengering yang memadai. Fasilitas mesin pengering yang ada hanya 3 ton GKP, dibawah kapasitas mesin giling padinya sebesar 14 ton GKP/hari. Pada saat panen raya musim hujan, PP Gapoktan kesulitan mengeringkan gabahnya karena sulit mendapatkan lantai jemur yang dapat disewa. Pada musim kemarau, PP Gapoktan tidak kesulitan menyewa lantai jemur meskipun harus keluar tambahan biaya untuk ongkos transportasi.
Untuk mengatasi kendala tersebut di atas, dapat diusulkan hal-hal sebagai berikut: (1) Membuat promosi pemasaran untuk produk hasil samping (tepung beras
menir
dan
dedak
awet)
dengan
kemasan
yang
menarik,
(2)
Merundingkan kembali harga jual yang lebih tinggi untuk arang sekam dengan PT Joro, Lembang atau mencari pembeli baru yang lebih menguntungkan, (3) Jika memungkinkan meningkatkan kapasitas mesin pengering antara lain dengan menambah unitnya. Beberapa kegiatan kerjasama lainnya yang telah dikembangkan dalam tahun 2004 adalah seperti dapat dilihat pada Tabel 4.
79
Tabel 4. Judul Kegiatan Kerjasama Pascapanen dengan Mitra Kerjasama No Judul Kegiatan Nama Mitra Ruang Lingkup Kerjasama 1 Teknologi Dinas Perindustrian dan • Identifikasi dan Pengolahan Minyak Perdagangan karakterisasi bahan baku Kelapa Secara kabupaten Cianjur, dan produk Terpadu Koperasi Mutiara baru • Pengujian kualitas minyak kelapa murni • Scale up proses minyak kelapa murni • Pembinaan kemitraan usaha 2
Teknologi Pengolahan Puree Mangga Skala UKM
Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, PT Promindo Utama
• Penyedianan paket teknologi pengolahan mangga menjadi puree • Pengembangan puree skala UKM
3
Pengembangan Aplikasi Teknologi Far Infrared (FIR) dalam Pembuatan Minuman Kesehatan Berbasis Asparagus (Asparagus Officinalis)
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, PT Asparagus Japonica International
• Memanfaatkan teknologi Far Infrared (FIR) untuk pengolahan minuman kesehatan berbasis Asparagus • Menyebarluaskan hasil penelitian, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat
4
Teknologi Lada
Food and Agricultural Organization (FAO)
• Pengembangan Teknologi pascapanen Lada di Kalimantan Timur
5
Penelitian Penanganan Pascapanen Padi
International Rice Research Institute
• Penyimpanan Hermetik Gabah • Mutu gabah
80
KELEMBAGAAN BB-PASCAPANEN A. Dukungan Kelembagaan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB Pascapanen) merupakan pengembangan organisasi dari Balai Penelitian Pascapanen Pertanian
(Balitpasca).
Seiring dengan peningkatan status
organisasi tersebut, maka struktur organisasinya juga mengalami perubahan. Sesuai Keputusan Menteri Pertanian No. 632/Kpts/OT.140/12/-2003 tanggal 30 Desember 2003, B.B Pascapanen mempunyai 3
Bagian/Bidang dan 7
Sub
Bagian/Seksi serta Kelompok Jabatan Fungsional. Kelompok fungsional yang mendukung kegiatan penelitian pascapanen di BB-Pascapanen terdiri dari 4 kelompok, yaitu Kelompok Peneliti (Kelti) Proses Kimia, Kelti Proses Fisik, Kelti Proses Biologi, dan Kelti Pengelolaan Sistem Mutu.
Gambar 18. Struktur organisasi BB-Pascapanen
Dengan berubahnya status organisasi dari Balitpasca (eselon IIIA) menjadi BB-Pascapanen (eselon IIB), maka diperlukan kelembagaan yang mapan dan sumber daya yang kuat serta handal dalam menjalankan fungsi penelitian dan pengembangan pascapanen. Semakin luasnya jangkauan penelitian dan pengembangan, makin besar pula kebutuhan sumber daya, dana, sarana dan
81
prasarana yang perlu dikembangkan. Oleh karena itu, BB-Pascapanen dalam kurun waktu 2005-2009 akan meningkatkan sumber daya yang dimiliki untuk dapat menghasilkan teknologi yang bermutu guna memberi keuntungan dan manfaat bagi petani dan pelaku agribisnis.
B. Perencanaan Kegiatan
Perencanaan
dan
Penyusunan
Program
Penelitian
dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian merupakan salah satu kegiatan Manajemen Perencanaan Penelitian BB-Pascapanen TA 2004, yang disusun berdasar kepada kebijakan Departemen Pertanian, Program Badan Litbang Pertanian, Renstra Badan Litbang Pertanian, dan Renstra BB-Pascapanen. Pada TA 2004, pelaksanaan kegiatan Perencanaan dan Penyusunan Program Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, bertujuan untuk 1) mengevaluasi matrik dan proposal penelitian 2005, 2) menyusun rencana kegiatan penelitian dan anggaran dalam bentuk LK DIP dengan software RKKAL berdasarkan satuan 3, 3) mengkoordinasikan Penyusunan dan Evaluasi Renstra BB-Pascapanen 2005 – 2009, 4) penyusunan LAKIP dan Kinerja BB-Pascapanen 2004, 5) menyusun bahan Rapim BB-Pascapanen 2004, 6) melaksanakan
validasi
dan
updating
SIMPROG
dan
SIMKEU
2004,
7)
penyusunan laporan keuangan Sistem Akuntansi Pemerintahan 2004, dan 8) memadukan kegiatan litkaji pascapanen antara BB-Pascapanen dan BPTP.
C. Sumberdaya Manusia Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, BB-Pascapanen didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) sebayak 145 tenaga yang terdiri dari 68 orang tenaga peneliti; 21 orang tenaga teknisi dan 56 orang tenaga administrasi. Berdasarkan strata pendidikan terdiri atas 8 orang S3; 20 orang S2; 38 orang S1; 10 orang S0 dan 68 orang setingkat SLA. Sebanyak 4 orang tenaga penelitinya masih menyelesaikan program S2 dan S3 di dalam dan di luar negeri. Status SDM BB-Pascapanen pada tahun 2004 ditunjukkan pada Tabel 5.
82
Tabel 5. Suber Daya Manusia BB-Pascapanen per 31 Desember 2004 Pendidikan Fungsional • S3 • S2 • S1 • S0 • SLA Struktural/Proyek • S3 • S2 • S1 • S0 • SLTA • SLTP • SD Jumlah
Jumlah, (orang)
Usia s/d 50 tahun, (orang)
Usia 51 s/d 60 tahun, (orang)
8 18 34 8 21
4 14 30 5 15
4 4 4 3 6
0 2 4 3 40 3 4 145
0 1 3 3 36 3 4 118
0 1 1 0 4 27
SDM merupakan aset yang sangat berharga bagi suatu organisasi. Tujuan suatu organisasi tidak dapat tercapai tanpa memiliki SDM yang handal. Masalah yang dihadapi dalam pengembangan SDM adalah berkurangnya tenaga peneliti, teknisi, analis dan administrasi pada lima tahun mendatang karena banyak yang akan menjalani masa pensiun. Oleh karena itu program rekruitmen serta rasionalisasi antara tenaga S3, S2, S1, teknisi dan administrasi akan menjadi perhatian BB-Pascapanen. Selain tiu, BB-Pascapanen berupaya untuk dapat selalu meningkatkan kemampuan dan profesionalisme SDM yang dimilikinya. Upaya peningkatan kemampuan SDM dilakukan melalui training jangka pendek, training jangka panjang, tugas belajar, magang, dan seminar.
D. Pembiayaan Dana yang diperlukan BB-Pascapanen untuk melaksanakan tupoksinya berasal dari APBN, Loan dan kerjasama dengan instansi pemerintah dan swasta. Biaya kegiatan penelitian dan non penelitian TA. 2004 disajikan pada Tabel 2. Pembiayaan kegiatan BB-Pascapanen untuk melaksanakan tupoksinya pada tahun 2004 berasal dari dana DIP dan DIK. Dana Proyek Teknologi
83
Pascapanen berasal dari The Participatory Development of Agricultural Technology Project/PAATP yang bersumber dari APBN dan Loan.
Tabel 6. Alokasi dana penelitian dan non penelitian pada BB-Pascapanen TA. 2004 Alokasi dana A. DIP + DIK BB-Pascapanen 1. Dana kegiatan penelitian dan pengembangan serta diseminasi • Penelitian dan Pengembangan 1. Penelitian Pengolahan Puree Mangga & Sirsak 2. Penelitian Model Agroindustri Pengolahan Mente Terpadu 3. Pengembangan Pengolahan Minyak Kelapa Murni Terpadu 4. Penelitian Perbaikan Mutu dan Keamanan Pangan Susu di tingkat Peternak dan Koperasi Susu 5. Penelitian Pengembangan Produk Bunga Kering dan Ekstraksi Minyak Bunga 6. Penelitian Produk Sayuran Instan melalui Teknologi FIR (Far Infra Red) 7. Penelitian Pengembangan Tek. Pengolahan Pangan Non Beras Berbasis Sagu, Sukun dan Labu Kuning 8. Penelitian Perilaku kontaminan pada Komoditas Sayuran • Diseminasi 2. Dana kegiatan non penelitian • Penyusunan program • Pengadaan sarana (gedung dan barang modal) • Administrasi umum
Anggaran (Rp.)
Realisasi (Rp.)
142.368.000 225.000.000
140.536.681 218.867.476
228.028.000
222.427.658
221.749.000
215.596.713
399.499.000
397.007.045
200.400.000
197.727.624
614.993.000
604.789.266
199.449.000
192.700.468
1.087.623.000
1.078.289.000
574.278.000 310.987.000 2.085.784.000
571.458.000 300.610.000 2.845.427.000
B. DIP Proyek PAATP Kegiatan Pengembangan Teknologi Pengolahan Pasta Cabai dan Tomat Skala Agroindustri Mendukung Agribisnis Sayuran
80.000.000
80.000.000
C. DIP Proyek Poor Farmer Kegiatan Penelitian dan Pengkajian Pengembangan Model Pengolahan Padi
89.150.000
71.320.000
1.200.000.000
1.136.375.000
7.742.252.000
8.354.849.000
D. DIP Proyek Pengembangan Laboratorium Pembangunan Gedung Kantor Jumlah
Keterangan : Anggaran minus Rp. 612.597.000,- hal ini disebabkan : - Gaji beberapa PNS pindahan dari instansi lain dibebankan pada BB-Pascapanen, sementara anggaran yang tersedia tidak berubah
84
1. Fasilitas Penelitian BB-Pascapanen memiliki fasilitas laboratorium dan bangsal pengolahan yang cukup memadai di tiga lokasi yaitu Bogor, Jakarta, dan Karawang. Laboratorium Pasarminggu, Jakarta memiliki kompetensi di bidang pengujian mutu dan keamanan pangan, serta pengolahan produk aneka minuman, candy, dan baking. Laboratorium Karawang memiliki kompetensi di bidang pengujian mutu fisik dan pengolahan aneka tepung. Laboratorium Bogor merupakan laboratorium induk dengan akurasi tinggi yang memiliki kompetensi di bidang analisis kimia dan biokimia, dan dilengkapi dengan fasilitas pengolahan
bidang
teknologi
kimia
dan
bioproses.
Sejalan
dengan
ditingkatkannya fasilitas laboratorium dan bangsal di Bogor mulai akhir tahun 2004, laboratorium di Jakarta akan dipindahkan ke Bogor.
2. Sarana pendukung Sarana pendukung yang dimiliki berupa kendaraan bermotor roda empat 7 unit yang terdiri 1 unit L300 (tahun 1982); 1 unit Jeep CJ7 (tahun 1983); Jeep Toyota Hard Top (tahun 1982), 2 unit minibus Toyota Kijang (tahun 2003); 1 unit Toyota Kijang bak terbuka (tahun 2003); 1 unit minibus Mitsubishi Kuda (tahun 2003); Sepeda motor 2 unit terdiri 1 unit Suzuki A100 (tahun 2002) dan 1 unit Honda GL Pro (tahun 2002) yang berada di Pasarminggu dan Karawang. 3. Pengembangan sarana dan prasarana Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh BB-Pascapanen secara bertahap dilengkapi untuk mendukung kelancaran tugas yang dimandatkan ke BB-Pascapanen. Pada TA 2004 BB-Pascapanen mendapatkan alokasi anggaran dari Proyek Pengembangan Laboratorium untuk pembangunan gedung administrasi dan aula. Buku/Jurnal ilmiah mengenai pascapanen yang tersedia masih sangat terbatas. Agar tidak tertinggal dalam mendapatkan informasi yang up-to-date mengenai ilmu pengetahun baik yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan program pascapanen,
maka BB-Pascapanen secara terus
85
menerus akan melengkapi perpustakaannya dengan buku/jurnal ilmiah. Diharapkan dengan adanya buku/jurnal ilmiah dapat memberi informasi bagi yang membutuhkan dan menambah referensi serta menimbulkan gagasangagasan baru bagi para peneliti untuk dapat menghasilkan inovasi teknologi pascapanen yang bermutu. Untuk mendukung kegiatan program penelitian masih sangat diperlukan tambahan peralatan laboratorium. Kegiatan analisis maupun proses penelitian memerlukan peralatan laboratorium yang dapat mendukung kecepatan dan ketepatan analisis sehingga akurasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan pascapanen dapat dipertanggungjawabkan. Peralatan laboratorium yang dimiliki oleh BB-Pascapanen banyak yang sudah tua dan rusak. Oleh karena itu, BB-Pascapanen akan berupaya mendapatkan peralatan laboratorium untuk melengkapi kekurangan peralatan dan penggantian yang sudah rusak. Selain mengganti peralatan, untuk meningkatkan akurasi analisis dan mendapatkan kepercayaan serta pengakuan masyarakat luas, telah pula dimulai persiapan menuju akreditasi laboratorium pengujian.
86
PENUTUP
Perubahan lingkungan strategis yang terjadi di tingkat nasional terutama kebijakan pembangunan pertanian mewarnai arah dan program penelitian di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian diharapkan dapat memberi kontribusi yang besar dalam melahirkan inovasi teknologi pascapanen yang dapat diimplementasikan oleh petani maupun pelaku agribisnis, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dan daya saing baik di pasar domestik maupun internasional. Era otonomi daerah dan berlakunya Undangundang No. 18/2002 mengenai Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK, juga turut mempengaruhi strategi penerapan IPTEK di lapangan. Besarnya tuntutan pemerintahan yang baik terhadap penyelenggaraan lembaga pemerintah dengan tiga ciri utama, yaitu kredibilitas, akuntabilitas, dan transparansi, selalu menjadi acuan dalam pelaksanaan tupoksi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Dengan segala kekurangan yang ada, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian telah berupaya untuk berperan nyata dalam pembangunan pertanian. Keberadaan dan hasil inovasi teknologi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian tetap diharapkan dapat bermanfaat bagi petani dan pelaku agribisnis. Semoga di masa mendatang Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian lebih banyak lagi menghasilkan karya nyata yang inovatif, teknologi yang membumi sesuai sumber daya yang melimpah, dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
87
Lampiran 1a. Matrik Judul RPTP pada BB-Pascapanen TA. 2004 No 1.
Judul RPTP
Status
Penelitian pengembangan teknologi pangan berbasis sagu,
Lanjutan
sukun dan labu kuning 2.
Penelitian pengembangan produk bunga kering dan
Lanjutan
ekstraksi minyak bunga 3.
Penelitian sayuran instan melalui teknologi FIR
Lanjutan
4.
Penelitian pengolahan puree mangga dan sirsak skala
Lanjutan
komersial 5.
Penelitian model agroindustri pengolahan mete terpadu
Lanjutan
6.
Pengembangan pengolahan minyak kelapa murni terpadu
Lanjutan
7.
Penelitian perilaku kontaminan pada komoditas sayuran
Baru
8.
Penelitian perbaikan mutu dan keamanan susu di tingkat
Baru
peternak dan koperasi susu 9.
Diseminasi dan komunikasi program dan hasil penelitian
Lanjutan
pascapanen
88
Lampiran 1b. Matrik Judul RPTP pada BB-Pascapanen TA. 2005 No 1.
Judul RPTP
Status
Penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan sagu
Lanjutan
sebagai pangan pokok di kawasan timur Indonesia 2.
Penelitian dan pengembangan produk hilir pati kasava
Baru
3.
Pengembangan teknologi penanganan dan pengolahan
Baru
jeruk 4.
Penelitian dan pengembangan teknologi pengolahan
Baru
jagung terpadu 5.
Pengembangan teknologi penanganan dan pengolahan
Lanjutan
cabe dan tomat 6.
Pengembangan teknologi pengolahan minyak kelapa
Lanjutan
murni dan produk terunannya 7.
Penekanan kehilangan hasil pascapanen padi dan
Baru
penerapan Good ManufacturePracties 8.
Indentifikasi kontaminan dan perbaikan mutu produk
Lanjutan
sayuran (kubis, tomat, wortel) 9.
Penelitian perbaikan mutu dan keamanan pangan susu di
Lanjutan
tingkat peternak dan koperasi susu 10.
Teknologi pemanfaatan tanaman untuk bahan baku industri
Baru
biofarmaka 11.
Pengembangan teknologi pengolahan mete terpadu
Lanjutan
89
B
4
Penelitian dan
3
1.640.785 1.640.785 2.096.305
Total DIK
Total DIP + DIK TA. 2004
455.520
12.000
386.760
-
56.760
2.851.537
2.404.837
2.404.837
446.700
10.980
379.080
-
56640
Gaji/Upah Pagu Realisasi (Rp.000) (Rp.000)
Administrasi Umum
DIK TA. 2004
Total DIP
Evaluasi
Pemantauan dan
Diseminasi
Pengadaan Sarana
2
Teknis
Penyusunan Rencana
DIP TA. 2004
A
1
Jenis Anggaran
No
310.987
-
-
310.987
-
-
310.987
-
-
300.610
-
-
300.610
-
-
300.610
Biaya Modal Pagu Realisasi (Rp.000) (Rp.000)
3.965.810
297.712
297.712
3.668.098
135.287
3.015.293
-
517.518
3.915.020
295.101
295.101
3.619.919
134.509
2.970.592
-
514.818
Non Pegawai Pagu Realisasi (Rp.000) (Rp.000)
6.373.102
1.938.497
1.938.497
4.434.605
147.287
3.402.053
310.987
574.278
89
7.067.167
2.699.938
2.699.938
4.367.229
145.489
3.349.672
300.610
571.458
Total Pagu Realisasi (Rp.000) (Rp.000)
Lampiran 2a. Rekapitulasi Realisasi Anggaran Rutin dan Pembangunan pada BB-Pascapanen Tahun 2004
1.311.570 1.717.770
Administrasi Umum
Total DIPA 2005
5
-
-
Penyelenggaraan PNBP
Bangunan
Pengadaan Barang dan
364.700
41.500
4
3
Penelitian dan
2
Diseminasi
Penyusunan Program
1
DIP TA. 2005
1.924.084
1.780.444
-
-
128.840
14.800
2.462.754
401.224
-
2.061.530
-
-
213.099
16.390
-
196.709
-
-
3.793.777
1.177.313
7.000
-
2.292.944
316.520
1.614.941
723.747
-
-
779.582
111.612
7.974.301
2.890.107
7.000
2.061.530
2.657.644
358.020
90
3.752.124
2.520.581
-
196.709
908.422
126.412
Lampiran 2b. Rekapitulasi Realisasi Anggaran Pembangunan dan Rutin pada BB-Pascapanen Tahun 2005 (Realisasi kumulatif per 31 Agustus 2005) No Jenis Anggaran Gaji/Upah Biaya Modal Non Pegawai Total Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi Pagu Realisasi (Rp.000) (Rp.000) (Rp.000) (Rp.000) (Rp.000) (Rp.000) (Rp.000) (Rp.000)