PROSES ARBITRASE BANK INDONESIA TERHADAP PENANAMAN MODAL ASING
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas- tugas Dan Memenuhi Syarat- syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
ENDAME S GINTING NIM. 040200180 Departemen Hukum Perdata
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
PROSES ARBITRASE BANK INDONESIA TERHADAP PENANAMAN MODAL ASING
Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Tugas- tugas Dan Memenuhi Syarat- syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
ENDAME S GINTING NIM. 040200180 DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN : BW
Disetujui oleh : Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS NIP. 131764556
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS
M. Hayat, SH
NIP. 131764556
NIP. 130808994
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007 Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan berkat yang dilimpahkannya sehingga penulis dapat memulai, menjalani dan mengakhiri masa perkuliahan serta dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik- baiknya. Adapun skripsi ini berjudul “Proses Arbitrase Bank Indonesia terhadap Penanaman Modal Asing” yang merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Bahwa penulis menyadari skripsi ini sangat jauh dari sempurna, karena itu penulis dengan terbuka menerima saran dan kritik positif dari pembaca sehingga skripsi ini dapat lebih baik dan bermanfaat bagi yang membacanya. Pada kesempatan ini, dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, sebagai ketua Departemen Hukum Keperdataan, sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak M. Hayat, SH, sebagai Pembimbing II yang telah banyak memberi bimbingan dan nasehat dalam penulisan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen lainnya yang telah banyak berjasa dalam membimbing penulis selama perkuliahan.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
5. Segala hormat dan terima kasih khusus penulis ucapkan kepada Ayahanda (Alm) Ir. K. Ginting dan Ibunda JM. Sitepu, BA atas kasih sayang, dukungan dan doanya yang tak pernah habisnya. 6. Juga buat dukungan dan doa yang tulus dari abang dan adek- adekku, Bang Donald, Adekku Masta dan Septi.. 7. Seluruh keluarga besar Ginting dan Sitepu sekalian atas bantuan dan doanya. 8. Terima kasih buat orang yang telah banyak membantu dan mendukungku dalam mengerjakan skripsi ini, sahabat- sahabat terbaikku selama ini Siska dan Deasy “Mami”. 9. Serta seluruh teman- teman di Fakultas Hukum USU Medan. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat dan berkatnya bagi kita semua. Semoga skripsi ini bermanfaat. Terima kasih.
Medan,
November 2007 Penulis,
(Endame S Ginting)
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR……………………………………………………………. i DAFTAR ISI……………………………………………………………………… iii ABSTRAKSI…………………………………………………………………. vi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………..... 1 B. Perumusan Masalah…………………………………………… 3 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………………………………… 4 D. Keaslian Penulisan…………………………………………….. 5 E. Tinjauan Kepustakaan…………………………………………. 5 F. Metode Penulisan………………………………………………9 G. Sistematika Penulisan…………………………………………. 9
BAB II
ARBITRASE SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA A. Sejarah Arbitrase dan dasar hukum arbitrase………………….. 12 B. Prinsip- prinsip penyelesaian sengketa lewat arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999………………………………. 21 C. Keuntungan dan kelemahan arbitrase………………………….. 22 D. Kontrak atau klausula arbitrase………………………………… 29 E. Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase……………….. 35
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
BAB III
PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA DAN PENGATURANNYA A. Sejarah, latar belakang dan UU tentang Penanaman Modal Asing di Indonesia ……………………………………………. 37 B. Prinsip- prinsip penanaman modal asing menurut UU No. 25 Tahun 2007…………………………………………….. 41 C. Proses penanaman modal asing di Indonesia………………….. 41 D. Bentuk- bentuk penanaman modal asing…………………….... 48 E. Hak dan kewajiban penanam modal……………………........... 53 F. Jangka waktu penanaman modal………………………............ 55
BAB IV
PROSES PENYELESAIAN SENGKETA SECARA ARBITRASE DALAM BANK INDONESIA MENGENAI PENANAMAN MODAL ASING A. Pengaruh investasi terhadap pengembangan ekonomi Indonesia dengan dibentuknya Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)……………………………………. 56 B. Contoh sengketa antara Kahara Bodas Company dengan Pertamina dan PLN yang tergabung dalam Joint Operation Contract (JOC)………………………………………………… 63 C. Proses penyelesaian sengketa antara Kahara Bodas Company dengan Pertamina dan PLN………………………… 65
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……………………………………………………. 75 B. Saran…………………………………………………………… 76
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
ABSTRAKSI
Dewasa ini, arbitrase dipandang sebagai pranata hukum yang penting sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, sebelum terjadi sengketa maupun setelahnya. dan hal tersebut juga menjadi pilihan hukum bagi para penanam modal asing di Indonesia. Arbitrase merupakan suatu pilihan hukum yang disarankan oleh pemerintah seperti tertuang dalam Undang- Undang No. 25 Tahun 2007 pasal 32 bahwa sengketa penanaman modal asing yang berhubungan dengan pemerintah diselesaikan dengan jalan arbitrase. Oleh sebab itulah akhirnya terbentuk Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI). Tujuan untuk membahas masalah skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh dalam pengembangan perekonomian Indonesia dengan terbentuknya BAPMI melalui Bank Indonesia, untuk mengetahui bagaimanakah contoh sengketa yang terjadi antara perusahaan pemerintah dengan perusahaan luar negri, dan untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian sengketa tersebut. Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian kepustakaan (Library Reseacrh),dengan cara membaca dan menganalisis buku- buku bacaan, peraturan perUndang- Undangan, makalah, dan hasil putusan Pengadilan. Setelah melakukan penelitian kepustakaan, maka dapat disimpulkan bahwa para investor- investor asing lebih disarankan untuk mengambil jalan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase daripada Pengadilan, karena dianggap lebih cepat dan tidak memakan biaya yang banyak. Pengembangan penanaman modal asing perlu ditingkatkan juga untuk memajukan perekonomian Negara, sehingga kita tidak benarbenar terlalu bergantung penuh dengan keberadaan investasi pada Negara kita. Dan alangkah baiknya apabila pemerintah lebih memperkenalkan arbitrase pada masyarakat, sehingga tidak selalu mengambil jalur litigasi dalam proses penyelesaian sengketa perdata. Tiap pilihan hukum yang telah dipilih oleh yang bersengketa harus dilaksanakan dengan hukum tersebut, agar tidak menimbulkan permasalahan baru lagi. Terlebih lagi apabila hal tersebut berhubungan dengan perusahaan asing, karena dapat menimbulkan citra yang tidak baik pada para arbitrase Indonesia.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Era globalisasi yang melanda dihampir seluruh dunia dewasa ini sangat mempengaruhi disemua bidang kehidupan. Era ini ditandai dengan lahirnya berbagai macam perjanjian-perjanjian multilateral dan bilateral, maupun pembentukan blokblok ekonomi yang menjurus kepada kondisi yang Borderless. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya dan dibukanya kesempatan berinvestasi antar Negara. Maraknya berinvestasi sekarang ini, disatu sisi memang memberikan dampak positif, namun disisi lain dapat menimbulkan perbedaaan paham, perselisihan pendapat, maupun pertentangan atau sengketa sebagai akibat adanya salah satu pihak yang melakukan wanprestasi terhadap perjanjian tersebut. Perbedaan paham, perselisihan pendapat, pertentangan maupun persengketaan tersebut tidak dapat dibuarkan berlarut-larut dan harus diselesaikan secara memuaskan bagi semua pihak. Meskipun tiap-tiap masyarakat memiliki cara-cara tersendiri untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa tersebut. Namun demikian perkembangan dunia usaha yang bekembang secara universal dan global mulai mengenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa homogen, menguntungkan dan memberikan rasa aman serta keadilan bagi para pihak. Salah satu proses penyelesaian sengketa yang cukup popular dan banyak diminati saat ini adalah arbitrase. Keberadaan arbitrase dalam Undang- Undang No. 4 tahun 2004 mengenai Pokok Kekuasaan Kehakiman itu dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1, yang menyebutkan bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial apabila telah memperoleh ijin ataupun perintah untuk dieksekusi dari peradilan. Dilihat dari sejarahnya, selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah pasal 377 HIR dan pasal 705 RBg. Pasal- pasal terdapat dalam HIR dan RBg tersebut tetap dipakai sebagai dasar fungsi arbirtase di Indonesia karena belum adanya peraturan yang baru untuk mengaturnya, karena pada saat itu untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum pada waktu Indonesia merdeka. Lalu pemerintah memberlakukan pasal 2 aturan peralihan UUD 1945 yang menyatakan : “ Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang- Undang Dasar ini.”. 1 Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian melalui arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR dan RBg tersebut. Berdasarkan hal-hal itu, maka pada tanggal 12 Agustus 1999 telah di Undangkan sekaligus diberlakukan Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang ini tidak hanya mengatur tentang arbitrase melainkan juga alternative penyelesaian sengketa lainnya, yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Pengadilan merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang paling dikenal, boleh dikatakan akan selalu berusaha untuk dihindari oleh banyak anggota masyarakat, selain proses dan jangka waktu yang relative lama dan berlarut- larut, serta oknum- oknum yang cenderung mempersulit proses pencarian keadilan. Sengketa yang terjadi dalam berinvestasi antar Negara juga dapat diselesaikan melalui arbitrase. Karena pada dasarnya investor tidak mengkehendaki suatu proses
1
M. Solly Lubis, Azas-azas Hukum Tata Negara, ( Bandung : Alumni, 1982), hal 224.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
yang rumit yang akhirnya akan menyita waktu dan biaya dari kedua belah pihak. Namun pada dasarnya dengan adanya investor-investor asing yang mau menanamkan modal di Indonesia, diharapakan dapat membantu Indonesia dalam bidang ekonomi. Sehingga bidang-bidang yang diinvestaikan dapat berjalan maju dan membantu perekonomian pihak-pihak tersebut. Investor memiliki hak dan kewajiban yang harus dilakukan dalam berinvestasi. Tata cara penanaman modal juga berdasarkan pada peraturan yang berlaku di Indonesia. Namun penanaman modal juga memiliki batas waktu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Investasi yang telah dijalankan, namun ternyata kekurangan waktu dan memerlukan perpanjangan dari apa yang telah diperjanjikan sebelumnya, maka hal tersebut harus dibicarakan agar dapat diperoleh penambahan waktu dari pemerintah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Hal tersebut juga bertujuan agar terciptanya suatu iklim perekonomian yang sempurna. Karena pada dasarnya setiap proses investasi yang hadir di Indonesia harus melalui penyaringan Bank Indonesia, sebab yang bertugas menjaga kestabilan perekonomian Indonesia adalah juga Bank Indonesia. Atas dasar alasan- alasan diatas dan untuk kelancaran dunia investasi para investor, maka didirikanlah suatu Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia ( BAPMI), untuk kelancaran dunia investasi.
B. PERUMUSAN MASALAH Permasalahan yang penulis analsis melalui penelitian tentang Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing Melalui Arbitrase Bank Indonesia, sebagai proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dirumuskan sebagai berikut:
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
1. Bagaimana pengaruh BAPMI yang merupakan lembaga perumusan dari Bank Indonesia dalam menyelesaikan sengketa perekonomian Indonesia. 2. Bagaimana pemerintah Indonesia menanggapi persoalan Kahara Bodas Company dengan Pertamina dan PLN yang tergabung dalam Joint Operation Contract (JOC). 3. Bagaimana proses penyelesaian sengketa antara Kahara Bodas tersebut dengan Pertamina dan PLN.
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN Sehubungan dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan diatas, maka tujuan penulis dalam penelitian terhadap judul skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh yang terjadi dalam pengembangan perekonomian Indonesia dengan dibentuknya BAPMI melalui Bank Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah contoh sengketa yang terjadi antara perusahaan asing dengan perusahaan Pemerintah Indonesia dengan hukum Indonesia akibat krisis ekonomi yang pernah dialami Indonesia. 3. Untuk mengetahui bagiamanakah proses penyelesaian yang terjadi dalam sengketa kasus Kahara Bodas dengan Pertamina dan PLN.
Disamping tujuan-tujuan diatas, penelitian dilakukan untuk tujuan pemenuhan terhadap salah satu syarat di dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sedangkan manfaat lain yang diharapakan dapat diberikan adalah : Pertama, secara teoritis, penulis berharap bahwa hasil yang dirumuskan dalam skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang lembaga arbitrase dalam
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
bidang pasar modal yang lembaganya dikeluarkan melalui Bank Indonesia. Dan ini merupakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan apabila terjadi sengketa ataupun perselisihan dalam penanaman modal asing. Kedua, secara praktis, penulis juga berharap agar dapat menambah pengetahuan kepada masyarakat bahwa investasi yang dilakukan oleh investor asing dapat diperdamaikan dengan arbitrase yang oleh Bank Indonesia ditetapkan adanya Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia.
D. KEASLIAN PENULISAN Adapun penulisan skripsi yang berjudul “ Proses Arbitrase Bank Indonesia terhadap Penanaman Modal Asing ” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi yang bertemakan mengenai penanaman modal asing, arbitrase, dan penyelesaian sengketa memang cukup banyak di angkat dan di bahas,namun skripsi dengan judul ini belum pernah ditulis sebagai skripsi. Dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara mora dan akademik.
E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Berbicara mengenai arbitrase, maka terlebih dahulu diketahui pengertian arbitrase, yaitu : “ arbitrase “ adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa, peradilan. 2 Menurut M. N. Purwosutitjipto, arbitrase atau perwasitan adalah : Suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan
2
Sudarsono, Kamus Hukum, ( Jakarta : Rineka Citra Cipta, 1999), hal.36.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak. 3 Lalu menurut Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah : Cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 4 Dan menurut R. Subekti, arbitrase adalah : Penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut. 5 Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa tertentu jelas memiliki konsekwensi baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. 6 Karena adanya konsekwensi itu, maka sangat diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi mereka. Dengan
melembaganya
arbitrase,
membuat
arbitrase
menjadi
suatu
perwujudan lembaga putusan disamping pengadilan yang dapat menjadi pilihan alternative dikalangan investor untuk menyelesaikan persengketaan-persengketaan mereka.
3
M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Buku Kedelapan: Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Jakarta : Djambatan, 1992), hal.1. 4 Sudargo Gautama, Undang-Undang arbitrase Baru, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 35. 5 Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, (PT. Grasindo, 2002), hal.2. 6 Ruang Hukum : Pilihan Hukum Dan Konsekwensinya (Bag 1), Business News NO. 6074, Oktober 1997, hal. 7. Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Investasi yang besar diharapkan dapat membantu perekonomian Negara Indonesia, disamping devisa-devisa Negara yang didapat dari sektor lain. Sampai tahun 1967, Indonesia menerapkan system kontrol devisa yang ketat. Hal ini sesuai dengan UU No. 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa yang menetapkan bahwa devisa yang berasal dari kekayaan alam dan usaha Indonesia dikuasai oleh Negara. Konsekwensinya, eksportir wajib menjual devisa hasil eksport pada bank devisa yang selanjutnya dijual lagi ke Bank Indonesia. Selain itu, warga Negara atau badan hukum Indonesia juga wajib mendaftar dan menyimpan surat berharga dalam valuta asing yang dimilikinya di bank devisa pemerintah. Kebijakan ini, di satu pihak ternyata cukup berhasil dalam mengisolasikan perekonomian nasional terhadap pengaruh eksternal. Tapi di pihak lain, kebijakan ini telah menciptakan pasar gelap valuta asing. Nilai tukar rupiah di pasar valuta asing jauh diatas harga yang ditetapkan pemerintah. Oleh sebab itu, sejak tahun 1967, secara berangsur-angsur control devisa mulai dikurangi lewat UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Tujuan UU ini adalah menarik masuknya modal asing untuk pembiayaan investasi dalam negri. Iklim investasi juga perlu ditingkatkan melalui kegiatan pasar modal. Beberapa kegiatan pokok yang berhasil dilaksanakan meliputi : a) Penyusunan dan penyempurnaan berbagai peraturan pelaksanaan di bidang pasar modal, antara lain untuk meningkatkan efisiensi industri efek dan mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang; b) Telah diselesaikannya rancangan perubahan UUPM yang berisi berbagai aspek guna meningkatkan peran pasar modal; c) Telah dihasilkannya rekomendasi pelaksanaan demutualisasi bursa dan telah dibentuknya Komite Restrukturisasi Lembaga Bursa;
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
d) Telah disusunnya Grand Strategy Pengembangan Reksa Dana; e) Telah diterapkannya system perdagangan jarak jauh (remote trading) dan perdagangan tanpa warkat (Scripless trading) di pasar modal Indonesia; f) Telah diterbitkannya ijin kepada Perhimpunan Pedagang Surat Utang Negara (HIMDASUN) untuk berperan serta dalam perdagangan surat utang Negara; dan g) Telah dibentuknya Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)
Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) atau dalam bahasa Inggris disebut Indonesian Capital Market Arbitration Board, didirikan oleh Organisasi Regulator Mandiri ( Self Regolatory Organization) yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek Surabaya (BES), P.T. Kliring Peminjaman Efek Indonesia (KPEI), dan P.T. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) serta asosiasi-asosiasi di lingkunan pasar modal Indonesia untuk menjadi tempat menyelesaikan persengketaan perdata di bidang pasar modal melalui mekanisme peyelesaian di luar pengadilan. Pada bulan Agustus 1999, pemerintah mengeluarkan Undang- Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang- Undang ini membawa dua hal baru. Pertama, diletakkannya dasar hukum yang mapan bagi arbitrase. Kedua, diletakkannya dasar hukum bagi alternative penyelesaian sengketa. Meski cukup banyak kelemahan yang terdapat dalam UU arbitrase baru, namun demikian aturan- aturan atau prinsip-prinsip dasar di dalamnya sudahlah termuat. 7 Satu hal positif dalam UU tersebut adalah diaturnya ketentuan mengenai ADR (pasal 6). Pasal ini penting, karena di dalamnya meletakkan dasar hukum yang tegas 7
Huala Adolf, The Indonesian Arbitration and Alternative Dispute Resolution Act 1999, 5:2 Int.A.L.R. (Mei, 2002), hal.55.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
bagi dimungkinkannya para pihak untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya dengan menggunakan cara-cara yang mereka pilih. Pada dasarnya masyarakat belum merasa yakin penuh dengan upaya penyelesaian sengketa di tanah air. Perbaikan penegakan hukum, SDM, perubahan kultur harus terus- menerus dibenahi. Dan upaya- upaya yang efektif untuk penyelesian sengketa di bidang perbankan investasi adalah agar para pihak mencoba dengan sungguh- sungguh supaya sengketa tidak timbul. Namun apabila sengketa tidak terhindari lagi, maka cara negosiasi, musyawarah untuk mufakat, win- win solution harus tetap menjadi prioritas utama daripada cara lain yang tersedia.
F. METODE PENULISAN Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan penelitian kepustakaan (Library Reseacrh). Library research dengan cara membaca dan menganalisa bukubuku bacaan, peraturan perUndang- Undangan, makalah dan hasil putusan Pengadilan.
G. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan ini di bagi dalam beberapa “ BAB”, dimana dalam bab terdiri dari unit- unit bab demi bab. Adapun sistematika isi penulisan ini sebagai berikut :
BAB I
: Pendahuluan Bab
ini
mengarahkan
kita
memahami
pembahasan-
pembahasan selanjutnya, yang diawali dengan latar belakang masalah, penulis mengangkat judul dan pokok pembahasan
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
pada skripsi ini. Agar tidak mengambang, di tulis menetapkan apa yang menjadi permasalahan pokok, tujuan dan manfaat penulisan ini. Ditegaskan bahwa tulisan ini murni berasal dari pemikiran si penulis dan memuat pokok- pokok pikiran para sarjana. Tak lupa penulis menerangkan metode penulisan digunakan. Bagian akhir bab diuraikan sistematika penulisan.
BAB II
: Arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa Bab
ini
menguraikan
sejarah
arbitrase
di
Indonesia,
peraturannya, prinsip-prinsip penyelesaian dengan arbitrase, keuntungan dan kelemahan arbitrase dan proses penyelesaian sengketa melalui arbirase.
BAB III
: Penanaman modal asing di Indonesia dan pengaturannya Bab ini menjelaskan tentang sejarah dan latar belakang penanaman modal asing, prinsip penanaman modal asing menurut UU No. 25 tahun 2007, proses penanaman modal serta hak dan kewajiban penanam modal.
BAB IV
: Proses penyelesaian sengketa dalam Bank Indonesia secara arbitrase mengenai penanaman modal asing ( beserta studi kasusnya) Bab ini merupakan bab inti dari penulisan ini, karena di dalamnya akan termuat pengaruh BAPMI yang merupakan lembaga pendorong Bank Indonesia dalam penanaman modal
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
asing apabila terjadi sengketa, terdapat contoh sengketa dan proses penyelesaian sengketa tersebut.
BAB V
: Kesimpulan dan Saran Setelah dilakukan pembahasan pada bab I, II, III dan IV, barulah dapat ditarik kesimpulan dari tulisan ini yang melahirkan
saran-
saran
yang
diharapkan
membangun.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
dapat
lebih
BAB II ARBITRASE SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA
A. SEJARAH ARBITRASE DAN DASAR HUKUMNYA Sejarah arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di Negara Indonesia adalah : 1. Kondisi Pada Zaman Penjajahan Hindia Belanda Sebagaimana kita ketahui, pada waktu pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, penduduk Indonesia dibagi menjadi beberapa golongan. Yang mendasarinya adalah pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling disingkat IS. Berdasarkan IS tersebut ditetapkan bahwa bagi golongan Eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum negeri Belanda yang juga dapat disebut hukum Barat. Sedangkan bagi golongan Bumiputera dan mereka yang disamakan berlaku hukum adatnya masing- masing. Terhadap golongan Bumiputera ini dapat juga berlaku hukum Barat jika ada kepentingan umum dan kepentingan sosial yang dibutuhkan. Bagi Cina dan golongan Timur Asing lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka berlaku hukum Barat dengan beberapa pengecualian. Karena adanya pembedaan perlakuan hukum tersebut, konsekwensinya adalah adanya perbedaan pula dalam badan- badan peradilan berikut hukum acaranya. Berikut untuk golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Raad van Justitie dan Resenditie- gerecht sebagai peradilan sehari- hari. Hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara yang termuat dalam Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering yang disingkat B. Rv atau RV. Untuk golongan Bumiputera dan mereka yang disamakan kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Landraad sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, peradilan distrik dan sebagainya, hukum acara yang dipergunakan adalah yang termuat dalam Herziene Inlandsch Reglement disingkat HIR. Sedangkan untuk daerah- daerah luar Jawa dan Madura diatur menjadi satu dengan Rechtsrgeleement Buitengewesten atau RBg. Tata peradilan pada waktu zaman Hindia Belanda diatur sebagai berikut : a. Untuk pulau Jawa dan Madura berlaku peraturan Organisasi Peradilan dan kebijaksanaan kehakiman di Hindia Belanda ( Reglement po de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie disingkat R.O). b. Untuk luar Jawa dan Madura berlaku peraturan peradilan daerah seberang laut (Rechlement Buitengewestent atau RBg). Sedangkan dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg yang berbunyi : “ Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.” Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak- pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya diluar pengadilan. Namun demikian HIR maupun RBg tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tersebut pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg langsung menunjuk aturan pasal- pasal yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata ( Reglement op de Bergerlijke Rechtsvordering, disingkat Rv, S. 1847-52 jo 1849-63). Dengan mengacu kepada adanya politik hukum yang membedakan tiga kelompok penduduk tersebut diatas, bagi golongan Bumiputera, hukum material yang berlaku pada dasarnya diterapkan hukum adat. Pengadilan tunduk pada pengadilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama. Hukum acara yang dipergunakan adalah
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
HIR untuk daerah pulau Jawa dan Madura dan RBg untuk daerah luar pulau Jawa dan Madura. Bagi golongan Timur Asing dan Eropa, hukum perdata materiil yang berlaku adalah Burgerlijk Wetboek disingkat BW ( Kitab Undang- Undang Hukum Perdata) dan Wetboek van Koophandel disingkat WvK (Kitab Undang- Undang Hukum Dagang). Hukum acaranya adalah Reglament Acara Perdata (Rv). Dalam Rv, pasal- pasal mengenai arbitrase, diatur dalam Buku Ketiga tentang Aneka Acara. Pada Bab Pertama diatur ketentuan mengenai putusan wasit (arbitrase) mulai dari pasal 615 sampai dengan pasal 651. Pasal- pasal ini meliputi lima bagian pokok, yaitu : 1. bagian Pertama (pasal 615-623) mengatur mengenai arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter; 2. bagian Kedua (pasal 624-630) mengatur mengenai pemeriksaan dimuka badan arbitrase; 3. bagian Ketiga (pasal 631-640) mengatur mengenai Putusan Arbitrase; 4. bagian Keempat (pasal 641-647) mengatur mengenai upaya terhadap putusan arbitrase; 5. bagian Kelima (pasal 647-651) mengatur mengenai berakhirnya acaraacara arbitrase. Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipakai oleh para pedagang baik sebagai eksportir maupun importer dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh pemerintahan Hindia Belanda, yaitu : 1. badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia; 2. badan arbitrase tentang kebakaran; 3. badan arbitase bagi asuransi kecelakaan.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
2. Zaman Penjajahan Belanda Pada waktu Jepang masuk menggantikan kedudukan penjajahan Belanda, peradilan Raad van Justitie dan Residen Tiegerecht dihapuskan, Jepang membentuk satu macam peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi nama Tihoo Hooin. Badan peradilan ini merupakan peradilan kelanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu pada HIR dan RBg. Dengan demikian pada waktu penjajahan Jepang penyelesaian kasus arbitrase juga mengacu pada Buku III Rv. Yang berjudul Rechspleging van ondersheiden aard (perdilan untuk lainnya), title I di bawah van de uitspraken vanscheidsmannen (keputusan- kepututsan yang dijatuhkan juru pemisah) dan diatur dalam pasal 615 sampai dengan pasal 651. Mengenai berlakunya arbitrase ini, Pemerintah Jepang pernah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa “semua badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum dan Undang- Undang dari Pemerintah dahulu, Pemerintah Hindia Belanda, tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan hukum Pemerintah Militer Jepang.
3. Setelah Indonesia Merdeka Untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum, pada waktu Indonesia merdeka, diberlakukanlah Pasal 11 Aturan Peralihan Undang- Undang Dasar 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan: “ Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang- Undang Dasar ini”.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah mengeluarkan peraturan Nomor 2 yang dalam pasal 1 menyatakan “Segala badan- badan Negara dan peraturan- peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan UUD tersebut”. Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase tetap berlaku ketentuan HIR, RBg dan Rv. Mengenai badan peradilannya dibeberapa begian Republik Indonesia yang dikuasai Belanda sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai peradilan sehari- hari dan appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat kedua, selanjutnya pada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat, Landrechter ini menjadi Pengadilan Negeri, sedangkan Appelraad menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku didaerah- daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda. Ketika berlakunya Undang- Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951, maka pada dasarnya diseluruh Indonesia hanya ada tiga macam badan peradilan yaitu; Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat kedua atau banding, dan Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat Kasasi. Namun, diluar itu masih dikenal peradilan adat dan swapraja. Pada zaman Republik Indonesia Serikat, menurut konstitusi yang berlaku saat itu (Konstitusi RIS), dalam pasal 192 Konstitusi RIS tersebut dinyatakan bahwa : 1. Peraturan- peraturan Undang- Undang dan ketentuan- ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku (menurut pasal 197 Konstitusi RIS pada saat pemulihan kedaulatan, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949) tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
peraturan dan ketentuan- ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang- Undang dan ketentuan- ketentuan tata usaha atas konstitusi ini. 2. Pelanjutan peraturan Undang- Undang dan ketentuan- ketentuan tata usaha yang sudah ada sebagai diterangkan dalam ayat 1 hanya berlaku, sekedar peraturan- peraturan dan ketentuan- ketentuan ini tidak bertentangan dengan ketentuan Piagam Pemulihan Kedaulatan Status UNI. Persetujuan peralihan ataupun persetujuan- persetujuan lain yang berhubungan dengan pemulihan kedaulatan dan sekedar peraturan- peraturan dan ketentuan- ketentuan konstitusi ini tidak memerlukan peraturan- peraturan Undang- Undang atau tindakan menjalankan. Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam Undang- Undang Dasar Sementara 1950, pasal 142 menyatakan bahwa: “ Peraturan Undang- Undang dan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan- peraturan dan ketentuan- ketentuan Risendiri, selama dan sekedar peraturan- peraturan dan ketentuan- ketentuan ini tidak dicabut, ditambah dan atau diubah oleh Undang- Undang dan ketentuan- ketentuan tata usaha atas kuasa Undang- Undang Dasar ini” Dari penjelasan diatas, dapat disimpulakan bahwa semua peraturan- peraturan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum diubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan- ketentuan arbitrase yang diatur dalam RV juga tetap berlaku. Keadaan ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
DASAR- DASAR HUKUM BERLAKUNYA ARBITRASE Sebelum membicarakan permasalahan arbitrase, terlebih dahulu harus mengetahui dasar hukum yang mengatur keberadaan arbitrase itu sendiri dalam system tata hukum Indonesia. Dengan demikian kita tahu persis titik tolak pemikiran dalam mengupas arbitrase. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa dikalangan praktisi hukum, apalagi dikalangan masyarakat awam, masih banyak yang tidak mengetahui rujukan ketentuan yang menyangkut arbitrase dalam tata hukum Indonesia. Adapun dasar- dasar hukum berlakunya arbitrase adalah : 1. Pasal 377 HIR Tata hukum Indonesia memiliki aturan mengenai arbitrase. Landasan hukumnya bertitik tolak dari pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg, yang menyatakan bahwa jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa. Pasal 377 HIR diataslah yang, menjadi titik tolak keberadaan arbitrase dalam kehidupan dan praktek hukum. Pasal ini menegaskan hal- hal sebagai berikut :8 a) Pihak- pihak yang bersangkutan diperbolehkan menyelesaikan sengketa melalui juru pisah atau arbitrase; b) Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikan dalam bentuk keputusan; c) Untuk itu, baik para pihak maupun arbiter “wajib” tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan Eropa.
8
Suyud Margono, ADR & Arbitrase, (Jakarta : Ghali Indonesia, 2000), hal.111.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Jelas terlihat, pasal 377 HIR memberi kemungkinan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul diluar kekuasaan
pengadilan
apabila
mereka
menghendakinya.
Penyelesaian
dan
keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim dikenal dengan nama “ arbitrase”. Dalam Undang- Undang tersebut, arbitrase dilimpahi fungsi dan kewenangan untuk memutuskan persengketaan.
2. Pasal 615-651 Rv Sebagaimana sudah dijelaskan, landasan aturan keberadaan arbitrase berpijak pada ketentuan pasal 377 HIR. Akan tetapi, HIR maupun RBg tidak memuat aturan lebih lanjut tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan aturan tentang arbitrase, pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg langsung menunjuk aturan pasal- pasal arbitrase yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering, disingkat Rv, s 1847-52 jo 1849-63). Hal itu jelas terbaca dalam kalimat “wajib memenuhi peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Bertitik tolak dari sejarah politik hukum yang digariskan dalam pasal 75 RR dan lebih lanjut diatur dalam pasal 131 IS, di zaman pemerintahan Belanda dikenal tiga pembagian kelompok penduduk dengan system hukum dan peradilan yang bercorak “pluralistic”. Bagi golongan penduduk Bumiputera, hukum materiil yang diberlakukan dibidang hukum perdata pada dasarnya diterapkan dalam hukum adat. Peradilannya tunduk pada peradilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama, sedangkan hukum acara yang dipergunakan adalah HIR untuk daerah pulau Jawa – Madura dan RBg untuk daerah tanah seberang.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Bagi golongan penduduk Timur Asing dan Eropa, hukum perdata materiil yang diberlakukan adalah KUHPerdata (BW) dan KUHDagang (WvK), sedangkan hukum acara perdatanya adalah Reglement Acara Perdata (Rv). Dalam buku ketiga Reglement Acara Perdata tentang Aneka Acara, pada bab I diatur ketentuan mengenai putusan wasit (arbitrase) yang terdiri dari pasal 615 sampai pasal 651. Pasal- pasal inilah yang wajib dituruti dan diterapkan sebagai landasan hukum umum kearbitrasean sejak dulu sampai sekarang, baik untuk golongan penduduk Bumiutera, Timur Asing dan Eropa. Dengan demikian, keberadaan hukum acara mengenai arbitrase dan Rv adalah “wajib” apabila para pihak hendak menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Dengan kata lain, penerapan pasal- pasal ketentuan arbitrase yang diatur dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Rv) wajib dituruti oleh siapapun jika mereka ingin menyelesaikan persengketaan yang timbul melalui badan arbitrase.
3. Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 Didalam penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 14 Tahun 1970 antara lain disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
diperbolehkan. Akan tetapi, putusan arbitrase hanya
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Penggunaan pasal 615-651 Reglement Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staatblad 1847: 52), pasal 377 Reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement Staatblad 1941: 44), dan pasal 705 Reglament
acara
untuk
daerah
Luar
Jawa-
Madura
(Rechtsreglement
Buitengenwester, Staatblad 1927: 227) sebagai pedoman arbitrase sudah tidak memadai lagi dengan kondisi ketentuan Ekonomi yang bersifat internasional.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Pembaharuan pengaturan mengenai arbitrase sudah merupakan condition sire quo non dan perlu perubahan secara subtantif dan filosofis atas pengaturan mengenai arbitrase yang ada. Pada tanggal 12 Agustus 1999, telah disahkan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Ssengketa. UU ini merupakan perubahan atas pengaturan mengenai arbitrase yang sudah tidak memadai lagi dengan tuntutan perekonomian Internasional.
B. PRINSIP-PRINSIP PENYELESAIAN SENGKETA LEWAT ARBITRASE MENURUT UU NO. 30 TAHUN 1999 Agar dapat menjadi badan penyelesaian sengketa yang ampuh, Arbitrase seharusnya menganut beberapa prinsip sebagai berikut : 9 1. Efisien Dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui badan-badan peradilan umum, penyelesaian sengketa lewat arbitrase lebih efisien, yakni efisien dalam hubungannya dengan waktu dan biaya. 2. Accessibilitas Arbitrase harus terjangkau dalam arti biaya, waktu dan tempat. 3. Proteksi Hak Para Pihak Terutama pihak yang tidak mampu misalnya untuk mendatangkan saksi ahli atau untuk menyewa pengacara terkenal, harus mendapat perlindungan yang wajar.
9
Munir Fuady, SH.,M.H.,LL.M, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal.93. Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
4. Final dan Binding Keputusan arbitrase haruslah final and binding kecuali memang para pihak tidak menghendaki demikian atau jika ada alasan-alasan yang berhubungan dengan “due process”. 5. Fair and Just Tepat dan adil untuk pihak yang bersengketa, sifat sengketa dan sebagainya. 6. Sesuai dengan Sence Of Justice Dari Masyarakat Dengan demikian akan lebih terjamin unsur “deterrent” dari si pelanggar, dan sengketa akan dapat dicegah. 7. Credibilitas Para arbiter dan badan Arbitrase yang bersangkutan haruslah orang- orang yang diakui kredibilitasnya, sehingga keputusannya akan lebih dihormati.
C. KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN ARBITRASE Pada dasarnya penanaman modal asing di Indonesia maupun penanaman modal nasional sama dengan kegiatan bisnis ataupun perdagangan. Hanya saja dalam berinvestasi, si penanam modal kadangkala tidak terjun langsung dalam menjalankan usahanya. Sedangkan dalam perdagangan, seringkali terjun langsung dan ikut dalam proses perdagangannya. 1. KEUNTUNGAN ARBITRASE Seperti yang telah kita ketahui, berperkara melalui pengadilan biasa telah umum dianggap tidak efektif
bagi kalangan pengusaha, masalah penangguhan
perkara belum lagi kalau adanya kongesti (tunggakan perkara yang harus diselesaikan), yang berarti tertunda- tundanya keputusan yang hendak dikeluarkan,
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
dan masalah biaya adalah salah satu alasan mengapa kebanyakan pengusaha atau masyarakat bisnis agak enggan berproses perkara melalui pengadilan. Telah menjadi rahasia bersama bahwa berperkara melalui pengadilan seringkali memakan waktu yang relative lama. Hakim yang mengadili tidak hanya berhadapan dengan satu atau dua perkara saja pada waktu yang bersamaan, dalam prakteknya ia dihadapkan lebih dari dua tiga perkara dalam satu masa tugasnya. Akibatnya ia harus membagi-bagikan prioritas dan waktu untuk perkara-perkara mana yang didahulukan dan mana yang tidak terlalu mendesak. Hal ini sudah barang tentu dipengaruhi juga oleh factor- factor lain yang mendukung cepat tidaknya proses penyelesaian suatu perkara. Selain itu pula dengan dikeluarkannya keputusan pengadilan, tidaklah otomatis perkara yang bersangkutan telah selesai, sebab pihak-pihak kurang puas dengan keputusan tersebut, ia masih punya saluran lain untuk “melampiaskan” ketidakpuasannya ke pengadilan yang lebih tinggi, yakni pengadilan tingkat banding. Dan seperti pengalaman sebelumnya (tingkat pertama), disinipun lamanya putusan yang dikeluarkan kemungkinannya besar. Sehingga dari gambaran ini tampak bahwa berproses perkara melalui pengadilan bisa memakan waktu berlarut-larut. Sebagai konsekwensi logis dari lamanya proses berperkara melalui pengadilan ini,maka biaya yang harus dikeluarkan untuk itu, misalnya saja biaya ahli hukum dan ongkos- ongkos lainnya akan bertambah terus (mahal). Lain halnya dengan pengadilan, keputusan yang dikeluarkan melalui badan arbitrase sifatnya adalah final dan mengikat. Tidak pengajuan banding atau kasasi atas putusan yang telah dikeluarkan tersebut. Kelebihan lainnya, yakni bahwa berperkara melalui badan arbitrase tidak begitu formal dan lebih fleksibel. Tidak ada tata cara proses perkara yang mutlak
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
harus dijalani (kaku). “Hakim” dalam hal ini arbitratornya, tidak perlu terikat dengan aturan proses berperkara seperti pada halnya yang terjadi pada pengadilan. Tidak ada keharusan untuk berperkara ditempat tertentu, karena para pihak sendirilah yang memiliki kebebasan untuk menentukan tempat arbitrase bersidang, dan sekaligus hukum yang akan dipakai atau bahasa yang akan dipergunakan (apabila sengketa yang terjadi dilakukan dengan pihak asing). Sebagai contoh adalah mengenai penanaman modal asing yang dilakukan investor- investor asing. Hal tersebut dikarenakan oleh pihak asing yang merasa tidak nyaman menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satunya adalah akibat ketidakpastian hukum. 10 Masalah ini penting. Kasus- kasus yang tergolong besar yang melibatkan Indonesia di forum-forum arbitrase internasional adalah karena tidak adanya kepastian hukum ini. Sengketa- sengketa yang mendapat sorotan keras masyarakat internasional, misalnya sengketa Kahara Bodas, antara lain, berawal dari ketidakpastian hukum ini. Prof. Priyatna Abdurrastid mengemukakan dalam website hukum online, bahwa 99% (sembilan puluh sembilan persen) hakim di Indonesia tidak memahami arbitrase. 11 Karena sifat fleksiblitas dan tidak adanya acara formalin ini nantinya berpengaruh pada para pihak yang bersengketa, mereka menjadi tidak terlalu tegang “bersitegang” didalam proses penyelesaian perkara. Iklim seperti ini sudah barang tentu akan sangat konstruktif dan akan mendorong semangat kerja para pihak dalam proses penyelesaian perkara. Hal ini berarti pula akan mempercepat proses penyelesaian perkara yang bersangkutan. Alasan lain yaitu bahwa melalui badan arbitrase, para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk memilih “hakim atau arbitrator” yang mereka anggap dapat memenuhi harapan mereka baik dari segi keahlian atau pengetahuan pada suatu 10
Huala Adolf, Penyelesaian Sengketa di Bidang Ekonomi dan Keuangan. Internet Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah dalam Penerapan ADR di Indonesia, dalam Hendermin Djarab,et.al (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal.96. 11
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
bidang tertentu. Di sini arbitrator yang mereka pilih untuk menangani perkara atau sengketanya tidak harus selalu sarjana atau ahli hukum. Faktor kerahasiaan proses perkara dan keputusan yang dikeluarkan merupaka juga alasan utama mengapa badan arbitrase menjadi primadona para investor, sebab melalui arbitase, tidak ada kewajiban untuk mempublikasikan keputusan arbitrase sebaimana halnya yang terjadi pada pengadilan. Dengan adanya kerahasiaan ini, nama baik atau image para pihak tetap terlindungi. Keuntungan lain dari arbitrase ini tidak adanya pilihan hukum yang kaku dan tidak ditentukan sebelumnya. Salah seorang pengamat Amerika menyatakan, bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitase ini tidak harus melalui diselesaikan menurut proses hukum (tertentu) saja, tetapi juga dimungkinkan manakala para arbitrator menemui kesulitan untuk memastikan apa yang menjadi sebab timbulnya suatu sengketa dari pihak mana yang bertanggungjawab karenanya. Keadaan ini timbul karena persidangan arbitrase biasanya diminta dan diadakan setelah beberapa waktu lamanya setelah klaim diajukan para pihak, karena adanya jenjang waktu yang cukup lama ini, para arbitrator kadangkala menemui kesulitan dalam merekonstruksi faktafakta yang relevan dalam keadaan yang aslinya. Dan cara penyelesaian sengketa secara korapromi ini disebut juga dengan conciliatory arbitration. Dibandingkan dengan pengadilan konvensional, maka arbitrase mempunyai kelebihan atau keuntungan, antara lain: 12 1. Prosedur tidak berbelit dan keputusan dapat dicapai dalam waktu relative singkat. 2. Biaya lebih murah. 3. Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum. 12
Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal.94. Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
4. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih relaks. 5. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase. 6. Para pihak dapat memilih sendiri para arbiter. 7. Dapat dipilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya. 8. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi. 9. Keputusannya umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding atau kasasi). 10. Keputusan arbitrase pada umunnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali. 11. Proses atau prosedur arbitase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas. 12. Menutup kemungkinan untuk dilakukan “Forum Shopping”.
2. KELEMAHAN ARBITRASE Meski arbitrase menyandang berbagai keuntungan seperti telah dikemukakan diatas, namun di dalam prakteknya pun ternyata arbitrase memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu: 13 a. Bahwa untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa untuk membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah. Kedua para pihak harus sepakat, padahal untuk dapat mencapai kesepakatan atau persetujuan itu kadang-kadang memang sulit. b. Tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Dewasa ini, di banyak Negara, masalah tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing ini masih menjadi soal yang sulit.
13
Huala Adolf, Arbitrase Komersil Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hal.16.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
c. Seperti telah dimaklumi, dalam arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum (legal
precedent)
atau
keterikatan
kepada
putusan-putusan
arbitrase
sebelumnya. Jadi, sengketa yang telah diputus dibuang begitu saja, meski di dalam putusan tersebut mengandung argumentasi-argumentasi hukum para ahli-ahli hukum kenamaan. Karena tidak adanya preseden ini, maka adalah logis kemungkinan timbulnya keputusan- keputusan yang saling berlawanan (conflicting decisions), artinya pula, fleksibilitas di dalam mengeluarkan keputusan sulit dicapai. Bahkan, Ehrenhart, seorang sarjana hukum kenamaan, menyatakan tindakan arbitrator di dalam memutusakan sengketa arbitrase ini dapat saat mengambil tindakan yang simpel, ibarat memotong roti menjadi dua. d. Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitive terhadap semua sengketa hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya konsep yang berbeda di setiap Negara. Konsep arbitrase di negara-negara Anglo Saxon akan berbeda dengan negara-negara continental (Civil Law Countries). Kedua konsep ini pun saling berbeda dengan konsep yang ada di negara-negara sosialis. Lagipula, system arbitrase disetiap Negara berbeda yang masingmasing dipengaruhi oleh sejarah hukumnya. e. Bagaimanapun juga keputusan arbitrase selalu bergantung kepada bagaimana arbitrator mengeluarkan keputusan yang memuaskan para pihak.
Terakhir menurut Munir Fuady, S.H.,M.H.,LL.M. mengemukakan bahwa, •
hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-perusahaan bonafide.
•
Due process kurang terpenuhi.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
•
Kurangnya unsur Finality.
•
Kurangnya power untuk menggiring para pihak ke settlement.
•
Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi, dll.
•
Kurangnya power untuk hal law enforcement dan eksekusi keputusan.
•
Dapat menyembunyikan dispute dari “Public Scrutiny”.
•
Tidak dapat menghasilakn solusi yang bersifat preventif.
•
Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu salam lain karena tidak ada system “precedent” terhadap keputusan sebelumnya, dan juga karena unsur fleksibilitas dari arbiter. Karena itu, keputusan arbitrase tidak predektif.
•
Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standar mutu keputusan arbitrase. Oleh karena itu, sering dikatakan “An arbitration is as good as arbitrators” (Huala Adolf, 1990:18).
•
Berakibat kurangnya upaya untuk mengubah system pengadilan konvensional yang ada.
•
Berakibat semakin tinggi rasa permusuhan kepada pemgadilan. 14
Namun, karena kelebihan-kelebihannya tadi perkembangannya terutama di dunia bisnis, badan arbitrase terbukti sebagai suatu jawaban yang paling popular dan sangat banyak digemari. Merangsang mayarakat untuk lebih banyak menggunakan arbitrase sambil sebanyak mungkin menutup kelemahan adalah usaha yang sangat diharapkan, kelihatannya merupakan langkah yang ideal. Apalagi di Negara seperti
14
Munir Fuady, S.H.,M.H.,LL.M., Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal.95. Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Indonesia ini yang teori dan kaidah hukumnya, maupun praktek peradilan konvensionalnya masih payah.
D. KONTRAK ATAU KLAUSULA ARBTRASE Yang dimaksud dengan kontrak arbitrase adalah kesepakatan antara para pihak yang bersengketa untuk membawa setiap sengketa yang timbul dari transaksi tertentu ke arbitrase. Pilihan terhadap arbitrase dalam kontrak arbitrase tersebut dilakukan baik sebelum ada sengketa maupun setelah adanya sengketa. Ada suatu prinsip yang berlaku umum terhadap kontrak arbitrase ini, yaitu yang disebut dengan “Prinsip Separabilitas” (Separability). Yang dimaksud dengan prinsip separabilitas adalah kontrak atau klausula arbitrase berdiri independent dan terlepas sama sekali dengan perjanjian pokoknya. Oleh sebab itu, jika misalnya karena alasan apapun perjanjian pokoknya dianggap cacat hukum atau tidak sah, kontrak atau klausula arbitrase tetap dianggap sah dan mengikat. 15
Metoda Pemilihan Arbitrase Seperti telah disebutkan bahwa kontrak arbitrase dilakukan, baik sebelum maupun setelah terjadinya persengketaan di antara para pihak. Karena itu, dalam ilmu hukum arbitrase dikenal dua macam kontrak arbitrase, yaitu: •
Pactum De Compromitendo
Secara harafiah berarti “akta kompromis” tetapi dalam beberapa literature Indonesia dibedakan antara keduanya. Jadi, perbedaannya semata-mata pada pemakainnya saja. Istilah Pactum De Compromitendo ditujukan kepada kesapakatan
15
Ibid , hal.117.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
pemilihan arbitrase di antara para pihak yang dilakukan sebelum tejadinya perselisihan. Jadi, para pihak menyatakan “akan” memilih jalan penyelesaian abitrase jika kelak kemudian hari terjadi perselisihan di antara mereka yang timbul dari transaksi tertentu. Karena pemilihan arbitrase sebelum terjadinya sengketa dilakukan dalam bentuk suatu perjanjian, maka ketentuan hukum kontrak yang umum berlaku. Ketentuan hukum kontrak tersebut bersumber dari buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena itu pula, para pihak bebas untuk memilih apakah menentukan klausula arbitrase terpisah dalam kontrak tersendiri untuk itu atau ditempatkan menjadi bagian dari kontrak yang merupakan transaksi pokok, sebagaimana lazimnya dalam praktek. Dalam pasal 10 huruf h Undang- Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 dikatakan bahwa suatu kontrak arbitrase tidak menjadi batal, sungguhpun terjadi hal-hal sebagai berikut: (1) Meninggalnya salah satu pihak. (2) Bangkrutnya salah satu pihak. (3) Novasi. (4) Insolvensi salah satu pihak. (5) Pewarisan. (6) Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok. (7) Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut. (8) Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
•
Akta Kompromis
Yang dimaksud pemakaian istilah akta kompromis adalah kesepakatan penyelesaian sengketa lewat arbitrase. Kesepakatan ini dilakukan setelah adanya sengketa tersebut. Berbeda dengan Pactum De Compromitendo, maka untuk akta kompromis ini oleh Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 diberikan syaratsyarat yang lebih keras dan ketat, dengan ancaman batal jika salah satu syarat tersebut tidak dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah sebagaimana terlihat dalam Pasal 9, yaitu sebagai berikut: (a) Harus dibuat dalam bentuk tertulis. (b) Perjanjian tertulis tersebut harus ditandatangani oleh para pihak. (c) Jika para pihak tidak dapat menandatanganinya, harus dibuat dalam bentuk akta notaris. (d) Muatan wajib dari akta tertulis tersebut adalah sebagai berikut: i.
masalah yang dipersengketakan;
ii.
nama lengkap pihak yang bersengketa;
iii.
tempat tinggal para pihak;
iv.
nama lengkap arbiter atau mejelis arbiter;
v.
tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter;
vi.
tempat arbiter atau majelis arbitrase yang akan mengambil keputusan;
vii.
nama lengkap sekretaris;
viii.
jangka waktu penyelesaian sengketa;
ix.
pernyataan kesediaan dari arbiter;
x.
pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk menanggung biaya arbitrase.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Perlu ditekankan bahwa apabila yang dimaksudkan adalah kontrak tertulis terhadap suatu kontrak arbitrase, maka yang umum berlaku adalah penulisanpenulisan kontrak dengan cara sebagai berikut : 1. Kontrak tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. 2. Suatu dokumen yang mungkin hanya ditandatangani oleh salah satu pihak. Misalnya, purchase order, charter party, dll. 3. Perjanjian yang terbentuk hanya dengan tukar-menukar komunikasi tertulis. 4. Perjanjiannya tidak tertulis, tetapi ada bukti-bukti tertulis tentang keberadaan perjanjian tersebut. 5. Persetujuan terhadap arbitrase tidak dengan suatu perjanjian tertulis, tetapi dengan merefer ke suatu perjanjian tertulis. 6. Suatu perjanjian, sungguhpun tidak dibuat secara tertulis, melainkan diucapakan secara lisan, tetapi salah satu pihak atau pihak ketiga mencatatnya dengan otoritas yang diberiakan kedua belah pihak. 7. Ada pertukaran informasi tertulis dalam suatu proses pengadilan atau arbitrase di mana pihak lainnya tidak membantahnya atau bahkan mungkin mengakuinya. Komunikasi tertulis tersebut cukup untuk diberlakukan sebagai kontrak tertulis. 16 Kekuatan suatu klausula arbitrase, tidak berlaku mutlak, karena pengadilan tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan. Namun ada yang menganut azas “pacta sunt servanda”, yaitu bahwa arbitrase mengikat para pihak dan dapat dikesampingkan apabila ada kesepakatan bersama para pihak tersebut.
16
International Arbitration Law Review, 1997 : 26.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Dan
WIPO (World Intellectual Property Organization), memberikan pula
suatu contoh daripada klausula arbitrase berkenaan dengan sengketa yang sudah terjadi. Yang diusulkan oleh WIPO adalah sebagai berikut: “Kami, para pihak yang bertandatangan di bawah, dengan ini menyetujui bahwa sengketa yang berikut ini, akan diserahkan kepada dan diputus secara final dengan jalan arbitrase sesuai dengan WIPO Arbitration Rules”. 17
MODEL KLAUSULA ARBITRASE Harus terdapat kehati-hatian dalam merumuskan klausula arbitrase dalam suatu kontrak. Jika kurang tepat merumuskan bahasa atau klausula arbitrase, klausula itu dapat menjadi sumber sengketa dikemudian hari. Beberapa contoh arbitrase sebelum berlakunya Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 masih menggunakan peraturan lama seperti RV dan lain-lain. Tentunya perundang-undangan seperti itu tidak diperlukan lagi setelah berlakunya Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999. Sekedar suatu panduan, berikut ini akan disebutkan beberapa model perumusan kontrak atau klausula arbitrase, baik dari lembaga-lembaga arbitrase yang ada, maupun dari beberapa praktek yang terjadi, yaitu sebagai berikut: 18 1. Model paling ringkas Model paling ringkas dari klausula arbitrase, dalam arti klausula tersebut sudah sah, tetapi sebaiknya tidak diikuti. Klausula yang paling ringkas tersebut dapat diconohkan sebagai berikut: a. Dalam Bahasa Inggris
17
Prof.Mr. Dr. Sudargo Gautama, Aneka Hukum Arbitrase Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia yang Baru, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 103. 18 Munir Fuady,S.H.,M.H.,LL.M., Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),hal. 123. Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Any dispute arising out of his agreement shall be settled by arbitration. b. Dalam Bahasa Indonesia Setiap sengketa yang terbit dari perjanjian ini harus diselesaikan oleh arbitrase. 2. Model Badan Arbitrase Nasional (BANI) Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merekomendasikan model klausula arbitrase sebagai berikut: Semua sengketa yang timbul dari Perjanjian ini akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional (BANI) menurut peraturan-peraturan administrasi dan peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir.
SEBUAH CONTOH DALAM PRAKTEK Berikut ini sebuah contoh kalusula dalam praktek dalam sebuah Cooperation Agreement, yaitu sebagai berikut: 19 (a) All disputes, controversies of differences which may arise between the parties with respest to this Agreement, including deadlock in meetings of the management committee, or the executive committee and/or the parties themselves, shall be to the extent possible be settled amicably through mutual consultation. (b) Should any such dispute, controversy or difference between (other than any such deadlock) remain unresolved after mutual consultation, the matter shall be resolved by arbitration final and binding on the parties
19
Toar, Agnes M., 195 : 82
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
hereto as such arbitration venue as the parties shall agree (failing agreement, in Jakarta) in accordance with the rules of the International Chamber of Commerce.
Dan suatu kontrak arbitrase yang telah disepakati dapat dibatalakan atau tidak, hal tersebut bergantung pada esensi hukum kontrak, kontrak arbitrase, berakhirnya atau batalnya kontrak pokok. 20
E. PROSES PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE Pada dasarnya tiap masalah khususnya masalah dalam bidang keperdataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Namun pada akhirnya saat masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dengan jalur kekeluargaan, maka kasus perdata tersebut dapat diajukan ke peradilan umum. Namun ditengah proses tersebut apabila ingin dilanjutkan dengan jalan perdamaian maka dapat dilakukan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa. Salah satu Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut adalah melalui arbitrase. Proses arbitrase dapat ditentukan pada saat sebelum sengketa terjadi maupun setelah terjadinya sengketa. Sebelum sengketa maksudnya, pada saat kedua belah pihak menandatangani suatu kesepakatan tertentu, didalamnya tercantum secara jelas dan tertulis bahwa apabila suatu saat terjadi sengketa, maka jalan yang dicapai untuk mencapai suatu jalan keluar adalah melalui proses arbitrase. Dan pihak- pihak tersebut telah menetapkan arbiter mereka sendiri yang telah dipilih dan disepakati kedua belah pihak. Begitu juga dengan pilihan hukum yang akan dipakai dalam proses tersebut, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Pemilihan arbitrase setelah sengketa 20
Tan Kamello, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia. Makalah disampaikan pada Acara Pendidikan Khusus Profesi Advokat Kerjasama DPD, Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) Sumatera Utara dengan Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, (Medan, 2005), hal 13-14. Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
harus disepakati dalam pertemuan langsung dan paling lama 14 (empat belas) hari hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis. 21 Dan setelah itu dalam penetapan seorang arbiter diberi waktu paling lama 14 (empat belas) hari sebelum akhirnya harus menghubungi lembaga arbitrase untuk menunjuk wakil mereka. 22 Lalu paling lama 7 (tujuh) hari usaha penyelesaian tersebut harus sudah dimulai. 23 Proses tercapainya kesepakatan oleh kedua belah pihak yang dilakukan secara tertulis dan ditandatangani bersama, diberi waktu 30 (tiga puluh) hari. 24 Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. 25 Apabila usaha perdamaian tidak dapat dicapai maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. 26
21
Undang –Undang No. 30 Tahun 1999, pasal 6 ayat 2. Ibid, pasal 6 ayat 4. 23 Ibid, pasal 6 ayat 5. 24 Ibid, pasal 6 ayat 6. 25 Ibid, pasal 6 ayat 8. 26 Ibid, pasal 6 ayat 9. 22
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
BAB III PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA DAN PENGATURANNYA
Penanaman Modal Asing (PMA) pada dewasa ini sangat ramai dibicarakan. Hal ini mengingat, bahwa untuk kelangsungan pembangunan nasional dibutuhkan banyak dana. Dana yang dibutuhkan untuk investasi tidak mungkin dicukupi dari pemerintah dan swasta nasional. Keadaan ini yang makin mendorong untuk mengupayakan semaksimal mungkin menarik Penanamam Modal Asing ke Indonesia. Sejak dikeluarkannya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, aliran modal yang masuk ke Indonesia menunjukkan perkembangan yang pesat. Hal ini tentunya memberikan kesan bahwa kebijaksanaan pemerintah tentang penananan modal asing dapat dikatakan berhasil. Hal tersebut juga di tandai dengan keluarkanya Undang – Undang No. 11 Tahun 1970, sebagai perubahan Udang – Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Lalu tentang Penanaman Modal Asing Dalam Negeri dalam Undang – Undang No. 6 Tahun 1968 diubah dengan Undang –Undang No. 12 Tahun 1997 hal tersebut dilakukan oleh Pemerintah dengan tujuan agat tercapainya suatu kondisi ekonomi yang baik dan berkembang.
A. SEJARAH, LATAR BELAKANG DAN UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA Dengan melihat kembali sejarah perjalanan bangsa Indonesia, dapat kita ketahui bawah rencana pembangunan secara bertahap sebenarnya telah dimulai sejak
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
tahun 1947, dimana Panitia Pemikir Sosial Ekonomi di Yogyakarta telah berhasil menyusun rencananya. Rencana yang telah disusun tersebut sangat sayang tidak dapat dilaksanakan, mengingat situasi dan kondisi negara kita pada saat itu berada dalam peperangan melawan Belanda. Selanjutnya pada tahun 1953 yaitu pada masa kabinet Ali Sastroamidjo, SH pernah pula diajukan rencana pembangunan yang juga membuat tentang pemanfaatan bantuan luar negeri dalam bentuk Penanamam Modal Asing, tetapi karena umur kabinet tidak panjang maka rencana itupun mengalami kegagalan. Pada tahun 1956 Kabinet Ali Sastroamidjojo yang kedua kalinya mengajukan Rancangan Undang – Undang Penanaman Modal Asing yang mengandung syarat – syarat sedemikian rupa, jangan sampai Penanaman Modal Asing itu menghambat pembangunan masyarakat Indonesia, tetapi Rancangan Undang – Undang ini tidak mendapatkan persetujuan Parlemen. 27 Secara ringkas dapat lihat dalam pemerintahan orde lama yang demikian keras menentang kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme, ternyata dalam merencanakan pembangunan nasional tetap pula masih memerlukan bantuan – bantuan luar negeri untuk mengatasi kekurangan – kekurangan modal dan tenaga – tenaga ahli yang mana kekurangan tersebut harus diisi. Hanya sayang dalam mengambil kebijakan – kebijakan pemerintahan saat itu sangat diperngaruhi kaum kiri (partai komunis) yang mendorong pada politik konfontasi yang berakibat fatal yaitu dengan keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB, sehingga cara memperoleh bantuan luar negeri menjadi berantakan dan dapat dikatakan tertutup.
27
Dr. C.G Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing Indonesa, (Bandung : Penerbit Bina Cipta, 1972), Hal.3 Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Penanaman Modal Asing mulai benar – benar dilaksanakan pada masa orde baru yang lebih dikenal dengan masa pembangunan. Pemerintahan orde baru memulai langkahnya dengan mengadakan koreksi terhadap semua penyelewengan – penyelewengan yang diakibatkan oleh orde sebelumnya dan selanjutnya berdaya upaya semaksimalnya segala kebijakan dalam hubungan luar negeri dapat berjalan sesuai dengan politik bebas aktif yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, hal ini mengingat bahwa tentunya tidak ada negara yang mau menanamkan modalnya dalam suatu
negara
yang
dalam
keadaan
tidak
stabil
kehidupan
politik
dan
perekonomiannya. Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara sigifikan. Suasana kebatinan pembentukan Undang- Undang tentang Penanaman Modal didasarkan pada semangat untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif. Penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan
kapasitas
dan
kemampuan
teknologi
nasional,
mendorong
pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sisitem perekonomian yang berdaya saing.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Undang- Undang No. 25 Tahun 2007 mencakupi semua kegiatan penanaman modal langsung di semua sektor dan memberikan jaminan perlakuan yang sama dalam rangka penanaman modal. Selain itu, juga memerintahkan agar meningkatkan koordinasi antarinstansi Pemerintah, antar instansi Pemerintah dan Bank Indonesia, dan antarinstasi Pemerintah dengan pemerintah daerah. Koordinasi dengan pemerintah daerah harus sejalan dengan smangat otonomi daerah. Pemerintah daerah bersama- sama dengan instansi atau lembaga, baik swasta maupun Pemerintah, harus lebih diberdayakan lagi, baik dalam pengembangan peluang potensi daerah maupun dalam koordinasi promosi dan pelayanan penanaman modal Perekonomian dunia ditandai oleh kompetisi antarbangsa yang semakin ketat sehingga kebijakan penanaman modal harus didorong untuk menciptakan daya saing perekonomian nasional guna mendorong integrasi perekonomian Indonesia menuju perekonomian global. 28 Undang- Undang Penanaman Modal Asing di Indonesia yaitu, UndangUndang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, lalu diubah dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UndangUndang Penanaman Modal Asing. Dan akhirnya pemerintah karena keperluan nasional dan untuk mensejahterakan masyarakat serta untuk menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerjasama Internasional, maka akhirnya pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007. 29
28 29
Penjelasan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007, tentang Penanaman Modal Asing. Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
B. PRINSIP- PRINSIP PENANAMAN MODAL ASING MENURUT UU No. 25 TAHUN 2007 Dasar atau prinsip maupun asas yang terkandung dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 adalah 30
kepastian hukum;
keterbukaan;
akuntabilitas;
perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara;
kebersamaan;
efisiensi berkeadilan;
berkelanjutan;
berwawasan lingkungan;
kemandirian; dan
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
C. PROSES PENANAMAN MODAL ASING DI INDONESIA Pada dasarnya, proses penanaman modal asing di Indonesia, dari tahun ke tahun, dari awal diberlakukan penanaman modal asing adalah sama. Oleh sebab itu, proses penanaman modal asing tetap juga mengacu pada UU No. 1 tahun 1967. Walaupun setelah itu muncul peraturan baru seperti UU no. 12 Tahun 1970, dan yang terbaru adalah UU No. 25 tahun 2007. Sejak berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967, telah banyak para pakar investor asing yang tertarik untuk menamankan modalnya di Indonesia dan mengajukan permohonan – permohonan kepeda pemerintah Indonesia, untuk
30
Ibid, pasal 3
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
memperlancar usaha penampungan dan pertimbangan dalam menghadapi permohonan – permohonan penanaman modal dari investor asing tersebut. Sebelum kita membahas mengenai bagaimana caranya menanamkan modal asing di Indonesia, perlu kita ketahui bahwa sejak keluarnya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967 hingga saat ini telah terdapat banyak peraturan yang berkenaan dengan Penanaman Modal Asing, baik peraturan yang masih berlaku ataupun yang sudah tidak berlaku lagi (diganti dengan peraturan berikutnya). Pada awal berlakunya Undang – Undang No. 1 Tahun 1967, pemerintah tentu telah memikirkan tentang pengaturan tata cara atau prosedur penanaman modal tersebut sehingga pada saat itu dikeluarkan Keputusan Presidium Kabinet No.104/EK/KP/4/1967 tanggal 28 April 1967 yang mengatur tentang prosedur yang harus ditempuh dalam melayani permohonan – permohonan untuk diizinkan melaksanakan penanaman modal asing tersebut. Prosedur tersebut adalah sebagai berikut a. Pada tingkat pertama, semua permohonan tentang penanaman modal asing ditampung dan diolah oleh Departemen yang bersangkutan, dalam hal ini peranan – peranan Team Teknis Penanaman Modal Asing sangat diperlukan. b. Setelah selesai diolah dan disetujui ditingkat departemen tersebut, maka setelah mendengar Tema Teknis Menteri yang bersangkutan meneruskan permohonan
tersebut
kepada
Ketua
Predisium
Kabine
dan
Badan
Pertimbangan Penamanam Modal Asing c. Apabila permohonan tersebut mendapat persetujuan dair Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing, maka Ketua Predisium Kabinet memberikan persetujuan resmi atas rancangan kontrak tesebut dan selanjutnya Menteri
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
yang bersangkutan diberi wewenang untuk menandatangani Surat Keputusan Kontraknya atas nama pemerintah. d. Mengenai Letter of Intent, Merrits of Agreement, atau surat – surat persetujuan (in pricipe) dapat ditanda tangani oleh Sekretaris Jenderal atas nama Menteri yang bersangkutan. Dalam konteks diatas telah dinyatakan bahwa pemerintah telah banyak mengeluarkan peraturan yang berkenaan dengan penanaman modal asing. Demikian juga
halnya mengenai tata cara penanaman modal asing telah beberapa kali
mengalami pergantian pengaturanya. Peraturan terbaru yang mengatur mengenai tata cara penamanam modal asing ini adalah Keputusan Presiden RI Nomor 97 Tahun 1993 yang mencabut Keputusan Presiden RI Nomor 33 Tahun 1992. Pada Kepres No. 97 Tahun 1993, tepatnya pada pasal 2 yang terdiri dari 11 ayat dapat kita lihat secara jelas bagaimana tata cara yang harus ditempuh oleh investor dalam melaksanakan permohonan penamanam modal asung di Indonesia. Calon penanam modal (invetor) yang akan mengadakan usaha dalam rangka penanaman modal asing pertama- tama yang harus dilakukan adalah mempelajari terlebih dahulu Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Bagi Penanaman Modal Asing yang berlaku, dan apabila diperlukan suatu penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut diatas dapat menghubungi Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. Adapun yang dimaksud dengan Daftar Usaha Yang Tertutup Bagi Penanamam Modal Asing adalah daftar usaha yang tidak boleh diberikan untuk dilaksanakan oleh penanaman modal sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1993 yang kemudian dicabut dengan keluarnya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1995 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Bagi penanamam Modal (mengenai hal ini akan kita bahas secara khusus
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
pada sub judul berikutn) Daftar bidan usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing ini menunjukkan bahwa pemerintah menggunakan dan memanfaatkan modal asing sesuai dengan kebutuhan dan tetap mejaga bidan usaha yang menguasai hajat orang banyak demi kemakmuran rakyat Indonesia. Setelah mempelajari bidangusaha yang tertutup bagi penanaman modal asing dan penelitian yang cukup mengenai bidang usaha yang terbuka (yang akan ditanamakan modal asing tersebut), calon penanaman modal mengajukan permohonan penanaman modal kepada MENINVES (Menteri Negera Penggerak dan Investasi) / Ketua BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dengan tata cara permohonan yang ditetapkan oleh MENINVES/Ketua BPKM. Mengenai tata cara permohonan yang ditetapkan oleh MENINVES/Ketua BKPM ini, baru – baru ini MENINVES/Ketua BPKM telah mengeluarkan Surat Keputusan yang terbaru mengenai tata cara tersebut yaitu Keputusan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 21/SK/1996 tanggal 15 Juli 1996, tentang Tatacara Permohonan Penanaman Modal Asing Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri Dan Penanaman Modal Asing, yang mana Keputusan ini mencabut Surat Keputusan MENINVES/Ketua BPKM Nomor 15/SK/1993 tanggal 23 Oktober 1993 tentang Tatcara Permohonan Penanaman Modal Dalam Negeri Dan Penanamamn Modal Asing. Di dalam Keputusan tersebut, tepatnya pada Pasal 5 diatur mengenai tatacara permohonan seperti yang dimaksudkan diatas. Pada 5 SK MENINVES/Ketua BPKM No. 21/SK/1996 ini terdiri dari 5 ayat, yaitu: 1. Permohonan penanaman modal baru dalam rangka PMA dapat diajukan oleh : a. Warga negara asing dan/atau badan hukum asing, atau
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
b. Warga negara asing dan/atau badan asing bersama dengan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. 2. Permohonan penanaman modal baru sebagaimana tersebut dalam ayat (1) diajukan dengan menggunakan formulir aplikasi Modal I/PMA,3 (tiga) berkas ditujukan kepada Meninves/Ketua BKPM dan 1 (satu) berkas kepada Ketua BPKMD setempat, dilengkapi dengan : a. Bagi Peserta Asing 1. Badan Hukum Asing : Rekaman
Akta
Pendirian
Perusahaan
dan
perubahanya
beserta
terjemahanya dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia 2. Warga Negara Asing : Rekaman paspor yang masih berlaku b. Bagi Peserta Indonesia 1. Rekaman Akta Pendirian Perusahaan dan perubahanya untuk PT. Atau BUMN/BUMD, atau 2. Rekaman Anggaran Dasar Koperasi yang sudah disahkan oleh Koperasi, atau 3. Rekaman Kertu Tnda Penduduk untuk Perorangan 4. Rekaman Nomor Wajib Pajak (NPWP) c. Uraian Mengenai : 1. Proses produksi yang dilengkapi dengan bagan alir proses, serta mencantumkan
jenis
bahan
baku/bahan
penolong,
pengolahan, atau 2. Kegiatan usaha, bagi kegiatan dibidang jasa
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
bagi
industri
d. Rancangan perjanjian usaha patungan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, diparaf bagi semuya peserta bagi usaha petungan Bagi PMA yang 100% modalnya dimiliki oleh Badan Usaha Asing dan/atau Warga Negara Asing, rancangan perjanjian usaha patungan tidak diperlukan. e. Surat Kuasa apabila penandatanganan permohonan bukan dilakukan oleh permohonan sendiri. f. Kelengkapan persyaratan ketentuan sektoral yang dikeluarkan oleh Menteri teknis yang bersangkutan 3. Berdasarkan penilaian terhadap permohonan modal, MENINVES/Ketua BPKPM menyampaian permohonan itu kepada Presiden dengan disertai pertimbangan guna memperoleh keputusan. 4. Persetujuan Presiden atas penanaman modal dalam rangka penanaman modal asing disampaikan oleh MENINVES/Ketua BPKPM kepada penanam modal dalam bentuk Surat Pemberitahuan Persetujuan Presiden (SPPP) yang tembusannya disampaikan kepada instansi – instansi sebagaimana disebut dalam Pasarl 4 ayat (3), Kedutaan/Kantor Perwakilan Tetap R.I dinegara asla peserta asing dan Kedutaan/Kantaor Tetap negara peserta asing di Jakarta. 5. Jangka waktu berlakunya SPP Presiden ditetapkan selama 3 9tiga) tahun terhitung sejak dikeluarkannya SPP Presiden tersebut, kecuali untuk bidang – bidang usaha dan jumlah investasi tertentu, dapat ditetapkan lain oleh MENINVES/Ketua BPKPM. Berdasarkan penilaian yagn dilakukan terhadap permohonan penanaman modal, maka MENINVES/Ketua BPKPM akan menyapaikan permohonan tersebut kepada Presiden dengan disertai pertimbangan – pertimbangan guna memperoleh keputusan.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Setelah permohonan tersebut disampaikan kepada Presiden, maka keputusan yang diambil oleh Presiden yang berupa persetujuan atau penolakan terhadap permohonan penanaman modal asing tersebut akan kembali disampaikan kepada MENINVES/Ketua BPKPM untuk selanjutnya disampaikan kepada pemohon. Apabila permohonan tersebut mendpat persetujuan dari Presiden, maka persetujun itu juga berlaku sebagai Persetujuan Prinsip. Agar terjadi suatu kelancaran dalam proses penanaman modal, maka MENINVES/Ketua BPKPM akan menyampaikan rekaman Surat Pemeritahuan Persetujuan Presiden kepada Instansi pemerintah yang terkait dengan penanaman modal tersebut, agar calon penanaman modal yang telah mendapat persetujuan itu dapat dengan lancar mengurus penanaman modal yang akan dilakukannya. Setelah segala perinzinan dan persetujuan tersebut diatas diperoleh calon penanaman modal, maka penanaman modal juga harus mendapatkan beberapa hal lagi yaitu izin Lokasi yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya yang harus sesuai dengan rencana Tata Ruang. Kemudian Izin Mendirikan Bangunan yang dikeluarkan Kepala Dinas pekerja Umum Dati II atau satuan Teknis atas nama Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan atau Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (P2K), sedangkan bagi DKI Jakarta atas nama Gubernur DKI Jakarta. Sedangkan Izin Undang – Undang gangguan/HO akan dikelarkan oleh Sekretaris Wilayah / Daerah Tingkat II atas nama Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan, tetapi untuk wilayah DKI Jakarta akan dikeluarkan oleh Kepala Biro Ketertiban atas nama Gubernur DKI Jakarta. Kewajiban untuk memiliki Izin Undang – Undang gangguan/HO ini tidak berlaku bagi penanaman modal yang perusahaannya dibidang industri dan jenis
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
industrinya wajib memiliki AMDAL. Juga tidak berlaku bagi yang berlokasi didalam Kawasan Industri/Kawasan Berikat. Kemudahan lain yang dapat diperoleh penanaman modal adalah dapat mengajukan permohonan untuk perubahan atas rencana penanaman modal yang telah mendapatkan persetujuan Presiden, termasuk perubahan untuk perluasan proyek yagn disampaikan kepada MENINVES/Ketua BPKPM untuk mendapatkan persetujuan dengan mempergunakan tata cara yang ditetapkan oleh MENINVES/Ketua BPKPM.
D. BENTUK – BENTUK PENANAMAN MODAL ASING Di dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967 yaitu pada pasal 3 UU No. 25 Tahun 2007 pasal 5 dapat kita lihat pemerintah sudah menetapkan bahwa perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing, yang dijalankan untuk seluruhnya atau sebagian terbesar di Indonesia sebagai kesatuan perusahaan tersendiri haruslah berbentuk Badan Hukum menurut Hukum Indonesia dan juga harus berkedudukan di Indonesia. Kebijakan ini sangat tepat mengingat bahwa penanaman modal asing, dalam statusnya sebagai orang – perorangan, dapat menimbulkan kesulitan atau ketidakjelasan di bidang Hukum Internasional. Dengan mewajibkan bentuk Badan Hukum dengan demikian akan mendapatkan ketegasan mengenai status hukumnya, yaitu Badan Hukum Indonesia yaitu tunduk kepada hukum Indonesia. Dan dengan demikian sebagai badan hukum terdapat ketegasan tentang modal yang ditanam di Indonesia. Di dalam Undang – Undang Penanaman Modal Asing, sebenarnya tidak terdapat suatu ketentuan yang mewajibkan suatu perusahaan penanaman modal asing mempunyai mitra lokal, dan tidak ada larangan atas keberadaan suatu perusahaan yang 100% (seratus persen) terdiri dari modal asing. Akan tetapi di dalam Undang –
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Undang tersebut memang ada pengaturan tentang kemungkinan diadakannya kerja sama (joint venture) antara modal asing dan modal dalam negeri atau mitra lokal, tetapi tidak dilarang bentuk – bentuk PMA yang memiliki perusahaan dengan pememilikan modal atau sahama sebesar 100%. Baru pada tahun 1974 setelah meluas Peristiwa MALARI (malapetaka 15 Januari) telah dilakukan pembatasan terhadap PMA. Ketika itu pemerintah menetapkan bahwa investor asing yang akan menanam modal di Indonesia harus berpatungan dengan perusahaan lokal atau perusahaan domestik. 31 Sebagai suatu bahan referensi mengenai pembatasan pemiliran saham PMA dapat kita lihat dalam GBHN tahun 1988, dimana secara eksplisit dinyatakan bahwa penanaman modal asing harus dilaksanakan dengan membentuk usaha patungan, atau untuk lebih jelasnya yaitu : Penanaman modal asing dilaksanakan dalam bentuk usaha patungan dan disertai dengan syarat menciptakan lapangan kerja, memungkinkan pengalihan keterampilan dan teknologi kepada bangsa Indonesia.............
Dalam kaitanya dengan hal diatas, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1994, sebagai peraturan terbaru megenai Pemilikan Saham Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Menggantikan PP No. 5 Tahun 993 (yang merupakan pengganti PP No. 17 Tahun 1992) menunjukkan kepada kita mengenai kepemilikian peruahaan modal asing. Pada pasal ayat (1) dari PP No. 24 Tahun 1994 ini dikatakan penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk : a. Patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia 31
Amrial, SH.,MH.,Hukum Bisnis (Deregulasi Dan Joint Venture di Indonesia teori dan Praktek), (Jakarta: Djambatan, 1996), hal 57. Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
b. Langsung, dalam arti seluru modalnya dimiliki oleh warga negara dan /atau badan hukum asing. Bagian dari pasal 2 ayat (1) ini untuk selanjutnya ditambah lagi dengan syarat yang terdapat pada pasal 7 ayat (1) dari Peraturan Pemerintah ini, yiatu bahwa perusahaan yang didirikan dengan seluruh modalnya dimiliki oleh investor asing ini, dalam jangka waktu 15 (lima belas) tahun sejak produksi komersial haruslah menjual sebagian sahamnya kepada warga negara Indonesia melalui pemilikan langsung atau melalui pasar modal dalam negeri. Besarnya saham yang dijual adalah sesuai dengan kesepakatan para pihak terkait didasarkan pada prinsip kerjasama yang saling menguntungkan dan kelangsungann kegiatan usaha perusahaan dan/atau ketentuan pasar modal dalam negeri, Seperti yang kita ketahui, bahwa di dalam Undang – Undang Penanaman Modal Asing ada dikenal bentuk – bentuk kerja sama. Dilihat dari jangka waktu kerja sama, maka dunia praktis menunjukkan adanya dua macam kerja sama, yaitu kerja sama sementara dan kerja sama tetap (permanen). Bentuk kerja sama yang dikenal dalam UUPMA berdasarkan klasifikasi dan/atau alasan –alasan tertentu, baik politis maupun ekonomi dapat dibagi tiga yaitu 1. Kerja sama dalam bentuk JoinVenture. Dalam hal ini para pihak tidak membentuk suatu badan hukum yang baru (badan hukum Indonesia). 2. Kerja sama dalam bentuk Joint Enterprise. Di sini para pihak bersama – sama dengan modalnya (modal asing dan modal nasional) membentuk badan hukum baru yaitu badan hukum Indonesia. 3. Kerja sama dalam bentuk Kontrak Karya, serupa dengan perjanjian kerja sama dalam bidang pertambangan dan gas bumi yang telah ada sebelum UUPMA diundangkan. Dalam bentuk kerja sama tersebut, pihak asing (investor asing)
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
membentuk badan hukum Indonesia. Badan hukum dengan modal asing inilah yang menjadi pihak pada perjanjian yang bersangkutan. Sedangkan pihak yang lainya, adalah badan hukum dengan modal nasional, yakni sebagaimana poengertian modal nasional yang telah diberikan oleh memori Penjelasan dair Undang – Undang Penanaman Modal Asing (U.U No 1/1967). 32 Didalam praktek bisnis, bentuk kerjasama telah berkembang lebih beragam dari bentuk – bentuk konvensional yang dikenal dalam, UUPMA. Pemerintah juga dapat ikut serta dalam suaha patungan dalam rangka penanaman modal asing ini yaitu melalui perusahaan negara. Untuk lebih memperjelas mengenai bentuk kerjasama yang dikenal dalam UU PMA, maka akan dijabarkan ciri – ciri khas masing – masing kerjasama tersebut sebagai berikut : 1. Joint Venture Merupakan suatu kerjsama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional yang semata – mata didasarkan atas perjanjian belaka. Kerjasama ini dapat juga disebut Contract of Cooporation, yakni tidak membentuk suatu badan hukum yang baru seperti pada Joint Enterprise.
2. Joint Enterprise Jonint Enterprise merupakan suatu bentuk kerjasama yang membentuk suatu badan hukum (perusahaan), yang terbentuk dari perjanjian antara pemilik modalasing dan pemilik modal nasional. Joint Enterprise merupakan Perusahaan Terbatas (P.T) yang modalnya antara lain terdiri modal dalam nilai Rupiah, dan modal yang dinyatakan dalam valuta asing, misalnya US Dollar. 32
Ismail Suny, Tinjauan Dana Pembahasan Undang – Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1968), Hal. 108 Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
3. Kontrak Karya (Contracts of Work) Bentuk kerjasama kontrak karya adalah suatu kerjasama yang dibuat antara dua pihak atau lebih dengan modal campuran antara modal asing dan modal nasional. Bentuk ini terjadi apabila penanaman modal asing (investor) terlebih dahulu membentuk suatu badan hukum Indonesia. Selanjutnya badan hukum yang baru itu akan mengadakan perjanjian kerjsama dengan suatu badan hukum Indonesia lainnya yang mempergunakan modal nasional. Dalam hal ini, yang menyebabkan timbulnya bentuk kontrak karya pada penanaman modal asing, adalah ketentuan yang menegaskan bahwa modal perusahan negara tidak dapat dibagi – bagi ke saham – saham, tetapi merupakan satu kerseluruhan yang dipisahkan dari kekayaan negara. Dengan cara ini, dalam menetapkan perbandingan besarnya modal antara modal asing dan modal nasional, maka sebagai jalan keluarnya. Ditentukan bahwa modal asing yang ditanamkan dalam rangka kerjsama dengan suatu perusahaan negara, harus dituangkan dalam suatu perusahaan terbatas yang baru. Oleh karena itu, menjadi jelas betapa besarnya perbandingan masing – masing modla yang ditanamkan. Dengan demikian pembagian ketuntungan & kewajiban masing – masing akan mudah diperhitungkna. Bentuk kontrak karya biasanya hanya terdapat dalam rangka kerjasama antara perusahaan negara dengan penanaman Modal Asing, seperti misalnya, kontrak karya antara Pertamina & LN dengan Kahara Badas. Disamping bentuk – bentuk kerjasama dalam UU Penanaman Modal Asing yang telah diterangkan, diatas didalam praktek bisnis saat – saat ini setelah pula berkembang bentuk – bentuk kerjsama lainnya, seperti licensng, tunkey projet,
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
production shring penanaman modal asing dengan disc – rupiah dan bentuk lainnya. Hal ini tentunya sesuai dengan perkembangan dunia usaha dan bisnis saat ini.
E. HAK DAN KEWAJIBAN PENANAM MODAL Hak dan Kewajiban Penanaman Modal Pada umumnya, setiap peraturan tentunya juga mengatur mengenai hak dan kewajiban pihak – pihak kepada siapa peraturan tersebut ditujukan. Demikia juga halnya Undnag – Undang Nomor 1 Tahun 1967 yang mengatur tentang Penanamn Modal Asing, juga ada mengatur mengenai hak dan kewajiban si penanam modal. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban ini sangat diperlukan agar si penanam modal dapat mengetahui apa yang harus dilaksanakan dan hal – hal yang didapatkannya. Dalam sub judul mengenai hak dan kewajiban ini, penulis hanya akan menguraikan mengenai hak dan kewajiban penanam modal secara umum saja, artinya mengenai hak dan kewajiban yang diatur secara khusus, tidak akan disinggung dalam sub judul ini (milsnya hak dan kewajiban penanam modal dalam hak tata cara AMDAL yang diatur secara khusus dalam Kepper Nomor 8 Tahun 1988).
1. Hak –hak Penanam Modal Dalam Undang – Undnag Nomor 1 Tahun 1967, mengenai hak – hak dari penanam modal asin tidak diatur secara tersendiri, tapi dapat dilhat dari pasal – pasal yang ada di Undang – Undang tersebut. Namun dalam UU No. 25 Tahun 2007 diatur dalam pasal tersendiri. 1.
Setelah memohon penanaman modal Asing dari calon penanam modal disetujui oleh presiden dan telah memenuhi syarat – syarat yang telah ditetapkan
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
maka calon penanaman modal telah menjadi penanam modal atau investor dan dapat memulai usahanya di Indonesia. Setiap penanam modal berhak: a. kepastian hak, hukum dan perlindungan b. informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya c. hak pelayanan d. berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang- Undangan. 33 2. Kewajiban Penanam Modal Selain dari kewajiban – kewajiban yang harus dipenuhi penanam modal pada saat mengajukan permohonan penanam modal asing, maka terdapat kewajiban – kewajiban lain yang harus dipenuhi oleh penanam modal asing. Dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1967 yaitu pada pasal Bab X pasal 26 dan 27 diatur mengenai kewajiban – kewajiban penanam modal asing. Dalam UU No. 25 Tahun 2007, kewajiban penanam modal yaitu, 34 a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik b. melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan c. membuat
laporan
tentang
kegiatan
penanaman
modal
dan
menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal d. menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal, dan e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
F. JANGKA WAKTU PENANAMAN MODAL 33 34
Pasal 14 Undang- Undang No. 25 Tahun 2007 Ibid, pasal 15.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Dalam kerangka berfikir sederhana, tentulah kita sebagai suatu Negara yang ingin maju, tidak akan menginginkan suatu perusahaan yang berada di Negara kita selalu bergantung pada orang asing, namun pada saatnya nanti apabila kondisi keuangan Negara dan kondisi Negara kita sudah sangat stabil, maka kita dapat mengambil alih segala perusahaan yang di dalamnya ada investasi asing, karena kita ingin agar terjadi kemandirian dan menghindari ketergantungan yang berkepanjangan terhadap luar negri. Undang- Undang No. 1 Tahun 1967 memberikan jangka waktu tidak melebihi 30 (tiga puluh) tahun untuk setiap ijin penanaman modal asing, dan selanjutnya juga diadakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1. Perusahaan modal asing harus mengadakan pembukuan tersendiri dari modal asingnya. 2. Untuk menetapkan besarnya modal asing maka jumlahnya harus dikurangi dengan jumlah-jumlah yang dengan jalan repatriasi telah ditransfer. 3. Tiap tahun perusahaan diwajibkan menyampaikan kepada pemerintah suatu ikhtisar dari modal asingnya. 35 Bila kita lihat peraturan pelaksana yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai jangka waktu penanaman modal asing. Waktu selama tiga puluh tahun masih tetap dipertahankan.
35
Penjelasan pasal 18 Undang- Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
BAB IV PROSES PENYELESAIAN SENGKETA SECARA ARBITRASE DALAM BANK INDONESIA MENGENAI PENANAMAN MODAL ASING
A. PENGARUH INVESTASI TERHADAP PENGEMBANGAN EKONOMI INDONESIA DENGAN DIBENTUKNYA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA (BAPMI) Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini, di samping telah memberikan hasil- hasil yang cukup baik di berbagai bidang pembangunan, masih terdapat kekurangan dan kelemahan di berbagai bidang lainnya. Salah satu pelaksanaan pembangunan yang dirasakan belum memberikan hasil yang memadai adalah dalam upaya mewujudkan demokrasi ekonomi. Hal tersebut tercermin antara lain dari relative belum berkembangnya ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil dan menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, dibandingkan ekonomi secara keseluruhan. Dasar utama dari demokrasi ekonomi di Indonesia adalah pasal 33 UUD 1945. Dalam penjelasan pasal 33 disebutkan bahwa demokrasi ekonomi diartikan sebagai: produksi dikerjakan oleh semua, dan untuk semua, di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Dalam perekonomian yang dasarnya adalah demokrasi ekonomi, kemakmuran rakyatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran perorangan, sebab kalau tidak, produksi akan jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa, dan rakyat banyaklah yang ditindasnya.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Oleh sebab itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapakan Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, yang salah satu isinya menyatakan bahwa “Kemandirian Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus diupayakan”. Maksudnya adalah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya dalam pelaksanaan tugasnya dan kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan itu pada bulan Mei 1999 telah diundangkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti Undang-Undang No. 13 Tahun 1968. Dalam UU itu memuat berbagai ketentuan pasal yang memberikan dasar hukum bagi independensi Bank Indonesia, seperti kedudukan dan status Bank Indonesia, tujuan dan tugas, penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, pengaturan dan pengawasan Bank, pengaturan dan pemeliharaan kelancaran system pembayaran, akuntabilitas dan transparansi, serta mengenai pimpinan Bank Indonesia. Dengan kemandiriannya, Bank Indonesia dapat lebih berkonsentrasi pada pengawasan perbankan sehingga pelanggaran di sektor perbankan dapat dihindari yang pada gilirannya akan mengurangi pemusatan modal. Dalam UU yang baru tersebut penentuan pimpinan Bank Indonesia harus melalui Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu DPR akan menerima Laporan Kinerja Bank Indonesia serta berhak meminta keterangan dari pimpinan Bank Indonesia bila dianggap perlu. Dengan demikian, di samping Bank Indonesia dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, Bank Indonesia dituntut untuk transparan dan memenuhi prinsip akuntabilitas public dalam menetapkan kebijakannya serta terbuka bagi pengawasan masyarakat.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Dalam upaya mempercepat pemulihan dan pertumbuhan ekonomi nasional, diperlukan penanaman modal asing yan sekaligus diharapkan dapat menjalin keterkaitan usaha dengan pelaku ekonomi rakyat. Yang hal tersebut bertujuan untuk dapat membantu Indonesia dalam memajukan perekonomian nasional dan menambah pendapatan perkapita, dengan jalan penanaman modal bagi pihak asing. Oleh karena itu, untuk menarik penanaman modal asing ke Indonesia peran Perwakilan Indonesia di luar negri ditingkatkan tidak hanya di bagian promosi, namun juga mencakup pelayanan penerimaan aplikasi dan pemberian persetujuan penanaman modal asing. Pihak investor diberikan kebebasan untuk memilih unit pelayanan sesuain dengan kebutuhannya. Penanam modal juga diberi kelonggaran perpanjangan waktu penyelesaian proyek yang terlambat akibat adanya krisis ekonomi. Tahun 1967, pemerintah mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1967, yaitu untuk mengurangi system control devisa yang menerapkan bahwa devisa yang berasal dari kekayaan alam dan usaha Indonesia dikuasai oleh Negara. Hal tersebut berkenaan dengan tujuan agar dapat menarik masuknya modal asing untuk pembiayaan investasi dalam negri. 36 Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 menurunkan investasi. Dalam tahun 1998, investasi berupa pembentukan modal tetap bruto, turun 33 persen dan menyumbang sekitar 80 persen bagi penurunan pertumbuhan ekonomi. Dalam pertumbuhan ekonomi itu ditempuh beberapa kebijakan pokok untuk meningkatkan kembali iklim investasi. Pertama, adalah meningkatkan kepastian hukum yang memberi kepastian usaha. Dalam kaitan ini diupayakan penyelasaian RUU Penanaman Modal yang dimaksudkan untuk meningkatkan iklim investasi
yang semakin baik dengan
memberi perlakuan yang sama antara penanam modal dalam negri dan luar negri.
36
Cyber Museum Bank Indonesia, hal 4.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Selain itu, diberikan kemudahan bagi PMA untuk membeli saham perusahaan yang sudah berdiri atau beroperasi di Indonesia melalui PP No. 38 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas PP No. 20 Tahun 1994. Kedua, adalah menyederhanakan prosedur perijinan investasi. Dalam kaitan itu ditetapkan Kepres No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelengarakan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Dalam Negri melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Langkah ini dimaksudkan untuk memperjelas kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelayanan investasi. Ketiga, adalah meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam penanganan berbagai hambatan yang dihadapi oleh penanam modal termasuk masalah-masalah yang bersifat lintas sektor dan lintas daerah seperti keamanan, ketenagakerjaan, dan infrastruktur. Selain melalui koordinasi antara Badan Koordinasi Pasar Modal baik dengan instansi pusat maupun dengan instansi penanam modal daerah, kemampuan kelembagaan dalam penanganan masalah-masalah investasi ditingkatkan dengan pembentukan Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. Keempat, adalah meningkatkan kerjasama internasional baik bilateral, regional maupun multilateral di bidang penanaman modal, dalam bentuk kegiatan promosi dan pameran investasi dengan penyelenggaraan Tahun Investasi 2003 dan 2004 serta penempatan pejabat promosi investasi di luar negri, yaitu di Osaka, Los Angeles, Taipei, London, Amsterdam dan Melbourne yang bertugas untuk melakukan kontak langsung dan menjalin komunikasi yang baik dengan para calon investor. Iklim investasi juga ditingkatkan melalui kegiatan pasar modal. Beberapa kegiatan pokok yang berhasil dilaksanakan, adalah meliputi:
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
1) penyusunan dan penyempurnaan berbagai peraturan pelaksana di bidang pasar modal, antara lain untuk meningkatkan efisiensi industri efek dan mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang; 2) telah diselesaikannya rancangan perubahan UU Pasar Modal yang berisi berbagai aspek guna meningkatkan peran pasar modal, termasuk pengaturan mengenai kewajiban perusahaan public untuk memiliki komosaris independent dan komite audit; 3) telah berhasilnya rekomendasi pelaksanaan demutualisasi bursa dan telah dibentuknya Komite Restrukturisasi Lembaga Bursa; 4) telah disusunnya Grand Strategy Pengembangan Reksa Dana; 5) telah diterapkannya system perdagangan jarak jauh dan perdagangan tanpa warkat di pasar modal Indonesia; 6) telah diterbitkannya ijin kepada Perhimpunan Pedagang Surat Utang Negara (HIMDASUN) untuk berperan serta dalam perdagangan surat utang Negara; dan 7) telah dibentuknya Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).
Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) atau dalam bahasa Inggris disebut Indonesian Capital Market Arbitration Board, didirikan oleh Organisasi Regulator Mandiri (Self Regulatory Organization) yaitu Bursa Efek Jakarta, Bursa Efek Surabaya, P.T. Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan P.T.Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) serta asosiasi- asosiasi di lingkungan pasar modal Indonesia untuk menjadi tempat menyelesaikan persengketaan perdata di bidang pasar modal melalui mekanisme penyelesaian di luar pengadilan.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Sejarah pendirian BAPMI BAPMI didirikan dengan akta pendirian berdasarkan akta No. 15 yang dibuat oleh Notaris Fathiah Helmy SH dan ditandatangani di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2002 dengan disaksikan oleh Mentri Keuangan Republik Indonesia. Selanjutnya BAPMI memperoleh pengesahan sebagai badan hukum melalui Keputusan Mentri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia No. C-2620 HT.01.03.TH 2002, tanggal 29 Agustus 2002, dan pengesahan tersebut telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 18 Oktober 2002, Nomor 84 Tahun 2002, Tambahan Berita Negara Nomor 5/PN/2002.
Alternative Penyelesaian Melalui BAPMI Di dalam BAPMI, para pihak yang bersengketa dapat memilih 3 alternatif cara penyelesaian sengketa, yakni melalui: •
Pendapat Mengikat
Yakni pendapat yang diberikan oleh BAPMI atas dasar permintaan para pihak mengenai penafsiran suatu ketentuan yang kurang jelas di dalam perjanjian agar di antara para pihak tidak terjadi lagi perbedaan penafsiran yang bisa membuka perselisihan yang lebih jauh. BAPMI
akan
memberikan
pendapat
pengikat
secara
tertulis
dan
ditandatangani oleh ketua BAPMI selambat- lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dimulainya pemerikasaan, yang disampaikan melalui surat tercatat, bukannya dalam suatu forum pertemuan. Pendapat mengikat yang diberikan oleh BAPMI bersifat final dan mengikat para pihak yang memintanya, oleh karenanya tidak dapat diajukan perlawanan atau
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
bantahan. Pendapat mengikat itu harus sudah dilaksanakan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkan, dan setiap tindakan yang bertentangan dengan pendapat mengikat merupakan pelanggaran perjanjian. •
Mediasi
Mediasi BAPMI adalah cara penyelesaian masalah melalui perundingan di antara para pihak yang bersengketa dengan bentuan pihak ketiga yang netral dan independent yang disebut mediator yang bersifat fasilitator pertemuan guna membantu masing-masing pihak memahami perspektif, posisi dan kepentingan pihak lain sehubungan dengan permasalahan yang tengah dihadapi dan bersama-sama mencari solusi penyelaesaiannya. Tujuan dari Mediasi adalah dicapainya perdamaian di antara para pihak yang bermasalah. Proses mediasi akan berlangsung selama 14 (empat belas) hari kerja dalam pertemuan (hearing) yang tertutup untuk umum yang dilaksanakan ditempat yang ditetapkan oleh BAPMI atau tempat lain yang disepakati oleh para pihak. •
Arbitrase
Arbitrase BAPMI adalah cara penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kewenangan kepada pihak ketiga yang netral dan independent, yang disebut arbiter guan memeriksa dan mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir. Keputusan yang dijatuhkan oleh arbiter tersebut bersifat final dan mengikat bagi para pihak yang tidak dapat diajukan banding. Pemerikasaan dalam Proses Arbitrase BAPMI akan berlangsung paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kerja terhitung sejak arbiter tunggal atau majelis arbitrase terbentuk. Arbiter dapat memperpanjang jangka waktu tersebut dengan persetujuan memohon dan pemohon.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Arbiter BAPMI Di dalam proses arbitrase BAPMI dikenal dua jenis arbiter, yakni arbiter tetap (arbiter BAPMI) dan arbiter tidak tetap (ad hoc) yang diseleksi dan di angkat oleh pengurus BAPMI berdasarkan integritas dan kompetensi di bidang pasar modal menurut latar belakang keahlian masing-masing yang sebagian berlatar belakang praktisi, ahli hukum, akuntan, dan akademisi.
B. CONTOH SENGKETA ANTARA KARAHA BODAS COMPANY DENGAN PERTAMINA DAN PLN YANG TERGABUNG DALAM JOINT OPERATION CONTRACT (JOC) Sengketa dalam contoh ini, menyebabkan arbitrase bersangkutan didasarkan atas dua kontrak, yaitu 1 (satu) dinamakan kontrak Kerja Sama Operasi/ Joint Operation Contract (JOC) antara Karaha Bodas dan Pertamina. Karaha Bodas Company (KBC) merupakan suatu persoalan terbatas yang telah dididirikan di Layman Islands. Melihat status pendiriannya saja sudah merupakan suatu tanda tanya mengenai latar belakang perusahaan ini, apakah memang bona fide. Di samping kontrak Joint Operation Contract (JOC), telah dibuat pula suatu kontrak penjualan Energy Sales Contract (ESC) antara Karaha Bodas Company (KBC), Pertamina dan PLN. 37 Kedua kontrak ini ada hubungannya dengan eksplorasi dan pemanfaatan eksploitasi gas bumi dalam wilayah konsesi di Karaha Bodas pada sektor penjualan energi listrik yang dihasilkan dari eksploitasi tersebut. Joint Operation Contract (JOC) ini mengatur adanya suatu system arbitrase yang khusus. Setelah timbulnya krisis 37
Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, Arbitrase Luar Negri dan Pemakaian Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal 4.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
ekonomi pada tahun 1997 yang menimpa Indonesia, International Monetary Fund (IMF) telah meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk meninjau kembali proyek- proyek pembangunan. Selain itu, harus diteliti lebih lanjut, apakah pembayaran proyek dengan valuta asing US dollar masih dapat dipertahankan. Pada tanggal 20 Desember 1997 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan KeputusanNomor 39 Tahun 1997. Antara lain telah diadakan penundaan proyek Karaha Bodas Company (KBC). Seminggu setelah dikeluarkan pembatasan ini, Karaha Bodas Company (KBC) telah memberitahukan kepada Pertamina mengenai rencananya untuk mengembangkan suatu pabrik listrik berkekuatan 55 Mw dan telah minta Pertamina dan PLN untuk membantu supaya dapat dikeluarkan dari pada Keputusan Presiden penundaan bersangkutan. Pada tanggal 10 Januari 1998 telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1998 yang telah mencabut Keputusan Presiden semula dan kemudian sekali lagi telah menunda proyek Karaha Bodas Company (KBC). Pertamina telah menyetujui untuk membantu Karaha Bodas Company (KBC) dalam usaha supaya proyek ini dilanjutin. Akan tetapi, dalam 2 (dua) minggu setelah diajukan permohonan oleh Pertamina, pihak Karaha Bodas Company (KBC) telah menyatakan berlakunya klausula “force majeure” dan telah menghentikan pelaksanaan kontrak bersangkutan. Kemudian,
pada
30
April
1998,
Karaha
Bodas
Company
(KBC)
telah
memberitahukan kepada Pertamina dan PLN bahwa mereka akan mengajukan suatu klaim dalam arbitrase berdasarkan kontrak Joint Operation Contract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC). Suatu kontrak arbitrase mencantumkan atau menyepakati suatu cara penyelesaian sengketa yang timbul di masa yang akan datang. Selanjutnya syarat yang terdapat pada perjajian “bersyarat” merupaka suatu kesatuan yang tak terpisah dalam
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
perjanjian. Syarat dalam perjanjian “bersyarat” bukan tambahan yang ditempelkan dalam perjanjian, melainkan meliputi pokok atau materi perjanjian.38
C. PROSES PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA KARAHA BODAS DENGAN PERTAMINA DAN PLN 39 Dalam tuntutan arbitrase ini, pihak Karaha Bodas Company (KBC) telah mengklaim bahwa pihak Pertamina dan PLN telah melanggar kontrak, yang sesungguhnya menurut Pertamina penangguhannya didasarkan atas Keputusan Presiden yang telah melarang mereka (para pihak) Joint Operation Contract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC) untuk melanjutkan proyek. Hal ini bukan merupakan wanprestasi dari pihak Pertamina dan PLN. Mereka harus menaati dan tidak boleh melanggar Keputusan Presiden bersangkutan itu. Oleh Tim Arbitrase Pertamina dan PLN dianggap telah melanggar kontrak ini dan Karaha Bodas Company (KBC) berhak untuk menghentikan kontrak bersangkutan (termination) dan juga dapat memperoleh apa yang sudah mereka keluarkan ditambah dengan kerugian untuk kehilangan keuntungan (lost profit). Dalam hubungan ini maka Tim Arbitrase telah membuat apa yang dinamakan “Preliminary Award” tertanggal 30 September 1989 dan kemudian suatu Final Award tertanggal 18 Desember 2000. 1. Pertamina dan PLN, secara tanggung renteng telah dihukum membayar US$ 111.000.000 (seratus sebelas juta dolar Amerika Serikat) untuk biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Karaha Bodas Company (KBC) ditambah dengan bunga 4% (empat persen) setahun sejak 1 Januari 2001 sampai lunas.
38
Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), 116. 39 Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, Arbitrase Luar Negri dan Pemakaian Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal 5-140 Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
2. Pertamina dan PLN secara tanggung renteng dihukum untuk membayar US$ 150.000.000 (seratus lima puluh juta dolar Amerika Serikat) kepada Karaha Bodas Company (KBC) untuk kehilangan laba ditambah dengan bungan 4% (empat persen) setahun mulai 1 Januari 2001 sampai lunas dibayar. 3. Pertamina dan PLN secara tanggung renteng dihukum untuk membayar US$ 66.654,92 (enam puluh enam ribu enam ratus lima puluh empat dan sembilan puluh dua sen dolar Amerika Serikat) kepada Karaha Bodas Company (KBC) untuk biaya pengeluaran arbitrase ini ditambah dengan bunga 4% (empat persen) setahun mulai 1 Januari 2001 sampai dibayar lunas. Kemudian, ditentukan pula bahwa setiap pihak akan menanggung biaya- biaya arbitrase ini sepanjang mengenai kuasa hukum mereka yang ditandatangani juga oleh Y’ves Derains, Profesor Piero Bernardini dan Profesor Ahmed L. Kosheri. Kita saksikan bahwa dalam pertimbangan hukum putusan arbitrase ini hanya dinyatakan bahwa hukum Indonesia, seperti juga system hukum lainnya, mengenal apa yang dinamakan “pengembalian dari keuntungan yang telah hilang” dalam bahasa asingnya “lucrum cessans” sebagai suatu komponen untuk kerugian yang menjadi hak dari pihak yang dirugikan, apabila terjadi suatu kelalaian terhadap price of contract yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, disamping kerugian yang dikenal sebagai damnum emergens. Dikatakan lagi, seperti dalam system hukum lain, dapat diperolehnya kerugian ini dapat diperolehnya kerugian ini dibatasi terhadap apa yang dapat dinyatakan sebagai kerugian yang dapat diperhitungkan semula (foreseeable) pada waktu kontrak ini dibuat dan adalah suatu akibat yang langsung dan segera dari pelanggaran kontrak ini. Tim Arbitrase bersangkutan sama sekali tidak mendasarkan pendapatnya atas suatu pertimbangan research yang mendalam dari hukum Indonesia. Akan tetapi,
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
“hanya menyebut” bahwa dalam hukum di Indonesia juga dikenal dengan apa yang dinamakan pengendalian keuntungan yang hilang atau lucrum cessanans dan di samping sama sekali tidak mereka menyebut lebih lanjut atas dasar apa yang mereka menyatakan ada lost profit ini, terutama jika dihubungkan dengan apa yang telah sebenarnya diderita. Tuntutan Karaha Bodas Company Seperti telah dipertimbangkan oleh Tim Arbitrase, maka tuntutan oleh Penggugat Karaha Bodas Company (KBC) dirumuskan sebagai berikut: 1. Menuntut ganti rugi akibat pelanggaran kontrak: a. Kerugian yang termasuk dalam pembayaran atas kerugian sebesar US$ 96.000.000 (sembilan puluh enam juta dolar Amerika Serikat) kemudian kompensasi akibat kehilangan keuntungan sebesar US$ 512.500.000 (liam ratus dua belas juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat); selanjutnya, sebagai alternative untuk ganti rugi untuk keuntungan diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus diterima adalah US$ 437.000.000 (empat ratus tiga puluh tujuh juta dolar Amerika Serikat). b. Secara alternative diminta pembatalan kontrak dan kerugian- kerugian dan secara alternative dan pelaksanaan secara khusus. 2. Kerugian akibat diperolehnya harta yang tidak wajar dan adil (unjust enrechment) digabung dengan kerugian yang diderita oleh Karaha Bodas Company (KBC) ini dengan bunga diperhitungkan oleh Karaha Bodas Company (KBC) sejumlah US$ 58.600.000 (lima puluh delapan juta enam ratus ribu dolar Amerika Serikat) pada tanggal 24 Desember 1999 dan denda yang harus dibayarkan kepada Karaha Bodas Company (KBC) sejumlah US$
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
608.500.000 (enam ratus delapan juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) atau secara alternatif sebasar US$ 51.300.000 (lima puluh satu juta tiga ratus ribu dolar Amerika Serikat) apabila pengadilan arbitrase memutuskan bahwa Karaha Bodas Company (KBC) berhak memperoleh US$ 837.000.000 (delapan ratus tiga puluh tujuh juta dolar Amerika Serikat). 3. Apakah Karaha Bodas Company (KBC) berhak menerima ganti rugi. 4. Apakah Tergugat (Pertamina) telah melanggar kewajiban mereka berdasarkan kontrak Joint Operation Contract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC) ini. 40 Menurut pendirian Tergugat, didalam putusan awal merumuskan dengan benar bahwa tindakan Pemerintah mengenai pembatalan kontrak Joint Operation Contract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC) oleh para Tergugat dari halaman 19 putusan awal ini dinyatakan bahwa Karaha Bodas Company (KBC) dalam melakukan kewajibannya tidak dipertimbangkan sebagai pelanggaran kontrak yang dilakukan Pertamina, tetapi sebagai keadaan kahar yang membebaskan tugas Tergugat tidak dapat dipertangungjawabkan atas dikeluarkannya putusan penghentian proyek. Untuk menaati apa yang telah diperintahkan putusan ini yang dikeluarkan juga berdasarkan instruksi Interational Monetary Fund (IMF). Badan ini yang khusus bertugas untuk memebantu dalam rekonstruksi segala tatanan ekonomi untuk mengatasi adanya krisis ekonomi. Menurut Tim Arbitrase, sesuai dengan ketentuan Pasal 15.1 Kontrak PLN telah lalai menjamin bahwa Energy Sales Contract (ESC) harus dapat dilaksanakan. Dinyatakan oleh Tim Arbitrase bahwa para Tergugat harus berusaha sebaik mungkin supaya proyek dapat dilanjutkan. Dengan demikian, Tergugat harus melaksanakan
40
Ibid , hal 8.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
dan menyerahkan perangkat- perangkat lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan dalam perjanjian ini. Jadi, menurut pandangan Tim Arbitrase para Tergugat telah melanggar kewajiban dalam Energy Sales Contract (ESC) Pasal 15.1 dan kegagalan ini dinggap kurang baik melakukan kewajiban berdasarkan hukum dan kontrak yang dibuat. Para Arbiter dipilih tanpa persetujuan Tergugat dan tidak sesuai perjanjian Pertamina tidak diberi kesempatan untuk membela diri, karena yang termohon eksekusi tidak diberikan kesempatan untuk mengangkat arbiter yang hendak dipilihnya, sesuai dengan perjanjian Joint Operation Contract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC). Menurut ketentuan tentang arbitrase dalam perjanjian- perjanjian ini pihak Pertamina seharusnya diberikan kesempatan untuk memilih arbiter yang dikehendakinya. Oleh karena itu, sesuai dengan Konvensi New York 1985 pasal 5 ayat 1 butir b yang telah disetujui oleh para pihak dalam perjajian arbitrase mereka. Sedangkan dalam perkara arbitrase sekarang para arbiter telah dipilih tanpa adanya persetujuan atau pilihan dari Pertamina. Menurut mereka bahwa susunan Tim Arbitrase ini bertentangan dengan pasal 5 ayat 1 (b) Konvensi New York. Dan juga menurut mereka bahwa dalam menyelesaikan perkara tersebut para arbiter tidak memakai hukum Indonesia. Dan Tim Arbitrase menentukan tanggung jawab Pengugat untuk kehilangan keuntungan (loss profit) secara spekulatif dan tidak berdasar. Hal ini melanggar, baik prosedur arbitrase yang ditandatangani oleh para pihak maupun United Nations Commision on International Trade Law (Uncitral) Arbitration Rules, secara merugikan pihak Pengugat Pertamina. Menurut Karaha Bodas Company (KBC) sesuai pasal 67 Undang- Undang No. 30 Tahun 1999, yang juga menurut mereka berlaku untuk pendaftaran putusan arbitrase internasional dan sekarang putusan dari Jenewa yang diminta dibatalkan.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Arti dari putusan Arbitrase Jenewa itu pada dasarnya menurut seorang ahli dari Swiss, Hans Smit, ialah: 1.
Pertama, sesuai dengan pengertian Pertamina dan PLN ini adalah tempat yang tepat di mana 1 (satu) gugatan pembatalan harus diajukan dan karena adanya properties mereka.
2.
Dengan demikian, tidak mungkin diadakan klaim pembatalan selanjutnya. Sebaliknya, menurut para ahli yang diajukan Pertamina maka dinyatakan Indonesia adalah tepat karena adanya properties di mana bisa diajukan suatu permohonan pembatalan.
Hukum Arbitrase Indonesia Pasal 13 Joint Operation Contract (JOC) maupun Pasal 8 Energy Sales Contract (ESC) tidak secara spesifik menyebut hokum arbitrase mana yang berlaku. Juga, tidak disebut bahwa cuma hukum arbitrase Swiss yang berlaku. Akan tetapi, semua ketentuan dalam kontrak ini secara implicit menunjukkan hukum arbitrase yang berlaku tidak lain harus hukum Indonesia. Berbagai pasal dalam dari hukum arbitrase Indonesia telah disebut di dalam kontrak- kontrak bersangkutan, baik dalam Joint Operation Contract (JOC) maupun dalam Energy Sales Contract (ESC). Klausula arbitrase ini, baik dalam pasal 13 ayat 2 (a) Joint Operation Contract (JOC) dan pasal 8 ayat 2 (a) Energy Sales Contract (ESC) menyatakan bahwa para pihak secara tegas menyetujui untuk mengesampingkan berlakunya: (a) pasal 650 ayat 2 Hukum Acara Perdata Indonesia (b) kalimat kedua dari pasal 620 ayat 1 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Perdata Indonesia (RV) Menurut para ahli yaitu Hans Smit dan Prof. Reisman (sebagai salah satu expert Pertamina) yang memberi contoh- contoh bahwa Indonesia terkenal selalu
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
mencari
jalan
untuk
tidak
melaksanakan
Putusan
Arbitrase
Internasional
(International Commercial Arbitration) dari tahun 1997 itu. Disebut pula oleh beliau dalam tinjauan tentang “International project finance and arbitration with public sector entities when is arbitrability a fiction” yang telah dipublikasi dalam Jilid 24 Fordham International Law Review dari tahun 2001. Putusan Arbitrase Jenewa Sesungguhnya Tidak Memakai Hukum Indonesia Seperti dalam perkara di atas sudah jelas para arbiter dalam putusan arbitrase Jenewa walaupun menyebut hukum Indonesia yang mereka pakai, hukum Indonesia yang mereka pakai, hukum Indonesia mengenal apa yang mereka katakan dalam prinsip harus membayar ganti rugi untuk lost profit. Menurut pihak tergugat bahwa sebenarnya mereka telah tidak memakai hukum Indonesia yang tidak mengenal konsepsi membayar kerugian untuk lost profit ini, jika proyek tersebut sama sekali belum bekerja dan belum mulai, dengan taraf eksploitasi (hanya baru dalam taraf eksplorasi). Maka yang telah kita saksikan ialah bahwa para arbiter telah menjatuhkan putusan dalam hal ini berdasarkan perasaan “keadilan” mereka sendiri, ex aquo et bono. Dan hal inilah yang sebenarnya tidak dapat diterima. Penggugat menyatakan bahwa konsep permintaan ganti rugi adalah berdasarkan kontrak yang dinamakan Damnum Emergence (kerugian yang sebenarnya diderita dan bukan yang diantisipasi). Dinyatakan bahwa berbagai Tim Arbitrase internasional telah menerapkan prinsip tersebut dan didasarkan atas asumsi bahwa hukum Indonesia berprinsip sejalan dengan yang dipakai oleh Tim Arbitrase ini. Telah diterima jumlah ganti rugi yang sesuai dengan prinsip keadilan yang menentukan hak mereka untuk menuntut sejumlah kerugian. Mereka telah mengajukan saksi- saksi untuk menerangkan bahwa biaya yang telah dikeluarkan itu berhubung dengan usaha Karaha Bodas Company (KBC). Pihak
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
para Tergugat menolak bahwa pihak Penggugat harus memperoleh ganti rugi berhubung tidak diteruskan. Berkenaan dengan ini menurut Pertamina, dalam kontrak Joint Operation Contract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC) ini telah disepakati bersama bahwa pihak Karaha Bodas Company (KBC) menanggung resiko yang mungkin terjadi jika belum ada keuntungan yang cukup dari hasil penjualan listrik kepada PLN yang dapat menutupi ongkos pembiayaan. Karena itu, mereka tidak dapat memperoleh ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan itu. Karena Karaha Bodas Company (KBC) yang telah mengajukan permohonan penghentian proyek, pihak Karaha Bodas Company (KBC)-lah yang harus menanggung sendiri konsekuensi tidak adanya keuntungan yang dihasilkan untuk menutupi biaya yang sudah dikeluarkan. Pihak Pertamina sendiri tidak dapat memperoleh keuntungan apapun. Bila ternyata Karaha Bodas Company (KBC) telah mengeluarkan ongkos yang sia-sia karena tidak tepat dan efisien dalam melakukan eksplorasinya, pengeluaran ongkos ini tidak harus ditanggung Pertamina. Dan para penggugat menekankan ditentukannya ganti rugi yang digunakan oleh arbiter tidak harus disetujui dalam keputusan Tim Arbitrase. Menurut Tim Arbitrase, perolehan kembali ganti rugi loss profit ini terbatas pada kerugian yang dapat diperkirakan ketika kontrak disusun dan yang menjadi ganti rugi secara langsung atas pelanggaran yang dilakukan. Sesungguhnya adanya pelanggaran oleh pihak Tergugat disebabkan apa yang telah dilakukan Pertamina hanya menaati suatu peraturan yang telah diadakan atas instruksi International Monetary Fund (IMF) dalam rangka membangun kembali atau merestrukturisasi semua kewajiban dalam valuta asing. Namun dalam Pasal 66 Undang- Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang
arbitrase Indonesia juga dinyatakan syarat untuk dapat melaksanakan Arbitrase
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
Internasional ini tidak dapat dilakukan, jika mengandung kausa yang terlarang, serta Pasal 1320 BW menyatakan harus ada kausa yang halal. Pasal 1337 sebab yang terlarang oleh undang- undang atau kesusilaan yang baik dan melanggar ketertiban umum merupakan sesuatu yang tidak halal. Hasil Putusan Tim Arbitrase Keputusan Tim Arbitrase dalam pertimbangannya menganggap bahwa tidak dapat disangkal bukan dengan adanya putusan Pemerintah maka para pihak harus berhenti melaksanakannya. Adanya force majeure ini oleh Karaha Bodas Company (KBC), yang membuat pernyataan bahwa Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1998 dalam ketentuan Energy Sales Contract (ESC) dan Joint Operation Contract (JOC). Dinyatakan hal ini oleh Karaha Bodas Company dalam surat tersebut merupakan ditangguhkanya perjanjian Energy Sales Contract dan Joint Operation Contract. Dinyatakan pula oleh Tim Arbitrase bahwa apa yang dicantumkan, jika Keputusan Presiden untuk menunda dalam pasal 9.2 huruf g menurut Tim Arbitrase Keputusan Presiden adalah force majeure sejauh ini untuk melakukan hal menurut kontrak demikian. Dan Tim Arbitrase menyatakan bahwa hal ini tidak dipertimbangkan sebagai pelanggaran yang dilakukan dan keadaan kahar ini menurut Tim Arbitrase menghalangi pelaksanaan kontrak. Dan ganti rugi yang diinginkan adalah: a. Menurut pertimbangan Tim Arbitrase tergugat berkewajiban untuk membayar ganti rugi terhadap Karaha Bodas Company (KBC) karena tergugat telah dinyatakan melanggar kewajiban yang tercantum dalam kontrak, dan karena tidak dapat mengusahakan dilanjutkannya kontrak ini. Kerugian yang termasuk dalam pembayaran atas kerugian sebesar US$ 96.000.000 (sembilan puluh enam juta dolar Amerika Serikat) kemudian kompensasi akibat kehilangan keuntungan sebesar US$
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
512.500.000 (liam ratus dua belas juta lima ratus ribu dolar Amerika Serikat); selanjutnya, sebagai alternative untuk ganti rugi untuk keuntungan diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus diterima adalah US$ 437.000.000 (empat ratus tiga puluh tujuh juta dolar Amerika Serikat). b. Secara alternative diminta pembatalan kontrak dan kerugian- kerugian dan secara alternative dan pelaksanaan secara khusus. Serta tidak adanya hubungan antara tidak dilaksanakannya kontrak oleh pihak Pertamina dan PLN dengan Putusan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1998. Walaupun hal tersebut dikarenakan krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia dan hal tersebut merupakan instruksi dari International Monetary Fund (IMF). Dan tidak ada disinggung lagi dalam hal ini mengenai dana yang telah dipakai oleh Pertamina dan PLN, yang karena memang perusahaan negara, maka dana yang digunakan juga dana pemerintah, yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral dari pemerintah.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Dari pembahasan mengenai Proses Arbitrase Bank Indonesia dalam Penanaman Modal Asing yang diuraikan pada bab- bab sebelumnya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Terbentuknya Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) diharapkan
dapat membantu segala permasalahan yang terjadi pada system investasi kita. Hal tersebut juga didukung dengan adanya pertimbangan dari Bank Indonesia mengenai pembentukan BAPMI tersebut, dapat membantu perekonomian Negara Indonesia. Karena iklim ekonomi kita sangat tergantung pada investasi yang akan dilakukan pihak asing di Negara kita. 2.
Sebagai contoh dari apa yang dibahas dalam masalah penerapan arbitrase
dalam proses sengketa penanaman modal asing dengan perusahaan Negara adalah sengketa yang terjadi pada Kahara Bodas Company (KBC) dengan Pertamina dan PLN yang tergabung dalam Joint Operation Contract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC). 3.
Arbitrase dalam penyelesaian sengketa yang terjadi antara perusahaaan Negara
Pertamina dan PLN dengan perusahaan Negara lain yaitu Kahara Bodas Company (KBC) tidak jarang menimbulkan konflik lagi karena dianggap terdapat ketidakadilan bagi salah satu pihak. Dan seringkali harus mencapai proses yang lama dan berteletele. Dan banyak dari hakim kita yang tidak mengerti dan tidak dapat menerapkan
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
hukum arbitrase dengan baik apabila telah dihubungkan dengan hukum Negara Indonesia.
B. SARAN Dari pembahasan yang diuraikan dalam bab- bab sebelumnya, penulis dapat memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna bagi para pembacanya, yaitu sebagai berikut: 1. Seharusnya pemerintah kita dapat lebih bijak lagi dalam pemanfaatan sumber daya yang dimiliki oleh Negara kita. Sehingga kita dapat menjadi lebih dewasa lagi dalam perekonomian kita dan tidak bergantung penuh pada penanam modal dari luar negri. Walaupun pada kenyataannya, peningkatan pendapatan perkapita dapat meningkat apabila semakin banyaknya penanam modal datang ke Indonesia. Dan diharapkan bagi para hakim arbitrase dapat mengerti benar hukum arbitrase dan apabila dikaitkan dengan sengketa internasional. 2.
Diharapakan agar banyak perjanjian yang terjadi lebih memilih arbitrase dalam proses penyelesaian sengketanya, sehingga dapat membantu para ahli arbitrase dalam Negara kita untuk mengasah ilmu tentang arbitrase tersebut.
3. Pada kenyataannya, penyelesaian sengketa dalam masalah yang terjadi pada perusahaan Negara dan perusahaan asing selalu melibatkan pemerintah. Sebenarnya para pihak bebas menentukan pilihan hukum yang akan dipakai dalam proses arbitrase. Dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999, yang menyatakan “Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak”. 41
41
Pasal 56 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
4. System penyelesaian sengketa perdata diselesaikan dengan arbitrase dilakukan dengan banyak alasan penting, yaitu dengan terjaminnya kerahasiaan terhadap para pihak, baik selama proses pemeriksaan maupun setelah putusan dijatuhkan. Serta dikarenakan bahwa proses arbitrase yang tidak bertele- tele sehingga tidak memakan banyak waktu dan biaya. Sehingga banyak penanam modal asing yang memakai jalan ini, dan pemerintah kita menyarankan agar menggunakan proses arbitrase dalam penyelesaian.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
¾ Adolf, Huala. 1993, Arbitrase Komersil Internasional, Jakarta : Rajawali Pers. ¾ Adolf, Huala. 2002, The Indonesian Arbitration and Alternative Dispute Resolution Act1999,5:2 Int. A. L. R. ¾ Adolf, Huala., Penyelesaian Sengketa di Bidang Ekonomi dan Keuangan. Internet. ¾ Amrial. 1996, Hukum Bisnis (Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia teori dan praktek, Jakarta : Djambatan. ¾ Fuady, Munir. 2003, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Bisnis). Bandung : Citra Aditya Bakti. ¾ Gautama, Sudargo. 1999, Undang- Undang Arbitrase Baru. Bandung : Citra Aditya Bakti. ¾ Gautama, Sudargo. 1996, Aneka Hukum Arbitrase Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia yang Baru. Bandung : Citra Aditya Bakti. ¾ Gautama, Sudargo. 2004, Arbitrase Luar Negri dan Pemakaian Hukum Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti. ¾ Hartono, C.G. Sunaryati. 1972, Beberapa Masalah Transnasioanal dalam Penanaman Modal Asing Indonesia. Bandung : Bina Cipta. ¾ Kamello, Tan. Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia. Makalah disampaikan pada Acara Pendidikan Khusus Profesi Advokat Kerjasama DPD. Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) Sumatera Utara dengan Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa. Medan, 5 Agustus 2005.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008
¾ Kantaatmadja, Komar. 2001, Beberapa Masalah dalam Penerapan Alternatif Dispute Resolution, dalam Hendermin Djarab,et.al. Bandung : Citra Aditya Bakti. ¾ Lubis, M. Solly. 1982, Azas- azas Hukum Tata Negara. Bandung : Alumni. ¾ Margono, Suyud. 2000, Alternative Dispute Resolution dan Arbitrase. Jakarta: Ghali Indonesia. ¾ Purwosutjipto, M. N. 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Buku Ke-8: Ruang Hukum; Pilihan Hukum & Konsekuensinya (bagian 1) Perwasitan, Kepailitan & Penundaan Pembayaran., Bussiness News No. 6074, Oktober, 1997. ¾ Sudarsono. 1999, Kamus Hukum. Jakarta : Rineka Citra Cipta. ¾ Suny, Ismail. Tinjauan Dana Pembahasan UU Penanaman Modal Asing & Kredit Luar Negri. Jakarta : Pradnya Paramitha. ¾ Toar, Agnes M. 195:82. ¾ Usman, Rachmadi. 2002, Hukum Arbitrase Nasional. PT. Grasindo. ¾ Undang- Undang No. 1 Tahun 1976 tentang Penanaman Modal Asing dan penjelasannya. ¾ Undang- Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altetnatif Penyelesaian Sengketa dan penjelasannya. ¾ Undang- Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing dan penjelasannya. ¾ Cyber Museum Bank Indonesia.
Endame S Ginting : Proses Arbitrase Bank Indonesia Terhadap Penanaman Modal Asing, 2007 USU Repository © 2008