BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
2.1. Manajemen 2.1.1. Pengertian Manajemen Manajemen secara harfiah berasal dari kata manage yang berarti mengatur. Secara umum manajemen adalah kegiatan merencanakan, mengatur, dan mengontrol dalam sebuah organisasi atau perusahaan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Beberapa ahli berpendapat seperti yang dikemukakan oleh Manullang (2004:5): “Manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan, dan pengawasan sumber daya untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan”. Serupa
dengan
Manullang,
Hasibuan
(2003:1)
mengartikan
manajemen sebagai berikut: “Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses emanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu”. Kemudian Solihin (2009:05), mendefinisikan manajemen sebagai berikut: “Manajemen dapat didefinisikan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian dari berbagai sumber organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien”. Dapat ditunjukkan dari definisi tersebut diatas, bahwa manajemen merupakan suatu proses yang diawali
dengan sebuah
perencanaan,
pengorganisasian, pengaturan dan pengendalian dari beberapa fungsi organisasi dalam rangka untuk mencapai tujuan perusahaan yang efektif dan efisien.
10
11
2.2. Manajemen Keuangan 2.2.1. Pengertian Manajemen Keuangan Manajemen keuangan merupakan salah satu cabang ilmu manajemen yang mempelajari fungsi manajemen dalam merencanakan, mencari dan mengalokasikan sejumlah dana untuk kemajuan sebuah perusahaan atau organisasi. Pengertian finance menurut Gitman (2009 : 4) adalah: “Art and science of managing money. Virtually all individuals and organization earn or raise money and spend or invest money. Finance is concerned with process, institutions, markets, and instruments involved in the transfer of money among individuals, business, and governments”. Salah satu fungsi perusahaan yang penting bagi keberhasilan usaha suatu perusahaan dalam pencapaian tujuannya adalah kondisi manajemen keuangan perusahaan tersebut. Oleh karena itu perusahaan harus memberi perhatian khusus
terhadap kemajuan keuangan demi tercapainya tujuan perusahaan.
Berikut pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli mengenai beberapa pengertian dari manajemen keuangan tersebut. Manajemen keuangan menurut Riyanto (2001:4) mengemukakan bahwa: “Manajemen keuangan sebagai keseluruhan aktivitas perusahaan yang bersangkutan dengan usaha mendapatkan dana yang diperlukan dengan biaya yang minimal dan syarat-syarat yang paling menguntungkan beserta usaha untuk menggunakan dana tersebut seefisien mungkin”. Menurut Brigham dan Houston, dalam Tarigan (1998:4) mengenai definisi dari manajemen keuangan, mereka mengemukakan bahwa: “Manajemen keuangan dapat diterangkan berdasarkan fungsi dan tanggung jawab dari manajer keuangan. Fungsi utama manajer keuangan adalah merencanakan, mencari dan memanfaatkan dana dengan berbagai cara untuk memaksimumkan efisiensi (daya guna) dari operasi-operasi perusahaan”.
Dapat ditunjukkan dari pendapat-pendapat tersebut, bahwa manajemen keuangan
merupakan aktivitas-aktivitas
yang menyangkut
perencanaan,
12
pencarian dan pemanfaatan dana perusahaan seefisien mungkin demi tercapainya tujuan perusahaan yaitu memaksimalkan laba.
2.2.2. Tujuan Manajemen Keuangan Manajer keuangan perlu mengambil keputusan-keputusan yang benar dalam penentuan tujuan perusahaan serta dalam usaha pencapaian tujuan tersebut. Keputusan yang diambil haruslah dengan prinsip memaksimumkan nilai
perusahaan,
yang
identik
dengan
memaksimumkan
laba,
serta
meminimumkan tingkat resiko. Agar keseimbangan tersebut dapat diperoleh, maka perusahaan harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap aliran dana. Berdasarkan uraian tersebut menurut pendapat Brigham dan Houston (2001:6) dalam Tarigan (2001:6) mengenai tujuan manajemen keuangan adalah sebagai berikut: 1. Laba yang maksimal 2. Resiko yang minimal 3. Melakukan pengawasan aliran dana, dimaksudkan agar penggunaan dan pencarian dana dapat diketahui segera 4. Menjaga fleksibilitas perusahaan. Hal ini menunjukan bahwa tujuan manajemen keuangan tak lepas dari peranan atau fungsi manajer keuangan. Adapun fungsi atau peranan dari seorang manajer keuangan menurut Syamsudin (2002:8), yaitu sebagai berikut: 1. Menganalisa dan merencanakan pembelanjaan perusahaan, sehingga dapat digunakan
untuk
memonitor
keadaan
keuangan
perusahaan,
perrencanaankebutuhan-kebutuhan modal pada masa yang akan datang, menilai kemungkinan-kemungkinan modal pada masa yang akan datang, menilai kemungkinan peningkatan produktivitas dan penentuan atau jenisjenis modal yang akan ditarik. 2. Mengelola penanaman modal dalam aktiva, sehingga dapat menganalisa keadaan pada masa lalu, serta kemungkinan-kemungkinan pada masa yang akan datang yang dihubungkan dengan tujuan jangka panjang perusahaan. 3. Mengatur struktur finansial dan struktur modal perusahaan. Hal ini
13
dilakukan sehubungan dengan struktur finansial perusahaan yaitu sebagai berikut: 1) Penentuan alokasi yang terbaik anatara hutang lancar dengan modal jangka panjang. 2) Penentuan jenis hutang lancer dan modal jangka panjang yang paling menguntungkan bagi perusahaan. Sedangkan dalam hubungannya dengan struktur modal, maka tekanan yang diberikan adalah pada penentuan komposisi modal jangka panjang, yaitu perbandingan antara hutang jangka panjang dengan modal sendiri. Berdasarkan pendapat diatas mengenai fungsi atau peranan seorang manajer keuangan yang sudah diuraikan sebelumnya maka dapat diketahui bahwa peranan seorang manajer keuangan sangat dibutuhkan keberadaannya untuuk memonitor keadaan keuangan perusahaan, menemukan masalah-masalah yang dihadapi kemudian mencoba untuk mencari pemecahan masalah tersebut, sehingga tujuan perusahaan secara keseluruhan akan mudah dicapai.
2.3. Laporan Keuangan 2.3.1. Pengertian Laporan Keuangan Laporan keuangan meruapakan hasil dari proses akuntansi dan bukan hanya sebagai alat pengukur saja tetapi juga sebagai dasar untuk menentukan atau menilai posisi keuangan perusahaan tersebut, dimana hasil laporan keuangan tersebut pihak-pihak yang berkepentingandapat mengambil suatu keputusan. Jadi untuk mengetahui posisi keuangan suatu perusahaan serta hasilhasil yang telah dicapai oleh perusahaan tersebut perlu adanya laporan keuangan dari perusahaan yang bersangkutan. Pengertian laporan keuangan menurut Harahap (2004:105) mengemukakan bahwa: “Laporan keuangan menggambarkan kondisi keuangan dan hasil usaha suatu perusahaan pada saat tertentu atau jangka waktu tertentu, adapun jenis laporanm keuangan yang lazim dikenal adalah neraca atau laporan laba rugi atau hasil usaha, laporan arus kas, laporan perubahan posisi keuangan”. Menurut S Munawir (1990:2) menyatakan mengenai definisi laporan
14
keuangan, yaitu sebagai berikut: “Laporan keuangan adalah hasil dari proses akuntasi yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi antar data keuangan atau aktivitas suatu perusahaan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan data keuangan atau aktivitas perusahaan tersebut”. Kemudian
Brigham
dan
Houston
dalam
Yulianto
(2010:84)
berpendapat serupa mengenai laporan keuangan: “Laporan keuangan adalah beberapa lembar kertas dengan angkaangka yang tertulis di atasnya, tetapi penting juga untuk memikirkan asset-aset nyata yang berada di balik angka tersebut”. Berdasarkan definisi para ahli diatas, maka dapat ditunjukkan bahwa laporan keuangan adalah merupakan gambaran keuangan dari proses akuntansi yang memperlihatkan kondisi keuangan suatu perusahaan yang meliputi neraca, laporan laba rugi dan laporan perubahan posisi keuanngan perusahaan.
2.3.2. Manfaat Laporan Keuangan Agar posisi keuangan suatu perusahaan serta hasil-hasil yang telah dicapai oleh perusahaan tersebut dapat diketahui, diperlukan adanya laporan keuangan dari perusahaan yang bersangkutan. Laporan keuangan tidak hanya sebagai penguji tetapi juga sebagai dasar untuk menentukan atau menilai posisi keuangan perusahaan, dimana dengan hasil analisisnya pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengambil suatu keputusan. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan suatu perusahaan berdasarkan dari Ikatan Akuntansi Indonesia (2004:2), diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Manajemen Bagi
pihak
manajemen,
Laporan
Keuangan
merupakan
pertanggungjawaban atas kepercayaan yang diberikan oleh pihak pemilik perusahaan guna memimpin perusahaan. Analisa atas laporan keuangan perusahaan akan membantu manajer mengetahui keadaan perkembangan maupun hasil yang dicapai perusahaan. Hasil analisa tersebut akan sangat bermanfaat untuk menyusun kebijakan perusahaan yang lebih tepat.
15
b.
Pemilik perusahaan Pemilik peruusahaan sangat berkepentingan terhadap laporan keuangan
perusahaannya
terutama
untuk
perusahaan
yang
kepemimpinannya diserahkan kepada orang lain seperti perseroan, sebab dengan laporan keuangannya tersebut pemilik perusahaan yang biasanya dinilai dengan laba yang diperolehnya. c.
Pemerintah Pihak pemerintah mempunyai kepentingan terhadap laporan keuangan perusahaan diantaranya untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar perusahaan.
d.
Karyawan Bagi karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka, terbukanya informasi tentang laporan keuangan perusahaan mempunyai arti penting diantaranya untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, jaminan sosial yang lebih baik, juga untuk menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan sehubungan dengan kelangsungan kerjanya.
e.
Para Investor Para investor memerlukan laporan keuangan perusahaan ditempat mereka menanamkan modalnya, yang akan digunakan untuk mengetahui prospek dan keuntungan dan perkembanngan selanjutnya. Dari analisis laporan tersebut maka para investor menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh selanjutnya.
f.
Para Kreditur Sebelum mengambil keputusan untuk memberikan atau menolak kredit suatu perusahaan, para kreditur perlu posisi keuangan tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan kredit.
16
2.3.3. Bentuk Laporan Keuangan Seorang analisis dalam melakukan analisis terhadap Laporan Keuangan, penting untuk memahami bentuk, prinsip penyusunan serta masalah yang timbul dalam laporan keuangan tersebut. Pada umumnya laporan keuangan terdiri dari Neraca, laporan Laba/Rugi, Laporan Perubahan Posisi Keuangan serta catatan-catatan atas Laporan Keuangan. Pada bab ini penelitii akan membatasi hanya dua bentuk laporan keuangan yang utama yaitu Neraca dan Loporan Laba/Rugi. a. Neraca 1) Pengertian Neraca Adapun pengertian neraca menurut S. Munawir (1990:13) yaitu sebagai berikut: “Neraca adalah laporan yang sistematis tentang aktiva, hutang serta modal, dari suatu perusahaan pada suatu saat tertentu, sedangkan tujuan neraca itu sendiri adalah untuk menunjukan posisi keuangan suatu perusahaan pada suatu tanggal tertentu”. Sedangkan menurut Hanafi (2012:28) : “Neraca keuangan merupakan „snapshot‟ gambaran perusahaan pada saat tertentu” Sependapat dengan Hanafi, Brigham dan Houston dalam Yulianto (2010:87) mendefinisikan bahwa “Neraca mencerminkan “foto” posisi suatu perusahaan pada suatu titik waktu tertentu. “ Berdasarkan kutipan diatas, neraca merupakan sebuah laporan sistematis yang terdiri dari aktiva, hutang serta modal. Dimana ketiga komponen tersebut dapat menggambarkan posisi keuangan perusahaan. Berikut ini akan peneliti jabarkan isi dari neraca, yaitu sebagai berikut: 2) Bentuk –bentuk Neraca Bentuk-bentuk atau susunan neraca tidak ada keseragaman diantara perusahaan-perusahaan tergantung pada tujuan yang akan dicapai, tetapi bentuk neraca yang umum digunakan menurut Munawir (1990:20) adalah
17
sebagai berikut: a) Bentuk Skontro (account form), dimana semua aktiva tercantum sebelah kiri/debit dan hutang serta modal sebelah kanan/kredit. b) Bentuk vertikal (Stafel atau report form), dalam bentuk ini semua aktiva nampak dibagian atas yang selanjutnya diikuti dengan hutang jangka pendek, hutang jangka panjang serta modal. c) Bentuk neraca yang disesuaikan dengan kedudukan atau posisi keuangan perusahaan, bentuk ini bertujuan agar kedudukan atau posisi keuangan yang dikehendaki Nampak dengan jelas, misalnya besarnya modal kerja netto (net working capital) atau jumlah modal perusahaan.
b. Laporan Rugi Laba Laporan laba rugi menurut S. Munawir (1990:26) yaitu: “Laporan laba rugi adalah merupakan salah satu laporan tentang penghasilan, biaya, laba rugi yang diperoleh perusahaan selama periode tertentu”. Sedangkan menurut Brigham dan Houston dalam Yulianto (2013:93) Laporan Laba Rugi adalah: “Laporan yang merangkum pendapatan dan beban perusahaan selama suatu periode akuntansi, biasanya satu kuartal atau satu tahun.” Berdasarkan pendapat Ahli diatas, dapat ditunjukkan bahwa Laporan Laba Rugi ialah bagian dari laporan keuangn yang merangkum penghasilan, biaya dan beban perusahaan, sehingga akan terlihat perusahaan tersebut mengalami keuntungan atau kerugian.
2.4. Rasio Keuangan Pengertian rasio keuangan menurut Harahap (2004:297) adalah: “Rasio keuangan yaitu angka yang diperoleh dari hasilperbandingan dari satu pos laporan keuangn dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan atau berarti”.
18
Menurut Harahap (2004:303) rasio keuangan yang digunakan dalam mengukur kemampuan perusahaan adalah sebagai berikut: “Likuiditas yaitu kemapuan perusahaan untuk menyelesauikan kewajiban jangka pendeknya. Dimana rasio-rasio ini dapat dihitung melalui sumber informasi tentang modal kerja yaitu pos-pos aktiva lancar dan hutang lancar. Solvabilitas merupakan menggambarkan kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjangnya apabila perusahaan dilikuidasi. Rasio ini dapat dihitung dari pos-pos yang sifatnya jangka panjang seperti aktiva tetap dan hutang jangka panjang. Profitabilitas yaitu untuk mengukur tingkat kemampuan perusahaan untuk dapat memberikan keuntungan (laba) pada suatu periode tertentu dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan dan sebagainya”. Berdasarkan uraian uraian tersebut dapat diketahui bahwa kemampuan suatu perusahaan yang menyangkut kondisi keuangan dapat teridentifikasi dengan menggunakan rasio Likuiditas berhubungan dengan kemampuan perusahaan dalam pemenuhan kewajiban jangka pendeknya, rasio Solvabilitas yang berhubungan dengan kemampuan perusahaan dalam pemenuhan kewajiban jangka panjangnya dan rasio Profitabilitas berhubungan dengan kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan.
2.5. Kebijakan Dividend Kebijakan
dividen
menyangkut
keputusan
apakah
laba
yang
dibayarkan sebagai dividen atau ditahan untuk reinvestasi dalam perusahaan. Dividend merupakan kuntungan yang diperoleh dalam setiap periode yang didistribusikan kepada pemegang saham. Adapun definisi dividend menurut Gitman (2006:590) adalah “A source of cash flow to stockholder and provides information about firm’s current and future performance.” Sedangkan menurut Niswonger, et al (2004:583) sebagai berikut: “A dividend is a distribution by corporation its share A dividend is a distribution by a corporation its share shareholders dividends may be paid in cash in stock of company on the other property. Three dates are important in distribution of
19
dividends : 1. The date of declaration is the date on which the directors take formal action to declare the dividend on which the dividend is recorded in the accounting records. 2. The date of the recorded is date on which ownership of share is to be determinate for purpose of distribution of the dividend. 3. The date of payment is the on which the dividend is to be distributed on paid. Kebijakan dividen pada intinya merupakan proporsi besar laba bersih setelah pajak yang akan dibagikan kepada para investor. Pengertian kebijakan dividend menurut Riyanto (2001:265): “Kebijakan dividend adalah bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan untuk dibayarkan kepada pemegang saham sebagai dividend atau digunakan di dalam perusahaan, yang berarti pendapatan tersebut harus ditahan di dalam perusahaan.” Teori kebijakan dividen sebagian besar menitik beratkan pada masalah hubungan pada kebijakan dividen dengan nilai perusahaan semua teori itu masih menjadi perdebatan banyak ahli. Beberapa buku memberikan nama lain terhadap teori mengenai kebijakan dividen seperti dividend controversy dan dividend puzzle, yang mengisyaratkan belum tercapainya suatu kesepakatan yang umum tentang kebijakan dividen dalam kaitannya dengan nilai perusahaan. Menurut Husnan dan Pudjiasti (2004 : 297) pengertian kebijakan dividen adalah “kebijakan yang menyangkut tentang masalah penggunaan laba yang menjadi hak para pemegang saham”. Pada dasarnya laba tersebut tidak dibagi sehingga dividen atau laba ditahan untuk diinvestasikan kembali. Menurut Gitman (2006:597) kebijakan dividen perusahaan adalah “A plan of action to be followed wherever on dividend decision is made.” Dengan demikian dapat ditunjukkan kebijakan dividen adalah kebijakan yang mengatur berapa bagian laba bersih yang akan dibagikan sebagai dividen kepada para pemegang saham dan berapa bagian laba bersih yang akan digunakan untuk membiayai investasi perusahaan. Secara umum suatu perusahaan harus menetapkan kebijakan dividen yang nantinya dapat memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Apabila perusahaan tidak memiliki kesempatan berinvestasi yang menguntungkan,
20
maka sebaiknya kelebihan dana tersebut didistribusikan kepada pemegang saham perusahaan. Pembayaran dividen dalam jumlah sekecil apapun masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Menurut Sundjaja dan Barlian (2003:390-393) ada 3 (tiga) jenis kebijakan dividen yaitu: 1) Kebijakan dividen rasio pembayaran konstan Kebijakan dividen yang didasarkan dengan persentase tertentu dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemilik setiap periode. 2) Kebijakan dividen yang teratur Kebijakan dividen yang didasarkan atas pembayaran dividen dengan rupiah yang tetap dalam setiap periode. Seringkali kebijakan dividen teratur digunakan dengan memakai target rasio pembayaran dividen. 3) Kebijakan dividen yang rendah yang teratur dan ditambah ekstra Kebijakan dividen yang didasarkan pembayaran dividen rendah yang teratur, ditambah dengan dividen ekstra jika ada jaminan pendapatan. 2.5.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen Dalam menentukan bentuk dividen yang akan dibagikan serta jumlah earning yang akan dikeluarkan sebagai dikeluarkan sebagai dividen (cash dividend), perusahaan harus memperhatikan kepentingan banyak pihak baik pihak internal maupun pihak eksternal yang berhubungan dengan perusahaan, selain itu dividen yang akan ditetapkan oleh perusahaan sebaiknya melalui pertimbangan atas faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen itu sendiri. Menurut Sundjaja dan Barlian (2003:387-390) faktor-faktor yang mempengaruhi dividen adalah : 1.
Peraturan Hukum a. Mengenai laba bersih menentukan bahwa dividen dapat dibayar dari laba tahun-tahun yang lalu dan laba tahun berjalan. b. Perturan mengenai tindakan yang merugikan modal. Melindungi para direktur, dengan melarang pembayaran dividen yang berasal dari modal( membagikan investasinya bukan membagikan dividennya). c. Peraturan mengenai tidak mampu bayar. Perusahaan tidak boleh membayar
21
jika tidak mampu (bangkrut). 2.
Posisi Likuiditas Laba ditahan biasanya diinvestasikan dalam bentuk aktiva yang diperlukan
untuk menjalankan usaha. Laba ditahan dari tahun ke tahun terdahulu sudah diinvestasikan dalam bentuk mesi dan peralatan, persediaan, dan barang- barang lainnya, bukan disimpan dalam bentuk uang tunai. Oleh karena itu suatu perusahaan yang keuntungannya luar biasa mungkin saja tidak dapat membayar dividen karena keadaan likuiditasnya. Memang perusahaan yang sedang tumbuh biasanya betul- betul kurang dana dalam situasi seperti ini mungkin perusahaan memutuskan untuk tidak membayar dividen dalam bentuk tunai. 3.
Membayar Pinjaman Jika perusahaan telah melakukan pinjaman untuk memperluas usahanya
atau untuk pembiayaan lainnya maka ia dapa mlunasi pinjaman nya pada saat jatuh tempo atau ia dapat menyisihkan cadangan- cadangan untuk melunasi pinjaman itu nantinya. Jika diputusakan bahwa pinjaman itu akan dilunasi, maka biasanya harus ada laba ditahan. 4.
Kontrak pinjaman Kontrak pinjaman apabila menyangkut pinjaman jangka panjang,
seringkali membatasi kemampuan perusahaan untuk membayar dividen tunai. Pembatasan yang dimaksudkan untuk melindungi para kreditur yaitu : dividen yang akan datang hanya akan boleh dibayar dari keuntungan yang diperoleh sesuai ditandatanganinya kontrak pinjaman (artinya tidak boleh dibayarkan pada laba tahun yang ditahan). 5.
Pengembalian Aktiva Semakin cepat pertumbuhan perusahaan, semakin besar kebutuhannya
untuk membiayai pengembangan aktiva perusahaan. Semakin banyak dana yang dibutuhkan dikemudian hari, semakin banyak laba apabila ingin menambah modal dari luar maka sumber alami yang tersedia adalah para pemegang saham sekarang yang sudah mengenal perusahaan Jika keuntungannya dibayarkan kepada mereka sebagai dividen dan terkena tarif pajak perorangan yang tinggi, maka hanya sebagian laba saja yang dapat ditanam kembali.
22
6.
Tingkat Pengembalian Tingkat pengembalian atas asset menentukan laba pembentukan dividen
yang dapat digunakan oleh pemegang saham baik ditanamkan kembali didalam perusahaan maupun ditempat lain. 7.
Stabilitas Keuntungan Perusahaan
yang
keuntungannya
relatif
teratur
seringkali
dapat
memperkirakan bagaimana keuntungan dikemudian hari, maka keuntungan seperti itu kemungkian besar akan membagikan keuntungan dalam bentuk dividen dengan persentase yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan yang keuntungannya yang berfluktuasi. 8. Pasar Modal Perusahaan besar yang sudah mantap, dengan profitabilitas yang tinggi dan keuntungan yang teratur, dengan mudah dapat masuk ke pasar modal atau memperoleh macam-macam dana dari luar untuk pembiayaannya. Perusahaan yang sudah mantap akan mempunyai tingkat dividen yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan kecil atau yang masih baru. 9. Kendali Perusahaan Jika perusahaan hanya memperkuat usahanya dari pembiayaan intern maka pembiayaan dividen akan berkurang, kebijakan ini dijalankam atas pertimbangan bahwa menambah modal dengan menjual saham biasanya akan mengurangi pengendalian atas perusahaanitu oleh golongan pemegang sahamyang kini sedang berkuasa. Selain itu penjualan saham tambahan akan memperbesar resiko fluktuasinya keuntungan bagi para pemegang saham. 10. Keputusan Kebijakan dividen Hampir semua perusahaan ingin mempertahankan dividen pershare pada tingkat yang konstan. Tetapi naiknya dividen selalu terlambat dibandingkan dengan naikya keuntungan. artinya dividen itu baru akan dinaikkan jika sudah jelas bahwa meningkatnya keuntungan itu benar-benar mantap dan nampak cukup permanen.
23
2.5.2. Pengertian Dividend Payout Ratio Dividend Payout Ratio adalah perbandingan antara dividen yang dibayarkan dengan laba bersih yang didapat dan biasanya disajikan dalam bentuk persentase. Semakin tinggi Dividen Payout Ratio akan menguntungkan para investor tetapi dari pihak perusahaan akan memperlemah internal financial karena memperkecil laba ditahan, tetapi sebaliknya Dividen Payout Ratio semakin kecil akan merugikan para pemegang saham (investor) tetapi internal financial perusahaan semakin kuat. Dividend Payout Ratio menurut Sartono (2001 ; 73) adalah : “Persentase laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen, atau rasio antara laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen dengan total laba yang tersedia bagi pemegang saham”. Artinya bahwa Dividend Payout Ratio mengukur proporsi pendapatan per lembar saham biasa yang sedang dikeluarkan di dalam dividen-dividen. Dari pengertian tersebut Dividend Payout Ratio dapat diformulasikan menjadi : Dividend Payout Ratio =
2.6. Leverage 2.6.1. Pengertian Leverage Dalam manajemen keuangan leverage adalah penggunaan asset dan sumber dana
oleh perusahaan
yang memiliki
dengan maksud agar
meningkatkan keuntungan potensi pemegang saham menurut Sartono (2001:257). Perusahaan yang menggunakan operating dan financial leverage dengan tujuan agar keuntungan yang di peroleh lebih besar daripada biaya asset dan sumber dana, dengan meningkatkan keuntungan pemegang saham. Kemudian Gitman (2003:508) menggungkapkan penggunaan leverage dalam perusahaan ialah sebagai: “Akibat dari penggunaan dana tetap untuk memperoleh return bagi perusahaan. Secara umum pertumbuhan leverage akan menimbulkan peningkatan return dan risk bagi perusahaan. Sebaliknya penurunan leverage akan menurunkan return dan risk”.
24
Sedangkan menurut Sawir (2004: 10) leverage keuangan adalah “Penggunaan sumber dana yang menimbulkan beban tetap keuangan. Beban tetap keuangan yaitu bunga yang harus dibayar tanpa memperdulikan tingkat laba perusahaan.” Dari pernyataan diatas ditunjukkan bahwa leverage merupakan penggunaan sumber modal dan asset yang diperoleh dari pinjaman untuk tujuan memaksimumkan kapasitas perusahaan dengan harapan mendapat keuntungan yang lebih besar dari sebelumnya. Sebagai tambahan leverage bukan hanya digunakan untuk membiayai aktiva dan menanggung beban tetap melainkan juga memperbesar penghasilan. Menurut Bringham dan Houston (2013:140) leverage merupakan pengungkit pendanaan melalui utang, Brigham dan Houston menyebutkan bahwa terdapat tiga dampak penting dalam leverage, yaitu: 1.
Menghimpun dana melalui hutang, para pemegang saham dapat mengendalikan perusahaan dengan jumlah investasi ekuitas terbatas.
2.
Kreditor melihat ekuitas atau dana yang diberikan oleh pemilik sebagai batas pengaman. Jadi, semakin tinggi proporsi dari jumlah modal yang diperoleh dari pemegang saham, maka semakin kecil resiko yang harus dihadapi oleh kreditor.
3.
Jika hasil yang diperoleh dari asset perusahaan lebih tinggi daripada tingkat bunga yang dibayarkan, maka penggunaan utang akan “mengungkit” (leverage) atau memperbesar pengembalian atas ekuitas atau ROE. Perusahaan-perusahaan yang memiliki relatif hutang yang tinggi akan
memiliki ekspetasi pengembalian yang juga relatif tinggi ketika perekonomian sedang berada dalam kondisi normal, namun memiliki resiko kerugian ketika ekonomi mengalami resesi. Oleh sebab itu, keputusan akan penggunaan hutang (leverage) mengharuskan perusahaan menyeimbangkan tingkat ekspektasi pengembalian yang lebih tinggi dengan resiko yang meningkat. Brigham dan Houston dalam Yulianto (2013:141) juga menjelaskan bahwa terdapat dua alas an di balik dampak leverage, yaitu: 1) Karena bunga dapat menjadi pengurang pajak, penggunaan utang akan
25
mengurangi kewajiban pajak dan menyisakan laba operasi yang lebih besar bagi investor perusahaan. 2) Jika laba operasi sebagai persentase terhadap asset melebihi tingkat bunga atas utang seperti yang umumnya diharapkan, maka perusahaan dapat menggunakan utang untuk membeli asset, membayar bunga atas utang, dan masih mendapatkan sisanya sebagai “bonus” bagi pemegang saham.
2.6.2. Tujuan rasio leverage Rasio leverage digunakan untuk menjelaskan penggunaan utang untuk membiayai sebagian dari aktiva perusahaan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sutrisno (2009:198) yang menyatakan bahwa leverage adalah: “Penggunaan aktiva atau sumber dana dimana untuk penggunaan tersebut perusahaan harus menanggung biaya tetap atau beban tetap. Kegagalan perusahaan dalam membayar bunga atas utang dapat menyebabkan kesulitan keuangan yang berakhir dengan kebangkrutan perusahaan. Tetapi penggunaan utang juga memberikan subsidi pajak atas bunga yang dapat menguntungkan pemegang saham. Karenanya penggunaan utang harus diseimbangkan antara keuntungan dan kerugiannya.” Menurut Sartono (2001:120) financial leverage menunjukkan proporsi atas penggunaan utang untuk membiayai investasinya. Perusahaan yang tidak mempunyai leverage berarti menggunakan modal sendiri 100%. Sedangkan, menurut Wahyono (2003:112) rasio leverage ditunjukan untuk mengukur seberapa bagus struktur pemodalan perusahaan. Berdasarkan pengertian tersebut diatas, rasio leverage merupakan rasio yang menunjukkan besarnya utang yang terhadap total aktiva (investasi) yang dimiliki perusahaan. Selain itu leverage juga mengukur seberapa besar modal yang berasal dari pinjaman dibandingkan dengan modal yang dimiliki sendiri. Semakin besar rasio ini berarti semakin tinggi resiko yang dimiliki perusahaan.
26
2.6.3. Mengukur Tingkat Leverage Leverage menunjukan seberapa besar kebutuhan dana perusahaan dibelanjai dengan hutang. Apabila perusahaan tidak mempunyai leverage artinya perusahaan dalam beroperasi sepenuhnya menggunakan modal sendiri atau tanpa menggunakan hutang. Brigham dan Houston dalam Yulianto (2006:103) ada 2 (dua) cara yang digunakan para analis untuk memeriksa utang perusahaan yaitu: 1) Memeriksa neraca untuk menentukan proporsi dari total dana yang dicerminkan oleh utang, dan 2) meninjau laporan laba rugi untuk melihat seberapa baik beban-beban tetap tertutupi oleh keuntungan operasi. Menurut Brigham dan Houston dalam Yulianto (2013:143) ada tiga 3 (tiga) rasio perhitungan untuk mengetahui tingkat leverage: a. Rasio Total Utang terhadap Total Aset Hal ini berhubungan dengan seberapa besar rasio Total Utang terhadap total aset, yang umumnya disebut sebagai rasio utang (debt ratio). Rasio ini akan mengukur persentase dari dana yang diberikan oleh kreditor:
* Rata-rata industry = 40% (Brigham dan Houston dalam Yulianto, 2013:143) Total utang meliputi kewajiban lancar dan utang jangka panjang. Kreditor lebih menyukai rasio utang yang lebih rendah karena semakin rendah angka rasionya, maka semakin besar peredaman dari kerugian yang dialami kreditor jika terjadi likuidasi
b. Rasio Kelipatan Pembayaran Bunga Rrasio kelipatan pembayaran bunga (time interest earning ratio) adalah rasio laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) terhadap beban bunga. Rasio ini merupkan suatu ukuran kemampuan perusahaan dalam memenuhi pembayaran bunga tahunannya.
27
*Rata-rata industri = 6 kali (Brigham dan Houston dalam Yulianto, 2013:144)
Kelemahan Rasio TIE menurut Brigham dan Houston, dalam Yulianto (2013:144): 1. Bunga bukanlah satu-satunya beban keuangan yang bersifat tetap – perusahaan juga harus mengurangi utangnya sesuai jadwal. 2. EBIT tidaklah mencerminkan seluruh kas yang tersedia untuk melayani utangg, terutama bagi perusahaan yang memiliki beban depresiasi dan amortisasi yang tinggi
c. Rasio Cakupan EBITDA Hal ini berhubungan dengan besarnya rasio cakupan EBITDA yaitu sebuah rasio dimana pembilangnya meliputi seluruh kas yang tersedia untuk memenuhi beban keuangan tetap dan penyebutnya meliputi seluruh bebanbeban keuangan tetap.
*Rata-rata industri = 4,3 kali (Brigham dan Houston dalam Yulianto, 2013:143)
2.7. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan (agency theory) menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam “Theory of the Firm: Manajerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure” menjelaskan bahwa hubungan agensi muncul satu orang atau lebih dimana seorang pemilik (principal) mempekerjakan (agen)
untuk memberikan
wewenang
suatu
jasa dan kemudian
orang lain
mendelegasikan
pengambilan keputusan kepada agen tersebut. Manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan
pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan sebagian
kekuasaan untuk membuat keputusan
bagi
kepentingan
terbaik
pemegang
28
saham. Oleh
karena
itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua
upayanya kepada pemegang saham. Karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan agen. Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor, yaitu: 1) Agen dan pinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen maupun prinsipal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi
yang dapat digunakan
untuk keuntungan dirinya sendiri. 2) Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen
mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang
diterimanya. Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena manajer berada didalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi mengenai perusahaan, sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan tidak pernah datang ke perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat sedikit. Hal ini menyebabkan
kontrak efisien tidak pernah terlaksana
sehingga hubungan agen dan prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Agen sebagai pengendali perusahaan pasti memiliki informasi yang lebih baik
dan
lebih
banyak dibandingkan dengan prinsipal. Di samping itu,
karena verifikasi sangat sulit dilakukan, maka tindakan agen pun sangat sulit untuk
diamati.
Dengan
demikian,
membuka
peluang
agen
untuk
memaksimalkan kepentingannya sendiri dengan melakukan tindakan yang tidak semestinya atau sering disebut dysfunctional behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan
prinsipal,
baik memanfaatkan aset perusahaan untuk
kepentingan pribadi, maupun perekayasaan kinerja perusahaan.. Dalam teori keagenan secara umum dibahas dua hal Jensen dalam
29
Arifin (2007:49) yaitu: 1) Positive Agency Research Memfokuskan pada identifikasi situasi dimana agen dan principal mempunyai tujuan yang bertentangan dan mekanisme pengendalian yang terbatas hanya menjaga perilaku self serving agen. Secara eksklusif, kelompok ini hanya memperhatikan konflik tujuan antara pemilik (Stock holder) dengan manajer. 2) Principal Agent Research Memfokuskan pada kontrak optimal antara perilaku dan hasilnya, secara garis besar penekanan pada hubungan principal dan agen. Principal agent research mengungkapkan bahwa hubungan agent-principal dapat diaplikasikan secara lebih luas, misalnya untuk menggambarkan hubungan pekerja dan pemberi kerja, lawyer dengan kliennya, auditor dengan auditee. Agency theory tidak dapat dilepaskan dari kedua belah pihak diatas, baik principal maupun agen merupakan pelaku utama dan keduanya mempunyai bargaining posisiton masing-masing dalam menempatkan posisi, peran dan kedudukannya. Menurut Sartono (2001: 10) yang dimaksud dengan konflik antar kelompok atau agency theory merupakan konflik yang timbul antara pemilik dan manajer perusahaan
dimana
ada
kecenderungan
manajer
lebih
mementingkan tujuan individu daripada tujuan perusahaan. Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2002: 12) masalah keagenan sering terjadi pada perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang sering kali terjadi pemisahan antara pengelola perusahaan (pihak manajemen) dengan pemilik perusahaan (pemegang
saham).
Disamping itu, untuk perusahaan yang berbentuk
Perseroan Terbatas tanggung jawab hanya terbatas pada modal yang disetorkan, artinya apabila perusahaan mengalami kebangkrutan, maka modal (ekuitas) yang
telah
disetorkan
oleh
pemilik perusahaan mungkin sekali akan
hilang, tetapi harta kekayaan pribadi tidak akan diikutsertakan untuk menutup kerugian
tersebut.
Dengan
keagenan (agency problems).
demikian memungkinkan masalah-masalah
30
Aplikasi teori keagenan dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun resiko-resiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari teori keagenan adalah menyelaraskan
pendesainan
kontrak
yang
tepat
untuk
kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik
kepentingan (Scott, 1997). Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu: 1) Asumsi tentang sifat manusia Asumsi
tentang
sifat
manusia
menekankan
bahwa
manusia
memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai resiko (risk aversion). 2)
Asumsi tentang keorganisasian Asumsi keorganisasian
adalah adanya konflik antar anggota
organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asumsi asimetris antara prinsipal dan agen. 3)
Asumsi tentang informasi. Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan. Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai bargaining
position. Prinsipal sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada informasi
internal perusahaan,
sedangkan
agen
yang
menjalankan
operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh, namun agen tidak mempunyai wewenang mutlak dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang
31
bersifat strategis, jangka panjang dan global. Hal ini disebabkan untuk keputusan-keputusan tersebut tetap menjadi wewenang dari prinsipal selaku pemilik perusahaan. Dalam konsep teori keagenan, manajemen sebagai agen semestinya on behalf the best interest of the shareholders, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan manajemen hanya mementingkan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan utililitas. Manajemen bisa melakukan tindakantindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Bahkan untuk
mencapai
kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak
menggunakan akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan keagenan
(agency
problem)
yang
salah
masalah
satunya disebabkan oleh
adanya informasi asimetri. Informasi asimetri yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal
dan agen. Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh
informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilan yang
diperoleh
oleh prinsipal
tidak
seluruhnya disajikan oleh agen.
Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan
kinerja agen yang sesungguhnya
dalam
mengelola kekayaan prinsipal yang dipercayakan kepada agen. Akibatnya adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2 (dua) permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prinsipal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakantindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah: 1) Moral Hazard Yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.
32
2) Adverse Selection Yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan
yang diambil oleh agen benar-benar
didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
2.8. Agency Cost Biaya agensi (agency cost) muncul ketika terjadinya masalah keagenan. Masalah keagenan (agency problem) terjadi karena adanya pemisahaan fungsi kepemilikan dan fungsi pengelolaan perusahaan yang menimbulkan konflik (Jensen dan Meckling, 1976). Penyebab terjadinya konflik antara pemilik dengan manajer diantaranya adalah membuat keputusan yang berkaitan dengan aktivitas pencairan dana dan penggunaan dana. Manajer berkepentingan dengan perolehan dana maka semakin vesar pula insentif yang diharapkan. Sebaliknya pemilik cenderung memenuhi sumber dana dari hutang, dengan adanya perlindungan pajak atas bunga, pemilik berharap pendapatan sahamnya semakin tinggi. Untuk mengurangi masalah agensi tersebut dan untuk meyakinkan manajer bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan pemegang saham harus mengeluarkan biaya keagenan (agency cost). Menurut Jensen dan Meckling (1976) pengertian biaya agensi (agency cost) adalah: “Jumlah dari biaya yang dikeluarkan principal untuk melakukan pengawasan terhadap agen.”
Menurut Weston dan Brigham (2001:21) bahwa: “Agency cost is the costs associated with monitoring management’s actions to insure that those actions are consistents with contractual agreements between manager, stockholders, and creditors.” Menurut pendapat diatas biaya-biaya yang berkaitan tersebut meliputi antara lain pengeluaran untuk memonitoring kegiatan manajer, pengeluaran untuk membuat suatu struktur organisasi yang meminimalkan tindakan-tindakan manajer yang tidak diinginkan pemegang saham, opportunity cost yang timbul
33
karena hilangnya kesempatan memperoleh laba sebagai akibat dibatasinya kewenangan manajemen sehingga manajer tidak dapat segera mengambil keputusan secara tepat waktu, padahal seharusnya halite dapat dilakukan jika manajer tersebut memiliki perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) memecah agency cost menjadi tiga komponen yaitu: 1. Monitoring Cost Monitoring cost merupakan biaya yang timbul dan ditanggung oleh principal untuk memonitor perilaku agent, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agent. 2. Bonding Cost Bonding Cost merupakan biaya yang ditanggung oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal 3. Residual Loss Residual Loss merupakan nilai kerugian yang dialami principal akibat keputusan yang diambil oleh agent, yang menyimpang dari keputusan yang dibuat oleh principal.
2.9. Mekanisme untuk Mengurangi Masalah Keagenan Adanya konflik keagenan jelas menimbulkan dampak yang besar bagi perusahaan salah satunya ialah ketidakstabilan financial perusahaan. Oleh karena itu, beberapa peneliti maupun ahli berpendapat sebuah konflik dapat diatasi dengan sebuah system atau mekanisme yang baik. Arifin (2002:60) menyatakan mekanisme untuk mengurangi masalah agensi adalah sebagai berikut: 1) Mekanisme kontrol dengan monitoring Ada beberapa mekanisme untuk mengurangi kos keagenan. Berikut mekanisme-mekanisme kontrol dengan monitoring yang dapat dipakai untuk mengurangi masalah keagenan: a) Pembentukan dewan komisaris Pembentukan dewan komisaris adalah salah satu mekanisme yang
34
banyak dipakai untuk memonitor manajer. Namun penelitian Mace (1986) menemukan bahwa pengawasan dewan komisaris terhadap manajemen pada umumnya
tidak efektif.
Ini terjadi karena
proses pemilihan dewan
komisaris yang kurang demokratis dimana kandidat dewan komisaris sering dipilih oleh manajemen sehingga setelah terpilih tidak berani mengkritik manajemen. Namun jika dewan didominasi
oleh anggota dari luar
(independent board of director) maka monotoring dewan komisaris terhadap manajer menjadi lebih efektif seperti yang ditemukan oleh Weisbach (1988). b) Pasar corporate control Mekanisme yang lebih efektif dibandingkan dengan pembentukan dewan
komisaris
adalah
melalui
pasar
corporate
control,
yaitu
takeover.Manne (1965) menyatakan bahwa adanya pasar untuk corporate control dimana perusahaan yang menurun nilainya akibat adanya masalah keagenan
akan
diambil
alih
oleh
perusahaan
lain, merupakan
mekanisme yang lebih bagus sehingga masalah agensi dapat dikurangi. c) Pemegang saham besar Mekanisme yang juga banyak dipakai untuk mengawasi manajemen adalah melalui pemegang saham besar yang biasanya merupakan lembaga keuangan seperti investment banking, perusahaan asuransi, perusahaan dana pension, perusahaan reksadana, dan bank. Bukti pemanfaatan hak control pemegang saham besar dapat dilihat dari adanya premium yang besar pada harga saham yang dibeli dalam jumlah kecil dan bukti kemungkinan adanya tindakan yang merugikan pemegang saham minoritas. Dapat dilihat dari studi tentang struktur kepemilikan oleh Morck, et al (1989) menemukan bahwa ketika kepemilikan seseorang masih dibawah 10%, maka kenaikan kepemilikan seseorang pemegang saham masih kecil peningkatan kepemilikan tersebut akan mengurangi masalah agensi karena hak control dapat dilakukan dengan efisien. Model pengurangan masalah keagenan yang dibuat Jensen dan Meckling (1976) mengasumsikan bahwa pemegang saham terdiri dari
investor-
investor kecil. Oleh karena itu biaya monitoring terhadap manajemen oleh para investor tersebut akan sangat besar sehingga mereka akan
35
cenderung tidak melakukan monitoring. d) Kepemilikan terkonsentrasi Kepemilikan dikatakan lebih terkonsentrasi jika untuk mencapai kontrol dominasi atau mayoritas dibutuhkan penggabungan lebih sedikit investor. Shleifer dan Vishny (1997) mengemukakan bahwa jika control dapat dipegang oleh semakin sedikit investor maka kan semakin mudah control tersebut dijalankan. Dibandingkan dnegan mekanisme saham besar, kepemilikan terkonsentrasi memiliki kekuatan control yang lebih rendah karena mereka tetap harus melakukan kontrolnya. Namun pada sisi yang lain mekanisme kepemilikan terkonsentrasi juga memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk munculnya peluang bagi kelompok investor yang terkonsentrasi mengambil tindakan yang merugikan investor yang lain. e) Pasar manajer Fama (1980) menyatakan bahwa masalah keagenan akan berkurang dengan sendirinya karena manajer akan dicatat kinerjanya oleh pasar manajer, baik yang ada dalam perusahaan sendiri maupun yang berasal dari luar perusahaan. Lapisan manajer atas akan digantikan oleh manajer lapisan bawahnya jika kinerjanya kurang memuaskan. Persaingan di pasar manajer ini akan memaksa manajer bertindak sebaik mungkin untuk kemajuan perusahaan. Namun mekanisme pasar manajer bukan merupakan pasar yang sempurna. Kelangkaan tenaga manajer dan sikap perlawanan dari manajer agar posisinya tidak diganti adalah faktor-faktor yang menghambat diterapkannya mekanisme pasar manajer untuk kepentingan pengurangan masalah agensi.
2) Mekanisme Kontrol dengan Peningkatan Kepemilikan Manajer Stulz (1988)
mengembangkan teori struktur kepemilikan dan
mendapatkan bahwa hubungan antara kepemilikan manajer dan nilai perusahaan akan meningkat dengan meningkatnya α karena pada saat itu insentif manajer untuk bertindak “konsumtif” menurun. Pada level α yang tinggi, nilai perusahaan justru menurun ketika α meningkat karena adanya
36
pengaruh management entrenchment, yaitu suatu posisi kepemilikan dmana manajer dapa dengan bebas memaksimumkan utilitasnya tanpa takut adanya hostile takeover, perlawangan dari dewan komisaris, maupun proxy fight oleh investor besar.
3) Mekanisme kontrol dengan bonding Kim dan Sorensen (1986) melihat masalah keagenan dari sudut ketersediaan uang yang „konsumtif‟.
dapat
digunakan
manajer
untuk
kegiatan
Dana tersebut adalah free cash flows yaitu kelebihan dana
yang ada dalam perusahaan setelah semua proyek yang menghasilkan net present value positif dilaksanakan. Jika biaya agensi ingin dikurangi maka free cash flows harus dikurangi terlebih dahulu. Dengan kata lain manajer harus menunjukan kepada pemegang saham bahwa dia telah melakukan upaya menahan diri (bonding) untuk tidak menciptakan peluang melakukan penyimpangan-penyimpangan dengan cara memperkecil dana yang dapat disimpangkan, yaitu free cash flows. BErikut ini merupakan cara mekanisme control dengan bonding melalui beberapa cara, diantaranya: a. Bonding dengan meningkatkan hutang Semakin besar hutang maka semakin banyak dana cash yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk membayar bunga dan angsuran dengan demikian akan mengurangi jumlah dana kas yang disimpan perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) juga menyarankan memakai peningkatan hutang untuk mengurangi biaya agensi meskipun dengan alasan yang berbeda, yaitu supaya outside equity tidak bertambah sehingga konflik antara investor luar dan manajemen tidak meningkat. Dalam konteks teori agensi, hasil korelasi positif antara jumlah hutang dan nilai perusahaan di interpretasikan sebagai adanya pengurangan masalah agensi ketika hutang perusahaan meningkat. b. Bonding dengan meningkatkan dividend Disamping meningkatkan hutang, free cash flows juga dapat dikurangi dengan meningkatkan dividen tunai. Semakin besar dividen yang ditetapkan
37
oleh perusahaan maka perusahaan harus mengeluarkan dana yang semakin besar sehingga yang tersisa diperusahaan menjadi kecil. Dengan alasan yang berbeda. Rozeff (1982) juga menyarankan peningkatan deviden untuk mengurangi biaya agensi karena meningkatnya dividen akan meningkatkan kemungkinan perusahaan mengambil dana dari luar (bukan dari dana internal) sehingga perusahaan semakin sering dimonitor oleh investor baru (Arifin, 2006:60-66).
2.10. Penelitian Terdahulu Latar belakang yang telah disusun oleh penulis merupakan hasil pemikiran dari penggabungan teori, hasil penelitian terdahulu dan hasil pemikiran penulis. Berikut ini dasar penelitian bersumber dari penlitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti:
Tabel 2.1.Penelitian Terdahulu No
1.
2.
Nama Peneliti, Tahun A.A.G.P. Widana Putra dan Ni Made Dwi Ratnadi (2008)
He Zhang dan Steven Li (2008)
3.
Rakesh H M, Lakshmi P (2013)
4
Jensen
Judul Penelitian, Jurnal Pengaruh Kebijakan Dividen dan Kepemilikan Manajerial terhadap Kos Keagenan. (Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis, Vo. 3 No.2 Juli 2008, ISSN: 2303-1018)
The Impact of Capital Structure on Agency Cost: Evidence from UK Public Company
Capital Sturcture on Agency /costs: Evidence from Indian Public Companies (OSR jurnal of business and Management (IOSRJBM) e-ISSNL 2778487X, p-ISSN:23197668. Vol 15, Issue I (Nov, - Dec. 2013), PP 50-53 Theory of the Firm:
Hasil Kebijakan dividend berpengaruh secara terhadap kos keagenan.
Kesimpulan tidak statistik
Leverage berpengaruh negatif dan signifikan secara statistis terhadap kos keagenan (agency cost) pada tingkat kepercayaan 95 persen pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta Agency cost pada perusahaan yang dikelola oleh manajer pemilik lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang dikelola oleh manajer nonpemilik. Pada multivariate test, terdapat hubungan negatif dan signifikan antara leverage dan agency cost. Bahwa leverge yang tinggi dapat menurunkan kos keagenan. Sebagai tambahan ini berarti bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan yang negatif terhadap kos keagenan. Hasil dari univariate test, hampir sama dengan hasil yang diperoleh dari pengujian multivariate bahwa kenaikan leverage dapat menurunkan kos keagenan. Namun, pada tingkat leverage yang sangat tinggi, akan menghasilkan efek yang berlawanan dari hipotesis agency cost. Tetapi hasilnya tidak signifikan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara Leverage dengan Agency Cost
Pengurangan
38
free cash
flow
Kebijakan dividend tidak berpengaruh terhadap agency cost, sedangkan leverage berpengaruh negative dan signifikan terhadap agency cost. Agency cost pada perusahaan yang dikelola manajer pemilik lebih kecil daripada non pemilik.
Leverage berpengaruh negative terhadap agency cost.
Leverage berpengaruh negative terhadap agency cost.
Peningkatan utang
39
.
and Meckling (1976)
Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure (Journal of Financial Economics, October, 1976,V.3, No.4, pp 305-360)
5 .
Afridian Wirahadi Ahmad, Yossi Septriani (2008)
Konflik Keagenan: Tinjauan Teoritis dan Cara Menguranginya. (Jurnal Akuntansi & Manajemen Vol. 3 No.2 Desember 2008. ISSN: 1858-3687 Hal. 47-55)
6 . Jeong-Ho, Koo and TaeYoung, Paik (2014)
Relationship between Agency Problem and Cost Stickiness: A Direct Test
melalui peningkatan utang dapat mengurangi masalah agensi antara pemegang saham dengan manajemen. Hal itu terjadi karena jumlah dana yang “menganggur” semakin kecil yang akan mengurangi pengawasan terhadap dana tersebut. Teori Keagenan yang mulai berkembang dari Jensen dan Meckling (1976) mengacu kepada pemenuhan tujuan memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Penyebab Konflik Keagenan antara lain free cash flow, peningkatan kekuasaan manajer dalam melakukan over investment dan consumption of excessive perquisites, perbedaan keputusan investasi antara investor dan manajer. Akibat konflik keagenan adalah kas digunakan untuk kepentingan outside stockholder untuk mengembangkan perusahaan, asymmetric information, agency cost. Cara menanggulangi konflik keagenan adalah melalui kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan hutang, kebijakan dividend, risiko, kebijakan insentif, aliansi dan memahami perannya Agency Problem diproksi dengan menggunakan rasio SG&A terhadap penjualannya. SG&A (Biaya Administrasi dan umum) meningkat seiring dengan meningkatnya penjualan, ukuran perusahaan, pertumbuhan dan kompetisi industry. Ketika leverage naik maka berbanding terbalik dengan kondisi SG&A yang mengalami penurunan.
dapat mengurangi masalah keagenan dengan jalan mengurangi free cash flow.
Mekanisme untuk mengurangi konflik keagenan ialah dengan kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan hutang, kebijakan dividend, risiko, kebijakan insentif, aliansi dan memahami perannya. Dimana hal tersebut diharapkan mampu mengurangi agency cost.
Normal SG&A dipengaruhi oleh faktor seperti penjualan, ukuran perusahaan, rasio hutang, dan pertumbuhan. Sedangkan terdapat hubungan positif antara abnormal SG&A dengan Cost Stickiness.
2.11. Kerangka Berpikir Kos keagenan (agency cost) merupakan biaya yang timbul akibat konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Kos keagenan
40
timbul akibat adanya asymmetric information dimana ada informasi yang diketahui secara baik dan sempurna oleh pihak manajemen namun tidak diketahui oleh para pemegang saham, dengan kata lain pemegang saham tidak mengetahui apa yang diketahui oleh manajemen. Selain itu, Agency problem atau konflik keagenan sangat erat kaitannya dengan free cash flow (aliran kas bebas), kas bebas merupakan kas yang tersedia dan belum dicadangkan untuk keperluan perusahaan. Adanya free cash flow menstimulan pihak manajemen untuk melakukan investasi yang menguntungkan untuk perusahaan. Namun, disisi lain free cash flow juga dapat menjadi sumber yang sangat menguntungkan bagi para investor untuk meningkatkan jumlah dividend yang akan dibagikan.
Perbedaan
kepentingan inilah yang akan menyebabkan adanya konflik keagenan (agency problem). Teori agensi menurut Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan sebuah teori dimana sebuah konflik keagenan (agency problem) yang digambarkan
dengan
diminimalisir
oleh
besarnya berbagai
biaya
agensi
mekanisme
(Agency
diantaranya
Cost) ialah
dapat dengan
meningkatkan dividend payout dan meningkatkan jumlah hutang, sehingga ketersediaan free cash flow ini menjadi kecil. Menurut Ahmad (2008) ada beberapa mekanisme untuk mengurangi konflik agensi diantaranya ialah dengan kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan hutang, kebijakan dividend, risiko, kebijakan insentif, aliansi dan memahami perannya. Dimana hal tersebut diharapkan mampu mengurangi agency cost. Dalam penelitian ini akan dipilih mekanisme pengurang masalah agensi yang berkaitan dengan penggunaan free cash flow yaitu leverage dan kebijakan dividend. Dengan meningkatkan dividend payout ratio (DPR) mengakibatkan ketersediaan free cash flow berkurang dan manajemen terpaksa mencari pendanaan dari luar untuk membiayai investasinya (Jensen, 1986), hal ini juga menekan keinginan manajemen untuk menahan diri dari investasi yang tidak optimal. Begitu pula dengan leverage,
dapat
41
mengendalikan agency cost (kos keagenan) dengan meningkatkan pendanaan dari utang. Pendanaan utang mengakibatkan harus melakukan pembayaran periodik atas bunga dan pokok pinjaman. Hal ini dapat menurunkan excess cash flow yang ada dalam perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan pemborosan yang dilakukan oleh manajemen (Jensen, 1986). Kebijakan dividen merupakan keputusan sangat penting dalam perusahaan. Kebijakan ini akan melibatkan dua pihak yang berbeda, yaitu pihak pertama para pemegang saham dan pihak kedua perusahaan yaitu manajemen (Putra, 2008). Dividen diartikan sebagai pembayaran kepada pemegang saham oleh preusahaan atas keuntungan yang diperoleh. Menurut Crutchley dan Hansen dalam Putra (2008), peningkatan dividen diharapkan dapat mengurangi biaya keagenan. Bhattacharya dalam Putra (2008: 2) menyatakan bahwa pemegang saham memiliki
kecenderungan
untuk lebih menyukai
dividen
yang
dibagikan dalam jumlah yang relatif besar, karena memiliki tingkat kepastian yang tinggi dibandingkan
masih ditahan dalam
bentuk laba
ditahan. Selain itu dividen yang relatif tinggi menyebabkan jumlah dana yang dikendalikan oleh manajemen menjadi relatif kecil. Namun, pembagian dividen
yang
tinggi
kurang
disukai
oleh manajemen
karena akan
mengurangi utilitas manajemen yang disebabkan oleh semakin kecil dana yang berada dalam pengendaliannya Selain itu, leverage j u g a akan mengurangi konflik antara pemegang saham dengan manajemen. Leverage adalah penggunaan asset dan sumber dana oleh perusahaan yang memiliki dengan maksud agar meningkatkan keuntungan potensi pemegang saham, Sartono (2001:257). Semakin besar utang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga serta pokok
pinjaman.
Dalam
mengendalikan penggunaan
free
hal
ini
cash
adanya flow
utang
secara
akan
berlebihan
dapat oleh
manajemen. Menambah utang dapat mengurangi masalah keagenan karena dua alasan. Pertama, penambahan hutang dalam struktur modal mengurangi penggunaan saham sehingga mengurangi biaya keagenan ekuitas. Kedua,
42
perusahaan memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan membayar beban bunga secara periodik Putra (2008). Oleh karena itu, dengan semakin
besar
utang perusahaan
maka
semakin
kecil dana
“menganggur” yang dapat dipakai manajer untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang
perlu.
Semakin
mencadangkan lebih banyak
kas
besar untuk
utang
maka
membayar
perusahaan bunga
dari
harus utang
tersebut dan juga untuk mengangsur pokok utang. Penelitian terdahlu yang dilakukan Putra (2008) menyatakan leverage berpengaruh negative terhadap agency cost, begitu pula penlitian yang dilakukan oleh He Zhang (2008) dan Rakesh (2013), mendukung penelitian Putra (2008). Kemudian penelitian Ahmad (2008) tentang kebijakan dividend menyatakan bahwa dividend merupakan mekanisme pengurang masalah keagenan, sedangkan penelitian Putra (2008) menyatakan bahwa kebijakan dividend tidak berpengaruh terhdap agency cost. Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu maka penelitian ini akan mengkaji pengaruh leverage dan kebijakan dividend pada agency cost. Dalam hal ini kos keagenan diukur selling and general administrative (SGA) terhadap penjualan tahunannya
dan yang selanjutnya dianalisis dengan
regresi linear berganda. Kerangka Berpikir dalam penelitian ini dapat disajikan pada gambar berikut:
43
Tujuan Manajemen Keuangan
Stake holder (Pemegang Saham)
Perusahaan (Manajemen)
Perbedaan Kepentingan antara principal dan manajer
Memaksimumkan kemakmuran Pemegang Saham (Brigham dan Daves, dalam Putra, 2008)
Memaksimumkan Profit Perusahaan (Brigham dan Houston, 2001)
Agency Theory (Jensen dan Meckling, 1976)
Asimetri Informasi (Jensen dan Meckling, 1976)
Free Cash Flow Hypotesis (Jensen dan Meckling, 1976)
Agency Conflict (Jensen dan Meckling, 1976)
Agency Cost (Jensen dan Meckling, 1976)
Mekanisme pengurang masalah keagenan
Leverage (% DAR dan TIE) Kebijakan Dividend (%DPR)
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
44
Keterangan Gambar 2.1.: = Tidak Diteliti = Tidak Diteliti ---------
= Tidak Diteliti = Diteliti
DPR = Dividend Payout Ratio Lev = Leverage Monitoring Cost = Selling and General Administrative Expense / Sales
2.12. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian merupakan dugaan sementara yang belum diuji atau jawaban sementara yang akan diuji kebenarannya. Suatu hipotesis harus dapat diuji berdasarkan data yang diamati dan dapat diukur. Hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah harus menerima atau menolak hipotesis. Dalam penelitian ini hipotesis yang akan diuji adalah ada atau tidaknya pengaruh variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y). Berdasarkan teori yang didapat, dan kerangka berpikir yang dibuat maka dalam penelitian ini akan diuji beberapa hipotesis berikut ini: H1 :
Leverage dan Kebijakan Dividend berpengaruh terhadap Agency Cost secara Simultan pada Perusahaan Sub Sektor Otomotif Terdaftar di PT. Bursa Efek Indonesia Periode 2009 -2013.
H2 : Leverage dan Kebijakan dividend berpengaruh terhadap Agency Cost secara Parsial pada Perusahaan Sub Sektor Otomotif Terdaftar di PT. Bursa Efek Indonesia Periode 2009 -2013.