6
kemudian bakteri diratakan dengan menggunakan spreader. Setelah tersebar merata, agar dilubangi dengan diameter ± 5 mm. Ke dalam lubang tersebut dimasukkan residu propolis dalam cairan rumen. Setelah itu, media diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Daerah bening yang terlihat disekeliling lubang menandakan adanya aktivitas antibakteri. Pengambilan volume bakteri tergantung dari absorbannya. Jika absorbannya kurang dari 1, maka bakteri diambil 100 µL, sedangkan bila lebih dari 1 maka bakteri diambil sebanyak 50 µL. Analisis Statistik Analisis statistik yang digunakan dalam pengolahan data adalah rancangan percobaan dua faktor dalam rancangan acak lengkap faktorial in time (Mattjik dan Sumertajaya 2002). Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Yijk = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke k. µ = komponen aditif dari rataan. αi = pengaruh utama faktor A βj = pengaruh utama faktor B (αβ)ij = komponen interaksi faktor A dan faktor B εijk = pengaruh acak yang menyebar normal (0,σ2) Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA (Analysis of variance) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Duncan. Seluruh data dianalisis dengan menggunakan program SAS.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Ekstrak Propolis Propolis yang dihasilkan dari sarang lebah Trigona spp. diekstraksi dengan metode maserasi dengan menggunakan pelarut alkohol 70%. Maserasi adalah teknik ekstraksi yang dilakukan untuk bahan yang tidak tahan panas dengan cara perendaman didalam pelarut dengan lama waktu tertentu (Anggraini 2006). Pemilihan alkohol 70% dibandingkan dengan pelarut lainnya dikarenakan pelarut ini mampu mengekstrak flavonoid yang merupakan senyawa terbanyak dalam propolis (Harbone 1987). Krell (2004) melaporkan bahwa ekstrak alkohol 70% memberikan hasil yang terbaik dalam beberapa penelitian karena memiliki efek antibakteri dan anti jamur. Senyawa
yang berperan sebagai antibakteri dan antijamur adalah golongan flavonoid, alifatik, asam aromatik, ester, dan triterpen (Hady 2001). Semua senyawa tersebut mampu terekstrak dengan baik dalam alkohol 70%, hal ini dikarenakan alkohol 70% bersifat semipolar sehingga semua komponen aktif dengan kepolaran yang berbeda didalam propolis dapat terekstrak (Anggraini 2006). Ekstrak propolis yang diekstrak dengan alkohol 10-20% larut didalam air sedangkan bila menggunakan alkohol absolut maka ekstrak propolis yang dihasilkan lebih larut dalam pelarut organik dan minyak. Senyawa yang terekstrak dalam propolis akan sangat tergantung dari pemilihan jenis pelarut yang digunakan (Sosnowski 1984 dalam Krell 2004). Propolis yang dihasilkan berwarna coklat muda dengan rendemen sebesar 10.6228%. Senyawa dalam resin yang sangat berperan dalam menentukan warna propolis yaitu golongan flavonoid (Woo 2004). Semakin banyak komponen flavonoidnya maka warna propolis akan semakin gelap. Fatoni (2008) menyebutkan bahwa senyawa aktif dalam propolis asal Bukittinggi yang berperan sebagai anti bakteri yaitu flavonoid dan tanin. Senyawa-senyawa dalam propolis akan tetap terjaga bila propolis yang dihasilkan ditempatkan dalam ruang gelap, tidak terkena sinar matahari langsung dan disimpan pada suhu 10-11 0C. Penyimpanan lebih dari 12 bulan akan menghilangkan kemampuan antibakteri sehingga propolis tidak dapat digunakan lagi (Krell 2006). Mikroenkapsulasi Propolis Gelatin dan pati merupakan salah satu bahan yang biasa digunakan dalam teknik penyalutan obat. Harganya yang murah dan mudah didapat menjadikan gelatin dan pati sering digunakan sebagai alternatif bahan penyalut (Rahmawati 2000). Penelitian ini menggunakan maltodekstrin sebagai penyalut propolis. Pemilihan maltodekstrin dikarenakan strukturnya yang lebih pendek dibandingkan pati sehingga pada saat mikroenkapsulasi menghasilkan mikrokapsul yang lebih kering, berukuran seragam, dan tidak lengket. Maltodekstrin (MDE) merupakan gula tidak manis dan berbentuk bubuk berwarna putih dengan sifat larut dalam air. Gula ini dapat dibuat dari hidrolisis pati jagung secara tidak sempurna dengan bantuan asam atau enzim. Gula ini merupakan polimer disakarida terdiri atas D-glukosa yang berikatan terutama dengan ikatan α-1,4 glikosidik (Schenk &
7
Hebeda dalam Yudha 2008). Dalam mikroenkapsulasi, struktur MDE yang berongga akan diisi oleh propolis sehingga senyawa aktif dalam propolis dapat terlindungi oleh MDE. Hal ini sangat penting karena suasana asam dirumen akan mempengaruhi senyawa aktif propolis. Metode yang digunakan dalam pembuatan mikrokapsul yaitu penguapan pelarut. Dalam prosesnya pelarut yang digunakan yaitu air dan propilen glikol akan menguap dengan panas yang digunakan sehingga akan dihasilkan serbuk mikrokapsul. Ukuran mikrokapsul yang dihasilkan dengan metode ini berkisar antara 5-5000 µm (Lachman 1994). Sutriyo et al. (2004) menyatakan bahwa keberhasilan mikroenkapsulasi tergantung dari kecepatan dan lama pengadukan. Pengadukan yang cepat akan menghasilkan ukuran mikrokapsul yang kecil begitu pula sebaliknya. Sutriyo et al. (2004) menggunakan kecepatan pengadukan 3000 rpm selama 3 jam. Hasil uji SEM (Scanning Electron Micrograph) memperlihatkan ukuran partikel mikrokapsul sebesar ± 850 mikron Penelitian ini menggunakan kecepatan pengadukan 120 rpm selama 3 jam dengan suhu vakum 40-50 0C. Proses pengadukan yang lebih lambat dibandingkan penelitian sebelumnya diperkirakan menghasilkan mikrokapsul dengan ukuran yang lebih besar. Mikrokapsul yang dihasilkan berwarna putih kekuningan dengan tekstur kasar. Hasil uji ketahanan mikrokapsul memperlihatkan pelepasan senyawa aktif maksimum pada jam ke 24 baik pada mikrokapsul 4% maupun 2% dosis 390 mg (kapsul 00), sedangkan pada dosis 227 mg (kapsul 1) memperlihatkan pelepasan zat aktif maksimum pada jam ke 3 sampai 12. Mikroenkapsulasi 4% (MK 4%) dan 2% (MK 2%) menggunakan maltodekstrin sebanyak 91% dan 93%. Tidak berbedanya hasil pelepasan zat aktif pada MK 4% dan 2% dikarenakan perbedaan penggunaan bahan penyalut yang tak berbeda jauh. Semakin banyak bahan penyalut yang digunakan maka pelepasan zat aktif akan diperlambat. Prihatiningsih (2004) menyatakan bahwa penggunaan untuk bahan penyalut terhadap obat dengan perbandingan 9 : 1 lebih memperlama proses pelepasan obat dibandingkan formulasi lainnya. Setiadi (2000) yang menggunakan selak sebagai bahan penyalut menyatakan bahwa, semakin
banyak selak yang digunakan dalam formulasinya maka pelepasan senyawa aktifnya dapat diperlambat Perbedaan jumlah dosis akan mempengaruhi banyaknya jumlah bahan penyalut dan senyawa aktif dalam pengisisan sebuah kapsul. Hal ini terlihat dalam penggunaan dosis 390 mg dengan 227 mg MK 4% dan MK 2%. Dosis yang berbeda memperlihatkan pelepasan zat aktif dan diameter zona bening yang berbeda pula. Semakin besar dosisnya maka pelepasan zat aktif dapat diperlambat dan diameter zona bening yang dihasilkan pun lebih besar.
(a) Gambar
(b) 4
Hasil mikroenkapsulasi Mikrokapsul 2%, Mikrokapsul 4%.
(a) (b)
Gambar 5 Diagram pelepasan senyawa aktif mikrokapsul dosis 390 mg terhadap waktu: Mikrokapsul 2% ( ), Mikrokapsul 4% ( ).
Gambar 6 Diagram pelepasan senyawa aktif mikrokapsul dosis 227 mg terhadap waktu: Mikrokapsul 2% ( ), Mikrokapsul 4% ( ).
8
Ketahanan Kapsul Obat-obatan tertentu dapat larut dengan cepat ataupun lambat tergantung dari sediaan formulasi yang digunakan. Sediaan formulasi lepas lambat merupakan salah satu metode yang dimaksudkan agar zat aktif obat melarut dengan kecepatan yang lambat didalam tubuh. Banyak hal yang mendasari pemilihan obat dengan sediaan formulasi lepas lambat yang digunakan, salah satunya yaitu adanya pengrusakan senyawa obat oleh cairan lambung atau dalam ternak yaitu cairan rumen sehingga obat tidak sampai usus dengan baik (Ansel 1989). Untuk melindungi obat dari lingkungan asam lambung tersebut maka digunakan teknik penyalutan obat dengan mikroenkapsulasi dan penggunaan kapsul sebagai pelindung mikroenkapsul. Nilai pH cairan rumen yang digunakan yaitu 8. Hal ini dikarenakan proses pengambilan rumen yang aerob sehingga banyak protozoa dan bakteri anaerob yang mati. Bakteri Escherichia coli bersifat anaerob fakultatif, oleh sebab itu ada atau tidaknya oksigen bakteri ini masih dapat hidup dalam cairan rumen yang digunakan (Pelczar & Chan 1998). Kapsul yang digunakan merupakan tipe B. Kapsul tipe B biasanya dibuat dari tulang dan kulit jangat sapi (Yudha 2008). Selain itu kapsul yang didapat dari PT. Kapsulindo Nusantara ini pun telah terjamin kehalalannya. Penggunaan kapsul gelatin keras diharapkan mampu menahan laju pelepasan obat dikarenakan sifat gelatin yang dapat membentuk gel pada medium berair dengan suhu 30-40 oC (Rahmawati 2000). Gel gelatin yang terbentuk akan melindungi melarutnya zat aktif ke dalam cairan rumen dalam waktu singkat. Secara fisik kapsul gelatin yang digunakan telah larut pada jam ke 3. Adanya aktivitas antibakteri pada jam ke 0 pada kapsul 4% 00 dapat disebabkan karena adanya mikrokapsul propolis pada sela-sela kapsul gelatin pada saat pengisian. Hal ini memungkinkan senyawa aktif propolis telah larut terlebih dahulu sebelum kapsul gelatin hancur. Berdasarkan Gambar 6 memperlihatkan bahwa penggunaan kapsul ternyata tidak mampu menahan laju pelepasan obat sampai jam ke 24. Hal ini dapat dilihat dari ukuran zona bening pada jam ke 24 Mikrokapsul 4% (MK 4%) dan kapsul 4% (KP 4%) yang tidak berbeda jauh. Uji statistik menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan dan waktu terhadap diameter zona bening tidak berbeda nyata.
Semakin besar diameter zona bening menandakan semakin banyak mikrokapsul yang larut didalam cairan rumen. Hal ini menunjukkan bahwa penggunan kapsul tidak akan mempengaruhi pelepasan senyawa aktif propolis sehingga penggunaan kapsul pada sediaan propolis hanya untuk melindungi rasa dan bau propolis serta memudahkan penggunaan secara oral. Oleh sebab itu, mikroenkapsulasi memegang peranan penting dalam proses sediaan lepas lambat.
Gambar 7 Diagram pelepasan senyawa aktif Mikrokapsul 4% dan Kapsul 4% 00 terhadap waktu: Mikrokapsul 4% ( ), Kapsul 4% 00 ( ). Kelarutan Senyawa Aktif Banyak faktor yang mempengaruhi cepat atau lambatnya mikrokapsul larut didalam tubuh diantaranya luas permukaan mikrokapsul propolis. Ada 2 faktor yang dapat dimodifikasi untuk mengendalikan kecepatan disolusi yaitu luas permukaan efektif obat dan kelarutan obatnya (Parrot 1970 dalam Rahmawati 2000). Dalam penelitian ini mikroenkapsulasi memegang peranan penting karena proses pembuatannya mempengaruhi ukuran dan bentuk mikrokapsul. Semakin kecil ukuran mikrokapsul maka luas permukaannnya semakin besar sehingga kemampuan untuk melarutnya pun semakin baik (Ansel 1989). Gambar 8 memperlihatkan adanya variasi diameter zona bening dalam rentang waktu 0 sampai 24 jam terhadap berbagai konsentrasi. Perbedaan ukuran kapsul 00 dengan 1 terletak pada dosis obat yang diberikan. Kapsul 00 mengandung 390 mg mikrokapsul propolis sedangkan kapsul 1 mengandung 227 mg mikrokapsul propolis. Banyaknya jumlah dosis yang berikan maka zona bening yang terlihat akan semakin besar. Anggraini (2007) menyatakan bahwa semakin banyak propolis yang digunakan maka aktivitas antibakterinya semakin besar.
9
Untuk sediaan lepas lambat, zat aktif setidaknya baru larut dalam tubuh 3 sampai 9 jam setelah pemberian obat pada manusia (Ritschel 1992 dalam Rahmawati 2000). Hal ini terlihat dari penggunaan ampisilin sebagai kontrol positif. Absorpsi ampisilin pada pemberian peroral umumnya berlangsung selama 2 jam, tetapi jumlah ampisilin yang diabsropsi sangat bervariasi (20 - 70% dosis). Absorpsi ampisilin yang tidak sempurna ini disebabkan oleh sifatsifat amfoternya serta keterbatasan kelarutan dalam air dan kecepatan disolusinya (Ringoringo et al. 2008). Oleh sebab itu, penggunaan ampisilin sebagai pemacu pertumbuhan pada sapi tidak efektif karena makanan baru akan masuk ke usus halus sapi setelah di mamah biak selama 9-12 jam (Murwarni 1989 dalam Arora 1989). Selain tidak efektif, penggunaan ampisilin yang berlebihan pada sapi akan meningkatkan residu antibiotik pada daging dan susu. Residu antibiotik yang biasa ditemukan pada susu diantaranya sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, dan streptomisin (Agarwal 1992 dalam Rahayu 2007). Pelepasan senyawa aktif pada kapsul 2% dan 4% ukuran 1 dan 2% ukuran 00 serta propolis Merk-X terjadi pada jam ke 9. Hal ini menunjukkan bahwa keempat kapsul tersebut dapat diaplikasikan ke sapi. Hal yang berbeda ditunjukkan pada penggunaan kapsul 4% 00 pada jam ke 24. Terlalu lamanya pelepasan senyawa aktif propolis menyebabkan propolis lama bekerja sebagai antibakteri sehingga jika diaplikasikan ke sapi hasilnya kurang maksimal.
Efektivitas Penghambatan Mikrokapsul Propolis Terhadap Propolis Merk-X Kemampuan suatu senyawa sebagai antibakteri dipengaruhi oleh konsentrasi antibakteri, jumlah bakteri, dan jenis bakteri yang digunakan (Pelzczar & Chan 1988). Semakin besar konsentrasi antibakteri maka daya hambatnya pun semakin besar. Hal ini terlihat dari hasil penelitian. Penggunaan dosis yang lebih besar menghasilkan diameter zona bening yang lebih besar pula. Jika dibandingkan, kapsul 2% dan 4% 00 memiliki efektivitas yang lebih besar dari propolis Merk-X yaitu 808.0952% dan 591.4286%. Hal ini berbeda dengan kapsul 2% dan 4% 1 yang memiliki efektivitas yang lebih kecil yaitu 290.4762% dan 236.3492%. Berdasarkan uji statistik, efektivitas berbagai ukuran kapsul dan konsentrasi propolis tidak berbeda nyata terhadap propolis Merk-X kecuali pada kapsul 2% 00, artinya penggunaan kapsul 4% dan 2% 1 serta 4% 00 akan memiliki efek antibakteri yang sama dengan propolis Merk-X. Senyawa aktif yang berperan sebagai antibakteri yaitu flavonoid. Mekanisme flavonoid menghambat pertumbuhan bakteri yaitu dengan menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel, mikrosom dan lisosom. Selain itu gugus hidroksil pada gugus flavonoid dapat menyebabkan perubahan komponen organik dan transpor nutrisi yang akhirnya akan mengakibatkan timbulnya efek toksik bagi bakteri (Carlo et al. dalam Sabir 2005).
Gambar 9 Efektivitas penghambatan kapsul propolis terhadap propolis MerkX: Kapsul propolis ( ) Propolis Merk-X ( ). Gambar 8 Diagram pelepasan senyawa aktif berbagai kapsul: Aquades ( ), Kapsul 4% 00 ( ), Kapsul 2% 00 ( ), Kapsul 4% 1 ( ), Kapsul 2% 1 ( ), Propolis Merk-X ( ), Ampisilin ( ).
Efektivitas Penghambatan Kapsul Berisi Propolis Terhadap Ampisilin Ampisilin bekerja dengan menghambat pembentukan peptidoglikan di dinding sel. Struktur beta laktam akan terikat pada enzim
10
transpeptidase yang berhubungan dengan molekul peptidoglikan bakteri, dan hal ini akan melemahkan dinding sel bakteri ketika membelah. Dengan kata lain, antibiotika ini dapat menyebabkan perpecahan sel ketika bakteri mencoba untuk membelah diri (Anonim 2008). Efektivitas kapsul berisi propolis terhadap ampisilin 500 mg berturut-turut untuk kapsul 4% 00, 2% 00, 4% 1, dan 2% 1 adalah 54.0313%, 73.8254%, 26.5271%, dan 21.5922%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa diameter penghambatan kapsul berisi propolis berbagai konsentrasi dan ukuran terhadap ampisilin berbeda nyata, artinya penggunaan ke-4 kapsul tidak akan menghasilkan efek antibakteri yang sama terhadap ampisilin. Siswandono dan Soekarjo (1995) menyatakan bahwa penghambatan ampisilin terhadap bakteri E. coli dengan cara menembus membran terluar selubung bakteri secara difusi pasif melalui saluran yang terbentuk oleh pori protein. Ampisilin nantinya akan menyerang enzim serin protease yang berperan dalam biosintesis dinding sel.
mampu menahan lepasnya zat aktif sampai jam ke 24. Kapsul 4% dan 2% ukuran 1, 2% ukuran 00 dan propolis Merk-X dapat diaplikasikan ke sapi tetapi tidak untuk kapsul 4% ukuran 00 dan ampisilin. Saran Perlu dilakukan pengujian dengan menggunakan ukuran kapsul yang lebih kecil guna melihat keefisienan bahan. Dapat digunakan metode mikroenkapsulasi dengan penyalut selain maltodekstrin sebagai bahan penyalut mikrokapsul. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan secara in vivo pada sapi.
DAFTAR PUSTAKA Anggraini AD. 2006. Potensi propolis lebah madu Trigona spp. sebagai bahan antibakteri [skripsi]. Bogor: Program Studi Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. [Anonim]. 2008. Antibiotika. http://en.wikipedia.org/wiki/antibiotika. html. [14 Maret 2008]. [Anonim]. 2008. Escherichia coli. http://en.wikipedia.org. html [16 Maret 2008]. Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Farida I, penerjemah: Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Introduction to Pharmaceutical Dosage Form. Arora SP. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Yogyakarta: UGM Pr. Brown’s R. 1993. Bee Hive Product Bible. Pennsylvania: Paragon Pr.
Gambar 10 Efektivitas penghambatan kapsul propolis terhadap Ampisilin: Kapsul propolis ( ) Ampisilin ( ).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Rendemen propolis yang dihasilkan dari ekstraksi yaitu 10.6228%. Mikrokapsul propolis yang dihasilkan berwarna kuning kecoklatan dengan tekstur kasar. Kapsul yang digunakan ternyata tidak mampu menahan lepasnya senyawa aktif propolis tetapi kapsul dapat diaplikasikan untuk melindungi rasa dan bau propolis serta memudahkan dalam pemberian secara oral pada sapi. Mikrokapsul yang dihasilkan
Dharmayanti NLP, Sulistyowati E, Tejolaksono MN, Prasetya R. 2000. Efektifitas pemberian propolis lebah dan royal jeli pad abses yang disebabkan Sthapylococcus aureus. Berita Biologi 5: 41-48. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fatoni A. Pengaruh propolis Trigona spp asal Bukittinggi terhadap beberapa bakteri usus halus sapi dan penelusuran komponen aktifnya [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 2008. Feighner
SD,
Dashkevicz
MP.
1987.