1
`
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan kajian terhadap pustaka yang ada, tampak belum banyak ditemukan peneliti yang khusus mengkaji perlawanan orang Katobengke khususnya di Sulawesi Tenggara. Namun, beberapa studi yang dianggap relevan untuk dijadikan sebagai refrensi pembanding terhadap penelitian ini dipaparkan sebagai berikut. Maunati (2006) dalam bukunya
Identitas Dayak: Komodifikasi dan
Politik Kebudayaan membahas konstruksi pemerintahan orde baru terhadap identitas1 orang Dayak, terutama tentang pencitraan mereka yang dilabelkannya sebagai etnik primitif. Maunati (2006: 18) melukiskan pogram relokasi yang bertujuan untuk membuat orang-orang Dayak tinggal secara menetap di tempattempat tertentu dengan cara memberikan rumah, lahan pertanian, dan menggambarkan cara hidup orang Dayak yang tak beradab, pakaian tidak sopan, kepercayaan 1
animistik,
tak
berpendidikan
dan
dianggap
penghambat
Gidden (1991:219--220), identitas diri tercipta dari kemampuan untuk mempertahankan narasi perihal diri dan dogma membangun perasaan yang konsisten perihal kesinambungan biografis. Identitas sebagai proyek yang merupakan ciptaan kita, sesuatu yang selalu berproses berdasarkan situasi masa lalu dan masa kini dan suatu gerak menuju masa depan yang kita inginkan. Barker mengutip Gidden (1984) menyebutkan identitas menjadi penting tidak hanya penggambaran diri, tetapi juga ciri-ciri sosial. Identitas sosial terkait dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan sanksi-sanksi normatif yang dalam masyarakat tertentu, menjadi penentuan peran.
2
pembangunan. Stigma sosial akan dijatuhkan kepada orang Banjar yang menikahi orang Dayak karena orang Dayak itu kotor dan terkebelakang. Pada saat yang bersamaan elite Dayak menolak citra negatif tentang diri mereka dengan berupaya membangun sebuah identitas Dayak yang “modern” untuk mengalahkan citracitra yang dominan berlaku tentang Dayak sebagai masyarakat “terkebelakang“ yang telah menyebabkan suku Dayak terkucil dari kekuasaan dan kekuatan politik serta menegaskan marginalisasi ekonomi mereka. Dengan demikian, sebuah label ketidakadilan yang disematkan oleh elite birokrasi terhadap orang Dayak merupakan modal dasar elite tersebut membangun masyarakat Dayak yang mereka sebut primitif itu untuk diberdayakan. Tulisan Maunati (2006) memiliki banyak persamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan saat ini, yaitu tentang proses perlawanan terhadap hegemoni elite tidak dapat dipisahkan dari faktor budaya, politik, ekonomi, dan etnik itu sendiri. Relevansi yang menonjol dalam penelitian ini adalah citra negatif yang dialamatkan kepada orang Dayak, seperti stigma sosial, terbelakang, terkucil dari kekuasaan dan kekuatan politik. Di samping pencitraan negatif, sebagaimana tulisan Tasrifin (2010) dan Ruslan (2005), orang Katobengke juga memiliki citra positif yang disematkan oleh elite tradisional, seperti predikat inaa Laode dan Maa Laode yang bermakna pengasuh bayi bangsawan. Selanjutnya organisasi perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite belum tampak dilakukan secara sistematis dan kemudian indikasi perlawanan mereka baru tampak pada era reformasi ini.
Sebaliknya, orang Dayak merupakan sebuah etnik besar yang
terdiri atas sejumlah subetniknya berdasarkan wilayah permukimannya dan
3
perjuangan komunitas secara organisatoris tampak ditunjukkan berbagai LSM, cendekiawan Dayak dalam upaya mempertahankan identitas dan budaya kedayakan. Sementara itu, pemberdayaan yang dilakukan pemerintah hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi kepariwisataan. Buku
Anom
Kumbara
(2011)
berjudul
Pergulatan Elite
Lokal
Representasi Relasi Kuasa dan Identitas merupakan rekonstruksi hasil penelitian Antropologi dalam penulisan disertasi yang dilakukan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat tahun 2005--2008 yang berjudul “Konstruksi Identitas Orang Sasak di Lombok Timur Nusa Tenggara Barat”.
Kajiannya mengupas secara
holistik (1) bagaimana variasi identitas Sasak di Pulau Lombok, (2) strategistrategi yang dikembangkan oleh elite Sasak dalam melestarikan identitas mereka, (3) bagaimana dinamika relasi antarelite Sasak dalam mengonstruksi identitas Sasak baru yang bisa menyatukan varisi identitas yang ada di Pulau Lombok. Eksplanasi penelitian Kumbara (2011) dimulai dengan teropong istilah Sasak sebagai kolektivitas masyarakat asli Pulau Lombok yang dalam catatan sejarah memiliki pengalaman sejarah yang sangat pahit selama berabad-abad sampai pada era reformasi ini juga mengalami gejolak sosial atau konflik yang berbasis suku dan agama. Adapun variasi identitas Sasak terbentuk sebagai cikal bakalnya, mulai dari era Sasak pra-Islam, kekuasaan Majapahit, Makassar, dan bagaimana hegemoni Bali atas Sasak, mulai proses penaklukan Karangasem Bali terhadap Lombok yang dibuktikan beberapa daerah, seperti Pejanggik, Parwa, dan Lengko yang harus membayar upeti. Semua itu menyebabkan Sasak terhegemoni dan termarginalisasi selama dua abad. Secara budaya akhirnya berimplikasi pada
4
masyarakat Lombok dengan karakteristik budaya yang sangat plural dan orang Sasak kurang memiliki struktur identitas yang jelas. Selanjutnya masuknya Islam dan munculnya pengelompokan Islam, seperti Islam tradisional, Islam tradisional modern, sampai pada pembaruan Islam di Lombok.
Terkait dengan pembaruan
Islam dikaji bagaimana penegasan identitas Sasak dan aneka peranan yang dimainkan organisasi Islam modern dalam dinamika politik lokal dalam bidang pendidikan, sosial, dakwah, sampai memasuki ranah politik. Strategi kuasa tiga kekuatan elite, yaitu elite Sasak Islam, elite Sasak adat, dan elite Sasak modern mengenai cita-cita pembentukan identitas orang Sasak. Strategi elite Sasak Islam dengan mengemban misi dakwah melalui pendidikan formal, informal, seperti pondok pesantren, perayaan-perayan Islam, dan lain-lain, maka peran figur seorang “Tuan Guru” sebagai figur karismatik dan memiliki pengetahuan luas di bidang keagamaan sangat penting. Peranan Tuan Guru berhasil dengan baik menjembatani jurang antara dunia empirik dan dunia spritual, menggiring ke arah terbentuknya aksi dan kesadaran praktis di antara mereka untuk mencapai tujuan bersama.
Strategi elite Sasak adat sumber
legitimasinya menggunakan adat, politik, kebudayaaan, dan institusi, sedangkan strategi elite Sasak modern menggunakan budaya, adat, kesenian, agama, dan etnisitas sebagai sumber legitimasinya dalam upaya pembentukan identitas orang Sasak. Relevansinya dalam penelitian ini terutama pada analisis kualitatif interpretatif serta penggunaan teori yang sama, yaitu teori hegemoni Antonio Gramsci dan teori Diskursus Kuasa Michael Foucault.
Pada konteks kajian
5
adanya relevansi terhadap penguatan identitas orang Sasak yang memiliki catatan sama dengan orang Katobengke khususnya pengalaman sejarah yang sangat pahit selama berabad-abad sampai pada era reformasi ini. Di samping itu, juga mengalami gejolak sosial atau konflik yang berbasis subetnik, pembelajaran bagaimana proses hegemoni Bali terhadap Sasak yang dikaji secara holistik, dan kronologis pergulatan elite Sasak merupakan sebuah referensi utama. Hal itu senada dengan pernyataan Rudyansyah (2010), yaitu bagaimana pergulatan elite tradisional di Buton dengan menggunakan pendekatan keagamaan yang sangat kental pada era Kesultanan Buton dan prospek elite dalam upaya memperebutkan aset kekuasaan dan ekonomi pada era reformasi ini. Tulisan James Scott (1993) berjudul Perlawanan Kaum Tani.
Dalam
tulisan itu termuat kasus-kasus perlawanan kaum tani, yakni kasus revolusi hijau di kawasan irigasi muda di Kedah, Malaysia. Protes dan pelanggaran pemberontakan agraria dan tradisi kecil dan bentuk perlawanan sehari-hari buruh tani dan perlawanan tanpa protes. Kasus revolusi hijau yang mengkaji secara historis bagaimana ketidakadilan patron (petani kaya) terhadap klien (petani miskin) yang menyebabkan kerugian buruh tani. Sebaliknya, tindakan buruh tani dalam melakukan sebuah perlawanan merujuk ke dasar moral yang dilanggar oleh petani kaya. Hal tersebut terjadi akibat longgarnya ikatan patron klien. Buruh tani sebagai klien tidak mengenal cara lain selain melawan secara tak langsung, mengarah kepada penekanan yang menjurus kepada tindakan boikot dan pencurian padi yang baru dipanen, yang belum sempat diangkut ke rumah pemilik sawah, mirip perilaku gerilya.
Kasus tersebut dapat dijadikan sebagai bahan
6
komparasi dengan pembangunan pedesaan di Indonesia yaitu adanya suatu program bantuan perbaikan desa. Di dalam program ini dijumpai kasus prilaku pemimpin setempat (elite pertanian) yang dinilai kurang adil dalam membagi bantuan pada rumah tangga miskin. Tulisan Scott (1993) memiliki relevansi dengan penelitian yang peneliti lakukan saat ini, khususnya hegemoni kultur elite ekonomi dengan mata pencaharian yang sama sebagai petani. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari faktor budaya, politik, dan etnik itu sendiri. Perbedaannya adalah tindakan yang dilakukan kaum tani adalah perlawanan dengan kekerasan yang berorientasi pada hubungan patron klien, yang berkaitan dengan ketidakadilan penguasaan lahan pertanian oleh kelompok kaya (patron) terhadap kelompok petani miskin (klien). Bagi orang Katobengke hubungan patron klien dengan elite tradisional, hanya terjadi pada masa kesultanan,
sementara kini terjadi hubungan patron klien
sesama orang Katobengke, yaitu mereka menguasai sebagian besar lahan perkebunan di Kota Bau-Bau. Sebaliknya, perlawanan yang dilakukan oleh orang Katobengke terhadap elite berkaitan dengan pencitraan atau stigma sosial sebagaimana hasil penelitian Tasrifin (2010) mengeni pencitraan negatif yang dialamatkan atas diri mereka. Akan tetapi, dalam kajian ini pelabelan citra positif yang disematkan elite tradisional terhadap orang Katobengke sebagai pengasuh bayi bangsawan. Sutherland (1983) dalam bukunya berjudul Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi memfokuskan kajian pada elite birokrasi kerajaan pada masyarakat Jawa.
Bagian tulisannya menjelaskan arena perpolitikan Hindia Belanda
7
khususnya masyarakat Jawa pada awal abad ke- 20.
Selanjutnya juga dikaji
tentang bagaimana strategi adu domba kolonial Belanda berhadapan dengan kaum nasionalis dengan cara memperkuat pemimpin-pemimpin “tradisional” para priyayi yang setia untuk memperlemah gerakan nasionalis. Kesewenangwenangan penguasaan kolonial atas hak rakyat dan adanya kerja paksa atau rodi merupakan indikator kuat atas diskriminasi tersebut. Birokrasi di bentuk untuk melayani kepentingan kolonial dengan tujuan pokok membantu pemerintah kolonial melakukan ekstraksi kekayaan Indonesia.
Strategi yang dipilih oleh
pemerintah kolonial adalah menerapkan sistem indirect rule melalui kerja sama dengan penguasa-penguasa lokal, yaitu para raja atau elite lokal yang kemudian diangkat menjadi bupati.
Hal ini dilakukan agar tetap terjaga kelangsungan
kepatuhan rakyat dalam membayar pajak, upeti, dan menyedikan tenaga kerja secara gratis dengan memanfaatkan wibawa para bupati yang sering disebutnya sebagai eigen hoofden. Dengan demikian, tradisi penguasa patrimonial yang tidak mengenal pemisahan antara kepentingan pribadi dan jabatan. Di samping itu, berdasarkan tradisi para pemimpin Jawa memperoleh sumbangan pesta dan dianggap
sukarela
dan
kebiasaan
berangsur
menjadi
korupsi
karena
penyalahgunaan kekuasaan. Tulisan Sutherland (1983) memiliki relevansi dengan penelitian yang peneliti lakukan saat ini khususnya bahwa hegemoni kultur elite tidak dapat dipisahkan dari faktor budaya,
politik,
ekonomi, dan etnik itu sendiri.
Persamaan dengan elite Kesultanan Buton adalah perilaku budaya elite warisan kolonialime seperti sistem pembayaran pajak dan tenaga kerja secara gratis.
8
Lebih lanjut bahwa dalam silsilah raja-raja Buton secara geneologis berasal dari keturunan Raja Jawa. Menurut Vonk (1937: 20) yang dikutip Zuhdi (2010: 73) Raja Buton pertama bernama “Sibatara” yang merupakan cucu seorang Raja Majapahit (silsilah terlampir). Relevansi penelitian ini terletak pada praktik kepemimpinan yang dapat berpengaruh kuat khususnya segi karakater geneologis Jawa dan warisan kolonialisme di dalam kesewenang-wenangan memperlakukan rakyat. Perbedaannya, yaitu perlawanan yang terjadi di Jawa adalah perlawanan antarelite kerajaan.
Sutherland tidak mengkaji bagaimana perlawanan rakyat
terhadap hegemoni elite birokrasi.
Kepatuhan rakyat Jawa terhadap rajanya
adalah kepatuhan secara otomatis. Artinya, rakyat menganggap perintah raja adalah perintah dewa. Dengan kata lain ucapan raja merupakan sumber kebenaran. Berbeda dengan Sultan Buton. Jika sultan melanggar aturan adat, akan dihukum oleh dewan kerajaan dari kelompok siolimbona (walaka). Peristiwa terjadi pada Sultan Buton VIII Mardan Ali (1647--1654) yang ditenggelamkan di laut karena melanggar aturan adat yang ditetapkan “Syarana Wolio” (perangkat kerajaan) (Dirman, 2007: 201). Disertasi Tasrifin (2005) berjudul “Reproduksi Stereotip2 dan Resistensi Orang Katobengke dalam Struktur Masyarakat Buton”. Tasrifin memformulasi permasalahan penelitiannya tentang produksi dan reproduksi stereotip sebagai 2
. Konsep stereotip sebagaimana dikutip dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998) stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka subjektif dan tidak tepat. Sejalan dengan itu, Sindunata (1996) mengatakan bahwa stereotip adalah penilaian tidak seimbang terhadap satu kelompok masyarakat yang terjadi karena kecenderungan menggeneralisasi tanpa diferensiasi. Dyer (1977) menunjukkan perbedaan penting antara tipe dan stereotip. Tipe adalah klasifikasi yang bersifat umum dan penting terhadap orang dan peran menurut ketegori budaya setempat. Sterotip dianggap sebagai representasi gambling, tetapi sederhana yang mereduksi orang menjadi sekumpulan ciri yang berlebihan dan sering kali negatif (Barker, 2005: 274).
9
warisan budaya birokrasi Kesultanan Buton bertahan dalam ruang struktur sosialnya dan perlawanan orang Katobengke atas reproduksi stereotip tersebut. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perlawanan terhadap elite tradisional (kaomu dan walaka) sebagai reaksi atas bertahannya pandangan stereotip negatif yang dialamatkan kepada orang Katobengke. Persamaan kajian dengan yang peneliti lakukan, yaitu sama-sama membahas masalah perlawanan dalam ruang stratifikasi elite tradisional bahwa perlawanan orang Katobengke sebagai reaksi penolakan terhadap pandangan stereotip negatif, seperti Katobengke budak, bodoh, kaki lebar, kuat makan. Kemudian bentuk perlawanan melalui jalur pendidikan sebagai strategi penolakan terhadap label yang dialamatkan atas diri mereka, baik dalam ucapan maupun tindakan, dalam kehidupan sehari-hari dari elite tradisional. Perbedaannya adalah Tasrifin (2010) mengkaji elite kaomu dan walaka hanya melihat sisi negatif atau stereotip negatif, sementara fokus kajian yang penulis lakukan tidak saja pada aspek stereotip, tetapi lebih luas dan mendalam, yaitu pada aspek hegemoni elite berorientasi pada konteks konsensus, persuasif yang dilapisi kekerasan. Perbedaan pada disiplin ilmu dan penggunaan teori, bahwa disertasi Tasrifin mengkaji perlawanan orang Katobengke secara ilmu antropologis dengan pendekatan etnografi, sementara kajian yang penulis lakukan secara culture studies dengan teori hegemoni Gramsci, Praktik Sosial Bourdieu dan teori Diskursus Kuasa Foucault. Karena itu, persamaan faktor penyebab khususnya stereotip, mengakibatkan implikasi dan temuan penelitian akan menunjukan perbedaan signifikan. Fokus kajian yang penulis lakukan, tidak saja
10
pada aspek pelabelan negatif tetapi juga aspek positif yang disematkan elite tradisional. Dengan demikian, faktor stereotip dalam penelitian ini merupakan salah satu aspek dari hegemoni elite.
Fokus kajian Tasrifin mengarah kepada
kelompok elite kerajaan hingga kini yang memberikan label negativitas dalam kehidupan sehari-hari, yang umumnya mengarah ke tindakan elite yang sifatnya individual.
Sementara arah kajian penelitian ini, di samping tindakan elite
tradisional secara individu dalam kehidupan sehari-hari juga menyangkut kebijakan birokrasi yang masih di bawah kekuasaan elite tradisional. Kekuasaan elite secara historis sudah dilapisi habitus elite tradisional sendiri bahwa orang Katobengke sebagai kelompok termarginalkan. Kajian ini akan menggali secara kronologis strategi hegemoni elite tradisional mulai era orde baru hingga reformasi ini, baik secara persuasif maupun paksaan hingga kemudian pada era reformasi ini orang Katobengke mulai melakukan perlawanan. Selanjutnya kajian perlawanan orang Katobengke tidak terlepas dari pengaruh globalisasi yang berimplikasi pada perubahan gaya hidup mereka, pengaruh perubahan teknologi, serta media elektronik dan penguasaan sebagian besar areal pertanian oleh orang Katobengke di Kota Bau-Bau. Perlawanan orang Katobengke merupakan reaksi atas hegemoni elite yang melakukan tindakan secara persuasif, tetapi dilapisi paksaan, diskriminasi kekerasan simbolik dan fisik. Kajian tersebut adalah sebagai warisan kolonial dengan memperalat elite kesultanan hingga mewarisi elite tradisional yang menguasai panggung kepolitikan di Kota Baubau. Semua itu merupakan salah satu fokus dan penajaman kajian penulis dalam disertasi ini.
11
2.2 Konsep Konsep merupakan jantung permasalahan yang diteliti. Komponen yang berkaitan dengan masalah penelitian adalah masalah perlawanan, orang Katobengke, hegemoni, dan elite tradisional. Semua hal tersebut dijelaskan sebagai berikut.
2.2.1 Perlawanan Perlawanan atau resisten adalah tindakan yang ditujukan untuk melawan atau menguasai hubungan kekuasaan yang tidak setara, sebagai hal yang berbeda dari konsep otonomi relatif, yaitu pihak yang tak berdaya biasanya menyingkir atau menghindar dari realitas penindasan dan konsekuensinya.
Resistensi
didefinisikan sebagai sebuah budaya penentangan terhadap dominasi budaya resmi atau budaya elite. Strategi yang dipakai bersifat defensif dan subversif. Kadang kala resistensi (pertentangan) sehari-hari berubah menjadi perlawanan terbuka (Burke, 2001: 130). Menurut Horsby A.S (2000:1086) dalam “Oxford, Advanced Leaner’s Dictionary”. Resist: to Refuse, to accep something and Try to stop it from happening: to fligt back when attacked ; to use forse to stop something happening. Resistensi bermakna menentukan sesuatu melawan balik dan menghentikan sesuatu. Konsep ini berkaitan dengan unsur kemerdekaan, kebebasan di dalam sebuah kelas terhadap kelas yang lain.
Menurut Scott
(2005:305), perlawanan dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu perlawanan seharihari dan perlawanan sesungguhnya. Perlawanan sehari-hari (a) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat untung-untungan, pamrih, dan tidak
12
berakibat
revolusioner. Sebaliknya,
perlawanan sesungguhnya
(a) lebih
terorganisasi, sistematis, dan koperatif, (b) berprinsip tanpa pamrih, (c) mempunyai akibat revolusioner, dan (d) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar organisasi. Perlawanan rakyat terhadap kekuasaan bercikal bakal dari dominasi kekuasaan negara Eropa Barat terhadap negeri dunia ketiga ketika keadaan negara dunia ketiga masih merupakan kumpulan kelompok warga yang heterogen, multietnik, multirasial, multireligius, dan multilingual. Eksplanasi Yacob (1992: 38) menyatakan bahwa akibat kolonialisme yang membagi-bagi Asia dan Afrika sesuai dengan keinginan penjajah, maka banyak terjadi perang perbatasan yang kadang-kadang berupa perang saudara karena suatu suku terpecah oleh batasbatas yang artifisial. Perang saudara dapat bersifat rasial, etnik, bahasa, agama, politik, dan ekonomi karena terdesak oleh suku yang dominan. Gidens (2010: 382) menyatakan bahwa negara pertanian memiliki asal usul dari perang, rancangan irigasi, akumulasi produksi berlebih yang cepat, dan lain-lain. Bourdieu ( Mutahir,2011: 28)
menyusun sebuah gerakan untuk melawan dominasi.
Dalam kariernya ia bergerak melawan ketidakadilan, membela kaum tunawisma, pensiunan, kaum buruh, dan aktivis anti rasial serta kaum migran. Bourdieu mendukung intelektual Brazil, yaitu negara bekas jajahan Perancis yang menjadi korban sasaran kekerasan kaum militan. Perlawanan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sejauh mana pernyataan-pernyataan perlawanan orang Katobengke terhadap dominasi budaya elite tradisional, baik elite yang berpendidikan tinggi maupun tidak, kaya maupun
13
miskin, yang semuanya menstigma identitas mereka sebagai terbelakang. Kemudian, dalam internal Katobengke terdapat indikasi perlawanan terhadap elite agama Islam murni yang masuk ke lingkungan Katobengke termasuk orang Katobengke yang menjadi elite Islam murni, yang berpendidikan, dan pengetahuan keagamaan yang tinggi.
Bentuk perlawanan dengan tokoh
masyarakat Katobengke sendiri yang mempertahankan ideologi yang bersumber dari sejarah mitos identitas yang dijadikan sebagai kitab suci. Para tokoh adat yang mendoktrinkan kebenaran ritual berhadapan dengan elite agama yang memiliki pendidikan tinggi, berpengetahuan kegamaaan secara murni, yang menyatakan menolak ritual yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Dengan demikian, penelitian ini dapat menjelaskan kronologis dan holistik, bentuk, faktor penyebab, dan implikasinya orang Katobengke melakukan sebuah perlawanan, baik terhadap elite tradisional maupun dari pihak sesama Katobengke sendiri.
2.2.2 Orang Katobengke Orang Katobengke adalah salah satu subetnik Buton dengan kosentrasi permukiman di pusat Kota Baubau. Asal usulnya menurut cerita yang tersimpan di alam pikiran tokoh adat Buton, baik kalangan orang tua maupun pemuda yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah, orang Katobengke berasal atau migran dari kampung Laboora. Laboora adalah subetnik Muna atau Kabupaten Muna yang wilayahnya berbatasan dengan Kabupaten Buton dan Kota Baubau. Sementara itu, orang Muna sendiri menyatakan bahwa orang Laboora merupakan salah satu subetnik Muna yang tergolong strata paling bawah atau golongan
14
budak. Bagi orang Katobengke sendiri, tokoh adat berpendidikan rendah, yang berpendidikan tinggi, Islam murni menolak pernyataan elite tradisional tersebut dan mereka menyatakan diri berasal dari Johor Malaysia (Ruslan, 2005; Tasrifin, 2010) Ciri identitas budaya orang Katobengke adalah keunikan ritualnya, seperti “upacara pingitan dan upacara maiana bara” (datangnya musim barat) yang dipimpin oleh seorang tokoh adat yang disebut “parabela”3. Beberapa identitas budaya lainnya berubah atau musnah khususnya teknologi pembuatan gerabah. Gagalnya pewarisan keterampilan tersebut bersamaan hilangnya identitas fisiknya, seperti kebiasaan memanjangkan daun telinga, makan siri.
Khusus
pakaian khas orang Katobengke yang disebut bidha dan kabaleko yang bermotif dasar warna krem yang dirajut dengan potongan kain warna warni berdiameter sekitar 20 cm ” yang kemudian sejak orde baru pada tahun 1970 pemerintah Kabupaten Buton mengeluarkan kebijakan melarang mengenakan pakaian tersebut.
2.2.3 Hegemoni Kamus Sage Dictionary of Culture Studies
mendefinisikan hegemoni
sebagai Control by one country, organization, etc over other countries, etc whithin a particular group; the country’s continuing desire for political and military (Wehmeier, 2000: 604).
Titik awal konsep Gramsci (2001) tentang
hegemoni bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap 3
Disertasi Ruslan Rahman (2005) berjudul “Parabela di Buton: Suatu Analisis Antropologi Politik”. Salah satu kajiannya tentang Parabela Katobengke membicarakan bagaimana kedudukan dan perannya sebagai pemersatu, sebagai elite, model kepemimpinannya, dan sebab-sebab turunnya parabela.
15
kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasif.
Gramsci
menjelaskan bahwa hegemoni sebuah kelas politik mengandung pengertian bahwa kelas tersebut berhasil membujuk kelas lain dalam masyarakat untuk menerima, baik nilai moral, politik, maupun kulturalnya. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Lebih lanjut Gramsci menyatakan kelompok-kelompok yang kalah dan terpinggirkan dalam kekuasaan yang dalam bahasa menjadi subjek hegemoni kelas yang berkuasa, seperti petani, buruh, dan kelompok-kelompok yang lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan “hegemonik”. Konsep hegemoni Gramsci menentang determinisme ekonomi dan lebih pada saling menguntungkan antara para pemimpin dan massa untuk tidak bersifat kediktatoran. Hegemoni yang dikembangkan Gramsci (Bocock, 2007: 17) berarti untuk sebagian, yaitu orang-orang dari kelas-kelas yang tidak mengeksploitasi hendaknya memberikan persetujuan masyarakat. Berdasarkan konsep hegemoni tersebut diketahui bahwa sejauh mana elite tradisional, baik yang bependidikan maupun elite yang tidak berpendidikan, menjalankan kekuasaan hegemoniknya menggiring orang Katobengke untuk menerima nilai-nilai, moral, dan politik elite tradisional, baik secara persuasif maupun kekerasan fisik. Sebaliknya, bagi orang Katobengke bagaimana strategi-strategi digunakan dalam melakukan perlawanan, baik dalam kapasitasnya sebagai kelas bawah (ascribed status), dalam struktur tradisional, maupun dalam hasil perjuangan (achieved status) mencermati atau menolak nilai-nilai, moral, dan politik elite tradisional. Hal itu dimulai pada era
16
orde baru hingga orde reformasi. Di samping itu, bagaimana bentuk-bentuk persetujuan dan penerimaan atau perlawanan mereka terhadap praktik hegemoni elite tradisional, baik secara persuasif maupun kekerasan fisik.
2.2.4 Elite “Tradisional” Soekanto (1974) membatasi pengertian elite sebagai kelompok orang-orang dalam situasi sosial tertentu memasuki posisi tertinggi, dianggap mempunyai kekuasaan besar, dan hak-hak istimewa kadang-kadang diartikan sebagai golongan aristokrat yang berkuasa karena faktor keturunan. Kajian tentang elite, ada dua prespektif penting yang dapat dirujuk, yaitu prespektif pluralis dan prespektif Marxian. Menurut Las Awell dan Dahl (1968), elite diidentifikasikan sebagai kelompok kecil orang yang memiliki dan mendapatkan lebih dariapa yang dimiliki dan didapatkan oleh kebanyakan orang. Mannheim (1946:215) dalam bukunya “ Man and Society in an Age Reconstruction membedakan elite integratif yang terdiri atas pemimpin politik dan organisasi serta elite sublimatif yang terdiri atas pemimpin moral keagamaan, seni, dan intelektual. Penelitian Kappi (Alfian, ed.,1988:70--89) pada masyarakat Aceh mengklasifikasikan kedudukan kelompok elite, yaitu (1) elite pedesaan /kelurahan adalah kelompok elite pada masa kerajaan, kelompok elite agama (karena peranannya dalam bidang agama), dan kelompok elite karena jabatannya dalam perangkat birokrasi kekuasaan; (2) elite bangsawan menggambarkan sekelompok manusia yang memiliki posisi dan fungsi dalam masyarakat pada masa lampau, status kebangsawanan diperoleh karena dibebankan (ascribed status) atau status
17
natural (alamiah); (3) elite birokrasi adalah kelompok karena jabatannya melaksanakan tugas-tugas admistrasi pemerintahan; (4) elite agama karena pengaruh agama tampak dan segala aktivitas sosial kemasyarakatan yang sebenarnya menjadi lapangan adat yang bukan bagian dari ajaran agama selalu dihubungkan dengan aktivitas keagamaan; (5) elite agama dan politik dimaksudkan di samping karisma4 di bidang keagamaan juga sebagai politisi; (6) elite cendekiawan, yaitu bahwa pada masa lalu peranan cendekiawan dimainkan oleh tokoh-tokoh yang memiliki pengetahuan luas dalam bidang agama yang disebut ulama. Mereka adalah pemikir-pemikir utama dalam masalah-masalah agama, kebudayaan, dan tradisi; (7) elite ekonomi bahwa sektor ekonomi tradisional masih sangat penting dalam kehidupan masyarakat mengingat sebagian besar masyarakatnya terdiri atas petani dengan tingkat kemampuan petani masih rendah. Menurut OALD (2011) konsep tradisional, yaitu traditional is being part like belief, customs or way of life of particular Group of people, that have not changed for along time following order methods and edeas rather than modern of different ones. Tradisional diartikan sebuah kepercayaan adat istiadat kelompok tertentu yang tidak bisa berubah sepanjang waktu dengan mempertahankan caracara lain yang berbeda dengan cara-cara modern.
4
Weber (Kartodirjo, 1984:19) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kepemimpinan karismatik adalah kepemimpinan yang terjadi karena seorang pemimpin tampak memiliki kewibawaan (karisma) yang diketahui oleh kelompok pergaulannya.
18
Konsep elite tradisional mengandung pengertian sekelompok orang yang berada pada posisi tinggi karena faktor keturunan yang mempertahankan kepercayaan, yang terkandung di dalam adat istiadat dan berbeda dengan caracara modern. Untuk membedakan elite karena faktor keturunan dan elite yang diperoleh dengan cara-cara modern, dapat diikuti konsep Weber (1978) yang menggunakan konsep status. Status didefinisikan oleh Weber sebagai kelompok yang anggotanya mempunyai gaya hidup tertentu dan mempunyai tingkat penghargaan sosial tertentu yang dikelompokkannya menjadi dua bagian. Pertama, ascribed status menunjuk pada satu komunitas, suatu kelompok masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) dan perasaan identitas kelompok yang sama dan bersifat berbeda dengan kelompok status yang lain. Kelompok elite tradisional, kelompok agama, atau organisasi-organisasi sosial yang ada dalam masyarakat merupakan wujud dari kelompok status tersebut. Kedua, achieved status adalah sebuah asosiasi politik, yang anggotanya melakukan atau mempunyai kekuatan sosial tertentu atau menunjuk pada perjuangan, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, maupun politik. Kedua klasifikasi elite tersebut bisa status kebangsawanan sebagai elite tradisional, tetapi juga memiliki atau tidak memiliki kekayaan, pendidikan, dan pekerjaan. Elite tradisional yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah elite bangsawan terdiri atas kaomu dan walaka yang memiliki posisi dan fungsi dalam masyarakat pada masa Kesultanan Buton.
Status kebangsawanan diperoleh
karena dibebankan (ascribed status) atau status natural (alamiah) dan biasanya memiliki kemampuan di bidang adat keagamaan yang dalam bahasa Wolio
19
disebut kamiya.
Dalam konteks kajian hegemoni elite tradisional tidak
dipengaruhi oleh
keelitan tradisional mereka ketika memasuki ruang, baik
sebagai elite agama, pendidikan, ekonomi, maupun kepolitikan. Dalam kaitan penelitian ini, perbedaan antara elite tradisional yang tidak memiliki dan yang memiliki kekayaan, pendidikan, dan kekusaan adalah soal strategi dan etika tersembunyi. Perbedaan secara ascribed status (kamiya) tampak menonjol pada pelaksanaan adat perkawinan utamanya menyangkut jumlah mahar, yang tidak mempertimbangkan tingkat pendidikan, ekonomi, dan politik. Sementara itu, elite Katobengke modern berjuang untuk melawan status yang dibebankan kepada diri mereka sebagai budak. Perjuangan (achieved status) itu dilakukan melalui peran mitos asal usul identitas, kepahlawanan, dan kesaktian untuk menetralisasi ketakutan mereka terhadap elite tradisional. Berdasarkan acribed status yang dibebankan atas diri mereka, kemudian mereka berjuang menyejajarkan diri melalui achieved status atau memasuki ruang strata modern dengan menggunakan alat perlawanan sesuai kapasitas tingkat pendidikan, agamis, pemilik modal, politik dan kekuasaan, baik secara kolektif terorganisasi maupun perorangan yang tidak terorganisasi. Konsep perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional, yaitu sejauh mana perlawanan terhadap tindakan elite tradisional yang menjalankan kekuasaan hegemoniknya terhadap orang Katobengke sebagai kelompok subordinat. Keekuasaan hegemoni itu terjadi mulai era Kesultanan dan kolonialisme, orde lama memasuki orde baru hingga orde reformasi ini.
20
Kemudian dalam perkembangannya elite tradisional menghadapi perlawanan elite Katobengke modern yang berada dalam ruang dominasi kepolitikan elite tradisional di Kota Baubau yang berimplikasi pula terhadap identitas mereka sendiri.
2.3 Landasan Teori Ada tiga teori yang digunakan sebagai landasan untuk mengkaji perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional, yakni (1) teori hegemoni Gramsci, (2) teori praktik sosial Bourdieu, dan (3) teori diskursus kuasa Foucault. Ketiga teori tersebut berkorelasi satu sama lain dan substansi ketiga teori tersebut berangkat dari persoalan ideologi dan kekuasaan. Perbedaannya, hegemoni Gramsci menekankan pada aspek kekuasaan hegemonik, teori diskursus Foucault menekankan pada kekuasaan menormalisasi dan pendisiplinan sedangkan Bourdieu menekankan kekuasaan pada aspek kekerasan simbolik dan perlawanan terhadap dominasi. Teori hegemoni digunakan untuk mengkaji bagaimana strategi perjuangan orang Katobengke atau kontra hegemoni melawan kekuatan hegemoni elite.
Teori diskursus Foucault mengetengahkan relasi
kekuasaan yang menormalisasi dan pengetahuan. Di pihak lain teori praktik sosial Bourdieu mencanangkan
praktik perlawanan simbolik melawan kekerasan
simbolik elite tradisional. Bourdieu menggunakan konsep habitus bahwa produk historis dibentuk melalui sosialisasi dan bentuk-bentuk tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman tentang ideologi, baik dilakukan oleh Foucault maupun Bourdieu, menunjukan kemiripan antara pembentukan diskursus dan
21
doxa sebagai istilah lain dari ideologi untuk menggali secara kronologis
Ketiga teori besar tersebut digunakan
pernyataan-pernyataan tersembunyi orang
Katobengke, yang tidak disadari, tetapi membentuk perilakunya. Sebagaimana pernyataan-pernyataan mereka atas kekuasaan hegemonik elite tradisional sejak era kesultanan yang tereproduksi, tersosialisasi, dan terinternalisasi pada semua level relasi sosial hingga kini di Kota Baubau. Berbagai pernyataan dan tindakan orang Katobengke terhadap kebenaran elite tradisional tentang hubungan sosial, ekonomi dalam keluarga dan perkawinan, sekolah dan kelompok kerja, kesehatan, disiplin, dan lain lain. Bagaimana sistem pengetahuan itu diwariskan dan terinternalisasi dalam praktik kehidupan sehari-hari orang Katobengke. Potret aktivitas upacara lingkaran hidup dan perkawinan yang memberikan gambaran relasi hubungan kekuasaan dan pengetahuan. Makna atas simbol-simbol dominasi elite tradisional atau kontra hegemoni yang dimainkan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional di Kota Baubau. Untuk selanjutnya secara terperinci ketiga teori tersebut dapat disajikan sebagai berikut.
2.3.1 Teori Hegemoni Praktik hegemoni bercikal bakal dari persoalan “dunia Barat dan dunia Timur”. “Barat” diterjemahkan oleh para ilmuwan sebagai orang Eropa Barat berpartisipasi di “Timur”. Para ilmuwan “Barat” itu, antara lain para ahli bahasa, penyiar agama Nasrani, ahli etnologi, dan pemerintah pegawai jajahan yang melakukan ekspedisi di daerah jajahan. Kerja lapangan para ilmwuan tersebut
22
dilandasi gaya berpikir dan menilai bahwa masyarakat yang berada di luar Eropa khususnya daerah jajahan di Asia dan Afrika adalah primitif, savages. (Koentjaraningrat 1980). Teori hegemoni Gramsci (1971) menempatkan ide-ide Marx untuk mengembangkan
kerangka
berpikirnya.
Marxisme-Leninisme
mempunyai
kecenderungan bahwa kekuasaan terpusat dalam negara dan strategi revolusioner merebut kekuasaan, kemudian baru pembangunan dimulai. Gramsci dalam Roger (2004: 30) menyatakan bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai sebuah hubungan, yaitu hubungan sosial dalam masyarakat sipil. Di samping itu, juga merupakan hubungan kekuasaan bisa merata ke seluruh masyarakat sipil, bukan hanya terwujud dalam aparat negara. Menurut Gramsci (2001: 21), hegemoni adalah suatu organisasi konsensus. Artinya, hegemoni terjadi bila cara berpikir kelompok tertindas menerima cara berpikir kelompok dominan, yang dilakukan melalui wacana. Hegemoni dimaknakan juga sebagai salah satu aspek kontrol sosial yang muncul dari konflik sosial, yang dilakukan oleh kelompok sosial yang dominan melalui kekuatan langsung atau ancaman kekuatan (pengendalian koersif) atau dengan secara sengaja, sukarela (pengendalian konsensual), mengasimilasikan pandangan atau hegemoni kelompok dominan yang memungkinkan kelompok itu untuk bersikap hegemonik terhadap kelompok subordinat.
Kelompok subordinat
menerima gagasan, nilai kepemimpinan bukan secara fisik atau mental, mereka dibujuk, diindoktrinasi secara ideologis, perintah fungsional kapitalisme untuk melakukannya. Akan tetapi, merupakan sekumpulan gagasan konsensual atas
23
dasar konsesi yang dibuat kelompok dominan terhadap kelompok subordinat. Gramsci lebih fokus pada penekanan konsensus daripada kekuatan dan dominasi sebagai batu sendi tatanan sosial (Sugiono, 2006: 39).
Pernyataan Gramsci
tentang konsep hegemoni bahwa suatu kelas5 penguasa menggunakan cara kekerasan dan persuasif terhadap kelas di bawahnya. Konsep kelas di atas mengikuti konsep Weber (1978) tentang "Class, Status, dan Party". Konsep class, yakni adanya kelas pekerja di satu pihak dan pemilik modal di pihak lain. Namun, bagi Weber, kelas tidak hanya dalam pasar kerja, tetapi lebih luas daripada itu. Kelas juga berupa profesi dan pekerjaan yang kemudian menciptakan kelompok-kelompok kepentingan ekonomi yang berbeda. Kelas merupakan stratifikasi sosial sesuai dengan prinsip yang dianut masyarakat yang bersangkutan dalam mengonsumsi harta benda sebagaimana yang dicerminkan oleh gaya hidup khusus. Kelas dibedakan berdasarkan posisi dalam tatanan ekonomi atau perbedaan posisi dalam penguasaan alat-alat produksi. Weber (dalam Sanderson, 2011: 284) setuju dengan Marx bahwa konsep kelas merupakan hal yang sentral dalam menganalisis stratifikasi masyarakat kapitalis modern, kelas yang tidak punya harus bekerja pada para kapitalis untuk mempertahankan hidup. Kapitalisme telah banyak berubah sejak zaman Marx, yaitu berkembangnya kelas-kelas yang terletak di antara kelas borjuasi tradisional dan kelas proletariat tradisional, suatu kelas yang sulit diidentifikasi dan dikategorikan. Kelas-kelas saat ini tidak saja berhubungan langsung dengan 5
Istilah kelas menurut Dahrendorf ( 1986: 27) pertama kali diperkenalkan oleh penguasa Romawi dalam konteks penggolongan pembayar pajak. Masyarakat Romawi membagi dua golongan, yaitu gologan kaya (assidui) dan miskin (proletariat). Pada abad ke-18 istilah kelas digunakan oleh ilmuwan Eropa dengan memberikan pengertian yang sama antara status dan kedudukan. Pada abad ke-19 istilah kelas mulai digunakan konteks kesenjangan sosial yang berakar pada kondisi ekonomi.
24
pemilikan modal, tetapi juga berkaitan dalam hal dominasi dan kekuasaan. Oleh karena itulah, seseorang mampu mengarahkan aktivitas dalam proses kerja (Parkin, 1979). Lebih lanjut menurut Weber (1978), ada duta tipe kelompok stratifikasi lain, yaitu status dan party.
Kelompok status, sebagai kelompok yang
anggotanya mempunyai gaya hidup tertentu dan mempunyai tingkat penghargaan sosial tertentu. Di pihak lain party, merupakan perkumpulan sosial yang berorientasi pada penggunaan kekuasaan sosial yang berpengaruh kepada masyarakat.
Weber juga menggunakan konsep lain untuk menganalisis
stratifikasi sosial yang sama pentingnya dengan konsep kelas, status, partai, yaitu konsep batas sosial. Konsep batas sosial untuk menunjukkan kecenderungan kuat kelompok sosial tertentu mencapai kriteria sebagai tanda perbedaan, sebagai alat memisahkan diri dengan kelompok lainnya. Yang termasuk kriteria ini adalah jenis kelamin, ras, latar belakang kultural, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Anggota kelompok ini mencoba memonopoli sumber daya sehingga mendapatkan harga diri dan ekonomi yang mapan. Konsep batas sosial Weber merupakan tambahan terhadap analisis Marx tentang stratifikasi sosial modern dan pemilikan modal sebagai salah satu konsep batas sosial.
Anggota kelas kapitalistik
menggunakan modal besar sebagai alat untuk menciptakan dan memelihara prestise dan hak istimewa yang tinggi. Konteks hegemoni ideologi elite mengacu pada ideologi dominan karya Marx dan Angels (1963) dalam “The Germany ideology”. Marx dan Angel menyatakan bahwa argumen yang paling mendasar di sebagian besar masyarakat
25
berkelas terdapat seperangkat keyakinan yang mendarah daging dan secara luas melayani kepentingan kelas dominan.
Agama sering disebut sebagai salah satu
contoh ideologi dominan pada zaman feodal.
Ada dua prinsip teori teokrasi,
yaitu, raja adalah tuan tanah seperti tuan tanah lainnya, raja mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat dan tidak dapat dipersalahkan di hadapan komunitasnya. Prinsip kedua berasal dari teori sakramental bahwa raja berada di atas masyarakat dan bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Analisis Marx (1963) dikembangkan oleh Gramsci dalam teorinya tentang “hegemoni ideologi” dalam masyarakat kapitalistik dalam kerangka pemahaman tentang kekuasaan hegemoni. Gould menyatakan bahwa masyarakat bertipe agraris besar kemungkinan mengembangkan stratifikasi sosial menyerupai “sistem kasta6.” Hegemoni selalu berada dalam keadaan berubah. Hal ini berarti perjuangan terus-menerus terhadap nilai-nilai atau ideologi-ideologi yang sudah disepakati elite yang berkuasa, yaitu berupaya memenangkan hegemoni. Sementara kelas yang dikuasai berusaha bertahan melalui kontra hegemoni. Dengan menciptakan dan menyebarluaskan suatu cakrawala wacana dengan menentukan standar apa yang benar, indah, bermoral, asli, mereka membangun suatu iklim simbolik yang mencegah kelas-kelas bawah untuk berpendapat bahwa jalan mereka bebas.
6
Istilah kasta berkenaan dengan bentuk kaku dari stratifikasi yang ditandai strata sosial endogenus dalam perkawinan. Hasan Sadely menyebut sistem kasta sebagai model struktur kelas tertutup ketat. Pada masyarakat berkasta yang struktur kelasnya bersifat tertutup hampir tidak ada gerak sosial yang vertikal karena kedudukan seseorang telah ditentukan sejak lahir. Di India terdapat lima kasta yang menentukan struktur masyarakat India, yakni brahmana atau rohaniwan; kesatria atau pemimpin politik, pemerintahan, dan pahlawan; waisya atau pekerja dan pedagang; Sudra, yaitu pelayan buruh dan petani; Haryana atau indvidu yang hina dan najis (Dwipayana, 2001:45--64).
26
Bagi Gramsci, dalam kenyataannya kaum proleter (tani) itu lebih diperbudak pada tingkat gagasan daripada tingkat perilaku. Oleh karena itu tugas sejarah “partai” tidak memimpin sebuah revolusi akan tetapi menghancurkan udara kotor simbolik yang telah menghalangi pemikiran revolusioner. Sebuah penafsiran untuk menjelaskan sikap menerima kelas bawah, terutama di pedesaan seperti di India suatu sistem kasta yang ketat yang amat dihormati diperkuat pula oleh ajaran-ajaran agama. Kasta rendahan dikatakan menerima nasib mereka dalam hierarkis agama Hindu itu dengan pengharapan untuk memperoleh ganjaran dalam kehidupan berikutnya. Suatu penafsiran alternatif tentang sikap menerima seperti itu mungkin dapat dijelaskan hubungan kekuasaan di daerah pedesaan, bukan dengan nilai kepercayaan petani. Menurut pandangan ini, perdamaian agraris lebih banyak berupa perdamaian penindasan, bukan merupakan perdamaian atas dasar persetujuan atau kepatuhan. Daniel Bell (Dwipayana, 2001: 41--46) menyatakan bahwa hegemoni budaya terbentuk apabila terma budaya kelompok dominan telah menjadi acuan nilai-nilai kebudayaan yang mapan dalam masyarakat secara keseluruhan. Mecher memperlihatkan bagaimana kelas penguasa di India, tuan tanah didukung kaum rohaniwan yang berkasta tinggi merugikan kelas buruh tani yang berkasta rendah, terutama kasta Haryan yang tergolong hina menderita kerugian utama eksploitasi ekonomi dan identitas yang hina. Walaupun ada sistem hukum yang melawan semua praktik ini, kasta lebih tinggi menggunakan sanksi ekonomi kepada mereka yang melanggar aturan tradisional kasta.
27
Proses hegemoni (dan kontra hegemoni) menurut Gramsci, selalu mengambil tempat dalam masyarakat melalui lembaga–lembaga sosial yang ada, seperti sekolah, gereja, parpol, birokrasi dan melalui produksi-produksi simbolik, seperti kebudayaan, nilai-nilai, sistem-sistem kepercayaan, dan sebagainya (Hikam, 1996: 59). Teori hegemoni Gramsci menyatakan agar yang terhegemoni patuh terhadap penghegemoni, maka yang terhegemoni hendaknya mampu menginternalisasikan nilai-nilai penghegemoni di samping harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka (Wibowo, 2007). Terkait dengan perubahan sosial, Gramsci membenarkan gagasan Marx bahwa perubahan sosial tergantung kaum proleter. Perbedaan pada aspek pendekatan tidak terjadi secara otomatis. Di pihak lain perkembangan ekonomi dimantapkan secara saksama melalui pendidikan dengan sosialisasi tandingan (Jones, 2009: 101). Dominasi ideologis, politis, ekonomi, komunikasi dilakukan oleh seseorang, kelompok, bahkan negara.
Menurut Michael Van Langenberg,
hegemoni dimungkinkan terjadi lewat proses regimentasi yang meluas sampai ke alam bawah sadar masyarakat (Gramsci, 1990: 11).
Hegemoni dipandang
sebagai pendekatan teoretis penting (the key theoritical approach) dalam kajian budaya (Cultural Studies). Analisisnya ditekankan pada hubungan power dan practice,
Menurut Gramsci, ideologilah yang memajukan perkembangan
kekuatan-kekuatan produktif. Sementara ideologi tampil sebagai a unifying force, hegemoni merujuk pada kedudukan ideologis atau lebih tinggi dari yang lainnya (Gramsci, 1990:169).
28
Melalui media massa yang semakin lama berkembang semakin cepat menjadi salah satu kunci penting dalam kaitan penanaman ideologi gender yang ada di masyarakat dan penyatuan pikiran (hegemoni) yang dilakukan pihak-pihak tertentu yang bertujuan maximizing provit. Hegemonitas budaya yang dimaksud di sini adalah bagaimana teks-teks yang muncul diolah sedemikian rupa, dari teks yang seharusnya terkesan buruk menjadi suatu format yang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh media yang selalu ‘menindas’ masyarakat, baik dengan berbagai macam isu maupun informasi-informasi yang dianggap penting oleh suatu media. Oleh karena itu, khalayak secara tidak sadar telah ‘tertindas’ oleh kaum-kaum penguasa itu sendiri. Fenomena dampak perubahan tersebut tercermin dalam masyarakat kita dewasa ini yang sedang mengalami transisi simultan, yaitu budaya agraristradisional menuju industri modern. Peran mitos diambil logos; etnis kedaerahan menuju budaya nasional kebangsaaan; transisi budaya nasional kebangsaan menuju budaya global mondial, seperti hak asasi, keadilan, kebebasan, juga masalah lingkungan dilepaskan dalam ikatan fanatisme primordial menuju kesadaran mondial. Implikasi globalisasi menjadi semakin kompleks karena di sisi lain masyarakat hidup dalam standar ganda. Di satu pihak beberapa orang mempertahankan nilai budaya lama yang dimprovisasikan untuk melayani perkembangan baru yang kemudian disebut sebagai lahirnya budaya sandingan (sub culture). Sebaliknya, sedang di pihak lain muncul tindakan-tindakan yang bersifat melawan perubahan yang dirasakan sebagai penyebab nestapa dari mereka yang merasa dipinggirkan, tergeser, dan tergusur dari tempat ke tempat,
29
dari waktu ke waktu. Mereka merasa tidak terlayani oleh masyarakatnya yang disebut sebagai budaya tandingan (counter- culture) . Beberapa realitas kontemporer di Indonesia yang diformulasi, baik oleh para teoretisi maupun praktisi menyatakan bahwa hegemoni elite birokrasi terhadap rakyat merupakan duplikasi kolonial, sebagaimana terbentuknya sebuah elite birokrasi kerajaan di Jawa (Sutherland, 1983: 73).
Thoha (2010: 2)
menyatakan bahwa birokrasi pemerintah sering kali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat, yaitu proses komunikasinya didasarkan pada dokumen tertulis, itulah kerajaan birokrasi yang rajanya para pejabat.
Demikian pula,
Abdullah (2010: 66) menyatakan bahwa sudah menjadi rahasia umum sejak zaman orde baru bahwa etnis mayoritas mendapatkan privelese-privelese dalam berbagai bentuk, sedangkan etnis yang tidak memiliki back–up mengalami marginalisasi7. Hal itu senada dengan pernyataan Kumbara (2010: 23) bahwa kebijakan represif pemerintahan orde baru atas nama pembangunan bangsa yang membungkam berbagai gejolak sosial dan isu-isu sensitif yang disebut sebagai SARA” telah menimbulkan dampak negatif bagi harmonisasi hubungan sosial dalam masyarakat. Penelitian I Gede Mudana (2005:426--431) terhadap pembangunan Bali Nirwana Resort di kawasan Tanah Lot, memfokuskan bagaimana proses berlangsungnya hegemoni pemerintah orde baru dan perlawanan masyarakat 7
Marginalisasi mengacu kepada kelompok pelacur di Rio de Jeneiro. Pada tahun 1986 para pelacur di Rio de Jeneiro membentuk suatu jaringan untuk menciptkan ruang di mana mereka bisa saling mengutarakan pengalamannya. Konferensi Pelacur Nasional pertama lahir di jaringan itu dan diselenggarakan tahun 1987. Jaringan itu hanya salah satu aspek kerja; organisasi pendukungnya, ISER ( Instituto de Estudos da Religiao; Institut Kajian Agama) telah membangun sejumlah proyek lain, yang bertujuan mengkaji isu khusus pelacuran guna melihat kehidupan pelacur yang hidup “di luar” masyarakat utama, di bawah naungan “harga diri kelompok yang “termarginalkan” (Cleves Mosse, 1996: 96).
30
dalam pembangunan Bali Nirwana Resort sebagai persoalan kompleks antara pemerintah, pengusaha, masyarakat, lingkungan, adat, dan agama di kawasan tanah Lot. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya dominasi kekuasan negara sangat besar, sementara pemerintah tidak mengindahkan peran masyarakatnya yang memiliki kekuatan falsafah “trihita karana” yang mengakar dalam ekosistem masyarakat adat dan agama di Bali sebagai komponen utama dalam pembangunan tersebut. Dominasi kekuasaan pemerintah orde baru mengakibatkan persoalan sosiologis, macetnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat yang berimplikasi pada ketidakseimbangan pengembangan pariwisata. Teori hegemoni digunakan untuk mengkaji proses dan bentuk perlawanan atau kontra hegemoni orang Katobengke terhadap elite tradisional, baik perlawanan pasif maupun perlawanan simbolik melalui mitos-mitos, ritual, dan peran kepemimpinan tradisional orang Katobengke hingga perlawanan secara manifes. Sejauh mana fungsi stratifikasi sosial dan kekuatan pengaruh globalisasi atas kekuasaan hegemoni kaomu dan walaka yang tereproduksi terhadap strata papara budak yang dilabelkan pada orang Katobengke. Bagaimana kekuatan mitos, falsafah mampu menciptakan kepatuhan, melawan perasaan keterpinggiran terhadap hegemoni elite, baik secara historis era Kesultanan Buton maupun kekinian. Peristiwa–peristiwa sosial ekonomi yang terjadi dapat menyebabkan berubah, pudarnya atau hilang, dan munculnya identitas baru orang Katobengke.
2.3.2. Teori Praktik Sosial
31
Gagasan Bourdieu yang mengeksplanasi konteks reproduksi relasi sosial dan kekuasaan dianalogikan sebagai permainan dalam perjuangan kepentingan, status, dan kelas.
Bourdieu merumuskan praktik sosial melalui
(Habitus x
Modal) + ranah yang dijelaskan sebagai berikut. Habitus merupakan struktur mental atau kognitif (Harker dkk., 2009:13) yang digunakan aktor sosial untuk beradaptasi dalam menghadapi kehidupan sosial. Habitus sebagai skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda dalam realitas sosial. Dalam perjalanan hidupnya manusia memiliki skema yang terinternalisasi melalui skema untuk mempersepsikan, memahami dan menghargai realitas sosial. Berbagai skema, baik buruk, sehat, maupun sakit, bekerja, tidak bekerja. Skema tersebut membentuk struktur kognitif yang memberikan kerangka acuan pada tindakan individu dalam aktivitas sehari-hari. Skema sakit merupakan kondisi fisik yang yang tidak menyenangkan, sehingga tindakan manusia diarahkan untuk menghindarinya. Habitus dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural karena habitus bukanlah ide bawaan, habitus adalah produk sejarah, sebagai hasil pemberdayaan melalui pengasuhan anak. Habitus merupakan produk historis menciptakan tindakan individu dan kolektif sebagai pengalaman hidup dan mempunyai fungsi tertentu dalam kehidupan sosial di mana kebiasaan itu terjadi. Menurut Bourdieu dalam Chaney (1996:41), habitus dapat berubah (1) ia bersifat normatif dan memberikan panduan berupa prinsip atau strategi sehingga aktor dapat menggunakannya sesuai dengan kehidupan sosial yang umumnya bekerja sebagai tata krama dan gesture (sikap tubuh); (2) habitus merupakan
32
perjuangan atau strategi untuk merebut posisi atau “kelas” dalam kehidupan sosial dan berkaitan dengan gaya hidup sebagai karakteristik kelompok dan sangat tergantung dengan bentuk-bentuk kultural yang memberikan prinsip hidup tersebut; (3) habitus menjadi praktik serta sikap yang masuk akal pada waktu dan konteks tertentu; (4) habitus dibentuk melalui sosialisasi dan menanamkan berbagai prinsip untuk mengatur kemunculan praktik sosial yang cenderung mereproduksi dalam kondisi obyektif yang asli; (5) habitus senantiasa berubah ke suatu arah yang mengupayakan kompromi dengan kondisi material dan berubah mengikuti kecenderungan sosial dan gender. Habitus erat kaitannya dengan modal karena habitus pengganda berbagai jenis modal, menciptakan modal simbolik, seperti prestise, status, dan otoritas serta modal cultural, seperti seni, pendidikan, dan bahasa. Modal merupakan basis dominasi yang terdapat dalam setiap ranah, baik bersifat material maupun modal yang berifat simbolik, seperti prestise, status, dan otoritas (Haker dkk., 1990:16). Berbagai modal dapat dipertukarkan, yang pada akhirnya memberikan legitimasi dan kekuasaan. Modal simbolik seperti prestise yang memungkinkan seseorang hadir sebagai representase kelompok dan modal ini sering melahirkan kekerasan simbolik bagi individu atau kelompok yang lemah. Di pihak lain modal budaya lebih luas, meliputi seni, pendidikan, dan bahasa yang menurut Bourdieu dalam Harker (1990) meliputi selera yang bernilai budaya dan pola-pola konsumsi. Modal sosial Bourdieu (1970) sebagai sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan
33
perkenalan secara timbal balik, yang dalam kelompoknya memberikan dukungan pada anggotanya secara kolektif. Fukuyuma (1995) yang mengkaji bidang ekonomi menyebutkan bahwa modal sosial berintikan kepercayaan (trust) merupakan dimensi budaya dari kehidupan ekonomi. Ia mendefinisikan modal sosial sebagai rangkaian nilai yang memberikan teladan untuk digunakan bersama di antara anggotanya.
Sementara modal budaya Coleman (1988) merupakan
aspek struktur hubungan antara individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru. Ranah diartikan sebagai sesuatu yang dinamis yang dideifnisikan sebagai sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat di antara posisi yang berkorespondesi. Otonomi ranah diciptakan untuk para intelektual melalui konstruksi ranah ekonomi yang dipertentangkan dengan ranah-ranah yang lain. Ranah yang dimaksudkan adalah sebuah arena pertarungan, di mana sejumlah modal,
seperti ekonomi, sosial, budaya dan simbolik digunakan dan
didistribusikan. Ranah adalah sebuah kekuatan bersifat otonom yang menyangkut perjuangan posisi-posisi, yang ditentukan oleh pembagian modal dari aktor yang berada di dalamnya. Ruang sosial dibentuk melalui beragam ranah di mana setiap individu memperjuangkan posisi dirinya melalui berbagai bentuk modal. Koalisikoalisi diciptakan melalui kedekatan relasi dalam ruang sosial dan ranah mengidentifikasi wilayah-wilayah perjuangan. Menurut Ritzel (2011: 525), pandangan Bourdieu bersifat relasional, semacam pasar kompetisi di mana berbagai jenis modal, sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik yang digunakan dan didistribusikan. Posisi berbagai agen, baik
34
individu maupun kolektif yang berada dalam ruang ranah, ditentukan oleh jumlah dan bobot modal yang dimiliki. Penguasaan modal kapital dapat menentukan posisi atau nasib individu.
Ranah juga menggambarkan kekuasaan politik,
hierarkis hubungan kekuasaan, dan kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi. Sebagai benteng strategis, diperebutkan dan dipertahankan dalam ranah atau perjuangan ranah juga mengondisikan habitus. Praktik individu dan sosial menurut Bourdieu dalam Harker (1990: 19) merupakan hasil interaksi ranah dan habitus yang dipahami melalui strategi perjuangan posisi-posisi dalam ranah. Ranah dikelilingi relasi kekuasaan yang berbasis modal dan jenis modal dalam ranah digabung dalam habitus dan menjadi basis dominasi. sebuah
relasi
sosial
yang
terdapat
dalam
sistem
Modal menjadi pertukaran
yang
mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang istimewa untuk kemudian dicari sebuah formasi sosial. Pierre Bourdieu meninjau permasalahan ideologi dari sisi budaya. Pemikiran awalnya dipengaruhi Marx dan Althuser, yaitu pemikiran tentang bagaimana suatu pengetahuan dan unsur-unsur budaya lainnya disebarkan dan berpengaruh dalam suatu masyarakat.
Habitus adalah struktur kognitif yang
memperantarai individu dalam berurusan dengan realitas sosial. Manusia dibekali sederetan skema yang terinternalisasi dan melalui skema itu, mereka mempersepsikan, memahami, menghargai, dan mengevaluasi realitas sosial. Habitus bisa berupa ketidaksadaran kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara tak sadar dianggap alamiah (Eagleton, 1991). Habitus mendasari ranah yang oleh Bourdieu (dalam Ritzel, 1996) diartikan sebagai jaringan relasi antara posisi-
35
posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual. Pengertian habitus dan ranah tampaknya sejalan dengan pengertian ideologi sebagai sesuatu yang tak disadari. Bourdieu dan Althuser (1994) sama-sama menekankan penting semacam skema panduan tingkah laku (struktur atau aturan) yang terinternalisasi dalam diri individu dan secara tak disadari mengatur tingkah laku individu. Perbedanya bagi Bourdieu (1991), skema hanya membatasi pikiran dan pilihan tindakan, tidak menentukan habitus menyarankan apa yang harus dipikirkan dan tidakan apa yang harus dilakukan. Skema mengajukan penjelasan tentang doxa yang mirip dengan pengertian ideologi. Doxa adalah sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya terinternalisasi dan tidak dipertanyakan. Doxa tampil lewat pengetahuanpengetahuan yang begitu saja diterima sesuai dengan habitus dan ranah individu tanpa dipikirkan atau ditimbang terlebih dahulu.
Dengan doxa, manusia
menerima banyak hal tanpa mengetahuinya dan itulah disebut dengan ideologi. Dalam pandangan filsafat perubahan, pelaku tidak lagi menentukan tujuannya secara sadar atau dibimbing oleh semacam kesadaran palsu. Para pelaku bisa saja melakukan tindakan yang irasional pada satu waktu dan bertindak secara rasional pada lain waktu. Ada semacam aturan yang tidak terucapkan dalam setiap ranah. Aturan yang bekerja sebagai modus dari apa yang disebut Bourdieu sebagai kekerasan simbolik (Eagleton, 1991). Konsep ini memperlihatkan bentuk yang tersembunyi dalam kegiatan sehari-hari. Kekerasan dalam bentuknya yang sangat halus, yang
36
dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, tetapi malah mengudang konfrontasi sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat halus. Contoh dalam dunia pendidikan ketika seorang dosen secara halus memaksakan pengetahuan yang dimiliki untuk diterima dan dianut mahasiswa. Begitu pula ketika negara secara halus memaksakan kepercayaankepercayaan kepada rakyat lewat berbagai indoktrinasi. Selain itu, juga pemaksaan halus oleh produsen untuk menanamkan pengetahuan tentang produk tertentu kepada konsumen lewat iklan.
Pengetahuan yang diterima begitu saja
merupakan bentuk konkret dari doxa. Menurut Bourdieu (dalam Jenkins, 2010: 158), inti penggunaan kekerasan simbolis adalah tindakan pedagogis. Ini adalah pemaksaan arbitraritas budaya yang di dalamnya terdapat tiga mode. Ketiga mode yang dimaksud adalah (1) pendidikan yang tersebar luas yang terjadi dalam interaksi dengan anggota bangunan sosial seperti kelompok umur informal; (2) pendidikan keluarga yang berbicara untuk dirinya sendiri; dan (3) pendidikan institusional (misalnya ritual inisiasi di satu sisi atau sekolah di sisi lain). Kapasitas kekuatan simbolis agen pendidikan berhasil mendoktrinasi makna merupakan fungsi dari bahan-bahannya yang ada di dalam struktur relasi kekuasaan. Tindakan pedagogis mencerminkan kepentingan kelompok atau kelompok dominan yang cenderung mereproduksi distribusi modal kultural secara tidak merata antara kelompok atau kelas yang hidup dalam satu ruang sosial sehingga memproduksi struktur sosial. . Perlawanan terhadap kekuatan dominasi elite birokrasi tidak saja dilakukan oleh masyarakat secara fisik dan nonfisik, tetapi juga aksi perlawanan
37
kaum intelektual atas pembelaannya terhadap kaum rakyat miskin.
Mutahir
(2011: 28) dalam bukunya Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu menjelaskan bagaimana Pierre Bourdieu melakukan sebuah gerakan intelektual untuk melawan dominasi.
Pada Maret 1996 Boudieu menandatangani petisi untuk melakukan
pembangkangan sipil melawan hukum Perancis yang memperkeras legislasi imigrasi. Teori praktik sosial ini digunakan untuk menyinergikan teori hegemoni khususnya bentuk perlawanan simbolik sebagai modal seni dan ekonomi atas kekerasan simbolik yang dipraktikkan elite tradisional yang menggunakan modal budaya dan prestise. Peranan mitos orang Katobengke melawan pelabelan yang disematkan elite tradisional, selanjutnya elite Katobengke modern juga menciptakan kepatuhan terhadap warganya untuk kemudian mempertahankan wacana identitas mereka dari pelabelan diskrimitatif tesebut. Kekerasan simbolik elite dalam praktik kehidupan sehari-hari tampak dalam kegiatan ekonomi, social, dan budaya. Selain itu, sejauh mana peran pemimpin Katobengke mendisiplinkan dan menormalisasi warganya yang tidak sesuai dengan perilaku adat. Kekuasaan elite tradisional sebagai konsekuensi produksi relasi hubungan kekuasaan dan pengetahuan dapat tersebar pada semua level formasi sosial, baik elite tradisional maupun orang Katobengke.
Sampai sejauh mana gagasan
gagasan historikal orang Katobengke timbul sebagai akibat ketidakpuasan atau perlakukan tidak adil atas hegemoni elite tersebut. Bagaimana mekanisme dan strategi penerapan secara fungsional atas sistem norma, aturan adat yang dipertahankan orang Katobengke untuk meng-counter kekuasaan elite serta
38
menormalisasikan peristiwa konflik, utamanya konflik yang sifatnya manifes, baik dari dalam maupun dari luar.
Pernyataan-pernyataan simbolik orang
Katobengke berpengaruh terhadap superioritas elite kaomu dan walaka, pada praktik kepemimpinan dalam kehidupan sehari-hari.
Simbol pemaknaan atas
pengetahuan dan kebenaran menurut konteks pemikiran mereka dan berbagai tindakan elite masa kini, seperti elite bangsawan, elite birokrasi, elite desa, elite agama, elite cendekiawan, elite ekonomi, dan lain-lain.
2.3.3 Teori Diskursus8 Kuasa/ Pengetahuan Menurut Foucault (2002: 9), diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subyektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini.
Foucault
(Gidens, 2009: 173) menggunakan istilah wacana untuk menjelaskan cara berpikir dan bertindak yang berbasis pengetahuan. Wacana dalam hubungan dengan yang kuasa, yang selalu berhubungan dengan “kesatuan”. Dalam hal ini kesatuan suatu diskursus selalu mengacu pada kesatuan-kesatuan lain yang membentuk suatu kumpulan pernyataan. Wacana menurut Foucault mengandung pengertian aturan, praktik yang menghasilkan pernyataan bermakna pada suatu rentang historis tertentu. Pernyataan-pernyataan dalam diskontinuitas yang membebaskannya dari segala bentuk yang telah diterima orang begitu saja. Kumpulan pernyataan yang
8
Kata diskursus diterjemahkan dari kata discourse (Inggris) yang digunakan para linguis di Indonesia yang menunjuk pada suatu rangkaian sinambung bahasa (lisan) yang lebih besar daripada kalimat (Hoetomo, 1993: 3--4).
39
siap pakai sebagai sarana untuk memperbincangkan suatu topik tertentu. Wacana mengisolasi, mendefinisikan, dan memproduksi objek pengetahuan. Foucault (2002: 402) menyatakan bahwa pertanyaan melalui subjek itu sendiri sebagai objek pengetahuan, penegasan bagaimana pengetahuan tentang “pengetahuan psikologi” diangkat dalam wacana sejarah. Akan tetapi, bagaimana menemukan “beragam permainan kebenaran” yang sudah ditemukan dahulu, di mana subjek menjadi objek pengetahuan. Foucault mengarahkan analisisnya dengan cara; yang berhubungan dengan penampakan dan penyisipan pertanyaan cara kerja ucapan kehidupan subjek, wilayah-wilayahnya sesuai dengan bentuk sejenis pengetahuan ilmiah dan kemudian menganalisis bentuk subjeknya. Menurut Foucault (2012: 234), dalam menyelidiki wacana, ada tiga konsep digunakan yang berkaitan satu dengan lainya, yaitu (1) positivitas (contoh: diskursus sejarah, ekonomi, dan lain-lain); (2) apriori historis, dimaksudkan bahwa domain pernyataan-pernyataan diartikulasikan berdasarkan apriori historis (apriori harus bersentuhan dengan pernyataan-pernyataan dan tidak menghindar dari historitas); dan (3) arsip (semua sistem yang membangun munculnya pernyataan: peristiwa atau benda); arsip satu masyarakat tidak bisa dideskripsikan menyeluruh apalagi arsip segala masa. Budiardjo (2001: 84) mengutip pendapat Harold Lawelll dan Abraham Kaplan menyatakan bahwa konsep kekuasaan yang dikemukakan para ahli cukup beragam. Namun, inti perumusan kekuasaan dianggap sebagai “kemampuan pelaku untuk memengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku pelaku berakhir menjadi sesuai dengan keinginan pelaku yang
40
mempunyai kekuasaan”. Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan dan dapat pula bersumber dari kepercayaan atau agama, misalnya alim ulama atau pendeta. Upaya menyelenggarakan kekuasaan berbeda dan yang paling ampuh adalah kekerasan (force) dan tidak ada alternatif lain selain korban menaatinya. Dalam Negara yang masih banyak unsur tradisionalnya, hubungan kerabat dapat pula merupakan sumber kekuasaan. Misalnya, seorang ibu melarang perkawinan di luar suku, agama, atau golongannya. Kunci pemikiran Foucault (1977) tentang kekuasaan bahwa kekuasaan yang menormalisasi tidak hanya dijalankan di dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan, pengetahuan, dan kesejahteraan.
Dalam masyarakat modern pembentukan
individu yang berdisiplin tidak hanya dilakukan oleh lembaga represif (penjara, polisi), tetapi terjadi dalam interaksi masyarakat dan semua bentuk kegiatan sosial.
Berlawanan dengan pandangan Marxis, Foucault menentang paham
kekuasaan yang disatukan dari atas oleh pusat kekuasaan negara. Kekuasaan tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh satu kelompok terhadap yang lain, tetapi beragamnya hubungan kekuasaan dan kekuasaan merasuki seluruh bidang kehidupan masyarakat.
Hubungan kekuasaan tidak bisa
dipisahkan dalam proses ekonomi, penyebaran pengetahuan, dan hubungan seksual. Kekuasaan merupakan akibat langsung dari pemisahan, ketidaksamaan, dan ketidakseimbangan (diskriminasi). Kekuasaan merupakan situasi intern adanya perbedaaan yang dibentuk dan berjalan di tempat kerja, keluarga, institusi, dan berbagai pengelompokan. Perbedaan itu membentuk garis konfrontasi lokal
41
dari berbagai perlawanan. Bagi Foucault, kekuasaan bukanlah hubungan subjektif searah. Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan manuver, teknik, dan mekanisme tertentu.
Kekuasaan bukanlah
hak istimewa yang dipertahankan kelas dominan, malainkan akibat dari keseluruhan posisi strategis. Dengan demikian, ia tidak bisa dilokalisasi pada tempat tertentu menjadi milik seseorang, tetapi menyebar di mana-mana dalam hubungan masyarakat. Terkait dengan kontrol sosial, posmodernisme Foucault dalam bukunya Dicipline and Punish (1977) merevolusionerkan studi tentang kejahatan dan hukuman, terutama dalam pendapatnya bahwa kriminologi adalah diskursus/ praktik yang menciptakan kategori kriminalitas dalam “masyarakat disiplin”. Wacana ini kemudian dipaksakan tanpa ampun ke dalam perilaku dan sebelumnya dinilai sah secara sosial atau hanya diabaikan karena aneh. Foucault memberikan labeling satu dasar historis dan politis yang lebih kuat kepada teori. Ia membantu sosiolog dalam melihat perilaku menyimpang (deviant) dalam hal pengalaman dan makna mengonstruksinya. Teori posmodernisme Foucault tentang disiplin menekankan pada resistensi inhern yang dilakukan orang dalam melawan pelabelan dan pembedaan yang diterima. mengkonstruksi
penyimpan
seperti
Foucault menyatakan bahwa manusia kejahatan
dan
homoseksual
untuk
menormalisasi perilaku tertentu dan mendisiplinkan perilaku lain (Agger, 2009: 349--350). Bertens (1996:320) menyimpulkan teori kuasa Foucault dalam empat prespektif penting. Pertama, kuasa bukanlah milik, melainkan fungsi. Kuasa tidak dimiliki, tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana banyak
42
posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran. Kedua, kuasa tidak dapat dilokalisasi, tetapi terdapat di mana-mana. Artinya, di mana saja terdapat susunan, aturan, sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu, di situ pula kuasa bekerja. Kuasa tidak datang dari luar, tetapi menentukan susunan aturan dan hubungan itu dari dalam. Ketiga, kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Keempat, kuasa tidak bersifat destruktif, tetapi bersifat produktif. Foucault menolak pandangan Marxistis bahwa kuasa tidak bersifat subjektif dan tidak dapat dilihat sebagai proses dialektika, yaitu si A menguasai si B dan kemudian setelah beberapa syarat terpenuhi, maka si B menguasai si A. Sebuah prespektif penting dari teori Foucault adalah relasi antara kekuasaan dan pengetahuan. Hubungan timbal balik tersebut dimaksudkan bahwa kekuasaan terartikulasi ke dalam pengetahuan. Sebaliknya, pengetahuan terartikulasi ke dalam kekuasaan.
Relasi antara pengetahuan dan kekuasaan diperoleh dari
analisisnya tentang pendisiplinan, penaklukan, dan pengawasan terhadap tubuh individu.
Hubungan antara pengetahuan dan pelaksanaan kuasa tidak hanya
membongkar anggapan lama yang memandang kuasa sebagai penghambat tampilnya pengetahuan, tetapi juga dengan sendirinya membongkar kemapanan status pengetahuan. Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai sesuatu yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumuskan dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasan harus mengambil bentuk
43
pengetahuan karena ilmu-ilmu terumuskan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Hal itu terjadi karena semua masyarakat berusaha menyalurkan wacana agar sesuai dengan tuntutan ilmiah dan wacana-wacana tersebut dianggap mempunyai otoritas. Ideologi yang digunakan oleh Foucault merupakan hasil hubungan kekuasaan di mana saja. Hubungan kuasa ini menghasilkan cerita yang oleh Foucoult disebut discourse atau diskursus atau wacana (Eagleton, 1991). Diskursus merupakan upaya melepaskan diri dari ketertindasan kaum elite karena bermuatan sesuatu yang tidak menggambarkan realitas apa adanya dan itu pasti terjadi dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, yang harus dilakukan adalah menerima apa adanya berbagai diskursus dan menyadari pengaruh tiap-tiap kesadaran manusia. Setiap diskursus adalah kebenaran masing-masing,
tidak
dapat diklaim sebagai yang paling benar dan sebagai reaksi manusia terhadap kekuasaan yang mengekangnya. Hubungan kekuasaan dan ketertindasan melahirkan pemikiran sebagai proses dinamika perkembangan peradaban manusia.
Untuk itu, diperlukan
kesadaran the other atau kesadaran tentang hal-hal yang tersisihkan, seperti benda peninggalan, tekonologi tradisional, identitas Katobengke, atau suku dan budaya untuk membantu manusia memahami hidupnya. Kesadaran the other (Foucault, 1981) melahirkan kesadaran tentang keragaman manusia yang saling menghargai. Pemikiran subjektivitas dihubungkan dengkan praktik pemilah, seperti baik buruk, tinggi rendah, benar salah oleh pengetahuan dan kekuasaan. Jadi, pengetahuan manusia ditentukan oleh kekuasaan kebenaran merujuk pada rezim kebenaran
44
yang sedang bertakhta. Sehat dan sakit ditentukan oleh pihak yang berkuasa, seperti dokter atau dukun,
sebagai wacana yang dipaksakan oleh penguasa.
Foucault menempatkan pengetahuan sebagai dominasi satu pihak terhadap pihak lainnya. Hal itu terjadi karena asal usul pengetahuan dan wacana lainnya merupakan hasil hubungan kekuasaan. Fancois Lyotard (1984, 1992) sejalan dengan Foucault, yaitu melihat adanya pemaksaan pengetahuan termasuk hukum dan aturan.
Contoh
pengetahuan ilmiah dilegitimasikan melalui apa yang disebut narasi besar (grand narrative), seperti keabsahan, kemajuan; emansipasi kaum proletar, seperti mitos dan pengetahuan yang terkandung dalam kesadaran palsu.
Tidak ada lagi
dominasi satu ideologi. Artinya, setiap kepercayaan dan pikiran dapat hidup bertanding dalam dunia keragaman. Segala pengetahuan memiliki kesempatan untuk menjadi kebenaran kecil yang berguna pada waktu tertentu dan tempat tertentu.
Untuk itu, menurut
Lyotard yang kini tersisa adalah intensifikasi
dinamika usaha yang tak habis-habisnya untuk mencari kebaruan, menghindari klaim universal, dan berangkat dari persoalan-persoalan lokal. Kegiatan yang sebaiknya dilakukan adalah mempersiapkan diri untuk dapat menerima berbagai disensus, bukan konsensus. Teori diskursus Foucault digunakan untuk mengkaji praktik kekuasaan elite tradisional dan kekuasaan antara warga Katobengke sendiri di dalam mendisiplinkan dan menormalisasi warganya dalam kehidupan sehari-hari, keluarga, tetangga berkaitan dengan ekonomi, politik, dan komunikasi sosial, baik antara warga maupun terhadap pihak luar. Tujuannya agar warga Katobengke
45
memiliki kesadaran untuk saling menghargai antarsesama. Bagaimana kegiatan ritual dan karisma kepemimpinan elite tradisional Katobengke melawan pelabelan diskriminasi elite tradisional yang menggunakan ideologi harmoni yang berimplikasi di dalam masyarakat Katobengke sendiri.
Bagaimana elite
tradisional Katobengke menciptakan kepatuhan untuk mempertahankan nilai identitas atas pelabelan stereotipe dan tabu adat yang direproduksi elite tradisional. Eksplanasi teoretis ketiga teori tersebut mengkaji secara culture studies dan mengangkat budaya Katobengke yang terpinggirkan untuk mendudukannya pada posisi yang wajar. Dengan demikian, kajian ini memfokuskan diri pada sejauh mana perlawanan orang Katobengke memengaruhi kekuasaan elite tradisional mulai orde baru hingga reformasi ini.
Bagaimana strategi orang
Katobengke menciptakan posisi tawar secara persuasif atau kekerasan (Gramsci, 1971) terhadap elite sebagai pemilik ideologi kekuasaan dan pengetahuan (Foucault, 2002) dalam arena pertarungan perebutan sumber daya oleh agen dalam aneka strategi perlawanan simbolik orang Katobengke versus kekerasan simbolik elite tradisional (Bourdieu, 1991).
46
2.4 Model Penelitian Orang Katobengke
Elite Tradisional Buton
Globalisasi
Budak, bodoh, miskin, kotor, pekerja kasar, naa Laode dan maa Laode, bukan kadie ’
Hegemoni elite tradisional terhadap orang Katobengke
Kekuasaan- hegemoni, tabu, diskursif, bincibinciki kuli, sarapataanguna
Perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite di Kota Bau- Bau
Proses perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional
Faktor melatarbelakangi perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional
Implikasi perlawanan orang Katobengke terhadap hegemoni elite tradisional
Temuan penelitian: Identitas Katobengke Modern
Gambar 2. 1
Model Penelitian
Keterangan: Garis yang memberikan pengaruh tidak langsung Garis panah-panah alur penelitian Garis yang memberikan pengaruh hubungan timbal balik.
47
Model di atas (gambar 2.1) memperlihatkan bahwa
elite tradisional
kaomu dan walaka, sejak era kesultanan hingga orde baru menghegemoni orang Katobengke sebagai kelompok papara (rakyat). Strategi hegemoni elite tersebut menggunakan
falsafah
kesultananan
“bincibinciki
kuli”
terhadap
orang
Katobengke sebagai simbol wilayah pinggiran. Sementara itu, hingga era reformasi ini label reproduksi hegemonik dan stereotipe tetap disematkan elite tradisional atas diri orang Katobengke sebagai budak, bodoh, miskin, kotor, pekerja kasar, dan kemudian simultan dengan strategi persuasif elite yang memberikan label sebagai Naa Laode dan Maa Laode. Sejak awal reformasi ini orang Katobengke mulai melakukan perlawanan tidak setara terhadap elite tradisional melalui diskursus mitos asal usul dan sejarah karismatik kepemimpinan, ekonomi kepemilikan lahan, politik, pertunjukan ritual, hingga
perlawanan
mempertahankan
dan
terbuka.
Sebaliknya,
mereproduksi
elite
kekuasaan
tradisional hegemoniknya
berusaha dengan
menggunakan falsafah kesultananan Bincibinciki kuli dan praktik incest taboo adat secara terselubung. Untuk mengkaji sejauh mana strategi perlawanan orang Katobengke dalam rentang historisnya hingga kini adalah sebagai akibat pengaruh globalisasi yang secara tidak langsung memasuksi ruang kedua kubu kekuatan antara kekuasaan elite dan orang Katobengke sebagai kelompok yang dikuasai. Dengan demikian, orang Katobengke melakukan perlawanan mulai dari proses perlawanan, faktor yang melatarbelakangi perlawanan, hingga implikasinya yang pada ahkirnya menghasilkan temuan penelitian identitas orang Katobengke modern.