45
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian Awal Penyiapan Prosedur
Pada tahapan ini dilakukan kajian terhadap tahapan proses produksi minuman RTD berasam tinggi skala industri untuk menyiapkan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) dan Standard Operating Procedure (SOP)-nya. Kajian ini dilakukan dengan mereview prosedur GMP dan SSOP yang telah diterapkan sebelumnya di perusahaan. Proses produksi minuman RTD berasam tinggi ini dilakukan dengan sistem tertutup (closed system) sehingga kontaminasi silang yang disebabkan oleh lingkungan dan karyawan diminimalkan. Bahan baku pertama kali diolah dengan proses pasteurisasi secara aseptik kemudian dialirkan ke dalam sistem pengemasan aseptik. Dalam sistem pengemasan aseptik ini produk diisi kedalam bahan kemas dalam kondisi aseptik dan ditutup juga dalam kondisi aseptik. Secara keseluruhan, tahapan proses dan uraian dari produksi minuman RTD berasam tinggi dapat dilihat pada Tabel 4. Seluruh peralatan yang kontak dengan bahan baku dan produk terbuat dari bahan stainless steel dan material lain yang food grade sehingga meminimalkan kontaminasi kimia terhadap produk. Untuk menghilangkan cemaran padat yang mungkin ada dalam bahan baku maupun selama proses produksi berlangsung, dilakukan filtrasi dengan media filter stainless steel 40 mikron (sebelum proses filling produk). Kemungkinan kontaminasi yang masih ada adalah pada saat penerimaan bahan, pengambilan sampel oleh QC, selama penyimpanan, penimbangan serta penuangan bahan. Hal ini disebabkan karena bahan kontak dengan karyawan. Namun hal ini diminimalkan dengan penerapan GMP untuk personil yang menangani proses ini. Karena proses pengemasan produk dilakukan secara aseptik, maka kualitas udara khususnya cemaran mikroba dari ruangan pengemasan harus secara rutin dipantau. Hal yang perlu dimonitor secara rutin adalah hasil sanitasi peralatan yang akan digunakan untuk proses produksi. Mengingat peralatan yang digunakan adalah sistem tertutup serta pembersihan dan sanitasi peralatan dilakukan secara CIP (clean in place), maka bagian-bagian tertentu yang diperkirakan
46
pembersihan dan sanitasi kurang sempurna, misalnya titik-titik belokan, sambungan dan lainnya perlu mendapat perhatian tersendiri selama monitoring hasil pembersihan dan sanitasi peralatan. Tabel 4.
Tahapan proses dan uraian dari produksi minuman RTD berasam tinggi
Tahapan Proses
Penerimaan bahan baku
Penyimpanan bahan di gudang
Penimbangan bahan
Pengiriman bahan ke produksi Proses water treatment Proses CIP mesin Flushing mesin dengan air panas Penuangan bahan Transfer (pompa) Mixing Penuangan produk rework
Balance tank Pasteurisasi
Sanitasi ruang pengemasan dan mesin Sanitasi kemasan Filtrasi
Uraian - Bahan baku diterima dari pengiriman supplier, dicek setiap kedatangan setiap lot sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. - Pengambilan sampel disesuaikan dengan Tabel Military Standard 105 E - Pemberian status bahan oleh QC - Penyimpanan bahan baku yang telah diberi status oleh QC pada tempat yang telah disediakan, terpisah dari penyimpanan produk jadi dan area produksi - Penggunaan barang FIFO - Bahan ditimbang sesuai jenis dan jumlah mengikuti formula yang telah ditetapkan - Pengisian check list oleh petugas gudang mengenai kelengkapan jenis dan jumlah bahan - Pengiriman bahan sesuai dengan formula (jumlah dan jenis bahan) yang diminta produksi - Serah terima antar gudang dan produksi, pengisian check list oleh petugas produksi - Proses produksi air baku dilakukan sesuai dengan SSOP - Pemeriksaan mutu air sesuai spesifikasi oleh QC - Proses pembersihan dan sanitasi pipa-pipa mesin dilakukan sesuai dengan SSOP - Pemeriksaan mutu cleaning oleh QC Pemberian air panas pada mesin sebelum mulai digunakan Penuangan bahan ke dalam mixer minor sesuai dengan urutan dan jumlah bahan yang telah ditentukan Pemindahan hasil pre-mixing dari tangki mixer minor ke tangki mixer - Pencampuran seluruh bahan hingga homogen sesuai dengan waktu mixing yang telah ditentukan - Pemeriksaan mutu produk hasil mixing oleh QC - Penuangan kembali produk hasil mixing yang tidak sesuai dengan spesifikasi - Penambahan bahan sesuai dengan formula rework - Mixing ulang Tangki penyeimbang antara tangki mixer dengan proses pasteurisasi di PHE - Proses thermal sesuai dengan suhu dan holding time (speed pompa PHE) yang telah ditentukan - Pencatatan suhu real produk dan speed pompa oleh operator produksi Proses sanitasi mesin filling dilakukan sesuai dengan SSOP Proses sanitasi kemasan dilakukan sesuai dengan SSOP Proses penyaringan produk dari cemaran padat bahan baku atau yang timbul dari proses
47
Tabel 4.
Tahapan proses dan uraian dari produksi minuman RTD berasam tinggi (lanjutan)
Tahapan Proses Filling (aseptic filling) Penutupan Pelabelan Pengkodean Penyusunan box Penyusunan ke pallet Penyimpanan Inkubasi
Uraian Proses pengisian produk ke dalam kemasan botol steril dalam kondisi aseptik Penutupan kemasan dengan tutup yang steril Pemberian label (shrink label) pada botol yang sudah ditutup Pemberian kode produksi dan kadaluarsa pada tutup botol Penyusunan botol ke dalam box Penyusunan box ke atas palet Penyimpanan produk jadi di dalam gudang Masa karantina produk jadi, produk tidak dikeluarkan dari gudang sebelum proses inkubasi dan pengamatan produk selesai
Berdasarkan kajian bahaya tahapan proses, diperoleh bahwa bahaya potensial pada tahapan proses yang signifikan yang perlu dikendalikan adalah proses water treatment, pasteurisasi, sanitasi mesin filling, sanitasi kemasan, proses filling dan penutupan. Semua tahapan ini pada umumnya mempunyai potensi bahaya biologi. Sistem pengendalian keamanan pangan yang telah diterapkan perusahaan baru mencakup produk yang sudah ada, sehingga untuk produk baru minuman RTD berasam tinggi perlu penyesuaian. Perusahaan telah menerapkan GMP sesuai Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman, Dirjen POM Depkes RI. CPMB yang dikeluarkan pemerintah ini memang bersifat umum, tidak spesifik untuk jenis produk tertentu. Current Good Manufacturing Practices (CGMP) yang tercantum dalam Codes of Federal Regulation (CFR), Titel 21, Vol. 2, bagian 110 berisi antara lain tentang persyaratan untuk personalia, bangunan dan fasilitas pabrik, operasi sanitasi, pengendalian hama, fasilitas sanitasi, peralatan dan perlengkapan, produksi dan pengendalian proses serta penyimpanan dan distribusi (USFDA 2008a). Sedangkan CFR, Titel 21, Vol. 2, bagian 114 mencantumkan beberapa penambahan yang berkaitan dengan persyaratan CGMP di pabrik yang menghasilkan makanan yang diasamkan, antara lain untuk personalia, proses pengolahan dan pengendalian, penjadwalan proses, tindakan koreksi, metode pengukuran pH, serta rekaman dan laporan (USFDA 2008b). Dari keseluruhan persyaratan yang tertuang dalam semua pedoman ini, pengendalian proses dan
48
produk akhir dari produk baru minuman RTD berasam tinggi perlu dibuatkan prosedur operasi standar (SOP)-nya. Prosedur operasi standar sanitasi (SSOP) yang dijabarkan dalam CFR Titel 21, Sub-Bagian 120.6 yang telah diimplementasikan perusahaan mencakup 8 Kunci Persyaratan Sanitasi, yaitu : (1) keamanan air, (2) kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan, (3) pencegahan kontaminasi silang, (4) menjaga fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet, (5) proteksi dari bahan-bahan kontaminan, (6) pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan toksin yang benar, (7) pengawasan kondisi kesehatan personil yang dapat mengakibatkan kontaminasi dan (8) menghilangkan hama dari unit pengolahan (USFDA 2008 c). Dari kedelapan SSOP ini akan dikaji 3 SSOP yang perlu disiapkan terkait dengan produksi produk baru minuman RTD berasam tinggi. Ketiga SSOP ini adalah (1) SSOP keamanan air, (2) SSOP kondisi dan kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan dan (3) SSOP pencegahan kontaminasi silang.
Penyiapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Keamanan Air
Keamanan pasokan air yang akan kontak dengan produk pangan dan kontak langsung dengan permukaan sangat mutlak dan penting untuk dijaga secara konsisten dan efisien, terutama untuk air yang digunakan untuk produksi pangan atau es. Dalam menjaga keamanan air harus dijaga agar tidak ada hubungan silang antara air bersih dan air tidak bersih (CFR Titel 21, Sub Bagian 120.6) (USFDA 2008c). Pipa dari saluran air harus teridentifikasi dengan jelas antara air bersih dan air tidak bersih. Tahapan ini bertujuan untuk menyiapkan SSOP keamanan air sehingga diperoleh air yang dapat digunakan untuk proses produksi. Pada tahapan ini terlebih dahulu dilakukan pembuatan draft SSOP keamanan air. Air merupakan bahan baku utama dalam produk minuman ready to drink (RTD) berasam tinggi ini, sehingga mutu dan keamanannya perlu mendapat perhatian besar. Pada tahap ini juga dilakukan pengujian terhadap air baku, penentuan kebutuhan klorin serta pengujian dan evaluasi proses disinfeksi air. Untuk melakukan monitoring terhadap air seharusnya dilakukan pengujian kualitas air melalui laboratorium penguji pangan yang terakreditasi sebelum suatu usaha bisnis pangan dimulai dan paling tidak dilakukan minimal sekali
49
setahun atau lebih sering. Untuk monitoring dengan inspeksi secara visual atau organoleptik, prosedur seharusnya sesuai persyaratan dan dibuktikan dengan pengujian laboratorium. Tindakan koreksi harus dilakukan segera apabila terjadi atau ditemukan adanya penyimpangan terhadap standar atau ketentuan lainnya. Rekaman harus dilakukan pada setiap monitoring serta apabila terjadi tindakan koreksi. Bentuk rekaman dapat berupa rekaman monitoring periodik, rekaman periodik inspeksi plumbing dan rekaman monitoring sanitasi harian (Winarno dan Surono 2002).
Pembuatan Draft SSOP Keamanan Air
Draft SSOP Keamanan Air yang dibuat dapat dilihat pada Tabel 5. Draft SSOP
ini dibuat berdasarkan prosedur yang sudah ada dan kemudian
disesuaikan agar diperoleh air dengan standar mutu air minum. Prosedur yang telah berjalan meliputi proses treatment air mulai dari proses filtrasi (sand filter dan carbon filter) dan pelunakan sedangkan proses disinfeksi merupakan prosedur baru yang perlu divalidasi.
Tabel 5. Draft SSOP keamanan air Siapa Tek. mesin
Operator prod.
Insp. QC
Teknisi Lab
Dimana Area WTP Area WTP Area WTP
Kapan Tiap bulan Tiap minggu Tiap hari
Tindakan Pembersihan dan regenerasi resin, rinsing softener tank Backwash sand filter, carbon filter dan softener Rinsing sand filter, carbon filter dan softener tank Penambahan larutan klorin untuk sanitasi air
Area WTP
Tiap minggu
Pengambilan sampel air
Gudang
Tiap minggu Tiap minggu
Pengambilan sampel larutan stok klorin Analisa mutu Mikrobiologi dan Kimia air dan klorin
Lab.
Rujukan IK PB-02-IK-01 untuk pemeliharaan WTP RTD dan sanitasi air (lampiran 14)
Dokumentasi Form RMB (Rekapitulasi Maintenance Bulanan)
IK PB-02-IK-01 untuk pemeliharaan WTP RTD dan sanitasi air IK QC-01-IK-14 untuk sampling air (lampiran 15)
Log sanitasi air
IK QC-05-IK-03 untuk sampling bahan (lampiran 16) Metode analisa terkait
Form PAM, PAK (Permintaan Analisa Mikro/Kimia)
Form HPM, HAK (Hasil Analisa Mikro/Kimia)
Sebelum digunakan, air baku yang berasal dari 3 titik sumur mengalami beberapa perlakuan terlebih dahulu. Pertama-tama ketiga sumber air itu dicampur pada storage water tank kemudian disaring melalui Sand Filter Tank dan Carbon Filter Tank. Setelah penyaringan, air kemudian dilunakkan melalui Softener Tank dan kemudian ditampung pada Storage Treated Water Tank.
50
Proses treatment harian sand dan carbon filter adalah dengan cara rinsing. Sedangkan pembersihan dilakukan satu kali dalam seminggu secara back wash dan rinsing. Monitoring treatment dan pembersihan sand filter dan carbon filter mingguan dan bulanan dilakukan oleh Teknisi departemen teknik, untuk harian dilakukan oleh operator produksi. Proses treatment ini dilakukan sesuai instruksi kerja yang telah ditetapkan. Air yang sudah diberi perlakuan di atas kemudian diklorinasi dengan penambahan klorin dengan konsentrasi dan waktu kontak yang akan diuji pada penelitian ini. Air proses ini disampling seminggu sekali oleh inspektor QC untuk kemudian dianalisa diuji secara kimia dan mikrobiologi. Parameter mikrobiologi yang diujikan adalah TPC, MPN Koliform, Salmonella dan Pseudomonas. Parameter yang digunakan untuk pengujian kimia adalah zat terlarut, Fe dan klorin. Larutan stok klorin yang digunakan juga diambil sampelnya untuk dianalisa kadar klorinnya. Monitoring pengujian kimia dan mikrobiologi dilakukan oleh inspektor QC. Tindakan koreksi dilakukan untuk memastikan status keamanan air dari segi mikrobiologi dan kimia. Jika hasil pengujian yang diperoleh tidak sesuai standar, untuk kasus yang berhubungan dengan mikrobiologi, maka produksi akan dihentikan, dan produk-produk yang dihasilkan sebelum terjadinya kasus ini, diperiksa kembali kandungan mikrobiologinya. Sedangkan bila hasil analisia kimia tidak memenuhi syarat, maka produksi akan dihentikan dan Water Treatment Plant (WTP) akan diberi treatment dan dilakukan pembersihan. Hasil analisa air WTP oleh laboratorium berupa HAK (Hasil Analisis Kimia) dan HPM (Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi) direkap dalam rekaman monitoring harian dan periodik, disimpan sebagai arsip QC selama 1 tahun. Pencatatan treatment dan pembersihan carbon dan sand filter didokumentasikan dalam form RMB (Rekapitulasi Maintenance Bulanan), yang disimpan departemen teknik secara softcopy selama 1 tahun.
Pengujian dan Evaluasi Prosedur Disinfeksi Air
Data analisa air dari 3 titik sumur (hidrofor), air campuran hidrofor dan air proses sebelum klorinasi dapat dilihat pada Tabel 6. Secara umum, untuk parameter fisik dan kimia dari 3 titik sumur (hidrofor), air campuran hidrofor dan air proses sebelum klorinasi masih memenuhi persyaratan. Hanya kadar Fe pada
51
air hidrofor 1 yang melebihi persyaratan (0.17 ppm; persyaratan maksimal 0.1 ppm). Untuk parameter mutu mikrobiologi secara umum masih belum memenuhi persyaratan. Koliform masih ada yang melebihi batas SNI 01-3553-2006 (spesifikasi MPN Koliform/ml : < 2). Untuk total TPC juga masih ada yang melebihi batas (spesifikasi TPC/ml awal : maksimal 1 x 102) dan ada air hidrofor yang terdeteksi positif Pseudomonas. Dari parameter air yang terukur, diputuskan untuk melakukan proses disinfeksi untuk menginaktifkan bakteri patogen yang dapat dipindahkan melalui air (target : Koliform, Salmonella dan Pseudomonas). Dalam tahap ini dilakukan penentuan dosis klorin yang akan ditambahkan ke dalam air proses sehingga diperoleh air yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk RTD berasam tinggi. Standar air ini mengacu pada persyaratan mutu air minum dalam kemasan (SNI 01-3553-2006).
Tabel 6. Parameter mutu fisik, kimia dan mikrobiologi air hidrofor, campuran dan proses sebelum klorinasi Parameter Warna Rasa Bau pH Zat terlarut Fe
Unit
Air Hidrofor 2
Air Hidrofor 3
Air Campuran Hidrofor
Normal Normal Normal 6.84 57.98 0.02 4.4 x 101 <2
Normal Normal Normal 6.59 51.50 < 0.014 5.9 x 102 20
Normal Normal Normal 7.17 85.30 0.05
Air Proses sebelum Klorinasi
SNI
TPC
koloni/ml
Koliform
APM/ml
Normal Normal Normal 7.41 165.00 0.17 4.4 x 101 <2
9
Normal Normal Normal 7.63 108.40 0.02 2.5 x 103 9
/100 ml
negatif
negatif
negatif
negatif
negatif
negatif
koloni/ml
negatif
positif
negatif
negatif
negatif
negatif
Salmonella Pseudomonas
mg/l mg/l
Air Hidrofor 1
9.2 x 103
Normal Normal Tdk berbau 6.0-8.5 Max. 500 Max. 0.1 Max. 1x102 <2
Waktu kontak dengan klorin dalam proses klorinasi ini dipilih waktu yang paling lama : 30 menit, agar proses disinfeksi bisa maksimal. Fungsi klorin dalam penanganan air tidak hanya untuk disinfeksi, tetapi juga untuk tujuan lain seperti : kontrol terhadap ganggang yang hidup dalam reservoir dan kontrol terhadap pertumbuhan bakteri pembentuk lendir pengikat besi. Berbagai jenis senyawa yang ada di dalam air yang bereaksi dengan klorin akan dapat menginaktifkan klorin. Karena itu, selama masih banyak terkandung senyawa-senyawa tersebut, klorin yang ditambahkan tidak dapat berdaya
52
sebagai desinfektan terhadap mikroorganisme. Hidrogen sulfida dan senyawasenyawa organik lainnya tidak dikehendaki keberadaannya di dalam air. Tahapan berikutnya untuk menentukan dosis klorin yang akan digunakan untuk klorinasi air water treatment adalah menentukan kebutuhan klorin (chlorine demand). Sampel air diambil dari air campuran hidrofor yang sudah melalui proses penyaringan karbon dan pasir serta pelunakan di area proses WTP. Debit air pada saat kajian adalah 17 m3/jam, sampel diambil dari tangki penampungan air akhir kapasitas 11 m3. Analisa klorin demand ini dilakukan dengan metode perhitungan kebutuhan klorin untuk menentukan titik patah klorinasi (break point chlorination). Dosis klorin yang dicoba mulai dari 0.1 hingga 1 ppm dengan waktu kontak 30 menit. Pada Gambar 3 terlihat bahwa titik patah klorinasi (break point chlorination) ada pada konsentrasi dosis klorin 0.8 ppm. Titik patah klorinasi (break point chlorination) adalah konsentrasi klorin dimana klorin yang ditambahkan telah cukup banyak untuk bereaksi dengan berbagai senyawa (hidrogen sulfida dan senyawa organik lainnya) yang dapat menginaktifkan klorin (Winarno 1986). Hanya setelah klorin bereaksi dengan seluruh senyawa tesebut, baru penambahan
klorin
selebihnya
dapat
berfungsi
dalam
membunuh
dan
menghambat pertumbuhan mikroba. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kebutuhan klorin (chlorine demand) dari air setelah melalui proses sand filter,
Residu Klorin (ppm)
carbon filter dan softener adalah sebesar 0.8 ppm. 1.0000 0.9000 0.8000 0.7000 0.6000 0.5000 0.4000 0.3000 0.2000 0.1000 0.0000
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
Dosis Klorin (ppm)
Gambar 3. Grafik penentuan titik patah klorinasi pada air hasil WTP
Disinfeksi efektif membutuhkan residu klorin bebas : 0.2 mg/l pada kondisikondisi yang paling cocok atau 0.4-0.8 mg/l (Jenie, 1998). Pada titik patah
53
klorinasi (dosis klorin 0.8 ppm), jumlah residu klorinnya adalah 0.5212 ppm. Sehingga untuk memperoleh residu klorin 0.4-0.8 ppm, dosis klorin yang ditambahkan sekitar 0.8-1.1 ppm. Dari kisaran tersebut, dilakukan penelitian dengan menggunakan dosis klorin 1; 1.5 dan 2 ppm. Sampel diambil dari air campuran hidrofor, diberi dosis klorin sesuai dengan rancangan penelitian dengan waktu kontak 30 menit. Analisa ini dilakukan dengan skala laboratorium, jumlah sampel yang dicoba sebanyak 500 ml untuk masing-masing 3 konsentrasi dosis klorin dan 1 sampel blanko (tanpa klorinasi). Dari hasil penelitian diperoleh hasil seperti terlihat pada Tabel 7. Dari hasil penelitian ini diambil dosis klorin 1.5 ppm sebagai dosis klorin yang ditambahkan untuk proses disinfeksi (klorinasi) air water treatment karena semua hasil analisa mikrobiologinya memenuhi persyaratan SNI 01-3553-2006. Proses treatment yang dilakukan tiap hari meliputi proses rinsing dari tiap tangki hingga diperoleh pH air 6.5-8.5. Sedangkan proses treatment mingguan berupa proses backwash pada pipa tangki dan diakhiri dengan proses rinsing. Treatment bulanan berupa pembersihan dan penggantian resin diakhiri dengan proses rinsing pada tangki softener.
Tabel 7. Parameter mikrobiologi air hasil WTP setelah klorinasi beberapa dosis klorin dan pengujian klorinasi Parameter TPC/ml MPN Koliform/ml Salmonella/100 ml Pseudomonas/ml
Tanpa Klorin 2 1.5 x 10 13 Negatif Positif
Klorin 1 ppm 1 7.7 x 10 6 Negatif Negatif
Klorin 1.5 ppm 0 <2.5 x 10 (1) <2 Negatif Negatif
Klorin 2 ppm 0 <2.5 x 10 (1) <2 Negatif Negatif
Pengujian klorinasi (Dosis 1.5 ppm) 0 <2.5 x 10 (18) <2 Negatif Negatif
Proses pengujian dilakukan setelah proses water treatment dilakukan klorinasi dengan konsentrasi 1.5 ppm dan waktu kontak 30 menit seperti diagram alir di atas. Hasil data pengujian proses ini dapat dilihat pada Tabel 7. Pengujian ini dilakukan di WTP pada Storage Treated Water Tank dengan kapasitas tangki 11 m3. Proses pemberian larutan stok klorin pada kajian ini dilakukan secara manual, larutan stok dituang pada tangki pada saat tangki setengah penuh dengan debit air 17m3/jam. Dapat dilihat bahwa klorinasi 1.5 ppm dan waktu kontak 30 menit sudah cukup efektif dalam proses disinfeksi air hasil water treatment. Perbedaan hasil analisa TPC pada hasil pengujian dengan hasil penelitian skala lab memang tidak berbeda nyata, keduanya masih dilaporkan sebagai
54
<2.5x100. Perbedaan hasil antara skala laboratorium dan skala produksi besar kemungkinan disebabkan karena total populasi yang dianalisa, jumlah mikroba awal serta homogenitas larutan klorin dengan sampel. Selain analisa mikrobiologi perlu juga dilakukan pengujian terhadap klorin bebas pada air proses WTP. Sehingga dapat diketahui secara pasti kadar residu klorin bebas dengan hasil disinfeksi yang diinginkan.
Penyiapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Makanan
Tahapan kajian ini bertujuan untuk menyiapkan SSOP kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan yang akan diterapkan pada peralatan, bahan kemas dan ruangan yang digunakan dalam proses pengolahan dan pengemasan aseptik. Pada tahapan ini terlebih dahulu dilakukan pembuatan draft SSOP kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan. Dalam sistem aseptik, proses produksi dilakukan dalam sistem tertutup sehingga
kebersihan
dan
sanitasi
peralatan
yang
kurang
baik
dapat
mempengaruhi mutu dan keamanan produk akhir. Permukaan yang kontak langsung dengan makanan pada kasus ini adalah tangki dan sistem jaringan pipa yang digunakan dalam proses pengolahan dan pengemasan produk. Sehingga pada tahap ini dilakukan pengujian terhadap jumlah dan konsentrasi basa, asam dan sanitaiser (campuran klorin dan amonium kuartener) serta lamanya holding time yang akan digunakan dalam proses clean in place (CIP) untuk pembersihan dan sanitasi tangki dan jaringan pipa. Monitoring kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan dapat dilakukan dengan inspeksi visual terhadap permukaan apakah dalam kondisi baik; kebersihan dan kondisi sanitasi apakah terpelihara. Pengujian kimia juga dapat dilakukan untuk memonitor konsentrasi sanitaiser (dengan test strips atau kits). Verifikasi dapat dilakukan dengan pengujian mikrobial permukaan secara berkala. Beberapa hal yang perlu diobservasi terhadap kondisi kebersihan permukaan yang kontak langsung dengan bahan adalah konsentrasi sanitaiser apakah bervariasi setiap hari, apabila hal ini terjadi maka tindakan koreksi yang dapat dilakukan adalah memperbaiki atau mengganti peralatan dan melatih operator. Rekaman harus dilakukan pada setiap monitoring serta apabila terjadi tindakan koreksi. Bentuk rekaman dapat berupa rekaman monitoring
55
periodik, rekaman periodik konsentrasi bahan kimia dan rekaman monitoring sanitasi harian atau bulanan (Winarno dan Surono 2002).
Pembuatan Draft SSOP Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Makanan
Draft SSOP kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan yang dibuat dapat dilihat pada Tabel 8. Draft SSOP ini dibuat berdasarkan prosedur yang sudah ada dan kemudian disesuaikan agar diperoleh kondisi permukaan yang kontak dengan makanan (tangki dan jaringan pipa) dalam kondisi bersih dan saniter. Prosedur yang telah berjalan baru meliputi proses flushing tangki dan sistem pipa dengan air panas sebelum dan sesudah produksi sedangkan proses pembersihan di tempat (clean in place : CIP) merupakan prosedur baru yang perlu divalidasi.
Tabel 8. Draft SSOP kebersihan permukaan yang kontak dengan makanan Siapa Operator prod.
Dimana Area proses
Kapan Tiap batch
Tiap bulan
Insp. QC
Teknisi Lab
Area proses
Lab.
Tindakan Flushing mesin dan sistem pipa dengan air panas sebelum dan sesudah produksi Proses CIP
Tiap batch
Pengambilan sampel air bilasan terakhir
Setelah CIP Setelah CIP
Inspeksi kebersihan mesin dan alat sblm prod. Analisa mikrobiologi sampel air proses CIP
Rujukan IK PB-02-IK-01 untuk sanitasi mesin RTD (lampiran 14)
Dokumentasi Log produksi
IK PB-03-IK-01 Proses Sanitasi Peralatan Dan Ruangan (lampiran 14) IK QC-01-IK-14 untuk sampling air (lampiran 15)
Buku log CIP
Prosedur inspeksi proses CIP Metode analisa mikro terkait
Form PAM (Permintaan analisa Mikro) Laporan inspeksi Form HPM (hasil analisa mikro)
Tujuan dari monitoring prinsip sanitasi ini adalah memberikan jaminan bahwa permukaan yang kontak dengan pangan didesain untuk memfasilitasi proses sanitasi serta dibersihkan secara rutin. Karena proses produksi produk RTD ini dilakukan dengan sistem tertutup (closed system), maka mesin dan pipa saluran yang kontak dengan makanan harus dipastikan bersih dan aseptik. Pertama-tama harus dipastikan bahwa mesin dan saluran pipa diberi flushing menggunakan air panas sebelum dan sesudah proses produksi. Secara berkala, mesin dan saluran pipa juga dibersihkan dengan metode CIP. Dalam satu kali proses CIP dibutuhkan sejumlah 1800 liter air. Yang pertama disirkulasi adalah air sejumlah 300 liter untuk pre-wash. Kemudian disirkulasi 400 liter air yang telah ditambahkan 8 liter larutan alkali. Berikutnya
56
adalah sirkulasi 400 liter air yang telah ditambahkan 5 liter larutan asam. Terakhir, disirkulasikan sejumlah 700 liter air yang telah ditambahkan 1.25 liter larutan sanitaiser (campuran klorin dan amonium kuartener). Pada setiap tahapan ini, PHE dioperasikan pada suhu 95°C untuk membantu proses pembersihan dan sanitasi. Larutan alkali dan basa didiamkan dalam holding tube selama 15 menit, sedangkan larutan sanitaiser selama 10 menit. Keseluruhan proses ini dilakukan oleh operator produksi. Proses dapat dilihat pada Gambar 5. Monitoring sanitasi dilakukan oleh inspektor QC setiap batch produksi dengan uji TPC metode tuang terhadap sampel air bilasan terakhir proses CIP. Tindakan koreksi dilakukan untuk memastikan proses pembersihan dan sanitasi permukaan yang kontak dengan makanan berjalan efektif dengan parameter uji mikrobiologi dan pengamatan proses CIP. Jika dari hasil pengamatan proses CIP tidak dilakukan sesuai instruksi kerja yang ditetapkan, maka proses CIP harus diulang. Jika hasil pengujian mikrobiologi tidak memuaskan, maka pengecekan produk-produk yang dihasilkan sebelum terjadinya kasus ini diperketat. Hasil
analisa
proses
CIP
dari
laboratorium
berupa
HPM
(Hasil
Pemeriksaan Mikrobiologi) direkap dalam rekaman monitoring, disimpan sebagai arsip QC selama 1 tahun. Pencatatan proses CIP dapat dilihat pada form pencatatan proses CIP.
Pengujian dan Evaluasi Proses Clean in Place (CIP)
Sistem CIP sangat penting untuk desain proses produksi RTD dengan sistem pengolahan tertutup (closed system). Pengujian dilakukan terhadap metode umum yang digunakan dalam melakukan proses pembersihan dan sanitasi peralatan dengan metode CIP. Hariyadi P (2000) mengemukakan bahwa pembersihan di tempat (clean in place : CIP) dilakukan untuk alat-alat yang sukar atau tidak bisa dipindahkan. Berbagai peralatan industri pangan dibersihkan dengan cara ini antara lain saluran pipa, heat exchanger (alat penukar panas), mesin sentrifugasi dan homogenaiser. Prinsip pembersihan ini adalah sirkulasi air secara bertahap, diikuti dengan sirkulasi deterjen, sanitaiser dan pembilas melalui saluran pipa peralatan
yang
tetap
terpasang
di
tempatnya.
Sistem
CIP
ini
juga
mengkombinasikan kelebihan dari aktivitas kimia bahan pembersih dengan efek
57
mekanis pembersihan kotoran. Larutan pembersih dikeluarkan untuk kontak dengan permukaan kotoran, dan pada waktu, suhu yang tepat. Evaluasi proses CIP ini dilakukan terhadap air bilasan pada setiap interval perlakuan dengan mengukur kadar mikroorganisme total yang masih hidup (TPC). Data pengujian ini dapat dilihat pada Tabel 9. Dapat dilihat bahwa proses CIP sudah berjalan efektif sehingga dihasilkan kondisi yang aseptik. Tabel 9.
Parameter mikrobiologi hasil pengujian proses CIP pada mesin proses hingga mesin pengemasan
Kondisi Setelah pembilasan awal Setelah perlakuan basa Setelah perlakuan asam Setelah sanitaiser
TPC (Koloni/ml) 2.4x102 1.2 x 102 1 3.0x10 0 <2.5 x 10 (1)
Pada proses CIP di atas, pembilasan awal dengan air panas dilakukan dengan tujuan sebagai perlakuan awal untuk melarutkan kotoran yang ada. Dalam proses CIP ini juga digunakan 2 jenis base detergent, asam dan basa (alkali) serta bahan sanitaiser. Menurut Holah (2003), allkali merupakan bahan pembersih yang berguna karena murah, mampu memecah protein karena kandungan ion hidroksil, safonifikasi lemak, dan pada konsentrasi tinggi dapat berfungsi sebagai bakterisidal. Pembersih asam digunakan untuk melarutkan karbonat, deposit mineral (termasuk garam air sadah) dan juga deposit protein dari permukaan alat (Holah 2003). Sanitaiser yang digunakan merupakan campuran klorin dan amonium kuartener. Menurut Winarno (1994) keefektifan sanitaiser tergantung pada jenis dan konsentrasi sanitaiser, waktu kontak antara zat kimia dan bahan yang disanitasi, suhu dan mutu air (pH dan kesadahan). Menurut Holah (2003) klorin adalah disinfektan paling murah dan tersedia sebagai hipoklorit (atau gas klorin) atau dalam bentuk slow release (seperti kloramin). Senyawa klorin yang umum adalah hipoklorit dan kloramin. Senyawa ini memiliki aktivitas dengan kisaran yang luas termasuk spora, dan relatif tidak mahal. Namun, aktivitas klorin ini dapat dihambat oleh senyawa organic dan berpotensi memiliki efek samping pada lingkungan. Senyawa ammonium kuartener adalah senyawa yang ambipolar, termasuk deterjen kationik, yang diperoleh dari substitusi garam ammonium dengan anion
58
klorin atau bromin. Meskipun memiliki efek yang kecil pada spora, senyawa ini relatif lebih ramah lingkungan dan mudah digunakan (Holah 2003). Karena kelebihan dan kekurangan masing-masing jenis saitaiser itulah maka dipilih sanitaiser campuran keduanya. Selain itu, dari material safety data sheet (MSDS) bahan sanitaiser ini termasuk kategori food grade sehingga tidak perlu dibilas lagi ketika digunakan.
Penyiapan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) Pencegahan Kontaminasi Silang
Kontaminasi silang adalah bagian yang sering terjadi pada industri makanan akibat kurang dipahaminya masalah ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang antara lain : tindakan karyawan untuk mencegah kontaminasi silang, pemisahan bahan dengan produk siap konsumsi, desain sarana dan prasarana untuk mencegah kontaminasi silang dan lain sebagainya. Tahapan kajian ini bertujuan untuk menyiapkan SSOP pencegahan kontaminasi silang. Kontaminasi silang yang mungkin terjadi setelah proses pasteurisasi adalah pada saat proses pengemasan. Pada proses ini kontaminasi bisa berasal dari lingkungan (udara) ruangan mesin pengemasan dan juga bahan kemas yang digunakan. Oleh karena itu perlu dilakukan sanitasi ruangan pengemasan dan bahan kemasan agar kondisi aseptik pada saat pengemasan produk dalam wadah pengemas tercapai. Kondisi proses pengisian produk yang aseptik sangat menunjang proses pengolahan produk secara keseluruhan, agar tidak terjadi kontaminasi silang dari lingkungan (udara) dan bahan kemas ke produk. Dalam sistem pengemasan aseptik, untuk menjaga proses pengemasan dalam kondisi aseptik dapat dilakukan dengan menyaring udara yang masuk ke dalam area pengemasan (filtrasi) atau disinfeksi udara dengan sanitaiser. Desain proses sanitasi udara pada penelitian ini dilakukan dengan penyemprotan sanitaiser. Oleh karena itu, pada tahap ini dilakukan pengujian terhadap jumlah dan konsentrasi sanitaiser dan lamanya holding time yang akan digunakan dalam proses sanitasi ruang pengemas aseptik dengan metode pengembunan (fogging). Pengujian dilakukan dengan menggunakan fogger dengan kapasitas 1.5 liter larutan sanitaiser (campuran klorin dan amonium kuartener) pada
59
ruangan pengemasan seluas 96 m2 dan ruang mesin pengemasan yang berada dalam ruang pengemasan. Kemasan yang kontak langsung dengan produk adalah botol dengan bahan plastik PET ukuran 140 ml dan tutup botol dengan bahan plastik PP diameter 28 mm. Oleh karena itu, pada tahap ini dilakukan pengujian terhadap konsentrasi dan jumlah sanitaiser (peracetic acid) yang akan digunakan dalam proses sanitasi botol dan juga pengujian terhadap sanitasi tutup botol menggunakan sinar UV. Pengujian sanitasi kemasan botol saat trial produksi dilakukan pada 2 kecepatan mesin filling untuk melihat efektivitas sanitasi.
Pembuatan Draft SSOP Pencegahan Kontaminasi Silang
Draft SSOP pencegahan kontaminasi silang yang dibuat dapat dilihat pada Tabel 10. Draft SSOP ini dibuat berdasarkan prosedur baru yang meliputi sanitasi ruangan dan bahan kemasan yang perlu divalidasi. Tabel 10. Draft SSOP pencegahan kontaminasi silang Siapa Operator prod.
Insp. QC
Dimana Area proses
Area proses Gudang
Kapan Tiap batch
Inspeksi sanitasi mesin dan bahan kemas
Tiap
Pengecekan kesesuaian COA bahan sanitaiser dengan spesifikasi Sampling berkala komponen aktif bahan sanitaiser
IK QC-05-IK-03 untuk sampling bahan (lampiran 16)
Analisa mikrobiologi sampel mesin dan bahan kemas Analisa kimia bahan aktif sanitaiser
Metode analisa mikro terkait
Tiap tahun
Lab.
Rujukan IK PB-03-IK-01 untuk sanitasi mesin RTD (lampiran 14) IK PB-04-IK-01 untuk pengendalian proses produksi (Lampiran 14) Prosedur inspeksi proses
Tiap batch
kedatangan
Teknisi Lab
Tindakan Sanitasi ruang pengemasan dan ruang mesin pengemasan. Persiapan larutan rinser untuk rinsing botol
Tiap batch Tiap tahun
IK QC-05-IK-03 untuk sampling bahan (lampiran 16)
Metode analisa kimia terkait
Dokumentasi Form sanitasi Form sanitasi
Form PAM (permintaan analisa mikro) Laporan inspeksi
Form PAK (permintaan analisa kimia) Form HPM, HAK (hasil analisa mikro/kimia)
Sebelum digunakan, ruang pengemasan dan bahan kemas harus dikondisikan aseptik agar tercapai proses produksi yang aseptik. Pertama-tama disiapkan larutan sanitaiser dengan jumlah dan konsentrasi yang telah ditetapkan untuk sanitasi ruangan pengemasan dan ruang mesin pengemasan. Kemudian dilakukan proses fogging menggunakan sanitaiser (campuran klorin dan amonium kuartener) dengan konsentrasi dan waktu kontak yang akan ditentukan pada penelitian ini. Proses fogging dilakukan secara menyeluruh ke seluruh
60
ruangan pengemasan dan ruang mesin pengemasan hingga larutan sanitaiser habis. Proses persiapan larutan sanitaiser dan pelaksanaan fogging dilakukan oleh operator produksi. Proses sanitasi ini dilakukan sesuai instruksi kerja yang ditetapkan. Monitoring sanitasi dilakukan oleh inspektor QC setiap batch produksi dengan uji TPC metode permukaan pada ruang pengemasan dan area di bawah proses filling pada mesin pengemasan. Tindakan koreksi dilakukan untuk memastikan status keamanan produk dari kontaminasi silang dari udara dengan parameter uji mikrobiologi dan pengamatan proses sanitasi ruangan pengemasan. Jika dari hasil pengamatan proses sanitasi tidak dilakukan sesuai instruksi kerja yang ditetapkan, maka proses
sanitasi
harus
diulang.
Jika
hasil
pengujian
mikrobiologi
tidak
memuaskan, maka pengecekan produk untuk proses inkubasi diperketat. Bahan kemas yang dipakai dalam proses pengemasan aseptik ini akan diberi perlakuan rinsing dengan bahan sanitaiser (peracetic acid) sesaat sebelum diisi dengan produk steril. Konsentrasi sanitaiser ini akan ditentukan dalam penelitian ini. Debit larutan sanitaiser di sesuaikan manual berdasarkan kecepatan mesin pengemas yang dipilih. Proses sanitasi ini dilakukan sesuai instruksi kerja oleh operator produksi. Monitoring sanitasi dilakukan oleh inspektor QC setiap batch produksi dengan uji TPC metode bilas terhadap sampel botol yang sudah melewati proses rinsing (tanpa produk). Tindakan koreksi dilakukan untuk memastikan status keamanan produk dari kontaminasi silang dari bahan kemas dengan parameter uji mikrobiologi dan pengamatan proses sanitasi ruangan pengemasan. Jika dari hasil pengamatan proses sanitasi tidak dilakukan sesuai instruksi kerja yang ditetapkan (larutan sanitaiser terlalu banyak atau terlalu sedikit), maka proses produksi dihentikan, proses sanitasi harus segera diperbaiki. Jika hasil pengujian mikrobiologi tidak memuaskan, maka pengecekan produk untuk proses inkubasi diperketat. Hasil analisa sanitasi ruangan pengemasan dan bahan kemas laboratorium berupa HPM (Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi) direkap dalam rekaman monitoring, disimpan sebagai arsip QC selama 1 tahun. Pencatatan proses sanitasi dapat dilihat pada form pencatatan proses sanitasi tiap batch produksi.
61
Pengujian dan Evaluasi Sanitasi Ruangan dan Bahan Kemas
Untuk menjaga proses pengemasan dalam kondisi aseptik, dirancang SSOP
pencegahan
kontaminasi
silang
dari
udara
dengan
disinfeksi
menggunakan sanitaiser. Sanitaiser yang digunakan adalah campuran amonium kwartener dengan turunan senyawa klorin. Sanitaiser ini merupakan jenis sanitaiser yang sama yang digunakan untuk tahap terakhir proses CIP. Sanitaiser ini juga efektif dalam proses sanitasi udara dengan metode cold fogging. Konsentrasi sanitaiser yang digunakan pada kajian ini adalah 300 ppm dengan waktu kontak 1 jam. Dosis ini ditentukan dari dosis umum yang disarankan oleh pemasok. Konsentrasi yang disarankan oleh pemasok bahan adalah 100-500 ppm. Pemberian sanitaiser dilakukan dengan metode pengembunan (fogging) sebanyak 1.5 liter sanitaiser untuk ruang mesin pengemas dan ruangan pengemasan seluas 96 m2. Lay out ruang pengemasan dapat dilihat pada Lampiran 2. Setelah larutan sanitaiser habis, ruangan dan mesin pengemas didiamkan selama 1 jam sebelum digunakan agar proses sanitasi berjalan efektif dan bau sanitaiser hilang.
Tabel 11. Parameter mikrobilogi (TPC) hasil sanitasi ruang pengemasan dan ruang mesin pengemasan Kondisi Sebelum sanitasi Setelah sanitasi, jam ke-0 Setelah sanitasi, jam ke-1 Setelah sanitasi, jam ke-2 Setelah sanitasi, jam ke-3 Setelah sanitasi, jam ke-4 Setelah sanitasi, jam ke-5 Setelah sanitasi, jam ke-6
Ruang Pengemasan <2.5x100 (2) <2.5x100 (1) tidak dianalisa <2.5x100 (20) tidak dianalisa <2.5x100 (2) tidak dianalisa <2.5x100 (2)
Ruang Mesin Pengemasan <2.5x100 (4) <2.5x100 (2) <2.5x100 (2) <2.5x100 (0) <2.5x100 (2) <2.5x100 (2) <2.5x100 (2) <2.5x100 (2)
Pengujian dilakukan dengan menguji total mikroba udara dengan menggunakan metode permukaan (TPC) pada ruang mesin pengemas (setiap interval 1 jam) dan ruang pengemas (setiap interval 2 jam) yang dikondisikan seperti kondisi proses sebenarnya. Lamanya waktu pengamatan disesuaikan dengan lamanya proses pengemasan yang akan dilakukan. Pada kajian ini dilakukan pengamatan selama 6 jam disesuaikan dengan ukuran batch produksi dan kecepatan mesin pengemasan yang akan digunakan.
62
Data TPC pengujian proses sanitasi ruangan dan mesin pengemas setelah proses sanitasi dengan sanitaiser dapat dilihat pada Tabel 11. Dapat dilihat bahwa proses sanitasi mesin dan ruang pengemas dengan sanitaiser konsentrasi larutan fogging 300 ppm dan waktu kontak 1 jam sudah cukup untuk membuat ruang pengemas tetap terjaga kondisinya. Dalam
teknologi
pengemasan
aseptik,
selain
produk
yang
harus
disterilisasi dan kondisi lingkungan proses pengemasan yang aseptik, bahan kemas yang akan digunakan juga harus dalam kondisi aseptik. Kemasan yang kontak langsung dengan produk adalah botol dengan bahan plastik PET ukuran 140 ml dan tutup botol dengan bahan plastik PP diameter 28 mm. Sanitaiser digunakan di dalam unit pengemasan secara aseptik untuk mensterilkan bahan-bahan kemasan dan juga permukaan dalam peralatan pengemasan sehingga diperoleh kondisi pengemasan yang steril. Pada umumnya sanitaiser meliputi panas, bahan kimia, radiasi energi tinggi ataupun kombinasinya. Penerapan panas digunakan secara meluas pada metode sterilisasi. Uap atau air panas umumnya diterapkan untuk metode panas basah dan dioperasikan pada tekanan yang lebih tinggi. Sedangkan untuk panas kering biasanya
menggunakan
udara
panas
pada
tekanan
atmosfer.
Metode
pemanasan lainnya dapat pula digunakan, misalnya radiasi gelombang mikro atau sinar inframerah. Bahan kimia seperti hidrogen peroksida (H2O2) seringkali digunakan sebagai sanitaiser yang dalam penerapannya umumnya dikombinasikan dengan pemanasan. Fungsi pemanasan disini adalah untuk menguapkan peroksida yang masih menempel pada bahan kemas. Sanitaiser lainnya seperti radiasi energi tinggi (sinar ultraviolet atau radiasi sinar gamma) dapat pula diterapkan secara tunggal atau dikombinasikan dengan metode yang sudah ada. Pada tahap ini dilakukan penelitian untuk mengetahui total mikroba kemasan sebelum perlakuan sanitasi dengan larutan sanitaiser : peracetic acid. Menurut Holah (2003), peracetic acid memiliki daya bunuh yang cepat dan spektrum yang luas, bekerja dengan prinsip oksidasi, bereaksi dengan komponen membran sel. Secara umum efektif melawan spora namun berbahaya bagi manusis, sehingga harus hati-hati saat digunakan. Perhitungan total mikroba botol dilakukan dengan metode bilas, sedangkan total mikroba tutup botol dengan metode swab. Analisa dilakukan terhadap 2 lot masing-masing kemasan, sampling dilakukan secara acak dengan jumlah
63
sampel sesuai Military Standard 105 E. Secara rata-rata nilai TPC masingmasing kemasan dapat dilihat pada Tabel 12. Penggunaan air panas untuk sanitasi botol tidak bisa diaplikasikan pada proses rinsing karena botol PET tidak terlalu tahan panas, sehingga dipilih penggunaan sanitaiser bahan kimia. Sanitaiser yang digunakan adalah jenis peracetic acid. Konsentrasi yang digunakan pada penelitian ini adalah 0.4%. Dosis ini ditentukan dari kajian awal terhadap konsentrasi yang disarankan oleh pemasok bahan sanitaiser, yaitu : 0.06-0.12%. Pada proses sanitasi tutup botol, perendaman dalam larutan klorin membuat tutup botol sulit ditangani. Tutup botol yang masih basah oleh larutan klorin ketika digunakan dalam proses menempel pada mesin (susah turun dari hopper) sehingga banyak menyebabkan produk reject. Ke depannya akan dilakukan instalasi lampu UV yang digunakan sebagai sanitaiser tutup botol. Mikroba mati dengan cepat jika terpapar sinar UV yang memiliki panjang 2537 amstrong (Hariyadi R 2000). Instalasi sinar UV ini diharapkan bisa mengurangi masalah di atas karena proses sanitasinya dalam kondisi kering. Tabel 12. Parameter mikrobiologi kemasan awal dan hasil pengujian Kemasan Botol PET
Kondisi Awal <2.5x10 (2)
Hasil Pengujian Kecepatan 5900 botol/jam Kecepatan 6900 botol/jam 0 0 <2.5x10 (5) <2.5x10 (0)
Pengujian dilakukan dengan menguji total mikroba kemasan dengan menggunakan metode bilas untuk botol dan swab untuk tutup botol pada 2 setting kecepatan proses filling. Setting kecepatan proses filling disesuaikan dengan penelitian proses kecukupan panas. Data TPC pengujian proses perlakuan awal kemasan dapat dilihat pada Tabel 12. Dapat dilihat bahwa konsentrasi sanitaiser 0.4% pada kecepatan 5900 atau 6900 botol/jam sudah cukup untuk membuat bahan kemas tetap terjaga kondisinya. Untuk data pengujian sterilisasi tutup botol belum ada karena hingga penelitian ini dilaporkan, lampu UV belum terpasang pada mesin pengemas.
Penyiapan Standard Operating Procedure (SOP) Pengendalian Proses dan Produk Akhir
Tahapan ini bertujuan untuk menyiapkan SOP pengolahan minuman RTD dengan proses pengolahan dan pengemasan aseptik. Pengandalian proses dan
64
produk akhir ini sangat penting dilakukan mengingat jenis produk yang diproduksi merupakan jenis minuman ready to drink yang langsung dikonsumsi oleh konsumen sehingga mutu dan keamanannya harus dijaga. Untuk mengurangi resiko terhadap produksi makanan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan, perlu dilakukan tindakan pencegahan melalui pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan bahaya yang timbul pada setiap tahapan proses. Untuk proses pengolahan dengan proses thermal, suhu referensi yang digunakan 85°C dengan nilai z 8.9°C dan nilai D = 0.5 menit. Untuk menghitung kecukupan proses pasteurisasi digunakan konsep 5D. Dengan mengatur kecepatan pompa di holding tube, maka holding time dapat dihitung. Agar proses pasteurisasi bisa seimbang dengan proses pengemasan produk, maka ditentukan kecepatan optimum dari proses pengemasan produk. Dari kecepatan optimum proses pengemasan ini dapat diketahui debit aliran produk di PHE sehingga diketahui lamanya holding time. Dua variasi kombinasi suhu dan holding time ini akan dijadikan variabel untuk melihat kecukupan proses thermal. Pengujian proses thermal dilakukan dengan trial produksi dengan batch size 1500 liter yang dibagi 2 untuk tiap variasi kombinasi suhu dan holding time. Parameter uji yang akan dikaji pada produk jadi adalah pertumbuhan mikroorganisme setelah produk diinkubasi pada suhu 35°C selama 5, 10 dan 15 hari.
Pembuatan Draft SOP Pengendalian Proses dan Produk Akhir
Draft SOP Pengendalian Proses dan Produk Akhir yang dibuat dapat dilihat pada Tabel 13. Draft SSOP ini dibuat berdasarkan review terhadap prosedur yang sudah ada dan kemudian disesuaikan agar diperoleh produk yang berkualitas dan aman. Pada sistem aseptik perlu dikendalikan sistem pengolahan aseptik dan sistem pengemasan aseptik. Sistem pengolahan aseptik adalah sistem hanya pada tingkat pengolahan produk secara aseptik dan mengirimkan produk tersebut pada suatu sistem pengemasan. Sedangkan sistem pengemasan aseptik adalah suatu sistem pengemasan dimana kemasan steril diisi dengan produk steril kemudian dilakukan penutupan wadah secara hermetis dalam kondisi atau ruang steril. Pada sistem ini dapat pula dilakukan pembentukan kemasan sekaligus proses sterilisasi kemasannya.
65
Sebelum mulai proses produksi, dipastikan semua SSOP persiapan proses telah dilaksanakan dengan baik. Pertama-tama dimasukan 400 liter air ke dalam tangki minor, masukkan bahan powder satu persatu kemudian dihomogenkan. Setelah ditransfer ke tangki mixing, masukkan kembali 400 L air ke dalam tangki minor untuk membilas kemudian ditransfer kembali ke tangki mixing. Tambahkan sebanyak 5200 L ke dalam tangki mixing, mixing hingga rata. Stel PHE pada suhu dan kecepatan pompa PHE yang diinginkan, setelah suhu pasteurisasi tercapai buka kran ke mesin pengemasan. Stel mesin pengemasan pada kecepatan pengemasan yang diinginkan. Proses pengendalian produksi ini dilakukan sesuai instruksi kerja oleh operator produksi. Monitoring proses dilakukan oleh inspektor QC setiap batch produksi.
Tabel 13. SOP pengendalian proses dan produk akhir Siapa Operator prod. Insp. QC
Teknisi Lab
Dimana Area proses Area proses
Kapan Tiap batch
Tindakan Mengendalikan proses produksi sesuai IK
Tiap batch
Lab.
Setelah proses produksi
Inspeksi hasil mixing (barang dalam proses) Inspeksi parameter proses Inspeksi produk akhir Inkubasi produk jadi selama 15 hari Analisa kimia dan mikrobiologi sampel hasil mixing dan produk akhir
Rujukan IK PB-04-IK-01 untuk pengendalian proses (lampiran 14) Prosedur inspeksi proses
Dokumentasi Log produksi
Metode terkait
Form HAK, HPM (hasil analisa kimia/mikro
analisa
kimia/mikro
Form PAK, PAM (permintaan analisa kimia/mikro)
Tindakan koreksi dilakukan untuk memastikan pencapaian status steril komersial dengan parameter uji mikrobiologi dan pengamatan proses (suhu dan kecepatan pompa). Jika dari hasil pengamatan proses produksi tidak dilakukan sesuai instruksi kerja yang ditetapkan, maka proses produksi harus diulang. Proses inkubasi produk jadi dilakukan selama 15 hari pada suhu 35°C. Proses ini untuk memastikan bahwa telah dicapai kondisi steril komersial. Jika hasil pengujian mikrobiologi tidak memuaskan, maka produk direject dan dilakukan
perbaikan
terhadap
parameter
proses.
Pencatatan
proses
pengendalian produksi dapat dilihat pada form CKP tiap batch produksi.
Pengujian dan Evaluasi Prosedur Pengendalian Proses dan Produk Akhir
Tahapan ini bertujuan untuk memperoleh SOP pengendalian proses dan produk akhir. Sebelum menetapkan referensi proses thermal yang akan
66
digunakan perlu diketahui karakteristik dari produk RTD yang dikaji. Produk yang dikaji merupakan minuman berasam tinggi dengan pH berkisar antara 3.8-4.1, tidak mengandung partikulat dengan kekentalan yang mirip dengan air (near water). Karena pH produk masih dibawah 4.5, maka proses thermal yang akan digunakan cukup pasteurisasi. Untuk proses pasteurisasi, proses 5D sudah cukup untuk mencapai kondisi steril komersil. Untuk proses pasteurisasi, suhu referensi yang digunakan 85°C dengan nilai z 8.9°C dan nilai D = 0.5 menit. Dengan mengatur kecepatan pompa di holding tube, maka holding time dapat dihitung. Agar proses pasteurisasi bisa seimbang dengan proses filling produk, maka ditentukan kecepatan optimum dari proses filling produk. Dari kecepatan optimum proses filling ini dapat diketahui debit aliran produk di PHE sehingga diketahui lamanya holding time. Dua variasi suhu dan holding time ini akan dijadikan variabel untuk melihat kecukupan proses thermal dengan parameter uji pertumbuhan mikroorganisme (inkubasi produk selama 5, 10 dan 15 hari). Kecepatan optimum dari proses filling produk menyesuaikan dengan kemampuan pompa PHE adalah 5900 – 6900 botol per jam. Debit pada pompa PHE setara dengan debit mesin filling. Debit mesin filling dihitung secara teoritis dari kecepatan mesin filling dengan asumsi rata-rata volume produk adalah 140 ml. Sehingga diperoleh debit produk dalam pipa PHE dalam satuan m3/jam dengan rumus : Debit (m3/jam) = kecepatan mesin filling (botol/jam) x 140 ml/botol x 1 m3/1000000 ml Produk merupakan jenis fluida Newtonian (near water) tanpa partikel dengan jenis aliran laminar, sehingga Vmax = 2 x kecepatan rata-rata. Kecepatan rata-rata diukur dari debit produk (m3/jam) dibagi luas penampang pipa PHE dengan rumus : Kecepatan rata-rata (m/detik) = (Debit (m3/jam) x 1 jam/3600 detik) / luas penampang pipa (m2) Setelah data kecepatan rata-rata dan Vmax diperoleh, holding time diukur dengan rumus : Holding time (detik) = Panjang pipa (m) / Vmax (m/detik) Suhu pasteurisasi dapat ditentukan setelah holding time diperoleh. Karena suhu referensi yang digunakan 85°C dengan nilai z 8.9°C dan nilai D = 0.5 menit
67
(30 detik), maka dapat dihitung kecukupan proses pasteurisasi dengan konsep 5D. Dari rumus kecukupan panas berikut ini : t
P = ∫ 10 (T(t) –Tref)/z. dt 0
dapat diturunkan menjadi : P = 10 (T(t) –Tref)/z . t 5D/t = 10 (T(t) –Tref)/z T(t) = z.log (5D/t) + Tref Keseluruhan data perhitungan variabel kecukupan panas ini dapat dilihat pada Tabel 14. Setelah diperoleh suhu pasteurisasi untuk tiap kecepatan mesin filling, dilakukan penelitian untuk pengujian proses thermal. Penelitian dilakukan dengan trial produksi pada ukuran batch 1500 liter untuk dua kombinasi suhu dan holding time yang berbeda. Dari pengalaman produksi sebelumnya, suhu real produk bervariasi + 3°C sehingga suhu setting PHE ditambah 3°C untuk mengakomodir fluktuasi suhu selama proses. Pada kajian ini dilakukan pengamatan terhadap parameter kimia dan mikrobiologi hasil mixing dan setelah proses thermal dengan dua kombinasi suhu dan holding time tadi. Produk kemudian diinkubasi pada suhu 35°C dan diuji mikrobiologinya pada umur 5, 10 dan 15 hari.
Tabel 14. Data variabel penelitian kecukupan panas berdasarkan kecepatan mesin filling Kecepatan Mesin Filling (Botol/Jam) 5900 6900
Debit 3 (m /jam) 0.83 0.97
Vmax (m/detik) 0.14 0.17
Holding Time (detik) 95 81
Suhu Pasteurisasi (°C) 86.8 87.4
Dari data penelitian diperoleh data hasil mixing dan hasil pasteurisasi pada dua kombinasi suhu dan holding time seperti terlihat pada Tabel 14. Nilai pH produk hasil mixing dan hasil pasteurisasi masih di bawah 4.5 sehingga masuk kategori produk berasam tinggi dan masih aman. Kadar vitamin C menurun karena proses pasteurisasi sebanyak 40.7% pada kecepatan mesin filling 5900 botol/jam dan 32.9% pada kecepatan 6900 botol/jam. Nutrition lost karena proses thermal khususnya vitamin C cukup tinggi (lebih dari 25%). Menurut Ramaswamy dan Marcotte (2006), penurunan kadar vitamin C paling besar 25%. Jika waktu kontak bisa dipersingkat (suhu proses sedikit naik) kemungkinan besar nutrition loss ini bisa diperkecil.
68
Parameter mikrobiologi yang diteliti juga menunjukkan hasil yang masih sesuai dengan spesifikasi produk jadi. Secara keseluruhan, pada kecepatan 6900 botol/jam dihasilkan produk dengan stabilitas nilai gizi yang lebih baik sedangkan untuk parameter mikrobiologi tidak berbeda nyata dengan kecepatan 5900 botol/jam. USDA menyatakan bahwa contoh produk pangan (makanan berasam rendah atau diasamkan) harus diinkubasi pada rentang suhu 95 + 5°F atau 35 + 2.8°C untuk jangka waktu minimal 10 hari. Jumlah sampel yang diuji tergantung pada jumlah produk yang diproses. Untuk tipe proses secara batch, paling sedikit satu buah produk dari jumlah yang diproses, sedangkan untuk tiap proses yang kontinyu setidaknya diambil 1 per 1000 produk. Dalam pengambilan sampel, sampel dengan penampilan yang normal yang akan diuji. Untuk produk yang dikirimkan perlu diperhatikan agar produk tidak diterima konsumen sebelum tes inkubasi selesai (Hardjomidjojo 2000).
Tabel 15. Parameter kimia dan mikrobiologi hasil mixing, pasteurisasi dan inkubasi produk jadi Parameter pH Vit. C TPC
Satuan
Mixing
%
3.92 0.1031 6.0 x 1 10 <2 Neg <2.5 x 0 10 (0) <2.5 x 0 10 (0) <2.5 x 0 10 (0)
Kol/ml
Koliform Salmonella
MPN/ml /100 ml
S. aureus
Kol/ml
Kapang
Kol/ml
Khamir
Kol/ml
Pateurisasi 5900 6900 btl/jam btl/jam 3.89 3.90 0.0611 0.0692 <2.5 x <2.5 x 0 0 10 (2) 10 (2) <2 <2 Neg Neg <2.5 x <2.5 x 0 0 10 (0) 10 (0) <2.5 x <2.5 x 0 0 10 (0) 10 (0) <2.5 x <2.5 x 0 0 10 (0) 10 (0)
Inkubasi Produk Kecepatan 5900 botol/jam Kecepatan 6900 botol/jam Hari 5 Hari10 Hari15 Hari 5 Hari10 Hari15 <2.5 x <2.5 x <2.5 x <2.5 x <2.5 x <2.5 x 1 1 1 1 1 1 10 (1) 10 (5) 10 (1) 10 (1) 10 (3) 10 (3) <2 <2 <2 <2 <2 <2 Neg Neg Neg Neg Neg Neg <2.5 x <2.5 x <2.5 x <2.5 x <2.5 x <2.5 x 0 0 0 0 0 0 10 (0) 10 (0) 10 (0) 10 (0) 10 (0) 10 (0) <2.5 x <2.5 x <2.5 x <2.5 x <2.5 x <2.5 x 0 0 0 0 0 0 10 (0) 10 (0) 10 (0) 10 (0) 10 (0) 10 (0) <2.5 x <2.5 x <2.5 x <2.5 x <2.5 x <2.5 x 0 0 0 0 0 0 10 (0) 10 (0) 10 (0) 10 (0) 10 (0) 10 (0)
Data hasil inkubasi proses produksi RTD dapat dilihat pada Tabel 15. Dapat dilihat bahwa selama inkubasi tidak ada pertumbuhan mikroba secara signifikan yang dapat mempengaruhi mutu dan keamanan produk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua kombinasi suhu pasteurisasi dan holding time yang dicoba pada penelitian ini (86.8°C dan 95 detik; 87.4°C dan 81 detik) telah mencapai sterilisasi komersial. Secara keseluruhan, pada kecepatan 6900 botol/jam (suhu pasteurisasi 87.4°C dan holding time 81 detik) dihasilkan produk dengan stabilitas nilai gizi yang lebih baik sedangkan untuk parameter mikrobiologinya tidak berbeda nyata.