E- Newsletter TI-Indonesia
Edisi VII - Volume VIII -November 2011 Salam Redaksi hal..2 Headline Urgent, Reformasi Tata Kelola Kehutanan hal..3 Special Section Capim KPK Di Ujung Tanduk hal..4 Berita Kegiatan Studi Praktik di Kolombia: Pencegahan Korupsi di Sektor Bisinis hal..4 Analisis Isu Upaya Pelemahan KPK hal..5 Rilis Media Indonesia 4 Besar Suap Terbanyak di Dunia hal..6 Forestry Pelatihan Antikorupsi REDD+ hal..7 Forestry Korupsi Kehutanan Riau Rp. 2 Triliun hal..7 Berita Kegiatan SPEAK Unjuk Gigi@america hal.8 Berita Kegiatan Cerita Dibalik Casting hal..9 Berita Kegiatan Komunitas Kemijen: Embrio Forum Deliberatif hal..9 Opini Kabinet Presiden(Sial) hal..10 Agenda Kegiatan Hal.11 Album Kegiatan Hal.11 Tribute Hal.12
febridiansyah.wordpress.com Dok. TI-Indonesia
Salam Redaksi
Salam Redaksi Para pembaca setia e-Newsletter Transparansi, pada edisi ini Transparansi kembali hadir menyapa anda. Transparansi menurunkan berita utama tentang pentingnya reformasi tata kelola kehutanan. Pada bulan ini, TI Indonesia meluncurkan hasil penelitian tentang Integritas dalam Tata Kelola Kehutanan. Sebelumnya Forestry Departement juga mengadakan pelatihan anti korupsi REDD+ bagi masyarakat sipil. Selain itu, Transparansi juga menyoroti adanya upaya pelemahan KPK. Proses seleksi pimpinan KPK yang dilakukan oleh Pansel hingga Fit and Proper Test di DPR juga menjadi salah satu kabar yang kami turunkan pada edisi ini. Sementara itu, di rubrik kegiatan mengangkat cerita tentang studi kolektif di Kolombia yang membahas peringkat Indonesia dalam hal tingkat kompetisi bisnis dengan posisi ke-60 dari 102 negara di dunia. Ada juga workshop kreatif SPEAK di @America, yang mengajak anak muda untuk menjadi agen perubahan dalam melawan korupsi. Berikutnya ada cerita dibalik casting 4 film anti korupsi sebagai bagian dukungan masyarakat sipil terhadap pemberantasan korupsi oleh KPK. Dalam edisi ini kami menurunkan juga pers rilis tentang peluncuran Bribe Payers Index 2011 (BPI 2011). BPI 2011 merupakan hasil survei yang dilakukan secara berkala oleh Transparency International. Survei BPI dilakukan terhadap 28 negara berdasarkan 4 kriteria. Survei BPI melibatkan 3.016 eksekutif bisnis yang tersebar di 30 negara di seluruh dunia. Dari daerah, Transparansi menurunkan berita tentang komunitas Kemijen di Semarang. Komunitas warga yang turut mengawasi pembangunan proyek-proyek di lingkungan kelurahan Kemijen. Opini Reza Syawawi tentang penyikapan terhadap perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II turut menghiasi kolom Transparansi. Fokus opini ini terletak pada signifikansi reshuffle kabinet pada kementerian-kementerian. Justru kementerian yang tidak terindikasi korupsi tidak menjadi prioritas pada reshuffle ini. Akhirnya, kami tim redaksi Transparansi mengucapkan selamat membaca dan semoga informasi yang kami berikan bermanfaat bagi pembaca sekalian. Redaksi
2
2011 - 10
Transparency International Indonesia (TII) merupakan salah satu chapter Transparency International, sebuah jaringan global NGO antikorupsi yang mempromosikan transparansi dan akuntabilitas kepada lembaga-lembaga negara, partai politik, bisnis, dan masyarakat sipil. Bersama lebih dari 90 chapter lainnya, TII berjuang membangun dunia yang bersih dari praktik dan dampak korupsi di seluruh dunia. TII memadukan kerja-kerja think-tank dan gerakan sosial. Sebagai think-tank TII melakukan analisis kebijakan, mendorong reformasi lembaga penegak hukum, dan secara konsisten melakukan pengukuran korupsi melalui Indeks Persepsi Korupsi, Crinis project, dan berbagai publikasi riset lainnya. Di samping itu TII mengembangkan Pakta Integritas sebagai sistem pencegahan korupsi di birokrasi pemerintah. Sebagai gerakan sosial, TII aktif terlibat dalam berbagai koalisi dan inisiatif gerakan antikorupsi di Indonesia. TII juga merangkul mitra lembaga lokal dalam melaksanakan berbagai program di daerah. Jaringan kerja ini juga diperluas dengan advokasi bahaya korupsi kepada anak-anak muda di Jakarta. Staf TII terdiri dari beragam latar belakang, mulai dari hukum, ekonomi, komunikasi, ilmu politik, ilmu pemerintahan, antropologi, hingga sains, masingmasing dengan keahliannya yang saling bersinergi untuk mendorong kemajuan kerja-kerja advokasi TII.
Headline
Dok. TI-Indonesia 2011
Urgent, Reformasi Tata Kelola Kehutanan Pengelolaan hutan di Indonesia sarat dengan praktek korupsi yang mengakar dan sistemik. Dengan suap sebagai modus utamanya, korupsi telah menjadi faktor pemicu peningkatan deforestasi dalam satu dekade terakhir (tahun 2000-2010) yang menurut Departemen Kehutanan menyebabkan kerugian negara 3 sampai 4,5 milyar USD per tahun.
sertifikasi kayu juga turut menyuburkan praktek korupsi.” Di Aceh resiko korupsi berada disepanjang rantai produksi, dari proses perolehan perizinan, operasi penebangan kayu, sampai dengan penegakan aturan hukum. “Untuk mendapatkan izin dan pengelolaan lahan, suap ikut berperan penting” tegas Ilham Sinambela koordinator FGI Aceh.
Demikian diungkap Utami NH, project manager Forest Government Integrity (FGI), Transparency International Indonesia dalam launching penelitian terhadap Integritas dalam Tata Kelola Kehutanan di Seknas TI I Senayan Bawah (25/11).
Di Papua lemahnya kebijakan dan penegakan hukum menyuburkan praktek korupsi di sektor kehutanan. Kurangnya kapasitas sumberdaya manusia di lembaga pemerintah untuk memantau kegiatan pengelolaan hutan, sehingga pemalsuan dokumen atau laporan seperti Penilaian Dampak Lingkungan (AMDAL) lebih sering terjadi. Dalam segi tata peraturan kehutanan juga terjadi benturan dengan undang-undang lain, seperti UU Otsus.
“Korupsi terjadi mulai dari peraturan-perundangan, perizinan, proses teknis pemanfaatan hasil hutan, hingga penegakan hukum,” tambahnya. “Aktor yang terlibat cukup banyak, mulai dari level legislatif, kementerian kehutanan, pengusaha, kepolisian, kejaksaan, hingga dinas kehutanan di daerah.” Penelitian berlangsung sepanjang tahun 2010 di wilayah yang memiliki hutan alam yang relatif besar di Riau, Aceh dan Papua yaitu hampir mencapai 29% dari seluruh hutan di Indonesia. Metodologi yang digunakan dalam studi ini berasal dari Manual Analisa Korupsi di sektor kehutanan (Analysis of Corruption in the Forestry Sector) yang dibuat oleh Transparency International untuk mengidentifikasi modus korupsi bagi tata kelola hutan. Metode pengumpulan data melalui studi literatur tentang peraturan dan implementasi yang ada dan konsultasi dengan para pemangku kepentingan untuk menilai peluang korupsi dan risikonya. Raflis koordinator FGI wilayah Riau menyatakan bahwa praktek suap di sektor kehutanan Indonesia ditemukan pada semua lini, mulai dari rantai regulasi, rantai perizinan, produksi kayu, penegakan hukum, hingga penerimaan negara dari hasil hutan. “Di Riau praktek korupsi berupa suap dimulai dari rantai kebijakan, perizinan, hingga penegakan hukum. Selain itu rantai suplai dan
3
2011 - 10
Korupsi kehutanan, selain berdampak buruk bagi lingkungan dan mengurangi pendapatan negara, juga telah menyebabkan dampak sosial yang cukup besar, diantaranya menghalangi akses masyarakat lokal terhadap sumber daya alam. Dampak sosial lainnya terlihat dalam perencanaan izin konsesi yang sering menyulut konflik diantara pemegang izin konsesi dan masyarakat lokal, yang bahkan dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak asasi manusia. Kelalaian pemegang izin konsesi dalam mematuhi undang-undang dan peraturan telah mengindikasikan korupsi telah terjadi sejak awal dalam proses penerbitan izin. Menghadapi situasi ini, TI Indonesia menegaskan pentingnya reformasi komprehensif untuk menutup celah korupsi sektor kehutanan. Reformasi tersebut mencakup penertiban regulasi yang tumpangtindih, transparansi dalam proses perizinan, perbaikan penegakan hukum, perbaikan mekanisme sertifikasi kayu, hingga pelibatan masyarakat dalam pemantauan tata kelola kehutanan.[MIS]
Special Section
Capim KPK di Ujung Tanduk Tidak sekali ini saja keteguhan KPK diuji. Berbagai manuver yang memojokkan, baik formal kelembagaan maupun lewat pembentukan opini publik, menjadi bagian dari dinamika perjalanan institusi tersebut. Bahkan, sikap DPR yang "kurang bersahabat" sering kali kita lihat sebagai upaya legislasi untuk melemahkan kewenangan komisi. Upaya pelemahan terhadap KPK ditunjukkan dengan memperlambat proses pemilihan pimpinan KPK. Proses panjang di tahapan Panitia Seleksi seperti dimentahkan dengan memaksakan “harus” 10 calon dan bukan 8 orang seperti yang dikirimkan oleh Pansel KPK. Beberapa fraksi yang memaksa meminta 10 nama diantarannya adalah Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai
Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah sangat jelas menerangkan bahwa pimpinan KPK, baik yang diangkat sejak awal secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang menggantikan pimpinan yang berhenti pada masa jabatannya adalah empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. DPR hanya memiliki waktu kurang dari satu bulan (dikurangi masa reses) untuk melakukan proses terhadap delapan calon Komisioner KPK. Patut diragukan DPR dapat menyelenggarakan proses yang akuntabel dan transparan dalam waktu kurang dari satu bulan.
Dok. TI-Indonesia
Proses pemilihan pimpinan KPK di DPR bukanlah tahapan akhir, masih tersisa dua tahapan berikutnya yang harus dilewati, yaitu penyerahan nama pimpinan KPK terpilih kepada Presiden (7 hari kerja) dan penetapan oleh Presiden (30 hari kerja). Sehingga apabila DPR abai terhadap waktu 90 hari yang dimilikinya, maka berpotensi menimbulkan konsekuensi yang lebih besar, yaitu penetapan 4 pimpinan KPK periode 2011-2015 yang seharusnya sudah dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 2011 akan terlewati. Kondisi tersebut akan menimbulkan kekosongan pimpinan KPK yang sangat berpotensi melemahkan KPK dan tentunya sangat kontraproduktif terhadap agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.[AS]
Studi Praktik di Kolombia:
Pencegahan Korupsi di Sektor Bisnis Berdasarkan Global Competitive Report (GCR) yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF) pada tahun 2006-2007 peringkat Indonesia dalam hal tingkat kompetisi bisnis berada pada posisi ke-60 dari 102 negara di dunia. Peringkat ini menempatkan Indonesia di atas Filipina (64) dan berada di bawah Malaysia (26). Pada laporan tersebut kondisi infrastruktur yang buruk menjadi faktor paling menghambat iklim penanaman modal di Indonesia. Dalam laporan tersebut terlihat bahwa infrastruktur buruk memiliki nilai 20.5 dan menempati peringkat paling buruk pertama dari 14 indikator, sementara korupsi memiliki nilai 4.2 dan menempati peringkat ke9. Sejak saat itu perbaikan infrastruktur menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Perbaikan infrastruktur ditetapkan sebagai prioritas nasional dalam Nota Keuangan tahun 2007. Konsekuensinya, pemerintah pusat melalui kebijakan fiskal mendorong belanja untuk percepatan investasi publik di bidang infrastruktur. Pada tahun 2011-2012 peringkat Indonesia dalam hal tingkat kompetisi bisnis menunjukkan kinerja yang cukup baik. Indonesia berada pada posisi 46 dari 142
4
2011 - 10
negara di dunia. Peringkat ini menempatkan Indonesia di atas Filipina (75) dan berada di bawah Malaysia (21).
tingkat kompetisi bisnis yang baik tanpa korupsi saat ini memiliki kesamaan dengan Kolombia sebelum tahun 2005. Pada tahun tersebut Kolombia memiliki IPK yang Berdasarkan GCR yang dirilis oleh WEF (2011) cenderung menaik dengan skor 3.8. Angka ini infrastruktur tidak lagi menjadi faktor yang paling menempatkan Kolombia pada peringkat 60 menghambat tingkat kompetisi bisnis di diantara 160 negara di dunia. Indonesia. Infrastruktur buruk memiliki nilai 9.5 Didorong oleh kebutuhan dan kejenuhan akan dan menempati posisi ketiga dari 14 indikator. praktik birokrasi korup, pelaku bisnis yang Ada indikasi kuat bahwa upaya pemerintah dalam tergabung dalam ACODAL1 bersama perbaikan infrastruktur menjadi salah satu faktor memulai sebuah peningkatan kompetisi bisnis global Indonesia inisiatif aksi kolektif untuk mencegah perilaku saat ini. korupsi di sektor bisnis melalui sertifikasi bisnis tanpa korupsi. Namun, indikasi baik perbaikan infrastruktur ini tidak diikuti dengan penurunan praktik korupsi. Transparency International Indonesia (TII) Berdasarkan GCR korupsi justru memiliki nilai 15.4 melalui saat ini dan naik sebesar 11.2 poin dan menempati sedang melakukan penelitian tentang Aksi peringkat paling buruk pertama dari 14 indikator. Kolektif Pencegahan Korupsi di Sektor Bisnis. Peringkat korupsi tumbuh sangat pesat dengan Melalui penelitian ini TII berusaha untuk pertumbuhan sekitar 53 persen per tahun. menemukan model terbaik yang dapat Fakta terkait infrastruktur dan korupsi di atas menunjukkan perbaikan infrastruktur tidak mengurangi praktik korupsi. Hal ini menguatkan dugaan yang mengatakan bahwa dalam upaya meningkatkan tingkat kompetisi bisnis melalui peningkatan infrastruktur,para pelaku bisnis dan pejabat publik secara bersama-sama mempraktikkan bisnis yang koruptif. Problematika Indonesia dalam menciptakan
diterapkan dalam penanggulangan upaya pencegahan korupsi di sektor bisnis dengan mempromosikan Aksi Kolektif Pencegahan Korupsi di Sektor Bisnis. Belajar dari pengalaman Kolombia yang telah lebih dulu mempromosikan aksi kolektif Pencegahan Korupsi di Sektor Bisnis, TII memiliki tujuan untuk menciptakan lingkungan bisnis tanpa korupsi di Indonesia. [WYD]
Analisis Isu
Upaya Pelemahan KPK Setelah kriminalisasi Bibit-Chandra beberapa waktu lalu, eksistensi KPK yang dibentuk berdasarkan UU No. 30/2002 kembali mendapatkan ujian. Kasus suap Proyek Pembangunan Wisma SEA Games di Kementerian Pemuda dan Olah Raga membawa kembali lembaga antikorupsi ini mendapat serangan. Masih hangat dalam ingatan, upaya pelemahan KPK begitu sistematis dan mulai dilakukan oleh para pihak yang tidak senang atas keberadaan KPK, diantaranya pada saat muncul wacana RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) untuk mengatur kewenangan penyadapan yang dimiliki oleh KPK. Disusul kemudian adanya PERPPU sebagai payung hukum untuk mengangkat pejabat pengganti posisi pimpinan KPK yang kosong karena berada dalam tahanan akibat kriminalisasi Bibit-Chandra dan hiruk pikuk polemik yang mempertanyakan eksistensi KPK sebagai lembaga superbody. Indikasi pelemahan KPK, kali ini, muncul dari anggota DPR Komisi III, dengan dalih mengatasnamakan hukum, menolak duo Bibit-Chandra untuk hadir di Rapat Kerja DPR - KPK sebagai buntut dari usaha kriminalisisasi Bibit-Chandra. Mereka menyatakan bahwa dengan dilakukannya pengenyampingan perkara (deponeering) oleh Jaksa Agung atas kasus Bibit-Chandra justru menjadikan status hukum BibitChandra tidak jelas dan status tersangka atas keduanya masih menempel. Menurut penafsiran mereka, deponeering tidak menghapuskan tindak pidana yang disangkakan, namun semata hanya tidak meneruskan proses penuntutan. Upaya sistematis berikutnya adalah munculnya wacana Revisi UU KPK oleh Komisi III DPR. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mencatat sepuluh poin upaya pelemahan KPK. Pertama, tumpang tindih dan "rebutan" perkara korupsi antar institusi penegak hukum; kedua, prosedur KPK melakukan penyadapan; ketiga, kewenangan menerbitkan SP3.
5
2011 - 10
Keempat, efektifitas pelaksanaan tugas KPK dan kemungkinan peninjauan ulang kewenangan KPK; kelima, peningkatan fungsi pencegahan KPK; keenam, pelaksanaan koordinasi dan monitoring KPK terhadap penyelenggaraan pemerintahan; ketujuh, mekanisme pergantian antar waktu pimpinan KPK; kedelapan, efektifitas atau rencana peninjauan konsep kolektif dalam pengambilan keputusan KPK; kesembilan, kemungkinan KPK mempunyai penyidik sendiri; dan yang terakhir adalah persoalan perwakilan KPK di daerah.
Selain melalui system, serangan via opini juga dilakukan oleh kalangan DPR. Pendapatpendapat pribadi dari anggota DPR juga turut memperkuat sinyal pelemahan KPK. Sebagai contoh pada saat Ketua DPR secara sinis mempertanyakan keberadaan dan kinerja KPK pasca terungkapnya kasus suap Proyek pembangunan wisma Atlet – Kemenpora. Sinyalemen Marzuki Ali menunjukkan dua hal, pertama sebagai kader PD, terlihat adanya kekhawatiran kasus suap tersebut akan menyeret berbagai nama kader PD yang disebut oleh Nazarudin, kedua pernyataan tersebut memiliki gaung yang cukup besar karena disampaikannya dalam kapasitas sebagai Ketua DPR. Seolah pertunjukan konser para politisi, pernyataan ketua DPR makin mengkristal kala Rapat Dengar Pendapat antara Komisi III DPR dengan KPK pada tanggal 3 Oktober 2011, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR RI, Fahri Hamzah melontarkan pernyataan yang cukup
mengejutkan terkait pembubaran KPK. Meski dihujani kecaman bertubi-tubi, Wakil Ketua Komisi III Bidang Hukum DPR dari Fraksi PKS ini, tetap bersikukuh pada pendiriannya. Dia bahkan menantang para pengritiknya untuk berdebat soal pendapatnya tentang perlunya pembubaran KPK. Menurutnya, selama ini KPK sudah menjadi institusi yang sulit dikritik sehingga sangat sulit juga disalahkan. Itu terbukti, dari delapan pejabat KPK, Komite Etik menjatuhkan putusan bebas terhadap empat orang dan empat lagi hanya dianggap melakukan pelanggaran ringan. Pasca kasus suap proyek pembangunan wisma atlet mencuat ke publik. Menurut Fahri juga, tuduhan Nazaruddin sudah sangat jelas, bahwa sejumlah pejabat KPK melakukan pelanggaran etika yaitu melakukan pertemuan dengan pihak-pihak di luar institusi antikorupsi. Mereka juga diduga terlibat dalam kesepakatan mengamankan kasus tertentu. Namun demikian, Mustafa Kamal dan Lutfi Hasan (PKS), serta Yusuf Supendi mantan pendiri PKS menyatakan pendapat Fahri Hamzah tentang pembubaran KPK adalah pendapat individu dan bukan merupakan pendapat fraksi PKS. Atas berbagai upaya pelemahan, baik yang sistematis maupun secara pribadi, KPK membentuk Tim Analisis dan Advokasi. Tim ini berfungsi untuk melakukan penelitian dan memberikan kontra argumen yang berkenaan dengan segala upaya pelemahan terhadap lembaga antikorupsi tersebut. Namun demikian, upaya itu saja tidak cukup. Harus ada upaya bersama dari semua elemen masyarakat untuk menyelamatkan KPK. Karena praktek tercela KKN masih secara masif terjadi di Indonesia. Heni Yulianto, Procurement Specialist Transparency International Indonesia
Rilis Media
Jakarta, 3 November 2011. Bribe Payer Index (BPI 2011) merupakan hasil survei yang dilakukan secara berkala oleh Transparency International. Survei BPI dilakukan terhadap 28 negara, yang secara kumulatif berperan signifikan terhadap perekonomian dunia, dengan total rasio (FDI) dan ekspor global sebesar 78%. Negara yang terpilih untuk disurvei BPI 2011 ditentukan berdasar empat kriteria. Pertama, keterbukaan perdagangan (diukur dengan arus keluar FDI ditambah ekspor). Kedua, komparabilitas data. Ketiga, status keanggotaan G20. Keempat, signifikansi perdagangan. Survei BPI melibatkan 3.016 eksekutif bisnis yang tersebar di 30 negara di seluruh dunia.
menghambat bisnis di Indonesia. Berdasarkan jenis tindak pidana korupsi berbentuk suap memiliki peringkat paling tinggi kedua setelah tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa dengan persentase sebesar 29 persen (Laporan Tahunan KPK, 2010).
Di saat yang sama estimasi FDI yang masuk di Indonesia mencapai 32.20 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) (World Factbook, 2011). Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-14 negara-negara penerima investasi terbesar di dunia. Sayangnya, potensi masuknya investasi asing yang relatif besar ini tidak diikuti dengan kemudahan berusaha di Indonesia. Berdasarkan Doing Business (DB, 2011) peringkat kemudahan berusaha Indonesia turun dua peringkat dari tahun 2011 dan menduduki posisi BPI 2011 memotret praktek suap yang 129. Tingginya BPI 2011 Indonesia dilakukan oleh pelaku usaha terhadap mengindikasikan bahwa praktik bisnis di penyelenggara negara di luar negara (bribe to Indonesia relatif berpotensi biaya tinggi akibat foreign official) domisili kelompok bisnis seringnya pengusaha melakukan suap. Kombinasi tersebut. Responden dari survei ini adalah antara peningkatan peringkat kompetisi global pelaku bisnis dari 28 negara terpilih. Para responden tersebut diminta untuk memberikan dan penurunan kemudahan berusaha memungkinkan naiknya permintaan atau penilaian tentang seberapa sering mereka penawaran atas praktik suap di Indonesia. melakukan suap di negara-negara dimana responden tersebut memiliki hubungan bisnis. Rentang penilaian bernilai 0 hingga 10. Negara Beberapa contoh kasus penyuapan internasional yang terjadi di Indonesia sudah terungkap. yang mencetak nilai maksimum 10 berarti Perusahaan Siemens dari Jerman yang terkena bahwa perusahaan-perusahaan dari negara hukuman denda sebesar 201 juta Euro karena tersebut tidak pernah melakukan suap, sebaliknya jika negara tersebut mencetak nilai 0 melakukan penyuapan untuk memenangkan tender-tender proyek di luar negeri, salah satunya berarti perusahaan dari negara tersebut selalu dalam proses pembangunan PLTU Paiton II di selalu melakukan suap. Jawa Timur pada tahun 2007. Kasus penyuapan yang dilakukan oleh perusahaan Innospec Indonesia pada tahun 2011 memiliki BPI terhadap beberapa pejabat publik di Indonesia sebesar 7.1 (dari rata-rata 7.8). Indeks ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-25 berkaitan dengan penggunaan bahan kimia TEL dari 28 negara. Negara dengan indeks terendah dalam produk BBM di Indonesia telah terungkap beberapa tahun yang lalu, namun sampai saat ini dalam BPI 2011 adalah Rusia (6,1) dan Cina kelihatannya belum ditindak lanjuti oleh KPK. (6,5). Indonesia sendiri ada pada urutan keempat terbawah dengan skor 7,1, dibawah Meksiko (7,0). Selain melaporkan frekuensi supa Yang terkini, perusahaan tambang tembaga dan emas dilaporkan oleh dinegara yang di survei BPI juga melaporkan praktik suap yang terjadi pada beberapa sektor United Steelworkers di Amerika kepada US Department of Justice karena terindikasi usaha tertentu. Praktik suap yang dilakukan melakukan pembayaran ilegal kepada aparat oleh pengusaha paling banyak dilakukan di keamanan Indonesia. Laporan ini didasari pada sektor-sektor pekerjaan umum dan konstruksi pernyataan pejabat Polri baru-baru ini tentang dengan skor sebesar 5.3 (dari rata-rata 6.6). pembayaran yang secara reguler dilakukan oleh PT Freeport Indonesia (subsidiary Freeport Berdasarkan McMoRan di Indonesia) kepada polisi. Hal ini 2011-2012 (GCR 2011) korupsi dilaporkan menjadi faktor yang paling menghambat menurut laporan berpotensi penyelenggaraan bisnis di Indonesia. Korupsi melanggar undang-undang Amerika Serikat memiliki nilai sebesar 15,4 pada tahun 2011. mengenai penyuapan luar negeri, atau Nilai tersebut naik sebesar 11,2 poin dari tahun 2007 yang hanya sebesar 4,2. Kenaikan tersebut menempatkan korupsi pada peringkat Sebagai pihak yang telah meratifikasi UNCAC, Indonesia belum mengadopsi semua artikel paling buruk dari 14 faktor yang paling
UNCAC dalam UU Tipikor. Misalnya, Pasal 16 UNCAC mengatur tentang suap pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional. Pasal tersebut belum diadopsi dalam UU Tipikor, karena sejauh ini hanya dapat menjangkau penyelenggara negara dalam negeri. Pasal 5 UU No. 20/2001 membatasi tindak pidana suap yang melibatkan penyelengggara negara sementara lembaga internasional di Indonesia, swasta nasional, swasta internasional di Indonesia, dan lembaga swadaya masyarakat belum diatur dalam UU Tipikor. Pasal 21 UNCAC tentang suap di sektor swasta juga belum diadopsi dalam UU Tipikor. Adopsi Pasal 16 dan Pasal 21 UNCAC dalam UU Tipikor akan sangat berdampak signifikan dalam upaya pemberantasan praktik suap internasional. Konsekuensi adopsi pasal ini ke dalam UU Tipikor adalah pelaku tindak pidana korupsi berbentuk suap tidak hanya dapat menjaring pejabat publik saja, namun juga dapat menjaring lembaga internasional di Indonesia, swasta nasional, swasta internasional di Indonesia, dan lembaga swadaya masyarakat. Untuk itu pemerintah Indonesia memerlukan konsensus global, memerlukan harmonisasi hukum acara di berbagai negara dan mekanisme penegakan hukum, bantuan hukum, ekstradisi, dan kerja sama internasional dalam melakukan investigasi praktik suap internasional (foreign bribery). Selain mengadopsi Pasal 16 dan Pasal 21 UNCAC Indonesia perlu untuk mengadopsi konvensi (OECD) tentang praktik suap internasional. Adopsi konvensi ini memungkin pemerintah dapat melakukan kerja sama lintas negara dalam upaya penindakan tindak pidana suap. Misalnya, perjanjian ekstradisi, , dan pengembalian asset. Transparency International Indonesia mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk: 1. Segera mengadopsi konvensi UNCAC dan konvensi OECD dalam UU Tipikor khususnya yang terkait dengan foreign bribery.Segera mengadopsi konvensi UNCAC dan konvensi OECD dalam UU Tipikor khususnya yang terkait dengan 2. Turut serta dalam dan bekerjasama dengan komunitas internasional yang memiliki pengalaman dan keahlian dalam bidang pencegahan praktek
Forestry
Pelatihan Antikorupsi REDD+ yang spesifik, yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara. Untuk mencapai tujuan pemetaan tersebut, setiap peserta diminta mengisikan sebuah lembar isian.
Dok. TI-Indonesia 2011 Dalam acara “Pelatihan Antikorupsi REDD+ di Asia Pasifik” yang diadakan oleh UNREDD di Bangkok pada 20 - 21 Oktober 2011 lalu, Transparency International berkesempatan mengisi sebuah sesi di hari terakhir. Pada sesi yang difasilitasi oleh TI tersebut, hadir 22 peserta perwakilan masyarakat sipil dari Negara Bangladesh, Bhutan, Kamboja, Myanmar, Mongolia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Thailand dan Vietnam. Perwakilan Transparency International (TI) yang hadir dalam kegiatan besar ini adalah Claire
Martin, lalu perwakilan TI Papua Nugini adalah Michael Avosa. Dari TI-Indonesia hadir Utami, Ilham Sinambela, Raflis dan Lyndon Pangkali. Sedangkan Vietnam mendelegasikan Hai Thanh Cao. Dalam sesi pelatihan, peserta diperkenalkan perangkat dalam memandu, menemukan dan mengenali resiko korupsi dalam isu REDD. Perangkat ini merupakan adopsi dari perangkat sebelumnya yaitu perangkat dalam menemukenali resiko korupsi dalam sektor kehutanan secara umum. Hasil yang coba didapat dari proses ini adalah sebuah peta resiko korupsi
Proses dinamika kelompok merupakan hal menarik dalam pelatihan ini. Awalnya, beberapa peserta mengalami kesulitan. Tetapi dengan dipandu fasilitator, antusiasme peserta mulai meningkat. Salah satu peserta bahkan mengungkapkan ketiadaan peraturan atau undang-undang antikorupsi di negara mereka untuk menjerat pelaku. Kebanyakan peserta menyadari bahwa resiko korupsi dalam mekanisme REDD mungkin terjadi, tetapi kaitan antara resiko korupsi dengan prakteknya masih perlu dipertajam. Perangkat yang diperkenalkan dalam sesi pelatihan ini menarik minat peserta. Menurut mereka, perangkat ini cukup lengkap dalam memotret kondisi sebuah negara. Pada bulan November perangkat ini siap digunakan. Di akhir acara, peserta juga mengungkapkan betapa pentingnya Kerjasama semua pihak dalam memberantas korupsi. (MM)
Korupsi Kehutanan Riau 2 Triliun ketidakpastian terhadap zonasi kawasan hutan dengan mempertentangkan RTRWN, TGHK, RTRWP, dan RTRWK. Sehingga, ketika terjadi pelanggaran tidak bisa ditindak secara hukum.
Ilustrasi PEKANBARU--Transparansi Internasional Indonesia (TII) memperkirakan nilai korupsi kehutanan di Riau mencapai Rp2,3 triliun. Perkiraan itu didasarkan asumsi kalkulasi konsesi hutan bermasalah seluas 2,3 juta hektare (ha) dengan dana siluman korupsi kehutanan Rp1 juta per ha.
kata Manager Lokal Unit Pusat Tata Kelola Kehutanan Forest Governance Integrity (FGI) TII Riau Raflis kepada mediaindonesia.com di Pekanbaru, Riau, Kamis (17/11).
Ia mengingatkan ada upaya sistematis untuk melegalkan pelanggaran. Hal itu jelas terlihat dari tidak kunjung selesainya penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi "Asumsi korupsi Rp1 juta per hektare itu masih Riau selama lebih dari 10 tahun sejak 1998. kecil dari yang sebenarnya terjadi. Jumlahnya Selain itu, jelas Raflis, TII juga menyimpulkan adanya upaya sistematis untuk menciptakan bisa membengkak lebih dari kalkulasi itu,"
7
2011 - 10
Selain itu juga melakukan pemutihan pelanggaran perizinan terhadap TGHK, RTRWP, dan RTRWK melalui revisi RTRWP maupun RTRWK, yang dilakukan untuk melindungi praktik korup yang terjadi atas pemberian izin yang melanggar aturan yang dilakukan sebelumnya. "Celah yang dimanfaatkan dalam korupsi kehutanan itu melalui upaya pertentangan peraturan yang ada. Seperti Undang-Undang (UU) No 41/1999 tentang Kehutanan dipertentangkan dengan UU 26/2007 tentang penataan ruang," ujar Raflis.(RK/OL-01)
Berita Kegiatan
Dok. TI-Indonesia 2011
SPEAK Unjuk G igi @america ClubSPEAK kembali mengadakan forum seru! Sabtu (8/10), bertempat di pusat kebudayaan Amerika Serikat, @america, ClubSPEAK mempresentasikan workshop berdurasi dua jam tentang transparansi dan akuntabilitas a la anak muda. Kesempatan workshop ini diadakan dalam rangka memperingati ulang tahun USAID ke-50. Pihak @america menyajikan beberapa pilihan program, salah satunya adalah gerakan anak muda dan isu antikorupsi. Kesempatan ini pun tidak dilewatkan oleeh ClubSPEAK sebagai bagian dari kampanye sosial dan knowledge sharing bagi kawan-kawan muda. Dikemas dengan bahasa yang ringan dan presentasi visual yang menarik, workshop ini memunculkan tanggapan seru dari peserta, yang sebagian besar adalah kawan-kawan SMA. “Korupsi selama ini selalu tentang kasus-kasus hukum yang berat dan bikin pusing. Padahal, kita sendiri bisa jadi pernah melakukan korupsi loh”, ungkap Adrian Danar Wibisono, Koordinator ClubSPEAK. Mahasiswa UI yang akrab disapa Danar ini menambahkan beberapa contoh perilaku tidak jujur di keseharian anak muda. Sebut saja, menyontek, telat masuk kelas, mengambil 'jatah' sisa uang SPP, sampai menyogok polisi di jalan raya. Prinsip-prinsip kejujuran seperti transparansi dan akuntabilitas dipilih sebagai topik utama dalam presentasi. Kedua nilai ini dianggap penting bagi anak muda. Sayangnya, selama ini pembahasan transparansi dan akuntabilitas tidak dikemas dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti. Kegiatan workshop seperti inilah yang
8
2011 - 10
Dok. TI-Indonesia 2011 dapat menjadi forum bagi anak-anak muda memahami kedua nilai tersebut. “Apa iya, gerakan anak muda dan antikorupsi itu hanya mengandalkan nilai transparansi dan akuntabilitas?”, tanya seorang peserta siswi SMA 97 dalam sesi diskusi dan tanya-jawab. “Sebetulnya, tidak hanya itu saja (transparansi dan akuntabilitas). Ada juga integritas, kejujuran, keadilan, dan sebagainya. Tetapi kedua nilai, transparansi dan akuntabilitas perlu dipahami sebagai nilai utama”, jawab Dita, Aktivis ClubSPEAK untuk komunikasi dan kampanye sosial. Sesi diskusi dan tanya-jawab berjalan sangat seru dan menarik. Waktu dua jam yang diberikan pihak Panitia dari @america dirasa kurang cukup. Apalagi antusiasme peserta sangat tinggi. Pertanyaan kritis dan rasa ingintahu yang sangat besar dari peserta menunjukkan optimisme bahwa generasi muda memiliki semangat untuk menjadikan Indonesia bersih dan jujur tanpa korupsi.
Berita Kegiatan
Cer ita d i Balik C asting Lomba ide cerita rampung sudah. Kini giliran film maker berunjuk gigi. Ide cerita yang telah dikembangkan dalam workshop diadaptasi menjadi script film. Lalu siap untuk diproses menjadi film. Namun sebelum itu, banyak hal yang masih harus dipersiapkan. Sebagai langkah awal, para film maker telah mengadakan proses casting. Bertempat di aula TI-Indonesia yang mereka sebut sebagai basecamp, casting dilaksanakan sejak 26 September hingga kini. Proses casting berlangsung cukup ramai dan penuh keseriusan. Tempat boleh sederhana, tapi minat para pekerja film dan calon pemain sangat tinggi . mulai dari peran anak-anak, remaja hingga orang tua, Bahkan sejumlah nama besar pemain film tanah air tanpa ragu ikut proses casting ini.
Dok. TI-Indonesia
Dok. TI-Indonesia 2011
Satu per satu dari mereka menjalani proses casting. Tak sedikit pun terlihat kelelahan dari wajah mereka. Mereka terus berakting hingga sore hari. Semua ini menandakan betapa besarnya minat masyarakat dalam mendukung kampanye Indonesia Bersih (dari korupsi). [NF]
Komunitas Kemijen:
Embrio Forum D eliberatif Komunitas Kemijen muncul pada tahun 1999 ketika komunitas ini menggugat kinerja Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Selang 10 tahun, yaitu pada 2009, komunitas ini muncul saat mengadakan sidang rakyat atas Kepala Lurah yang melakukan tindak pidana korupsi. Kepala Lurah tersebut akhirnya dimutasi dan saat ini Kelurahan Kemijen dipimpin oleh Plt.Namun, penolakkan pun dialami oleh Plt Lurah setempat dikarenakan rekam jejak yang dianggap kurang baik. Kontrak politik pun diajukan. Plt Lurah diminta berjanji untuk menjalankan pemerintahan yang baik. Peresmian dibentuknya kepengurusan Komunitas Kemijen dilakukan pada 13 September 2011 lalu melalui pertemuan 11 RW di Kelurahan Kemijen, Semarang Timur. Komunitas Kemijen dibentuk sebagai komunitas masyarakat di luar pemerintah.
bermasalah. Minimnya akses warga terhadap bangunan MCK plus menjadi persoalan. Sebagian besar warga mengira bangunan MCK tersebut masih berupa bangunan lama sehingga minim fungsionalisasi. Padahal MCK plus tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat pengolahan biogas. Sebagian warga juga mempertanyakan ketiadaan papan informasi proyek. “Setiap proyek mestinya memasang papan informasi yang berisi nama proyek, jumlah anggaran, pihak pelaksana dan masa waktu pembangunan”, tutur Puji Sarwono, Tim Pengawas Bangunan. ''Warga saja tidak tahu soal itu. Ini kan ironis. Tahu-tahu di RT 4 dibangun MCK plus,'' tambahnya.
Bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, Komunitas Kemijen melakukan kontrol sosial proyek-proyek pemerintah daerah. Misalnya, akses informasi dan penguatan organisasi bersama dengan lembaga Pattiro, advokasi isu dengan LBH Jakarta dan isu media dengan pihak jurnalis. Dok. TI-Indonesia
Minim Sosialisasi, Proyek Dipersoalkan Proyek pengentasan kemiskinan di wilayah Kemijen menjadi prioritas dikarenakan kondisi demografi masyarakat miskin dan daerah ini secara geografis rawan banjir. Salah satu proyek yang diawasi oleh Komunitas Kemijen dan LSM lokal adalah proyek pembangunan MCK di wilayah RT 04/ 09, Kelurahan Kemijen. Proyek ini dianggap bermasalah karena material bangunan yang digunakan tidak memenuhi standar proyek. Proses sosialisasi proyek pembangunan MCK juga dianggap
9
2011 - 10
Dok. TI-Indonesia
Pada dasarnya, warga setempat sangat mendukung pembangunan MCK plus yang didukung dengan pengolahan limbah domestik untuk biogas. Namun, pemerintah desa diharapkan terbuka mensosialisasikan proyek yang sedang berjalan. Sosialisasi diperlukan sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pemerintah setempat. Kontrol sosial inilah yang menjadi pengingat bagi pemerintah Kelurahan Kemijen agar tidak menyelewengkan dana rakyat. [DK]
Opini
Indonesia postur kabinet dengan penambahan posisi wakil menteri hingga menjadi 19 posisi memperlihatkan inkonsistensi Presiden dalam merampingkan birokrasi untuk meningkatkan kinerja dan menghemat anggaran. Presiden akhirnya mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Ber satu (KIB) II (18 Oktober). Dalam susunan kabinet kali ini hampir tidak terdapat perubahan signifikan di jajaran para menteri. Beberapa kementerian yang terindikasi dalam beberapa kasus korupsi justru tidak menjadi prioritas SBY dalam reshuffle kali ini. Misalnya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. Belum lagi beberapa kementerian yang mendapat rapor merah dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan Presiden bahwa pergantian kabinet didasarkan pada empat hal yakni, pertama, hasil evaluasi kinerja dan integritas anggota kabinet. Kedua, penataan kabinet didasarkan para prinsip “the right man on the right place“. Ketiga, faktor kebutuhan kabinet. Dan keempat, adanya masukan/aspirasi dari masyarakat. Dari keempat pertimbangan tersebut hampir dapat dipastikan tidak terdapat satu pun yang mengakomodasi pergantian jabatan menteri. Fakta bahwa reshuffle hanya memperlihatkan pergiliran kekuasaan di antara partai politik dalam jajaran koalisi betul-betul terjadi. Pepesan kosong reshuffle kabinet sepatutnya tetap diwaspadai karena berpotensi menjadi “mesin uang“bagi partai politik (Koran Tempo,“Reshuffle Pepesan Kosong“(24 September). Kabinet `tambun' Komposisi kabinet yang diumumkan oleh Presiden dari segi jumlah memang masih pada batas maksimal yang diperbolehkan oleh Pasal 15 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara bahwa jumlah keseluruhan kementerian maksimal 34 kementerian.
Opsi yang digagas oleh Presiden justru membuat kabinet menjadi “sangat tambun“ dengan melakukan penambahan posisi wakil menteri. Setelah sebelumnya posisi wakil menteri berjumlah enam orang, kali ini Presiden membuat “prestasi minus“ dengan menambah 13 wakil menteri dalam jajaran kabinet. Dalam konteks hukum, posisi wakil menteri sebetulnya sangat bermasalah, setidaknya dalam tiga hal. Pertama, posisi wakil menteri tidak memiliki dasar konstitusional sama sekali. Menurut Pasal 17 UUD Tahun 1945, pembantu Presiden hanyalah menteri-menteri dengan bidang urusan tertentu yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Konstitusi sama sekali tidak menyebutkan posisi wakil menteri sebagai pembantu Pre siden. Pendelegasian kewenangan oleh UUD kepada undang-undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai kementerian negara hanyalah terkait dengan hal yang berkaitan dengan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara. Sama sekali tidak mendelegasikan kewenangan untuk menghadirkan jabatan baru yang disebut “wakil menteri“. Kedua, ketiadaan ukuran yang jelas di dalam UU Kementerian Negara untuk memastikan bahwa jabatan wakil menteri itu dibutuhkan untuk menunjang kinerja kabinet. Pasal 10 UndangUndang No. 39/2008 hanya menyebutkan bahwa, dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu. Ketentuan ini berpotensi memberikan kewenangan absolut kepada Presiden untuk menafsirkan beban kerja di setiap kementerian tanpa disertai kajian yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Akibatnya, posisi wakil menteri akan bernasib sama dengan jabatan menteri yang hanya digunakan sebagai pembagian “jatah kursi“semata.
oleh undang-undang, padahal pengangkatan dan pemberhentian menteri oleh Presiden dijamin konstitusi. Kabinet presiden'sial' Reshuffle kabinet yang dilakukan oleh Presiden saat ini telah membuat kabinet terlihat semakin “tambun“. Postur kabinet dengan penambahan posisi wakil menteri hingga menjadi 19 posisi memperlihatkan inkonsistensi Presiden dalam merampingkan birokrasi untuk meningkatkan kinerja dan menghemat anggaran. Di tengah moratorium penerimaan pegawai negeri sipil yang telah disepakati, Presiden justru berbuat sebaliknya dengan mengangkat beberapa wakil menteri yang tidak jelas urgensinya. Dalam konteks keuangan negara, penambahan posisi ini pasti akan kembali menguras anggaran negara. Reshuffle yang “membabi buta“ini harus segera dievaluasi untuk menghindari hal serupa terjadi di masa depan. Evaluasi tersebut dapat dikategorikan terhadap tiga hal. Pertama, meninjau ulang UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara, mengenai dasar konstitusional posisi wakil menteri. Kedua, jika pun posisi ini tetap ada, harus ada batasan yang jelas mengenai ukuran atau urgensi sebuah kementerian membutuhkan wakil menteri. Ketiga, batasan jumlah wakil menteri harus dibuat jelas dan tegas untuk menghindari “membludaknya“pengisian jabatan ini oleh Presiden yang membuat postur kabinet menjadi “sangat tambun“namun “pemalas“. Selain ketiga rekomendasi ini, kajian yang lebih komprehensif mengenai jumlah kementerian yang ideal untuk ukuran Indonesia patut untuk diinisiasi. Dalam sistem presidensial, hak prerogatif Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian menteri seharusnya mampu mengakselerasi pelaksanaan tugas-tugas Presiden untuk kepentingan publik. Dengan demikian, pembentukan kabinet tidak justru menjadi awal dari “kesialan“Presiden.
Ketiga, posisi wakil menteri tidak memiliki batasan mengenai jumlah yang diperbolehkan dalam kabinet. Bahkan tidak ada batasan Reza Syawawi, berapa wakil menteri yang diperbolehkan Namun postur kabinet yang seperti ini saja dalam sebuah kementerian. Hal ini berdampak masih dikategorikan sebagai kabinet pada penunjukan dua atau lebih posisi wakil “tambun“tapi miskin fungsi. Penggabungan menteri dalam sebuah kementerian. Misalnya atau bahkan penghapusan beberapa Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang kementerian tidak menjadi opsi Presiden dalam dijabat oleh Musliar Kasim dan Wiendu melakukan reshuffle. Padahal kemungkinan Nuryanti. Ketiadaan batasan mengenai jumlah untuk melakukan hal tersebut dapat wakil menteri telah menciptakan hak prerogatif berdampak langsung dalam melakukan Presiden yang tanpa batas. Hal ini bertolak “perampingan“kabinet. belakang dengan jabatan menteri yang dibatasi
10
2011 - 10
Agenda Kegiatan
19 Oktober2011 Diskusi Terarah: Film Sebagai Kritisi Sosial dan Edukasi Nilai-Nilai Integritas Sekretariat TI-Indonesia 20-21 Oktober 2011 Visioning SPEAK Fest 2011 Hotel Atlet Century Jakarta 22-24 oktober 2011 Training Fasilitator Vibrant Hotel Harris Jakarta 22 Oktober-5 November 2011 Shooting Film For Supporting KPK Jakarta, Bogor, dan Bandung 3 November 2011 Peluncuran Bribe Payers Index 2011 Seketariat TI-Indonesia
Album Kegiatan
1
Dok. TI-Indonesia 2011
3
Dok. TI-Indonesia 2011
Dok. TI-Indonesia 2011
4
Dok. TI-Indonesia 2011
6 11
2
5
Dok. TI-Indonesia 2011
Dok. TI-Indonesia 2011 2011 - 10
1. Semiloka Perumusan Strategi Komunikasi 2021/10/11, Hotel Atlet Century Jakarta 2. Peluncuran Bribe Payers Index 2011 03/11/11, Sekretariat TI-Indonesia 3. Training Fasilitator Vibrant, 22-24 /10/11 Hotel Harris Jakarta 4. Visioning SPEAK Fest 2011, 30/10/11 Sekretariat TI-Indonesia 5. Diskusi Terarah: Film Sebagai Kritik Sosial dan Edukasi Nilai-Nilai Integritas, 28/10/11 Sekretariat TI-Indonesia 6. Proses Syuting Film for Supporting KPK,22/105/11/11, Jakarta, Bogor, Bandung
Tribute
Danish International Development Agency