ANALISIS AKSES DAN KONSUMSI PANGAN RUMAHTANGGA PENERIMA DAN BUKAN PENERIMA PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA WILAS DAN DESA SULANGKIT, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN
DESY LEO ARIESTA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ABSTRACT DESY LEO ARIESTA. The Analyze of Food and Consumption Access of The Households Beneficiary Program and non-Beneficiary Program of Community Development Program in Wilas and Sulangkit Village, Kotabaru Regency, Kalimantan Selatan. Under direction of YAYUK FARIDA BALIWATI. The purpose of this study was to analyze the food and consumption acces of the households beneficiary and non-beneficiary of community development program in Desa Wilas and Desa Sulangkit, Kotabaru Regency, South Kalimantan. The study used cross sectional study design which include 46 households with purposive sampling. Desa Wilas is a program beneficiary and Desa Sulangkit is a non-beneficiary. The result showed that several programs that were done in Desa Wilas have been helping to increase food acces especially in social, physics, and economics. Social food acces component was dominated by the basic education periode (≤ 9 years) of husband and wife, as in the beneficiary village (81.8% and 91.3%) and in the non-beneficiary village (95.5% and 100%). All of the households (100%) in the beneficiary village have a high economy food acces while in the beneficiary households have a lower acces (91.3%). The whole food acces showed that the food access score increased if the education periode of husband and wife was longer and the economy acces was bigger. The average households food consumption is higher in beneficiary village (1280 kkal) than in non-beneficiary (1240 kkal). The households in beneficiary village (56.5%) had a higher good level (≥70%) of sufficiency energy than in the non-beneficiary village (47.8%). There were no differences of sufficient level of energy, the component, and the whole food acces between the two households (p>0.05). The periode of education of husband and wife and the whole food acces had possitive correlation (p<0.05) with sufficiency level of energy. Meanwhile there was no correlation between economy food acces and sufficiency level of energy (p>0.05). Keywords: food acces, food consumption, households, community development
ii
RINGKASAN DESY LEO ARIESTA. Analisis Akses dan Konsumsi Pangan Rumahtangga Penerima dan Bukan Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Dibawah bimbingan YAYUK FARIDA BALIWATI Desa wilas merupakan salah satu desa prioritas pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. Laporan Dompet Dhuafa Republika (2010) sebagai mitra perusahaan menunjukkan bahwa potensi pertanian, perikanan, dan perkebunan di Desa Wilas sangat tinggi. Tingginya potensi tersebut belum tentu menjamin baiknya status gizi penduduk. Ariesta et al (2011) mencatat bahwa sebanyak 45% balita di Desa Wilas memiliki status gizi (BB/U) kurang. Menurut kategori WHO persentase tersebut termasuk permasalahan gizi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengkaji program pemberdayaan masyarakat perusahaan tersebut melalui konsep ketahanan pangan khususnya akses dan konsumsi pangan sebagai salah satu manifestasi status gizi yang baik. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akses dan konsumsi pangan rumahtangga penerima program yaitu Desa Wilas dan bukan penerima program yaitu Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah 1) menganalisis program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin di desa penerima program pemberdayaan masyarakat, 2) menganalisis akses pangan pada rumahtangga dikedua desa, 3) menganalisis tingkat kecukupan energi pada rumahtangga dikedua desa, dan 4) menganalisis hubungan antara akses pangan dengan tingkat kecukupan energi (TKE) rumahtangga dikedua desa. Penelitian ini menggunakan disain cross sectional study yang dilaksanakan di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kecamatan Kelumpang Utara Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2012. Teknik penarikan contoh dilakukan secara purposif. Contoh yang dipilih untuk rumahtangga penerima program pemberdayaan masyarakat adalah rumahtangga di Desa Wilas yang mengikuti Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PPEM) sebanyak 23 rumahtangga. Jumlah rumahtangga di Desa Sulangkit dipilih sampai mencapai 23 rumahtangga. Oleh karena itu, jumlah contoh yang dipilih sebanyak 46 rumahtangga. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel, Minitab 16 Statistical Software, dan SPSS 16.0 for windows. Statistika deskriptif digunakan untuk menunjukkan jumlah dan persentase komponen akses pangan rumahtangga dan TKE rumahtangga. Selanjutnya data dianalisis dengan uji independent t-test. Akses pangan rumahtangga dibentuk dari komponen yang sudah ada dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Selain itu, Analisis regresi dummy juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan akses pangan dikedua desa kaitannya dengan TKE. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi pearson antara komponen akses pangan dengan TKE rumahtangga. Komitmen perusahaan lebih khusus ditetapkan dalam kebijakan mengenai visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan. Dokumen ini tertuang dalam memorandum Nomor 290/AI/VIII/2008. Program yang menjadi prioritas pada tahap kedua (2010-2013) adalah program bidang ekonomi. Berdasarkan
iii analisis potensi dampak, beberapa program yang dijalankan di Desa Wilas membantu meningkatkan akses dan konsumsi pangan rumahtangga. Rata-rata lama pendidikan formal suami di desa program adalah 5.87±4.47 tahun lebih lama dibandingkan dengan di desa nonprogram selama 4.87 ± 3.00 tahun. Tingkat pendidikan suami didominasi oleh kategori dasar baik di desa program (82.6%) maupun desa nonprogram (95,7%). Rata-rata lama pendidikan formal yang dilalui istri di desa program adalah 4.91±3.68 dan 4.35±3.05 tahun di desa nonprogram. Lama pendidikan istri juga didominasi oleh kategori dasar baik di desa program (91.35%) maupun desa nonprogram (100%). Rata-rata pengeluaran total per kapita pada desa program adalah Rp.581.109 lebih tinggi dibanding desa nonprogram yaitu Rp.492.164. Sebanyak 100% rumahtangga didesa nonprogram tergolong memiliki akses ekonomi yang tinggi, sedangkan rumahtangga di desa program memiliki tersebar pada akses ekonomi rendah (4.3%), sedang (4.3%), dan tinggi (91.3%). Persamaan Akses pangan (y) = 0.661*X1std + 0.567*X2std + 0.491*X3 std menunjukkan bahwa akses pangan akan bernilai tinggi jika pendidikan suami dan istri (akses sosial) lebih lama serta pengeluaran total per kapita (akses ekonomi) lebih besar. Persamaan tersebut juga menunjukkan bahwa koefisien X1std merupakan koefisien tertinggi, artinya pendidikan suami memilki peran yang sangat besar terhadap peningkatan akses pangan. Rata-rata nilai keseluruhan akses pangan lebih tinggi di desa program (1.262) dibandingkan dengan desa nonprogram (0.635). Hal ini menunjukkan bahwa rumahtangga di desa program cenderung memiliki suami dan istri yang berpendidikan lebih lama serta pengeluaran total per kapita per bulan yang lebih tinggi. Jumlah rata-rata konsumsi energi di desa nonprogram lebih rendah (1242 kkal) dibandingkan dengan rumahtangga desa program (1280 kkal). Konsumsi energi didominasi oleh kelompok padi-padian. Rumahtanga dengan persentase TKE cukup (≥70%) lebih tinggi di desa program (56.5%) dibandingkan dengan desa nonprogram (47.8%). Kategori TKE kurang (<70%) lebih tinggi desa nonprogram (52.2%) dibandingkan dengan desa program (43.5%). Rumahtangga di desa program dengan TKE kurang didominasi oleh suami yang berpendidikan dasar (88.9%) dan rumahtangga dengan TKE cukup juga memiliki suami yang berpendidikan dasar (76.9%). Rumahtangga desa nonprogram dengan TKE kurang seluruhnya (100%) memiliki suami yang berpendidikan dasar dan rumahtangga dengan TKE cukup didominasi juga oleh suami yang berpendidikan dasar (90.9%). Rumahtangga desa program yang tergolong TKE kurang seluruhnya (100%) memiliki istri berpendidikan dasar, dan rumahtangga dengan TKE cukup juga didominasi oleh pendidikan dasar istri (84.6%). Adapun di desa nonprogram seluruh (100%) rumahtangga dengan TKE kurang dan cukup memiliki istri yang berpendidikan dasar. Rumahtangga desa program yang memiliki akses ekonomi tinggi dan tergolong TKE kurang sebesar 90%, sedangkan rumahtangga yang memiliki akses ekonomi tinggi dengan TKE cukup sebesar 92.3%. Adapun semua rumahtangga desa nonprogram yang tergolong akses ekonomi tinggi tersebar pada TKE kurang dan cukup. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0.05) lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pengeluaran total per kapita per bulan, nilai akses pangan, dan tingkat kecukupan energi antara desa program dan desa nonprogram. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat kecukupan energi dengan lama pendidikan suami (p<0.05, r=0.331), lama pendidikan istri (p<0.05, r=0.335), dan keseluruhan akses pangan (p<0.05, r=0.404).
iv
ANALISIS AKSES DAN KONSUMSI PANGAN RUMAHTANGGA PENERIMA DAN BUKAN PENERIMA PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA WILAS DAN DESA SULANGKIT, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN
DESY LEO ARIESTA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
v
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Akses dan
Konsumsi Pangan Rumahtangga Penerima dan Bukan Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2012 Desy Leo Ariesta NIM I14080011
Judul
:
vi Analisis Akses dan Konsumsi Pangan Rumahtangga Penerima dan Bukan Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan
Nama
:
Desy Leo Ariesta
NIM
:
I14080011
Menyetujui: Dosen Pembimbing Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001 Mengetahui: Ketua Departemen Gizi Masyarakat Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001 Tanggal Lulus:
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia- Nya dalam proses penyusunan skripsi penelitian yang berjudul “Analisis Akses Pangan dan Tingkat Kecukupan Energi Rumahtangga Penerima dan Bukan Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan”. Skripsi penelitian ini merupakan prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi Institut Pertanian Bogor. Skripsi penelitian ini merupakan gambaran detail mengenai latar belakang, tujuan, manfaat, metode yang digunakan dalam penelitian, dan hasil analisis karakteristik pemberdayaan masyarakat yang dilakukan PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin, Kalimantan Selatan. Dua desa dipilih untuk membandingkan akses pangan dan tingkat kecukupan energi rumahtangga. Selain itu, data dianalisis menggunakan statistika deskriptif dan satistika analitik sehingga harapan akhirnya bisa dijadikan bahan penyempurnaan bagi program pemberdayaan masyarakat kedepannya.
Bogor, Desember 2012 Desy Leo Ariesta
viii
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-
Nya kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini. Proses penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, penghargaan dan ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, motivasi, konsep berpikir mengenai topik penelitian dan rangsangan untuk berbuat lebih baik. 2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc sebagai pemandu seminar dan penguji skripsi yang telah banyak membantu dalam proses pengolahan dan analisis data. 3. Dr. Rimbawan sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membantu mengarahkan dan memberi motivasi selama masa perkuliahan. 4. PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin, terutama Community Department (Mas Tomi, Pak Syamsir, Pak Daus, Pak Rusdi, Mas Arif, OJT), yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas selama proses pengambilan data mulai dari keberangkatan hingga perjalanan pulang ke Bogor, serta “halabiuan” di pagi hari. 5. Mamah, uwa, kakak-kakak tercinta Teteh, A Dindin, A Nted, Teh Elis, Teh Aam, serta semua keponakan Neng, Bibil, Iki, Ninda yang telah memberikan penyegaran dan semangat selama proses penyelesaian skripsi ini. 6. Babulers dan semua anggota LAWALATA IPB atas kepercayaan dan kekuatan persaudaraan. 7. Mirza Indra, sebagai guru semangat dan ikhlas. 8. Mufti Fathul Barri, yang telah sabar memberikan pengertian dan menjadi teman diskusi sehingga skripsi ini bisa peneliti mengerti dengan baik. 9. Abah Rimah, Mamah Rimah, dan Rahimah, yang telah banyak sekali membantu dalam pengambilan data, memberikan ilmu baru tentang budaya Suku Banjar dan halabiuannya. 10. Kepala Desa Wilas sekeluarga, Nurul sekeluarga, dan seluruh masyarakat Desa Wilas yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan, ridho, cerita,dan penerimaan di daerah Suku Banjar. 11. Syifa sekeluarga dan Pak Imin sekeluarga di Desa Sulangkit yang telah menemani mengambil data dimalam dan siang hari.
ix 12. Kepala Desa Sulangkit dan seluruh masyarakat Desa Sulangkit baik yang menjadi responden atau tidak yang telah mengizinkan peneliti untuk berkunjung ke desa. 13. Diny Anggris Febriana, Ade Yuliany Pratiwi, Dewi Ayu Wulandari, Ayu Sekarwulan Oktarina Yustika, dan Yasmin Ramadhini yang
telah
memberikan warna kehidupan selama kuliah. 14. Asep Subarna, Nur Indah Fitria Ibrahim, Yulmiaris, Suci Latifah, dan teman- teman se-bimbingan skripsi 15. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan memberikan kemuliaan bagi semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Amin. Bogor, Desember 2012 Desy Leo Ariesta
x
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak terakhir dari lima bersaudara, puteri pasangan Dede Yuningsih dan Ahmad Apandi. Penulis lahir di Garut tanggal 22 Desember 1990. Pendidikan awal penulis diawali di SD Negeri Leles VI kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 1 LELES, Kabupaten Garut. Selanjutnya, penulis mengenyam pendidikan lanjutan di SMA AL-MA’SOEM, Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Penulis diterima sebagai mahasiswi mayor Ilmu Gizi melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam unit kegiatan mahasiswa (UKM) LAWALATA-IPB. Beberapa kegiatan yang pernah diikuti adalah Forum Indonesia Muda (FIM) Rescue tahun 2010 dan Youth For Climate Change (YFCC) tahun 2011. Pelatihan yang pernah diikuti penulis adalah Sertifikasi kesehatan dan keselamatan kerja (K3) - teknisi akses tali, pendidik lingkungan hidup, dan high rope access. Penulis juga memiliki pengalaman bekerja di Jejak Alam Outdoor Services, Fema Adventure Park, dan LATIN. Beberapa prestasi yang pernah diraih penulis adalah sebagai penulis buku “Apotek Alam Bumi Dayak Kanayatn”, Poster Presentator dalam kegiatan INAFOR, peserta PKM-AI DIKTI, dan penerima beasiswa pemerintah Provinsi Jawa Barat satu siklus. Beberapa kegiatan yang pernah dilakukan penulis adalah Ekspedisi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Ekspedisi Puteri Leuser, Studi Etnofitomedika Suku Dayak Kanayatn, Pendakian beberapa gunung di Pulau Jawa, dan aktif sebagai bendahara LAWALATA IPB selama dua periode kepengurusan. Pengalaman lapangan yang pernah penulis ikuti adalah uji efikasi keju nabati rendah lemak pada penderita hiperkolesterolemia, pelatihan pangan lokal beragam, bergizi, berimbang, aman, dan halal (3B-AH), internship dietetik di rumah sakit, kuliah kerja profesi gizi masyarakat, kajian sosial budaya pangan pada suku dayak hindu budah bumi segandhu, dan pendidikan lingkungan hidup (PLH) anak-anak daerah aliran sungai (DAS) ciliwung.
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xvi PENDAHULUAN .................................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................................
1
Tujuan..............................................................................................................
2
Manfaat Penelitian...........................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................
4
Akses Pangan .................................................................................................
4
Akses Sosial.............................................................................................
5
Akses Fisik ...............................................................................................
6
Akses Ekonomi ........................................................................................
7
Konsumsi Pangan Rumahtangga ...................................................................
8
Tingkat Kecukupan Energi.......................................................................
8
Metode Food Recall............................................................................... 10 Pemberdayaan Masyarakat dan Community Sosial Responsibility (CSR)...11 KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................. 14 METODE ........................................................................................................... 16 Disain, Waktu, dan Lokasi Penelitian............................................................ 16 Teknik Penarikan Contoh .............................................................................. 16 Jenis dan Cara Pengambilan Data ............................................................... 17 Pengolahan dan Analisis Data ...................................................................... 18 Definisi Operasional ...................................................................................... 22 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 24 Keadaan Umum Wilayah............................................................................... 24 Gambaran Umum Desa Wilas ............................................................... 24 Gambaran Umum Desa Sulangkit......................................................... 24 Pekerjaan ............................................................................................... 25 Karakteristik Program Pemberdayaan Masyarakat ...................................... 26 Kebijakan ............................................................................................... 26 Sumber Daya Manusia (SDM)............................................................... 27 Konsep dan Strategi .............................................................................. 29
xii Program.................................................................................................. 31 Potensi Dampak Program Pemberdayaan Masyarakat terhadap Upaya Peningkatan Akses Pangan di Desa Wilas ........................................... 33 Akses Pangan Rumahtangga ....................................................................... 41 Akses Sosial........................................................................................... 41 Akses Ekonomi ...................................................................................... 44 Keseluruhan Akses Pangan .................................................................. 50 Konsumsi Pangan Rumahtangga ................................................................. 53 Hubungan Akses Pangan Rumahtangga Dengan Tingkat Kecukupan Energi ....................................................................................................................... Akses Sosial........................................................................................... 56 Akses Ekonomi ...................................................................................... 58 Keseluruhan Akses Pangan .................................................................. 59 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 62 Kesimpulan ............................................................................................ 62 Saran...................................................................................................... 62 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64 LAMPIRAN ........................................................................................................ 68
56
xiii
DAFTAR TABEL 1 Perbandingan evaluasi konvensional dengan evaluasi partisipatif ........... .... 12
2 Jenis dan cara pengambilan data ............................................................... .... 17 3 Pengkategorian indikator variabel penelitian ............................................. .... 22 4 Sebaran rumahtangga berdasarkan pekerjaan suami dan istri ................ .... 25 5 Kebijakan visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan ..................... .... 26 6 Strategi prioritas tahunan Community Department tambang senakin ...... .... 30 7 Lokasi desa penerima program pemberdayaan masyarakat .................... .... 31 8 Program, sasaran, dan potensi dampak program yang dilaksanakan di Desa Wilas tahun 2011 ........................................................................................ .... 34 9 Statistik lama pendidikan suami di desa program dan nonprogram ......... .... 41 10 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan suami .................... .... 42 11 Statistik lama pendidikan istri di desa program dan nonprogram ............. .... 43 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan istri ........................ .... 43 13 Sebaran rumahtangga berdasarkan jumlah anggota rumahtangga ......... .... 45 14 Perbandingan pengeluaran total per kapita per bulan berdasarkan kelompok pengeluaran ................................................................................................ .... 46 15 Statistik pengeluaran total per kapita rumahtangga dalam satu bulan ..... .... 49 16 Sebaran rumahtangga berdasarkan akses ekonomi pendekatan pengeluaran total per kapita per bulan ............................................................................ .... 49 17 Hasil analisis PCA untuk akses pangan .................................................... .... 51 18 Statistik skor akses pangan rumahtangga ...................................................... 52 19 Perbandingan konsumsi energi aktual contoh dengan konsumsi energi yang dianjurkan berdasarkan kelompok pangan per kapita per hari ................. .... 53 20 Perbandingan rata-rata konsumsi, angka kecukupan gizi, dan tingkat kecukupan gizi rumahtangga desa program dan nonprogram .................. .... 54 21 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat kecukupan energi ................ .... 55 22 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan suami dan tingkat kecukupan energi ....................................................................................... .... 56 23 Sebaran rumahtangga berdasarkan pendidikan istri dan tingkat kecukupan energi .......................................................................................................... .... 57 24 Sebaran rumahtangga berdasarkan akses ekonomi dan tingkat kecukupan energi .......................................................................................................... .... 58 25 Hasil uji independent t-test komponen akses pangan dan tingkat kecukupan energi rumahtangga desa program dan desa nonprogram ....................... .... 75
xiv 26 Skor komponen utama akses pangan rumahtangga di desa program dan desa nonprogram ................................................................................................ .... 75 27 Hasil regresi akses pangan dengan tingkat kecukupan energi ................. .... 76 28 Hasil analisis korelasi pearson dengan akses pangan pada keseluruhan contoh ......................................................................................................... .... 76
xv
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran akses dan konsumsi pangan rumahtangga penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat ..................................... 15 2 Struktur organisasi Community Department Tambang Senakin ...................... 28 3 Komponen program pendidikan ........................................................................ 35 4 Komponen program kesehatan ......................................................................... 36 5 Tahapan program pemberdayaan ekonomi masyarakat .................................. 36 6 Komponen program ekonomi .......................................................................... . 39 7 Komponen program infrastruktur....................................................................... 40
xvi
DAFTAR LAMPIRAN 1 Contoh kuisioner penelitian ............................................................................... 69 2 Hasil uji statistik contoh ..................................................................................... 76
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Ketahanan pangan menjadi isu sejak adanya World Food Conference pada tahun 1974. Oloyule et al (2009) dan Hariyadi (2008) mempunyai pendapat yang sama bahwa ruang lingkup ketahanan pangan saat ini tidak hanya ketersediaan pangan, akan tetapi adanya stabilitas pangan, akses terhadap pangan, dan pemanfaatan pangan. Perkembangan definisi ketahanan pangan ini disebut Maxwell (1996) telah mencapai sekitar 200 definisi yang berbeda. Akan tetapi, Indonesia memiliki definisi sendiri yang tertuang dalam UU Pangan Nomor 7 Tahun 1996 bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pencapaian ketahanan pangan ini merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional karena pangan merupakan kebutuhan dasar yang tidak bisa digantikan dengan bahan lain. Rahayu (2007) menyatakan bahwa dalam pemenuhan hak dasar rakyat, pemerintah bisa bekerjasama salah satunya adalah dengan pihak swasta. Hal ini dikarenakan pihak swasta yang menjalankan bisnis ditengah masyarakat saat ini dituntut untuk melaksanakan pertanggungjawaban sosialnya atau disebut sebagai community social responsibility (CSR) terhadap daerah sekitar perusahaan. PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin adalah salah satu perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosialnya dengan konsep pemberdayaan masyarakat. Millenium development goals (MDG’S) sebagai isu sentral saat ini dijadikan salah satu acuan oleh community department dalam melaksanakan programnya. Program pemberdayaan tersebut meliputi bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial budaya, dan infrastruktur. Cakupan program ini tersebar di empat kecamatan yaitu Kelumpang Utara, Kelumpang Tengah, Pamukan Selatan, dan Sampanahan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Namun, program pemberdayaan masyarakat diprioritaskan di desa-desa yang terkena dampak langsung aktifitas pertambangan atau disebut daerah ring satu. Desa wilas merupakan salah satu desa prioritas pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Laporan Dompet Dhuafa Republika (2010) sebagai mitra perusahaan menunjukkan bahwa potensi pertanian, perikanan, dan perkebunan di Desa Wilas sangat tinggi. Tingginya potensi tersebut belum tentu menjamin baiknya status gizi penduduk. Ariesta et al (2011) mencatat bahwa
2 sebanyak 45% balita di Desa Wilas memiliki status gizi (BB/U) kurang. Menurut kategori WHO persentase tersebut termasuk permasalahan gizi yang sangat tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk mengkaji program pemberdayaan masyarakat perusahaan tersebut melalui konsep ketahanan pangan khususnya akses dan konsumsi pangan sebagai salah satu manifestasi status gizi yang baik. Pengkajian ini juga membutuhkan desa pembanding yang memiliki karakteristik sosial, ekonomi, dan ekosistem yang hampir sama dengan Desa Wilas. Desa Sulangkit merupakan desa yang memiliki kondisi sosial ekonomi dan kondisi alam yang hampir sama dengan Desa Wilas. Letak desa ini berdampingan dengan Desa Wilas. Jarak kedua desa tersebut sekitar empat kilometer. Desa Sulangkit adalah desa yang tidak menerima program pemberdayaan dari pihak manapun. Oleh karena itu, Desa Sulangkit dijadikan desa pembanding dalam menganalisis akses dan konsumsi pangan. Tujuan Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis akses dan konsumsi pangan rumahtangga penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis karakteristik program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin di desa penerima program pemberdayaan masyarakat. 2. Menganalisis akses pangan pada rumahtangga di desa penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat. 3. Menganalisis tingkat kecukupan energi pada rumahtangga di desa penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat. 4. Menganalisis hubungan antara akses pangan dengan tingkat kecukupan energi rumahtangga di desa penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat.
3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengayaan ilmu pengetahuan dalam bidang pangan dan kesehatan bagi masyarakat desa lingkar tambang pada khususnya dan masyarakat lain pada umumnya. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan bahan penyempurnaan dan pengembangan program pemberdayaan masyarakat khususnya dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga desa lingkar tambang.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Akses Pangan Pada awalnya, konsep ketahanan pangan akan terjadi ketika pangan telah tersedia sehingga negara-negara didunia fokus pada ketersediaan pangan nasional dan internasional, keberlanjutan, dan pengimbangan fluktuasi harga. Berbagai studi di Afrika menunjukkan hal yang berbeda yaitu meskipun pangan telah tersedia, namun kondisi kelaparan tetap saja terjadi (De Wall dalam Maxwell et al 1992). Selain itu, De Waal menemukan pada tahun 1984 di Darfur orang-orang memilih kelaparan agar bisa mempertahankan aset mereka dan mata pencaharian untuk masa depan. Pada akhirnya, Amartya Sen (1981) dalam Maxwell (1996) menginisiasi perpindahan paradigma konsep ketahanan pangan menjadi akses pangan sebagai titik fokus. Selanjutnya teori ini disebut sebagai hak atas pangan (food entitlement). World Bank (1986) dalam Maxwell (1996) mendefinisikan ketahanan pangan yaitu akses bagi semua orang setiap waktu untuk mencukupi pangan untuk hidup aktif dan sehat. Maxwell (1996) menyatakan bahwa peneliti dan praktisi pembangunan saat ini menyadari bahwa akses yang stabil dan ketersediaan pangan merupakan dua kata kunci ketahanan pangan rumahtangga. Rumahtangga akan mempunyai akses pangan yang stabil jika mereka dapat terus hidup artinya untuk memperoleh pangan (yang dibeli/produksi sendiri) tanpa merusak lingkungan. Akses yang stabil juga dipengaruhi oleh mekanisme lokal, informasi sosial yang menyangga rumahtangga dari kejutan-kejutan periodik. Jadi, indikator ketahanan pangan rumahtangga harus dapat mengukur perubahan hak atas pangan (Downing 1990 dalam Maxwell et al 1992). Hak atas pangan meliputi seberapa banyak rumahtangga yang bisa mengakses pangan dari hasil produksi sendiri, pendapatan, berburu, dukungan masyarakat, aset, dan migrasi. Beberapa variabel sosial ekonomi berpengaruh terhadap akses pangan rumahtangga ini (Maxwell 1996). Akses pangan rumahtangga
yang stabil akan dijelaskan oleh pengertiannya dalam
menyediakan makanan (produksi, membeli, pemberian) dan mekanisme sosial yang menyangga rumahtangga dari kejutan-kejutan periodik agar dapat terus hidup sehat dan aktif. Departemen Pertanian (2008) mendefinisikan akses pangan sebagai kemampuan rumahtangga secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup melalui kombinasi cadangan pangan mereka sendiri dan
5 hasil dari rumah atau pekarangan sendiri, pembelian, barter, pemberian, pinjaman, dan bantuan pangan. Departemen Pertanian (2008) mengklasifikasikan akses pangan kedalam tiga aspek yaitu fisik, ekonomi, dan sosial. Akses fisik meliputi ketersediaan (produksi, konsumsi normatif) dan distribusi berupa infrastruktur pendukung perolehan pangan. Akses ekonomi meliputi pendapatan, kerja dan, usaha. Akses sosial berupa jumlah penduduk yang tidak tamat SD. Akses Sosial Departemen Pertanian (2008) mendefinisikan akses pangan sosial sebagai kemampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduk, bantuan sosial, budaya/kebiasaan makan, konflik sosial keamanan, dan lainnya. Tingkat pendidikan dijadikan sebagai indikator akses sosial dalam Departemen Pertanian (2008); Hildawati (2008); Agustiani (2012). Tingkat pendidikan di suatu wilayah pada umumnya akan mencerminkan keragaman mata pencaharian yang dijalani penduduk di wilayah tersebut (Sukandar dkk 2009). Hasil penelitian Sukandar dkk (2009) juga menyebutkan bahwa tingkat pendidikan suami peserta PNPM Mandiri adalah rendah. Hasil penelitian Agustiani (2012) menyatakan bahwa meskipun tidak berbeda secara statistik, persentase keluarga yang memiliki akses pangan komponen tingkat pendidikan suami lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program desa mandiri pangan. Permatasari (2004) menemukan hal yang sama bahwa sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga petani adalah rendah. Sunarti dkk (2009) juga menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan formal istri dan suami yang bekerja sebagai penggarap dan buruh tani didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar (SD) atau tidak tamat SD. Hasil penelitian Permatasari (2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di Banten sebagian besar (62.9%) adalah sekolah dasar, hanya sebesar 2% ibu rumahtangga yang sampai pada pendidikan lanjut. Rahayu (2007) juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di daerah sekitar perusahaan RAPP tergolong rendah (70.6%). Hasil penelitian Agustiani (2012) juga menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu rumah tangga di daerah pertanian didominasi oleh lulusan sekolah dasar.
6 Karsyono (2000) menyatakan bahwa tenaga kerja pertanian di wilayah pedesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat sekolah. Hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya akses pangan. Behrman & Wolfe (1984) menyatakan bahwa akses pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal. Nurlatifah (2011) menjelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas dan output yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan selanjutnya akan menentukan akses untuk mendapatkan pangan. Cohen (1981) dalam Hardinsyah (2007) mengidentifikasi pola pengambilan keputusan pemilihan pangan dalam keluarga Indonesia adalah pola istri yang dominan. Behrman & Wolfe (1984) juga menyatakan bahwa akses pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal ibu atau istri. Akses Fisik Wilayah dikatakan akses pangannya tinggi apabila diwilayah/daerah tersebut terdapat pasar yang menjual bahan pangan pokok. Wilayah/daerah tersebut dikatakan memiliki akses pangan yang sedang apabila tidak memiliki pasar dalam wilayah/daerah tersebut, namun jarak terdekat wilayah/daerah tersebut dengan pasar pasar yang menjual bahan pangan pokok kurang dari dan atau sama dengan tiga kilometer. Adapun akses pangannya rendah apabila jarak terdekat dengan pasar lebih dari tiga kilometer (Departemen Pertanian 2008). Contoh indikator akses fisik diantaranya persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik (Departemen
Pertanian 2008), kondisi jalan atau
sarana
penghubung (Nurlatifah 2011). Contoh lainnya adalah ketersediaan bahan pangan di warung, kondisi jalan ke pasar, dan ada/tidak adanya pasar (Hildawati 2008). Nurlatifah (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya yaitu keberadaan pasar memberikan kemudahan bagi rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi dan beragam. Hal ini sejalan dengan kesimpulan penelitian FAO (2010) dalam Nurlatifah (2011) bahwa pasar merupakan salah satu determinan pencapaian akses pangan yang selanjutnya akan meningkatkan ketahanan pangan.
7 Akses Ekonomi Akses ekonomi dapat diukur dengan berbagai indikator yaitu sumberdaya keuangan atau pendapatan (Eicker & Breisinger 2012); pendapatan rumahtangga per kapita per bulan (Departemen Pertanian 2008); pengeluaran total per kapita per bulan (Hildawati 2008; Agustiani 2012). Moho dan Wagner (1981) dalam Hildawati (2008) menyatakan bahwa data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah, biasanya akan lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka. Oleh karena itu, data pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya. Selain itu, Purwantini & Mewa (2008) menyatakan bahwa secara alamiah kuantitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan mencapai titik jenuh sementara kebutuhan bukan pangan termasuk kualitas pangan yang tidak dibatasi dengan cara yang sama. Oleh karena itu, besar pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan bisa dijadikan petunjuk kesejahteraan. Sejalan dengan hal tersebut, Salvatore (2006) dalam Novita & Fardianah (2011) menuliskan sebuah hukum yang dikenal sebagai Hukum Engel bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Semakin rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran semakin membaik tingkat perekonomian penduduk. Sebaliknya, semakin besar pangsa pengeluaran pangan semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa pengeluaran pangan rumahtangga dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu subsidi pangan oleh pemerintah, pangan yang dibagi-bagikan diantara anggota masyarakat pedesaan, jumlah dan ragam pangan yang dibeli, harga pangan di pasaran, persediaan pangan yang dapat diterima di pasaran, jumlah pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan serta pendapatan rumahtangga. Keluarga yang memiliki cukup akses secara ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan, pengetahuan gizi orang tua yang baik akan berpengaruh terhadap semakin baiknya keragaman konsumsi pangan anggota keluarganya (Hardinsyah 2007). Pengeluaran total rata-rata per kapita per bulan Kalimantan selatan tahun 2011 adalah Rp.699.417, sedangkan pengeluaran untuk pangan adalah Rp. 373.301. Oluyole et al (2009) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa ketahanan pangan rumahtangga meningkat seiring dengan meningkatnya
8 pendapatan rumahtangga. Novita & Fardianah (2011) mencatat dari hasil penelitiannya di Kalimantan Selatan bahwa tingginya pengeluaran rumahtangga petani padi sawah untuk pangan dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan petani padi sawah harus terus ditingkatkan. Konsumsi Pangan Rumahtangga Hardinsyah & Briawan (1994) menjelaskan bahwa konsumsi pangan merupakan informasi tentang jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Pemilihan cara yang digunakan sangat ditentukan oleh satuan pengamatan (unit contoh), waktu, tenaga, dan dana yang tersedia. Ada dua pengertian mengenai penilaian konsumsi pangan yaitu pertama penilaian terhadap kandungan zat gizi dari makanan dan yang kedua membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan angka kecukupannya. Pemahaman kedua digunakan untuk mengetahui tingkat konsumsi zat gizi seseorang atau sekelompok orang. Untuk itu, penilaian konsumsi pangan biasanya dilakukan terhadap makanan yang dikonsumsi dengan satuan per orang per hari atau unit konsumen. O’brien palce & Frankenberger (1988) dalam Maxwell et al (1992) menyatakan bahwa penilaian frekuensi pangan terkait dengan pengumpulan jumlah minimum makanan yang dikonsumsi fokus pada jumlah item makanan dibatasi pada kelompok pangan dan menanyakan frekuensi konsumsi makanan tersebut dibanding jumlah yang dikonsumsi. Informasi dikumpulkan dengan food recall 24 jam. Rumahtanhga digolongkan kepada konsumsi pangan kurang dan cukup. Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah cara penyimpanan bahan pangan, tersedianya bahan bakar, beban pekerjaan, cara penyimpangan pangan, dan kebiasaan makan tradisional seperti pola pembagian makanan kepada anggota-anggota keluarga. Tingkat Kecukupan Energi Konsumsi pangan sehari merupakan penjumlahan dari makan pagi, siang, malam dalam kurun waktu 24 jam. Jika lebih dari satu hari, maka konsumsi pangan per hari merupakan jumlah konsumsi pangan dibagi dengan jumlah hari survey. Satuannya gram per hari. Pada prinsipnya penilaian konsumsi individu dan keluarga sama. Konsumsi pangan keluarga merupakan penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing individu atau anggota
9 keluarga (Hardinsyah & Briawan 1994). Menurut BPS (2011) konsumsi kalori per kapita per hari Kalimantan Selatan di pedesaaan tahun 2011 adalah 2198 kilokalori. Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan energidilakukan dengan membandingkan antar konsumsi energi aktual dengan kecukupan energi yang dinyatakan dalam persen. Indikator Standar Pelayanan Masyarakat (SPM) membuat indikator konsumsi pangan ideal untuk energi adalah 2000 kilokalori. Latief et al (2000) dalam WNPG VII menggolongkan tingkat kecukupan energi dan protein menjadi kurang jika tingkat kecukupan gizi kurang dari 70% dan cukup jika tingkat kecukupan gizi lebih besar sama dengan 70%. Agustiani (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa hasil uji beda independent t-test menujukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara tingkat konsumsi energi dan protein pada kelompok penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan. Alfitri (2002) menyimpulkan dari hasil penelitiannya di Kalimantan Selatan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan positif dengan jumlah pangan yang dikonsumsi. Hickman et al (1993) dalam Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa wanita terpelajar cenderung tertarik terhadap informasi dari media cetak khususnya majalah dan koran. Ibu dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang lebih tinggi mendapat paparan yang tinggi juga dari media cetak (BKKBN dan community system foundation dalam Hardinsyah 2007). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka aksesnya terhadap media massa semakin tinggi yang juga berarti akses terhadap informasi yang berkaitan dengan gizi semakin tinggi (Hardinsyah 2007). Hasil review Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa para ibu dengan pendidikan lebih baik dapat memilih dan mengombinasikan beragam jenis pangan dengan harga yang tidak mahal. Selain itu, hasil analisis multivariat di negara berkembang termasuk Indonesia tingkat pendidikan ibu dianggap sebagai determinan penting dari asupan gizi atau pengelolaan gizi di tingkat rumahtangga (Behrman & wolfe 1987; Behrman et al 1988). Atmarita (2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
memudahkan
seseorang
untuk
menyerap
informasi
dan
mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Soekirman (2000) mengemukakan bahwa pada bagan penyebab kekurangan gizi oleh UNICEF 1998 tercantum bahwa meski
10 secara tidak langsung namun tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekurangan gizi. Sudut sosial ekonomi memandang tingkat pendidikan ibu rumah tangga merupakan salah satu aspek yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Apriadji (1986) dalam Madihah (2002) menyatakan bahwa orang yang memiliki pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun menu makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibanding orang yang berpendidikan lebih tinggi. Hal ini disebabkan keingintahuan seseorang mengenai gizi akan menambah pengetahuan gizinya. Akan tetapi, Omuemu et al (2012) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa rendahnya tingkat pendidikan, besarnya rumahtangga, rendahnya pendapatan mejadi faktor yang signifikan bagi terjadinya kerawanan pangan. Purnamasari (2001) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa pengeluaran pangan yang lebih besar memiliki tingkat kecukupan energi yang lebih tinggi. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa semakin tinggi pendapatan atau pengeluaran total maka semakin tinggi kuantitas konsumsi pangan yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kecukupan energi (Soekirman 2000; Baliwati & Retnanngsih 2004; Hildawati 2008; Agustiani 2012). Aspek pendapatan tidak selalu mempengaruhi dalam pola konsumsi pangan tetapi aspek lain seperti kebiasaan makan dan pola hidup sederhana, pola pekerjaan petani yang tidak terlalu kompleks, dan konsep mengutamakan makan di rumah yang dimasak terlalu kuat (Purwantini 2008). Jumlah anggota rumahtangga berhubungan positif dan berpengaruh nyata terhadap konsumsi pangan yang pada akhirnya meningkatkan pengeluaran untuk pangan (Rochaeni & Lokollo 2005). Tingginya pendapatan per kapita disebabkan rata-rata jumlah anggota rumahtangga relatif lebih kecil (Swastika dkk 2006). Metode Food Recall Metode food recall salah satu metode untuk mengumpulkan data konsumsi pangan masyarakat. Widjajanti (2009) menyatakan bahwa metode food recall memiliki presisi yang cukup tinggi bila dilakukan oleh orang yang ahli. Kelebihan dari metode ini adalah waktu pelaksanaan cepat, respon responden baik, akurasi tinggi, dan beban responden rendah. Sedangkan kekurangannya adalah mengandalakan ingatan dan hanya cocok untuk sebagian subjek (Widjajanti 2009).
11 Jangka waktu minimal yang dibutuhkan untuk recall konsumsi gizi adalah 24 jam dalam kondisi konsumsi pangan dari hari ke hari tidak beragam dan maksimal tujuh hari. Pengulangan recall dapat dilakukan untuk meningkatkan ketepatan data zat gizi yang diperoleh. Salah satu cara mengurangi bias/ketidaktepatan atau untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas hasil konsumsi gizi digunakan food models atau food picture (Widjajanti 2009). Pemberdayaan Masyarakat dan Community Sosial Responsibility (CSR) CSR telah menjadi perbincangan sejak terjadinya revolusi industri. Pada saat itu perusahaan menganggap bahwa tanggung jawab perusahaan hanya sebatas memberikan lapangan pekerjaan. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat menuntut lebih dari penyediaan lapangan pekerjaan. Hal ini dikarenakan praktek usaha seringkali menimbulkan dampak negatif misalnya eksploitasi berlebihan yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, CSR melebarkan philantropinya pada konsep pemberdayaan masyarakat pada tahun 80-an. Konsep ini dibahas lebih lanjut dalam kongres tingkat tinggi (KTT) Bui di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Kemudian pada tahun 2002 diadakan World Summit on Sustainable Development di Johannesburg Afrika Selatan. Konsep CSR terus berkembang dengan cepat sehingga tidak ada definisi baku mengenai CSR. Namun, ada salah satu definisi menurut WIbisono (2007) yaitu tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek sosial dan lingkungan (triple botoom line) dalam rangka mencapai tujuan pemabangunan berkelanjutan. Chambers (2003) dalam wibisono (2007) mengkalisfikasikan CSR dalam tiga aspek yaitu keterlibatan dalam komunitas, pembuatan produk yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosial, dan employee relations. Wibisono (2007) merangkum cara pandang perusahaan terhadap CSR menjadi menjadi tiga yaitu basa basi atau keterpaksaan, upaya memenuhi kewajiban, dan beyond compliance. Keterpaksaan tercermin dari pelaksanan CSR karena faktor eksternal. Upaya memenuhi kewajiban (compliance) dilakukan karena ada regulasi hukum dan aturan yang memaksanya untuk membuat produk ramah lingkungan dan adanya hadiah. Dorongan tulus dari dalam (beyond compliance) berarti perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk mencipatakan profit demi
12 kelangusngan perusahaan melainkan tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan dasar pemikirannya adalah kesehatan finansial. Lubis (2011) menyatakan bahwa pembangunan atau perubahan telah dilakukan umat manusia
sejak ribuan tahun yang lalu. Pelaksanaan
pembangunan pada awalnya selalu dimulai dari atas. Meskipun cocok diterapkan di berbagai negara, tetapi konsep pembangunan ini juga membawa dampak negatif. Dampak tersebut berupa ketidakmerataan, pemusatan kekuasaan, dan matinya inisiatif lokal. Padahal cara pandang pembangunan yang sebenarnya adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat. Konsep ini juga sejalan dengan An-naf (2005) bahwa dasar pembangunan khususnya pertanian paling tidak harus berkelanjutan dengan menjamin pelestarian dan penggunaan yang wajar dari sumberdaya yang terbarukan, harus meningkatkan efisiensi ekonomi, dan manfaatnya harus terdistribusi secara merata. Pendekatan pembangunan ini bertumpu pada dua elemen pokok yaitu kemandirian dan partisipasi. Masyarakat mandiri menentukan pembangunannya, dan berpartisipasi senyatanya pada seluruh prosesnya. Kemandirian dalam hal ini menyangkut tiga segi, yaitu kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen (Lubis 2011). Konsep pembangunan ini selanjutnya dijadikan philantropi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Lubis (2011) menjelaskan tahapan pemberdayaan masyarakat dimulai dengan identifikasi potensi dan masalah. Pada tahap ini secara partisipatif merumuskan masalah dan potensi yang ada pada komunitas, bukan dari pihak luar. Selanjutnya, penetapan tujuan, penetapan rencana kerja, kemudian aksi atau pelaksanaan rencana kerja, dan pada akhirnya diadakan evaluasi kegiatan. Tabel 1 Perbandingan evaluasi konvensional dengan evaluasi partisipatif Aspek Siapa Apa Bagaimana Kapan Mengapa
Evaluasi konvensional Ahli dari luar Indikator keberhasilan: efisiensi biaya dan keluaran hasil produk yang telah dilakukan Fokus pada objektivitas ilmiah, ada pola seragam, prosedur kompleks, akses terbatas pada hasil Biasanya tergantung jadwal, kadangkala ada juga evaluasi midterm Pertanggungjawaban biasanya sumatif, menentukan biaya selanjutnya
Evaluasi partisipatif Anggota masyarakat, staf proyek, fasilitator Masyarakat mengidentifikasi sendiri indikator keberhasilan, termasuk hasil yang dicapai Evaluasi sendiri, metode sederhana yang diadaptasi dengan budaya lokal, terbuka ada diskusi hasil dengan melibatkan partisipan dalam proses evaluasi Bergantung pada proses perkembangan masyarakat dan intensitas relatif sering Pemberdayaan masyarakat lokal untuk inisiasi, mengontrol, melakukan tindakan koreksi
13 Wibisono (2007) menuliskan bahwa perencanaan program operasional ini sedapat mungkin diusahakan berbasis sumberdaya lokal, berbasis pada pemberdayaan masyarakat, mengutamakan program yang berkelanjutan, berdasar perencanaan partisipatif atau didahului oleh need assessment, dihubungkan dengan bisnis inti perusahaan, dan fokus pada prioritas. Evaluasi dan monitoring adalah salah satu kegiatan yang penting untuk melihat apakah pelaksanaan pemberdayaan sesuai dengan yang direncanakan. Lubis (2011) melanjutkan bahwa monitoring dan evaluasi perlu dilakukan secara partisipatif. Tabel 1 diatas menyajikan perbandingan evaluasi konvensional dengan evaluasi partisipatif.
14
KERANGKA PEMIKIRAN Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menggolongkan rumahtangga menjadi rumahtangga di perdesaan dan di perkotaan. Kaitannya dengan ketahanan pangan, BPS (2011) menyatakan bahwa kerawanan pangan atau kondisi tidak tahan pangan banyak terjadi di rumahtangga perdesaan. Pedalaman pulau Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan masih memiliki desa-desa yang berada di pelosok atau sulit terjangkau baik melalui transportasi maupun komunikasi (Ariesta dkk 2011). Keberadaan perusahaan didaerah Kalimantan Selatan semestinya bisa membantu memperlancar akses terhadap pangan. Hal ini dikarenakan perusahaan dituntut untuk melaksanakan pertanggungjawaban sosialnya dengan memberdayakan masyarakat di desa-desa sekitar tempat pengusahaannya. Oleh karena itu, rumahtangga yang menjadi binaan perusahaan tersebut dikatakan
rumahtangga penerima program pemberdayaan
masyarakat,
sedangkan pembanding dalam penelitian ini disebut sebagai rumahtangga bukan penerima program pemberdayaan masyarakat. Berkaitan dengan akses pangan, faktor-faktor yang mempengaruhi akses pangan tersebut bergantung pada jenis dan tujuan program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh perusahaan. Namun, dalam hal ini faktor tersebut digolongkan berdasarkan Departemen Pertanian (2008) menjadi dua yaitu akses sosial dan ekonomi. Akses sosial berupa lama pendidikan formal suami dan istri dan akses ekonomi yang digunakan adalah pengeluaran total perkapita per bulan. Akses fisik tidak dimasukan kedalam kerangka pemikiran karena akses fisik sebagai output dari program pemberdayaan yang bersifat homogen pada masing-masing desa sehingga dibahas dalam hubungannya dengan Tingkat Kecukupan Energi. Akses pangan rumahtangga ini secara langsung akan berperan dalam konsumsi rumahtangga yang dibuktikan dengan tingkat kecukupan energi. Status gizi merupakan dampak dari pemenuhan kebutuhan berdasarkan tingkat kecukupan gizi. Hariyadi (2008) menegaskan bahwa indikator ketahanan pangan ini harus bisa membentuk individu yang sehat dan produktif dimana salah satu indikatornya adalah status gizi individu tersebut.
15 Akses pangan rumahtangga Program pemberdayaan masyarakat 1. Kebijakan 2. Konsep dan strategi 3. Program
Akses pangan secara sosial 1. Pendidikan kepala keluarga 2. Pendidikan istri Akses pangan secara ekonomi 1. Pengeluaran total perkapita per bulan Konsumsi Pangan 1. Jumlah pangan 2. Jenis pangan Status gizi
Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Hubungan yang tidak dianalisis Hubungan yang dianalisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran akses dan konsumsi pangan rumahtangga penerima dan bukan penerima program pemberdayaan masyarakat.
16
METODE Disain, Waktu, dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan disain cross sectional study karena dilaksanakan dalam satu waktu yaitu pada bulan Mei-Juni 2012. Lokasi penelitian berada di Desa Wilas dan Desa Sulangkit, Kecamatan Kelumpang Utara Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Penetapan Desa Wilas sebagai lokasi desa penerima program pemberdayaan masyarakat adalah 1) termasuk ring 1 atau desa prioritas desa binaan, 2) terdapat salah satu program unggulan CD Senakin, 3) bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian, dan 4) kemudahan akses dari segi perijinan, transportasi, dan akomodasi. Desa Sulangkit dipilih sebagai desa pembanding didasarkan pada kriteria sebagai berikut 1) masyarakat Suku Banjar, 2) kesamaan karakteristik sosial ekonomi yaitu tingkat pendidikan suami dan istri didominasi oleh rendah, mata pencaharian utama adalah pertanian dan perkebunan karet, 3) memiliki satu arah aliran sungai dengan desa program, 4) jarak menuju ibukota kecamatan tidak berbeda jauh, 5) sebagian besar kondisi jalan masih berlumpur. Teknik Penarikan Contoh Desa penerima program pemberdayaan masyarakat adalah Desa Wilas Sedangkan desa bukan penerima program pemberdayaan adalah Desa Sulangkit. Contoh atau unit penelitian adalah rumahtangga di Desa Wilas dan Desa Sulangkit. Teknik penarikan contoh dilakukan dengan cara purposif. Kriteria contoh di desa program adalah 1) rumahtangga yang mengikuti program bidang ekonomi yaitu Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PPEM), 2) merasakan program di bidang lainnya seperti pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan sosial budaya, dan 3) bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Jumlah contoh yang mengikuti PPEM adalah sebanyak 25 rumahtangga. Namun, hanya 23 rumahtangga yang bisa dijadikan contoh pada waktu pengambilan data. Hal ini dikarenakan satu contoh berada di luar daerah penelitian selama dua bulan dan satu contoh tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Kriteria contoh di desa nonprogram adalah bersedia berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan secara acak sampai mencapai 23 rumahtangga. Oleh karena itu, total rumahtangga yang menjadi contoh adalah 46 rumahtangga.
17 Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang diambil berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik rumahtangga (usia, berat badan, jenis kelamin, pekerjaan), akses pangan sosial (lama pendidikan suami dan istri), akses pangan ekonomi (pengeluaran total per kapita per bulan), akses pangan fisik (keberadaan, jarak, dan kondisi jalan ke pasar, keberadaan bahan pangan di warung dan pedagang keliling),
konsumsi
pangan
rumahtangga,
dan
karakteristik
program
pemberdayaan masyarakat. Data-data tersebut didapatkan melalui wawancara dengan instrumen kuisioner. Data konsumsi pangan diperoleh dengan mengetahui jumlah dan jenis pangan. Kedua jenis data ini diperoleh dengan metode food recall 1x24 jam kepada seluruh anggota didalam rumahtangga. Food recall hanya dilakukan satu kali karena jenis pangan yang dikonsumsi cenderung homogen (Widjajanti 2009). Instrumen yang digunakan adalah food picture dan food recall sheet 1x24 jam yang menggambarkan beberapa jenis pangan serta ukuran rumahtangga untuk mempermudah responden dalam menentukan jumlah pangan yang dikonsumsi. Adapun jenis data sekunder berupa data demografi lokasi penelitian dan dokumen program pemberdayaan masyarakat perusahaan terkait. Berikut jenis dan cara pengumpulan data primer dan sekunder yang disajikan dalam Tabel 2.
No
Tabel 2 Jenis dan cara pengambilan data Komponen Jenis Data
1.
Karakteristik rumahtangga
2.
Karakteristik program pemberdayan masyarakat Akses pangan sosial
3. 4. 5.
6.
Akses pangan ekonomi Akses pangan fisik
Konsumsi pangan
1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Berat badan 4. Pekerjaan 1. Kebijakan 2. Konsep dan strategi 3. Program 1. Pendidikan suami 2. Pendidikan istri Pengeluaran total per kapita per bulan 1. Keberadaan pasar 2. Jarak dan kondisi jalan ke pasar 3. Keberadaan bahan pangan di warung 4. Keberadaan pedagang keliling Jumlah dan jenis pangan
Cara pengambilan data Wawancara dengan kuisioner Wawancara mendalam & Studi literature Wawancara dengan kuisioner Wawancara dengan kuisioner
Wawancara dengan kuisioner
Food recall 1x24 jam
18 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel, Minitab 16 Statistical Software, dan SPSS 16.0 for windows. Statistika deskriptif digunakan untuk menunjukkan jumlah dan persentase karakteristik rumahtangga, komponen akses pangan rumahtangga dan konsumsi pangan atau tingkat kecukupan energi rumahtangga. Selanjutnya data dianalisis dengan independent t-test untuk menunjukkan perbedaan pada kedua jenis desa dengan variabel yang sama. Akses pangan rumahtangga dibentuk dari komponen yang sudah ada dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Selain itu, dilakukan uji hubungan antara komponen akses pangan dengan tingkat kecukupan gizi rumahtangga dengan menggunakan analisis korelasi pearson. Analisis regresi dummy dilakukan untuk mengetahui perbedaan akses pangan di desa program dan nonprogram yang melibatkan variabel kategorik. Karakteristik rumahtangga meliputi usia, berat badan, jenis kelamin, dan pekerjaan anggota rumahtangga. Usia, jenis kelamin, dan berat badan digunakan untuk menghitung angka kecukupan gizi ideal. Adapun pekerjaan digunakan untuk menentukan sebaran pekerjaan suami dan istri di rumahtangga kedua desa. Karakteristik program pemberdayaan masyarakat di desa penerima meliputi kebijakan, strategi dan konsep, serta program yang dideskripsikan secara kualitatif. Content analysis dilakukan untuk menganalisis program pemberdayaan menurut kebijakan umum ketahanan pangan (KUKP) 2010-2014. Program tersebut secara khusus diarahkan pada upaya pengembangan sistem distribusi pangan dan peningkatan kualitas konsumsi pangan. Pengembangan sistem distribusipangan meliputi program yang memperlancar sistem distribusi pangan, pengembangan cadangan pangan pemerintah, menjaga keterjangkauan dan stabilitas harga pangan, meningkatkan aksesibilitas atas pangan, dan menangani kerawanan pangan kronis dan transisi. Peningkatan kualitas konsumsi pangan meliputi percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, mendorong perilaku konsumsi pangan, meningkatkan pembinaan dan pengawasan keamanan pangan, dan memfasilitasi pengembangan industry pangan usaha kecil dan menengah. Selanjutnya, program-program yang dilaksanakan di Desa Wilas dianalisis potensi dampaknya terhadap upaya yang mendukung akses dan konsumsi pangan. Hasilnya digunakan untuk
menunjukkan keberadaan
19 dukungan program terhadap akses dan konsumsi pangan. Potensi dampak program pemberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan akses pangan dirinci dengan menggali komponen input, proses, output, outcome, dan dampak dari program tersebut. Akses pangan secara sosial meliputi pendidikan suami dan istri. Pendidikan suami dan istri digolongkan menurut UU RI Nomor 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional. Penggolongan tersebut yaitu tergolong dasar jika masa pendidikan formal ≤ 9 tahun, sedang 10-12 tahun, dan tinggi >12 tahun. Akses pangan secara ekonomi berdasarkan pengeluaran total (pangan dan nonpangan) rumahtangga yang digolongkan menjadi akses ekonomi rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan secara ekonomi digolongkan berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Kotabaru tahun 2010 yaitu Rp. 230.564,-. Akses ekonomi tergolong rendah apabila total pengeluaran rumahtangga kurang dari Rp. 230.564,-. Berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan, apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka akses ekonomi rendah. Pengeluaran berjarak antara 1% - 20% dari garis kemiskinan atau Rp. 230.564,- – Rp. 276.677,- maka tergolong akses ekonomi sedang. Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan atau > Rp.276.677,- tergolong akses ekonomi tinggi. Akses pangan secara fisik digunakan untuk mengetahui keberadaan pasar, kondisi jalan, jarak ke pasar, dan keberadaan pedagang keliling. Akses fisik ini dianalisis menggunakan analisis regresi dengan variabel dummy. Analisis ini juga berkaitan dengan keseluruhan akses pangan yang didapatkan dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA) sebagai fungsi terhadap tingkat kecukupan energi. Akses pangan keseluruhan merupakan gabungan dari komponen- komponen dimensi akses pangan sosial dan ekonomi. Pembuatan variabel akses pangan ini didapatkan dari komponen akses sosial (pendidikan suami dan istri) dan akses ekonomi (pengeluaran total per kapita per bulan) dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Variabel akses pangan hasil Principal Component Analysis (PCA) ini disebut sebagai komponen utama akses pangan atau akses pangan. Nilai dari eigenvalues merepresentasikan peubah yang direduksinya. Besarnya representasi yang digambarkan bergantung pada
20 nilai kumulatif dari nilai eigenvalue terpilih. Selanjutnya skor PCA tersebut didapatkan dari persamaan dengan model sebagai berikut: Y1 = α11x1+ α12x2+ α13x3 Y2 = α21x1+ α22x2+ α23x3 Y3 = α31x1+ α32x2+ α33x3
Keterangan: Y1,2,3 = skor komponen utama contoh ke-n α1,2,3 = nilai koefisien persamaan peubah ke 1, 2, 3, dst X1,2,3 = nilai standardisasi masing-masing peubah pada contoh ke-1, 2, 3 Skor PCA ini kemudian diregresikan dengan dummy. Regresi dummy dilakukan karena pada faktanya akses pangan rumahtangga di desa program dibantu oleh perusahaan dan dampaknya diduga tergolong akses fisik. Indikator akses fisik ini berupa data kategorik sehingga keberadaannya ditunjukkan dengan nilai D=1 untuk desa program dan D=0 untuk desa nonprogram. Model regresi dummy tersebut dinyatakan sebagai berikut:
Y = 1 + 2D+X; e= ∑
Keterangan: Y α1,2,3,dst D X e ye y n
= Variabel independent = koefisien persamaan = dummy = koefisien X = Variabel dependent = estimasi standard eror = nilai estimasi y = nilai aktual y = jumlah observasi Jika nilai signifikansi D signifikan (p<0.05), artinya terdapat perbedaan
akses pangan pada kedua desa sebesar nilai koefisien D pada persamaan yang dibentuk. Sebaliknya jika nilai D tidak signifikan (p>0.05), maka tidak terdapat perbedaan akses pangan dikedua desa. Nilai koefisien D negatif menunjukkan bahwa desa program memiliki akses pangan dibawah desa nonprogram sebesar koefisien dummy tersebut. Nilai koefisien D positif menunjukkan desa progam memiliki akses pangan diatas desa nonprogram sebesar koefisien D. Persentase tingkat kecukupan energi (TKE) rumahtangga didapatkan dengan menghitung rata-rata konsumsi rumahtangga dibagi dengan rata-rata tingkat kecukupan energi rumahtangga dikali 100. Tingkat kecukupan energi
21 dikategorikan kurang jika TKE <70% AKG dan dikategorikan cukup jika TKE >70% AKG (Latief et al. 2000). Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi rumahtangga didapatkan dengan rumus sebagai berikut. Rata-rata konsumsi rumahtangga =
∑
Rata-rata kecukupan energi rumahtangga = ∑ Rata-rata TKE = Komponen akses pangan rumahtangga (lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pengeluaran total per kapita per bulan), skor PCA, dan tingkat kecukupan energi selanjutnya dianalisis menggunakan uji independent t-test untuk membandingkan perbedaan komponen tersebut didua desa. Berikut rumus independent t-test. √
√
Keterangan: t
= nilai t hitung = rata-rata kelompok 1 = rata-rata kelompok 2 = standard eror kedua kelompok = varian dari kedua kelompok = jumlah sampel kelompok 1 = jumlah sampel kelompok 2 = varian kelompok 1 = varian kelompok 2
N1 N2 1 2
Uji hubungan dilakukan terhadap tingkat kecukupan energi sebagai variabel independent dan komponen akses pangan serta skor PCA sebagai variabel dependent. Berikut adalah rumus korelasi pearson untuk menguji hubungan komponen tersebut. Keterangan: E Cov Corr
= nilai yang diharapkan = covariance = korelasi pearson = koefisien korelasi pearson
22 x, y = variabel acak µx, µy = nilai yang diharapkan dari variabel acak = standard deviasi Tabel 3 dibawah ini merupakan rangkuman dari penjabaran pengolahan dan analisis data yang dilakukan pada penelitian ini. Tabel 3 Pengkategorian indikator variabel penelitian Indikator Program pemberdayaan masyarakat
Akses Pangan
Kategori Sosial: peningkatan pendidikan formal Fisik: peningkatan distribusi pangan Ekonomi: peningkatan pendapatan Konsumsi: upaya peningkatan jumlah pangan Dasar: < 9 tahun Sedang: 10-12 tahun Tinggi: > 12 tahun Rendah: < 230.564,- Sedang: 230.564,- – 276.677,- GK Tinggi: > 276.677,- PCn = α1Xn” + α2yn” + α3zn” + …..
Tingkat kecukupan energi
Kurang : < 70% Cukup : > 70%
Lama pendidikan KK dan atau istri Pengeluaran total per kapita per bulan
Analisis Potensi dampak program terhadap peningkatan akses & konsumsi pangan t-test pearson t-test pearson PCA t-test pearson t-test pearson
Definisi Operasional Rumahtangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang berada dalam satu rumah, tinggal bersama, makan dari satu dapur, dan dikepalai oleh seorang kepala rumahtangga. Program pemberdayaan
masyarakat
adalah seperangkat program yang
dilaksanakan oleh Community Department PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin di Desa Wilas pada tahun 2011. Karakteristik program pemberdayaan masyarakat ini meliputi kebijakan, konsep dan strategi, serta program-programnya. Adapun program-program yang dilaksanakan dianalisis potensi dampaknya terhadap upaya yang mendukung akses dan konsumsi pangan di Desa Wilas. Hasilnya digunakan untuk menunjukkan keberadaan dukungan program terhadap akses dan konsumsi pangan. Akses pangan adalah kemampuan rumahtangga untuk mendapatkan pangan yang didasarkan pada pendekatan sosial ekonomi yaitu akses pangan ekonomi dan akses pangan sosial yang disesuaikan dengan program pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan. Akses pangan ini
23 direpresentasikan dari komponen akses pangan sosial dan ekonomi menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Skor dari beberapa komponen sosial ekonomi ini merepresentasikan akses pangan rumahtangga tersebut. Akses pangan ekonomi
adalah kemampuan rumahtangga mendapatkan
pangan yang didasarkan pada pengeluaran per kapita per bulan. Pengeluaran total ini meiputi pengeluaran untuk pangan dan nonpangan semua anggota rumahtangga setiap bulannya. Akses pangan ekonomi ini dikategorikan berdasarkan garis kemiskinan (GK) kotabaru tahun 2010 yaitu Rp. 230.546,-. Akses pangan ekonomi tergolong tinggi jika julmah pendapatannya > 20% GK, tergolong sedang jika berada diantara nilai GK s/d 20% GK, dan tergolong rendah jika pendapatan per kapita < GK. Akses pangan sosial adalah kemampuan rumahtangga dalam mendapatkan pangan atau makanan yang didasarkan pada lama pendidikan formal suami dan istri. Lama pendidikan suami dan istri ini digolongkan menjadi tiga yaitu dasar jika masa pendidikan < 9 tahun, sedang jika masa pendidikan 10-12 tahun, dan tinggi jika masa pendidikan >12 tahun (UU RI Nomor 20 tahun 2003). Konsumsi pangan rumahtangga adalah jenis dan jumlah pangan dalam gram yang dikonsumsi oleh seluruh anggota rumahtangga berdasarkan recall 1 x 24 jam. Kecukupan energi adalah jumlah kalori yang dibutuhkan oleh anggota rumahtangga berdasarkan angka kecukupan energi ideal yang dikoreksi berat badan, jenis kelamin, dan umur. Tingkat kecukupan energi adalah persentase perbandingan antara rata-rata jumlah kalori hasil konsumsi pangan rumahtangga dengan rata-rata kecukupan energi ideal rumahtangga. Klasifikasi tingkat kecukupan ini mengacu pada Latief (2000), jika TKE< 70% maka rumahtangga tersebut tergolong kurang. Sedangkan jika TKE≥70% maka rumahtangga tersebut dikatakan cukup.
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah Gambaran Umum Desa Wilas Lokasi. Desa wilas adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Kelumpang Utara. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Sulangkit, sebelah timur dengan Desa Mangga, sebelah selatan dengan Desa Manggis, dan sebelah barat dengan Kecamatan Sampanahan. Luas Desa Wilas sekitar 20 km2. Area tersebut mencakup lahan persawahan, kebun karet, ladang pemukiman, dan sisanya masih berbentuk hutan karena belum dimanfaatkan. Seluruh penduduk Desa Wilas adalah Suku Banjar. Jumlah penduduk seluruhnya yang bermukim di Desa Wilas sebanyak 221 KK atau 807 warga dengan jumlah laki-laki 403 orang dan perempuan sebanyak 404 orang. Akses menuju ibukota kecamatan ditempuh selama 45 menit menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat dengan jarak 12 kilometer. Desa Pudi sebagai Ibukota kecamatan menjadi salah satu alternatif pasar yang biasa dikunjungi oleh warga Desa Wilas. Selain itu, pusat perdagangan lain terletak di Desa Geronggang yang berjarak 45 kilometer melalui jalan tambang PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. Adapun akses desa menuju ibukota kabupaten harus ditempuh melalui jalan darat baik menuju Desa Pudi maupun Desa Geronggang yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan speed boat ataupun kapal cepat. Umumnya warga menggunakan kendaraan roda dua sebagai alat transportasi utama. Sarana dan prasarana. Desa Wilas memiliki prasarana jalan yang sudah rusak untuk akses keluar desa. Kondisi jalan utama menuju Desa Wilas ke Desa Geronggang cukup baik. Sedangkan menuju Desa Sulangkit rusak. Adapun menuju Desa Mangga rusak berlumpur pada satu titik. Kondisi jalan belum ada pengerasan secara merata, masih didominasi oleh jalan tanah yang sulit dilalui terutama pada saat hujan turun. Sarana pemerintah yang ditemui di Desa Wilas adalah kantor desa, pasar, TPA, SD, SMP,dan Puskesdes. Pada tahun 2012, sumber listrik untuk Desa Wilas berasal dari generator milik Perusahaan Listrik Negara (PLN). Gambaran Umum Desa Sulangkit Lokasi. Desa Sulangkit merupakan desa yang berbatasan dengan Desa Sukadana di sebelah utara. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Pudi Seberang, sebelah selatan dengan Desa Mangga, dan sebelah barat dengan
25
Desa Wilas. Luas wilayah desa ini adalah 33 km2. Jumlah penduduk Desa Sulangkit seluruhnya berjumlah 175 Jiwa dimana jumlah laki-laki 92 jiwa dan perempuan
83 jiwa. Kepadatan penduduk Desa Sulangkit adalah 2 0,018jiwa/km . Jarak tempuh desa menuju ibukota kecamatan adalah 10 kilometer sedangkan ke ibukota kabupaten adalah 70 kilometer (RPJMD Sulangkit 2011). Sarana dan prasarana. Ruas jalan Desa yang melewati Desa Sulangkit sepanjang ± 6 kilometer yang menghubungkan poros jalan antar Desa Sulangkit dengan Desa Pudi dan Desa Sekandis. Panjang jalan Desa seluruhnya berjumlah ± 9 kilometer yang terdiri dari jalan utama desa dan jalan lingkungan. Adapun jalan lainnya adalah titian atau jembatan kayu dan jalan setapak. Berdasarkan data Desa Sulangkit pada tahun 2011 jumlah sekolah untuk SD sebanyak 1 buah dan TPA 1 buah. Pekerjaan Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan pada suami/istri di desa program (40%) dan nonprogram (58,1%) adalah petani. Suami dan istri didesa nonprogram tidak ada yang menjadi buruh non tani (0%). Di desa program terdapat 26,7% suami atau istri yang bekerja sebagai buruh non tani. Kondisi ini dikarenakan di desa program memiliki jumlah penduduk yang lebih besar sehingga warga yang akan memulai pertanian atau memanen hasilnya cenderung meminta bantuan warga lainnya dengan upah berupa uang tunai Rp. 50.000,- per hari atau bagi hasil panen. Tabel 4 Sebaran rumahtangga berdasarkan pekerjaan suami dan istri Jenis pekerjaan Petani
Program
Nonprogram Jumlah %
Jumlah
%
25
58.1
18
40.0
Buruh tani
0
0.0
12
26.7
Buruh nontani
0
0.0
0
0.0
PNS Jasa Pedagang Tidak bekerja IRT
0 1 2 1 9
0.0 2.3 4.7 2.3 20.9
1 0 1 0 6
2.2 0.0 2.2 0.0 13.3
Lainnya
5
11.6
7
15.6
Pekerjaan lainnya di desa program (15,6%) lebih tinggi dibanding desa nonprogram (11,6%). Kondisi ini diduga karena jarak desa program lebih dekat
26 dengan perusahaan dan kontraktor tambang. Beberapa pekerjaan lainnya adalah kontraktor thiess, kontrak dengan penanaman karet PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin, dan sebagian menjadi guru honorer. Karakteristik Program Pemberdayaan Masyarakat Kebijakan Dasar kebijakan Community Department (CD) tercantum dalam dokumen kebijakan, keselamatan, dan kesehatan kerja, lingkungan serta kemasyarakatan (K3LK) yang dibuat oleh perusahaan. Dokumen tersebut mencantumkan lima poin kebijakan yang dua poin diantaranya adalah kebijakan dasar yang berhubungan
dengan kemasyarakatan. Kebijakan
tersebut
adalah
1)
mengembangkan hubungan baik dengan masyarakat setempat melalui komunikasi yang terbuka dan proaktif yang didasari atas keyakinan, saling percaya, dan kebersamaan dan 2) mendorong keterlibatan secara aktif dari semua pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan kebijakan ini. Komitmen perusahaan ini lebih khusus ditetapkan dalam kebijakan mengenai visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan. Dokumen ini tertuang dalam memorandum Nomor 290/AI/VIII/2008 yang ditandatangani oleh Chief Executive Officer (CEO) pada tahun 2008. Berikut adalah kebijakan yang terdiri dari visi, misi, tujuan, dan strategi. Tabel 5 Kebijakan visi dan misi tanggung jawab sosial perusahaan1 Komponen Visi Misi
Uraian Berdayanya masyarakat lingkar tambang menjadi mandiri dan sejahtera. Memberdayakan sumber daya lokal dengan berpegang pada nilai-nilai adat dan budaya setempat. Tujuan 1. Berpartisipasi dalam pembangunan daerah dengan membangun struktur komunitas yang tidak berdaya menjadi lebih berdaya dalam menciptakan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat setempat. 2. Menjalin hubungan yang harmonis dengan pemangku kepentingan, berdasarkan atas keyakinan, saling percaya, kebersamaan, dan saling menguntungkan. Strategi 1. Membangun kemitraan atas dasar saling menguntungkan antara perusahaan, masyarakat, pemerintah, dan mitra kerja. 2. Hidup berdampingan dengan masyarakat, harmonis, dan saling percaya dimana perusahaan beroperasi. 3. Membangun keswadayaan masyarakat dalam rangka mengelola dan mengembangkan potensi sumberdaya lokal. 4. Berbasis komunitas dan sumberdaya lokal. 5. Melaksanakan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat (Community Development). 6. Menyiapkan kemandirian masyarakat pasca tambang. 1 Sumber: memorandum Nomor 290/AI/VIII/2008
Wibisono (2007) merangkum cara pandang perusahaan terhadap CSR menjadi menjadi tiga yaitu pertama basa basi atau keterpaksaan, kedua upaya
27 memenuhi kewajiban (compliance), dan ketiga dorongan tulus dari dalam (beyond compliance). Perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk mencipatakan profit demi kelangsungan perusahaan melainkan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dasar pemikirannya adalah kesehatan finansial. Berdasarkan pembagian tersebut, cara pandang PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin terhadap pelaksanaan CSR termasuk pada golongan tiga. Perusahaan telah menyadari bahwa masyarakat sekitar daerah operasi tambang harus mandiri dan sejahtera. Hal ini dibuktikan dengan adanya komitmen perusahaan dalam kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan yang tercantum dalam tabel 4. Manager site Senakin, sebagai pimpinan tertinggi daerah tambang, mempunyai prinsip bahwa jika masyarakat lokal sekitar tambang tidak lebih mandiri setelah adanya perusahaan, maka pelaksanaan program ini terbilang gagal. Wibisono
(2007) menyatakan bahwa
alasan pertama
diimplementasikannya CSR adalah komitmen pemimpinnya. Selain itu, kutipan dari supervisor community development mengenai kewajiban CSR sebagai berikut: “Konsumen akan melihat predikat proper yang diberikan kementrian lingkungan hidup atas pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan ini sehingga pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat ini merupakan kesadaran perusahaan untuk investasi kesehatan dan kemajuan finansial” Cara pandang dan prinsip ini juga sejalan dengan pernyataan Lubis (2011) bahwa dua elemen pokok dari pemberdayaan adalah kemandirian dan partisipasi. Berdasarkan kebijakan yang tercantum dalam tabel 4 dapat dilihat bahwa perusahaan memiliki cita-cita untuk menjadikan masyarakat mandiri dengan sumber daya lokal yang dimilikinya. Oleh karena itu, prinsip pemberdayaan masyarakat telah tertuang dalam kebijakan yang diacu oleh pelaksana program sehingga harapannya visi tersebut bisa dicapai pada akhir operasi tambang tahun 2017. Sumber Daya Manusia (SDM) Community Department (CD) didukung oleh sumberdaya manusia dengan struktur seperti gambar 2. Berdasarkan gambar tersebut, community superintendent berada langsung dibawah manager PT Arutmin Tambang Senakin. Selanjutnya dalam community department dibagi menjadi dua sub yaitu community development (comdev) dan community relation (comrel). Masing-
28 masing sub ini dipimpin oleh seorang supervisor. Pelaksanaan kegiatan comdev dibagi menjadi tiga bidang yaitu ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Bidang kesehatan dan pendidikan dilaksanakan secara mandiri oleh pelaksana CD Senakin. Adapun dalam bidang ekonomi, CD senakin membentuk LPPM dan project karet serta bermitra dengan Dompet Duafa Corpora. Bidang infrastruktur, sosial budaya, dan hubungan kemasyarakatan dilakukan oleh comrel. Bidang comrel dibantu oleh seorang asset protection yang berada langsung dibawah admin & la supraintendent. CD Senakin bekerjasama dengan berbagai lembaga evaluasi seperti CFCD (Corporate Forum for Community Development) dan SII (Social Investment Indonesia) untuk melakukan evaluasi program di lapangan. Selain itu, kerjasama dengan berbagai stakeholder ini membantu dalam perencanaan program pemberdayaan yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya. Senakin mine manager Superintendent Superintendent Admin & LA Community Superintendent Superintendent
Community Relation
Community Development Supervisor
Supervisor
Community Development officer
Community Development officer
Assisstant project karet Assisstant comdev
LPPM Dompet Dhuafa
Community Relation Officer
Kontrak kemasyarakatan
Community Relation Officer
Asset Protection
LCO Gambar 2 Struktur organisasi Community Department Tambang Senakin
29 Konsep dan Strategi PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin telah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat sekitar tambang sejak dimulai beroperasinya tambang pada tahun 1988. Awalnya pelaksanaan program ini dipicu oleh tuntutan masyarakat yang menuntut kompensasi dari kegiatan PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. Sejak tahun 2000 program untuk masyarakat mulai ditata dan diarahkan pada kegiatan yang mempunyai nilai-nilai pemberdayaan masyarakat (SII 2012). Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat disusun atas sebuah konsep dan strategi yang dibuat untuk mencapai visi departemen. Pada dasarnya konsep ini bertujuan untuk menguatkan sisi perekonomian masyarakat sehingga tercapai masyarakat mandiri pada tahun 2017. Kerangka kerja pemberdayaan
masyarakat
menitikberatkan
pada
penguatan
ekonomi.
Penguatan ekonomi ini didukung oleh pelaksanaan program-program di bidang kesehatan dan pendidikan. Selain itu, program dibidang infrastruktur dan kegiatan sosial lainnya dilakukan untuk mencapai target masyarakat mandiri pada akhir operasi tambang. Secara tidak langsung, bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur bukan menjadi tujuan utama pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Strategi yang dilakukan CD adalah membagi target pencapaian program dalam tiga tahap. Tahap pertama dimulai dengan “memberi” yang dilaksanakan pada tahun 2004-2009. Strategi ini ditujukan untuk menumbuhkembangkan usaha dengan membangun dasar-dasar ekonomi. Secara umum, konsep pemberdayaan masyarakat ini merupakan kerjasama dari bagian community development (comdev) dan community relation (comrel). Ruang lingkup comdev adalah membangun dasar ekonomi, membangun dan mengembangkan potensi sumberdaya lokal sebagai dasar menuju masyarakat yang percaya diri untuk menjadi mandiri dan sejahtera. Sedangkan ruang lingkup comrel memberikan dukungan kepada tim comdev dalam membangun prasarana dasar dan mendorong terciptanya tatanan masyarakat yang kondusif, harmonis, gotong royong, jujur, dan dinamis. Tahap kedua (2010-2013) merupakan tahap transisi menuju masyarakat mandiri. Tahap ini dilaksanakan dengan konsep “mengajak” dimana dilakukan program-program penguatan usaha dan membangun jaringan, serta penguatan organisasi dan permodalan. Selanjutnya, tahap ketiga yang akan dilaksanakan
30 pada tahun 2014-2017 berada pada tahap “membangun”. Pada tahap ini diharapkan adanya kestabilan usaha, kepercayaan diri, adanya jaringan, dan modal yang kuat. Target ini merupakan indikator pencapaian masyarakat mandiri atau keterandalan masyarakat dalam bidang ekonomi pada tahun 2017. Tabel 6 Strategi prioritas tahunan Community Department tambang senakin1 Strategi program Prioritas
Keterangan 2004-2009 2010-2013 2014-2017 Mandiri Infrastruktur Ekonomi Pertanian Pertanian Ring I dan II Pendidikan Sosial Budaya Perdagangan Perdagangan Ring I, II,III Sosial 3 Kesehatan Infrastruktur Budaya - Ring I, II, III 4 Ekonomi Pendidikan Pendidikan - Ring I, II, III Sosial 5 Budaya Kesehatan Infrastruktur - Ring I, II, III 6 Donation Donation Donation - Ring I, II, III 1 Sumber: SII (2012) Ke- 1 2
Community Department (CD) PT PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin Tambang Senakin menurunkan konsep tersebut menjadi program objektif tahunan. Hasilnya adalah adanya skala prioritas pelaksanaan program pemberdayaan
yang dilakukan
setiap jangka waktu yang disertakan.
Berdasarkan tabel 6, pada tahun 2011 (2010-2013) prioritas pelaksanaan program adalah bidang ekonomi. Prioritas kedua yang dijalankan adalah bidang sosial budaya, selanjutnya bidang infrastruktur. Sedangkan bidang pendidikan dan kesehatan berada pada skala prioritas empat dan lima. Pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan belum menjadi prioritas utama karena berdasarkan kerangka kerja CD, kedua bidang ini merupakan bidang pendukung penguatan bidang ekonomi. Selain itu, sampai saat ini belum dilakukan pemetaan khusus mengenai bidang kesehatan dan pendidikan. Pada Akhirnya, program-program kesehatan dan pendidikan yang dilaksanakan pada tahun 2011 masih mengacu pada pelaksanaan program sebelumnya.
Adapun
pelaksanaan
program
pada tahun-tahun
infrastuktur
dilaksanakan
berdasarkan kebutuhan nyata dari masyarakat melalui proposal yang diajukan masyarakat ke perusahaan. Kegiatan sosial budaya dilaksanakan dalam rangka untuk mendekatkan hubungan antara pelaku usaha dengan masyarakat setempat. Hasil wawancara dengan salah satu staff CD menuturkan bahwa strategi prioritas bidang ini telah dilaksanakan terlebih untuk periode kedua yaitu tahun 2010-2013. Akan tetapi, SII (2012) menunjukkan bahwa kerangka kerja dan strategi pelaksanaan CD ini belum dapat secara jelas mendeskripsikan indikator-
31 indikator serta target pencapaian perusahaan ditiap tahap setiap tahunnya meskipun menyertakan rencana waktu dari setiap tahapan. Program Rancangan program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin mengacu pada standar CSR ISO:26000, Proper lingkungan hidup, dan mendukung percepatan Millenium Development Goals (MDG’s). Rancangan ini tentu saja disesuaikan dengan keadaan dan terutama kebutuhan aktual masyarakat di desa sekitar tambang. Kondisi dan kebutuhan masyarakat ini dilakukan melalui kegiatan pemetaan sosial (social mapping) yang dilaksanakan oleh lembaga kompeten. Selain itu, pengajuan proposal dan informasi dari masyarakat lokal menjadi sumber penting lainnya dalam merancang program. Program pemberdayaan masyarakat PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin dilaksanakan di 28 desa yang dibagi menjadi tiga ring atau prioritas impelementasi program. Ring 1 merupakan desa-desa yang terkena dampak pertambangan secara langsung. Ring 2 merupakan desa-desa yang tidak terkena dampak pertambangan secara langsung. Ring 3 merupakan desa-desa yang tidak terkena dampak. Tabel 7 Lokasi desa penerima program pemberdayaan masyarakat1 Kecamatan Ring 1 Sebuli, tamiang bakung
Kelumpang tenga Kelumpang Utara Pamukan Selatan Sampanahan
1Sumber: SII (2012)
Mangga, Wilas, Sungai Seluang Gunung Calang, Sekandis, Talusi Gunung Batu Besar, Besuang, Papaan
Desa Ring 2 Ring 3 Tebing tinggi, Tanah Tanjung Selayar, Rata, Senakin, Sungai Pinang, Senakin Seberang Sungai Punggawa Pudi, Pudi Seberang - Sukadana - Sepapah, Sungai Betung
Sukamaju, Banjarsari, Tanjung Sari, Sampanahan
Lubis (2011) menjelaskan tahapan program pemberdayaan masyarakat dimulai dengan identifikasi potensi dan masalah. Selanjutnya, penetapan tujuan, penetapan rencana kerja, kemudian aksi atau pelaksanaan rencana kerja, dan pada akhirnya diadakan evaluasi kegiatan. Evaluasi dan monitoring adalah salah satu kegiatan yang penting untuk melihat apakah pelaksanaan pemberdayaan sesuai dengan yang direncanakan. Tahap pertama adalah identifikasi potensi dan masalah. Tahap pertama ini dilakukan oleh pihak luar seperti Corporate Forum for Community
32 Development (CFCD) setiap tiga tahun sekali. Selain itu, dilaksanakan juga oleh tim Dompet Dhuafa menurut desa yang dijadikan sasaran program. Selanjutnya penetapan tujuan dan rencana kerja didiskusikan dengan staf community department (CD) karena aksi program pemberdayan masyarakat ini akan dilaksnaakan oleh staf, supervisor, tim dompet dhuafa, dan tim LPPM. Wibisono (2007) berpendapat bahwa pelaksanaan program CSR atau pemberdayaan ini sedapat mungkin diupayakan memenuhi beberapa poin, diantaranya berbasis sumberdaya lokal, berbasis pada pemberdayaan masyarakat, mengutamakan program yang berkelanjutan, berdasar perencanaan partisipatif atau didahului oleh penilaian kebutuhan (need assessment), dihubungkan dengan bisnis inti perusahaan, dan fokus pada prioritas. Berdasarkan hal tersebut, maka CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin telah berupaya memenuhi semua poin tersebut. Berbasis sumberdaya lokal telah dibuktikan PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin dalam kebijakan dasar perusahaan. Selain itu, penguatan berbagai kelompok usaha masyarakat setempat dengan potensi daerahnya. Selain itu, dilaksanakan modifikasi bibit karet yang berasal dari karet lokal yang selanjutnya akan dipergunakan oleh masyarakat setempat. Berbasis pada pemberdayaan masyarakat merupakan konsep CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Hal ini dibuktikan dalam memorandum Nomor 290/AI/VIII/2008 bahwa community development merupakan salah satu strategi yang harus dijalankan dalam CSR. Perencanaan partisipatif dilakukan CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin setiap tiga tahun sekali oleh pihak luar atau setiap akan melaksanakan program baru seperti kegiatan pendampingan oleh Dompet Dhuafa. CD PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin memiliki prioritas bidang yang dijadikan acuan.
Hal
tersebut
merupakan
bukti
bahwa
perusahaan
tersebut
mengutamakan program yang berkelanjutan seperti pada bidang ekonomi dan mengutamakan prioritas pada tahun strategi. Adapun hubungan dengan bisnis inti, perusahaan melaksanakan mining
tour sebagai salah
satu cara
pemberdayaan dalam memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai kegiatan pertambangan. Tahap selanjutnya adalah aksi atau implementasi program. Implementasi program dilaksanakan berdasarkan rencana program yang telah dibuat. Adapun
33 tahap evaluasi dilakukan secara berjangka dan tahunan. Evaluasi berjangka dilaksanakan setiap hari untuk mengevaluasi sekaligus monitoring program yang sedang dilaksanakan. Evaluasi tahunan dilaksanakan dengan mengundang pihak luar seperti tim dari CFCD. Evaluasi yang dilaksanakan oleh pihak luar ini melibatkan partisipasi masyarakat. Berdasarkan tipe evaluasi pada tabel 1 oleh Lubis (2011), evaluasi yang dilaksanakan oleh CD merupakan kombinasi dari evaluasi konvensional dan evalusi partisipatif. Evaluasi konvensional meliputi pelaku evaluasi adalah pihak luar sedangkan evaluasi berjangka dilakukan oleh staf dan perangkat CD. Hal yang dievaluasi berdasarkan indikator keberhasilan biasanya berupa kepuasan masyarakat dan output yang dihasilkan. Evaluasi CD dilakukan dengan pola seragam dan tergantung jadwal. Hasil dari evaluasi ini menjadi bahan pelaksanaan anggaran biaya dan program yang akan dilaksanakan di tahun berikutya. Evaluasi tahunan ini juga melibatkan masyarakat di ring 1 sebagai prioritas responden sasaran program pemberdayaan masyarakat. Potensi Dampak Program Pemberdayaan Masyarakat terhadap Upaya Peningkatan Akses Pangan di Desa Wilas Program bidang ekonomi sebagai program inti yang berjalan di Desa Wilas adalah Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PPEM) dari tim Dompet Dhuafa sebagai mitra CD dalam pelaksanaan program pemberdayaan. Adapun program di bidang kesehatan dijalankan di Desa Wilas adalah pemberian makanan tambahan bagi balita setiap tiga bulan, bantuan peralatan kesehatan, dan insentif bagi bidan. Program di bidang pendidikan yang dijalankan adalah Kuliah Kerja Profesi IPB, penelitian, mining tour, pelatihan kompetensi guru, dan kompetisi pendidikan. Bidang infrastruktur yang turut dibantu perusahaan adalah penyediaan sarana air bersih, perbaikan sarana jalan, penyediaan jaringan listrik, dan pembangunan sarana olahraga, bedah rumah. Selain itu, dibidang sosial budaya, perusahaan telah melaksanakan perayaan hari besar agama islam, pembianaan olahraga dan kesenian, kegiatan keagamaan, dan sosialisasi seputar operasional tambang. Tabel
8 menunjukkan potensi dampak program pemberdayaan
masyarakat berdasarkan elemen penting akses dan konsumsi pangan dalam KUKP 2010-2014. Program yang dilaksanakan menyentuh ranah upaya peningkatan akses pangan yaitu akses sosial, fisik, dan ekonomi pangan. Selain itu, salah satu dampak dari bantuan makanan tambahan bisa membantu
34 peningkatan konsumsi makanan bagi balita. Hanya saja, program tersebut tidak dirancang menjadi program yang saling berkaitan. Hal ini dibuktikan dengan tujuan program pemberdayaan masyarakat CD adalah membentuk masyarakat yang mandiri ekonomi. Bidang lainnya seperti kesehatan dan pendidikan merupakan tujuan penunjang masyarakat mandiri ekonomi. Hal ini diduga akses pangan khususnya dan sistem ketahanan pangan umumnya belum tersosialisasi kepada perusahaan. Rahayu (2007) menyatakan dalam penelitiannya mengenai potensi dampak program pemberdayaan masyarakat di PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) bahwa belum konsep ketahanan pangan belum disosialisasikan kepada perusahaan karena belum ada peraturan yang mengikat secara khusus mengenai penerapan konsep ini. Tabel 8 Program, sasaran, dan potensi dampak program yang dilaksanakan di Desa Wilas tahun 2011 No Program Sasaran Potensi Dampak A Pendidikan 1 Kompetisi pendidikan Siswa SMP - 2 Magang dan KKN & Penelitian Mahasiswa - 3 Pelatihan kompetensi guru Guru - B Kesehatan 1
Balita Bidan
Peningkatan konsumsi pangan -
4 Bantuan tanggap darurat C Ekonomi Program Pemberdayaan Ekonomi 1 Masyarakat (PPEM) tim dompet dhuafa
Umum
-
KUM
Peningkatan akses ekonomi pangan
2
Umum
Peningkatan akses ekonomi Pangan
D Sosial Budaya Dan Keagamaan 1 PHBN
Umum
-
2
Pembinaan olahraga dan kesenian
Umum
-
3
Kegiatan keagamaan
Umum
-
4
Sosialisasi seputar operasional tambang
Umum
-
3
Bantuan makanan tambahan posyandu Bantuan pendidikan untuk bidan
Insentif tenaga kemasyarakatan
E Pengembangan Infrastruktur 1 Rehabilitasi sarana pendidikan 2 Air bersih 3 Pembangunan jalan desa
Umum Umum
- Peningkatan akses fisik pangan
Umum
4 5 6
Umum Umum Umum
Peningkatan akses fisik & sosial pangan Peningkatan akses fisik pangan - -
Pembangunan jaringan listrik Bedah rumah Pembangunan sarana olahraga
35 Program Bidang Pendidikan. Pelaksanaan program pendidikan memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia masyarakat sekitar tambang. Program pendidikan yang telah dilaksanakan adalah 1) kuliah kerja profesi dan penelitian, 2) kompetisi pendidikan, 3) mining tour, 4) pelatihan kompetensi guru. Pelaksanaan
program
pendidikan
ini
memang
belum
optimal
diakarenakan tidak adanya data yang mendukung mengenai kebutuhan pendidikan masyarakat. Program yang telah dijalankan berdampak pada peningkatan pengetahuan dan kompetensi mengajar guru menjadi lebih baik. Selanjutnya, pengetahuan yang meningkat dapat meningkatkan kapasitas dan kompetensi siswa. Dampak dari kompetensi mengajar guru yang baik dapat meningkatkan kapasitas guru dalam mengajar. KKP dan penelitian pengetahuan baru penerima Kompetisi manfaat Dana pendidikan bertambah
Mining tour Pelatihan kompeten si guru INPUT
PROSES
Meningkat- nya pengetahuan
Teknik mengajar guru lebih baik OUTPUT
Kompetensi guru mengajar lebih baik OUTCOME
Gambar 3 Komponen program pendidikan.
Peningkatan kapasitas dan kompetensi
Peningka- tan kapasitas POTENSI DAMPAK
Program Bidang Kesehatan. Program-program dibidang kesehatan yang dilakukan masih bersifat donasi. Program yang telah dilaksanakan adalah pemberian makanan tambahan bagi balita setiap tiga bulan sekali pada saat posyandu,bantuan pendidikan bagi bidan, dan bantuan tanggap darurat. Potensi dampak pada peningkatan konsumsi pangan terlihat pada program pemberian makanan tambahan (PMT).
PMT balita Dana
Bantuan pendidi- kan bidan
Tanggap darurat INPUT
PROSES
Meragamkan makanan tambahaan
Bidan mendapat pendidikan Keadaan darurat teratasi OUTPUT
Status gizi kurang&buruk menurun Terdapat bidan ahli di desa
Penurunan tingkat bahaya OUTCOME
Gambar 4 Komponen program kesehatan
36
Peningkatan konsumsi
Peningkatan kesehatan
Penurunan bahaya POTENSI DAMPAK
Program Bidang Ekonomi. Bidang ekonomi merupakan bidang utama dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. Tujuan akhir dari bidang ekonomi adalah untuk mempersiapkan masyarakat mandiri di akhir operasi tambang. Pemberdayaan ekonomi masyarakat
di Desa Wilas
dilaksanakan dengan pendampingan dalam bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan. Pelaksanaan program inipertanian dan peternakan CD Senakin bekerjasama dengan tim dari Dompet Dhuafa. CD Senakin membentuk Assistant Project karet dalam bidang perkebunan. Secara umum, implementasi PPEM ini dijelaskan dalam gambar 5 berikut ini. TAHAP JANGKA TAHAP JANGKA PENDEK (2010- MENENGAH (2011- 2011) 2012) Menumbuhkan Penguatan dan kelompok pengembangan kelembagaan lokal Pembentukan kelembagaan lokal Pengembangan usaha melalui Pembuatan inkubasi bisnis konsensus bersama & Perintisan usaha kelompok
TAHAP JANGKA PANJANG(masa pendampingan berikutnya) Kelembagaan lokal menjadi motor pemberdayaan komunitas Usaha berkembang (menjadi pengelola dana-dana masyarakat) profesional dan Gambar 5 Tahapan program pemberdayaan ekonomi masyarakat. terpercaya)
Gambar 5 tersebut menunjukkan bahwa implementasi program PPEM terbagi menjadi tiga periode. Periode pertama (2010-2011) merupakan tahap awal atau inisisasi dalam merintis usaha. Saat ini, Desa Wilas sedang berada pada tahap dua atau periode jangka menengah. Pada tahap ini dihasilkan tujuh Kelompok Usaha Mandiri (KUM), yaitu: 1. KUM Bina Bersama, usaha peternakan ayam kampung
37 Kelompok ini melakukan usaha penggemukan dan pembibitan ayam kampong yang diketuai oleh Bapak Abdul Hamid. Saat ini, ada tujuh dari delapan orang yang masih mengikuti program penggemukan ayam kampong. Menurut laporan DD per Juni 2012 pengurus pada kelompok ini tidak berjalan sesuai fungsinya. Seluruh keputusan dan kebijakan kelompok diserahkan kepada anggota kelompok dan ada beberapa mitra yang belum melaksanakan usaha karena kondisi keluarga yang belum stabil. Total dana yang telah direalisasikan adalah Rp. 7.200.000,- dari total dana yang diajukan sebesar Rp. 12.951.000,-. Dana tersebut digunakan untuk membuat kandang ayam,pembelian bibit, dan pembelian disinfektan. Kendala yang dihadappi selain adanya ketidakstabilan pengurus adalah sulitnya mencari bibit ayam yang sesuai dengan besar rata-rata ½ kilogram. Lokasi kandang berada di empat lokasi dengan satu lokasi bersama dengan tiga mitra dan tiga lokasi lainnya di rumah masing-masing mitra. 2. KUM Ternak Bina Usaha, usaha itik petelur Kelompok ini menjalankan usaha peternakan itik petelur yang diketuai oleh Bapak M. Bakar. Saat ini hanya ada lima dari 13 orang yang masih mengikuti usaha peternakan ini. Pelaksanaan kepengurusan pada kelompok ini sudah berjalan sesuai fungsinya. Dana yang telah diserap dari program ini adalah sebesar Rp. 39.025.000,- dari Rp. 45.182.000,-. dana tersebut digunakan untuk pembuatan kandang, pembelian bibit itik, pembelian pakan,dan pembelian disinfektan. 3. KUM Berkat Usaha Bersama, usaha pertanian jagung Kelompok ini merupakan kelompok yang menjalankan usaha pertanian jagung. Pelaksanaan usaha ini diketuai oleh M. Hatta yang saat ini beranggotakan tiga orang. Kendala yang dihadapi dalam kelompok ini adalah pengurus kelompok belum berjalan optimal, lokasi tanam, dan pemasarannya. Sampai saat ini usaha pertanian jagung baru panen satu kali yang menghasilkan 7000 tongkol jagung. Hasil panen dipasarkan di sekitar Desa Wilas, pasar geronggang, kotabaru, dan pagatan. Dana yang telah diserap yaitu Rp.6.700.000,-. 4. KUM Harapan Kami, usaha pertanian kacang tanah Usaha pertanian Hortikultura yang dilakukan oleh kelompok ini adalah pertanian kacang tanah. Kelompok yang diketuai oleh Bapak Sahruni ini memiliki dua anggota kelompok dimana satu orang dari anggotanya sudah
38 bisa melaksanakan usaha dari modal sendiri. Hasil panen pertama sudah bisa di pasarkan di sekitar Desa Wilas. Dana yang telah diserap untuk usaha ini adalah Rp.9.563.000,-. 5. KUM Usaha Bersama, usaha pemasaran getah karet Kelompok usaha mandiri usaha bersama ini adalah kelompok yang bergerak dalam pemasaran getah karet. Hanya ada satu orang di desa wilas yang mengikuti kelompok ini. Sebenarnya yang dijadikan binaan atau dampingan adalah pengumpul getah karet. Namun, dari hasil bagi keuntungan ada sekitar 5% bagi semua pengumpul karet yang dikumpulkan di Abdullah mendapatkan cuka. Karet yang telah dikumpulkan ini ditimbun sampai terkumpul dalam jumlah yang menguntungkan bagi produsen. Pemasaran getah karet ini juga bergabung dengan pengumpul karet di desa lain yang dijadikan desa binaan. Pemasaran getah karet ini dilakukan di Banjarmasin dengan pembagian keuntungan 30% untuk koperasi, 10% untuk induk, 30% untuk pengelola, 5% untuk bonus, dan 25% dijadikan tambahan modal usaha. Kendala yang dihadapi dalam usaha pemasaran getah karet ini adalah cuaca dan harga karet di pabrik. Dana yang sudah terserap oleh kelompok ini adalah Rp. 26.000.000,-. 6. KUM Harapan Bersama, usaha budidaya lobster air Kelompok ini menjalankan usaha di bidang budidaya lobster air tawar. Tujuan diadakan usaha budidaya ini adalah untuk menunjukkan bahwa didaerah pertanian dan perkebunan masih bisa melaksanakan usaha perikanan. KUM Harapan Bersama diketuai oleh Sardiansyah yang sudah menyerap Rp. 14.688.000,- untuk permodalan dan pelatihan. Jumlah anggota KUM Harapan Bersama berjumlah 10 orang. 7. KUM Bina Lobster Lestari, usaha budidaya lobster air tawar Kelompok ini menjalankan usaha di bidang budidaya lobster air tawar. KUM Bina Lobster Lestari yang diketuai oleh Badrudin sudah menyerap dana sebesar Rp. 16.138.000,-. KUM Bina Lobster Lestari memiliki 9 orang anggota. Selain PPEM, Desa Wilas juga menerima bibit karet unggul yang dibudidayakan di sekitar desa. Pengadaan bibit karet unggul ini merupakan inisisasi CD Senakin untuk merubah pola perkebunan karet lokal menjadi klonal (karet unggul). Strategi yang dijalankan adalah memilih satu tim project yang akan mengurusi perkebunan dan program-program karet kedepannya.
39 Terdapat tiga program yang saat ini sedang dijalankan. Pertama adalah pengadaan karet unggul dari hasil okulasi anakan karet lokal dengan berbagai jenis karet unggul di kebun P4T Dahlia, Desa Tamiang Bakung. Kedua, pengadaan bibit karet unggul dari penangkaran karet yang ada di Plehari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Ketiga, pengadaan bibit karet batang atas (entres) di Desa Wilas. Masyarakat Desa Wilas bisa mengakses bibit-bibit tersebut dengan cara membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari lima orang anggota. Sebanyak 500 bibit diberikan pada setiap kelompok yang harus ditanam di lahan seluas 1 hektar milik masyarakat. Perbandingan produktifitas karet lokal dan karet unggul adalah 1:3. Satu hektar lahan karet lokal dapat menghasilkan 40 kilogram karet, sedangkan karet unggul dapat mencapai 120 kilogram. Analisis terhadap komponen program bidang ekonomi bisa dilihat pada gambar 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa input berupa dana disalurkan ke Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat (PPEM) Dompet Dhuafa dan proyek karet. Keluaran dari dua proses ini adalah terbentuk Kelompok Usaha Masyarakat (KUM) dan tersedianya bibit karet unggul. Dampak dari terbentuknya KUM adalah peningkatan pendapatan masyarakat sehingga berpotensi untuk meningkatkan ketersediaan pangan, akses, dan konsumsi atau pemanfaatan pangan. Hasil dari proyek karet adalah tersedianya bibit karet unggul sehingga harapannya bisa meningkatkan produksi getah karet. Bertambahnya produksi getah karet ini berpotensi meningkatkan pendapatan atau akses ekonomi pangan bagi petani karet yang berada di Desa Wilas. Meningkatnya PPEM Terbentuk pendapatan KUM masyarakat Dana Karet
Bidan INPUT
Tersedianya bibit karet unggul
Meningkatnya produsi getah karet
Meningkatkan ketersediaan, akses,dan pemanfaatan pangan Meningkatkan akses ekonomi pangan
PROSES OUTPUT OUTCOME POTENSI DAMPAK
Gambar 6 Komponen program bidang ekonomi Program bidang infrastruktur. Bidang infrastruktur merupakan bidang yang ditangani oleh divisi community relation. Program-program yang dijalankan
40 selama tahun 2011 adalah pengadaan sarana air bersih, pembangunan jalan desa dan gorong-gorong, pembangunan jaringan listrik, bedah rumah, dan pembangunan sarana olahraga. Berdasarkan gambar 7, program dibidang infrastruktur yang mendukung terhadap peningkatan akses pangan rumahtangga adalah pembangunan jalan desa dan gorong-gorong serta pembangunan jaringan listrik. Pembangunan jalan ini menjadikan jalan desa menjadi lebih baik sehingga akses rumahtangga untuk ke pasar dan mengikuti program paket pendidikan pemerintah menjadi lebih mudah. Adapun pengadaan sarana air bersih berpotensi pada peningkatan kualitas konsumsi air bersih. Program bedah rumah dan pembangunan sarana olahraga dilakukan secara insidental sesuai dengan permintaan melalui proposal warga. Kedua program tersebut tidak berpotensi langsung terhadap peningkatan akses fisik dan konsumsi pangan. Air bersih Tersedia air bersih tambahaan Jalan Dana Terdapat balita desa dan jalan desa gorong- yang lebih gorong mudah Tersedia Jaringan sarana listrik penerangan Bedah rumah Sarana olahraga
Kondisi rumah membaik Tersedia sarana olahraga
Peningkatan konsumsi air bersih Efektifitas mobilisasi
Peningkatan kualitas konsumsi pangan Peningkatan akses fisik dan sosial
Peningkatan akses media elektronik
Peningkatan informasi
Perbaikan
Kelayakan tempat tinggal Kemudahan sosialisasi
kualitas papan
Bertambahnya media sosial
INPUT
PROSES
OUTPUT
OUTCOME
Gambar 7 Komponen program infrastruktur.
POTENSI DAMPAK
Program bidang sosial dan budaya. Program yang sudah dijalankan adalah donasi bagi perayaan hari besar islam, kegiatan keagamaan, sosialisasi seputar operasional tambang, pembinaan olahraga dan kesenian, pembinaan budaya lokal, dan penanggulangan bencana lokal jika ada. Program-program ini dilaksanakan dalam rangka memperlancar hubungan CD dengan massyarakat sekitar tambang.
41 Akses Pangan Rumahtangga Departemen Pertanian (2008) mendefinisikan akses pangan sebagai kemampuan rumahtangga secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup melalui kombinasi cadangan pangan mereka sendiri dan hasil dari rumah atau pekarangan sendiri, pembelian, barter, pemberian, pinjaman, dan bantuan pangan. Akses pangan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai kemampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan yang didasarkan pada akses sosial dan akses ekonomi yang disesuaikan dengan program pemberdayaan yang telah dilakukan. Akses Sosial Akses sosial didefinisikan sebagai kemampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan yang didasarkan pada lama pendidikan suami dan istri. Lama pendidikan dikategorikan dasar jika masa pendidikan formal ≤ 9 tahun, sedang 10-12 tahun, dan tinggi >12 tahun (UU RI Nomor 20 Tahun 2003). Lama pendidikan suami. Rata-rata suami di desa program mengalami masa pendidikan selama 5.87±4.47 tahun lebih lama dibandingkan dengan masa pendidikan suami di desa nonprogram selama 4.87±3.00 tahun. Adapun masa pendidikan paling lama di desa program adalah 16 tahun dan 0 tahun untuk masa pendidikan yang paling rendah. Begitupun dengan di desa nonprogram, 0 tahun merupakan masa pendidikan yang paling rendah dan 12 tahun merupakan masa pendidikan yang paling tinggi. Tabel 9 Statistik lama pendidikan suami di desa program dan nonprogram Statistik Program Nonprogram Rata-rata±standar deviasi (tahun) 5.87±4.47 4.87±3.00 Maksimum (tahun) 16 12 Minimum (tahun) 0 0 Jumlah suami dikedua desa hanya 22 orang karena satu rumahtangga memiliki suai yang telah meninggal. Secara keseluruhan, tabel 10 menjelaskan bahwa lama pendidikan suami didominasi (88.6%) oleh kategori dasar atau masa pendidikan ≤ 9 tahun dan sebesar 4.5% suami yang memiliki pendidikan tinggi. Tingkat pendidikan suami di desa program didominasi (81.8%) oleh kategori dasar atau masa pendidikan ≤9 tahun. Namun, terdapat 9.1% rumahtangga di desa program dengan masa pendidikan >12 tahun atau yang tergolong tinggi. Begitupun dengan desa nonprogram, tingkat pendidikan suaminya didominasi oleh tingkat dasar (95,7%). Hanya sebesar 4.5% suami di desa nonprogram yang bisa mencapai tingkat pendidikan sedang.
42 Tabel 10 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan suami Tingkat pendidikan
Program1 Jumlah %
Nonprogram1 Jumlah %
Total Jumlah
%
Dasar (≤ 9 tahun)
18
81.8
21
95.5
39
88.6
Sedang (10-12 tahun)
2
9.1
1
4.5
3
6.8
2
9.1
0
0
2
4.5
Tinggi (> 12 tahun)
1suami meninggal sebanyak 1 orang
Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara lama pendidikan suami di desa program dan desa nonprogram. Hal ini diduga karena letak sekolah mengenah berada di ibukota kecamatan. Aksesibilitas menuju ibukota kecamatan masih sulit untuk dilalui dan jumlah kendaraan yang masih sedikit. Oleh karena itu, suami atau kepala keluarga lebih memilih untuk bekerja dibandingan dengan sekolah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Agustiani (2012) bahwa meskipun tidak berbeda secara statistik, persentase keluarga yang memiliki akses pangan komponen tingkat pendidikan suami lebih tinggi pada kelompok penerima apabila dibandingkan dengan keluarga pada kelompok bukan penerima program desa mandiri pangan. Permatasari (2004) menemukan hal yang sama bahwa sebagian besar tingkat pendidikan kepala keluarga petani adalah rendah. Sunarti (2009) juga menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan formal istri dan suami yang bekerja sebagai penggarap dan buruh tani didominasi oleh lulusan SD atau tidak tamat SD. Kasryono (2000) menyatakan bahwa tenaga kerja pertanian di wilayah pedesaan didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat sekolah. Hal tersebut diduga menjadi penyebab rendahnya akses pangan. Behrman & Wolfe (1984) menyatakan bahwa akses pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal. Sukandar dkk (2009) menyatakan bahwa tingkat pendidikan di suatu wilayah pada umumnya akan mencerminkan keragaman mata pencaharian yang dijalani penduduk di wilayah tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, Nurlatifah (2011) menjelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap produktivitas dan output yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan. Peningkatan pendapatan selanjutnya akan menentukan akses untuk mendapatkan pangan. Lama pendidikan istri. Rata-rata lama pendidikan istri di desa program tidak jauh berbeda (4.91±3.68 tahun) dengan desa nonprogram (4.35±3.05
43 tahun). Hanya saja di desa program terdapat istri yang sudah mencapai pendidikan tinggi atau lama pendidikan 14 tahun, sedangkan di desa nonprogram lama pendidikan paling tinggi adalah 9 tahun yang tergolong pendidikan dasar. Adapun dikedua desa masih terdapat istri yang tidak mengenyam pendidikan formal. Tabel 11 Statistik lama pendidikan istri di desa program dan nonprogram Program Nonprogram 4.91±3.68 4.35±3.05 14 9 0 0
Statistik Rata-rata ± standar deviasi (tahun) Maksimum (tahun) Minimum (tahun)
Jumlah istri pada rumahtangga nonprogram sebanyak 22 orang. Hal ini dikarenakan satu rumahtangga belum mempunyai istri. Tidak jauh berbeda dengan lama pendidikan suami, secara keseluruhan lama pendidikan dasar juga mendominasi (95,6%) lama pendidikan istri. Hanya sebanyak 2.2% rumahtangga yang sampai pada tingkat pendidikan sedang dan tinggi. Tabel 12 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan istri Tingkat pendidikan istri
Program Jumlah %
Dasar (≤ 9 tahun) Sedang (10-12 tahun) Tinggi (> 12 tahun)
1belum punya istri sebanyak 1 orang
Total
Nonprogram1 Jumlah %
Jumlah
%
21
91.3
22
100
43
95.6
1 1
4.3 4.3
0 0
0 0
1 1
2.2 2.2
Lama pendidikan istri di desa program tergolong lebih tinggi meskipun tidak jauh berbeda dibandingkan desa nonprogram. Tabel 12 menunjukkan bahwa sebanyak 91,3% istri rumahtangga di desa program tergolong pendidikan dasar. Sebesar 4,3% istri rumahtangga yang tergolong memiliki lama pendidikan kategori sedang dan tinggi. Adapun sebesar 100% ibu di desa nonprogram termasuk kategori dasar. Hal ini didukung dengan hasil uji independent T-test bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan ibu yang nyata (p>0.05) antara desa program dan desa nonprogram. Akses menuju ibukota kecamatan pada masa pendidikan ibu masih sangat sulit sehingga para ibu lebih memilih untuk bekerja dan menikah. Ibu yang mengenyam pendidikan tinggi dikarenakan sebelum menikah tinggal di ibukota kecamatan sehingga akses ke sekolah lanjutan cenderung lebih mudah. Hasil penelitian Permatasari (2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di Banten sebagian besar (62.9%) adalah Sekolah Dasar, hanya sebesar 2% ibu rumahtangga yang mengenyam
44 pendidikan lanjut. Rahayu (2007) juga menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu rumahtangga petani di daerah sekitar perusahaan RAPP tergolong rendah (70.6%). Hasil penelitian Agustiani (2012) juga menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu rumah tangga di daerah pertanian didominasi oleh lulusan sekolah dasar. Cohen
(1981) dalam
Hardinsyah (2007) mengidentifikasi
pola
pengambilan keputusan pemilihan pangan dalam keluarga Indonesia adalah pola istri yang dominan. Behrman & Wolfe (1984) juga menyatakan bahwa akses pangan rumahtangga bergantung kepada pengambil keputusan yang salah satu karakteristiknya adalah pendidikan formal ibu atau istri. Berdasarkan penelitian tersebut, istri atau ibu memegang peranan penting untuk menyiapkan makanan dalam rumahtangga. istri yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung mendapat paparan yang tinggi juga dari media cetak (BKKBN dan community system foundation
dalam Hardinsyah
2007), sehingga aksesnya untuk
mendapatkan informasi yang berkaitan dengan gizi lebih tinggi (Hardinsyah 2007). Pada akhirnya istri atau ibu akan membuat rencana atau strategi untuk mendapatkan pangan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Akses Ekonomi Akses pangan selanjutnya adalah akses ekonomi. Akses ekonomi merupakan kemampuan rumahtangga dalam memperoleh pangan yang didasarkan pada pendekatan
pengeluaran total
per kapita per
bulan.
Pengeluaran total per kapita per bulan dihitung dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membeli kebutuhan pangan dan nonpangan selama satu bulan termasuk konsumsi beras rumahtangga dari lahan sendiri yang dibagi dengan jumlah anggota rumahtangga. Jumlah anggota rumahtangga ini penting untuk diketahui karena pengeluaran total per kapita ditentukan oleh banyaknya anggota rumahtangga. Berkaitan dengan hal tersebut, Sukandar (2007) menjelaskan bahwa jumlah anggota rumahtangga adalah banyaknya anggota rumahtangga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Secara operasional, jumlah anggota rumahtangga dikategorikan menjadi rumahtangga kecil (≤ 4 orang), rumahtangga sedang (5-6 orang), dan rumahtangga besar (≥ 7 orang). Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah anggota rumahtangga di desa nonprogram adalah 3.5±1.2, sedangkan di desa program sebesar 4.4±2.1.
45 Jumlah rumahtangga kecil dikedua desa sebanyak 71,7%, rumahtangga sedang sebanyak 21,7% dan terdapat 6,5% rumahtangga yang tergolong rumahtangga besar. Jumlah rumahtangga kecil di desa nonprogram lebih besar (82,6%) dibandingkan dengan jumlah rumahtangga kecil di desa program (60,9%). Adapun jumlah rumahtangga yang tergolong sedang di desa nonprogram lebih rendah (17,4%) dibandingkan desa program (26,1%). Sebaliknya, rumahtangga yang tergolong besar hanya ada di desa program yaitu sebesar 13%. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara jumlah anggota rumahtangga di desa program ataupun nonprogram. Tabel 13 Sebaran rumahtangga berdasarkan jumlah anggota rumahtangga Kategori
Nonprogram Jumlah %
Program
Total
Jumlah
%
Jumlah
%
Kecil (< 4 orang)
19
82,6
14
60,9
33
71,7
Sedang (4-6 orang) Besar (≥ 7 orang)
4 0
17,4 0,0
6 3
26,1 13,0
10 3
21,7 6,5
Rata-rata±standar deviasi
3.5±1.2
4.4±2.1
4.0±1.8
Data BPS Kotabaru (2012) mencatat bahwa jumlah penduduk di desa program adalah 807 orang dengan 210 kepala keluarga sedangkan desa nonprogram sebanyak 175 orang dengan 48 kepala keluarga sehingga meskipun jumlah penduduk jauh berbeda namun rata-rata jumlah anggota rumahtangga tidak jauh berbeda. Kondisi ini diduga karena banyak dari penduduk desa nonprogram mencari pekerjaan diluar desa atau menjadi penduduk di desa lain. Desa program merupakan desa dengan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu 36 orang /km2. Hal ini berbeda dengan desa nonprogram yang mencapai 6 orang/km2 (BPS Kotabaru 2012). Meskipun secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata, namun di desa program sebesar 13,1% tergolong rumahtangga besar dan 26.1% tergolong rumahtangga sedang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa jumlah anggota rumahtangga di desa program lebih banyak dibandingkan dengan desa nonprogram. Pengeluaran total per kapita per bulan dibagi kedalam dua jenis yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk nonpangan. Pengeluaran pangan terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk beras, umbi-umbian, jagung, lauk, sayur, buah, minyak, minuman, dan pangan lainnya. Adapun pengeluaran nonpangan terdiri atas biaya sekolah, pakaian, bahan bakar, kesehatan, alat
46 bersih, rokok, dan pengeluaran nonpangan lainnya. Perbandingan pengeluran total per kapita tersebut disajikan pada tabel 14.
Tabel 14 Perbandingan pengeluaran total per kapita per bulan berdasarkan kelompok pengeluaran Desa Program Desa Nonprogram Kelompok Pengeluaran Rata-Rata (Rupiah) % A. Pangan 1. Beras
13,884
2.7
5,572
1.3
2. Umbi-Umbian 3. Jagung 4. Lauk 5. Sayur
3,741 1,459 51,229 5,378
0.7 0.3 10.1 1.1
1,123 629 22,374 2,344
0.3 0.2 5.3 0.6
6. Buah 7. Minyak 8. Minuman 9. Jajanan 10. Lainnya
8,088 10,136 24,395 55,862 22,646
1.6 2.0 4.8 11.0 4.5
4,149 9,438 34,547 56,877 31,576
1.0 2.3 8.3 13.6 7.5
196,819
38.7
168,629
40.3
52,446 20,696 32,728
10.3 4.1 6.4
5,039 11,181 67,533
1.2 2.7 16.1
4. Kesehatan 5. Alat Bersih 6. Rokok 7. Lain-Lain
4,876 18,370 49,515 132,959
1.0 3.6 9.7 26.2
5,522 22,305 66,725 71,421
1.3 5.3 15.9 17.1
Subtotal
311,590
61.3
249,724
59.7
Total
508,409
100.0
418,353
100.0
Subtotal B. Nonpangan 1.Sekolah 2. Pakaian 3.Bahan Bakar
Tabel 14 menunjukkan bahwa pengeluaran pangan desa program lebih rendah (38.7%) dibandingkan desa nonprogram (40.3%). Pengeluaran pangan tertinggi di desa program dan nonprogram adalah jajanan (11% dan 13.6%). Adapun pengeluaran pangan total per kapita per bulan terendah dikedua desa berasal dari pengeluaran untuk jagung. Hal ini dikarenakan jagung jarang sekali dikonsumsi oleh rumahtangga. Kondisi ini diduga karena rumahtangga dikedua desa program tidak menanam jagung. Meskipun rendah pengeluaran untuk jagung lebih tinggi didesa program. Hal ini diduga berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan di desa program, yaitu kelompok usaha menengah Berkat Usaha Bersama yang menanam jagung.
47 Secara keseluruhan pengeluaran nonpangan lebih tinggi pada desa program (61.3%) dibandingkan dengan desa nonprogram (59.7%). Pengeluaran nonpangan tertinggi adalah pada kelompok lainnya baik di desa program (26.2%) maupun desa nonprogram (17.1%). Jika dibandingkan, pengeluaran untuk lainnya di desa program jauh lebih tinggi dibandingkan dengan desa nonprogram. Hal ini salah satunya diduga karena di desa nonprogram ada panel tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan listrik dari pemerintah setempat. Pengeluaran untuk arisan dan air juga menjadi komponen lainnya yang turut menyumbang besarnya pengeluaran di desa program. Adapun pengeluaran terendah adalah untuk biaya kesehatan baik di desa program (1%) maupun di desa nonprogram (1.3%). Secara keseluruhan pengeluaran pangan rumahtangga dikedua desa lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran nonpangan. Menurut Novita & Fardiana (2011), pengeluaran untuk pangan menurun
seiring dengan
meningkatnya pendapatan dan hal ini bisa dijadikan indikator kesejahteraan rumahtangga. BPS Kotabaru (2012) mencatat bahwa 64.3% dari total pengeluaran adalah untuk pangan, sedangkan sebesar 35.7% adalah untuk kebutuhan nonpangan. Jika dibandingkan dengan pengeluaran rumahtangga pada tabel 14 dapat dinyatakan bahwa rumahtangga di lokasi penelitian lebih sejahtera dibandingkan dengan rata-rata rumahtangga di seluruh Kabupaten Kotabaru. Pakpahan dkk (1993) juga menyebutkan bahwa ada hubungan antara porsi atau pangsa pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan rumah tangga. Pangsa pengeluaran pangan berhubungan terbalik dengan ketahanan pangan, semakin besar pangsa pengeluaran pangan maka semakin rendah ketahanan rumah tangga yang bersangkutan. Oleh karena itu, rumahtangga dikedua desa memiliki peluang yang besar untuk mendapatkan pangan sehingga meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga. Kondisi ini terjadi diduga karena adanya kontribusi dari hasil pertanian padi gogo yang dilakukan dikedua desa. Padi gogo ini merupakan komoditas utama selain karet yang diunggulkan dikedua desa. Oleh karena itu, pengeluaran untuk beras sebagai makanan pokok bisa dipenuhi dari hasil pertanian sendiri. BPS Kotabaru (2012) mencatat bahwa rata-rata produksi padi gogo di Kecamatan Kelumpang Utara adalah 28 kw/ha. Luas lahan tanamnya adalah 350 hektar, artinya pada tahun 2011 kecamatan Kelumpang Utara bisa memproduksi
48 padi gogo sebanyak 9800 kwintal atau 980.000 kilogram per tahun. Jika jumlah penduduk Kecamatan Kelumpang Utara adalah 5.399 orang, artinya setiap orang memiliki 181.5 kilogram beras setiap tahunnya. Standar Pelayanan Minimal (SPM) menetapkan bahwa ketersediaan energi ideal bagi setiap orang indonesia adalah 2200 kilokalori. Berdasarkan standar pola pangan harapan, sebesar 50% kebutuhan energi tersebut dipenuhi dari serealia. Oleh karena itu, untuk memenuhi bobot tersebut setiap orang Indonesia harus bisa menyediakan 300 gram beras setiap harinya atau 106.8 kilogram dalam satu tahun. Jika dibandingkan dengan ketersediaan padi gogo di Kecamatan Kelumpang Utara, maka setiap orang di Kecamatan Kelumpang Utara memiliki penyediaan beras yang cukup untuk satu tahun. Sejalan dengan Ecker & Breisinger (2012) bahwa salah satu faktor utama akses pangan adalah subsisten pangan dari lahan sendiri. Kontribusi hasil panen padi ini bisa mengurangi 31% pengeluaran pangan didesa nonprogram dan sebesar 25.5% didesa program. perbedaan diduga karena tujuh rumahtangga di desa program tidak mendapatkan beras dari ladang. Rumahtangga tersebut cenderung memilih untuk membeli di pasar. Jika dilihat, rumahtangga yang tidak mengandalkan beras dari lahan sendiri adalah rumahtangga yang bekerja sebagai guru, pekerja swasta, dan PNS. Adapun rumahtangga desa nonprogram sangat mengandalkan lahan sendiri untuk memenuhi kebutuhan berasnya. Hal ini juga diduga curahan waktu untuk bekerja di ladang tidak cukup jika berprofesi bukan sebagai petani (PNS, guru, dan pekerja swasta). Selain itu, berdasarkan tabel 4, sebanyak 58,1% pekerjaan suami dan istri adalah petani sehingga potensi lahan lokal di desa nonprogram lebih dimanfatkan berkaitan dengan pekerjaan suami dan istri. Selanjutnya, pengeluaran total per kapita per bulan ini memasukkan jumlah rupiah dari kontribusi padi hasil pertanian sebagai gambaran jumlah pendapatan per kapita yang bisa didapatkan oleh rumahtangga lokasi penelitian. Beras hasil pertanian untuk dikonsumsi setiap hari dihitung beratnya (gram) kemudian dikalikan dengan harga beras rata-rata di kecamatan kelumpang Utara yaitu Rp. 10.000,- sehingga diasumsikan nilai rupiah tersebut adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli beras. Tabel 15 menunjukkan bahwa rata-rata dan nilai maksimum pengeluaran total per kapita per bulan lebih tinggi di desa program dibandingkan dengan desa nonprogram. Hal ini diduga karena akses menuju pasar cenderung tinggi.
49 sehingga rumahtanga sering berbelanja dibanding dengan rumahtangga di desa nonprogram. Berdasarkan hasil wawancara, rumahtangga di desa program bisa mengakses ke pasar 1-2 kali dalam sebulan sedangkan rumahtangga di desa nonprogram maksimal satu kali dalam satu bulan. Tabel 15 juga menunjukkan bahwa nilai minimum pengeluaran total perkapita per bulan lebih rendah pada desa program, padahal pengeluaran total pada desa program lebih tinggi. Hal ini diduga dan bisa menjadi alasan bahwa jumlah anggota rumahtangga berkaitan dengan pengeluaran total per kapita per bulan. Pengeluaran total per kapita per bulan ini akan menjadi kecil jika jumlah anggota rumahtangga banyak, meskipun pengeluaran totalnya besar. Tabel 15 Statistik pengeluaran total per kapita rumahtangga dalam satu bulan Kategori Rata-rata (Rupiah) Maksimum (Rupiah) Minimum (Rupiah) Nonprogram Program
492.164 581.109
Selanjutnya, analisis akses ekonomi
871.650 1.019.038
287.933 211.575
pangan dilakukan terhadap
pengeluaran total per kapita per bulan. Tabel 16 menunjukkan bahwa akses ekonomi dikedua desa tergolong tinggi (95.6%). Sebanyak 100% rumahtangga didesa nonprogram tergolong memiliki akses ekonomi yang tinggi. Rumahtangga desa program masih memiliki rumahtangga dengan akses ekonomi yang rendah (4.3%) dan akses ekonomi sedang (4.3%) meskipun masih didominasi oleh akses pangan tinggi (91.3%). Kondisi ini diduga berkaitan dengan jumlah anggota rumahtangga di desa program yang lebih banyak dibandingkan dengan desa nonprogram. Akan tetapi, hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengeluaran total per kapita per bulan yang nyata (p>0.05) antara rumahtangga desa program dan desa nonprogram. Tabel 16 Sebaran rumahtangga berdasarkan akses ekonomi pendekatan pengeluaran total per kapita per bulan Akses Nonprogram Program Total pangan Jumlah % Jumlah % n % ekonomi Rendah - - 1 4.3 1 2.2 Sedang - - 1 4.3 1 2.2 Tinggi 23 100 21 91.3 44 95.6 Jenis pekerjaan di desa program lebih beragam dibandingkan dengan desa nonprogram. Jika dilihat dari tabel 4, beberapa kepala rumahtangga bekerja sebagai PNS dan pegawai swasta. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa di desa program terdapat warga yang menjadi buruh tani. Pekerjaan ini secara langsung
50 memberikan upah yang bisa digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari. Selain itu, rata-rata pendapatan dari PPEM berkontribusi sebesar Rp. 50.617,- per kapita per bulan. Ketiga hal ini diduga menjadi alasan akses ekonomi di desa program lebih tinggi dibandingkan dengan desa nonprogram. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Agustiani (2012) bahwa rumahtangga yang menerima program desa mandiri pangan memiliki akses ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga bukan penerima program. Tingginya akses ekonomi memberikan peluang yang besar bagi rumahtangga untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan. Ecker & Breisinger (2012) menyatakan bahwa faktor utama akses pangan adalah pendapatan nyata rumahtangga atau akses ekonomi, pangan hasil produksi sendiri, dan aset yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Hasil penelitian Oloyule et al (2009) juga menyimpulkan bahwa ketahanan pangan rumahtangga meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan per bulan (pengeluaran). Artinya, rumahtangga yang memiliki pendapatan/pengeluaran yang lebih besar cenderung memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pangan sehingga bisa mencapai status tahan pangan. Keseluruhan Akses Pangan Keseluruhan akses pangan merupakan gabungan dari komponen- komponen dimensi akses pangan sosial dan ekonomi. Penelitian ini membuat variabel baru akses pangan berasal dari komponen akses sosial (pendidikan suami dan istri) dan akses ekonomi (pengeluaran total per kapita per bulan) dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Prinsip dasar PCA ini adalah mengombinasikan variabel awal yang banyak sekali dengan proses reduksi. Hasil dari proses reduksi ini adalah variabel baru yang lebih sedikit tetapi masih mengandung informasi yang ter- muat dalam data asli/awal. Variabel hasil (komposit) reduksi tersebut dinamakan faktor. Penelitian ini menggunakan satuan yang berebeda dalam setiap peubahnya sehingga digunakan PCA dengan matriks korelasi. Perbedaan satuan pengukuran yang umumnya berimplikasi pada perbedaan keragaman peubah, menjadi salah satu pertimbangan utama penggunaan matriks korelasi (Sumertajaya 2010). Tujuan utamanya adalah menjelaskan sebanyak mungkin jumlah varian data asli dengan sedikit mungkin komponen utama. Komponen utama tersebut
51 ditunjukkan dengan nilai eigenvalues yang menunjukkan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varians ketiga variabel yang dianalisis. Susunan eigenvalues selalu diurutkan dari yang terbesar sampai ke yang terkecil, dengan kriteria bahwa angka eigenvalues dibawah satu tidak digunakan dalam menghitung jumlah faktor yang terbentuk (Soemartini 2008). Terdapat beberapa keuntungan penggunaan Principal Component Analysis
(PCA)
dibandingkan
analisis
lainnya
yaitu
pertama
dapat
menghilangkan korelasi secara bersih (korelasi = 0) sehingga masalah multikolinearitas dapat benar-benar teratasi secara bersih. Kedua, dapat digunakan untuk segala kondisi data/penelitian. Ketiga, dapat digunakan tanpa mengurangi jumlah variabel asal. Keempat, metode regresi dengan PCA ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi akan tetapi kesimpulan yang diberikan lebih akurat dibandingkan dengan pengunaan metode lain. Tabel 17 Hasil analisis PCA untuk akses pangan Eigenanalysis of the Correlation Matrix 1.7870 0.8285 0.596 0.276 0.596 0.872 Variabel PC1 PC2 Lama pendidikan suami (x1) 0.661 -0.065 Lama pendidikan istri (x2) 0.567 -0.608 Pengeluaran total per kapita (x3) 0.491 0.791 Eigenvalue Proportion Cumulative
0.3845 0.128 1.000 PC3 0.747 -0.555 -0.365
Tabel 17 menunjukkan bahwa eigenvalue yang lebih dari satu mempunyai nilai kumulatif 59.6% atau 60% (dibulatkan). Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan persamaan PC1 komponen utama akses pangan dapat menjelaskan 60% data yang berasal dari tiga komponen sebelumnya yaitu lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, dan pengeluaran total per kapita per bulan. Oleh karena itu, persamaan komponen utama akses pangan dinyatakan sebagai berikut: Akses pangan = 0.661*X1std + 0.567*X2std + 0.491*X3 std, Persamaan skor komponen utama akses pangan, selanjutnya disebut sebagai akses pangan, didapatkan dengan menggunakan rumus tersebut. Nilai X1 didapatkan dengan standardisasi dari Xn dikurangi rata-rata pada Xn dan dibagi dengan standar deviasi X tersebut. Misalnya dalam penentuan X1 (lama pendidikan), maka lama pendidikan suami rumahtangga ke-n dikurangi dengan
52 rata-rata lama pendidikan suami seluruhnya dibagi dengan standar deviasi dari lama pendidikan suami ke-n. Selanjutnya, skor akses pangan rumahtangga terlampir di lampiran 2 tabel 26 Rumahtangga dikategorikan berdasarkan skor akses pangan. Persamaan diatas menunjukkan nilai yang positif pada setiap koefisiennya. Hal ini menunjukkan bahwa skor akses pangan akan semakin tinggi jika nilai Xstd juga tinggi. Artinya skor akses pangan tinggi jika pendidikan suami dan istri lebih lama serta pengeluaran total per kapita lebih besar. Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor komponen utama akses pangan lebih tinggi di desa program (1.262) dibandingkan dengan desa nonprogram (0.635). Begitupun dengan nilai maksimum di desa program jauh lebih tinggi (4.187) dibandingkan dengan desa nonprogram (2.069). Adapun nilai minimum dari desa program lebih tinggi (0.037) dibandingkan dengan desa nonprogram (0.013). Hal ini menunjukkan bahwa skor akses pangan di desa program lebih tinggi dibandingkan dengan desa nonprogram. Artinya, rumahtangga di desa program cenderung memiliki suami dan istri yang berpendidikan lebih lama serta pengeluaran total per kapita per bulan yang lebih tinggi dibandingkan dengan desa nonprogram. Nilai Rata-rata Maksimum Minimum
Tabel 18 Statistik skor akses pangan rumahtangga Program Nonprogram 1.262 0.635 4.187 2.069 0.037 0.013
Persamaan tersebut juga menunjukkan bahwa komponen lama pendidikan suami (X1) memiliki kontribusi yang besar terhadap akses pangan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien lama pendidikan suami paling besar, artinya lama pendidikan suami memilki peran yang sangat besar terhadap peningkatan akses pangan. Hasil analisis ini sejalan dengan penelitian Nurlatifah (2011) bahwa peubah rata-rata lama sekolah memiliki elastisitas yang paling tinggi dalam ketahanan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa peubah rata-rata lama sekolah merupakan peubah yang paling responsif dalam meningkatkan persentase rumah tangga yang memiliki ketahanan pangan.Selanjutnya pengkategorian akses pangan dibahas dalam hubungannya dengan tingkat kecukupan energi. Analisis komponen utama ini dilanjutkan dengan analisis regresi menggunakan dummy. Analisis ini dilakukan untuk melibatkan akses fisik pangan
53 yang merupakan komponen akses pangan akan tetapi berupa data kategorik. Akses fisik pangan yang dilihat adalah hasil dari program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin yang tidak bisa diskalakan. Oleh karena itu keberadaan akses fisik pangan diberikan nilai D=1 dan ketiadaan akses fisik pangan diberikan nilai D=0. Analisis ini melibatkan tingkat kecukupan energi sebagai variabel yang bergantung terhadap komponen utama akses pangan sehingga pembahasan hasil regresi dummy dilanjutkan pada bagian hubungan akses pangan dengan tingkat kecukupan energi. Konsumsi Pangan Rumahtangga Konsumsi pangan rumahtangga merupakan rata-rata jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh seluruh anggota rumahtangga. Pengambilan data jumlah dan jenis pangan ini dilakukan dengan menggunakan metode food recall 1x24 jam kepada seluruh anggota rumahtangga ditanyakan mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Gram pangan yang diperoleh kemudian dikonversikan ke kalori. Selanjutnya jumlah konsumsi pangan rumahtangga adalah jumlah konsumsi kalori seluruh anggota rumahtangga dibagi dengan jumlah anggota rumahtangga tersebut. Tingkat kecukupan energi diperoleh dengan membandingkan rata-rata jumlah konsumsi pangan dengan rata-rata angka kecukupan gizi rumahtangga berdasarkan angka kecukupan gizi individu (AKG) 2004 yang dikoreksi dengan berat badan dan umur masing-masing individu sehingga didapatkan tingkat kecukupan gizi rumahtangga. Tabel19 Perbandingan konsumsi energi aktual contoh dengan konsumsi energi yang dianjurkan berdasarkan kelompok pangan per kapita per hari Energi aktual No Kelompok Pangan Standard1 (kkal/kapita/hari) (kkal/kapita/hari) Nonprogram Program 1 Padi-padian 1000 877 853 2 Umbi-umbian 120 11 10 3 Pangan Hewani 240 138 221 4 Minyak dan Lemak 260 90 77 5 Buah/Biji Berminyak 60 0 0 6 Kacang-kacangan 100 2 2 7 Gula 100 65 61 8 Sayur dan Buah 120 36 29 9 Lain-lain 60 20 13 Jumlah Konsumsi 2000 1267 1239 1 berdasarkan standard pola pangan harapan Tabel 19 menunjukkan perbandingan jumlah konsumsi energi aktual individu rumahtangga di desa program dan nonprogram dengan standar pola pangan harapan. Jumlah konsumsi energi di desa nonprogram lebih rendah
54 (1239 kilokalori) dibandingkan dengan desa program (1267 kilokalori). Jika dibandingkan dengan standard pola pangan harapan, maka jumlah konsumsi setiap orang dikedua desa belum mencapai anjuran idealnya. Kondisi ini berbeda dengan hasil dari BPS (2011) bahwa konsumsi kalori per kapita per hari Kalimantan Selatan di pedesaaan tahun 2011 adalah 2198 kilokalori. Tabel 19 diatas juga menunjukkan bahwa konsumsi energi didominasi oleh kelompok padi-padian. Kelompok pangan hewani merupakan kelompok pangan kedua yang berkontribusi cukup besar terhadap konsumsi pangan. Kelompok pangan yang tergolong buah/biji berminyak seperti kelapa dan santan jarang sekali dikonsumsi oleh rumahtangga dikedua desa sehingga kontribusi dari buah atau biji berminyak tidak ada. Adapun pemakaian santan dalam makanan dikonsumsi ketika adanya suatu hajatan besar seperti pernikahan atau acara perayaan hari besar islam. Hasil penelitian Latief (2000) juga masih sejalan dengan hal ini yaitu sejak tahun 1995 penduduk lebih cenderung mengonsumsi bahan pangan kelompok padi-padian. Hasil penelitian Purwantini & Mewa (2008) juga menyebutkan bahwa pada umumnya pada rumahtangga petani padi beras merupakan pangan pokok yang dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi sehingga sumbangan energi terbesar adalah dari padi-padian. Tingkat kecukupan energi (TKE) merupakan indikator yang dipakai untuk menunjukkan seberapa besar makanan yang dikonsumsi memenuhi kecukupan gizi idealnya. Tingkat kecukupan energi ini merupakan keluaran dari sistem ketahanan pangan dan juga menjadi indikator pencapaian tujuan pertama MDG’s. Asumsinya TKE merupakan pembentuk status gizi rumahtangga. TKE ini digunakan untuk melihat apakah pangan yang dikonsumsi oleh rumahtangga sesuai dengan kecukupan gizi ideal rumahtangga tersebut. Berikut adalah perbandingan rata-rata tingkat kecukupan energi pada rumahtangga program dan nonprogram. Tabel 20 Perbandingan rata-rata konsumsi, angka kecukupan energi, dan tingkat kecukupan energi rumahtangga desa program dan nonprogram Rata-rata Program Nonprogram Konsumsi rumahtangga (kilokalori) 1280 1242 Kecukupan energi rumahtangga ideal (kilokalori) 1721 1708 Tingkat kecukupan energi (%) 75 74 Tabel 20 tersebut menunjukkan bahwa rata-rata kecukupan energi ideal rumahtangga di desa program adalah 1721 kilokalori sedangkan pada
55 rumahtangga desa nonprogram sebesar 1708 kilokalori. Adapun rata-rata tingkat kecukupan energi rumahtangga di desa program lebih tinggi (75%) dibanding dengan rumahtangga desa nonprogram (74%). Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan energi yang nyata (p>0.05) antara rumahtangga desa program dan desa nonprogram. Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar (52.2%) rumahtangga memiliki tingkat kecukupan energi yang cukup. Rumahtangga ini tersebar di desa program dan nonprogram dimana persentase cukup di desa program lebih tinggi (56.5%) dibandingkan dengan desa nonprogram (47.8%). Kategori kurang lebih tinggi desa nonprogram (52.2%) dibandingkan dengan desa program (43.5%). Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0.05) tingkat kecukupan energi antara rumahtangga di desa program dan desa nonprogram. Tabel 21 Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi
Program Nonprogram Total Jumlah % Jumlah % Jumlah %
kurang (<70%)
10
43.5
12
52.2
22
47.8
Cukup (≥70%)
13
56.5
11
47.8
24
52.2
Kondisi ini diduga karena kebiasaan makan rumahtangga cenderung homogen yaitu frekuensi makan rata-rata tiga kali sehari. Makanan pokok beras dan lauk hewani berupa ikan sungai atau ikan laut. Ragam jenis pangan yang tersedia pun hampir sama dikedua desa yaitu hasil perikanan sungai dan pertanian. Ketersediaan bahan pangan di warung pun terbatas pada bahan makanan yang memiliki daya tahan dalam jangka waktu satu sampai dua minggu. Hasil penelitian Purwantini & Mewa (2008) juga menyebutkan bahwa tingkat kecukupan energi 50% rumahtangga diluar pulau jawa masih dibawah standard. Persentase kecukupan yang tergolong kurang tersebut masih tinggi sedangkan mata pencaharian utama dikedua desa adalah pertanian. Pembahasan mengenai pengeluaran panganpun kedua desa bisa mencukupi kebutuhan beras untuk seluruh anggota rumahtangga dalam satu tahun. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa beras berkontribusi meminimalisir 31% pengeluaran pangan di desa nonprogram dan 25.5% di desa program. Hal ini terjadi diduga karena perilaku konsumsi masing-masing individu masih rendah. Berdasarkan hasil pengamatan, konsumsi pangan ibu yang berprofesi sebagai
56 ibu rumahtangga dan balita cenderung sedikit. Kebiasaan konsumsi para remajapun cenderung jauh dari kecukupan ideal. Padahal dalam masa remaja, kebutuhan akan nutrisi cenderung lebih tinggi. Hubungan Akses Pangan Rumahtangga Dengan Tingkat Kecukupan Energi Dimensi akses pangan yang diuji hubungan pada penelitian ini adalah akses sosial (pendidikan suami, pendidikan istri), akses ekonomi (pengeluaran total per kapita), akses fisik, dan akses pangan sendiri. Tahap analisis dibagi menjadi dua yaitu akses sosial dan ekonomi dianalisis hubungan dengan korelasi pearson, sedangkan akses fisik yang diwakilkan dengan penyebutan desa program dan nonprogram dianalisis dengan regresi menggunakan dummy terlebih dahulu. Akses Sosial Lama pendidikan suami. Tabel 22 menunjukkan bahwa rumahtangga di desa program dengan TKE kurang didominasi oleh suami yang berpendidikan dasar (88.9%) dan rumahtangga dengan TKE cukup
memiliki suami yang
berpendidikan dasar (76.9%). Rumahtangga desa nonprogram dengan TKE kurang seluruhnya memiliki suami yang berpendidikan dasar (100%) dan rumahtangga dengan TKE cukup didominasi juga oleh suami yang berpendidikan dasar (90.9%). Tabel 22 Sebaran rumahtangga berdasarkan lama pendidikan suami dan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi Kurang Cukup Akses Total 2 Sosial P1 NP2 P1 NP n3 % n3 % n3 % n3 % % 10 90.9 1 9.1 0 0 9 13 11 100 Total 100 11 100 100 1 rumahtangga program; 2 rumahtangga nonprogram; 3jumlah rumahtangga Dasar
Sedang Tinggi
8 1 0
88.9
11
100
11.1 0.0
0 0
0.0 0.0
10 1 2
76.9
39
88.6
7.7 15.4
3 2
6.8 4.5
44
100
Tabel 22 juga menunjukkan bahwa lama pendidikan suami yang tergolong sedang dan tinggi memiliki TKE yang cukup sedangkan lama pendidikan yang tergolong dasar cenderung mendominasi TKE kurang. Hasil uji korelasi pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif (p<0.05, r=0.331) antara lama pendidikan suami dengan tingkat kecukupan energi. Artinya, semakin lama pendidikan suami atau tergolong semakin tinggi maka semakin besar juga tingkat kecukupan energinya. Nilai r menunjukkan kekuatan hubungan dimana jika nilai r mendekati nilai satu maka hubungannya semakin
57 kuat. Tingkat pendidikan suami minimal 9 - 12 tahun bisa bekerja di kawasan pertambangan baik di Thiess atau di PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. Penghasilan yang ditawarkan lebih besar dibandingkan pendapatan dari upah sebagai petani setiap bulannya. Oleh karena itu, lama pendidikan berkaitan dengan jenis pekerjaan dan pada akhirnya memberikan peluang yang lebih besar untuk mengonsumsi pangan. Menurut Apriadji (1986) dalam Madihah (2002) menyatakan bahwa orang yang memiliki pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun menu makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibanding orang yang berpendidikan lebih tinggi. Hal ini disebabkan keingintahuan seseorang mengenai gizi akan menambah pengetahuan gizinya. Selain itu, suami yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung akan mendapatkan lapangan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih tinggi pula sehingga kemungkinan mempunyai biaya yang lebih untuk pangan. Hardinsyah (2007) juga menyatakan bahwa keluarga yang memliki akses ekonomi yang cukup dan pengetahuan gizi orang tua yang baik akan berpengaruh terhadap semakin baiknya keragaman konsumsi pangan anggota rumahtangganya Lama pendidikan Istri. Tabel 23 menunjukkan bahwa baik di desa program
maupun
nonprogram,
sebaran
rumahtangga
yang
tergolong
pemenuhan energinya cukup memiliki istri yang berpendidikan dasar. Hanya sebagian kecil (7.7%) rumahtangga di desa program yang tergolong cukup dengan pendidikan istri yang tinggi. Tabel 23 Sebaran rumahtangga berdasarkan pendidikan istri dan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi Kurang Cukup Akses Total Sosial 1 P NP2 P1 NP2 3 n3 % n3 % n3 n3 % n3 % n 10 100.0 11 11 84.6 11 100 Dasar 100 43 95.6 0 0 1 0 Sedang 0.0 0.0 7.7 0.0 1 2.2 0 0 1 0 Tinggi 0.0 0.0 7.7 0.0 1 2.2 10 11 13 11 100 Total 100 100 100 45 100 1 rumahtangga program; 2 rumahtangga nonprogram; 3 jumlah rumahtangga Hasil analisis korelasi pearson menunjukkan bahwa lama pendidikan istri berhubungan nyata dengan tingkat kecukupan energi (p<0.05). Artinya semakin tinggi atau lama pendidikan istri, pemenuhan kecukupan energi pun akan semakin baik. Hal ini ditunjukkan dnegan nilai r sebesar 0.335.
Alfitri
(2002)
58 menyimpulkan dari hasil penelitiannya di Kalimantan Selatan bahwa tingkat pendidikan ibu berhubungan posititf dengan jumlah pangan yang dikonsumsi. Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian di beberapa negara berkembang juga menyebutkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan asupan gizi rumahtangga (Hardinsyah 2007). Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa para ibu dengan pendidikan lebih baik dapat memilih dan mengombinasikan beragam jenis pangan dengan harga yang tidak mahal. Hasil analisis multivariat di negara berkembang termasuk Indonesia tingkat pendidikan ibu dianggap sebagai determinan penting dari asupan gizi atau pengelolaan gizi di tingkat rumahtangga (Behrman & wolfe 1987; Behrman et al 1988 dalam Hardinsyah 2007). Selain itu, Nurlatifah (2011) menyampaikan
bahwa peningkatan pendidikan juga akan memberikan
pengetahuan yang baik terhadap pemenuhan gizi sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia karena adanya peningkatan produktivitas individu. Akses Ekonomi Program pemberdayaan ekonomi yang dilaksanakan di desa program bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Harapannya dengan pendapatan yang besar bisa membantu dalam peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, hasil penelitian menyatakan bahwa tidak semua rumahtangga di desa program tergolong akses ekonomi tinggi. Tabel 24 Sebaran rumahtangga berdasarkan akses ekonomi dan tingkat kecukupan energi Tingkat Kecukupan Energi Kurang Cukup Akses Total 1 2 Ekonomi NP P1 NP2 P Rendah Sedang Tinggi
n3 1 0 9
% 10 0 90
n3 0 0 12
% 0 0 100
n3 0 1 12
n3 0 7.7 92.3
% 0 0 11
n3 0 0 100
% 1 1 44
n3 2.2 2.2 95.7
Total
10
100 12 100 13 100 11 100 rumahtangga nonprogram; 3 jumlah rumahtangga
46
100.0
1 rumahtangga program; 2
Tabel 24 menunjukkan sebaran rumahtangga yang memiliki akses ekonomi tinggi di desa program yang tergolong kurang sebesar 90%, sedangkan rumahtangga yang memiliki akses ekonomi tinggi yang tergolong cukup sebesar 92.3%. Adapun semua rumahtangga desa nonprogram tergolong akses ekonomi tinggi yang tersebar pada kategori kurang dan cukup. Hasil uji korelasi pearson
59 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara akses ekonomi dengan tingkat kecukupan energi. Kondisi ini bisa saja terjadi karena beberapa faktor seperti yang diungkapkan oleh Soekirman (2000) bahwa hubungan antara penurunan produksi, pendapatan, dan upah terhadap konsumsi pangan rumahtangga dan status gizi bersifat kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti redistribusi pendapatan sektor pemerintah dan swasta, akses terhadap tabungan, ketersediaan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial lainnya. Hardinsyah (2007) juga menyatakan bahwa faktor pengetahuan gizi dan komposisi rumahtangga pun menjadi faktor yang berpengaruh. Purwantini (2008) menyatakan bahwa besarnya alokasi belanja pangan tidak hanya bergantung kepada pendapatan, tetapi pengetahuan gizi dan komposisi anggota rumahtangga. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pengeluaran total per kapita ini melibatkan jumlah anggota rumahtangga sehingga ada kemungkinan pengeluaran total per kapita tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan energi. Misalnya, rumahtangga A dan B memiliki pengeluaran total per kapita sebesar Rp.200.000,-. Jumlah anggota rumahtangga A adalah lima dan rumahtangga B adalah dua, maka dapat dipastikan bahwa porsi biaya untuk anggota rumahtangga B lebih tinggi sehingga kecenderungan konsumsi panganpun lebih tinggi. Akhirnya, rata-rata konsumsi rumahtangga B lebih besar. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tingginya akses ekonomi belum tentu berhubungan dengan konsumsi pangan. Keseluruhan Akses Pangan Tingkat kecukupan energi merupakan output dari akses pangan. Baraclough S & P Utting (1987), Day & Jeniie (1984) dalam Maxwell et al (1992) menyatakan bahwa tujuan akhir dari adanya akses pangan adalah adanya pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi setiap individu dalam kelompok masyarakat atau rumahtangga. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengukur pemenuhan kebutuhan nutrisi tersebut adalah tingkat kecukupan energi. Akses fisik pangan yang terdapat di desa program ini adalah hasil program pemberdayaan masyarakat. Komponen akses fisik yang diwakilkan ini adalah kondisi jalan, keberadaan pasar, dan keberadaan pedagang keliling. Kondisi jalan yang baik memungkinkan pasar setiap dua kali sebulan bisa masuk ke desa program. Hal yang sama dengan pedagang keliling yang setiap hari bisa
60 mobilisasi di desa program. Kondisi ini berpotensi pada pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari. Nurlatifah (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya yaitu keberadaan pasar memberikan kemudahan bagi rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi dan beragam. Hal ini sejalan dengan kesimpulan penelitian FAO (2010) dalam Nurlatifah (2011) bahwa pasar merupakan salah satu determinan pencapaian akses pangan yang selanjutnya akan meningkatkan ketahanan pangan. Kondisi jalan menjadi faktor utama keberadaan distributor bahan pangan. Kondisi ini berdampak pada keberadaan pedagang keliling menuju desa nonprogram sehingga frekuensi pedagang keliling berbeda 100% dengan desa program. Artinya, akses penghubung atau jalan menuju desa nonprogram tergolong sulit. FAO (2010) dalam Nurlatifah (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa jalan yang memadai turut membantu kelancaran distribusi abrang sehingga membantu memperlancar roda perekonomian di daerah tersebut. Nilai dummy ini juga mewakili data kategori lainnya yang berdampak pada tingkat kecukupan energi (TKE). Berdasarkan pengolahan datanya dihasilkan persamaan berikut ini: TKE = 75 + 5.22 ap – 1.63 D keterangan: ap = skor akses pangan D = dummy untuk jenis desa TKE = Tingkat Kecukupan Energi (TKE) Persamaan tersebut mempunyai nilai signifikansi p>0.05 (tabel 27). Artinya, tidak terdapat perbedaan akses pangan antara akses pangan di desa program dan desa nonprogram. Berlainan dengan Departemen Pertanian (2008) yang menyatakan bahwa suatu wilayah/daerah dikatakan akses pangannya tinggi apabila diwilayah/daerah tersebut terdapat pasar yang menjual bahan pangan pokok dan jaraknya kurang dari tiga kilometer. Hal ini diduga karena kondisi ekosistem, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian dikedua desa tersebut hampir sama. Berdasarkan kondisi ekosistemnya, desa nonprogram merupakan desa dengan matapencaharian utama padi sawah dan padi gogo. Selain itu,
61 kebutuhan pangan hewani dipenuhi dari ikan di sungai dan hewan yang diternakan oleh rumahtangga tersebut. Persamaan regresi diatas juga menunjukkan bahwa komponen akses pangan berhubungan positif dengan tingkat kecukupan energi (TKE). Hal tersebut dibuktikan dengan nilai positif pada koefisien akses pangan sehingga semakin besar nilai akses pangan maka tingkat kecukupan energinya akan semakin besar. Analisis ini juga dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi pearson dimana hasilnya menunjukkan kondisi yang sama yaitu nilai p<0.05, r=0.404. Hasil analisis korelasi ditunjukkan pada tabel 28.
62
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Hasil analisis potensi dampak program menunjukkan bahwa program yang telah dilaksanakan telah menyentuh upaya peningkatan akses sosial, fisik, dan ekonomi pangan serta peningkatan konsumsi pangan. 2. Hasil uji independent t-test menunjukkan bahwa lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, pengeluaran total per kapita per bulan, dan akses pangan tidak berbeda nyata (p>0.05) antara rumahtangga di desa program dan nonprogram. 3. Rata-rata jumlah konsumsi energi pada rumahtangga program (1267 kilokalori) lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga nonprogram (1239 kilokalori). Rata-rata tingkat kecukupan energi di desa program adalah 75% sedangkan di desa nonprogram sebesar 74%. Hasil uji independent t-test menunjukkan tidak adanya perbedaan (p>0.05) diantara dua desa tersebut. Adapun tingkat kecukupan energi yang cukup di rumahtangga program lebih tinggi (56.5%) dibandingkan dengan rumahtangga nonprogram ( 52.2%). 4. Hasil analisis hubungan menyatakan bahwa terdapat hubungan positif (p<0.05) antara lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, dan akses pangan dengan tingkat kecukupan energi. Akan tetapi, pengeluaran total per kapita per bulan tidak berhubungan dengan tingkat kecukupan energi (p>0.05). Saran Berdasarkan hasil penelitian, pemberdayaan masyarakat bidang ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan harus diperkuat dengan peningkatan pendidikan suami dan istri. Hal ini merupakan salah satu kunci keberhasilan CSR PT Arutmin Tambang Senakin Peningkatan kapasitas suami dapat dilakukan melalui pendidikan nonformal yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan peningkatan kapasitas istri diarahkan untuk mendorong pola asuh dan pola pengaturan konsumsi rumahtangga menjadi lebih baik. Peningkatan kapasitas bagi suami dan istri ini dapat dilakukan melalui pelatihan pada bidang kewirausahaan, pangan, dan gizi. Pelatihan ini berfungsi sebagai sarana untuk menambah pengetahuan dan sikap masyarakat dalam usaha memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Adapun kegiatan yang bisa dilakukan adalah peningkatan frekuensi pendampingan bagi suami seperti
kewirausahaan dan strategi pemasaran,
63 pendampingan ibu-ibu melalui
pemberdayaan kelompok ibu-ibu, pelatihan pemanfaatan bahan pangan pasca panen, perlombaan pekarangan sehat, dan perlombaan masak 3B (Beragam, Bergizi, Berimbang).
64
DAFTAR PUSTAKA [BPS Kotabaru] Badan Pusat Statistik Kotabaru (ID). 2012. Kotabaru dalam angka tahun 2012. Kotabaru: Saijaan Grafika. [BPS] Badan Pusat Statistik (ID). 2011. Data dan Informasi Kemiskinan tahun 2011. Jakarta: BPS. [DDR] Dompet Dhuafa Republika (ID). 2010. Laporan survey kajian sosial ekonomi. PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. [Deptan] Departemen Pertanian (ID). 2008. Peta akses pangan pedesaan. Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian [SII] Sosial Investment Indonesia (ID). 2012. Laporan akhir evaluasi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin. [RPJMD Sulangkit] Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Sulangkit. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Sulangkit. Agustiani F. 2012. Analisis akses dan konsumsi pangan keluarga penerima dan bukan penerima program desa mandiri pangan di desa ciparigi dan desa sukadana kabupaten ciamis [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Alfitri. 2002. Ketahanan pangan rumahtangga miskin daerah pasang surut di kecamatan kuripan kabupaten barito kuala Kalimantan selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. An-naf J. 2005. Pembangunan berkelanjutan dan relevansinya untuk Indonesia. Jurnal Madani 2(Nov): 46-55. Ariesta dkk. 2011. Laporan Kuliah Kerja Profesi. Laporan yang tidak dipublikasikan. Baliwati YF, Retnaningsih. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Behrman JR, Deolalikar AB, Wolfe BL. 1988. Nutrients: Impact and determinants. The World Bank Economic Review. 2: 299-319. Behrman, J. R., dan B. L. Wolfe. 1984. More Evidence on Nutrition Demand: Income Seems Overrated and Women's Schooling Underemphasized. Journal of Development Economics 14(1): 105-128. Eicker O, Clemens Breisinger. 2012. The food security system: a new conceptual framework. International Food Policy Research Institute (IFPRI). Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
65 Hardinsyah. 2007. Review faktor determinan keragaman konsumsi pangan. Jurnal Gizi dan Pangan. 2 (2): 55 - 74 Hariyadi P. 2008. Menuju kemandirian pangan – ketahanan pangan berbasis sumberdaya lokal. Bogor (ID): SEAFAST Center Hildawati I. 2008. Analisis akses pangan serta pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga nelayan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Karsyono. 2000. Pola Penyerapan Tenaga Kerja Pedesaan di Indonesia. Prosiding. Dalam: Perubahan Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Jakarta: LIPI. Khomsan A. 2000.Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Latief D, Atmarita, Minarto, Basuni Abas, Tilden Robert . 2000. Konsumsi pangan tingkat rumahtangga sebelum dan selama krisis ekonomi. Didalam: Ananta Kusuma Seta, Moertini Atmowidjojo, Sumali M Atmojo, Abas B Jahari, Puguh B Irawan, Tahlim Sudaryanto, editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII (29 Februari 2000); Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): LIPI. 159-180. Lubis DJ. 2011. Pemberdayaan masyarakat, arti dan Aaksi. Di dalam: Sulaeman A, Sumarti T, Pranadji DK, editor. Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga: Bekal Mahasiswa Kuliah Kerja Profesi; Juni 2011; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): IPB Press, 15-34. Madihah. 2002. Faktor-faktor predisposisi yang berhubungan dengan leluarga mandiri sadar gizi (KADARZI) di kecamatan banua lawas, kabupaten tabalong Nusa Tenggara Barat Tahun 2002 [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia Maxwell et al. 1992. Households Food Security: Concepts, Indicators, Measurement. Rome: IFAD Maxwell Simon. 1996. Food security: a post-modern perspective. Food policy. 21 (2): 155-170. Novita Sari, Fardianah Mukhyar. 2011. Kajian: Pola pengeluaran rumahtangga petani padi sawah di kabupaten banjar Kalimantan selatan. Jurnal Agribisnis Perdesaan. 1 (4): 275-284 Nurlatifah. 2011. Determinan ketahanan pangan regional dan rumah tangga di provinsi jawa timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Oluyole et al. 2009. Food security among cocoa farming households of ondo state, Nigeria. ARPN Journal of agricultural and biological science. 4 (5): 7-13.
66 Omuemu VO, Otasowie EM, Onyiriuka U. 2012. Prevalence of food insecurity in egor local government area of Edo State, Nigeria. Annals of African Medicine Journals 11 (3): 139-145. doi:10.4103/1596-3519.96862. Pakpahan, A, P.Srliem dan S.H., Suhartini. 1993. Penelitian Tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Petanian. Bogor (ID). Permatasari. 2004. Keragaan ketahanan pangan dan status gizi keluarga pertani desa kolelet wetan kecamatan rangkasbitung banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Purnamasari D U. 2001. Pengaruh pengeluaran pangan, jumlah anggota keluarga dan pengetahuan gizi terhadap konsumsi energi, protein, fe, dan status gizi pada ibu hamil di kecamatan kangkung, kabupaten kendal. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Purwantini TB dan Mewa Ariani. 2008. Pola pengeluaran dan konsumsi pangan pada rumahtangga petani padi. Dalam Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Tantangan dan Peluang bagi Kesejahteraan Petani; 19 November 2008; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian. 1-16. Rahayu 2007. Analisis pengaruh program pemberdayaan masyarakat PT Andalan Riau Pulp and Paper terhadap ketahanan pangan rumahtangga [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rochaeni S, Lokollo. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan ekonomi rumahtangga petani di kelurahan situgede bogor. Jurnal Agro Ekonomi 23 (2): 133-158. Irawan PB, Romdiati H. 2000. Dampak krisis ekonomi terhadap kemiskinan dan beberapa implikasinya untuk strategi pembangunan. Didalam: Ananta Kusuma Seta, Moertini Atmowidjojo, Sumali M Atmojo, Abas B Jahari, Puguh B Irawan, Tahlim Sudaryanto, editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII (29 Februari 2000); Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): LIPI. 193-237. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi Dan Aplikasinya Untuk Keluarga Dan Masyarakat. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Soemartini. 2008. Principal component analysis (PCA) sebagai salah satu metode untuk mengatasi masalah multikolinearitas. Bandung: Universitas Padjadjaran Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional - Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sukandar D, Khomsan A, Herawati T. 2009. Kajian pemberdayaan ekonomi keluarga untuk peningkatan akses pangan. Jurnal Gizi dan Pangan 4 (3): 157-166.
67 Sumertajaya I Made 2010. Bahan kuliah analisis komponen utama. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sunarti E, Nuryani N, Hernawati N. 2009. Hubungan antara fungsi adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan sistem dengan kesejahteraan keluarga. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 2 (1): 1-10. Swastika DKS, DJulin A, Ramli R. 2006. Struktur penguasaan lahan dan pendapatan rumah tangga tani (studi kasus di kabupaten kapuas dan barito selatan, kalimantan tengah). Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor (ID). Wibisono Y. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik (ID): Fascho Publishing. Widjajanti L. 2009. Survei Konsumsi Gizi. Semarang (ID): Badan Penerbit UNDIP.
68
LAMPIRAN Lampiran 1 Contoh Kuisioner Penelitian
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
No : Enumerator : RT / RW : Kuisioner ini merupakan alat pengumpulan data “Analisis Akses dan Konsumsi Pangan Rumahtangga Penerima dan Bukan Penerima Program Pemberdayaan Masyarakat di Desa Lingkar Tambang PT Arutmin Indonesia Tambang Senakin”. Informasi yang diberikan akan dimohon informasi yang diberikan adalah informasi yang sebenar-benarnya. Terima kasih atas partisipasi anda. Saya setuju untuk diwawancara *Nama KK Penerima atau bukan Program/wakil
Sheet 1. Karakteristik Keluarga Umur Nama
No. (1.1)
(1.2)
Posisi di
Jenis
keluarga
Kelamin
(1.3)
(1.4)
(5) thn (1.5.1)
BB (kg)
Pend. (thn)
Pekerjaan
bln (1.5.2)
(1.6)
69 Kode : (1.3) Posisi di Keluarga 1. suami (ayah)2. istri (ibu)3. anak 4. Saudara lainnya5. Kakek/nenek6. Lainnya, Sebutkan (1.4) Jenis Kelamin 1. laki-laki 2. perempuan (1.5) Umurdalam bulan dan tahun, balita diisi bulannya saja=A52 (1.6) Pekerjaan 0. Tidak Bekerja 5. PNS/ABRI/Polisi 1. Petani 6. Jasa (tukang ojek, tukang cukur dsb) 2. Pedagang 7. Ibu Rumah Tangga (IRT) 3. Buruh tani 8. Lainnya, sebutkan 4. Buruh non tani
Sheet 2. Pendapatan Rumahtangga 1) Penghasilan : Anggota Sumber Rp per Keluarga 2) Hari Minggu Bulan a. b. 1. Suami c. a. b. 2. Istri c. a. b. 3. Anak c. a. b. 4. Agt klg lain
Jumlah Hari Kerja Tahun
hari/ mgg
c.
Keterangan : 1) Pilih salah satu (hari, minggu, bulan, tahun) 2) Kolom B3 = bulan digunakan untuk merekap kolom sebelumnya dan harus terisi
mgg/ bln
bln/ thn
Catatan: Semua pendapatan dikonversi ke bulan, dalam perhitungan perhatikan Jumlah waktu kerja
70 Sheet 3. Akses pangan fisik 1. Apakah terdapat pasar di desa anda ? a. Ya b. tidak 2. Pasar yang sering anda kunjungi adalah .. a. Geronggang b. Pudi c. Wilas 3. Berapa jarak pasar tersebut dari tempat tinggal anda? a. < 3 km b. > 3km 4. Apakah pasar tersebut aktif setiap hari ? a. Ya b. Tidak 5. Bagaimana anda pergi ke pasar? a. Jalan kaki b. Transportasi umum c. Transportasi pribadi 6. Bagaimana keadaan bahan pangan tersebut? a. Baik b. kurang baik c. tidak baik 7. bagaimana kondisi jalan ke pasar a. Baik b. kurang baik c. tidak baik 8. Darimanakah anda mendapatkan bahan pangan berikut ini: No Sembilan kelompok bahan pangan warung pasar Ladang 1 Padi-padian 2 Umbi-umbian 3 Hewani 4 Nabati 5 Minyak dan lemak 6 Buah/biji berminyak 7 Gula 8 Sayuran 9 Buah-buahan 9. Apakah anda sering berbelanja di warung? a. Ya b.tidak 10. Apakah warung tersebut buka setiaphari ? a.ya b.tidak 11. Apakah anda sering membeli ikan dari pedagang ikan keliling a. ya b. tidak 12. Apakah penjual keliling tersebut ada setiap hari ? a. ya b. tidak
71 Sheet 4. Food recall 1x24 jam Waktu makan
Anggota
No
Kode pangan
Jenis pangan
Konsumsi URT Gr
72 Sheet 5. Pengeluaran rumahtangga Pengeluaran Rp per
Jenis pengeluaran Harian 1. PANGAN
Bulanan
Mingguan
1. Beras Sub total 1.1
2. Umbi-umbian 2.1. Ubi jalar 2.2. Singkong 2.3. Kentang Sub total 1.2
3. Jagung Sub total 1.3 4. Lauk (sebutkan) 4.1. Telur Ayam 4.2. Daging Ayam 4.3. Ikan Asin 4.4. Ikan segar 4.5. Tahu 4.6. Tempe 4.7. Daging sapi 4.8. 4.9. 4.10. Sub total 1.4 5. Sayur Sub total 1.5 6. Buah Sub total 1.6 7. Minyak goreng Sub total 1.7 8. Minuman 8. 1. Susu 8. 2. Kopi 8. 3. Gula 8. 4. Teh Sub total 1.8 9. Jajanan (Bakso, snack, permen, dll) 10.Lainnya 10.1. Kerupuk 10.2. Garam 10.3. Kecap
Tahunan
73
Pengeluaran Rp per
Jenis pengeluaran Harian
Mingguan
Bulanan
10.4. Saos 10.5. Bumbu 10.6. Mie 10.7. Tepung
10.8. 10.10. Sub total 1.10 Tot Pangan 2. NONPANGAN 1.Sekolah 1.1.SPP/BP3/Les 1.2.Uang transport 1.3.Buku/alat tulis 1.4. Seragam sekolah 1.5. Sepatu 1.6. Sub total 2.1 2. Pakaian/jahit baju Sub total 2.2 3. Bahan bakar 3.1. Minyak tanah 3.2. Kayu bakar 3.3. Gas 3.3. Bensin 3.5. 3.6. Sub total 2.3 4. Kesehatan 4.1.Jasa dan/mantri 4.2. Vitamin/supleme 4.3. Obat-obatan 4.4. KB Sub total 2.4 5. Alat bersih 5.1. Sabun mandi 5.2. Odol 5.3. Sampoo 5.4. Conditioner 5.5. Sikat gigi 5.5. Kapas/pembalut 5.7. Sabun Cuci
Tahunan
74
Pengeluaran Rp per
Jenis pengeluaran Harian
Mingguan
Bulanan
5.8. Sikat pakaian 5.9. Bedak 5.10. Lipstik 5.11. Deodoran
5.12. Minyak wangi 5.13. Sapu 5.14. 5.15. Sub total 2.5 6. Rokok Sub total 2.6 7. Lain-lain 7.1. Transpor selain anak 7.2. Sewa/ merawat rumah 7.3. PAM/beli air bersih 7.4. Rekreasi/hiburan 7.5. Sumbangan 7.6. Kredit/ Arisan 7.7. Pembayaran pajak 7.7. Telepon 7.9. Listrik 7.10. Tabungan 7.11 7.12 7.13 7.14 Sub total 2.7 Tot Nonpangan TOTAL PENGELUARAN
Tahunan
75 Lampiran 2 Hasil uji statistik contoh Tabel 25 Hasil uji independent t-test komponen akses pangan dan tingkat kecukupan energi rumahtangga desa program dan desa nonprogram Komponen Standard error Sig. (2 tailed) Keterangan Lama pendidikan 1.124 0.379 Tidak berbeda suami Lama pendidikan istri 0.997 0.574 Tidak berbeda Pengeluaran total per 58016.6 0.133 Tidak berbeda kapita per bulan 0.391 0.222 Tidak berbeda Skor komponen utama akses pangan 5.04 0.855 Tidak berbeda Tingkat kecukupan energi Tabel 26 Skor komponen utama akses pangan rumahtangga di desa program dan desa nonprogram skor akses pangan Rumah tangga Program nonprogram 1 4.187241 1.627341 2 -0.60319 -0.27807 3 2.570174 -0.19145 4 0.037343 -0.90433 5 0.351236 -0.06473 6 0.331195 0.61894 7 -1.46208 0.305387 8 -1.77122 0.013313 9 -1.19139 -1.24942 10 0.404135 -0.41072 11 0.900701 -0.82242 12 -0.71883 -0.33314 13 0.607095 -0.50639 14 3.921039 -0.27057 15 2.178116 0.893183 16 0.063931 0.20951 17 -1.01741 -0.39815 18 -0.45833 0.353859 19 0.344719 -1.80779 20 1.418507 -2.06995 21 -1.36151 0.470006 22 -1.00697 -0.14137 23 -2.112 -0.65557
76
1
2
Tabel 27 Hasil regresi akses pangan dengan tingkat kecukupan energi Unstandardized Coefficients Standard eror Sig. Model B 74.143 2.306 .000 (Constant) pca 5.104 1.745 .005 (Constant) 74.960 3.323 .000 pca 5.218 1.793 .006 D -1.634 4.740 .732
Tabel 28 Hasil analisis korelasi pearson akses pangan dengan TKE pada keseluruhan contoh Komponen Sig. (2 tailed) r Lama pendidikan suami 0.025 0.331* Lama pendidikan istri 0.023 0.335* Pengeluaran total per kapita 0.073 0.267 Komponen utama akses pangan 0.005 0.404** *korelasi signifikan pada level 0.05 **korelasi signifikan pada level 0.01