II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Wilayah Pesisir Wilayah pesisir sampai sekarang belum mempunyai definisi yang baku
(Latief, 2008). Namun, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide), dan batas ke arah laut adalah batas yurisdiksi wilayah provinsi atau state di suatu negara (Dahuri et al., 1996). Beberapa pakar menyebutkan batasan wilayah pesisir (coastal area) yang mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore) dan zona dekat pantai (nearshore zone). Gisik (beach) mencakup pantai burit (backshore) dan pantai depan (foreshore). Zona dekat pantai (nearshore zone) juga disebut zona tepi pantai dangkal (inshore zone). Pantai burit (backshore) juga dikenal sebagai tanggul gisik (berm). Pada saat paras air tinggi/pasang (high water level) daratan yang terkena muka air laut tersebut dikenal sebagai lereng pantai depan (foreshore slope), dan pada saat paras air rendah/surut (low water level) daratan yang terkena muka air laut tersebut dikenal sebagai teras pasang air laut rendah (low tide terrace) (Salahudin dan Makmur, 2008). Lihat Gambar 8.
Gambar 8. Wilayah pesisir (coastal area) mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore), dan zona dekat pantai (nearshore zone) Sumber : Brahtz 1972; Soegiarto, 1976; Beatley, 1994; Dahuri, dkk., 1996 dalam Latief, 2008
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Wilayah Pesisir Wilayah pesisir sampai sekarang belum mempunyai definisi yang baku
(Latief, 2008). Namun, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide), dan batas ke arah laut adalah batas yurisdiksi wilayah provinsi atau state di suatu negara (Dahuri et al., 1996). Beberapa pakar menyebutkan batasan wilayah pesisir (coastal area) yang mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore) dan zona dekat pantai (nearshore zone). Gisik (beach) mencakup pantai burit (backshore) dan pantai depan (foreshore). Zona dekat pantai (nearshore zone) juga disebut zona tepi pantai dangkal (inshore zone). Pantai burit (backshore) juga dikenal sebagai tanggul gisik (berm). Pada saat paras air tinggi/pasang (high water level) daratan yang terkena muka air laut tersebut dikenal sebagai lereng pantai depan (foreshore slope), dan pada saat paras air rendah/surut (low water level) daratan yang terkena muka air laut tersebut dikenal sebagai teras pasang air laut rendah (low tide terrace) (Salahudin dan Makmur, 2008). Lihat Gambar 8.
Gambar 8. Wilayah pesisir (coastal area) mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore), dan zona dekat pantai (nearshore zone) Sumber : Brahtz 1972; Soegiarto, 1976; Beatley, 1994; Dahuri, dkk., 1996 dalam Latief, 2008
13
Latief (2008) menyebutkan bahwa garis batas wilayah pesisir yang konkrit tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis imajiner yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan karakteristik pesisir setempat. Di wilayah pesisir yang landai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai (shoreline).
Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung
berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan relatif sempit. Untuk kepentingan pengelolaan /perencanaan, batas wilayah pesisir ke arah darat bisa sampai ke hulu daerah aliran sungai apabila di situ terdapat kegiatan manusia yang secara nyata menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya di bagian hilir. Sedangkan ke arah laut, cenderung menyesuaikan dengan batas yurisdiksi yang berlaku di setiap provinsi, kabupaten atau kota (Dahuri et al., 1996). Batas wilayah pesisir ke arah darat adalah 50 km (Lundin, 1996 dalam Latief, 2008) atau 150 km dari garis pantai (shoreline) (Hinrichson, 1998 dalam Latief, 2008). Keduanya sepakat bahwa ke arah laut menggunakan batas yurisdiksi wilayah negara provinsi (Latief, 2008).
Sumberdaya pesisir adalah
sumberdaya alam hayati dan non hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir meliputi mangrove, terumbu karang, padang lamun, ikan, pasir, dan lain-lain. Sebagai pertemuan dua ekosistem, wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik (Pratikto, 2005), yaitu: 1. Daerah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan di darat, laut dan udara, sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; 2. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan; 3. Daerahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; 4. Memiliki gradien perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan; 5. Tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi internasional. Kelima karakteristik tersebut bermuara pada tiga keunikan wilayah pesisir (Pratikto, 2005), yaitu: 1. Ekosistem
pesisir
yang
sangat
kompleks,
dinamis, dan
mudah
mengalami kerusakan/rentan (vulnerable) apabila dimanfaatkan manusia; 2. Sumber daya pesisir yang kaya tersebut dimanfaatkan berbagai pihak untuk
14
berbagai kepentingan (multiple use) sehingga menimbulkan konflik; 3. Di perairan pesisir masih terdapat pemahaman regime pengelolaan akses terbuka (open access) sehingga yang kuat sering lebih menguasai sumberdaya
dan
membatasi
akses
masyarakat
pesisir
dalam
memanfaatkannya, sementara regime pengelolaan tradisional (common property), pemilikan swasta (quasi-private property) serta penguasaan pemerintah (state property) masih berlaku. Wilayah pesisir memiliki beberapa bentuk dan tipe geomorfologi gisik (beach) atau
pantai (shore) yang sangat bergantung pada letak, kondisi, dan
posisi pantai itu seperti pantai terjal, pantai berbatu, pantai berpasir, pantai landai, pantai campuran, pantai dalam, pantai netral, pantai paparan, pantai pulau, pantai tenggelam, dan pantai timbul (Pratikto, 2005), sebagai contoh: •
Tipe pantai landai terdapat di pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera dan pantai selatan Kalimantan;
•
Tipe pantai campuran terdapat di Sulawesi dan Kepulauan Indonesia Timur;
•
Tipe pantai terjal terdapat di sebagian pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatera;
•
Pada pulau-pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua), sering terdapat sungai besar yang mengalir ke laut, yang sangat berpengaruh terhadap bentuk dan tipe pantai di sekitarnya serta material yang membentuknya, ada yang membentuk laguna (Segara Anakan), delta (Delta Mahakam) atau gumuk pasir. Mengingat kondisi wilayah pesisir yang unik dengan berbagai tipe
tersebut, maka faktor-faktor yang bekerja di wilayah pesisir seperti angin, gelombang, pasang surut, arus, dan salinitas jauh lebih berfluktuasi daripada di lautan atau perairan darat (sungai dan danau). Besaran (magnitude) faktor tersebut berubah secara berangsur dari arah darat ke laut lepas. Karakteristik geomorfologi dan oseanografi yang sangat dinamis namun rentan terhadap dampak eksploitasi, inilah yang mendorong kebutuhan sehingga wilayah pesisir harus dikelola dan diatur pemanfaatannya secara khusus dan hati-hati (Latief, 2008), baik itu untuk kepentingan
pemanfaatan
sumberdaya
alamnya,
maupun mitigasi bencana.
2.1.1. Pentingnya Sumberdaya Pesisir Sampai tahun 2005, di Indonesia terdapat 45 kota besar dan 185 kabupaten berada di wilayah pesisir yang menjadi tempat pusat pertumbuhan
15
ekonomi, industri , dan berbagai aktivitas lainnya. Di kota dan kabupaten pesisir ini (marine cities and marine regencies), terdapat sekitar 80 % dari industri Indonesia beroperasi yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan membuang limbahnya ke pesisir. Sampai tahun 2000, sekitar 30 % PDB Indonesia berasal dari hasil pemanfaatan sumber daya pesisir dan jasa-jasa lingkungannya. Sumberdaya pesisir Indonesia merupakan pusat biodiversitas laut tropis terkaya di dunia, dimana 30 % hutan bakau dunia ada di Indonesia; 30 % terumbu karang dunia ada di Indonesia, 60 persen konsumsi protein berasal dari sumberdaya ikan, 90 % ikan berasal dari perairan pesisir dalam 12 mil laut dari garis pantai (shoreline) (Pratikto, 2005). Ekosistem pesisir dapat mengurangi dampak bencana alam yang sering menimpa Indonesia seperti tsunami, gelombang pasang, banjir, dan abrasi (Dahuri et al., 1996).
2.1.2. Kondisi dan Permasalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan kegiatan ekonomi, sosial budaya dan jasa lingkungan yang penting bagi kehidupan bangsa. Menurut Ma’arif (2007) sumberdaya yang terkandung di wilayah pesisir berdasarkan nilai ekonomis meliputi : •
Nilai ekosistem terumbu karang (ikan karang, lobster) memberikan nilainya 466 – 567 juta US$, ekosistem mangrove sebesar 569 juta US$, dan rumput laut sebesar 16 juta US$;
•
Nilai ekspor udang mencapai Rp. 1 triliun dan ikan hias sebesar 32 juta US$/thn (1996). Sumbangan pada devisa negara sebesar 1,9 milyar US$ (2005);
•
25% kegiatan perekonomian Indonesia dari kegiatan di pesisir (Hopley Suharsono, 2000) dan mampu menyerap 14 juta tenaga kerja;
•
Nilai migas dari kawasan pesisir sebesar 5,2 trilliun (ADB, 1995). Selain itu wilayah pesisir memiliki potensi SDA seperti emas, nodule, mangan, pasir besi, timah, lempung kaolin, dan pasir kuarsa;
•
Nilai ekonomi kegiatan pariwisata menyumbangkan 248 – 348 juta US$. Wilayah
pesisir
merupakan
suatu
wilayah
multiguna
dan
14
sektor memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir. Pesisir sangat rentan terhadap perubahan lingkungan seperti abrasi
dan
penerima dampak dari
daratan seperti deforestasi, erosi dan sedimentasi serta eutrofikasi. Wilayah pesisir saat ini mempunyai tingkat kerusakan biofisik mengkhawatirkan karena
16
42 % terumbu karang rusak berat, 29 % rusak, 23 % baik dan 6 % sangat baik, 40 % mangrove telah rusak dan 40 % gisik (beach) telah mengalami abrasi (Pratikto, 2005).
2.2. Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Keragaman karakteristik wilayah pesisir yang dimiliki negara Indonesia memerlukan kebijakan pembangunan yang terintegrasi sehingga memudahkan penerapannya. Adanya berbagai potensi sumber daya alam, bencana alam dan kendala kondisional, situasional serta lokasional di wilayah pesisir mengharuskan pemerintah menyiapkan seperangkat kebijakan pembangunan wilayah pesisir yang pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation. Ilmu kebijakan dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peranannya dalam upaya meningkatkan kualitas keputusan. Dengan demikian selain kebijakan merupakan suatu pengetahuan, masyarakat juga mempunyai rasa memiliki terhadap kebijakan tersebut. Oleh karena itu masyarakat menjadi sangat peka dan akan cepat mengetahui bilamana kebijakan pemerintah tidak berpihak kepadanya (Ma’arif dan Tanjung, 2003). Selanjutnya dikemukakan juga bahwa kebijakan adalah keputusan publik yang penyusunannya dipengaruhi oleh nilai sosial. Menurut Sanim (2006) kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Setidaknya ada tiga alasan utama perlunya kebijakan publik, yaitu (1) mencegah keterbatasan prasarana dan sarana (kegagalan pasar); (2) memberikan ruang gerak yang memadai bagi pelaku usaha lokal (keterbatasan kerangka kompetitif); dan (3) menentukan harga/tarif yang
terjangkau
oleh
masyarakat
(tujuan
distribusional).
Dunn
(1998)
menyatakan bahwa ada tiga komponen atau elemen dalam suatu sistem kebijakan, yang jika dikaitkan dengan pembangunan wilayah pesisir dapat digambarkan sebagaimana Gambar 9. Analisis
kebijakan
yang
meliputi
social policy,
economical policy,
ecological policy, technical policy adalah aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses politik yang ditujukan untuk menciptakan, dan secara kritis menilai, serta mengkomunikasikan pengetahuan tentang proses kebijakan.
Diketahui
juga bahwa analisis kebijakan sosial adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian multipel dalam konteks argumentasi,
17
tetapi tidak untuk menggantikan politik dan membangun elit teknokratis (Dunn, 1998). • • • •
Analis Kebijakan Pemerintah Pengusaha Koperasi dan UKM • Perguruan Tinggi • Masyarakat • LSM PELAKU KEBIJAKAN KEBIJAKAN PUBLIK
LINGKUNGAN KEBIJAKAN • Kriminalitas : Penebangan pohon, peledakan perairan, penambangan pasir gisik (beach) • Penganggur/ w arga berpendidikan rendah • diskriminasi
• • • • •
Wilayah pesisir Aksesibilitas : Infrastruktur dan dana Peningkatan kapasitas Pengurangan risiko bencana Privatisasi gisik (beach)
Gambar 9. Sistem kebijakan Sumber : Dunn, 1998 dimodifikasi
Menurut Dunn dalam Nugroho (2007), metode analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang dipakai dalam pemecahan masalah manusia (Gambar 10). Menyediakan informas i mengenai nilai dari konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang
Menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan
Definisi
Prediksi
Preskripsi
Menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu
Kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah yang terjadi saat ini
Deskripsi
Evaluasi
Menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan
Gambar 10. Prosedur umum dalam metode analisis kebijakan Sumber : Dunn, 1998 dimodifikasi
Dalam pembangunan wilayah pesisir, mengikuti prosedur umum analisis kebijakan (Dunn, 1998),
maka
lima
komponen
dalam
analisis
kebijakan dapat diuraikan sebagai berikut (Forum Mitigasi, 2007): 1. Definisi, yaitu informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan (Dunn dalam Nugroho, 2007). Indonesia adalah negara rawan bencana alam yang mengakibatkan
18
kerugian
harta dan jiwa dalam jumlah besar. Sejak tahun 1600 sampai
dengan tahun 2005, bencana tsunami telah menimbulkan korban sekitar 361.905 jiwa di Indonesia dan Filipina (ITDB/WRL, 2005 dalam Latief et al., 2000). Selain bencana tsunami yang melanda pesisir bagian Barat pulau Sumatera, bagian Selatan pulau Jawa dan lainnya, hampir sebagian besar provinsi
maritim
Indonesia
juga
dilanda
gelombang
pasang
yang
menimbulkan abrasi. Setyawan (2007) dan Prasetya (2006) menyebutkan bahwa di Indonesia, abrasi pesisir dimulai pada tahun 1970 an wilayah pantai utara pulau Jawa ketika hutan mangrove berubah menjadi tambak ikan dan kegiatan budidaya perairan lainnya, serta perkembangan disepanjang pantura yang tidak terkelola dan pengelolaan sungai-sungaii yang kurang tepat. Abrasi pesisir terjadi hampir diseluruh provinsi maritim (Bird dan Ongkosongo, 1980; Syamsudin et al., 2000; Tjardana, 1995, dalam Prasetya, 2006) seperti Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan, Sumatera Barat, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi Selatan (Nurkin, 1994 dalam Prasetya, 2006), Bali (Prasetya dan Black, 2003 dalam Prasetya, 2006) dan Jawa Barat (Setyawan, 2007). Guna menangani abrasi pesisir tersebut dari 1996 sampai 2005 pemerintah telah mengeluarkan US$ 79.667 juta (Prasetya, 2006). Berdasarkan kondisi tersebut, maka pemerintah membutuhkan kebijakan baru untuk melakukan pengembangan wilayah pesisir. 2. Prediksi, yaitu informasi mengenai konsekuensi di masa yang akan datang akibat penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu (Dunn, dalam Nugroho 2007). Kepulauan Indonesia dan Filipina karena lokasinya dekat dengan patahan besar gempa bumi yang aktif, sehingga sangat rentan terhadap ancaman tsunami yang dapat mencapai pesisir hanya dalam beberapa menit. Sejarah pola kejadian Tsunami mengindikasikan bahwa cepat atau lambat suatu gempa bumi besar akan terjadi lagi dan tsunami Samudra Hindia akan melanda kembali pesisir di sekitarnya (Latief dan Hadi, 2006). Oleh karena itu guna menghindari kembali terulangnya tragedi 2004 di NAD dan Sumatra Utara dan 2006 di Jawa Barat, serta tidak mungkin ada yang dapat mencegah terjadinya bencana, maka kebijakan baru pengembangan wilayah pesisir yang akan diusulkan tersebut hendaknya ditekankan kepada tindakan pengurangan risiko bencana sesuai dengan Deklarasi Hyogo (2005), yaitu mengutamakan
kepada
peningkatan
ketahanan
lingkungan
dan
19
masyarakatnya. Untuk itu wilayah pesisir pengelolaannya harus diberi perlindungan yang memadai dengan solusi lunak, solusi keras atau kombinasi (Latief, 2008). 3. Preskripsi, yaitu informasi mengenai nilai konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang (Dunn dalam Nugroho, 2007) Prasetya (2006) mengemukakan parameter utama yang dibutuhkan untuk memahami identifikasi abrasi sebagai masalah di zona pesisir yaitu : • Geomorfologi pantai yaitu tipe garis pantai dan sensitivitas terjadinya pantai • Angin merupakan faktor utama penyebab timbulnya gelombang; • Gelombang merupakan kekuatan terpenting penyebab abrasi pantai; • Air pasang merupakan tenaga influential terhadap morfodinamik pantai; • Vegetasi pantai merupakan komponen yang menjaga stabilias kemiringan pantai, dan pelindung garis pantai; • Aktivitas manusia sepanjang pantai mempengaruhi stabilitas garis pantai; Aktivitas manusia di pantai (onshore) dan lepas pantai (offshore), penambangan pasir dan terumbu karang, serta pengerukan muara dapat meningkatkan abrasi pantai (shore abrasion). Selanjutnya tindakan peningkatan ketahanan lingkungan pesisir membutuhkan konsekuensi sebagai berikut: • Solusi lunak, seperti pengisian gisik (beach nourishment), membangun gunuk (dune building), rekonstruksi (reconstruction), dan revegetasi pesisir (coastal revegetation). • Solusi keras, seperti krib/tanggul tegak lurus pantai (groyne), perlindungan lereng (slope
protection/seawall/bank revetment), pemecah ombak
(breakwater) dan penguat ujung krib/tanggul (artificial headland). • Kombinasi pengisian gisik (beach nourishment), krib tegak lurus gisik (groynes), revegatasi (revegetation) dan terumbu karang buatan (artificial reefs). • Implikasi sosial dan lingkungan,
pedoman umum mengelola abrasi
pesisir dan pilihannya termasuk biaya. Latief (2008) mengemukakan bahwa solusi keras dapat dibangun untuk melindungi pesisir dari bahaya alami seperti gelombang badai dan tsunami. Keduanya dapat menyebabkan timbulnya masalah besar di lingkungan pesisir dan dampaknya akan menimbulkan biaya pemulihan yang cukup besar. Baru-baru ini mangrove dan tipe lain dari hutan pesisir serta
20
vegetasi
sangat
dipertimbangkan
sebagai
alternatif
yang
paling
memungkinkan untuk dipergunakan bersama struktur buatan untuk meredam berbagai bahaya alami yang sering terjadi di wilayah pesisir. 4. Deskripsi, yaitu informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan (Dunn dalam Suharto, 2006). Untuk memperoleh informasi saat ini, masa lalu dan mendatang para pakar menggunakan alat analisis untuk membantu mengidentifikasi situasi hutan dan pepohonan yang sesuai untuk melindungi pesisir (Latief dan Hadi, 2006) terhadap (i) tsunami; (ii) siklon; (iii) abrasi/erosi pantai; (iv) angin dan semburan garam. Langkah yang dilakukan untuk membangun alat tersebut adalah sebagai berikut: •
Mengidentifikasi
berbagai
kriteria
yang
dapat
mempengaruhi
kemungkinan memanfaatkan hutan untuk perlindungan pesisir. •
Membuat urutan garis besar tahapan kepentingan dan tingkat informasi yang dapat diberikan.
•
Meletakan kriteria dalam format yang berbeda.
•
Melakukan uji kriteria untuk kondisi lokasi spesifik.
Saran-saran yang telah dibuat untuk kriteria awal yang memungkinkan sebagai berikut: •
Apakah garis pesisir dipengaruhi oleh bahaya alami?
•
Apakah perlindungan pesisir saat ini ada?
•
Apakah disitu ada penduduk atau aset yang hendak dilindungi?
Kriteria yang muncul dalam alat analisis disarankan sebagai berikut: •
Adakah ruang yang tersedia untuk menumbuhkembangkan pepohonan?
•
Adakah biaya yang tersedia untuk menumbuhkembangkan pepohonan?
•
Adakah bentuk lain perlindungan pesisir yang lebih sesuai?.
5. Evaluasi yang akan mengemukakan kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah, (Latief dan Hadi, 2006; Fritz dan Blaunt, 2006; Takle et al., 2006; Prasetya, 2006; Preuss, 2006; dalam FAO, 2006) adalah sebagai berikut : •
Hutan dan pohon pesisir, dalam kondisi tertentu, bertindak sebagai perisai hidup (bioshields) untuk melindungi kehidupan dan harta benda berharga terhadap bahaya pesisir, termasuk tsunami, siklon, angin dan
21
semburan garam serta abrasi pesisir. •
Tingkat perlindungan yang ditawarkan/diberikan perisai hidup pesisir tergantung pada sejumlah variable, termasuk (i) karakteristik bahaya (seperti tipe, kekuatan, frekuensi); (ii) ciri-ciri lokasi (seperti batimetri, geomorfologi); dan (iii) karakteristik perisai hidup (seperti tipe hutan dan pohon, lebar, tinggi dan kerapatan hutan).
•
Perhatian harus diberikan untuk menghindarkan generalisasi tentang peran perlindungan hutan dan pohon berdasarkan fakta dari satu atau sejumlah daerah; banyaknya faktor yang melindungi peran dari hutan atau pohon harus difahami dan dimasukan
dalam
pertimbangan
sebelum tindakan diambil. Perhatian ini penting sekali karena kebijakan yang diputuskan harus menciptakan perlindungan yang benar dalam menghadapi bahaya pesisir. •
Hutan dan pohon pesisir tidak dapat
menyiapkan perlindungan
efektif menghadapi seluruh bahaya (seperti gelombang tsunami yang besar dan kuat, banjir dari siklon dan tipe-tipe tertentu abrasi pantai); penyiapan untuk bentuk perlindungan lain dan (dalam kegiatan ekstrim) untuk evakuasi harus yang diutamakan. Perhatian harus diberikan karena tidak untuk menciptakan keputusan yang salah dalam membuat perlindungan terhadap bahaya pesisir (coastal hazard). •
Pentingnya perlindungan pesisir sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perencanaan dan pengelolaan adalah suatu keharusan.
•
Pilihan untuk melindungi termasuk: solusi lunak dan keras serta kombinasi dari keduanya. Jika tidak ada solusi yang samasekali sesuai dan dapat diterapkan, maka diperlukan zonafikasi tata guna lahan pesisir untuk melindungi
permukiman
dan
bangunan sebagai aset yang
berharga di zona yang rentan tersebut. •
Hal ini penting untuk mencocokan spesies pohon dengan lokasi untuk menghindarkan kematian sebagian besar pohon dan kegagalan tujuan penghutanan. Beberapa tipe hutan dan spesies pepohonan tidak dapat bertahan hidup atau tumbuh dengan subur di daerah terbuka yang spesifik terkena bahaya pesisir; oleh karena itu pepohonan tersebut bukan solusi yang tepat untuk perlindungan.
22
•
Pengembangan perisai hidup tidak mungkin diterapkan dalam segala situasi, dengan kata lain, keterbatasan biologis, batasan ruang, ketidaksesuaian dengan prioritas tata guna lahan dan hambatan biaya.
•
Tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang fungsi hutan dan tanaman dalam perlindungan pesisir akan tetap tidak memadai dan disitu masih ada kekurangan dalam penelitian yang multidisiplin dan kerjasama dalam bidang ini. Daerah spesifik memerlukan perhatian termasuk penelitian tentang hutan non mangrove di pesisir, koleksi data, pengembangan model interaksi antara fisik dan parameter ekologi.
•
Adanya kebutuhan untuk mengetahui, bahwa untuk menstabilkan dan menumbuh kembangkan pohon dan hutan tersebut membutuhkan suatu ukuran dan kepadatan tertentu. Oleh karena itu untuk dapat menjadi perisai hidup yang diandalkan, membutuhkan waktu bertahuntahun, sehingga dapat menghadapi bahaya di pesisir.
•
Penelitian yang dibutuhkan dan inisiatif lapangan terkait dengan hutan dan perlindungan pesisir sudah pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu; hal ini dapat dijadikan sebagai landasan bekerja untuk memperbaiki pemahaman tentang peran perlindungan yang dapat diberikan oleh hutan dan pohon.
Permasalahan multi sektor di lingkungan wilayah pesisir tersebut perlu diselesaikan dengan pengelolaan pesisir terpadu (Integrated Coastal Zone Management). Salah satu indikator untuk menilai keberhasilan program ICZM tersebut, adalah manfaat sosial ekonominya. Secara empiris ukuran manfaat ekonomi dalam suatu sistem multi sektor seperti wilayah pesisir adalah challenging task in green accounting and sound environmental analysis. Oleh karena itu kebijakan yang mengedepankan kepentingan regime ekonomi semata hendaknya dievaluasi secepatnya, karena masyarakat mempunyai hak untuk memanfaatkan wilayah pesisir. Dengan demikian selain Pengelolaan Pesisir Terpadu, kebijakannya
harus Menuju Pemanfaatan
Sumberdaya Yang Berkelanjutan (Peng et al., 2006). Keterkaitan proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya
pesisir
yang
mengintegrasikan
berbagai
kegiatan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut membutuhkan suatu model pengembangan wilayah pesisir yang sibernitik karena bertindak berdasarkan analisis tajam untuk mencapai tujuan, holistik karena melibatkan semua pihak
23
yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat serta efisien (SHE) karena mempertimbangkan potensi yang dimiliki untuk pengembangan pesisir dan potensi bencana yang dapat terjadi (Eriyatno, 2007).
2.3. Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan laut, selain kaya akan sumberdaya alam juga sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia dan bencana alam (Dahuri et al., 1996). Berdasarkan diskursus dengan pakar terkait diketahui bahwa di lokasi penelitian terdapat enam elemen penyebab bencana alam yaitu angin kencang/puting beliung, gempa bumi, tsunami, gelombang badai pasang, banjir, dan gerakan tanah. Selanjutnya ada empat elemen sebagai akibat bencana yaitu abrasi, akresi, erosi dan intrusi air laut. Pada hakekatnya beberapa elemen diantaranya saling terkait, sehingga untuk kepentingan penelitian ini hasil diskursus menetapkan sepuluh elemen tersebut merupakan elemen potensi bencana alam yang perlu dikaji. Elemen potensi bencana alam tersebut adalah sebagai berikut 1. Angin Kencang/Puting Beliung Angin kencang/puting beliung
terjadi
akibat adanya perbedaan
tekanan udara yang sangat tinggi pada zona tertentu di atmosfer. Perbedaan tersebut menimbulkan gerakan putaran angin yang kuat, disertai dengan hujan lebat dan menimbulkan efek destruktif karena membawa energi yang besar. Berbeda dengan badai tropis, angin kencang/puting beliung berlangsung singkat, dari hitungan detik hingga beberapa menit. Di wilayah pesisir angin puting beliung sulit dikurangi dampak merusaknya sekalipun dengan mangrove padat, karena datangnya angin tersebut dari atas (Fritz and Blount, 2006). 2. Gelombang Laut Berdasarkan gaya pembangkitnya, gelombang laut (ocean wave) secara garis besar dikelompokkan dalam tiga macam, yaitu: •
Gelombang angin atau ombak (wind wave), gelombang ini dibangkitkan oleh angin (Macmillan, 1966; Mihardja dalam Latief, 2008)
•
Gelombang pasang surut atau gelombang pasang (tidal wave) sering disebut pasang surut (tide) disingkat pasut yang terlihat secara kasat mata sebagai pasang naik (flood tide) dan pasang surut (ebb tide). Keadaan pasang surut ini di laut sangat ditentukan oleh posisi bumi – bulan – matahari. Pada waktu
24
bulan purnama dimana posisi bumi – bulan – matahari dalam satu garis lurus, maka muka laut saat pasang sangat tinggi dan sewaktu surut sangat rendah. Bila posisi bumi–bulan–matahari membentuk sudut 90 derajat, maka muka laut saat pasang tidak terlalu tinggi dan saat surut tidak terlalu rendah (Macmillan, 1966; Latief, 2008). •
Gelombang badai (storm surge), yaitu gelombang yang timbul akibat angin kuat atau badai (storm) yang menekan air laut ke arah garis pantai dengan ketinggian kurang lebih empat meter mengakibatkan runtuhnya lereng gisik (landfall). Badai tersebut terjadi akibat persentuhan uap yang dtiimbulkan oleh kenaikan suhu muka air laut dengan lapisan atmosferr yang dingin dan basah sehingga terjadi perpindahan energi dari laut ke atmosfer
Jika
gelombang badai terjadi pada saat pasang, maka kekuatan pasang dan kekuatan badai menyatu dan menghasilkan gelombang badai yang lebih dahsyat. Fenomena ini dikenal sebagai gelombang badai pasang (storm tide) yang ketinggiannya kurang lebih enam meter (Setyawan, 2007; Mihardja dalam Latief, 2008; Hadi, 2008; www.geology.com). 3. Tsunami Tsunami adalah gelombang besar yang ditimbulkan oleh adanya gempabumi, keruntuhan, dan/atau letusan gunung api di dasar laut dengan periode panjang yang mengganggu keseimbangan kondisi muka dan badan air laut yang terjadi secara spontan. Adapun pembangkit gelombang panjang tsunami ini diantaranya adalah gempa bumi dangkal (kedalaman epicentre kurang dari 40 km) yang berpusat di tengah perairan dengan magnitude yang cukup besar, yaitu lebih dari 6,4 SR. Syarat lainnya adalah gempa tektonik yang terjadi merupakan gempa vertikal yang melibatkan pergeseran vertikal lempengan dengan luasan yang cukup besar. Berdasarkan jarak bangkitannya, tsunami dibedakan atas tiga jenis yaitu tsunami jarak pusat gempa ke lokasi sejauh 200 km, (terjadi kurang dari 30 menit), tsunami jarak menengah sejauh 200 -1000 km (terjadi 30 menit–2 jam setelah gempa), dan tsunami jarak jauh lebih dari 1000 km (terjadi lebih dari 2 jam setelah gempa) (Diposaptono dan Budiman, 2006). 4. Abrasi Abrasi atau kikisan laut dapat terjadi secara alami dengan adanya pengaruh perubahan arus akibat pertumbuhan suatu delta, dimana abrasi gisik (beach
25
brasion) tersebut merupakan upaya alami mencapai keseimbangan. Selain itu abrasi dapat berupa pengikisan gisik (beach) oleh gelombang, yang didorong oleh angin akibat perubahan musim (Latief, 2008). 5. Erosi Ada tiga macam erosi yaitu erosi gisik (beach) yang dicirikan oleh adanya tebing laut (sea cliff) yang terjal dan terdapatnya singkapan endapan batuan, erosi tebing sungai yang terjadi akibat gerusan arus sungai pada
tebing
sungaisungai besar dan erosi permukaan yang terjadi akibat adanya aliran air permukaan yang menggerusi material hasil pelapukan (Latief, 2008). 6. Gerakan Tanah Gerakan tanah dapat terjadi apabila di bawah lapisan yang keras dijumpai adanya lapisan dengan kompresibilitas tinggi. Jenis gerakan tanah yang sering terjadi adalah longsoran dan amblesan. Apabila beban di atas lapisan keras melebihi daya dukung yang diijinkan maka kemungkinan besar akan terjadi longsor/keruntuhan (land slide) atau amblesan/perosokan (settlement/land subsidence). Daerah yang berpotensi terjadinya gerakan tanah yaitu daerah pematang pantai, di mana lapisan keras berada pada kedalaman 5-10 meter dan dibawahnya terdapat lapisan lempung/lanau lunak (Puradimaja, 2007b). 7. Gempa bumi Gempa bumi merupakan peristiwa alam, terjadi secara mendadak, timbul karena adanya pelepasan energi, sebagai akibat pergeseran relatif batuan/lempeng tektonik/kerak bumi, dalam banyak kasus menimbulkan banyak kerugian harta benda bahkan benda dan korban manusia (Puradimaja, 2007a). Gempa bumi tektonik merupakan penyebab utama terjadinya tsunami, mencapai 90.3% kejadian, dan selebihnya disebabkan oleh erupsi gunung berapi dan longsoran kerak bumi. Berdasarkan database kejadian tsunami, di wilayah Lautan Hindia, yang meliputi Indonesia, Filipina dan Taiwan tercatat 282 kejadian tsunami dari tahun 1600 – 2005, dan sebagian besar berada pada zona subduksi kepulauan Indonesia – Filipina (ITDB/WRL, 2005 dalam Latief dan Hadi, 2006). 8. Banjir Kondisi yang terjadi adalah debit air sungai melebihi volume maksimum kapasitas alur sungai. Biasanya banjir yang terjadi tidak berlangsung lama karena air cepat mengalir ke daerah yang lebih rendah dan ke laut. Hal yang harus diwaspadai adalah banjir bandang akibat perubahan lahan di daerah hulu (Puradimaja, 2007a).
26
9. Akresi Akresi muncul akibat adanya pendangkalan di muara sungai yang disebabkan oleh tingginya kandungan material tersedimentasi yang berasal dari hasil erosi akibat aktivitas`manusia di bagian hulu. Oleh karena itu, kecepatan timbulnya akresi dapat diperlambat dengan aktivitas penghijauan di areal tangkapan air dan sekitar bendungan. 10. Intrusi Air Laut Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan untuk berbagai keperluan pemukiman dan industri. Pengambilan air tanah yang tidak seimbang dengan pemasukan air dari permukaan mengakibatkan air laut yang lebih berat masa jenisnya langsung masuk ke akuifer (tempat penampungan air di dalam tanah) hingga mengendap.
2.4. Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan gagasan ataupun konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konsep tersebut dipicu oleh kekhawatiran manusia terhadap kelestarian tempat dimana mereka tinggal, disamping upaya mencari kemungkinan tempat tinggal lain di luar planet bumi, tetapi yang lebih penting bagi manusia adalah bagaimana melestarikan tempat tinggal yang ada saat ini
sehingga generasi penerus atau anak cucu kita dapat ikut menikmatinya
(WCED, 1984). Istilah pembangunan berkelanjutan mulai dipopulerkan setelah Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT-Bumi) di Brazil pada tahun 1992. KTT-Bumi merupakan penegasan kembali kesepakatan bersama bangsa-bangsa di muka bumi yang sadar akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup atau pentingnya mengatasi masalah lingkungan global. Hal ini bisa terjadi karena pelestarian lingkungan hidup sangat penting dan tidak dapat dipisahkan begitu saja prioritasnya dengan pembangunan sektor lainnya. Pembangunan berkelanjutan juga didefinisikan sebagai ’upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU No. 23, tahun 1997).
27
Dalam definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar atau tiga dimensi keberlanjutan
(Triple-P),
yaitu:
keberlanjutan
usaha
ekonomi
(profit),
keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet). Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain
sehingga
ketiganya harus diperhatikan secara seimbang (Munasinghe, 1993). Dengan semakin terkonsentrasinya sebagian besar kegiatan manusia di pesisir, hilangnya hutan mangrove, hancurnya terumbu karang, meningkatnya penambangan pasir pantai dan semakin banyaknya industri membuang limbahnya ke wilayah pesisir, maka sudah sewajarnyalah jika pengembangan wilayah pesisir memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Salim, 1980) sebagaimana dijelaskan dalam No. UU No. 23, tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (PBBL) adalah konsep untuk mengelola pengembangan wilayah pesisir agar tidak bertambah semerawut dan membahayakan generasi mendatang (Sugandhy dan Hakim, 2007). Konsep ini diperlukan untuk menjaga agar ambang batas tetap pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak bersifat mutlak karena tergantung kepada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia (Peng et al., 2006). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa Pengembangan Wilayah Pesisir (PWP) adalah pendekatan pengelolaan wilayah dengan ekosistem pesisir yang sangat kompleks, dinamis dan memiliki kerentanan tinggi, karena memiliki kekayaan sumberdaya alam yang multiple use dan berpotensi menimbulkan konflik serta masih berlakunya penguasaan ruang terbuka oleh kelompok tertentu. Sedangkan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan (PBBL) adalah konsep pembangunan untuk menjaga agar kegiatan manusia tidak melalui ambang batas pemanfaatan laju pemanfaatan alamiah. Oleh karena itu, pendekatan PWP dan strategi PBBL adalah
saling
terkait dan saling
melengkapi (complementary). Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan (PMB) atau the sustainable livelihood approach (SLA) sebagai suatu integrasi kerangka kerja konseptual dengan prinsip operasional untuk menyiapkan pedoman formulasi kebijakan dan
28
praktek
pembangunan,
sudah
banyak
diterapkan
dalam
penelitian
pengembangan wilayah pesisir dan kehidupan nelayan. Program yang sudah dilaksanakan di 25 negara pesisir Benua Afrika bagian Barat telah berhasil menyusun kebijakan inisiatif pengurangan kemiskinan (poverty reduction iniative policy), dan mengidentifikasi bahwa kemiskinan tidak langsung menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang berlebihan (over-exploited fish resources ). PMB (SLA) sebagai suatu penelitian yang dipersiapkan untuk menjadi suatu kerangka kebijakan dan sudah diterapkan di 25 negara Afrika tersebut (Allison dan Horemans, 2006), untuk dapat diterapkan di negara kepulauan yang rawan bencana seperti Indonesia ini, nampaknya masih perlu disintesiskan dengan PWP dan berbagai konsep pembangunan lainnya agar terpadu. Guna mewujudkan hal tersebut, penelitian ini diharapkan akan arahan kebijakan pengembangan
wilayah
pesisir
menghasilkan suatu
yang
sesuai
dengan
permasalah di dua lokasi penelitian di Indonesia.
2.5.
Mitigasi Bencana Alam Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran atau peningkatan kemampuan menghadapi ancaman. Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, oleh faktor alam maupun faktor non alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Coburn et al., 1994). Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Carter, 1991). Dengan demikian pengurangan risiko bencana alam adalah suatu upaya untuk menekan kerugian masyarakat yang diakibatkan oleh peristiwa bencana alam (BNPB, 2007). Jika upaya ini ditingkatkan menjadi suatu kebijakan maka upaya tersebut ditujukkan untuk mengamankan seluruh aset pemerintah termasuk seluruh hasil pembangunan yang selama ini telah dilaksanakan agar tidak rusak, sehingga hasil pembangunan akan tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Menurut Diposaptono (2007) dan Latief (2008), upaya mitigasi bencana secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu upaya struktur/fisik
29
(hard/soft solution) yang sering disebut hardware dan upaya non struktur/non fisik yang disebut juga dengan software. •
Upaya mitigasi struktur dilakukan dalam mitigasi bencana melalui dua metode yaitu metode perlindungan alami revegetasi/remangrovisasi, sand dune, pengisian gisik (beach
nourishment), dll dan metode perlindungan
buatan seperti peredam abrasi (bank
revetment), pemecah ombak
(breakwater), pengaman lereng (slope protection/seawall), dll. •
Upaya non struktur
yang dapat dilakukan dalam mitigasi bencana
seperti pembuatan peta rawan bencana, pembuatan peraturan perundangan terkait,
norma standar prosedur manual (NSPM) dan
sosialisasi yang
intensif kepada masyarakat dan aparat terkait dalam upaya pengurangan resiko bencana (mitigasi bencana) seperti pelatihan penyelamatan diri. Mitigasi pada umumnya sangat spesifik terhadap tipe bencana yang dampaknya akan direduksi (Depdagri, 2006). Pada bencana gelombang pasang, tindakan mitigasi yang dilakukan saat ini umumnya meliputi: •
Kajian bahaya (identifikasi dan peta rendaman gelombang pasang)
•
Real
time
monitoring gelombang pasang dan sistem peringatan
dini (pendistribusian informasi kepada penduduk). •
Pemberdayaan masyarakat (respons dan awareness penduduk) Applegate, et al. (2006) menyatakan bahwa pasca bencana tsunami
Samudra Hindia (2004) dan Huricane Teluk Mexico Katrina dan Rita (2005), menghimbau negara-negara maritim diseluruh dunia untuk melakukan perbaikan pengamatan pengurangan risiko bencana. Dinyatakan bahwa tidak mungkin mengurangi jumlah bencana yang akan terjadi, tetapi dapat dan harus mengurangi risiko bencana yang terjadi. Langkah penting yang segera diambil adalah melakukan modernisasi jaringan dan integrasi sistem pengamatan. Lembaga Pengetahuan dan Teknologi Nasional Amerika Serikat - Bidang Pengurangan Risiko Bencana dalam laporan bulan Juni 2005 menyebutkan tantangan utama dalam pengurangan risiko bencana adalah identifikasi tiga tema menuju suatu masyarakat pegas bencana (three themes in moving towards a disaster resilient society) yaitu : • Menyediakan informasi bahaya /bencana dimana dan kapan hal ini diperlukan • Memahami proses alamiah gejala/tanda bahaya
• Membangun strategi dan teknologi mitigasi bencana gempa bumi, banjir pesisir dalam kaitan dengan tsunami, badai Hurikane, gunungapi, longsor dan
30
amblesan (due to tsunami, severe storms including hurricane, volcanoes, landslides and settlements).
2.5.1. Siklus Penanggulangan Bencana Alam Pasal 1 ayat 5 UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi: penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi (Gambar 11). Mitigasi bencana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 47 UU No. 24 tahun 2007 dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan yang rawan bencana. Oleh karena itu keberhasilan upaya mitigasi ini pada hakekatnya ditentukan oleh kemampuan masyarakat untuk mengurangi risiko bencana tersebut. Jika kemampuannya tinggi maka risikonya kecil, dan jika kemampuannya rendah maka risikonya besar. Dengan demikian diperlukan pemberdayaan masyarakat, dan untuk itu motivasi mempunyai peran yang sangat besar. Mangkuprawira (2007) menyatakan bahwa motivasi dapat berasal dari masyarakat itu sendiri, tetapi juga bisa dibangkitkan dari l uar. Oleh karena itu keberhasilan upaya mitigasi ditentukan oleh peran serta masyarakat.
Bencana Bahaya Langsung Yang Berpotensi Merusak Aset Bangsa dan Negara Kedaruratan Pemulihan
Mitigasi
Pencegahan
Pembangunan
Pasca Bencana
Pra Bencana
Kesiapsiagaan
Gambar 11. Siklus penanggulangan bencana Sumber : Diolah dari UU No. 24 Tahun 2007 dan Manajemen Bencana, Carter (1991)
Forum Mitigasi (2007) membedakan mitigasi bencana atas dua macam, yaitu mitigasi pasif (non struktural) dan mitigasi aktif (struktural).
31
2.5.1.1. Mitigasi Pasif (Non Struktural) •
Penyusunan peraturan perundang-undangan.
•
Penyesuaian rencana tata ruang berdasarkan peta risiko bencana serta pemetaan masalah.
•
Pembuatan pedoman/standar/prosedur.
•
Pembuatan brosur/poster.
•
Pembuatan rencana alternatif tindakan kedaruratan (contigency plan).
•
Penelitian/pengkajian karakteristik bencana/analisis risiko bencana
•
Internalisasi penanggulangan bencana (PB) dalam muatan lokal pendidikan.
•
Pembentukan satuan tugas bencana/ perkuatan unit-unit sosial masyarakat.
•
Pengarusutamaan PB dalam pembangunan dan sosialisasi
2.5.1.2. Mitigasi Aktif (Struktural) •
Pembuatan dan penempatan tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana atau tanda peringatannya.
•
Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan ke daerah aman.
•
Pembangunan penampungan sementara, daerah jalur evakuasi.
•
Pembuatan bangunan struktur (Hanson, 2007) seperti: pengaman lereng (slope
protection/seawalls),
pemecah
ombak
(breakwater/detached
breakwater), krib tegak lurus penahan gerakan sedimentasi sejajar gisik (groyne), dan pengaman gisik (beach protective). Coburn et al., (1994) menyebutkan bahwa mitigasi struktural meliputi upaya fisik yang dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana. Selanjutnya Hanson (2007) merinci bahwa mitigasi struktural antara lain sistem peringatan dini, pembangunan pemecah ombak (breakwater), peredam abrasi (bank revetment), krib/tanggul tegak lurus untuk mencegah gerakan sedimentasi sejajar gisik (groyne) pembuatan permukiman panggung, relokasi permukiman (retreat), coastal protection (dune/vegetation), dan slope protection (sea wall). Kemudian Latief (2008) menambahkan bahwa dalam rangka stabilisasi pesisir diperlukan upaya lain yaitu pengisian gisik (beach nourishment), remangrovesasi, perlindungan gisik alami dengan menaikkan tanah/pasir ditutupi vegetasi, serta menumbuh kembangkan terumbu karang (reef replantation/artificial reef). Pemecah ombak (breakwater) adalah struktur yang berfungsi sebagai pemecah gelombang, sedemikian rupa sehingga dibelakang struktur tercapai perairan yang tenang (Latief, 2008). Peredam abrasi (bank revetment) adalah
32
suatu struktur yang dibangun untuk melindungi pantai (beach protection) dari gelombang, biasanya dibangun dari batu yang diletakan di permukaan yang miring. Pengaman lereng (slope protection /seawall) adalah suatu struktur yang dibangun di sepanjang pantai untuk melindungi pantai dan kerusakan lain dari pukulan gelombang.
Umumnya lebih padat dan mampu bertahan terhadap
kekuatan gelombang besar dibandingkan dengan sebuah bangunan sekat (bulk head ) (Puradimaja, 2007a). Pengisian gisik (beach nourishment) adalah kegiatan menambang pasir di lepas-pantai dan ditempatkan di pantai untuk mengganti pasir yang tergerus oleh gelombang atau ombak. Hal ini dilakukan untuk melindungi fungsi dari pantai dan rekreasi (Wikipedia, 2008). Erchinger (1984) dalam Setyandito (2008), merumuskan bahwa tujuan utama pembuatan pantai pasir buatan antara lain: •
Pembuatan dan atau restorasi pantai rekreasi
•
Reklamasi pantai
•
Pemeliharaan garis pantai (terhadap chronic abrasion atau lee-side abrasion)
•
Pengurangan energi gelombang datang ke pantai atau dune Krib sejajar pantai (groin) adalah selain dengan krib tegak lurus pantai
maka untuk menanggulangi erosi akibat tidak seimbang suplai sedimen dan kapasitas angkutan (Latief, 2008). Setyandito (2008) menambahkan bahwa groin adalah bangunan yang dipergunakan untuk : •
Mempertahankan agar gisik buatan (artificial beach) dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama
•
Menekan biaya perawatan agar supaya tidak terlalu mahal; dengan adanya bangunan pelindung material pasir yang hilang dapat ditekan Terumbu karang buatan (artificial reef) adalah bentuk bangunan atau
benda yang di turunkan kedasar perairan sehingga berfungsi layaknya habitat ikan. Banyak bentuk konstruksi dan jenis material yang diaplikasikan pada terumbu buatan, dari balok kayu biasa, papan, kotak beton, kotak besi dan kapal, bus bekas dan bahkan ban bekas. Dewasa ini dalam kegiatan yang disebut sebagai perbaikan ekosistem terumbu karang, banyak dilakukan dengan cara transplantasi terumbu karang dan pembuatan terumbu karang buatan (artificial reef) yang oleh masyarakat awam dikenal sebagai ‘rumpon’ (Mawardi, 2003).
2.5.2. Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana Alam •
Ada beberapa upaya dalam mengurangi risiko bencana yaitu (Bappenas dan
33
BNPB, 2007) atau mitigasi dijadikan prioritas nasional dan daerah dengan didukung oleh sistem kelembagaan yang kuat •
Melakukan identifikasi, kajian dan
pemantauan risiko bencana dan
memperkuat peringatan dini •
Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya aman dan ketahanan terhadap bencana
•
Mengurangi faktor utama penyebab bencana
•
Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana untuk menjamin pelaksanaan tanggap darurat yang efektif .
2.5.3. Gambaran Risiko Bencana Alam Gambaran risiko bencana alam yang dapat terjadi (Bappenas dan BNPB, 2007) adalah sebagai berikut : •
Ancaman Bahaya (hazard) Ada dua macam potensi bahaya, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Beberapa potensi tersebut, antara lain adalah gempa bumi, tsunami, gelombang pasang dan abrasi.
•
Kerentanan (vulnerability) Kerentanan adalah keadaan atau perilaku manusia atau masyarakat yang Menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman. Kerentanan dapat berupa fisik, ekonomi, sosial dan lingkungan.
•
Kemampuan (capability) Kemampuan
adalah
kesiapan masyarakat
menghadapi
bahaya.
Disini kemampuan adalah kebalikan dari kerentanan, semakin mampu masyarakat semakin kecil kerentanannya. •
Risiko (risk) Semakin
tinggi ancaman bahaya di suatu daerah semakin tinggi risiko
daerah tersebut
terkena
bencana,
tetapi
semakin
tinggi
tingkat
kemampuan masyarakat semakin kecil risiko yang dihadapinya. Kaitan antara kemampuan lingkungan, kerentanan, dan risiko bencana dapat dilihat pada Gambar 12.
34
Kemampuan Lingkungan Pesisir Berkurang
Kerentanan Bertambah
Kemampuan Lingkungan Pesisir Bertambah
Kerentanan Berkurang
Risiko Bencana Bertambah
Risiko Bencana Berkurang
Gambar 12. Kaitan kemampuan lingkungan, kerentanan dan risiko bencana Sumber : Diolah dari Mitigasi Bencana, Coburn et al., (1994)
2.5.4. Pemetaan Risiko Bencana Alam Guna menerapkan berbagai hal yang telah dikemukakan, maka berbagai risiko bencana seyogyanya
divisualisasikan dalam bentuk peta
risiko bencana dan untuk itu dibutuhkan sejumlah data (lihat Tabel1). Tabel 1. Data yang dibutuhkan untuk pembuatan peta risiko bencana alam No
Kebutuhan Data
1 2 3 4
Kabupaten ‘rawan bencana’ 2007 Data dan Peta Penggunaan Lahan Data Tingkat Konversi Guna Lahan dalam 5 tahun terakhir Data Keberadaan Obyek Vital 2007
5 6 7 8 9
Data dan Peta Pola Penyebaran Pemukiman Data Kesehatan dan Kemiskinan Data Histori Banjir dan Gempa bumi Data dan Peta Prasarana Jalan Data Kebijakan/Peraturan Daerah yang mengatur tentang kebencanaan di kabupaten rawan bencana tersebut Data Infrastruktur dan Bangunan termasuk yang terkait dengan IMB Data Kegiatan Pemerintah dan Masyarakat (Pelatihan, Sosialisasi, Penyuluhan dll) tentang kebencanaan sejak tahun 2002-2007 Data Partisipasi Masyarakat dalam kebencanaan (Organisasi Masyarakat) Data Histori Banjir dan Tanah Longsor Data Histori Kekeringan Kabupaten rawan bencana Data Histori Tsunami di Kabupaten rawan bencana
10 11 12 13 14 15
Sumber : Bappenas -BNPB 2007
35
Hal ini diperlukan sebagai acuan
pengakomodasian
kegiatan yang
akan
dilaksanakan disuatu wilayah. Sehingga proses penataan ruang memiliki legitimasi dari aspek kebencanaan (Bappenas dan BNPB, 2007). Selain itu peta risiko bencana ini merupakan respon terhadap himbauan BAKOSURTANAL yang menyatakan bahwa peta yang dibutuhkan untuk menghadapi bencana alam harus lebih detail daripada peta rupa bumi yang biasa dibuat oleh BAKOSURTANAL dengan skala 1:25.000. Untuk perencanaan antisipasi dan evakuasi bencana alam daerah diperlukan peta yang lebih detil yaitu skala 1:2.500. Sejauh ini BAKOSURTANAL hanya bertugas membuat sistem standar agar sebuah peta yang dibuat oleh instansi tertentu mudah dimengerti oleh instansi lainnya (Matindas dalam Komara, 2006). Peta yang lazim disebut peta risiko bencana atau peta rawan bencana adalah suatu peta tematik, artinya peta yang mengusung hanya satu atau beberapa tema misalnya peta kerawanan longsor atau gunungapi dan seterusnya. Ini berbeda dengan peta umum yang menyajikan kondisi topografi (seperti lokasi jalan, gunung, sungai, informasi ketinggian, dan tutupan lahan) dan batas administrasi (batas kecamatan atau kabupaten) yang biasa disebut peta rupa bumi (sebagai terjemahan dari topographic map). Peta rupa bumi biasanya dijadikan peta dasar bagi berbagai peta tematik yang dibuat secara spesifik untuk keperluan khusus tersebut.
2.6
Keterkaitan Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir, Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Pemanfaatan SDA Terkendali dan Manajemen serta Mitigasi Bencana Alam Manajemen bencana adalah upaya penanganan bencana sejak dari
kedaruratan, pemulihan, pembangunan, pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan (Carter, 1991). Mitigasi bencana adalah upaya pengurangan risiko bencana (Coburn et al, 1994) yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir. Pemanfaatan sumberdaya alam yang terkendali adalah untuk memastikan bahwa ambang batas lingkungan tidak terlampaui sehingga keberlanjutannya terjamin. Oleh karena itu laju pemanfaatannya tidak lagi hanya mengutamakan kepentingan ekonomi (profit) saja, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan sosial (people) dan ekologi (planet) sehingga terjadi keseimbangan (Munasinghe, 1993). Karena mata pencaharian berkelanjutan akan mempengaruhi kualitas lingkungan (Allison dan Horemans, 2006). Pengelolaan wilayah pesisir terpadu
36
adalah kegiatan di wilayah pesisir yang melibatkan berbagai sektor yang saling melengkapi seperti perkapalan, transportasi laut, perikanan, pariwisata bahari (Peng et al, 2006). Kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana adalah kegiatan penelitian yang sedang dilakukan dan berpedoman pada
ketiga penelitian tersebut, dan diharapkan dapat
menemukan arahan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan pesisir saat ini sehingga dapat diterapkan di pesisir Kabupaten Indramayu dan pesisir Kabupaten Ciamis (Penelitian, 2008) (Gambar 13).
Kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana
Penelitian (2008)
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu
Peng et al (2006) Allison dan Horemans (2006) Munasinghe(1993)
Pemanfaatan SDA terkendali Manajemen dan mitigasi bencana
Coburn et al (1994) Carter (1991)
Gambar 13. Keterkaitan kebijakan pengembangan wilayah pesisir, pengelolaan wilayah pesisir terpadu, pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan/terkendali, manajemen dan mitigasi bencana
2.7.
Pemberdayaan Masyarakat Berkaitan dengan permasalahan pesisir yang merupakan konsentrasi
mayoritas penduduk miskin di Indonesia dan kerentanan terhadap bencana alam serta kesepakatan dunia terhadap upaya pengurangan risiko bencana, maka untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dan lingkungan pesisir sebagaimana yang
telah
dideklarasikan
tersebut
(ACDRR,
2007)
dibutuhkan
upaya
pemberdayaan masyarakat kolektif yang sistemik (Parson et al., 1994). Dalam konteks penanggulangan bencana, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerement setting): mikro, mezzo, dan makro. Disini mikro disetarakan dengan lingkungan terkecil ditingkat komunitas Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW), mezzo disetarakan dengan
37
lingkungan menengah
ditingkat
Kelurahan
atau
Kecamatan
dan makro
disetarakan dengan lingkungan besar ditingkat Kabupaten (Diolah dari Suharto, 2006). Hal ini sesuai dengan prinsip otonomi daerah, kabupaten
karena pemerintah
memiliki kewenangan dalam urusan pemerintahan, keuangan
termasuk penganggulangan bencana. •
Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien dalam hal ini RT/RW melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugastugas kehidupannya.
Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang
Berpusat pada Tugas (task centered approach). •
Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien yaitu Kelurahan atau Kecamatan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi.
Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya
digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan penanggulangan bencana yang akan/sedang dihadapinya. •
Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas yaitu Kabupaten. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi Sistem Besar memandang
klien
sebagai pemilik kompetensi untuk
memahami situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. Jika strategi pemberdayaan ini telah dijalankan, maka selain masyarakat juga aparat terkait dalam upaya pengurangan risiko bencana tersebut akan meningkat
kemampuannya.
Pemerintah
kabupaten
akan
mempunyai
kemampuan untuk menentukan bentuk mitigasi bencana yang paling sesuai diterapkan. Dengan demikian harapan tercapainya ketahanan lingkungan dan masyarakat sebagaimana yang dikumandangkan dalam Deklarasi Hyogo (2005) akan terwujud.
2.8.
Permodelan Guna mendukung pengambil keputusan mengkaji dampak kebijakan
yang akan diterapkan, pengembangan ilmu komputasi dan matematik yang terintegrasi dengan permasalahan sosial yang sedang terjadi merupakan suatu
38
solusi yang terbaik. Kebutuhan multifungsi pada laut dan daerah estuaria yang terus meningkat, memerlukan pengetahuan tentang sistem manajemen strategik yang dituangkan dalam suatu pemodelan interdisiplin tentang sumberdaya wilayah pesisir. Walaupun pengintegrasian berbagai disiplin pengetahuan tersebut tidak sepenuhnya menjamin akan menyelesaikan permasalahan secara akurat,
permodelan
sistem
sangat
dibutuhkan
untuk
mengidentifikasi
kecenderungan yang akan terjadi di waktu mendatang (Wind dan Kok, 2002). Model menurut Marimin (2005) adalah simplifikasi dari sistem dan sistem adalah kumpulan berbagai komponen atau elemen yang saling terkait dan terorganisir dengan baik serta mempunyai tujuan yang sama. Menurut Manetch dan Park (1977) sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan, sedangkan O’Brien (1999), mendefinisikan sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian, berarti setiap sistem harus
memiliki
komponen atau elemen yang saling
berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu. (Gambar 14). Unity
Analysis
Synthesis
Parts And Relationship
Parts
Complexity Theory Dynamic
Expert Management System
Group Decision Making
Gambar 14. Keterkaitan logika Sumber : Diolah dari Eriyatno dan Sofyar, 2007
Dikaitkan dengan judul penelitian ‘Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Berperspektif Mitigasi Bencana, Kasus Pesisir Indramayu dan Ciamis’, beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai berikut : •
Kebijakan, pengembangan wilayah pesisir, berkelanjutan, berperspektif dan mitigasi bencana adalah komponen atau elemen yang saling terkait dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan
39
•
Tujuannya adalah merumuskan suatu kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi sebagaimana yang dikemukakan Aelen dalam Eriyatno dan Sofyar (2007) ‘policy research is namely normative research about alternative ways organizing and gathering information so that a decision maker can make the most inteligent choices’
•
Hasil
penelitian
harus mampu mewujudkan harapan-harapan normatif
menjadi strategi tindakan yang diperlukan dalam suatu kebijakan berupa Model IESS (Inteligent Executive Support System), dalam bentuk sistem pakar atau EMS (Expert Management System) yang mengandung Inference Engine dan Exploration Generator (Eriyatno, 2007) •
Peneliti harus memahami bagaimana membangun kebijakan secara komprehensif yang smart, dengan teknik berbasis pengetahuan merumuskan konsepsi
instrument
pembangunan
berkelanjutan
dan
pencegahan
dampak melalui pemikiran sintesis (Eriyatno, 2007) •
Metoda sintesis digunakan karena fokus kepada sasaran yang akan dicapai pada masa mendatang dengan mengembangkan substansi yang konseptual atau artifisial, tidak seperti metoda analisis yang fokus pada masalah yang telah terjadi dengan memperbaiki sistem yang tidak baik (Eriyatno, 2007)
•
Metoda sintesis melibatkan sasaran akhir, obyek dalam pikiran dan integrasi berbagai elemen, komponen dan sub sistem untuk membentuk suatu sistem (parts and relationship) (Dubrovsky dalam Eriyatno, 2007)
•
Hasil penelitian membuktikan bahwa minat kelompok fisik dan sosial dari berbagai disiplin ilmu telah melahirkan complexity theory yang menjadi teori sistem yang memberikan penjelasan konseptual dalam aplikasi group dynamics sebagai sumber ilmiah pengembangan model (Wheelan dalam Eriyatno, 2007)
•
Untuk memudahkan pengambil keputusan, penyiapan alternatif kebijakan dapat dilakukan melalui permodelan sistem (Eriyatno, 2007 dan Marimin, 2007) Keunggulan permodelan sistem yang utama menurut Ma’arif dan Tanjung
(2003) adalah memvisualisasikan secara cepat abstraksi suatu integrasi elemen. Melalui model tersebut, dapat diprediksi hal yang terkait dengan jawaban atas permasalahan. Ada lima tipe model yang seringkali diaplikasikan dalam dunia nyata, yaitu (Ma’arif dan Tanjung, 2003):
40
•
Model fisik, yang berdasarkan analogi
•
Model deskriptif, yang bersifat kualitatif dan mengedepankan dialog dengan para pakar terkait
•
Model matematik, yang terdiri dari simbol-simbol persamaan untuk menjelaskan suatu sistem. atribut model adalah variabel dan aktivitas model adalah fungsi
•
Model prosedural, yang terdiri dari diagram alir yang menjelaskan langkah – langkah yang terjadi dalam sistem
•
Model simulasi, yang merupakan gabungan antara model prosedural dan model matematik
2.9.
Penelitian Sejenis Ada beberapa hasil penelitian dan tulisan ilmiah yang membahas tentang
wilayah pesisir dan mitigasi bencana serta model pengembangannya secara berkelanjutan. Berikut ini dikemukakan beberapa ringkasan diantaranya. Fandora (2006) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul ‘Pengelolaan Pesisir Terpadu’ telah mengemukakan perbedaan antara wilayah pesisir utara dan selatan Jawa Barat. Diawali dengan penjelasan tentang karakteristik wilayah, potensi kawasan, permasalahan dengan penekanan kepada laju abrasi di pesisir utara dan pertambangan yang merusak lingkungan di pesisir selatan, sampai dengan perlunya pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal zone management). Selanjutnya dikemukakan hambatan utama untuk menerapkan pengelolaan wilayah pesisir dan laut
yaitu tidak adanya kepastian hukum.
Akhirnya dikemukakan bahwa RUU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil diharapkan dapat menjadi solusi seluruh permasalahan yang menghambat penerapan pengelolaan pesisir terpadu tersebut. Setyawan (2007) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Bencana Geologi Di Daerah Pesisir’ mengemukakan bahwa selama ini masyarakat berpendapat bahwa gelombang yang dapat menimbulkan kerusakan, hanya gelombang yang berasal dari bagian Barat dan Selatan Indonesia saja. Hal ini ternyata tidak benar, karena konfigurasi kepulauan Indonesia
dengan empat pulau besar
mengakibatkan arus yang terjadi di perairan dalamnya akan mengakibatkan gelombang pasang merusak pantura Jawa.
Abrasi yang terjadi di pesisir
Indramayu merupakan yang terparah kedua setelah abrasi di pesisir NAD. Wind dan Kok (2002) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul ‘Permodelan
41
Interdisiplin, Tantangan dan Peluangnya’ mengemukakan bahwa untuk menata kegiatan rekreasi bahari di pesisir Wadden Belanda Utara seperti olahraga air, pemancingan ikan, penerbangan ringan dan kegiatan yang kontroversi yaitu eksploitasi gas alam, diperlukan pendekatan Sistem Pengambilan Keputusan yang akan menyelesaikan analisis dari berbagai disiplin keilmuan.
Seluruh
kegiatan pariwisata bahari tersebut menyesuaikan dengan tujuan kebijakan pembangunan yaitu, perlindungan Pesisir Wadden sebagai kawasan alami yang berkelanjutan. Kondisi perbatasan pengelolaan kegiatan kawasan Wadden, harus aman terhadap banjir pesisir dan aksesibilitas keluar masuk kawasan harus terpelihara sehingga seluruh aktifitas ekonomi dan rekreasi tetap terjaga. Allison dan Horemans (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan’ menggabungkan suatu kerangka kerja konseptual operasional untuk menyiapkan pedoman perumusan kebijakan dan praktek pengembangan pesisir. Prinsip Sustainable Livelihood Approach (SLA) adalah meletakan kegiatan sosial ekonomi masyarakat pesisir dalam pusat analisis, mengutamakan batas-batas sektor, memperkuat hubungan makro-mikro menjadi lebih responsif dan partisipatif, membangun pada kekuatan, dan menerapkan wawasan keberlanjutan.
Konteks Kerentanan • Guncangan • Kecenderungan • Musiman
Aset Matapencaharian • Manusia • Alam • Keuangan • Fisik • Sosial
PIP • Kebijakan • Kelembagaan • Proses
Hasil Matapencaharian • Pendapatan/ Kesejahteraan meningkat • Kerentanan Menurun • Ketahanan Pangan meningkat • Berkelanjutan meningkat dgn basis sumber daya alam • Pemberdayaan termasuk Sosial
Gambar 15. Kerangka matapencaharian nelayan untuk memahami sistem pengelolalaan sumberdaya alam pesisir Sumber
: Allison dan Horemans (2006)
Pendekatan
SLA
ini
sudah
diterapkan
secara
luas
dalam
penelitian
pengembangan pesisir dan perikanan, dan sudah didesiminasikan sebagai
42
rancangan pengembangan program internasional, walaupun pengalaman lapangan secara luas belum terdokumentasikan. Program SLA yang melibatkan 25 negara Afrika Barat telah membantu meluruskan kebijakan perikanan berkelanjutan dengan inisiatif pengurangan kemiskinan di pesisir sekaligus membuktikan bahwa kemiskinan tidak langsung menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang berlebihan (over-exploited fish resources). Tobey dan Torrel (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Kemiskinan pesisir dan pengelolaan kawasan pesisir yang diproteksi di daratan Tanzania dan Zansibar (Marine Protected Area)’, membahas keterkaitan antara kemiskinan dan konservasi pesisir
serta menemukan bahwa kemiskinan masyarakat
pesisir seringkali memicu masyarakat melanggar peraturan pengelolaan.
Oleh
karena
itu
kemiskinan
menambah
perundangan
kesulitan
upaya
mewujudkan program konservasi (yang merupakan landasan ketahanan lingkungan untuk mengurangi risiko bencana). Mereka menyimpulkan bahwa keefektifan dan keberhasilan program Proteksi Kawasan Pesisir (MPA) dalam mencapai tujuan konservasi dan pembangunan sangat beragam, tetapi persepsi masyarakat sangat positif sehingga keberhasilan program MPA itu membutuhkan waktu lama dan investasi yang besar. Peng et al. (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Ukuran manfaat sosio ekonomi dari Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Zone Management): Aplikasi di Xiamen’, China mengemukakan sebuah pendekatan sistematik untuk mengukur seluruh manfaat social eokonomi dikaitkan dengan program pengelolaan pesisir terpadu (ICZM).
Permasalahan multi sektor di
lingkungan wilayah pesisir perlu diselesaikan dengan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal zone management). Pakar sepakat bahwa indikator penilaian keberhasilan dari program pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah manfaat sosio-ekonomi. Tetapi secara spesifik konsep terpadu masih belum jelas, karena peran dari berbagai variable penting dalam kerangka kerja analitik dan interaksi diantaranya belum dipahami dengan baik. Kasus Xiamen sangat menarik untuk dikemukakan karena wilayah pesisir yang semula aktifitasnya semrawut dan membuat kualitas lingkungan pesisir rusak (abrasi, polusi, dan kumuh) dalam sepuluh tahun melalui The Xiamen Demonstration Project yang dimulai pada tahun 1992 dan merupakan kerjasama antara the Global Environment Facility/United Nations Development Program/International Maritime Organization (GEF/UNDP/IMO) Regional Program for the Prevention and Management of
43
Marine Areas in the East Asian Seas (MPA-EAS). Xiamen telah berubah menjadi suatu wilayah pesisir yang menarik dan aktifitasnya meningkat serta kualitas lingkungannya bertambah baik. Daratan seluas 1.565 km 2 dan lautan seluas 340 km 2 dengan garis pantai sepanjang 234 km telah menarik penduduk yang pada tahun 1980 kurang dari 1 juta jiwa menjadi sekitar 2 juta jiwa pada tahun 2001. Kegiatan ekonomi meningkat dengan pembangunan pelabuhan, transportasi laut, perkapalan, perikanan, permukiman pesisir, hotel, dan aquaculture serta wisata bahari. Program ICZM telah mereduksi multi konflik akibat pemanfaatan wilayah yang tumpang tindih dan meningkatkan perlindungan terhadap satwa langka seperti ikan lumba-lumba putih yang di dunia hanya ada di pesisir Xiamen. Dalam waktu sekitar 8 tahun manfaat sosioekonomi yang diperoleh dari program ICZM telah meningkat sekitar 40 %. Pendapatan dari pelabuhan meningkat 4.4 kali, pendapatan dari transportasi meningkat 35.09 kali, pendapatan dari perikanan menurun 0.7 kali, pendapatan dari pariwisata meningkat 2.74 kali dan pendapatan total meningkat 3.1 kali. Menurut UNDP, ICZM yang diterapkan di Xiamen, Cina dianggap berhasil dan dapat dijadikan pembelajaran bagi negara maritim lainnya. WRI–IUC–UNEP (1992) dalam publikasi ilmiahnya yang berjudul Global Biodiversity Strategy. Guidelines for Action to Save, Study, and Use Earth’s Biotic Wealth Sustainably and Equitably mengemukakan konsep Bioregion yaitu batas darat dan perairan yang ditentukan bukan oleh batas secara politik, akan tetapi oleh batas geografis dari komunitas manusia dan sistem lingkungan . Luas area ini harus cukup besar guna mempertahankan integritas komunitas biologi wilayah tersebut; untuk menyokong proses ekologi yang penting seperti siklus nutrien dan limbah, migrasi dan aliran arus; untuk menjaga habitat dari spesies penting; dan juga komunitas manusia. Hanson
(2007)
dalam
tulisan
ilmiahnya yang berjudul Upaya
Pengurangan Risiko Bencana di Pesisir (coastal disaster counter measures) mengemukakan bahwa upaya pencegahan bencana pesisir dapat dilakukan dengan berbagai upaya, yaitu Tidak ada tindakan (no action), Relokasi/Mundur (retreat), Akomodas/Adaptasi (accommodation/adaptation), protection/revetment/seawall),
Pemecah
ombak
Stabilisasi
(slope
(breakwater/detached
breakwater), Penahan sedimentasi sejajar pantai (groyne), Pengaman pantai (beach protective) dan vegetasi. • Tidak ada tindakan (no action) adalah tetap meneruskan kegiatan
44
pembangunan seperti biasa, dimana penggunaan lahannya sangat tidak teratur dengan keuntungan tidak dibutuhkan biaya pengelolaan, tidak ada dampak sampingan dan tidak ada pembangunan konstruksi. Tetapi kerugiannya
adalah
berlangsungnya
abrasi dan
banjir
pesisir
yang
berkelanjutan, serta dibutuhkannya biaya tidak langsung yang cukup besar seperti
evakuasi
warga
yang menjadi korban bencana, pembangunan
hunian sementara, rehabilitasi kawasan dan kegiatan sosioekonomi yang terganggu. • Relokasi (retreat) pantai. Sebagai melaksanakan
dengan bentuk
memundurkan
pembangunan
permukiman
skala
rendah
menjauh dari secara
umum
evakuasi gradual dengan durasi dan tempo yang cukup
seimbang serta adanya perubahan nilai kepemilikkan. Keuntungan yang diperoleh adalah kegiatan pembangunan skala rendah dengan biaya sedang. Tetapi kerugiannya adalah berkurangnya fungsi lahan dan perlu investasi serta implikasi sosial secara luas. • Akomodasi
melalui
upaya
adaptasi
yaitu
meninggikan
hunian
dengan mengangkat lantai rumah sedemikian rupa sehingga terhindar dari hantaman gelombang pasang. Keuntungannya adalah tidak ada masalah sosial dan pembangunan prasarana perlindungan pantai. Tetapi kerugiannya adalah
semua
pembiayaan
pembangunan
dipikul
sendiri,
dan
jika
konstruksinya kurang baik berisiko rubuh dihantam gelombang pasang atau tsunami. • Stabilisasi dengan membuat pengaman lereng (slope protection/seawalls) pemecah ombak (breakwater/detached breakwater), tanggul/krib (groyne), pengaman gisik (protective beaches) dan vegetasi. o Pengaman lereng (slope protection/revetment/seawalls) yang memisahkan daratan dan lautan untuk meredam hantaman gelombang. Kerugiannya biaya awal cukup tinggi, mengurangi akses ke pantai, meningkatkan refleksi gelombang, tidak ada proteksi tanggul pantai dan abrasi jatuh menyimpang. o Pemecah gelombang (breakwater) yang sejajar dengan pantai atau terpisah tetapi tetap sejajar pantai (detached breakwater). Keuntunganya efisien menahan pergerakan sedimentasi, melindungi terjadinya abrasi lepas pantai, energi gelombang terbatas dan tidak ada struktur di pantai. Kerugiannya tidak melindungi terhadap banjir, erosi jatuh menyimpang.
45
o Krib (groyne) yang tegak lurus pantai dengan konstruksi dan panjang yang
terbatas
untuk
mencegah
sedimentasi
yang
bergerak
sejajar/sepanjang pantai, menghambat abrasi atau mencegah material pantai runtuh tergerus ke lokasi sedimentasi yang bergerak tadi. Kerugiannya abrasi jatuh menyimpang. o Pengaman gisik (protective beaches) dengan membuat gunuk (dune kondisi pasca kerusakan minor, biayanya murah, estetis dan tahan lama. Kerugiannya adalah sensitif terhadap gelombang yang berkepanjangan, dan awal perawatannya memerlukan persyaratan tertentu .