RANCANGAN
LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPATKOMISI III DPR RI DENGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) --------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari, tanggal Waktu Tempat Acara
: 2015-2016 : III : : Terbuka : Rapat Dengar Pendapat. : Rabu, 27 Januari 2016 . : Pukul 10.15 s.d 16.55 WIB : Ruang Rapat Komisi III DPR RI. : Membicarakan masalah legislasi dan pengawasan. KESIMPULAN/KEPUTUSAN
I. PENDAHULUAN Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Pimpinan Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), dibuka pukul 10.15 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Mulfachri Harahap, S.H. dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas.
II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN 1. Beberapa hal yang disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Meminta penjelasan Ketua KPK terkait dengan dukungan legislasi yang dibutuhkan dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi KPK secara profesional, obyektif, transparan, dan akuntabel. Demikian pula meminta masukan terkait dengan RUU tentang KPK. 2. Meminta penjelasan Ketua KPK terkait dengan rencana strategis, programprogram prioritas, dan target kinerja Pimpinan KPK periode 2015-2019 yang dikaitkan dengan prioritas program pencegahan dan menciptakan koordinasi yang sinergis dengan lembaga aparat penegak hukum lainnya dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia seperti yang telah dipaparkan oleh Pimpinan KPK pada saat melakukan uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI 1
3. Meminta penjelasan terkait temuan dalam Hasil Pemeriksaan BPK Semester I tahun 2015 pada: a. Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern terhadap Sistem Pengendalian Belanja dan Sistem Pengendalian Aset. b. Pemeriksaan atas Kepatuhan Peraturan Perundang-undangan terhadap Pendapatan dan Belanja. 4. Meminta kepada KPK untuk lebih profesional dan menjaga hubungan kerja dengan DPR khususnya Komisi III DPR kedepannya lebih baik. 5. Meminta kepada KPK dapat menyelesaikan kasus-kasus yang telah lama ditangani dengan adanya kejelasan akhir penyelesaiannya. 6. Meminta kepada KPK terkait dengan saat penggeledahan di Gedung DPR, apakah para penyidik ini merasa terancam dan diancam Anggota DPR ketika datang ke DPR sehingga harus membawa Brimob dengan senjata laras panja. Meminta penjelasan KPK terkait SOP saat penggeledahan yang terkesan ada upaya paksa menggunakan Brimob bersenjata lengkap. 7. Meminta penjelasan KPK terkait dengan perkembangan kasus Pelindo II yang diduga terdapat gratifikasi dari Sdr.RJL kepada Sdri.RS. Bagaimana langkah KPK selanjutnya setelah proses praperadilan. 8. Meminta penjelasan KPK, apakah dimungkinkan jika KPK dalam melakukan tugas pencegahan terutama didalam hal penyadapan terlebih dahulu berusaha mengingatkan orang tersebut agar tidak melakukan hal yang merugikan negara. 9. Meminta penjelasan tentang sikap Pimpinan KPK terhadap RUU tentang perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 10. Dalam konteks pemberantasan korupsi, bagaimana KPK harus mampu menjadi trigger mechanism yang tujuan akhirnya mampu menyelamatkan keuangan negara. Diharapkan KPK dapat meningkatkan asset recovery. 11. Meminta kepada Pimpinan KPK untuk menugaskan perwakilannya dalam pembahasan RUU tentang KUHP. 12. Meminta penjelasan KPK terkait Operasi Tangkap Tangan, bagaimana langkah KPK kedepannya dalam menerapkan OTT tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. 13. Bagaimana meningkatkan sinergitas antara KPK dengan lembaga penegak hukum lain dalam memberantas korupsi di daerah dan dipusat. 14. Instrumen apa yang dibutuhkan KPK untuk mengimplementasikan format yang akan dilakukan KPK kedepan. 15. Terkait penggeledahan yang dilakukan KPK, siapakah yang mempunyai inisiatif, apakah penyidik atau dari pimpinan KPK. 16. Bahwa tugas dari KPK adalah salah satunya adalah fungsi koordinasi dan supervisi, diharapkan dalam periode Pimpinan KPK saat ini dapat menjalankan tugas pokok dan fungsi lebih baik, prestasi KPK tidak diukur dari berapa banyak orang yang ditangkap dan dihukum, keberhasilan KPK diukur semakin kecilnya jumlah korupsi di Indonesia. Kedepannya meminta kepada Pimpinan KPK dibuat struktur tersendiri untuk fungsi Koordinasi dan Supervisi. 17. Pimpinan KPK diharapkan agar memberikan masukan dan betul-betul mencermati hal apa saja yang akan direvisi dalam UU tentang KPK tersebut. 18. Terkait dengan Gedung baru KPK, diusulkan agar Komisi III DPR RI dapat melihat langsung gedung tersebut. 2
19. Terkait dengan kasus yang menyangkut Sdri.Damayanti, mengapa KPK memakai kata “ dan kawan-kawan “, mengingat dalam Pasal 5 UndangUndang tentang KPK, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, diantaranya berasaskan pada Kepastian Hukum. 20. Meminta penjelasan KPK terkait dengan sejak kapan seseorang diputuskan menjadi target Operasi Tangkap Tangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari abuse of power. 21. Bahwa fungsi penyadapan yang dilakukan oleh KPK akan tetap didukung. Penyadapan tidak akan didukung apabila dilakukan dengan sewenangwenang. Setiap penyadapan wajib hukumnya disetujui oleh 5 (lima) orang impinan KPK. Terkait dengan tugas penyadapan, agar SOP tentang penyadapan diperbaiki. 22. Untuk memberikan informasi dan transparansi kepada publik. diharapkan agar KPK memberikan informasi kepada publik dengan tetap mengupdate website KPK. 23. Meminta penjelasan KPK terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. 2.Beberapa hal yang disampaikan oleh Pimpinan KPK diantaranya adalah, sebagai berikut : 1. Berkenaan dengan RUU KUHP (draft 2015), KPK berpendapat sebagai berikut : Naskah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tahun 2015, memuat aturan yang menjembatani Buku I RUU KUHP dengan tindak pidana di luar RUU KUHP, sebagaimana ketentuan pasal 103 KUHP yang saat ini berlaku. Pasal 218 RUU KUHP dirumuskan bahwa “Ketentuan dalam Bab I sampai Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang”. Mengacu pada ketentuan tersebut, tidak dapat dibantah lagi bahwa penyusun RUU KUHP telah memilih kebijakan kodifikasi terbatas. Akan tetapi apabila dibaca dari Naskah Akademik RUU KUHP tahun 2012 dan tahun 2015 nampak bahwa para Penyusun berusaha keras untuk mengintegrasikan sebanyak mungkin tindak pidana yang saat ini ada di luar KUHP ke dalam Buku Kedua RUU KUHP. Salah satu jenis tindak pidana tersebut adalah tindak pidana korupsi. Pengintegrasian tindak pidana korupsi ke dalam Buku Kedua RUU KUHP secara akademis dan kebijakan menimbulkan pro dan kontra. Perbuatanperbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi di dalam Buku Kedua RUU KUHP tahun 2015, yakni: 1) Tindak Pidana yang berhubungan dengan kerugian keuangan Negara (Pasal 687 dan 688) 2) Tindak Pidana Suap Aktif yakni Pasal 690 (1), dan 691 (1), Pasal 701; 3) Tindak Pidana Suap Pasif yakni Pasal 690 (2), dan 691 (2), Pasal 696; Pasal 697 a, b c d,); 4) Tindak Pidana Perbuatan Curang Aktif yakni Pasal 692 (1) 5) Tindak Pidana Pebuatan Curang Pasif yakni Pasal 692 (2) 6) Tindak Pidana Penggelapan dalam Jabatan ( Pasal 693, Pasal 695 7) Tindak Pidana Pemalsuan Dalam Jabatan ( Pasal 694) 8) Tindak Pidana Pemerasan dalam Jabatan (Pasal 697 e) 3
9) Tindak Pidana meminta, menerima atau memotong pembayaran. menerima pekerjaan seolah-olah merupakan utang (Pasal 697 huruf f, g) 10) Tindak pidana penggunaan tanah negara (Pasal 697 huruf h) 11) Tindak Pidana turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan (Pasal 677 huruf i) 12) Tindak Pidana Gratifikasi yang dianggap suap (Pasal 699, Pasal 700). Dalam RUU KUHP 2015 (draf diterima KPK pada tanggal 15 September 2015 sehingga disebut RUU KUHP 2015), pengaturan delik korupsi diatur dalam Bab XXXIII Pasal 687 sampai dengan Pasal 706, termasuk delik TPK yang berhubungan dengan kerugian atau perekonomian negara, kecuali “Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan TPK” tidak dimasukkan yaitu Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 UU TPK. Apabila dicermati maka delik-delik tindak pidana korupsi tersebut hampir semua diambil dari UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 (UU TPK), artinya jika RUU KUHP disahkan menjadi KUHP yang berlaku maka secara otomatis UU TPK menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini, menjadi menarik apabila dikaitkan dengan berdirinya lembaga KPK yang diamanatkan dalam Pasal 43 UU TPK tersebut, maka dengan tidak berlaku lagi UU TPK secara otomatis lembaga KPK tidak ada tempat pijakannya. Kecuali, dalam RUU KUHP diatur secara tegas bahwa KPK masih berwenang menangani perkara-perkara delik korupsi yang diatur dalam KUHP. 2. Berkenaan dengan pengaturan Tindak Pidana tentang Illicit Enrichment (Perbuatan Memperkaya Diri Secara Tidak Sah), diperlukan pengaturan dalam Undang-undang khusus. Pengertian illicit enrichment berdasarkan Pasal 20 UNCAC adalah suatu kenaikan yang berarti dari asset-aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara masuk akal berkaitan dengan pendapatannya yang sah. Indonesia telah meratifikasi UNCAC dengan UU No. 7 Tahun 2006. Sebagai tindak lanjut atas ketentuan Pasal 20 UNCAC, maka diperlukan suatu undang-undang yang mengatur tentang pemidanaan atas perbuatan memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment). 3. Berkenaan dengan UU Tindak Pidana Korupsi, terdapat pemikiran dasar sebagai berikut: a. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga pengaturan tindak pidana korupsi di luar KUHP perlu. b. Sebagai suatu kejahatan luar biasa maka upaya pemberantasannya juga perlu dilakukan secara luar biasa. Dengan demikian, hukum acara pidana yang terkait pemberantasan tindak pidana korupsi perlu diatur secara khusus di luar KUHAP. c. Mempercepat proses penyelesaian RUU Perampasan Aset. Untuk sementara ini menurut pendapat kami dengan UU KPK yg ada sekarang sudah cukup mendukung operasional kegiatan KPK. 4. Saat ini sedang dilakukan penyusunan Renstra KPK 2015-2019 kaitannya dengan program pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi sesuai komitmen Pimpinan KPK pada waktu fit and proper test dengan Komisi III DPR RI. Selain itu, dalam menyusun Renstra, KPK senantiasa memperhatikan kondisi lingkungan sebagai input untuk kekuatan, peluang, tantangan dan hambatan yang terkadang dihadapi oleh KPK sebagai institusi penegak hukum. Adapun gambaran besar yang dikaitkan dengan prioritas 4
5.
6.
7.
8. 9. 10.
program pencegahan dan menciptakan koordinasi yang sinergis dengan lembaga aparat penegak hukum lainnya, antara lain melalui programprogram: 1) Konsolidasi peran lembaga penegakan hukum. Tugas, kewajiban dan kewenangan KPK sebagai penegak hukum harus senantiasa ditempatkan untuk menjadi “trigger mechanism” dan meningkatkan citra, kewibawaan dan kinerja dari lembaga penegakan hukum lainnya. Kini sudah saatnya KPK bekerja sama lebih intensif dalam menangani berbagai kasus tertentu di bidang pemberantasan korupsi secara bersama. Misalnya, penanganan kasus mineral pertambangan dan batu bara (Minerba) sebagai tindak lanjut program Nota Kesepahaman Bersama (NKB) di bidang kehutanan perlu segera diwujudkan dengan membentuk Tim Bersama dengan tujuan, lingkup dan metode kerja yang disepakai bersama dengan stakeholders. Begitu juga kasus lainnya di bidang perpajakan dan transaksi keuangan lainnya dengan bekerjasama dengan apgakum dan lembaga lainnya. 2) Meningkatkan peran sebagai trigger mechanism secara konsisten dan konsekuen dengan mengintegrasikan upaya penindakan dan pencegahan. BPK tidak melakukan audit keuangan Semester I Tahun 2015. Berdasarkan Laporan Hasil Pemantauan Atas Tindak Lanjut Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor: 143/HP/XIV/12/2015 tanggal 30 Desember 2015 menunjukkan bahwa dari 11 laporan hasil pemeriksaan periode Tahun 2007 s.d. Tahun 2015 sebagai berikut: 64 temuan dengan 109 rekomendasi terkait Sistem Pengendalian Internal (SPI) dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan KPK telah menindaklanjuti sebanyak 92 rekomendasi BPK (64 rekomendasi SPI, 28 rekomendasi kepatuhan). 17 rekomendasi BPK (15 rekomendasi SPI, 2 rekomendasi kepatuhan) sedang dalam proses penyelesaian. Terkait penggeledahan, bahwa kedatangan KPK ke DPR sudah 8 kali sejak tahun 2009 dengan standard yang sama. Terkait penggeledahan, KPK menghormati lembaga negara dan obyek vital, oleh sebab itu KPK akan mengevaluasi SOP. Asset recovery atas kerugian yang dialami negara, seperti terhadap sdr. Akil Muchtar, Nazaruddin, Angelina Sondakh, dimana total asset recovery pada tahun 2014 adalah sebesar 109 M, dan 2015 adalah sebesar 211 M. Terkait gratifikasi sedang dilakukan penelitian dan masih berlanjut hingga sekarang dan sedang berada pada Kementerian BUMN. Tahun 2015 KPK mendapat penghargaan Keterbukaan informasi publik dan akan terus ditingkatkan. Revisi UU KPK ada empat hal yaitu : penyadapan, pembentukan dewan pengawas, SP3, dan pengangkatan penyidik independen. Ini merupakan domain pemerintah dan DPR. Apabila ada revisi diharapkan keempat poin tersebut dielaborasi yaitu : 1. Penyadapan tidak hanya dilakukan oleh KPK, sebaiknya membuat peraturan perundang-undangan khusus tentang penyadapan.
5
11.
12. 13. 14. 15.
2. Pembentukan dewan pengawas, KPK sepakat dengan pimpinan KPK sebelumnya diharapkan hanya merupakan dewan pengawas etik agar dapat menjaga perilaku dan bukan dewan pengawas teknis. 3. SP3 mempertimbangkan kondisi kesehatan tersangka, diharapkan juga agar tidak disalahgunakan. Penyadapan tidak termasuk dalam pencegahan tetapi termasuk kedalam penyelidikan tertutup. KPK tidak sembarangan melakukan penyadapan, tidak begitu saja dilakukan, harus ada bukti permulaan. Korupsi merupakan extraordinary crime oleh sebab itu harus melalui penanganan yang khusus pula. Kapan seseorang diputuskan sebagai target operasi? Ini penting untuk menghindari adanya kepentingan-kepentingan lain. KPK meminta Komisi III DPR RI memberi dukungan penuh kepada pimpinan KPK yang baru dan mendukung penggeledahan. Mendukung kewenangan penyadapan oleh KPK, sebab KPK tanpa kewenangan tersebut maka akan lumpuh. KPK harus memiliki sikap yang tegas terkait pengangkatan penyidik independen.
2. Komisi III DPR RI menyampaikan kepada Pimpinan KPK beberapa surat masuk dari masyarakat kepada Komisi III DPR RI menyangkut permasalahan yang terkait dengan tugas dan wewenang KPK, untuk dapat ditindaklanjuti dan selanjutnya dapat disampaikan perkembangannya kepada Komisi III DPR RI pada Masa Sidang berikutnya. III. PENUTUP Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Pimpinan KPK mengambil kesimpulan, sebagai berikut : 1. Komisi III DPR RI meminta KPK untuk menyusun dan melaksanakan Renstra dan Target KPK 2015-2019, meningkatkan sinergitas koordinasi antar lembaga penegak hukum, dan sebagai trigger mechanism terhadap lembaga penegak hukum; sehingga hasil konkritnya akan dapat terlihat yakni: meningkatnya indeks persepsi korupsi, meningkatnya jumlah penyelamatan keuangan negara, lembaga penegak hukum yang bersih dan efektif, serta terciptanya budaya anti korupsi yang sistemik di Indonesia. 2.
Komisi III DPR RI mendorong KPK untuk mengevaluasi Standard Operational Procedure (SOP) termasuk penggunaan senjata api laras panjang dalam upaya penggeledahan yang dilakukan di lembaga negara sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945 (Presiden, MPR, DPR, DPD, MA, KY, MK, dan BPK), agar tidak bertentangan dengan KUHAP dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya; dan dengan tujuan untuk menjaga etika, kehormatan, dan kewibawaan lembaga negara. Rapat ditutup pada pukul 16.55 WIB.
6