1 2
TRANSPARANSI
Edisi VII/Desember /2014
E-newsletter Transparency International Indonesia
“Problem korupsi politik merupakan akar dari masalah korupsi di Indonesia. Korupsi politik telah mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan akses kesejahteraan bagi rakyat indonesia”. Dadang Trisasongko – Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
Peluncuran Corruption Perception Index 2014
Korupsi Politik Masih Dominan di Indonesia Korupsi politik di Indonesia masih dominan dan sulit diberantas. Hal ini yang menyebabkan skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2014 yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) hanya naik 2 digit dari 32 menjadi 34.
Bambang menilai, rendahnya skor IPK Indonesia tidak menandakan KPK yang berdiri sejak 2003 lemah dalam menindak dan mencegah korupsi. Sejauh ini, KPK telah menangani 480 kasus korupsi yang perkaranya berhasil dibuktikan di pengadilan.
"Artinya problem korupsi politik merupakan akar dari masalah korupsi yang terjadi di Indonesia. Korupsi politik telah mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan akses kesejahteraan bagi warga Indonesia," kata Sekjen TII Dadang Trisasongko, dalam acara peluncuran "Corruption Perception Index 2014" yang digelar TII, di Hotel Gran Melia, Jakarta, Rabu (3/12).
"KPK satu-satunya lembaga antikorupsi yang 100% menang di pengadilan," katanya.
Pada 2013 skor IPK Indonesia serupa dengan tahun 2012 yakni 32. Peringkat Indonesia tahun 2012 adalah 118, naik pada tahun 2013 menjadi 114. Sedangkan peringkat Indonesia tahun 2014 berada pada posisi 109 dari 175 negara yang diukur Transparansi Internasional. Indonesia masih kalah jauh dari dua negara tetangga yakni, Singapura dan Malaysia. Singapura berada di peringkat 7 dengan skor IPK 84 sedangkan Malaysia berada pada peringkat 51 dengan skor 52. Menurut Dadang, skor IPK Indonesia tahun 2014 yang hanya naik dua digit dari tahun 2013 menandakan, para pihak yang terlibat dalam pesta demokrasi, Pemilu 2014 gagal memanfaatkan momentum transisi pemerintahan sebagai kesempatan untuk mendongkrak skor IPK dengan menunjukkan integritas pemilu. Hal itu mengkonfirmasi hasil survei persepsi masyarakat terhadap integritas pemilu yang dilakukan KPK tahun 2013 dimana 71% responden menilai praktik politik uang merupakan hal umum yang terjadi di Indonesia. Bahkan, 92% responden menyatakan pemimpin atau politisi tersangkut korupsi umum terjadi di Indonesia. Terkait itu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, skor IPK Indonesia tahun 2014 merupakan salah satu referensi untuk merefleksi upaya pemberantasan korupsi. Artinya, skor tersebut tidak layak dijadikan justifikasi lemahnya hukum dalam memerangi korupsi. "Indonesia negara besar. Kalau dibandingkan dengan tim-tim atau negara-negara yang warganya sedikit, tidak 'fair' jangan dipukul rata. Tetapi kita pakai (skor IPK dari TII) saja untuk refleksi," katanya.
Menurutnya, kinerja Indonesia jika dibanding dengan negara-negara lain dalam memerangi korupsi cukup baik. Indonesia tidak hanya membidik pelaku korupsi yang tergolong "high ranking profile" tetapi menciptakan budaya antikorupsi. "Untuk demam antikorupsi di masyakrat, belum tentu Amerika sedahsyat Indonesia. Misalnya, antara jumlah penduduk, kasus, dan keberhasilan kita jauh lebih baik. Tergantung metodologinya apa untuk mengukurnya," katanya. Wakil Kepala PPATK Agus Santoso mengatakan, upaya pemberantasan korupsi tetap harus dioptimalkan. Apalagi, skor IPK yang rendah mempengaruhi situasi investasi di Indonesia. "Investor hanya akan datang kalau negaranya aman, punya infrastruktur, ada kepastian hukum. Kalau di tengahnya ada isu korupsi, suap tentu investor tidak mau," katanya. Dengan begitu, Agus memandang upaya pemberantasan korupsi harus diiringi dengan perbaikan-perbaikan salah satunya dalam menyeleksi secara ketat sosok-sosok yang bakal duduk sebagai petinggi di lembaga penegak hukum, kementerian, maupun di tingkat pemerintahan daerah. Setidaknya, hal itu penting dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dana APBN maupun APBD. "Misalnya penyimpangan dana pendidikan, bansos. Umumnya terkait dengan APBD," kata Agus. Sumber: Beritasatu http://www.beritasatu.com/nasional/230344-korupsi-politik-masihdominan-di-indonesia.html
1 2
BERITA KEGIATAN
HAL. 2
Wakil Gubernur Kaltim HM. Mukmin Faisyal menandatangani perjanjian kerjasama antara Transparency International Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam pengukuran persepsi korupsi di Provinsi Kalimantan Timur (IPK Kaltim).10/03/14 Foto Dok. Diskominfo Kaltim
Survei IPK Kaltim 2014
Pengusaha Sebut Suap dan Uang Pelicin Lazim di Kalimantan Timur Gencarnya penegakan hukum oleh Komisi Pemberantan Korupsi (KPK) ternyata tidak mengendorkan praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh birokrasi di Kalimantan Timur. Hasil survei indeks persepsi korupsi (IPK) Kaltim tahun 2014 menunjukkan praktik korupsi, suap, gratifikasi, hingga uang pelicin masih lazim terjadi. Praktik ini terjadi dalam berbagai pengurusan dokumen perizinan di semua tingkatan, dan meluas di seluruh daerah di Kaltim. "Pengusaha memiliki persepsi yang buruk terhadap lembaga publik, khususnya legislatif, eksekutif, lembaga pengadaan, perpajakan, pengadilan dan kepolisian," ungkap Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Dadang Trisasongko di Samarinda, Senin (1/12). Dalam laporan yang disampaikan pada seminar dan launching IPK 2014 Provinsi Kaltim di Ruang Tepian kantor Gubernur Kaltim itu, Dadang membeberkan, para pengusaha menilai bahwa kualitas birokrasi sebagai unsur daya saing lokal memiliki skor terendah. Survei IPK 2014 Kaltim merupakan survei yang berbasis responden pengusaha. Tercatat 744 pengusaha yang dilibatkan sebagai sampel dalam survei tersebut. Konsekuensi dari rendahnya kualitas birokrasi, pengusaha menilai praktik korupsi, suap, gratifikasi, hingga uang pelicin masih lazim terjadi di Kaltim. Persoalan inilah yang dinilai menjadi penghambat kemudahan berusaha. Berdasarkan survei, sektor bisnis yang paling terdampak praktik korupsi adalah pekerjaan umum dan kontruksi, pertambangan umum, minyak bumi dan gas. Praktik suap umumnya dilakukan untuk mengamankan proyek pemerintah. Menurutnya, strategi penindakan merupakan yang paling efektif untuk menurunkan tingkat korupsi. Menanggapi hasil survei tersebut, Plt Sekprov Kalimantan Timur, Dr Rusmadi mengatakan pihaknya kini tengah menyusun rencana
aksi untuk membangun pemerintahan daerah yang bebas korupsi. Rencana disusun berdasarkan database hasil survei IPK Kaltim 2014 yang disusun TII. Menurut dia, survei ini merupakan yang pertama di Indonesia. Tak banyak Pemda menurutnya, yang mau membongkar apa saja faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya praktik korupsi. Selama ini praktik-praktik kotor itu telah mengakibatkan terhambatnya pembangunan, perekonomian nyaris tak bergerak, dan lapangan kerja tak terbuka yang berujung pada tidak tercapainya kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan. Sebagai langkah awal, pihaknya kemarin sudah menginstruksikan jajaran Pemprov dan SKPD untuk memasang pengumuman tak menerima permohonan sumbangan dari pihak mana pun. Menurutnya, kegiatan praktik minta sumbangan dari LSM maupun organisasi kemasyarakatan masih sering terjadi. Itu bisa mengganggu kinerja pemerintah. "Karena kami tak ada anggaran sumbangan dalam APBD," kata Rusmadi usai seminar dan launching IPK 2014 Provinsi Kaltim. Turut hadir dalam seminar tersebut, Muhammad Isro dari Sekretariat Stranas Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Bappenas. Isro mengapresiasi langkah Pemprov Kaltim yang mau membuka diri untuk dievaluasi. Dia berharap, provinsi lainnya segera menyusul untuk melakukan evaluasi. Yang terpenting dari hasil survei tersebut adalah tindak lanjut dari Pemprov. Menurutnya, aksi untuk memberantas korupsi perlu melibatkan unsur swasta. "Jangan hanya pemerintah saja yang dibenahi. Swasta juga perlu," katanya.(*) Sumber: Tribun Kaltim http://kaltim.tribunnews.com/2014/12/01/pengusaha-sebut-suap-danuang-pelicin-lazim-di-kaltim
HAL. 3
BERITA KEGIATAN Diskusi Melek CPI
Perpecahan Partai Politik Dinilai Akibat Pragmatisme Politik Foto Dok. ANSA_EAP
E-CAMP: Social Accountability for Better Education Services Transaprency International Indonesia, berkesempatan menjadi peserta dalam acara E-CAMP: Social Accountability for Better Education Services yang diadakan oleh ANSA_EAP. Acara yang diadakan tanggal 3-5 Desember 2014 di Filipina ini bertujuan untuk memperkuat pentingnya keterlibatan warga negara-pemerintah dalam pembahasan, pelaksanaan dan pemantauan MDG pendidikan. Bertempat di Development Academy of the Philippines, Tagaytay City, Philippines, acara ini dihadiri oleh lebih dari seratus peserta dari 10 negara termasuk Filipina, Indonesia, Kamboja, Mongolia, Jepang, Vietnam, Amerika Serikat, Sri Lanka, Pakistan dan India. Dari Indonesia, hadir Wawan Suyatmiko dan Sekar Ratnaningtyas selaku Program Manager dan project Officer "Cek Sekolahku". Sebuah Program pengawasan sekolah yang diinisiasi oleh Transparency International Indonesia Secara khusus, acara ini mengumpulkan pendukung pendidikan, pendukung dan para pemangku kepentingan dari masyarakat sipil, pemerintah dan mitra pembangunan internasional untuk: 1. berbagi pengetahuan tentang inisiatif warga yang dipimpin untuk memantau layanan sekolah dan kesempatan untuk keterlibatan konstruktif dengan pemerintah. 2. memanfaatkan komunitas monitor pendidikan dan pendukung di daerah. 3. menyusun agenda aksi untuk memperkuat keterlibatan warga sebagai pendekatan untuk mencapai tujuan pembangunan pendidikan. Acara ini menggunakan pendekatan unconference yang menghasilkan ruang terbuka, mengorganisir diri, peserta dipimpin pengalaman. Pada akhir E-camp, peserta merumuskan manifesto pada penguatan warga negara untuk mencapai tujuan pembangunan pendidikan. [SR/NF]
Foto Dok . Kompas
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menilai bahwa perpecahan yang melanda sejumlah partai politik di Indonesia diakibatkan karena pragmatisme politik para kader partainya. “Para kader partai tidak lagi menyadari apa yang membuat mereka bersama dalam partai, visi-misi dan alasan mereka berada di partai. Mereka sangat pragmatis, hanya menjadikan partai sebagai alat untuk meraih kekuasaan dan mengumpulkan uang,” ujar Dadang seusai diskusi terbatas bertemakan “Melek CPI 2014: Merumuskan Intervensi Sektor Bisnis dan Sektor Politik” di Hotel Morissey, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (12/12). Dalam diskusi terbatas tersebut, hadir Direktur Eksekutif TII Natalia Soebagjo, Koordinator Program Tata Kelola Ekonomi TII Wahyudi M. Tohar, Perwakilan PT Antam, Tbk Bimo Budi Satriyo, Peneliti Institute for Strategic Inisiative (ISI) Paksi Catra Kamang Walandouw dan Mahasiswi University of Hamburg, Jerman Hannah Blasé. Sikap pragmatis ini, katanya, membuat para kader dan elite partai dengan cepat berpindah dari partai yang satu ke partai yang lain. Bahkan mereka, menurutnya, akan memecah belah partai jika kepentingan-kepentingannya tidak terakomodasi. “Karena itu, partai politik perlu melakukan kaderisasi berjenjang sehingga siapa yang masuk partai politik bisa mengetahui alasan dirinya menjadi anggota partai, visi-misi dan aturan partai sehingga tidak mengambil keputusan yang sesuai dengan kepentingannya, tertapi berdasarkan aturan partai,” katanya. Sumber: Beritasatu http://www.beritasatu.com/politik/232862-perpecahan-partaipolitik-dinilai-akibat-pragmatisme-politik.html
1 2
HAL. 3
YOUTH
Foto Dok . Pamflet
Youth Integrity Camp 2014 Pamflet, Transparency International Indonesia (TII), dan Public Virtue Institute (PVI) bekerjasama dalam memperingati hari sedunia tersebut dengan mengadakan workshop/ pelatihan Youth Integrity Camp (YIC) yang mengundang teman-teman finalis kompetisi Mata Muda dan undangan dari daerah-daerah yang disambangi roadshow Mata Muda. Teman-teman kami terlihat menikmati tiap sesi dan pelatihan yang diberikan selama 3 hari penuh di Wisma PGI, Jakarta. Ternyata, selama ini banyak yang tidak mereka ketahui seputar isu Hak Asasi Manusia (HAM) dan korupsi. Pengetahuan yang mereka dapat terbatas pada bangku sekolah dan obrolan ringan yang belum tentu memberi pengertian yang benar. Karena itu, dari pelatihan ini pengetahuan mereka bertambah mengenai isu HAM dan Korupsi yang melanda negara kita tercinta. Ternyata, korupsi bisa saja terjadi di lingkungan sekolah/ kampus, tanpa disadari para peserta. Seandainya menyadari pun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena takut terancam tidak lulus bila melapor. Lalu mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti kasus 1965/1966, peserta baru paham bahwa peristiwa tersebut adalah tragedi kemanusiaan. Tidak hanya sebuah cerita rezim Orde Baru yang menyatakan bahwa tragedi itu adalah ulah PKI. Bahwa sudah terjadi “kebohongan” sejarah yang perlu diluruskan. Oleh karena itu, peran anak muda diperlukan untuk bisa lebih kritis dan mengungkap sejarah kelam yang sudah terlalu lama ditutup-tutupi. Tidak hanya menerima materi dari para ahli, mereka juga diberi kesempatan untuk berkunjung ke lembaga-lembaga yang bergerak di bidang korupsi dan HAM seperti TII dan Komnas HAM. Mereka dapat bertemu langsung dan mengunjungi lembaga-lembaga tersebut untuk lebih mendalami isu-isu HAM dan korupsi. Bahwa ada mekanisme pengaduan yang dapat dipergunakan siapa saja terkait masalah pelanggaran HAM, sehingga suara-suara masyarakat bisa tersalurkan
dan berbagai kasus bisa terselesaikan. Selain mengunjungi instansi, mereka juga dilibatkan dalam aksi nyata masyarakat yang menuntut penyelesaian pelanggaran HAM, yaitu dengan mengikuti aksi Kamisan. Para peserta baru pertama kali mengetahui bahwa aksi ini ada dan sudah berjalan lebih dari 7 tahun. Tidak hanya jaringan keluarga korban yang mengikuti aksi ini, tetapi banyak masyarakat lainnya yang ikut bersimpati terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pengalaman Youth Integrity Camp yang tidak akan dilupakan oleh teman-teman kita adalah saat nobar film Senyap, sebuah film karya Joshua Oppenheimer yang menceritakan tragedi kemanusiaan pembunuhan warga yang dituduh PKI pada tahun 1965/1966, dengan melibatkan masyarakat sipil sebagai perpanjangan tangan negara. Dalam memperingati hari HAM sedunia pada tanggal 10 Desember, film ini diputar serentak di berbagai daerah di Indonesia, dan kami berkesempatan untuk memutar dan menontonnya bersama peserta-peserta Youth Integrity Camp. Menjadi pengetahuan baru dan pengalaman yang menusuk perasaan mereka bahwa kejadian seperti ini pernah terjadi, dan selama ini mereka telah menyadari adanya sejarah salah yang dibentuk negara. Salah satu peserta YIC bercerita bahwa dulu bapaknya selalu membantu seorang eks-PKI, dan anak ini merasa kesal bahwa bapaknya membantu musuh negara. Setelah dia mengetahui lebih jauh dan melihat film ini, dia semakin menyadari jika yang dilakukan oleh bapaknya itu benar. Bahkan ia semakin kritis melihat tragedi 1965/66, dan bersimpati pada para korban dan keluarganya. Memang sudah saatnya kebenaran sejarah diungkap, meskipun menjadi catatan hitam bagi negara kita. Usai Youth Integrity Camp, kami berharap Presiden baru kita bisa menyambut masa depan negara ini, tanpa melupakan pekerjaan rumah masa lalunya. Sumber: Pamflet http://pamflet.or.id/blog/youth-integrity-camp-2014
1 2
OPINI
HAL. 5
Jihadis Antikorupsi Oleh Dedi Haryadi
Kematian beberapa orang Palestina karena kekerasan tentara zionis Israel sudah cukup membuat kalian marah, protes, turun ke jalan, mengepung gedung kedutaan sambil menyebut nama Allah keras-keras. Malah di antaranya ada yang ingin ikut berperang, bertaruh nyawa di sana. Mengapa saat di tempat kalian ini berada, ada 34.000 bayi mati setiap tahun, kalian tak menunjukkan gereget dan tindakan, pembelaan yang sama? Jika empati pada penderitaan dan kematian orang Palestina didasarkan pada kesamaan agama, emosi keagamaan yang sama, bukankah orangtua dari bayi-bayi yang mati itu sebagian besar seagama dengan kalian? Itu bukan pertanyaan saya, tetapi pertanyaan Ganjar Kurnia, Rektor Universitas Padjadjaran, ketika berbicara dalam sebuah forum diskusi menyambut inaugurasi pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla, di Bandung. Saya perlu mengaksentuasikan lagi pertanyaan itu karena selain relevan dan kontekstual, dalam banyak segi ia juga menohok kesadaran kita yang paling dalam. Ada banyak muatan transformatif yang melekat pada pertanyaan itu. Altruisme rabun dekat Pertama, pertanyaan itu menyadarkan kita yang selama ini kerap mengidap rabun dekat dalam melihat dan menilai isu yang berkembang di tengah masyarakat. Padahal, penglihatan dan penilaian itu jadi dasar dalam merajut kerja-kerja altruisme kita. Rabun dekat itu, secara sosiologis, tak bisa melihat isu sosial dengan jelas dari dekat. Sementara isu sosial yang jauh tampak jelas. Akibatnya, kita mau dan berani berkorban apa saja untuk sesuatu yang nun jauh di sana. Yang dekat dan terjangkau tak terlihat sehingga luput dari kerjakerja altruistik kita. Bukan tak boleh menggarap isu dan problem yang jauh di sana, tetapi akan lebih elok apabila yang ada dalam genggaman kita sendiri digarap dan dibereskan dulu. Kedua, pertanyaan itu juga mengingatkan kita tentang perlunya mengubah orientasi dan arena jihad. Kalau peperangan, di luar negeri lagi, begitu menggoda dan memukau seseorang untuk berjihad, sekarang semangat dan energi jihad itu harus diarahkan ke dalam negeri untuk mengatasi beragam problem salah urus, salah tata kelola. Matinya puluhan ribu bayi itu jelas bukan kutukan Allah, tetapi akibat salah urus: salah urus anggaran, hutan, laut, ikan, gelombang televisi/radio, tambang, minyak, gas, dan lain-lain. Kita baru melek sekarang ini dari informasi yang disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bahwa laut dan kekayaannya tak dijaga dengan baik. Kita punya kapal patroli, tetapi bahan bakar minyaknya tidak cukup. Pantaslah apabila kekayaan laut kita dijarah orang. Selain itu, kita juga belanja subsidi BBM untuk sektor perikanan mencapai Rp 11 triliun, sedangkan pendapatan yang masuk ke kas negara hanya sekitar Rp 300 miliar. Subsidi BBM di sini juga dinikmati pemilik kapal penangkap ikan skala besar, bahkan nelayan asing. Itu baru salah urus tentang laut dan ikan, belum lagi tambang, hutan, minyak, gas, dan lainnya.
Kekuasaan dan kewenangan yang memusat, penegakan hukum lemah, pemimpin yang tak amanah, serta kontrol publik lemah menjadikan pengelolaan sumber daya tersebut terdistorsi sehingga hanya menguntungkan sebagian elite masyarakat, bahkan pihak asing. Sebagian besar masyarakat tak banyak ikut menikmati kekayaan negeri ini. Padahal, konstitusi kita mengamanatkan seluruh kekayaan itu untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Problem terbesar bangsa ini sekarang adalah bagaimana mencegah dan memberantas korupsi dan pemborosan dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Maka, di sinilah urgensi kehadiran para jihadis anti korupsi itu. Transformasi semangat dan arena jihad juga perlu dilakukan bukan hanya dalam konteks luar versus dalam negeri atau isu perang versus anti korupsi, melainkan juga isu-isu lokal lain. Ada baiknya semangat, energi, dan pemikiran terbaik juga dialihkan dari isu-isu konvensional seperti razia minuman keras, narkoba, perjudian, pelacuran ke isu anti korupsi. Biarlah aparat yang menegakkan hukum untuk mengatasi problem penyakit masyarakat tersebut. Intervensi kita di sini paling bagaimana mendorong kepolisian supaya melakukan tugasnya dengan baik dan benar. Ketiga, saat ini kita defisit aktivitas anti korupsi. Regenerasi dan pengaderan mengalami kemandekan sehingga jumlah aktivis anti korupsi bisa dihitung dengan jari dan hanya terkonsentrasi di kotakota besar. Padahal, problem dan risiko korupsi masih tetap tinggi, baik di pusat maupun di daerah. Demikian juga korupsi lintas batas dan kejahatan keuangan lain masih mengancam kedaulatan dan pertumbuhan perekonomian kita. Dalam konteks mengatasi kelangkaan aktivis anti korupsi, di sinilah kita butuh banyak jihadis anti korupsi. Sejumlah kelompok masyarakat dan organisasi keagamaan (apa pun) bisa ikut ambil bagian menyiapkan dan memasok jihadis anti korupsi. Menang atau syahid Diperkirakan tak terlalu sulit merekrut jihadis anti korupsi. Mengapa? Insentifnya memang sangat menarik. Jihad itu hanya menawarkan dua kemungkinan: menang atau mati syahid. Mati syahid itu ganjarannya surga dan keridaan Allah. Kalau Allah rida, itu berarti tinggal niat yang benar dan lurus bahwa semua tindakan jihad kita hanya karena Allah. Allah yang mana? Inilah yang mengharuskan jihadis anti korupsi itu inklusif. Ia melampaui batas-batas satu agama dan keyakinan. Jihadis anti korupsi bisa datang dari kalangan monteisme Ibrahim seperti Judaisme, Kristen, Islam, dan juga dari agama dan keyakinan lain: Hindu, Buddha, Khonghucu, Sunda Wiwitan, dan lain-lain. Istilah jihadis anti korupsi tidak akan bentrok dan tidak perlu dipertentangkan dengan istilah aktivis anti korupsi. Dalam bingkai gerakan pluralisme, biarkan dua istilah itu bergandengan dan hidup berdampingan. Aktivis itu mungkin lebih sekuler dan abangan, gerakannya mungkin didorong oleh semangat humanisme bukan keagamaan. Dan, di belakangnya mungkin ada beragam kelompok penyandang dana (lembaga donor). Sekuler dan abangannya para aktivis anti korupsi bisa dilihat dari anekdot ini. Kalau memulai atau mengakhiri kegiatan, seperti diskusi, seminar, atau pelatihan, biasanya mereka juga berdoa, bukan menurut agama, melainkan berdasarkan funding agency masing masing. Namun, jika ada aktivis anti korupsi berbayar ingin bertransfromasi jadi jihadis anti korupsi, boleh juga. Tak perlu risau dengan ketelanjuran jadi aktivis anti korupsi berbayar. Jihadis anti korupsi tak ada kaitannya dengan masalah upah-mengupah. Tinggal perbaiki dan luruskan niat saja. Mereposisi dari aktivis jadi …bersambung ke hal. 8
3
DAERAH …sambungan hal. 7 jihadis anti korupsi memang lebih menarik, selain kemungkinannya menang dan syahid, juga berupah dan karier yang bagus. Beberapa pentolan aktivis anti korupsi kita sudah diserap dan memegang posisi dan peranan strategis di dalam institusi negara (kementerian), kuasi negara (Komisi Pemberantasan Korupsi), atau satu gugus tugas negara (Tim Refomasi Tata Kelola Migas). Aktivitas atau program pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dikembangkan para jihadis bisa sama atau berbeda dengan yang sudah dikembangkan aktivis anti korupsi selama ini. Namun, tentu saja mengembangkan hal yang baru dan berbeda jauh lebih diinginkan. Selain menghindari kesamaan dan tumpang tindih, juga harus mencerminkan semangat transformatif. Bisa saja, misalnya, para jihadis anti korupsi mengembangkan satu model advokasi anti korupsi berbasis syariah. Turunan model ini, misalnya, memunculkan sikap menolak didanai lembaga hibah dari negara-negara Eropa atau Amerika, tetapi membolehkan menerima dana hibah dari Timur Tengah. Peluang sangat terbuka. Di tingkat programatik, aktivis anti korupsi— yang berbasis Facebook, Twitter, Path, Instagram, atau yang lain— sangat kesulitan dan hampir pasti tak mungkin mengorganisasikan dan mengembangkan pembangkangan sosial melawan korupsi. Jihadis anti korupsi dengan kekuatan jaringan organisasi keagamaannya bisa jadi lebih mudah—meski bukan tanpa kesulitan—untuk mewujudkan hal ini. NU, misalnya, adalah organisasi keagamaan pertama yang mewacanakan perlunya pembangkangan sosial dalam melawan korupsi. Belum operasional memang, tetapi potensi itu ada. Sekali disepakati dan diterjemahkan ke dalam praksis, ia bisa menggelinding seperti bola salju dalam melawan korupsi. Radikalisasi Berbeda dengan upaya mencegah terorisme yang memerlukan program deradikalisasi, upaya menumbuhkan jihadis anti korupsi justru memerlukan program radikalisasi. Semangat, pandangan, dan cara mencegah dan memberantas korupsi harus lebih radikal. Indeks persepsi korupsi kita tahun 2014 ini naik sedikit ketimbang dua tahun sebelumnya, dari 30 menjadi 32 (dari skala 0-100). Peringkatnya juga membaik dari urutan ke-118 menjadi urutan ke-107 dari 178 negara yang diperingkat. Peningkatan yang amat lambat ini menunjukkan strategi dan pendekatan kita dalam mencegah dan memberantas korupsi kurang radikal. Upaya meradikalisasi warga, jemaah, atau aktivis untuk menjadi jihadis anti korupsi tidak terlalu sulit. Bangunan teologis dan fikih jihad anti korupsi bisa diracik. Demikian juga desain pelatihan, aktivitas setelah pelatihan, fasilitator atau instruktur pelatihan, pendanaan, serta keberlanjutan gerakan bisa dirancang. Tinggal sungguh-sungguh saja. Ada ungkapan Arab yang terkenal di kalangan santri, yang juga saya yakini mengandung kebenaran, man jadda wajadda, siapa sungguhsungguh pasti (ia) sukses. Jihad itu (bukan perang) tidak lain adalah berupaya sungguh-sungguh. Dedi Haryadi, Deputi Sekretaris Jenderal Transparency Internasional Indonesia Sumber: Kompas Cetak http://print.kompas.com/KOMPAS_ART00000000000000000104829 50
HAL. 6
Studi Kesiapan Pemerintah Daerah dalam Tata Kelola Program Penurunan Emisi
Transparency International Indonesia (TII) mendorong terciptanya tata kelola penurunan emisi di sektor kehutanan yang transparan dan akuntabel untuk menjamin berhasilnya program penurunan emisi, salah satu kegiatannya adalah dengan melakukan studi. Studi ini menyajikan kondisi terkini mengenai Kesiapan Pemeritah Daerah dalam Tata Kelola Program Penurunan Emisi di empat wilayah, yaitu Jambi, Kalimantan Tengah (Palangkaraya), Kalimantan Timur (Samarinda) dan Sulawesi Tengah (Palu). Tujuan dari studi ini adalah memberikan masukan kepada para para pemangku pihak untuk dapat berperan dan memastikan penurunan emisi yang efektif dan efisien. Sedangkan cakupan studi meliputi kesiapan daerah dalam pelaksanaan perbaikan kebijakan kawasan hutan, perizinan dan rehabilitasi hutan atau lahan (RHL), dan kesiapan daerah dalam perbaikan tata kelola hutan atau lahan, khususnya pengendalian korupsi. Atas studi ini, TII mensosialisasikan dalam bentuk seminar yang dilaksanakan di empat wilayah. Kota Samarinda (Kalimantan Tengah) pada 10 Desember 2104 dan Kota Palangkaraya (Kalimantan Timur) pada 17 Desember 2014 lalu. Sedangkan Kota Jambi pada 22 Januari 2015 dan Kota Palu pada 2 Februari 2015 yang akan datang. Rekomendasi dari studi yang dilakukan TII yaitu perbaikan tata kelola memerlukan peran masyarakat sipil yang tinggi sebagi penyeimban terjadinya konflik kepentingan, semua pihak harus mengarahkan masalah REDD+ pada persoalan riil di lapangan, diperlukan peningkatan masyarakat sipil dalam memfasilitasi perbaikan rencanarencana pembangunan daerah lintas sektoral, dan insentif REDD+ bermanfaat hanya apabila terdapat perbaikan kebijakan publik, khususnya untuk peningkatan tata kelola, memperbaiki administrasi pemerintah dan mengendalikan terjadinya korupsi.[DK]
1 2
Berita Kegiatan
Training Of Fasilitator
Lumbung Informasi dan Inovasi Desa (LINIDA) Pemberlakuan UU RI No. 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa optimisme baru bagi masa depan desa karena salah satu isu strategis yang diamanatkan dalam UU tersebut adalah penyediaan alokasi anggaran untuk tiap desa yang jumlahnya cukup besar. Asumsinya, dengan dana yang besar serta kewenangan yang lebih luas, desa diharapkan dapat mengembangkan potensinya.
HAL. 7
sehingga pembagian tugas dan tangungjawabnya dibagi bersama. Calon Fasilitator tersebut yang nantinya akan menjadi fasilitator dalam perencanaan penganggaran daerah sehingga anggaran daerah yang yang cair sesuai dengan apa yang diharapkan oleh warga (tepat guna). Selama 4 hari, calon fasilitator dibekali dan dilatih bagaimana menjadi fasilitator yang baik dalam pelaksanaan perencanaan anggaran (musrenbangdes). Selain itu calon fasilitator juga dibekali dengan pengetahuan tentang sistem informasi desa. Dimana dalam sesi ini calon fasilitator diberikan materi tentang informasi apa saja yang perlu diketahui oleh calon fasilitator, dan bagaimana mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Diharapkan dengan adanya fasilitator LINIDA ini, mampu menerapkan pemerintahan terbuka (Open Governance) di level daerah. Selain itu juga diharapkan para faasilitator ini mampu mengembangkan potensi yang dimiliki masing-masing desa, sehingga terwujud desa yang berdaya.
Namun, di sisi lain pemberlakuan UU Desa ini juga membawa kekhawatiran bagi sejumlah kalangan terutama aparatur pemerintah desa. Tanpa kesiapan yang matang, aparat desa dituntut untuk mengelola dana yang lumayan besar. Berbekal hal diatas, Transparency International (TI) Indonesia, bekerjasama dengan Sekretariat bersama Lingkar Studi Sosial dan Advokasi Rakyat Batang (Laskar Batang) mengadakan Training Fasilitator untuk Lumbung Informasi dan Inovasi Desa (LINIDA). Acara yang dilaksanakan pada tanggal 12-15 Desember ini bertempat di Agrowisata Pagilaran, Blado, Batang. Sebanyak 30 calon fasilitator dari 10 desa terpilih di Kabupaten Batang mengikuti pelatihan tersebut diantaranya desa Pandansari, Tombo, Sidorejo, Kebumen, Pacet, Karangtengah, Denasri, Brokoh, Kepuh, dan Kemiri Barat. Masing-masing desa memiliki 3 fasilitator
Penanggungjawab: Dadang Trisasongko. Redaktur: Nur Fajrin. Dikelola oleh Tim Media and Campaign. e-Newsletter TRANSPARANSI diterbitkan oleh Transparency International Indonesia. Jl. Senayan Bawah no. 17, Blok S, Rawabarat, Jakarta12180. Telp: 021 7208515 Fax 7267815 Email:
[email protected]