OUTLINE STRATEGI GERAKAN ANTIKORUPSI Transparency International Indonesia 2012-‐2017 Pengantar: About the Strategy § Skup dan Tujuan § Proses Pembuatan Bab I. Background: Konteks dan Tantangan § Membangun Gerakan Anti Korupsi § TI Indonesia, Satu Dekade Bekerja Bab II: Strategic Priorities § Visi, Misi dan Nilai-‐Nilai § SP 1: Organized Citizen § SP 2: Participatory Governance § SP 3: Corporate Active Citizenship § SP 4: Laws and justice Lampiran: Program dan Indikator
PENGANTAR: ABOUT THE STRATEGY A. Tujuan dan Cakupan Strategi ini akan menjadi panduan TI Indonesia untuk mewujudkan tujuan organisasi dan menjawab tantangan gerakan antikorupsi yang semakin kompleks selama lima tahun ke depan (2012 – 2017). Bagi kami, strategi adalah sebuah kekuatan utama yang memberikan fokus dan analisis mendalam terhadap berbagai macam situasi agar setiap langkah mendapatkan formula yang tepat dan efektif. Strategi TI Indonesia bertujuan memberi informasi penting untuk mendorong keterlibatan berbagai pihak dalam gerakan antikorupsi. Bagi Sekretariat Nasional TI Indonesia, strategi ini akan menjadi panduan utama dalam mendesain, menentukan prioritas kerja, dan alokasi sumberdaya agar tepat sasaran. Sementara jaringan maupun mitra TI Indonesia yang tersebar di seluruh nusantara dapat menjadikan strategi ini sebagai landasan perencanaan dan evaluasi terhadap berbagai kegiatannya. Setiap jaringan maupun mitra TI Indonesia lebih lanjut diharapkan dapat memberikan kontribusi setidaknya satu atau lebih prioritas strategi sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Bagi khalayak luas yang belum mengenal TI Indonesia, strategi ini diharapkan dapat memberikan pememahaman apa sebenarnya yang ingin dicapai, dengan cara apa, dan mengapa langkah tersebut ditempuh. Hal ini membantu memberikan identifikasi di titik mana masyarakat dapat berperan serta dan terlibat dalam gerakan antikorupsi bersama TI Indonesia. Cakupan dari strategi ini meliputi visi dan misi serta bagaimana dan dengan cara seperti apa TI Indonesia melakukan berbagai promosi, dorongan dan penguatan gerakan antikorupsi. Arena mana saja yang harus dikuatkan, didorong dan dipertahankan agar tujuan utama Indonesia yang bebas dari korupsi dapat tercapai B. Proses Pembuatan Pembuatan startegi ini berlangsung secara gradual, partispatif dan dinamis selama Januari hingga Juli 2012. TI Indonesia memulai dengan membentuk tim inti yang bertugas menghasilkan strategi baru gerakan, berangkat dari problem statement konteks kekinian dan refleksi kritis terhadap pengalaman sebelumnya.. Tim inilah yang merencanakan dan memfasilitasi rangkaian diskusi untuk memberikan ruang dialog aspiratif kepada penggiat antikorupsi dari berbagai latar belakang. Dalam kurun waktu Januari-‐Maret 2012, TI Indonesia menyelenggarakan diskusi konsultasi dengan sejumlah ahli, dari Jakarta maupun daerah, yang memiliki pengalaman dan pengetahuan luas mengenai isu-‐isu aktual terkait permasalahan korupsi dan demokrasi. Berbagai masukan ahli kemudian dibahas bersama berbagai kalangan CSO yang memiliki perhatian terhadap pentingnya penguatan gerakan antikorupsi. Pemetaan umum terhadap situasi dan aktor politik-‐ekonomi pasca reformasi memberikan gambaran betapa pola korupsi saat ini menjadi lebih terorganisir dan semakin mapan. Melalui serangkaian forum konsultasi tersebut, setidaknya terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian utama, yakni: dinamika politik-‐ekonomi di tingkat nasional dan daerah, legislasi, penganggaran, pendidikan, citizenship dan permasalahan representasi. Dalam setiap isu yang dibahas, forum memberikan rekomendasi agar kinerja TI Indonesia lebih
efektif. Hasil dari proses panjang tersebut kemudian dirangkum, disistemisasi, dan diidentifikasi mana saja yang dapat dipakai sebagai acuan utama untuk pembuatan strategi. Selanjutnya pada Bulan April 2012 bertempat di Bandung Jawa Barat, semua materi yang tersedia dibahas melalui sebuah workshop yang dihadiri oleh seluruh mitra dan jaringan TI Indonesia. Lewat proses pembahasan dan diskusi yang dinamis, forum merumuskan poin-‐ poin utama prioritas strategi untuk dijalankan dalam lima tahun ke depan. Hasil yang telah disepakati kemudian dirangkum dan disistematisasi oleh tim kecil perumusan strategi untuk kemudian diajukan ke steering committee yang terdiri dari Sekjen, deputy Sekjen dan Board TI Indonesia. []
I. BACKGROUND: KONTEKS DAN TANTANGAN A. Membangun Gerakan Anti Korupsi Sejatinya demokrasi menjadi peredam penyimpangan kekuasaan dan korupsi. Hanya saja demokratisasi di Indonesia baru sebatas arena pertarungan antar elit. Kontestasi elektoral merupakan manifestasi dari perebutan kekuasaan antar kelompok elit – politico-‐business oligarchs. Kemunculan rezim hybrid – berkarakter otoritarian yang beradaptasi dalam kerangka demokrasi elektoral – mampu membalikkan demokratisasi menuju de-‐demokratisasi. Ekspektasi publik akan kehadiran tatanan yang demokratis dan berkeadilan sosial pasca reformasi lambat laun surut dan cenderung mengarah pada apatisme. Mengapa korupsi politik yang menjadi fondasi kekuasaan rejim hybrid masih berlanjut walau institusi politik pasca rejim Orde Baru telah berubah? Perubahan institusional atas tatanan kelembagaan ternyata mendatangkan implikasi politik yang luput diantisipasi sewaktu menata ulang sistem politik dan ekonomi Indonesia. Rekayasa kelembagaan politik dan ekonomi nyatanya hanya mentrasnforamsi karakteristik korupsi dan bukannya meminimalkan korupsi itu sendiri. Kemunculan rejim hybrid ini tidaklah mengherankan karena sejak awal agenda reformasi dirancang oleh para elite predator (Törnquist 2006, van Klinken 1999) yang dengan cermat memanfaatkan peluang dengan melakukan negosiasi dalam menentukan arah ‘transisi’ sehingga dengan mudah dapat menyelamatkan aset (financial) dan jaringan politik (Budiman 1999, Törnquist 2006, van Klinken 1999). 1. Refleksi Satu Dasawarsa Agenda dan upaya pemberantasan korupsi oleh kelompok-‐kelompok masyarakat sipil secara kontinyu telah mendorong perubahan di beberapa aspek walau belum secara signifikan mendekonstruksi struktur politik dan ekonomi yang menopang para oligarchs. Diagnosa atas kemajuan agenda anti korupsi memperlihatkan pengaruh NGO-‐AK saat ini cenderung melemah jika dibandingkan saat awal reformasi. Jika di periode awal menjamur Ornop Anti Korupsi sehingga menginspirasi pengungkapan skandal-‐skandal korupsi yang mengebrak publik, pada fase selanjutnya strategi beralih pada ‘pemantauan’ yang bertujuan untuk mengkritisi kebijakan publik serta upaya mereformulasi kebijakan dan penataan kelembagaan pemerintahan dan juga secara terbatas pada sektor bisnis. Aktivitas sebagai watchdog terfasilitasi oleh berkembangnya kebebasan media dan membentuk “arena” diskursus publik. Ini terlihat dari gencarnya pemberitaan tentang penyimpangan kekuasaan dan skandal korupsi. Strategi di atas dengan tumpuan kerja melalui “media pressure” dan merekayasa kelembagaan kemudian dapat ditumpulkan oleh oligarchs yang telah selesai merekonsolidasi basis kekuatas politik dan merekonstruksi jejaring bisnisnya. Walau politik terfragmentasi, tidak terkonsentrasi seperti saat rezim Orba, tetapi para oligarchs telah menemukan formulasi untuk mencapai kesetimbangan baru jika terjadi krisis politik dengan reposisi penguasaan jabatan publik dan pembagian akses atas sumberdaya ekonomi. Kembalinya kekuatan oligarch dan monotonnya aksi-‐aksi dari para reformis anti korupsi menjadikan upaya melawan korupsi dengan mudah diperlunak sehingga dampaknya tidak akan menganggu kepentingan dan posisi politik dan ekonomi para oligarchs. Tidaklah mengherankan jika upaya anti korupsi, dan agenda demokratisasi, menjadi tumpul (Cammack 2007, Olowu 1985) seiring menguatnya rejim hybrid. Penjelasan dari kondisi ini dikarenakan agenda anti korupsi yang diusung pada dasarnya tidak mengarah pada upaya untuk membongkar fondasi politik dan ekonomi rejim hybrid (Johnston and Kpundeh 2004, Mungiu-‐Pippidi 2006, Nyman 2009). Kebanyakan kelompok masyarakat
sipil “menerima” legitimasi dari Negara tanpa berupaya mempertanyakan dan “menantang” sistem dan konfigurasi strukturalnya (Rodan 1993). Sehingga orientasi dari agenda anti korupsi tidak ditujukan merekonstruksi secara fundamental struktur kekuasaan. Akibat dari agenda anti korupsi yang moderat berujung pada rampungnya konsolidasi kelompok politik dan bisnis (Chua 2009) serta akhirnya mempersempit ruang politik (political space) bagi masyarakat sipil. Terkonsolidasinya rejim hybrid membuat ruang politik didominasi oleh kelompok-‐kelompok elit yang berkompetisi memperebutkan posisi politik serta sumber daya publik dan meminggirkan para reformis. 2. Optimalisasi Ruang Politik Warga Sepanjang satu dasawarsa terakhir, perubahan konstitusi, perundangan dan kelembagaan membuka ruang bagi publik untuk mendorong perubahan ataupun mengadvokasi perbaikan di sektor ataupun aspek tertentu. Jaringan dan kelompok kepentingan di sektor lingkungan, perburuhan, pertanahan, isu feminisme dan mengalami pasang seiring dengan menguatnya isu ditingkat global maupun nasional serta peluang dari perubahan kondisi struktur politik dan ekonomi. Selain melakukan aksi protes konvensional seperti demonstrasi, mogok kerja ataupun pendudukan, terciptanya forum-‐forum di tingkat warga dapat menjadi muara pertemuan antar kepentingan kelompok warga, pemerintah dan kelompok bisnis dalam taraf tertentu. Sayangnya gerakan dari kelompok-‐kelompok masyarakat sipil maupun keterbukaan ruang politik warga belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh aktivis anti korupsi. Pengalaman selama ini di mana aksi gerakan anti korupsi melulu bertumpu pada media dan interaksi dengan pengambil keputusan justru membuat keterbatasan dalam melakukan perubahan secara fundamental. Analisis Johnston dan Kpundeh, Mungiu-‐Pippidi serta Nyman terhadap gerakan anti korupsi menjelaskan mengapa aksi-‐aksi ini dengan mudah dapat dijinakkan oleh oligarchs. Sudah saatnya orientasi dan pendekatan dari pegiat anti korupsi ditinjau ulang. Perubahan sistem politik dan institusi pemerintahan sebagai hasil dari advokasi perundangan perlu dimanfaatkan secara maksimal. Ruang politik warga, terutama di tingkat local, sudah tersedia. Pekerjaan rumah adalah bekerjasama dengan kelompok warga tertentu yang dapat mengartikulasi kepentingan kelompoknya dengan agenda anti korupsi. Identifikasi kelompok warga yang berpengaruh sehingga memiliki potensi melakukan perubahan menjadi keharusan. Sehingga, kerja memberantas korupsi akan berjalan dan berkesinambungan. Di titik ini, gerakan anti korupsi bisa berkontribusi dengan merajut gerakan demokratisasi yang terfragmentasi. Inovasi dan pencarian pendekatan, srategi maupun instrument baru mutlak diperlukan. Jika selama ini gerakan anti korupsi menjalin hubungan dengan kelompok akademisi, pengamat serta pegiat social, maka pendekatan dan kerjasama dengan kelompok-‐kelompok politik yang berorientasi pada kepentingan publik merupakan bagian dari perluasan jaringan politik. Kerjasama ini bisa dilakukan sehingga menjadi gerakan oposisi yang secara sosial dan politik berpengaruh. Penemuan akan instrumen baru dan inovatif membuat repertoire dari gerakan anti korupsi menjadi bervariasi dan selalu menciptakan gagasan dan cara-‐cara yang genuine. Hanya dengan melakukan upaya guna merubah struktur politik yang mendominasi dan menanggalkan privilege penguasa sumber daya ekonomi oleh oligarch, gerakan anti korupsi secara signifikan memberantas korupsi. B. TI Indonesia, Satu Dekade Bekerja
Transparency International Indonesia (TI Indonesia) didirikan di Jakarta pada tanggal 18 September 2000 oleh sejumlah tokoh berbagai bidang untuk mendorong tumbuhnya transparansi dan akuntabilitas dalam lembaga-‐lembaga negara, partai politik, bisnis, dan masyarakat sipil. Lembaga ini menjadi salah satu chapter Transparency International yang berpusat di Berlin dan bekerjasama bersama lebih dari 99 chapter lainnya di seluruh dunia. Setelah lebih dari satu dasawarsa, TI Indonesia merasakan perlunya mereview arah gerakan seiring perkembangan oligarki politik pasca reformasi yang justru semakin menguat. Karena itu, TI Indonesia yang selama ini lebih dikenal dengan tool antikorupsi, seperti pakta integritas dan indeks-‐indeks pengukuran korupsi (CPI, GCB dst) perlu mengambil langkah maju sebagai kekuatan penekan. Sebagai gerakan sosial, TI Indonesia mulai lebih kritis dan vokal dalam menyampaikan kritik terhadap perkembangan rezim yang berkuasa saat ini. Di lain pihak TI Indonesia menjadi lebih tajam dalam melakukan penetrasi ke dalam sektor-‐sektor strategis pemerintah, swasta dan masyarakat. Secara praktis TI Indonesia kini ikut mengorganisasi peran warga dalam pemantauan pembangunan melalui metode audit sosial dan forum-‐forum deliberatif. TI juga mengupayakan memperluas inisiatif gerakan dengan merangkul mitra lembaga lokal dan mengupayakan pengembangan kelembagaan mereka. Belakangan TI Indonesia memperluas kerjasama dengan kelompok-‐kelompok kreatif dan kaum muda sebagai pendekatan dan strategi baru melawan korupsi di negeri ini. Terlepas dari sejumlah keberhasilan dan inisiatif yang dikembangkan, kita dapat menarik sejumlha pelajaran berharga dalam bekerja selama ini yang mencakup: • Kerjasama dengan pemerintah (pusat, lokal maupun kelembagaan) dalam membangun sistem pencegahan korupsi belum cukup menghasilkan perubahan nyata dalam penurunan praktik korupsi. Pakta Integritas sebagai kontrak sosial antikorupsi sering berakhir pada seremonial yang menguntungkan figur penguasa. Pakta Integritas lebih banyak dimanfaatkan penguasa sebagai promosi dan stempel antikorupsi kepada konstituen, sementara tidak cukup kuat bargain politik warga untuk menagihnya. Selain itu, ketiadaan dukungan politik dalam bentuk Perda, membuat sistem yang terbentu bergantung pada individu pemerintah yang berkuasa. • Program antikorupsi terhadap partai-‐partai politik tidak berhasil menciptakan transparansi dan akuntabilitas partai. Program hanya berhenti pada tahap kampanye dan penguatan kapasitas. Adopsinya ke dalam kebijakan partai tidak ada, apalagi implementasi. Komitmen antikorupsi bertentangan dengan upaya partai politik untuk aktif menggalang pembiayaan politik melalui cara-‐cara abuse of power. • Pengukuran korupsi TI Indonesia (CPI, IPK, Crinis, FGI) banyak diadopsi sebagai indikator capaian pemerintah. Namun cakupan isinya tidak cukup menggambarkan kondisi korupsi yang sebenarnya. Kelemahan metodologi, data dan analisis menyebabkan tidak kuat mendorong discourse dan gagal memberi preskripsi penyelesaian persoalan. • Kerjasama-‐kerjasama penyusunan kebijakan strategis antikorupsi baru berhasil pada memasukkan substansi, namun pengesahan dan implementasi banyak tersendat-‐sendat. (Stranas PK, UNCAC review, AC Forum, Inpres). • Collective action dengan dunia bisnis baru dalam tahap promosi. Follow up dengan working group seringkali tidak berjalan akibat dunia bisnis memiliki agendanya sendiri-‐sendiri. • Advokasi kebijakan belum cukup efektif, seringkali keterlibatan CSO hanya pada tahapan pengesahan di DPR dan hanya merespons dari luar. Belum terlibat dalam tahap penyusunan
•
apalagi membuat draft tandingan. TI Indonesia baru bisa mengintervensi kebijakan yang dihasilkan pemerintah (Inpres, perbup/wali). Inisiatif anak muda masih dalam tahap antusias, belum cukup tajam arah dan kegiatan-‐ kegiatannya belum cukup terintegrasi ke dalam kerangka gerakan sosial yang lebih besar. Pada tingkat gerakan, belum terjadi radikalisasi pemikiran (politisasi) dan belum mandiri sebagai sebuah inisiatif (hands-‐on).
II. STRATEGIC PRIORITIES A. Visi, Misi, Core Values dan Prinsip Visi TI Indonesia adalah “Indonesia yang bebas korupsi, demokratis, dan berkeadilan sosial” Misi TI Indonesia adalah “mendorong dan memperkuat gerakan sosial melawan korupsi”. Nilai-‐nilai inti gerakan anti korupsi yang dikembangkan TI Indonesia berupa: Integritas, Transparansi, Akuntabilitas, Partisipatif, Kesetaraan,dan Kepedulian. B. Pendekatan Strategis Pendekatan gerakan TI Indonesia bersifat sistemik, constructively engage, dan deliberatif. Pendekatan ini menyusun isu-‐isu strategis yang dikembangkan gerakan ke dalam struktur yang saling berhubungan dan mendukung sebagaimana berikut:
Laws and jus-ce
Par-cipatory Governance
Democracy & Prosperity
Corporate Ac-ve Ci-zenship
Organized Ci-zen
STRATEGIC PRIORITY 1: Penguatan Organized Citizen untuk Melakukan Transformasi Struktural Melawan Korupsi Korupsi tidak dapat dilawan hanya dengan reformasi hukum dan kelembagaan saja. Pengalaman gerakan antikorupsi lebih dari satu dasawarsa belakangan semakin mempertegas bahwa korupsi di negeri ini merupakan persoalan politik. Sehingga upaya melawan korupsi tidak dapat dipisahkan dari perjuangan politik dan gerakan demokrasi untuk mencapai kepentingan-‐kepentingan publik. Fokus utama gerakan dalam 5 tahun ke depan berupa penguatan inisiatif antikorupsi sebagai gerakan sosial. Caranya dengan mengintegrasikan agenda antikorupsi dalam gerakan demokrasi yang memiliki agenda-‐agenda politik yang jelas, melibatkan lebih banyak lagi kelompok-‐kelompok strategis masyarakat sipil untuk memerangi korupsi, dan mengorganisir warga untuk terlibat dalam deliberasi pengambilan kebijakan. 1. Empowerment: Warga diberi dukungan, ruang dan kapasitas pengorganisiran melawan korupsi Tujuan: Membangun organized citizen yang kuat untuk terlibat dalam arena-‐arena publik sehingga terjadi fungsi kontrol dan bargaining kepentingan oleh masyarakat sipil terhadap pemerintah/negara. Pendekatan: • Mendorong dan meningkatkan kualitas local political space untuk deliberasi Kami akan memastikan agar ruang politik, baik untuk perencanaan maupun evaluasi pembangunan, tidak menjadi sekadar formalitas tanpa mengakomodasi aspirasi dan kritik masyarakat sipil. Caranya dengan: 1) Mengintensifkan lobby dan kampanye untuk keterbukaan pemerintah sekaligus, 2) Memperkuat keterlibatan aktif gerakan sosial ke dalam forum-‐forum warga. • Memperkuat infrastruktur pendukung gerakan Pengorganisasian warga melawan korupsi perlu didukung oleh infrastruktur gerakan yang handal dan berkelanjutan. Karena itu kami akan: 1) Menfasilitasi penguatan pengetahuan dan expertise isu-‐isu sektoral. 2) Menciptakan voluntery system untuk pengkaderan aktivis antikorupsi. 3) Membangun model pendanaan yang berkelanjutan dari masyarakat maupun private sector. • Memproduksi dan menyebarluaskan pedagogi kritis Perlawanan terhadap kekuatan koruktif dan otoritarian meniscayakan perumusan bahasa-‐bahasa perlawanan spesifik yang mengandung keberpihakan, perasaan tertindas dan kemarahan melawan elit. Karena itu kami akan melakukan 1) penciptaan simbol-‐simbol perlawanan yang baru, 2) Menggunakan medium cyber, sosial media dan medium kreatif lainnya untuk penyebar luasan produk-‐produk perlawanan ini. 2. Engagement: Keterlibatan gerakan sosial ke dalam forum-‐forum warga dan pengambilan kebijakan publik. Tujuan: Menjembatani gerakan sosial dengan agenda-‐agenda politik untuk memastikan aspirasi warga diadopsi ke dalam keputusan-‐keputusan politik. Pendekatan:
Menggalang pengorganisasian masyarakat. Melawan korupsi sebagai gerakan sosial memerlukan pengorganisasian berbagai elemen/sektor kehidupan warga. Untuk melibatkan lebih banyak lagi masyarakat kami akan melakukan: 1) Kampanye dan edukasi melawan korupsi. 2) Mobilisasi warga untuk terlibat dan mempertajam deliberasi dalam pengambilan kebijakan publik. 3) Penggalangan warga sebagai tax payer dalam memonitor public services 3. Collective Action: Antikorupsi sebagai isu bersama gerakan sosial Tujuan: Mainstreaming isu antikorupsi dalam advokasi lintas sektoral sehingga terbangun agenda bersama sebagai sebuah gerakan sosial yang integral Pendekatan: • Membangun collective identity dan collective action Menyatukan berbagai elemen/sektor pengorganisasian masyarakat memerlukan penyatuan cara pandang, kesepahaman dan upaya saling mengisi. Kami akan 1) Menjalin komunikasi dan konsolidasi gerakan, 2) Melakukan ekperimentasi-‐ eksperimentasi dalam common program dan advokasi. • Mengupayakan antikorupsi menjadi isu dalam advokasi sektoral Korupsi seringkali merupakan akar maupun faktor pendukung berlarut-‐larutnya berbagai persoalan sektoral. Karena itu perlu mempertajam perspektif gerakan dengan cara: Menjadikan korupsi sebagai bagian dari penjelasan persoalan-‐persoalan sosial •
STRATEGIC PRIORITY 2: Pembentukan Participatory Governance untuk Inklusi Warga ke dalam Pengambilan Kebijakan Publik Demokrasi sebagai gerakan antikorupsi tidak dapat berjalan dengan hanya mengandalkan mekanisme kelembagaan demokrasi formal lewat pemilu dan legislatif yang terpilih. Ia harus menjadi demokrasi yang lebih substansial – yakni sebuah kondisi yang memungkinkan setiap warga menggunakan sarana-‐sarana demokrasi untuk mempromosikan tujuan-‐tujuan demokratis. Dengan kata lain, pemerintahan harus mampu mengikutsertakan secara politik (inklusi) warga dalam setiap pengambilan kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, sekaligus mengontrol implementasi dan hasil-‐hasilnya. Inklusi politik dilakukan bukan dengan mengakomodasi secara terbatas kelompok tertentu melalui jalur patron-‐client (clientalism), tapi dengan menyediakan ruang dan mekanisme yang mengintegrasikan khalayak berbagai kalangan ke dalam proses politik pengambilan kebijakan. 1. Participatory Governance: Pemerintah mengefektifkan framework tentang pentingnya mengakomodasi warga secara politik Tujuan: Mendorong transformasi kekuasaan menjadi empowered participatory governance sehingga kepentingan warga tidak lagi dikebiri oleh politik dan kekuatan koruptor. Pendekatan: • Mempengaruhi kekuasaan untuk melakukan inklusi politik terhadap masyarakat sipil. Kami akan memberi tekanan dan kesepahaman dengan pemerintah untuk memperkuat akses dan partisipasi masyarakat sipil dalam pembangunan. Caranya dengan: 1) Meneruskan dialog dan konsultasi dengan kementerian dan lembaga. 2) Mengoptimalkan expertis dan inisiatif antikorupsi seperti riset dan tools antikorupsi agar pemerintah semakin terbuka terhadap masukan masyarakat sipil. • Membangun relasi politik untuk menjalankan agenda-‐agenda publik. Kami akan mendorong partai-‐partai dan pemimpin politik yang pro-‐rakyat/demokrasi untuk memberi dukungan pada agenda-‐agenda masyarakat sipil ke dalam legislasi. Kami akan meneruskan kampanye, lobi dan advokasi kebijakan yang lebih diintensifkan. 2. Mekanisme Deliberasi: Mengefektifkan penggunaan ruang dan partisipasi warga dalam pengambilan kebijakan public Tujuan: Memperbaiki kualitas partisipasi warga sehingga keputusan publik tidak menyimpang dan diselewengkan untuk kepentingan oligarki politik Pendekatan: • Memperkuat pengaruh agenda gerakan sosial dalam forum-‐forum deliberatif. Untuk dapat memiliki pengaruh yang sentral dalam pengambilan kebijakan, masyarakat sipil harus terlibat penuh dalam arena-‐arena publik. Karena itu kami akan: 1) Terus mendesak pembentukan forum-‐forum deliberasi di setiap sektor strategis. 2) Menjadikan forum deliberasi sebagai mekanisme perencanaan partisipatif yang dapat menghasilkan kesepakatan yang mengikat secara politik. • Warga aktif melakukan audit sosial untuk mengontrol pelaksanaan keputusan-‐ keputusan publik
Tanpa pemantauan, keputusan bersama hanya dikebiri dan berakhir korupsi. Karena itu: 1) Kami akan memantau dan memastikan berfungsinya lembaga yang bertugas menjalankan deliberasi dan pengambilan keputusan bersama. 2) Mendorong lebih banyak lagi tumbuhnya kelompok-‐kelompok pemantau independent 3. Sektor Strategis: Lebih banyak sektor pemerintah yang terbuka dan akuntable Tujuan: Memperluas gerakan antikorupsi ke sektor-‐sektor strategis di pemerintahan Pendekatan: • Memperkuat program antikorupsi yang ada dengan deliberasi Antikorupsi sudah menjadi isu bersama pemerintah, namun sedikit sekali yang memahami deliberiasi sebagai strategi pemberantasan korupsi yang lebih substantif. Kami akan memperkuat lagi: 1) Visioning koalisi strategis masyarakat sipil dengan pemerintah. 2) Mendorong leading institutions mengadopsi deliberasi sebagai instrument antikorupsi. 3) Melakukan kerjasama strategis untuk mendorong kebijakan dan program antikorupsi
STRATEGIC PRIORITY 3: Bisnis dan Sektor Keuangan yang Memiliki Kepedulian terhadap Keadilan Sosial dan Antikorupsi Bisnis merupakan supply side terhadap korupsi. Bahkan di tengah membesarnya biaya politik, dunia bisnis semakin banyak digunakan untuk mengeruk dana partai, seiring semakin banyaknya pebisnis menjadi politikus dan penguasa (oligarki). Namun demikian, bisnis juga meniscayakan kondisi tanpa pungutan, suap, penggelapan dan bentuk-‐bentuk kejahatan keuangan lainnya untuk memperoleh iklim usaha yang sehat dan progressif. Seiring menguatnya oligarki politik dan berkembangan bentuk-‐bentuk bisnis dan jasa keuangan yang lebih kompleks, semakin penting pula inisiatif antikorupsi dari kalangan bisnis bersama-‐sama dengan pemerintah dan masyarakat sipil. 1. Collective Action: Kolaborasi strategis untuk mengurangi korupsi dengan mendorong dunia usaha comply terhadap aturan dan mengisolasi kelompok-‐kelompok yang korup Tujuan: Mengurangi ruang-‐ruang persekongkolan korup dalam bisnis dan memperbaiki iklim berusaha Pendekatan: • Mendorong Corporate Active Citizenship (Bisnis yang Aktif melawan Korupsi) Bisnis yang sehat melihat korupsi sebagai penyakit yang memperparah inefisiensi dan merugikan usaha. Karena itu kami akan 1) Menerapkan prinsip-‐prinsip bisnis tanpa suap bersama kelompok bisnis yang strategis. 2) mengupayakan strategy antikorupsi untuk dunia bisnis seperti pakta integritas, complaint handling dan whistle blowing system. • Menyuburkan kepemimpinan berbasis nilai-‐nilai integritas dan bisnis yang sehat Bisnis dapat mulai mendukung insiatif antikorupsi dengan mereka menjadikan integritas dan visi bisnis yang sehat sebagai kultur perusahaan dan indikator kepemimpinan di usaha mereka. Kami akan mengintensifkan lobby dan kampanye kepada pengusaha-‐pengusaha untuk mendukung inisiatif antikorupsi.
STRATEGIC PRIORITY 4: Kebijakan dan law enforcement yang berpihak pada kepentingan publik Keberhasilan pemberantasan korupsi bisa dicapai jika sistem hukum mampu melahirkan kebijakan yang baik, penegakan hukum yang berkualitas, dan ada dukungan budaya hukum masyarakat. Kegagalan sistem hukum terkait isu korupsi dapat mengakibatkan kerugian negara yang luarbiasa, pelanggaran HAM, mendistorsi pasar, merusak public trust dan mencederai rasa keadilan di tengah masyarakat. Untuk itu kebijakan antikorupsi dan penegakan hukum yang tegas tidak dapat ditawar lagi. Standar-‐standar internasional dan instrumen-‐instrument baru antikorupsi perlu diadopsi ke dalam strategi pemberantasan korupsi negeri ini. Selain itu, diperlukan pembuatan dan enforcement kebijakan yang lebih efektif untuk demi memutus oligarki politik. Sementara di tengah trend pelemahan lembaga-‐lembaga antikorupsi di seluruh dunia, penguatan eksistensi KPK harus menjadi prioritas seiring dengan penguatan intervensi gerakan sosial ke dalam proses pembuatan kebijakan-‐kebijakan publik. 1. Kebijakan Antikorupsi: Tujuan: Mendorong reformasi kebijakan untuk melawan kekuatan oligarki ekonomi dan politik Pendekatan: • Mendorong kebijakan antikorupsi yang inline dengan UNCAC Ratifikasi UNCAC membutuhkan sinkronisasi dengan perundang-‐undangan, sekaligus perbaikan dalam implementasinya. Karena itu kami akan: Terus memantau implementasi UNCAC secara independen. Kami akan melakukan analisis regulasi maupun implementasi sektoralnya. • Terlibat aktif dalam mempengaruhi proses pembuatan legislasi Masih banyak produk legislasi yang membuka ruang korupsi sekaligus menghambat gerakan pemberantasannya. Karena itu kami akan aktif: 1) Melakukan advokasi regulasi antikorupsi dan yang terkait dengannya. 2) Mendorong masyarakt sipil aktif menyiapkan materi policy alternative. 2. Oligarki Politik-‐Bisnis: Melawan Patronase Politik dan Bisnis Tujuan: Memotong mata rantai oligarki politik-‐bisnis yang mengeruk uang negara rakyat dan menelantarkan rakyat akibat korupsi politiknya Pendekatan: • Mendorong transparansi pendanaan partai politik dan pemilu Ongkos pemilu yang mahal telah memicu korupsi oleh partai dan legislatif. Pendanaan partai dan money politics harus bisa diungkap kepada publik. Kami akan: 1) Mendorong efektivitas regulasi dan tools pelaporan pendanaan partai. 2) Melakukan studi dan eksposur terhadap bisnis-‐bisnis strategis (revenue dan PBJ) dan kaitannya dengan pendanaan partai • Memperkuat deliberasi dan instrument antikorupsi di sektor-‐sektor strategis di pemerintah Anggaran negara telah menjadi peluang utama pengusaha maupun politikus untuk mengeruk keuntungan dari hasil korupsi. Demikian pula izin-‐izin dan konsesi usaha telah menjadi komoditi pengusaha yang pada gilirannya memicu kerugian negara dan menelantarkan rakyat. Karena itu kami akan: 1) Mendorong keterbukaan pemerintah dan akses informasi publik. 2) Mengintensifkan public monitoring dan mendorong pemerintah mengadopsi complaint handling system. 3) Mendorong dibangunnya whistleblowing system.
3. Instrument dan Strategy Baru: Tujuan: Mendorong peningkatan kualitas dan efektifitas Penegakan Hukum dalam menjerat koruptor Pendekatan: • Memperkuat dan mengaktifkan instrument-‐instrument baru untuk menjerat pelaku korupsi. Semakin canggihnya upaya-‐upaya penggelapan uang negara, penyalahgunaan wewenang pejabat publik, dan modus transaksi bisnis ilegal mengharuskan diterapkannya strategi baru pemberantasan korupsi. Kami akan: 1) Mengkampanyekan penerapan instrument antikorupsi seperti UU pencucian uang dsb. 2) Mendorong kerjasama-‐kerjasama dalam penanganan kasus korupsi lintas negara seperti mutual legal assisstance, asset recovery dsb. Pendekatan: • Memperkuat dukungan publik terhadap KPK Serangan balik koruptor terhadap KPK dalam bentuk politik maupun hukum dapat memperlemah penegakan hukum terhadap koruptor. Karena itu kami akan: 1) Melakukan kampanye dan public engagement untuk menunjukkan dukungan terhadap KPK. 2) Mengadvokasikan perbaikan regulasi untuk menjaga eksistensi Komisi Antikorupsi. 3) Mendorong KPK untuk aktif menangani kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum dan peradilan.[]