KASUS MURTAD DI INDONESIA (Suatu Kajian Hukum Islam Terhadap Kasus Lia Aminuddin)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : Epi Somantri NIM : 104045101546
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
KASUS MURTAD DI INDONESIA (Suatu Kajian Hukum Islam Terhadap Kasus Lia Aminuddin)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : Epi Somantri NIM : 104045101546
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Asmawi, M. Ag. NIP. 150 282 394
Afwan Faizin, MA. NIP. 150 326 890
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR……………………………………………………………………i DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….iii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar
Belakang
Masalah………………………………….................1 B. Pembatasan
dan
Perumusan
Masalah……………………………….8 C. Tujuan
dan
Manfaat
Penelitian……………………………………...9 D. Metode Penelitian………………………………………………….10 E. Sistematika Penulisan……………………………………………...12
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG RIDDAH (MURTAD)
A. Pengertian
dan
Dasar
Hukum
Jarimah
Riddah
Riddah……………………………...14 B. Akar
Historis
………..……………………............21 C. Kualifikasi
Jarimah
Riddah……………………………...................31 D. Kriminalisasi
Jarimah
Riddah……………………………………...40
BAB III
DESKRIPSI KASUS
HUKUM
LIA AMINUDDIN
DAN
AGAMA SALAMULLAH A. Latar
Belakang
Kasus
Lia
Hukum
Lia
Aminuddin…………………………….62 B. Deskripsi
Kasus
Aminuddin………………………….64
BAB IV
ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT (PUTUSAN NO: 677/PID.B/2006/PN.JKT.PST)
A. Deskripsi Putusan Hakim kasus Lia Aminuddin menurut Hukum Positif Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No: 677/PID.B/2006/PN.JKT.PST…………………………………… ..77 B. Pandangan Hukum Islam Terhadap Putusan Pidana No: 677/PID.B/2006/PN.JKT.PST…………………………………… ..91
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………. 108 B. Saransaran………………………………………………………..111
DAFTAR …………………………………………………………………113
PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masalah kebebasan beragama merupakan agenda besar umat Islam di negara manapun di dunia. Ada kesulitan besar yang dihadapi negara-negara Islam untuk mewujudkan kebebasan beragama. Hal ini terlihat dari pengalaman ketika akhir tahun 1940-an Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersidang membahas pasal 18 Deklarasi HAM tentang kebebasan beragama, akan tetapi negara-negara Islam melayangkan ungkapan keberatan. Bunyi lengkap pasal itu adalah "Semua orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berpendapat dan beragama”. Hak ini mengandung kebebasan mengganti agama atau keyakinan begitu juga kebebasan menjalankan agama atau keyakinannya, sendiri atau bersama, baik di tempat umum maupun di rumah sendiri, baik sebagai ajaran, praktik, pemujaan dan pelaksanaan ibadah." Pasal ini memicu emosi dan memancing reaksi yang sangat keras dari negara-negara Islam karena ada kalimat "kebebasan mengganti agama atau keyakinan". Para wakil negara Mesir, Irak, Iran, Saudi Arabia, dan Syiria protes keras agar artikel itu diamandemen. Menurut mereka, dalam Islam tidak diperbolehkan pindah agama (murtad). Bahkan sanksi bagi mereka yang berani mengganti agama diancam hukuman mati. Setelah perdebatan alot dan panjang pada akhirnya tahun 1966, kesepakatan mengubah artikel itu tercapai dengan persetujuan dari Brazil dan Filipina. Kalimat "kebebasan mengganti agama atau keyakinan" diganti menjadi "kebebasan memiliki atau mengikuti suatu
agama atau keyakinan sesuai dengan pilihannya".1 Undang-undang tersebut diratifikasi oleh Bangsa Indonesia menjadi undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM Pasal 22 yang berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam Undang-undang Dasar Pasal 29 ayat 1dan 2 tertera bahwa “ Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Tetapi, kenyataan yang terjadi di Indonesia pasal-pasal itu “dibatasi” oleh satu pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal tersebut adalah pasal 156a yang berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal ini ghalib disebut pasal penodaan agama, dan dijuluki pasal karet. Dengan adanya pasal tersebut pada akhir-akhir ini banyak sekali yang terjerat oleh pasal penodaan agama yang telah berkembang aliran-aliran di luar mainstream yang berlaku di Indonesia yang salah satunya meresahkan satu agama terutama 1
Ayang Utriza, “Kebebasan Beragama dalam Islam” Artikel Diakses pada 21 Mei 2008 http://www.freelists.org/archives/nasional_list/03-2006/msg00787.html
agama Islam, hal ini telah mendapat berbagai sorotan yang sering ditulis oleh berbagai media masa. Beberapa contoh yang dapat diketengahkan adalah sebagai berikut : 1. Pertama Kasus Agama Salamullah yang didirikan oleh Lia Aminuddin yang menyatakan di datangi oleh makhluk gaib yang mendampinginya serta memberikan ajaran dan tuntunan agama Islam, menurut Lia Aminuddin makhluk itu mengaku sebagai Malaikat bernama Habib Al-Huda yang tidak lain sebagai Malaikat Jibril, ia mendapat bisikan dari Malaikat Jibril bahwa “Jibril turun melalui kami untuk mendamaikan seluruh Agama, oleh karena itu kita harus mengikuti ajaran perenialisme yang mengakui semua agama yang ada di dunia dan mengimani seluruh kitab suci agama-agama tersebut”.2 dan setelah pengakuan tersebut ia membuat satu komunitas Eden atau kerajaan Tuhan, kasus ini bermula dari laporan warga yang menyebut ajaran komunitas Eden sebagai aliran sesat. 2. Kedua Kasus Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang didirikan oleh Ahmad Moshaddeq yang cikal bakal pendiriannya di Kampung Gunung Sari, Desa Gunung Bunder, Bogor. Al-Qiyadah Al-Islamiyah didirikan sejak tahun 2000 sampai dengan 2006 situasi pada saat didirikan tidak ada masalah, tapi ketika masuk pada tanggal 23 Juli tahun 2006 terjadi hal yang spektakuler setelah Ahmad Moshaddeq bertapa selama 40 hari 40 malam dan mendapatkan wahyu dari Allah dan diangkat menjadi rasul, dan para pengikutnya 2
www.mahoni30.org
membenarkan pernyataan tersebut, dan Ahmad Moshaddeq divonis 4 tahun penjara oleh Pengadilan Jakarta Selatan karena terbukti melakukan tindak pidana penodaan agama.3 3. Ketiga, Tahun 2005, pimpinan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Ardhi Husein diganjar 4,5 tahun penjara, dengan tuduhan melanggar pasal ini. Yayasan tersebut diangap menyebarkan paham sesat melalui bukunya berjudul Menembus Gelap Menuju Terang 2. Peristiwa itu mengakibatkan gedung yayasan yang terletak di Desa Kerampilan, Kecamatan Besuk, Probolinggo tersebut diserbu, dirusak massa, dan akhirnya ditutup secara paksa. 4. Keempat, Kasus serupa juga pernah menimpa Arsewendo Atmowiloto, pemimpin redaksi tabloid Monitor. Tanggal 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu menunjukkan, Nabi Muhammad menempati urutan kesebelas, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto yang menempati peringkat kesepuluh. Karena publikasi tersebut, Arswendo dianggap melakukan penodaan agama. Akhirnya ia di jerat pasal 156a KUHP, dan mendekam di penjara selama lima tahun.
3
Suara Karya, “Penodaan Agama”, Artikel diakses pada 29 April 2008 dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=198138
Sebenarnya masih banyak contoh lain, namun dari keempat kasus tersebut jelas bahwa di Indonesia aliran-aliran di luar mainstream telah tumbuh subur, sehubungan dengan banyaknya aliran sesat di Indonesia MUI meminta pemerintah untuk melarang penyebaran aliran sesat, serta penegak hukum melakukan penegakan langsung misalnya dengan menangkap tokohnya. Sedangkan, untuk seluruh umat Islam hendaknya berhati-hati untuk mengikuti pengajian, sebab ajaran bukan hanya Al-Qiyadah Al-Islamiyah saja, karena saat ini masih ada aliran yang sedang juga berkembang di pengajian-pengajian, kampus-kampus dan berbagai alat media, memang manusia memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri berdasarkan atas keyakinan keagamaan yang dianutnya. Tetapi permasalahan yang muncul kemudian adalah apakah kebebasan itu sebebas-bebasnya tanpa melihat batas aturan yang berlaku di dalam masyarakat dan negara?, serta apakah orang yang melakukan penodaan Agama termasuk pada ketentuan Jarimah Riddah?
Dalam penegakan hukum pidana Indonesia mengeni kasus penodaan terhadap Agama
serta usaha untuk melakukan penggalian dan menerapkan hukum yang
berlaku terutama menyangkut agama sudah banyak dilakukan. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kurang lebih 89% penduduknya menganut agama ini. Dalam ajaran yang diyakininya, terdapat sistem hukum Islam yang mengatur segala aspek kehidupan.
Salah satu cabang dari hukum pidana Islam (jinâyah) adalah adanya ketentuan riddah atau murtad, yaitu tindak pidana bagi seseorang yang pindah agama dari agama Islam ke agama lain. Riddah yang secara harfiyyah berasal dari radda yang berarti mengembalikan (arja’uhu) atau memalingkan (sharafahu) adalah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa kepada kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan dari orang lain, baik laki-laki maupun perempuan4. Dasar hukum ditetapkannya jarimah riddah secara khusus dan jelas disebutkan dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari bahwa “barang siapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia. Selain itu, hadis lain yang dijadikan dalil adalah hadis riwayat Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw telah bersabda :
ْ !ً$ آُ ٍ َ إ"!نٍ وز: ٍ َ دمُ إ ِئ ٍ إ ﺡَى ث .ٍ+$ ,َ- +ْ$ ِ)*إﺡ(َ!نٍ و Arinya: “Tidaklah halal darah seorang muslim kecuali salah satu dari tiga, yaitu : kafir setelah iman (riwayat lain berbunyi meninggalkan Islam), zina setelah menikah (muhson), dan membunuh orang yang dijaga darahnya”. Sedangkan dalam Al-Qur’an yang dijadikan dasar antara lain :
⌦ ! ☺ +,#" "#%&' ()*) 4567 (48 2,3 ./0'"☺1 "#%&' ()*1 = 9 :;<"48 4"/ = 74?(48 +0'" >1 8٢١٧ : ة12اﻝ/ @AB4,8'"; Artinya: “Barang siapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di 4
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), Vol II, h. 381.
akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.” (QS. AlBaqarah : 217)
G H EF44,G ⌧D ! 9LM N!*1 JK,I D'"☺,I 3R"☺+ OQ0 ""V W ? :' ( T'"☺U44,G .,/XL0" 8Y7 Z> M XDX(44,G _`8⌧5 ./ ( EF48 @]^ [0 [⌧\ 8١٠٦ : 9اﻝ/ [.B Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia akan mendapatkan kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah akan menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl : 106)
/'"☺1 =8bc &6 a,I / G H^ BQ 2,3 =8" i M XDBQX(48 fg☺h1 =8b0e' I ./ ( ;'"☺1 jK /&6,I 8١٢ : <=)اﻝ/ @A/ek /&0" ( Artinya: “Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (QS. At-Taubah : 12)
Berdasarkan dalil-dalil inilah kemudian para fuqahâ menetapkan bahwa riddah termasuk dalam tindak pidana (jarîmah hudûd) dan sanksinya berupa hukuman mati. Kecuali madzhab Hanafiyyah, sebagian besar madzhab fiqh dalam hukum Islam menyatakan bahwa riddah termasuk ke dalam salah satu jarimah hudud. Sedangkan menurut ulama-ulama yang bermadzhab Hanafi, hudûd hanya dibagi menjadi lima yaitu zina, saraqah, syurb al-khamr, qath’ al-tharîq, dan qazaf. Menurut mereka hudûd hanya perbuatan-perbuatan yang ditetapkan dalam Al Qur’an. Qisâs tidak
dimasukkan dalam hudûd karena merupakan hak seseorang. Demikian pula ta’zîr tidak dimasukkan dalam hudûd karena tidak ditentukan ukurannya 5. Berdasarkan data dan hipotesis di atas, maka penulis bermaksud akan mengangkat topik dalam sebuah karya tulis dengan judul “KASUS MURTAD DI INDONESIA (Suatu Kajian Hukum Islam Terhadap Kasus Hukum Lia Aminuddin)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Membicarakan mengenai hukum pidana Islam (jinayah) terutama yang berkaitan dengan jarimah hudud yang terbagi kepada tujuh macam jarimah yaitu: zina, qadzaf, syurb al-khamr, pencurian, hirabah, riddah, dan al-baghyu (pemberontakan)6, berarti akan
membicarakan banyak hal yang ada kaitannya
dengan ketentuan hudud diatas. Oleh karena itu, agar pembahasan lebih terarah dan tidak terlalu luas maka penulis akan membatasi mengenai satu ketentuan saja dalam jarimah hudud tersebut yaitu tindak pidana bagi seseorang yang pindah agama dari agama Islam ke agama lain (Jarimah Riddah), dengan mengambil kasus murtad yang terjadi di Indonesia, ya’ni kasus murtad Lia Aminuddin yang menganut Agama Salamullah. Maka fokus penelitian ini terbatas pada aspek hukum Islam tentang kasus murtad Lia Aminuddin di Indonesia. 5
Abdurrohman Al-Jaziri, al-Fiqh ‘alâ al-Madzhab al-‘Arba’ah,(Beirut: Dar al Fikr,) h. 8-9. Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1419/1998), Juz I, h. 79. 6
Dari pokok masalah diatas dapat diuraikan perumusan penelitiannya yaitu: 1. Bagaimana kualifikasi riddah dalam hukum Islam? 2. Sejauh manakah delik riddah terakomodasi dalam hukum pidana Indonesia? 3. Bagaimanakah analisa hukum Islam terhadap kasus Lia Aminuddin berdasarkan Putusan No: 677/PID.B/2006/PN.JKT.PST.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum, studi ini bertujuan untuk merumuskan dan menjelaskan secara utuh substansi pidana riddah dalam hukum Islam, dan menganalisa kasus murtad Lia Aminuddin yang terjadi di Indonesia. Secara spesifik, studi ini bertujuan : a) Merumuskan dan menjelaskan kualifikasi delik riddah dalam hukum pidana Islam. b) Merumuskan dan menjelaskan
akomodasi delik riddah dalam hukum
pidana Indonesia. c) Merumuskan dan menjelaskan analisa hukum Islam terhadap putusan No: 677/PID.B/2006/PN.JKT.PST. (Kasus Lia Aminuddin) 2. Manfaat penelitian Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut: a) Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa terutama yang menekuni bidang hukum Islam.
b) Hasil penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi bagi para akademisi dan praktisi hukum. dan c) Hasil penelitian ini dapat bernilai signifikan bagi upaya pembaharuan pemikiran hukum pidana Islam dalam konteks keindonesiaan dan kemoderenan. D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Secara tipologis, penelitian penulis ini merupakan model penelitian hukum Islam dengan pendekatan kualitatif.7 Dalam pendekatan kualitatif ini, diterapkan metode kualitatif pula. Dilihat dari sudut model penelitian hukum, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif doktriner. Penelitian hukum normatif doktriner adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.8 2. Tehnik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan tehnik studi dokumenter. Adapun langkah-langkah pengumpulan data melalui tehnik studi dokumenter baik yang bersifat primer maupun sekunder bahan tersebut adalah :
7
Bandingkan dengan penelitian Asmawi “Aplikasi Maslahah Dalam Doktrin Hukum Pidana Islam Tentang Perlindungan Bagi Korban Kejahatan” Laporan Penelitian DIPA FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007, h. 9 (Tidak Dipublikasikan). 8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, cet. ke 8, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 13.
a. Mengidentifikasi bahan-bahan pustaka, baik bersifat primer maupun sekunder, yang ada kaitannya dengan masalah riddah dalam hukum Islam. b. Mengidentifikasi bahan-bahan pustaka, baik yang bersifat primer maupun sekunder, melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan negeri, serta kajian yang berbentuk reinterpretasi dari kajian klasik ke kajian kontemporer seperti buku, majalah, artikel-artikel, surfing internet dan tulisan-tulisan yang tersebar dan buku-buku yang terkait dengan masalah ini. c. Mengkompilasi, mengkritisi dan menginterpretasi data hasil penelaahan bahan pustaka tersebut. 3. Tehnik Analisa Data Dalam menganalisa data, diterapkan tehnik analisis isi secara kualitatif (qualitative conten analysis). Adapun langkah analisis data dimaksud adalah sebagai berikut : a. Menyajikan putusan yang dikemukakan oleh majelis hakim; b. Menghubungkan putusan tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. Menganalisa dan menginterpretasikan data yang terkait dengan masalah yang dikemukakan;
d. Merumuskan hasil penelitian dalam bentuk kesimpulan hukum;
E. Sistematika Penulisan Agar pembahasan skripsi yang akan di tulis lebih urut, maka pembahasan skripsi “KASUS RIDDAH DI INDONESIA” (Suatu Kajian Hukum Islam Terhadap Kasus Lia Aminuddin). Ini akan di susun kedalam lima bab dan masingmasing terdiri dari sub-sub bab.
BAB I:
Bab ini diawali dengan pendahuluan yang membahas argumentasi seputar penelitian ini, yang terdiri dari: Latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematikanya.
BAB II:
Dalam bab ini akan dibahas gambaran umum tentang Riddah meliputi Pengertian dan dasar hukum, Akar Historis, Kualifikasi, dan Kriminalisasi Jarimah Riddah.
BAB III: Pada bab ini penulis akan mencoba menguraikan kasus hukum Lia Aminudin dan Agama Salamullah di Indonesia, meliputi latar belakang kasus Lia Aminudin, dan deskripsi kasus hukum komunitas Lia Aminuddin. BAB IV: Bab ini merupakan inti penguraian dalam skripsi yang akan dibahas. Pada bab inilah analisa hukum Islam terhadap putusan hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, meliputi deskripsi putusan hakim kasus Lia Aminudin menurut hukum positif dan pandangan hukum Islam terhadap putusan No. 677/PID.B/2006/PN.JKT.PST. BAB V:
Akhirnya, penelitian akan ditutup dengan bab kelima yang berisi kesimpulan dan
saran-saran. Bab ini akan diuraikan dalam rangka
menjelaskan sekaligus menjawab pertanyaan yang terdapat dalam perumusan masalah.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RIDDAH
A. Pengertian dan Dasar Hukum Riddah Secara etimologi (Bahasa), kata “riddah” merupakan isim mashdar dari kata :
" " ار ـ ـ ارادyang
berarti keadaan mundur, kembali ke belakang9.
Arti tersebut antara lain terdapat didalam firman Allah Ta’ala :
3,V:g'"; =8#,0 I< GH74G12L =87 ٢١ : اﻝ"!>ةK Artinya : Dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi ( QS. Al-Maidah : 21)
Kata riddah juga mempunyai arti leksikalnya
"
"ا ع ا ء ا
kembali dari sesuatu ke sesuatu yang lain10. Ar-Raghib Al-Isfahani
mengartikan kata riddah dengan cara membandingkannya dengan kata al-Irtidad yaitu :
)*+#, وا'راد% & "#$ " ا ع ا ا ى ء ا دة " و “Kembali ke sebuah jalan yang pernah di laluinya ketika ia datang, tetapi kata riddah secara spesifik dipakai untuk kembali ke agama lama akibat kekufuran,
9
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawir, cet.ke-14, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 486. 10 Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), Juz VI h. 183.
sedangkan kata al-Irtidad bisa dimaksudkan dalam arti kembali kepada agama lama atau dalam arti yang lain”.11
Sedangkan secara terminolagi, riddah menurut para ulama fikih adalah : 1. Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunah, riddah adalah :
. :ر دون إآ ا# &ﺥ% م إ ا3ﺱ5 ا0 1 ) ا/+ ا-.,* رع ا “Kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa dari agama Islam kepada kekafiran, dengan kehendak sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun”.12
2. Menurut Imam an-Nawawi dalam kitab Minhaj al-Thalibin, mengartikan murtad sebagai berikut :
داA#@?اء أو دا أو إ# اﺱ/ ) ﺱاء+ و%ل آ/ م &< أو3; ا'ﺱ/ &'*ع آ ?ﻥE ).: أو5ﻥ; أوا ﺱ) أوآب رﺱC ا%* ﻥ ا أو دد% ا. أو ?م, أو. ;*F وب% أو ﻥ, و ءA Hدا آE ا أوE @?اء ﺹ#* اﺱ+ % * ) ا+% وا% آ . K* أوﺵ-C دF ذورة وﺱA& IEC “Memutuskan keislaman baik dengan niat, ucapan, perbuatan, yang menyebabkan kufur, atau secara yakin menghina dan menentang baik dengan ucapan maupun perbuatan. Barang siapa yang tidak mengakui Allah sebagai pencipta, tidak mengakui para utusan Allah, mendustakan salah seorang utusan Allah, menghalalkan sesuatu yang secara ijma, telah dinyatakan haram seperti berzina atau sebaliknya (mengharamkan sesuatu yang telah dinyatakan halal secara ijma), seseorang yang tidak mengakui kewajiban yang telah disepakati atau sebaliknya (mengakui sesuatu yang secara ijma tidak dianggap wajib), sebagai suatu kewajiban, seseorang berniat akan melakukan kekufuran, maka semua itu bisa menjadikan kafir, perbuatan yang bisa berakibat pelakunya dianggap kafir adalah apa yang diniatkan dalam rangka menghina agama secara terang-terangan atau secara tegas menolak agama tersebut, seperti melemparkan
11
Ar-Raghib al-Isfahani, Mufradat al-Lafaz al-Qur’an, cet. ke-4, (Beirut: Dar al-Fikr alMu’aŝir, 1997), jilid VII, h. 5576. 12 Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah II, cet ke-IV, (Beirut: Dar Al-Fiqr, 1983), h. 381.
mushaf Al-Qur’an ke tempat yang kotor (menjijikan) dan seperti sujud kepada berhala atau matahari”.13 3. Menurut Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri dalam kitab Minhaj al-Muslim, riddah adalah :
أو3P ا ﻥ أوا @دC ﺥ آ اO م إ د3ا * ه ك د ا'ﺱ . ر#$ )/ وا وهE.* آ ا، إ د “Orang murtad ialah orang yang meninggalkan agama Islam dan pindah ke agama lain seperti agama nasrani atau agama yahudi, atau pindah kepada keyakinan lain yang bukan agama seperti orang-orang atheis dan komunis. Semua itu dilakukannya dalam keadaan sadar dan atas kehendak sendiri bukan karena paksaan”.14
4. Menurut Zainudin al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu’in mendefinisikan murtad sebagai berikut :
د أو د أوA#H& 3+ أو5/ ? أو% & 3 إﺱI. ;/ ا دة ﺵ .%ق ودد آ.$* دF وﺱ. ;*F E و1 ﺹﻥ; وﻥK%@?اء آ#إﺱ “Murtad secara terminologi adalah sikap memutuskan seorang mukallaf dari agama Islam dengan kekufuran, baik sikap itu berupa niat, ucapan atau perbuatan disertai dengan keyakinan, penentangan atau penghinaan, seperti sikap tidak mengakui Allah sebagai pencipta, mengingkari seorang Nabi, sikap menolak sesuatu yang telah disepakati dan sikap bersujud kepada makhluk serta sikap maju mundur (ragu-ragu) dalam kekufuran”.15
5. Menurut Wahbah az-Zuhaili, dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, riddah adalah :
13
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahali, Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin, cet ke-1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), h. 535. 14 Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhaj al- Muslim, cet.ke-I, (Damaskus: Dar-Al-Fikr, 1964), h. 440. 15 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in bi al-Syarah al-Qurrah al-Ain, (Semarang: Toha Putera, tth), h. 127-128.
لA & ) ا * أو+% ﺱاء & < أو &ا% م إ ا3ا ع د ا'ﺱ .داA#@?اء أو دا أو إ# اﺱ/ وﺱاء “Kembali dari agama Islam menuju kepada kekafiran, baik hal itu dilakukan dengan sebatas niat atau perbuatan yang mengakibatkan pelaku dianggap kafir, maupun dengan ucapan berupa penghinaan atau menentang keyakinan”.16
6. Menurut Abdul Qadir Audah, riddah adalah :
.: وا+*& 1+ 3م وآ3; ا'ﺱ/ م أو3ا ع ا'ﺱ “Kembali dari agama Islam atau memutuskan diri dari Islam, baik kembali meninggalkan agama Islam maupun memutus keduanya bermakna satu”.17
Dari keenam pendapat para ulama fikih
diatas, tampaknya antara satu
rumusan dengan rumusan yang lain hanya sebatas berbeda dari sisi redaksinya, sedangkan maksud dan cakupannya sama yaitu keluar dari agama Islam. Seperti definisi yang di kemukakan oleh Sayyid Sabiq dan az-Zuhaili yang cukup singkat, dipersingkat lagi oleh pendapatnya Abdul Qadir Audah, yaitu keluar dari agama Islam, yang pelaku sebelumnya menganut agama Islam. Dalam ensiklopedi Islam Indonesia, murtad (riddah) adalah orang yang melakukan riddah. Riddah makna aslinya kembali ke jalan semula. Namun demikian istilah ini dalam penggunaannya lebih banyak di khususkan untuk pengertian kembali atau keluarnya seseorang dari agama Islam kepada kekufuran atau pindah dari agama Islam kepada agama lain. Dari pengertian riddah ini dapat dikemukakan tentang
16
Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Juz VI, h. 183. Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i cet 11, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1998), jilid II, h. 706. 17
pengertian murtad, yaitu orang Islam yang keluar dari agama Islam yang dianutnya kemudian pindah memeluk agama lain atau sama sekali tidak beragama. 18 Dengan demikian yang dimaksud dengan murtad adalah : Orang yang kembali dari agama Islam kepada kekufuran dengan mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan orang tersebut kafir, seperti orang yang mengingkari eksistensi Allah sebagai pencipta, tidak mengakui adanya utusan-utusan Allah, mendustakan utusan Allah, menghalalkan segala sesuatu yang telah disepakati keharamannya seperti berzina, homoseksual, meminum khamr, berlaku zalim, mengharamkan sesuatu yang telah disepakati kehalalannya seperti jual beli dan nikah, menafikan sesuatu kewajiban yang telah di sepakati seperti meniadakan sebuah raka’at dari shalat fardhu lima waktu, menambah-nambah ketentuan hukum yang telah baku seperti menambah jumlah raka’at dalam shalat lima waktu, mewajibkan puasa pada sebagian hari di bulan Syawal dan juga disebut murtad orang yang berniat keluar dari agam Islam besok atau seseorang yang selalu ragu dalam kekafiran. Contoh perbuatan yang akibat pelakunya dianggap telah menjadi murtad adalah orang yang membuang mushaf al-Qur’an atau kitab-kitab hadis Nabi kedalam comberan atau tempat-tempat kotor lain dan seseorang yang tunduk kepada berhala atau matahari. 19 Riddah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT, dan merupakan salah satu tindak pidana. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT dan Hadis Nabi yaitu : 18
Harun Nasution (Ketua Tim), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h.
19
Az-Zuhaili, al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Juz VII, h. 5576.
696.
⌦ ! ☺ +,#" "#%&' ()*) 4567 (48 2,3 ./0'"☺1 "#%&' ()*1 = 9 :;<"48 4"/ = 74?(48 +0'" >1 8٢١٧ : ة12اﻝ/ @AB4,8'"; Artinya : Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. ( QS.AlBaqarah : 217)
'L0pU48 V ⌧\ ]e n Y qQXI L0 4YY ; 9 :;<"48 2,3 8 ٨٥ : ال @" ان/ ;M :r'"sX(48 Artinya : Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Al-Imran : 85)
" G =8 ⌧D⌧H 3tF48 ?a,I =88"Xv48 u.. ,/Y'"☺,I ./eG qQXI t( 8w XDH av(F4J[(48 "#%&' ()*1 8 ٩٠ : ال @" ان/ ِ rtinya : Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah A kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya, dan mereka itulah orangorang yang sesat. (QS. Al-Imran : 90)
u.. =8Y8 3tF48 ?a,I u.. =88 u.. =8 ⌧D⌧H =88"Xv48 u.. =8 ⌧D⌧H xF48 T .t( 8w XDH K yn DX5( 8١٣٧ : !ء9 اﻝ/ |⌧5,Q"p z{ {V(
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (lagi), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya,20 Maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (QS. An-Nisa : 137)
G H EF44,G ⌧D ! 9LM N!*1 JK,I D'"☺,I 3R"☺+ OQ0 ""V W ? :' ( T'"☺U44,G .,/XL0" 8Y7 Z> M XDX(44,G _`8⌧5 ./ ( EF48 @]^ [0 [⌧\ 8١٠٦ : 9اﻝ/ [.B Artinya :Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. An-Nahl : 106)
=88 3tF48 4f{@ )&' Y g ~ I,G xF48 2,}) 4 Zr DO6pQ z{p 3 ☺X(48 2L })tF1 3 D' X(48 2L 9?
1 K EF48 Rq5,Q"p 2,3 @A ,/'f/ "#( ~.hjK f ( a4 F49 EF48 q[ 8 ٥٤ : اﻝ"!>ة/ .,0 :p xF48 Artinya : Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Maidah : 54)
20
Maksudnya : Disamping kekafirannya, ia merendahkan Islam pula.
Disampaing Al-Qur’an, Rasulullah saw menjelaskan dasar hukum bagi orang yang murtad yaitu :
: -. وﺱ. U ا. ﺹUل رﺱل ا/ : ل/ U اT س ر1 &و ا (رى$1 )روا ا.#/ &ل د Artinya : Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia. (Hadis Riwayat Bukhori)21
) دم إئE 5 -. وﺱ. U ا. ﺹUل رﺱل ا/ ل/ د+, & U ا1 ] ا ?اﻥ وP ا: ث3 ى ﺙ:Y& 5 إU وأ ﻥ رﺱل اU ا5 إ إ5 @ أن-., ( < *F *< )روا اF. رق%* رك ا# واK% & K% ا Artinya : Dari Abdillah bin Mas’ud Rasulullah SAW bersabda, tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan saya utusan Allah kecuali terhadap tiga kelompok yaitu seorang yang pernah nikah lalu berzina dan jiwa dengan dengan jiwa (qisas) serta orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jama’ah (HR. al-Jama’ah). 22 Dari ayat dan hadis tersebut jelas bahwa murtad termasuk salah satu jenis tindak pidana (jarimah), yang diancam dengan hukuman mati.
B. Akar Historis Jarimah Riddah Sejarah gerakan riddah berawal dari perselisihan antara kaum Anshar dan Muhajirin untuk masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam setelah wafatnya Rasulullah saw. Kedua kaum tersebut bersikukuh untuk mencalonkan 21
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Sahih al-Bukhari, (Beirut : Dar al-Fikr, 1401), jilid VIII, h. 50. Lihat juga Muhammad Ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul Al-Salam, (Mesir: Syarikah wa Mathba’ah Musthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), Juz III, hlm. 267. dan Ibn Hajar AlAsqalani, Bulugh al-Maram Min Adillati al-Ahkam, Terjemah Muhammad Rifa’i dan Ahmad Qusyairi Misbah, (Semarang: Wicaksana, 1989), h. 729. 22 Muslim Ibn Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi, Sahih Muslim , (Beirut : Dar al-Fikr, 1403/1983) jilid VI. h. 164. Lihat pula Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih alBukhari, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tth), jilid 4, h. 2748.
pemimpin masing-masing. Namun pada akhirnya pilihan tersebut jatuh pada Abu Bakar r.a. sebagai khalifah pengganti Nabi Muhammad saw berdasarkan kesepakatan bersama (musyawarah). Keputusn ini atas inisiatif dan sikap Umar r.a. terhadap kaum yang berselisih yaitu kaum Anshar dan Muhajirin, kemudian sikap ini disetujui oleh semua pihak yang bertikai dan diikuti oleh Abu Ubaydah dan tokoh-tokoh Anshar yang hadir dalam musyawarah tersebut. Proses pemilihan tersebut menunjukan betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam pada saat itu. Dikalangan suku-suku Arab, kepimimpinan mereka di dasarkan pada sistem pemilihan atas dasar senioritas dan prestasi mereka, tidak diwajibkan secara turun temurun. Tidak lama kemudian setelah diresmikan dan dilantik, Abu Bakar menghadapi berbagai permasalahan seperti munculnya nabi-nabi palsu, gerakan kaum munafik, dan gerakan kaum murtad yang menentang kewajiban membayar zakat. Dalam hal ini, ahli-ahli sejarah bangsa Arab menyatakan fanatisme kesukuan masyarakat Arabia nuncul kembali, mereka mengadakan aksi pemberontakan kaum munafik, yakni mereka yang belum cukup kuat imannya tampil sebagai penentang, demikian juga kaum Yahudi dan Kristen. Kata mereka Orang-orang beriman bagaikan dombadomba kehilangan pengembala, Nabi mereka telah tiada.23 Abu Bakar r.a melihat hal itu merupakan sesuatu yang membahayakan dan harus segera di selesaikan dalam situasi kritis tersebut, meskipun jumlah dari kaum munafik dan pemberontak tidak
23
K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern), cet.ke-3, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000). h. 92.
terlalu banyak. Ketiganya menjadi persoalan yang serius untuk dihadapi dan dibatasi oleh kepemimpinan Abu Bakar r.a. dan ini menjadi pokok bahasan akar historis riddah, secara klasifikasi terdapat tiga bagian sebagai berikut : 1) Nabi Palsu Tidak lama setelah Nabi Muhammad saw wafat, munculah beberapa orang yang mengaku sebagai Nabi. Mereka menganggap bahwa wahyu telah turun kepada mereka, sebagaimana Muhammad saw telah menerimanya. Oleh karena itu mereka merasa tertipu memeluk Islam. Bahkan diantara mereka sudah menganggap sebagai nabi pada saat Rasulullah masih hidup. Mereka mengepalai kelompok pembangkang. Salah satu yang menjadi penyebab mereka mengaku sebagai Nabi adalah kecemburuan sosial terhadap kesuksesan besar misi perjuangan Nabi Muhammad saw yang sudah terpendam lama selama kepemimpinan Nabi, hanya saja ia tidak berani dan tidak ada kesempatan. Aswad Al-Ansi merupakan orang yang pertama kali mengaku sebagai Nabi. Ia adalah pemimpin suku Ansi di Yaman. Ia berhasil merekrut sejumlah pasukan dan bersekutu dengan daerah-daerah sekitar Yaman untuk melancarkan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, kedoknya terbongkar. Ia kemudian dibunuh oleh Qais Ibn Maksyuh al-Muradi dan Fairus adDailami di rumahnya ketika ia sedang mabuk. Sedangkan menurut At-Thabari, peperangan riddah yang pertama kali dilakukan oleh kaum muslimin setelah
Rasulullah saw wafat adalah perang Aswad al-Ansi. Peperangan ini berlangsung di Yaman.24 Musaylamah, seorang yang berasal dari suku Bani Hanifah dipusat jazirah Arab, mengaku sebagai Nabi dan mengadakan gerakan penghasutan di Yamamah. Sebelum ia datang ke Madinah beserta utusan sebagai orang beriman, dalam perjalanan pulang ia mengaku sebagai Nabi. Tulayhah adalah seorang yang mahir dalam peperangan dan terkenal sebagai seorang yang kaya raya dari suku Bani As’ad, Arabia selatan. Ia melancarkan secara terang-terangan terhadap pemerintah Islam seraya mengaku sebagai Nabi setelah Wafatnya Nabi Muhammad saw. Sajah dia adalah seorang wanita Kristen, mengaku sebagai Nabi, ia berasal dari suku Yarbu di Asia Tengah. Sekalipun ia mendapat dukungan dari mayoritas masyarakatnya, namun ia tidak memiliki keberanian melawan kekuasaan Islam, karena itu ia membentuk kekuatan persekutuan dengan cara melangsungkan perkawinan dengan Musaylamah.25 2) Kaum Murtad Terangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama Negara Islam merupakan kehidupan baru dalam membangun sebuah Negara. Karena Islam baru didirikan, maka tidak ada konstitusi tertulis ataupun konvensi-konvensi yang sudah baku. Al-
24
Muhammad Husain Haikal, Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash-Shiddiq, (Jakarta: Qisthi Press, 2007), h. 90-91. 25 Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern), h. 93-94.
Qur’an dan Al-Sunnah Nabi merupakan pedoman khalifah baru. Secara teori ia mempunyai kekuasaan mutlak, namun dalam prakteknya banyak pembatasan. Masyarakat Arabia terbiasa hidup dalam kebebasan. Mereka tidak akan begitu saja tunduk pada kekuasaan, meskipun Nabi Muhammad saw sudah membangun kontrolnya dihampir seluruh jazirah Arabia, dia tidak bisa menjadikan orang-orang nomad untuk tunduk sepenuhnya. Keberadaan Abu Bakar menunjukan keberadaan sebuah institusi baru bagi masyarakatnya. Artinya setiap kebijakan dan peraturan yang ditentuan oleh penguasa yang harus diikuti. Hal ini ternyata membuat orang Badwi26 mulai muncul gejolakgejolak buruk untuk menentang dan menolak kebijakan yang telah ditentukan. Fungsi Negara pada masa itu bukanlah untuk membangun kekuasaan pada warga Negara. Ini bukan berarti bahwa Negara tidak mempunyai sifat refresif sama sekali. Negara mulai menggunakan kekuatan untuk menentang para pemberontak dan mereka yang tidak mau mengakui legitimasi rezim baru, Bani Hasyim misalnya, dibawah kepemimpinan Ali r.a. tidak menyatakan dukungannya kepada khalifah baru selama beberapa waktu. Namun pada akhirnya semua bani Hasyim pada menyerah dan tunduk setelah Umar r.a. mengancam akan membakar rumah Siti Fatimah putrinya Nabi dan Istrinya Ali r.a. yang digunakan tempat diskusi mereka untuk merencanakan sesuatu.
26
Orang-orang Badwi ialah orang-orang Arab yang berdiam di padang pasir yang hidupnya selalu berpindah-pindah.
Ali r.a dan pengikutnya tidak menentang maksud didirikannya Negara, tetapi hanya menolak ke khalifahan Abu Bakar r.a. namun demikian, kaum Badwi menolak ide Negara itu sendiri, karena ia membatasi kebebasan penuh yang mereka miliki secara turun-temurun.27 Itulah sebabnya mengapa Al-Qur’an tetap meragukan keislaman mereka yang tercantum dalam Surat At-Taubah ayat 97 – 98 yaitu :
8w XDB! 7 ⌧t1 +8<48 JK1 7" 1 44⌧D6 }
61 F4 " L =8☺L0 xF48 1,Fp7 2L xF48 ; ، :" .,0 4 5se 8<48 RGVj 4Y X D hF84F48 G,G rr(48 9 hF8" .,/XL0 ٩٨ – ٩٧ : <=)[ اﻝ.,0 5☺"p xF48 Artinya : Orang-orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan diantara orangorang Arab Badwi itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah), sebagi suatu kerugian, dan dia menanti-nanti marabahaya menimpamu, merekalah yang akan ditimpa marabahaya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah : 97-98). Tanda-tanda kemurtadan sudah mulai ada setelah Nabi Muhamad saw wafat. Kaum kafir Badwi tidak pernah mau tunduk kepada setiap kekuasaan. Ia menjadi pemberontak yang umum terjadi disepanjang Arabia. Melihat kondisi sosio ekonomi, mereka tidak mungkin tunduk kepada setiap bentuk Negara. Sementara di dalam Madinah sendiri, perebutan kekuasaan terjadi antara berbagai kelompok, dan setelah 27
Ashgar Ali Enginer, The Original Development of Islam; (Asal-usul dan perkembangan Islam; Analisis pertumbuhan sosio ekonomi), (Jakarta : Pustaka Pelajar dan Insist, 1999), h. 220.
mendengar kabar meninggalnya Nabi, antara suku dengan suku lainnya satu persatu meninggalkan Islam (Murtad). Orang-orang Arab padang pasir Badwi mempunyai naluri konservatif untuk menentang doktrin-doktrin Islam, meskipun mereka sendiri menjadi muslim karena secara kebebasan, mereka terikat dengan doktrin-doktrin Islam yang menuntut jiwa pengabdian pada Allah SWT, seperti menerima taqdir yang ditentukan, sholat dan puasa, menahan nafsu, dan mengorbankan uang dan harta benda dijalan Allah SWT. Hal ini mengakibatkan banyaknya dari mereka tidak mau membayar zakat meskipun mereka tetap mengaku muslim.28 Diantara alasan-alasan yang melatar belakangi mereka untuk menolak membayar zakat adalah, mereka menyebarkan fitnah dan membujuk masyarakat agar mau bergabung dengan mereka, mereka mengatakan : “ Kaum Anshar dan Muhajirin telah berselisih paham mengenai kedudukan khalifah sebagai pengganti Rasulullah saw. Beliau sendiri tidak pernah mewasiatkan kepada siapapun untuk menggantikan kedudukannya. Oleh karena itu, sangatlah layak bagi kita untuk menentukan kemerdekaan kita sendiri, demi menjaga keislaman kita. Ini adalah hak kita, sebagaimana kaum Muhajirin dan Anshar mempunyai hak untuk menentukan jabatan khalifah bagi golongan mereka masing-masing. Keharusan untuk tunduk kepada Abu Bakar r.a. atau orang-orang lainnya tidak terdapat dalam ketentuan agama dan kitabullah. Kita hanya diperintahkan untuk taat kepada orangorang yang kita angkat untuk mengurusi kita”.29
Alasan lain adalah, ketika Rasulullah membuat kebijaksanaan dan ketetapan terhadap beberapa pemimpin di daerah Bahrain, Hadramaut dan daerah lainnya
28
Enginer, The Original Development of Islam; (Asal-usul dan perkembangan Islam; Analisis pertumbuhan sosio ekonomi), h. 222-223. 29 Haikal, Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash-Shiddiq, h. 91.
setelah mereka memeluk Islam. Beliau memerintahkan agar zakat yang dipungut sebagian dibagikan kepada rakyat yang tergolong fakir. Upeti tidak diwajibkan kepada orang-orang Islam, melainkan kepada ahli kitab. Sedangkan bangsa Arab yang tinggal di wilayah jazirah Arabia hampir semuanya kaum muslimin. Alasan-alasan itulah yang melatar belakangi penolakan sebagian kaum muslimin untuk membayar zakat bagi kepentingan Islam. Mereka menganggap bahwa pembayaran zakat kepada pemerintahan Islam di madinah bukanlah merupakan keharusan.30 Kata mereka “ mengapa harus membayar zakat, sedangkan tidak ada pertalian apapun antara kami dengan penguasa di Madinah” demikian fikir mereka. Satu-satunya pertalian yang menghubungkan mereka hanyalah kesamaan dalam Agama. Sedangkan dalam segi penerapan hukum, menurut mereka tidak ada hubungannya sama sekali.31 Selanjutnya hal lain yang menimbulkan mereka murtad adalah sifat paternalis masyarakat kesukuan Arabia, yakni mengikuti dan tunduk kepada perintah para pemimpinnya secara membabi buta. Jika seorang pemimpin masuk Islam, rakyatnya secara otomatis masuk Islam, begitu juga sebaliknya, sekalipun mereka dalam hal-hal tertentu lebih bersifat demokratis. Dominasi sifat paternalis inilah yang menyebabkan mereka mudah menerima seruan kemurtadan dari kelompok pemuka suku yang merasa dirugikan dan merasa khawatir dengan perkembangan Islam. Yaitu perubahan
30 31
Ibid., h. 91. Ibid., h. 91.
secara struktur sosial masyarakat Arabia, khususnya dalam bidang politik dan keagamaan.32 Dalam musyawarah antara Abu Bakar Umar dan para sahabatnya, terjadi perdebatan antara dua golongan. Satu golongan adalah Umar dan para sahabat lain yang berpendapat untuk tidak memerangi umat yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, sedang golongan lain (kelompok minoritas) menghendaki dengan jalan kekerasan. Dengan suara lantang Abu Bakar berkata : “Demi Allah orang yang keberatan menunaikan zakat kepadaku, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah akan kuperangi.33 Perangpun terjadi, kaum pembangkang zakat menyerbu Madinah terlebih dahulu dengan tujuan hendak melemahkan semangat mereka bila menghadapi perang, dan supaya khalifah Abu Bakar mau mengalah salah satu ketentuan Islam itu. Namun Abu Bakar r.a. tetap semangat dan kokoh untuk melawan para pembangkang tersebut. Abu Bakar dan kaum muslimin yang lain malam itu tidak tidur, ia bersiapsiap dan memobilisasi mereka. Begitu terbit fajar tanpa dirasakan dan diketahui musuh, mereka sudah berada di daerah lawan. Akhirnya kaum muslimin menghunus pedang berhadapan dengan musuh dan tidak mengenal ampun, hal itu dilakukan pada pagi hari yang masih gelap mereka menjadi kacau balau dan berlarian tanpa melihat
32
Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern), h. 94-95. Muhammad Husain Haikal, Abu Bakar Ash-Shiddiq (Sebuah Biografi dan studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi), cet.ke-I, (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 1995), h. 82. 33
kebelakang. Tetapi Abu Bakar terus mengejar mereka sampai ke Zulqassah. Kemenanganpun berada ditangan Abu Bakar dan kaum Muslimin. 34 Setelah kemenangan di Zulqassah, kaum muslimin pada setiap qabilah langsung cepat-cepat menunaikan zakat kepada khalifah Rasulullah saw (Abu Bakar r.a.), diantaranya ialah Sofwan dan Zabriqan, pemimpin-pemimpin Banu Tamim, Adi Bin Hatim at-Ta’i atas nama kabilahnya Tayyi. Selama masa pemerintahan Abu Bakar (632-634 M), ia gunakan untuk berperang melawan kaum riddah ketika beberapa suku mencoba melepaskan diri dari umat dan menegaskan lagi kemerdekaan mereka. 3) Kaum Munafik Kaum munafik juga dirasakan berbahaya dan mengancam eksistensi pemerintah Islam pada masa itu. Abu Bakar beserta pasukannya mencoba untuk memeranginya dengan menyusun kekuatan di Madinah dan membaginya menjadi sebelas batalion untuk dikirim ke sebelas daerah rawan pemberontakan. Sebelum pemberangkatan ke daerah-daerah tersebut, masing-masing komandan batalion agar menyampaikan instruksi dari Abu Bakar untuk mengajak kaum munafik kembali kepada agama Islam, jika menolak ajakan tersebut, mereka boleh diperangi sampai habis. Peperangan tidak dapat dihindari, karena sebagian besar dari mereka tetap pada pendiriannya dalam melawan Islam. Khalid Bin Walid merupakan komandan
34
Ibid., h. 85.
yang pertama kali diperintahkan untuk memerangi Tulayhah dalam peperangan Buzaka. Khalid mengalahkan pasukan Tulayhah dan sebagian suku-suku yang terlihat dalam gerakan pemberontak akhirnya bersedia masuk Islam, termasuk suku Bani As’ad. Sajah yang termasuk salah satu pemimpin gerakan pemberontak tersebut akhirnya bergabung dengan pasukan Musaylamah setelah ia melihat bahwa pasukan khalid telah berangkat ke medan perang. Namun hasil Sajah sia-sia dan akhirnya kembali ke negeri asalnya, di lembah Mesoptomania. Dalam perang Yamamah 633 M, dikenal sebagai peperangan antara pasukan Musaylamah dengan pasukan Khalid Ibn Walid, yang sebelumnya pasukan Musaylamah telah mengalahkan pasukan yang dipimpin Ikrimah dan Syurahbil. Pasukan Islam akhirnya dapat menggempur benteng pertahanan dan perlindungan musuh. Ribuan musuh beserta Musaylamah terbunuh didalam benteng tersebut, sehingga benteng ini dikenal sebagai “Benteng Kematian”. Dengan kemenangan dalam peperangan Yamamah ini, berakhirlah misi pasukan Islam memerangi gerakan anti Islam. Dari empat tokoh gerakan anti Islam, dua diantaranya mati terbunuh dalam peperangan yaitu, Aswad al-Ansi dan Musaylamah. Sedang dua tokoh anti Islam lainnya, yakni Tulaihah dan Sajah akhirnya memeluk Islam. Peperangan yang di lancarkan oleh Abu Bakar terhadap gerakan anti Islam, oleh kebanyakan ahli sejarah sering disebut sebagai peperangan melawan orang murtad.
C. Kualifikasi Jarimah Riddah Perbuatan riddah bisa dilakukan oleh setiap orang, baik dari seorang muslim kemudian kafir atau dia dari seorang kafir berpindah ke agama lain seperti dari Majusi menjadi Nasrani atau Yahudi begitu juga sebaliknya. Kualifikasi jarimah murtad meliputi dua unsur yang sangat penting yaitu unsur keluar dari agama Islam menuju agama non Islam dan unsur melawan hukum. Mengenai unsur pertama, keluar dari agama Islam pindah ke agama lain atau kepada kekafiran dengan kata lain meninggalkan Islam, yakni tidak lagi menganggap dan meyakini bahwa Islam adalah agama benar. Proses meninggalkan agama Islam ini bisa terjadi melalui tiga cara, yaitu : a). Dengan tindakan atau tidak melakukan. Sikap meninggalkan Islam dengan tindakan bisa terjadi bila seseorang melakukan suatu perbuatan yang diharamkan oleh Islam, baik hal itu dilakukan dengan sengaja untuk menghina Islam, meremehkan atau karena menentang. Termasuk dalam kategori ini adalah melakukan sesuatu yang diharamkan Islam dengan menganggap bahwa hal itu dihalalkan seperti berzina, meminum khamr, membunuh jiwa manusia dengan meyakini bahwa hal-hal yang dilakukan tersebut hukumnya halal dan bukan atas dasar takwil (pemahaman mendalam tentang dalil al-Qur’an dan Hadis). Sebab jika dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam perang saudara seperti membunuh, memperkosa tawanan, merampas harta, mencaci maki sahabat Nabi seperti yang dilakukan kaum khawarij tampaknya para fukaha tidak menganggap mereka sebagai kaum kafir, walaupun
kenyataannnya, mereka sudah sangat terlalu keterlaluan hingga mengkafirkan sebagian sahabat Nabi, bahkan meyakini bahwa darah sebagian sahabat Nabi boleh ditumpahkan. Mereka tetap tidak dianggap murtad dengan sebab mereka telah melakukan takwil terhadap al-Qur’an dan Hadis. 35 Adapun contoh sikap
tidak mau melakukan terhadap kewajiban-
kewajiban agama yang dianggap sebagai salah satu bentuk riddah adalah seperti orang yang tidak mau mendirikan shalat, enggan membayar zakat, tidak bersedia melakukan ibadah haji, padahal ada kemampuan dan kesempatan. Semua ini dilakukan karena ia ingkar terhadap kewajiban-kewajiban agama. Demikian pula sikap seseorang yang menolak setiap kewajiban dari perintah Allah SWT. Dalam masalah ini Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa contoh paling kongkrit dan aktual saat ini adalah mengenai sikap banyak pihak yang tidak mau menerima hukum syari’at Islam sebagai pedoman hidup. Mereka menggantinya dengan hukum positif buatan manusia bukan atas dasar wahyu Allah. Padahal dalam Islam menjadikan hukum yang diturunkan Allah hukumnya wajib dan sebaliknya menjadikan hukum di luar hukum yang Allah turunkan hukumnya haram. Dalam banyak teks-teks keagamaan sangat jelas dan tegas.36 Para fuqahapun sepakat menyatakan bahwa setiap aturan hukum yang tidak sama dan bertentangan dengan prinsip syari’ah dianggap sebagai hukum
35
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i Jilid II, h. 707. Untuk menguatkan pendapatnya, Abdul Qadir Audah memaparkan 8 ayat yang terdapat dalam beberapa surat sebagai berikut : QS. Yusuf : 40 dan 67, QS. Al-An’am : 57. QS. Al-Maidah : 44, 45, dan 47, QS. Al-Imran : 83 dan 85. 36
yang batil dan tidak wajib mentaatinya. Siapapun yang secara tegas menolak ekistensi hukum pidana Islam seperti potong tangan sanksi bagi pencuri dera sanksi bagi qazaf, zina dan lain-lain, dengan keyakinan bahwa hal itu menyalahi HAM menurut Abdul Qadir Audah dianggap sebagai orang kafir jelas, tetapi kalau tidak menerimanya hanya karena alasan lain bukan karena ingkar dan menolak hukum Allah maka ia termasuk orang-orang zalim, dan apabila ia tidak menerima hukum Allah ini hanya semata-mata karena menyia-nyiakan kebenaran, meninggalkan keadilan dalam rangka konsep persamaan agar tidak terdapat diskriminasi dan alasan teknis yang lain maka pelaku dalam hal ini hanya dianggap bersetatus sebagai orang fasiq. 37 Namun demikian hal penting yang telah disepakati oleh para ulama bahwa siapapun yang menolak atau membantah perintah Allah dan Rasulnya maka ia dianggap telah keluar dari Islam, baik penolakannya itu dilakukan karena keraguan, karena memang tidak setuju atau karena membangkang. Para sahabat Nabi telah menentukan bahwa para pembangkang zakat dianggap telah kafir dan harus diperangi.38 Bahkan para pembangkang terhadap perintah Allah ini akan mendapat murka Allah dan dianggap sebagai pendosa, ahli maksiat dan status mereka telah menjadi kafir.39 b). Dengan ucapan.
37
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i Jilid II, h. 709. Ibid h., 709-710. 39 Ahmad As-Sirbasi, Yas aluunaka fi al-Dini wa al-Hayati cet I, (Beirut: Dar al-Jail, 1977), jilid 3 h. 218. 38
Orang yang melakukan riddah karena mengucapkan perkataan yang secara tabiat membuatnya kafir atau menuntut menjadikannya kafir. Seperti seseorang yang mengatakan pernyataan bahwa saya mengingkari Allah sebagai Tuhan, mengingkari Allah sebagai sifat Esa, mengatakan pernyataan Allah memiliki tandingan, Allah memiliki pasangan hidup, Allah memiliki anak, mengatakan pernyataan mengaku dirinya sebagai Nabi, membenarkan adanya Nabi palsu, mengatakan pernyataan tidak percaya dengan adanya para malaikat, dan para Nabi atau mengingkari salah seorang diantara para malaikat dan Nabi, mengatakan pernyataan “saya mengingkari al-Qur’an, mengingkari salah satu surat atau ayatnya”, memproklamirkan diri bahwa telah keluar dari Islam, mengatakan pernyataan bahwa syari’at Islam itu tidak ditujukan untuk mengatur kehidupan individu dan masyarakat, syari’at Islam hanya bersifat temporal dan kondisional, syari’at Islam tidak cocok dan tidak membumi, serta hukum positif produk manusia jauh lebih riil dan relevan, semua ucapan seperti diatas bila diucapkan oleh seorang muslim yang baik maka statusnya akan berubah menjadi murtad atau kafir.40 c). Orang yang melakukan jarimah riddah dengan keyakinan dalam hati Disamping dengan tindakan baik berupa melakukan pelanggaran maupun meninggalkan kewajiban agama dan dengan ucapan pelaku, murtad juga bisa terjadi melalui keyakinan seseorang, seperti seseorang yang meyakini bahwa alam ini Qadim, artinya alam telah ada sebelum adanya Allah, keyakinan seseorang 40
Audah at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i Jilid II, h. 710.
bahwa Allah sebagai pencipta bersifat kudus, artinya baru ada setelah adanya alam, keyakinan seseorang tentang bersatunya antara khaliq dan makhluk, tentang adanya roh yang menjelma (reinkarnasi) tentang al-Qur’an yang diyakini bukan berasal dari Allah SWT, keyakinan bahwa Nabi Muhammad pembohong, Ali sebagai titisan Tuhan, Ali sebagai Rasul dan beberapa keyakinan aneh yang lain. Memang semata-mata keyakinan yang ada dalam bisikan hati dan belum di ucapkan kita belum di realisasikan secara kongkrit dalam bentuk perbuatan tetap saja pelaku tidak dapat di hukum atas tuduhan telah melakukan jarimah riddah. Sebab Rasulullah saw bersabda :
#_ وزF U إن ا-. وﺱ. U ا. ﺹUل رﺱل ا/ ل/ أ& ه ة رى وأ& داود$1 )روا ا-. # - *) & أو+ - @,%* وﺱﺱ` & أﻥ (ئ, ى وا# وا Artinya : Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda sesungguhnya Allah memaafkan dosa umatku apa yang tersirat dalam hatinya selama lintasan bersitan hati itu tidak dilaksanakan atau diucapkan (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, Tirmizi dan An-Nasa’i)41
Atas dasar hadis ini siapapun orang muslim yang dalam hatinya terdapat keraguan tentang hal-hal seperti dikemukakan diatas selama tidak diucapkan atau dilakukan maka orang tersebut tidak bisa dianggap murtad yang bisa di hukum dengan hukuman duniawi, adapun akhirat maka Allah akan menentukannya.42 Jadi untuk bisa dianggap murtad secara hukum tidak cukup hanya dilihat dari segi
41 42
al-Bukhori, Sahih al-Bukhari, Jilid III, h. 2181. Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i Jilid II, h. 711.
keyakinan, tetapi harus di realisasikan melalui tindakan kongkrit atau diucapkan secara jelas. Dari uraian mengenai unsur pertama jarimah riddah yaitu mengenai unsur keluar dari agama Islam diatas, bisa diketahui bahwa seseorang bisa dinyatakan telah keluar dari agama Islam melalui tiga cara. Ketiga cara tersebut adalah 1) Dengan melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan, 2) Dengan ucapan yang jelas, dan 3) Dengan keyakinan dalam hati. Untuk bisa dituntut dengan sanksi hukum, tampaknya tidak cukup hanya dengan melihat cara yang ketiga diatas, sebab lintasan dan bersitan hati seseorang dinyatakan tidak cukup bukti untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku. Oleh karena itu jarimah riddah yang pelakunya bisa dituntut hukuman harus terealisasikan secara kongkrit dalam bentuk ucapan yang jelas dan tindakan nyata. Mengenai unsur yang kedua yaitu unsur melawan hukum, dalam hal ini untuk mengetahui dan membuat tolak ukur sebuah jarimah riddah di syariatkan adanya unsur melawan hukum. Yaitu berupa kesengajaan pelaku untuk melakukan suatu tindakan atau mengucapkan secara jelas lintasan hati dan pikirannya, yang mana pada saat itu ia sadar dan mengerti persis bahwa perbuatan atau tindakan dan ucapannya itu jelas
mengandung
makna
fatal
yang
akan
mengakibatkan
pelaku
bila
mengucapkannya bisa dianggap kafir. 43 Dengan demikian seandainya orang yang melakukan tindakan atau mengucapakan ucapan kekufuran atau kemurtadan tersebut tidak mengerti bahwa hal 43
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i Jilid II, h. 719.
itu bisa berakibat fatal pada keimanan dirinya maka dia tidak dianggap telah murtad.44 Masalah unsur melawan hukum ini berkaitan erat dengan persoalan niat dan kesengajaan. Dalam hal ini ulama kalangan mazhab Syafi’i mensyaratkan bahwa untuk terjadi jarimah riddah pelaku harus berniat untuk murtad. Oleh karena itu tidak dianggap cukup kalau hanya menyengaja melakukan suatu tindakan seperti sujud kepada matahari atau menyengaja mengucapkan suatu ucapan kekufuran tanpa disertai dengan niat dalam hati bersamaan dengan tindakan atau ucapannya tersebut. Muhammad al-Khatib al-Syarbini mengutip pendapat al-Mawardi bahwa niat adalah :
واﺥ @ ?مC/ نH .+%& ﻥ#A ا ءC/ < إن ا Artinya : Sesungguhnya niat itu sengaja melakukan atau mengucapakan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya, kalau hanya menyengaja tetapi berlambat-lambat tidak segera bertindak maka hal itu disebut azam.
Alasan pendapat ini adalah sebuah hadis yang sangat popular tentang niat yaitu :
-. وﺱ. U ا. ﺹU` رﺱل ا+*ل ﺱ/ U اaTب ر$ * & ا إ دﻥF إﻥ* ا_*ل & ت واﻥ* ) ائ ﻥى * آ ﻥ` ه: لA (. %#) إ ه إF@ @E @ أو إأة1C Artinya : Dari Umar bin al-Khatab ra, berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang pasti memiliki niat, barang siapa yang hijrahnya diniatkan untuk membela agama Allah dan Rasulnya maka hijrahnya pasti hanya untuk Allah dan rasul, dan siapa yang hijrah karena keuntungan dunia yang
44
Ibid., h. 719.
dikejarnya, atau perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya akan memperoleh seperti yang diniatkan sejak semula. (Muttafaqun Alaih)45 Hadis tentang niat ini pula yang oleh ulama kalangan Zahiriyah dijadikan alasan bahwa setiap perbuatan dalam hal ini juga termasuk perbuatan riddah harus disertai niat. Menurut mereka setiap tindakan atau perbuatan yang tidak disertai niat hukumnya batil dan tidak bisa dibenarkan.46 Sedangkan menurut Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, bahwa seseorang bisa dianggap telah melakukan jarimah riddah ini pada saat melakukan tindakan dan menyampaikan perkataan sesuai dengan isi hatinya. Jadi pada saat seseorang melakukan atau mengatakan sekalipun tidak berniat murtad melainkan hanya berniat menghina, merendahkan, menentang atau melecehkan agama yang dipeluknya. Demikian juga pendapat para ulama dari kalangan Syi’ah Zaidiyyah.47 Dari uraian mengenai unsur kedua, yaitu unsur melawan hukum bisa diketahui bahwa unsur ini berkaitan erat dengan niat pelaku dimana ada yang berpendapat harus disertai niat dan adapula yang berpendapat tidak harus disertai niat sebab ketika pelaku melakukan tindakan atau ucapan kufur, maka pada saat itu sebenarnya ia telah berniat. Dalam hal ini penulis cendrung mendukung pendapat yang harus menyertakan niat dalam bertindak atau berucap kufur yang tentu terlalu sulit kalau persoalan niat yang adanya dalam hati, sehingga wajar jika dalam aspek45
al-Bukhori, Sahih al-Bukhari, Jilid I, h. 3. Lihat pula Muhammad bin Allan al-Sidiqi alSyafii al-Asari al-Makki, Dalil al-Falihin li turuqi Riyad Al-Salihin (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), jilid I. h. 27-30. 46 Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, Al-Muhalla, (Beirut: al-Maktabah atTijarti, tth), jilid 10, h. 205. 47 Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i, Jilid II, h. 720.
aspek ibadah tertentu niat seyogyanya dimanifestasikan yang jelas dan bisa dimengerti. Disamping terdapat dua unsur tentang jarimah murtad sebagaimana diuraikan diatas, Wahbah az-Zuhaili mengemukakan dua hal yang menurutnya sebagai persyaratan sah dari jarimah murtad, Az-Zuhaili mengatakan bahwa para ulama sepakat menyatakan bahwa untuk sahnya jarimah murtad harus memenuhi syaratsyarat yaitu : 1) pelakunya harus berakal sehat, 2) Telah mencapai usia baligh (dewasa), 3) Dilakukan atas kehendak sendiri, 4) pelakunya harus dalam kondisi sadar dan tidak berada dalam tekanan,48 dan 5) Telah memahami tuntutan syara’ (mengerti dan memahami terhadap apa yang diucapkan maupun yang dilakukan). Oleh karena itu orang gila, anak kecil dan orang yang terpaksa atau dibawah tekanan jarimah murtadnya tidak bisa dinyatakan sah. Begitu pula orang yang was-was dan orang yang kurang akal serta mabuk.49
D. Kriminalisasi Jarimah Riddah Istilah kriminal dalam kamus hukum adalah kejahatan atau pelanggaran yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana berdasarkan undang-undang, sedangkan kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa
48
az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Waadillatuh, cet ke-4, jilid VII, h. 5576-5580. Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar ala al-Durri al-Mukhtar, Hasyiyah Ibni Abidin, (Beirut: Daru Ihya at-Turas al-Arabi, tth). Jilid 18, h. 5. 49
pidana, 50 yakni perbuatan melanggar hukum yang dapat dihukum berdasarkan ketentuan yang berlaku. Istilah kriminalisasi dalam hukum Islam adalah jarimah (perbuatan yang dilarang). Al-Mawardi mendefinisikan jarimah adalah :
?+ أوE& @ + Uرات ﺵ< زاcE -dاF ا Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.51 Jarimah riddah merupakan kejahatan agama dan agama ini adalah suatu yang berasal dari Tuhan, berupa ajaran tentang ketentuan, kepercayaan, kepasrahan dan pengamalan yang diberikan kepada makhluk yang diberi akal, demi keselamatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.52 Definisi lain bahwa agama adalah apa-apa yang ditentukan oleh Allah dalam kitab-Nya yang bijaksana dan sunah Nabi-Nya yang sahih, baik berupa perintah, larangan, maupun petunjuk untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.53 Jadi kriminalisasi jarimah riddah adalah suatu perbuatan melanggar hukum terhadap ajaran atau norma-norma yang telah ditentukan oleh agama, meskipun secara pembuktian dan prosedur tidak terdapat hal-hal yang menjadi asas-asas pidana yang dapat menyebabkan ancaman terhadap struktur masyarakat dan keamanan Negara. Kecuali jika ada unsur lain yang menjadikan untuk dipidana, seperti sikap perlawanan dan permusuhan terhadap kaum muslimin, dan telah diundangkan dalam konstitusi nasional dan Negara tertentu.
50
Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2007), h. 232 Abu al-Hasan Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, cet III, ( Mesir: Mustafa Al-Baby Al-Halaby, 1975), h. 219. 52 Hasan Shadily (Ketua), Ensiklopedi Indonesia, Edisi Khusus, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 1715 - 1716. 53 Aceng Zakaria, Al-Hidayah, Jilid I, cet III, (Garut: PPI 79, 1988), h. 1. 51
Perbutan riddah atau keluar dari agama Islam merupakan krimanalitas keagamaan karena telah melanggar konstitusi agama, hal itu berdasarkan beberapa hukum yang menjadi legitimasi ketentuan agama, atau yang kita sebut merupakan suatu pelanggaran terhadap norma-norma agama. Maka konsekuensi terhadap pelaku riddah yang menjadi ketentuan agama harus diterima dan di taati, karena sudah menjadi konsekuensi logis syari’ah sebagai hukum keagamaan, maka orang yang terdapat dalam institusi agama tidak memiliki pilihan lain kecuali patuh. Ketika semua pertimbangan teks yang sesuai dengan penafsirannya diselesaikan, maka sampai pada kesimpulan menjadi perintah bagi orang yang beriman. Sesuatu yang berkaitan dengan agama menjadi persoalan pemicu emosi, subyektivitas, kecendrungan, dan kadang sifat tidak mengenal tawar menawar.54 Realitas ini dikarenakan konsepsi tentang agama menyangkut kepentingan agama tersebut, keyakinan dan perasaan.55 Islam merupakan ajaran yang sempurna dalam mengatur kehidupan, baik sebagai ibadah, tuntunan, moral, material, serta berhubungan dengan dunia dan akhirat. Islam didasarkan atas wahyu, rasio dan logika, ia berdiri diatas dalil-dalil dan bukti kebenaran. Tak ada aqidah Islam yang bertentangan dengan fitrah manusia, dan tidak pula menghambat jalannya pembangunan manusia dibidang moral spiritual dan fisik material. Dengan demikian, bila dia keluar dari Islam, berarti dia keluar dari kebenaran menuju kesesatan. Ia mengingkari bukti dan 54 55
h. 11
dalil yang benar. Dan dia juga
A. Mukti Ali, Agama, Universitas dan Pembangunan, (Bandung: IKIP, 1971), h. 4 Moeslem Abdurrahman, Islam Transformatif, cet.ke-II, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995),
menyimpang dari rasio yang sehat dan fitrah yang lurus.56 Artinya, setelah ia melihat adanya bukti kebenaran, mengapa harus mengambil jalan yang sesat, dan Islam telah memberikan jalan yang termudah untuk melaksanakan segala urusannya dan tidak mempersulit. Riddah merupkan tindak pidana terhadap agama, dikarenakan perbuatan riddah tersebut ditujukan terhadap agama Islam sebagai sistem sosial bagi masyarakat Islam. Ketidak tegasan dalam menghukum jarimah tersebut akan berakibat goncangnya sistem, oleh karena itu, perbuatannya perlu ditumpas sama sekali untuk melindungi masyarakat dari sistem kehidupannya, serta menjadikan instrumen pencegahan umum.57 Diantara kategorisasi seseorang telah dianggap melakukan kriminalisasi riddah adalah : 1. Keluar dari agama Islam Keluar dari agama Islam, mencari agama lain, atau membuat agama baru, meninggalkan Islam dan kebenarannya, baik dengan perbuatan, perkataan maupun keyakinan. Merupakan kategori kriminal berdasarkan firman Allah SWT Yaitu :
⌦ ! ☺ +,#" "#%&' ()*) 4567 (48 2,3 ./0'"☺1 "#%&' ()*1 = 9 :;<"48 4"/ = 74?(48 +0'" >1 8٢١٧ : ة12اﻝ/ @AB4,8'"; 56 57
Sabiq, Fiqh al-Sunnah II, cet.ke-IV (Beirut: Dar Al-Fiqr, 1983)., h. 387. Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976). h. 303.
Artinya : Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. AlBaqarah : 217) Dan dalam hadis dijelaskan bahwa orang yang mengganti agama Islam dengan agama lain, atau membuat agama baru maka harus di bunuh, berdasarkan hadis Nabi yaitu :
: -. وﺱ. U ا. ﺹUل رﺱل ا/ : ل/ U اT س ر1 &و ا (رى$1 )روا ا.#/ &ل د Artinya : Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia. (Hadis Riwayat Bukhari)58
Bentuk riddah semacam ini secara keseluruhan (baik perbuatan, perkataan, dan keyakinan) menurut Sayyid Sabiq mempunyai delapan karakteristik yang dikatagorikan sebagai kriminal yaitu : ♦ Mengingkari hal-hal yang merupakan dasar agama yang telah ditentukan secara pasti, seperti : Mengingkari keesaan Allah; mengingkari ciptaan Allah terhadap alam; mengingkari adanya malaikat; mengingkari kenabian Muhammad saw; mengingkari al-Qur’an sebagai wahyu Allah; mengingkari hari kebangkitan dan pembalasan; mengingkari keparduan shalat, zakat, puasa dan haji. 59 Para ulama fikih sepakat bahwa orang yang musrik kepada Allah SWT, tidak mengakui Allah sebagai pencipta, tidak mengakui para utusan Allah, mendustakan salah salah seorang utusan Allah, mengingkari Allah sebagai Tuhan, mengingkari 58 59
al-Bukhori, Sahih al-Bukhari, jilid VIII, h. 50. Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, h. 267. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah II, cet IV, h. 384.
Allah sebagai sifat Esa, Allah memiliki tandingan, Allah memiliki pasangan hidup, Allah memiliki anak, atau mengingkari apa yang telah menjadi ketetapan Allah
seperti mengingkari adanya hari kebangkitan dan hisab, mengingkari
adanya surga dan neraka. Maka dia telah termasuk kafir. 60 ♦ Menghalalkan apa yang telah disepakati umat Islam atas keharamannya, seperti : menghalalkan minum arak, zina, riba, makan daging babi, dan menghalalkan membunuh orang-orang yang terjaga darahnya. Senada dengan ungkapan Abdul Qadir al-Audah yaitu : “Termasuk dalam kategori ini adalah melakukan sesuatu yang diharamkan Islam dengan menganggap bahwa hal itu dihalalkan seperti berzina, meminum khamr, membunuh jiwa manusia dengan meyakini bahwa hal-hal yang dilakukan tersebut hukumnya halal dan bukan atas dasar takwil (pemahaman mendalam tentang dalil al-Qur’an dan Hadis).61 ♦ Mengharamkan apa yang telah disepakati kaum muslimin atas kehalalannya. Seperti : Mengharamkan makanan yang baik-baik (gandum, nasi kurma dan lainlain) ♦ Mencaci maki nabi Muhammad saw. Demikian juga mencaci maki nabi-nabi Allah sebelumnya. ♦ Mencaci maki agama Islam; mencela al-Qur’an dan sunnah Nabi; dan berpaling dari hukum yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. ♦ Mengaku bahwa wahyu Allah telah turun kepadanya, ini tentu saja bagi selain nabi Muhammad saw. 60
Nu’man Abdurrajak As-Samira’i, Ahkâmul Murtad Fi al-Syari’at al-Islaamiyyah, (Beirut: Dar al-Ulum, 1403 H – 1983 M), h. 64. 61 Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i, Jilid II, h. 707.
♦ Mencampakan Mushaf al-Qur’an atau kitab-kitab hadis ketempat-tempat yang kotor dan menjijikan sebagai penghinaan dan menganggap enteng isinya. ♦ Meremehkan nama-nama Allah; atau meremehkan perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, janji-janjin-Nya. Kecuali jika pelakunya itu masih baru masuk Islam. Karena orang yang baru saja masuk agama Islam bila ia mengingkari hukum-hukum dalam Islam lantaran tidak tahu, maka pelaku tak dapat dihukum kafir.62 Semua ketentuan diatas berdasarkan ijma kaum muslimin setelah firman Allah SWT.
e'8 EF44,G1 q .
berupa
kesengajaan
pelaku
melakukan
suatu
tindakan
atau
mengucapkan secara jelas lintasan hati dan pikirannya, yang mana pada saat itu dia sadar dan mengerti persis bahwa perbuatan atau tindakan dan ucapannya itu jelas
62 63
Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah II, cet IV, h. 384-385 al-Jaza’iri, Minhâj al- Muslim, h. 441-442.
mengandung makna fatal yang akan mengakibatkan pelaku bila mengucapkannya bisa dianggap kafir.64 Oleh karena itu jika seseorang melakukan perbuatan riddah seperti yang telah penulis paparkan diatas, hal itu jelas merupakan perbutan yang dilarang oleh Allah SWT karena dapat menghapuskan segala perbuatan baik yang pernah dilakukannya. Oleh karena itu, perbuatan tersebut diancam dengan hukuman di dunia maupun diakhirat. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 217 :
⌦ ! ☺ +,#" "#%&' ()*) 4567 (48 2,3 ./0'"☺1 "#%&' ()*1 = 9 :;<"48 4"/ = 74?(48 +0'" >1 8٢١٧ : ة12اﻝ/ @AB4,8'"; Artinya : Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. ( QS.AlBaqarah : 217) An-naisa Bury dalam menafsirkan Qur’an Surat al-Baqarah ayat 217 sebagai berikut :
gh وYe ا دة. &قf د *` وه آ- e ; وfو دe) م3 ا'ﺱd ا% *. أ ا ﻥfﺥة5 ا ﻥ وا-@ *` أ1: ة5 اi* اE#, 5 & و%j) إ أﻥA و،& %j ) ا#A <.+ ا ﺥةk وأ ا،م ا *اثE و، # زو1 و،,: ﺙء5ا وC ﻥ5و (f @ ﺥ ون-ب ا ر هE أﺹgh وأوe / A a % 64
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i, Jilid II, h. 719.
Kalimat fو دe wamayyartadid adalah orang yang keluar yaitu keluar dari agama Islam, f د *` وه آ- e Dia tetap dalam kemurtadannya (tetap keluar dari agama Islam) fﺥة5 ا ﻥ وا-@ *` أ1: gh وYe maka hukuman untuk di dunia baginya tidak memperoleh (kesempatan) keutamaan dari Islam, ketika sudah mendapatkannya maka dia harus dibunuh, serta diperangi sampai mengalahkannya, dan tidak berhak mendapatkan loyalitas, pertolongan dan sanjungan dari kaum muslimin, diceraikan dari istrinya, diharamkan waris baginya, adapun hukuman di akhirat maka cukuplah pada ketetapan Allah f @ ﺥ ون-ب ا ر هE أﺹgh وأوe menjadi penghuni neraka dan kekal di dalamnya.65
'L0pU48 V ⌧\ ]e n Y qQXI L0 4YY ; 9 :;<"48 2,3 8 ٨J : ال @" ان/ ;M :r'"sX(48 Artinya : Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Al-Imran : 85)
Dari kedua ayat tersebut diatas menunjukan bahwa adanya sanksi bagi orang murtad, yaitu amal yang dikerjakan di dunia menjadi sia-sia, tidak berhak mendapatkan loyalitas, pertolongan dan sanjungan dari kaum muslim, diceraikan dari istrinya begitu juga sebaliknya, dan diharamkan baginya waris, amalnya hilang sehingga dia tidak mempunyai bekal untuk kehidupan akhirat dan ia kekal di neraka (Al-Baqarah : 217) dan sekali-kali tidak akan diterima (Al-Imran : 85) yang merupakan akibat pencarian agama lain selain agama Islam serta kepatuhan kepada selain Allah SWT, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi (Al-Imran : 85), yang merupakan akibat patuh kepada selain Allah.66 65
66
Nu’man Abdurrajak Al-Samira’i, Ahkâmul Murtad Fi al-Syari’at al-Islaamiyyah, h. 22.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol 7, (Jakarta: Lentera Hidup, 2001), h. 360.
Disamping Al-Qur’an, Rasululah saw menjelaskan hukuman untuk orang murtad selain bentuk hukuman diatas, ada sanksi lain yang dikenakan terhadap pelaku jarimah riddah yaitu : (1) Hukuman Pokok, (2) Hukuman Pengganti dan (3) Hukuman Tambahan.67
1. Hukuman Pokok a. Hukuman Mati Salah satu menjadi bagian bentuk aqabah hudud adalah jarimah riddah. Para ulama sepakat bahwa hukuman pokok bagi pelaku jarimah riddah wajib dibunuh. Hukuman riddah ini berdasarkan beberapa hadits Nabi antara lain :
: -. وﺱ. U ا. ﺹUل رﺱل ا/ : ل/ U اT س ر1 &و ا (رى$1 )روا ا.#/ &ل د Artinya : Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia. (Hadis Riwayat Bukhori)68
Juga hadits yang dikeluarkan oleh Mu’ad Bin Jabal berikut :
ءc/ ،)#A #: K. أ5 @د- ﺙ-. ر) أﺱU اT) ر1 &ذ ا+ . g ) ذ1/ ]## اﺱ: ( و روا < _& داود. %#) )#A & Y ورﺱUا Artinya : Dari Mu’ad Bin Jabal ra, tentang lelaki yang sudah masuk Islam lalu murtad masuk agama Yahudi, aku duduk sehingga lelaki itu dibunuh, itu 67
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i, Jilid II, h. 720. al-Bukhâri, Sahih al-Bukhari, Jilid VIII, h. 50. Lihat juga Al-Kahlani, Subul As-Salam, Juz III, hlm. 267. 68
keputusan Allah dan Rasul-Nya, maka Mu’ad memerintah membunuh lelaki itu. Kemudian lelaki itu dibunuh.69
) دم إئE 5 -. وﺱ. U ا. ﺹUل رﺱل ا/ ل/ د+, & U ا1 ] ا ?اﻥ وP ا: ث3 ى ﺙ:Y& 5 إU وأ ﻥ رﺱل اU ا5 إ إ5 @ أن-., ( < *F *< )روا اF. رق%* رك ا# واK% & K% ا Artinya : Dari Abdillah bin Mas’ud Rasulullah SAW bersabda, tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan saya utusan Allah kecuali terhadap tiga kelompok yaitu seorang yang pernah nikah lalu berzina dan jiwa dengan dengan jiwa (qisas) serta orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jama’ah (HR. al-Jama’ah). 70
Dan juga hadis yang dikemukakan secara lengkap oleh Imam al-Bukhari sebagai berikut :
ل/ < *د & ز أ ب: ﺙ: )c% * & اE *ن+ ﺙ أ&ا: - ل آ` أﻥA س1 & إg ذ0.1 -@/: Y
69
Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulugh al-Maram Min Adillati al-Ahkam, Terjemah Drs Muhammad Rifa’i dan Ahmad Qusyairi Misbah, (Semarang: Wicaksana, 1989), h. 728-729. 70 Muslim, Sahih Muslim , Jilid VI. h. 164. Lihat pula al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid IV, h. 2748. 71 al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid VIII, h. 50.
Menurut hadis diatas kiranya tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban membunuh orang murtad
bahkan Syaikh Muhammad Mutawali As-
Sya’rani dalam menafsirkan surat al-Isra ayat 33 yang berbunyi :
UXD?(48 JK,I xF48
=80<XI K " t(48 ٣٣ : ﺱ اءL اR" X(44,G
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.72 …(QS. Al-Isra : 33)
Kalau dalam ayat diatas dilarang membunuh jiwa yang dilarang Allah kecuali dengan cara yang haq setidaknya terdapat tiga alasan yang dinyatakan sebagai cara yang haq dalam membunuh orang, yaitu : 1) Dalam mengqishas pelaku 2) Dalam menghukum orang murtad dan 3) Dalam memberlakukan hukum rajam. 73 Ketiga cara diatas dinilai sebagai cara yang haq dalam membunuh jiwa manusia, dasar pijakannya adalah hadis dari Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh enam perawi hadis terkemuka sebagai berikut :
) دم إئE 5 -. وﺱ. U ا. ﺹUل رﺱل ا/ ل/ د+, & U ا1 ] ا ?اﻥ وP ا: ث3 ى ﺙ:Y& 5 إU وأ ﻥ رﺱل اU ا5 إ إ5 @ أن-., ( < *F *< )روا اF. رق%* رك ا# واK% & K% ا Artinya : Dari Abdillah bin Mas’ud Rasulullah SAW bersabda, tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan saya utusan Allah kecuali terhadap tiga kelompok yaitu seorang yang pernah nikah lalu berzina dan
72
Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya. 73 Muhammad Mutawali al-Syah’rawi Tafsir as-Syahrawi, (Beirut: Dar al-Fikr,tth) jilid 14, h. 8511-8512.
jiwa dengan dengan jiwa (qisas) serta orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jama’ah (HR. al-Jama’ah). 74
Tetapi Imam Abu Hanifah berbeda pendapat mengenai hukuman mati bagi perempuan yang murtad, menurutnya hukuman mati tidak diberlakukan atas perempuan yang murtad, tetapi ia harus dipaksa kembali ke agama Islam. Pemaksaan ini dilakukan dengan cara menahannya dan mengeluarkannya setiap hari agar ia mau bertaubat dan ditawari untuk kembali masuk Islam. Jika masuk Islam, hukumnya jelas. Jika tidak maka ia harus di tahan sampai mati atau sampai ia kembali masuk Islam. 75 Alasan Imam Abu Hanifah, karena Rasulullah saw melarang membunuh perempuan kafir. Jika perempuan yang kafir asli saja tidak boleh dibunuh, apalagi perempuan yang kafirnya datang kemudian. Sementara itu, ulama jumhur berpendapat bahwa hukuman bagi seorang perempuan murtad sama dengan hukuman bagi lelaki murtad. Karena sesungguhnya kata
” ”
dalam hadits
.#/ &ل د
berlaku umum bagi pria dan
wanita.76 b. Diminta Bertobat Salah satu penyebab orang berbuat murtad adalah adanya sifat keragu-raguan dalam jiwanya, sehingga mendesak untuk keluar dari kepercayaannya. Bila demikian 74
Muslim, Sahih Muslim , Jilid VI. h. 164. Lihat pula al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Jilid IV,
h. 2748. 75
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i Jilid II, h.720-721. As-Shan’ani, Subul al- Salam III, Terjemahan Abu Bakar Muhammad. (Surabaya: AlIkhlas, 1995), h. 948. 76
maka haruslah orang berbuat murtad itu diberi kesempatan untuk menghilangkan keraguannya itu dengan diberi dalil-dalil dan bukti-bukti yang dapat mengembalikan Iman ke dalam hatinya, sehingga ia yakin. Menurut aturan pokok, orang murtad tidak boleh di hukum mati kecuali setelah diminta bertobat. Dengan demikian pelaksanaannya tidak boleh serta merta dibunuh sebelum diharap, dianjurkan dan didorong agar dia mau bertobat dan bersedia kembali kepada agama Islam. Bagi siapapun bagi mereka yang mau bertobat, maka terpeliharalah darah mereka, akan tetapi siapapun yang enggan bertobat, maka dihukum mati karena perbuatan Riddahnya.77 Sedang bagi yang bersedia bertobat maka diterimalah tobat mereka dari segi dan cara manapun riddahnya dilakukan. Menurut ulama kalangan Syafi’iyyah anjuran untuk bertobat ini bukan hanya berlaku bagi laki-laki tetapi berlaku juga bagi wanita. Muhammad al-Khatib As-Syabrani mengatakan :
& ا * وا *ة##] اﺱFو Hukumnya wajib menganjurkan tobat bagi pelaku jarimah riddah laki-laki dan perempuan.78
Sebab kedua-duanya sama dihormati dalam Islam, dalil yang mereka jadikan argumentasi adalah sebuah hadis riwayat Ad-Daraqutni sebagai berikut :
a1 @ أه إ اl.1 م3ل @ أم رون ارت ا'ﺱA روى & أن اأة (#/` )روا ا ر.#/ 5ب وإ##, أنY -. وﺱ. U ا.ﺹ 77
Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Hawai al-Kabir, (Beirut: Dar alFikr, 1994), jilid 17, h. 356. 78 Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, tth) jilid 4, h. 139.
Artinya : Jabir meriwayatkan, sesungguhnya ada seorang wanita bernama Ummu Rauman keluar dari Islam, hal itu didengar oleh Nabi SAW, maka beliau memerintahkan agar dia disarankan untuk bertobat, kalau tidak, maka dibunuh. (HR. Adaraqutni)79
Menurut mazhab Syafi’i , mazhab Hanbali, mazhab Imam Malik dan mazhab Syi’ah Zaidiyah, anjuran untuk bertobat bagi kaum murtad ini hukumnya wajib, tetapi ulama dari kalangan Syi’ah Zaidiyah juga ada yang hanya berpendapat sebagai mustahab, tidak sampai kepada hukum wajib.80 Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa meminta bertobat hukumnya adalah sunah, bukan wajib. Alasannya, dakwah sudah sampai kepada orang yang murtad. Jadi, kewajibannya untuk bertobat tidak ada. Menawarkan Islam kepadanya adalah sunah karena mungkin saja ia mau masuk Islam lagi. Tetapi ulama dari kalangan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa meminta tobat tidak wajib, tetapi juga tidak dilarang.81 Apabila dengan anjuran bertobat ini oleh pelaku jarimah riddah tidak di tanggapi maka tindakan keras bisa dilakukan terhadap mereka, artinya mereka boleh diperangi. Namun demikian karena perang terhadap mereka tidak seperti perang terhadap kaum kafir yang secara jelas memusuhi Islam, maka mereka setelah kalah tidak boleh dijadikan budak baik laki-laki maupun perempuan. 82
79
An-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhazzab, (Mesir: Musafa al-Babi al-Halabi, tth), jilid 18,
h. 8. 80
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i Jilid II, h. 722. Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i, Jilid II, h. 722. 82 Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 56-57. 81
Dari uraian diatas bisa diketahui bahwa pelaku jarimah riddah oleh para ulama disepakati diberikan sanksi had berupa hukuman mati. Akan tetapi sanksi keras ini tidak boleh langsung diberikan melainkan terlebih dahulu harus diberi kesempatan bertobat, kalau pelaku tidak menanggapi anjuran untuk bertobat maka barulah mereka diperangi dan layak untuk di eksekusi dengan sanksi pidana mati, karena telah keluar dari barisan jama’ah mayoritas kaum muslimin. 2. Hukuman Pengganti Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa pelaku jarimah riddah sebelum diputuskan untuk dieksekusi mati harus disarankan untuk bertobat terlebih dahulu dengan mengucapkan dua kalimat syahadah sampai ia mengakui bahwa apa yang dilakukannya ketika murtad bertentangan dengan agama Islam. Apabila pelaku bersedia untuk bertaubat maka ia terbebas dari hukuman pokok berupa hukuman mati. Dengan terbebasnya dari hukuman mati ini bukan berarti pelaku terbebas dari sanksi sama sekali, tetapi beralih dari hukuman had kepada hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir bagi pelaku jarimah riddah sebagai ganti dari hukuman asli inilah yang disebut dengan hukuman pengganti dalam jarimah ini. Oleh karena hukuman pengganti dalam jarimah riddah ini berupa hukuman ta’zir, dan takzir ini merupakan wewenang hakim maka jenis dan bentuknya diserahkan kepada hakim yang berwenang. Biasanya jenis, kadar dan teknis hukuman takzir ini bisa sangat beragam antara satu daerah dengan daerah lain sesuai pada kondisi pelaku.
Hukuman takzir bisa
di cambuk, dikurung, didenda, atau dicela. Masa
kurungan boleh dibatasi dan boleh tidak dibatasi. Orang murtad boleh dikurung tanpa batas sampai tampak perubahan sikapnya. Menurut para fukoha orang yang melakukan murtad berulang-ulang
maka para fukoha cendrung memberlakukan
hukuman takzir dengan hukuman yang sangat berat. Akan tetapi, sebagian fukaha yang lain cendrung mengampuni pelaku jarimah dari hukuman sejak pertama ia murtad kecuali jika pelaku adalah tukang sihir atau menghina Rasullah SAW.83 Alasannya adalah firman Allah :
a,I =8D ⌧D ! ;t8( q 4? ./ ( ⌧DX =8/ek I =8 a,I "8L0"p ٣٨ : !ل$M<?(@ ا48 B?Yp [ Artinya : Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sofyan dan sahabatsahabatnya) : "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi (jika mereka kafir dan kembali memerangi nabi) Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu ".(QS. AlAnfal (8) : 38) Alasan lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad tentang ‘Amr bin al-Ash’ yaitu :
.1/ ] آنF م3 ا'ﺱ-. وﺱ. U ا. ﺹUل رﺱل ا/ : ل/ * & ا (اﻥ1 @ ) روا ا.1/ ] آنF ةF@ وا Artinya : Dari Ibnu Umar, berkata, Rasulullah saw bersabda : Islam mewajibkan segala sesuatu yang sudah ada sebelumnya dan hijrah juga mewajibkan segala sesuatu yang ada sebelumnya ( HR. at-Tabrani).84
83
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i, Jilid II, h.728. Alauddin Ali bin a-Muttaqi bin Hisamuddin al-Munadi nal-Burhan Fauri, Kanzu al-Ummal fi sunani al-Aqwal wa al-afal ( Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1989), Jilid I, h. 75. 84
Hadis ini disampaikan oleh Rasulullah saw kepada Khalid bin Walid sebagai upaya untuk membesarkan hatinya, setelah ia bersama Amr bin Ash dan Usman bin Talhah pada tahun ke-7 Hijriyah ketiganya menyatakan diri masuk Islam. 85 Pada saat itu secara lengkap Rasulullah saw bersabda :
: لA إ ﺥ5 إg*., رت أن3A g آ` أرى/ ا ى هاكU *E ا . لA g. آ` أﺵ@ه# اm ا *اg. %l أنU ادع اU رﺱل ا .@.1/ ;A م3 ا' ﺱ: م3, ة وا3C ا ِ rtinya : Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada anda, A sungguh saya melihat anda seorang yang cerdas, Allah tidak akan menyerahkan anda kecuali kepada kebaikan, Khalid bin Walid berkata : Wahai Rasulullah berdoalah kepada Allah untuk saya, agar Allah mengampuni saya pada wilayahwilayah yang saya berperang, maka Rasulullah saw berkata : Islam akan memutus semua dosa yang pernah terjadi sebelumnya.86
Kedua hadis diatas menjelaskan bahwa pelaku yang sudah mengalami hukuman maka akan menghapus dosa dan wajib dapat kemuliaan disisnya bagi mereka yang melakukan taubat dan masuk Islam. 3. Sanksi tabi’iyah (tambahan) Menurut Abdul Qadir Audah pelaku jarimah riddah, disamping terdapat sanksi asli dan pengganti, masih terdapat sanksi pelengkap yang terdiri dari dua macam, pertama hartanya disita,
dan kedua dikurangi kelayakannya dalam
melakukan tindakan hukum. a). Penyitaan Aset Harta Orang Murtad
85
Muhammad Khudari Bik, Nurul Yakin fi sirrah sayyid al-Mursalin, cet.ke-I, (Beirut: Dar al-Kitab al-Izzi, 2004), h. 125. 86 Ibid., h. 125.
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa jika orang murtad mati atau dibunuh, hartanya menjadi milik masyarakat dan tidak diwariskan kepada seorangpun dari kaum muslimin atau kaum lainnya. Hanya saja Imam Malik mengecualikan dari prinsip diatas, bahwa kekayaan orang zindiq87 dan munafiq tetap diwariskan kepada ahli warisnya yang muslim, karena pada masa Rasulullah, ketika orang-orang munafiq meninggal, hartanya diwariskan kepada anak keturunannya yang muslim.88 Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah harta orang murtad yang didapatkan selama ia masih beragama Islam menjadi hak ahli warisnya yang muslim. Kalau dia terbunuh dalam kondisi murtad
dan ditemukan dalam kawasan konflik, maka
menurut Abu Hanifah asetnya dianggap milik Negara. Sedangkan menurut Abu Yusuf hartanya tetap menjadi harta warisan.89 Perbedaan pendapat mengenai pembekuan aset orang murtad menurut jumhur ulama disebabkan oleh perbedaan interpretasi mereka terhadap hadis :
( اﺱ< & ز-.,* ا )روا ا-.,* ث ا5 و-.,* ث ا ا5 Artinya : Orang kafir tidak dapat mewarisikan kepada ahli warisnya yang muslim dan sebaliknya orang muslim tidak bisa mewariskan kepada ahli warisnya yang kafir. (HR. Muslim dari Usamah Bin Zayid)90
87
Imam An-Nawawi mendefinisikan zindiq adalah orang yang tampil secara jelas dalam bentuk Islam tetapi menyembunyikan kekafiran, lihat An-Nawawi al-Majmu Syarh al-Muhazzab, (Mesir: Musafa al-Babi al-Halabi, tth), jilid 18, h. 14. 88 Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i Jilid II, h. 728. 89 Ibid., Jilid II, h. 728. 90 Muslim, Sahih Muslim , Jilid VI. h. 51-52.
Hadis ini difahami oleh jumhur ulama difahami bahwa mereka tidak bisa saling mewariskan, karena perbedaan akidah secara mendasar. Sedangkan Imam Abu Hanifah mentakwil hadis diatas bahwa harta orang murtad sama dengan harta orang Islam. Disini murtadnya seseorang mereka anggap sama dengan kematiannya yang berakibat menghilangkan hak kepepemilikan atas kekayaan yang dia miliki, sehingga kalau seorang murtad berarti sama dengan telah mati dan harta kekayaannya sudah bukan menjadi miliknya karena kemurtadannya. Oleh karena harta yang ditinggalkannya sudah bukan menjadi miliknya maka secara otomatis beralih menjadi hak ahli waris atau diwarisi oleh ahli warisnya yang muslim. b) Dikurangi Kelayakan Orang Murtad dalam Melakukan Tindakan Hukum Jarimah murtad pada prinsipnya tidak akan mempengaruhi pelaku untuk memiliki harta baik dari hibah, menyewakan dirinya, berburu, maupun membeli. Akan tetapi seorang yang murtad tidak dibenarkan memiliki atau memindahkan hak miliknya dengan cara waris-mewaris karena adanya perbedaan agama. Dengan demikian jarimah murtad hanya akan berpengaruh pada hak pelaku dalam kewenangannya untuk membelanjakan harta kekayaan yang dimiliki, baik harta itu telah ia miliki sebelum maupun setelah murtad. Oleh karena itu seseorang yang mati dalam kondisi murtad, harta kekayaannya harus dibekukan sebab kalau tetap dibelanjakan maka hal itu dinilai sebagai sesuatu yang batil karena pada kekayaannya terdapat hak orang lain yang mestinya diberikan,91 dalam hal ini adalah harta kaum muslimin, mestinya karena warisan orang murtad menjadi hak kaum 91
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i, Jilid II, h. 730.
muslimin, baik diberikan melalui baitul maal maupun al-fai. Pendapat seperti ini disampaikan oleh Mazhab Maliki, Mazhab Syafii, dan Hanbali. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah berbeda dengan jumhur ulama. Juga tidak sama dengan Abu Yusuf dan Muhammad. Menurut Abu Hanifah hak orang murtad untuk membelanjakan harta kekayaannya harus dibatasi dan diamati secara baik, kalau dia bertaubat dan masuk Islam, maka ia diperbolehkan untuk menguasai dan membelanjakan hartanya, tetapi kalau dia mati atau terbunuh dalam kondisi murtad dan ditemukan pada kawasan konflik maka pembelanjaan hartanya dinyatakan batil. 92 Sementara itu menurut Abu Yusuf dan
Muhammad bahwa
murtadnya seseorang tidak akan menghilangkan hak kepemilikan sebab hak kepemilikan ini hanya hilang dengan kematian. Oleh karena itu, hak membelanjakan harta seseorang tidak akan terganggu dengan sebab murtad, sehingga orang murtad menurutnya tetap diperbolehkan untuk mengolah dan membelanjakan harta miliknya sebagai mana diperbolehkan seorang muslim. Hanya saja dalam hal ini Abu Yusuf dan Muhammad berbeda pandangan tentang sebatas apa kebolehan mengolah dan membelanjakan orang murtad. Menurut Muhammad tingkat batas kebolehannya seperti pengolahan dan pembelanjaan orang sakit menjelang meninggal dunia, orang murtad dianggap sama dengan orang sakit menjelang mati, karena dalam waktu dekat si murtad juga akan dibunuh. Sedangkan
92
Ibid., Jilid II, h. 730.
menurut Abu Yusuf batas dan kebolehannya sama saja dengan orang sehat tanpa harus dihubung-hubungkan dengan kematian. 93 Dalam
masalah
kewenangan
orang
murtad
untuk
mengolah
dan
membelanjakan harta ini ulama dari kalangan Syi’ah Zaidiyah sependapat dengan pandangan Abu Hanifah, letak perbedaannya hanya pada pemisah bidang pembelanjaan harta si murtad tersebut. Kalau Imam Abu Hanifah tidak memisahkan antara ibadah atau diluar ibadah, sedangkan ulama Syi’ah Zaidiyah membedakan antara kedua bidang ini. Menurut mereka dalam bidang ibadah, orang murtad boleh membelanjakan hartanya secara cuma-cuma, seperti untuk wakaf, sedekah dan nazar tetapi tidak termasuk memerdekakan budak. Dengan demikian kalau pengolahan dan pembelanjaan harta oleh si murtad ini dilakukan diluar bidang ibadah maka harus dipending dan dilihat perkembangannya kalau ia bertobat dan kembali kepada Islam, maka kewenangan untuk mengolah dan membelanjakan hartanya tetap terbuka lebar dan kalau tidak bertobat maka kewenangannya menjadi hilang bahkan batal akibat kemurtadannya.94
93 94
Ibid., Jilid II, h. 731. Ibid., Jilid II, h. 731.
BAB III DESKRIPSI KASUS HUKUM LIA AMINUDDIN DAN AGAMA SALAMULLAH
A. Latar Belakang Kasus Lia Aminuddin Syamsuriati atau yang dikenal Lia Aminuddin lahir di Makasar pada Tanggal 21 Agustus 1947, ayahnya bernama Abdul Gafar Gustaman dan Ibunya bernama Zainab. Kedua orang tua Lia sangat memperhatikan pendidikan agama kepada anakanaknya termasuk Lia. Lia pada waktu kecil mempunyai kekurangan, yaitu daya hafal yang lemah serta mudah bosan dan tidak bisa konsentrasi dalam mempelajari AlQur’an apalagi menghafalnya, bahkan sempat beberapa kali ganti guru mengaji. 95 Walaupun mempunyai kelemahan seperti itu, Lia mempunyai daya tangkap yang baik, dikelaspun Lia dengan mudah menangkap apa yang disampaikan oleh guru dan sewaktu di SMA sempat ia menjadi salah satu siswi berprestasi.
Lia
berjenis kelamin perempuan agama asal Islam, berkewarganegaraan Indonesia, dalam usia relatif muda dinikahkan dengan seorang pemuda asal Ujung Pandang bernama Aminuddin. Setelah pernikahan Lia bersama suaminya Aminuddin memutuskan
95
Skripsi Hamdan “Wahyu Menurut Lia Aminuddin”(Kajian Atas Term Yunazzil al-Malaikah bil al-Ruh Dalam Q. S. al-Nahl Ayat 2). Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Usuludin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006, h. 12.
untuk merantau ke Jakarta dan akhirnya menetap di Jalan Mahoni No. 30 RT. 008 RW. 005 Kelurahan Bungur, Kecamatan Senen, Kota Madya Jakarta Pusat.96 Pada tanggal 16 Juni Tahun 2000 pukul 18.36 Wib di Jl Mahoni No.30 kelurahan Bungur, Jakarta Pusat. Lia Aminuddin setelah perkenalan langsung dengan Malaikat Jibril pada tanggal 28 Juli 1997.97 Mendeklarasikan agama Salamullah. Salamullah artinya adalah keselamatan dari Allah. Nama itu diberikan Malaikat Jibril untuk murid-murid malaikat Jibril yang beragama Islam dan sedang membawakan takdir Allah pada akhir zaman, yaitu takdir kemahdian, kebangkitan nabi Isa, pengadilan Allah di bumi, dan membangun surga kerajaan Allah di muka bumi. Salamullah bersaudara dengan penempuh jalan Perenial serta pemeluk agama lain yang juga menjadi murid-murid Malaikat Jibril didalam komunitas surgawi yang diberi nama kaum Eden.98 Misi agama Salamullah yang meyakini membawa pesan-pesan Allah yang dibawakan oleh Malaikat Jibril Ruhul Kudus untuk bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia. Pesan itu diantaranya adalah : ♦ Mengajak seluruh manusia untuk kembali menyembah Allah Yang Maha Esa dan menghindarkan segala bentuk pemberhalaan dan pengkultusan.
96
Ibid., h. 12-13 Lia Aminuddin, Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Takdir, (Jakarta: Yayasan Salamullah, 1998), h. 40 98 Lia Aminuddin, Ruhul Kudus – Malaikat Jibril, Aksi, vol 4 No. 261, 30 Juni – 3 Juli 2000 97
♦ Mengajak seluruh manusia untuk bersaudara dalam kebenaran dan cinta kepada Allah tanpa memandang sekat agama, suku dan ras. Siapapun yang membela kebenaran dan keadilan. 99 Kasus Lia Aminuddin yang membawa agama Salamullah ini berawal dari protes warga yang tinggal disekitarnya yang menyatakan merasa terganggu oleh kegiatan komunitas Eden, karena kegiatan ritual agama Salamullah berbeda dengan agama yang dianut dikebanyakan warga yang menganut agama Islam. Pada tanggal 4 Nopember 1997 bertempat di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lia Aminuddin menyatakan didatangi oleh mahluk gaib yang kemudian mendampinginya serta memberikan ajaran dan tuntunan agama Islam. Menurut Lia Aminuddin mahluk itu mengaku sebagai Malaikat bernama Habib Al-Huda yang kemudian mendampinginya itu sebenarnya adalah Malaikat Jibril. Dia
mengaku
mendapat bisikan dari malaikat jibril dan mengatakan bahwa “Jibril turun melalui kami untuk mendamaikan seluruh agama, oleh karena itu kita harus mengikuti ajaran perenialisme yang mengakui semua agama yang ada di dunia dan mengimani seluruh kitab suci agama-agama tersebut. Selain mengaku sebagai Malaikat Jibril, Pada bulan Desember 1997, Lia juga pernah mengklaim dirinya sebagai Imam Mahdi dan Bunda Maria, Lia bahkan mengatakan anaknya yang bernama Ahmad Mukti adalah Yesus Kristus.
99
Maklumat Ruhul Kudus, Perihal Peresmian Kerajaan Tuhan, (Jakarta: Lembaran Surat Peresmian Kerajaan Tuhan Eden, 5 Desember 2005), h. 1-2
Berdasarkan surat yang diberikan kepada MUI, Pada tanggal 11 Juni 2000 Lia Aminuddin mengaku sebagai Malaikat Jibril yang menyatakan pembawa wahyu yang membawa ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya Lia Aminuddin pada tanggal 20 Juni 2000 mengatas namakan Allah telah mengirim surat kepada Menteri Agama Republik Indonesia, dengan menggunakan kop “God Kingdom” Tahta Suci Kerajaan Tuhan Eden, melaporkan Agama Baru yang isi tulisannya antara lain “Setelah menilai umat Islam disaat ini telah menjadi anarki dan membawa doktrin-doktrin yang keras tak sesuai lagi dengan ajaran Islam Nabi Muhammad SAW, Malaikat Jibril mengamankan ajaran Allah dan mengajarkan kepada kami ajaran Salamullah. Dia menghimbau dengan mengatakan : “Wahai bangsa Indonesia dengarkan peringatanku ini. Aku sedang membangun peradaban mulia dan kerajaanku di Negeri ini. Janganlah kamu berbuat dosa lagi dan tidak mau mempercayai Jibril Malaikat utusanku yang telah turun dan domisili di Jakarta, yang menjadikan kerajaan surgaku Eden.100 Akulah Jibril yang tak terbatas kecerdasannya dan kewenangan penuh sebagai utusan-Nya yang mengadili umat manusia di akhir zaman. Akupun malaikat pencabut nyawa yang bebas mengakhiri nyawa orang-orang yang tak patut hidup lebih lama lagi.101
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyatakan karya-karya tulisan yang dihasilkan Lia sebagai produk dari aliran sesat karena menyeleweng dari ajaran Islam yang benar.
100
Maklumat Ruhul Kudus untuk bangsa Indonesia dan selurah bangsa di dunia tanggal 4 Januari 2005. 101 Surat dan fatwa Ruhul Kudus kepada MUI tentang shalat dalam 2 bahasa masing-masing tanggal 11 Mei 2005 dan tanggal 6 Juni 2005.
Pada akhirnya, akibat dari perbuatan Lia Aminuddin diatas yang membawa agama Salamullah, Pada Tanggal 28 Desember 2005, Lia dan 47 pengikutnya diangkut paksa oleh kepolisian Polda Metro Jaya karena penduduk sekitarnya sudah merasa terganggu dengan kegiatan komunitas Eden. Sejak saat itu, Lia meringkuk ditahanan Polda Metro Jaya dan akhirnya dipindahkan ke Rutan khusus perempuan di Pondok Bambu, sedangkan pengikutnya dibebaskan. B. Deskripsi Kasus Hukum Lia Aminuddin Dalam dakwaannya dengan No. Reg. Perkara : PDM / JKT.PST / 04 / 2006, Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang disusun secara kumulatif dikatakan bahwa Lia Aminuddin telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dengan cara menyatakan dirinya didatangi oleh mahluk gaib (malaikat) yang bernama Habib Al-Huda yang kemudian mendampinginya serta memberikan ajaran dan tuntunan agama Islam. Kemudian Lia berterus terang sebenarnya bahwa yang mendampinginya itu adalah Malaikat Jibril. Hal ini menurut Jaksa Penuntut Umum perbuatan Lia Aminuddin telah melanggar pasal 156a KUHP Jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedang dalam dakwaan keduanya Lia Aminuddin diancam pidana pasal 157 ayat (1) KUHP Jo 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Yaitu melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan tulisan atau lukisan dimuka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian
atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui umum, karena telah “Menyatakan dirinya didatangi oleh makhluk gaib (malaikat) yang bernama Habib Al-Huda yang kemudian mendampinginya serta memberikan ajaran dan tuntunan agama Islam, sebenarnya kata Lia bahwa yang mendampinginya itu adalah Malaikat Jibril”. Atas pernyataan Lia Aminudin diatas, kemudian Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor Kep-768/MUI/XII/1997 tanggal 22 Desember 1997 yang ditanda tangani oleh K.H. Hasan Basri Ketua Umum MUI dan Drs. H.A. Nazri Adlani Sekertaris umum yang isinya antara lain : 1. Menegaskan bahwa pengakuan seseorang yang didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari Malaikat Jibril bertentangan dengan Al-Qur’an oleh karena itu pengakuan tersebut dipandang sesat dan menyesatkan. 2. Berisi himbauan kepada Lia Aminuddin bahwa orang yang memiliki keyakinan serupa agar kembali dan mendalami ajaran agama Islam, terutama bidang Aqidah. Atas surat keputusan fatwa dewan MUI tersebut, kemudian Lia Aminuddin dan Muhammad Abdul Rachman menyiarkan tulisan dimuka umum yang isinya mengandung penghinaan terhadap ulama pada Majelis Ulama Indonesia antara lain terdapat pada : a) Surat Nomor : 84/SLM/IV/2000 dan surat tanpa Nomor tanggal 11 Juni 2000 ditujukan kepada MUI yang isinya antara lain :
“Wahai MUI aku ini Rasul Allah yang ditunjuk untuk mengamankan kembali dunia agar dapat menunda kiamat. Wajah Islam menjadi tercoreng oleh perbuatan durjana karena membenci pengikut agama lain, adakah kamu diperbolehkan memusuhi agama lain sedang itupun agama Allah, untuk apa kau menyandung predikat ulama bila negeri ini penuh kaum yang musyrik dan pendurjana. Sungguh kesalahan itu semua terpulang kepada mereka yang menyatakan dirinya ulama pewaris Nabi, jadi buat apa lembaga MUI didirikan”. b) Surat-surat yang dikirimkan oleh terdakwa dan Muhammad Abdul Rachman kepada MUI yang isinya antara lain : “Kaum MUI Fatwanya menyesatkan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Akibat kesalahan mereka itulah mereka diancamkan perubahan menjadi kera atau babi, dan tidaklah babi dan kera menyembah berhala tapi adalah orang-orang yang sesat (MUI) yang dimurkai Allah”. Terdakwa dan Muhammad Abdul Rachman juga menyiarkan tulisan yang isinya merendahkan Ulama pada MUI tersebut dengan menggunakan situs Internet www.liaeden.info. www.mahoni30.org, atau www.salamullah.org. yang dapat diakses melalui internet. Selanjutnya pada dakwaan ketiganya karena Pada Komunitas Eden terdapat suatu acara pensucian sebagai ajaran Malaikat Jibril yang berguna untuk menghilangkan sifat buruk yang ada pada diri seseorang, Lia Aminuddin pada bulan April Tahun 2005 menanyakan tentang kebohongan kepada R. Ghassani Karamina anak dari RM. Marike Sukayanti yang berumur 09 Tahun, Lia Aminuddin berkata, apa sebab menyangkal tidak bohong padahal ada saksi yang mengetahui telah berbohong dengan temannya. R. Ghassani Karamina tetap menyangkal bahwa dirinya tidak berbohong, maka Lia memaksa kepada R. Ghassani Karamina untuk mengakui sudah melakukan kebohongan sesuai permintaan Lia, kemudian Lia mengancam akan
membakar mulut R. Ghassani Karamina. Karena tidak mau mengikuti permintaan Lia maka Lia meminta bantuan kepada RM. Marieke Sukayanti (Ibu kandung korban) untuk membakar mulut anaknya. Atas permintaan Lia Aminuddin, Ibu korban untuk mempersiapkan peralatan berupa spirtus, lilin, korek api dan kain kasa untuk membakar mulut anaknya sendiri dengan cara Ibu korban meminta kepada salah satu anggota Komunitas Eden untuk memegangi tubuh R. Ghassani Karamina, kemudian Ibunya mengolesi bibir korban dengan spirtus dan membakarnya dengan korek api, tetapi korban memberontak dan lari untuk melepaskan diri. Karena pembakaran tidak berhasil dilaksanakan, R. Ghassani ditangkap kembali dan tangannya diikat tali rapia, dan pembakaranpun diambil alih dan dilaksanakan oleh Lia Aminuddin dengan cara R. Ghassani Karamina diduduki oleh Ibunya sedang badannya dipegang oleh salah satu anggota Komunitas Eden, dan
dalam keadaan meronta-ronta dengan disaksikan anggota
Komunitas Eden Lia Aminuddin dengan menggunakan korek api membakar mulut R. Ghassani Karamina sehingga mulutnya terbakar dan melepuh. Selain membakar mulut R. Ghassani Karamina dengan alasan melakukan penyucian Lia pernah menggunduli rambut R. Ghassani Karamina dengan mengolesinya dengan spirtus lalu membakar ubun-ubunnya sebanyak 7 kali akibat dari perbuatan Lia Aminuddin tersebut R. Ghassani Karamina merasa tidak senang. Atas perlakuan Lia Aminuddin diatas diatur dan diancam dengan pidana Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP Jo 65 ayat 1 KUHP. Yaitu dia dituduh melakukan perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang
berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. Dalam tuntutannya dengan No. Reg. Perkara : PDM-397 / JKT.PST / 04 / 2006, Syamsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden yang pada pokoknya agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan antara lain : 1) Menyatakan terdakwa Syamsuriati alias Lia Aminuddin Alias Lia Eden, secara sah dan meyakinkan menurut Hukum terbukti melakukan tindak pidana : a) Melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 156a Jo 55 ayat (1) ke-1 K.U.H. Pidana dalam dakwaan ke satu. b) Melakukan
atau
turut
serta
melakukan
perbuatan,
menyiarkan,
mempertunjukan atau menempelkan tulisan atau lukisan dimuka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui
umum, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 157 ayat (1) Jo 55 ayat (1) ke-1 K.U.H. Pidana dalam dakwaan kedua. c) Melakukan perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 335 ayat (1) ke -1 Jo 65 ayat (1) K.U.H. Pidana dalam dakwaan ketiga. 2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Syamsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden dengan pidana penjara selama 5 (Lima) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah tetap ditahan. 3) Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5000,- (Lima Ribu Rupiah). Jaksa penuntut umum mengemukakan bahwa hal yang yang menjadi pertimbangan dalam mengajukan tuntutan adalah :
Perbuatan Lia Aminuddin telah merusak aqidah dan ajaran Islam serta melukai perasaan umat Islam dan dia tanpa merasa bersalah dengan semaunya sendiri merubah makna ayat-ayat Al-Qur’an.
Perbuatan Lia Aminuddin menyesatkan dan meresahkan masyarakat dikalangan umat Islam.
Terdakwa telah melecehkan Lembaga Peradilan dengan dalih sebagai Malaikat Jibril didepan persidangan menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili, karena terdakwa Lia Aminuddin berhak melakukan penghakiman. Dalam putusannya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Putusan No : 677 / PID /
2006 / PN. JKT. PST ), Tanggal 29 Juni 2006, yang dipimpin oleh Lief Sofijullah, SH, M. Hum., dengan anggota Majelis Hakim yang terdiri dari H. Ridwan Mansyur, SH. MH., Zulfahmi, SH. M.Hum., Panitera Siti Agustiati, SH., dan Ravita Lina, SH. Dalam amar putusannya menyatakan bahwa Syamsuriati Alias Lia Aminuddin Alias Lia Eden tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam pasal 157 ayat (1) ke-1 KUHP dalam Dakwaan kedua. Dalam dakwaan pertama dan ketiga dia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara bersama-sama Melakukan Penodaan terhadap suatu agama” sebagaimana tersebut dalam pasal 156a KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan tindak pidana “secara melawan hukum memaksa orang melakukan suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap orang” sebagaimana mana diatur dalam Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat 1 KUHP. Adapun beberapa pertimbangan majelis Hakim diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Terdakwa mengaku dirinya sebagai malaikat Jibril antara lain dengan pernyataan sebagai berikut :
-
“Jibril Turun melalui kami untuk mendamaikan seluruh agama, oleh karena itu kita harus mengikuti ajaran perenialisme yang mengakui semua agama yang ada di dunia dan mengimani seluruh kitab suci agama-agama tersebut.
-
Pada tanggal 3 April 2001 terdakwa mengatasnamakan Allah telah menulis menggunakan Kops “Gods Kingdom” Tahta Suci Kerajaan Tuhan Eden, Sumpah malaikat Jibril yang benar dalam tulisannya berisi antara lain “Aku Malaikat Jibril, bersumpah menyatakan datangnya hari kiamat atas perintah Allah. Aku bersumpah itulah perintah-Nya kepadaku atas bangsa Indonesia. Demikian sumpahku dan menyatakan apa-apa yang kalian lakukan ini adalah benar dan dijamin Allah”.
-
Dalam brosur perempuan-perempuan yang dinantikan, terdakwa menafsirkan Al-Qur’an surat An-Najm ayat 6 yang ditafsirkan sebagai berikut “Jibril menjadi berwajah perempuan tapi Lia beralih menjadi sosok kelaki-lakian yang tegar, aktif tapi sensitip. Dialah Jibril yang menjelma menjadi manusia dengan sempurna sebagai sosok Lia Eden.
-
Berdasarkan keterangan Ahli Prof Dr. H. Mustofa Yaqub, MA. Bahwa ajaranajaran terdakwa sangat betentangan dengan ajaran dan aqidah Islam, karena dalam ajaran dan aqidah Islam pemahaman terhadap Malaikat Jibril adalah di dasarkan pada penjelasan dari Al-Qur’an dan Hadis. Bahwa Malaikat Jibril hanya turun kepada para Nabi untuk menyampaikan wahyu Allah dan karena Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir, maka Jibril tidak lagi menemui manusia untuk menyampaikan wahyu.
2. Terdakwa menyatakan Muhammad Abdul Rachman sebagai reinkarnasi Nabi Muhammad SAW yang bangkit di Betawi dengan ajarannya yang menyatakan bahwa: - Terdakwa dalam tulisannya berjudul Fatwa Ruhul Kudus kepada MUI halaman 17 s/d 18, menyatakan bahwa Eksistensi Nabi Muhammad memang ingin disurutkan Allah akibat pengkultusan terhadapnya, yang terasa sudah berlebihan. Ketika itupun berdampak menjadi keegoan terhadap agama, tapi ayat Allah pun memilih memperbaiki perilaku umat Islam dengan mencontohkan penebusan dosa umat oleh Muhammad Abdul Rachman. Kemaksuman Nabi Muhammad dianggap Tuhan patut menjadi penauladanan. Akan tetapi, penderitaan Muhammad Abdul Rachman yang membawa ruh dan mukjizat Al-Qur’an dan yang tersia-siakan oleh umatnya tak tanggungtanggung dapatlah kiranya itu terlihat sebagai penebusan dosa oleh nabinya. Sesungguhnya mukjizat ruh dan Al-Qur’an itu telah dipindahkan Tuhan kedalam dada Muhammad Abdul Rachman, karena itulah Al-Qur’an kini sering dilecehkan. Lebih lanjut terdakwa menyatakan betapa sudah cukup lama Allah menyatakan bahwa dialah (Muhammad Abdul Rachman) adalah reinkarnasi Nabi Muhammad dan Imam Mahdi. -
Menurut keterangan ahli Prof. DR. H. Mustofa Yaqub. MA. Ajaran-ajaran terdakwa tersebut sangat bertentangan dengan ajaran dan aqidah Islam, karena dalam ajaran dan aqidah Islam tidak dikenal adanya reinkarnasi dan Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan
Rasul terakhir, Nabi Muhammad SAW
akan dibangkitkan ketika dunia telah berakhir yaitu pada hari kebangkitan atau hari kiamat.
3. Terdakwa menyatakan membenarkan Shalat dalam dua bahasa. -
pada tanggal 11 Mei 2005 dan tulisan dalam fatwa Ruhul Kudus tanggal 6 Juni 2005 yang berisi antara lain : Membenarkan sholat dalam dua bahasa berdasarkan surat Maryam ayat 97 yang diartikan bahwa Al-Qur’an itu dimudahkan dengan bahasamu tak disebutkan itu sebagai bahasa Arab, maka niscaya yang dimaksudkan itu adalah bahasa non Arab, tidak ada larangan dari Tuhan untuk menterjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam Sholat selama terjemahnya tidak keliru.
-
Bahwa arti yang benar dari ayat Al-Qur’an surat Maryam ayat 97 tersebut adalah “Maka sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberikan kabar gembira dengan Al-Qur’an itu kepada orang-orang yang bertaqwa, dan agar kamu memberikan peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang” kata “kamu” dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, bukan ditujukan kepada terdakwa.
4. Terdakwa menyatakan bahwa babi tidak haram lagi. °
Tulisan terdakwa dalam Fatwa Ruhul Kudus tanggal 6 Juni 2005 halaman 3, yang berisi : Fatwa Allah babi tak haram lagi, “Di Zaman ketika ternak riskan di konsumsi karena penyakit flu burung, sapi gila, antrax membahayakan
binatang ternak, Tuhan menghalalkan daging babi dan pula demi menyamakan persepsi bagi semua umat yang diharapkan menemukan perdamaian, maka tidak ada lagi perbedaan makanan diantara semua umat. Perdamaian dimasa sekarang ini amat penting, segala perbedaan diupayakan untuk dihapuskan. Maka, Tuhan mengangkat pengharaman atas daging babi. Maka ruh-ruh jahat tak lagi ditiupkan kepada babi. Lebih lanjut terdakwa menyatakan kodrat orang-orang yang akan menjadi babi adalah orang-orang yang menentang Rasul mereka bukan orang yang jahat, tapi lebih kepada orang yang sempit pandangannya, yang kental mematuhi doktrin-doktrin keras dan kaku, karena itupun babi menjadi halal, dengan mengutip atau mendasar kepada Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 60. °
Menurut keterangan ahli Frof. DR. H. Mustofa Yaqub, MA. Pernyataan Lia Aminuddin menghalalkan daging babi bagi umat Islam adalah bertentangan dengan ajaran Islam, karena secara tegas babi adalah diharamkan. Lia Aminuddin secara tidak benar telah menafsirkan ayat al-Qur’an Surat AlMaidah ayat 60 sesuai kehendaknya atau semaunya sendiri untuk menghalalkan babi, padahal arti ayat Al-Qur’an tersebut yang sebenarnya adalah “Katakanlah apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang lebih buruk pembalasannya dari orang-orang fasik itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan di murkai Allah, diantara mereka ada yang dijadikan kera dan babi. Dan orang yang menyembah berhala, mereka itu
lebih buruk tempatnya dan lebih sesat dari jalan yang benar”. Ayat tersbut bukan pencabutan keharaman babi, melainkan adalah kemurkaan Allah SWT kepada kaum terdahulu, sebagian ada yang diubah menjadi kera dan sebagian diubah menjadi babi102. Bahwa Surat Nomor : 84/SLM/IV/2000 dan surat tanpa Nomor tanggal 11 Juni 2000 di tujukan kepada MUI yang isinya antara lain : “Wahai MUI aku ini Rasul Allah yang ditunjuk untuk mengamankan kembali dunia agar dapat menunda kiamat. Wajah Islam menjadi tercoreng oleh perbuatan durjana karena membenci pengikut agama lain, adakah kamu diperbolehkan memusuhi agama lain sedang itupun agama Allah, untuk apa kau menyandung predikat ulama bila negeri ini penuh kaum yang musyrik dan pendurjana. Sungguh kesalahan itu semua terpulang kepada mereka yang menyatakan dirinya ulama pewaris Nabi, jadi buat apa lembaga MUI didirikan103. Serta surat terdakwa tanggal 6 Juni 2005 ditujukan kepada MUI yang isinya antara lain bahwa : Adapun ini aku dalam posisi menerangkan kandungan surat al-Maidah ayat 60 yaitu tentang balasan yang terburuk di sisi Allah, yaitu tentang penentuan kodrat terhadap orang-orang yang dilaknat dan dimurkaiNya. Kuambil sebagai contoh adalah kaum MUI Fatwanya menyesatkan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Akibat kesalahan mereka itulah mereka diancamkan perubahan menjadi kera atau babi, dan tidaklah Babi dan Kera menyembah berhala tapi adalah orang-orang yang sesat maksudku (MUI) yang dimurkai Allah104. Dalam komunitas kelompok Lia Aminuddin juga terdapat bentuk acara ritual yang dikenal sebagai pensucian terhadap pengikut-pengikutnya, acara
tersebut
dilakukan terdakwa terhadap pengikutnya seorang anak yang bernama R. Ghassani
102
Putusan, h. 56 – 60. Ibid., h. 63. 104 Ibid., h. 64. 103
Karamina oleh karena yang bersangkutan sering berkata bohong, dan dilakukan dengan cara membakar mulut memakai spirtus105.
105
Ibid., h. 65.
BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT (PUTUSAN NO: 677/PID.B/2006/PN.JKT.PST)
A.
Deskripsi Putusan Hakim kasus Lia Aminuddin menurut Hukum Positif Berdasarkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Pusat
No:
677/PID.B/2006/PN.JKT.PST.
Hukum Acara Pidana Indonesia memberikan kewenangan kepada pengadilan tentang tiga hal setelah pemeriksaan dinyatakan selesai dan Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan pidana dan terdakwa serta penasehat hukumnya mengajukan pembelaan, dilanjutkan reflik dan duplik, maka majelis hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta hukum yang memenuhi salah satu dari kriteria berikut ini : 1. Pengadilan dapat memutuskan terdakwa bebas jika kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.106 2. Diputus lepas dari segala tuntutan jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.107
106
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), cet. ke-v, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Pasal 191 ayat (1), h. 274-275. 107 Ibid., Pasal 192 ayat (2), h. 274-275.
3. Menjatuhkan pidana, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.108
Pada dasarnya penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP, perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana hakim pengadilan tingkat pertama yang memberi putusan berpendapat perlu dilakukannya penahanan, karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana lagi. 109 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Putusan No : 677 / PID / 2006 / PN. JKT. PST ), Tanggal 29 Juni 2006, yang dipimpin oleh Lief Sofijullah, SH, M. Hum., dengan anggota Majelis Hakim yang terdiri dari H. Ridwan Mansyur, SH. MH., Zulfahmi, SH. M.Hum., Panitera Siti Agustiati, SH., dan Ravita Lina, SH. Dalam amar putusannya menyatakan bahwa : 1. Syamsuriati Alias Lia Aminuddin Alias Lia Eden tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam pasal 157 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kedua. 2. Menyatakan terdakwa Syamsuriati Alias Lia Aminuddin Alias Lia Eden terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan penodaan terhadap suatu agama” sebagaimana
108
Ibid., Pasal 193 ayat (1), h. 274-275. Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1984), h. 450-451. 109
tersebut dalam pasal 156a KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan tindak pidana “secara melawan hukum memaksa orang melakukan suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap orang” sebagaimana diatur dalam Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat 1 KUHP. 3. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun. Dalam pertimbangan hakim hal yang memberatkan terdakwa adalah :
Perbuatan terdakwa yang menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an menurut kehendak terdakwa sendiri, sangat bertentangan dengan aqidah kehidupan beragama dan bermasyarakat khususnya bagi umat Islam.
Adapun yang meringankan terdakwa adalah :
Meskipun dengan berbagai dalih, terdakwa menolak persidangan ini, namun kenyataannya terdakwa bersedia mengikuti proses persidangan sampai akhir.110 Putusan Majelis Hakim tersebut telah sesuai dengan apa yang dituntut oleh
Jaksa Penuntut Umum (JPU), kecuali pasal 157 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kedua tidak terbukti, dan penjatuhan pidana dalam tuntutan selama 5 Tahun sedang dalam putusannya hanya dipidana selama 2 Tahun. Dari Putusan Majelis Hakim No : 677 / PID / 2006 / PN. JKT. PST, Tanggal 29 Juni 2006, tentang kasus hukum Lia Aminuddin tersebut. Didalam putusan majelis hakim mempertimbangkan dakwaan ke satu yaitu : Terdakwa didakwa melakukan 110
Putusan, h. 67.
perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 156a KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Secara lengkap pasal 156a tersebut adalah : “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ketuhanan yang maha Esa”.111 Pasal 55 ayat (1) adalah : “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana : 1) mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. 2) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”.112 Yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1. Barang siapa 2. Dengan sengaja dimuka umum 3. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia 4. Dilakukan dalam bentuk penyertaan (melakukan menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan.113 a. Unsur barang siapa Yang dimaksud unsur “barang siapa” dalam konteks dakwaan adalah pelaku atas suatu tindak pidana tertentu sebagai orang pribadi (natuur lijk persoon) dan
111
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), cet. ke-v, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005). h. 54. 112 Ibid., h. 23. 113 Putusan, h. 53.
bukan badan hukum (rech persoon) dalam hal ini pribadi tersebut adalah Syamsuriati alias Lia Aminuddin, sehingga menurut Majelis Hakim, unsur “barang siapa” telah terpenuhi dalam diri terdakwa. Berdasarkan pertimbangan majelis hakim tersebut maka telah sesuai dengan apa yang didakwakan. b. Unsur dengan sengaja dimuka umum. Bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah bawa pelaku mengetahui dan menghendaki dilakukannya perbuatan tersebut dan mengetahui akibat dari perbuatannya, dan yang dimaksud dengan “dimuka umum” adalah pelaku melakukan perbuatannya di tempat yang mudah bagi orang-orang (publik) untuk melihatnya dan dikunjungi banyak orang. Bahwa terdakwa dalam mengajarkan ajaran-ajarannya yang disampaikan pada para pengikutnya, yang telah di salin oleh Arif Rosyad dalam bentuk surat-surat, brosur-brosur, buku-buku, Compact Disc (CD) dan VCD yang antara lain sebagai berikut : 1. Terdakwa menyatakan dirinya sebagai malaikat Jibril. 2. Terdakwa menyatakan atas nama Tuhan Yang Maha Rahim dan Maha Terpercaya telah berdiri kerajaan Tuhan di Jl. Mahoni No. 30 Wilayah Senen Jakarta.114 Bahwa dari fakta-fakta yang dihasilkan dalam persidangan yaitu dari keterangan saksi-saksi HM. Amin Jamaluddin, Ilham Tabrani, Bambang Priyatna, Ak. MS., H. Halimi S.Sos., H. Muhammad Isa Anshari., Waltho Whitmanto., H. Mas 114
Putusan, h. 54.
Adi Sultoni., Usman R., Keyo Sutaryo dan R Edi Suprihadi., Keterangan Ahli, pengakuan Terdakwa dan barang bukti yang diperlihatkan di persidangan, majelis menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa menyampaikan ajaran-ajarannya tersebut, memang dikehendaki dan untuk diketahui masyarakat umum, dan terdakwa mengakui akibat dari perbuatannya, sehingga unsur “dengan sengaja dimuka umum” menurut majelis telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa. Atas pertimbangan majelis hakim diatas menurut hukum pidana Indonesia telah sesuai. c. Unsur mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Majelis menyimpulkan dari berbagai pendapat para sarjana, bahwa pasal 156a KUHP adalah merupakan delik formal, artinya seseorang tidak perlu melihat akibat dari perbuatan si pelaku, tetapi cukup telah di ucapkannya pernyataan oleh si pelaku maka perbuatan si pelaku di pandang telah selesai. Bahwa oleh karena unsur “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” yang di susun secara alternatif maka majelis cukup membuktikan salah satu sub-unsur fakta-fakta, secara singkat barang bukti yang diperlihatkan di persidangan antara lain sebagai berikut : 5. Terdakwa mengaku dirinya sebagai malaikat Jibril antara lain dengan pernyataan sebagai berikut :
-
“Jibril Turun melalui kami untuk mendamaikan seluruh agama, oleh karena itu kita harus mengikuti ajaran perenialisme yang mengakui semua agama yang ada di dunia dan mengimani seluruh kitab suci agama-agama tersebut.
-
Pada tanggal 3 April 2001 terdakwa mengatasnamakan Allah telah menulis menggunakan Kops “Gods Kingdom” Tahta Suci Kerajaan Tuhan Eden, Sumpah malaikat Jibril yang benar dalam tulisannya berisi antara lain: “Aku Malaikat Jibril, bersumpah menyatakan datangnya hari kiamat atas perintah Allah. Aku bersumpah itulah perintah-Nya kepadaku atas bangsa Indonesia. Demikian sumpahku dan menyatakan apa-apa yang kalian lakukan ini adalah benar dan dijamin Allah”.
-
Dalam brosur perempuan-perempuan yang dinantikan, terdakwa menafsirkan Al-Qur’an surat An-Najm ayat 6 yang ditafsirkan sebagai berikut : “Jibril menjadi berwajah perempuan tapi Lia beralih menjadi sosok kelakilakian yang tegar, aktif tapi sensitif. Dialah Jibril yang menjelma menjadi manusia dengan sempurna sebagai sosok Lia Eden”.
-
Berdasarkan keterangan Ahli Prof Dr. H. Mustofa Yaqub, MA. Bahwa ajaranajaran terdakwa sangat betentangan dengan ajaran dan aqidah Islam, karena dalam ajaran dan aqidah Islam pemahaman terhadap Malaikat Jibril adalah di dasarkan pada penjelasan dari Al-Qur’an dan Hadis. Bahwa Malaikat Jibril hanya turun kepada para Nabi untuk menyampaikan wahyu Allah dan karena Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir, maka Jibril tidak lagi menemui manusia untuk menyampaikan wahyu.115
115
Putusan, h. 56-57.
6. Terdakwa menyatakan Muhammad Abdul Rachman sebagai reinkarnasi Nabi Muhammad SAW yang bangkit di Betawi dengan ajarannya yang menyatakan bahwa: -
Terdakwa dalam tulisannya berjudul Fatwa Ruhul Kudus kepada MUI halaman 17 s/d 18, menyatakan bahwa Eksistensi Nabi Muhammad memang ingin di surutkan Allah akibat pengkultusan terhadapnya, yang terasa sudah berlebihan. Ketika itupun berdampak menjadi keegoan terhadap agama, tapi ayat Allah pun memilih memperbaiki perilaku umat Islam dengan mencontohkan penebusan dosa umat oleh Muhammad Abdul Rachman. Kemaksuman Nabi Muhammad dianggap Tuhan patut menjadi penauladanan. Akan tetapi, penderitaan Muhammad Abdul Rachman yang membawa ruh dan mukjizat Al-Qur’an dan yang tersia-siakan oleh umatnya tak tanggungtanggung dapatlah kiranya itu terlihat sebagai penebusan dosa oleh Nabinya. Sesungguhnya mukjizat ruh dan Al-Qur’an itu telah dipindahkan Tuhan kedalam dada Muhammad Abdul Rachman, karena itulah Al-Qur’an kini sering dilecehkan. Lebih lanjut terdakwa menyatakan betapa sudah cukup lama Allah menyatakan bahwa dialah (Muhammad Abdul Rachman) adalah reinkarnasi Nabi Muhammad dan Imam Mahdi.
-
Menurut keterangan ahli Prof. DR. H. Mustofa Yaqub. MA. Ajaran-ajaran terdakwa tersebut sangat bertentangan dengan ajaran dan aqidah Islam, karena dalam ajaran dan aqidah Islam tidak dikenal adanya reinkarnasi dan Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan
Rasul terakhir, Nabi Muhammad SAW
akan dibangkitkan ketika dunia telah berakhir yaitu pada hari kebangkitan atau hari kiamat. 7. Terdakwa menyatakan membenarkan Shalat dalam dua bahasa. -
Pada tanggal 11 Mei 2005 dan tulisan dalam fatwa Ruhul Kudus tanggal 6 Juni 2005 yang berisi antara lain : Membenarkan sholat dalam dua bahasa berdasarkan surat Maryam ayat 97 yang diartikan bahwa Al-Qur’an itu dimudahkan dengan bahasamu tak disebutkan itu sebagai bahasa Arab, maka niscaya yang dimaksudkan itu adalah bahasa non Arab. Tidak ada larangan dari Tuhan untuk menterjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam Sholat selama terjemahnya tidak keliru.
-
Bahwa arti yang benar dari ayat Al-Qur’an surat Maryam ayat 97 tersebut adalah: “Maka sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberikan kabar gembira dengan Al-Qur’an itu kepada orang-orang yang bertaqwa, dan agar kamu memberikan peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang”.
Kata “kamu” dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, bukan ditujukan kepada terdakwa. 8. Terdakwa menyatakan bahwa babi tidak haram lagi. ° Tulisan terdakwa dalam Fatwa Ruhul Kudus tanggal 6 Juni 2005 halaman 3, yang berisi : “Fatwa Allah babi tak haram lagi”. “Di Zaman ketika ternak riskan di konsumsi karena penyakit flu burung, sapi gila, antrax membahayakan binatang ternak, Tuhan menghalalkan daging babi dan pula demi menyamakan persepsi bagi semua umat yang diharapkan
menemukan perdamaian, maka tidak ada lagi perbedaan makanan diantara semua umat. Perdamaian dimasa sekarang ini amat penting, segala perbedaan diupayakan untuk dihapuskan. Maka, Tuhan mengangkat pengharaman atas daging babi. Maka ruh-ruh jahat tak lagi ditiupkan kepada babi. Lebih lanjut terdakwa menyatakan kodrat orang-orang yang akan menjadi babi adalah orang-orang yang menentang Rasul mereka bukan orang yang jahat, tapi lebih kepada orang yang sempit pandangannya, yang kental mematuhi doktrindoktrin keras dan kaku, karena itupun babi menjadi halal, dengan mengutip atau mendasar kepada Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 60”. ° Menurut keterangan ahli Frof. DR. H. Mustofa Yaqub, MA. Pernyataan Lia Aminuddin menghalalkan daging babi bagi umat Islam adalah bertentangan dengan ajaran Islam, karena secara tegas babi adalah diharamkan. Lia Aminuddin secara tidak benar telah menafsirkan ayat al-Qur’an Surat AlMaidah ayat 60 sesuai kehendaknya atau semaunya sendiri untuk menghalalkan babi, padahal arti ayat Al-Qur’an tersebut yang sebenarnya adalah : “Katakanlah apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang lebih buruk pembalasannya dari orang-orang fasik itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, diantara mereka ada yang dijadikan kera dan babi. Dan orang yang menyembah berhala, mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih sesat dari jalan yang benar”. Ayat tersebut bukan pencabutan keharaman babi, melainkan adalah kemurkaan Allah SWT kepada kaum terdahulu, sebagian ada yang diubah menjadi kera dan sebagian diubah menjadi babi. Dengan
memperhatikan
sebagaimana tersebut
rujukan-rujukan
yang
dipergunakan
diatas, dalam menyebarkan ajaran-ajarannya,
terdakwa majelis
berpendapat bahwa pernyataan terdakwa tersebut ditujukan kepada agama Islam karena semua rujukan tersebut hanya diajarkan dalam ajaran dan aqidah Islam
sebagaimana diterangkan oleh ahli Prof. DR. H. Mustofa Yaqub, MA. Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan diatas, maka unsur “melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa. d. Dilakukan dalam bentuk penyertaan Susilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentarkomentarnya membagi unsur penyertaan dalam tiga kualifikasi yaitu orang yang melakukan perbuatan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen pleger) dan orang yang turut serta melakukan perbuatan (mede pleger). Muhammad Abdul Rachman menerangkan dalam persidangan bahwa benar dalam menyebarkan ajaran-ajaran terdakwa yang telah dituangkan dalam bentuk tulisan, brosur-brosur CD, dan VCD, serta menyebarluaskannya kepada institusi keagamaan dan juga kepada perorangan, sehingga menurut Majelis perbuatan Lia Aminuddin dan Muhammad Abdul Rachman termasuk kedalam kualifikasi sebagai “turut serta melakukan” dengan demikian unsur penyertaan dalam dakwaan kesatu diatas, telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa. Oleh karena semua unsur dari dakwaan kesatu telah terbukti maka majelis berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinan bersalah melakukan tindak pidana “Penodaan Agama” sebagaimana tersebut dalam dakwaan kesatu. Di dalam dakwaan kedua bahwa terdakwa didakwa telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 157 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengandung unsur sebagai berikut :
1. Barang siapa 2. Menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan tulisan atau lukisan dimuka umum. 3. Yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia. 4. Dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui umum. Unsur “barang siapa” dan unsur “menyiarkan, mempertunjukan tulisan dimuka umum” dalam dakwaan kedua ini mutatis mutandis adalah sama pengertiannya dengan unsur barang siapa dan unsur melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, maka unsur dalam dakwaan kedua ini menurut majelis telah terbukti. Selanjutnya majelis mempertimbangkan unsur
ketiga yaitu yang isinya
“mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia”. Subtansinya adalah fakta perbuatan terdakwa dengan dikirimnya pernyataan-pernyataan terdakwa melalui surat-suratnya ke Majelis Ulama Indonesia antara lain : Surat Nomor : 84/SLM/IV/2000 dan surat tanpa Nomor tanggal 11 Juni 2000 di tujukan kepada MUI yang isinya antara lain : “Wahai MUI aku ini Rasul Allah yang di tunjuk untuk mengamankan kembali dunia agar dapat menunda kiamat. Wajah Islam menjadi tercoreng oleh perbuatan durjana karena membenci pengikut agama lain, adakah kamu diperbolehkan memusuhi agama lain sedang itupun agama Allah, untuk apa kau menyandung predikat ulama bila negeri ini penuh kaum yang musyrik dan pendurjana. Sungguh kesalahan itu semua terpulang kepada mereka yang menyatakan dirinya ulama pewaris Nabi, jadi buat apa lembaga MUI didirikan”.
Surat terdakwa tanggal 6 Juni 2005 ditujukan kepada MUI yang isinya antara lain : “Adapun ini aku dalam posisi menerangkan kandungan surat al-Maidah ayat 60 yaitu tentang balasan yang terburuk disisi Allah, yaitu tentang penentuan kodrat terhadap orang-orang yang dilaknat dan dimurkai-Nya. Kuambil sebagai contoh adalah kaum MUI Fatwanya menyesatkan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Akibat kesalahan mereka itulah mereka diancamkan perubahan menjadi kera atau babi, dan tidaklah Babi dan Kera menyembah berhala tapi adalah orang-orang yang sesat maksudku (MUI) yang dimurkai Allah”. Dalam pertimbangan hakim menjelaskan bahwa oleh karena Lembaga Majelis Ulama Indonesia merupkan refresentasi dari berbagai lembaga keagamaan Islam di Indonesia yang mempunyai tugas antara lain untuk menjaga keseimbangan kehidupan kerukunan beragama dan menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan dalam kehidupan beragama khususnya bagi umat Islam, maka adanya pernyataanpernyataan terdakwa tersebut tidak harus dipandang sebagai permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap MUI tetapi hal tersebut menjadi tanggung jawab moral bagi MUI untuk dapat mengembalikan umatnya kedalam kehidupan beragama yang Islami. Dari pernyataan tersebut majelis mempertimbangkan bahwa salah satu unsur ini terdakwa tidak dapat dipersalahkan oleh karena itu salah satu dari unsur ini tidak terbukti dan terdakwa harus di bebaskan dari dakwaan tersebut. Selanjutnya majelis mempertimbangkan dakwaan ketiga yaitu bahwa terdakwa didakwa telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat 1 KUHP yang mengandung unsur sebagai berikut :
1. Barang siapa 2. Secara melawan hukum memaksa orang lain 3. Supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan kekerasan, suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. Majelis mengambil alih pertimbangan dalam mempertimbangkan unsur “barang siapa” dalam dakwaan pertama dan dinyatakan telah terbukti. Selanjutnya unsur “secara melawan hukum memaksa orang lain” dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut : Dalam komunitas kelompok Lia Aminuddin terdapat bentuk acara ritual yang dikenal sebagai pensucian terhadap pengikut-pengikutnya, acara tersebut dilakukan terdakwa terhadap pengikutnya seorang anak yang bernama R. Ghassani Karamina oleh karena yang bersangkutan sering berkata bohong, dan dilakukan dengan cara membakar mulut memakai spirtus, dan yang membantu memegangi tangan dan kakinya sehingga Neng tidak dapat melepaskan diri dari hukuman tersebut adalah Marieke Sukayanti dan Ghazian Kalingga Murdaning, akibat dari perbuatan terdakwa tersebut Neng merasa sakit untuk melakukan aktvitasnya. Sehingga majelis mempertimbangkan bahwa unsur ini telah terbukti. Unsur yang ketiga adalah bersifat unsur alternatif sehingga cukup salah satu unsur saja yang dibuktikan, sebagai bukti bahwa Lia Aminuddin memerintahkan kepada Marieke Sukayanti dan Ghazian Kalingga Murdaning dalam acara ritul tersebut, secara psikologis saksi menerangkan dalam persidangan bahwa hal itu
bertentangan dengan kehendak saksi, dengan demikian unsur “melakukan suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap orang telah terbukti. Dengan demikian majelis berpendapat bahwa Lia Aminuddin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagai mana yang diatur dalam dakwaan ketiga.
C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Kasus Lia Aminuddin berdasarkan Putusan Pidana No: 677/PID.B/2006/PN.JKT.PST.
Pandangan hukum Islam terhadap kasus Syamsuriati atau yang dikenal Lia Aminuddin yang lahir di Makasar pada Tanggal 21 Agustus 1947, pembawa agama Salamullah dengan menyatakan bahwa : 1. Lia Aminuddin mengaku dirinya sebagai malaikat Jibril. 2. Lia Aminuddin mengaku serta menyatakan atas nama Tuhan Yang Maha Rahim dan Maha Terpercaya telah berdiri kerajaan Tuhan di Jl. Mahoni No.30 Wilayah Senen Jakarta.116 3. Lia Aminuddin menyatakan Muhammad Abdul Rachman sebagai reinkarnasi Nabi Muhammad SAW yang bangkit di Betawi. 4. Lia Aminuddin menyatakan membenarkan Shalat dalam dua bahasa.
116
Putusan, h. 54.
5. Lia Aminuddin menyatakan bahwa babi tidak haram lagi. Pengakuan Lia Aminuddin sebagai malaikat Jibril karena gerak dan langkah yang dilakukan oleh Lia Aminuddin senantiasa dari pengajaran malaikat Jibril,117 yaitu: “Pada tanggal 3 April 2001 Lia Aminuddin mengatasnamakan Allah telah menyatakan “Aku Malaikat Jibril, bersumpah menyatakan datangnya hari kiamat atas perintah Allah. Aku bersumpah itulah perintah-Nya kepadaku atas bangsa Indonesia. Demikian sumpahku dan menyatakan apa-apa yang kalian lakukan ini adalah benar dan dijamin Allah”. Hal itu ternyata, salah dalam menafsirkan salah satu ayat Al-Qur’an yaitu : QS. Surat An-Nahl ayat 2. yaitu :
f %&'L0"☺X(48 }^w 2L LM X1 T" (44,G a1 DL4Q F49 K,I ' (,I jK O&61 =8D7561 8٢ : 9اﻝ/ RaBI?44 .461 ِ rinya : Dia menurunkan Para Malaikat dengan (membawa) wahyu dengan A perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, Yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku". ( QS. Al-Nahl : 2) Ayat tersebut menurut Lia Aminuddin, bahwa : “Malaikat tampil jadi rasul, kedatangan kembali malaikat Jibril diakhir Zaman ini sesungguhnya bukanlah demi penyempurnaan al-Qur’an dan bukan pula mempertemukan al-Qur’an dan Injil, sejak disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, telah disatukan al-Qur’an telah dinyatakan sempurna.118 Malaikat turun dengan membawa wahyu bagi hamba-hambanya yang terpilih dan telah dibersihkan dari kotoran-kotoran dan dosa. Untuk itu, selama kehidupan terus bergulir malaikat akan selalu turun untuk menyampaikan atau memerintahkan sesuatu kepada manusia.
117 118
Danarto, “Sekadar Catatan tentang Lia Aminuddin” TEMPO, 15 Januari 2006, h. 40. Lia Aminuddin, Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Takdir, h. 8-9.
Seringkali kita memahami dan menyangka bahwa wahyu itu hanya untuk kitab suci saja, malaikat Jibril selamanya selalu sibuk mengurusi umat manusia. Mana mungkin pensiun? Dan mana mungkin Allah tidak membantu manusia secara langsung setelah kenabian itu ditutup oleh Nabi Muhammad saw.119 Maka sesungguhnya Allah-lah yang mengutus Jibril kapan pun dikehendaki.120 Analisa penulis terhadap penafsiran Lia Aminuddin diatas dipandang dari segi tafsir bertentangan dengan pemahaman dalam ajaran Islam, misalnya pendapat Ibn Katsir dalam tafsirnya mengatakan :
f %&'L0"☺X(48 }^w 2L LM X1 T" (44,G a1 DL4Q F49 K,I ' (,I jK O&61 =8D7561 8٢ : 9اﻝ/ RaBI?44 .461 Artinya : Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya, Yaitu: "Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku". ( QS. Al-Nahl : 2) Kalimat Yunaazzil al-Malaikat bil al-Ruh adalah wahyu yang diturunkan Allah dengan perantara malaikat Jibril (Ruh al-Amin) diperuntukan bagi hambahambanya yang terpilih dan wahyu tersebut menjadi cahaya atau petunjuk. Hambahamba yang terpilih itu adalah para Nabi. Jelas sekali pengecualian dalam nas diatas, bahwa tidak semua hamba-hamba mendapat wahyu dari Allah. Sayyid Qutub dalam tafsirnya memberikan komentar :
119 120
Lia Aminuddin, Dunia Jibril. h. 47. Lia Aminuddin, Lembaran al-Hira-Fatwa Jibril Alaihissalam Versus Fatwa MUI, h. 9-10
Malaikat adalah makhluk Allah yang lebih suci daripada hamba-hamba-Nya yang dipilih (yakni para nabi) yang turun dengan misi suci pula. 121 Sementara itu, M. Quraish Shihab dalam tafsirnya mengatakan : Ketuhanan yang Maha Esa diibaratkan sebagai matahari hidup manusia. Apabila dalam kehidupan dunia ini ada matahari yang dijadikan Allah SWT, sebagai sumber kehidupan makhluk, maka tauhid adalah sumber kehidupan manusia yang berakal. Apabila tanpa pancaran cahaya matahari kehidupan makhluk dipermukaan bumi ini akan binasa. Jika disekeliling matahari terdapat planet-planet tata surya seperti Bulan, Mars, Yupiter dan lain-lain yang tidak dapat melepaskan diri dari daya tarik matahari dan jika terlepas planet akan jatuh, maka tauhidpun beredar satukesatuan yang tidak boleh dilepaskan dari daya tarik tauhid, karena jika dilepaskan manusia pun jatuh meluncur menuju kebinasaan. Salah satu dari kesatuan-kesatuan itu antara lain : Kesatuan sumber agama, yakni agama hanya bersumber dari Allah SWT, tidak dari selain-Nya, dan bahwa agama-agama yang disampaikan oleh para nabi kesemuanya sama dalam prinsip-prinsip aqidah, syari’ah dan akhlaknya. 122 Oleh karena itu agama Salamullah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam. Adapun Lia Aminuddin menyatakan Muhammad Abdul Rachman sebagai reinkarnasi (roh yang menjelma) dari Nabi Muhammad SAW yang bangkit di Betawi itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam karena dalam Islam, Nabi Terakhir adalah Nabi Muhammad saw, seperti Firman Allah SWT :
# L1 F4G1 \ g☺f a⌧H 4? }p7 :' ( (" 7 ^ ;¡ ,n?Y(48 ;. 4"; EF48 ⌧E R¢q,G xF48 a⌧H 8٤٠ : ابO ﺡMا/ 4£☺,0 Artinya : Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi, dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Ahzab : 40) 121 122
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, (Beirut: Darusi-Syuruq, 1992). Vol 4, h. 247. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.181
Dalam ayat tersebut jelas bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup Nabi tidak akan ada nabi lagi selain Nabi Muhammad saw, jika meyakini adanya reinkarnasi (roh yang menjelma) hukumnya musrik, serta telah termasuk kepada jarimah (tindak pidana), dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan bahwa : Kata al-nabi jamaknya al-anbiya adalah orang yang menjadi pilihan Allah SWT, untuk menerima wahyu agar disampaikan kepada orang lain. Dari segi kebahasaan, ada dua kemungkinan asal kata nabi. Pertama, berasal dari kata dasar alanba dalam pengertian ini dikaitkan dengan persoalan-persoalan gaib. Kedua, berasal dari kata al-Nubuwwah yang berarti paling tinggi (al-uluw). Berdasarkan asal kata dari pengertian yang pertama nabi berarti orang yang memiliki berita, sedangkan menurut asal kata dari pengertian kedua, nabi berarti yang memiliki derajat dan kedudukan yang tinggi.123 Dalam kitab Syarh al-Aqidah al-Thahawiyah Syekh al-Islam Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa nabi adalah :
إg ن أرﺱ) ; ذH ،& U اY1 &* أﻥn1 وهU اh1 ها ىa1 أن ا <+ & )*+ و أ إذا آن، إ @ رﺱلU رﺱ < اl.1 U أ اI ﺥ . &ﺱلK وa1 رﺱ < @ ﻥU اl.1 : ﺱ) ه إ أ- و،.1/ “Sesungguhnya nabi adalah orang yang diangkat oleh Allah, dia memberitakan dengan apa yang Allah beritakan kepadanya, maka jika ia diutus bersamaan hal itu kepada orang yang menentang Allah, untuk menyampaikan risalah Allah kepada para penentang, maka dia adalah Rasul. Adapun dia mengamalkan
123
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 1276
syari’at sebelumnya, dan dia tidak di utus kepada seorangpun untuk menyampaikan risalah dari Allah, maka dia adalah nabi dan bukan Rasul”.124
Dari pendapat Ibn Taimiyyah tersebut nampaknya ada perbedaan antara Nabi dan Rasul, karena memang dalam Lisan Arab Rasul lebih khusus daripada nabi karena setiap Rasul adalah nabi dan tidak setiap nabi adalah rasul. 125 Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, adapun Nabi Muhammad saw adalah dia sebagai Rasul sekaligus Nabi. Selanjutnya, Lia Aminuddin menyatakan membenarkan Shalat dalam dua bahasa, pernyataan Lia tersebut didasarkan kepada salah penafsiran al-Qur’an Surat Maryam ayat 97, yaitu :
'6 rr9 4"☺&6,¤ ,G ¢Q<( @¥64Zr,0,G ,G 75 @Ie☺X(48 8٩٧ : / 8 v( 4Y Lia Aminuddin mengartikan ayat tersebut sebagai berikut : “Al-Qur’an itu dimudahkan dengan bahasamu tak disebutkan itu sebagai bahasa Arab, maka niscaya yang dimaksudkan itu adalah bahasa non Arab. Tidak ada larangan dari Tuhan untuk menterjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam Sholat selama terjemahnya tidak keliru”. Terjemahan yang benar ayat tersebut adalah : “Maka Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan al-Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang”. (QS. Maryam : 97) 124
Ali Ibn Muhammad Ibn Abi al-Izzi al-Dimisyqa, Syarah al-Aqidah at-Tahawiyyah. (Beirut: Mu’asasah al-Risalah, 1997), h. 155 125 Imam al-Allamah Abu al-Fadl Jamaluddin Muhammad Ibn Mukrim Ibn Manzur al-Afriqy al-Misry, Lisan al-Arab, h. 163
Kata “dengan bahasamu” itu ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, bukan kepada yang lain dan tentunya Nabi bahasanya adalah bahasa Arab. Kemudian Lia Aminuddin menyatakan bahwa babi tidak haram lagi, dengan menyatakan : “Fatwa Allah babi tak haram lagi, di zaman ketika ternak riskan dikonsumsi karena penyakit flu burung, sapi gila, antrax membahayakan binatang ternak, Tuhan menghalalkan daging babi dan pula demi menyamakan persepsi bagi semua umat yang diharapkan menemukan perdamaian, maka tidak ada lagi perbedaan makanan diantara semua umat. Perdamaian dimasa sekarang ini amat penting, segala perbedaan diupayakan untuk dihapuskan. Maka, Tuhan mengangkat pengharaman atas daging babi. Maka ruh-ruh jahat tak lagi ditiupkan kepada babi”.
Pernyataan tersebut jelas sangat bertentangan dengan ajaran Islam, Allah SWT menjelaskan dalam al-Qur’an tentang keharaman daging babi sebagai berikut :
BQX5L0 " 4"☺&6,I ;
( 4F48 feX"☺X(48 ?q*1 F4 M
YsX(48 T"☺ = EF48 ,V ( ,G #4 K §X4G V ⌧\ +¦48 tF48 ?a,I X5L0 ;X.,I j⌧ 8 ١٧٣ : ة12اﻝ/ .7 ⌦7BD⌧\ Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah: 173)
feX"☺X(48 X5L0 M M
YX48 X 4F48 EF48 ,V ( ?q*1 F4 f I"s☺X(48 ,G
9 "☺X(48 fVj☺X(48 q⌧H1 F4 f" 5+?(48 4 ¨XtH 4 JK,I #rr(48 a1 0©ª7(48 2L "⌧,G .' (Xv<44,G =8☺:rXI<r 8٣ : اﻝ"!>ة/ ........ Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala……. (QS. Al-Maidah : 3).
BQX5L0 " 4"☺&6,I ;
( 4F48 feX"☺X(48 ?q*1 F4 M wsX(48 T"☺ = ,G EF48 ,V ( #4 K §X4G V ⌧\ +¦48 8١١J : 9اﻝ/ [.57 ⌦7BD⌧\ tF48 iA,¤ Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nahl :115)
Berdasarkan ayat-ayat tersebut sangat jelas bahwa makan daging babi hukumnya haram. Atas pernyataan Lia Aminuddin yang mengaku sebagai malaikat Jibril, Majelis
Ulama
Indonesia
(MUI)
mengeluarkan
Fatwa
Nomor
Kep-
768/MUI/XII/1997 tanggal 22 Desember 1997 yang ditanda tangani oleh K.H. Hasan Basri Ketua Umum MUI dan Drs. H.A. Nazri Adlani sebagai Sekertaris umum yang isinya antara lain :
Menegaskan bahwa pengakuan seseorang yang di dampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari Malaikat Jibril bertentangan dengan Al-Qur’an oleh karena itu pengakuan tersebut dipandang sesat dan menyesatkan.
Menurut Pendapat Ahli Prof. H. Ali Mustofa Yakub, MA. Mengenai ajaran Lia Aminuddin yang mengaku dirinya adalah Malaikat Jibril, maka kalau Lia mengatakan pernah melihat malaikat Jibril kemungkinan itu adalah setan yang menjelma sebagai malaikat Jibril dan malaikat itu tidak makan dan tidak minum. Berdasarkan pernyataan Lia Aminuddin diatas menurut pandangan Hukum Pidana Islam, Dia sudah termasuk kepada jarimah murtad dengan melihat unsurunsur sebagai berikut: 1)
Lia Aminuddin melakukan perbuatan tersebut dalam keadaan berakal sehat.
2)
Lia Aminuddin ketika melakukan perbuatan tersebut, telah mencapai usia baligh (dewasa) berdasarkan surat dakwaan yaitu berumur 58 tahun.
3)
Lia Aminuddin melakukannya atas kehendak sendiri.
4)
Lia Aminuddin dalam kondisi sadar dan tidak berada dalam tekanan.126 dan
5)
Lia Aminuddin telah memahami tuntutan syara’ (mengerti dan memahami terhadap apa yang diucapkan maupun yang dilakukan).
6)
Adanya niat melawan hukum. Pernyataan-pernyataan Lia Aminuddin tersebut jelas bahwa dia telah
melanggar konstitusi yang ada dalam agama Islam yaitu tindak pidana murtad dengan cara : 126
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami Waadillatuh, cet ke-4, (Beirut: Dar- al-Fikr alMuassir, 1997), jilid 7, h. 5576-5580.
1. Lia Aminuddin yang asalnya beragama Islam, telah keluar dari agama Islam dengan cara mendirikan agama baru,
mengaku serta menyatakan atas nama
Tuhan Yang Maha Rahim dan Maha Terpercaya telah berdiri kerajaan Tuhan Eden (Agama Salamullah) yang beralamat di Jl. Mahoni No. 30 Wilayah Senen Jakarta.127 2. Lia Aminuddin telah Mengingkari hal-hal yang merupakan dasar agama yang telah ditentukan secara pasti yaitu : Mengingkari malaikat sebagai utusannya, (dengan cara mengaku dirinya sebagai malaikat); mengingkari kenabian Muhammad saw sebagai salah satu utusan Allah SWT, dengan cara mengangkat Muhammad Abdul Rachman sebagai Nabi; Mengingkari al-Qur’an sebagai wahyu dan sebagai ketetapan Allah SWT, dengan cara menafsirkan ayat alQur’an sesuai dengan seleranya; mengingkari keparduan shalat dengan cara membolehkan shalat dalam dua bahasa. 128 3. Lia Aminuddin telah menghalalkan apa yang telah disepakati umat Islam atas keharamannya yaitu : Makan daging babi. 4. Lia Aminuddin atas perbuatannya telah melecehkan agama Islam; mencela alQur’an dan Sunah Nabi; dan berpaling dari hukum yang ada dalam al-Qur’an dan Sunah Nabi. 5. Lia Aminuddin mengakui bahwa wahyu Allah telah turun kepadanya.
127 128
Putusan, h. 54. Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah II, cet ke-IV, (Beirut: Dar Al-Fiqr, 1983), h. 384
6. Lia Aminuddin telah mencampakan mushaf al-Qur’an atau kitab-kitab dengan menganggap enteng isinya. 7. Lia Aminuddin telah meremehkan perintah-perintah-Nya, larangan-laranganNya, janji-janjin-Nya.129 Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah dikemukakan diatas, penulis berkesimpulan bahwa Syamsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana murtad sebagai mana yang telah diatur dalam hukum pidana Islam, dan patut untuk diberikan hukuman yang setimpal atas perbuatannya itu. Pandangan hukum Islam terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Putusan No : 677 / PID / 2006 / PN. JKT. PST ), Tanggal 29 Juni 2006, yang di pimpin oleh Lief Sofijullah, SH, M. Hum., dengan anggota Majelis Hakim yang terdiri dari H. Ridwan Mansyur, SH. MH., Zulfahmi, SH. M.Hum., Panitera Siti Agustiati, SH., dan Ravita Lina, SH. Dalam amar putusannya menyatakan bahwa : 1. Syamsuriati Alias Lia Aminuddin Alias Lia Eden tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam pasal 157 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kedua. 2. Menyatakan terdakwa Syamsuriati Alias Lia Aminuddin Alias Lia Eden terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara bersama-sama melakukan penodaan terhadap suatu agama” sebagaimana tersebut dalam pasal 156a KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan tindak pidana “secara melawan hukum memaksa orang melakukan suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap orang” sebagaimana mana diatur dalam Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat 1 KUHP. 3. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
129
Ibid., h. 384-385
Dengan memperhatikan kutipan putusan diatas maka telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia hanya saja ada perbedaan penjatuhan pidana antara
tuntutan
dengan putusan,
dalam tuntutan penjatuhan pidananya
selama 5 (lima) tahun, sedang dalam putusan hanya 2 (dua) tahun penjara. Menurut analisa penulis, di dalam putusan pertama yang tercantum dalam dakwaan kedua bahwa terdakwa didakwa telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 157 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1.
Barang siapa
2.
Menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan tulisan atau lukisan dimuka umum.
3.
Yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia.
4.
Dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui umum. Unsur “barang siapa” dan unsur “menyiarkan, mempertunjukan tulisan
dimuka umum” dalam dakwaan kedua ini mutatis mutandis adalah sama pengertiannya dengan unsur barang siapa dan unsur melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, maka unsur dalam dakwaan kedua ini menurut majelis telah terbukti, atas pertimbangan majelis hakim mengenai unsur “barang siapa” kiranya sudah tepat yaitu telah terbukti.
Selanjutnya majelis mempertimbangkan unsur
ketiga yaitu yang isinya
“mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia”. Subtansinya adalah fakta perbuatan terdakwa dengan dikirimnya pernyataan-pernyataan terdakwa melalui surat-suratnya ke Majelis Ulama Indonesia antara lain : Surat Nomor : 84/SLM/IV/2000 dan surat tanpa Nomor tanggal 11 Juni 2000 di tujukan kepada MUI yang isinya antara lain : “Wahai MUI aku ini Rasul Allah yang di tunjuk untuk mengamankan kembali dunia agar dapat menunda kiamat. Wajah Islam menjadi tercoreng oleh perbuatan durjana karena membenci pengikut agama lain, adakah kamu diperbolehkan memusuhi agama lain sedang itupun agama Allah, untuk apa kau menyandung predikat ulama bila negeri ini penuh kaum yang musyrik dan pendurjana. Sungguh kesalahan itu semua terpulang kepada mereka yang menyatakan dirinya ulama pewaris Nabi, jadi buat apa lembaga MUI didirikan”. Surat terdakwa tanggal 6 Juni 2005 ditujukan kepada MUI yang isinya antara lain : “Adapun ini aku dalam posisi menerangkan kandungan surat al-Maidah ayat 60 yaitu tentang balasan yang terburuk disisi Allah, yaitu tentang penentuan kodrat terhadap orang-orang yang dilaknat dan dimurkai-Nya. Kuambil sebagai contoh adalah kaum MUI Fatwanya menyesatkan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Akibat kesalahan mereka itulah mereka diancamkan perubahan menjadi kera atau babi, dan tidaklah Babi dan Kera menyembah berhala tapi adalah orang-orang yang sesat maksudku (MUI) yang dimurkai Allah”. Dalam pertimbangan hakim menjelaskan bahwa oleh karena Lembaga Majelis Ulama Indonesia merupkan refresentasi dari berbagai lembaga keagamaan Islam di Indonesia yang mempunyai tugas antara lain untuk menjaga keseimbangan kehidupan kerukunan beragama dan menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan dalam kehidupan beragama khususnya bagi umat Islam, maka adanya pernyataan-
pernyataan terdakwa tersebut tidak harus dipandang sebagai permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap MUI tetapi hal tersebut menjadi tanggung jawab moral bagi MUI untuk dapat mengembalikan umatnya kedalam kehidupan beragama yang Islami. Dari pernyataan tersebut majelis mempertimbangkan bahwa salah satu unsur ini terdakwa tidak dapat dipersalahkan oleh karena itu salah satu dari unsur ini tidak terbukti dan terdakwa harus di bebaskan dari dakwaan tersebut. Dengan alasan bahwa lembaga MUI tidak termasuk kepada kategori golongan-golongan rakyat Indonesia dan karenanya menurut majelis unsur ketiga ini tidak terbukti dalam perbuatan terdakwa. Atas pertimbangan majelis hakim diatas menurut penulis alasannya tidak tepat karena secara jelas bahwa unsur “mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia”, seharusnya unsur ini terbukti karena Majelis Ulama Indonesia (MUI), adalah termasuk golongan-golongan rakyat Indonesia bukan sebagai lembaga Negara. Kalaupun keputusan majelis hakim ini tidak terbukti dengan pertimbangan bahwa : “Lembaga Majelis Ulama Indonesia merupkan refresentasi dari berbagai lembaga keagamaan Islam di Indonesia yang mempunyai tugas antara lain untuk menjaga keseimbangan kehidupan kerukunan beragama dan menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan dalam kehidupan beragama khususnya bagi umat Islam, maka adanya pernyataan-pernyataan terdakwa tersebut tidak harus dipandang sebagai permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap MUI tetapi hal tersebut menjadi tanggung jawab moral bagi MUI untuk dapat mengembalikan umatnya kedalam kehidupan beragama yang Islami”.
Atas pertimbangan majelis hakim tersebut seharusnya dalam masa tahanan Lia Aminuddin ada bimbingan dari Majelis Ulama Indonesia sebagai tanggung jawab moral bagi MUI, baik yang membimbingnya ulama Laki-Laki atau Ulama Perempuan untuk mengembalikan umatnya kepada jalan yang benar yaitu kedalam kehidupan beragama yang Islami dan hal ini harus dicantumkan dalam keputusan majelis hakim yaitu (Putusan No : 677 / PID / 2006 / PN. JKT. PST ). Menurut analisa penulis, jika kasus murtad Syamsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden yang terjadi di Indonesia, dipandang dalam hukum pidana Islam akan melahirkan putusan sebagai berikut : 1. Dihukumi dengan hukuman pokok a. Dimintakan bertobat terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan aturan pokok bahwa, orang murtad tidak boleh dihukum mati kecuali setelah diminta bertobat. Oleh karena itu diharapkan dulu, dianjurkan dan di dorong agar Lia Aminuddin mau bertobat dan bersedia kembali kepada agama Islam. Apabila dia mau bertobat, maka terpeliharalah darahnya, serta diterimalah tobatnya dari segi dan cara manapun riddahnya dilakukan. Menurut ulama kalangan Syafi’iyyah anjuran untuk bertobat ini bukan hanya berlaku bagi laki-laki tetapi berlaku juga bagi wanita. Muhammad al-Khatib as-Syabrani mengatakan :
& ا * وا *ة##] اﺱFو Hukumnya wajib menganjurkan tobat bagi pelaku jarimah riddah laki-laki dan perempuan.130 130
139.
Muhammad al-Khatib as-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Beirut : Dar al-Fikr, tth) jilid 4, h.
Sebab kedua-duanya sama dihormati dalam Islam, dalil yang mereka jadikan argumentasi adalah sebuah hadis riwayat ad-Daraqutni sebagai berikut :
a1 @ أه إ اl.1 م3ل @ أم رون ارت ا'ﺱA روى & أن اأة (#/` )روا ا ر.#/ 5ب وإ##, أنY -. وﺱ. U ا.ﺹ Artinya : Jabir meriwayatkan, sesungguhnya ada seorang wanita bernama Ummu Rauman keluar dari Islam, hal itu di dengar oleh Nabi SAW, maka beliau memerintahkan agar dia disarankan untuk bertobat, kalau tidak, maka dibunuh. (HR. Adaraqutni)131
b. Dihukum dengan hukuman mati Apabila dengan anjuran bertobat oleh Lia Aminuddin sebagai pelaku jarimah murtad tidak ditanggapi maka tindakan keras bisa dilakukan terhadapnya, yaitu dengan cara dihukum mati karena perbuatan Riddahnya.132 Hukuman riddah ini berdasarkan beberapa hadis Nabi antara lain :
: -. وﺱ. U ا. ﺹUل رﺱل ا/ : ل/ U اT س ر1 &و ا (رى$1 )روا ا.#/ &ل د Artinya : Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia. (Hadis Riwayat Bukhori)133 Juga hadis yang dikeluarkan oleh Mu’ad Bin Jabal berikut :
ءc/ ،)#A #: K. أ5 @د- ﺙ-. ر) أﺱU اT) ر1 &ذ ا+ . g ) ذ1/ ]## اﺱ: ( و روا < _& داود. %#) )#A & Y ورﺱUا Artinya : Dari Mu’ad Bin Jabal ra, tentang lelaki yang sudah masuk Islam lalu murtad masuk agama Yahudi, aku duduk sehingga lelaki itu dibunuh, itu 131
An-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhazzab, (Mesir: Musafa al-Babi al-Halabi, tth), jilid
18, h. 8. 132
Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Hawai al-Kabir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jilid 17, h. 356. 133 al-Bukhori, Sahih al-Bukhari, (Beirut : Dar al-Fikr, 1401/1991), jilid VIII, h. 50. Lihat juga Al-Kahlani, Subul As-Salam, (Mesir: Syarikah wa Mathba’ah Musthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960), Juz III, hlm. 267.
keputusan Allah dan Rasul-Nya, maka Mu’ad memerintah membunuh lelaki itu. Kemudian lelaki itu dibunuh.134
) دم إئE 5 -. وﺱ. U ا. ﺹUل رﺱل ا/ ل/ د+, & U ا1 ] ا ?اﻥ وP ا: ث3 ى ﺙ:Y& 5 إU وأ ﻥ رﺱل اU ا5 إ إ5 @ أن-., ( < *F *< )روا اF. رق%* رك ا# واK% & K% ا Artinya : Dari Abdillah bin Mas’ud Rasulullah SAW bersabda, tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan saya utusan Allah kecuali terhadap tiga kelompok yaitu seorang yang pernah nikah lalu berzina dan jiwa dengan dengan jiwa (qisas) serta orang yang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jama’ah (HR. al-Jama’ah). 135 Berdasarkan hadis diatas tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban membunuh orang murtad bahkan Syaikh Muhammad Mutawali As-Sya’rani dalam menafsirkan surat al-Isra ayat 33 yang berbunyi :
UXD?(48 JK,I xF48
=80<XI K " t(48 ٣٣ : ﺱ اءL اR" X(44,G
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.136 …(QS. Al-Isra : 33) Kalau dalam ayat diatas dilarang membunuh jiwa yang dilarang Allah kecuali dengan cara yang haq setidaknya terdapat tiga alasan yang dinyatakan sebagai cara
134
Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulug al-Maram Min Adillati al-Ahkam, Terjemah Drs Muhammad Rifa’i dan Ahmad Qusyairi Misbah, (Semarang: Wicaksana, 1989), h. 728-729. 135 Muslim Ibn Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi, Sahih Muslim , (Beirut : Dar al-Fikr, 1403/1983) jilid VI. h. 164. Lihat pula Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih alBukhari, (Indonesia: Maktabah Dahlan, tth), jilid 4, h. 2748. 136 Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.
yang haq dalam membunuh orang, yaitu : 1) Dalam mengqishas pelaku 2) Dalam menghukum orang murtad dan 3) Dalam memberlakukan hukum rajam. 137 Jika mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah mengenai hukuman mati bagi Lia Aminuddin sebagai perempuan yang murtad, maka akan melahirkan keputusan, hukuman mati tidak diberlakukan atasnya, dia akan dipaksa kembali ke agama Islam. Pemaksaan ini bisa dilakukan dengan cara menahannya dan mengeluarkannya setiap hari agar ia mau bertobat dan ditawari untuk kembali masuk Islam. Jika masuk Islam, hukumnya jelas. Jika tidak maka ia harus di tahan sampai mati atau sampai ia kembali masuk Islam. 138 Berdasarkan pendapat ulama jumhur bahwa hukuman bagi seorang perempuan murtad sama dengan hukuman bagi lelaki murtad. Karena sesungguhnya kata
” ”
dalam hadis
.#/ &ل د
berlaku umum bagi pria dan
wanita.139 Dari uraian diatas bisa diketahui bahwa Lia Aminuddin sebagai pelaku jarimah riddah, jika mengikuti pendapat para ulama maka akan melahirkan kesepakatan diberikan sanksi had berupa hukuman mati. Akan tetapi sanksi keras ini tidak boleh langsung diberikan melainkan terlebih dahulu harus diberi kesempatan bertobat, kalau Lia Aminuddin tidak menanggapi anjuran untuk bertobat maka
137
Muhammad Mutawali as-Syah’rawi Tafsir as-Syahrawi, (Beirut: Dar al-Fikr,tth) jilid 14, h.8511-8512. 138 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i cet 11, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1998), Jilid II, h.720-721. 139 As-Shan’ani, Subulus Salam III, Terjemahan Drs. Abu Bakar Muhammad. (Surabaya: AlIkhlas, 1995), h. 948.
barulah dia diperangi dan layak untuk di eksekusi dengan sanksi pidana mati, karena telah keluar dari barisan jama’ah.
2. Dihukumi dengan hukuman pengganti Apabila Lia Aminuddin bersedia untuk bertobat dengan mengucapkan dua kalimah syahadah, maka ia terbebas dari hukuman pokok berupa hukuman mati. Dengan terbebasnya dari hukuman mati ini bukan berarti ia terbebas dari sanksi sama sekali, tetapi beralih dari hukuman had kepada hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir ini merupakan wewenang hakim maka jenis dan bentuknya diserahkan kepada hakim yang berwenang. Biasanya jenis, kadar dan teknis hukuman takzir ini bisa sangat beragam antara satu daerah dengan daerah lain sesuai pada kondisi pelaku. Bentuk dari hukuman takzir ini bisa dicambuk, dikurung, didenda, atau dicela. Masa kurungan boleh dibatasi dan boleh tidak dibatasi. Orang murtad boleh dikurung tanpa batas sampai tampak perubahan sikapnya. Menurut para fukoha orang yang melakukan murtad berulang-ulang
maka para fukoha cendrung
memberlakukan hukuman takzir dengan hukuman yang sangat berat. Akan tetapi, sebagian fukaha yang lain cendrung mengampuni pelaku jarimah dari hukuman sejak
pertama ia murtad kecuali jika pelaku adalah tukang sihir atau menghina Rasulullah saw.140 3. Dihukumi dengan hukuman tambahan Jika mengikuti pendapat Abdul Qadir Audah, bagi Lia Aminuddin bisa dikenakan sanksi pelengkap yang terdiri dari dua macam, pertama hartanya disita, dan kedua dikurangi kelayakannya dalam melakukan tindakan hukum.
a). Aset hartanya disita Pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal bahwa jika orang murtad dalam hal ini Lia Aminuddin mati atau dibunuh, hartanya menjadi milik masyarakat dan tidak diwariskan kepada seorangpun dari kaum muslimin atau kaum lainnya. Hanya saja Imam Malik mengecualikan dari prinsip diatas, bahwa kekayaan orang zindiq141 dan munafiq tetap diwariskan kepada ahli warisnya yang muslim, karena pada masa Rasulullah, ketika orang-orang munafiq meninggal, hartanya diwariskan kepada anak keturunannya yang muslim.142 b) Dikurangi kelayakan baginya dalam melakukan tindakan hukum Bagi Lia Aminuddin sebagai pelaku Jarimah murtad pada prinsipnya tidak akan mempengaruhi untuk memiliki harta, baik dari hibah, menyewakan dirinya, 140
Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i, Jilid II, h.728. Imam An-Nawawi mendefinisikan zindiq adalah orang yang tampil secara jelas dalam bentuk Islam tetapi menyembunyikan kekafiran, lihat An-Nawawi al-Majmu Syarh al-Muhazzab, (Mesir: Musafa al-Babi al-Halabi, tth), jilid 18, h. 14. 142 Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqãranan bi al-Qanun al-Wad’i,Jilid II, h. 728. 141
berburu, maupun membeli. Akan tetapi seorang yang murtad tidak dibenarkan memiliki atau memindahkan hak miliknya dengan cara waris-mewaris karena adanya perbedaan agama. Dengan demikian baginya hanya akan berpengaruh pada hak Lia Aminuddin dalam kewenangannya untuk membelanjakan harta kekayaan yang dimiliki, baik harta itu telah ia miliki sebelum maupun setelah murtad. Oleh karena itu seseorang yang mati dalam kondisi murtad, harta kekayaannya harus dibekukan sebab kalau tetap dibelanjakan maka hal itu dinilai sebagai sesuatu yang batil karena pada kekayaannya terdapat hak orang lain yang mestinya diberikan, 143 dalam hal ini adalah harta kaum muslimin, mestinya karena warisan orang murtad menjadi hak kaum muslimin, baik diberikan melalui baitul maal maupun al-fai. Menurut pendapat Mazhab Maliki, Mazhab Syafii, dan Hanbali.
143
Ibid., h. 730.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Kualifikasi riddah dalam hukum pidana Islam Konseptualisasi perbuatan riddah berdasarkan konsep fiqh klasik merupakan sikap keluar dari agama Islam kepada kekufuran, berpindah ke agama lain atau membuat agama baru. Oleh karena itu pandangan hukum pidana Islam bila telah keluar dari agama Islam merupakan perbuatan yang harus dihukum, karena menganut asas kebebasan yang bertanggung jawab. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam alQur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw. Perbuatan kriminal tersebut bisa dilakukan dengan mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan orang tersebut kafir, seperti orang yang mengingkari eksistensi Allah sebagai pencipta, tidak mengakui adanya utusan-utusan Allah, mendustakan utusan Allah, menghalalkan segala sesuatu yang telah disepakati keharamannya seperti berzina, homoseksual, meminum khamr, berlaku zalim, mengharamkan sesuatu yang telah disepakati kehalalannya seperti jual beli dan nikah, menafikan sesuatu kewajiban yang telah disepakati seperti meniadakan sebuah raka’at dari shalat fardhu lima waktu, menambah-nambah ketentuan hukum yang telah baku seperti menambah jumlah raka’at dalam shalat lima waktu, mewajibkan
puasa pada sebagian hari di bulan syawal dan juga disebut murtad orang yang berniat keluar dari agam Islam besok atau seseorang yang selalu ragu dalam kekafiran. Kualifikasi jarimah riddah ada dua yaitu: Pertama, unsur keluar dari agama Islam, hal ini bisa diketahui melalui tiga cara. Yaitu: 1) Dengan melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan, 2) Dengan ucapan yang jelas, dan
3) Dengan
keyakinan dalam hati. Untuk bisa dituntut dengan sanksi hukum, tidak cukup hanya dengan melihat cara yang ketiga diatas, sebab lintasan dan bersitan hati seseorang dinyatakan tidak cukup bukti untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku. Oleh karena itu jarimah riddah yang pelakunya bisa dituntut hukuman harus terealisasikan secara kongkrit dalam bentuk ucapan yang jelas dan tindakan nyata. Dan unsur kedua, yaitu: unsur melawan hukum, Yaitu berupa kesengajaan pelaku untuk melakukan suatu tindakan atau mengucapkan secara jelas lintasan hati dan pikirannya, yang mana pada saat itu ia sadar dan mengerti persis bahwa perbuatan atau tindakan dan ucapannya itu jelas mengandung makna fatal yang akan mengakibatkan pelaku bila mengucapkannya bisa dianggap kafir. Bila telah melakukan perbuatan seperti yang telah dikemukakan diatas maka pantas untuk diadili dan dihukumi sesuai dengan ketentuan konsep hukum yang berlaku dalam hukum pidana Islam. 2. Akomodasi delik murtad dalam hukum pidana Indonesia Berkaitan dengan akomodasi tindak pidana riddah dalam hukum pidana Indonesia, jika suatu Negara telah memberlakukan aturan hal pindah agama dalam konstitusi nasional, maka pelaku tindak pidana murtad telah melanggar ketentuan
hukum umum yang berlaku dalam suatu Negara sekaligus ketentuan hukum yang berlaku dalam hukum pidana Islam. Dengan hal ini akan adanya kesesuaian antara hukum pidana umum yang berada di Indonesia dan hukum pidana Islam. Akan tetapi akomodasi ketentuan pindah agama dalam hukum pidana umum belum sepenuhnya mengatur tentang delik pindah agama, karena ketentuan yang berlaku dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang berlaku di Indonesia, baru mengatur tentang delik dibidang keagamaan yang terdapat terdapat dalam Pasal 156, 156a, 157, 175, 176, 177, 503 ke-2. dengan adanya pasal-pasal tersebut setidaknya telah mewakili delik dalam bidang agama terutama agama Islam. Hal ini terbukti dengan adanya Kasus Lia Aminudin yang termasuk kepada delik Penodaan Agama yang didakwa dengan pasal 156a, dan pasal 157, yang melahirkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Putusan No : 677 / PID / 2006 / PN. JKT. PST ), Tanggal 29 Juni 2006. Dalam amar putusannya menyatakan bahwa : 4. Syamsuriati Alias Lia Aminuddin Alias Lia Eden tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam pasal 157 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kedua. 5. Menyatakan terdakwa Syamsuriati Alias Lia Aminuddin Alias Lia Eden terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara bersama-sama melakukan penodaan terhadap suatu agama” sebagaimana tersebut dalam pasal 156a KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 6. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
Dengan memperhatikan kutipan putusan diatas maka telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia hanya saja ada perbedaan penjatuhan pidana antara
tuntutan
dengan putusan,
dalam tuntutan penjatuhan pidananya
selama 5 (lima) tahun, sedangkan dalam putusan hanya 2 (dua) tahun penjara. Dan seharusnya pasal 157 itu terbukti alasan hakim membebaskan terdakwa dari pasal ini tidak tepat, karena secara jelas bahwa unsur “mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia”, seharusnya unsur ini terbukti karena Majelis Ulama Indonesia (MUI), adalah termasuk golongan-golongan rakyat Indonesia bukan sebagai lembaga Negara. Serta dalam masa tahanan Lia Aminuddin mendapatkan bimbingan dari Majelis Ulama Indonesia sebagai tanggung
jawab
moral bagi MUI,
baik
yang
membimbingnya ulama Laki-Laki atau Ulama Perempuan untuk mengembalikan umatnya kepada jalan yang benar yaitu kedalam kehidupan beragama yang Islami dan hal ini harus dicantumkan dalam surat keputusan majelis hakim. 3. Analisa hukum Islam terhadap kasus Lia Aminuddin Pandangan hukum Islam terhadap kasus Syamsuriati atau yang dikenal Lia Aminuddin
pembawa agama Salamullah dengan menyatakan bahwa : Lia
Aminuddin mengaku dirinya sebagai malaikat Jibril, mengaku serta menyatakan atas nama Tuhan Yang Maha Rahim dan Maha Terpercaya telah berdiri kerajaan Tuhan di Jl. Mahoni No. 30 Wilayah Senen Jakarta Pusat, dengan menyatakan Muhammad Abdul
Rachman
sebagai
reinkarnasi
Nabi
Muhammad
saw,
menyatakan
membenarkan Shalat dalam dua bahasa, menyatakan bahwa babi tidak haram lagi. Lia Aminuddin melakukan perbuatan tersebut dalam keadaan berakal sehat, telah mencapai usia baligh (dewasa), atas kehendaknya sendiri, dalam kondisi sadar dan tidak berada dalam tekanan, telah memahami tuntutan syara’ (mengerti dan
memahami terhadap apa yang diucapkan maupun yang dilakukan), serta mengajak muslim lainnya untuk menjelekan agama Islam dan adanya niat melawan hukum. Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis jika telah melakukan perbuatan sebagai mana diatas telah menyimpang dari ajaran Islam, maka penulis menyimpulkan bahwa perbuatan Lia Aminuddin sangat jelas telah termasuk dalam jarimah murtad, dan dalam hukum pidana Indonesia telah termasuk kepada tindak pidana penodaan agama, yang patut untuk diberikan hukuman. Adapun hukuman bagi Lia Aminuddin jika dipandang dalam hukum pidana Islam akan melahirkan hukum : 1). Dihukumi dengan hukuman pokok yaitu : a). Dimintakan untuk bertobat terlebih dahulu., b). Dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara sampai dia kembali masuk Islam menurut pendapat Imam Abu Hanifah., 2). Dihukumi dengan hukuman pengganti yaitu hukuman ta’zir., dan 3). Dihukumi dengan hukuman tambahan dengan cara : a). Aset hartanya disita., dan b). dikurangi baginya kelayakan dalam melakukan tindakan hukum. B. Saran-saran Berdasarkan penelitian atas kasus murtad di Indonesia (Suatu kajian hukum Islam terhadap kasus hukum Lia Aminuddin), penulis merekomendasikan hal-hal sebagai berikut : Pertama, bagi para peminat studi hukum Islam yang terjadi di Indonesia, penulis berharap tersentuh hati meneliti tentang kasus murtad (bebas pindah agama atau kebebasan beragama ) di Indonesia perspektif hukum Islam dan HAM.
Kedua, sebaiknya diperlukan adanya akomodasi hukum pidana Islam dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akan datang, yang berkaitan dengan pindah agama. Ketiga, kiranya perlu ada penelitian lanjutan tentang eksistensi dan reinterpretasi tentang murtad yang terjadi di Indonesia, serta pandangan dari para tokoh ulama, ahli hukum Indonesia agar sesuai Indonesia.
۞۞۞
dengan sosio kultural bangsa
DAFTAR PUSTAKA
Audah, Abdul Qadir., At-Tasyri al-Jina’i al-Islami, Muqaranan bil Qanunil Wadh’i, Kairo : Darul Urubah, 1960. Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail.Sahih al-Bukhari. Indonesia : Maktabah Dahlan, tth. Al-Qusyairi, Muslim Ibn Hajjaj Ibn Muslim, Sahih Muslim . Semarang: Toha Putra, tth. Al-Jaziri, Abdurrohman, al-Fiqh ‘alâ al-Madzhab al-‘Arba’ah, Beirut: Dar al- Fikr, tth. Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami Waadillatuh, Beirut : Dar- al-Fikr al-Muasir, 1997, cet ke 4. Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunah, Beirut: Dar al Fikr, 1983. Djazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000. Suma, M. Amin, et.al.,Pidana Islam di Indonesia, (editor) Jaenal Arifin, dan M. Arskal Salim GP, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 2005. Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Jogjakarta : Logung Pustaka, 2004. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir. Surabaya : Pustaka Progresif, 1997. Al-Isfahani, Ar-Raghib, Mufradat al-Lafaz al-Qur’an, Beirut : Dar al-Fikr alMu’asir, 1997.
Al-Mahali, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad, Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj alTalibin, cet ke 1, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001. Al-Malibari, Zainuddin bin Abdul Aziz, Fath al-Mu’in bi syarah qurrah al-Ain. Semarang : Toha Putera, tth. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol 7. Jakarta : Lentera Hidup, 2001. Al-Kahlani, Muhammad Ibn Isma’il, Subul As-Salam. Mesir : Syarikah wa Mathba’ah Musthafa Al-Baby Al-Halaby, 1960. Al-Asqalani, Ibn Hajar, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Terjemah Drs Muhammad Rifa’i dan Ahmad Qusyairi Misbah. Semarang : Wicaksana, 1989. K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pra Modern), cet. ke- 3.Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2000. Haikal, Muhammad Husain, Drs. Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Jakarta : Qisthi Press, 2007. Enginer, Ashgar Ali, The Original Development of Islam; (Asal-usul dan perkembangan Islam; Analisis pertumbuhan sosio ekonomi), Pustaka Pelajar dan Insist, 1999. Haikal, Muhammad Husain, Abu Bakar Ash-Shiddiq (Sebuah Biografi dan studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi), Jakarta : Lentera Antar Nusa, 1995, cet ke-1. As-Sirbasi, Ahmad, Yas aluunaka fi ad-Dini wa al-Hayati, Beirut : Dar al-Jail, 1977, cet ke- I. As-Sidiqi as-Syafii al-Asari al-Makki, Muhammad bin Allan, Dalil al-Falihin li turuqi Riyad As-Salihin, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000. Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, Abu. Al-Muhalla, Beirut : alMaktabah at-Tijarti, tth. Abidin, Ibn, Radd al-Mukhtar ala ad-Durri al-Mukhtar, Hasyiyah Ibni Abidin, Beirut : Daru Ihya al-Turas al-Arabi, tth. Al-Mawardi, Abu al-Hasan, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Mesir, Mustafa Al-Baby Al-
Halaby, 1975, cet ke-III. Aceng Zakaria, Al-Hidayah, Jilid I, cet III, Garut : PPI 79, 1988. Ali, A. Mukti, Agama, Universitas dan Pembangunan, Bandung : IKIP, 1971. Abdurrahman, Moeslem, Islam Transformatif, cet. ke- II, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995, As-Samira’i, Nu’man Abdurrajak, Ahkaamul Murtad Pii-Syari’atl alIslaamiyyah, Dar al-Ulum, 1403 H – 1983 M. Al-Jaza’iri, Abu Bakar Jabir, Minhaajul Muslim, Madinah : Dar al-Fikr, 1384 H/1964 M. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol 7, Jakarta, Lentera Hidup, 2001. As-Syah’rawi, Muhammad Mutawali. Tafsir as-Syahrawi, Beirut : Dar al-Fikr,tth. Al-Mawardi, Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, al-Hawai al-Kabir, Beirut : Dar al-Fikr, 1994. As-Syarbini, Muhammad al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, Beirut : Dar al-Fikr, tth. An-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhazzab, Mesir : Musafa al-Babi al-Halabi, tth. Al-Munadi al-Burhan Fauri, Alauddin Ali bin a-Muttaqi bin Hisamuddin. Kanzu alUmmal fi sunani al-Aqwal wa al-afal Beirut : Muassasah ar-Risalah, 1989. Khudari Bik, Muhammad, Nurul Yakin fi sirrah sayyid al-Mursalin, Beirut : Dar al-Kitab al-Izzi, 2004. cet.ke-I. Hamdan “Wahyu Menurut Lia Aminuddin”(Kajian Atas Term Yunazzil alMalaikah bil al-Ruh Dalam Q. S. al-Nahl Ayat 2). Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Usuludin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Jakarta : Sinar Grafika, 2005, cet. ke-v. Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana. Bandung : Sinar Baru,Tahun 1984.
Danarto, “Sekadar Catatan tentang Lia Aminuddin” TEMPO, 15 Januari 2006. Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, Beirut : Darusi-Syuruq, 1992. Shihab, Qurais Tafsir al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, 2002. Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997. Al-Izzi al-Dimisyqa, Aliy Ibn Muhammad Ibn Abi, Syarah al-Aqidah al-Tahawiyyah. Beirut : Mu’asasah al-Risalah, 1997. Jiau al-Haq, Muhammad Umar, Mencermati Aliran-Aliran Sesat Berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Bandung : Bina Biladi Press, 2008. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004. Nasution, Harun, (Ketua Tim), Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta : Djambatan, 1992. Sudarsono, Drs. Kamus Hukum, Jakarta : PT Rineka Cipta, 2007. Arif, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Utriza, Ayang, “Kebebasan Beragama dalam Islam” Artikel Diakses pada 21 Mei 2008 http://www.freelists.org/archives/nasional_list/032006/msg00787.html Karya, Suara, “Penodaan Agama”, Artikel diakses pada 29 April 2008 dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=198138