II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United Nation's Conference on The Human Environment di Stockholm tahun 1972. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (World Commission on Environment and Development (WCED) 1987). Komisi Brundland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi merupakan suatu proses perubahan di mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Pada tingkat yang minimum,
pembangunan berkelanjutan
tidak boleh
membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, sosial, dan politik. Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat. Tujuan tersebut merupakan atribut yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat. Atribut tersebut dapat mencakup kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses terhadap sumber daya, distribusi pendapatan yang lebih merata, dan sebagainya. Oleh karena itu, konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum di mana karakter sektor pembangunan tersebut tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce and Tannis 1999). Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola agar berkelanjutan. Hal ini digunakan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Berdasarkan kesepakatan ini, dijelaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola
16
konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Sehubungan dengan konsep pelaksanaan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan dalam bentuk kerangka segitiga.
EKOLOGI
SOSIAL • Nilai-nilai budaya • Partisipasi • Konsultasi
Sumber Daya Alam Wilayah Perbatasan)
Keadilan Pemerataan Kesejahteraan
Gambar 2. Diagram pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993 atau Djakapermana 2010) Menurut pengelolaan
kerangka sumber
tersebut, daya
alam
suatu
kegiatan
pembangunan
(termasuk
dan
berbagai
dimensinya)
dinyatakan
berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumber daya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi berarti kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan mengonservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat,
17
pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi, diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Kedua, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat, swasta, dan konsultasi. Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan di banyak negara
dan
oleh
berbagai
lembaga
dengan
mengembangkan
indikator
keberlanjutan. Sebagai contoh, Centre for International Forestry Research (CIFOR) mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagaan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah pesisir berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan. Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergik dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU No. 23 Tahun 1997). Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas karena tidak hanya meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan, tetapi juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan
lingkungan. Dengan demikian, perlu disadari bahwa upaya-upaya
pengelolaan wilayah tidak akan tercapai. Bahkan, yang akan terjadi justru kerusakan lingkungan (baik "renewable" maupun yang "non renewable") yang justru akan menjadi "cost" yang "never ending". Sebaliknya bila ada rekayasa pengaturan pemanfaatan ruang dengan baik terhadap berbagai potensi, sumber daya lahan melalui upaya perencanaan penggunaan lahan
18
akan dihasilkan suatu usulan optimasi ruang yang optimal. Adanya pengalokasian ruang-ruang kegiatan produksi setelah melalui proses
optimasi
pemanfaatan
ruang,
diharapkan
terjadi
peningkatan
pertumbuhan ekonomi masyarakat di wilayah tersebut. Arahan pengaturan berbentuk rencana tata ruang melalui optimasi kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang ada harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung wilayah serta memprediksi pemanfaatannya untuk kebutuhan masa yang akan datang. Dengan demikian, tercapai sinergi antara berbagai jenis kegiatan pengelolaan sumber daya alami dengan fungsi lokasi, kualitas lingkungan, dan estetika wilayah. 2.2
Penataan Ruang Wilayah Penataan ruang adalah proses mengoptimalkan sumber daya alam bagi
kepentingan manusia dan mahkluk hidup lainnya yang didasarkan pada daya dukung alam dengan didukung tekonologi yang sesuai, serasi, selaras, dan seimbang dengan ekosistem lainnya serta memberikan manfaat bagi pengembangan wilayah (UU 26/2007). Untuk mencapai tujuan penataan ruang tersebut, proses penataan ruang harus melalui tahapan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2004), dalam proses penataan ruang wilayah, harus dipahami terlebih dahulu konsep-konsep mengenai wilayah. Ada beberapa pengertian wilayah yang terkait aspek keruangan yang harus dipahami terlebih dahulu. Konsep wilayah dalam proses penataan ruang harus meliputi konsep ruang sebagai ruang wilayah ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang wilayah ekologi, dan ruang wilayah politik. Semua unsur yang terkait konsep ruang wilayah ini harus sinergi, terpadu, dan saling memengaruhi secara sistem dengan memberikan manfaat optimal. Wilayah itu sendiri adalah batasan geografis (delineasi yang dibatasi oleh koordinat geografis) yang mempunyai pengertian/maksud tertentu atau sesuai fungsi pengamatan tertentu. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang berupa satuan geografis, di dalamnya terdapat berbagai unsur
19
terkait yang yang dibatasi oleh koordinat tertentu untuk maksud dan tujuan tertentu. Menurut Rustiadi (2004), pengertian ini akan selalu terkait aspek kepentingan sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan, maupun pertahanan. Beberapa literatur pada umumnya juga memberikan batasan pengertian wilayah yang terkait dengan aspek lingkungan, ekonomi, kondisi fisik sumber daya alam, karakteristik sosial budaya, dan wilayah batas administrasi yang rigid. Secara umum, beberapa pengertian wilayah ini dapat dikelompokan sebagai berikut. 1) Ruang wilayah ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuan ekosistem berbagai kehidupan alam dan buatan yang membentuk pola ruang ekotipe dan struktur hubungan yang hierarkis antara ekotipe, misalnya daerah aliran sungai (DAS) dengan sub-DAS-nya, wilayah hutan tropis dengan struktur bagian hutan tropisnya. 2) Ruang wilayah ekonomi adalah deliniasi wilayah yang berorientasi menggambarkan maksud fungsi (manfaat-manfaat) ekonomi, seperti wilayah produksi, konsumsi, perdagangan, serta aliran barang dan jasa. Biasanya hal ini juga terkait dengan satuan fungsi tingkat pertumbuhan ekonomi, wilayah pasar, pendapatan daerah, dan struktur pusat pelayanan ekonomi serta transportasi. Ruang wilayah sosial budaya adalah deliniasi wilayah yang terkait dengan budaya adat dan berbagai perilaku masyarakatnya.
Dalam konteks pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor pembangunan, pemahaman terhadap konsep ruang wilayah yang disusun berdasarkan klaster ini menjadi penting. Hal ini ditujukan agar dapat secara rinci dan mudah menetapkan variabel dan komponen dominan yang memengaruhi proses pengembangan permukiman di wilayah perbatasan negara sebagai pusat pertumbuhan baru. Memahami kecenderungan pertumbuhan kota (pusat pertumbuhan baru) sangat terkait dengan empat faktor, yaitu kebijakan, stakeholders, perilaku masyarakat, dan proses serta pola pertumbuhan. (1) Kebijakan merupakan faktor paling penting untuk mengontrol pertumbuhan suatu kota pada skala makro. (2) Pola merupakan tingkat paling rendah di mana pola dapat dilihat secara langsung hasilnya. (3) Proses dapat mengindikasikan dinamika pertumbuhan kota. (4) Perilaku mengindikasikan kegiatan dari pelaku yang terlibat. Hasilnya berupa
20
model seperti sebuah tingkatan, dari pola secara bertahap meningkat ke kebijakan. Dalam aturan teori hierarki, memahami tiap tingkat harus mempertimbangkan tingkat yang paling atas dan paling bawah sebagai perbandingan hubungan yang paling dekat. Untuk memahami proses, konsekuensinya adalah harus melihat pola dan perilaku yang terkandung di dalamnya. Pola merupakan gambaran sementara dari proses dan perilaku yang merupakan sumber dari proses pengambilan keputusan (Cheng 1999). 2.3
Pengembangan Permukiman Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Permukiman disebutkan pengertian dasar istilah permukiman. Perumahan adalah suatu kelompok rumah yang memiliki fungsi lingkungan tempat hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan serta penghidupan. Kebijakan perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000—2020 antara lain pengembangan lokasi perumahan dengan memperhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan, serta tersedianya fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat 1999). Kuswara (2004) dalam kajiannya mengungkapkan bahwa permukiman merupakan tempat aktivitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan budidaya.
Pengelolaan
pembangunan
perumahan
harus
memperhatikan
ketersediaan sumber daya pendukung serta keterpaduannya dengan aktivitas lain. Dalam kenyataannya, hal tersebut sering terabaikan sehingga tidak berfungsi secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan suatu kawasan/kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan perencanaan dan perancangan, serta pembangunan permukiman yang kontributif terhadap rencana tata ruang. Berdasarkan pengertian dasar tersebut, tampak bahwa batasan aspek permukiman sangat terkait dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang.
21
Lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan ruang dan prasarana serta sarana lingkungan yang terstruktur. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Permasalahan perumahan saat ini menurut Kirmanto (2005) adalah terjadinya : (i) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat; (ii) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, dan perumahan; (iii) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan; (iv) masalah lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam; dan (v) komunitas lokal tersisih, di mana orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu serta menguntungkan. Tantangan pengembangan kawasan permukiman yang akan datang antara lain (i) urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata; (ii) perkembangan tak terkendali di daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh; (iii) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global; serta (iv) kegagalan implementasi dan kebijakan penentuan lokasi perumahan (Kirmanto 2005). Lokasi kawasan permukiman ditentukan berdasarkan pilihan yang optimal, selanjutnya perlu dibuat rencana tapak (site planning) agar dalam jangka panjang perumahan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif dalam arti luas. Rencana tapak ini penting karena akan menentukan bentuk suatu kawasan/kota. Selain itu, rencana tapak dapat menciptakan kemudahan atau kesukaran bagi para penghuni, serta dapat mempengaruhi tingkah laku penghuni di mana pun kawasan permukiman tersebut berada, termasuk di wilayah perbatasan negara. Kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara mempunyai dampak langsung terhadap kualitas lingkungan. Sebagai contoh, fakta adanya kawasan permukiman liar dan tidak tertata yang keberadaannya juga dapat mengganggu ekosistem air tanah. Di lain pihak, masyarakat dan pekerja di wilayah perbatasan banyak kekurangan rumah sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumahnya, para pekerja menyewa dengan tarif setengah dari gajinya. Apabila para pekerja dapat dipenuhi kebutuhan perumahannya oleh para stakeholders terkait, pembelanjaan gaji untuk kebutuhan kesejahteraan akan lebih besar sehingga etos kerja para pekerja akan semakin meningkat (Gilbreath 2002).
22
Penanganan pengembangan kawasan permukiman disesuaikan dengan UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Pada pasal 2, dijelaskan bahwa lingkup pengaturan, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang menyangkut penataan perumahan, meliputi kegiatan pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaataannya. Adapun yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya. Konsep penataan dan pengembangan permukiman di Malaysia termasuk di wilayah perbatasan dengan Indonesia menggunakan pola cascade (ditarik ke dalam tidak linier di sepanjang jalan). Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari perkembangan permukiman berpola linier (ribbon development) (Departemen PU 2002). 2.4
Pengembangan Wilayah Perbatasan Kondisi perbatasan di Indonesia, baik perbatasan darat maupun laut, berbeda
satu dengan yang lain. Demikian pula dengan negara-negara tetangga yang berbatasan. Setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa negara tetangga memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih baik. Namun, sebagian kondisinya relatif sama akibat dari lemahnya hubungan kegiatan sosial ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan. Bahkan, adapula yang kondisinya jauh lebih terbelakang (Combes 2002). Kondisi tersebut mengakibatkan masing-masing wilayah perbatasan memerlukan pendekatan yang berbeda. Walaupun demikian, perlu ada suatu kebijakan dasar sebagai payung dari seluruh kebijakan dan strategi khusus yang berlaku secara umum bagi seluruh wilayah perbatasan, baik darat maupun laut. Secara umum, pengembangan wilayah perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan wilayah perbatasan yang menyeluruh meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerjasama yang efektif dari mulai pemerintah pusat sampai ke tingkat kabupaten/kota. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dari tingkat makro sampai tingkat mikro. Penyusunannya berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah. Jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai dengan operasional.
23
Kebijakan umum pengembangan wilayah perbatasan antarnegara terdiri dari beberapa kebijakan sebagai berikut. Peningkatan keberpihakan terhadap wilayah perbatasan sebagai wilayah tertinggal dan terisolir dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang. Paradigma pengelolaan wilayah perbatasan pada masa lampau berbeda dengan paradigma saat ini. Pada masa lalu, pengelolaan wilayah perbatasan lebih menekankan aspek keamanan (security approach), sedangkan saat ini kondisi keamanan regional relatif stabil sehingga pengembangan wilayah perbatasan perlu pula menekankan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pengelolaan wilayah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, meningkatkan sumber pendapatan negara, dan mengejar ketertinggalan pembangunan dari wilayah negara tetangga. Oleh karena itu, pengembangan wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan sekaligus pendekatan keamanan secara serasi perlu dijadikan landasan dalam penyusunan berbagai program dan kegiatan di wilayah perbatasan pada masa yang akan datang. Pengembangan wilayah perbatasan ditujukan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pintu gerbang internasional bagi kawasan Asia Pasifik. Paradigma masa lalu yang menjadikan wilayah perbatasan sebagai ”halaman belakang” merupakan pandangan yang keliru. Hal ini disebabkan wilayah perbatasan di Indonesia memiliki nilai politik, ekonomi, dan keamanan yang sangat strategis, bukan hanya bagi bangsa Indonesia, melainkan juga bagi negara-negara lainnya, terutama negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Hal ini disebabkan posisi geografis Indonesia yang berada di titik silang benua Eropa-Asia, Asia-Australia, dan Australia-Eropa. Dengan adanya posisi strategis ini, Indonesia berpeluang memainkan peluang yang sangat besar di Kawasan Asia dan Pasifik pada masa yang akan datang. Akselerasi pembangunan wilayah perbatasan melalui pengembangan kawasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi merupakan upaya yang logis. Untuk itu, diperlukan upaya penataan ruang, pembangunan prasarana dan sarana, kebijakan investasi, SDM, serta kelembagaan yang mendukung pengembangan pusat pertumbuhan. Sasaran dari pusat-pusat pertumbuhan (kota) di wilayah perbatasan terdapat enam kategori yaitu (1) melindungi ruang terbuka hijau/konservasi dan sumber
24
daya alam, (2) mengoptimalkan penggunaan lahan, (3) mengurangi dan mengefisienkan
pembiayaan
pembangunan
infrastruktur
(4)
mendorong
sinergisitas hubungan kota dan desa, serta (5) memastikan transisi penggunan lahan perdesaan menuju perkotaan berjalan secara alamiah dan terarah (Cho 2006). Terdapat beberapa faktor bagi para perencana (planner) dalam melakukan delineasi
batas-batas
pusat
pertumbuhan
(kota)
seperti
faktor
tekanan
pertumbuhan (growth pressures), kekuatan defleksi (potential deflection), dan kekuatan fiskal (fiscal strength). Ketiga faktor tersebut merupakan faktor utama dalam menentukan pertumbuhan suatu kota. Faktor ini mempunyai kekuatan mendeterminasi masa depan sebuah pusat pertumbuhan (kota) apabila secara legalitas mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan sekitarnya. Faktor berikutnya adalah kepemilikan lahan. Faktor ini relatif statis karena tidak mudah diintervensi oleh kebijakan dan regulasi karena status yang umumnya jangka panjang. Terakhir adalah estimasi kapasitas infrastruktur dan kapasitas institusi terkait untuk keberlanjutan suatu batas pusat pertumbuhan (Avin 2006). Dinamika kegiatan perkotaan di wilayah perbatasan merupakan kondisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan kota-kota (pusat pertumbuhan baru) perbatasan negara. Apabila tidak terkendali akan dapat menjadi hambatan dalam pengembangan potensi pertumbuhan sebagai penggerak pengembangan sosial, kependudukan,
ekonomi,
dan
peningkatan
kesejahteraan
secara
berkesinambungan di wilayahnya (Canales 1999). Kebijakan ini sejalan dengan kebijakan yang telah diterapkan oleh beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut. a. Percepatan pembangunan wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan Kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat merupakan permasalahan utama di wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan sentralisasi pembangunan pada masa lalu dan kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan dalam pengelolaan wilayah perbatasan. Hal ini menyebabkan minimnya sarana dan prasarana wilayah, terbatasnya fasilitas umum dan sosial, serta rendahnya kesejahteraan masyarakat. Keterbatasan pelayanan publik di wilayah
25
perbatasan menyebabkan orientasi aktivitas sosial ekonomi masyarakat ke wilayah negara tetangga. Untuk memenuhi hak-hak masyarakat sebagai warga negara dalam memperoleh pelayanan publik dan kesejahteraan sosial serta membuka keterisolasian wilayah, diperlukan percepatan pembangunan di wilayah
perbatasan
dengan
menggunakan
pendekatan
kesejahteraan
(Bappenas 2004). b. Pengakuan terhadap hak adat/ulayat masyarakat Hak-hak ulayat masyarakat perbatasan yang berada di negara lain perlu diakui dan diatur keberadaannya. Keberadaan tanah ulayat sesungguhnya memiliki permasalahan secara administratif karena keberadaannya melintasi batas negara di dua wilayah negara. Walaupun demikian, karena hak-hak ulayat ini secara tradisional menjadi aset penghidupan sehari-hari masyarakat tersebut, keberadaanya tidak dapat dihapuskan. Sebaliknya, hak-hak ini perlu diakui dan diatur secara jelas. c. Penataan
batas-batas
negara
dalam
rangka
menjaga
dan
mempertahankan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Beberapa wilayah perbatasan masih memiliki permasalahan garis batas dengan negara tetangga yang hingga kini masih dalam pembahasan melalui beberapa perundingan bilateral. Di beberapa lokasi bahkan telah terjadi pergeseran pilar batas yang menyebabkan kerugian-kerugian bagi negara baik secara ekonomi maupun lingkungan. Selain itu, keberadaan tanah ulayat masyarakat adat yang ada di wilayah perbatasan menjadi sebuah permasalahan tersendiri dalam penetapan batas negara. Oleh karena itu, diperlukan penataan dan pengaturan batas negara secara menyeluruh untuk menjamin keutuhan wilayah NKRI (Bappenas 2004). d. Peningkatan kapasitas pertahanan dan keamanan beserta prasarana dan sarananya Lokasi geografis Indonesia yang berada di posisi silang dua samudera besar yang terdiri dari beribu pulau menuntut Indonesia memiliki sistem pertahanan yang kuat. Salah satunya dengan ditunjang oleh armada udara. Hal ini diperlukan untuk melakukan pengawasan yang efektif terhadap seluruh wilayah termasuk wilayah perbatasan yang berada di wilayah terluar,
26
menangulangi berbagai pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah perbatasan, serta mengantisipasi berbagai ancaman dari luar. Meskipun saat ini peningkatan armada dan aparat hingga tingkat yang optimal sulit dilakukan oleh pemerintah, peningkatan kapasitas armada dan aparat perlu terus diupayakan hingga tingkat yang memadai. Di samping peningkatan kapasitas armada dan aparat hingga jumlah yang memadai, peningkatan sarana dan prasarana khusus di perbatasan untuk mengawasi arus keluar masuk baik manusia maupun barang ke wilayah NKRI. e. Peningkatan perlindungan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan kawasan konservasi Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Di Kalimantan dan Papua, hampir seluruh wilayah perbatasannya terdiri dari hutan tropis dan kawasan konservasi yang diakui dunia sebagai ”paru-paru dunia”. Adapun kawasan perbatasan laut memiliki potensi sumber daya laut dan perikanan yang sangat besar. Potensi sumber daya alam berupa kawasan konservasi atau tanaman nasional di hutan tropis dan kelautan ini perlu dilindungi kelestariannya selain dibudidayakan bagi kesejahteraan masyarakat lokal (Bappenas 2004). f. Peningkatan fungsi kelembagaan dan koordinasi antarinstansi terkait dalam pengelolaan wilayah perbatasan Peningkatan kapasitas dan fungsi kelembagaan dalam pengelolaan perbatasan dilakukan melalui optimalisasi fungsi dan peran kelembagaan antarinstansi pemerintah. Selain itu, diperlukan penataan hubungan kerja, baik secara horizontal maupun vertikal, peningkatan koordinasi dan konsultasi antar lembaga, serta pengembangan database informasi wilayah perbatasan yang dapat dijadikan acuan bersama oleh seluruh stakeholder terkait. Pemahaman yang baik terhadap fungsi dan peran, tata hubungan yang jelas, koordinasi yang intensif, serta tingkat pengetahuan yang sama, diharapkan dapat menyelaraskan berbagai kewenangan, kebijakan, dan peraturanperaturan antara pemerintah pusat dan daerah. g. Peningkatan kerjasama bilateral, subregional, maupun regional dalam berbagai bidang
27
Mengelola perbatasan tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan internasional maupun regional. Dalam era globalisasi saat ini, setiap negara di dunia saling tergantung satu sama lain serta saling membutuhkan. Adanya saling ketergantungan dalam masyarakat internasional berpengaruh dalam bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan. Oleh karena itu, peningkatan kerjasama dengan negara tetangga baik secara bilateral, subregional, maupun regional diharapkan akan dapat menciptakan keterbukaan dan saling pengertian sehingga dapat dihindarkan terjadinya konflik perbatasan. Hal ini didukung oleh semakin meningkatnya hubungan masyarakat perbatasan baik dari segi sosial budaya maupun ekonomi. Selain itu, kerjasama antarnegara sangat diperlukan untuk meningkatkan investasi dan optimalisasi pemanfaatan SDA di wilayah perbatasan, serta untuk menanggulangi berbagai permasalahan hukum yang terjadi di wilayah perbatasan. Adanya berbagai skenario pengembangan dan berbagai konsekuensinya, kondisi lapangan, perkembangan di dalam maupun lingkungan regional serta setelah dikonsultasikan kepada berbagai kalangan, disepakati visi pengembangan wilayah perbatasan antarnegara yaitu ”Menjadikan wilayah perbatasan antarnegara sebagai kawasan yang aman, tertib, menjadi pintu gerbang negara dan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan menjamin terpeliharanya Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Visi tersebut mengandung berberapa pengertian sebagai berikut : 1. Aman, berarti terciptanya kondisi keamanan yang dapat dikendalikan dan kondusif bagi kegiatan usaha serta bebas dari kegiatan ilegal; 2. Tertib, berarti seluruh aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya di perbatasan dan daerah sekitarnya sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku; 3. Pintu gerbang negara, berarti wilayah perbatasan sebagai halaman depan negara yang harus tertata, bersih, tertib, aman, dan nyaman; 4. Pusat pertumbuhan, berarti wilayah perbatasan dapat dikembangkan sebagai kawasan ekonomi dan perdagangan berkerjasama dengan pihak investor dalam maupun luar negeri secara legal;
28
5. Berkelanjutan, berarti bahwa seluruh proses pembangunan di wilayah perbatasan harus memperhatikan aspek pengelolaan sumber daya alam, seperti hutan lindung dan laut secara seimbang dan memperhatikan daya dukung alam; 6. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, berarti dengan berkembangnya wilayah perbatasan, masyarakat lokal di perbatasan dan di daerah sekitarnya dapat memperoleh kesempatan melaksanakan kegiatan usaha ekonomi sehingga pendapatan dan kesejahteraan meningkat; 7. Terpeliharanya NKRI, berarti seluruh kegiatan pengembangan wilayah perbatasan, baik darat maupun laut tetap mengacu kepada peraturan dan perundangan serta menjaga terpeliharanya negara kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangka mencapai visi yang dicita-citakan di atas, beberapa misi yang perlu dilaksanakan oleh pihak yang terkait yaitu: 1. Mempercepat penyelesaian garis batas antarnegara dengan negara tetangga sehingga tercipta garis batas yang jelas dan diakui kedua belah pihak; 2. Mempercepat pengembangan beberapa wilayah perbatasan sebagai pusat pertumbuhan yang dapat menangkap peluang kerjasama antarnegara, regional dan internasional, secara selektif dan prioritas; 3. Menata dan membuka keterisolasian serta ketertinggalan wilayah perbatasan dengan meningkatkan kegiatan pengembangan kawasan permukiman, prasarana, dan sarana perbatasan yang memadai; 4. Mengelola sumber daya alam darat dan laut secara seimbang serta berkelanjutan, bagi kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah, dan pendapatan negara; 5. Mengembangkan
sistem
kerjasama
pembangunan
antarnegara,
antarpemerintahan, maupun antarpelaku usaha di wilayah perbatasan. 2.5
Konsep Kebijakan Konsep kebijakan dan strategi dalam pengembangan kawasan permukiman
atau sering disebut perencanaan (kebijakan dan strategi) dalam penataan kawasan (strategic settlement planning) lebih banyak menunjukkan sebuah alat untuk dapat
29
mengoperasionalkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota untuk bidang permukiman. Model dan perencanaan kebijakan dan strategi pengembangan permukiman ini telah mulai dikembangkan di beberapa negara termasuk Indonesia khususnya untuk menjawab kebutuhan mendesak permintaan pembangunan permukiman. Healey (2004) menjelaskan tentang new strategic spatial planning in Europe, suatu bahasan pengelolaan ruang dan lokasi permukiman yang optimal dalam jurnal internasional Urban and Regional Research (Healey 2004). Ada beberapa alasan perlunya langkah operasionalisasi rencana pengembangan permukiman, tetapi kenyataannya masih sulit untuk dilaksanakan dan bahkan menjadi perdebatan para planners Eropa. Alasannya masih diperlukan adanya arahan kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan pembangunan permukiman antara lain karena masih adanya permasalahan koordinasi kebijakan khususnya dengan pemerintahan lokal dalam mencari cara bagaimana membuat wilayah kabupaten/kota lebih ekonomis dan kompetitif dalam mengembangkan kawasan permukimannya. Pengembangan kawasan permukiman dengan memanfaatkan asset base-nya, perlu menetapkan bentuk kebutuhan ruang sumber daya alam dan lahan yang optimal. Hal ini untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, serta bagaimana mengatasi ketidakseimbangan akses distribusi penduduk lokal untuk berinteraksi dengan wilayah pusat pertumbuhan (perkotaan). Untuk itu (Healey 2004) menetapkan kriteria dalam kebijakan dan strategisnya, yaitu (1) skala pengelolaan, (2) skala posisi kota dan wilayahnya, (3) regionalisasi, (4) kelayakan material dan identitas, (5) konsep pengembangannya, dan (6) bentuk-bentuk representasi hubungan integrasi fungsional. Semua kriteria ini selanjutnya dijabarkan dalam langkah
kebijakan
dan
strategi
untuk
mengoperasionalkan
perspektif
pengembangan ruang kawasan permukiman. Kebijakan atau policy pada hakikatnya merupakan suatu tindakan yang diambil oleh suatu pihak menanggapi persoalan tertentu. Tindakan tersebut dapat berupa melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu (Partowidagdo 2004). Adapun yang menjadi pendekatan dalam proses pengambilan kebijakan berdasarkan perkembangan keilmuan, kebijakan tersebut sangat bermacam-macam. Akan
30
tetapi, pada bagian ini hendak dikaji dua model pendekatan pengambilan kebijakan yakni pendekatan partisipatif dan pendekatan sistem. (1)
Proses Pengambilan Keputusan Kebijakan Dalam pengambilan keputusan, partisipasi merupakan wujud keterlibatan
secara aktif suatu pihak terhadap suatu hal, permasalahan, atau aktivitas kegiatan dengan menyumbangkan sesuatu yang dimilikinya baik fisik maupun nonfisik dengan tujuan-tujuan tertentu. Berbagai definisi mengenai partisipasi mengacu pada suatu kompleksitas bahwa “partisipasi” dipandang secara bermacam-macam tergantung pada siapa objek pelaku dan siapa yang mendefinisikannya. Dalam hal ini, partisipasi dapat berarti partisipasi sosial, partisipasi ekonomi, partisipasi politik, partisipasi keilmuan, dan lain sebagainya. “Partisipasi” itu sendiri berbeda dari intervensi karena partisipasi lebih cenderung diartikan sebagai sumbangan keterlibatan dari suatu pihak pada suatu hal di antara banyak pihak lainnya. “Partisipasi” dapat membatasi kualitas tujuan dari hal yang dilibatkannya tersebut pada masa depan. Di Indonesia, “partisipasi” didefinisikan sebagai prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada setiap kegiatan (salah satunya kegiatan penyelenggaraan pemerintahan). Proses pengambilan keputusan adalah suatu mekanisme tahap demi tahap bagaimana suatu keputusan dari berbagai alternatif yang ada akhirnya dapat terpilih. Pengambilan keputusan pada dasarnya terbagi atas pengambilan keputusan normatif dan pengambilan keputusan deskriptif. Proses pengambilan keputusan normatif dalam kasus ini merupakan suatu tahapan atau langkahlangkah bagaimana sebuah keputusan seharusnya dibuat. Adapun proses pengambilan keputusan deskriptif adalah suatu tahapan atau langkah mengenai keputusan pada saat ini dibuat dan bekerja (Hansen 1994). Oleh karena itu, selain sebagai pihak yang dipertimbangkan kepentingannya dalam proses pengambilan keputusan dalam pembangunan, masyarakat (publik) berhak berpartisipasi aktif dalam pembangunan itu sendiri untuk menentukan bagaimana seharusnya pembangunan yang tepat guna dan tepat sasaran sesuai dengan harapan mereka. Dengan kata lain, dalam rangkaian proses pengambilan keputusan publik pada kegiatan pembangunan, “partisipasi” dapat dikatakan
31
sebagai sarana atau alat bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan tersebut. Hal ini demi menjaga agar fungsi-fungsi pembangunan dapat menguntungkan dan bermanfaat bagi masyarakatnya. Konsep partisipatif dalam pengambilan keputusan pada kegiatan pembangunan sangat erat dengan konsep bottom-up planning. Suatu konsep yang mengangkat arah dan kebijakan pembangunan dari aspirasi masyarakat dan stakeholder pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah hanya menjadi penyeimbang dan pelaksana serta penyempurna dari aspirasi-aspirasi yang berkembang tersebut. Hal inilah yang membedakan konsep partisipatif (bottom-up approach) dengan konsep otoritas sentralistik pemerintah (top-down approach) dalam proses pengambilan keputusan. Desentralisasi, secara konseptual merupakan salah satu wujud pendekatan partisipatif dalam pembangunan. Pemerintah tidak lagi menempatkan diri sebagai stakeholder tunggal penentu arah kebijakan pembangunan di mana pemerintah sebagai institusi mempunyai otoritas top-down dalam menentukan setiap keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik (masyarakatnya). Akan tetapi, dengan adanya konsep desentralisasi, pemerintah dengan terbuka membagi kewenangannya pada masyarakat untuk dapat menentukan arah dan kebijakan pembangunan daerahnya masing-masing pada taraf yang lebih rendah. Artinya, keberadaan desentralisasi dapat membuat masyarakat terlibat secara aktif sehingga melahirkan pengambilan keputusan-keputusan secara bottom-up pada rangkaian kegiatan pembangunan. Bahkan menurut Poteete (2002), desentralisasi merupakan sarana membagi konsentrasi otoritas dan kewenangan pengambilan keputusan yang terkait dengan pembangunan suatu wilayah negara pada institusi pemerintah yang lebih rendah daripada institusi nasionalnya. Artinya, dengan adanya desentralisasi, telah terjadi suatu upaya mendekati masyarakat untuk berpartisipasi dengan aktif melibatkan diri untuk menyampaikan aspirasinya pada pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah mengumpulkan aspirasiaspirasi
tersebut
dan
menyampaikannya
pada
pemerintah
pusat
ditindaklanjuti sebagai suatu kebijakan yang berwawasan kemasyarakatan.
untuk
32
(2)
Pendekatan Sistem Penyusunan Kebijakan Sistem adalah gugus dari elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur
dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan (Marimin 2004). Sistem itu kompleks, dinamik, dan probabilistik (stokastik), sedangkan falsafah sistem adalah sibernetik, holistik, dan efektif (Eriyatno 2003). Selanjutnya, (Aminullah 2004) menyatakan bahwa berpikir sistemik adalah berpikir yang menekankan keseluruhan rangkaian bagian secara terpadu. Menurutnya, ada enam langkah proses berpikir sistemik untuk pemecahan masalah, yaitu pengungkapan kejadian nyata, penentuan kejadian yang diinginkan, penetapan kesenjangan, pembuatan analisis, penyusunan kebijakan, dan pemerkirakan dampak. Berpikir sistem merupakan reaksi terhadap kegagalan ilmu pengetahuan alam ketika dihadapkan kepada masalah dunia nyata yang sangat kompleks dalam sistem sosial (Jackson 2000). Dalam menghadapi masalah yang kompleks ini, pendekatan ’holism’ lebih diutamakan dibandingkan dengan pada ’reductionism’. Pada pendekatan ’holism’, interkoneksitas beragam bagian dikenali dan hubungan antarbagian diperhatikan, bahkan sampai pada outcome yang tidak diduga. Metode untuk penyelesaian persoalan yang dilakukan melalui pendekatan sistem terdiri atas tahapan proses sebagai berikut: analisis, rekayasa model, implementasi rancangan, dan implementasi dan operasi sistem. Adapun metodologi sistem pada prinsipnya adalah: analisis kebutuhan, identifikasi sistem, formulasi masalah, pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial politik, dan penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan (Eriyatno 2003). Perkembangan terakhir dalam pendekatan sistem adalah pengadopsian pendekatan
transdisiplin.
Bila
tim
multidisiplin
menjamin
terjaganya
komplementaritas sistem pengetahuan yang berbeda, interdisiplin menjembatani perbedaan pandangan disiplin. Adapun transdisiplin adalah sebuah proses yang melampaui perspektif disiplin (Attwater 2005). Hal yang kurang lebih sama seperti dikemukan oleh (Meppem 1998) yang menemukan bahwa pendekatan transdisiplin sangat penting untuk mengarahkan kegiatan perencanaan dan pengelolaan berkelanjutan. Cara berpikir disiplin konvensional yang sempit dalam lingkaran kebijakan membatasi kapasitas pengambil keputusan untuk mengurai kompleksitas masalah kebijakan dan manajemen lingkungan di dunia nyata.
33
Perumusan kebijakan perlu memperhatikan kompleksitas itu dan mendorong fleksibilitas pembelajaran perubahan yang berlangsung secara terus-menerus. Sementara konstruksi kerangka konseptual multidisiplin mengenai kualitas lingkungan dan kualitas hidup diperlukan untuk mendorong kemajuan di bidang pengembangan kota, kualitas lingkungan, dan kesejahteraan manusia. Lebih jauh lagi, (McIntyre dan Mills, 2008) menyatakan bahwa pendekatan transdisiplin sangat penting untuk memperoleh kesadaran atau jalan yang lebih besar menembus domain pengetahuan yang kita miliki. Selain itu, yang lebih penting, ia akan membantu politisi membuat keputusan kebijakan yang lebih baik. Intervensi sistemik telah dikenalkan oleh Midgley (2000) yang telah mempraktikkannya dalam sejumlah bidang, yaitu pengembangan layanan perumahan untuk orang tua, perencanaan penanganan bencana, perencanaan dan evaluasi pengawasan khusus bagi penderita gangguan mental (mentally disorder), dan pengembangan penanganan remaja yang kabur dari rumah atau pusat perawatan. Dalam semua kegiatan ini, Midgley melaksanakan penetapan batas (boundary critique) dan keberagaman metodologi (methodological pluralism, yaitu menggabungkan berbagai metoda secara kreatif). Dengan mengaplikasikan soft system methodology, baik tanpa maupun dengan disertai penggunaan metode kuantitatif. Perbedaan antara pendekatan statistik dengan pendekatan sistem dijelaskan oleh (Eriyatno dan Sofyar 2007) bahwa pendekatan statistik adalah tata cara riset yang mapan dan dapat diandalkan terutama dalam lingkungan penelitian yang terkendali ataupun terisolasi (ceteris paribus). Akan tetapi, keandalannya menjadi berkurang bilamana wahana penelitian merambah ke dunia nyata (real world) yang merupakan kombinasi kompleks dari faktor-faktor sosial, kultural, ekonomi, psikologis, legal, dan komunikasi. Di sinilah diperlukan pendekatan sistem. Pengertian model kebijakan adalah rekonstruksi buatan untuk menata secara imajinatif dan mengintepretasikan pengalaman tentang keadaan bermasalah (problematic situation) dalam rangka mendeskripsikan, menjelaskan, dan meramalkan aspek-aspek terpilih dari keadaan bermasalah tersebut dengan maksud memecahkan permasalahannya (Partowidagdo 2004). Klasifikasi model kebijakan berdasarkan tujuannya dapat dibagi atas model deskriptif dan model normatif. Tujuan model deskriptif adalah menjelaskan alasan pemilihan dan atau
34
meramalkan akibat alternatif kebijakan. Tujuan model normatif selain menjelaskan dan atau meramalkan juga memberikan aturan dan rekomendasi untuk mendapatkan penyelesaian yang optimal. Model rekomendasi terdiri atas analisis manfaat biaya, analisis keefektifan biaya, dan analisis multitujuan. Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), pada prinsipnya, analisis dan sintesis terlibat dalam setiap langkah untuk mewujudkan pikiran menjadi substansi. Keduanya saling melengkapi karena untuk mengidentifikasi aktivitas yang murni, analisis/sintesis memerlukan prinsip analisis/sintesis mutu tertentu. Analisis mendominasi studi dan pengetahuan mengenai substansi alamiah dan sistem, sedangkan sintesis mendominasi dalam pengembangan substansi yang konseptual atau artificial. Pendekatan sintesis harus menggunakan pendekatan sistem yang mempunyai
karakteristik
integration,
interdisciplinarity,
interconnectivity,
imaginative, dan holistic. GDM (Group Decision Making) dan FGD (Focus Group Discussion) sudah menjadi prosedur riset yang dapat diandalkan guna mengkaji perihal yang kompleks dan dinamik tanpa harus melakukan reduksi faktor. Penelitian ilmiah yang menggunakan kelompok (group) sebagai sumber ilmiah sekaligus untuk pengembang konsep (Eriyatno dan Sofyar 2007). Penyusunan kebijakan secara kuantitatif dan kualitatif di antaranya dapat dikonstruksikan melalui pendekatan sistem dengan metode perbandingan eksponensial (MPE), interpretative structural modelling (ISM), dan analytical hierarchy process (AHP). (a) Metode MPE Metode perbandingan eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak (Eriyatno dan Sofyar 2007). Teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. MPE akan menghasilkan nilai alternatif yang perbedaannya lebih kontras. Dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu (1) menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih, (2) menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan
35
yang penting untuk dievaluasi, (3) menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, (4) melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada setiap kriteria, (5) menghitung skor atau nilai total setiap alternatif, dan (6) menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif. Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara wawancara dengan pakar atau melalui kesepakatan curah pendapat. Penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing alternatif keputusan akan relatif berbeda secara nyata karena adanya fungsi eksponensial. Metode perbandingan eksponensial mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis. Nilai skor yang menggambarkan urutan prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) ini mengakibatkan urutan prioritas alternatif keputusan lebih nyata. (b) Metode ISM Untuk mempelajari sistem sosial secara menyeluruh dan historis, analisis kebijakan mempunyai kekurangan dalam menetapkan dasar metodologinya. Kebijakan yang dihasilkan masih kurang mendalam untuk menganalisis prediksi dan penyelesaian permasalahan sosial, seperti kemiskinan, huru-hara, SARA, dan polusi. Hal ini karena tidak adanya metodologi penelitian sistem yang menyeluruh di mana komponen-komponennya tidak dapat dipisah-pisahkan (Eriyatno 2003). Berbagai teori kemudian dikembangkan untuk perencanaan strategis di mana informasi kualitatif dan normatif mendominasi input kebijakan. Teori integratif dan interdisiplin ini banyak timbul dari ilmu sistem (system science). Pada tahun 1990-an yang telah dikenal adalah sistem ahli (expert system), total system intervention (TSI), soft system methodology (SSM), decision matrix (ECM dan MICMAC), viable system models (VSM), serta interpretative structural modelling (ISM) sebagai permodelan struktural. Permodelan struktural mencakup dua tahap. Pada tahap pertama, diterapkan suatu alat pembangkit dari sejumlah daftar elemen yang berhubungan dengan perihal yang ditelaah. Tahap kedua terdiri atas pemilihan hubungan-hubungan
36
yang relevan dan suatu alat strukturisasi yang tepat sehingga elemen-elemen tersebut dapat diformasikan. Alat pembangkit (generating tool) yang dapat digunakan adalah (Eriyatno 2003): 1) Diskusi Ahli, di mana melalui proses musyawarah dan brainstroming, ditetapkan daftar elemen oleh para panelis yang terpilih dengan ketat. 2) Expert Survey, melalui in-depth interview dari berbagai pakar lintas disiplin, didapatkan kesimpulan tentang daftar elemen (Brainwriting atau Clinical Interviewing). 3) Metode DELPHI, dengan pengumpulan informasi terkendali, iteratif dan berumpan balik. Teknik ini merupakan yang terbaik untuk pembangkitan pendapat, tetapi prosesnya sangat mahal dan memerlukan waktu lama. 4) Media Elektronik, seperti computerized conferencing, generating graphics atau tele-conference. Sejak tahun 1980-an, telah berkembang metodologi holistik untuk penelitian sistem sosial, yang lebih berorintasi terhadap metode penelusuran daripada teknik penguraian. Metodologi holistik cenderung pada penyusunan konsep dasar dan definisi persoalan, khususnya pada nonlinear multi-feedback loop system, yang mempersyaratkan tindakan (policy action). Metodologi ini dimulai dengan mendefinisikan elemen dari sistem total, struktur, batasannya dan keterkaitannya dengan sistem lainnya. Struktur menggambarkan pengaturan dari elemen-elemen dan hubungan antarelemen dalam membentuk suatu sistem. Struktur adalah dasar dari setiap sistem sebab istilah sistem itu sendiri diturunkan dari dua kata Yunani yang artinya ”menyebabkan tegak bersama” atau ”menempatkan kebersamaan”. Permodelan struktural menghasilkan bentuk grafis dengan mengalokasikan kompleksitas permasalahan dalam tingkatan/level. Model struktur menjabarkan format dan struktur terhadap pengukuran hasil kuantitatif sehingga dapat dipandang sebagai proses permodelan deskriptif dan holistik di mana para pengguna mendapatkan apresiasi menyeluruh terhadap sistem tersebut (the whole greater than just sum of this parts). Setelah dilakukan identifikasi dari hubungan satu sama lain, kemudian model yang terbentuk dikaji secara keseluruhan guna
37
mengembangkan pemahaman total. Oleh karena itu, melalui permodelan struktural, para pengguna model mampu meningkatkan pendalaman yang lebih baik terhadap perilaku sistem secara utuh sehingga akan dihasilkan penetapan prioritas pada tahap kesisteman. Alat strukturisasi (structuring tool) yang populer untuk hubungan tak langsung digunakan teknik interpretative structural modelling (ISM) (Eriyatno 2003). (c) Metode AHP Analytical Hierarchy Process (selanjutnya disebut AHP) adalah salah satu bentuk model pengambilan keputusan yang pada dasarnya berusaha menutupi semua kekurangan dari model-model sebelumnya. Alat utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecah ke dalam kelompok-kelompoknya dan kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki. Perbedaan mencolok antara model AHP dengan model pengambilan keputusan lainnya terletak pada jenis inputnya. Model-model yang sudah ada umumnya memakai input yang kuantitatif atau berasal dari data sekunder. Otomatis, model tersebut hanya dapat mengolah hal-hal kuantitatif pula. Model AHP memakai persepsi manusia yang dianggap ‘expert’ sebagai input utamanya. Kriteria ‘expert’ di sini bukan berarti bahwa orang tersebut haruslah jenius, pintar, bergelar doktor, dan sebagainya, tetapi lebih mengacu pada orang yang mengerti benar permasalahan yang diajukan, merasakan akibat suatu masalah atau punya kepentingan terhadap masalah tersebut. Karena menggunakan input yang kualitatif (persepsi manusia), model ini dapat mengolah juga hal-hal kualitatif di samping hal-hal yang kuantitatif. Pengukuran hal-hal kualitatif, seperti telah dijelaskan di atas, menjadi hal yang sangat penting mengingat makin kompleksnya permasalahan di dunia dan tingkat ketidakpastian yang makin tinggi.