Jurnal Psikologi Indonesia 2009, Vol VI, No. 2, 107-119, ISSN. 0853-3098
Himpunan Psikologi Indonesia
PENGARUH FAKTOR-FAKTOR PROTEKTIF INTERNAL DAN EKSTERNAL PADA RESILIENSI AKADEMIS SISWA PENERIMA BANTUAN KHUSUS MURID MISKIN (BKMM) DI SMA NEGERI DI DEPOK (THE EFFECTS OF INTERNAL AND EXTERNAL PROTECTIVE FACTORS ON THE ACADEMIC RESILIENCE OF BANTUAN KHUSUS MURID MISKIN (BKMM) STUDENTS IN SMA NEGERI DEPOK) Hartuti & Frieda M. Mangunsong Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta
Penelitian ini bertujuan untuk melihat signifikansi pengaruh faktor protektif internal dan eksternal terhadap resiliensi akademis siswa dalam faktor risiko kemiskinan. Resiliensi akademis akan dilihat pengaruhnya terhadap prestasi belajar sebagai hasil adaptasi positif siswa dalam faktor risiko kemiskinan tersebut. Faktor protektif internal yang diteliti adalah: kerjasama & komunikasi, empati, kemampuan memecahkan masalah, efikasi diri, kesadaran diri, tujuan & aspirasi, dan religiusitas. Faktor protektif eksternal yang diteliti adalah: hubungan hangat, pengharapan tinggi, dan partisipasi berarti di lingkungan. Subyek penelitian adalah siswa penerima Bantuan Khusus Murid Miskin (BKMM) di SMA Negeri di Depok. Data dianalisis dengan analisis jalur. Diperoleh hasil bahwa faktor protektif internal yang berpengaruh signifikan adalah efikasi diri dan kesadaran diri, sedangkan faktor protektif eksternal yang berpengaruh signifikan adalah pengharapan tinggi dari lingkungan. Resiliensi akademis ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Hasil tersebut menegaskan bahwa, meskipun sesama SMA Negeri, masih belum ada standar prestasi belajar yang bisa membedakan siswa resilien dan tidak resilien secara akademis. Kata kunci: resiliensi akademis, faktor protektif, murid miskin. The objective of this research is to examine significant effects of internal and external protective factors to students’ academic resilience within poverty risk factor. Academic resilience effects being examined to academic achievement as students’ successful adaptation within such poverty risk factor. Internal protective factors which are examined consist of: cooperation & communication, empathy, problem solving, self efficacy, self awareness, goal & aspiration, and religiousness. Whereas the external protective factors consist of: caring relationship, high expectation, and meaningful participation. The subjects of this research are students who receive special grants dedicated to poor students of public senior high schools in Depok. Datas are processed using path analysis. The result found that internal factors which have significant effects are self efficacy and self awareness; and external factors that have significant effects is high expectation. It also found that academic resilience does not have significant effect to academic achievement. This result emphasizes that, despite the same public senior high schools, there are still no standard of academic achievement that can distinguish resilient and non resilient students in academic domain. Keywords: academic resilience, protective factors, poor students.
Schoorr menyatakan bahwa kemiskinan adalah faktor risiko terbesar dari semua risiko yang berkorelasi kuat dengan salah asuh usia sekolah, dan kegagalan di sekolah (dalam Goldstein & Brooks, 2005). Banyak penelitian membuktikan bahwa kemiskinan berkorelasi dengan rendahnya prestasi belajar (Noble & Kimberly, 2005; Graff & Jennifer, 2005; Bachman dalam Enoch, 1998; Sirin, 2005). Secara umum siswa dari keluarga miskin kemungkinan besar akan gagal di sekolah. Tetapi ada fenomena
bahwa siswa yang diduga akan gagal di sekolah karena berasal dari keluarga miskin ternyata berhasil memperoleh prestasi yang baik. Fenomena keberhasilan dalam kondisi yang sebenarnya sulit untuk berhasil disebut resiliensi, dalam konteks akademis disebut resiliensi akademis. Berhasil secara akademis, dalam kondisi yang sulit adalah penting. Kompetensi akademis dalam kondisi sulit pada masa anak-anak, telah terbukti berkorelasi dengan keberhasilan adaptasi pada masa dewasa
HARTUTI & FRIEDA M. MANGUNSONG
108
(Werner dalam Acreman, 2001). Menurut Doherty, kegagalan adaptasi dalam domain akademis pada individu dalam faktor risiko, juga berdampak pada masyarakat secara luas. Remaja yang tidak tamat Sekolah Menengah Atas kemungkinan besar akan jadi pengangguran dan hal ini akan menjadi beban masyarakat. Di sekolah, siswa yang tidak naik kelas akan menambah beban anggaran pendidikan. Dan lebih jauh lagi sumber daya manusia yang kurang kompeten secara akademis berdampak pada berkurangnya kemampuan bangsa tersebut untuk bersaing di perdagangan global (dalam Acreman, 2001). Oleh karena itu, mengetahui faktorfaktor protektif yang menunjang resiliensi akademis remaja yang menghadapi risiko kemiskinan merupakan hal yang sangat
penting. Penelitian ini bertujuan untuk melihat signifikansi pengaruh faktor protektif internal dan eksternal terhadap resiliensi akademis siswa dalam faktor risiko kemiskinan. Selanjutnya resiliensi akademis akan dilihat pengaruhnya terhadap prestasi akademis siswa sebagai salah satu manivestasi keberhasilan siswa resilien secara akademis. Faktor protektif internal yang diteliti adalah: komunikasi dan kerjasama; empati, kemampuan memecahkan masalah; efikasi diri; kesadaran diri; tujuan dan aspirasi; dan religiusitas. Faktor protektif eksternal yang diteliti adalah: hubungan hangat, pengharapan tinggi, dan partisipasi berarti dalam lingkungan. Subyek penelitian siswa miskin yang dipilih adalah siswa penerima
Kerjasama & Komunikasi (KK) Empati (E) Kemampuan Memecahkan Masalah (KMM) Efikasi Diri (ED) Kesadaran Diri (KD) Tujuan & Aspirasi (TA)
Akademis Resiliensi (RA)
Prestasi Belajar(P)
Religiusitas (R) Hubungan Hangat (HH) Pengharapan Tinggi (PT) Partisipasi Berarti (PB)
Gambar 1. Diagram jalur hipotesis faktor-faktor protektif internal dan eksternal terhadap resiliensi akademis dan, resiliensi akademis terhadap prestasi belajar.
HARTUTI & FRIEDA M. MANGUNSONG
109
Siswa dlm faktor risiko kemiskinan Risiko gagal berprestasi di sekolah
Ya Siswa Resilien Secara Akademis
Apakah siswa Memiliki Faktor Protektif Internal dan Eksternal yang Mendukung Resiliensi Akademis?
Siswa Berprestasi di Sekolah
Tidak Siswa Tidak Resilien Secara Akademis Siswa Gagal Berprestasi di Sekolah
Gambar 2. Model Resiliensi Akedemis, diadaptasi dari Model Resiliensi Akademis dari Arnold (2003).
Bantuan Khusus Murid Miskin di SMA Negeri di Depok. Dengan demikian, masalah dirumuskan sebagai: “Apakah faktor protektif internal: komunikasi dan kerjasama; empati; kemampuan memecahkan masalah; efikasi diri; kesadaran diri; tujuan dan aspirasi; religiusitas; dan faktor protektif eksternal: hubungan hangat, pengharapan tinggi, dan partisipasi berarti dalam lingkungan berpengaruh terhadap resiliensi akademis; serta apakah resiliensi akademis berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa penerima Bantuan Khusus Murid Miskin di SMA Negeri di Depok?” Untuk mempermudah konseptualisasi masalah, hipotesis penelitian digambarkan dalam diagram jalur di Gambar 1. Resiliensi Akademis Martin dan Marsh (2006) mendefinisikan resiliensi akademis sebagai: “student’s ability to effectively deal with setback, challenge, adversity, and pressure in academic setting.” Dari definisi tersebut, Martin & Marsh menekankan bahwa siswa yang resilien secara akademis adalah siswa yang mampu secara efektif menghadapi empat keadaan, yaitu kejatuhan (setback), tantangan (challenge), kesulitan (adversity), dan tekanan (pressure)
dalam konteks akademis. Definisi lain, Benard mendefinisikan resiliensi akademis sebagai: “kemampuan siswa untuk berhasil secara akademis walaupun menghadapi faktor-faktor risiko yang sebenarnya membuat mereka sulit untuk berhasil.” Masten & Coatsworth (dalam Samuels, 2004) menyebutnya sebagai tetap kompeten (persistent competence) dalam konteks menghadapi kesulitan. Definisidefinisi tersebut menekankan pentingnya keberhasilan akademis atau tetap kompeten secara akademis walaupun dalam konteks kesulitan yang signifikan. Faktor-faktor Risiko Goldstein dan Brooks (2005) mendefinisikan risiko sebagai adanya peluang yang besar untuk hasil yang tidak diinginkan. Sedangkan karakteristik yang terukur dalam suatu kelompok individu ataupun keadaan mereka yang dapat memprediksi munculnya hasil yang tidak diinginkan disebut faktor risiko (Goldstein & Brooks, 2005). Kemiskinan terbukti merupakan faktor risiko kuat yang mengancam keberhasilan banyak domain individu termasuk domain akademis (Schoon, 2006). Dalam penelitian ini faktor risiko kemiskinan pada siswa diambil dari data
110
HARTUTI & FRIEDA M. MANGUNSONG
sekunder yang ditetapkan pemerintah, yaitu siswa yang ditetapkan sebagai penerima Bantuan Khusus Murid Miskin (BKMM) di SMA Negeri di Depok. Adaptasi Positif dalam Konteks Akademis Masten menyatakan, secara substansial adaptasi positif menggambarkan pencapaian yang lebih baik dari yang diharapkan dalam kondisi yang sebenarnya sulit untuk mendapatkan pencapaian tersebut (dalam Schoon, 2006). Dalam konteks akademis, para peneliti menggunakan adaptasi positif yang berbeda-beda sebagai indikator resilien secara akademis. Sebagian besar peneliti menggunakan keberhasilan akademis (Borman & Overman, 2004; Cappella & Weinstein; Catteral, 1998; dan Samuels, 2004), ada juga kriteria tidak putus sekolah (Arnold, 2003), kehadiran di sekolah, kegembiraan di sekolah, dan self esteem (Martin & Marsh, 2006). Penelitian ini akan menggunakan prestasi belajar sebagai adaptasi positif dalam konteks akademis. Prestasi belajar dioperasionalisasikan sebagai nilai rapor. Faktor-faktor Protektif Faktor-faktor protektif didefinisikan sebagai “Kualitas individu atau lingkungan (konteks) atau interaksi yang menjadi prediktor untuk hasil yang lebih baik, khususnya dalam kondisi berisiko atau bertantangan” (Goldstein & Brooks, 2005). Secara garis besar faktor-faktor protektif dibagi menjadi dua yaitu faktor protektif internal dan faktor protektif eksternal.Ada tujuh variabel faktor protektif internal yang diteliti, yaitu: kerjasama & komunikasi, empati (kategori kompetensi sosial), kemampuan memecahkan masalah, efikasi diri, kesadaran diri (kategori otonomi), tujuan & aspirasi, religiusitas. Dalam penelitian ini, kerjasama dan komunikasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk bekerja, bertukar pikiran, dan mengekspresikan perasaan dan keinginan secara efektif dengan orang lain (Benard, 2004). Empati adalah keterampilan dasar manusia yang mengarahkan seseorang untuk mengesampingkan kepentingan pribadinya dan berperilaku dengan perasaan kasih dan mengutamakan orang
lain (Goleman,1995 dalam Benard, 2004). Kemampuan memecahkan masalah merujuk pada kemampuan untuk merencanakan, mencari sumberdaya, berfikir secara kritis dan efektif, dan secara kreatif memeriksa dari berbagai perspektif sebelum membuat keputusan atau tindakan (Benard, 2004). Efikasi diri adalah keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya untuk mengorganisasikan dan memutuskan rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai performansi tertentu (Bandura, 1986 dalam Schunk & Pintrich, 1996). Kesadaran diri adalah memahami pikiran dan perasaan sendiri yang meliputi observasi pikiran dan perasaannya (Benard, 2004). Tujuan dan aspirasi adalah ekspresi dari motivasi intrinsik yang memandu perkembangan seseorang (Benard, 2004). Religiusitas merujuk pada kepercayaan dan amalan-amalan yang berakar pada keyakinan bahwa ada dimensi transenden (nonfisik) dalam kehidupan manusia (Peterson & Seligman, 2004). Mencakup tiga dimensi yaitu: religious organizational involvement (keterlibatan dalam aktivitas organisasi keagamaan), religious non organizational involvement (keterlibatan dalam aktivitas pribadi yang terkait dengan keagamaan) dan subjective religious involvement (terkait dengan tingkat komitmen dalam beragama) (Levin, Taylor, & Chatters, dalam Peterson & Seligman, 2004). Tiga faktor protektif eksternal yang mendorong perkembangan dan pembentukan resiliensi remaja, yaitu: hubungan hangat, pengharapan tinggi, dan partisipasi berarti di lingkungan (Benard, 1995). Hubungan hangat didefinisikan sebagai kehadiran paling tidak satu orang yang peduli, penuh belas kasih, dan yang memahami perilaku individu (Benard, 1995). Pengharapan tinggi merujuk pada hubungan yang membawa pesan pengharapan tinggi, agar anak percaya pada diri mereka dan pada masa depannya (Benard, 1995). Partisipasi berarti adalah memberi kesempatan anak untuk aktif dan mendapatkan tanggung jawab dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna (Rutter et al., 1979; dalam Benard, 1993). Bantuan Khusus Murid Miskin (BKMM) Persyaratan penerima BKMM adalah siswa SMA Negeri dan swasta kelas 10, 11,
HARTUTI & FRIEDA M. MANGUNSONG
dan 12 berlatar belakang keluarga miskin dalam kondisi: 1) terancam putus sekolah karena kesulitan biaya pendidikan, 2) tidak dalam kondisi menerima beasiswa sejenis dari sumber manapun. Kemiskinan yang dimaksud berdasarkan definisi BKKBN. Besar bantuan adalah Rp 65,000,- per siswa per bulan atau Rp 780,000,- per siswa per tahun. Kerangka Konsep Resiliensi akademis akan terwujud bila sistem pendukung bekerja dengan baik mendukung siswa yang berada dalam faktor risiko. Sistem yang mendukung terdiri atas faktor internal dan eksternal dan biasa disebut faktor protektif internal dan faktor protektif eksternal. Kesulitan atau tantangan yang disebut faktor risiko dapat ditahan ataupun dikompensasi oleh faktor-faktor protektif. Kehadiran faktor-faktor protektif menentukan apakah individu akan gagal atau berhasil dalam menghadapi risiko tersebut. Gambar 2 adalah model resiliensi akademis yang diadaptasi dari model resiliensi akademis Arnold (2003). Metode Penelitian Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian korelasional, yang merupakan bagian dari penelitian kuantitatif non eksperimental. Penelitian korelasional adalah penelitian untuk mengobservasi nilai dua atau lebih variabel dan menentukan hubungan yang terjadi diantara mereka. Dalam penelitian ini peneliti tidak melakukan kontrol terhadap variabel bebasnya karena manifestasinya telah muncul, dan keberadaan variabel ini telah melekat pada subjek sehingga peneliti tidak bisa memanipulasi variabel tetapi hanya mengobservasinya (Bordens & Abbot, 2005). Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah siswa penerima Bantuan Khusus Murid Miskin di SMA Negeri di Depok kelas 11 dan 12. Kelas 10 tidak disertakan dalam penelitian karena kelas 10 adalah saat transisi dari SLTP ke SMA. Kelas 10 tidak disertakan dalam penelitian untuk menghindari bias antara risiko masa transisi dengan risiko karena kemiskinan (Eccles
111
dkk dalam Santrock, 1996 p 259). Sampel penelitian diambil dengan metode accidental sampling, dimana subjek penelitian yang dipilih adalah yang telah tersedia, tetapi tetap memenuhi persyaratan (Kerlinger, 2004). Jumlah total partisipan penelitian adalah 138, dari enam SMA Negeri di Depok. Sebanyak 10 siswa dari SMAN 1; 22 siswa dari SMAN 2; 26 siswa dari SMAN 3; 11 siswa dari SMAN 4; 26 siswa dari SMAN 5; dan 43 siswa dari SMAN 6. Ada 58 (42.0%) laki-laki dan 80 (58.0%) perempuan. Siswa kelas 11 ada 70 anak (50.7%) dan siswa kelas 12 ada 68 anak (49.3%). Mereka terbagi dalam jurusan IPA 72 siswa (52.2%) dan jurusan IPS 66 siswa (47.8%). Rata-rata usia partisipan 16 tahun 11 bulan. Variabel Penelitian dan Instrumen Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variabel-variabel dari faktor protektif internal dan eksternal. Ada tujuh faktor protektif internal, yaitu: komunikasi dan kerjasama; empati; kemampuan memecahkan masalah; efikasi diri; kesadaran diri; tujuan & aspirasi; dan religiusitas. Dan ada tiga variabel faktor protektif eksternal, yaitu: hubungan hangat, pengharapan tinggi, dan partisipasi berarti. Variabel-variabel faktor protektif internal: kerjasama & komunikasi, empati, kemampuan memecahkan masalah, efikasi diri, kesadaran diri, dan tujuan & aspirasi diukur dengan skala faktor protektif internal (α = 0,786) yang diadaptasi dari Resilience and Youth Development Module (RYDM) modul B (WestEd, 2002) (α = 0,786). Variabel religiusitas diukur dengan skala protektif internal religiusitas (α = 0,634) yang disusun penulis berdasarkan tiga dimensi religiusitas dari Levin, Taylor, & Chatters, yaitu: organizational involvement (keterlibatan dalam organisasi keagamaan), non organizational involvement (keterlibatan dalam aktivitas pribadi yang terkait dengan keagamaan), dan subjective religious involvement (keterikatan dan komitmen dalam beragama) (dalam Peterson & Seligman, 2004). Selanjutnya tiga variabel faktor protektif eksternal diukur dengan skala faktor protektif eksternal (α = 0,892) yang diadaptasi dari Resilience and Youth Development Module (RYDM) modul A (WestEd, 2002). Penelitian ini melibatkan dua variabel
HARTUTI & FRIEDA M. MANGUNSONG
112
Tabel 1. Koefisien pengaruh Faktor Protektif Internal & Eksternal (variabel bebas) terhadap Resiliensi Akademis (variabel terikat 1)
Pengaruh Antar Variabel
Nilai Koefisien b
Nilai t
Keterangan
Kerjasama & komunikasi (KK) thd RA
0
0.06
TS
0.07
0.93
TS
- 0.06
- 0.78
TS
Efikasi diri (ED) thd RA
0.47
6.2
S**
Kesadaran diri(KD) thd RA
0.21
2.5
S*
Tujuan & aspirasi (TA) thd RA
0.05
0.6
TS
Religiusitas (R) thd RA
- 0.02
- 0.32
TS
Hubungan hangat (HH) thd RA
- 0.17
-1.87
TS
Pengharapan tinggi (PT) thd RA
0.24
2.52
S*
0.24
TS
Empati (E) thd RA Kemampuan memecahkan masalah (KMM) thd RA
Partisipasi berarti (PB) thd RA 0.02 TS = Tidak signifikan; S* = l.o.s. 0.01; S** = l.o.s. 0.05
terikat, yaitu resiliensi akademis dan prestasi belajar. Variabel resiliensi akademis diukur dengan skala resiliensi akademis (α = 0,664) yang diadaptasi dari skala Martin dan Marsh (2006). Skala ini mengukur kemampuan siswa untuk secara efektif menghadapi kejatuhan, tantangan, kesulitan, dan tekanan dalam konteks akademis. Sedangkan data prestasi belajar diambil dari nilai rapor mid semester ganjil tahun ajaran 2009/2010. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan path analysis (analisis jalur). Penggunaan analisis jalur adalah untuk mengetahui dan mendefinisikan hubungan antar variabel. Dengan menggunakannya, dapat dihitung pengaruh langsung dan tidak langsung variabel-variabel bebas terhadap suatu variabel terikat. Pengaruh-pengaruh itu tercermin dalam suatu indeks yang disebut koefisien jalur (path coefficients = p) yang sesungguhnya adalah koefisien regresi yang telah dibakukan (beta, β) (Kerlinger, 2004). Untuk melakukan analisis jalur secara sekaligus pada model dengan variabel terikat lebih dari satu seperti dalam penelitian ini, dilakukan dengan program Lisrel.
Hasil Penelitian Uji Kecocokan Model Uji kecocokan model adalah untuk mengevaluasi derajat kecocokan antara data yang diperoleh dari observasi dengan model yang diajukan dalam penelitian. Dari uji kecocokan model (Goodness of Fit Statistics) , diperoleh nilai Critical N (CN) = 213.92 (>200). Nilai ini menunjukkan bahwa model cukup mewakili sampel data atau ukuran sampel mencukupi untuk menghasilkan model fit. Nilai RMSEA < 0.05 dan nilai P > 0.05 menunjukkan good fit. Nilai indeks NFI, NNFI, CFI, IFI, dan GFI > 0.9 adalah good fit (Wijanto, 2008). Dari kombinasi berbagai ukuran kecocokan tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa kecocokan keseluruhan model adalah baik, artinya data yang diperoleh dari penelitian dan model yang diajukan fit (cocok). Uji Hipotesis Tabel 1. menampilkan analisis signifikansi pengaruh variabel bebas faktor protektif iternal dan eksternal terhadap variabel terikat resiliensi akademis. Tabel 2. menampilkan hasil analisis signifikansi pengaruh variabel terikat resiliensi akademis terhadap variabel terikat prestasi belajar.
HARTUTI & FRIEDA M. MANGUNSONG
113
Tabel 2. Koefisien pengaruh Resiliensi Akademis (variabel terikat 1) terhadap Prestasi Belajar (variabel terikat 2)
Pengaruh Antar Variabel
Nilai Koefisien b
Nilai t
Keterangan
Resiliensi Akademis (RA) terhadap Prestasi Belajar (P)
0.07
0.74
TS
TS = tidak signifikan
Dari tabel 1. diketahui bahwa ada tiga variabel yang secara signifikan memengaruhi resiliensi akademis siswa penerima BKMM di SMA Negeri di Depok (nilai t > 2), yaitu: efikasi diri, kesadaran diri, dan pengharapan tinggi. Variabel efikasi diri dan kesadaran diri merupakan faktor protektif internal, sedangkan variabel pengharapan tinggi merupakan faktor protektif eksternal. Variabel efikasi diri signifikan pada l.o.s. 0.01, sedangkan variabel kesadaran diri dan pengharapan tinggi signifikan pada l.o.s. 0.05. Besarnya sumbangan masing-masing variabel ditunjukkan oleh nilai koefisien β. Selanjutnya dibuat persamaan dari variabelvariabel yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya. Berikut adalah persamaan yang dihasilkan. RA = 0.47*ED + 0.21*KD + 0.24*PT R2 = 0.49 R2 adalah koefisien determinasi yang menunjukkan seberapa besar variasi variabel terikat dapat dijelaskan oleh variabel bebas. Harga R2 = 0.49 artinya adalah: harga sumbangan variabel efikasi diri, kesadaran diri, dan pengharapan tinggi terhadap variasi variabel resiliensi akademis adalah 49%, sisanya sebanyak 51% merupakan sumbangan faktor lain. Uji hipotesis pengaruh resiliensi akademis terhadap prestasi belajar bisa dilihat pada tabel 2. Dari tabel tersebut diketahui bahwa resiliensi akademis tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi akademis siswa penerima BKMM di SMA Negeri di Depok. Prestasi akademis merupakan adaptasi positif dalam domain akademis yang ditetapkan dalam penelitian ini. DISKUSI
Faktor Protektif Internal dan Eksternal terhadap Resiliensi Akademis Faktor protektif internal yang paling berpengaruh terhadap resiliensi akademis adalah efikasi diri. Penemuan ini sesuai dengan penemuan Borman dan Rachuba (2001) dan penelitian Martin dan Marsh (2008). Efikasi diri pada dasarnya adalah keyakinan seseorang akan kompetensi dirinya secara spesifik, dalam hal ini adalah dalam konteks akademis. Menurut Pintrich dan Scunk (1996) keyakinan akan kompetensi tersebut akan memperkuat dan memperpanjang motivasi dan keinginan untuk selalu belajar dan mengembangkan diri. Motivasi yang kuat untuk tetap berprestasi adalah ciri siswa resilein secara akademis menurut Alva (dalam Martin & Marsh, 2006). Faktor protektif internal selanjutnya yang berpengaruh signifikan adalah variabel kesadaran diri. Menurut Daniel Goleman, kesadaran diri adalah sumber terpenting kecerdasan emosi yang merupakan faktor penting keberhasilan seseorang. Dalam konteks ini kesadaran diri yang ekuivalen dengan kecerdasan emosi berpengaruh signifikan terhadap resiliensi akademis siswa dalam risiko kemiskinan. Hal ini bisa dipahami, mengingat subyek penelitian ini adalah remaja yang labil karena sedang mencari identitas diri (Erikson, dalam Santrock, 1996). Pada remaja dengan risiko kemiskinan, sumber tekanan dari luar lebih besar lagi (Sampson, Morenoff, & Earls, dalam Cauce, A.M., Steward, A., et. Al., 2003). Faktor-faktor ini terkait dengan hasil negatif berbagai domain perkembangan (Brooks-Guun & Duncan, Gorman-Smith & Tolan, dalam Cauce, A.M., Steward, A., et. Al., 2005), termasuk kegagalan di sekolah
114
HARTUTI & FRIEDA M. MANGUNSONG
(Schorr, dalam Goldsten & Brooks , 2005). Tujuan dan aspirasi tidak berpengaruh signifikan. Tujuan dan aspirasi mengukur apakah seorang siswa telah memiliki tujuan jauh ke depan, jelas, dan spesifik dalam kaitannya dengan akademis (Benard, 2004). Secara umum hasil ini berbeda dengan hasil penelitian di Barat, seperti yang dilakukan oleh Cappella dan Weinstein (2001) juga Finn dan Rock (1997) yang memperlihatkan bahwa aspirasi ke depan terhadap akademis merupakan prediktor resiliensi akademis. Menurut peneliti, hal ini terkait dengan perbedaan konteks negara Barat dan Indonesia sebagai negara Timur. Konteks Indonesia dengan kultur kolektivistik berbeda dengan kultur Barat yang individualistik. Dalam kultur kolektivistik kepentingan individu dan keberhasilan individu tidak ditonjolkan, dan ketergantungan individu pada orang lain (lingkungan) besar, maka perkembangan individu khususnya remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan terdekatnya (Berry et. Al., 1999). Menurut temuan Utami Munandar (dalam Abisaputra, 2006) pendidikan anak pada keluarga miskin umumnya berlangsung tanpa rencana, sikap orang tua lemahpermisif, dengan aspirasi pada pendidikan rendah. Kondisi ini memengaruhi karakteristik siswa miskin menjadi tidak aspiratif terhadap pendidikan, sedangkan sifat permisif (serba membiarkan) orang tua justru membuat mereka tidak mempunyai arah atau tujuan yang jelas dalam aktivitasnya. Menurut penulis, perbedaan konteks juga menyebabkan mengapa kemampuan memecahkan masalah juga tidak berpengaruh signifikan terhadap resiliensi akademis siswa yang menjadi subyek penelitian ini. Kemampuan memecahkan masalah meliputi merencanakan, pandai mencari sumber bantuan lain, dan berfikir secara kritis, kreatif, dan reflektif (Benard, 1995). Hal ini cocok dengan individu barat yang peduli terhadap waktu dan perencanaan, terbuka terhadap pengalaman baru, biasa melakukan pembedaan-pembedaan (diterminasi), dan relatif mandiri dari otoritas orang tua. Kepribadian tersebut tidak banyak ditemui dalam negara berkembang (Triandis dalam Berry, 1999). Kerjasama dan komunikasi, dan empati juga tidak berpengaruh signifikan
terhadap resiliensi akademis. Kerjasama dan komunikasi, dan empati masuk kategori kompetensi sosial (Benard, 2004). Kekuatan variabel kerjasama dan komunikasi adalah memfasilitasi perkembangan protektif faktor yang sangat penting yaitu hubungan yang hangat dengan lingkungan (Benard, 2004). Sedangkan keuntungan variabel empati secara emosional akan lebih dekat, lebih populer, lebih ramah, dan lebih peka (Roberts & Strayer, dalam Benard, 2004). Diduga variabel ini lebih berpengaruh pada resiliensi secara umum bukan khusus akademis, Variabel religiusitas yang diduga peneliti akan berpengaruh terhadap resiliensi akademis tidak terbukti. Religiusitas secara umum berpengaruh terhadap resiliensi (Masten, dalam Samuels, 2004; Benard, 1995). Keterlibatan remaja pada kegiatan religiusitas memang akan menurunkan partisipasi mereka dalam perilaku negatif seperti hasil penelitian Donahue & Benson, dan Richards & Bergin (dalam Thompson, 2008). Tetapi hal ini ternyata belum cukup kuat untuk memengaruhi resiliensi akademis. Pembahasan berikutnya adalah tentang variabel dari faktor protektif eksternal/ lingkungan yang berpengaruh signifikan terhadap resiliensi akademis. Lingkungan, pengaruhnya lebih besar pada masa perkembangan remaja dibandingkan masa perkembangan sebelumnya (Santrock, 1996). Faktor lingkungan yang berpengaruh signifikan adalah variabel pengharapan tinggi. Pengharapan tinggi mengandung pesanpesan tentang usaha maksimal, keyakinan tentang masa depan, dan penghargaan akan keberhasilan. Secara umum pengharapan tinggi dari lingkungan berpengaruh terhadap resiliensi remaja miskin, seperti hasil penelitian Alimi (2005). Dalam konteks akademis penelitian Gizir (2004) membuktikan bahwa pengharapan tinggi dari lingkungan keluarga dan sekolah berpengaruh signifikan terhadap resiliensi akademis siswa miskin di Turki. Sedangkan Benard (1991) menyatakan bahwa pengharapan tinggi juga harus realistis agar berfungsi sebagai faktor protektif pada siswa yang hidup dalam faktor risiko kemiskinan.. Variabel hubungan hangat dan partisipasi berarti di lingkungan tidak berpengaruh signifikan terhadap resiliensi akademis. Variabel hubungan hangat yang kontennya
HARTUTI & FRIEDA M. MANGUNSONG
meliputi adanya perhatian, bantuan, dan kepedulian dari lingkungan tidak berpengaruh signifikan terhadap resiliensi akademis siswa-siswa tersebut. Bila dalam pengharapan tinggi kontennya adalah pesanpesan tentang dorongan dan keyakinan akan keberhasilan anak, maka dalam hubungan hangat titik beratnya adalah pada pemberian kenyamanan. Hal ini mungkin yang bisa menjelaskan mengapa hubungan hangat tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada resiliensi akademis. Variabel ini lebih tepat sebagai prediktor perkembangan yang sehat bagi remaja (Benard, 1995). Tetapi menurut hasil penelitian Noddings, hubungan yang hangat dengan guru membangkitkan motivasi pada siswa untuk berhasil di sekolah (dalam Benard, 1995). Keterbatasan penelitian ini adalah tidak bisa memisahkan pengaruh masing-masing komponen lingkungan, sehingga tidak bisa memberi pembahasan lebih detail tentang masalah ini. Variabel selanjutnya adalah partisipasi berarti di lingkungan. Dimensi yang diukur adalah partisipasi siswa dalam kegiatan yang menarik, menyenangkan, dan ada tanggung jawab serta kontribusi siswa tersebut. Seperti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, kegiatan karang taruna di lingkungan, atau kegiatan hobi lainnya. Temuan ini seperti dalam Gizir (2004) dan temuan Finn & Rock (1997) yang menyatakan bahwa keterlibatan siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler tidak berkorelasi langsung dengan pencapaian akademis siswa dalam risiko kemiskinan. Sementara Shumow, Vandell, dan Posner (1999) menyatakan bahwa sumberdaya aktivitas di lingkungan lebih berperan dalam mengurangi perilaku bermasalah secara umum pada remaja dibandingkan dengan perannya dalam mendorong kompetensi akademis yang merupakan salah satu indikator resiliensi akademis. Resiliensi Akademis terhadap Prestasi Belajar Resiliensi akademis tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi belajar. Prestasi belajar adalah adaptasi positif dalam konteks akademis yang paling banyak digunakan oleh peneliti (Borman & Overman, 2004; Cappella & Weinstein; Catteral, 1998; dan Samuels, 2004), disamping kriteria tidak
115
putus sekolah (Arnold, 2003), kehadiran di sekolah, kegembiraan di sekolah, dan self esteem secara umum (Martin & Marsh, 2006). Hal ini terkait dengan banyak penelitian yang menunjukkan bahwa keberhasilan akademis dalam kondisi sulit adalah penting. Keberhasilan akademis dalam kondisi sulit pada masa anak-anak, telah terbukti berkorelasi dengan keberhasilan adaptasi pada masa dewasa (Werner dalam Acreman, 2001).Adaptasi positif dalam domain akademis juga diterima sebagai indikator perkembangan yang sehat (Power & Hertzman dalam Schoon, 2004). Schoon (2006) menemukan juga bahwa keberhasilan akademis saat remaja (usia 16 tahun) merupakan prediktor penting bagi kerhasilan mereka saat dewasa kelak. Sebaliknya kegagalan dalam domain akademis pada masa remaja berkorelasi kuat dengan perilaku bermasalah pada periode selanjutnya (Cairns, Bairns, & Neckerman, dalam Schoon, 2004). Dengan data-data tersebut, bagaimana penjelasannya bahwa dalam penelitian ini resiliensi akademis tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Menurut penulis, hal ini terutama disebabkan oleh sulitnya menentukan prestasi belajar yang bisa digunakan untuk mewakili keberhasilan akademis siswa. Masalah ini telah menjadi perdebatan banyak peneliti. Kesulitannya meliputi penentuan prestasi belajar apa yang digunakan, dan penentuan batasan ukuran prestasi belajar untuk menentukan siswa resilien atau tidak resilien secara akademis. Di Indonesia, disamping kesulitan tersebut masalah lain yang muncul adalah menentukan prestasi belajar yang telah distandarisasi dan bisa diperbandingkan antar sekolah. Pendekatan penulis dalam membatasi populasi penelitian hanya pada siswa penerima BKMM di SMA Negeri adalah untuk mendapatkan standar kualitas sekolah yang serupa, sehingga prestasi belajar siswa antar sekolah dianggap memiliki standar yang sama. Sekolah negeri merupakan sekolah pemerintah yang diharapkan mampu mewakili standar kualitas pendidikan di Indonesia. Tetapi dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa walaupun sesama sekolah negeri tetapi sepertinya masih terdapat perbedaan standar terhadap penilaian prestasi belajar siswa.
116
HARTUTI & FRIEDA M. MANGUNSONG
Analisis lain bisa dilihat dari penggunaan nilai rapor secara umum dalam penelitian ini. Penggunaan nilai rapor secara umum adalah salah satu cara untuk menentukan keberhasilan akademis, banyak peneliti yang menggunakan nilai khusus seperti nilai matematika, keterampilan membaca, atau bahasa. Penelitian selanjutnya bisa menggunakan nilai khusus (seperti matematika, keterampilan membaca, atau bahasa). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini yang menempatkan variabel efikasi diri sebagai variabel yang paling berpengaruh terhadap resiliensi akademis. Efikasi diri adalah keyakinan akan kompetensi pada suatu kemampuan yang khusus, maka penelitian dengan keberhasilan akademis yang khusus diprediksi akan memberikan hasil yang lebih akurat dalam memprediksi hubungan antara resiliensi akademis dan prestasi belajar. Kesimpulan Dari hasil uji hipotesis, dalam batas siswa yang menjadi subyek penelitian ini, disimpulkan bahwa dari faktor-faktor protektif internal: variabel efikasi diri merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap resiliensi akademis, dan kemudian variabel kesadaran diri. Sedangkan dari faktor-faktor protektif eksternal yang berpengaruh secara signifikan adalah pengharapan tinggi dari lingkungan. Ketiga variabel tersebut menerangkan 49% variasi yang terjadi pada variabel resiliensi akademis. Variabel-variabel: kerjasama dan Daftar Pustaka Abisaputra (2006). Gambaran motivasi berprestasi pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin (Tugas akhir, tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta.. Acreman, M.E. (2001). Childhood resilience in the academic setting (Unpublished thesis). Department of Psychology, Queen’s University. Arnold, P.F. (2008). Characteristic of families and schools that foster academic resilience: Insight gained from the National
komunikasi, kemampuan memecahkan masalah, empati, tujuan dan aspirasi, dan religiusitas dari faktor protektif internal tidak berpengaruh signifikan terhadap resiliensi akademis. Demikian juga variabel hubungan hangat, dan partisipasi berarti di lingkungan dari faktor protektif eksternal tidak berpengaruh signifikan terhadap resiliensi akademis. Selanjutnya dari hasil uji hipotesis diperoleh bahwa resiliensi akademis tidak berpengaruh signifikan terhadap prestasi akademis. Keterbatasan Penelitian dan Saran Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah: 1) Penelitian dilakukan di banyak sekolah sehingga sulit untuk mencari standar prestasi belajar yang bisa mewakili; 2) Populasi miskin yang sesuai dengan definisi juga terbatas, sehingga kurang memenuhi untuk membuat model penuh Structural Equation Modelling; 3) Penentuan kemiskinan dengan data sekunder; 4) Menggunakan data prestasi belajar yang terlalu luas batasannya. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk: 1) Melakukan penelitian di satu sekolah; 2) Mendefinisikan subyek penelitian yang mencakup lebih banyak siswa miskin; 3) Menggunakan data kemiskinan primer (langsung mengambil data dari subyek penelitian; 4) Menggunakan batasan keberhasilan akademis yang lebih sempit, seperti khusus pelajaran matematika, membaca, atau bahasa.
Educational Longitudinal Study 19881994 (Unpublished doctoral dissertation). College of Education, The Florida State University, Florida. Benard, B. (1995). Fostering resilience in children. Illinois: Children’s Research Center, University of Illinois, Urbana-Champaign. Benard, B. (1993). Fostering resilience in kids. Academic Research Library, Educational leadership, 51(3). Benard, B. (2004). Resiliency: What we have learned. WestEd.
HARTUTI & FRIEDA M. MANGUNSONG
Berry, J.W., Poortinga, Y.H., Marshall, Segall, Dasen, P.R. (1999). Psikologi lintas budaya, riset dan aplikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Borman, G.D. & Rachuba, L.T. (2001). Academic success among poor and minority students: An analysis of competing models of school effects (Report No. 52). Johns Hopkins University. Borman, G.D., & Overman, L.T. (2004). Academic resilience in mathematics among poor and minority students. The Elementary School Journal, 104(3). Bordens, K.S., & Abbott, B.B. (2005). Research design and methods. New York: McGraw-Hill. Bryan, J. (2005). Fostering educational resilience and achievement in urban schools through Shcool-Family-Community Partnerships. ProQuest Educational Journals, 8(3), 219. Cappella, E., & Weinstein, R. (2001). Turning around reading achievement: Predictors of High School students’ academic resilience. Journal of Educational Psychology, 93(4), 758-771. Catteral, J.S. (1998). Risk and resilience in student transitions to high school. American Journal of Educations, 106(2), 302334. Departemen Pendidikan Nasional (2009). Pedoman BKMM bantuan khusus murid miskin. Sekolah Menengah Atas 2009. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Direktorat Pembinaan Bahasa. Downwy, J.A. (2002). Perspectives on educational resilience from children facing adversity. Colorado: University of Northern Colorado. Finn, J.D., & Rock, D.A. (1997). Academic success among students at risk for School Failure. Journal of Applied Psychology, 82(2), 221-234. Fraser, M.W., Richman, J.M., & Galinsky, M.J. (1999). Risk, protection, and resilience:
117
Toward a conceptual framework for social work practice. Social work research, 23 (3). Friedlmeier, W., Chakkarath, P., Schwarz, B. (2005). Culture and human development – The importance of cross-cultural research for the social science. New York: Psychology Press. Gizir, C.A. (2004). Academic resilience: An investigation of protective factors ontributing to the academic achievement of eighth grade students In poverty. (Unpublished thesis). Educational Sciences, Middle East Technical University. Goldstein, S., & Brooks, R.B. (2005). Handbook of resilience in children. Springer Science and Busines Media. Graff, J.M. (2005). Children’s academic achievement at school: Socioeconomic status, teacher-child relationship, home environment, and parental belief. Disertation Abstracts International: Section A. Humanities and Social Sciences, 65 (11-A), 4098. Healthy Kids Resilience Module Report. WestEd and California Department of Education, , 2007. Hutchinson, N.L., et. al. (2004). Academic resilience: A restrospective study of adults with learning difficulties. Alberta Journal of Educational Research, 50(1), 5. Kerlinger, F.N. (1990). Asas-asas penelitian behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Lynch, C.J. (2007). Exploring The Implementation of A Life Skills Training Program for Adolescents in The Texas Foster Care System. Texas: Presented to the Graduate School of The University of Texas. Luthar, S.S. (2003). Resilience and vulnerability: Adaptation in the context of childhood adversity. New York: Cambridge University Press. Markum, E. (1998). Sifat sumberdaya manusia Indonesia penunjang pembangunan: Suatu studi tentang prasyarat sifat, latar
118
HARTUTI & FRIEDA M. MANGUNSONG
belakang keluarga dan sekolah dari individu berprestasi tinggi (Disertasi, tidak diterbitkan). Pascasarjana Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Jakarta. Marshal, M.P. (2008). Overcoming the odds: An initerpretive phenomenological analysis of academic resilience among urban adults (Unpublished dissertation).. Wright Institute Graduate School of Psychology. Martin, A.J., & Marsh, H.W. (2006). Academic resilience and its psychological and educational correlates: A construct validity approach. Psychology in The School, 43 (3). Masten, A.S. (2001). Ordinary magic. American Psychologist, 56(3), 227-238. Milne, A., & Plourde, L.A. (2006). Factors of a low SES household: What aids academic achievement? Journal of Instructonal Psychology, 33(3), 183-193. Mirkiani, A. (2007). Toward understanding academic risk and resilience A social capital perspective (Unpublished dissertation). The Graduate School, University of Southern California Noble, K.G. (2005). Socioeconomic status modulates cognition and behavior elationships. Disertation Abstracts International: section B. Sciences and Engineering. 66(2-B), 746. Peterson, C., & Seligman, Martin E.P. (2004). Character strengths and virtues: A handbook and classification. American Psychological Association, Oxford University Press. Pintrich, P.R., & Schunk, D.H. (1996). Motivation in education. New Jersey: Prentice Hall. Resilience & Youth Development Module (2002). Diunduh dari www.wested.org/ hks. Samuels, W.E. (2004). Development of nonintellectivemeasure off academic success: Towards the quantification of resilience. Texas: Graduate School, The University of Texas, Arlington.
Santrock, J.W. (1996). Adolescence: Perkembangan remaja (Shinto B. Adelar & Sherly Saragih, Trans.). Jakarta: Erlangga. Schoon, I. (2006). Risk and resilience: Adaptations in changing times. New York: Cambridge, University Press. Schoon, I., Parson, A., & Sacker, A. (2004). Socioeconomic adversity, educational resilience, and subsequent levels of adult adaptation. Journal of Adolescent Research, 19(4), 383-404. Shumow, L., Vandell, D.L., & Posner, J. (1999). Risk and resilience in the urban neighborhood: Predictors of academic performance among low income elementary school children. Merrill-Palmer Quarterly, 45(2), 309-330. Sirin, S. (2005). Socioeconomic status and academic achievement: A meta-analitic review of research. Review of Educational Research, 75(3), 417-453. Snape, D.J., & Miller, D.J. (2008). A challenge of living/understanding the psycho-social processes of the child during primary and self-esteem theories. Educational Psychology Review, 20, 217-236. Sobur, A. (2003). Psikologi umum. Bandung: Pustaka Setia. Suripto (1996). Pengaruh inteligensi, status sosial ekonomi, pola asuh, dan kemandirian belajar anak terhadap prestasi belajar siswa Sekolah Dasar (Tesis, tidak dipublikasikan). Pascasarjana Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Jakarta. The SMERU Research Institute (2005, Oktober-Desember). Inequality: An old issue of new relevance, 16. Thompson, C.D. (2008). The role of adolescent pirituality in resilience among African American adolescents (Unpublished dissertation). Faculty of the Graduate School of Psychology, Fuller Theological Seminary. Vanderbilt-Adriance, Ella, & Shaw, Daniel S. (2008). Conceptualizing and re-evaluating resilience across levels of risk, time, and
HARTUTI & FRIEDA M. MANGUNSONG
domains of competence. Clinical Child Family Psychological Review, 11, 30-58. Yohandarwati, dkk. (2004). Laporan akhir studi sistem perlindungan sosial bagi
e-mail:
[email protected]
119
penduduk miskin. Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan, Bappenas.