KAJIAN KRIMINOLOGI TENTANG PEMBERITAAN KRIMINAL DI TELEVISI TERHADAP TERJADINYA KEJAHATAN ANAK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH: DIANTO GUNAWAN TAMBA 060200345
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
KAJIAN KRIMINOLOGI TENTANG PEMBERITAAN KRIMINAL DI TELEVISI TERHADAP TERJADINYA KEJAHATAN ANAK SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH: DIANTO GUNAWAN TAMBA 0602000345 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. Abul Khair S.H M.Hum NIP.
PEMBIMBING I
Nurmalawati S.H M.Hum NIP.
PEMBIMBING II
Berlin Nainggolan S.H M.Hum NIP.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur selalu kepada Tuhan Yang Maha Baik pemilik langit dan bumi yang senantiasa memberikan kasih karunia dan anugerah selama penulis hidup. Atas perkenan-Nya juga penulis dapat mengecap studi di kampus serta menyelesaikan pembuatan skripsi ini. Adalah sebuah sukacita besar dan kesempatan yang luar biasa manakala penulis dapat merampungkan pembuatan skripsi ini. Seperti kita ketahui bahwa skripsi merupakan merupakan salah satu syarat bagi Mahasiswa/i pada umumnya dan Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada khususnya guna melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat guna memperoleh titel Sarjana Hukum. Merasa tertarik dengan program studi kekhususan Pidana, pada akhirnya penulis
memilih
judul
“KAJIAN
KRIMINOLOGI
TENTANG
PEMBERITAAN KRIMINAL DI TELEVISI TERHADAP TERJADINYA KEJAHATAN ANAK” untuk dituangkan dalam tulisan skripsi ini. Tak ada gading yang tak retak. Kira-kira pepatah demikianlah yang sangat cocok untuk mendeskripsikan keadaan skripsi ini yang masih sangat jauh dari kata sempurna. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan disana-sini dalam isi maupun bagian skripsi ini. Namun atas dasar sifat manusiawi yang bisa dan sering melakukan kesalahan, dengan segala hormat penulis meminta maaf. Oleh karenanya tak pelak bahwa saran, kritik, dan ide-ide baru yang konstruktif mengomentari bagian skripsi ini sangat penulis butuhkan dan karenanya akan diterima dengan senang hati serta penuh bijaksana. Di atas
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
semuanya, perkenankanlah dengan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Runtung, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof.DR. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I, Syafruddin Hasibuan, S.H.,MH.,DFM selaku Pembantu Dekan II ,Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak DR Abul Khair S.H M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berkenan membantu dan memperhatikan Mahasiswa/i Pidana 4. Ibu Nurmalawati S.H M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang dengan penuh kesabaran menghadapi penulis selama menulis skripsi. Dengan segala ketulusan saya berdoa kiranya Tuhan memberikan kesehatan dan sukacita yang penuh. 5. Bapak Berlin Nainggolan S.H M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang banyak menuntun penulis dari awal sampai akhir pembuatan skripsi
Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan membuka sebuah cakrawala berpikir yang baru bagi kita semua yang membacanya.
November 2009
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ABSTRAKSI BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................................
1
B. Perumusan Masalah............................................................................. 11 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan............................................................. 11 D. Keaslian Penulisan .............................................................................. 12 E. Tinjauan Kepustakaan ......................................................................... 12 F. Metode Penelitian................................................................................ 19 G. Sistematika Penulisan .......................................................................... 20
BAB II: LATAR BELAKANG TERJADINYA KEJAHATAN ANAK DARI SUDUT KRIMINOLOGI
A. Latar Belakang Terjadinya Kejahatan Yang Dilahirkan Anak di Bawah Umur ....................................................................................... 22 B. Mazhab-Mazhab atau Aliran Terjadinya Kejahatan ............................. 31
BAB III: PERKEMBANGAN ANAK DAN TAYANGAN TELEVISI A. Anak dan Perkembangannya ............................................................... 40 B. Anak Sebagai Konsumen Televisi ....................................................... 51
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
BAB IV: UPAYA MENANGGULANGI KENAKALAN ANAK AKIBAT FAKTOR
PEMBERITAAN
KRIMINAL
DI
TELEVISI
DAN
HAMBATANNYA
A. Peranan Keluarga Dalam Mengatasi Kejahatan Anak Akibat Faktor Pemberitaan Kriminal di TV………………………..……………………56 B. Peranan Pemerintah Dalam Mengatasi Kejahatan Anak Akibat Faktor Pemberitaan Kriminal di TV………………………………………….….59 C. Hambatan Yang Dihadapi Dalam Menanggulangi Masalah Kejahatan Anak Yang Disebabkan Pemberitaan Tayangan Kriminal di TV.….……67
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ......................................................................................... 70 B. Saran ................................................................................................... 72
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
DAFTAR PUSTAKA I. Buku Abu Ahmadi, Munawar Sholeh, “Psikologi Pengembangan” (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1991). A.Muis. “Media Penyiaran dalam Perspektif Komunikasi dan Hukum”. Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia: Pers Indonesia era Transisi, (Bandung:
Remaja
Rosdakarya,2001),
Onong
Uchjana
Effendi,
Dinamika Komunikasi, (Bandung: Remadja Karya, 1986 Anonim, “Belajar Kekerasan Lewat Televisi” . Sinar Harapan, Nomor 4158, Kamis 11 Juli 2002 Anonim, “Pelanggaran HAM Tayangan Kriminalitas di TV”, Pikiran Rakyat, Rabu 23 Juli 2003, oleh Yesmil Anwar Barda dan Muladi. 1984. “Teori dan Kebijakan Pidana.Alumni”. Darajad Zakiah. “Pokok-Pokok Kesehatan Mental Jiwa”. Jakarta, Bulan Bintang, Jilid II Dobson James, 1995. “Masalah Membesarkan Anak”. Bandung: Yayasan Kalam Hidup E.B. Surbakti. “Awas Tayangan Televisi-Tayangan Misteri dan Kekerasan Mengancam Anak Anda”. PT. Gramedia Jakarta.2008 Elida Prayitna.1992. “Psikologi Perkembangan”. Jakarta: Depdikbud Kartini Kartono. “Psikologi Anak Psikologi Perkembangan”. (Cetakan V; Bandung: Mandar Maju, 1995) Ninik Widiyanti-Panji Anoraga. “Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya”. PT. Pradnya Paramita. Jakarta 1992 Romli Atmasasmita. “Teori dan Kapita Selekta Kriminologi”. Penerbit Refika Aditama. Bandung 2007 Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Roni Tabrani, “Kejahatan dalam Kemasan TV”. Pikiran Rakyat, Rabu 3 Desember 2003. Shanty Dellyana. “Wanita dan Anak di Mata Hukum”. (Liberty: Yogyakarta, 2004), Surya. “Genetika Manusia”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Suryabrata Sumadi.2003. “Psikologi Kepribadian”. Jakarta. PT.Raja Grafindo Perkasa Sudarsono. “Kenakalan Remaja”. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.November 1991 Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa. “Kriminologi”. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta 2007 Yulia Singgih D. Gunarso 1981. “Psikologi Remaja”.BPK Gunung Mulia
II. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
ABSTRAKSI
KAJIAN KRIMINOLOGI TENTANG PEMBERITAAN KRIMINAL DI TELEVISI TERHADAP TERJADINYA KEJAHATAN ANAK Dianto Gunawan Tamba * Nurmalawati S.H M.Hum ** Berlin Nainggolan S.H M.Hum** Proses transformasi dan demokratisasi tidak akan berjalan baik tanpa adanya sumber dan publikasi informasi. Namun harus diakui, penyajian informasi dapat berakibat negatif, yang dalam jangka panjang menimbulkan dampak negatif pada masyarakat jika tidak dipertimbangkan penyajiannya, selalu dievaluasi, dan dikemas kembali sesuai norma jurnalistik dan nilai-nilai kemasyarakatan. Salah satu program informasi yang banyak disajikan media (khususnya televisi) adalah program informasi kriminalitas. Sejak televisi mulai ikut-ikutan menyiarkan berita kriminal menjadi sebuah acara, berbagai tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan pun muncul. Ada anggapan bahwa penayangan gambar dalam berita tersebut menampilkan kekerasan sehingga dapat mempengaruhi penonton untuk mengikuti apa yang dia lihat melalui televisi, terutama jika acara tersebut ditonton oleh anak-anak. Adapun metode pendekatan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yang bersifat penelitian empiris, maksudnya adalah merupakan penelitian secara yuridis empiris adalah berdasarkan fakta di lapangan berkaitan dengan penegakan hukum, penelitian hukum yang ada kaitannya dengan kajian kriminologi pemberitaan kriminal di Televisi terhadap terjadinya kejahatan anak ditambah dengan hasil wawancara langsung dengan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Utara. Dalam skripsi ini dapat disimpulkan bahwa Berita kriminalitas memang dibutuhkan masyarakat, namun penyajian yang penuh kekerasan amat tidak positif bagi perkembangan masyarakat. Televisi dan anak-anak merupakan fenomena hidup yang melanda seluruh dunia. Mereka merupakan salah satu konsumen media televisi yang populasinya besar sekali. Namun perlu diketahui karena seiring perkembangan seorang anak begitu mudah terpengaruh oleh hal-hal yang dilihatnya, maka perlu dilakukan upaya pembatasan terhadap konsumsi siaran televisi yaitu salah satunya penayangan pemberitaan kriminal di televisi.
*
Mahasiswa Fakultas Hukum USU Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU **
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Informasi adalah hal yang amat substansial dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini. Proses transformasi dan demokratisasi tidak akan berjalan baik tanpa adanya sumber dan publikasi informasi.Begitu pula dalam konteks bernegara, informasi yang disuguhkan media berperan strategis. Melalui media massa, masyarakat mengetahui dan melakukan kontrol atas apa yang telah dilakukan pemerintah. Demikian pula pemerintah dapat mengetahui kehendak umum dan menginformasikan kebijakannya melalui media. Namun harus diakui, penyajian informasi dapat berakibat negatif, yang dalam jangka panjang menimbulkan dampak negatif pada masyarakat jika tidak dipertimbangkan penyajiannya, selalu dievaluasi, dan dikemas kembali sesuai norma jurnalistik dan nilai-nilai kemasyarakatan. Penyajian berita yang tidak memperhatikan kedua hal itu bukan tidak mungkin akan kontra produktif dengan upaya perlindungan HAM dan proses demokratisasi. Salah satu program informasi yang banyak disajikan media (khususnya televisi) adalah program informasi kriminalitas. Hampir semua stasiun televisi memiliki program informasi kriminalitas atau paling tidak memasukkannya dalam program berita reguler. Setiap hari, masyarakat disuguhi berbagai peristiwa kriminalitas di seluruh pelosok negeri mulai dari pencurian hingga kanibalis. Materi program kriminalitas di televisi umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu peristiwa kriminal, peristiwa penangkapan pelaku perbuatan kriminal, dan kupasan sebuah peristiwa kriminal. Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya 1 Kejahatan Anak, 2010.
Sampai titik ini, pemberitaan peristiwa kriminal dapat dianggap wajar. Paling tidak pemberitaan ini mencapai dua hal, yaitu publikasi keberhasilan aparat polisi menangkap dan membongkar peristiwa kriminal, dan masyarakat mengetahui terjadinya suatu peristiwa kriminal dengan berbagai polanya sehingga dapat berhati-hati untuk menghindari suatu tindakan kriminal. Sekitar tahun 2001 acara kriminal yang dikemas menjadi sebuah acara yang berisi tentang berita peristiwa-peristiwa kriminal dari berbagai penjuru tempat di negeri ini menjadi mata acara yang hampir diproduksi oleh Televisi swasta di Indonesia. Pada awalnya berita kriminal hanya menjadi salah satu isi berita dari tayangan berbagai berita lain, namun pada perkembangannya seluruh stasiun televisi merasa perlu untuk menyediakan tempat tersendiri untuk menayangkan berita-berita khusus kriminal. Pada awalnya berita kriminal ini hanya ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi Indosiar dengan nama acaranya “Patroli”, acara yang berdirasi 30 menit ini ditayangkan pada tengah hari bolong, untuk menyajikan berbagai peristiwa kriminal yang terjadi di pelosok tempat. Acara bertajuk berita kriminal ini rupanya sukses yang ditandai dengan tingginya rating penonton dan sangat populer di kalangan masyarakat. Melihat kesuksesan acara ini rupanya menarik minat bagi stasiun televisi lainnya untuk membuat program acara serupa dengan nama yang berbea-beda seperti Patroli (Indosiar). Buser (SCTV), Sergap (RCTI), Sidik (TPI), Kriminal (TransTV), TKP (TV7), dan Brutal (Lativi). Selain acara berika kriminal dengan durasi 30 menit berisi berbagai kasus, tetapi beberapa stasiun televisi juga membuat tayangan yang mengungkap khusus satu peristiwa kriminal dalam durasi 30 menit, seperti acara fakta (ANTV), investigasi (Lativi),
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Jejak kasus (Indosiar), dan Derap Hukum (SCTV), dan Lacak (Transtv). Dalam format acara ini peristiwa disajikan dengan lebih lengkap dengan menyampaikan latar belakang kejadian, pelaku, korban, serta komentar dan pandangan orangorang di sekitar pelaku, maupun program. Ulasan dan komentar pakar kriminal dan hukum juga turut disajikan. Seringkali dalam tayangan menggunakan model/aktor pengganti untuk memerankan adegan “seolah-olah” seperti saat peristiwanya terjadi. Sejak televisi mulai ikut-ikutan menyiarkan berita kriminal menjadi sebuah acara, berbagai tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan pun muncul. Ada anggapan bahwa penayangan gambar dalam berita tersebut menampilkan kekerasan sehingga dapat mempengaruhi penonton untuk mengikuti apa yang dia lihat melalui televisi, terutama jika acara tersebut ditonton oleh anakanak. Acara ini memang sangat mungkin ditonton anak-anak karena jam tayang umumnya
pada
tengah
dipertanggungjawabkan
hari
bahwa
namun
belum
tayangan
ada
kriminal
bukti secara
yang
dapat
paralel
juga
menyebabkan meningkatnya berita kriminal. Sementara ada juga yang beranggapan bahwa acara ini baik karena dapat memberikan peringatan bagi masyarakat terhadap bahaya sehingga dapat berhati-hati dan dapat menghindarkan diri dari kemungkinan menjadi korban kriminal. Semua stasiun televisi ini berusaha menjadi pihak yang teraktual dan terfaktual
dalam
menyiarkan
berita-berita
kriminal.
Mereka
berusaha
menampilkan berita-berita kriminal tersebut dengan keunikan masing-masing agar dapat menarik perhatian khalayak konsumen. Salah satu ciri khas yang menonjol dari tayangan berita kriminal adalah banyaknya gambar atau adegan-adegan
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
kekerasan dari tindak kriminal yang terjadi, misal gambar pelaku tindak pidana dalam melakukan rekonstruksi di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Frekuensi peliputan berita kriminal di media televisi tentunya dapat mempengaruhi persepsi individu mengenai tingkat kejahatan yang terjadi. Televisi dengan keunggulannya sebagai media audio visual memiliki dampak yang lebih dahsyat ketimbang media cetak atau radio. Hal ini dikarenakan televisi memiliki dampak identifikasi optik yang tajam bagi para konsumen. Dengan perkataan lain, konsumen seolah-olah sedang berada di tempat peristiwa dan seolah-olah melihat secara langsung peristiwa yang ditayangkan di televisi, padahal hanya merupakan berita yang disiarkan dari jarak jauh.Semakin sering individu menonton acara yang berhubungan dengan peristiwa kriminal maka ia akan semakin berpikir bahwa kejahatan sedang meningkat dan kualitas kejahatan semakin meningkat pula, padahal yang terjadi belum tentu demikian. Banyak berita yang ditampilkan hanya pengulangan dari berita yang sudah ada. Berita yang ada disatu stasiun televisi akan disiarkan lagi oleh stasiun televisi lainnya, namun dengan bahasa dan gambar yang berbeda. Hal ini menimbulkan kesan banyak sekali terjadi tindak kejahatan padahal sebenarnya belum tentu demikian. 1 Pengaruh televisi sangat kuat terhadap kehidupan manusia, sudah diduga dan disadari ketika media massa itu pada tahun 1962 mulai dimunculkan ditengah-tengah masyarakat. Pengaruhnya bisa positif dan bisa negatif, tergantung kepada pengelolaannya. Masalahnya adalah bagaimana agar pengaruhnya yang positif itu, seperti fungsi menyebarkan informasi (to inform) dan fungsi mendidik (to educate) dapat benar-benar dimanfaatkan, sedangkan fungsi menghibur (to
1 H. A. Muis.”Media Penyiaran dalam Perspektif Komunikasi dan Hukum, Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia: Pers Indonesia era Transisi”/ Bandung: Remaja Rosdakarya,2001/, hal. 56
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
entertain) dan fungsi mempengaruhi (to influence) jangan sampai merusak tata nilai bangsa Indonesia. 2 Hal ini terjadi pada anak-anak yang menonton tayangan di televisi. Anakanak yang menonton acara televisi cenderung meniru perbuatan yang mengandung unsur tindak pidana. Hal ini dikarenakan bahwa penalaran anak terhadap acara tersebut tidak dapat membedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Bahkan anak tidak mengetahui perbuatan yang dilakukannya membahayakan dirinya sendiri atau bahkan membahayakan orang lain. Pemberitaan mengenai anak yang diduga melakukan tindak pidana memperlihatkan adanya ketidakpedulian terhadap hak-hak anak dan masa depan anak serta dampak fisik, psikologis dan sosial anak. Selain itu, pemberitaan mengenai anak yang diduga melakukan tindak pidana seolah-olah juga menunjukkan bahwa pemberitaan tersebut tidak dilarang oleh undang-undang yang berlaku. Pemberitaan dilakukan mulai dari pemeriksaan di kantor polisi hingga rekonstruksi di tempat kejadian perkara. Rekonstruksi di tempat kejadian perkara dapat dilihat secara langsung oleh masyarakat. Masyarakat yang melihat secara langsung rekonstruksi tersebut secara spontan melontarkan kata-kata yang tidak pantas. Sehingga membuat anak yang diduga melakukan tindak pidana menjadi malu atau minder bahkan sampai membuat anak menangis. Anak yang diduga melakukan tindak pidana seolah-olah harus menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh wartawan. Situasi dan kondisi
2
Onong Uchjana Effendi. “Dinamika Komunikasi”. / Bandung: Remadja Karya, 1986 /, hal. 155.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
yang demikian mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak sekaligus membuat anak tertekan. Meskipun anak berpotensi terlibat sebagai pelaku dalam suatu tindak pidana, namun anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu diperlukan pembinaan dan perlindungan yang bersifat khusus pula. Untuk melaksanakan pembinaan dan perlindungan yang bersifat khusus tersebut diperlukan dukungan, baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang memadai. Oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan khusus bagi anak sangat diperlukan. Beberapa hak anak dalam proses peradilan pidana perlu diberi perhatian khusus, demi peningkatan pengembangan perlakuan adil dan kesejahteraan yang bersangkutan (tetap memperhatikan hak-hak lainnya). Proses peradilan pidana adalah suatu proses yuridis, yang harus ada kesempatan untuk berdiskusi, memperjuangkan pendirian tertentu, mengemukakan kepentingan oleh berbagai macam pihak, mempertimbangkannya, dan dimana keputusan yang diambil itu mempunyai motivasi tertentu. Tujuan proses pidana bukanlah pada penghukuman, tetapi perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta pencegahan pengulangan tindakan melalui tindakan pengadilan yang konstruktif. 3 Bahwa dalam proses pemeriksaan tindak pidana anak seharusnya dilakukan secara tertutup dan perlu adanya pendekatan efektif dan simpatik, sehingga anak yang diperiksa tidak terganggu segi kejiwaannya atau
3
Shanty Dellyana. “Wanita dan Anak di Mata Hukum”, / Liberty: Yogyakarta, 2004 /, hal. 7.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
mempengaruhi sikap mentalnya. Hal ini sangat merugikan kepentingan anak, yakni kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental maupun sosial anak. Pasal 64 ayat (2) huruf g dan ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut Undang-undang Perlindungan Anak), masing-masing mengatur bahwa anak yang berkonflik dengan hukum dan anak yang menjadi korban tindak pidana mendapat perlindungan khusus yaitu perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi. Bukan rahasia umum lagi bahwa pada kenyataannya banyak stasiun televisi swasta yang menayangkan tindak pidana yang melibatkan anak secara bebas, baik yang secara jelas menampilkan wajah anak maupun yang membuat buram wajah anak dalam tampilan di layar kaca. Etika atau keharusan moral untuk melindungi nama baik ”tersangka” seringkali dilanggar oleh insan pers khususnya oleh mereka yang ada di bilik berita stasiun televisi swasta. Televisi swasta seakan berlomba-lomba menyajikan berita atau informasi yang terkait dengan kekerasan. SCTV bahkan punya acara khusus yang membahas berita-berita atau kejadian kriminal, begitu juga RCTI, Indosiar dan stasiun televisi lainnya. 4 Dalam idealismenya, dunia jurnalistik berpedoman kepada fakta yang terjadi. Idealnya, para jurnalis mesti memberitakan atau melaporkan peristiwa tersebut. Peristiwa yang bersumber kepada realitas tadi kemudian dikemas dalam berbagai bentuk tayangan sehingga lebih menarik dan beragam.
4
Anonim, “Belajar Kekerasan Lewat Televisi” . Sinar Harapan, Nomor 4158 , Kamis 11 Juli 2002
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Tayangan
dunia
kriminal
yang
menarik
itu
bertepatan
dengan
perkembangan dan semakin beragamnya dunia kriminal secara faktual di lapangan. Tidak ada habisnya inovasi variasi acara yang ditayangkan, juga seiring dengan semakin langgengnya bentuk tindak kriminalitas yang tidak menampakan sinyal akan surut. Angka kejahatan yang semakin meningkat ini berakibat pula kepada format acara yang semakin variatif, yang akhirnya kesemuanya bermuara kepada keuntungan besar yang didapat media televisi dari siaran kriminal tersebut. Akhirnya, keuntungan besar ini sedikit demi sedikit menutup tingkat sensitivitas pemilik media akan analisis seberapa besar pengaruh yang diakibatkan tayangan kriminal itu. Tentang fenomena yang satu ini semua bentuk reka ulang itu terlibat pihak penegak hukum di dalamnya, yaitu kepolisian. Buktinya, segala bentuk reka ulang tindak kejahatan itu tidak mungkin bisa dilakukan oleh sebuah stasiun televisi kalau tidak ada izin atau kerja sama dengan pihak kepolisian. Perlu disadari, selain pihak televisi harus menganalisis dan berfikir kembali untuk menayangkan segala bentuk tindak kriminal dengan segala kemasannya sebab menimbulkan efek negatif. Penegak hukum juga selayaknya lebih menyelaraskan langkahnya dengan tindakan yang tidak menimbulkan efek negatif. 5 Dalam menguak suatu tindak pidana yang melibatkan anak, baik sebagai anak yang terpaksa melakukan tindak pidana, korban maupun sebagai saksi, bertaburan di layar kaca dalam program peristiwa kriminalitas dengan berbagai label program yang dikemas dengan sangat bagus. Tampaknya masyarakat juga
5
Roni Tabrani, “Kejahatan dalam Kemasan TV”. Pikiran Rakyat, Rabu 3 Desember 2003.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
begitu gandrung terhadap acara tersebut. Akibatnya, produser televisi berlombalomba menampilkan program serupa di berbagai stasiun televisi, mumpung banyak penggemar. Polisi dan wartawan bahu-membahu berusaha memberikan informasi peristiwa kriminal pada masyarakat secara begitu terbuka dan asli. 6 Seharusnya dalam proses pemeriksaan anak yang melakukan tindak pidana menurut hukum positif di Indonesia wajib dilakukan secara tertutup. Namun pada kenyataannya banyak program berita kriminal yang menayangkan proses pemeriksaan anak yang melakukan tindak pidana jelaslah merupakan pelanggaran, baik pelanggaran terhadap hukum positif yang berlaku di Indonesia maupun pelanggaran hak asasi manusia. Bagi masyarakat yang menonton program acara kriminal tersebut seolaholah tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena masyarakat awam tidak mengetahui hal tersebut. Menurut penulis hal ini merupakan pembodohan masyarakat, karena salah satu fungsi televisi sebagai media massa adalah fungsi pendidikan, yaitu meningkatkan pengetahuan dan penalaran masyarakat. oleh karena itu, televisi sebagai salah satu media massa harus dapat melaksanakan fungsinya dengan baik menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pasal 2 Undang-Undang Penyiaran mengatur bahwa asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab.
6
Anonim, “Pelanggaran HAM Tayangan Kriminalitas di TV”, Pikiran Rakyat, Rabu 23 Juli 2003, oleh Yesmil Anwar.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Pasal 5 Undang-Undang Penyiaran juga menyatakan bahwa penyiaran diarahkan untuk menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945; menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional, menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan hidup, mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran, mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat, mewujudkan pemerataan dan memperkuat daya saing bangsa dalam era globalisasi, memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab, memajukan kebudayaan nasional.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang yang menyebabkan terjadinya kejahatan anak dari sudut kriminologi? 2. Bagaimana tinjauan mengenai perkembangan anak dan tayangan televisi? 3. Bagaimana upaya penanggulangan kenakalan anak akibat
faktor
pemberitaan kriminal di televisi beserta hambatannya? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Dalam penyusunan penulisan hukum ini memiliki tujuan sebagai berikut:
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
1. Untuk mengetahui latar belakang yang menyebabkan terjadinya kejahatan anak dari sudut kriminologi 2. Untuk mengetahui tinjauan mengenai perkembangan anak dan tayangan televisi 3. Untuk mengetahui upaya penanggulangan kenakalan anak akibat faktor pemberitaan kriminal di televisi beserta hambatannya Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Manfaat Teoretis Diharapkan hasil penelitian ini mempunyai kegunaan bagi keberadaan dan perkembangan ilmu hukum.
2.
Manfaat Praktis a. Menambah wawasan dan cakrawala bagi penulis dalam kaitannya dengan kajian kriminologi terhadap pemberitaan kriminal di televisi dan kejahatan anak b. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan materi penulisan hukum ini;
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai kajian kriminologi tentang pemberitaan kriminal di Televisi terhadap terjadinya kejahatan anak belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini disebut asli sesuai dengan asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka peneliti melakukan pengumpulan data tentang kajian kriminologi Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
tentang pemberitaan kriminal di Televisi terhadap terjadinya kejahatan anak, dan juga pemeriksaan terhadap hasil penelitian yang ada mengenai hal tersebut, sehingga dapat disimpulkan penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lainnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. E. Tinjauan Kepustakaan Untuk mengetahui tentang kajian kriminologi tentang pemberitaan kriminal di Televisi terhadap terjadinya kejahatan anak perlu didasarkan kepada teori
dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil
penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Bagi orang yang baru pertama kali mendengar istilah kriminologi, biasanya akan memiliki pemikiran sendiri tentang pengertian dari kata tersebut. Kebanyakan dari mereka memiliki persepsi yang salah tentang bidang ilmu pengetahuan ilmiah kriminologi ini. Sebagian besar orang memiliki persepsi bahwa kriminologi adalah suatu studi pendidikan ilmu hukum. Kata kriminologi yang berhubungan dengan kejahatan, serta merta dikaitkan dengan pelanggaran hukum pidana. Ada juga yang mengaitkan kriminologi dengan pekerjaan detektif karena detektif bertugas untuk mengungkap suatu peristiwa kejahatan dan menangkap pelakunya. Hal ini tidak salah sepenuhnya, tetapi tidak bisa dikatakan benar. Kriminolgi, (criminology dalam bahasa Inggris, atau kriminologie dalam bahasa Jerman) secara bahasa berasal dari bahasa latin, yaitu kata ”crimen” dan ”logos” 7. Crimen berarti kejahatan, dan logos berarti ilmu. Dengan demikian kriminologi secara harafiah berarti ilmu yang mempelajari tentang penjahat. 7
Topo Santoso & Eva Achjani Zulfa. “Kriminologi”. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta 2007 hal 12
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Istilah kriminologi pertama kali digunakan oleh P. Topinard, seorang sarjana Perancis, pada akhir abad ke sembilan belas. Namun demikian, bidang penelitian yang sekarang ini dikenal sebagai salah satu bidang yang berkaitan dengan ilmu kriminologi telah terbit lebih awal, misalnya karya-karya yang dikarang oleh: 1. Cesare Beccaria (1738-1794) 2. Jeremy Bentham (1748-1832) 3. Andre Guerry, yang mempublikasikan analisa tentang penyebaran geografis kejahatan di Perancis tahun 1829 4. Ahli matematika Belgia, Adolphe Quetelet, menerbitkan sebuah karya ambisius tentang penyebaran sosial kejahatan di Perancis, Belgia, Luxemburg, dan Belanda pada tahun 1835 5. Cesare Lambroso (1835-1909) dan muridnya Enrico Ferri (1856-1928) menggunakan
metode
antropologi
ragawi
(antropobiologi)
mengembangkan teori kriminalitas berdasarkan biologis. Kriminologi kemudian berkembang sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, yang mana dalam perkembangannya, kriminologi modern terpisah-pisah melandaskan diri pada salah satu cabang ilmu pengetahuan ilmiah tertentu, yaitu sosiologi, hukum, psikologi, psikiatri, dan biologi. Kriminologi yang berkembang di Indonesia, melandaskan diri pada disiplin sosiologi, yang sering disebut sebagai sosiologi praktis. Disini kriminologi memandang suatu kejahatan sebagai gejala sosial yang dipelajari secara sosiologis.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Penelitian-penelitian kriminologi meliputi berbagai faktor, yang secara umum meliput i: 1. Penelitian tentang sifat, bentuk, dan peristiwa tindak kejahatan serta persebarannya menurut faktor sosial, waktu, dan geografis. 2. Ciri-ciri fisik dan psikologis, riwayat hidup pelaku kejahatan (yang menetap) dan hubungannya dengan adanya kelainan perilaku. 3. Perilaku menyimpang dari nilai dan norma masyarakat, seperti perjudian, pelacuran, homoseksualitas, pemabukan, dsb. 4. Ciri-ciri korban kejahatan. 5. Peranan korban kejahatan dalam proses terjadinya kejahatan. 6. Kedudukan korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana. 7. Sistem peradilan pidana, yang meliputi bekerjanya lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan penghukuman dalam menangani pelaku pelanggaran hukum pidana sebagai bentuk reaksi sosial formal terhadap kejahatan. 8. Metode pembinaan pelaku pelanggaran hukum. 9. Struktur sosial dan organisasi penjara. 10. Metode dalam mencegah dan mengendalikan kejahatan. 11. Penelitian terhadap kebijakan birokrasi dalam masalah kriminalitas, termasuk analisa sosiologis terhadap proses pembuatan dan penegakan hukum. Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
12. Bentuk-bentuk
reaksi
non-formal
masyarakat
terhadap
kejahatan,
penyimpangan perilaku, dan terhadap korban kejahatan. W.A Bonger memberikan batasan bahwa ”kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya”. Bonger, dalam meberikan batasan kriminologi, membagi kriminologi ke dalam dua aspek: 8 1. kriminologi
praktis,
yaitu
kriminologi
yang
berdasarkan
hasil
penelitiannya disimpulkan manfaat praktisnya. 2. kriminologi
teoritis,
pengelamannya
yaitu
seperti
ilmu
ilmu
pengetahuan
pengetahuan
yang
lainnya
berdasarkan
yang
sejenis,
memeprhatikan gejala-gejala kejahatan dan mencoba menyelidiki sebab dari gejala tersebut (etiologi) dengan metode yang berlaku pada kriminologi. Dalam kriminologi teoritis, Bonger memperluas pengertian dengan mengatakan baahwa kriminologi merupakan kumpulan dari banyak ilmu pengetahuan. 1. Antropologi kriminologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat dilihat dari segi biologisnya yang merupakan bagian dari ilmu alam. 2. Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial. Pokok perhatiannya adalah seberapa jauh pengaruh sosial bagi timbulnya kejahatan (etiologi sosial)
8 Romli Atmasasmita. “Teori dan Kapita Selekta Kriminologi”. Penerbit Refika Aditama. Bandung 2007 hal 38
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
3. Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatn dipandang dari aspek psikologis. Penelitian tentang aspek kejiwaan dari pelaku kejahatan antara lain ditujukan pada aspek kepribadiannya. 4. Psi-patologi-kriminal
dan
neuro-patologi-kriminal,
yaitu
ilmu
pengetahuan tentang kejahatan yang sakit jiwa atau sakit sarafnya, atau lebih dikenal dengan istilah psikiatri. 5. Penologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang tumbuh berkembangnya penghukuman, arti penghukuman, dan manfaat penghukuman. 6. Kriminologi praktis, yaitu berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh birokrasi dalam menanggulangi kejahatan. 7. Kriminalistik,
yaitu
ilmu
pengetahuan
yang
dipergunakan untuk
menyelidiki terjadinya suatu peristiwa kejahatan Pengertian tentang kejahatan anak yang dalam berbagai literatur dikenal dengan istilah “juvenile deliquency” memiliki keberagaman. Istilah yang sering terdengar dan lazim dipergunakan dalam media massa adalah kenakalan remaja atau sering juga dipergunakan istilah kejahatan anak. Istilah kejahatan anak di rasakan terlalu tajam. Sementara istilah kenakalan remaja sering di salahtafsirkan dengan kenakalan yang tertuangkan dalam pasal 489 KUHP. Untuk menghindari pemaknaan yang kurang tepat atau berlebihan mak dipakai istilah Juvenile Delinquency atau kejahatan anak. Sementara pengertian tentang anak itu sendiri juga terdapat beberapa pemahaman yang berbeda. Pengertian anak dalam kaitannya dengan prilaku
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
delinkuensi anak biasanya didasarkan atas tingkatan umur. Namun demikian adapula yang mendasarkan pada pendekatan psikososial. Pengertian anak di sini termasuk juga remaja, karena dalam konteks hukum peristilahan remaja kurang lazim dipergunakan. Dalam perundangundangan biasanya di sebutkan dengan istilah anak, belum dewasa (minder jarig), belum cukup umur dan sebagainya. Pendekatan yang didasarkan atas umur/usia terdapat berbagai variasi. Di Amerika Serikat, 27 negara bagian menentukan batas umur 8-18 th, sementara 6 negara bagian menentukan batas umur 8-17 th, ada pula bagian lain yang menentukan batas umur 8-16 tahun. Di Inggris ditentukan batas umur antara 1216 th dan di Australia ditentukan 8-16 th. Di Belanda di tentukan antara umur 1218 th. Di negara-negara Asia antara lain Srilanka menentukan batas umur antar 816 tahun. Di Jepang antara 14-20 th.sedangkan negara-negara Asean antar lain Philipina menentukan 7-16 tahun. Di Malaysia antara 7-18 th. Singapura menentukan batas antara 7-16 th. Sedangkan di Indonesia sendiri berdasarkan ketentuan UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak , anak ditetatpkan pada usia 8-18 th. Sementara batasan anak yang didasarkan aspek psikososial, klasifikasi perkembangan anak hingga dewasa di kaitkan dengan usia dan kecenderungan kondisi
kejiwaanya.
Perkembangan
usia
anak
hingga
dewasa
dapat
diklasifikasikan menjadi lima, yaitu: a). anak, seseorang yang berusia di bawah 12 tahun b). Remaja dini, seseorang yang berusia12-15 tahun c) remaja penuh, seseorang yang berusia 15-17 tahun
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
d) Dewasa muda seseorang yang berusia 17-21 tahun e) Dewasa, seseorang yang berusia di atas 21 tahun. Televisi dan anak-anak merupakan fenomena hidup yang melanda seluruh dunia. Mereka merupakan salah satu konsumen media televisi yang populasinya besar sekali. Sebagai komunitas yang berjumlah besar dan heterogen, tentu saja anak-anak patut mendapat perhatian serius. Apalagi ditinjau dari segi ekonomi, komunitas anak-anak bukanlah penonton pasif sehingga layak menjadi target siaran dan eksistensinya harus diperhitungkan. 9 Pada
umumnya
anak-anak
senang
sekali
menonton
film
yang
menampilkan aksi atau film yang menampilkan gerakan cepat disertai oleh efek suara yang dahsyat. Semakin cepat gerakan yang ditampilkan film, semakin tinggi tingkat respek anak untuk menontonnya. Itulah sebabnya mereka senang sekali menonton film kartun yang banyak menampilkan gerakan spektakuler. Namun perancangan program siaran anak perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh mengingat penalaran mereka yang sangat terbatas, namun memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar. Pada usia yang sangat rentan terhadap segala sesuatu yang baru, anak mudah sekali terinfeksi berbagai isu, pengajaran, dan informasi yang menyesatkan. Tanpa pengendalian mutu siaran, anak akan menjadi sasaran program televisi yang tidak bertanggung jawab. Begitu hebatnya pengaruh media televisi, Nampak dari kemampuannya mengubah pola hidup keluarga, makan, belanja, tidur, bangun, istirahat, berpikir, berperasaan, bahkan pola hiburan pengisi waktu. Banyak anak menonton televisi
9 E.B. Surbakti. “Awas Tayangan Televisi-Tayangan Misteri dan Kekerasan Mengancam Anak Anda”. PT. Gramedia Jakarta.2008 hal 43
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
saat jam makan malam atau sembari mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan saat bermain pun seringkali mereka lakukan sambil menonton televisi.
F. Metode Penelitian Metode penelitian Hukum yang telah ada dewasa ini secara umum lebih mengenal metode penelitian atas dua kategori: metode penelitian hukum Normatif Empiris (Sosio Juridis) dan metode Penelitian Hukum Normatif. Metode Penelitian Sosio Juridis secara umum berupaya untuk melihat bagaimana penerapan sebuah aturan hukum seperti peraturan perundangan berlaku di masyarakat, sedangkan dalam penelitian hukum normatif seorang peneliti lebih menekankan pada penelitian atas substansi hukum tersebut. Penelitian Empiris maupun penelitian Normatif tampaknya dapat kita kritisi lebih mendalam, karena kedua penelitian tersebut masih berkutat pada wujud kenyataan hukum. Keduanya dipengaruhi oleh alam filsafat empirisme: sesuatu yang benar adalah sesuatu yang berwujud nyata. Pada model hukum empiris maka hukum dikatakan berwujud ada dilihat dari pelaksanaannya bahwa memang hukum itu benar nyata ada dibuktikan dengan kepatuhan masyarakat atas hukum. Pada penelitian normatif, hukum dikatakan nyata ada adalah dengan dibuktikan adanya undang-undang, putusan hakim, dan sebagainya. Keduanya sebangun. Adapun metode pendekatan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yang bersifat penelitian empiris, maksudnya adalah merupakan penelitian secara yuridis empiris adalah berdasarkan fakta di lapangan berkaitan dengan penegakan hukum, penelitian hukum yang ada kaitannya dengan kajian kriminologi pemberitaan kriminal di Televisi terhadap terjadinya kejahatan anak.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
G. Sistematika Penulisan Di dalam penulisan hukum ini terdiri dari empat bab. Masing-masing perinciannya sebagai berikut. Bab I Pendahuluan, Di dalamnya berisi uraian latar belakang pemilihan judul, ruang lingkup penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan diakhiri dengan sistematika skripsi yang bertujuan untuk mengantarkan pikiran pembaca ke pokok permasalahan yang akan dibahas.
Bab II Berisi latar belakang terjadinya kejahatan anak dari sudut kriminologi. Dalam bab ini dijabarkan hal yang dipaparkan adalah mengenai latar belakang terjadinya kejahatan yang dilahirkan anak di bawah umur dan mazhab-mazhab atau aliran terjadinya kejahatan
Bab III Merupakan bab yang menguraikan tentang perkembangan anak dan televisi. Di dalamnya sub bab menjelaskan lebih lanjut mengenai anak dan perkembangannya beserta anak sebagai konsumen televisi. Bab IV Merupakan bab yang memaparkan permasalahan berikutnya mengenai upaya menanggulangi kenakalan anak akibat faktor pemberitaan kriminal di televisi dan hambatannya. Berturut-turut di dalamya terdapat sub bab mengenai peranan keluarga dalam mengatasi kejahatan anak akibat faktor pemberitaan kriminal di TV, Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
peranan pemerintah dalam mengatasi kejahatan anak akibat faktor pemberitaan
kriminal
di
TV,
hambatan
yang
dihadapi
dalam
menanggulangi masalah kejahatan anak yang disebabkan pemberitaan tayangan kriminal di TV Bab V Adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi ini. Hal mengenai kesimpulan dan saran terhadap sejumlah penulisan dalam skripsi ini. Merupakan cakupan yang dibahas secara sederhana dan terperinci guna menjelaskan rangkuman dari seluruh intisari yang penulis lakukan dalam skripsi ini.
BAB II LATAR BELAKANG TERJADINYA KEJAHATAN ANAK DARI SUDUT KRIMINOLOGI
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
A. Latar Belakang Terjadinya Kejahatan Yang Dilahirkan Anak di Bawah Umur Masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan kemudian menjadi orangtua, tidak lebih
hanyalah
merupakan
suatu
proses
wajar
dalam
hidup
yang
berkesinambungan dari tahap-tahap pertumbuhan yang harus dilalui oleh seorang manusia. Setiap masa pertumbuhan memiliki ciri-ciri tersendiri. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Demikian pula dengan masa remaja. Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang paling rawan dalam proses kehidupan ini. Masa remaja sering menimbulkan kekuatiran bagi para orangtua. Masa remaja sering menjadi pembahasan dalam banyak seminar. Padahal bagi si remaja sendiri, masa ini adalah masa yang paling menyenangkan dalam hidupnya. Oleh karena itu, para orangtua hendaknya berkenan menerima remaja sebagaimana adanya. Jangan terlalu membesar-besarkan perbedaan. Orangtua para remaja hendaknya justru menjadi pemberi teladan di depan, di tengah membangkitkan semangat, dan di belakang mengawasi segala tindak tanduk si remaja. 10 Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 13 tahun sampai dengan 18 tahun. Seorang remaja sudah tidak lagi dapat dikatakan sebagai kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Mereka sedang mencari pola hidup yang paling sesuai baginya dan inipun sering dilakukan melalui metoda coba-coba walaupun melalui banyak kesalahan. Kesalahan yang dilakukan sering menimbulkan kekuatiran serta perasaan yang 22 tidak menyenangkan bagi lingkungan dan orangtuanya. Kesalahan yang diperbuat
10
Shanty Dellyana, “Wanita dan Anak di Mata Hukum”, / Liberty: Yogyakarta, 2004, / hal. 7.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
para remaja hanya akan menyenangkan teman sebayanya. Hal ini karena mereka semua memang sama-sama masih dalam masa mencari identitas. Kesalahankesalahan yang menimbulkan kekesalan lingkungan inilah yang sering disebut sebagai kenakalan remaja. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita – cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihat kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Undang – Undang Dasar 1945. Masalah kenakalan anak dewasa ini tetap merupakan persoalan yang aktual, hampir di semua Negara – Negara di dunia termasuk Indonesia. Perhatian terhadap masalah ini telah banyak dicurahkan pemikiran, baik dalam bentuk diskusi maupun dalam seminar-seminar yang mana telah diadakan oleh organisasi atau instansi – instansi pemerintah yang erat hubungannya dengan masalah ini. Adapun proses pembinaan anak dapat dimulai dalam suatu kehidupan keluarga yang damai dan sejahtra lahir dan batin. Pada dasar kesejahteraan anak tidak sama, tergantung dari tingkat kesejahteraan orang tua mereka.Kita dapat melihat di Negara kita masih banyak anak yang tinggal di daerah kumuh dan diantaranya harus berjuang mencari nafkah untuk membantu keluarga. Kemiskinan, pendidikan yang rendah, keluarga yang berantakan dan lingkungan pergaulan akan mempengaruhi kehidupan atau pertumbuhan seorang anak. Dan hal tersebut merupakan merupakan dasar yang melatarbelakangi seorang anak untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan. Menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku anak nakal, perlu
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatan berdasarkan pikiran,perasaan dan kehendaknya, tetapi keadaan di sekitar dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya seharusnya lebih bertanggungjawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku tersebut. Mengingat sifatnya yang khusus yang memberikan landasan hukum yang bersifat nasional bagi generasi muda melalui tatanan Peradilan khusus bagi anak-anak yang mempunyai perilaku yang menyimpang dan melakukan pelanggaran hukum. Yang dimaksud untuk memberikan pengayoman dalam upaya pemantapan landasan hukum sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada anak-anak Indonesia yang mempunyai sifat perilaku menyimpang, karena dilain pihak mereka merupakan tunas-tunas bangsa yang diharapkan berkelakuan baik dan bertanggungjawab. Bahwa sebagai pengaruh kemajuan iptek, kemajuan budaya, dan perkembangan pembangunan pada umumnya bukan hanya orang dewasa, tetapi anak-anak juga terjebak melanggar norma-norma terutama norma hukum. Anak anak terjebak dalam konsumerisme dan asosial yang makin lama dapat menjurus ke
tindakan
kriminal
seperti
ekstasi,
narkotika,
pemerasan,
pencurian
,penggelapan,penganiayaan, pemerkosaan,dan sebagainya 11. Apalagi dalam era sekarang ini banyak orang tua yang selalu disibukan dengan mengurus pemenuhan duniawi (materil) sebagai upaya mengejar kekayaan, jabatan, atau gengsi. Dalam kondisi yang demikian anak sebagai buah hati sering dilupakan
11 Kartini Kartono, “Psikologi Anak Psikologi Perkembangan” / Cet. V; Bandung: Mandar Maju, 1995 / hal 18
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
kasih sayangnya, bimbingan, pengembangan sikap dan perilaku, serta pengawasan orang tua. Anak yang kurang atau tidak memperoleh perhatian secara fisik, mental maupun sosial sering berperilaku dan bertindak asosial dan bahkan anti social yang merugikan dirinya, keluarga, dan masyarakat. Untuk itu salah satu pertimbangan dalam konsideran Undang – Undang No 3 Tahun 1997 menyatakan : “bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita – cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri , sifat khusus,memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik , mental, dan sosial secara utuh, serasi selaras dan seimbang”. 12 Berkaitan dengan perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh anak di bawah usia 16 tahun, KUHP Indonesia mengaturnya dalam pasal 45 KUHP sebagai berikut: “ Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan, memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya tanpa pidana apapun, atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan Pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 504, 505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540, serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau pelanggaran tersebut diatas, dan putusannya menjadi tetap atau menjatuhkan pidan pada yang bersalah” Masalah kenakalan remaja mulai mendapat perhatian yang khusus sejak dibentuknya suatu peradilan untuk anak-anak nakal atau juvenile court pada tahun 1899 di Cook County, Illinois, Amerika Serikat. Pada waktu itu, peradilan
12
H. Abu Ahmadi, Munawar Sholeh.”Psikologi Pengembangan” / Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1991/, hal 5.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
tersebut berfungsi sebagai pengganti orangtua si anak (in loco parentis), yang memutuskan perkara untuk kepentingan si anak dan masyarakat. Dalam pandangan umum, kenakalan anak dibawah umur 13 tahun masih dianggap wajar, sedangkan kenakalan anak di atas usia 18 tahun dianggap merupakan salah satu bentuk kejahatan. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas kenakalan yang dilakukan oleh para remaja dalam usia 13 sampai dengan 18 tahun. Masing-masing tingkatan usia mempunyai karakteristik kejiwaan sendirisendiri. Paulus Hadi Suprapto menyatakan bahwa remaja dini (usia 12-15 tahun) memiliki kecenderungan kejiwaan antara lain: 13 a). sibuk menguasai tubuhnya, karena ketidak seimbangannya postur tubuhnya, kekurang nyamanan tubuhnya; b). Mencari identitas dalam keluarga, satu pihak menjurus pada sifat egosentris, pada lain pihak belum bisa sepenuhnya diserahi tanggung jawab, sehingga ia sangat memerlukan daya tampung dari lingkungan keluarganya; c). Kepekaan sosial tinggi, solidaritas pada teman sangat tinggi dan besar kecenderungan mencari popularitas. Dalam fase ini ia sibuk mengorganisasikan dirinya, mulai mengalami perubahan dalam sikap, minat, pola-pola hubungan pertemanan, mulai timbul dorongan seksual, bergaul dengan lain jenis; d). minat ke luar rumah tinggi, kecenderungan untuk trial and error tinggi; e). mulai timbul usaha-usaha untuk menguasai diri baik di lingkungan rumah, sekolah, klub olah raga, kesenian, dan dilingkuangan pergaulan pada umumnya. Paham kenakalan remaja dalam arti luas meliputi perbuatan-perbuatan anak remaja yang bertentangan dengan kaedah-kaedah hukum tertulis baik yang
13
Muhiddin Syah, loc. cit.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Perundangundangan Pidana diluar KUH Pidana. Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja tersebut bersifat anti sosial, perbuatan yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya, akan tetapi tidak tergolong delik pidana umum maupun pidana khusus. Ada pula perbuatan anak remaja yang bersifat anti susila, yakni durhaka kepada kedua orang tua, sesaudara saling bermusuhan. Paradigma kenakalan remaja lebih banyak luas cakupannya dan lebih dalam bobot isinya; kenakalan remaja tersebut meliputi perbuatan-perbuatan yang sering menimbulkan keresahan dilingkungan masyarakat, sekolah maupun keluarga, contoh sangat simpel dalam hal ini antara lain; pencurian oleh remaja, perkelahian dikalangan peserta didik yang kerap kali berkembang menjadi perkelahian antar sekolah, menganggu wanita dijalan yang pelakunya anak remaja, sikap anak yang memusuhi orang tua dan sanak saudara atau perbuatanperbuatan lain yang tercela seperti menghisap ganja, mengedarkan pornografi dan corat-coret tembok pagar yang tidak pada tempatnya. Dengan demikian nampak jelas bahwa apabila seorang anak yang masih berada dalam fase-fase usia remaja kemudian melakukan pelanggaran terhadap norma hukum, norma sosial, norma susila dan norma-norma agama, maka perbuatan anak tersebut digolongkan kenakalan remaja (Juvenile Deliquency). Secara global delinquent yang dilakukan oleh anak remaja dapat berupa berupa delinquent sosiologis dan delinquent individual; pembagian ini berdasarkan sikap dan corak perbuatan. Dapat di pandang sebagai delinquent sosiologis apabila anak memusuhi seluruh konteks kemasyarakatan kecuali konteks masyarakatnya sendiri. Dalam kondisi tersebut kebanyakan anak tidak
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
merasa bersalah bila merugikan orang lain, asal bukan dari kelompoknya sendiri, atau merasa tidak berdosa walau mencuri hak milik orang lain asal bukan kelompoknya sendiri yang menderita kerugian. Sedangkan dalam delinquent individual, anak tersebut memusuhi orang baik tetangga, kawan dan sekolah atau sanak saudara bahkan termasuk kedua orang tuanya sendiri. Biasanya hubungan dengan orang tua semakin memburuk justru karena bertambahanya usia. Pada garis besarnya dari kedua bentuk delinquent ternyata delinquent sosiologislah yang sering melakukan pelanggaran didalam masyarakat. Hal ini bukan berarti delinquent individual sama sekali tidak menimbulkan keresahan didalam masyarakat. Kedua bentuk delinquent sama-sama merugikan dan meresahkan masyarakat. Delinquent sosiologis dan individual bukan merupakan dua hal yang antagonis, akan tetapi keduanya hanya memiliki batas secara gradasi saja. Jika ditinjau dari bermulanya, dapat terjadi keduanya saling menunjang dan memperkembangkan. Dalam hal ini dapat kita jumpai seorang anak menjadi delinquent bermula dari keadaan intern dan kemudian dikembangkan dan ditunjang oleh pergaulan, akan tetapi tidak jarang pula seorang anak menjadi delinquent justru karena meniru kawan-kawan sebayanya kemudian di dukung oleh berkembang di dalam keluarga. Seorang anak yang hidup ditengah-tengah masyarakat yng sholeh dalam bergaul dengan kawan-kawan sebaya yang baik dapat menjadi delinquent karena pengaruh kehidupan keluarga, misalnya; karena broken home atau quasi broken home. Demikian pula seorang anak dibesarkan di dalam lingkungan keluarga yang dapat menjadi delinquent karena pengaruh
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
kehidupan masyarakat sekitar atau pengaruh teman-teman sepermainannya, akan tetapi probabilitas sangat rendah. Agar dapat memberikan penilaian apakah suatu perbuatan termasuk delinquent atau tidak, maka hendaklah diperhatikan faktor hukum pidana yang berlaku sebagai hukum positif serta faktor lingkungan yang menjadi ajang hidup anak remaja. Pertama-tama, hukum pidanalah yang merumuskan bahwa suatu perbuatan merupakan suatu pelanggaran dan kejahatan. Jika penilaian delinquent berdasarkan faktor hukum pidana, maka konsekuensinya disetiap negara akan berbeda penilaiannya. Penilaian kedua dalam menentukan delinquentadalah norma atau kaidah-kaidah yang hidup dan bertumbuh dalam masyarakat. Dalam penilaian kedua akan terjadi perbedaan penilaian antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Misalnya saja antara masyarakat desa dan masyarakat kota. Kedua masyarakat tersebut memiliki norma-norma yang agak berbeda. Adat kebiasaan dan norma-norma kemasyarakatan yang hidup dan bertumbuh di desa agak berbeda dengan adat kebiasaan yang berkembnag di kota secara gradasi. Di atas telah dikupas secara rinci dalam segala aspek tentang “Juvenile Deliquency” yang dalam konteks ii disebut “Kenakalan Remaja”. Penentu utama dalam “Juvenile Deliquency” yakni hukum pidana. dalam kaitan ini pembatasan Anglo Saxon dapat diterima, bahwa: Juvenile Deliquency berarti perbuatan dan tingkah laku yang merupakan perbuatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelangaran-pelangaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para Juvenile Deliquency. Juvenile Deliquency itu adalah terdiri dari “anak” (berumur dibawah 21 tahun: pubertas), yang termasuk yurisdiksi pengadilan anak/juvenile court.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Pada prinsipnya Juvenile Deliquency adalah kejahatan dan pelanggaran pada orang dewasa, akan tetapi menjadi “Juvenile Deliquency” oleh karena pelakunya adalah anak/kaum remaja dan mereka yang belum mencapai umur dewasa secara yuridis formal. Bertitik tolak pada konsep dasar inilah maka wujud “Juvenile Deliquency” dapat dipaparkan sebagai berikut : pembunuhan dan penganiayaan (tergolong kejahatan-kejahatan kekerasan), pencurian ,pengelapan, penipuan, gelandangan dan lain sebagainya. 14 Secara yuridis formal masalah “Juvenile Deliquency” telah memperoleh pedoman yang baku. Pertama-tama adalah hukum pidana yang pengaturannya tersebar dalam beberapa pasal; sebagai pasal yang embrional adalah pasal 45-46 dan 47 KUH Pidana. Disamping itu KUH Perdata pun mengatur tentang “Juvenile Deliquency” terutama pasal 302 dan segala pasal yang ditunjuk dan terkait. Kondisi dualistik tersebut membawa konsekuensi logis yang berbeda didalam sebutan, walaupun pada prinsip dasarnya sama. “Juvenile Deliquency” yang melawan kaidah hukum tertulis yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebut “Anak Negara” dan sesuai dengan ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebut “Anak Negara” dan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut “Anak Sipil”. B. Mazhab-Mazhab atau Aliran Terjadinya Kejahatan Pada umumnya penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok pendapat yaitu: a) Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku
14
Ibid hal-24
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
b) Pendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dari bakat jahat yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri c) Pendapat yang menggabungkan, bahwa kriminalitas itu disebabkan baik karena pengaruh di luar pelaku maupun karena sifat atau bakat si pelaku. Bagi Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau tetap, dan lingkungan adalah faktor variabelnya dan karena itu juga dapat disebutkan sebagai penyebabnya 15 Pandangan bahwa ada hubungan langsung antara keadaan ekonomi dengan kriminalitas biasanya mendasarkan pada perbandingan statistik dalam penelitian. Selain keadaan ekonomi, penyebab di luar diri pelaku dapat pula berupa tingkat gaji dan upah, pengangguran, kondisi tempat tinggal bobrok, bahkan juga agama. Banyak penelitian yang sudah dialakukan untuk mengetahui pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku untuk melakukan sebuah tindak pidana. Biasanya penelitian dilakukan dengan cara statistik yang disebut dengan criminostatistical investigation. Bagi para penganut aliran bahwa kriminalitas timbul sebagai akibat bakat si pelaku, mereka berpandangan bahwa kriminalitas adalah akibat dari bakat atau sifat dasar si pelaku. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa kriminalitas merupakan bentuk ekspresi dari bakat. Para penulis Jerman mengatakan bahwa bakat itu diwariskan. Pemelopor aliran ini, Lombroso, yang dikenal dengan aliran Italia, menyatakan sejak lahir penjahat sudah berbeda dengan manusia lainnya,
15
Ninik Widiyanti-Panji Anoraga. “Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya”. PT. Pradnya Paramita. Jakarta 1992 hal 40 Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
khususnya jika dilihat dari ciri tubuhnya. Ciri bukan menjadi penyebab kejahatan melainkan merupakan predisposisi kriminalitas. Ajaran bahwa bakat ragawi merupakan penyebab kriminalitas telah banyak ditinggalkan orang, kemudian muncul pendapat bahwa kriminalitas itu merupakan akibat dari bakat psikis dan bakat ragawi. Untuk mendapatkan bukti pengaruh pembawaan dalam kriminalitas, berbagai macam penelitian telah dilakukan dengan berbagai macam metode. Metode yang menarik antara lain: a) Criminal family, penyelidikan dilakukan terhadap keluarga penjahat secara vertikal dari satu keturunan ke keturunan yang lain b) Statistical family, penyelidikan sejarah keluarga golongan besar penjahat secara horizontal untuk mendapatkan data tentang faktor pembawaan sebagai keseluruhan c) Study of twins, penyelidikan terhadap orang kembar. Setiap orang, sedikit atau banyak memiliki bakat kriminal, dan bilamana orang itu dalam lingkungan yang cukup kuat untuk berkembangnya bakat kriminal sedemikian rupa, maka orang itu pasti akan terlibat dalam kriminalitas. Hubungan antara pengaruh pembawaan dan lingkungan pada etiologi kriminal yang dikaitkan dengan penyakit-penyakit mental dengan diagram sebagai berikut Lindesmith dan Dunham menyimpulkan bahwa kriminalitas dapat 100 persen sebagai akibat dari faktor kepribadian namun juga dapat 100 persen sebagai akibat faktor sosial, tetapi yang paling banyak adalah sebagai gabungan faktor pribadi dan faktor sosial yang bersama-sama berjumlah 100 persen. Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Seelig membagi hubungan antara bakat, lingkungan, dan kejahatan sebagai berikut: a) Sementara orang, oleh karena bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang cukupan saja telah melakukan deik b) Lebih banyak orang yang karena bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang kuat, melakukan delik c) Sangat sedikit orang karena pengaruh dari luar yang cukupan saja, melakukan delik d) Sebagian besar orang lebih dari 50 persen, dengan bakatnya, walaupun berada di dalam lingkungan yang kurang baik dan cukup kuat, tidak ,menjadi kriminal. Sauer berpendapat bahwa pertentangan bakat-lingkungan itu terlalu dilebih-lebihkan, dan bahwa baik bakat, lingkungan atau keduanya bersama-sama dapat menjadi penyebab kriminalitas sudahlah cukup. Selanjutnya ia mengatakan bahwa setiap pelaku berdasarkan bakat sebagai sumber biologis dan sedikit atau banyak dipengaruhi oleh kekuatan dari luar yang berasal dari alam maupun masyarakat, dan baik itu merupakan syarat ataupun merupakan gejala yang mengiringinya, pelaku itu melakukan perbuatan kriminalnya. Sebagai faktor ketiga, Sauer masih menyebutkan pula kehendak. Noach mengatakan kriminalitas yang terjadi pada orang normal merupakan akibat dari bakat dan lingkungan, yang pada suatu ketika hanya salah satu faktor saja, pada waktu yang lain faktor yang lainnya dan yang kedua-duanya mungkin saling berpengaruh. Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Sutherland mengawali penjelasannya tentang teori sosiologis dengan menunjukkan dua prosedur yang penting yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan teori sebab musabab perilaku kriminal. Yang pertama adalah abstraksi logis, penelitiannya menunjukkan bahwa perilaku kriminal itu sedikt berkaitan dengan patologi sosial dan patologi pribadi. Dan yang kedua diferensiasi tingkat analisis yang artinya dalam menganalisis penyebab kejahatan haruslah diketahui pada tingkat tertentu yang mana. Untuk menjelaskan perilaku kriminal secara ilmiah dapat dilakukan dalam hubungan dengan : a. Proses yang terjadi pada waktu kejahatan itu (Mekanistis, situasional, atau dinamis) b. Proses yang terjadi sebelum kejahatan berlangsung (Historis atau Genetik) Proses seseorang terlibat dalam perilaku kriminal adalah sebagai berikut: a. Perilaku kriminal itu dipelajari b. Perilaku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain di dalam proses komunikasi c. Inti dari mempelajari perilaku kriminal terjadi di dalam kelompok pribadi yang intim d. Dalam mempelajari perilaku kriminal, yang dipelajari meliputi: e. Arah kasus dari motif dan dorongan dipelajari dari batasan-batasan hukum Seseorang menjadi delinkuen karena sikap yang cenderung untuk melanggar hukum melebihi sikap yang merasa tidak menguntungkan bila
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
melanggar hukum pengaruh kelompok terhadap individu, maka dapatlah dipikirkan: a. Seorang individu mendapat pengaruh hanya dari satu macam kelompok; b. Seorang individu mendapat pengaruh dari dua kelompok atau c. Differential association mungkin bervariasi dalam hal frequensi, lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya d. Proses belajar perilaku kriminal melalui asosiasi dengan pola kriminal dan anti-kriminal semua mekanisme atau cara belajar pada hal-hal yang lain e. Perilaku merupakan ungkapan kebutuhan dan nilai, tetapi hal ini tidak dipakai untuk alasan, karena perilaku non-kriminal pun juga merupakan ungkapan kebutuhan dan nilai. Thorsten Sellin berpendapat bahwa konflik antar norma dari tatanan budaya yang berbeda mungkin terjadi karena: a. Tatanan ini berbenturan di daerah budaya yang berbatasan; b. Dalam hal norma hkum, hukum dari suatu kelompok tertentu meluas dan menguasai wilayah kelompok budaya yang lain; c. Anggota dari kelompok budaya pindah ke kelompok budaya yang lain. Kecenderungan dalam teori sosiologi untuk memberikan nama kepada struktur sosial yang berfungsi (secara salah) pada dorongan biologis manusia yang tidak dibatasi oleh kontrol sosial. Sikap ini implikasinya adalah sebagai akibat dari pemikiran dan perhitungan akan kebutuhan atau karena alasan yang tidak diketahui. Tokohnya adalah Merton yang mencoba mencari bagaimana struktur sosial menerapkan tekanan terhadap orang-orang di dalam masyarakat dan bersifat
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
non-konformis dan bukannya konformis. Diantara unsur-unsur sosial dan struktur sosial terdapat dua hal yang penting, yaitu: Pertama, adalah tujuan, maksud dan kepentingan budaya yang telah bersama-sama ditentukan. Hal ini meliputi aspirasi budaya, yang oleh Merton disebut “pola hidup berkelompok” (designs for group living). Kedua, struktur sosial itu menetapkan mengatur dan mengendalikan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Kesesuaian atau koordinasi antara “tujuan” dan “cara” sangatlah perlu di dalam struktur sosial, sebab tanpa adanya kesesuaian, keseimbangan, atau koordinasi antara dua hal tersebut akan mengarah kepada “anomie” yaitu situasi tanpa norma dalam struktur sosial tang disebabkan karena adanya jurang perbedaan antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang telah melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan yang diberikan oleh struktur sosial tersebut untuk mencapainya. Dr. J.E. Sahetapy membagi teori-teori sosiologik mengenai kriminal berdasarkan penekanan pada: a. Aspek konflik kebudayaan (Culture conflict) yang terdapat dalam sistem sosial b. Aspek disorganisasi sosial c. Aspek ketiadaan norma d. Aspek sub-budaya (Sub-Culture) yang terdapat di dalam kebudayaan induk (Dominan culture) Karena keremajaan itu selalu maju untuk lebih banyak melakukan hubungan sosial dengan teman sebaya sehingga hubungan diantara mereka semakin kuat sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan dari kelompoknya
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
tersebut.16 Pengaruh dari norma kelompok sosial tersebut semakin lebih kuat dari norma keluarga, demikian pula pengaruh pada perilaku pelanggaran hukum. Beberapa hal yang menjadi latar belakang terjadinya kejahatan yang dilakukan anak dibawah umur adalah sebagai berikut: Di kalangan remaja, memiliki banyak kawan adalah merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak kawan, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya. Apalagi mereka dapat memiliki teman dari kalangan terbatas. Misalnya, anak orang yang paling kaya di kota itu, anak pejabat pemerintah setempat bahkan mungkin pusat atau pun anak orang terpandang lainnya. Di jaman sekarang, pengaruh kawan bermain ini bukan hanya membanggakan si remaja saja tetapi bahkan juga pada orangtuanya. Orangtua juga senang dan bangga kalau anaknya mempunyai teman bergaul dari kalangan tertentu tersebut. Padahal, kebanggaan ini adalah semu sifatnya. Malah kalau tidak dapat dikendalikan, pergaulan itu akan menimbulkan kekecewaan nantinya. Sebab kawan dari kalangan tertentu pasti juga mempunyai gaya hidup yang tertentu pula. Apabila si anak akan berusaha mengikuti tetapi tidak mempunyai modal ataupun orangtua tidak mampu memenuhinya maka anak akan menjadi frustrasi. Apabila timbul frustrasi, maka remaja kemudian akan melarikan rasa kekecewaannya itu pada narkotik, obat terlarang, dan lain sebagainya. Untuk menghindari masalah yang akan timbul akibat pergaulan, selain mengarahkan untuk mempunyai teman bergaul yang sesuai, orangtua hendaknya juga memberikan kesibukan dan mempercayakan sebagian tanggung jawab rumah tangga kepada si remaja. Pemberian tanggung jawab ini hendaknya tidak dengan
16
Sudarsono. “Kenakalan Remaja”. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.November 1991 hal 92
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
pemaksaan maupun mengada-ada. Berilah pengertian yang jelas dahulu, sekaligus berilah teladan pula. Sebab dengan memberikan tanggung jawab dalam rumah akan dapat mengurangi waktu anak ‘keluyuran’ tidak karuan dan sekaligus dapat melatih anak mengetahui tugas dan kewajiban serta tanggung jawab dalam rumah tangga. Mereka dilatih untuk disiplin serta mampu memecahkan masalah seharihari. Mereka dididik untuk mandiri. Selain itu, berilah pengarahan kepada mereka tentang batasan teman yang baik.
BAB III PERKEMBANGAN ANAK DAN TAYANGAN TELEVISI
A.
Anak dan Perkembangannya
Istilah pertumbuhan dan perkembangan sering digunakan secara bergantian atau secara bersama dalam arti yang sama. Namun demikian, sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda, walaupun keduanya mempunyai Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
aspek yang sama, yaitu terjadinya perubahan dan pertambahan. Untuk jelasnya dapat kita lihat beberapa definisi yang dikemukakan para ahli.
Dr. Kartini Kartono mengemukakan bahwa pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat, dalam passage (peredaran waktu) tertentu. Drs. Muhiddin Syah mengemukakan bahwa:“Pertumbuhan berarti perubahan-perubahan kualitatif yang mengacu pada jumlah, besar dan luas yang bersifat konkret.”. 17 Drs. H. Abu Ahmadi, mengemukakan bahwa: pertumbuhan dapat diartikan sebagai perubahan kuantitatif pada material sesuatu sebagai akibat dari adanya pengaruh lingkungan. Pertumbuhan itu tidak hanya berlaku pada hal-hal yang bersifat kuantitatif, karena tidak selamanya material itu kuantitatif. Material dapat terdiri dari bahan-bahan kuantitatif misalnya atom, sel, kromosan, rambut dan lain-lain, dapat pula material terdiri dari bahan-bahan kualitatif misalnya kesan, keinginan, ide, gagasan, pengetahuan, nilai, dan lain-lain. Dari uraian di atas, dapatlah kita rumuskan arti pertumbuhan sebagai perubahan kuantitatif pada material pribadi sebagai akibat dari adanya pengaruh lingkungan. Material pribadi seperti sel, kromoson, rambut, butiran darah, tulang, 39 adalah tidak dapat dikatakan berkembang, melainkan bertumbuh. Begitu juga material pribadi seperti kesan, keinginan, ide, pengetahuan, nilai, selama tidak dihubungkan dengan fungsinya. Jadi pertumbuhan meliputi pertambahan material,
17
Yulia Singgih D. Gunarso 1981. “Psikologi Remaja”.BPK Gunung Mulia hal 81
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
baik yang pertumbuhan yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif, sepanjang tidak berhubungan dengan fungsinya. Selanjutnya untuk pengertian perkembangan, dapat kita lihat dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut: Drs. Tadjad mengemukakan bahwa:“Perkembangan adalah perubahan dan pertambahan yang bersifat kualitatif dari setiap fungsi-fungsi kejiwaan dan kepribadian”. Sejalan dengan itu Drs. Muhiddin Syam mengemukakan bahwa: perkembangan ialah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada mutu fungsi organ-organ jasmaniah, bukan organ-organ jasmaniahnya itu sendiri. Dengan kata lain, perekanan arti perkembangan itu terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis yang disandang oleh organ-organ fisik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan itu adalah perubahan dan pertambahan kualitatif daripada setiap fungsi disebabkan adanya proses pertumbuhan material yang memungkinkan adanya fungsi itu, di samping itu juga disebabkan oleh karena perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar. Jadi kita dapat merumuskan pengertian perkembangan pribadi sebagai perubahan kualitatif dari setiap fungsi kepribadian akibat dari pertumbuhan dan belajar. Dari beberapa pengertian pertumbuhan dan perkembangan yang telah dikemukakan di atas, dapat kita simpulkan bahwa pertumbuhan mengandung arti yang berbeda dengan pribadi yang berkembang. Dalam pribadi manusia, baik yang jasmaniah maupun yang rohaniah, terdapat dua bagian yang berbeda sebagai kondisi yang menjadikan pribadi manusia berubah menuju kesempurnaan. Dua bagian yang kuantitatif dan bagian pribadi fungsional yang kualitatif. Pribadi
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
material yang kuantitatif mengalami pertumbuhan, sedangkan pribadi fungsional yang kuantitatif mengalami perkembangan. Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bersosialisasi (sozialed), memerlukan tiga proses. Dimana masing-masing proses tersebut terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu. Sikap anak-anak terhadap orang lain dalam bergaul sebagian besar akan sangat tergantung pada pengalaman belajarnya selama tahun-tahun awal kehidupan, yang merupakan masa pembentukan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Maka ada empat faktor yang mempengaruhinya : 18 Pertama, kesempatan yang penuh untuk bersosialisasi adalah penting bagi anak-anak, karena ia tidak dapat belajar hidup bersosialisasi jika kesempatan tidak dioptimalkan. Tahun demi tahun mereka semakin membutuhkan ksempatan untuk bergaul dengan banyak orang, jadi tidak hanya dengan anak yang umur dan tingkat perkembangannya sama, tetapi juga dengan orang dewasa yang umur dan lingkungannya yang berbeda. Kedua, dalam keadaan bersama, anak tidak hanya harus mampu berkomunikasi dalam kata-kata yang dapat dimengerti orang lain, tetapi juga harus mampu berbicara tentang topik yang dapat dipahami dan dapat menceritakannya secara menarik kepada orang lain. Perkembangan bicara merupakan hal yang terpenting bagi perkembangan sosialisasi anak.
18
Elida Prayitna.1992. “Psikologi Perkembangan”. Jakarta: Depdikbud
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Ketiga, anak akan belajar bersosialisasi jika mereka mempunyai motivasi untuk melakukannya. Motivasi ini sangat bergantung pada tingkat kepuasaan yang diberikan kelompok sosialnya kepada anak. Jika mereka memperoleh kesenangan melalui hubungan dengan orang lain, mereka akan mengulangi hubungan tersebut. Keempat, metode belajar yang efektif dengan bimbingan yang tepat adalah penting. Dengan metode coba ralat, anak akan mempelajari beberapa perilaku yang penting bagi perilaku sosialnya. Setelah membahas pengertian pertumbuhan dan perkembangan di atas, kita akan membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, memang tidak dapat dihindari adanya beberapa faktor yang mempengaruhi organ tubuh anak, antara lain: 1. Faktor sebelum lahir, yaitu adanya gejala-gejala tertentu yang terjadi sewaktu anak masih di dalam kandungan. Contoh: Adanya gejala kurungan nutrisi pada ibu atau janin, terkena infeksi oleh bakteri syphilis, dan lain-lain. 2. Faktor pada waktu lahir, yaitu terjadinya gangguan pada saat anak dilahirkan. Contoh: Dinding rahim terlalu sempit hingga terjadi tekanan yang kuat dan mengakibatkan pendarahan pada kepala, dan lain-lain. 3. Faktor sesudah lahir, yaitu peristriwa-peristiwa tertentu yang terjadi setelah anak lahir, terkadang menimbulkan terhambatnya peertumbuhan anak. Contoh: Kekurangan gizi atau vitamin, adanya benturan di kepala, dan lain-lain. 4. Faktor psikologis, yaitu adanya kejadian-kejadian tertentu yang menghambat berfungsinya psikis terutama yang menyangkut perkembangan intelegensi dan emosi anak yang berdampak pada proses pertumbuhan anak. Contoh: Kurangnya
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
perawatan jasmani, atau rohani, kurangnya kasih sayang dan perhatian, dan lain sebagainya. Jadi pada dasarnya peertumbuhan anak sangat dipengaruhi oleh keempat faktor di atas, kekurangan nutrisi pada ibu atau janin, perdarahan di bagian kepala yang disebabkan oleh tekanan dari dinding rahim waktu dilahirkan,
ataupun
pengalaman traumatik karena terjatuh, dapat menyebabkan pertumbuhan bayi dan anak menjadi terganggu. Di samping itu dapat kita lihat, bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu dari golongan sosial ekonomis yang rendah pada umumnya tumbuh lebih kecil daripada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu dari kelas menengah dan tinggi. Hal ini disebabkan karena kekurangan gizi dan kurang sempurnanya perawatan kesehatan.Sedangkan faktor yang mempengaruhi perkembangan seorang anak, menurut Kartini Kartono, antara lain: 19 1. Faktor herediter (warisan sejak lahir), bawaan). 2. Faktor lingkungan, yang menguntungkan atau yang merugikan. 3. Kematangan fungsi-fungsi organis dan fungsi-fungsi psikis. 4. Aktivitas anak sebagai subyek bebas yang berkemauan, kemampuan sosial, bisa menolak atau menyetujui, punya emosi, serta usaha membangun diri sendiri. Setiap gejala perkembangan anak merupakan hasil kerjasama dan pengaruh timbal balik antara potensi hereditas dengan faktor-faktor lingkungan. Oleh karena itu bakat dan potensi anak patut diperhitungkan. Perkembangan setiap anak pada batas tertentu sangat ditentukan oleh bibit dari setiap potensi
19
Surya. “Genetika Manusia”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal.13
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
psiko-psiko anak. Dan kualitas alami tersebut mempengaruhi cara bereaksi atau respon anak terhadap segala pengaruh dari lingkungan. Kualitas-kualitas bawaan akan tampak pada penampakan ciri-ciri fisik yang karaktereistik, misalnya: penampakan tubuh, warna rambut, bentuk hidung, dan lain-lain. Hal ini juga tampak pada ciri-ciri psikis yang berkarakteristik, misalnya: kecerdasan atau intelegensi, ketekunan, minat, dan lain-lain. Pertumbuhan dan perkembangan anak kemudian diikuti dengan usaha belajar. Dan setiap pengalaman anak sejak masa lahirnya akan cenderung mendorong maju perkembangannya. Jelaslah bahwa impuls untuk tumbuh dan berkembang pada anak itu sangat kuat. Implus ini dimanfaatkan oleh anak untuk mencoba setiap bakat dan kemampuannya, dengan caranya sendiri. Oleh karena itulah maka anak disebut sebagai subyek yang aktif. Menurut Tadjad pada garis besarnya ada dua faktor yang mempengaruhi terjadinya pertumbuhan dan perkembangan pada seorang anak, yaitu: 1. Faktor intern, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri anak, yang berasal dari keturunan dan pembawaan. 2. Faktor ekstern, yaitu faktor yang berasal dari luar diri anak, yang berasal dari pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. 20 Pada dasarnya, faktor-faktor tersebut di atas sama dengan yang dijelaskan sebelumnya, yaitu bahwa faktor keturunan atau pembawaan dari anak dan juga faktor
dari
lingkungan
sekitarnya
sangat
mempengaruhi
proses
pertumbuhan dan perkembangannya, tidak terlepas dari pembawaan dan lingkungannya.
20
Darajad Zakiah. “Pokok-Pokok Kesehatan Mental Jiwa”, Jakarta, Bulan Bintang, Jilid II hal 37
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Suatu sistem pengertian atau konseptualisasi yang diorganisasikan secara logis, dan diperoleh melalui jalan (pendekatan) yang sistematis, biasanya disebut sebagai teori. Adapun yang menyangkut teori-teori tentang pertumbuhan dan perkembangan anak dari para ahli sangat beragam. Menurut Tadjad ada tiga teori tentang pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, yaitu: 1. Teori Nativisme, berpendapat bahwa sejak lahir anak telah memiliki sifat dan dasar-dasar tertentu, yang bersifat pembawaan atau keturunan. Sifat-sifat dan dasar-dasar tertentu inilah yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak sepenuhnya. Sedangkan pendidikan dan lingkungan boleh dikatakan tidak berarti, kecuali sebagai wadah dan memberikan rangsangan saja. 2. Teori Empirisme, berpendapat bahwa anak dilahirkan tidak membawa apa-apa. Seluruh pertumbuhan dan perkembangan semata ditentukan oleh faktor di luar, yaitu lingkungan, pengalaman dan pendidikan yang diterimanya. 3. Teori Konvergensi, berpendapat bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak itu adalah sebagai akibat interaksi antara faktor intern dan ekstern. Anak dilahirkan dengan membawa sifat-sifat dasar atau benih-benih tertentu yang berasal dari keturunan (herediter), namun sifat dasar benih tersebut baru bisa tumbuh dan berkembang setelah mendapatkan pengaruh dari lingkungan dan pendidikan yang tepat. Selain dari teori yang telah disebutkan di atas, Drs. H. Abu Ahmadi menuliskan dalam bukunya beberapa teori perkembangan anak sebagai berikut: 1. Teori Empirisme Teori Empirisme, berpendapat bahwa pada dasarnya anak lahir di dunia, perkembangannya ditentukan oleh adanya pengaruh dari luar, termasuk
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
pendidikan dan pengajaran. Dianggapnya anak lahir dalam kondisi kosong, putih bersih seperti meja lilin (tabularasa), maka pengalaman (empiris) anaklah yang bakal menentukan corak dan bentuk perkembangan jiwa anak. Dengan demikian menurut teori ini, pendidikan atau pengajaran anak pasti berhasil membentuk perkembangan atau pengajaran anak pasti berhasil membentuk perkembangannya. Teori ini biasa juga dikenal sebagai: a) Teori Optimisme (paedagogik optimisme) dengan alasan karena teori ini sangat yakin dan optimis akan keberhasilan upaya pendidikan dalam membina kepribadian anak. b) Teori yang berorientasi lingkungan, karena lingkungan lebih banyak menentukan corak perkembangan anak. c) Teori Tabularasa, karena faham ini mengibaratkan anak lahir dalam kondisi putih bersih seperti meja lilin (tabula/table: meja, rasa, lilin). 2. Teori Nativisme Teori Nativisme mengemukakan
bahwa anak lahir telah
dilengkapi
pembawaan bakat alami (kodrat). Dan pembawaan inilah yang akan menentukan wujud kepribadian seorang anak. Pengaruh lain dari luar tidak akan mampu merubah pembawaan anak. Dengan demikian, maka pendidikan bagi anak adalah sia-sia tidak perlu dihiraukan. Tokoh utamanya adalah Shopenhauer dari Jerman 3. Teori Passimisme (paedagogik passimisme), karena teori ini menolak dan pasimis terhadap pengaruh dari luar. 4. Teori Biologis, karena teori ini menitikberatkan faktor biologis, faktor keturunan (genetic) dan keadaan psikofisik yang dibawa sejak lahir. Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
5. Teori Konvergensi. Teori ini berpendapat bahwa perkembangan jiwa anak lebih banyak ditentukan oleh dua faktor yang saling menopang, yakni faktor bakat dan faktor pengaruh lingkungan. Keduanya tidak dapat dipisahkan, seolah-olah memadu dan bertemu dalam satu titik (converge). Di sini dapat dipahami bahwa kepribadian seorang anak akan terbentuk dengan baik apabila dibina oleh suatu pendidikan (pengalaman) yang baik serta ditopang oleh bakat yang merupakan pembawaan lahir. Tokoh utama yang mempelajari teori ini adalah sepasang suami isteri Williams Stern dan clara Stern. 6. Teori Rekapitulasi Rekapitulasi berarti ulangan, yang dimaksudkan di sini adalah bahwa perkembangan jiwa anak adalah merupakan hasil ulangan dari perkembangan seluruh jenis manusia. Disimpulkan bahwa seorang manusia akan mengalami tingkatan masa sebagai berikut: a. Masa berburu (merampok) sampai umur kurang lebih 8 tahun, rupa kegiatannya antara lain menangkap binatang. b. Masa penggembala, umur 8 – 10 tahun seorang anak senang memelihara binatang, ikan, kambing dan lain-lain. c. Masa bertani, umur 10 – 12 tahun anak suka berkebun memelihara dan menanam tanaman, bunga dan lain-lain… d. Masa berdagang, umur kurang lebih 12- 14 tahun anak gemar bermain pasar-pasaran, tukar-menukar perangko, tukar gambar, dan lain-lain.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
e. Masa industri, umur 14 tahun ke atas anak mulai mencoba berkarya sendiri, membuat mainan, membuat kandang merpati, dan lain-lain.
7. Teori Psikodinamika Teori ini berpendapat bahwa perkembangan jiwa atau kepribadian seseorang ditentukan oleh komponen dasar yang bersifat sosioafektif, yakni ketegangan yang ada di dalam diri seseorang ikut menentukan dinamika di tengah-tengah lingkungannya. Maka teori ini pun menekankan pada peranan lingkungan di dalam perkembangan anak. Yang termasuk pendukung teori ini adalah K. Homey, E. From dan juga Sigmund Freud. 8. Teori Interaksionisme Menurut teori ini perkembangan jiwa atau perilaku anak banyak ditentukan oleh adanya dialektif dengan lingkungannya. Maksudnya, adalah bahwa perkembangan kognitif seorang anak bukan merupakan perkembanan yang wajar, melainkan ditentukan oleh interaksi budaya. Pengaruh yang datang dari pengalaman dalam berinteraksi budaya, serta dari penanaman nilai-nilai lewat pendidikan (disebut transmisial) itu diharapkan mencapai suatu stadium yang disebut ekulibrasi, yakni keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi pada diri anak. B. Anak Sebagai Konsumen Televisi Di sepanjang kehidupannya, manusia melalui berbagai masa dan tahapan. Tidak diragukan lagi, tidak ada satupun masa yang lebih manis dan indah seperti masa yang dinikmati oleh anak-anak. Orang-orang dewasa senantiasa mengenang masa kecil mereka dengan penuh rasa suka cita dan mereka akan menceritakan
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
peristiwa dan kenangan masa kecil itu dengan penuh semangat. Permainan, imajinasi, rasa ingin tahu, dan ketiadaan beban hidup, membuat masa kanakkanak menjadi manis dan menarik buat semua orang. Namun, dewasa ini, para ahli psikologi dan sosial meyakini, era kanak-kanak di dunia sedang berhadapan dengan keruntuhan dan akan tinggal menjadi sejarah saja. Di masa yang akan datang, anak-anak di dunia tidak akan lagi menikmati masa kanak-kanak yang manis, yang seharusnya menjadi masa terpenting dalam membentuk kepribadian mereka. 21 Dewasa ini, media massa Barat, dengan program-programnya yang memperlihatkan kerusakan moral dan kekerasannya, sedang merobohkan dinding yang menjadi tembok pemisah antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Barat, namun juga di negara-negara lain karena besarnya infiltrasi media Barat di berbagai penjuru dunia. Dengan kata lain, anak-anak zaman kini dibebaskan untuk melihat apa yang seharusnya hanya ditonton oleh orang dewasa dan hal ini dapat berdampak buruk bagi anak-anak itu. Di antara berbagai media massa, televisi memainkan peran yang terbesar dalam menyajikan informasi yang tidak layak dan terlalu dini bagi bagi anakanak. Menurut para pakar masalah media dan psikologi, di balik keunggulan yang dimilikinya, televisi berpotensi besar dalam meninggalkan dampak negatif di tengah berbagai lapisan masyarakat, khususnya anak-anak. Memang terdapat usaha untuk menggerakan para orangtua agar mengarahkan anak-anak mereka
21
E.B. Surbakti ibid
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
supaya menonton program atau acara yang dikhususkan untuk mereka saja, namun pada prakteknya, sedikit sekali orangtua yang memperhatikan ini. Menurut sebuah penelitian yang telah dilakukan di Amerika, banyak sekali anak-anak yang menjadi pemirsa program-program televisi yang dikhususkan untuk orang dewasa. Doktor Tabatabaei dalam mengomentari hal ini menyatakan, "Dewasa ini di Barat, anak-anak dihadapkan dengan pembunuhan, kekerasan, penculikan, penyanderaan, amoral dan asusila, keruntuhan moral, budaya dan sosial. Dampak dari problema ini adalah timbulnya kekacauan dan kerusakan pada kepribadian anak-anak dan akhirnya kepribadian kanak-kanak itu menjadi terhapus dan hilang sama sekali." Neil Postman dalam bukunya "The Disappearance of Childhood" (Lenyapnya Masa Kanak-Kanak), menulis bahwa sejak tahun 1950, televisi di Amerika telah menyiarkan program-program yang seragam dan anak-anak, sama seperti anggota masyarakat lainnya, menjadi korban gelombang visual yang ditunjukkan televisi. Dengan menekankan bahwa televisi telah memusnahkan dinding pemisah antara dunia kanak-kanak dan dunia orang dewasa, Neil Postman menyebutkan tiga karakteristik televisi. Pertama, pesan media ini dapat sampai kepada pemirsanya tanpa memerlukan bimbingan atau petunjuk. Kedua, pesan itu sampai tanpa memerlukan pemikiran. Ketiga, televisi tidak memberikan pemisahan bagi para pemirsanya, artinya siapa saja dapat menyaksikan siaran televisi. 22 Ketiga karakteristik televisi ini akan berakibat baik bila pesan yang disampaikan adalah pesan-pesan yang baik dan bermoral. Sebaliknya, akan
22
Roni Tabrani, “Kejahatan dalam Kemasan TV”. Pikiran Rakyat, Rabu 3 Desember 2003
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
menjadi bahaya besar ketika televisi menyiarkan program-program yang bobrok dan amoral, seperti kekerasan dan kriminalitas. Sayangnya, justru dewasa ini filmfilm yang disiarkan televisi umumnya sarat dengan kekerasan dan kriminalitas. Para pemilik media ini demi menarik pemirsa sebanyak mungkin, berlombalomba menayangkan kekerasan dan amoralitas yang lebih banyak di layar televisi. Anak-anak yang masih suci dan tanpa dosa menjadi pihak yang paling cepat terpengaruh oleh tayangan televisi dan mereka menganggap bahwa apa yang disiarkan televisi adalah sebuah kebenaran. Anak-anak
seharusnya
dikenalkan
kepada
kekacauan
dan
ketidaktenteraman kehidupan di dunia secara bertahap dan dengan bahasa yang khusus, agar mereka mengenali kejahatan bukan untuk menirunya, melainkan untuk menghadapinya dan melawannya. Cara yang tepat untuk pengenalan ini adalah melalui dongeng-dongeng anak-anak yang menggunakan metode yang benar dan bahasa yang lembut. Namun sayangnya, dongeng-dongeng anak-anak ini semakin menghilang dan digantikan oleh film-film keras televisi dan permainan komputer. Masalah lain yang seharusnya milik dunia dewasa, namun malah disiarkan oleh televisi untuk semua orang, termasuk anak-anak, ialah masalah seksual. Gambaran terburuk dari berbagai hubungan seksual disiarkan setiap hari di televisi, baik di Barat maupun sebagian besar negara-negara Timur, dan anakanak yang seharusnya masih berada dalam dunia manis masa kanak-kanak, tibatiba dihadapkan dengan masalah asusila atau pornografi. Dengan cara ini, anakanak telah memasuki dunia dewasa dalam bentuknya yang terburuk.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Anak-anak seperti ini bukan saja tidak akan mau menerima nasihat dari orangtua mereka, bahkan juga tidak akan menghormati orangtua. Padahal, nasehat dan pengarahan dari orang tua adalah sebuah masalah penting bagi anak-anak, sebagaimana ditulis oleh Haddington berikut ini. "Salah satu elemen utama penyempurnaan manusia dan perkembangan daya pilih mereka adalah rasa percaya diri yang diberikan oleh orang dewasa kepada mereka sewaktu mereka masih kanak-kanak. Rasa percaya diri anak-anak ini dapat membuat mereka mampu membedakan antara kebenaran dan kejahatan, kebaikan dan kesalahan, serta keindahan dan keburukan. Mereka akan memiliki kemampuan untuk menyingkirkan segala bentuk penyimpangan moral dan menyediakan kehidupan yang aman dan membahagiakan buat dirinya dan keluarganya." Menimbang segala fakta di atas, pemerintah di berbagai negara hendaknya sadar untuk mengatur industri televisi agar dapat memainkan peran positif dan konstruktif bagi anak-anak dalam meningkatkan kepribadian mereka, demi terciptanya generasi yang sehat dan bangsa yang maju. 23
23
Dobson James, 1995. “Masalah Membesarkan Anak”. Bandung: Yayasan Kalam Hidup,hal.24
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
BAB IV UPAYA MENANGGULANGI KENAKALAN ANAK AKIBAT FAKTOR PEMBERITAAN KRIMINAL DI TELEVISI DAN HAMBATANNYA
A. Peranan Keluarga Dalam Mengatasi Kejahatan Anak Akibat Faktor Pemberitaan Kriminal di TV
Peran keluarga dan orang tua adalah sosok terpenting bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan spiritual dan perkembangan mental mereka. Bagaimanapun, orang tua dan keluarga adalah pihak yang dianggap paling bertanggungjawab terhadap seluruh sistim tata nilai yang dianut oleh anak-anak. Oleh karena itu, setiap kesalahan yang dilakukan orang tua dalam mendidik anakDianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
anak pada masa pertumbuhan dan perkembangan mereka, akan berakibat fatal di kemudian hari dan sulit sekali untuk diperbaiki. 24 Dalam hal tontonan, orang tua seharusnya tidak menetapkan standar ganda di rumah, terutama menyangkut apa yang boleh ditonton oleh anak-anak dan apa yang tidak boleh ditonton. Misalnya menonton film-film tertentu hanya untuk orang tua dan film lain boleh untuk semua keluarga. Sekat semacam ini tidak mendidik dan anak akan merasa diperlakukan diskriminatif. Sebagai orang tua dan anggota keluarga yang bijaksana haruslah menyeleksi tayangan apa yang pantas ditonton oleh anak-anak dan apa yang tidak patut. Perlu pengawasan yang ketat dan disiplin menonton harus ditegakkan dengan tegas. Kelengahan orang tua hanya akan membuahkan penyesalan di kemudian hari. Di samping itu perlu pendampingan orang tua ketika anak-anak sedang menonton televisi dan memberikan penjelasan yang tuntas atas setiap pertanyaan yang mungkin mereka ajukan terhadap sebuah adegan yang mengusik keingintahuan mereka. Dengan metode ini, anak mendapatkan informasi yang 54 benar tentang sebuah tayangan sehingga mereka tidak perlu mencari penjelasan di luar rumah yang kebenarannya belum tentu dapat dipertanggung jawabkan. Selain itu, para orang tua dan anggota keluarga perlu mengatur jadwal bagi anak-anaknya supaya ada ketertiban anak dalam menggunakan waktunya. Dengan demikian, anak dapat menggunakan waktunya untuk belajar, bermain, rekreasi, bersosialisasi dengan teman-temannya, berolahraga atau kegiatan lain. Pembagian waktu yang proporsional akan mendorong anak untuk menggunakan setiap alokasi waktu yang tersedia seefektif dan seefisien mungkin.
24
E.B Surbakti Op.Cit hal 185
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Televisi bisa menghambat komunikasi di dalam rumah tangga. Bagaimana mungkin sebuah komunikasi bisa berlangsung dengan baik di depan televisi yang sedang menayangkan program yang menarik perhatian. Selain itu, media televisi menghancurkan pola interaksi dan komunikasi yang lebih berani, misalnya katakata kasar, kotor, kata yang berkonotasi negatif, tindakan kekerasan, lelucon yang menyimpang dan menyinggung perasaan serta tidak sesuai dengan norma kesopanan. Beberapa langkah praktis dapat dilakukan oleh para orang tua untuk mengatur jadwal menonton televisi bagi anak-anaknya sebagai berikut: 25 a. Buat daftar acara televisi. Sungguh baik jika orang tua membuat daftar tayangan dan stasiun televisi yang bias dinikmati oleh seluruh keluarga dan terutama anak-anak. Metode ini akan sangat menolong para orang tua untuk mengawasi anak-anak mereka menonton siaran televisi. Jika mereka menyalakan televisi di luar jadwal program yang sudah dicatat,berarti telah terjadi penyimpangan yang harus segera ditertibkan. b. Pantau tayangan yang ditonton anak. Penting dilakukan oleh para orang tua adalah memantau tayangan yang tidak mendidik dan mengandung kekerasan. Oleh karena itu kewaspadaan sangat penting dan ketegasan harus ditegakkan sejak awal tanpa kompromi. c. Menuliskan tayangan yang tidak boleh ditonton. Selain membuat jadwal menonton tayangan, orang tua juga harus membuat daftar tayangan yang tidak boleh ditonton oleh keluarga. Dengan demikian, terdapat
25
E.B Surbakti Op.Cit hal 188
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
keseimbangan peraturan di dalam rumah yang harus dipatuhi oleh setiap orang penghuni rumah. d. Televisi bersama. Banyak rumah tangga saat ini yang kamar tidurnya mirip hotel bintang lima sehingga semua hampir kegiatan dilakukan di kamar. Ini menyulitkan orang tua mengawasi tontonan anak-anak di dalam kamar. Oleh karena itu, sebaiknya rumah tangga cukup mempunyai sebuah televisi bersama yang ditempatkan di sebuah ruangan keluarga. Selanjutnya bebaskan semua kamar tidur dari televisi. Dengan demikian, setiap orang yang mau menonton siaran televisi harus berada di ruang keluarga.
B. Peranan Pemerintah Dalam Mengatasi Kejahatan Anak Akibat Faktor Pemberitaan Kriminal di TV
Tugas pemerintah adalah menyelenggarakan kehidupan yang layak bagi setiap warga negaranya. Artinya, merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana, baik hiburan maupun informasi yang sehat dan mendidik untuk setiap warganya. Karena hak masyarakat adalah mendapatkan hiburan dan informasi yang bermutu dari pemerintah. Pemerintah sebagai penyelenggara Negara memiliki kedaulatan dan kekuasaan untuk mengatur penyelenggaraan televisi. Dengan kekuasaan yang ada padanya, pemerintah dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Membuat peraturan atau peraturan perundang-undangan tentang tata penyiaran sehingga ada acuan yang jelas tentang hak dan kewajiban penyelenggara siaran. Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
2. Memberikan teguran terhadap stasiun penyelenggara siaran televisi yang menayangkan acara yang tidak mendidik dalam hal ini program pemberitaan kriminal yang terlalu berlebihan seiring meningkatnya angka kejahatan anak. 3. Menindaklanjuti stasiun penyelenggara televisi yang nakal dan tidak mengindahkan peringatan. 4. Membatasi dan mengalihkan jam siaran untuk acara yang berpotensi menimbulkan gangguan emosional anak-anak 5. Membina stasiun penyelanggara siaran agar mampu bersaing secara sehat tanpa harus mengorbankan kepentingan penontonnya. 6. Menutup dengan paksa penyelenggara siaran televisi yang cenderung menayangkan program yang tidak bermutu yang berpotensi meresahkan masyarakat atau menyiarkan kebohongan kepada publik. 7. Menyelenggarakan hiburan dan informasi yang sehat bagi masyarakat sehingga masyarakat terhindar dari jenis-jenis tayangan yang tidak bertanggung jawab. Pada saat dunia menjadi sangat terpaku pada efisiensi teknologi telekomunikasi dan maksimalisasi keuntungan penyiaran, berlakunya Undangundang Penyiaran serta terbentuknya KPI merupakan kemenangan bagi kepentingan publik akan fungsi penyiaran yang mencerahkan. Pada dasarnya penggunaan frekuensi yang merupakan milik publik mengharuskan penyiaran dilakukan, utamanya, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Banyak Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
pengamat di negara-negara maju melihat bagaimana Indonesia yang baru saja menjadi demokratis, melalui suatu Undang-undang, bisa meletakkan dasar-dasar penyiaran yang kuat visi publiknya. Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Berbeda dengan semangat dalam Undang-undang penyiaran sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah", menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari instrumen kekuasaan yang digunakan untuk semata-mata bagi kepentingan pemerintah. Proses demokratisasi di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan publik. Sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah media penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi terdiri dari bermacam-macam bentuk, mulai dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dll. Dasar dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan).
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Kedua prinsip tersebut menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI. Pelayanan informasi yang sehat berdasarkan Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. Prinsip Diversity of Ownership juga menjamin iklim persaingan yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia. Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-undang no. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan. Maka sejak disahkannya Undang-undang no. 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan paling mendasar dalam semangat UU tersebut adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini merupakan hak ekslusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen (Independent regulatory body) bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Independen dimaksudkan untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan. Belajar dari masa lalu dimana
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
pengelolaan sistem penyiaran masih berada ditangan pemerintah (pada waktu itu rezim orde baru), sistem penyiaran sebagai alat strategis tidak luput dari kooptasi negara yang dominan dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan. Sistem penyiaran pada waktu itu tidak hanya digunakan untuk mendukung hegemoni rejim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tapi juga digunakan untuk mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elit penguasa dan pengusaha. Terjemahan semangat yang kedua dalam pelaksanaan sistem siaran berjaringan adalah, setiap lembaga penyiaran yang ingin menyelenggarakan siarannya di suatu daerah harus memiliki stasiun lokal atau berjaringan dengan lembaga penyiaran lokal yang ada didaerah tersebut. Hal ini untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi dan monopoli informasi seperti yang terjadi sekarang. Selain itu, pemberlakuan sistem siaran berjaringan juga dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin hak sosial-budaya masyarakat lokal. Selama ini sentralisasi lembaga penyiaran berakibat pada diabaikannya hak sosial-budaya masyarakat lokal dan minoritas. Padahal masyarakat lokal juga berhak untuk memperolah informasi yang sesuai dengan kebutuhan polik, sosial dan budayanya. Disamping itu keberadaan lembaga penyiaran sentralistis yang telah mapan dan berskala nasional semakin menghimpit
keberadaan
lembaga-lembaga
penyiaran
lokal
untuk
dapat
mengembangkan potensinya secara lebih maksimal. Undang-undang No. 32 Tahun 2002 dalam semangatnya melindungi hak masyarakat secara lebih merata. Dunia penyiaran di Indonesia sejak 28 Desember 2002 telah memasuki babak baru dengan hadirnya UU RI No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Melalui
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
jalan yang cukup panjang, kehadiran undang-undang tersebut telah menampilkan paradigma baru tentang pengaturan dunia penyiaran di Indonesia. Paradigma baru tersebut adalah dengan terlibatnya publik dalam setiap gerak langkah dunia penyiaran tersebut. Hal tersebut di atas didasari bahwa aktivitas penyiaran merupakan aktivitas yang berada pada ranah publik, apalagi jika dipandang frekuensi merupakan milik publik dan sebesar-besarnya diabdikan bagi kepentingan publik. Salah satu amanat dari Undang-Undang Penyiaran adalah adanya lembaga independen yang menjadi representasi publik serta mempunyai tugas dan kewenangan yang komprehensif menangani masalah penyiaran di Indonesia. Dalam konteks mengemban amanah publik melalui undang-undang maka lahirlah Komisi Penyiaran Indonesia. Komisi Penyiaran Indonesia dibentuk di tingkat Pusat dan di daerah. Di tingkat pusat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, pada tanggal 26 Desember 2003 sembilan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat ditetapkan secara administratif oleh Presiden. Penetapan ini dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Undang-undang Penyiaran) yang mengamanatkan bahwa KPI sudah dibentuk selambat-lambatnya satu tahun setelah diundangkannya Undang-undang Penyiaran pada tangal 28 Desember 2002. Sedangkan di tingkat propinsi dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). Komisi Penyiaran Indonesia Pusat dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan keduanya diatur melalui ketentuan tersendiri.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Di Sumatera Utara, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Utara terbentuk melalui proses yang panjang, setelah melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, dari 178 calon maka pada tanggal 22 September 2004 maka 7 (tujuh) anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah ditetapkan secara administratif oleh Gubernur Sumatera Utara melalui Keputusan Gubernur No. 487/Kep.979-Um/2004. Eksistensi KPI adalah bagian dari wujud peran serta masyarakat dalam hal penyiaran, baik sebagai wadah aspirasi maupun mewakili kepentingan masyarakat (UU Penyiaran, pasal 8 ayat 1). Legitimasi politik bagi posisi KPI dalam kehidupan kenegaraan berikutnya secara tegas diatur oleh UU Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran (UU Penyiaran, pasal 7 ayat 2). Secara konseptual posisi ini mendudukkan KPI sebagai lembaga kuasi negara atau dalam istilah lain juga biasa dikenal dengan auxilarry state institution. Dalam rangka menjalankan fungsinya KPI memiliki kewenangan (otoritas) menyusun dan mengawasi berbagai peraturan penyiaran yang menghubungkan antara lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Pengaturan ini mencakup semua daur proses kegiatan penyiaran, mulai dari tahap pendirian, operasionalisasi, pertanggungjawaban dan evaluasi. Dalam melakukan kesemua ini, KPI berkoordinasi dengan pemerintah dan lembaga negara lainnya, karena spektrum pengaturannya yang saling berkaitan. Ini misalnya terkait dengan kewenangan yudisial dan yustisial karena terjadinya pelanggaran yang oleh UU Penyiaran dikategorikan sebagai tindak pidana. Selain itu, KPI juga berhubungan dengan masyarakat dalam menampung dan menindaklanjuti segenap bentuk
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
apresiasi masyarakat terhadap lembaga penyiaran maupun terhadap dunia penyiaran pada umumnya. Berikut ini adalah kewenangan, tugas dan kewajiban KPI dalam rangka melakukan pengaturan penyiaran:
1. Menetapkan standar program siaran 2. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI) 3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran 4. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran 5. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat
Sedangkan tugas dan kewajiban KPI diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia 2. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran 3. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait 4. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang 5. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
6. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran
Berdasarkan laporan yang berhasil diperoleh melalui sesi wawancara dengan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Utara Bapak H. Abdul Harris Nasution S.H M.Kn pada tanggal 2 Desember 2009 yang lalu, diperoleh data statistik bahwa sekitar dari 3000an pengaduan/laporan masyarakat pada medio November 2009 terhadap siaran Televisi yang bermasalah ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya peneguran terhadap 196 siaran yang dianggap bermasalah. 26 Mengacu kepada Pedoman Perilaku Penyiaran yang ditetapkan Pemerintah, dalam hal ini KPI berperan aktif memberikan teguran kepada stasiun televisi yang dianggap menyiarkan program berbau kekerasan berlebihan, mengandung asusila serta bertentangan dengan kebebasan yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Dari pemantauan yang telah dilakukan terhadap 18 Program terdiri dari 541 episode pada bulan Agustus 2009 serta terhadap 18 program terdiri dari 499 episode pada bulan September 2009, berikut ini adalah program acara televisi yang mendapatkan teguran karena dianggap menyebarkan unsur kekerasan dan bertentangan dengan kesusilaan yang berlebihan: 1. Program Bioskop Trans TV kembali mendapat teguran. Kali ini untuk judul Film “300” yang tayang 14 Agustus 2009 karena menampilkan kekerasaan fisik yang sadis dan di luar perikemanusiaan, antara lain anak yang dianiaya, kepala
26
Hasil wawancara penulis dengan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Utara Bapak H. Abdul Harris Nasution S.H M.Kn pada tanggal 2 Desember 2009 pukul 14.00 WIB di Ruang Ketua KPID Sumut Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
dipenggal dengan kapak, dada ditusuk hingga tembus oleh tombak dan mata ditusuk tombak serta peperangan yang berakhir dengan kematian. 2. Gala Sinema SCTV pada episode “Cinta Bukan Mainan” dan “Ketika Cinta Harus Jujur” mendapat Teguran Pertama karena menampilkan adegan berciuman bibir dan melanggar norma kesopanan kesusilaan. 3. Dag Dig Dug Nunggu Bedug yang ditayangkan TPI pada 26 Agustus 2009 mendapat Teguran karena menampilkan adegan tidak etis dan teka teki yang menjurus jorok/mesum. Selain itu, ada 3 (tiga) program yang dihimbau KPI, yaitu: Masihkah Kau Mencintaiku (RCTI) agar menampilkan klasifikasi program Dewasa (D) sesuai dengan temanya, Layar Kemilau (TPI) dan Mukjizat Cinta (TPI) dihimbau untuk memperbaiki isi programnya yang masih terdapat adegan kekerasan.
Program-program bulan September yang mendapatkan teguran: 1. Sinetron Manohara (RCTI) meskipun saat ini sudah tidak tayang mendapat Teguran Kedua karena pada bulan September banyak menampilkan kekerasan, baik dilakukan dengan tangan ataupun dengan alat/senjata yang ditampilkan close-up. Program ini juga menampilkan adegan sepasang pria-wanita usai berhubungan seks. 2. MTV Insomnia Ngajak Sahur yang ditayangkan Global TV mendapat Teguran karena banyak menampilkan pembicaraan berbau seks serta kata-kata kasar dan makian. Untuk periode September 2009, KPI juga menghimbau program Opera Van Java (Trans 7) agar mengurangi muatan kekerasan dan penggunaan kata-kata
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
kasar. Sedangkan untuk program Happy Sahur (ANTV) dan Saatnya Kita Sahur (Trans TV) jika ingin ditayangkan kembali juga diminta memperbaiki isinya yang banyak mengandung kekerasan dan kata-kata kasar.
Berikutnya peran aktif pemerintah dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia untuk menanggulangi masalah kejahatan anak yang disebabkan pengaruh tayangan kriminal di televisi adalah dengan membangun literasi media. Hal ini dilakukan dengan cara advokasi ke beberapa daerah agar kiranya kesadaran kritis masyarakat timbul dalam menilai siaran televisi yang tidak mendidik dan melanggar adat,kesusilaan serta peraturan perundang-undangan. Selain itu juga KPI tetap menjalin komunikasi intens dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa maupun keagamaan seperti: IAIN, MUI, USU, PGI, Komisi Perlindungan anak dan lain-lain. C. Hambatan Yang Dihadapi Dalam Menanggulangi Masalah Kejahatan Anak Yang Disebabkan Pemberitaan Tayangan Kriminal di TV Dalam usaha dan peran serta aktif masyarakat beserta pemerintah dalam menanggulangi masalah kejahatan anak yang disebabkan pemberitaan tayangan kriminal di televisi tentu saja ada hambatan maupun kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakan tujuan tersebut. Secara terperinci beberapa hambatan maupun yang dimaksudkan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). UU Penyiaran No. 30 Tahun 2002 memerlukan Peraturan Pemerintah Di negara demokrasi di dunia, pengaturan tentang lembaga penyiaran, termasuk izin dan isi penyiaran, diatur oleh lembaga negara yang independen. Undang-undang Penyiaran kini telah ada di Indonesia, dan kini telah lahir Komisi
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
Penyiaran Indonesia (KPI). Berdasarkan Undang-undang tersebut KPI memang telah menjadi komisi penyiaran yang independen, yang menjadi “regulatory body” termasuk memberikan izin. Namun Undang-undang ini memerlukan Peraturan Pemerintah. Sayangnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang telah diajukan bertentangan dengan UU Penyiaran. Tampak jelas keinginan pemerintah untuk masih ikut mengatur dunia penyiaran, antara lain dengan keinginan pemerintah untuk menjadi pihak yang mengeluarkan izin penyiaran, yang seharusnya menjadi wewenang KPI. Disamping itu, dalam RPP, Pemerintah banyak mengambil peranan yang seharusnya dilakukan oleh KPI. Selanjutnya, RPP masih menyimpan banyak masalah yang dapat menghambat demokratisai penyiaran. Kepada pemerintah baru, diharapkan agar Peraturan Pemerintah tidak mengambil peranan KPI karena hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran.. Peraturan Pemerintah nanti seharusnya memperkuat peranan KPI sebagai lembaga independen yang mengatur lembaga penyiaran, termasuk pemberian izin penyiaran, sebagaimana termaktub dalam UU Penyiaran. Peraturan Pemerintah itu nanti seharusnya mendorong usaha demokratisasi di dunia penyiaran sesuai dengan UU Penyiaran. 2). Perlunya penguatan wewenang dan kedudukan Komisi Penyiaran Indonesia dalam Undang-Undang Mengacu kepada Pasal 8 juncto Pasal 50 UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran disana menyebutkan mengenai kewenangan dan peranan KPI dalam mengawasi siaran yang dianggap bermasalah masih hanya terbatas dalam wacana memberikan teguran tertulis saja. 27 Aturan
27
Ibid Hal . 187
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
mengenai hal ini dianggap tidak menguatkan posisi sepenuhnya dari Komisi Penyiaran Indonesia untuk menindak tegas siaran maupun program televisi yang dianggap bermasalah karena teguran dan pelanggarannya hanya berbuah sanksi administratif dan bukan sanksi pidana maupun ancaman penutupan atau laranga operasional. Sesuai dengan 40 daftar Program Legislasi Nasional yang baru saja dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2009 ini yang menempatkan UU Penyiaran sebagai salah satu Undang-Undang yang akan dibahas amandemennya, tentu saja diharapkan Komisi Penyiaran Indonesia akan dikuatkan keberadaannya berikut wewenang tugas serta hak istimewa terhadap penindakan siaran bermasalah.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan mengenai penelitian penulis tersebut, berikut ini adalah beberapa kesimpulan yang dapat diutarakan yaitu: 1. Kriminologi berasal dari kata Crimen yang artinya kejahatan dan logos yang artinya pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Kriminologi merupakan ilmu yang secara menyeluruh membutuhkan ilmu-ilmu bantu lain yang mempunyai hubungan saling menguntungkan. Ilmu-ilmu bantu tersebut antara lain sosiologi, ilmu hukum, ilmu ekonomi, psikologi dan antropologi Jadi defenisi kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
menyelidiki sebab terjadinya kejahatan dan bagaimana akibatnya. Penulis berpendapat bahwa kejahatan tersebut dapat terjadi karena faktor media massa dalam bentuk pemberitaan kriminal yang berlebihan dimana subjeknya atau objeknya adalah anak-anak, Masih menurut penulis, berdasarkan pemikiran psikologisnya seorang anak adalah individu yang belum bisa membedakan mana yang pantas serta mana yang tidak pantas dan membedakan mana yang baik juga mana yang tidak baik di dalam penayangan kriminal televisi tersebut yang secara otomatis mengakibatkan si anak itu sendiri menjadi korban kejahatan atau meniru perilaku kejahatan dari pemberitaan kriminal di televisi yang ditontonnya. Media massa dalam pemberitaannya cenderung menggiring publik terkhusu dalam hal ini anak-anak untuk melakukan aktivitas yang melanggar dalam arti sebagai inspirasi untuk melakukan kejahatan atau kekerasan. Oleh karena itu media massa juga mempunyai efek negatif dalam bentuk penayanggan berita kriminal yang dapat menginspirasi anak berbuat kejahatan. Hal ini bisa kita lihat beberapa tahun ini terutama pada tahun 2008 dimana ada banyak kritik pedas yang dilontarkan kepada media massa terutama televisi mengenai masalah sajian pemberitaan kriminal yang berpengaruh langsung kepada anak-anak. 2. Perkembangan anak merupakan salah satu proses jenjang perkembangan individu seseorang. Artinya adalah pembentukan sifat individu seseorang bergantung kepada perkembangan anak tersebut baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan non keluarga jadi perkembangan anak merupakan perkembangan yang sangat membentuk baik tidaknya dia
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
sebagai individu yang dewasa. Perkembangan anak pasti diiringi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta timbulnya kejahatan karena kejahatan itu sendiri adalah fenomena sosial yang timbul dan berkembang di masyarakat yang pada hakekatnya berkembang menjadi suatu budaya. Dengan demikian kejahatan berkembang semodern budaya manusia itu sendiri ( as modern as man kind it self ). Sehingga dapatlah ditarik suatu pendapat yang fundamental, yaitu bahwa kejahatan akan senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Kejahatan yang dilakukan remaja akhir-akhir ini tentu sangat memprihatinkan terutama yang berkaitan dengan kekerasan. Berangkat dari pandangan serta pengkualifikasian kejahatan yang dilakukan oleh anak tersebut, maka kebijakan penanggulangan kejahatan yang dilakukan juga menggunakan cara-cara yang diluar prosedural formal peradilan. Maksudnya adalah terhadap kejahatan yang dilakukan oleh anak ini penyelesaian senantiasa mempertimbangkan berbagai aspek, baik ditinjau dari aspek kepastian hukum, kepentingan hukum dan kepentingan pelaku kejahatan. Dalam hukum pidana pers penayangan berita kriminal adalah tergolong bagian dari kebijakan kriminal, artinya adalah proses dalam menanggulangi
kejahatan
dengan
sarana
media
massa,
upaya
penanggulangan kejahatan itu dapat ditempuh dengan penerangan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without purishment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (Influencing viws of society on crime and punishment/mass media).
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
3. Televisi dan anak-anak merupakan fenomena hidup yang melanda seluruh dunia. Anak-anak merupakan salah satu konsumen media televisi yang populasinya besar sekali. Namun perlu diketahui karena seiring perkembangan seorang anak begitu mudah terpengaruh oleh hal-hal yang dilihatnya, maka perlu dilakukan upaya pembatasan terhadap konsumsi siaran televisi yaitu salah satunya penayangan pemberitaan kriminal di televisi. Sudah begitu banyak terjadi kejahatan yang dilakukan anak di bawah umur karena terinspirasi dari tontonan yang dilihat di televisi. Oleh karena itu perlu ada upaya penanggulangan bersama yang dilakukan secara terpadu, komprehensif dan cermat baik oleh keluarga maupun pemerintah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan keluarga adalah contohnya dengan membatasi tontonan televisi anak maupun penyusunan jadwal menonton televisi agar si anak dapat dibimbing. Selanjutnya pemerintah juga berperan serta secara aktif melalui produk hukumnya yaitu UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengatrol serta mengawasi siaran televisi yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan hukum,adat maupun kesusilaan. Di atas segalanya perlu digarisbawahi juga bahwa hal ini semua tidak lepas dari beberapa hambatan yang ada diantaranya mengenai kewenangan KPI yang dinilai kurang kuat dalam menindak siaran bermasalah berikut penerapan sanksinya.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
B. Saran Hal yang dapat dijadikan saran dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Kiranya anggota keluarga pada umumnya dan orang tua pada khususnya harus lebih mengawasi dan berhati-hati terhadap kegiatan anak dalam menonton terutama dalam menyaksikan siaran pemberitaan kriminal. Hal ini bertujuan agar anak tersebut tidak terpengaruh efek negatif berupa kekerasan yang berlebihan dari pemberitaan kriminal di televisi tersebut. 2. Sebaiknya Pemerintah dalam hal ini harus lebih selektif dalam pemilihan siaran apa saja yang layak tonton atau tidak. Cara tersebut dapat diberlakukan dengan mengeluarkan daftar siaran layak tonton televisi agar
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.
khalayak ramai dapat menonton siaran tanpa rasa waswas akan terpengaruh efek negatif dari siaran televisi tersebut. 3. Pemerintah juga seyogianya membuat perubahan dalam hal kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia untuk menindak tegas setiap pelanggaran terhadap stasiun maupun program televisi yang dianggap tidak layak tayang karena memuat unsur kekerasan berlebihan, asusila maupun hukum. Cara ini dapat dilakukan dalam amandemen UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang salah satunya menyangkut keistimewaan KPI untuk tidak hanya menegur siaran televisi yang bermasalah, tetapi juga dapat menerapkan sanksi pidana bagi setiap yang melanggar.
Dianto Gunawan Tamba : Kajian Kriminologi Tentang Pemberitaan Kriminal Di Televisi Terhadap Terjadinya Kejahatan Anak, 2010.