BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Anak Tunagrahita a. Pengertian Anak Tunagrahita Istilah untuk anak tunagrahita dalam bahasa Indonesia bervariasi yaitu terbelakang mental, lemah pikiran, febleminded, cacat grahita, cacat mental, gangguan intelektual, dan tunagrahita. Semua istilah tersebut menunjuk pada seseorang yang memiliki kecerdasan mental di bawah rata-rata. Anak tunagrahita adalah anak yang memiliki keterbatasan intelegensi di bawah rata-rata, sehingga mereka kurang cakap dalam menerima pembelajaran seperti anak normal. Keterbatasan ini ditandai dengan kecerdasan yang berada di bawah rata-rata dengan IQ (Intelligence Qoutient) 70 atau kurang. Salim dan Yusuf (2009: 12) berpendapat, “Anak tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental-intelektual di bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas, sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus”. Definisi anak tunagrahita menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-Fifth Edition (DSM-V, 2013: 33) menuliskan, “Intellectual disability (intellectual developmental disorder) is a disorder with onset during the developmental period that includes both intellectual and adaptive functioning deficits in conceptual, social, and practical domains”. Hambatan intelektual dan kemampuan tingkah laku adaptif yang terbatas yang dialami oleh anak tunagrahita bermula pada saat usia perkembangan dan berada pada usia kurang dari 18 tahun. Gangguan perkembangan yang terjadi meliputi gangguan intelektual dan fungsi adaptif yang berhubungan dengan masalah sosial dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan pendapat Kauffman dan Hallahan dalam Somantri (2012: 104) yang mengungkapkan, “Keterbelakangan mental menunjukkan fungsi
8
9
intelektual di bawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan”. Inteligensi yang berada di bawah rata-rata anak normal akan menghambat segala aktivitas anak tunagrahita dalam kehidupan sehari-hari, dalam bersosialisasi, komunikasi, dan yang lebih menonjol adalah ketidakmampuan dalam menerima pelajaran yang bersifat akademik seperti yang diterima oleh anak-anak sebaya. Kemampuan anak tunagrahita berbeda antara satu dengan yang lain, tergantung tingkat inteligensi. Kemis dan Rosnawati (2013: 1) mengungkapkan, “Anak tunagrahita adalah individu yang secara signifikan memiliki inteligensi di bawah inteligensi normal dengan skor IQ sama atau lebih rendah dari 70”. Kelainan yang terjadi pada anak tunagrahita meliputi fungsi intelektual umum yang berada di bawah rata-rata (sub-average) yang muncul sebelum usia 16 tahun dan yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif (Kemis dan Rosnawati, 2013:10). Dalam pengertian lain, Muhammad (2008: 96) berpendapat, “Anak-anak yang mengalami cacat mental adalah anak-anak yang mengalami keadaan perkembangan daya pikir yang kurang atau tidak lengkap, termasuk kecacatan dalam fungsi intelektual dan sosial”. “Anak tunagrahita merupakan anak yang tidak cukup dalam daya pikir, tidak dapat hidup dengan kekuatan sendiri di tempat sederhana dalam masyarakat. Jika ia hidup, hanyalah dalam keadaan yang sangat baik” (Hendeschee dalam Efendi, 2006: 89). Berdasarkan beberapa pendapat ahli yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan atau gangguan intelektual dan fungsi adaptif yang terjadi pada masa usia perkembangan yang disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dengan inteligensi kurang dari 70, sehingga menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan sekitar yang ditandai dengan ketidakmampuan dalam berinteraksi sosial sehingga mereka memerlukan layanan dan program pendidikan khusus. Seseorang juga dapat dikatakan sebagai anak
10
tunagrahita apabila kecerdasan yang dimiliki anak tersebut berada di bawah rata-rata, terhambat dalam belajar, dan penyesuaian sosial.
b. Faktor Penyebab Anak Tunagrahita Anak tunagrahita tidak terjadi tanpa alasan karena terdapat beberapa masalah yang menyertai. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan anak tunagrahita mengalami berbagai masalah. Grossman dalam Muhammad (2008: 102) yang menyatakan, “Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab cacat mental timbul antara lain: penyakit yang disebabkan oleh minuman keras, trauma, metabolisme atau pola makan yang tidak baik, penyakit dalam otak, pengaruh saat masa kehamilan yang tidak diketahui, kromosom yang abnormal, gangguan semasa kehamilan, gangguan psikiatris, dan terdapat pengaruh dari lingkungan”. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadi tunagrahita pada anak perlu diketahui lebih awal agar dapat dilakukan usaha pencegahan. Menurut Kirk dalam Efendi (2006: 91) menyatakan bahwa sebab-sebab terjadi ketunagrahitaan pada seseorang dapat dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Ketunagrahitaan yang disebabkan karena faktor endogen yaitu ketidaksempurnaan psikobiologis dalam pemindahan gen (Hereditary transmission of psycho-biological insuffiency). Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadi ketunagrahitaan pada diri seseorang yaitu terjadi karena terdapat akibat dari perubahan patologis dalam perkembangan normal yang sering disebut dengan faktor eksogen. Pendapat lain yaitu menurut Kemis dan Rosnawati (2013: 15), beberapa faktor yang dapat menyebabkan anak tunagrahita yaitu: 1. Genetik Faktor genetik merupakan faktor ketunagrahitaan yang disebabkan oleh kerusakan / kelainan biokimiawi dan faktor abnormalitas pada kromosom seseorang. 2. Sebelum lahir (pre-natal) a. Infeksi Rubella (cacar)
11
b. Faktor Rhesus (Rh) 3. Ketunagrahitaan yang disebabkan karena terdapat faktor-faktor yang terjadi pada saat kelahiran (natal) yaitu bayi lahir prematur yang terjadi karena ibu tidak sehat dan terdapat luka pada saat proses kelahiran. Luka pada saat proses kelahiran dapat terjadi karena saat proses bayi lahir, bayi ditarik menggunakan alat yang tidak baik, salah, atau kotor, dan organ tubuh bayi yang terjepit pada saat proses kelahiran sehingga menyebabkan terdapat luka pada tubuh bayi. 4. Ketunagrahitaan yang disebabkan karena faktor-faktor yang terjadi setelah lahir (post-natal) yaitu ketunagrahitaan yang terjadi akibat terdapat infeksi pada diri seseorang, misal: meningitis (peradangan pada selaput otak) dan permasalahan karena anak kekurangan nutrisi pada saat usia tumbuh kembang seperti kekurangan protein. 5. Ketunagrahitaan yang disebabkan karena terdapat faktor-faktor sosiokultural atau sosio budaya lingkungan yaitu karena seseorang yang tinggal dalam lingkungan sekitar yang tidak sehat pada saat masa usia perkembangan sehingga dapat menyebabkan terjadi ketunagrahitaan pada seseorang. 6. Ketunagrahitaan yang disebabkan karena terdapat gangguan pada metabolism / nutrisi pada anak seperti: a. Phenylketonuria yaitu gangguan yang terjadi karena metabolisme asam amino mengalami gangguan pada enzim phenylketonuria. b. Gargoylisme yaitu gangguan yang terjadi pada metabolisme sakarida yang terdapat di dalam hati, limpa kecil, dan otak. c. Cretinisme yaitu gangguan yang terjadi pada hormon tiroid yang disebabkan karena seseorang kekurangan yodium. Kekurangan yodium pada diri seseorang pada saat usia perkembangan dapat mengakibatkan tubuh mereka menjadi kerdil. Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Faktorfaktor yang menyebabkan anak mengalami tunagrahita yaitu terdapat faktor
12
genetik yang dapat disebabkan karena kerusakan atau ketidaksempurnaan psikobiologi dalam pemindahan gen, faktor-faktor yang terjadi sebelum kelahiran, faktor-faktor yang terjadi pada saat proses kelahiran, faktor-faktor yang terjadi setelah kelahiran yang dikarenakan terdapat infeksi atau penyakit, terdapat gangguan metabolisme atau nutrisi pada tubuh anak, dan karena faktor lingkungan sekitar yang kurang sehat.
c. Klasifikasi Anak Tunagrahita Klasifikasi anak tunagrahita didasarkan pada taraf inteligensi yang terdiri dari keterbelakangan mental ringan, sedang, dan berat. Kemampuan inteligensi anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler Intelligence Scale for Children (WISC). Anak-anak dengan masalah mental juga mengalami masalah dalam pembelajaran karena tingkat mental yang rendah dan kurang memiliki kemampuan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Anak-anak yang mengalami cacat mental yang serius tidak dapat berjalan, berbicara, atau mengurus diri sendiri. Menurut Muhammad (2008: 97), klasifikasi anak cacat mental ada 3 yaitu: 1. Cacat mental ringan Cacat mental ringan yang terjadi pada anak-anak dapat disebabkan sebagai akibat dari perkembangan cacat mental yang lambat sehingga potensi dalam diri mereka yaitu berada pada bidang akademik yang masih mudah, bidang sosial, dan bidang kejuruan dengan keahlian khusus. Anak-anak yang mengalami cacat mental ringan mengalami kesulitan mengikuti akademik sekolah secara umum sehingga mereka membutuhkan pendidikan yang setara dengan kemampuan mereka. Anak-anak yang mengalami cacat mental ringan masih dapat hidup mandiri dengan cara diberikan pendidikan dan keahlian yang sesuai dengan minat dan bakat kemampuan mereka. 2. Cacat mental sedang Cacat mental sedang yang terjadi pada anak-anak, mereka masih dapat menguasai kemampuan akademik yang masih dasar, masih sadar akan
13
tanggung jawab dengan lingkungan sekitar, dan masih mampu untuk dilatih sesuai dengan keahlian. Pelatihan bina diri pada anak-anak cacat mental sedang mampu membantu mereka untuk mengurus diri sendiri dan melindungi diri sendiri dengan sedikit bantuan. Walaupun anak-anak cacat mental sedang memiliki kemaampuan yang agak lambat, namun mereka masih mampu untuk belajar membaca dan berhitung, bekerja di ruangan yang tertutup, dan mampu menjalankan tugas dengan pengawasan. Perkembangan kecerdasan pada anak cacat mental sedang yang dapat mereka terima yaitu kurang dari 6 bulan dari masa pembelajaran. 3. Cacat mental serius dan sangat serius Cacat mental serius dan sangat serius yang terjadi pada anak-anak, pembelajaran yang dapat mereka terima hanya sedikit saja. Keterampilan yang diajarkan pada anak-anak cacat mental serius dan sangat serius membutuhkan pengulangan yang banyak dan mereka juga membutuhkan pengawasan dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan. Cacat mental yang berada dalam tingkatan semakin serius, mereka semakin banyak membutuhkan pengulangan dalam proses belajar. Perkembangan kecerdasan pada anak cacat mental serius dan sangat serius yang dapat mereka terima yaitu sekitar 3-4 bulan dari masa pembelajaran. Pengelompokan anak tunagrahita didasarkan pada taraf inteligensi. Somantri (2012: 106) menyebutkan kemampuan inteligensi anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler Intelligence Scale for Children (WISC), yaitu: 1. Anak tunagrahita ringan Anak dengan klasifikasi tunagrahita ringan dapat disebut juga dengan moron atau debil. IQ yang dimiliki anak tunagrahita ringan berdasarkan hitungan Skala Binet adalah sekitar 68-52, sedangkan berdasarkan hitungan Skala Weschler (WISC) IQ yang dimiliki anak-anak tunagrahita ringan yaitu sekitar 69-55. Anak-anak tunagrahita ringan memiliki kemampuan untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung secara
14
sederhana dengan pemberian bimbingan dan pendidikan yang baik dan terus menerus. 2. Anak tunagrahita sedang Anak dengan klasifikasi tunagrahita sedang dapat disebut juga dengan imbesil. IQ yang dimiliki anak tunagrahita sedang berdasarkan hitungan Skala Binet adalah sekitar 51-36, sedangkan berdasarkan hitungan Skala Weschler (WISC) IQ yang dimiliki anak-anak tunagrahita sedang yaitu kisaran 54-40. Anak-anak tunagrahita sedang mengalami kesulitan dalam belajar bidang akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung. Namun mereka masih bisa menerima pelatihan sesuai dengan kemampuan mereka yang dapat diberikan secara rutin dan terus menerus. 3. Anak tunagrahita berat Anak dengan klasifikasi tunagrahita berat dapat disebut juga dengan idiot. IQ yang dimiliki oleh anak-anak tunagrahita berat berdasarkan hitungan Skala Weschler (WISC) adalah sekitar 39-25, sedangkan berdasarkan hitungan Skala Binet IQ yang dimiliki anak tunagrahita berat yaitu sekitar 32-20. Anak-anak tunagrahita berat membutuhkan perawatan secara keseluruhan dalam pemenuhan kebutuhan hidup seharihari. Mereka juga sangat mebutuhkan perlindungan dari bahaya yang ada. Kemis dan Rosnawati (2013: 13) mengklasifikasikan anak tunagrahita berdasarkan kriteria Psikometrik. Klasifikasi anak tunagrahita secara SosialPsikologis berdasarkan kriteria Psikometrik yaitu: 1) IQ yang dimiliki oleh anak tunagrahita ringan (mild mental retardation) adalah sekitar 55-69. 2) IQ yang dimiliki oleh anak tunagrahita sedang (moderate mental retardation) adalah sekitar 40-54. 3) IQ yang dimiliki oleh anak tunagrahita berat (severse mental retardation) yaitu kisaran 20-39. 4) IQ yang dimiliki oleh anak tunagrahita sangat berat (profound mental retardation) yaitu 20 ke bawah.
15
Kemis dan Rosnawati (2013: 12) juga menggolongkan anak tunagrahita untuk keperluan pembelajaran. Mereka menggolongkan sesuai dengan kemampuan anak tunagrahita, yaitu: a) Educable (mampu didik) Anak tunagrahita mampu didik memiliki kemampuan dalam bidang akademik yang setara dengan anak umum yang bersekolah di kelas V Sekolah Dasar. Anak tunagrahita mampu didik masih mampu dididik untuk mempelajari membaca, menulis, dan berhitung secara sederhana. b) Trainable (mampu latih) Anak tunagrahita mampu latih memiliki kemampuan untuk mengurus diri sendiri, kemampuan untuk bertahan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari,
dan
dalam
beradaptasi
dengan
lingkungan
sekitar.
Kemampuan dalam bidang akademik yang dimiliki oleh anak tunagrahita mampu latih sangat terbatas pada pelajaran yang sederhana. c) Custodial (mampu rawat) Anak tunagrahita mampu rawat hanya bisa diberi pelatihan khusus secara rutin dan terus menerus. Mereka dapat dilatih cara menolong diri sendiri dengan pemberian bimbingan dan pelatihan yang rutin agar mereka tidak terlalu tergantung pada orang lain. Berbagai pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 klasifikasi anak tunagrahita yaitu anak tunagrahita ringan atau debil, anak tunagrahita sedang atau imbesil, dan anak tunagrahita berat idiot. Anak tunagrahita ringan merupakan anak yang masih mampu dididik untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung secara sederhana dengan taraf inteligensi antara 50-70. Kedua adalah anak tunagrahita sedang dimana mereka masih mampu untuk menyadari tanggung jawab sosial dan masih mampu mengurus diri dengan bimbingan dari guru atau orang tua, dengan taraf inteligensi antara 25-49. Ketiga adalah anak tunagrahita berat dimana mereka memerlukan bantuan perawatan secara total dan memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidup, dengan taraf inteligensi di bawah 25.
16
d. Karakteristik Anak Tunagrahita Anak
tunagrahita
merupakan
kecerdasan
mengalami
hambatan
kondisi
dimana
sehingga
tidak
perkembangan
mencapai
tahap
perkembangan yang optimal. Dampak ketunagrahitaan menyebabkan anak tunagrahita memiliki karakteristik yang khas. Karakteristik umum anak tunagrahita menurut Somantri (2012: 105), yaitu: 1. Keterbatasan inteligensi Hambatan utama yang dimiliki oleh anak tunagrahita adalah mengalami kesulitan dalam menerima dan mempelajari informasi yang diberikan. Mereka membutuhkan bantuan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Kesulitan dalam berpikir abstrak juga merupakan hambatan lain yang dimiliki oleh anak tunagrahita. Anak-anak tunagrahita masih mampu belajar menulis, membaca, dan berhitung secara sederhana dengan membutuhkan banyak bimbingan dan bantuan dari orang-orang di sekitar. 2. Keterbatasan sosial Hambatan yang dimiliki oleh anak tunagrahita selain inteligensi adalah dalam bidang sosial. Mereka mengalami kesulitan dalam mengurus diri dan beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Kehidupan anak tunagrahita masih
sangat
bergantung
membutuhkan
bimbingan
memnghindari
kecerobohan
pada dan
orang
lain.
pengawasan
yang
mereka
Anak
tunagrahita
yang
lebih
untuk
lakukan
yang
tanpa
memikirkan terlebih dahulu akibat yang akan terjadi. 3. Keterbatasan fungsi-fungsi mental lain Anak tunagrahita juga memiliki hambatan dalam fungsi mental. Mereka membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menerima hal-hal yang baru. Anak tunagrahita membutuhkan bimbingan dan pelatihan secara rutin dan terus menerus dalam penerimaan hal-hal yang baru. Anak tunagrahita juga memiliki beberapa karakteristik yang lain. Beberapa karakteristik anak tunagrahita menurut Kemis dan Rosnawati (2013: 17), antara lain mereka masih lamban dan mengalami kesulitan
17
dalam menerima dan mempelajari hal-hal yang baru. Kemampuan menolong diri sendiri pada anak tunagrahita juga mengalami hambatan sehingga mereka mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, pada anak tunagrahita berat mengalami hambatan dalam hal berbicara dan perkembangan gerak. Anak tunagrahita berat juga memiliki tingkah laku yang tidak lazim dan interaksi mereka sangat terbatas dengan orang-orang terdekat saja. Efendi (2006: 98) juga mengungkapkan beberapa hambatan yang tampak pada anak tunagrahita dari segi kognitif yang sekaligus menjadi karakteristik anak tunagrahita, yaitu (a) Cenderung memiliki kemampuan berpikir konkret dan sukar berpikir, (b) Mengalami kesulitan dalam konsentrasi, (c) kemampuan sosialisasi terbatas, (d) Tidak mampu menyimpan instruksi yang sulit, (e) Kurang mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapi, dan (f) Anak tunagrahita mampu didik, prestasi tertinggi bidang baca, tulis, hitung tidak lebih dari anak normal setingkat kelas III-IV Sekolah Dasar. Karakteristik anak tunagrahita
yang bermacam-macam,
dapat
disimpulkan bahwa anak tunagrahita memiliki karakteristik yang jelas jika diperhatikan lebih lanjut dalam kehidupan sehari-hari. Karakteristik anak tunagrahita yang tampak nyata dalam keseharian yaitu dalam hal keterbatasan inteligensi. Keterbatasan inteligensi pada anak tunagrahita menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam belajar dan membutuhkan pengulangan dalam menerima pelajaran atau keterampilan yang baru. Membaca, menulis, dan berhitung pada anak tunagrahita masih sangat terbatas dan membutuhkan banyak bimbingan dari guru. Anak tunagrahita mengalami kurang mampu dalam penyesuaian sosial dengan masyarakat sekitar yang mengakibatkan mereka sering ditolak oleh teman-teman dan mengalami kesulitan dalam berpartisipasi dengan lingkungan. Anak tunagrahita juga mengalami keterbatasan dalam mengurus diri sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Anak tunagrahita membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menerima sesuatu yang baru dikenal, mereka lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru.
18
e. Dampak Ketunagrahitaan Orang yang paling banyak menanggung beban akibat mempunyai anak tunagrahita adalah dari pihak orang tua dan keluarga anak. Keluarga dan saudara-saudara dari anak tunagrahita akan menghadapi hal-hal yang bersifat emosional. Orang tua yang memiliki anak tunagrahita tidak memiliki gambaran mengenai masa depan anak tersebut. Perasaan dan tingkah laku orang tua yang memiliki anak tunagrahita menurut Somantri (2012: 118) yaitu, “Dengan melindungi anak secara berlebihan, ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan, kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal, terkejut dan kehilangan kepercayaan diri, banyak tulisan yang menyatakan bahwa orang tua merasa berdosa, dan mereka merasa bingung dan malu yang mengakibatkan orang tua kurang suka bergaul dengan tetangga dan lebih suka menyendiri. Masa-masa itu terjadi ketika pertama kali mengetahui mempunyai anak yang cacat”. Hal itu juga
mengakibatkan
anak
tunagrahita
memiliki
masalah
dalam
menyesuaikan diri dengan kelompok atau individu yang ada di lingkungan sekitar. Kehidupan sehari-hari anak tunagrahita mengalami hambatan dalam perkembangan kognitif dan dalam perilaku adaptif, serta keterampilan sosial yang dimiliki juga sangat minim. Akibat dari permasalahan itu, anak tunagrahita mengalami masalah kesulitan belajar secara akademik (bahasa dan matematika) dan mengalami kesulitan dalam hubungan interpersonal. Hal itu dikarenakan keterbatasan kemampuan berfikir mereka. Selain itu, anak tunagrahita juga mengalami masalah dalam kesulitan menangkap pelajaran, kemampuan berfikir abstrak yang terbatas, dan daya ingat yang lemah. Anak tunagrahita juga mengalami kesulitan dalam mengurus diri, kesulitan dalam menilai situasi, dan memiliki ketergantungan pada orang lain. Gangguan fungsi kognitif anak tunagrahita terjadi pada kelemahan salah satu atau lebih dalam proses tersebut (di antara proses persepsi, ingatan, pengembangan ide, penilaian, dan penalaran). Maka meskipun usia
19
CA (Chronological Age) anak tunagrahita sama dengan anak normal, namun prestasi yang diraih akan berbeda dengan anak normal. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Inhelder dalam Efendi (2006: 98) berpendapat, “Penyandang anak tunagrahita berat perkembangan kognitif terhambat pada tingkat perkembangan sensomotorik, sedangkan pada penyandang anak tunagrahita ringan perkembangan kognitif terhenti pada perkembangan operasional konkret”. Stimulasi verbal dan nonverbal dari lingkungan gagal ditransfer dengan baik oleh anak tunagrahita. Bahkan hal-hal yang tampak sederhana terkadang tidak mampu dicerna dengan baik, sehingga kebahasaan yang terjadi di sekitar menimbulkan keanehan bagi anak tunagrahita. Menurut Efendi (2006: 99) mengungkapkan: Pada anak tunagrahita agak berat (mampu latih), kegagalan melakukan apersepsi terhadap suatu peristiwa bahasa kerapkali diikuti gangguan artikulasi bicara. Pada anak tunagrahita mampu latih dalam berkomunikasi struktur kalimat yang disampaikan cenderung tidak teratur (aphasia conceptual), dalam pengucapan juga sering terjadi omisi (pengurangan kata) maupun distorsi (kekacauan dalam pengucapan). Masalah lain yang dihadapi oleh anak tunagrahita adalah masalah kesulitan memenuhi kebutuhan diri dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini berkaitan dengan kesehatan dan pemeliharaan diri dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini dialami oleh anak tunagrahita berat dan sangat berat. Mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka selalu memerlukan bimbingan dari orang lain. Masalah-masalah yang sering ditemui adalah cara makan, menggosok gigi, memakai baju, dan memakai sepatu. Dampak-dampak yang telah dipaparkan yang dialami oleh anak tunagrahita dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita memiliki berbagai permasalahan yang nyata. Permasalahan-permasalahan tersebut adalah mengalami kesulitan dalam belajar secara akademik, pengetahuan, dan keterampilan yang minim yang disebabkan oleh inteligensi yang dimiliki sangat rendah. Anak tunagrahita juga memiliki hambatan dalam
20
perkembangan kognitif dan adaptif, serta kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan diri dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan kognitif pada anak tunagrahita menjadi masalah besar ketika meniti tugas perkembangan.
f. Pendidikan bagi Anak Tunagrahita Pendidikan atau layanan bagi anak tunagrahita harus selalu mengikutsertakan peran guru dan orang tua untuk mencapai hasil yang optimal. Implikasi pendidikan yang dapat diberikan bagi anak tunagrahita menurut Kemis dan Rosnawati (2013: 18) adalah, “occupational therapy (terapi gerak), play therapy (terapi bermain), Activity Daily Living (ADL) atau kemampuan merawat diri, life skill (keterampilan hidup), dan vocational therapy (terapi bekerja)”. Anak tunagrahita memiliki masalah tentang pengetahuan yang minim yang diterima oleh anak tunagrahita ketika berada di sekolah. Hal ini memiliki keterkaitan dengan layanan pendidikan yang diberikan pada anak tunagrahita masih kurang tepat. Guru di sekolah hanya menekankan pada penyampaian bahan ajar untuk mengejar target kurikulum yang ada tanpa memperhatikan
karakteristik
perkembangan
anak
dalam
menyusun
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran agar materi dapat diterima. Mereka mengalami kesulitan dalam menerima materi pelajaran yang disampaikan oleh guru yang disebabkan karena mereka memiliki inteligensi yang rendah. Anak tunagrahita dengan anak normal memiliki perbedaan dalam menerima pembelajaran. Kebutuhan pembelajaran anak tunagrahita menurut Salim dan Yusuf (2009: 13) antara lain: 1) Perbedaan anak tunagrahita dengan anak normal dalam proses belajar adalah terletak pada hambatan dan masalah atau karakteristik belajar. 2) Perbedaan karakteristik belajar anak tunagrahita dengan anak sebaya yang lain, anak tunagrahita mengalami masalah dalam hal yaitu: a) Tingkat kemahiran dalam memecahkan masalah. b) Melakukan generalisasi dan mentransfer sesuatu yang baru.
21
c) Minat dan perhatian terhadap penyelesaian tugas. Seluruh anak-anak berhak untuk mendapatkan pendidikan, begitu juga bagi anak tunagrahita. Anak tunagrahita juga membutuhkan pelayanan pendidikan yang tepat agar mereka memperoleh pengetahuan untuk pemenuhan kebutuhan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kemis dan Rosnawati (2013: 19) juga menjelaskan pelayanan pendidikan yang dapat diberikan bagi anak tunagrahita, antara lain: 1) Kelas transisi Kelas transisi yaitu kelas yang diberikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk persiapan dan pengenaalan mata pelajaran yang akan diberikan pada anak dimana kurikulum yang digunakan setara dengan kurikulum SD dengan sedikit perubahan sesuai kemampuan yang dimiliki oleh anak. 2) Sekolah khusus (Sekolah Luar Biasa) Sekolah Luar Biasa merupakan sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang ditempatkan sesuai dengan keterbatasan yang mereka miliki. Bagi anak tunagrahita ringan dapat ditempatkan di kelas C dan anak tunagrahita sedang dapat ditempatkan di kelas C1. 3) Pendidikan terpadu Pendidikan terpadu merupakan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dimana dalam pembelajaran, anak berkebutuhan khusus ditempatkan satu kelas bersama dengan anak-anak yang regular. Anakanak yang berkebutuhan khusus juga akan dibimbing oleh guru yang sama, namun jika anak tersebut mengalami kesulitan maka pihak sekolah akan memanggil
Guru Pendidikan Khusus untuk
membimbing
pembelajaran bagi anak tersebut. 4) Program sekolah di rumah Program sekolah di rumah diberikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat mengikuti pembelajaran di sekolah. Misal anak tersebut sedang sakit, maka guru sekolah yang akan datang ke rumah untuk memberikan bimbingan.
22
5) Pendidikan inklusif Pendidikan inklusif merupakan pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak regular dengan guru yang sama dan berada dalam satu kelas. Pendidikan inklusif diadakan oleh sekolahsekolah regular yang menerima anak-anak berkebutuhan khusus untuk sekolah di tempat tersebut. 6) Panti (griya) rehabilitasi Panti rehabilitasi merupakan tempat yang diberikan bagi anak tunagrahita berat yang membutuhkan banyak bantuan dari orang lain karena mereka tidak dapat mengurus dan merawat diri sendiri. Berdasarkan pendapat ahli yang telah mengungkapkan berbagai pendidikan yang dapat diberikan bagi anak tunagrahita, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita juga membutuhkan pendidikan dan layanan. Pendidikan yang dapat diberikan bagi anak tunagrahita yaitu dapat disekolahkan di sekolah transisi, sekolah luar biasa, sekolah inklusif, dan program pendidikan sekolah di rumah. Bagi anak tunagrahita berat dan sangat berat dapat dirawat sendiri oleh orang tua di rumah atau ditempatkan di panti atau griya rehabilitasi. Selain itu, untuk mendukung kegiatan seharihari mereka juga membutuhkan terapi seperti terapi gerak, terapi bermain, pembelajaran merawat diri, dan keterampilan hidup yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari hingga ia dewasa nanti agar tidak selalu bergantung pada orang lain.
2. Kemampuan Berhitung Pembagian a. Pengertian Kemampuan Berhitung Pembagian Setiap manusia diciptakan dengan mempunyai kemampuan yang beragam. Kemampuan dalam kamus Bahasa Indonesia berasal dari kata “mampu” yang berarti kuasa (bisa, sanggup, melakukan sesuatu, dapat, dan berada). Kemampuan
adalah
suatu kesanggupan
seseorang
dalam
melakukan sesuatu. Seseorang dapat dikatakan mampu apabila sanggup melakukan sesuatu yang harus dilakukan. Kemampuan awal anak
23
merupakan kemampuan awal sebelum belajar yang dimiliki oleh anak untuk memperoleh suatu kemampuan dan pengetahuan dalam tingkat yang lebih tinggi. Setiap anak juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda, sebagai contoh adalah kemampuan berhitung. Kemampuan berhitung pada anak merupakan penampilan awal anak untuk
memperoleh
pengetahuan
yang
membahas
tentang
proses
penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian angka-angka bilangan nyata sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan. Kemampuan berhitung merupakan daya berpikir dan menalar dalam bentuk angka-angka. Nyimas Aisyah, dkk (2007: 6-5) mengungkapkan bahwa kemampuan menghitung dibutuhkan dalam semua aktivitas kehidupan manusia. Kemampuan berhitung tersebut meliputi beberapa cabang dalam aspek matematika seperti kemampuan dalam berhitung aritmetika, aljabar, dan geometri. “Berhitung adalah suatu proses menjumlahkan, mengurangi, mengalikan, dan membagi angka-angka yang sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan” (Marlina & Purwadi, 2014: 5). Diperlukan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berhitung pada anak. Kemampuan berhitung berfungsi untuk mengembangkan pengetahuan dasar matematika agar anak lebih siap dalam mengikuti pembelajaran matematika yang lebih tinggi sejak dini dan untuk membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif, dan disiplin pada diri anak. Kemampuan berhitung pada anak membahas tentang proses penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Pembagian sendiri merupakan salah satu operasi pengurangan berulang sampai habis yang merupakan lawan dari perkalian. “Pembagian adalah operasi pengurangan berulang (kebalikan dari operasi perkalian)” (Arya, 2015: 57). Pembagian dapat disebut juga sebagai “lompatan mundur”. Lambang pembagian adalah tanda bagi ( : ) atau dibaca bagi. Penghitungan pembagian adalah dengan cara mengambil berulang sebanyak jumlah benda yang akan dibagikan, kemudian setiap pengambilan dibagi rata ke semua kelompok. Sesuai dengan pendapat Raharjo, Waluyati, dan Sutanti (2009: 52)
yang
24
mendefinisikan pembagian yaitu, “a : b = c artinya adalah ada sekumpulan benda sebanyak a dibagi rata (sama banyak) dalam b kelompok”. Cara membagi dilakukan dengan pengambilan berulang sebanyak b sampai habis dengan setiap kali pengambilan dibagi rata ke semua kelompok. Banyak pengambilan ditunjukkan dengan hasil yang didapat oleh masing-masing kelompok yaitu c. Jadi, jumlah benda yang dibagikan pada setiap kelompok memiliki jumlah yang sama rata. Awal pembelajaran berhitung pembagian, anak harus terlebih dahulu dapat memahami konsep perkalian dengan satu angka untuk dapat memahami konsep berhitung pembagian. Berdasarkan berbagai pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berhitung pembagian adalah pengetahuan awal seseorang dalam memahami ide-ide dalam bentuk angka yang membahas tentang proses pengurangan angka-angka secara berulang sampai habis sesuai dengan kaidah yang telah ditentukan dalam aritmetika.
b. Kemampuan Berhitung Pembagian Anak Tunagrahita Orang memandang matematika sebagai pelajaran yang sulit. Anak yang mengalami kesulitan belajar berhitung dalam matematika disebabkan karena keterampilan yang rendah dan kekurangmampuan diri dalam memahami konsep-konsep matematika. Begitu juga yang terjadi pada anak tungrahita. Anak tunagrahita yang mengalami kesulitan berhitung akan berdampak negatif dalam keseharian yang akan datang. Menurut Mulyono Abdurrahman dalam Wijaya (2013: 103) megungkapkan bahwa kesulitan yang dihadapi anak tunagrahita dalam pembelajaran berhitung antara lain kesulitan tentang simbol, nilai tempat, perhitungan, proses berhitung yang keliru, dan tulisan yang tidak terbaca. Anak tunagrahita juga mengalami kesulitan dalam belajar berhitung yang memiliki kajian yang bersifat abstrak. Sesuai dengan pendapat yang diungkapkan oleh Saepul dalam Sutini (2012: 4) yaitu, “Matematika adalah ilmu deduktif, formal, hierarkhis, menggunakan bahasa simbol, dan objek kajian bersifat abstrak”.
25
Pembelajaran berhitung yang meliputi tentang proses penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian mengharuskan anak untuk dapat menguasai secara keseluruhan. Namun tidak semua anak dapat mempelajari proses-proses dalam berhitung, salah satu yang dibahas yaitu kesulitan dalam berhitung pembagian. “Pembagian merupakan lawan dari perkalian yang disebut juga pengurangan berulang sampai habis” (Heruman, 2007: 26). Pembagian merupakan pelajaran yang sulit untuk dimengerti oleh siswa secara umum, terlebih bagi anak tunagrahita. Anak tunagrahita akan dapat mengerti makna dari suatu konsep dalam pembagian yaitu dengan memberikan pengalaman nyata pada awal pembelajaran. Pengalaman nyata dalam berhitung pembagian yang dapat diberikan pada anak tunagrahita dapat dilakukan dengan mengajarkan pembagian dengan pemberian bantuan gambar atau dengan
menggunakan
bantuan
media
benda
nyata
dalam
proses
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan. Anak tunagrahita juga harus mampu berhitung menggunakan pengurangan dan perkalian terlebih dahulu. Berdasarkan berbagai pendapat yang telah diungkapkan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berhitung pembagian pada anak tunagrahita
adalah
pembelajaran
berhitung
yang
berupa
operasi
pengurangan berulang sampai habis yang merupakan lawan dari perkalian dimana dalam pembelajaran awal, anak harus diberikan pengalaman nyata dalam berhitung. Selain pemberian pengalaman yang nyata berupa menghitung
gambar
dan
penggunaan
media
benda
nyata
untuk
mempermudah dalam berhitung pembagian, anak tunagrahita juga harus memiliki kemampuan awal dalam berhitung menggunakan pengurangan dan perkalian terlebih dahulu.
3. Metode Course Review Horay (CRH) a. Pengertian Metode CRH Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk membantu
peserta
didik
agar
memperoleh
pengalaman
sehingga
26
pengetahuan dan keterampilan peserta didik juga akan bertambah. Menurut Isjoni (2009: 14) menyatakan, “Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa”. Pembelajaran merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar. Tujuan pembelajaran adalah efisiensi dan efektivitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik dapat terwujud. Metode merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan kemampuan berhitung anak, guru perlu menerapkan metode yang tepat agar menarik bagi anak sehingga anak tertarik dalam mengikuti proses pembelajaran. Metode pembelajaran kooperatif berasal dari kata “kooperatif” yang berarti mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lain sebagai satu kelompok atau satu tim. Slavin dalam Isjoni (2009: 15) mengemukakan, “Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang memiliki anggota 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen”. Metode pembelajaran kooperatif dapat diterapkan untuk memotivasi siswa agar berani mengungkapkan pendapat, menghargai pendapat
teman,
dan
saling
memberikan
pendapat.
Metode
ini
menghadapkan siswa pada latihan soal-soal atau pemecahan masalah. Metode ini juga membantu siswa memahami konsep pembelajaran yang sulit, dan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, bekerja sama, dan saling membantu teman. Hamdani
(2011:
30)
mengungkapkan,
“Model
pembelajaran
kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar siswa dalam kelompok tertentu untuk
mencapai
tujuan
pembelajaran
yang
dirumuskan”.
Model
pembelajaran kooperatif berfokus pada penggunaan kelompok kecil dimana dalam pembelajaran diterapkan sebuah strategi pembelajaran dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda-beda (heterogen). Pembelajaran dengan model tersebut diterapkan dengan tujuan agar mereka saling bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Kelompok
27
heterogen yang dimaksud adalah dalam setiap kelompok terdiri dari berbagai macam kemampuan siswa, jenis kelamin, dan berbagai suku. Metode pembelajaran kooperatif lebih menekankan pada proses kerjasama dalam kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif, tujuan yang ingin dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam menguasai bahan pelajaran, akan tetapi juga terdapat unsur kerjasama untuk menguasai materi yang diajarkan. “Pembelajaran merupakan sebuah proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik, yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu” (Usman dalam Hamid, 2012: 207). Metode pembelajaran CRH termasuk salah satu strategi yang digunakan dalam pembelajaran kooperatif. “Course Review Horay (CRH) merupakan strategi yang menyenangkan, karena siswa diajak untuk bermain sambil belajar untuk menjawab berbagai pertanyaan yang disampaikan secara menarik dari guru” (Hamid, 2012: 223). Pada metode ini guru menyampaikan
kompetensi
dan
menyajikan
materi,
memberikan
kesempatan siswa tanya jawab, kemudian diakhiri dengan memberikan uji pemahaman berupa diskusi kelompok yang berbentuk permainan. Aplikasi metode pembelajaran CRH tidak hanya menginginkan siswa untuk belajar keterampilan dan isi akademik. Metode pembelajaran CRH sebagai salah satu proses learning to know, learning to do, learning to be and learning to live together untuk mendorong kebermaknaan belajar bagi para peserta didik. Melalui pembelajaran CRH diharapkan dapat melatih siswa dalam menyelesaikan masalah dalam bentuk kelompok kecil saat pembelajaran di dalam kelas. Metode CRH merupakan metode yang menuntut aktivitas belajar lebih banyak pada siswa sehingga siswa menjadi lebih aktif. Penggunaan metode ini lebih menekankan pada pemahaman materi yang diajarkan dengan menyelesaikan soal-soal. Pendapat lain menurut Huda (2014: 229) menyatakan “Course Review Horay (CRH) merupakan metode pembelajaran yang dapat menciptakan suasana kelas menjadi meriah dan
28
menyenangkan karena setiap siswa yang dapat menjawab benar diwajibkan berteriak ‘horee!!’ atau yel-yel lain yang disukai”. Metode ini memperlihatkan keterlibatan siswa secara aktif sehingga pembelajaran
berpusat
pada
siswa.
Dalam
pembelajaran
siswa
membutuhkan semangat dan motivasi agar keinginan dan keberanian untuk berpartisipasi dalam pembelajaran dapat meningkat. Melalui metode CRH ini dapat membuat pelajaran menjadi aktif, interaktif, konstruktif, menyenangkan,
dan
bermakna
sehingga
indikator-indikator
dari
kemampuan pemahaman matematis dapat tercapai dalam pembelajaran. “Metode pembelajaran interaktif adalah metode pembelajaran yang menunjukkan interaksi antara guru dan siswa yang menyenangkan dan memberdayakan” (Hamid, 2012: 209). Menyenangkan dan memberdayakan dapat terwujud apabila interaksi tersebut dapat berjalan dengan memadukan prinsip pendidikan dan hiburan (edutainment), sehingga siswa merasa terhibur dan bisa belajar tanpa ia sadari. Siswa akan lebih fokus dan menerima dengan cepat jika diberikan pengajaran yang menyenangkan, menghibur, dan menggugah minat dan hasrat siswa untuk mengikuti pembelajaran dengan baik. Berdasarkan berbagai pendapat yang telah diungkapkan, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran kooperatif tipe CRH adalah metode pembelajaran yang dilakukan oleh siswa dimana siswa belajar dan saling bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil yang menuntut kerjasama antara siswa yang satu dengan yang lain dalam anggota sekelompok dalam memecahkan masalah atau soal-soal yang diberikan oleh guru sehingga dapat menumbuhkan hubungan timbal balik antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran serta dapat menciptakan suasana kelas yang menyenangkan dalam kegiatan belajar mengajar, karena setiap kelompok yang dapat menjawab pertanyaan dari guru dengan benar secara horizontal, vertikal, atau diagonal harus berteriak “horee” atau yel-yel lain yang dimiliki oleh tiap kelompok. Metode pembelajaran ini lebih menekankan pada latihan soal-soal yang diberikan oleh guru dengan
29
pengerjaan
secara
berkelompok.
Metode
pembelajaran
ini
tidak
membedakan antara siswa yang mampu dan yang tidak mampu dalam menguasai pelajaran (tingkat kemampuan siswa yang berbeda-beda), sehingga pembelajaran ini bersifat heterogen yang bertujuan agar siswa berani mengungkapkan pendapat dan dapat menghargai pendapat teman .
b. Langkah-langkah Pembelajaran Metode CRH Metode pembelajaran CRH memiliki beberapa langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh guru ketika menerapkan metode tersebut ketika mengajar
di
dalam
kelas.
Langkah-langkah
pembelajaran
dengan
menggunakan metode CRH menurut Suprijono (2013: 129) adalah: a) Pada awal pembelajaran, guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai. b) Guru menjelaskan materi yang dipelajari. c) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya jawab tentang materi yang belum diketahui. d) Setelah itu, siswa diminta untuk membuat kotak sebanyak 9/16/25 dan setiap kotak diberi nomor sejumlah kotak secara acak sesuai dengan minat siswa. e) Guru membacakan soal secara menarik yaitu dengan membaca soal secara acak dan siswa menuliskan jawaban mereka sesuai dengan nomor soal yang dibacakan oleh guru. f) Setiap soal yang sudah selesai dikerjakan langsung didiskusikan bersama-sama, agar siswa tahu letak jawaban mereka benar atau salah. Jika jawaban benar maka diberi tanda centang () dan jika jawaban salah maka diberi tanda silang (x). g) Siswa yang sudah mendapat tanda () secara vertikal, horizontal, atau diagonal harus berteriak hore ... atau menyanyikan yel-yel lain. h) Nilai siswa dihitung berdasarkan jawaban yang benar dan jumlah hore yang diperoleh. i) Guru menutup pelajaran.
30
Sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh Suprijono. Menurut Hamid (2012: 224), langkah-langkah pembelajaran Course Review Horay (CRH) antara lain: a) Pada awal pembelajaran, guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai. b) Guru menyampaikan materi yang akan dibahas dalam pelajaran saat itu. c) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk saling bertanya jawab tentang materi yang telah dipelajari. d) Pengujian pemahaman siswa dilakukan dengan guru meminta siswa untuk membuat kotak sebanyak 9, 16, atau 25 sesuai dengan kebutuhan. e) Siswa diminta mengisi angka secara acak sesuai keinginan siswa. f) Guru pun juga membaca soal secara acak dan siswa menuliskan jawaban di dalam kotak sesuai dengan nomor soal yang telah dibacakan oleh guru. g) Jawaban langsung didiskusikan saat itu juga, bagi jawaban siswa yang benar maka diberi tanda centang (), dan apabila jawaban siswa salah maka diberi tanda silang (x). h) Siswa yang mendapat tanda centang () secara horizontal, vertikal, atau diagonal harus berteriak “hore” atau menyanyikan yel-yel lain. i) Nilai siswa dihitung dari jumlah jawaban yang benar dan jumlah “hore” yang diperoleh oleh siswa. j) Guru menutup pembelajaran. Hampir sama dengan dua pendapat ahli yang telah dipaparkan. Berikut adalah sintak langkah-langkah metode pembelajaran CRH menurut Huda (2014: 230) adalah sebagai berikut: a) Pada awal pembelajaran, guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai. b) Guru menyajikan materi pembelajaran dengan disertai tanya jawab. c) Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok secara rata. d) Pengujian pemahaman siswa dilakukan dengan cara siswa diminta membuat kartu atau kotak sesuai dengan kebutuhan. Kartu atau kotak tersebut diisi dengan nomor yang telah ditentukan guru.
31
e) Guru membacakan soal secara acak satu per satu dan siswa menuliskan jawaban mereka di dalam kartu atau kotak sesuai dengan nomor soal yang dibacakan oleh guru. f) Guru dan siswa mendiskusikan soal satu per satu secara bersama-sama. g) Pertanyaan yang dapat dijawab dengan benar oleh siswa, maka siswa dapat memberi tanda check list () dan langsung berteriak ‘horee!!’ atau menyanyikan yel-yel yang telah dibuat. h) Nilai siswa dihitung dari jumlah jawaban yang benar dan yang paling banyak berteriak “horee!!”. i) Setelah semua soal selesai dikerjakan dan dikoreksi bersama-sama, guru memberikan reward pada kelompok yang memperoleh nilai tertinggi atau yang paling sering berteriak “horee!!”. Berbagai pendapat ahli di atas yang telah mengungkapkan langkahlangkah metode pembelajaran Course Review Horay (CRH), dapat disimpulkan
bahwa
langkah-langkah
yang
pertama
adalah
guru
menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah disampaikan. Kemudian guru menyajikan materi yang disertai dengan tanya jawab, dalam langkah ini guru memberikan kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan pendapat. Kemudian guru membentuk kelompok-kelompok kecil secara heterogen. Guru menguji pemahaman siswa berdasarkan materi yang telah diajarkan oleh guru, siswa diminta untuk membuat kotak sebanyak 9, 16, atau 25 buah sesuai dengan kebutuhan. Kemudian guru membacakan soal secara acak dan siswa diminta untuk menuliskan jawaban tiap kelompok di dalam kotak sesuai dengan nomor yang telah disebutkan oleh guru dan jawaban langsung didiskusikan saat itu juga. Jawaban yang benar diberi tanda centang () dan yang salah diberi tanda silang (x). Siswa yang sudah menjawab soal dengan benar secara horizontal, vertikal, atau diagonal harus langsung berteriak “horee” atau menyanyikan yel-yel lain yang telah disepakati pada awal pembelajaran. Nilai tiap kelompok diperoleh dari jumlah jawaban yang benar dan yang paling banyak berteriak “horee”.
32
c. Kelebihan dan Kekurangan Metode CRH Setiap metode yang akan diterapkan dalam pembelajaran pasti akan mempunyai kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan metode CRH ini. Guru harus dapat memanfaatkan kelebihan dari metode CRH ketika diterapkan dalam pembelajaran. “Metode CRH memiliki beberapa kelebihan, antara lain: (1) Struktur yang menarik dan dapat mendorong siswa untuk dapat terjun ke dalam pembelajaran; (2) Metode yang tidak monoton karena diselingi dengan hiburan, sehingga suasana tidak menegangkan; (3) Semangat belajar yang meningkat karena suasana pembelajaran berlangsung menyenangkan; dan (4) Skill kerjasama antar siswa yang semakin terlatih” (Huda, 2014: 231). Sedangkan menurut Marlagen dalam Lapatta, dkk. (2015: 4) menyebutkan beberapa kelebihan metode pembelajaran CRH antara lain: (a) Pembelajaran lebih menarik, yang berarti dengan menggunakan metode pembelajaran CRH ini siswa akan lebih bersemangat dalam menerima materi yang akan disampaikan oleh guru karena banyak diselingi dengan games ataupun simulasi lain; (b) Mendorong siswa untuk dapat terjun ke dalam situasi pembelajaran, yang berarti siswa diajak ikut serta dalam melakukan suatu games atau simulasi yang diberikan guru kepada peserta didik yang berkaitan dengan materi yang akan disampaikan guru; (c) Pembelajaran tidak monoton karena diselingi dengan hiburan atau game, dengan begitu siswa tidak akan merasakan jenuh yang bisa menjadikan mereka tidak berkonsentrasi terhadap apa yang dijelaskan oleh guru; (d) Siswa lebih semangat belajar karena suasana belajar lebih menyenangkan, yang berarti kebanyakan dari siswa mudah merasakan jenuh apabila metode yang digunakan guru adalah metode ceramah. Dengan penggunaan metode pembelajaran CRH ini mampu membangkitkan semangat belajar siswa; (e) Terdapat komunikasi dua arah, yang berarti siswa dengan guru akan mampu berkomunikasi dengan baik, dapat melatih siswa agar dapat berbicara secara kritis, kreatif, dan inovatif, sehingga tidak akan menutup kemungkinan bahwa akan semakin banyak terjadi interaksi antara guru dan siswa.
33
Metode CRH juga memiliki beberapa kekurangan ketika diterapkan saat pembelajaran. Guru harus dapat mengatasi kekurangan dari metode pembelajaran tersebut. Kekurangan metode CRH tersebut antara lain: (1) penyamarataan nilai antara siswa pasif dan aktif; (2) ada peluang untuk curang; dan (3) berisiko mengganggu suasana belajar kelas lain (Huda, 2014: 231). Sedangkan kekurangan metode pembelajaran CRH menurut Marlagen dalam Lapatta, dkk. (2015: 5) antara lain: (a) Siswa aktif dan siswa yang tidak aktif nilai disamakan, yang berarti guru hanya akan menilai kelompok yang banyak mengatakan horey, sehingga nilai yang diberikan guru dalam satu kelompok tersebut tanpa bisa membedakan mana siswa yang aktif dan yang tidak aktif; (b) Ada peluang untuk berlaku curang, yang berarti guru tidak akan dapat mengontrol siswa dengan baik apakah ia menyontek ataupun tidak. Guru akan memperhatikan tiap kelompok yang menjawab horey, sehingga peluang ada kecurangan sangat besar. Berdasarkan pendapat yang telah mengungkapkan beberapa kelebihan dan kekurangan metode pembelajaran CRH, dapat disimpulkan bahwa kelebihan metode CRH ini adalah struktur pembelajaran menjadi menarik karena dapat mendorong siswa untuk dapat terjun langsung dalam pembelajaran yang disertai dengan seruan kata “horee” atau yel-yel lain, metode pembelajaran menjadi tidak monoton karena diselingi dengan hiburan yang dapat menarik minat siswa untuk belajar, siswa menjadi lebih semangat dalam belajar karena suasana pembelajaran di dalam kelas menjadi lebih menyenangkan, siswa dapat terlatih untuk saling bekerjasama dalam kelompok, dan antara siswa dan guru dapat berkomunikasi dengan baik sehingga dapat melatih siswa untuk berbicara secara kritis, kreatif, dan inovatif. Sedangkan kelemahan dari metode CRH ini adalah nilai antara siswa yang aktif dan pasif disamaratakan, terdapat peluang siswa untuk berbuat curang saat pembelajaran berlangsung, dan dapat mengganggu suasana belajar kelas lain karena saat siswa berteriak “horee” atau menyanyikan yel-yel lain suasana kelas menjadi ramai.
34
B. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan penalaran untuk sampai pada hipotesis. Anak tunagrahita memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan anak normal. Karakteristik anak tunagrahita mengalami gangguan intelektual sehingga daya berpikir mereka juga mengalami hambatan dan mengalami keterbatasan dalam ingatan. Gangguan intelektual yang dialami anak tunagrahita akan mempengaruhi banyak faktor, termasuk akan mempengaruhi keberhasilan belajar dan prestasi siswa di sekolah. Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami keterbatasan dalam bidang intelektual dan sosial. Dalam pembelajaran matematika, anak tunagrahita membutuhkan pembelajaran yang menyenangkan agar mereka mudah dalam menerima pelajaran yang diajarkan oleh guru dan mereka juga membutuhkan belajar menghitung pada hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat membantu mereka dalam memahami pelajaran matematika. Peneliti akan menggunakan metode CRH dalam mengajarkan matematika materi berhitung pembagian. Metode pembelajaran kooperatif tipe CRH adalah metode pembelajaran yang dilakukan oleh siswa dimana siswa belajar dan saling bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil yang menuntut kerjasama antara siswa yang satu dengan yang lain dalam satu kelompok untuk memecahkan soalsoal yang diberikan oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran serta dapat menciptakan suasana kelas yang menyenangkan dalam kegiatan belajar mengajar. Penerapan metode CRH yaitu jika setiap kelompok yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru secara menarik dengan benar secara horizontal, vertikal, atau diagonal harus berteriak “horee” atau yel-yel lain yang dimiliki oleh tiap kelompok. Penggunaan metode CRH dalam meningkatkan kemampuan berhitung pembagian disesuaikan dengan karakteristik pada anak tunagrahita ringan kelas IV dimana mereka berada pada masa perkembangan yang pada saat belajar harus diselingi dengan permainan agar mereka tidak jenuh saat proses pembelajaran berlangsung. Penelitian diawali dengan pembelajaran berhitung pembagian pada anak tunagrahita ringan kelas IV di SLB Negeri Surakarta. Dilanjutkan dengan
35
pemberian pretest karena diketahui kemampuan berhitung pembagian mereka rendah. Kemudian anak diberikan treatment dengan menerapkan metode CRH dalam pelajaran berhitung pembagian. Dilanjutkan dengan pemberian posttest untuk mengetahui perubahan yang terjadi setelah anak diberikan treatment. Penggunaan metode CRH dipilih dengan harapan dapat membantu mempermudah anak tunagrahita ringan dalam mempelajari matematika tentang berhitung pembagian secara sederhana yang diajarkan oleh guru, sehingga mereka dapat menerima pelajaran dengan maksimal. Melalui metode CRH diharapkan anak dapat belajar dengan aktif dan menyenangkan, sehingga kemampuan berhitung mengenai materi pembagian pada anak tunagrahita ringan dapat meningkat. Berdasarkan uraian masalah pemikiran yang telah dipaparkan di atas, kerangka berpikir penerapan metode CRH dapat digambarkan sebagai berikut: Pembelajaran matematika materi berhitung pembagian anak tunagrahita ringan kelas IV di SLB Negeri Surakarta
Pembelajaran belum menerapkan metode CRH
Kemampuan berhitung pembagian anak tunagrahita ringan kelas IV di SLB Negeri Surakarta rendah
Penerapan metode CRH
Kemampuan berhitung pembagian anak tunagrahita ringan kelas IV di SLB Negeri Surakarta meningkat Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
36
C. Hipotesis “Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenaran masih harus diuji secara empiris” (Suwarto, 2007: 76). Sedangkan menurut Arikunto (2009: 55) mengungkapkan “Hipotesis adalah alternatif dugaan jawaban yang dibuat oleh peneliti bagi problematika yang diajukan dalam penelitian”. Dapat disimpulkan bahwa hipotesis adalah sebuah jawaban sementara dari masalah penelitian yang dianggap paling mungkin dan memiliki tingkat kebenaran paling tinggi. Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir, maka dapat diajukan hipotesis bahwa: “Metode CRH efektif terhadap peningkatan kemampuan berhitung pembagian pada anak tunagrahita ringan kelas IV di SLB Negeri Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016”