EKSISTENSI KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No.2762/Pid.B/2009/PN.Mdn, No.152/Pid.B/2011/PN.Kbj, dan No.10/Pid.Tipikor/2012/PN.Smda)
Jurnal
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh :
SEVIOLA ISLAINI 090200133
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
EKSISTENSI KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No.2762/Pid.B/2009/PN.Mdn, No.152/Pid.B/2011/PN.Kbj, dan No.10/Pid.Tipikor/2012/PN.Smda) Jurnal Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh : SEVIOLA ISLAINI 090200133 Disetujui oleh : Ketua Departeme Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, SH., M.H NIP. 195703261986011001 Editor
Rafiqoh Lubis, SH.,M.Hum NIP. 197407252002122002
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
ABSTRAKSI Seviola Islaini* H. Syafrudin Kalo* * Rafiqoh Lubis* * * Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tindak Pidana Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan upaya ekstra untuk menanganinya. Salah satunya melalui pembuktian, karena pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan pembuktian inilah ditentukan nasib pelaku tindak pidana. Permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai kedudukan dan kekuatan keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana serta eksistensi keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Metode yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yaitu dengan mengkaji atau menganalisis norma hukum berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier agar dapat menjawab setiap permasalahan. Kedudukan keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana merupakan salah satu dari lima alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP. Keterangan ahli dapat diminta pada tahap penyidikan maupun keterangan secara lisan dan langsung di muka sidang pengadilan. Pada pembuktian perkara pidana, keterangan ahli mempunyai kekuatan pembuktian bebas dan nilai pembuktiannya tergantung kepada penilaian hakim. Keberadaan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi tidak bisa diabaikan begitu saja. Keterangan ahli dibutuhkan karena jaksa penuntut umum, penasihat hukum maupun hakim memiliki pengetahuan yang terbatas. Ada kalanya pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi terkait dengan bidang ilmu lain yang tidak dikuasai oleh penegak hukum. Sesuai hasil analisis putusan Pengadilan Negeri No.2762/Pid.B/2009/PN.Mdn, No.152/Pid.B/2011/PN.Kbj, dan No.10/Pid.Tipikor/2012/PN.Smda didapat beberapa jenis keahlian yang diperlukan sebagai keterangan ahli dalam perkara tindak pidana korupsi, antara lain keahlian di bidang auditing terkait dengan salah satu unsur tindak pidana korupsi yang harus dibuktikan yaitu kerugian negara, keahlian di bidang pemeriksaan fisik pekerjaan bangunan terkait perkara tindak pidana korupsi menyangkut proyek yang diadakan pemerintah yang berhubungan dengan proyekproyek pembangunan, serta keahlian di bidang hukum untuk memberikan masukan dan menjadi pegangan bagi hakim dalam memutus perkara.
*
Mahasiswi Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Pembimbing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **
A. PENDAHULUAN Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tindak Pidana Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.1 Mengingat luasnya dampak yang diakibatkan dari korupsi, maka diperlukan usaha yang keras dalam memberantas tindak pidana korupsi ini. Salah satunya melalui pembuktian, karena pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan pembuktian inilah ditentukan nasib pelaku tindak pidana. Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam beracara di pengadilan tetap berlaku KUHAP. Sesuai dengan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menentukan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Artinya berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa selama Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak menentukan lain, maka segala ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam KUHAP berlaku bagi proses peradilan tindak pidana korupsi, mulai dari proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk pembuktian.
1
Evi Hartanti. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT. Sinar Grafika. Hal. 2
Kegiatan
pembuktian
tindak
pidana
korupsi,
disamping
tetap
menggunakan KUHAP dalam bidang atau hal tertentu berlaku ketentuan khusus sesuai yang ditentukan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, seperti mengenai sistem pembebanan pembuktian Tindak Pidana Korupsi yang menganut pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang. Alat bukti yang digunakan dalam pembuktian di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Aturan tersebut berlaku untuk perkara korupsi, hanya saja khusus untuk alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi elektronik, ataupun dari dokumen rekaman data atau informasi sesuai Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dari alat-alat bukti tersebut di atas, hal yang menarik adalah keterangan ahli karena berbeda dengan keterangan saksi. Bahwa isi keterangan yang disampaikan oleh saksi adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, sedangkan keterangan ahli adalah keterangan yang disampaikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus mengenai hal-hal yang menjadi atau di bidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak menentukan hal-hal khusus mengenai keterangan ahli sebagai alat bukti, sehingga keterangan ahli dapat diterima sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi pada umumnya berkaitan dengan berbagai aspek, seperti keuangan negara, administrasi pemerintahan, perbankan, perpajakan, korporasi dan sebagainya. Bidang-bidang tersebut memerlukan pengetahuan khusus, sehingga diperlukan keterangan ahli. Menurut Yahya Harahap, penempatan keterangan ahli pada urutan kedua setelah keterangan saksi adalah representasi penilaian pembuat Undang-Undang yang memandang penting fungsi keterangan ahli. Hal tersebut juga dapat dicatat sebagai salah satu kemajuan dalam pembaharuan hukum, karena pembuat Undang-Undang menyadari bahwa peran ahli sangat penting dalam penyelesaian
perkara pidana. Perkembangan ilmu dan teknologi juga berdampak pada kualitas metode kejahatan, sehingga harus diimbangi dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian. 2 Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa fungsi ahli dalam pembuktian perkara pidana memang sudah dianggap signifikan seiring dengan perkembangan zaman. Hal inilah yang melatarbelakangi penulisan dalam bentuk skripsi dengan judul : “EKSISTENSI KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI”
B. PERMASALAHAN Dari latar belakang yang telah diuraikai di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah : 1.
Bagaimana kedudukan dan kekuatan keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana?
2.
Bagaimana eksistensi keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi?
C. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yaitu dengan mengkaji atau menganalisis norma hukum menggunakan data sekunder yang meliputi : a.
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang telah ada dan berhubungan dengan skripsi ini, yakni berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini.
b.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang diperoleh untuk mendukung dan berkaitan dengan bahan hukum primer yang terdiri dari rancangan undangundang, putusan pengadilan, buku dan pendapat para sarjana.
2
M. Yahya Harahap [a]. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjaua Kembali. Jakarta : Sinar Grafika. Hal. 275
c.
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lainnya.
D. HASIL PENELITIAN 1. Kedudukan dan Kekuatan Keterangan Ahli dalam Pembuktian Perkara Pidana a. Kedudukan Keterangan Ahli Dalam Pembuktian Perkara Pidana Kedudukan keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana merupakan salah satu dari lima alat bukti yang sah menurut KUHAP. Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah membatasi bahwa alat bukti yang sah diantaranya : a.
Keterangan saksi
b.
Keterangan ahli
c.
Surat
d.
Petunjuk
e.
Keterangan terdakwa Berdasarkan KUHAP, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang
dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah limitatif atau terbatas pada yang ditentukan saja. Akan tetapi, KUHAP bukanlah satu-satunya undang-undang pidana formil yang mengatur mengenai ketentuan pembuktian. Beberapa undang-undang pidana yang mempunyai aspek formil juga mengatur mengenai alat bukti tersendiri yang diantaranya terdapat pengaturan alat bukti elektronik. Adapun beberapa undangundang pidana formil di luar KUHAP yang mengatur mengenai alat bukti antara lain : a.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Terorisme
b.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
c.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
Namun secara umum alat bukti yang diatur dalam undang-undang pidana formil di luar KUHAP tersebut tetap merujuk pada alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Pengaturan mengenai alat bukti yang diatur dalam undang-undang pidana formil di luar KUHAP hanya terbatas pada perluasan alat bukti terkait dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada masa diberlakukannya Het Herzienne Inlands Reglement (HIR) sebagai pedoman hukum acara pidana di Indonesia, keterangan ahli tidak dikenal sebagai alat bukti tersendiri. Pasal 295 HIR menyebutkan alat-alat bukti yang sah terdiri dari kesaksian, surat-surat, pengakuan dan petunjuk-petunjuk. Setelah KUHAP berlaku di Indonesia sebagai pengganti ketentuan hukum acara pidana dalam HIR, keterangan ahli termasuk menjadi salah satu alat bukti yang sah, hal ini terlihat pada Pasal 184 ayat 1 huruf b KUHAP. Selain di Indonesia, keterangan ahli juga menjadi salah satu alat bukti dalam hukum acara pidana modern di sejumlah negara, termasuk Belanda.3 Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, dirumuskan dalam Pasal 186 KUHAP. Persoalan keterangan ahli terutama sebagai alat bukti tidak bisa dipahami hanya dengan bertumpu pada Pasal 186 KUHAP. Uraian Pasal 186 yang tidak diikuti rincian lebih lanjut mengenai keterangan ahli dalam pasal-pasal selanjutnya tidak mampu menjelaskan masalah yang dikandungnya. Untuk memahami keterangan ahli sebagai alat bukti, maka diperlukan penjajakan lebih lanjut atas ketentuan-ketentuan yang terkait dengan keterangan ahli yang terpencar dalam pasal-pasal KUHAP. Pasal 1 angka 28 KUHAP memuat pengertian keterangan ahli yaitu keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Gagasan utama dari upaya pencarian bukti dengan meminta keterangan ahli adalah membuat terang tindak pidana.
3
Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Hal. 267
Tata cara pembuktian keterangan ahli sebagai alat bukti dapat ditempuh pada tahap penyidikan maupun keterangan secara lisan dan langsung di muka sidang pengadilan. Jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur yang sesuai dengan ketentuan KUHAP :4 1.
Diminta penyidik pada tahap pemeriksaan penyidikan. Tata cara dan bentuk atau jenis keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah
pada tahap pemeriksaan penyidikan : a.
Diminta dan diberikan ahli pada saat pemeriksaan penyidikan. Demi kepentingan peradilan, penyidik meminta keterangan ahli. Permintaan tersebut dilakukan penyidik secara tertulis dengan menyebut secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan.
b.
Atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat laporan. Laporan itu dapat berupa surat keterangan atau juga dalam bentuk visum et repertum.
c.
Laporan atau visum et repertum itu dibuat oleh ahli yang bersangkutan mengingat sumpah diwaktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan.
d.
Dengan tata cara dan bentuk laporan ahli seperti itu, keterangan yang dituangkan dalam laporan atau visum et repertum, mempunyai sifat dan nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
2.
Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang pengadilan Permintaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan
diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada diminta keterangan ahli. Tetapi bisa juga terjadi walaupun penyidik atau penuntut umum waktu pemeriksaan penyidikan telah meminta keterangan ahli, jika hakim atau terdakwa maupun penasehat hukum menghendaki dan menganggap perlu didengar keterangan ahli di sidang pengadilan dapat meminta kepada ahli yang mereka tunjuk memberikan keterangan di sidang pengadilan.
4
Ibid. Hal. 296-297
Sehingga tata cara dan bentuk keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang pengadilan, yaitu : a.
Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh hakim karena jabatan, maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, dapat meminta pemeriksaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
b.
Keterangan ahli berbentuk keterangan lisan dan secara langsung diberikan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan .
c.
Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan.
d.
Ahli yang akan memberikan keterangan, terlebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji sebelum memberikan keterangan. Ahli dalam memberikan keterangan di sidang pengadilan, tidak dapat diberikan hanya berdasarkan sumpah atau janji pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan, tetapi harus mengucapkan sumpah atau janji di sidang pengadilan sebelum ia memberikan keterangan.
e.
Dengan dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang-undang dan sekaligus keterangan ahli yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
b. Kekuatan Keterangan Ahli Dalam Pembuktian Perkara Pidana Suatu keterangan ahli baru mempunyai nilai pembuktian apabila ahli tersebut di muka hakim harus bersumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan, dengan seorang ahli bersumpah sebelum memberikan keterangan baru keterangan ahli tersebut mempunyai nilai sebagai alat bukti. Jika seorang ahli tidak bisa hadir, dan sebelumnya sudah mengucap sumpah di muka penyidik, maka nilainya sama dengan keterangan ahli yang diucapkan dalam sidang. Tetapi apabila keterangan ahli diberikan tanpa sumpah, karena sudah disandera, tetapi tetap tidak mau bersumpah ataupun tidak hadir dan
ketika pemeriksaan di depan penyidik tidak bersumpah terlebih dahulu, maka keterangan ahli tersebut hanya bersifat menguatkan keyakinan hakim.5 Alat bukti keterangan ahli tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mengikat, atau kerap diistilahkan dengan nilai kekuatan pembuktian bebas atau “vrij bewijskracht”. Alat bukti keterangan ahli sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaannya dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggap sempurna atau tidak, dimana tidak ada keharusan untuk menerima kebenaran setiap keterangan ahli. Guna keterangan ahli di persidangan merupakan alat bantu bagi hakim untuk menemukan kebenaran. Hakim bebas untuk menerima ataupun mengenyampingkan suatu keterangan ahli. Apabila keterangan ahli bersesuaian dengan kenyataan yang lain di persidangan, maka keterangan ahli diambil sebagai pendapat hakim sendiri. Jika keterangan ahli tersebut bertentangan, bisa saja dikesampingkan oleh hakim. Namun keterangan ahli yang dikesampingkan harus berdasarkan alasan yang jelas, tidak bisa mengenyampingkan suatu keterangan ahli begitu saja tanpa ada alasan. Karena dalam mempergunakan wewenang kebebasan
dalam
penilaian
pembuktian,
hakim
harus
benar-benar
bertanggungjawab, atas landasan moral demi terwujudnya kebenaran serta kepastian hukum. 6 Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain tidak cukup dan tidak memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, keterangan ahli harus ditunjang dengan alat bukti lainya. Jika dalam suatu pemeriksaan perkara, alat buktinya hanya terdiri dari beberapa keterangan ahli, Yahya Harahap hanya menilai hal tersebut tetaplah bernilai satu pembuktian. Alasannya, apa yang diungkapkan dan diterangkan kedua alat bukti keterangan ahli itu hanya berupa penjelasan suatu hal atau keadaan tertentu, namun mengenai pelaku kejahatan sama sekali tidak terungkap 5
Hari Sasangka dan Lili Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung : Mandar Maju. Hal. 60 6 Ibid. Hal. 287
dalam keterangan ahli-ahli tersebut. Selain itu, pada umumnya keterangan ahli hanyalah merupakan pendapat ahli mengenai hal atau keadaan tertentu menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Maka keterangan ahli pada umumnya hanya bersifat melengkapi atau mencukupi nilai pembuktian alat bukti yang lain. Keterangan ahli sebagai alat bukti pada umumnya, tidak menyangkut pokok perkara pidana yang diperiksa. Sifatnya lebih ditujukan untuk menjelaskan sesuatu hal yang masih kurang terang tentang suatu hal atau keadaan 7 Jadi, misalnya dalam pemeriksaan suatu perkara, alat buktinya hanya semata-mata terdiri dari beberapa keterangan ahli, yang satu keterangan ahli berupa laporan yang diberikan pada waktu penyidikan dan yang satu lagi berupa keterangan ahli yang diberikan dalam sidang pengadilan. Tetapi keduanya hanya menerangkan bahwa matinya korban karena keracunan. Alat bukti keterangan ahli ini tidak mengungkapkan siapa pelaku kejahatan tersebut.8 Sebaliknya, dalam keadaan tertentu, keterangan beberapa ahli dapat dinilai sebagai dua atau beberapa alat bukti yang dapat dianggap telah memenuhi Pasal 183 dan Pasal 185 ayat (4) KUHAP. Misalnya, menurut keterangan ahli kedokteran kehakiman, kematian korban adalah kerena dicekik dengan tangan. Kemudian menurut keterangan ahli sidik jari, bekas cekikan yang terdapat pada leher korban sama dengan sidik jari terdakwa. Hal ini dapat dibenarkan dengan alasan lain, karena kedua keterangan ahli tersebut merupakan dua keterangan ahli yang diberikan oleh masing-masing ahli dalam bidang keahlian yang berbeda.9 Apabila demikian halnya, penyidik atau pengadilan harus berhati-hati. Jangan hanya mengumpulkan dan meminta keterangan dari para ahli yang mempunyai keahlian di bidang keahlian yang sama. Nilai pembuktian mereka tetap dianggap satu saja apabila yang mereka terangkan hanya tentang suatu keadaan yang serupa.10
7
Ibid. Hal. 305 Muhammad Taufik Makarao. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Bogor : Ghalia Indonesia. Hal. 126 9 Ibid. Hal. 127 10 M. Yahya Harahap [a]. op.cit. Hal. 306 8
2. Eksistensi Keterangan Ahli sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Alat bukti yang digunakan dalam pembuktian Tindak Pidana Korupsi sama dengan yang digunakan pada tindak pidana umum lainnya sesuai dengan Pasal 184 KUHAP, hanya saja pada alat bukti petunjuk terdapat perluasan mengenai bahan yang dapat membentuk alat bukti petunjuk. Pasal 188 ayat (2) KUHAP membatasi kewanangan hakim dalam cara memperoleh alat bukti petunjuk yang hanya dapat diperoleh terbatas dari alat-alat bukti yang secara limitatif pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP, yaitu keterangan saksi, surat serta keterangan terdakwa. Menurut hukum pembuktian tindak pidana korupsi, bahan itu dapat diperluas lagi. Pasal 26A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Untuk terbuktinya tindak pidana korupsi, maka unsur-unsur tindak pidana korupsi yang didakwakan harus terbukti semuanya. Untuk membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi, peran dan kedudukan alat bukti petunjuk yang dibentuk melalui alat bukti informasi dan alat bukti dokumen tadi perlu ditambah dengan setidak-tidaknya satu alat bukti lain yang sah, misalnya alat bukti petunjuk ditambah dengan alat bukti keterangan ahli.
Kebutuhan akan ahli dalam persidangan perkara pidana merupakan salah satu konsekuensi logis dari perkembangan hukum di masyarakat. Bismar Siregar menilai bahwa meningkatnya kehidupan masyarakat juga berarti meningkatkan kebutuhan hukum.11 Pendapat serupa juga dikemukakan Yahya Harahap yang memperkirakan peranan ahli dalam pemeriksaan peristiwa pidana pada masa mendatang semakin menonjol dan diperlukan seiring perkembangan ilmu dan teknologi yang melibatkan hasil ilmu dan teknologi dalam kejahatan.12 Demikian halnya pada pembuktian perkara tindak pidana korupsi tergolong sukar, berhubung dilakukan secara sistematis, terencana oleh oknum yang berpendidikan terutama birokrat dan pengusaha yang amat kuat. Dengan dicantumkannya keterangan ahli dalam KUHAP, maka peran ahli dalam pemeriksaan perkara, baik pada tingkat penyidikan maupun persidangan tidak dapat diabaikan begitu saja. Keterangan ahli sangat berguna dalam proses pembuktian perkara tindak pidana korupsi. Keterangan ahli sangat dibutuhkan karena jaksa penuntut umum, penasihat hukum, maupun hakim memiliki pengetahuan yang terbatas. Ada kalanya pemeriksaan perkara pidana terkait dengan bidang ilmu lain yang tidak dikuasai oleh penegak hukum. Keterangan ahli juga berguna untuk meyakinkan hakim serta terdakwa dan penasihat hukum yang mendampinginya ketika alat bukti yang diajukan kurang optimal. Seperti dalam upaya membuktikan suatu perbuatan suap, jaksa cenderung memiliki alat bukti yang minim, umumnya berupa rekaman suara hasil penyadapan telepon. Untuk mendapatkan keyakinan tentang suara siapa yang berbicara dalam rekaman tersebut, maka jaksa akan menghadirkan ahli suara. Djoko Prakoso menegaskan lebih lanjut bahwa KUHAP telah menentukan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, maka konsekuensinya hakim tidak dapat mengenyampingkan begitu saja keterangan ahli.13 Hakim tidak dapat mengabaikan keterangan ahli tetapi jika proses pembuktian tindak pidana banyak 11
Bismar Siregar. 1983. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Hal. 9 12 M. Yahya Harahap [b]. 2002. Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika. Hal. 146 13 Djoko Prakoso. 1988. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di dalam Proses Pidana. Yogyakarta : Liberty. Hal. 132
membutuhkan kemampuan ahli yang menguasai ilmu pengetahun dan teknologi. Oleh karena itu, hakim harus dapat menyesuaikan penilaiannya akan eksistensi keterangan ahli dengan perkara pidana yang ditanganinya, serta memiliki argumen dalam menerima atau menolak suatu keterangan ahli. Pada perkara tindak pidana korupsi terkadang diperlukan keterangan ahli untuk dapat membantu membuat perkara menjadi jelas. Maka penuntut umum, terdakwa maupun penasehat hukum terdakwa, ataupun hakim menghadirkan keterangan ahli di persidangan. Keterangan ahli dalam perkara korupsi tidak sembarangan saksi ahli, tetapi ahli yang memiliki kemampuan atau keahlian yang berhubungan dengan kasus dan keahliannya tersebut dapat membuat terang kasus tersebut. Berikut ini ada 3 (tiga) perkara tindak pidana korupsi yang menghadirkan keterangan ahli dalam persidangannya, antara lain : Tabel 1 Perkara Tindak Pidana Korupsi dan Jumlah Kerugian Negara
1
Nomor Perkara 2762/Pid.B/2009/PN.Mdn
Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana Korupsi pada Dana Atas nama terdakwa : Dinas Dr. dr. H.Umar Zein, Anggaran Kesehatan Kota DTM&H, Sp.PD, KPTI Medan Tahun Anggaran 2008
Kerugian Negara Rp. 1.261.773.847,(satu milyar dua ratus enam puluh satu juta tujuh ratus tujuh puluh tiga ribu delapan ratus empat puluh tujuh rupiah)
2
152/Pid.B/2011/PN.Kbj
Rp.148.396.299,34 (seratus empat puluh delapan juta tiga ratus sembilan puluh enam ribu duaratus sembilan puluh sembilan rupiah tiga puluh empat sen)
No.
Atas nama terdakwa : Drs. Kampung Sitepu
Tindak Pidana Korupsi Proyek Pembangunan Tempat Penampungan Sementara (TPS) Pedangang Pasar Kabanjahe di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Tanah Karo
3
10/Pid.Tipikor/2012/PN.S mda
Tindak Pidana Korupsi pada Dana Anggaran Kegiatan Atas nama terdakwa : Proyek Pembangunan Ir. Machfudz HB, Msi Bin Perumahan Layak Hassan Basrie Huni Kota Tarakan Tahun 2012
Rp.125.919.694,68 (seratus dua puluh lima juta sembilan ratus sembilan belas ribu enam ratus sembilan puluh empat rupiah enam puluh delapan sen)
Sumber : Putusan Nomor 2762/Pid.B/2009/PN.Mdn, Putusan Nomor 152/Pid.B/2011/PN.Kbj, Putusan Nomor 10/Pid.Tipikor/2012/PN.Smda (diolah) Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui beberapa perkara tindak pidana korupsi yang menghadirkan keterangan ahli. Dari beberapa perkara tindak pidana korupsi yang disebutkan di atas berkaitan dengan penyalahgunaan dana anggaran di beberapa dinas pemerintahan, antara lain Dinas Kesehatan Kota Medan, Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Tanah Karo serta Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Timur. Dua perkara diantaranya mengenai dana anggaran untuk proyek pembangunan. Mengingat besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi maka diperlukan upaya yang ekstra untuk memberantas tindak pidana korupsi. Dana anggaran yang seharusnya diperuntukkan untuk pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus berpindah tangan kepada pribadi penguasa pengguna anggaran serta kroninya. Hal demikian merupakan salah satu penghambat pembangunan, sehingga kesejahteraan rakyat yang dikorbankan. Untuk itu para pelaku tindak pidana korupsi harus dijatuhi hukuman yang sepantasnya, sehingga memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi, serta merupakan upaya preventif sebagai pencegahan tindak pidana korupsi, karena hukuman yang berat tentunya akan mengecilkan niat untuk melakuan tindak pidana korupsi. Sebelum
menjatuhkan
putusan,
hakim
harus
melalui
berbagai
pertimbangan. Sesuai dengan judul skripsi ini yang ingin melihat eksistensi keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi, maka
pada tabel selanjutnya akan dipaparkan keterangan ahli yang dihadirkan pada tiga contoh kasus yang telah dijelaskan sebelumnya, antara lain : Tabel 2 Perkara Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan dengan Saksi Ahli yang Dihadirkan No. Nomor Perkara
Saksi Ahli yang Dihadirkan
1
Atas nama terdakwa :
- Ahli Barium Silalahi yang merupakan auditor dari BPKP
Dr. dr. H.Umar Zein, DTM&H, Sp.PD, KPTI
- Ahli hukum pidana Prof. Dr. H. Syafrudin Kalo, SH. M.Hum
152/Pid.B/2011/PN.Kbj
- Ahli Drs. Muhammad Natsir yang merupakan auditor dari BPKP
2762/Pid.B/2009/PN.Mdn
2
Atas nama terdakwa :
3
Drs. Kampung Sitepu
- Ahli Ir. M. Koster Silaen, ST yang berkompeten dalam pemeriksaan fisik pekerjaan bangunan
10/Pid.Tipikor/2012/PN.Smda
- Ahli Dwi Amokodanardono, SE yang merupakan auditor dari BPKP
Atas nama terdakwa :
Ir. Machfudz HB, Msi Bin - Ahli Dr. Harsanto Nursadi yang berkompeten di bidang hukum Hassan Basrie administrasi Sumber : Putusan Nomor 2762/Pid.B/2009/PN.Mdn, Putusan Nomor 152/Pid.B/2011/PN.Kbj, Putusan Nomor 10/Pid.Tipikor/2012/PN.Smda (diolah) Berdasarkan data di atas, dapat diketahui beberapa contoh perkara tindak pidana korupsi yang menghadirkan keterangan ahli. Kemudian dapat diketahui jenis keahlian yang diperlukan sebagai keterangan ahli guna pembuktian tindak pidana korupsi. Berdasarkan tiga contoh kasus tersebut, didapat beberapa jenis keahlian yang diperlukan sebagai keterangan ahli dalam perkara tindak pidana korupsi, yaitu : 1.
Keahlian di bidang auditing Asal kata auditing adalah audit yang berarti suatu proses sistematik untuk
memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataanpernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan
kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.14 Orang yang melakukan auditing adalah auditor. Berdasarkan tabel perkara tindak pidana korupsi yang menghadirkan keterangan ahli terlihat bahwa hampir semua kasus tindak pidana korupsi menghadirkan keterangan ahli yang memiliki kemampuan di bidang auditing, yaitu auditor dari BPKP. Hal ini dikarenakan dalam menentukan telah terjadi suatu perkara tindak pidana korupsi, maka semua unsur-unsur terkait dengan tindak pidana korupsi harus dapat dibuktikan. Salah satu unsur dari tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian negara yang diakibatkan. Perhitungan terhadap kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi dilakukan oleh auditor dari BPKP, sehingga hampir semua perkara tindak pidana korupsi memerlukan keterangan ahli di bidang auditing. 2.
Keahlian di bidang pemeriksaan fisik pekerjaan bangunan Hadirnya ahli di bidang pemeriksaan fisik pekerjaan bangunan untuk
memberikan keterangan ahli di persidangan, biasanya ada pada perkara tindak pidana korupsi menyangkut proyek yang diadakan oleh pemerintah yang berhubungan dengan proyek-proyek pembangunan. Pada perkara tersebut dihadirkan keterangan ahli di bidang pemeriksaan fisik pekerjaan bangunan untuk mengecek ke lokasi bangunan dan langsung memeriksa kondisi fisik bangunan sesuai dengan keilmuan yang dimilikinya. Ahli memeriksa apakah struktur dan bahan bangunan yang digunakan sesuai dengan standar yang seharusnya atau banyak menemukan kekurangan. 3.
Keahlian di bidang hukum Keterangan ahli di bidang hukum tidak hanya terpaku pada ahli di bidang
hukum pidana saja, tetapi juga di bidang hukum perdata maupun hukum administrasi. Hadirnya ahli di bidang hukum terutama ahli hukum pidana dalam praktek hukum acara pidana masih sering diperdebatkan. Biasanya keterangan ahli di bidang hukum diperlukan dalam upaya memahami hukum melalui teori. Para akademisi memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai suatu kasus dari
14
Mulyadi. 2002. Auditing. Jakarta : Salemba Empat. Hal. 5.
pada praktisi, hal tersebut dikarenakan akademisi meneliti lebih banyak kasus dengan sudut pandang yang berbeda. Kehadiran ahli di bidang hukum dapat dimanfaatkan untuk memberikan masukan dan menjadi pegangan bagi hakim dalam memutus perkara. Terlebih jika hal yang akan diterangkan oleh ahli tersebut merupakan sesuatu hal di bidang hukum yang masih diperdebatkan atau aturan hukumnya belum jelas. Seperti contoh mengenai kewenangan BPK dan BPKP dalam melakukan perhitungan kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi. Sebelum
menjatuhkan
putusan,
hakim
harus
melalui
berbagai
pertimbangan. Pada 3 (tiga) perkara tindak pidana korupsi yang menghadirkan keterangan ahli dalam persidangannya yang dianalisis menunjukkan bahwa salah satu yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan adalah keterangan yang diberikan oleh saksi ahli. Terkait
dengan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
Nomor
2762/Pid.B/2009/PN.Mdn tanggal 21 Januari 2010 atas nama terdakwa Dr. dr. H.Umar Zein, DTM&H, Sp.PD, KPTI yang menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Sesuai pertimbangan hakim mengenai unsurunsur
dalam dakwaan subsidair yaitu Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana telah terpenuhi.15 Salah satu yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Dr. dr. H.Umar Zein, DTM&H, Sp.PD, KPTI adalah keterangan yang diberikan saksi ahli yang diajukan pihak penuntut umum yaitu Barium Silalahi yang menerangkan bahwa ahli pernah melakukan audit perhitungan keuangan negara di Dinas Kesehatan Kota Medan pada tanggal 29 15
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2762/Pid.B/2009/PN.Mdn tanggal 21 Januari 2010 atas nama terdakwa Dr. dr. H.Umar Zein, DTM&H, Sp.PD, KPTI
Juni 2009 sampai dengan 17 Juli 2009, atas permintaan dari penyidik Kejaksaan Negeri Medan. Menurut ahli, jumlah kerugian negara atas dugaan penyalahgunaan Dana APBD, Pajak PPh Pasal 21 dan Dana Kapitasi Askes adalah :16
Sisa Kas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp. 801.502.837,-
Dana Pungutan Pajak PPh Pasal 21 yang tidak dipertanggungjawabkan sebesar Rp. 417.259.010,-
Dana Kapitasi Askes yang tidak dipertanggungjawabkan sebesar Rp. 43.000.000,Selain mempertimbangkan keterangan yang disampaikan saksi ahli yang
diajukan oleh Penuntut Umum, juga dipertimbangkan keterangan ahli yang diajukan oleh penasehat hukum terdakwa yaitu ahli hukum pidana Prof. Dr. H. Syafrudin Kalo, SH. M.Hum yang pada salah satu keterangannya menyatakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mempunyai domian dalam menentukan keuangan Negara.17 Sesuai keterangan yang diberikan oleh saksi ahli dan disertai dengan alat bukti lainnya, juga pertimbangan-pertimbangan lainnya, hakim memutuskan terdakwa bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan jika denda tersebut tidak dibayar harus diganti dengan hukuman kurungan selama 6 (enam) bulan.18 Terkait
dengan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Kabanjahe
Nomor
152/Pid.B/2011/PN.Kbj tanggal 10 Januari 2012 atas nama terdakwa Drs. Kampung Sitepu yang menyatakan terdakwa
telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Sesuai pertimbangan hakim mengenai unsur-unsur
dalam
dakwaan primair yaitu Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
16
Ibid Ibid 18 Ibid 17
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana telah terpenuhi. 19 Salah satu yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs. Kampung Sitepu adalah keterangan yang diberikan oleh dua saksi ahli yang diajukan pihak penuntut umum. Saksi ahli yang pertama yaitu Drs. Muhammad Natsir dari BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera Utara yang bahwa berdasarkan hasil audit perhitungan kerugian Keuangan Negara pada pembangunan tempat penampungan sementara (TPS) pedagang pasar Kabanjahe Tahun Anggaran
2009
ada kelebihan pembayaran kepada kontraktor yang
menjadi kerugian negara sebesar Rp.148.396.299,34 (seratus empat puluh delapan juta tiga ratus sembilan puluh enam ribu dua ratus sembilan puluh sembilan rupiah tiga puluh empat sen). 20 Saksi ahli yang kedua yaitu Ir. M. Koster Silaen, ST yang berkompeten dalam pemeriksaan fisik pekerjaan bangunan, memberikan keterangan di sidang pengadilan sesuai dengan pemeriksaan yang telah dilakukannya sebelumnya. Pada keterangannya, ahli menyatakan benar adanya adanya kekurangan volume, hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi sehingga ada kelebihan pembayaran kepada pihak rekanan.21 Berdasarkan pertimbangan terhadap saksi-saksi, keterangan ahli maupun keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan diperoleh fakta-fakta hukum, hingga hakim memutuskan terdakwa bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan membayar denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) subsider 4 (empat) bulan kurungan.22
19
Putusan Pengadilan Negeri Kabanjahe Nomor 152/Pid.B/2011/PN.Kbj tanggal 10 Januari 2012 atas nama terdakwa Drs. Kampung Sitepu 20 Ibid 21 Ibid 22 Ibid
Terkait
dengan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Samarinda
Nomor
10/Pid.Tipikor/2012/PN.Smda tanggal 2 Agustus 2012 atas nama terdakwa Ir. Machfudz HB, Msi Bin Hassan Basrie yang menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Sesuai pertimbangan hakim mengenai unsurunsur
dalam dakwaan subsidair yaitu Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana telah terpenuhi.23 Salah satu yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ir. Machfudz HB, Msi Bin Hassan Basrie adalah keterangan yang diberikan oleh saksi ahli baik yang ajukan oleh penuntut umum maupun penasihat hukum terdakwa.24 Saksi ahli yang diajukan oleh penuntut umum merupakan ahli dari BPKP yaitu Dwi Atmokodanardono, SE, yang pada menerangkan bahwa ia pernah melakukan perhitungan kerugian keuangan negara/daerah atas dugaan tindak Pidana korupsi pekerjaan Pembangunan Rumah layak huni Kota Tarakan Tahun Anggaran 2010 sebanyak 60 unit yang hasilnya dituangan dalam Laporan Hasil Audit Nomor: R-703/PW.17/5/2011, tanggal 16 Desember 2011, perhitungan kerugian keuangan negara/daerah dilakukan oleh Tim BPKP yang menemukan kerugian keuangan negara/daerah sebesar Rp.125.919.694.68.- atas pembangunan 60 unit rumah layak huni tersebut.25 Saksi ahli yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa merupakan ahli yang berkompeten di bidang hukum administrasi, yang salah satu keterangannya menerangkan bahwa yang melakukan audit adalah BPK sebagaimana yang
23 Putusan Pengadilan Negeri Samarinda Nomor 10/Pid.Tipikor/2012/PN.Smda tanggal 2 Agustus 2012 atas nama terdakwa Ir. Machfudz HB, Msi Bin Hassan Basrie 24 Ibid 25 Ibid
ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2007 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).26 Berdasarkan keterangan saksi ahli tersebut dan disertai alat bukti lainnya, hakim memutuskan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya. Terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. Rp.50.000.000.- (lima puluh juta rupiah), subsidiair 4 (empat) bulan kurungan. 27 Apabila ditinjau kembali Putusan Pengadilan Negeri Kabanjahe Nomor 152/Pid.B/2011/PN.Kbj tanggal 10 Januari 2012 atas nama terdakwa Drs. Kampung Sitepu, terdapat disenting opinion dari Hakim Anggota II yang mengatakan perhitungan yang dilakukan BPKP yang dijadikan dasar perhitungan kerugian keuangan Negara dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa Drs. Kampung Sitepu telah bertentangan dengan jiwa Pasal 23 huruf E UUD 1945 dan dengan demikian telah bertentangan dengan hukum yang berlaku dalam wilayah Republik Indonesia. Karena tidak ada Badan Pemeriksa Keuangan Negara yang mempunyai kedudukan sederajat dengan kewenangan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, sehingga dalam hal BPK telah melakukan pemeriksaan keuangan (seperti yang dilakukan dalam Proyek Pengadaan Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang dilakukan oleh Badan Keuangan Daerah (BKD) Kabupaten Karo, maka Penyidik Jaksa seharusnya menggunakan hasil pemeriksaan BPK bukan meminta pemeriksaan ulangan oleh BPKP. 28 Kemudian
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
Nomor
2762/Pid.B/2009/PN.Mdn tanggal 21 Januari 2010 atas nama terdakwa Dr. dr. H.Umar Zein, DTM&H, Sp.PD, KPTI serta Putusan Pengadilan Negeri Samarinda Nomor 10/Pid.Tipikor/2012/PN.Smda tanggal 2 Agustus 2012 atas nama terdakwa Ir. Machfudz HB, Msi Bin Hassan Basrie, yang pada kedua putusan tersebut terdapat keterangan saksi ahli yang menerangkan bahwa yang memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap kerugian negara adalah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). 26
Ibid Ibid 28 Putusan Pengadilan Negeri Kabanjahe Nomor 152/Pid.B/2011/PN.Kbj. op.cit. 27
Berdasarkan ketiga contoh kasus tersebut dapat terlihat diperlukannya keberadaan keterangan ahli pidana dalam upaya memahami siapa yang seharusnya berhak melakukan audit serta perhitungan kerugian negara yang diakibatkan tindak pidana korupsi, yang merupakan hal-hal di bidang hukum yang masih diperdebatkan ataupun aturan hukumnya belum jelas. Karena sebelumnya belum ada pengaturan menengai siapa yang berhak melakukan perhitungan terhadap kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi. Sehingga pada tanggal 23 Oktober 2012, Mahkamah Konstitusi mengakui kewenangan BPKP dalam melakukan audit investigasi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 yang menguatkan kewenangan BPKP untuk melakukan audit investigasi berdasarkan Keppres 103 tahun 2001 dan PP No 60 Tahun 2008. BPKP dan BPK masing-masing memiliki kewenangan untuk melakukan audit berdasarkan peraturan. Menurut Mahkamah, dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu. Bahkan, dari pihak-pihak lain, termasuk dari perusahaan yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya.29
E. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan dalam bab demi bab sebelumnya, maka dapat diambi kesimpulan, yaitu : 1.
Kedudukan keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana merupakan salah satu dari lima alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP. 29
http://www.bpkp.go.id/berita/read/9322/15/MK-Akui-Kewenangan-BPKP-LakukanAudit-Investigasi.bpkp . MK Akui Kewenangan BPKP Melakukan Audit Investigasi. Diakses tanggal 14 Januari 2013
Pada pembuktian perkara pidana, keterangan ahli mempunyai kekuatan pembuktian bebas dan nilai pembuktiannya tergantung kepada penilaian hakim. Kekuatan pembuktian seorang ahli dapat dilihat saat proses pengangkatan sumpah sebelumnya, serta keterangan seorang ahli tidak dapat menjadi alat bukti yang mutlak akan tetapi harus disertai dengan alat bukti lain dalam proses pembuktiannya. 2.
Keberadaan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi, baik pada tingkat penyidikan maupun persidangan tidak dapat diabaikan begitu saja. Keterangan ahli dibutuhkan karena jaksa penuntut umum, penasihat hukum, maupun hakim memiliki pengetahuan yang terbatas. Ada kalanya pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi terkait dengan bidang ilmu lain yang tidak dikuasai oleh penegak hukum. Keterangan ahli juga berguna untuk meyakinkan hakim serta terdakwa dan penasihat hukum yang mendampinginya ketika alat bukti yang diajukan kurang optimal. Sesuai hasil analisis putusan Pengadilan Negeri No.2762/Pid.B/2009/PN.Mdn,
No.152/Pid.B/2011/PN.Kbj,
dan
No.10/Pid.Tipikor/2012/PN.Smda, didapat beberapa jenis keahlian yang diperlukan sebagai keterangan ahli dalam perkara tindak pidana korupsi, antara lain keahlian di bidang auditing terkait dengan salah satu unsur tindak pidana korupsi yang harus dibuktikan yaitu kerugian negara, keahlian di bidang pemeriksaan fisik pekerjaan bangunan terkait perkara tindak pidana korupsi menyangkut proyek yang diadakan pemerintah yang berhubungan dengan proyek-proyek pembangunan, serta keahlian di bidang hukum untuk memberikan masukan dan menjadi pegangan bagi hakim dalam memutus perkara.
2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, maka ada beberapa saran yang dapat dikemukakan, yaitu sebagai berikut : 1.
Hakim memiliki peranan yang sangat penting di sidang pengadilan. Untuk itu diperlukan ketelitian hakim dalam setiap proses di persidangan
termasuk pembuktian. Hakim harus lebih teliti dalam menilai setiap keterangan yang diberikan oleh ahli. Apabila keterangan ahli bersesuaian dengan kenyataan yang lain di persidangan, maka keterangan ahli diambil sebagai
pendapat
hakim
sendiri.
Jika
keterangan
ahli
tersebut
bertentangan, bisa saja dikesampingkan oleh hakim. Namun keterangan ahli yang dikesampingkan harus berdasarkan alasan yang jelas, tidak bisa mengenyampingkan suatu keterangan ahli begitu saja tanpa ada alasan. Untuk itu, hakim juga harus memiliki dasar yang kuat dalam menilai keterangan ahli. 2.
Ahli yang memberikan keterangan ahli di persidangan harus benar-benar kompeten di bidangnya, sehingga keterangan yang diberikan oleh ahli tersebut dapat membantu hakim dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan. Bagi ahli yang merasa tidak berkompeten untuk memberikan keterangan ahli serta bukanlah merupakan bidang keahliannya, sebaiknya mengundurkan diri.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Hamzah, Andi. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika Harahap, Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjaua Kembali. Jakarta : Sinar Grafika __________. 2002. Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafika Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT. Sinar Grafika Makarao, Muhammad Taufik. 2002. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Bogor : Ghalia Indonesia Mulyadi. 2002. Auditing. Jakarta : Salemba Empat Prakoso, Djoko. 1988. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di dalam Proses Pidana. Yogyakarta : Liberty Sasangka. Hari dan Lili Rosita. 2003. Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung : Mandar Maju Siregar, Bismar. 1983. Hukum Acara Pidana. Jakarta : Hukum Nasional Departemen Kehakiman
Badan Pembinaan
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi INTERNET http://www.bpkp.go.id/berita/read/9322/15/MK-Akui-Kewenangan-BPKPLakukan-Audit-Investigasi.bpkp . MK Akui Kewenangan BPKP Melakukan Audit Investigasi. Diakses tanggal 14 Januari 2013