HASIL DAN PEMBAHASAN Keikutsertaan PAUD Konsep Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah konsep bermain sambil belajar yang
merupakan fondasi yang akan mengarahkan anak pada
pengembangan kemampuan yang lebih beragam. PAUD akan menjadi cikal bakal pembentukan karakter anak, dimana pendidikan anak yang sudah diawali sejak dini dapat mengembangkan potensi anak secara optimal. Anak yang mengikuti PAUD akan menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu pengetahuan secara optimal (Sudjarwo 2010). Sekolah merupakan salah satu lingkungan bagi anak untuk memperoleh stimulasi tumbuh kembang, termasuk stimulasi psikososial untuk perkembangan kognitifnya. Gambar 3 menyajikan sebaran sampel dalam keikutsertaan dalam PAUD. Hasil penelitian ini dimana hampir sebagian besar (82.2%) anak tidak terlibat dalam kegiatan pendidikan anak usia dini, baik PAUD, Taman Kanak-Kanak, atau Taman bermain. Hanya 17.8% anak yang terlibat dalam pendidikan usia dini. Serupa halnya dengan laporan Depdiknas tahun 2002 yang menyatakan bahwa dari 26 juta anak usia dini (0-6 tahun), baru 17% yang mengikuti pendidikan usia dini (Kemendiknas, 2002). Rendahnya keikutsertaan anak untuk terlibat dalam PAUD diduga karena tingkat pendidikan orang tua yang rendah (Tabel 7) serta pendapatan per kapita yang rendah yang diterima oleh orang tua (Tabel 9). Selain itu untuk mengikuti kegiatan PAUD ini, setiap anak harus membayar uang sekolah sebesar Rp 15 000.00.
p e r s e n
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
82.2
17.8
PAUD
Non PAUD
Keikutsertaan dalam PAUD
Gambar 3 Sebaran sampel dalam keikutsertaan dalam PAUD.
35
Karakteristik Keluarga Sampel Usia Orang Tua Usia ibu berkisar dari 20 tahun hingga 44 tahun, dan usia ayah berkisar dari 22 tahun hingga 65 tahun. Rata-rata usia ibu secara keseluruhan adalah 29.89 ± 6.46 tahun dan rata-rata usia ayah secara keseluruhan adalah 35.16 ± 8.52 tahun. Ini menunjukkan bahwa usia orang tua tergolong usia yang masih produktif (Hurlock 2000). Usia orang tua dikelompokkan menjadi dua kategori (Tabel 5), yaitu dewasa muda (20-39 tahun) dan dewasa madya (40-65 tahun). Berdasarkan kelompok tersebut maka sebagian besar ibu berada di usia dewasa muda (90.8%) dan demikian pula untuk ayah sebagian besar berada di usia dewasa muda (69.1%). Kondisi usia muda cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kualitas dan kuantitas pengasuhan kurang terpenuhi (Hurlock 1998). Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata usia ibu pada kelompok PAUD (30.18 ± 6.98 tahun) adalah tidak jauh berbeda dengan usia ibu pada kelompok non PAUD (29.83 ± 6.37 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa usia ibu pada kedua kelompok adalah relatif sama dan termasuk kategori usia dewasa muda. Oleh karena itu, usia ibu tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.798. Tabel 5 Sebaran sampel berdasarkan usia orang tua terhadap keikutsertaan PAUD Usia Orang Tua n Usia Ibu 20-39 Tahun 40-65 Tahun Total Rata-rata ± SD p-value (t-test) Usia Ayah 20-39 Tahun 40-65 Tahun Total Rata-rata ± SD p-value (t-test)
Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD % n %
23 85.2 4 14.8 27 100 30.18 ± 6.98 0.798 23 85.2 4 14.8 27 100 33.96 ± 5.61
115 92.0 10 8.0 125 100 29.83 ± 6.37
82 65.6 43 34.4 125 100 35.42 ± 9.03 0.283
Total n
%
138 90.8 14 9.2 152 100 29.89 ± 6.46
105 69.1 47 30.9 152 100 35.16 ± 8.52
36
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata usia ayah pada kelompok PAUD (33.96 ± 5.61 tahun) adalah tidak jauh berbeda dengan usia ayah pada kelompok non PAUD (35.42 ± 9.03 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa usia ayah pada kedua kelompok adalah relatif sama dan termasuk kategori usia dewasa muda. Oleh karena itu, usia ayah tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.283. Besar keluarga Rata-rata besar keluarga sampel secara keseluruhan adalah 4.34 ± 1.26 orang. Variabel besar keluarga dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang ) dan keluarga besar (˃ 4 orang). Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 6) diperoleh bahwa sebagian besar (63.2%) termasuk ke dalam kategori keluarga kecil dengan rata-rata besar keluarga berjumlah empat orang, dimana terdiri dari ayah, ibu dan dua anak. Menurut Kustiyah (2005) menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga yang melebihi jumlah yang dianjurkan akan berdampak terhadap kurangnya curahan waktu, perhatian orang tua dan distribusi makanan untuk setiap anggota keluarga terutama anak. Bedasarkan hasil penelitian Salimar (2010) menyatakan besar keluarga akan berhubungan dengan pola asuh yang diberikan kepada anak, dimana keadaan sosial ekonomi yang kurang akan mempengaruhi konsumsi anggota keluarga. Kemudian ditambahkan Hajian-Tilaki et al. (2011) dalam penelitiannya di Iran terhadap 1000 anak sekolah dasar usia 7-12 tahun bahwa besar keluarga sangat berpengaruh pada jumlah makanan yang harus disediakan. Semakin sedikit jumlah anggota keluarga maka semakin mudah terpenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga atau sebaliknya. Tabel 6 Sebaran sampel berdasarkan besar keluarga terhadap keikutsertaan PAUD Besar Keluarga Keluarga Kecil Keluarga Besar Total Rata-rata ± SD p-value (t-test)
Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD n % n % 18 66.7 78 62.4 9 33.3 47 37.6 27 100 125 100 4.11 ±1.12 4.38 ± 1.29 0.311
Total n % 96 63.2 56 36.8 152 100 4.34 ± 1.26
37
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata besar keluarga pada kelompok PAUD (4.11 ±1.12 orang) adalah tidak jauh berbeda dengan besar keluarga pada kelompok non PAUD (4.38 ± 1.29 orang). Hal ini menunjukkan bahwa besar keluarga pada kedua kelompok adalah relatif sama dan termasuk kategori besar. Oleh karena itu, besar keluarga tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.311. Pendidikan Orang Tua Pendidikan merupakan hak dari setiap warga negara dan salah satu aspek penting dalam kehidupan. Lama dan tingginya pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pekerjaan yang akan didapat, serta akan berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Program pendidikan yang saat ini pemerintah Indonesia terapkan adalah pendidikan dasar sembilan tahun, dimana setiap warga berhak untuk mendapatkan pendidikan dasar sembilan tahun atau dengan kata lain sampai dengan jenjang pendidikan SMP, sesuai UU Pendidikan RI No. 20 Tahun 2003 Pasal 17. Tabel 7 Sebaran sampel berdasarkan lama pendidikan orang tua Keikutsertaan PAUD
Lama Pendidikan Orang Tua
PAUD
Total
Non PAUD
n
%
n
%
n
%
Kurang dari 9 tahun
26
96.3
116
92.8
142
93.4
Lebih dari 9 tahun
1
3.7
9
7.2
10
6.6
27
100
125
100
152
100
Lama pendidikan ibu
Total Rata-rata ± SD
7.63 ± 1.71
p-value (t-test)
7.42 ± 1.91
7.46 ± 1.87
0.606
Lama pendidikan ayah Kurang dari 9 tahun
25
92.6
106
84.8
131
86.2
Lebih dari 9 tahun
2
7.4
19
15.2
21
13.8
27
100
125
100
152
100
Total Rata-rata ± SD p-value (t-test)
7.33 ± 2.09
7.53 ± 2.51 0.708
7.49 ± 2.43
38
Secara umum, lama pendidikan ibu bervariasi mulai dari 5 tahun hingga 12 tahun, begitu pula untuk lama pendidikan ayah sangat bervariasi mulai dari tidak sekolah hingga 16 tahun. Rata-rata lama pendidikan ibu secara keseluruhan adalah 7.46 ± 1.87 tahun dan rata-rata lama pendidikan ayah secara keseluruhan adalah 7.49 ± 2.43 tahun (Tabel 7). Dalam penelitian ini pengkategorian pendidikan ada dua, yaitu tingkat pendidikan rendah bila lama pendidikan kurang dari sembilan tahun dan tingkat pendidikan tinggi bila lama pendidikan lebih dari sembilan tahun. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata lama pendidikan ibu pada kelompok PAUD (7.63 ± 1.71 tahun) adalah tidak jauh berbeda dengan lama pendidikan ibu pada kelompok non PAUD (7.42 ± 1.91 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu pada kedua kelompok adalah relatif sama dan termasuk kategori kurang dari 9 tahun. Oleh karena itu, lama pendidikan ibu tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.606. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata lama pendidikan ayah pada kelompok PAUD (7.33 ± 2.09 tahun) adalah tidak jauh berbeda dengan lama pendidikan ayah pada kelompok non PAUD (7.53 ± 2.51 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa lama pendidikan ayah pada kedua kelompok adalah relatif sama dan termasuk kategori kurang dari 9 tahun. Oleh karena itu, lama pendidikan ayah tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan pvalue>0.05, yaitu sebesar 0.708. Pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola pengambilan keputusan dalam keluarga. Pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola asuh konsumsi dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Rahmawati dan Kusharto (2006) menyatakan ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak. Menurut Engle et al. (1997) pendidikan dapat meningkatkan pendapatan keluarga dan dapat mengapresiasikan mengenai pentingnya perawatan. Wanita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan lebih menggunakan fasilitas jasa masyarakat, perawatan kesehatan, dan memiliki sikap yang baik pada saat
39
mengasuh anak balita. Sedangkan wanita yang tidak berpendidikan akan cenderung memegang kepercayaan nenek moyangnya dalam mengasuh anak balita. Ditambahkan Madanijah (2003) bahwa pendidikan ibu merupakan salah satu penentu mortalitas bayi dan anak karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap perawatan kesehatan, hygiene dan kesadaran terhadap kesehatan anak dan keluarga. Pekerjaan Orang tua Pekerjaan orang tua berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi keluarga, karena berhubungan dengan pendapatan yang akan diterima, yang kemudian akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tabel 8 menunjukan sebaran pekerjaan orang tua terhadap keikutsertaan PAUD. Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa pada umumnya ibu tidak bekerja atau tergolong ibu rumah tangga yaitu sebesar 75.7% dan bekerja sebesar 24.3%. Adapun jenis pekerjaan ibu sebagai petani, buruh tani, dan pedagang. Berdasarkan hal tersebut dapat diperkirakan bahwa porsi terbesar pendapatan diperoleh dari ayah untuk mencukupi kebutuhan
keluarga.
Selain
itu,
pengkategorian pekerjaan ayah dibagi menjadi dua, yaitu bekerja pada sektor pertanian dan bekerja pada sektor non pertanian (Tabel 8). Berdasarkan hasil penelitian bahwa pada umumnya ayah bekerja pada sektor non pertanian sebesar 63.8%, sedangkan ayah yang bekerja di sektor pertanian sebesar 36.2%. Tabel
8
Sebaran sampel berdasarkan keikutsertaan PAUD
Pekerjaan Orang Tua
pekerjaan
Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD n % n %
orang
tua
terhadap
Total n
%
115 37
75.7 24.3
152
100
55 97 152
36.2 63.8 100
Pekerjaan Ibu Tidak bekerja Bekerja Total p-value (t-test) Pekerjaan Ayah Sektor pertanian Non-sektor pertanian Total p-value (t-test)
21 6
77.8
27
22.2 100
6 21 27
22.2 77.8 100
94 31 125 0.779 49 76 125 0.074
75.2 24.8 100
39.2 60.8 100
40
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka pekerjaan ibu pada kelompok PAUD dan non PAUD relatif sama, yaitu tidak bekerja. Oleh karena itu pekerjaan ibu tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.779. Begitu pula pada pekerjaan ayah, jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka pekerjaan ayah pada kelompok PAUD dan non PAUD relatif sama, yaitu bekerja di non sektor pertanian. Oleh karena itu pekerjaan ayah tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.074. Gambar 4 menunjukkan sebaran secara keseluruhan jenis pekerjaan ayah. Adapun jenis pekerjaan sektor non pertanian yaitu bekerja sebagai buruh bukan tani (27%), jasa (27%) dan pedagang (9.9%). Pekerjaan buruh non tani yang dijumpai dalam penelitian ini adalah buruh bangunan, sedangkan untuk pekerjaan jasa yang banyak di jumpai adalah tukang ojek dan supir angkot. Sedangkan jenis pekerjaan untuk sektor pertanian, yaitu petani (12.5%) dan buruh tani (23.7%), Bila dilihat sebaran usia dari ayah terhadap jenis pekerjaannya bahwa ayah yang memiliki usia dewasa muda lebih memilih pekerjaan di sektor non pertanian, yaitu buruh non tani (31.9%) dan jasa (31%) dari pada pekerjaan petani dan buruh tani. Sebaliknya untuk ayah yang usia dewasa madya lebih banyak yang memilih pekerjaan petani (25.7%) dan buruh tani (45.7%). Ini menunjukkan bahwa pekerjaan di sektor pertaniaan kurang diminati untuk ayah yang masih berusia dewasa muda.
Jasa
27
Buruh Bukan Tani
27
Pedagang
9.9
Buruh Tani
23.7
Petani
12.5 0
5
10
15
20
25
Persen
Gambar 4 Sebaran berdasarkan jenis pekejaan ayah.
30
41
Pendapatan Per Kapita Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan keluarga yang berimplikasi terhadap kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan anggota keluarga (Kustiyah 2005). Pendapatan per kapita yang digunakan adalah standar dari Bank Dunia, yaitu US$ 2/hari. Nilai US$ 1 setara dengan Rp. 8 900.00, sehingga pendapatan per kapita dalam satu bulan yang digunakan sebesar Rp. 534 000.00. Berdasarkan hasil penelitian bahwa pendapatan per kapita terendah sebesar Rp. 42 857.00 dan yang tertinggi sebesar Rp. 525 000.00. Sedangkan untuk rata-rata pendapatan per kapita sebesar Rp. 266 005.70 dengan standar deviasi Rp. 116 729.68. Dengan menggunakan ketentuan Bank Dunia maka dapat dikatakan bahwa seluruh keluarga sampel termasuk keluarga miskin. Sebagian besar sampel (52%) memiliki pendapatan di bawah rata-rata (rendah) (Tabel 9). Pendapatan per kapita yang rendah berasal dari keluarga yang ayahnya sebagai petani dan buruh tani. Ini menggambarkan bahwa masih rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga. Kustiyah (2005) menyatakan bahwa kondisi ekonomi yang tidak mendukung merupakan faktor yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan anak yang optimal. Ditambahakan Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Tabel 9 Pendapatan per kapita dalam sebulan Keikutsertaan PAUD Total
Pendapatan Per kapita
PAUD
Non PAUD
n
%
n
%
n
%
11
40.7
68
54.4
79
52.0
16
59.3
57
45.6
73
48.0
Total
27
100
125
100
152
100
Rata-rata ± SD
284 562.22 ± 129 279.86
Dibawah rata-rata Diatas rata-rata
p-value (t-test)
261 997.49 ± 114 005.08 0.364
266 005.70 ± 116 729.68
42
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata pendapatan per kapita pada kelompok PAUD (Rp 284 562.22 ± Rp 129 279.86) adalah tidak jauh berbeda dengan pendapatan per kapita pada kelompok non PAUD (Rp 261 997.49 ± Rp 114 005.08). Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan per kapita pada kedua kelompok adalah relatif sama. Oleh karena itu, pendapatan per kapita tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan pvalue>0.05, yaitu sebesar 0.364. Karakteristik Sampel Usia dan Jenis Kelamin Anak Prasekolah Usia anak berkisar dari 36 bulan hingga 60 bulan. Rata-rata usia anak secara keseluruhan 47.34 ± 7.47 bulan. Kemudian usia anak dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 36-48 bulan dan 49-60 bulan. Tabel 10 menyajikan sebaran usia dan jenis kelamin dari anak terhadap keikutsertaan dalam kegiatan PAUD. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa mayoritas berasal pada kelompok usia 36-48 bulan (56.6%). Sementara itu, persentasi terbesar untuk jenis kelamin anak yang mengikuti penelitian ini adalah perempuan sebesar 53.9%, sedangkan persentasi untuk jenis kelamin laki-laki sebesar 46.1%. Tabel 10 Sebaran sampel berdasarkan usia dan jenis kelamin Keikutsertaan PAUD Karakteristik Anak
PAUD
Total
Non PAUD
n
%
n
%
n
%
36-48 bulan
11
40.7
75
60
86
56.6
49-60 bulan
16
59.3
50
40
66
43.4
27
100
125
100
152
100
Usia
Total Rata-rata ± SD
50.37 ± 7.62
p-value (t-test)
46.68 ± 7.31
47.34 ± 7.47
0.020
Jenis kelamin Perempuan
13
48.1
69
55.2
82
53.9
Laki-laki
14
51.9
56
44.8
70
46.1
27
100
125
100
152
100
Total p-value (t-test)
0.508
43
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata usia anak pada kelompok PAUD (50.37 ± 7.62 bulan) sedikit lebih tua dibandingkan dengan usia anak pada kelompok non PAUD (46.68 ± 7.31 bulan). Oleh karena itu, usia anak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.020. Anak yang mengikuti PAUD mayoritas berjenis kelamin laki-laki sebesar 9.3%, sedangkan untuk anak yang non PAUD mayoritas berjenis kelamin perempuan sebesar 45.4%. Oleh karena itu, jika dilihat dari keikutsertaan dalam PAUD, maka berdasarkan jenis kelamin anak tidak ada perbedaan yang signifikan. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.508. Berat Badan Lahir Berat badan lahir anak berkisar dari 1800 gram hingga 4600 gram. Ratarata berat badan lahir anak sebesar 3226.97 ± 521.32 gram. Berat badan lahir dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu barat badan lahir rendah (˂ 2500 gram) dan berat badan lahir normal (≥ 2500 gram). Tabel 11 menyajikan sebaran sampel berdasarkan berat badan lahir anak terhadap keikutsertaan dalam PAUD. Terlihat dari Tabel 11, sebagian besar (97.4%) lahir dengan berat badan normal dan terdapat 2.6% anak yang mengalami berat badan lahir rendah (BBLR). Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata berat badan lahir pada kelompok PAUD (3203.70 ± 555.03 gram) adalah tidak jauh berbeda dengan berat badan lahir pada kelompok non PAUD (3232 ± 515.97 gram). Hal ini menunjukkan bahwa berat badan lahir pada kedua kelompok adalah relatif sama. Oleh karena itu, berat badan lahir tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.799. Penelitaian Welsch dan Zimmer (2010) menyatakan bahwa berat badan lahir merupakan variabel yang signifikan akan mempengaruhi kognitif pada masa kecil. Ditambahkan Hack et al. (1991) menyatakan bahwa berat badan lahir rendah (BBLR) berhubungan dengan fungsi kognitif yang rendah, prestasi akademik dan tingkah laku pada anak usia delapan tahun. Ini dimungkinkan dengan belum sempurnanya pembentukan organ-organ tubuh untuk melakukan tugas dan fungsinya. Banyak faktornya menyebabkan terjadinya kejadian BBLR,
44
salah satu diantaranya tingginya kejadian KEP (Kekurangan Energi Protein) pada ibu hamil. Tabel 11 Sebaran sampel berdasarkan berat badan lahir anak terhadap keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD Karakteristik Anak
PAUD
Total
Non PAUD
n
%
n
%
n
%
Normal
26
96.3
122
97.6
148
97.4
BBLR
1
3.7
3
2.4
4
2.6
27
100
125
100
152
100
Berat badan lahir
Total Rata-rata ± SD
3203.70 ± 555.03
p-value (t-test)
3232 ± 515.97
3226.97 ± 521.32
0.799
Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan Pengetahuan Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan Pengetahuan ibu yang dinilai meliputi pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Ada 15 soal pengetahuan gizi dan kesehatan dengan skor minimal adalah 0 dan skor maksimal adalah 15. Pengetahuan gizi dikategorikan menjadi dua, yaitu baik (>70%) dan kurang (≤70%). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 79.0% ibu memiliki pengetahuan yang kurang dan hanya 21.0% yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik (Tabel 12). Tabel 12 Sebaran sampel berdasarkan pengetahuan ibu dan keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD Pengetahuan Ibu
PAUD
Total
Non PAUD
n
%
n
%
n
%
Baik (>70%)
7
25.9
25
20
32
21.0
Kurang (≤70%)
20
74.1
100
80
120
79.0
Total
27
100
125
100
152
100
Rata-rata ± SD
59.51 ± 13.1
p-value (t-test)
56.53 ± 17.0 0.394
57.06 ± 16.37
45
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata pengetahuan ibu pada kelompok PAUD (59.51 ± 13.1) adalah tidak jauh berbeda dengan pengetahuan ibu pada kelompok non PAUD ( 56.53 ± 17.0). Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan ibu pada kedua kelompok adalah relatif sama dan tergolong memiliki pengetahuan yang kurang tentang gizi dan kesehatan. Oleh karena itu, pengetahuan ibu tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan pvalue>0.05, yaitu sebesar 0.394. Gambar 5 menyajikan pertanyaan yang diajukan kepada ibu dan persentase ibu yang menjawab pertanyaan dengan benar. Secara keseluruhan, pertanyaan yang paling banyak (86.2%) ibu menjawab dengan benar adalah omega 3 susu berfungsi untuk kecerdasan otak. Ini berarti bahwa sebanyak 86.2 % ibu sudah mengetahui bahwa omega 3 yang terdapat pada susu berfungsi untuk kecerdasan otak anak. Selain itu pertanyaan yang paling sedikit (9.9%) ibu menjawab dengan benar adalah berat badan lahir rendah adalah berat bayi lahir dibawah 2500 gram. Ini berarti bahwa hanya 9.9% ibu yang mengetahui bahwa berat badan lahir rendah adalah berat badan bayi lahir dibawah 2500 gram. Dengan kata lain bahwa masih banyak (90.1%) ibu yang tidak mengetahui informasi tersebut. Mayoritas ibu masih banyak yang salah bila ditanya tentang pengetahuan gizi terkait jenis pangan yang mengandung zat gizi tertentu dan fungsinya. Terlihat dari persentase yang menjawab benar untuk pertanyaan “pangan yang termasuk sumber protein” sebesar 44.7%, “telur merupakan pangan yang kaya vitamin” sebesar 45.4%, “ jenis makanan yang berfungsi untuk kecerdasan otak” sebesar 46.7%. dan “zat gizi untuk mendukung pertumbuhan anak-anak adalah” sebesa 23.0%. Begitu pula jika ditanya tentang pengetahuan kesehatan, banyak itu yang masih tidak mengetahui bila ditanyakan “balita yang keadaan gizinya buruk, berat badan menurut usia pada KMS (Kartu Menuju Sehat) berwarna” (50.0%) dan “bila anak jarang makan pangan hewani (daging atau telur) maka mudah menderita” (36.2%). Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan yang rendah sejalan dengan pendidikan ibu yang mayoritas rendah sebesar 93.4% dengan lama pendidikan kurang dari 9 tahun.
46
Jenis makanan yang berfungsi untuk kecerdasan otak adalah ikan
46.7
Bila anak jarang makan pangan hewani (daging/telur) maka mudah menderita sariawan
36.2
Berat bayi lahir rendah adalah berat bayi lahir < 2.5 kg
9.9
Telur adalah pangan yang kaya vitamin c
45.4
Balita yang keadaan gizinya buruk, berat badan menurut umur pada KMS (Kartu Menuju Sehat) berwarna merah
50
Masa pertumbuhan dan perkembangan otak anak melaju pesat saat usia 2 tahun pertama
77.6
Jenis sayuran yang bermanfaat bagi penglihatan anak adalah bayam
81.6
Susu diperlukan dalam pertumbuhan balita karena dapat memperkuat tulang
74.3
Omega 3 pada susu berfungsi untuk kecerdasan otak
86.2
Zat gizi untuk mendukung pertumbuhan anak-anak adalah protein
23
Pangan yang termasuk sumber protein telur
44.7
Buah-buahan dan sayuran merupakan bahan makanan yang mengandung zat gizi vitamin dan mineral
73.7
Pada usia berapakah anak boleh diberikan makanan seperti orang dewasa setelah 1 tahun
77.6
Untuk mendukung pertumbuhan anak sebaiknya makanan tambahan selain ASI diberikan setelah usia 6 bulan
77
Yang dimaksud dengan ASI ekslusif adalah pemberian ASI saja tanpa ada makanan apapun sampai usia 6 bulan
52 0
50
persen
100
Gambar 5 Sebaran ibu yang menjawab pertanyaan pengetahuan gizi dengan benar.
Sikap dan Praktik Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan Sikap ibu meliputi sikap ibu tentang gizi dan kesehatan. Ada 15 pernyataan sikap gizi dan kesehatan dengan skor minimal adalah 0 dan skor maksimal adalah 45. Sikap gizi dikategorikan menjadi dua, yaitu baik (> 70%) dan kurang (≤ 70%). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 96.0% ibu memiliki sikap yang baik, sementara hanya 4.0% yang memiliki sikap yang kurang terhadap gizi dan kesehatan (Tabel 13). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu telah memiliki sikap yang baik terhadap gizi dan kesehatan.
47
Tabel 13 Sebaran sampel berdasarkan sikap ibu dan keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD Total Sikap Ibu
PAUD
Non PAUD
n
%
n
%
n
%
Baik (>70%)
27
100
119
95.2
146
96.0
Kurang (≤70%)
0
0
6
4.8
6
4.0
Total
27
100
125
100
152
100
Rata-rata ± SD p-value (t-test)
88.31± 6.45
84.96 ± 8.519
85.56 ± 8.27
0.026
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata sikap ibu pada kelompok PAUD (88.31± 6.45) adalah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sikap ibu pada kelompok non PAUD ( 84.96 ± 8.519). Hal ini menunjukkan bahwa sikap ibu pada kedua kelompok adalah relatif sama dan tergolong memiliki sikap yang baik terhadap gizi dan kesehatan. Oleh karena itu, sikap ibu terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.026. Gambar 6 menunjukkan pernyataan yang diajukan kepada ibu atau pengasuh, dan respon yang diharapkan adalah sikap setuju, ragu-ragu atau tidak setuju dari pernyataan yang diajukan. Terlihat bahwa sebanyak 98.2% ibu setuju untuk menggunakan garam yang beryodium saat memasak, karena pemeberian yodium tersebut akan membuat anak menjadi cerdas. Selain itu sebanyak 95.8% ibu setuju bahwa ASI eksklusif selama 6 bulan penting untuk menjaga kesehatan dan tumbuh kembang anak. Namun, masih ada sebayak 61.3% ibu yang menyatakan setuju bahwa makan dengan lauk hewani lebih baik dari pada dengan tahu dan tempe. Ini menunjukkan bahwa protein nabati masih dianggap kurang berkualitas dibandingkan protein hewani. Praktik yang digali dari para ibu merupakan praktik pola asuh makan anak, dimana terdapat 12 pertanyaan yang mencakup penyiapan makanan anak, pemberian makan anak, serta penyajian porsi makan anak. Skor minimal adalah 1 dan skor maksimal adalah 30. Sikap gizi dikategorikan menjadi dua, yaitu baik (>70%) dan kurang (≤70%). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 77.6% ibu memiliki praktik yang baik, sementara hanya 22.4% yang memiliki praktik yang kurang terhadap gizi dan kesehatan (Tabel 14). Ini menunjukkan bahwa masih terdapat ibu yang memiliki praktik yang kurang terhadap gizi dan kesehatan sebanyak 22.4%.
48
61.3
Makan dengan lauk hewani lebih baik daripada makan dengan tahu tempe
11.3
27.4 33.3
Tak perlu memberi makan sayur tiap hari untuk anak balita karena sayur tidak disukai anak.
6.5 60.1
minum susu untuk anak balita dengan gelas akan membuat pertumbuhan giginya lebih baik dibandingkan dengan botol.
73.8 10.7 15.5 29.2
Menimbang anak di posyandu tidak perlu tiap bulan apabila anaknya sehat.
3.6
Anak perlu dimarahi/dihukum bila ogah makan.
4.8
67.3 23.8 71.4
Ketika memasak, menggunakan garam beryodium penting karena yodium dapat mencerdaskan anak.
98.2 0.6 1.2
Jajanan bagi anak balita kadang tidak aman karena adanya formalin, boraks, atau pewarna berbahaya.
62.5 7.1 30.4 20.2
Ketika imunisasi anak sudah selesai maka anak balita tidak perlu lagi di bawa ke posyandu.
3.6 76.2 88.1
Cairan kolostrum sebaiknya segera diberikan pada bayi.
3.6 8.3 86.9
Anak balita perlu sesekali makan tempe karena tempe kaya akan protein untuk pertumbuhan.
3 10.1 26.2
Anak di bawah usia 1 tahun sudah boleh makan seperti makanan untuk orang dewasa.
8.3 65.5 82.1
Anak balita perlu dibiasakan sarapan pagi
3 14.9 81.5
Minum susu perlu dibiasakan untuk seluruh anggota keluarga.
5.4 13.1 93.5
makan pangan hewan setiap hari untuk pertumbuhan tinggi badannya
3.6 3 95.8
ASI ekslusif sampai 6 bulan penting untuk menjaga kesehatan dan tumbuh kembang anak.
2.4 1.8 0
20
40
60
80
%
setuju
ragu-ragu
tidak setuju
Gambar 6 Sebaran sikap ibu terhadap gizi dan kesehatan.
100
120
49
Tabel 14 Sebaran sampel berdasarkan praktik ibu dan keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD Total PAUD
Praktik Ibu
Non PAUD
n
%
n
%
n
%
Baik (>70%)
24
88.9
94
75.2
118
77.6
Kurang (≤70%)
3
11.1
31
24.8
34
22.4
Total
27
100
125
100
152
100
Rata-rata ± SD
80.49 ± 8.4
p-value (t-test)
77.17 ± 9.7
77.76 ± 9.6
0.104
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata praktik ibu pada kelompok PAUD (80.49 ± 8.4) adalah tidak jauh berbeda dengan praktik ibu pada kelompok non PAUD (77.17 ± 9.7). Hal ini menunjukkan bahwa praktik ibu pada kedua kelompok adalah relatif sama dan tergolong memiliki praktik yang baik terhadap gizi dan kesehatan. Oleh karena itu, praktik ibu tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.104. Tabel 15 menyajikan sebaran sampel berdasarkan praktik pemberian makan anak usia prasekolah. Penilaian praktik ibu terhadap pemberian makan meliputi, yang mengasuh anak sehari-hari, yang menyiapkan makanan anak, kondisi anak apa masih disuapi, ibu mengawasi makan anak bila tidak disuapi, cara penyajian porsi makan anak, dan situasi saat memberikan makan anak. Terlihat bahwa praktik pengasuhan sehari-hari dan yang menyiapkan makanan anak sebagian besar (96.7%) dilakukan oleh ibu. Ini sejalan dengan pernyataan Hastuti et al. (2010) bahwa tugas pengasuhan umumnya dilakukan oleh ibu sebagai pengasuh utama. Sebayak 69.1% anak kadang-kadang masih disuapi dan sebanyak 36.8% ibu masih mengawasi makan anak jika sedang tidak disuapi. Penyajian porsi makan anak sebanyak 89.5% ibu menyajikan porsi makan sesuai kebutuhan anak dan sebanyak 54.6 % ibu mengusahakan situasi yang disiplin dan tidak boleh bermain saat makan. Sejalan dengan pernyataan Khomsan (2002) bahwa cara untuk membuat anak mau makan adalah dengan memperhatikan porsi makan sesuai kebutuhan, tidak perlu porsi maksimum disajikan dalam sekali makan. Oleh karena itu, saat porsi kecil sudah habis bisa ditawarkan porsi tambahan.
50
Tabel 15 Sebaran sampel berdasarkan praktik pemberian makan anak Praktik pemberian makan Yang sehari-hari mengasuh anak Ibu Ayah Nenek Kakak Total Yang menyiapkan makanan anak Ibu Ibu dan orang lain Orang lain Total Anak sampai sekarang masih disuapi Kadang-kadang Selalu Tidak pernah Total Ibu mengawasi makan anak jika tidak menyuapi Ya, selalu Kadang-kadang Tidak pernah, percaya saja Total Cara ibu menyajikan porsi makan anak Porsi makan sesuai kebutuhan anak Porsi makan dihidangkan sekaligus banyak Total Situasi pada saat memberi makan anak Diusahakan disiplin dan tidak boleh bermain Sambil bermain di sekitar rumah Suasana tidak diperhatikan asal makanan habis Total
n
% 147 1 2 2 152
96.7 0.7 1.3 1.3 100
146 3 3 152
96.1 2 2 100
105 24 23 152
69.1 15.8 15.1 100
56 24 39 152
36.8 15.8 25.7 100
136 16 152
89.5 10.5 100
83 55 14 152
54.6 36.2 9.2 100
Tabel 16 menyajikan sebaran sampel berdasarkan praktik jadwal makan anak. Sebanyak 72.4% yang menentukan jadwal makan anak adalah anak sendiri, dengan jadwal makan anak yang tidak teratur sebanyak 59.2%. Jika ditelusuri alasan mengapa jadwal makan anak tidak teratur, sebagian besar ibu menyatakan bahwa anak memiliki masalah kesulitan makan dan keinginannya hanya jajan saja. Untuk jadwal minum susu sebagian besar (78.9%) ditentukan oleh anak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Khomsan (2002) bahwa mengkonsumsi susu untuk anak jangan menjadi paksaan namun tetap menjadi perhatian. Oleh karena itu, secara keseluruhan praktik ibu terhadap jadwal
51
makan anak sebagian besar adalah baik, dimana ibu harus tetap bertanggung jawab untuk memperhatikan pola asuh makan anak. Tabel 16 Sebaran sampel berdasarkan jadwal makan anak Jadwal Makan Anak Yang menentukan Jadwal makan Ibu sendiri Ibu dan orang lain Semau anak sendiri Total Jadwal makan anak teratur Ya Tidak Total Yang menentukan jadwal minum susu anak Tidak minum susu Ibu Anak Ibu dan orang lain Total
n
%
39 3 110 152
25.7 2.0 72.4 100
62 90 152
40.8 59.2 100
9 22 120 1 152
5.9 14.5 78.9 0.7 100
Tabel 17 menyajikan sebaran sampel berdasarkan sikap ibu dalam praktik pemberian makan anak. Jika anak menolak makanan tertentu sikap ibu tertinggi dengan cara memberikan jenis makanan tersebut dalam waktu tertentu 44.1% ibu tetap memberikan jenis makanan dalam waktu berbeda dan sebagian besar (40.8%) ibu memiliki sikap untuk membujuk atau merayu jika anak sulit makan. Bila anak menghabiskan makanannya maka sikap sebagian besar (62.5%) ibu adalah memujinya. Oleh karena itu, secara keseluruhan praktik ibu untuk pola asuh makan adalah baik. Penelitian yang dilakukan oleh Zeitlin et al. (2000) menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah dapat memiliki anak sehat dan bergizi baik bila ibu memberikan pengasuhan yang memadai dan tepat. Sikap merupakan kecenderungan seseorang untuk menyetujui atau tidak menyetujui terhadap suatu pernyataan yang diajukan terkait gizi dan kesehatan. Sikap sering kali terkait erat dengan pengetahuan, yaitu jika memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan baik maka cenderung memiliki sikap gizi dan kesehatan baik pula. Praktik atau perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya atau dengan kata lain praktik merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Pada penelitian ini ibu memiliki sikap dan praktik yang baik walaupun memiliki tingkat pengetahuan yang rendah.
52
Hal ini dimungkinkan dengan ibu mendapatkan informasi dari lingkungan sekitar, seperti saudara, tetangga dan kader di posyandu serta dari tradisi (adat istiadat) yang ada dalam keluarga dan tetangga. Karena pengalaman sesorang merupakan suatu pembelajaran tersendiri. Oleh karena itu, saat diberikan sebuah pernyataan, maka sikap yang diberikan adalah setuju, walaupun mereka tidak mengetahui alasan yang mendasarinya. Kemudian Suharjo (1996) menyatakan bahwa tingkat pendidikan itu sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi Oleh karena itu, masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan gizi. Tabel 17 Sebaran sampel berdasarkan sikap ibu dalam memberi makan anak Sikap ibu dalam memberi makan anak
n
%
Sikap ibu jika anak menolak makanan tertentu Membuat inovasi makanan baru dengan bahan sama
30
19.7
Tetap diberikan dalam waktu berbeda
67
44.1
Tidak diberikan lagi
48
31.6
7
4.6
152
100
Tidak pernah sulit makan
38
25.0
Membujuk atau merayu
62
40.8
Memberikan makanan yang sesuai keinginannya
31
20.4
Memaksakan anak untuk makan
21
13.8
152
100
Memuji
95
62.5
Diam saja
57
37.5
152
100
Lainnya Total Sikap ibu jika anak sulit makan
Total Sikap ibu jika anak menghabiskan makanannya
Total Asupan Zat Gizi
Kecukupan gizi merupakan gambaran banyaknya zat gizi yang diperlukan oleh individu. Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk memelihara kesehatan orang pada umumnya (LIPI 2004). Tabel 18 menyajikan angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan menurut kelompok usia.
53
Jumlah energi yang dibutuhkan seseorang tergantung pada usia, jenis kelamin dan berat badan seseorang. Dalam penelitian ini digunakan metode recall 2x24 jam untuk mengukur tingkat kecukupan gizi anak usia prasekolah. Kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari bila dilakukan hanya recall satu hari. Selain itu ketepatannya sangat bergantung pada daya ingat responden. Tabel 18 Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan menurut kelompok usia anak Usia (Tahun)
Berat badan (kg)
Tinggi Badan (cm)
Energi (kkal)
Protein (g)
1-3 4-6
12 17
90 110
1000 1550
25.0 39.0
Secara umum rata-rata konsumsi energi anak usia prasekolah dibagi dua, yaitu untuk usia 3 tahun 1117.52 kkal dan usia 4-5 tahun sebesar 1131.80 kkal. Begitu juga untuk rata-rata konsumsi protein anak usia prasekolah juga dibagi dua, yaitu untuk usia 3 tahun 34.46 g, dan usia 4-5 tahun sebesar 34.39 g. Ini berarti bahwa untuk kelompok usia 3 tahun, kecukupan energi dan protein tergolong berlebih. Namun, untuk kelompok usia 4-5 tahun, kecukupan energi tergolong defisit dan kecukupan protein tergolong berlebih. Tabel 19 menunjukkan sebaran sampel berdasarkan tingkat kecukupan energi dan keikutsertaan PAUD. Tingkat kecukupan energi dikategorikan menjadi dua, yaitu normal (90-119% AKG) dan tidak normal (< 90% AKG dan > 120% AKG). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 32.9% anak memiliki tingkat kecukupan energi yang normal, sementara ada 67.1% anak yang memiliki tingkat kecukupan energi yang tidak normal (Tabel 19). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak memiliki tingkat kecukupan energi yang tidak normal. Tabel 19
Sebaran sampel berdasarkan keikutsertaan PAUD
kecukupan
energi
Keikutsertaan PAUD
Tingkat Kecukupan Energi
tingkat
PAUD
dan
Total
Non PAUD
n
%
n
%
n
%
Normal
9
33.3
41
32.8
50
32.9
Tidak Normal
18
66.7
84
67.2
102
67.1
Total
27
100
125
100
152
100
Rata-rata ± SD p-value (t-test)
96.52 ± 29.15
99.03 ± 33.48 0.719
99.58 ± 32.68
54
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata tingkat kecukupan energi pada kelompok PAUD (96.52% ± 29.15% ) adalah tidak jauh berbeda dengan tingkat kecukupan energi pada kelompok non PAUD (99.03% ± 33.48%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi pada kedua kelompok adalah relatif sama dan tergolong memiliki tingkat kecukupan energi yang normal. Oleh karena itu, tingkat kecukupan energi tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value>0.05, yaitu sebesar 0.719. Tabel 20 menunjukkan sebaran sampel berdasarkan tingkat kecukupan protein dan keikutsertaan PAUD. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata tingkat kecukupan protein pada kelompok PAUD (120.17% ± 43.30%) adalah tidak jauh berbeda dengan tingkat kecukupan protein pada kelompok non PAUD (117.85% ± 55.78%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kecukupan protein pada kedua kelompok adalah relatif sama dan tergolong memiliki tingkat kecukupan protein yang tidak normal. Oleh karena itu, tingkat kecukupan protein tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan pvalue>0.05, yaitu sebesar 0.839. Tabel 20. Sebaran sampel berdasarkan tingkat kecukupan protein dan keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD Total Tingkat Kecukupan PAUD Non PAUD Protein n % n % n % Normal 10 37 30 24 40 26.4 Tidak Normal 17 63 95 76 112 73.6 Total 27 100 125 100 152 100 Rata-rata ± SD 120.17 ± 43.30 117.85 ± 55.78 118.26 ± 53.65 p-value (t-test) 0.839 Kondisi normal dan tidak normal ini akan diterangkan melalui Tabel 21 sebaran sampel secara keseluruhan berdasarkan tingkat asupan zat gizi anak usia prasekolah. Terlihat bahwa sebanyak 32.9% anak telah memiliki tingkat kecukupan energi yang normal. Namun, masih ditemukan sebanyak 21.1% anak memiliki defisit berat, dan sebanyak 24.3% anak memiliki tingkat kecukupan berlebih. Sementara untuk kecukupan protein, sebanyak 26.4% anak memiliki tingkat kecukupan protein yang norma. Namun masih ditemukan sebanyak 15.8% anak mengalami defisit berat dan sebanyak 42.6% anak yang mengalami tingkat kecukupan protein berlebihan.
55
Tabel 21 Sebaran tingkat asupan zat gizi anak usia prasekolah Tingkat Asupan Zat Gizi
n
%
32
21.1
Defisit Sedang
9
5.9
Defisit Ringan
22
15.8
Normal
52
32.9
Berlebihan
37
24.3
152
100
Defisit Berat
24
15.8
Defisit Sedang
10
6.6
Defisit Ringan
13
8.6
Normal
40
26.4
Berlebihan
65
42.6
152
100
Tingkat Kecukupan Energi Defisit berat
Total Tingkat kecukupan Protein
Total
Tingkat kecukupan energi anak yang berlebih ini disebabkan tingginya konsumsi makanan yang mengandung banyak gula seperti permen dan minuman kemasan, yang merupakan makanan atau minuman yang mengandung energi, namun tidak mengandung zat gizi yang lain. Tingkat kecukupan protein memiliki kondisi yang sedikit lebih baik, terlihat bahwa anak-anak yang mengalami kondisi normal sebanyak 26.3% dan yang berlebih sebesar 42.8%. Kondisi kecukupan protein berlebih ini terjadi karena mayoritas keluarga mengkonsumsi pangan hewani seperti telur dan pangan nabati seperti tahu dan tempe, yang merupakan sumper protein yang cukup terjangkau oleh kondisi ekonomi mereka. Selain itu mayoritas anak-anak juga sering jajan makanan yang cukup mengandung protein seperti batagor, siomay, bakso, dan sosis. Tingkat kecukupan anak yang defisit berat, sedang dan ringan ini, disebabkan kurangnya akses pangan. Akses pangan dapat terjadi bila adanya ketersediaan pangan dan daya beli. Pada penelitian ini daya beli merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kecukupan energi dan protein. Sunarti (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa daya beli keluarga akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Oleh karena itu, konsumsi pangan dengan kualitas dan kuantitas yang baik
56
diharapkan akan menyediakan zat-zat gizi yang dibutuhkan secara memadai untuk pertumbuhan anak. Status Gizi Anak Usia Prasekolah Penilaian status gizi usia prasekolah didasarkan pada indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Sampel diukur tinggi badan dan berat badannya untuk kemudian di hitung nilai Z-score berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Status gizi berdasarkan indeks BB/U, memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum dan tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi lebih, gizi kurang atau gizi buruk akan mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut. Status gizi berdasarkan indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi saat ini. Berat badan menggambarkan massa tubuh yang sensitif terhadap perubahan mendadak, misalnya terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan makanan yang dikonsumsi. Tabel
22
menunjukkan
sebaran
sampel
berdasarkan
status
gizi
berdasarkan indeks BB/U dan keikutsertaan PAUD. Status gizi berdasarkan indeks BB/U dikategorikan menjadi dua, yaitu normal (Z-score ≥ - 2.0 SD s/d Zscore ≤ 2.0 SD) dan tidak normal (Z-score < -2.00 dan Z-score > 2.00). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 73.7% anak memiliki status gizi yang normal berdasarkan indeks BB/U, sementara ada 26.3% anak yang memiliki status gizi yang tidak normal berdasarkan indeks BB/U (Tabel 22). Ini menunjukkan bahwa prevalensi anak memiliki status gizi yang normal ada 73.7% berdasarkan indeks BB/U. Tabel 22
Sebaran sampel menurut status gizi indeks BB/U dan keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD PAUD Non PAUD
Status Gizi Indeks BB/U
Total
n
%
n
%
n
%
Normal
21
77.8
91
72.8
112
73.7
Tidak normal
6
22.2
34
27.2
40
26,3
Total Rata-rata ± SD p-value (t-test)
27
100
-1.02 ± 1.3
125 100 -1.50 ± 0.89 0.025
152 100 -1.42 ± 1.00
57
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata status gizi indeks BB/U pada kelompok PAUD (-1.02 ± 1.3) relatif berbeda dengan status gizi indeks BB/U pada kelompok non PAUD (-1.50 ± 0.89). Hal ini menunjukkan bahwa status gizi indeks BB/U pada kedua kelompok tergolong memiliki status gizi indeks BB/U yang normal. Oleh karena itu, status gizi indeks BB/U terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.025. Status gizi berdasarkan indeks TB/U, dapat dilihat apakah anak termasuk pendek atau normal. Indeks TB/U digunakan untuk menggambarkan status gizi yang bersifat kronis, artinya muncul akibat dari keadaan yang berlangsung lama dengan kata lain menilai status gizi anak balita pada masa lampau. Riyadi (2003) indeks TB/U menggambarkan pertumbuhan skeletal yang dalam keadaan normal berjalan seiring dengan pertambahan usia. Tabel
23
menunjukkan
sebaran
sampel
berdasarkan
status
gizi
berdasarkan indeks TB/U dan keikutsertaan PAUD. Status gizi berdasarkan indeks TB/U dikategorikan menjadi dua, yaitu normal (Z-score ≥ - 2.0 SD) dan pendek
(Z-score < -2.00). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa
sebanyak 65.1% anak memiliki status gizi yang normal berdasarkan indeks TB/U, sementara ada 34.9% anak yang memiliki status gizi yang tidak normal berdasarkan indeks TB/U (Tabel 23). Ini menunjukkan bahwa prevalensi anak memiliki status gizi yang pendek ada 34.9% berdasarkan indeks TB/U. Tabel 23 Sebaran sampel menurut status gizi indeks TB/U dan keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD Total
Status Gizi Indeks
PAUD
TB/U
Non PAUD
n
%
n
%
n
%
Normal
17
63
82
65.6
99
65.1
Pendek
10
37
43
34.4
53
34.9
Total
27
100
125
100
152
100
Rata-rata ± SD p-value (t-test)
-1.36 ± 1.4
-1.53 ± 0.93
-1.50 ± 1.01
0.424
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata status gizi indeks TB/U pada kelompok PAUD (-1.36 ± 1.4) relatif berbeda
58
dengan status gizi indeks TB/U pada kelompok non PAUD (-1.53 ± 0.93). Hal ini menunjukkan bahwa status gizi indeks TB/U pada kedua kelompok tergolong memiliki status gizi indeks TB/U yang normal. Oleh karena itu, status gizi indeks TB/U tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.424. Status gizi berdasarkan indeks BB/TB, untuk melihat apakah anak termasuk status gizi kurus, normal atau gemuk. Indikator BB/TB mengambarkan status gizi yang sifatnya akut, sebagi akibat dari keadaan yang berlangsung dalam waktu yang pendek atau singkat, seperti menurunnya nafsu makanan akibat sakit atau karena menderita diare. Dalam keadaan demikian berat badan anak akan cepat turun, sehingga tidak proporsional lagi dengan tinggi badannya dan anak menjadi kurus. Di samping mengindikasikan masalah gizi yang bersifat akut, indeks BB/TB juga dapat digunakan sebagai indikator kegemukan. Dalam hal ini berat badan anak melebihi proporsi normal terhadap tinggi badannya. Tabel
24
menunjukkan
sebaran
sampel
berdasarkan
status
gizi
berdasarkan indeks BB/TB dan keikutsertaan PAUD. Status gizi berdasarkan indeks BB/TB dikategorikan menjadi dua, yaitu normal (Z-score ≥ - 2.0 SD s/d Zscore ≤ 2.0 SD) dan tidak normal (Z-score < -2.00 dan Z-score >2.00). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 84.2% anak memiliki status gizi yang normal berdasarkan indeks BB/TB, sementara ada 15.8% anak yang memiliki status gizi yang tidak normal berdasarkan indeks BB/TB (Tabel 24). Ini menunjukkan bahwa prevalensi anak memiliki status gizi yang normal ada 84.2% berdasarkan indeks BB/TB. Tabel 24 Sebaran sampel menurut status gizi indeks BB/TB dan keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD
Status Gizi Indeks BB/TB
PAUD
Total
Non PAUD
n
%
n
%
n
%
Normal
23
85.2
105
84
128
84.2
Tidak Normal
4
14.8
20
16
24
15.8
Total
27
100
125
100
152
100
Rata-rata ± SD
-0.31 ± 1.21
p-value (t-test)
-0.91 ± 1.08 0.012
-1.42 ± 1.00
59
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata status gizi indeks BB/TB pada kelompok PAUD (-0.31 ± 1.21) relatif berbeda dengan status gizi indeks BB/TB pada kelompok non PAUD (-0.91 ± 1.08). Hal ini menunjukkan bahwa status gizi indeks BB/TB pada kedua kelompok tergolong memiliki status gizi indeks BB/TB yang normal. Oleh karena itu, status gizi indeks BB/TB terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.012. Kondisi anak usia prasekolah yang mengalami tidak normal (underweight, stunting, dan wasting) ini sejalan dengan masih banyaknya anak yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya melalui asupan gizi terutama energi (42.3%) dan protein (31%). Selain faktor asupan gizi, kondisi status gizi anak usia prasekolah berkaitan langsung juga dengan penyakit infeksi (kerangka UNICEF 1990). Oleh karena itu, diharapkan orang tua dapat memperhatikan asupan dan status kesehatan anak, melalui pola asuh agar tidak berdampak pada status gizi anak usia prasekolah tersebut. Pola Asuh Lingkungan Pola asuh lingkungan adalah perangsangan yang datang dari lingkungan luar diri anak dan merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak. Bila anak mendapatkan stimulus terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang mendapat stimulus. Dengan demikian dengan tingginya pemberian stimulus psikososial maka perkembangan anak khususnya
perkembangan
sosial
akan
lebih
baik.
Soedjatmiko
(2008)
menyatakan bahwa semakin sering, bervariasi dan teratur rangsangan yang diterima anak maka akan meningkatkan kualitas sel-sel otak. Pengukuran pola asuh lingkungan dilakukan dengan alat bantu HOME Inventory. Stimulasi psikososial untuk anak usia 3-5 tahun atau usia prasekolah dilihat dari stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, modeling, variasi stimulasi, dan hukuman. Ada 55 pernyataan tentang pola asuh lingkungan yang diajukan kepada ibu, dengan skor minimal adalah 0 dan skor maksimal adalah 55. Rata-rata pola asuh lingkungan secara keseluruhan adalah 35.52 ± 4.72. Pola asuh lingkungan dikategorikan menjadi dua, yaitu baik (≥ 37 poin) dan kurang (<37 poin). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 77.0% anak memiliki pola asuh lingkungan yang kurang, dan terdapat sebanyak 23.0% anak yang
60
memiliki pola asuh lingkungan yang baik (Tabel 25). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu kurang melakukan pola asuh lingkungan kepada anak. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata pola asuh lingkungan pada kelompok PAUD (35.03 ± 5.76) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pola asuh lingkungan pada kelompok non PAUD (31.97 ± 4.30). Hal ini menunjukkan bahwa pola asuh lingkungan pada kedua kelompok tergolong memiliki pola asuh lingkungan yang kurang. Oleh karena itu, pola asuh lingkungan terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.014. Tabel 25 Sebaran sampel menurut status gizi berdasarkan indeks BB/TB dan keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD
Pola Asuh Lingkungan
PAUD
Total
Non PAUD
n
%
n
%
n
%
Baik
14
51.9
21
16.8
35
23.0
Kurang
13
48.1
104
83.2
117
77.0
Total
27
100
125
100
152
100
Rata-rata ± SD
35.03 ± 5.76
p-value (t-test)
31.97 ± 4.30
35.52 ± 4.72
0.014
Menurut Karyadi (1985) bahwa pengasuhan dipengaruhi oleh karakteristik pengasuh, antara lain status bekerja ibu, pendidikan formal, serta pengetahuan tentang gizi dan pengasuhan. Hal ini sesuai hasil penelitian ini, yaitu dengan pendidikan formal ibu yang rata-rata tingkat pendidikan yang rendah dengan lama pendidikan 7.46 tahun, serta rata-rata pengetahuan ibu tetang gizi dan kesehatan yang tergolong rendah. Sesuai dengan penelitian Latifah et al. (2009), di Kecamatan Ciawi yang keluarganya tergolong keluarga miskin, tidak memiliki pencapaian yang baik untuk pola asuh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketidakmampuan keluarga miskin untuk mencapai pola asuh lingkungan yang baik terhalang dengan keterbatasan ekonomi, karena keluarga tersebut akan mencukupi kebutuhan primer dahulu baru sekunder, seperti vasilitas belajar anak. Persentase terbesar dalam pencapaian skor dari delapan subskala HOME untuk anak usia prasekolah adalah subskala hukuman sebesar 96.0% dan subskala bahasa 95.4% (Tabel 26).
61
Tabel 26
Sebaran sampel berdasarkan subskala pola asuh lingkungan dan keikutsertaan PAUD Keikutsertaan PAUD
Pola Asuh Lingkungan
PAUD n
Stimulasi Belajar Baik Kurang Total Rata-rata ± SD Stimulasi Bahasa Baik Kurang Total Rata-rata ± SD Lingkungan Fisik Baik Kurang Total Rata-rata ± SD Kehangatan dan Penerimaan Baik Kurang Total Rata-rata ± SD Stimulasi akademik Baik Kurang Total Rata-rata ± SD Modeling Baik Kurang Total Rata-rata ± SD Variasi Stimulasi Baik Kurang Total Rata-rata ± SD Hukuman Baik Kurang Total Rata-rata ± SD
Total
Non PAUD %
n
%
n
p-value (t-test) % 0.005
2 7.4 25 92.6 27 100 29.96 ± 20.3
0 0 125 100 125 100 17.52 ± 13.0
2 1.3 150 98.7 152 100 19.73 ± 15.26
27 100 0 0 27 100 93.12 ± 10.75
118 94.4 7 5.6 125 100 89.37 ± 12.68
95.4 145 7 4.6 152 100 90.03 ± 12.41
0.155
0.964 17 63 10 37 27 100 69.84 ± 28.38
76 60.8 49 39.2 125 100 69.60± 24.20
93 61.2 59 38.8 152 100 69.64 ± 24.89 0.533
19 70.4 8 69.6 27 100 73.01 ± 16.49
85 68 40 32 125 100 70.51 ± 19.34
104 68.4 48 31.6 152 100 70.95 ± 18.84
20 74.1 7 25.9 27 100 80.00 ± 22.87
68 54.4 57 45.6 125 100 70.72 ± 21.93
88 57.9 64 42.1 152 100 72.36 ± 22.30
0.050
0.047 11 40.7 16 59.3 27 100 62.96 ± 18.97
28 22.4 97 77.6 125 100 55.04 ± 18.60
39 25.7 113 74.3 152 100 56.44± 18.85 0.414
1 3.7 26 96.3 27 100 47.73 ± 13.36
6 4.8 119 95.2 125 100 45.24 ± 14.54
7 4.6 145 95.4 152 100 45.68 ± 14.32 0.002
26 96.3 1 3.7 27 100 94.44 ± 12.65
120 96 5 4 125 100 90.60 ± 16.08
96.0 146 6 4.0 152 100 91.28 ± 15.56
62
Stimulasi
Belajar.
Rata-rata
nilai
stimulasi
belajar
anak
secara
keseluruhan adalah 19.73 ± 15.26. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 98.7% anak memiliki stimulasi belajar yang kurang, dan hanya terdapat 1.3% anak yang memiliki stimulasi belajar yang baik (Tabel 26). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu kurang melakukan stimulasi belajar kepada anak. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata stimulasi belajar pada kelompok PAUD (29.96 ± 20.3) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stimulasi belajar pada kelompok non PAUD (17.52 ± 13.0). Nilai ini menunjukkan bahwa stimulasi belajar pada kedua kelompok tergolong memiliki stimulasi belajar yang kurang. Oleh karena itu, stimulasi belajar terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.005. Hal ini menunjukan bahwa ibu masih kurang dalam memberikan stimulasi belajar kepada anaknya. Misalnya, kurang dalam memberikan alat bantu yang dapat mendorong keinginan anak untuk belajar, seperti menyediakan mainan untuk belajar warna, bentuk, ukuran; kurang tersedianya mainan bebas berekspresi (crayon, spidol, cat warna); kurang tersedianya alat untuk melatih gerak tangan yang halus ( puzzle, lilin malam, bola kenyal). Selain itu kebiasaan membaca dalam keluarga baik dalam bentuk koran, buku maupun majalah juga masih rendah. Stimulasi Bahasa. Stimulasi bahasa yang digali adalah anak diajari namanama binatang, huruf-huruf alphabet, diajari mengucapka salam, terima kasih dan maaf. Ibu juga berbicara dengan tata bahasa yang benar, ibu mendengarkan anak ketika bercerita/ berbicara, dan ibu berusaha mengucapkan kata-kata yang menyenangkan anak. Rata-rata nilai stimulasi bahasa anak secara keseluruhan adalah 90.03 ± 12.41. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 95.4% anak memiliki stimulasi bahasa yang baik, dan terdapat 4.6% anak yang memiliki stimulasi bahasa yang kurang (Tabel 26). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu telah melakukan stimulasi bahasa kepada anak. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata stimulasi bahasa pada kelompok PAUD (93.12 ± 10.75) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stimulasi bahasa pada kelompok non PAUD (89.37 ± 12.68). Hal ini menunjukkan bahwa stimulasi bahasa pada kedua kelompok tergolong memiliki
63
stimulasi bahasa yang baik. Oleh karena itu, stimulasi bahasa tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.155. Penelitian Waber et al. (1981) menemukan bahwa pada 433 keluarga di Colombia adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu terhadap perkembangan bahasa anak balita dari keluarga yang beresiko gizi buruk (p=0.049). Lingkungan Fisik. Lingkungan fisik disini berarti keadaan rumah yang termasuk didalamnya adalah kepadatan rumah, keadaan rumah yang bersih, rumah aman dari bahaya, tempat bermain anak, keadaan rumah yang gelap dan pengap. Rata-rata nilai stimulasi lingkungan fisik anak secara keseluruhan adalah 69.64 ± 24.89. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 61.2% anak memiliki stimulasi lingkungan fisik yang baik, dan terdapat 38.8% anak yang memiliki stimulasi lingkungan fisik yang kurang (Tabel 26). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu telah melakukan stimulasi lingkungan fisik kepada anak. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata stimulasi lingkungan fisik pada kelompok PAUD (69.84 ± 28.38) relatif sama dengan stimulasi lingkungan fisik pada kelompok non PAUD (69.60± 24.20). Hal ini menunjukkan bahwa stimulasi lingkungan fisik pada kedua kelompok tergolong memiliki stimulasi lingkungan fisik yang kurang. Oleh karena itu, stimulasi lingkungan fisik tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value= 0.964. Kehangatan dan Penerimaan. Kehangatan dan penerimaan disini berarti adanya kondisi dimana ibu sebagai pengasuh dapat menjawab pertanyaan atau permintaan anak dengan kata-kata yang baik, memberikan pujian, memberikan sentuhan berupa ciuman, belaian, menggendong ataupun rangkulan kepada anak dan menanggapi saat anak berbicara. Rata-rata nilai stimulasi kehangatan dan penerimaan anak secara keseluruhan adalah 70.95 ± 18.84. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 68.4% anak memiliki stimulasi kehangatan dan penerimaan, dan terdapat 31.6% anak yang memiliki stimulasi kehangatan dan penerimaan yang kurang (Tabel 26). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu telah melakukan stimulasi kehangatan dan penerimaan kepada anak. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata stimulasi kehangatan dan penerimaan pada kelompok
64
PAUD (73.01 ± 16.49) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stimulasi kehangatan dan penerimaan pada kelompok non PAUD (70.51 ± 19.34). Nilai ini menunjukkan bahwa stimulasi kehangatan dan penerimaan pada kedua kelompok tergolong memiliki stimulasi kehangatan dan penerimaan yang baik. Oleh karena itu, stimulasi kehangatan dan penerimaan tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (ttest) dengan p-value=0.533. Stimulasi Akademik. Stimulasi akademik yang digali disini meliputi anak diajari tentang warna, menyanyi, pengertian ruang atau dimensi, diajari tentang angka, dan diajari membaca kata-kata sederhana. Rata-rata nilai stimulasi akademik anak secara keseluruhan adalah 72.36 ± 22.30. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 57.9% anak memiliki stimulasi akademik yang baik, dan terdapat 42.1% anak yang memiliki stimulasi akademik yang kurang (Tabel 26). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu telah melakukan stimulasi akademik kepada anak. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata stimulasi akademik pada kelompok PAUD (80.00 ± 22.87) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stimulasi akademik pada kelompok non PAUD (70.72 ± 21.93). Nilai ini menunjukkan bahwa stimulasi akademik pada kedua kelompok tergolong memiliki stimulasi akademik yang baik. Oleh karena itu, stimulasi akademik terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan pvalue=0.050. Modeling. Konsep modeling yang diamati dalam penelitian ini berkaitan dengan perilaku ibu dalam menerapkan kebiasaan tertentu, meliputi anak mampu menggunaan waktu dengan semestinya, anak dapat menunjukkan kekecewaan dan kemarahannya tanpa dibalas kemarahan dari ibunya, dan anak dapat memukul ibunya tanpa dibalas dengan pukulan yang sama kerasnya. Rata-rata nilai stimulasi modeling anak secara keseluruhan adalah 56.44± 18.85. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 74.3% anak memiliki stimulasi modeling yang kurang, dan hanya terdapat 25.7% anak yang memiliki stimulasi modeling yang baik (Tabel 26). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu kurang melakukan stimulasi modeling kepada anak. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata stimulasi modeling pada kelompok PAUD (62.96 ± 18.97) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stimulasi modeling pada kelompok non PAUD (55.04 ± 18.60). Hal ini
65
menunjukkan bahwa stimulasi modeling pada kedua kelompok tergolong memiliki stimulasi modeling yang kurang. Oleh karena itu, stimulasi modeling terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.047. Variasi Stimulasi kepada Anak. Variasi stimulasi merupakan kombinasi antara penyediaan sarana dan prasarana dan peran aktif orang tua dalam merangsang perkembangan kognitif anak. Rata-rata nilai variasi stimulasi anak secara keseluruhan adalah 45.68 ± 14.32. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 95.4% anak memiliki variasi stimulasi yang kurang, dan hanya terdapat 4.6% anak yang memiliki variasi stimulasi yang baik (Tabel 26). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu kurang melakukan variasi stimulasi kepada anak. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata variasi stimulasi pada kelompok PAUD (47.73 ± 13.36) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan variasi stimulasi pada kelompok non PAUD (45.24 ± 14.54). Hal ini menunjukkan bahwa variasi stimulasi ungan pada kedua kelompok tergolong memiliki variasi stimulasi yang kurang. Oleh karena itu, variasi stimulasi tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.414. Hukuman. Hukuman yang dimaksud berupa pujian dan hukuman fisik atau hukuman verbal. Hukuman merupakan cara orang tua untuk menunjukkan kasih sayangnya. Rata-rata nilai stimulasi hukuman anak secara keseluruhan adalah 91.28 ± 15.56. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 96.0% anak memiliki stimulasi hukuman yang baik, dan terdapat 4.0% anak yang memiliki stimulasi hukuman yang kurang (Tabel 26). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu telah melakukan stimulasi hukuman kepada anak. Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata- stimulasi hukuman pada kelompok PAUD (94.44 ± 12.65) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stimulasi hukuman pada kelompok non PAUD (90.60 ± 16.08). Hal ini menunjukkan bahwa stimulasi hukuman pada kedua kelompok tergolong memiliki stimulasi hukuman yang baik. Oleh karena itu stimulasi hukuman terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan p-value=0.002. Hal ini berarti bahwa sebagian besar ibu sudah mampu melaksanakan subskala ini dengan baik yaitu dengan ibu tidak memarahi anak, ibu tidak membatasi atau melarang anak secara fisik, ibu tidak memberikan hukuman fisik.
66
Menurut Soetjiningsih (1995) bahwa hukuman merupakan cara orang tua untuk menunjukkan kasih sayangnya. Hukuman harus diberikan secara obyektif dan disertai pengertian dan maksudnya, bukan untuk melampiaskan kebencian dan kejengkelan terhadap anak. Sebaliknya kalau seorang anak berbuat benar, maka wajib memberikan ganjaran, misalnya dengan pujian, ciuman, tepuk tangan, dll. Perkembangan Kognitif Perkembangan anak adalah perubahan-perubahan psiko fisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anal yang ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam fase tertentu menuju kedewasaan (Kartono 1990). Perkembangan kognitif meliputi perubahanperubahan dalam kemampuan memori dan pola pikir, kemahiran berbahasa dan cara individu memperoleh pengetahuan dari lingkungannya. Pengukuran perkembangan kognitif dibagi menjadi 3 kelompok usia, yaitu 30-41 bulan, 42-53 bulan, dan 54-65 bulan dengan menggunakan instrument dari Depdiknas (2004). Nilai perkembangan kognitif berkisar dari 7% hingga 100%. Rata-rata nilai stimulasi
hukuman
anak
secara
keseluruhan
adalah
54.23
±
20.45.
Perkembangan kognitif dikategorikan menjadi dua, yaitu baik (≥ 70%) dan kurang (˂ 70%). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebanyak 77.0% anak memiliki perkembangan kognitif yang kurang, dan terdapat sebanyak 23.0% anak yang memiliki perkembangan kognitif yang baik (Tabel 27). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak memiliki perkembangan kognitif yang tidak sesuai dengan perkembangan kognitif sesuai dengan perkembangan usianya. Tabel 27
Sebaran sampel berdasarkan keikutsertaan PAUD
kognitif
Keikutsertaan PAUD
Perkembangan Kognitif
perkembangan
PAUD
Total
Non PAUD
n
%
n
%
n
%
Baik (≥ 70%)
10
37
25
20
35
23.0
Kurang(<70%)
17
63
100
80
117
77.0
Total
27
100
125
100
152
100
Rata-rata ± SD p-value (t-test)
60.01 ± 21.62 0.106
52.98 ± 20.07
dan
54.23 ± 20.45
67
Jika dibandingkan antar kelompok PAUD dan non PAUD, maka rata-rata nilai perkembangan kognitif pada kelompok PAUD (60.01 ± 21.62) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai perkembangan kognitif pada kelompok non PAUD (52.98 ± 20.07). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kognitif pada kedua kelompok tergolong memiliki perkembangan kognitif yang kurang. Oleh karena itu, perkembangan kognitif tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok. Ini ditunjukkan melalui nilai uji beda (t-test) dengan pvalue=0.106 Hal yang diduga adalah jumlah sampel yang mengikuti PAUD relatif sedikit, sehingga tidak dapat menggambarkan adanya perbedaan perkembangan kognitif antara kelompok PAUD dan non PAUD. Selain itu juga karena adanya faktor variasi waktu atau durasi anak menerima pendidikan dari PAUD yang berbeda. Pada penelitian ini anak yang menerima pendidikan dari PAUD mulai dari kurang satu bulan hingga 24 bulan. Anak yang menerima pendidikan kurang dari satu bulan hanya memiliki rata-rata skor kognitif 47.5% dengan kategori kurang dan anak yang menerima pendidikan 24 bulan memiliki rata-rata skor kognitif 79.5% dengan kategori baik. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata perkembangan kognitif anak secara keseluruhan sebesar 54.23, artinya pencapaian perkembangan kognitif anak baru mencapai 54.23 persen dari tingkat perkembangan yang mestinya dapat dicapai oleh anak seusianya. Kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti asupan gizi yang kurang, perawatan kesehatan yang tidak memadai serta stimulasi psikososial yang seadanya dapat menjadi penyebab kurangnya tingkat perkembangan kognitif anak (Myers, 1992). Kemudian menurut Jalal (2009) bahwa tingkat kecerdasan anak usia dini akibat stimulasi yang diberikan oleh orang tua.
Patmonodewo (2010)
menyatakan bahwa makin besar keterlibatan keluarga dalam pengasuhan maka anak akan mampu belajar berbagai hal yang positif yang bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya. Dengan kata lain pentingnya dukungan keluarga terhadap kegiatan belajar anak sejak di rumah dan di luar rumah pada usia dini. Patmonodewo (2010) dengan keterlibatan keluarga terhadap pengasuhan dan pendidikan akan berdampak pada meningkatnya prestasi, tingkah lakunya diterima lingkungan serta motivasi belajar di sekolah meningkat
68
Analisis Hubungan antar Variabel Hubungan antara Karakterisktik Keluarga dengan Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan Berdasarkan hasil uji Chi-Square menunjukkan hubungan yang positif signifikan antara usia ibu (p-value=0.042) dan pekerjaan ayah (p-value=0.023) dengan pengetahuan gizi dan kesehatan ibu (Tabel 28). Ini berarti bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara usia ibu dengan pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan. Usia ibu yang relatif muda akan memungkinkkan untuk mencari, menerima, dan memahami pengetahuan (informasi). Karena dengan bertambahnya usia ibu, maka keinginan ibu untuk menggali pengetahuan (informasi) tentang gizi dan kesehatan semakin berkurang dan mengandalkan pengalaman semata. Selain itu juga bahwa pekerjaan ayah memiliki hubungan yang positif signifikan dengan pengetahuan ibu. Ini mungkin terjadi, bila pekerjaan ayah memiliki interaksi yang tinggi dengan masyarakat, sehingga informasi yang diperoleh
ayah
akan
disampaikan
kepada
ibu,
dan
akan
menambah
pengetahuan ibu tentang gizi maupun kesehatan. Ini terlihat dari sebaran ibu yang memiliki pengetahuan baik, terdapat pada kelompok ayah yang bekerja di sektor non-pertanian (Tabel 28). Lama pendidikan ibu dan ayah tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pengetahuan ibu terhadap gizi dan kesehatan (p-value>0.05). Ini disebabkan sebaran dari responden relatif homogen sehingga dalam penelitian ini belum terlihat hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan. Namun berdasarkan pernyataan Satoto (1990) yang menyatakan bahwa pendidikan orang tua tidak berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Namun pendidikan orang tua ini akan melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas, efisiensi penjagaan kesehatan yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak secara tidak langsung. Selain itu menurut Madanijah (2003) terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan penegasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik juga.
69
Tabel 28
Hubungan antara karakterisktik keluarga dangan pengetahuan ibu terhadap gizi dan kesehatan
Karakteristik Keluarga
Pengetahuan Ibu tentang Gizi dan Kesehatan Baik Kurang n % n %
p-value Total n
%
Usia Ibu < 40 tahun ≥ 40 tahun Total Usia Ayah < 40 tahun ≥ 40 tahun Total Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Bekerja Total Pekerjaan Ayah Sektor non pertanian Sektor pertanian Total Lama Pendiidkan Ibu Tinggi Rendah Total Lama Pendiidkan Ayah Tinggi Rendah Total Besar Keluarga Kecil Besar Total Pendapatan Per kapita Di atas rata-rata Di bawah rata-rata Total
0.042 32 0 32
100 0 100
106 14 120
88.3 11.7 100
138 14 152
90.8 9.2 100 0.131
26
81.3
79
65.8
105
69.1
6
18.7
41
34.7
47
30.1
32
100
120
100
152
100 0.250
27 5 32
84.4 15.6 100
88 32 120
73.3 26.7 100
115 37 152
75.7 24.3 100 0.023
26
81.3
71
59.2
97
63.8
6 32
18.7 100
49 120
40.8 100
55 152
36.2 100 0.219
4 28
12.5 87.5
6 114
5 95
10 142
6.6 93.4
32
100
120
100
152
100 0.775
5 27
15.6 84.4
16 104
13.3 86.7
21 131
13.8 86.2
32
100
120
100
152
100 0.682
19 13 32
59.4 40.6 100
77 43 120
64.2 35.8 100
96 56 152
63.2 36.8 100
19 13 32
59.4 40.6 100
54 66 120
45 55 100
73 79 152
48.0 52.0 100
0.167
Berdasarkan uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga (usia ibu, usia ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, lama pendidikan ibu, lama pendidikan ayah, besar keluarga dan pendapatan per kapita) dengan sikap ibu terhadap gizi dan kesehatan p-
70
value>0.05 (Tabel 29). Kondisi ini dimungkinkan dengan data yang homogen, dimana mayoritas sikap ibu yang mayoritas baik. Bila dilihat sikap ibu yang tergolong baik berasal dari ibu yang berada pada kelompok usia dewasa muda, ibu yang tidak bekerja dengan lama pendidikan yang relatif rendah yaitu kurang dari 9 tahun. Tabel 29
Hubungan antara karakterisktik keluarga dengan sikap ibu terhadap gizi dan kesehatan
Karakteristik Keluarga Usia Ibu < 40 tahun ≥ 40 tahun Total Usia Ayah < 40 tahun ≥ 40 tahun Total Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Bekerja Total Pekerjaan Ayah Sektor non pertanian Sektor pertanian Total Lama Pendidikan Ibu Tinggi Rendah Total Lama Pendidikan Ayah Tinggi Rendah Total Besar Keluarga Kecil Besar Total Pendapatan Per kapita Di atas rata-rata Di bawah rata-rata Total
Sikap Ibu tentang Gizi dan Kesehatan Baik Kurang n % n %
p-value Total n
% 0.446
133 13 146
91.1 8.9 100
5 1 6
83.3 16.7 100
138 14 152
90.8 9.2 100
101 45 146
69.2 30.8 100
4 2 6
66.7 33.3 100
105 47 152
69.1 30.1 100
1.000
0.634 111 35 146
76.0 24.0 100
4 2 6
66.7 33.3 100
115 37 152
75.7 24.3 100 0.668
94
64.4
3
50.0
97
63.8
52 146
35.6 100
3 6
50.0 100
55 152
36.2 100
10 136 146
68.4 93.2 100
0 6 6
0 100 100
10 142 152
6.6 93.4 100
1.000
1.000 21 125 146
14.4 85.5 100
0 6 6
0 100 100
21 131 152
13.8 86.2 100
92 54 146
63.0 37.0 100
4 2 6
66.7 33.3 100
96 56 152
63.2 36.8 100
1.000
0.683 71 75 146
48.6 51.4 100
2 4 6
33.3 88.7 100
73 79 152
48.0 52.0 100
71
Tabel 30 Hubungan antara karakterisktik keluarga dengan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan Karakteristik Keluarga Usia Ibu < 40 tahun ≥ 40 tahun Total Usia Ayah < 40 tahun ≥ 40 tahun
Praktik Ibu tentang Gizi dan Kesehatan Baik Kurang n % n %
p-value Total n
%
138 14 152
90.8 9.2 100
1.000 107 11 118
90.7 9.3 100
31 3 34
91.2 8.8 100
0.400 79 39
67.0 33.0
26 8
76.5 23.5
105 47
69.1 30.1
Total Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Bekerja
118
100
34
100
152
100
89 29
75.4 24.6
26 8
76.5 23.5
115 37
75.7 24.3
Total Pekerjaan Ayah Sektor non pertanian Sektor pertanian
118
100
34
100
152
100
Total Lama Pendidikan Ibu Tinggi Rendah Total Lama Pendidikan Ayah Tinggi Rendah Total Besar Keluarga Kecil Besar Total Pendapatan Per Kapita Di atas rata-rata Di bawah rata-rata Total
1.000
0.840 76
64.4
21
61.8
97
63.8
42 118
35.6 100
13 34
38.2 100
55 152
36.2 100 0,694
7 111
5.9 94.1
3 31
8.8 91.2
10 142
6.6 93.4
118
100
34
100
152
100 0.412
18 100 118
15.3 84.7 100
3 31 34
8.8 91.2 100
21 131 152
13.8 86.2 100 0.322
77 41 118
65.3 34.7 100
19 15 34
55.9 44.1 100
96 56 152
63.2 36.8 100 0.437
59 59 118
50 50 100
14 20 34
41.2 58.8 100
73 79 152
48.0 52.0 100
Berdasarkan uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga (usia ibu, usia ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, lama pendidikan ibu, lama pendidikan ayah, besar keluarga dan pendapatan per kapita) dengan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan pvalue>0.05 (Tabel 30). Kondisi ini dimungkinkan dengan data yang homogen, dimana mayoritas praktik ibu yang mayoritas baik. Bila dilihat praktik ibu yang tergolong baik berasal dari ibu yang berada pada kelompok usia dewasa muda,
72
ibu yang tidak bekerja dengan lama pendidikan yang relatif rendah yaitu kurang dari 9 tahun. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengetahuan ibu yang relatif rendah memiliki sikap dan praktik ibu yang tergolong baik. Ini berarti bahwa sikap dan praktik ibu yang baik tidak didasari dari pengetahuan yang baik. Notoatmodjo, (2007) menyatakan bahwa apabila penerimaan perilaku (praktik) baru melalui proses pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (berlangsung lama). Sebaliknya, apabila perilaku tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama. Jadi, pentinggnya pengetahuan menjadi dasar dalam merubah perilaku sehingga perilaku itu langgeng. Hal ini sesuai dengan penelitian Madanijah et al. (2005) yang menyatakan bahwa sikap ibu tentang gizi, kesehatan dan pengasuhan berasosiasi dengan pengetahuan ibu. Ditambahkan bahwa sikap seseorang relatif tetap, namun dapat berubah menjadi lebih baik atau kearah lebih positif sejalan dengan bertambahnya pengetahuan. Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Asupan Gizi Anak. Tingkat Kecukupan Energi. Berdasarkan Uji Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara pekerjaan ibu dengan tingkat kecukupan energi (p-value=0.045) (Tabel 31). Ini berarti bahwa dimana ibu yang tidak bekerja memiliki kesempatan lebih untuk memperhatikan tingkat kecukupan energi anak. Keberadaan ibu di rumah diyakini memiliki kontribusi yang cukup besar dalam pengasuhan anak baik dalam pola asuh makan dan pola asuh kesehatan baik. Masithah et al. (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ibu rumah tangga merupakan pelaku utama pengasuhan makan bagi balita. Ibu merupakan penentu menu makan anak sekaligus sebagai pemberi makan anak. Sesuai dengan pernyataan Satoto (1990), bahwa ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Ibu yang bekerja di luar rumah akan meningkatkan nilai sosialnya, namun pada saat yang sama ibu yang bekerja mengakibatkan menurunnya kesehatan anak-anak. Bila dilihat dari sebaran sampel yang memiliki tingkat kecukupan energi yang normal, berasal dari kelompok usia ibu dan ayah yang relatif berusia dewasa muda, dengan ayah bekerja di sektor non-pertanian dan berasal dari besar keluarga yang relatif kecil, dengan lama pendidikan ibu dan ayah yang
73
kurang dari 9 tahun, serta pendapatan per kapita yang dibawah rata-rata. Namun, untuk usia ibu, usia ayah, pekerjaan ayah, lama pendidikan ibu, lama pendidikan ayah, besar keluarga dan pendapatan per kapita tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat kecukupan energi. Hal ini sependapat dengan penelitian Sa’adiyyah (1998) dimana karakteristik keluarga seperti lama pendidikan ayah, lama pendidikan ibu, besar keluarga, dan pekerjaan ayah tidak berpengaruh terhadap tingkat kecukupan energi. Tabel 31
Hubungan antara karakteristik keluarga dengan tingkat kecukupan energi
Karakteristik Keluarga Usia Ibu < 40 tahun ≥ 40 tahun Total Usia Ayah < 40 tahun ≥ 40 tahun Total Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Bekerja Total Pekerjaan Ayah Sektor non pertanian Sektor pertanian Total Lama Pendidikan Ibu Tinggi Rendah Total Lama Pendidikan Ayah Tinggi Rendah Total Besar Keluarga Kecil Besar Total Pendapatan per Kapita Di atas rata-rata Di bawah rata-rata Total
Tingkat kecukupan Energi Normal Tidak Normal n % n %
Total n
p-value
% 0.551
47 3 50
94.0 6.0 100
91 11 102
89.2 10.7 100
138 14 152
90.8 9.2 100
37 13 50
74.0 26.0 100
68 34 102
66.7 33.3 100
105 47 152
69.1 30.1 100
0.455
0.045 43 7 50
86.0 14.0 100
72 30 102
70.6 29.4 100
115 37 152
75.7 24.3 100 0.590
30
60.0
67
65.7
97
63.8
20 50
40.0 100
35 102
34.3 100
55 152
36.2 100 0.298
5 45 50
10.0 90.0 100
5 97 102
4.9 95.1 100
10 142 152
6.6 93.4 100 0.621
8 42 50
16.0 84.0 100
13 89 102
12.7 87.3 100
21 131 152
13.8 86.2 100
36 14 50
72.0 28.0 100
60 42 102
58.8 41.2 100
96 56 152
63.2 36.8 100
24 26 50
48.0 52.0 100
49 53 102
48.0 52.0 100
73 79 152
48.0 52.0 100
0.152
1.000
74
Tingkat Kecukupan Protein. Berdasarkan Uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik keluarga (usia ibu, usia ayah, pekerjaan ibu, pekerjaan ayah, lama pendidikan ibu, lama pendidikan ayah, besar keluarga dan pendapatan per kapita) dengan tingkat kecukupan protein (p-value>0.05) (Tabel 32). Bila menggunakan α = 0.1, maka pekerjaan ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat kecukupan protein (pvalue=0.086). Tabel 32
Hubungan antara karakteristik keluarga dengan tingkat kecukupan protein
Karakteristik Keluarga Usia Ibu < 40 tahun ≥ 40 tahun Total Usia Ayah < 40 tahun ≥ 40 tahun Total Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Bekerja Total Pekerjaan Ayah Sektor non pertanian Sektor pertanian Total Lama Pendiidkan Ibu Tinggi Rendah Total Lama Pendiidkan Ayah Tinggi Rendah Total Besar Keluarga Kecil Besar Total Pendapatan per Kapita Di atas rata-rata Di bawah rata-rata Total
Tingkat kecukupan Protein Normal Tidak Normal n % n %
p-value
Total n
% 0.524
35 5 40
87.5 12,5 100
103 9 112
92.0 8.0 100
138 14 152
90.8 9.2 100
28 12 40
70 30 100
77 35 112
68.7 31.3 100
105 47 152
69.1 30.1 100
26 14 40
65 35 100
89 23 112
79.5 20.5 100
115 37 152
75.7 24.3 100
1.000
0.086
0.186 22
55
75
67.0
97
63.8
18 40
45 100
37 112
33.0 100
55 152
36.2 100
4 36 40
10 90 100
6 106 112
5.4 94.6 100
10 142 152
6.6 93.4 100
4 36 40
10 90 100
17 95 112
15.2 84.8 100
21 131 152
13.8 86.2 100
23 17 40
57.5 42.5 100
73 39 112
65.2 34.8 100
96 56 152
63.2 36.8 100
20 20 40
50 50 100
53 59 112
47.3 52.7 100
73 79 152
48.0 52.0 100
0.292
0.594
0.446
0.854
75
Kecukupan protein pada usia prasekolah merupakan suatu hal yang penting, terutama asam amino untuk membentuk struktur otak dan zat penghantar rangsangan pada sambungan sel syaraf (Soedjatmiko 2008). Oleh karena itu, peran serta orang tua, terutama ibu dalam menyiapkan makanan yang mengandung zat gizi yang dibutuhkan oleh anak sangatlah penting. Serupa halnya dengan tingkat kecukupan energi, bila dilihat dari sebaran sampel yang memiliki tingkat kecukupan protein yang normal, berasal dari kelompok usia ibu dan ayah yang relatif berusia dewasa muda, dengan ibu tidak bekerja dan ayah bekerja di sektor non-pertanian, berasal dari besar keluarga yang relatif kecil, dengan lama pendidikan ibu dan ayah yang kurang dari 9 tahun, serta pendapatan per kapita yang dibawah rata-rata. Hubungan antara Karakteristik Anak dengan Asupan Gizi Anak Tingkat Kecukupan Energi. Berdasarkan Uji Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara jenis kelamin anak dengan tingkat kecukupan energi (p-value=0.016) (Tabel 33). Sedangkan untuk usia dan berat badan lahir anak, tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat kecukupan energi. Tabel 33
Hubungan antara karakteristik anak dengan tingkat kecukupan energi
Karakteristik Anak
Tingkat kecukupan Energi Normal n
%
Total
Tidak Normal n
%
n
%
Usia anak
0.604
< 48 bulan
30
60
56
55.0
86
56.6
≥ 49 bulan
20
40
46
45.0
66
43.4
50
100
102
100
152
100
Total Jenis Kelamin
0.016
Perempuan
34
68
48
47.0
82
53.9
Laki-laki
16
32
54
53.0
70
46.1
50
100
102
100
152
100
Total Berat badan lahir
0.303
Normal
50
100
98
96.0
148
97.4
BBLR
0
0
4
4.0
4
2.6
50
100
102
100
152
100
Total
p-value
76
Sesuai dengan penelitian Sa’adiyyah (1998) yang menemukan ada pengaruh antara jenis kelamin dengan tingkat konsumsi energi. Bila dilihat dari sebaran sampel yang memiliki tingkat kecukupan energi yang normal berasal dari kelompok umur dibawah 48 bulan, dengan jenis kelamin perempuan serta memiliki berat badan lahir yang normal. Menurut Papalia, Olds, dan Fieldman (2008) dimana anak yang lebih tua usianya (di atas tiga tahun) cenderung mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang relatif lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena laju pertumbuhan pada usia ini cenderung menurun dibandingkan kelompok usia sebelumnya. Tingkat Kecukupan Protein. Berdasarkan uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik anak (usia anak, jenis kelamin, dan berat badan lahir) dengan tingkat kecukupan protein (pvalue>0.05) (Tabel 34). Bila dilihat dari sebaran sampel yang memiliki tingkat kecukupan protein yang normal berasal dari kelompok umur dibawah 48 bulan, dengan jenis kelamin laki-laki serta memiliki berat badan lahir yang normal. Berdasarkan Tabel 34, terlihat bahwa konsumsi protein yang normal terdapat pada kelompok usia dibawah 48 bulan, ini menggambarkan bahwa perhatian orang tua masih terletak pada kelompok usia lebih muda dalam keluarga. Bila terdapat 2 anak balita dalam keluarga, maka perhatian ibu akan mengarah pada anak usia yang lebih muda. Padahal usia balita masih membutuhkan asupan protein untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Tabel 34
Hubungan Antara Karakteristik Anak Dengan Tingkat Kecukupan Protein
Karakteristik Anak Usia anak < 48 bulan ≥ 49 bulan Total Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Total Berat badan lahir Normal BBLR Total
Tingkat Kecukupan Protein Normal Tidak Normal n % n %
Total n
p-value
% 0.711
24 16 40
60 40 100
62 50 112
55.4 44.6 100
86 66 152
56.6 43.4 100
19 21 40
47.5 52.5 100
63 49 112
56.3 43.7 100
82 70 152
53.9 46.1 100
0.361
0.283 38 2 40
95.0 5.0 100
110 2 112
98.2 1.8 100
148 4 152
97.4 2.6 100
77
Hubungan antara Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu dengan Asupan Gizi Anak Tingkat
Kecukupan
Energi.
Berdasarkan
hasil
Uji
Chi-Square
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan, sikap dan praktik ibu terhadap gizi dan kesehatan dengan tingkat kecukupan energi (p-value>0.05) (Tabel 35). Bila menggunakan α = 0.1, maka praktik ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat kecukupan energi (pvalue=0.077). Ini berarti bahwa praktik ibu dalam pemberian makan, jadwal makan anak dan sikap ibu dalam memberi makan anak tergolong baik sehingga tingkat kecukupan energi anak tergolong normal. Kondisi ini didukung dengan keberadaan ibu sebagai pelaku utama dalam mengasuh anak. Praktik pengasuhan ibu dipengaruhi oleh
karakteristik yang dimiliki oleh pengasuh
tersebut, diantaranya tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu (Masithah et al. 2005). Tabel 35 Hubungan antara pengetahuan, sikap dan praktik ibu dengan tingkat kecukupan energi Pengetahuan, Sikap dan Praktik Pengetahuan Baik Kurang Total Sikap Baik Kurang Total Praktik Baik Kurang Total Tingkat menunjukkan
Tingkat Kecukupan Energi Normal Tidak Normal n % n %
p-value
Total n
% 0.226
22 66 88
35.0 75.0 100
10 54 64
15.6 84.4 100
32 120 152
21.1 78.9 100
85 3 88
96.6 3.4 100
61 3 64
95.3 4.7 100
146 6 152
96.1 3.9 100
0.607
0.077 73 15 88 Kecukupan bahwa
83.0 17.0 100 Protein.
terdapat
45 19 64
70.3 29.7 100
Berdasarkan
hubungan
yang
118 34 152 hasil
positif
77.6 22.3 100 Uji
Chi-Square
signifikan
antara
pengetahuan ibu terhadap gizi dan kesehatan dengan tingkat kecukupan protein (p-value=0.051) (Tabel 36). Ini berarti bahwa pengetahuan ibu yang baik akan meningkatkan kecukupan protein anak usia prasekolah. Selain pengetahuan, dibutuhkan juga sikap dan praktik ibu terhapad gizi dan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik akan mendorong ibu untuk mempraktikkan pemberian makan yang
78
baik bagi anak-anaknya (Khomsan et al. 2009). Namun pada penelitian ini tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat kecukupan protein (pvalue>0.05). Tabel 36
Hubungan antara pengetahuan, sikap dan praktik ibu dengan tingkat kecukupan protein
Pengetahuan, Sikap dan Praktik Pengetahuan Baik Kurang Total Sikap Baik Kurang Total Praktik Baik Kurang Total
Tingkat Kecukupan Protein Normal Tidak Normal n % n %
p-value
Total n
% 0.051
27 78 105
25.7 74.3 100
5 42 47
10.6 89.4 100
32 120 152
21.1 78.9 100
101 4 105
96.2 3.8 100
45 2 47
95.7 4.3 100
146 6 152
96.1 3.9 100
85 20 105
81.0 19.0 100
33 14 47
70.2 29.8 100
118 34 152
77.6 22.3 100
1.000
0.147
Hubungan antara Asupan Gizi Anak dengan Status Gizi Anak. Tingkat
Kecukupan
Energi.
Berdasarkan
hasil
Uji
Chi-Square
menujukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi (indeks BB/U, Indeks TB/U dan Indeks BB/TB) (pvalue>0.05) (Tabel 37). Hal ini dikarenakan sebaran dari sampel yang relatif homogen. Secara teori, bahwa tingkat kecukupan energi merupakan faktor penyebab langsung status gizi seseorang. Tabel 37 Hubungan tingkat kecukupan energi dengan status gizi anak Status Gizi Indeks BB/U Normal Tidak Normal Total Indeks TB/U Normal Pendek Total Indeks BB/TB Normal Tidak Normal Total
Tingkat kecukupan Energi Normal Tidak Normal n % n %
p-value
Total n
% 0.327
34 16 50
68.0 32.0 100
78 24 102
76.5 23.5 100
112 40 152
73.7 26.3 100
31 19 50
62.0 38.0
68 34 102
66.7 33.3 100
99 53 152
65.1 34.9 100
0.591
0.480 44 6 50
88.0 12.0 100
84 18 102
82.4 17.6 100
128 24 152
84.2 15.8 100
79
Tingkat
Kecukupan
Protein.
Berdasarkan
hasil
Uji
Chi-Square
menujukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi (indeks BB/U, Indeks TB/U dan Indeks BB/TB) (pvalue>0.05) (Tabel 38). Berbeda halnya dengan penelitian Walimah (2007) yang menemukan terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi engan indeks BB/U, PB/U dan BB/PB pada 100 bayi. Tabel 38 Hubungan tingkat kecukupan protein dengan status gizi anak
Status Gizi Indeks BB/U Normal Tidak Normal Total Indeks TB/U Normal Pendek Total Indeks BB/TB Normal Tidak Normal Total
Tingkat Kecukupan Protein Normal Tidak Normal n % n %
Total n
p-value
% 0.537
28 12 40
70.0 30.0 100
84 28 112
75.0 25.0 100
112 40 152
73.7 26.3 100 0.334
29 11 40
72.5 27.5 100
70 42 112
62.5 37.5 100
99 53 152
65.1 34.9 100 1.000
34 6 40
85.0 15.0 100
94 18 112
83.9 16.1 100
128 24 152
84.2 15.8 100
Pada penelitian ini belum terlihat adanya hubungan yang signifikan antara asupan dengan status gizi. Ini disebabkan kondisi sampel yang cenderung homogen sehingga secara statistik tidak terlihat signifikansi antar variabel tersebut. Namun, berdasarkan kerangka UNICEF, telah diketahui secara jelas bahwa asupan memiliki korelasi yang langsung terhadap status gizi seseorang. Selain asupan, ada faktor penyebab langsung status gizi yaitu, status kesehatan atau kondisi adanya infeksi yang terjadi. Menurut Florence, Asbridge dan Veugelers (2008) menyatakan bahwa ditemukan adannya hubungan antara kualitas makanan dengan performa akademik anak sekolah. Siswa yang memiliki kualitas makanan yang kurang secara signifikan akan menghasilkan nilai yang buruk. Dari kondisi tersebut maka mekanisme dari asupan akan berkolerasi dengan status gizi yang kemudian akan meningkatkan perkembangan kognitif anak bila disertai dengan stimulasi yang pas pada kelompok umurnya.
80
Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Pola Asuh Lingkungan Secara keseluruhan, hasil Uji Chi-Square bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara usia ayah (p-value=0.060), pekerjaan ayah (pvalue=0.002), lama pendidikan ibu (p-value=0.051), lama pendidikan ayah (pvalue=0.009), besar keluarga (p-value=0.000) dan pendapatan per kapita (pvalue=0.007) dengan pola asuh lingkungan (Tabel 39). Sedangkan usia ibu dan pekerjaan ibu tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan pola asuh lingkungan. Tabel 39 Hubungan antara karakteristik keluarga dengan pola asuh lingkungan Karakteristik Keluarga Usia Ibu < 40 tahun ≥ 40 tahun Total Usia Ayah < 40 tahun ≥ 40 tahun Total Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Bekerja Total Pekerjaan Ayah Sektor non pertanian Sektor pertanian Total Lama Pendidikan Ibu Tinggi Rendah Total Lama Pendidikan Ayah Tinggi Rendah Total Besar Keluarga Kecil Besar Total Pendapatan per Kapita Di atas rata-rata Di bawah rata-rata Total
Pola asuh Lingkungan Baik Kurang n % n %
Total n
%
p-value
1.000 32 3 35
91.4 8.6 100
106 11 117
90.6 9.4 100
138 14 152
90.8 9.2 100
29 6 35
82.9 17.1 100
76 41 117
65.0 35.0 100
105 47 152
69.1 30.1 100
30 5 35
85.7 14.3 100
85 32 117
72.6 27.4 100
115 37 152
75.7 24.3 100
30 5 35
85.7 14.3 100
67 50 117
57.3 42.7 100
97 55 152
63.8 36.2 100
0.060
0.177
0.002
0.051 5 30 35
14.3 85.7 100
5 112 117
4.3 95.7 100
10 142 152
6.6 93.4 100 0.009
10 25 35
28.6 71.4 100
11 106 117
9.4 90.6 100
21 131 152
13.8 86.2 100
31 4 35
88.6 11.4 100
65 52 117
55.6 44.4 100
96 56 152
63.2 36.8 100
24 11 35
68.6 31.4 100
49 68 117
41.8 58.2 100
73 79 152
48.0 52.0 100
0.000
0.007
81
Ini berarti bahwa kondisi usia ayah yang relatif muda akan memberikan pola asuh lingkungan kepada anak lebih baik dari pada usia ayah yang sudah semakin tua. Ini terlihat dari sebaran anak yang memiliki pola asuh lingkungan yang baik berasal dari kelompok ayah yang berusia di bawah 40 tahun. Usia ayah yang produktif tersebut akan mendukung dalam bentuk pendapatan keluarga. Meningkatnya pendapatan per kapita keluarga akan memungkinkan untuk anak memiliki fasilitas belajar yang dibutuhkan. Selain itu, pekerjaan ayah juga memiliki hubungan dengan pola asuh lingkungan anak. Anak yang memiliki pola asuh lingkungan yang baik sebagian besar berasal dari ayah yang bekerja disektor non pertanian, yang memiliki pendapatan yang lebih baik dari pada ayah yang bekerja disektor pertanian. Pendidikan orang tua juga memiliki hubungan dengan pola asuh lingkungan yang akan diberikan kepada anak. Orang tua yang memiliki tingkat lama pendidikan yang tinggi akan memberikan pola asuh lingkungan yang baik kepada anak. Pola asuh yang diberikan akan lebih optimal dengan memberikan stimulasi yang baik pula pada anak. Selain itu, besar jumlah anggota keluarga berhubungan dengan pola asuh lingkungan yang diberikan, bila jumlah besar keluarga meningkat maka akan menurunkan pola asuh lingkungan anak usia prasekolah. Karena jumlah keluarga yang semakin besar akan mengurangi perhatian dan kedekatan ibu terhadap anak usia sekolah. Hubungan antara Pola Asuh Lingkungan dengan Perkembangan Kognitif Anak Berdasarkan hasil Uji Chi-Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif sgnifikan antara pola asuh lingkungan dengan perkembangan kognitif (p-value=0.038) (Tabel 40). Ini berarti semakin baik pola asuh yang diberikan kepada anak maka akan meningkatkan perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Ini sejalan dengan hasil penelitian Hastuti et al. (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara stimulasi psikososial
(pola
asuh
lingkungan)
dengan
perkembangan
kognitif
(p-
value=0.000). Ini berarti bahwa anak yang yang menerima stimulasi psikososial yang optimal akan memiliki perkembangan kognitif yang baik dan optimal. Penelitian Sunarti (2008) pada 500 wanita pemetik teh yang memiliki anak dibawah usia enam tahun dengan menggunakan instrument Caldwell & Bradley (1984) menemukan bahwa dengan semakin banyak stimulasi yang diberikan maka anak akan dengan lebih mudah mencapai prestasi perkembangannya.
82
Tabel 40 Hubungan antara pola asuh lingkungan dengan perkembangan kognitif anak Pola Asuh Lingkungan
Perkembangan Kognitif Baik Kurang n % n %
p-value
Total n
% 0.038
Baik Kurang Total
13 22 35
37.1 62.9 100
22 95 117
18.8 81.2 100
35 117 152
23.0 77.0 100
Tabel 41 Hubungan antara pola asuh lingkungan dengan perkembangan kognitif anak Perkembangan Kognitif Pola Asuh Lingkungan Stimulasi Belajar Baik Kurang Total Stimulasi Bahasa Baik Kurang Total Lingkungan Fisik Baik Kurang Total Kehangatan dan penerimaan Baik Kurang Total Stimulasi akademik Baik Kurang Total Modeling Baik Kurang Total Variasi Stimulasi Baik Kurang Total Hukuman Baik Kurang Total
Baik
Total
Kurang
p-value
n
%
n
%
n
%
2 33 35
5.7 94.3 100
0 117 117
0 100 100
2 150 152
1.3 98.7 100
34 1 35
97.1 2.9 100
111 6 117
94.9 5.1 100
145 7 152
95.4 4.6 100
20 15 35
57.1 42.9 100
73 44 117
62.4 37.6 100
93 59 152
61.2 38.8 100
29 6 35
82.9 17.1 100
75 42 117
64.1 35.9 100
104 48 152
68.4 31.6 100
28 7 35
80 20 100
60 57 117
51.3 48.7 100
88 64 152
57.9 42.1 100
14 21 35
40 60 100
25 92 117
21.4 78.6 100
39 113 152
25.7 74.3 100
2 33 35
5.7 94.3 100
5 112 117
4.3 95.7 100
7 145 152
4.6 95.4 100
34 1 35
97.1 2.9 100
112 5 117
95.7 4.3 100
146 6 152
96.0 4.0 100
0.052
1.000
0.693
0.040
0.003
0.045
0.661
1.000
83
Secara subskala, dari delapan subskala pola asuh lingkungan (HOME) hanya empat subskala yang memiliki hubungan yang positif signifikan dengan perkembangan kognitif (Tabel 41), yaitu subskala stimulasi belajar, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik dan modeling. Subskala stimulasi belajar adalah stimulasi yang diberikan orang tua atau pengasuh berupa sarana dan prasarana
yang
mendukung
anak
untuk
meningkatkan
perkembangan
kognitifnya. Stimulasi belajar yang mendukung perkembangan kognitif meliputi, kepemilikan mainan (tentang warna, bentuk dan ukuran), kepemilikan mainan yang memiliki peraturan, kepemilikan mainan bebas ekspresi, mainan melatih gerak tangan halus, mainan belajar angka, kepemilikan buku anak dan buku keluarga. Oleh karena itu, dengan ketersedian sarana dan prasarana yang menunjang stimulasi belajar anak, maka akan meningkatkan perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Hal ini sejalan dengan penelitian ini bahwa dengan semakin baik stimulasi belajar, maka secara signifikan akan lebih baik perkembangan kognitifnya (p-value=0.052). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin baik kehangatan dan penerimaan keluarga terhadap anak, maka secara signifikan akan lebih baik perkembangan kognitif anak (p-value=0.040). Subskala kehangatan dan penerimaan disini berarti adanya kondisi dimana ibu sebagai pengasuh dapat menjawab pertanyaan atau permintaan anak dengan kata-kata yang baik, memberikan
pujian,
memberikan
sentuhan
berupa
ciuman,
belaian,
menggendong ataupun rangkulan kepada anak dan menanggapi saat anak berbicara. Sesuai dengan konteks kehangatan dan penerimaan ini Soetjiningsih (1995) menyatakan bahwa cinta kasih orang tua merupakan perpaduan dari cinta ayah dan cinta ibu. Cinta ibu sifatnya memberikan kehangatan, menumbuhkan rasa diterima, dan menanamkan rasa aman. Sedangkan cinta ayah bersifat mengembangkan kepribadian, menanamkan kedisiplinan dan memberikan dorongan serta arahan. Oleh karena itu, cinta dan kasih sayang dalam keluarga berfungsi menjaga keharmonisan rumah tangga dan merupakan media yang baik bagi tumbuh kembang anak dan dapat meningkatkan daya kreativitas dalam berkarya dan produktivitas. Komunikasi antara anak dan orang tua yang dilandasi kasih sayang secara timbal balik, akan memberikan keharmonisan dalam keluarga, yang dapat memberikan dampak positif kepada pengembangan watak anak. Intensitas hubungan kasih sayang yang timbal balik ini lebih penting dibandingkan dengan kontak lama tetapi tidak ada komunikasi timbal balik.
84
Kemudian Hurlock (1998) menambahkan keinginan untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu akan mempengaruhi sikap penerimaan orang tua dan keluarga terhadap anak, yang selanjutnya berpengaruh juga pada perilaku dan hubungan mereka dengan anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa stimulasi akademik yang lebih baik maka akan secara signifikan meningkatkan perkembangan kognitif anak (pvalue=0.003). Stimulasi akademik yang digali disini meliputi anak diajari tentang warna, menyanyi, pengertian ruang atau dimensi, diajari tentang angka, dan diajari membaca kata-kata sederhana. Pemberian stimulasi akademik oleh orang tua atau pengasuh akan meningkatkan perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Dengan status pekerjaan ibu sebagai ibu rumah tangga maka ibu semakin memiliki waktu yang banyak di rumah, sehingga stimulasi akademik yang diberikan juga semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Satoto (1990) bahwa faktor ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Lebih lanjut dapat dilihat bahwa modeling memiliki hubungan yang positif signifikan dengan perkembangan kognitif (p-value=0.045). Konsep modeling yang diamati dalam penelitian ini berkaitan dengan perilaku ibu dalam menerapkan kebiasaan tertentu, meliputi anak mampu menggunaan waktu dengan semestinya, anak dapat menunjukkan kekecewaan dan kemarahannya tanpa dibalas kemarahan dari ibunya, dan anak dapat memukul ibunya tanpa dibalas dengan pukulan yang sama kerasnya. Menurut Jalal (2009) bahwa jumlah dan kualitas interaksi yang dimiliki anak seperti interaksi dengan keluarga dan temen-teman sebayanya juga berdampak pada perkembangan anak. Ini berarti bahwa semakin besar jumlah keluarga, maka semakin berkurang subskala modeling yang diterima oleh anak usia prasekolah dari keluarga terutama orang tua. Semakin besar jumlah keluarga maka perhatian dan sikap orang tua terhadap anak akan berkurang, sehingga modeling orang tua semakin sedikit diterima anak. Kemudian Turner & Helms (1991) menyatakan bahwa anak pada masa prasekolah juga sudah mulai dapat melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku. Anak akan memperlihatkan tingkah laku yang sama seperti tingkah laku yang diperlihatkan oleh orang lain pada waktu yang sudah lewat. Anak tidak langsung meniru model tingkah laku,
85
melainkan
mengamati,
menyimpan
dan
pada
suatu
saat
yang
akan
memperlihatkan kembali. Sedangkan untuk subskala yang lain, seperti stimulasi bahasa, lingkungan fisik, variasi stimulasi kepada anak dan hukuman pada penelitian ini belum menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Beberapa penelitian menemukan bahwa peran dari setiap subskala yang ada memiliki kontribusi yang beragam terhadap perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Penelitian Waber et al. (1981) menemukan pada 433 keluarga di Colombia bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu terhadap perkembangan bahasa anak balita dari keluarga yang beresiko gizi buruk (p=0.049). Subskala variasi stimulasi merupakan kombinasi antara penyediaan sarana dan prasarana serta peran aktif orang tua dalam merangsang perkembangan kognitif anak. Monks et al. (1999) menyatakan bahwa kemampuan kognitif dapat dirangsang dengan berbagai macam kegiatan yang diselenggarakan di sekolah. Semakin tinggi rangsangan yang diberikan, maka kemampuan kognitif sampel akan semakin baik. Ini sejalan dengan pernyataan Sudjarwo (2009) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan dan kesanggupan orang tua dalam pendidikan, pengasuhan, dan perawatan bagi anak usia dini maka semakin memungkinkan bagi orang tua untuk dapat melakukan stimulasi yang konstruktif dan bervariatif yang akan mempercepat perkembangan kecerdasan dan pertumbuhan kebugaran anak. Subskala lingkungan fisik disini berarti keadaan rumah yang termasuk didalamnya adalah kepadatan rumah, kebersihan rumah, keamanan rumah dari bahaya, tempat bermain anak, serta keadaan rumah (cahaya dan ventilasi). Menurut Syarief (1997) keluarga miskin memiliki berbagai keterbatasan baik itu terbatasnya pilihan dan kesempatan, maupun peluang untuk memperbaiki taraf hidup dan kualitas kehidupannya yang baik bagi anaknya. Subskala hukuman yang dimaksud berupa pujian dan hukuman fisik atau hukuman verbal. Hukuman merupakan cara orang tua untuk menunjukkan kasih sayangnya.
Hukuman
harus
diberikan
secara
obyektif,
bukan
untuk
melampiaskan kebencian dan kejengkelan terhadap anak. Sebaliknya kalau seorang anak berbuat benar, maka wajib memberikan ganjaran, misalnya dengan pujian, ciuman, tepuk tangan, dll. Oleh karena itu, mereka tahu mana yang baik dan tidak baik, mana yang benar dan salah, dan dapat memberikan
86
rasa percaya diri pada anak yang penting untuk perkembangan kepribadiannya (Soetjiningsih, 1995). Hubungan antara Status Gizi dan Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah Tabel 42 memperlihatkan bahwa anak dengan status gizi normal memiliki perkembangan kognitif yang lebih baik daripada anak yang status gizinya tidak normal. Berdasarkan hasil Uji Chi-Square menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara status gizi indeks BB/U dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah (p-value=0.028) (Tabel 42). Bila mengunakan α=0.1 maka, status gizi dengan indeks BB/TB memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Hasil penelitian Waber et al. (1981) pada 433 keluarga yang beresiko gizi buruk, dilakukan pemberian suplementasi gizi pada anak bayi berusia enam bulan hingga tiga tahun menunjukkan adanya hubungan yang signifikan pada perkembangan kognitif anak (p-value<0.05). Selain itu penelitian Nwuga (1977) pada anak-anak usia sekolah yang menderita kwashiorkor di Nigeria, ditemukan bahwa anak yang menderita kwashiorkor berat pada usia 3 tahun pertama akan menunjukkan penurunan yang sangat besar untuk keterampilan kognitifnya. Kondisi status kwashiokor berat memiliki efek jangka panjang terhadap memori jangka pendek, penalaran logis, serta pemikiran analisisnya. Tabel 42 Hubungan antara status gizi dan perkembangan kognitif anak usia prasekolah Perkembangan Kognitif Total p-value Status Gizi Baik Kurang n % n % n % Indeks BB/U 0.028 Normal 31 88.6 81 69.2 112 73.7 Tidak Normal 4 11.4 36 30.8 40 26.3 Total Indeks TB/U Normal Pendek Total Indeks BB/TB Normal Tidak Normal Total
35
100
117
100
152
100 0.229
26 9 35
74.3 25.7 100
73 44 117
62.4 37.6 100
99 53 152
65.1 34.9 100 0.069
33 2 35
94.3 5.7 100
95 22 117
81.2 18.8 100
128 24 152
84.2 15.8 100
87
Namun pada penelitian ini untuk status gizi dengan indeks TB/U tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah. Hal ini dikarenakan secara keseluruhan sampel yang memiliki status gizi dengan indeks TB/U relatif normal sebesar 65.1%. Oleh karena itu, tidak terlihat hubungan dari status gizi dengan indek TB/U dengan perkembangan kognitif. Jika dilihat dari status gizi sampel yang berkategori pendek lebih banyak (44 orang) memiliki perkembangan kognitif yang kurang dibandingkan yang memiliki perkembangan kognitif yang baik (9 orang). Penelitian Walka dan Pollit (2000) menemukan tinggi badan berhubungan signifikan dengan perkembangan motorik anak. Penelitian Bryan et al. (2004) menyatakan bahwa ada korelasi antara kondisi Kurang Energi Protein (KEP) dengan perkembangan kognitif. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa stunting pada awal kehidupan memiliki korelasi dengan skor IQ dan prestasi sekolah pada awal usia 8-9 tahun sampai 15 tahun. Hubungan antara Keikutsertaan PAUD dan Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah Berdasarkan hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara keikutsertaan dalam PAUD dengan perkembangan kognitif anak (p-value>0.05) (Tabel 43). Namun, bila dengan α=0.1, maka terlihat ada hubungan yang positif signifikan antara keikutsertaan dalam PAUD dengan perkembangan kognitif anak (p-value=0.076). Hal ini dapat terjadi karena faktor variasi waktu atau durasi anak menerima pendidikan dari PAUD yang berbeda. Pada penelitian ini anak yang menerima pendidikan dari PAUD mulai dari kurang satu bulan hingga 24 bulan. Anak yang menerima pendidikan kurang dari satu bulan hanya memiliki rata-rata skor kognitif 47.5% dengan kategori kurang dan anak yang menerima pendidikan 24 bulan memiliki rata-rata skor kognitif 79.5% dengan kategori baik. Ini dapat menggambarkan bahwa dengan pendidikan sedini mungkin untuk anak akan meningkatkan perkembangan kognitif anak. Martini (2006) menyatakan bahwa pendidikan harus sudah dimulai sejak dini supaya tidak terlambat, sehingga penting bagi anak untuk mendapatkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
88
Tabel 43
Hubungan antara keikutsertaan PAUD dan perkembangan kognitif anak usia prasekolah
Keikutseraan dalam PAUD
Perkembangan Kognitif Baik Kurang n % n %
p-value
Total n
% 0.076
PAUD Non PAUD Total
10 25 35
28.6 71.4 100
17 100 117
14.5 85.5 100
27 125 152
17.8 82.2 100
Hubungan Antara Genetik dengan Perkembangan Kognitif Faktor genetik anak pada penelitian ini didekati dengan lama pendidikan ibu dan berat badan lahir. Berdasarkan hasil Uji Chi-Square menunjukkan bahwa penelitian ini tidak terdapat adanya hubungan yang signifikan antara lama pendidikan ibu dan berat badan lahir anak dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah (p-value>0.05) (Tabel 44). Kondisi tidak terdapatnya hubungan antara
genetik (lama pendidikan
ibu
dan berat badan
lahir) dengan
perkembangan kognitif disebabkan kondisi responden dan sampel yang homogen, yaitu 93.4% responden memiliki lama pendidikan kurang dari 9 tahun dan sebanyak 97.4% sampel memiliki berat badan lahir normal. Oleh karena itu, lama pendidikan ibu dan berat badan lahir anak secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan. Berdasarkan penelitian terdahulu,
terdapat hubungan antara lama
pendidikan dan berat badan lahir dengan perkembangan kognitif. Hasil penelitian Schady (2011) yang dilakukan pada 2118 anak di daerah pedesaan Ecuador secara longoitudinal-cohort, bahwa pendidikan orang tua memiliki hubungan yang kuat dengan perkembangan kognitif. Hack et al. (1991) menyatakan bahwa berat badan lahir rendah (BBLR) berhubungan dengan fungsi kognitif yang rendah, prestasi akademik dan tingkah laku pada anak usia delapan tahun. Penelitian lain juga menyatakan bahwa berat lahir menunjukan hubungan yang signifikan dengan hasil perkembangan anak di Amerika Serikat (Boardman et al. 2002). Kemudian Gorman (2002) menyatakan hal yang sama bahwa ditemukan adanya hubungan yang signifikan positif antara berat lahir rendah dan kemampuan verbal pada remaja usia usia 12-17 tahun di Amerika Serikat. Hasil penelitaian Welsch dan Zimmer (2010) menyatakan hal yang serupa, bahwa berat badan lahir signifikan akan mempengaruhi kognitif pada masa kecil.
89
Tabel 44 Hubungan antara genetik dengan perkembangan kognitif Genetik Lama Pendidikan Ibu Tinggi Rendah Total Berat Badan Lahir Normal BBLR Total
Perkembangan Kognitif Baik Kurang n % n %
p-value
Total n
% 0.240
4 31 35
11.4 88.5 100
6 111 117
5.1 94.9 100
10 142 152
6.6 93.4 100 1.000
34 1 35
97.1 2.9 100
114 3 117
97.4 2.6 100
148 4 152
97.4 2.6 100
Walaupun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama pendidikan ibu
dan perkembangan
kognitif
anak usia prasekolah,
namun
terlihat
kecenderungan bahwa anak yang lama pendidikan ibunya kurang dari 9 tahun (rata-rata 6 tahun) memiliki skor kognitif lebih rendah (50.36%) dari pada anak yang lama pendidikan ibunya lebih dari 9 tahun (rata-rata 9.4 tahun) memiliki skor kognitif sebesar 59.53%. Oleh karena itu, penting diketahui bahwa menjadi seorang ibu harus cerdas dan memiliki rasa keingintahuan yang besar, supaya kelak anak-anak memiliki kecerdasan yang optimal serta peran dari faktor lingkungan harus mendukung perkembangan anak. untuk menjalankan peran pengasuhan yang berkaitan dengan pemberian stimulasi kepada anak bukan sesuatu yang didapatkan secara otomatis dan berdasarkan naluri namun merupakan rangkaian dari pengetahuan, pengalaman, keahlian yang diperoleh dan dipelajari. Rendahnya pendidikan ibu akan mempengaruhi rendahnya kualitas pemberian stimulasi atau rangsangan-rangsangan kognitif anak, sehingga akan berdampak pada rendahnya perkembangan kognitif anak. Kemudian jika dilihat sebaran sampel antara berat badan lahir dan perkembangan kognitif anak usia prasekolah, terlihat dari anak yang berat badan lahir rendah (<2500 gram) memiliki skor kognitif lebih tinggi (57.75%) dari anak yang berat badan lahirnya normal (≥2500 gram) memiliki skor kognitif sebesar 54.13%. Hal ini dapat terjadi bila anak yang memiliki berat badan rendah tersebut memiliki
faktor
lingkungan
yang
mendukung
pertumbuhan
dan
perkembangannya terutama pada 1000 hari kelahiran pertama, seperti ASI ekslusif dan pemantauan berat badan setiap bulannya. Bila ditelusuri bahwa anak yang BBLR tersebut mendapatkan tingkat kecukupan energi dengan rata-
90
rata 101.5%, dan tingkat kecukupan protein dengan rata-rata 132.25%. Selain itu mereka berasal dari ayah dan ibu yang rata-rata lama pendidikannya 8.25 tahun. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa anak yang BBLR tersebut telah mendapatkan faktor lingkungan yang mendukung, sehingga perkembangan kognitifnya tidak kalah baik jika dibandingkan dengan anak yang berat badan lahirnya normal. Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Asupan Zat Gizi Anak Usia Prasekolah Tingkat Kecukupan Energi. Setelah
diketahui
faktor-faktor
yang
berhubungan
dengan
tingkat
kecukupan energi anak usia prasekolah, yaitu pekerjaan ibu (p-value=0.045), dan jenis kelamin (p-value=0.016), maka kemudian dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama variabel bebas terhadap variabel terikat (karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan, sikap dan praktik ibu) dengan menggunakan uji regrasi logistik berganda. Hasil uji regresi logistik berganda menunjukkan bahwa faktor jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kecukupan energi anak usia prasekolah (p-value=0.027) (Tabel 45). Nilai RO untuk faktor jenis kelamin adalah 0.418 (95% CI=0.194-0.904), dimana jenis kelamin merupakan faktor pencegah tingkat kecukupan energi yang tidak normal pada anak usia prasekolah. Hal ini berarti bahwa anak usia prasekolah yang berjenis kelamin laki-laki memiliki kecenderungan beresiko 0.418 kali lebih kecil untuk memiliki tingkat kecukupan energi yang tidak normal dibandingkan anak yang berjenis kelamin perempuan. Jika kekurangan energi ini berlangsung relatif lama, maka akan berdampak pada status gizi anak. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa sampel laki-laki yang berstatus gizi pendek lebih sedikit (32.9%) dibandingkan sampel perempuan (36.6%). Sebaliknya jika status gizi berdasarkan indeks BB/U, ternyata prevalensi status gizi yang tidak normal pada laki-laki (28.6%) adalah lebih besar dibandingkan perempuan, yaitu (24.4%). Hal ini diduga karena status gizi berdasarkan indeks BB/U menggambarkan status gizi saat ini. Untuk status gizi berdasarkan indeks BB/TB, prevalensi status gizi yang tidak normal pada laki-laki (15.7%) dan perempuan (15.9%) hampir sama.
91
Tabel 45
Hasil uji regresi logistik yang berpengaruh terhadap tingkat kecukupan energi anak usia prasekolah
Variabel Konstanta Jenis Kelamin Usia Anak (bulan) Berat Badan Lahir Usia Ibu Usia Ayah Lama Pendidikan Ibu Lama Pendidikan Ayah Besar Keluarga Pendapatan per Kapita Pengetahuan Ibu Sikap Ibu Praktik ibu
Faktor Resiko Perempuan Laki-laki 36-48 bulan 49-60 bulan Normal BBLR 20-40 tahun 40-65 tahun 20-40 tahun 40-65 tahun Rendah (≤ 9 tahun) Tinggi (>9 tahun) Rendah (≤ 9 tahun) Tinggi (>9 tahun) Kecil Besar Dibawah rata-rata Diatas rata-rata Baik Kurang Baik Kurang Baik Kurang
B 7.981E9
Sig. 0.999
CI 95%
0.418
0.027
0.194-0.904
0.854
0.680
0.403-1.811
0.000
0.999
0.000-0.
1.646
0.521
0.359-7.544
1.246
0.655
0.475-3.273
0.367
0.183
0.084-1.606
0.859
0.781
0.294-2.509
0.831
0.660
0.363-1.899
1.179
0.700
0.510-2.722
1.117
0.815
0.443-2.814
0.555
0.625
0.052-5.879
0.452
0.114
0.169-1.209
Tingkat Kecukupan Protein. Setelah
diketahui
faktor-faktor
yang
berhubungan
dengan
tingkat
kecukupan protein anak usia prasekolah, yaitu pengetahuan ibu (p-value=0.051), maka kemudian dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama variabel bebas terhadap variabel terikat (karakteristik keluarga, karakteristik anak, pengetahuan, sikap dan praktik ibu) dengan menggunakan uji regrasi logistik berganda. Hasil uji regresi logistik berganda menunjukkan bahwa faktor pekerjaan ibu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kecukupan protein anak usia prasekolah (p-value=0.046) (Tabel 46). Nilai RO untuk faktor pekerjaan ibu adalah 2.531 (95% CI=1.016-6.307), dimana ibu yang bekerja merupakan faktor resiko untuk tingkat kecukupan protein yang tidak normal pada anak usia prasekolah. Hal ini berarti bahwa anak usia prasekolah yang ibunya bekerja memiliki kecenderungan beresiko 2.531 kali untuk memiliki tingkat kecukupan protein yang tidak normal dibandingkan anak yang ibunya
92
tidak bekerja. Ibu yang tidak bekerja pada umumnya memiliki waktu yang relatif leluasa dalam menyiapkan dan memberikan makan pada anak, sehingga asupan protein baik. Tabel 46
Hasil uji regresi logistik yang berpengaruh terhadap tingkat kecukupan protein anak usia prasekolah
Variabel Konstanta
Faktor Resiko
Jenis Kelamin
Perempuan Laki-laki 36-48 bulan 49-60 bulan Normal BBLR 20-40 tahun 40-65 tahun 20-40 tahun 40-65 tahun Rendah (≤ 9 tahun) Tinggi (>9 tahun) Rendah (≤ 9 tahun) Tinggi (>9 tahun) Kecil Besar Tidak bekerja Bekerja Sektor non pertanian Sektor pertanian Dibawah rata-rata Diatas rata-rata Baik Kurang Baik Kurang Baik Kurang
Usia Anak (bulan) Berat Badan Lahir Usia Ibu Usia Ayah Lama Pendidikan Ibu Lama Pendidikan Ayah Besar Keluarga Pekerjaan Ibu Pekerjaan Ayah Pendapatan Per Kapita Pengetahuan Ibu Sikap Ibu Praktik ibu
B
Sig.
CI 95%
2.250E8
0.999
1.364
0.453
0.607-3.066
0.730
0.446
0.326-1.639
7.753
0.112
0.620-96.961
0.491
0.339
0.114-2.111
2.377
0.137
0.760-7.437
0.417
0.244
0.096-1.815
1.604
0.466
0.450-5.712
1.354
0.485
0.579-3.165
2.531
0.046
1.016-6.307
2.432
0.077
0.909-6.507
0.614
0.303
0.243-1.554
1.124
0.817
0.419-3.016
0.000
0.999
0.000-0.
0.257
0.485
0.257-1.906
Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Perkembangan Kognitif Anak Usia Prasekolah Setelah diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah, yaitu pola asuh lingkungan (p-value=0.038) dan status gizi berdasarkan indeks BB/U (p-value=0.028), maka kemudian dilakukan analisis multivariat. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama variabel bebas terhadap variabel terikat (pola asuh lingkungan, status gizi, keikutsertaan PAUD dan genetik) dengan menggunakan uji regrasi logistik berganda. Hasil uji regresi logistik berganda menunjukkan bahwa faktor pola asuh lingkungan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kognitif
93
(p-value=0.029) (Tabel 47). Nilai RO untuk faktor pola asuh lingkungan adalah 0.328 (95% CI=0.121-0.892), dimana pola asuh lingkungan merupakan faktor pencegah perkembangan kognitif yang kurang pada anak usia prasekolah. Hal ini berarti bahwa anak usia prasekolah yang mempunyai pola asuh lingkungan yang baik memiliki kecenderungan beresiko 0.328 kali lebih kecil untuk memiliki perkembangan kognitif yang kurang dibandingkan anak usia prasekolah yang mempunyai pola asuh lingkungan yang kurang. Tabel 47
Hasil uji regresi logistik berganda terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak usia prasekolah
Variabel
Faktor Risiko
Pola Asuh Lingkungan
Baik
Indeks BB/U
Normal
B
Sig.
95% CI
0.328
0.029
0.121-0.892
0.271
0.088
0.061-1.215
0.869
0.775
0.333-2.271
0.352
0.250
0.060-2.085
0.610
0.349
0.217-1.717
0.318
0.147
0.068-1.496
3.321
0.356
0.259-42.545
13.364
0.055
Kurang Tidak Normal
Indeks TB/U
Normal Pendek
Indeks BB/TB
Normal Tidak Normal
Keikutsertaan PAUD
PAUD
Lama Pendidikan Ibu
Tinggi (> 9 Tahun)
Berat Badan Lahir
Normal
Non PAUD Rendah (≤ 9 Tahun) BBLR
Konstanta
Meningkatnya perkembangan kognitif anak yang dipengaruhi oleh pola asuh lingkungan ini sesuai dengan penelitian Salimar (2010) pada anak usia 2-5 tahun pada keluarga miskin di kabupaten Bogor. Dengan uji statistik regresi linier, penelitiannya menemukan bahwa bila terjadi kenaikan satu poin pola asuh lingkungan akan meningkatkan 0.558 poin perkembangan kognitif anak. Begitu pula penelitian Hastuti et al. (2010) menemukan bahwa pengaruh stimulasi psikososial akan meningkatkan perkembangan kognitif anak sebesar 0.512 poin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terlihatnya pengaruh status gizi (indek BB/U, TB/U dan BB/TB) dengan perkembangan kognitif. Hal ini diduga karena sebagian besar (lebih dari 65%) sampel mempunyai status gizi normal.
94
Namun penelitian Martin (1973) menyatakan bahwa kondisi dengan status gizi kurang akan berpengaruh terhadap kemampuan belajar anak. Selain itu, infeksi yang terjadi pada anak yang terkena gizi buruk akan memperparah perkembangan kognitif anak tersebut. Kemudian penelitian Grantham-Mc Gregor et al. (1997) pada 129 anak baduta stunting di Jamaica, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara pemberian stimulasi dini selama 4 tahun, jenis kelamin anak, usia anak, dan kosakata ibu terhadap skor motorik untuk kelompok anak stunting (p-value <0.05). Kondisi kurang gizi akan menyebabkan gangguan pertumbuhan yang kemudian akan berpengaruh terhadap perilaku dan kecerdasan anak. Hasil penelitian Gardner et al. (2005) pada anak yang berstatus gizi buruk di Jamaican
menemukan bahwa ada
interaksi yang
signifikan antara
suplementasi Zn dengan stimulasi. Zink (Zn) bermanfaat untuk membantu mengkoordinasi mata dan tangan anak untuk merespon rangsangan, sehingga suplementasin bermanfaat pada perkembangan dan meningkat manfaatnya jika stimulasi juga tersedia. Selain itu Jalal (2002) menyatakan bahwa stimulasi psikososial tidak akan berarti apabila tidak dibarengi dengan pemberian gizi dan kesehatan yang memadai. Ini berarti bahwa pertumbuhan otak berkaitan dengan perkembangan kognitif anak dan hal ini ditentukan oleh cara pengasuhan, pemberian makan, dan stimulasi terhadap anak. Kondisi tersebut antara lain diperoleh dari pendidikan formal yang dialami oleh ibu. Apabila pendidikan ibu rendah, maka akan mempengaruhi rangsangan-rangsangan kognitif anak. Ibu dengan pendidikan
rendah
cenderung kurang baik dalam memberikan
rangsangan kepada anak, sehingga berakibat pada perkembangan kognitif anak yang termasuk ke dalam kategori rendah. Serupa dengan status gizi, pada penelitian ini lama pendidikan ibu tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kognitif anak. Lama pendidikan ibu yang relatif homogen, yakni lebih dari 90% ibu memiliki lama pendidikan kurang dari 9 tahun (tabel 7) diduga sebagai salah satu penyebabnya. Namun berdasarkan penelitian Hastuti et al. (2010) menemukan adanya peningkatan perkembangan kognitif anak yang dipengaruhi oleh lama pendidikan ibu. Penelitian ini dilakukan pada 300 anak usia 2-5 tahun pada keluarga rawan pangan di kabupaten Banjarnegara. Hasil uji statisktik regresi linier penelitiannya menemukan bahwa bila terjadi kenaikan satu tahun pendidikan ibu akan menaikkan perkembang kognitif anak sebesar 1.244 poin.
95
Selain itu perbedaan jumlah sampel dan metode analisis (regresi logistik vs linier) diduga sebagai salah satu penyebab perbedaan hasil tersebut. Hasil penelitian Schady (2011) yang dilakukan pada 2118 anak di daerah pedesaan Ecuator secara longitudinal-cohort menemukan bahwa lama pendidikan ibu (dalam tahun) berpengaruh terhadap perkembangan kognitif anak prasekolah di Ecuador (p<0.01). Begitu pula dengan berat badan lahir anak tidak menunjukkan pengaruh yang
signifikan
terhadap
perkembangan
kognitif.
Sampel
yang
hampir
seluruhnya (97.4%) lahir dengan berat badan yang normal menyebabkan kondisi yang
relatif
homogen.
Namun
berdasarkan
penelitian
Santoso
(2003)
menemukan bahwa kelahiran prematur dimana lama janin dalam kadungan yang kurang dari normal dan berat badan lahir yang rendah dapat menyebabkan adanya gangguan fungsi kognitif maupun motorik pada anak. Selain itu ditemukan juga bahwa pemberian gizi yang tidak cukup merupakan faktor penyebab terjadinya gangguan neurologis yang permanen pada bayi prematur. Penelitian ini dilakukan pada 80 anak yang terdiri dari 40 anak lahir prematur dan 40 anak lahir normal. Hasil penelitian Welsch dan Zimmer (2010) menyatakan hal yang serupa, bahwa berat badan lahir signifikan akan mempengaruhi kognitif pada masa kecil. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga diperoleh hasil akhir yang optimal. Begitu pula dengan keikutsertaan dalam PAUD, pada penelitian ini tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kognitif. Hal ini terjadi diduga karena sampel yang mengikuti program PAUD sangat sedikit jumlahnya, yakni hanya 17.8%, hal ini menyebabkan kondisi yang ini relatif homogen. Martini (2006) menyatakan bahwa pendidikan harus sudah dimulai sejak dini supaya tidak terlambat, sehingga penting bagi anak untuk mendapatkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).