JURNAL
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA MELALUI JEJARING SOSIAL DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh: MUHAMMAD ANDRI FAUZAN LUBIS 090200055
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA MELALUI JEJARING SOSIAL DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK JURNAL Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: MUHAMMAD ANDRI FAUZAN LUBIS 090200055
Disetujui Oleh KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H NIP. 195703261986011001
DOSEN EDITOR
Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M. Hum 197302202002121001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
ABSTRAK
Jejaring sosial baru-baru ini diramaikan dengan adanya pengguna akun jejaring sosial nakal yang mempostingkan penistaan terhadap agama. Alasan pemostingan itu terbilang sederhana, yakni kebebasan menyatakan pendapat, terlebih lagi medianya adalah akun pribadi di jejaring sosial. Postingan itu akhirnya memancing amarah dari pemeluk agama yang dinistakan, dan menistakan kembali agama yang dianut si pemostingnya. Pada akhirnya, keadaannya justru semakin meluas dan berimbas ke dunia nyata. Sebagai contoh, perang antar agama misalnya. permasalahan yang timbul dari hal diatas bagaimana pengaturan penistaan agama melalui jejaring sosial, bagaimana pertanggungjawaban pelaku penistaan agama melalui jejaring sosial, dan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi penistaan agama di jejaring sosial. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode normatif dengan menggunakan data sekunder dengan bahan hukum primer, bahan hukum yang telah ada dan yang berhubungan dengan judul skripsi ini yang terdiri dari Peraturan Perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku pendapat para sarjana, hasil penelitian, dan kasus-kasus hukum yang terkait dengan pembahasan judul skripsi ini. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. Bahwa penistaan agama melalui media jejaring sosial telah diatur dalam Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahwa menurut undang-undang tersebut, penistaan agama dapat dimintakan pertanggungjawabannya apabila telah memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yakni barang siapa yang telah memberikan informasi yang menimbulkan rasa benci dan permusuhan terhadap Suku, Agama, Ras, Antar golongan (SARA).Meskipun terdapat hambatan dalam menanggulangi penistaan agama melalui jejaring sosial, tetap ada upaya yang bisa dilakukan untuk menanggulanginya. Pemerintah baik dengan sarana penal, seperti membuat peraturan perundang-undangan yang baru, maupun memperluas pengaturan cybercrime dalam RUU KUHP, dan non penal,seperti pendekatan budaya dan berkerja sama dengan Internet Service Provider (ISP), dan masyarakat sekalipun bertanggungjawab dalam menanggulangi masalah ini dan mengupayakan agar kasus penistaan agama ini tak terulang kembali.
Kata Kunci : Penistaan agama, jejaring sosial.
A. PENDAHULUAN Jejaring sosial seperti facebook maupun twitter baru-baru ini diusik oleh ulah para pemilik akun nya. Pasalnya, bebrapa pemilik akun di jejaring sosial ini menunjukkan sikap yang anti terhadap suatu agama tertentu yang ditunjukkan dengan menistakan agama tersebut. Tentu saja hal ini meresahkan bagi penganut agama yang dinistakan. Dan hal ini tentu saja melanggar hukum yang yang berlaku. Undang-undang Dasar sendiri telah mengaminkan agar masyarakat berhak memeluk agamanya masing-masing dalam pasal 29 ayat (2). Bahkan masing-masing agama juga mengajarkan umatnya untuk toleransi dalam beragama. Namun, ada nya alasan kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum yang juga diaminkan dalam pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 dan dikuatkan dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, menjadi alasan bagi pemilik akun itu untuk memposting apa pun sesuai kehendak mereka. Alhasil, perang ejekan agama di jejaring sosial menjadi semakin besar. Akun yang memprovokasi justru akan semakin puas dengan komentar-komentar panas yang mengomentari status akun nya. Agama adalah elemen fundamental hidup dan kehidupan manusia, oleh sebab itu, kebebasan untuk beragama (dan tidak beragama, serta berpindah agama) harus dihargai dan dijamin. Ungkapan kebebasan beragama memberikan arti luas yang meliputi membangun rumah ibadah dan berkumpul, menyembah; membentuk institusi sosial; publikasi; dan kontak dengan individu dan institusi dalam masalah agama pada tingkat nasional atau internasional.1 Kebebasan beragama, menjadikan seseorang mampu meniadakan diskriminasi berdasarkan agama; pelanggaran terhadap hak untuk beragama; paksaan yang akan mengganggu kebebasan seseorang untuk mempunyai agama atau kepercayaan. Termasuk dalam pergaulan sosial setiap hari, yang menunjukkan saling pengertian, toleransi, persahabatan dengan semua orang, perdamaian dan 1
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/07/24/menghormati-yang-berpuasa-dantak-berpuasa-sebagai-bentuk-toleransi-479411.html diakses tanggal 3 Januari 2013.
persaudaraan universal, menghargai kebebasan, kepercayaan dan kepercayaan dari yang lain dan kesadaran penuh bahwa agama diberikan untuk melayani para pengikut-pengikutnya. Jadi, toleransi beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Sebenarmya, perselisihan antar agama bukan hal yang baru, khususnya di Indonesia sendiri. Perang antar agama, membantai penganut agama tertentu, merusak dan membakar rumah ibadah. Bukan lah hal yang tak mungkin bila ejekmengejek agama di dunia maya berimbah di dunia nyata. Sebagai contoh beberapa postingan-postingan yang dapat memecahkan hubungan antar umat beragama: 1. akun twitter @QueenMutiaa : Assamu'alaikum, Where the fuck is Allah Huakbar?2 diposting tanggal 31 desember 2012 2. akun facebook atas nama Jasmine Always-HappyIII memposting Mohammad SAW adalah keturunan anjink sawan yg pinter bohong,, saking pinternya dy bisa boonk’in milyaran manusia wkwkwkwk diposting tanggal 11 Agustus at 1:34 pm 3. dan lain-lain. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam pasal 156 dan 156a telah mengatur mengenai masalah penistaan agama. Dalam artian, bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan permusuhan dan kebenciaan dan penodaan terhadap suatu agama tertentu dapat dipidana. Namun, apakah pasal itu juga dapat menjerat sesuatu yang terjadi bukan di dunia nyata melainkan terjadi di dunia maya? Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada dasarnya dibuat untuk memenuhi tuntutan tentang adanya kemajuan pada teknologi informasi dan sudah mengatur tentang cyber crimer yaitu kejahatan yang terjadi di dunia maya. Tentu saja Undang-undang ini lebih baik untuk menjerat kejahatan di dunia maya. Namun, apakah dalam undangundang telah ini mengatur masalah penistaan agama di internet/jejaring sosial? Bagaimana juga cara meminta pertanggung jawabannya? Karena dari contoh yang 2
https://twitter.com/QueenMutiaa
di atas para pelaku sama sekali belum terjerat hukum, padahal jelas mereka telah melakukan rasa permusuhan terhadap agama seperti yang tertuang dalam pasal 28 ayat (2) Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
B. PERMASALAHAN 1.
Bagaimana pengaturan terhadap penistaan agama di jejaring sosial di Indonesia?
2.
Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penistaan agama di jejaring sosial?
3.
Upaya apa yang bisa dilakukan untuk mencegah agar penistaan agama di jejaring sosial tidak bisa terulang kembali?
C. METODE PENELITIAN Metodologi penelitian yang digunakan adalah meliputi: 1. Jenis Penelitian Dalam penulisan skrispi ini menggunakan metode penelitian hukum normative. Penelitian dilakukan terhadap peraturan-peraturan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi ini yakni “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”. 2. Data dan Sumber Data Dalam penyusunan skripsi ini menggunakan data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum yang telah ada dan yang berhubungan dengan judul skripsi ini yang terdiri dari Peraturan Perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku pendapat para sarjana, hasil penelitian, dan kasuskasus hukum yang terkait dengan pembahasan judul skripsi ini yaitu “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.” Penulisan skripsi ini juga
menggunakan bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penilitian kepustakaan (library research). Penulisan skripsi ini dilakukan terhadap literature-literatur untuk memperoleh bahan.
Tujuan penelitian
kepustakaan ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku, majalah, surat kabar, situs internet maupun bacaan lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini. 4. Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) akan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif artinya dalam penulisan skripsi ini semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.
D. HASIL PENELITIAN 1.
Pengaturan penistaan agama di Indonesia Delik penistaan agama sendiri di Kitab Undang-undang Hukum Pidana
diatur dalam pasal 156 dan 156 a. Pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Pidana berbunyi: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia, dihuum penjara selama-lamanya emapat tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah). Yang dikatakan golongan dalam pasal ini dan pasal yang berikut ialah tiap-tiap bahagian dari penduduk Negara Indonesia yang berbedaan dengan sesuatu atau beberapa bahagian dari penduduk itu lantaran bangsanya (ras), agamanya, tempat aslinya, keturunannya, kebangsaannya atau hukum negaranya. 3 3
R. soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentarkomentarnya lengkap pasal demi pasal. Politea, Bogor, 1993.Hal. 61.
Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Undang-undang Pnps Nomor 1 tahun 1965 ialah4: Pasal 4 Undang-undang No. 1/Pnps/1965 Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: "Pasal 156a” Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Jadi yang dimaksud dengan delik agama dalam hukum pidana di Indonesia ialah suatu penyelidikan tentang bagaimana sebab-sebab duduk perkaranya peristiwa pidana yang terkandung di dalam pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut dalam kemungkinan-kemungkinan terciptanya delik agama di dalamnya.5 Pasal-pasal
tersebut
dimaksudkan
untuk
memelihara
atau
melindungi/menjamin “persamaan” sebagai salah satu asas hak asasi manusia dan mencegah diskriminasi.6 Sedangkan menurut Prof. Seno Adji SH, sebelum merdeka pasal ini dimaksudkan untuk memberantas kebangsaan dan kemerdekaan kita.7 Pasal ini merupakan sisipan haatzai-artikelen yang tidak disenangi, di mana objek dari perbuatan dalam pasal ini adalah perbuatan yang dipidanakan adalah golongan penduduk, yang antara lain berbeda karena agama, sedangkan di Negeri Belanda sendiri ditolak dan disalurkan melalui pasal lain. Demikian pendapat Seno Adji, baru dalam alam merdeka dan dalam Negara Pancasila, dimana pengakuan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak bisa dipisahkan dengan agama, diterapkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1965 tentang
4
Praja, Juhaya s, Ahmad Syihabuddin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, Angkasa, Bandung, 1982, hal. 9. 5 Ibid. hal. 10. 6 Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Sinar Grafika, Jakarta,2010, hal. 59. 7 Praja, Juhaya s, Ahmad Syihabuddin, Op.cit, hal. 39.
Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, yang tampaknya mendapat sambutan yang baik dari golongan agama.8 Unsur-unsur pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah sebagai berikut9: a.
Di hadapan umum;
b.
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan;
c.
terhadap golongan.
Pengertian golongan disini menurut pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah: Yang dikatakan golongan dalam pasal ini dan pasal yang berikut ialah tiap-tiap bahagian dari penduduk Negara Indonesia yang berbedaan dengan sesuatu atau beberapa bahagian dari penduduk itu lantaran bangsanya (ras), agamanya, tempat aslinya, keturunannya, kebangsaannya atau hukum negaranya. Kemudian bila ditinjau pasal 156 ini ditinjau dari segi penempatannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu dalam Buku II bab V tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum, agak jauh dari bab ke XVI mengenai penghinaan, merupakan suatu petunjuk bahwa bukan penghinaan yang dimaksud dalam pasal ini dalam perbuatan pidananya, tapi menyatakan perasaan permusuhan kebenciaan atau penghinaan.10 Jadi pasal ini lebih luas pengertiannya, lebih banyak mencakup pernyataan-pernyataan daripada apa yang mungkin oleh penghinaan. Mengenai pasal 156a Pnps. No.1/1965 seperti yang telah disebutkan di atas, penjelasan pasal demi pasal, khususnya pasal 4 menyatakan : Maksud ketentuan ini telah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum diatas. Cara mengeluarkan persamaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan, tulisan ataupun perbuatan lain. Huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah yang sematamata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata 8
Ibid. hal. 40. Marpaung, Leden, Op.cit. hal. 61. 10 Praja, Juhaya s, Ahmad Syihabuddin, Op.cit, hal. 42. 9
atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tinak pidana menurut pasal ini. Huruf b, Orang yang melakukan tindak pidana tersebut disini, disamping mengganggu ketentraman orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatannya itu dipidana sepantasnya. Rumusan delik dalam pasal 156a adalah sebagai berikut11: a.
Setiap orang
b.
dimuka umum
c.
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum.
d.
untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran atau kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Sementara itu menurut pasal Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta Nomor 19/Pid/Tol/1979 yang diucapkan pada hari kamis tanggal 13 Desember 1979, halaman 7 menyimpulkan unsur-unsur yang terkandung dalam pasal tersebut adalah:12 a.
dengan sengaja (opzet);
b.
di muka umum (inhet openbaar); dan
c.
perbuatan penodaan terhadap agama.
Penjelasan Pasal 156a menyatakan bahwa maksud ketentuan ini telah cukup jelas yaitu dengan cara mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan baik secara lisan, tulisan maupun dengan perbuatan lain yang bertujuan menghina suatu agama.
11 Ismuhadi, Skripsi: Analisa Pidana Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di Indonesia, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 2008, hal. 65. 12 Praja, Juhaya s, Ahmad Syihabuddin, Op.cit, hal. 43.
Namun jika dicermati dengan seksama baik pasal 156 maupun pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana memiliki kelemahan-kelemahan, antara lain:13 a.
Dalam pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak merumuskan yang jelas tentang delik agama. Pasal ini hanya menyinggung sedikit tentang delik agama, tapi tidak jelas. Apakah yang dilindungi oleh pasal ini adalah “orang” atau “agama”.
b.
Pasal 156 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
ini perlu diperjelas
mengenai maksudnya. Pasal ini ditinjau dari sudut ajaran Islam merupakan pasal yang menyangkut delik penghinaan. Hanya saja didalam ajaran Islam “penghinaan itu tidak disyaratkan dilakukan di muka umum”. Tidak pula disyaratkan perbuatan itu mengganggu ketertiban umum. c.
Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dituangkan dalam Undang-undang Pnps Nomor 1 tahun 1965, menghendaki adanya delik agama, secara umum; perlindungan terhadap agama-agama yang diakui sebagai agama yang syah di Indonesia. Namun, kalimat “di muka umum” yang membawa konsekuensi seperti pasal 156. Jadi lebih dominan kepentingan umum daripada kepentingan agama.
Selain di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal penistaan agama juga diatur di dalam pasal 28 ayat 2 Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan untuk ketentuan pidananya diatur di dalam pasal 45 ayat (2) undang-undang ini. Namun, pasal ini berlaku secara khusus, yakni hanya untuk tindak pidana penistaan agama yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronika, atau bisa dikatakan hanya untuk tindak pidana penistaan agama yang dilakukan di dunia siber atau dunia maya yang menggunakan teknologi elektronika atau internet. Bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan 13
Supanto, Delik Agama, UNS Press, Surakrta, 2007, hal. 111-113
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sebenarnya, tujuan pasal ini adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil.14 Contoh penerapannya adalah apabila seseorang menuliskan status dalam jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap suku/agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu, maka Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini secara langsung dapat dipergunakan oleh Aparat penegak Hukum (APH) untuk menjerat pelaku yang menuliskan status tersebut.15 Sedangkan ketentuan pidananya diatur dalam pasal 45 ayat (2) yang berbunyi: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bila dilihat dari ketentuan pidana yang diatur dalam pasal, pembuat undang-undang membuat sanksi yang cukup berat bagi siapa saja yang melanggarnya. Yakni berupa penjara maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah). Kata dan/atau disini berarti dalam penjatuhan hukumannya oleh hakim dapat bersifat alternatif (memilih) atau dapat bersifat 14
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fb9207f1726f/pasal-untuk-menjeratpenyebar-kebencian-sara-di-jejaring-sosial- diakses tanggal 6 Februari 2013. 15 Ibid.
kumulatif (menggabungkan). Berarti seorang yang melanggar pasal ini, bisa saja akan dijatuhi hukuman penjara dan denda sekaligus. Dalam putusan No 45/Pid.B/2012/PN.MR atas nama Alexander An Pgl Aan tanggal 14 Juni 2012, merumuskan unsur-unsur dalam pasal ini, yakni: 1.
Setiap orang;
2.
dengan sengaja dan tanpa hak;
3.
Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau
permusuhan
indiviu
dan/atau
kelompok
tertentu
berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).
2. Pertanggungjawaban pidana pelaku penistaan agama di jejaring sosial Pelaku secara umum dapat dikatakan sebagai orang yang melakukan suatu perbuatan tertentu. Pelaku kejahatan adalah orang yang telah melakukan kejahatan yang sering pula disebut sebagai penjahat.16 Sebenarnya istilah penjahat tidak dikenal dalam dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Tidak ada satu istilah pun dalam pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia seseorang yang dihukum itu disebut penjahat. Istilah itu hanya dikenal dalam kehidupan masyarakat. Istilah tersebut merupakan istilah yang terdapat dalam masyarakat yang diberikan kepada orang tertentu, yang menurut penilaian masyarakat tersebut telah melanggar kaidah-kaidah yang berlaku di dalam masysrakat itu.17 Simons merumuskan pengertian dader atau pelaku, yaitu adalah 18 ”Pelaku suatu tindak pidana itu adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang dengan suatu kesengajaan seperti yang disyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau telah melakukan tindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan yang yang diwajibkan oleh undang-undang atau dengan perkataan lain adalah orang yang memenuhi semua unsur delik seperti yang telah ditentukan di dalam 16
Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana,Nusa Media, Bandung, 2010,
Hal. 11 17 Arrasjid, Chainur, Suatu Pemikiran tentang Psikologi Kriminal,Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1988, Hal. 33. 18 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, Hal. 593.
undang-undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsurunsur objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau timbul karena digerakkan oleh pihak ketiga.” Memorie van Toelicting (MvT) menyebutkan bahwa dader (pelaku) adalah sebagai berikut:19 a.
Mereka yang melalukan perbuatan seperti yang dirumuskan dalam Buku II dan Buku III Kitab Undang-undang Hukum Pidana secara persoonlijke dan materiil dengan tidak atau dengan bentuan langsung orang lain
b.
Mereka yang juga melakukan perbuatan itu, tetapi tidak persoonlijke, melainkan dengan perantaraan orang lain laksana alat yang dalam tangannya, jika orang lain tersebut tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan, dan kemampuan bertanggungjawab
c.
Mereka bersama-sama melakukan perbuatan itu, dengan sengaja ikut mengerjakan terjadinya perbuatan
d.
Mereka yang disamakan dengan mereka yang melakukan perbuatan secara meteriil dan yang menyuruh melakukan perbuatan itu dengan cara yang disebut dalam Pasal 55 ayat 1 sub 2, orang ini adalah Auctor Intellectualis. Mereka yang meyebabkan terjadinya tindak pidana yang langsung menimbulkannya, yang tanpa adanya mereka itu kebanyakan tidak terjadi perbuatan itu, karena itu mereka adalah dader (pembuat) hingga harus dipidana sama beratnya dengan Auctor Intellectualis.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak merusmuskan pengertian pertanggungjawaban pidana. Namun, dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru dalam pasal 36 telah merumuskan pengertian pertanggungjawaban
pidana,
yakni
Pertanggungjawaban
pidana
ialah
diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara
19
Putra, Mohammad Eka dan Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan, USU Press, Medan, 2009, Hal. 45.
subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah merupakan kelanjutan dari pengertian perbuatan pidana. Jika orang telah melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat dijatuhi pidana sebab masih harus dilihat apakah orang tersebut dapat dipersalahkan atas perbuatan yang telah dilakukannya sehingga orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. 20 Jika ternyata tidak dapat dibuktikan kesalahannya, maka berlakulah asas Geen Straf Zonder Schuld yang artinya: tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan. Dengan demikian bahwa untuk dapatnya seseorang dijatuhi pidana harus memenuhi unsurunsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana (mempunyai kesalahan).21 Pada
akhirnya,
bagaimanakah
seseorang
itu
dapat
diminta
pertanggungjawabannya? Menurut Van Hammel yang mengatakan, orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat22, yaitu : a.
Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan,
b.
Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat,
c.
Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.
Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya23. Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu:24
20
Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana , Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 78. 21 Ibid, hal. 75. 22 Sutrisna, I Gusti Bagus , Op.cit, hlm.79 23 Ibid 24 Ibid, Hal. 80
a.
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
b.
kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Kesalahan secara umum terbagi dalam dua bentuk yakni kesengajaan
(dolus) dan kealpaan (culpa). Sering dikatakan bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang besar sedangkan kealpaan adalah kesalahan yang kecil. Menurut Crimineel Wetboek Nederland tahun 1809 (pasal 11) opzet (sengaja) itu adalah maksud membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.25 Menurut Menteri dalam jawaban Pemerintah ketika membicarakan rencana Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dikatakan yang dimaksud dengan kesengajaan adalah jurusan yang disadari daripada kehendak terhadap suatu kejahatan tertentu.26 Langmeyer mengatakan bahwa dalam intinya, maka pengertian ini adalah cukup jelas bagi siapa pun. Kesengajaan itu ada dalam tiap-tiap kelakuan mana kehendak kita tujukan, akibat yang dimaksudkan dengan itu telah kita bayangkan terlebih dahulu. Sampai sekian maka teori kehendak dan teori pengetahuan tidaklah berselisih paham.27 Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan yang dirumuskan dalam wet.28 Sedangkan menurut teori pengetahuan, yang dipentingkan adalah apakah yang akan dibayangkan atau diketahui oleh pembuatnya ketika melakukan perbuatan itu. Karena itu banyak yang mengatakan bahwa perbedaan diantara kedua pendapat ini letaknya tidaklah di bidang yuridis. Hasil daripada kedua teori ini adalah sama. Akhirnya perbedaannya terutama suatu persoalan terutama suatu persoalan terminologi belaka.29
25
Farid, Zainal Abidin,Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.hal. 266. Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian dalam Hukum Pidana, Aksara baru, Jakarta, 1983, hal. 98. 27 Ibid. 28 Ibid. 29 Saleh¸Roeslan,Loc.cit. 26
Tentang kedua teori tersebut Pompe menulis bahwa perbedaan tidak terletak pada kesengajaan untuk diadakan kelakuan (positif maupun negatif) itu sendiri yang oleh dua-duanya disebut sebagai kehendak, tetapi terlatak dalam kesengajaan terhadap unsur-unsur lainnya (sejauh harus diliputi kesengajaan), yaitu akibat dan keadaan yang menyertainya.30 Van Hattum menegaskan bahwa willen (mengkehendaki) dan weten (mengetahui) tidak sama, dan oleh karena itu willens en wetens tidak sama pula dengan sengaja, maka Memorie van Toelichting (M.v.T) keliru. Seseorang yang hendak (willen) berbuat sesuatu, belum tentu menghendaki juga akibat yang pada akhirnya benar-benar ditimbulkan oleh perbuatannya.31 Van Hamel berpendapat kealpaan mengandung dua syarat yaitu:32 1.
Tidak mengadakan dugaan-dugaan sebagaimana yang telah diharuskan oleh hukum.
2.
Tidak mengadakan kehati-hatian sebagaimana yang diharuskan oleh hukum. Simons berpendapat sama dengan van Hamel, yang berpendapat bahwa isi
kealpaan adalah tidak adanya penghati-hatian disamping dapat diduganya akan timbul akibat.33 Muljatno berkesimpulan bahwa orang yang mempunyai sikap batin kealpaan adalah:34 1.
Kurang memperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hukum (rechtsgoed).
2.
Ditinjau dari segi masyarakat, ia kurang memperhatikan larangan-larangan yang berlaku dimasyarakat.
Meskipun
keadaan
batin
seseorang
sehat,
hingga
dia
mampu
bertanggungjawab, dan umur sudah cukup dan ketika melakukan perbuatan pidana menginsyafi benar tingkah lakunya serta segala ikhwal yang disyaratkan
30
Moelijatno, Op.cit, hal. 172. Farid, Zainal Abidin, Op.cit. hal. 281 32 Ibid. hal. 332. 33 Ibid. 34 Ibid. 31
menurut rumusan delik, ataupun mempunyai kealpaan terhadap timbulnya akibat yang dilarang, atau terhadap suatu keadaan, namun ada kalanya dia dianggap tak memiliki kesalahan. Misalnya karena suatu keterpaksaan. Dengan demikian, apa yang dilakukannya itu meskipun merugikan masyarakat, dia tidak dapat dicela, karena akibat yang timbul merupakan hasil dari suatu paksaan dari luar. Paksaan dari luar ini dianggap mempengaruhi fungsi batin, hingga dia terpaksa melakukannya. Alasan ini dinamakan alasan pemaaf.35 Dengan demikian untuk adanya kesalahan sehingga seseorang itu dapat dipidana, harus ada36: 1.
melakukan perbuatan pidana,
2.
diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab,
3.
mempunyai bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan,
4.
tidak adanya alasan pemaaf. Dalam hal penistaan agama melalui jejaring sosial ini, untuk meminta
pertanggungjawabannya harus terlebih dahulu dilihat apakah perbuatannya itu telah sesuai dengan rumusan delik yang terkandung dalam pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Transaksi dan Informasi Elektronik, yaitu dengan sengaja menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Ada pun rumusan delik yang terkandung dalam pasal tersebut adalah: a.
Setiap orang;
b.
dengan sengaja dan tanpa hak;
c.
Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau
permusuhan
indiviu
dan/atau
kelompok
berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).
35 36
Moelijatno, Op.cit. hal. 163-164 Ibid.hal. 164
tertentu
3. Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi penistaan agama melalui jejaring sosial Permasalahan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penistaan agama melalui media jejaring sosial bukannya tanpa hambatan. Meskipun unsurunsur delik pidananya sudah terpenuhi namun tetap saja masih terkendala. Berikut beberapa kendala yang dihadapi: a.
Adanya penilaian bahwa pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan pasal 28E ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 tentang kebebasan menyatakan pendapat.
b.
Adanya kesulitan dalam mencari pelaku penistaan agama di jejaring sosial.
c.
Sulitnya melakukan pembuktian terhadap pelaku penistaan agama di jejaring sosial
d.
Kurangnya pengetahuan penyidik dalam hal teknologi dan informasi elektronik
Walaupun terdapat berbagai macam hambatan dalam menjerat pelaku, ada beberapa cara yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi agar tindak pidana penistaan agama melalui jejaring sosial, yaitu dengan upaya penal dan non penal. Upaya penal dapat dilakukan dengan cara: a.
Dengan membuat undang-undang dalam hal ini dengan ada nya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan; Secara garis besar, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah cukup menjawab kebutuhan orang-orang dalam melakukan kegiatan di dunia cyber. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengakomodir ketentuan material dan juga prosedural. Dengan demikian Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan dan menjamin kepastian hukum
dalam melaksanakan aktivitas melalui Sistem Elektronik.37 Bila dilihat dari content Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, semua hal penting sudah diakomodir dan diatur dalam Undang-undang tersebut. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah cukup komprehensif mengatur informasi elektronik dan transaksi elektronik. Mari kita lihat beberapa cakupan materi Undang-undang
Informasi
dan
Transaksi
Elektronik
yang
merupakan terobosan baru. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mana mengakui Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tandatangan konvensional (tinta basah dan materai), alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia; penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketa alternatif atau arbitrase. Setidaknya akan ada sembilan Peraturan Pemerintah sebagai
peraturan
pelaksana
Undang-undang
Informasi
dan
Transaksi Elektonik, sehingga undang-undang ini dapat berjalan dengan efektif.38
b.
Upaya
memperluas
Rancangan
Kitab
pengaturan-pengaturan Undang-undang
Hukum
cyberspace
dalam
Pidana
dengan
memperluas beberapa pengertian yang berkaitan dengan kegiatan di cyberspace. Mengingat Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita saat ini dinilai sudah ketinggal zaman sehingga tidak dapat mengakomodasi 37
http://www.batan.go.id/sjk/uu-ite.html diakses tanggal 1 Februari 2013. http://avifsi.wordpress.com/2012/03/29/implikasi-pemberlakuan-ruu-ite/ tanggl 1 februari 2013. 38
diakses
terhadap kejahatan-kejahan melalui dunia cyber sehingga perlu diadakan pembaruan dan perluasan terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sedangkan upaya non penal dapat dilakukan dengan cara: a.
Melalui pendekatan budaya.
b.
Melakukan kerja sama dengan Internet Service Provider (ISP).
Upaya lain yang dapat dilakukan Masyarakat berupa: a.
Tidak terprovokasi
b.
Melaporkan akun yang bermasalah tersebut
c.
Saling menghargai antar umat beragama
d.
Mempelajari etika berinternet
E. PENUTUP 1. Kesimpulan a. Secara umum, penistaan agama diatur di dalam pasal pasal 156 dan 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal ini terletak pada Buku II dan Bab V tentang ketertiban umum. Namun secara khusus, penistaan agama yang dilakukan di situs jejaring sosial diatur di dalam pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan ketentuan pidananya diatur dalam pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. b. Pertanggungjawaban pelaku penistaan agama melalui jejaring sosial dapat dimintakan apabila telah memenuhi syarat: 1) Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan, 2) Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan masyarakat (adanya kesalahan).
3) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi. Untuk adanya kesalahan sehingga seseorang itu dapat dipidana, harus ada: 1) melakukan perbuatan pidana, 2) diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab, 3) mempunyai bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, 4) tidak adanya alasan pemaaf. Selain memenuhi syarat untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya, pelaku juga harus memenuhi unsur-unsur yang tertuang dalam pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yakni: 1) Setiap orang; 2) dengan sengaja dan tanpa hak; 3) Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan indiviu dan/atau kelompok tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). c. Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi penistaan agama melalui jejaring sosial terbagi dua, yakni upaya yang dilakukan penal dan non penal. Upaya penal dapat dilakukan dengan cara: 1) Dengan membuat undang-undang dalam hal ini dengan ada nya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan; 2) Upaya
memperluas
Rancangan
Kitab
pengaturan-pengaturan cyberspace Undang-undang
Hukum
Pidana
dalam dengan
memperluas beberapa pengertian yang berkaitan dengan kegiatan di cyberspace. Sedangkan upaya non penal dapat dilakukan dengan cara: 1) Melalui pendekatan budaya.
2) Melakukan kerja sama dengan Internet Service Provider (ISP).
Upaya lain yang dapat dilakukan Masyarakat berupa: 1) Tidak terprovokasi 2)
Melaporkan akun yang bermasalah tersebut
3) Saling menghargai antar umat beragama 4) Mempelajari etika berinternet
2. Saran a. Perlu adanya suatu peraturan yang mengatur secara lebih rinci yang mengatur tentang penistaan agama di dunia maya. Sebab peraturan yang ada sekarang ini dirasa memiliki kelemahan seperti tidak dijelaskannya secara rinci tentang apa dan bagaimana yang dimaksud dengan menimbulkan rasa permusuhan dan benci terhadap Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA). b. Dalam meminta pertanggunjawaban pidana terhadap pelaku penistaan agama, hendaknya dilihat apakah pelaku telah memenuhi unsur-unsur yang terkandung di dalam pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. c. Upaya untuk menanggulangi penistaan agama di jejaring sosial harus dilakukan semaksimal mungkin dan pemerintah dan masyarakat dalam hal ini memiliki tanggungjawab yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arrasjid, Chainur, Suatu Pemikiran tentang Psikologi Kriminal, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1988. Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2007 Ismuhadi, Skripsi: Analisa Pidana Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan Agama di Indonesia, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, 2008. Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Sinar Grafika, Jakarta,2010. P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Praja, Juhaya s, Ahmad Syihabuddin,
Delik Agama dalam Hukum
Pidana di Indonesia, Angkasa, Bandung, 1982. Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana,Nusa Media, Bandung, 2010. Putra, Mohammad Eka dan Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan, USU Press, Medan, 2009. Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian dalam Hukum Pidana, Aksara baru, Jakarta, 1983. Supanto, Delik Agama, UNS Press, Surakarta, 2007. Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana , Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986. R. soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal. Politea, Bogor, 1993
INTERNET http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/07/24/menghormati-yangberpuasa-dan-tak-berpuasa-sebagai-bentuk-toleransi-479411.html diakses tanggal 3 Januari 2013. https://twitter.com/QueenMutiaa http://www.batan.go.id/sjk/uu-ite.html diakses tanggal 1 Februari 2013. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fb9207f1726f/pasal-untukmenjerat-penyebar-kebencian-sara-di-jejaring-sosial- diakses tanggal 6 Februari 2013. http://avifsi.wordpress.com/2012/03/29/implikasi-pemberlakuan-ruu-ite/ diakses tanggl 1 februari 2013.