RANCANGAN
LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI III DPR RI DENGAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA --------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari;tanggal Waktu Tempat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Hadir Izin Acara
: 2014-2015 : II : : Terbuka : Rapat Kerja : Rabu, 28 Januari 2015 : Pukul 10.08 s.d. 16.30 WIB : Ruang Rapat Komisi III DPR RI. : DR. HM. Aziz Syamsuddin, S.H./ Ketua Komisi III DPR-RI : Dra. Tri Budi Utami, M.Si /Kabag Set.Komisi III DPR-RI. : 43 orang Anggota dari 54 orang Anggota Komisi III DPR-RI. : - orang Anggota : Membicarakan mengenai penjelasan terkait pelaksanaan eksekusi mati, permasalahan di lapangan maupun permasalahan terkait legislasi.
KESIMPULAN/KEPUTUSAN I.
PENDAHULUAN Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung dibuka pukul 10.00 WIB oleh Ketua Komisi III DPR RI, DR. H. M. Aziz Syamsuddin, S.H. dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas.
II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN 1. Beberapa hal yang disampaikan kepada Jaksa Agung, diantaranya sebagai berikut: 1) Meminta penjelasan Jaksa Agung terkait pelaksanaan eksekusi mati, permasalahan di lapangan maupun permasalahan terkait legislasi berkaitan
dengan hal tersebut.
2) Meminta penjelasan Jaksa Agung terkait upaya yang dilakukan dalam optimalisasi peningkatan kinerja secara menyeluruh, professional, dan proporsional. 3) Meminta penjelasan Jaksa Agung terkait pembentukan satgas anti korupsi, beserta tupoksi serta capaian-capaian yang hendak diwujudkan dari pembentukan lembaga tersebut. 4) Bagaimana pelaksanaan hukuman mati bisa tetap berjalan tanpa mengganggu hubungan baik dengan negara lain. Dalam konteks hubungan antar negara, diplomasi harus dilakukan dengan baik agar menjaga hubungan baik dengan negara sahabat, mengingat ada WNI yang juga dijatuhi hukuman mati. 5) Bahwa jaringan terbesar narkoba itu terdapat di Lapas sebesar 75%. Sejauh mana Kejaksaan Agung mendeteksi bandar-bandar narkoba di Lapas. 6) Ketegasan Jaksa Agung dalam melaksanakan putusan yang telah inkracht terhadap eksekusi hukuman mati, dan diharapkan apabila proses hukumnya telah inkracht dan permohonan grasinya ditolak harus segera dieksekusi agar tidak menunggu terlalu lama. 7) Tindaklanjut pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc, sebagaimana rekomendasi DPR RI periode sebelumnya atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Trisakti dan Semanggi. Meminta Jaksa Agung untuk dapat menindaklanjutinya 8) Dalam pembentukan Satgas anti korupsi ada 2 unsur utama yang harus diperbaiki yaitu adanya kepastian tidak ada intervensi dan tingkatkan pengawasan dalam penyelesaian kasus. Bagaimana Kejaksaan Agung dapat memastikan bahwa Satgassus ini benar-benar diyakini sebagai instrument yang dapat memberantas korupsi. Satgassus dalam menjalankan tugasnya agar tidak terlalu banyak dipublikasikan. Satgassus ini pada dasarnya berada di bawah kuasa siapa? jangan sampai keberadaan Satgassus ini hanya membebani anggaran dan jangan pencitraan Kejaksaan Agung dalam menyelesaikan kasus Tipikor. 9) Tindaklanjut Reformasi Birokrasi di Kejaksaan Agung dikaitkan dengan UU tentang Aparatur Sipil Negara. Apakah progress reformasi birokrasi telah sampai pada tahap penyusunan SOP yang menyeluruh. 10) Bahwa IT menjadi elemen yang sangat penting untuk meningkatkan kinerja pemerintah, (sejak tahun 2006 telah diupayakan suatu sistem informasi/ SIMKARI). Sejauh mana SIMKARI mendapatkan perhatian dari pimpinan Kejaksaan Agung. 11) Meminta penjelasan Kejaksaan Agung tentang sistem promosi dan mutasi yang berjalan selama ini. 12) Dengan adanya Satgassus yang dibentuk oleh Jaksa Agung, bagaimana tindaklanjut MoU antara Kejaksaan dan KPK. 2
13) Meminta penjelasan parameter Kejaksaan dalam menuntut pidana mati, serta evaluasi terhadap eksekusi hukuman mati, apa kendala dan hambatannya. 14) Terkait dengan perlindungan HKI, yaitu perubahan delik hak cipta dari delik biasa menjadi delik aduan, meminta penjelasan Jaksa Agung terkait ketidaksinkronan Kejaksaan dan Polri dalam melaksanakan perlindungan Hak Cipta. 15) Bahwa dalam Kasus penganiayaan seorang perempuan yang dianiaya oleh 7 orang di Bojonegoro Jawa Timur, tuntutan yang dilakukan oleh pihak Kejari Bojonegoro jauh lebih rendah daripada ancaman pidana yang terdapat di dalam pasal yang dikenakan, mengapa hal tersebut bisa terjadi. 16) Bahwa PPATK telah menyampaikan sebanyak 252 LHA kepada Kejaksaan Agung, berapa LHA yang telah ditindaklanjuti. 17) Meminta penjelasan Jaksa Agung terkait tindaklanjut kasus korupsi pembelian pesawat Merpati Airlines dari China yang belum ada penyelesaian sampai sekarang. 18) Terkait dengan terpidana mati kasus Bali Nine, dalam pelaksanaan eksekusinya, masyarakat Bali mengharapkan agar pelaksanaan eksekusi mati dilaksanakan di luar pulau Bali. 19) Apakah Putusan MK yang berkaitan dengan PK lebih dari satu kali menjadi kendala dalam eksekusi hukuman mati. 20) Komisi III DPR RI meminta penjelasan Jaksa Agung tentang perbedaan dalam pemahanan antara Satgassus dengan Jampidsus, apakah Satgassus ini dalam rangka ke dalam atau ke luar. 21) Terkait dengan PNBP Kejaksaan yang berkenaan dengan hasil tilang, diharapkan dapat dibahas bersama-sama dengan Kepolisian dan Kementerian Keuangan. 2. Beberapa hal penjelasan dari Jaksa Agung RI diantaranya adalah sebagai berikut : Terkait dengan eksekusi mati, setelah melalui proses hukum sesuai dengan ketentuan Undang Undang, maka Kejaksaan R.I. selaku eksekutor yang melaksanakan putusan hakim telah melakukan koordinasi dengan instansi terkait (Menkumham, Polri dan instansi terkait lainnya) untuk persiapan eksekusi mati dimaksud. Dari hasil inventarisasi, ada 6 (enam) terpidana mati sudah berkekuatan hukum tetap sehingga seluruh aspek yuridis sudah terpenuhi dan tidak ada lagi proses hukum yang dijalani lagi oleh terpidana Permasalahan terkait dengan legislasi pelaksanaan hukuman mati adalah timbulnya norma baru yang merubah ketentuan pengajuan peninjauan kembali (PK) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali berdasarkan Putusan 3
Mahkamah Konstitusi nomor : 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 atas uji materiil Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Meskipun mengenai pengajuan PK kembali tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (vide Pasal 268 ayat (1) KUHAP), namun Kejaksaan merasa perlu memperhatikan dengan seksama adanya putusan MK tersebut, apalagi yang akan dieksekusi adalah terpidana mati, sehingga diperlukan kesiapan dari segala aspek terutama aspek hukum yang terkait. Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) No. 7 tahun 2014 tanggal 31 Desember 2014, yang menyatakan PK hanya boleh dilakukan satu kali. SEMA tersebut mendasarkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 hanya menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia, sehingga tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur Permohonan PK dalam Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 Tentang MA sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 tahun 2004 Jo. UU No. 3 tahun 2009 yang menyebutkan PK hanya dapat dilakukan satu kali. Surat Edaran tersebut di pandang sebagai langkah bijak dalam mengatasi persoalan pelaksanaan pidana mati, namun dengan mengingat sifat dari Surat Edaran Mahkamah Agung tidak mengikat Kejaksaan selaku pelaksana putusan pengadilan, sehingga Kejaksaan selalu berupaya untuk melakukan pelaksanaan pidana mati secara profesional dan proporsional. Optimalisasi peningkatan kinerja secara menyeluruh dan independen, profesional dan proporsional merupakan komitmen kejaksaan yang termuat dalam Rencana Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kejaksaan RI tahun 2015 yang tertuang di dalam arah kebijakan dan strategi Kejaksaan RI tahun 2014-2019. Penyiapan Sumber Daya Manusia yang berintegritas, bermartabat dan profesional, serta peningkatan kualitas melalui pendidikan dan pelatihan kepemimpinan, manajemen, teknis dan fungsional. Guna mewujudkan upaya optimalisasi kinerja diperlukan dukungan DPR melalui fungsi legislasi, anggaran, maupun pengawasan. sehingga sinergitas antara Kejaksaan dengan DPR merupakan langkah strategis dalam upaya peningkatan kinerja kejaksaan. Latar belakang dibentuknya Satuan Tugas Khusus Penanganan Dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (SATGASSUS P3TPK) sebagai upaya akselerasi peningkatan kualitas, kuantitas penanganan dan penyelesaian perkara Tindak Pidana Korupsi, secara profesional dan proporsional yang bertujuan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan eksekusi perkara Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan ada peningkatan kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap instansi Kejaksaan. 4
Satgassus P3TPK terdiri dari 100 (seratus) orang jaksa terpilih yang dinilai memiliki kompetensi dalam penanganan dan penyelesaian perkara Tindak Pidana Korupsi, dengan tugas pokok sebagai berikut : a. Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan eksekusi perkara Tindak Pidana Korupsi serta melakukan penyelesaian penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi yang belum tuntas penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan eksekusinya. b. Bertugas menangani hanya perkara korupsi agar lebih fokus, lebih profesional, lebih terarah, lebih produktif, lebih cepat dengan hasil yang lebih maksimal baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. c. Mengevaluasi, mencermati, dan menangani tunggakan perkara korupsi lama yang belum tuntas terselesaikan. d. Menangani perkara-perkara baru, yang berasal dari temuan sendiri, laporan masyarakat, temuan lembaga auditor BPK dan BPKP. e. Menindaklanjuti laporan hasil analisis PPATK terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan. f. Cakupan wilayah tugasnya meliputi seluruh Indonesia untuk juga menangani perkara-perkara korupsi di daerah. g. Menjalin kerjasama, koordinasi, dan bersinergi dengan aparat penegak hukum lainnya dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. h. Meningkatkan upaya pemulihan penyelamatan dan pengembalian aset Negara yang telah dikorupsi. Adapun capaian-capaian yang hendak diwujudkan dalam pembentukan satgassus tersebut adalah sebagai berikut : 1. Melakukan percepatan penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi secara efektif, efisien, profesional, proporsional dan terkendali. 2. Peningkatan kualitas dan kuantitas penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi yang mengedepankan kepastian, keadilan dan kebenaran. 3. Dalam melakukan penyelesaian penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi tidak hanya sebatas mempidanakan para koruptor tetapi juga diharapkan mampu mengembalikan kerugian keuangan negara yang sudah dikorupsi. 4. Mengarahkan SATGASSUS P3TPK untuk mampu bersinergi dan bekerjasama dengan instansi penegak hukum lain, Kpk dan Kepolisian dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi. 5. Mengungkap, menangani dan menyelesaikan sebanyak mungkin perkara korupsi yang ditangani dengan memperhatikan kualitas dan kuantitas. 6. Menyelesaikan perkara-perkara tunggakan lama baik yang bermuara di pengadilan maupun disalurkan ke JAMDATUN untuk dilakukan
5
Terkait dengan eksekusi pidana mati dapat memberikan pemahaman bahwa kasus yang dijatuhi hukuman mati adalah kasus the most serious crime yang harus diperangi oleh seluruh negara. Indonesia telah menjadi pusat bandar narkotika di Asia Tenggara atau bahkan dunia (negara ketiga di dunia setelah Colombia dan Meksiko) Dengan dibentuknya Satgassus bukan berarti memperbesar anggaran, karena tetap menggunakan anggaran yang ada. Kejaksaan akan membuktikan dengan kinerja, bahwa dengan anggaran yang ada akan mampu memberantas korupsi. Jaksa Agung mengharapkan Komisi III DPR RI dapat mendukung anggaran Kejaksaan dan mempertimbangkan keberadaan Satgassus. Satgassus ini hanya dibentuk untuk menangani masalah korupsi, supaya lebih fokus dan secara maksimal serta terarah.
3. Jawaban lengkap Jaksa Agung atas pertanyaan yang disampaikan oleh Anggota Komisi III dijawab secara tertulis oleh Jaksa Agung dan jawaban tertulis tersebut selanjutnya untuk segera disampaikan kepada Komisi III DPR RI sebelum tanggal 18 Februari 2015. 4. Komisi III DPR RI menyampaikan kepada Jaksa Agung beberapa surat masuk dari masyarakat yang disampaikan kepada Komisi III DPR RI menyangkut permasalahan terkait dengan tugas dan wewenang Jaksa Agung, untuk dapat ditindaklanjuti dan selanjutnya dapat disampaikan perkembangannya kepada Komisi III DPR RI pada Masa Sidang berikutnya.
III. KESIMPULAN/PENUTUP Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung RI mengambil beberapa kesimpulan/keputusan sebagai berikut : 1. Komisi III DPR RI mendesak Jaksa Agung untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kinerja di Tahun 2015 terutama dalam hal pengawasan internal untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam proses penyelidikan penyidikan, dan penuntutan, dan eksekusi serta bersinergi dengan pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah demi kelancaran proses pembangunan dalam kerangka clean and governance dengan menjunjung tinggi prinsip check and balance agar tercapainya tujuan Negara menuju masyarakat yang adil dan makmur.
6
2. Komisi III DPR RI mendesak Jaksa Agung segera melakukan percepatan penanganan perkara tindak pidana korupsi secara obyektif, professional, proporsional dan akuntabel, bekerjasama dengan instansi penegak hukum lain dan secara bersma tetap melaksanakan fungsi pencegahan berupa sosialisasi tentang pemahaman hukum kepada setiap pejabat publik baik di pusat maupun pemerintah daerah agar tidak salah dalam mengambil kebijakan.
Rapat ditutup Pukul 16.30 WIB PIMPINAN KOMISI III DPR RI
7