BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Pembelajaran IPA tentang Gaya Kelas V SD a. Karakteristik Siswa Kelas V Sekolah Dasar Sebelum melakukan kegiatan pembelajaran di kelas atau mengadakan proses belajar mengajar alangkah baiknya mengetahui terlebih dahulu tentang karakter siswa yang akan kita hadapi. Mengetahui karakter siswa adalah hal yang penting untuk memahami sifat dan perilaku siswa sehingga pendidik mudah untuk mentukan metode, model pembelajaran, arah, dan bahan ajar yang sesuai dengan karakter siswa tersebut. Piaget (Sumantri & Syaodih, 2007: 1.14) mendeskripsikan perkembangan kognitif anak kedalam empat periode perkembangan sebagai berikrut: umur 0-2 berada pada fase sensorimotor, 2-7 tahun berada pada fase pra oprasional, 7-11 tahun berda pada fase oprasional konkret, dan umur 11-15 tahun berada pada fase oprasional formal. 1) Tahap Sensorimotor (0-2 tahun) Kegiatan intelektual pada tahap ini hampir seluruhnya mencakup gejala yang diterima secara langsung melalui indra. Pada saat anak mencapai
kematangan
dan
mulai
memperoleh
keterampilan
berbahasa mereka mengaplikasikannya dengan menerapkan pada objek-bjek yang nyata. Anak mulai memahami hubungan antara benda dengan nama yang diberikan kepada benda tersebut. 2) Tahap Praoprasional (2-7 tahun) Pada tahap ini perkembangan sangat pesat. Lambang-lambang bahasa yang dipergunakan untuk menunjukan benda-benda nyata bertambah dengan pesatnya. Keputusan yang diambil berdasarkan intuisi, bukannya berdasarkan analisis rasional. Anak biasanya mengambil kesimpulan dari sebagian kecil yang diketahuinya, dari 8
9 suatu keseluruhan yang besar. Menurut pendapat mereka pesawat terbang adalah benda yang kecil yang berukuran 30 cm; hanya itulah yang nampak pada mereka saat mereka menengadah dan melihatnya terbang di angkasa. 3) Tahap Oprasional Konkret (7-11 tahun) Kemampuan berpikir logis muncul pada tahap ini. Mereka dapat berpikir secara sistematis untuk mencapai pemecahan masalah. Pada tahap ini permasalahan yang dihadapinya adalah permasalahan yang konkret. Pada tahap ini anak akan menemui kesulitan bila diberi tugas sekolah yang menuntutnya untuk mencari suatu yang tersembunyi. Misalnya, anak seringkali menjadi frustasi bila disuruh mencari arti tersembunyi dari suatu kata dalam tulisan tertentu. Mereka menyukai soal – soal yang tersedia jawabannya. 4) Tahap Oprasional Formal ( 11-15 tahun) Tahap ini ditandai dengan pola berpikir orang dewasa. Mereka dapat mengaplikasikan cara berpikir terhadap permasalahan dari semua kategori, baik yang abstrak maupun yang konkret. Pada tahap ini anak sudah dapat memikirkan buah pikirannya, dapat membentuk ide-ide, berpikir tentang masa depan secara realisitis. Siswa kelas V SD berusia antara 9-11 tahun dan berada pada tahap oprasional konkret. Menurut Susanto (2013: 77) menyatakan pada tahap oprasional konkret siswa sudah mulai memahami aspek-aspek kumulatif materi, misalnya volume jumlah, mempunyai kemampuan memahami cara mengombinasikan beberapa golongan benda yang bervariasi tingkatannya, mampu berpikir sistematis mengenai bendabenda dan peristiwa yang konkret. Menurut sobur (2011: 132), siswa kelas V SD masuk pada fase keempat, fase ini anak mencapai objektivitas tertinggi bisa pula disebut sebagai masa menyelidik, mencoba dan bereksperimen, yang distimulasi oleh dorongan-dorongan
10 menyelidik dan rasa ingin tahu yang besar, masa pemusatan dan penimbunan tenaga untuk berlatih, menjelajah, dan bereksplorasi. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas tentang tahap perkembangan anak, dapat disimpulkan bahwa siswa kelas V sekolah dasar yang umumnya berusia 9-11 tahun dalam tahap perkembengan oprasional konkret, dimana dalam tahap tersebut siswa sudah dapat berpikir sistematis terhadap permasalahan yang dihadapi mampu menggunakan logikannya untuk mengklasifikasikan objek-objek konkret. Konkret mengandung makna prsoses belajar beranjak dari hal-hal yang nyata yakni dapat dilihat, didengar, diraba dan diotak-atik. Pada fase ini siswa akan mengalami kesulitan kalau harus berpikir secara abstrak. Dengan demikian, pada fase ini siswa dalam menyelesaikan masalah akan lebih baik bila menggunakan logika-logika yang konkret dan bersifat fisik. Selain itu pada fase ini siswa mulai memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dengan cara menyelidiki, mencoba, dan bereksperimen mengenai suatu hal yang dia anggap menarik. Penerapan model student facilitator and explaining melalui penggunaan media konkret pada pembelajaran IPA di kelas V akan memberikan pengalaman belajar yang berbeda, karena siswa akan menggunakan kelompok belajar dan dalam kelompok belajar ini siswa berdiskusi dengan rekannya menggunakan logikanya untuk memecahkan masalah, memberikan kesempatan kepada siswa lain untuk menjelaskan kembali kepada siswa lainnya dengan mendemonstrasikan atau penggunaan peta konsep dibantu dengan media konkret, sehingga siswa dapat bereksplorasi dengan media konkret dan dapat memperjelas pemahaman siswa itu sendiri. Pembelajaran ini akan lebih menyenangkan dan bermakna karena siswa terlibat aktif dalam proses belajar siswa lebih leluasa dalam belajar. Selain itu siswa dapat meningkatkan keterampilan dalam mengungkapkan pendapatnya dan membentuk rasa percaya diri sesuai dengan karakteristiknya. Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan
11 model student facilitator and explaining melalui penggunaan media konkret pada pembelajaran IPA sesuai dengan karakteristik siswa kelas V SD. b. Hakikat Pembelajaran IPA di SD 1) Pengertian Pembelajaran Menurut
Corey
(Sagala,
2013:
61)
menyatakan
“pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu”. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, pembelajaran diartikan proses interaksi peserta belajar. Dari pengertian tersebut, pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan, kemahiran, dan pembentukan sikap keyakinan peserta didik (Susanto, 2013: 13).
Sedangkan Gagne
(Huda, 2013: 3) berpendapat bahwa pembelajaran diartikan sebagai proses modifikasi dalam kapasitas manusia yang bias dipertahankan dan ditingkatkan levelnya. Huda (2013: 5) mendefinisikan pembelajaran dari berbagai perspektif teoretis terkait dengan praktik pembelajaran menjadi dua definisi sebagai berikut: a) Pembelajaran sebagai perubahan perilaku, salah satu contoh perubahannya adalah ketika seorang pembelajar yang awalnya tidak begitu perhatian dalam kelas ternyata berubah menjadi sangat perhatian. b) Pembelajaran sebagai perubahan kapasitas, salah satu contoh perubahannya adalah ketika seorang pembelajar yang awalnya takut pada pelajaran tertentu ternyata berubah menjadi seseorang yang sangat percaya diri dalam menyelesaikan pelajaran tersebut.
12 Dalam pelaksanaan pembelajaran terdapat penilaian. Menurut Ikhsanudin (2013:3) penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan dara tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan pendapat ahli di atas mengenai pengertian pembelajaran dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu untuk mencapai kompetensi tertentu seperti penguasaan pengetahuan, perubahan sikap, perubahan kapasistas dan kemahiran yang bisa dipertahankan dan ditingkatkan levelnya. Kemudian untuk menilai pembelajaran dapat dilakukan dengan menilai proses dan hasil belajar. 2) Hasil Belajar Mengenai hasil belajar, Dimyati dan Mudjiono (Sudiran, 2012: 33) berpendapat, “Hasil belajar merupakan pencapaian tujuan pengajaran, disisi lain belajar merupakan penggal dan puncak belajar siswa”. Sementara Bundu (2006: 17) menyatakan bahwa hasil belajar adalah tingkat penguasaan yang dicapai siswa dalam mengikuti
program
belajar-mengajar
seseuai
dengan
tujuan
pendidikan yang ditetapkan yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Berkaitan
dengan
hasil
belajar,
Benyamin
Bloom
mengklasifikasikan hasil belajar menjadi 3 ranah: a) Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sistesis, dan evaluasi.
13 b) Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari 5 aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. c) Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada 6 aspek yang terdiri dari gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif. Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar (Rokhimi, 2014: 27). Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah tingkat penguasaan yang dicapai siswa setelah mengikuti
program
belajar-mengajar
sesuai
dengan
tujuan
pendidikan yang ditetapkan yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Berkaitan dengan penerapan model student facilitator and
explaining
dengan
media
konkret
dalam
peningkatan
pembelajaran IPA yang akan diteliti yaitu hasil belajar IPA siswa. Hasil belajar siswa bisa diketahui melalaui penilaian tes maupun nontes. Alat yang paling efektif untuk mengadakan pengukuran adalah dengan tes. Karena dari tes dapat diketahui kemajuan yang dicapai siswa dalam memahami materi pembelajaran yang diberikan guru. Pada ranah afetif dan psikomotor dapat menggunkan nontes seperti observasi, kuisioner, checklist dan skala. Demikian juga untuk mengetahui peningkatan hasil belajar IPA setelah penerapan model student facilitator and explaining dengan media konkret akan dilakukan melalui tes. 3) Pengertian IPA Menurut Abruscato (Bundu, 2006: 9-10) IPA dipandang dari tiga segi diantaranya adalah: Science is the name we give to group of processes through which we can systematically gather information about the natural world science is also the knowledge gathered through the use of such processes. Finally, science is characterized by
14 those values and attitudes possessed by people who use scientific process to gather knowledge. Secara umum kutipan di atas memberikan pengertian (1) sains adalah sejumlah proses kegiatan mengumpulkan informasi secara sistematik tentang dunia sekitar, (2) sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses kegiatan tertentu dan (3) sains dicirikan oleh nilai-nilai dan sikap para ilmuwan menggunakan proses ilimiah dalam memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain proses kegiatan yang dilakukan para sainstis dalam memperoleh pengetahuan dan sikap terhadap proses kegiatan tertentu. Menurut Powler (Samatowa, 2006: 2) menyatakan bahwa IPA merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala-gejala alam dan keadaan yang sistematis yang tersusun secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari hasil observasi dan eksperimen. Sedangkan menurut H.W Fowler (Trianto, 2011: 136) IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama ata pengamatan diduksi. Menurut Kardi dan Nur (Trianto, 2011: 136) IPA adalah ilmu yang mempelajari alam semesta, benda-benda yang ada dipermukaan bumi dan di luar angkasa, baik yang dapat diamati dengan indra maupun yang tidak dapat diamati dengan indra. IPA atau ilmu kealalaman adalah ilmu tentang dunia zat, baik makhluk hidup maupun benda mati yang diamati. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah suatu proses mencari tahu tentang alam semesta dan makhluk hidupnya secara sistematis, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah.
15 4) Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Sains secara garis besar memiliki tiga komponen, yaitu: (1) proses ilmiah, misalnya mengamati, mengklarifikasi, memprediksi, merancang dan melaksanakan eksperimen, (2) produk ilmiah, misalnya prinsip konsep, hukum dan teori, dan (3) sikap ilmiah, misalnya ingin tahu, hatihati, objektif dan jujur (Bundu, 2006: 9-11). Menurut Marsetio Donosepoetro, hakikat IPA yakni dipandang sebagai proses, produk dan prosedur (Trianto, 2011: 137). Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya IPA dipandang dari segi produk, proses, dan sikap ilmiah. Ini berarti bahwa proses belajar mengajar IPA seharusnya mengandung tiga dimensi IPA tersebut. Penjelasan secara rinci sebagai berikut: a) IPA sebagai proses Trianto (2011: 137) menyatakan, “IPA sebagai proses diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan pengetahuan baru”. Hal ini sependapat dengan pemikiran Bundu (2006: 12) yang menyatakan bahwa proses sains adalah sejumlah keterampilan untuk mengkaji fenomena alam dengan cara-cara tertentu untuk memperoleh ilmu dan pengembangan ilmu itu selanjutnya. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa IPA sebagai proses berkaitan dengan cara menghadapi atau merespons masalah-masalah yang ada di lingkungan. Keterampilan proses dalam sains dapat dipelajari melalui pengamatan, klasifikasi, inferensi, merumuskan hipotesis, dan melakukan eksperimen. Keterampilan proses yang perlu dilatihkan pada siswa di sekolah dasar menurut Rezba, dkk. (Bundu, 2006: 12) meliputi observasi (mengamati), klasifikasi (menggolongkan), aplikasi konsep,
prediksi
(meramalkan),
interpretasi
(menafsirkan),
menggunakan alat, eksperimen, mengkomunikasikan, dan mengajukan pertanyaan.
16 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA sebagai proses adalah serangkaian kegiatan ilmiah untuk mengkaji fenomena alam untuk memperoleh pengetahuan baru. Kegiatan ilmiah tersebut dilakukan melalui pengamatan, klasifikasi, inferensi, merumuskan hipotesis, dan melakukan eksperimen. b) IPA sebagai sikap ilmiah Aspek ketiga dari hakikat IPA adalah sikap ilmiah atau sikap keilmuan. Dawson (Bundu, 2006: 13) menyatakan bahwa, sikap ilmiah dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu seperangkat sikap yang jika diikuti akan membantu proses pemecahan masalah dan seperangkat sikap yang menekankan sikap tertentu terhadap IPA sebagai suatu cara memandang dunia serta dapat berguna bagi pengembangan karir di masa yang akan datang. Yang termasuk dalam pengelompokan sikap yang pertama adalah: (1) kesadaran akan perlunya bukti ketika mengemukakan suatu pernyataan, (2) kemauan untuk mengembangkan interpretasi atau pandangan lain, (3) kemauan untuk melakukan kegiatan eksperimen atau kegiatan lainnya dengan hati-hati, (4) menyadari adanya keterbatasan dalam penemuan keilmuan sedangkan yang termasuk dalam pengelompokan sikap yang kedua adalah: (1) rasa ingin tahu terhadap dunia fisik atau biologis serta cara kerjanya, (2) pengakuan bahwa IPA dapat membantu memecahkan masalah individu dan global, (3) memilki rasa antusiasme untuk menguasai pengetahuan dengan metode ilmiah, (4) pengakuan pentingnya pemahaman keilmuan; (5) pengakuan bahwa IPA adalah aktivitas manusia, (6) pemahaman hubungan antara IPA dengan bentuk aktivitas manusia lainnya. Sedangkan
menurut
Sulistyorini
(Susanto,
2013:
169)
menyatakan bahwa ada sembilan aspek yang dikembangkan dari sikap ilmiah dalam pembelajaran sains, yaitu: sikap ingin tahu, ingin mendapat suatu yang baru, sikap kerja sama, tidak putus asa, tidak
17 berprasangka, mawas diri, bertanggung jawab, berpikir kritis, dan kedisiplinan diri. Berdasarkan pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa IPA sebagai sikap adalah sikap yang dikembangkan dalam pembelajaran IPA secara sadar maupun tidak sadar melalui diskusi, percobaan, simulasi, dan kegiatan proyek di lapangan. c) IPA sebagai produk Mengenai IPA sebagai produk, Sarkim (Bundu, 2006: 11) berpendapat “Sains sebagai produk berisi prinsip-prinsip, hukumhukum, dan teri-teori, yang dapat menjelaskan dan memahami alam dan berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya” Sementara Trianto (2011: 137) berpendapat, “IPA sebagai produk diartikan sebagai hasil proses, berupa pengetahuan yang diajarkan disekolah maupun diluar sekolah ataupun bahan bacaan untuk penyebaran atau dissiminasi pengetahuan”. Selain itu, Susanto (2011: 167) mengatakan bahwa IPA sebagai produk yaitu kumpulan hasil penelitian yang telah ilmuwan lakukan dan sudah membentuk konsep yang telah dikaji sebagai kegiatan empiris dan analitis. Bentuk IPA sebagai produk, antara lain: fakta-fakta, prinsip, hokum dan teoriteori IPA. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan IPA sebagai produk adalah berasal dari hasil proses penelitian yang berupa pengetahuan yang berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, atau teori tentang alam yang telah dikaji sebagai kegiatan empiris dan analitis. Penerapan model student facilitator and explaining dengan media konkret dalam pembelajaran IPA mengacu pada hakikat IPA sebagai produk dengan mengembangkan pengetahuan dan konsep pada siswa. Hakikat IPA sebagai proses diterapkan dalam
penelitian ini melalui
kegiatan pengamatan, merumuskan hipotesis, eksperimen, interpretasi, menggunakan alat dan mengkomunikasikan. Sementara hakikat IPA sebagai sikap, diterapkan dalam penelitian ini dengan diskusi dan
18 demonstrasi sehingga mampu mengembangkan rasa antusias siswa untuk menguasai pengetahuan dan pemahaman siswa tentang pentingnya keilmuan, kesadaran akan perlunya bukti ketika mengemukakan suatu pernyataan, rasa ingin tahu, dan kemauan untuk melakukan eksperimen. 5) Tujuan Ilmu Pengetahuan Alam Mengenai tujuan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Rosdiana, Paluin, dan Tureni dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa, “IPA di Sekolah Dasar (SD) memiliki program pembelajaran yang bertujuan untuk membina dan menyiapkan peserta didik agar nantinya peserta didik tanggap dalam menghadapi lingkungannya”. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Prihantro Laksmi (Trianto, 2011: 142) menyatakan bahwa, sebagai alat pendidikan yang berguna untuk mencapai tujuan pendidikan, maka pendidikan IPA di sekolah mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu: a) memberikan pengetahuan kepada siswa tentang dunia tempat hidup dan bagaimana bersikap; b) menanamkan sikap hidup ilmiah; c) memberikan keterampilan untuk melakukan pengamatan; d) mendidik siswa untuk menangani, mengetahui cara kerja serta menghargai para ilmuwan penemunya; e) menggunakan dan menerapkan metode ilmiah dalam memecahkan permasalahan. Pandangan lain diungkapkan oleh Depdiknas (Trianto, 2011: 142) yang menyatakan bahwa tujuan pembelajaran IPA yakni memberikan: a) kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. b) Pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan konsep, fakta yang ada di alam, hubungan saling ketergantungan, dan hubungan antara sains dan teknologi. c) Keterampilan
dan
kemampuan
untuk
menangani
memecahkan masalah, dan melakukan observasi.
peralatan,
19 d) Sikap ilmiah, antara lain skeptis, kritis, sensitif, objektif, jujur terbuka, benar dan dapat bekerjasama. e) Kebiasaan mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif dengan menggnakan konsep dan prinsip sains untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam. f) Apesiatif terhadap sains dengan menikmati dan menyadari keindahan keteraturan perilakualam serta penerapannya dalam teknologi. Berdasarkan beberapa pendapat tentang tujuan pembelajaran IPA yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran IPA yang dicapai melalui penerapan student facilitator and explaining dengan media konkret pada siswa kelas V SDN 2 Wonoharjo antara lain: (a) memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya, (b) mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, (c) mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan, (d) mengembangkan rasa ingin tahu, (e) mengembangkan sikap ilmiah, antara lain skeptis, kritis, sensitif, objektif, jujur terbuka, benar, dan dapat bekerja sama, (f) mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam, (g) meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam; dan (h) meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. 6) Pembelajaran IPA Kelas V SD Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu untuk mencapai kompetensi tertentu. Sedangkan IPA adalah suatu proses mencari tahu tentang alam semesta dan makhluk hidupnya secara sistematis, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti
20 observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah. Kemudian, siswa kelas V SD yaitu siswa yang berada pada tahap operasional konkret yang berada pada usia 9-11 tahun sehingga anak masih belum mampu berfikir abstrak dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Dalam pembelajaran IPA sebenarnya banyak terdapat peran atau prinsip model lain seperti inkuiri, konstruktivisme, discovery learning dan saintfik. Peran inkuiri dalam pendidikan sain diungkapkan oleh Rutherfod menyatakan ”... the emphasis has been on viewing scintific inquiry as part of the content of science itself”. Inkuiri dibedakan menjadi tiga tingkatan menurut Trowbdrige & Bybee ( Rustaman, 2005: 9). Tingkatan pertama adalah pembelajaran penemuan (discovery). Tingkatan kedua adalah pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry). Tingkatan paling kompleks adalah inkuiri terbuka atau bebas (open inquiry). Dalam
pembelajaran
penemuan
siswa
diajak
melakukan
pencarian konsep melalui kegiatan yang melibatkan pertanyaan, inferensi, prediksi, berkomunikasi, interpretasi dan menyimpulkan. Dalam pembelajaran inkuiri terbimbing masalah dimunculkan oleh pembimbing atau oleh guru. Semenatara dalam pembelajaran inkuiri terbuka, malasah berasal dari siswa dengan bantuan arahan dari guru sampai siswa menemukan apa yang dipertanyakan dan mungkin berakhir dengan pertanyaan atau masalah baru yang perlu ditindak lanjuti pada kegiatan pembelajaran berikutnya. Kesamaan dari pembelajaran tersebut adalah ketiganya melibatkan ketrampilan proses sains dan atau kemampuan dasar berkerja ilmiah (Rustaman, 2005: 10). Selanjutnya pembelajaran sains didasarkan pada teori belajar konstruktivis yang berpdangangan
bahwa
belajar
merupakan
kegiatan
membangun
pengetahuan yang dilakukan sendiri oleh siswa berdasarkan pengalaman yang dimiliki sebelumnya menurut Ramsey (Rustaman, 2005: 3). Pembelajaran IPA di
SD merupakan interaksi antara peserta
didik dengan lingkungannya sehingga siswa menjadi peran utama dalam
21 suatu
kegiatan pembelajaran. Guru yang berperan sebagai penyedia
fasilitas siswa dalam belajar harus dapat mengemas pembelajaran sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh peserta didik guna memenuhi tujuan pembelajaran. Berdasarkan pendapat di atas pembelajaran IPA di sekolah dasar adalah pembelajaran yang diarahkan pada pengembangan kemampuan berpikir anak berdasarkan pengalaman langsung agar siswa mampu memahami alam sekitar melalui serangkaian kegiatan keterampilan proses yang disesuaikan dengan karakteristik siswa kelas V SD. 7) Kurikulum IPA a) Ruang Lingkup Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun ajaran 2006, ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspekaspek sebagai berikut: (1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan; (2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat, dan gas; (3) Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana; dan (4) Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya (Widhiasmoro: 2012). Berdasarkan pendapat di atas ruang lingkup bahan kajian IPA di SD meliputi mahluk hidup dan proses kehidupan, benda/ materi, energi dan perubahannya, serta bumi dan alam semesta. Dalam penelitian ini ruang lingkup yang akan dipelajari adalah energi dan perubahannya yaitu tentang gaya. Ada beberapa alasan mengapa peneliti memilih ruang lingkup atau bahan kajian energi dan perubahannya. Pertama, karena sesuai dengan waktu penelitian yaitu pada semester genap tahun ajaran 2015/2016. Kedua, bahan kajian disesuaikan dengan model pembelajaran, media dan sumber belajar yang akan diterapkan dalam
22 penelitian ini yakni penerapan model student facilitator and explaining dengan media konkret. b) Materi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tentang Gaya Materi yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah tentang gaya. Dalam silabus kelas V diuraikan sebagai berikut: a) Standar Kompetensi: 5.
Memahami hubungan antara gaya, gerak, dan energi serta fungsinya.
b) Kompetensi Dasar: 5.1
Mendeskripsikan hubungan antara gaya, gerak, dan energi melalui percobaan (gaya magnet, gaya gravitasi, gaya gesek).
(1) Pengertian Gaya Sulistyowati & Sukarno (2009: 79) menyatakan bahwa, “Gaya adalah tarikan atau dorongan yang dapat memengaruhi keadaan suatu benda”. Jika benda-benda ditarik, dilempar, dipukul, atau diangkat, benda-benda akan bergerak akibat gaya yang diberikan oleh benda yang lain. (2) Jenis-jenis Gaya Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menemukan gaya dengan jenis yang berbeda satu dan yang lainnya. Gaya tarik, gaya dorong, dan gaya gesek merupakan beberapa gaya yang dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Setiap gaya yang dilakukan memerlukan tenaga. (3) Mengelompokkan benda yang bersifat magnetis dan tidak magnetis. Benda benda yang dapat tertarik oleh magnet disebut dengan benda bersifat magnetis sedangkan benda – benda yang tidak dapat tertarik oleh magnet disebut dengan benda yang tidak magnetis. Benda yang termasuk magnetis antara lain peniti, paku payung, dan lain- lain. Benda yang termasuk benda
23 tidak magnetis antara lain karet penghapus, pensil, uang logam, potongan kain, potongan kertas. (4) Menunjukkan kekuatan gaya magnet. Kekuatan gaya tarik magnet tidaklah sama di setiap sisi atau bagiannya. Gaya magnet paling kuat terletak di kutub – kutub magnet. Daerah sekitar magnet yang masih dipengaruhi oeleh gaya magnet disebut medan magnet. Area medan magnet itu biasa ditunjukkan dengan garis- garis magnet. Garis – garis gaya magnet tersebut saling bertemu di ujung kedua kutubnya. Kekuatan gaya magnet untuk menarik benda – benda yang bersifat magnetis dipengaruhi oleh garis gaya magnet dan jarak magnet dengan benda tersebut. a) Garis gaya magnet Kekuatan gaya tarik magnet tidaklah merata di seluruh bagiannya. Bagian manakah yang memiliki kekuatan gaya magnet paling besar? Pada saat batang magnet di letakkan di bawah kertas HVS yang terdapat serbuk besi maka serbuk besi akan membentuk pola-pola garis yang disebut garis gaya magnet. Perhatikan garis gaya magnet dan pola garis yang dibentuk oleh serbuk besi seperti tampak pada gambar berikut. b) Pengaruh jarak benda magnetis terhadap kekuatan gaya magnet Kekuatan gaya magnet selain dipengaruhi oleh garis gaya magnet juga dipengaruhi oleh jarak benda magnetis. c) Kutub senama dan tidak senama pada magnet Kekuatan magnet terbesar terletak pada bagian ujungujung magnet atau kutub magnet. Magnet memiliki dua kutub, yaitu kutub utara dan kutub selatan. Kutub – kutub magnet memiliki sifat yang istimewa. Jika kamu mendekatkan kutub – kutub magnet yang senama (utara dan utara atau selatan dan selatan) maka keduanya akan tolak – menolak. Apabila kamu
24 mendekatkan kutub-kutub magnet yang tidak senama (utara dan selatan) maka keduanya akan saling tarik menarik. (5) Penggunaan magnet dalam kehidupan sehari – hari Magnet sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari – hari antara lain digunakan pada dinamo, pengunci kotak pensil, speaker radio, mikrofon, antena pada mobil remote kontrol dan alarm pengaman mobil. Magnet juga digunakan pada alat- alat berat untuk mengangkut benda- benda dari besi. Magnet tersebut berasal dari aliran listrik, oleh karena itu disebut elektromagnetik. Sifat kemagnetan akan hilang jika tidak ada aliran listrik. (6)
Membuat magnet Cara membuat magnet ada tiga yaitu:
a) Cara induksi Pembuatan magnet dengan cara induksi sangat mudah dilakukan. Akan tetapi, sifat kemagnetannya hanya bersifat sementara. Caranya dengan menempelkan benda- benda yang terbuat dari logam (besi atau baja) dengan magnet. Benda yang terbuat dari logam ini akan menjadi bersifat magnetik. Namun, jika magnet dilepaskan sifat kemagnetan benda tersebut juga hilang. Contohnya jarum atau paku payung. b) Cara menggosok Magnet dapat dibuat dengan cara menggosok benda yang akan dijadikan magnet dengan magnet batang. Untuk mendapatkan magnet dengan cara menggosok, dengan cara sebagai berikut: (a) meletakkan sebatang besi atau baja akan dijadikan magnet di atas meja, (b) menggosokkan salah satu kutub magnet pada besi atau baja tersebut dengan kuat dan searah, (c) melakukan gosokan tersebut berulang- ulang, semakin
lama
kemagnetannya.
menggosok
maka
semakin
kuat
25
Gambar 2.1 Pembuatan Magnet Cara Menggosok (Sumber: Sulistyanto dan Wiyono, 2008: 97) c) Cara mengalirkan arus listrik Pembuatan magnet dengan cara mengalirkan arus listrik. Bahan yang dibutuhkan antara lain paku, kawat kumparan, batu baterai sebagai sumber arus listriknya. Cara pembuatan magnet dengan mengaliri arus listrik yaitu: (a) melilitkan paku dengan kumparan kawat, semakin banyak kumparan maka kemagnetannya akan semakin kuat, (b) sambung kedua kawat kumparan pada batu baterai, (c) dekatkan paku tersebut dengan jarum atau paku maka jarum atau paku akan menempel pada paku yang telah dialiri arus listrik seperti pada gambar berikut.
Gambar 2.2 Pembuatan Magnet Secara Mengalirkan Arus Listrik (Sumber: Sulistyanto dan Wiyono, 2008: 98) (7) Akibat gaya gravitasi Gaya gravitasi bumi menyebabkan benda-benda yang ada di bumi tidak terlempar ke angkasa luar. Selain itu, gaya gravitasi membuat kita dapat berjalan di atas tanah. Gaya gravitasi juga menyebabkan semua yang ada di bumi mempunyai berat sehingga tidak melayang-layang di udara. Adanya gaya gravitasi menyebabkan semua benda yang dilemparkan akan kembali jatuh.
26 (8) Contoh gaya gravitasi Contoh gaya gravitasi adalah jatuhnya buah dari atas pohon dengan sendirinya, bola yang dilempar ke atas akan jatuh kembali ke tanah, dan daun-daun yang kering berjatuhan ke tanah. Contoh lain dari gaya gravitasi yaitu astronot yang sedang berjalan di permukaan bulan seperti pada gambar di atas. Gaya gravitasi yang dimiliki oleh bulan menyebabkan astronot dapat berjalan dibulan. Gaya gravitasi di permukaan bumi jauh lebih kuat kekuatannya dibandingkan di permukaan bulan. (9) Hal- hal yang Memengaruhi Gaya Gravitasi Gaya gravitasi dipengaruhi oleh gaya penghambat yaitu gaya gesek. Gaya gesek bersifat menahan gerak benda sehingga gerak jatuhnya benda lebih lambat. Kekuatan gaya gravitasi terhadap benda tergantung pada jarak benda dari pusat bumi. Semakin jauh benda dari pusat bumi, maka gaya gravitasinya juga semakin kecil. (10)
Membandingkan gerak benda permukaan yang berbeda Timbulnya gaya gesek karena adanya sentuhan antara dua permukaan. Permukaan yang halus dan kasar memiliki gaya gesekan yang berbeda. Semakin kasar permukaan benda, semakin besar pula gaya geseknya. Gerakan benda semakin terhambat jika permukaan licin. Pada permukaan licin, gaya gesekan juga kecil. Akibatnya benda semakin mudah bergerak pada permukaan tersebut.Kerugian dan Manfaat Gaya Gesek Kerugian yang ditimbulkan akibat gaya gesek dalam kehidupan sehari- hari antara lain menghambat gerakan, menyebabkan permukaan benda menjadi aus. Gaya gesek juga dapat memberikan manfaat dalam kehidupan kita, antara lain membantu benda bergerak tanpa tergelincir, menghentikan benda yang sedang bergerak.
(11) Cara Memperbesar dan Memperkecil Gaya Gesek Cara memperbesar gaya gesek dalam sehari- hari adalah dengan memberi karet, permukaan benda dibuat kasar, menambah beban.
27 Sedangkan cara memperkecil gaya gesek adalah dengan memberi pelumas, permukaan benda dibuat halus/ licin, mengurangi beban, memberi roda. Semakin kecil luas permukaan benda yang bersentuhan, maka gaya geseknya semakin kecil. (12) Contoh Gaya Gesek dalam Kehidupan Sehari- hari Contoh gaya gesek dalam kehidupan sehari- hari yaitu pada rem sepeda, alas kaki sepatu sepak bola dibuat berulir- ulir, tukang kayu yang menghaluskan kayu menggunakan amplas, gaya gesek antara gergaji dengan kayu saat pohon ditebang.
Berdasarkan uraian pembelajaran IPA tentang gaya Kelas V SD, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPA di Sekolah Dasar adalah pembelajaran yang diarahkan pada pengembangan kemampuan berpikir anak berdasarkan pengalaman langsung agar siswa mampu memahami alam sekitar melalui serangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis dan keterampilan proses yang didalamnya terkandung prinsip Inkuiri, discovery learning, saintifik dan konstruktifis yang disesuaikan dengan karakteristik siswa kelas V SD.
2.
Penerapan Model Student Facilitator and Explaining dengan Media Konkret a. Konsep Student Facilitator and Explaining 1) Model Pembelajaran Istilah model menurut Arends yaitu mengacu pada pedekatan yang akan digunakan, termasuk didalamnya tujuan – tujuan pembelajaran,
tahap-
tahap
dalam
kegiatan
pembelajaran,
lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas (Suprijono, 2009: 46). Joyce dan Weill mendeskripsikan model pengajaran sebagai rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum, mendesain materi – materi instruksional, dan memandu proses pengajaran di ruang kelas atau di setting yang berbeda (Huda, 2013: 73). Sementara Soekamto, dkk mengemukakan maksud dari
28 model pembelajaran adalah “Kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar” (Trianto, 2011: 53). Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur
sistematis
dalam
mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan, model pembelajaran yang digunakan yaitu model student facilitator and explaining. 2) Pengertian Student Facilitator and Explaining Model pembelajaran student facilitator and explaining menurut
Shoimin
(2014:
183) merupakan
salah satu
tipe
pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi peserta didik dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan materi. Sedangkan menurut Huda (2013: 228) student facilitator and explaining merupakan penyajian materi ajar yang diawali dengan penjelasan secara terbuka, memberi kesempatan siswa untuk menjelaskan kembali kepada rekan-rekannya, dan diakhiri dengan penyampaian semua materi kepada semua siswa. Berdasarkan dua pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa student facilitator and explaining adalah suatu model pembelajaran yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mengetahui pola interaksi siswa yang diawali dengan penjelasan secara terbuka, memberi kesempatan siswa untuk menjelaskan kembali kepada rekan-rekannya dan diakhiri dengan penyampaian semua materi kepada semua siswa dengan tujuan untuk meningkatkan penguasaan materi.
29
3) Kelebihan dan Kekurangan Student Facilitator and Explaining Huda (2013: 229) berpendapat bahwa kelebihan model student facilitator and explaining sebagai berikut: (a) membuat materi yang disampaikan menjadi lebih jelas dan konkret; (b) meningkatkan daya serap siswa karena pembelajaran dilakukan dengan demonstrasi; (c) melatih siswa untuk menjadi guru, karena siswa deiberi kesempatan untuk mengulangi penjelasan dari guru yang telah didengar; (d) memaacu motivasi siswa utnuk menjadi yang terbaik dalam menjelaskan materi ajar; (e) mengetahui kemampuan siswa dalam menyampaikan ide atau gagasan. Sedangkan kekurangannya antara lain: (a) siswa pemalu sering kali sulit untuk mendemonstrasikan apa yang diperintahkan oleh guru; (b) tidak semua siswa memilki kesempatan yang sama untuk melakukannya (menjelaskan kembali kepada teman-temannya karena keterbatasan waktu pembelajaran); (c) adanya pendapat yang sama sehingga hanya sebagian saja yang terampil; dan (d) tidak mudah bagi siswa untuk membuat peta konsep atau menerangkan materi ajar secara ringkas. Shohimin (2014: 184) berpendapat bahwa kelebihan model student facilitator and explaining antara lain: (a) materi yang disampaikan lebih jelas dan konkret, (b) dapat meningkatkan daya serap siswa karena pembelajaran dilakukan dengan demonstrasi, (c) melatih siswa utnuk menjadi guru, karena siswa diberi kesempaan untuk mengulangi penjelasan dari guru yang telah didengarnya, (d) memacu motivasi siswa untuk menjadi yang tebaik dalam menjelaskan materi ajar, dan (e) mengetahui kemampuan siswa dalam menyampaikan ide atau gagasan, sedangkan kekurangannya antara lain: (a) siswa yang malu tidak mau mendemonstrasikan apa yang diperintahkan oleh guru kepadanya atau banyak siswa yang kurang aktif, (b) tidak semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk melakukannya atau menjelaskan kembali kepada teman-
30 temannya karena keterbatasan waktu pembelajaran, (c) adanya pendapat yang sama sehingga sebagian saja yang terampil, dan (d) tidak mudah bagi siswa untuk membuat peta konsep atau menerangkan materi aja secara ringkas. Dari pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kelebihan model student facilitator and explaining adalah sebagai berikut: (a) materi yang disampaikan lebih jelas dan konkret, (b) dapat meningkatkan daya serap siswa karena pembelajran dilakukan dengan demonstrasi, (c) melatih siswa untuk menjadi guru, (d) memacu motivasi siswa untuk menjadi yang tebaik dalam menjelaskan materi ajar, (e) Mengetahui kemampuan siswa dalam menyampaikan ide atau gagasan. Sedangkan kekurangan dari model student facilitator and explaining antara lain yaitu: (a) Siswa pemalu sering kali sulit untuk mendemonstrasikan apa yang diperintahkan oleh guru, (b) tidak semua siswa memilki kesempatan yang sama untuk menjelaskan kembali kepada teman-temannya karena keterbatasan waktu pembelajaran, (c) adanya pendapat yang sama sehingga hanya sebagian saja yang terampil, (d) tidak mudah bagi siswa untuk membuat peta konsep atau menerangkan materi ajar secara ringkas. Berdasarkan kelebihan yang ada, model student facilitator and explaining
memberikan
dorongan
kepada
peneliti
dalam
menggunakan model pembelajaran tersebut untuk diterapkan dalam pembelajaran IPA kelas V SDN 2 Wonoharjo dengan harapan dapat meningkatkan pembelajaran tersebut, kemudian kekurangan yang ada dalam model pembelajaran tersebut akan diminimalkan sebisa mungkin dengan persiapan yang matang oleh guru dengan membagi kelompok
secara
merata
berdasarkan
tingkat
kecerdasan,
menggunakan resume/ ringkasan materi sebagai penggati peta konsep pada tahap awal, sikap profesional guru, dan pengalaman
31 guru dalam menyampaikan materi pembelajaran IPA khususnya tentang gaya. 4) Langkah-Langkah Student Facilitator and Explaining Menurut Huda (2013: 228) sintaks tahap-tahap model student facilitator and explaining adalah: (a) guru menyampaikan materi dan kompetensi yang ingin dicapai, (b) guru mendemonstrasikan atau menyajikan gari-garis besar materi pembelajaran, (c) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan peta konsep. Hal ini dapat dilakukan secara bergiliran, (d) guru menyimpulkan ide atau pendapat dari siswa, (e) guru menjelaskan semua materi yang disajikan saat ini, (f) penutup. Sedangkan Shohimin (2014: 184) menyatakan bahwa terdapat enam langkah dalam model pembelajaran student facilitator and explaining, yaitu: (a) guru menyampaikan materi dan kompetensi yang ingin dicapai, (b) guru mendemonstrasikan atau menyajikan gari-garis besar materi pembelajaran, (c) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan atau peta konsep. Hal ini dapat dilakukan secara bergiliran, (d) guru menyimpulkan ide atau pendapat dari siswa, (e) guru menerangkan semua materi yang disajikansaat ini, (f) penutup. Dari kedua pendapat ahli di atas, dapat dismpulkan bahwa langka-langkah penerapan student facilitator and explaining sebagai berikut: (a) menyampaikan materi dan kompetensi yang ingin dicapai, (b) mendemonstrasikan atau menyajikan gari-garis besar materi pembelajaran, (c) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan, peta konsep atau demonstrasi, (d) menyimpulkan materi, ide atau pendapat dari yang telah dipelajari, (e) menjelaskan kembali semua materi yang disajikan saat itu, (f) penutup.
32 b. Hakikat Media Konkret 1) Pengertian Media Konkret Media konkret dapat juga diartikan sebagai media nyata, realita, atau realia. Dalam hal ini digunakan istilah media konkret. Media konkret sangat tepat digunakan karena memberikan pengalaman
langsung
dalam
proses
pembelajaran
sehingga
membentuk atau mengembangkan pengetahuan dengan baik. Anitah (2008: 25) menyatakan bahwa, “Realia atau disebut juga objek adalah benda yang sebenarnya dalam bentuk utuh”. Sedangkan Asyhar (2011: 47-48) menyatakan bahwa benda realita atau benda nyata adalah benda yang dapat dilihat, didengar, atau dialami oleh siswa sehingga memberikan pengalaman langsung kepada mereka. Berdasarkan
beberapa
pendapat
di
atas,
maka
dapat
disimpulkan bahwa media konkret merupakan benda asli yang masih dalam keadaan utuh, dalam ukuran yang sebenarnya, dan dikenali sebagai wujud aslinya. Media ini dapat berupa benda mati atau makhluk hidup. Berkaitan dengan penerapan model student facilitator and explaining dengan media konkret, media konkret yang digunakan adalah kursi, meja, keset, magnet, paku, kertas, plastik, kain, kaca, kayu, klip kertas, kertas stensil, kain kasar, plastik mika, kotak korek api, kelereng, batu kerikil, bulu ayam, bola, kapas, uang kertas, uang logam, buku, penghapus, dan pensil dll. 2) Langkah-langkah
Penggunaan
Media
Konkret
dalam
Pembelajaran IPA Sudjana dan Rivai (Restuti, Suyanto, & Budi: 2015) menguraikan langkah-langkah penggunaan media konkret yaitu: (a) memperkenalkan unit baru, (b) menjelaskan proses, (c) menjawab pertanyaan-pertanyaan, (d) melengkapi perbandingan dan (e) unit akhir atau puncak.
33 Berdasarkan pendapat di atas, dapat diuraikan langkah-langkah penggunaan media konkret dalam pembelajaran IPA yaitu (a) memperkenalkan unit yaitu memperkenalkan media yang akan digunakan dalam pembelajaran, contoh: magnet, paku, kertas, plastik, kain, kaca, kayu, kelereng, bola, kapas, uang kertas, uang logam, dan pensil, (b) menjelaskan proses yaitu menjelaskan cara penggunaan media tersebut, contoh: bola, kapas dan uang logam dijatuhkan secara bersamaan; dekatkan paku, kertas, plastik dan kayu ke magnet, (c) menjawab pertanyaan-pertanyaan guru pada saat pembelajaran menggunakan media, (d) melengkapi perbandingan yaitu, membandingkan antara media yang satu dengan media yang lain, contoh membandingkan lama jatuhnya bola dan uang logam, (e) unit akhir atau puncak adalah pengambilan kesimpulan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa langkah penggunaan media konkret adalah: (a) memperkenalkan media, (b) menjelaskan proses, (c) menjawab pertanyaan, (d) melengkapi perbandingan, (e) pengambilan keputusan.
3) Kelebihan Media Konkret dalam Pembelajaran IPA Asyhar (2011: 55) menyatakan bahwa, “Kelebihan dari media nyata ini adalah dapat memberikan pengalaman nyata kepada siswa sehingga pembelajaran bersifat lebih konkret dan waktu
retensi
lebih
panjang”.
Adapun
Diansyah
(2012)
mengungkapkan beberapa kelebihan penggunaan media konkret, diantaranya: a) Dapat membantu guru dalam menjelaskan suatu materi kepada siswa. b) Dapat
memberikan
kesempatan
kepada
siswa
untuk
mempelajari situasi yang nyata. c) Dapat melatih keterampilan siswa menggunakan alat indera.
34 Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, kelebihan dari media konkret yaitu benda konkret mudah untuk di dapat dan memberikan pengalaman langsung/ nyata dan membangkitnkan minat belajar siswa sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna serta dianggap sebagai media ideal untuk memperkenalkan siswa pada suatu topik baru. 4) Kekurangan Media Konkret dalam Pembelajaran IPA Ibrahim & Syahodih mengemukakan beberapa kekurangan penggunaan media konkret dalam pembelajaran, diantaranya: a) Membawa siswa ke berbagai tempat di luar sekolah yang terkadang memiliki resiko dalam bentuk kecelakaan dan sejenisnya. b) Biaya yang diperlukan untuk mengadakan berbagai obyek nyata tidak sedikit dan memiliki kemungkinan kerusakan dalam menggunakannya. c) Tidak selalu memberikan gambaran obyek yang seharusnya (Diansyah: 2012). Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, kekurangan media konkret yaitu benda konkret tidak selalu dapat dihadirkan kapan saja dan dimana saja dibutuhkan dan biaya untuk mengadakan benda konkret tidak sedikit. c. Penerapan model Student Facilitator and Explaining dengan Media Konkret Pada Pembelajaran IPA Tentang Gaya Penerapan model student facilitator and expalaining dengan media konkret adalah menerapkan model pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada sisiwa untuk mengkomunikasikan materi yang ia pahami kepada seluruh anggotanya dengan media konkret sebagai alat bantu penyampaian pesan atau informasi. Pada pembelajaran IPA tentang gaya ini media konkret yang digunakan seperti kertas, kapas,
35 uang, bola, kursi, meja, penghapus, dan benda yang berada disekitar siswa lainnya. Berdasarkan penjabaran langkah - langkah model student facilitator and expalaining dan langkah penggunaan media konkret pada halaman 28 – 35, dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) menyampaikan materi dan kompetensi yang ingin dicapai dengan media konkret, (2) mendemonstrasikan atau menyajikan gari – garis besar materi pembelajaran dengan media konkret, (3) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya, misalnya melalui bagan, peta konsep atau demonstrasi dengan media konkret, (4) menyimpulkan materi, ide atau pendapat dari yang telah dipelajari, (5) menjelaskan kembali semua materi yang disajikan saat itu, (6) penutup. Media yang digunakan pada penerapan model student facilitator and expalaining (SFE) dengan media konkret sebagai berikut. Pada siklus I penerapan model SFE dengan media konkret pada materi gaya magnet. Media konkret yang digunakan adalah magnet, paku, baut, kertas, plastik, kain, kaca, kayu, paper clips, pensil, penghapus dan lainlain. Pada siklus II penerapan model SFE dengan media konkret pada materi gaya gravitasi. Media konkret yang digunakan: bulu ayam, kelereng, kain, bola, kertas, kapur, batu, dan lain-lain. Pada siklus III penerapan model SFE dengan media konkret pada materi gaya gesek. Media konkret yang digunakan: kaca, kain kasar, kelereng, buku, kotak korek api, sepatu, meja dan benda lainya yang berada di sekitar siswa.
Berdasarkan uraian model student facilitator and explaining dengan media konkret, dapat disimpulkan bahwa model student facilitator and explaining dengan media konkret adalah menerapkan model pembelajaran kooperatif
yang
memberikan
kesempatan
kepada
sisiwa
untuk
mengkomunikasikan materi yang ia pahami kepada seluruh anggotanya dengan media konkret sebagai alat bantu penyampaian pesan atau informasi.
36 3. Penelitian yang Relevan Hasil penelitian yang relevan merupakan uraian sistematis tentang hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yang relevan sesuai dengan substansi yang diteliti. Fungsinya untuk memposisikan peneliti yang sudah ada dengan penelitian yang akan dilakukan. Berikut disajikan contoh judul beserta penelitian yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan: Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thomas Sloan (2013: 85) yang berjudul “Student-Facilitator as University Tutor: An Effective Approach to Sustainability Education”. Hasil yang diperoleh dengan menerapkan model pembelajaran student facilitator tersebut adalah adanya peningkatan hasil belajar mahasiswa universitas tersebut. Persamaan dengan penilitian ini yaitu dalam penggunaan model pembelajaran yaitu student facilitator and explaining yang sama-sama memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjadi tutor atau guru di dalam kelas dan perbedaannya pada subjek penelitian. Dari penelitian yang dilakukan oleh Hafid (2013: 5) yang berjudul “Application Cooporative Model Type STAD (Student Team Achievement Division) To Increase Mastery Of Students Learning Result Of Grade VI Elementary School Kassi-kassi Makassar”. Penelitian ini menunjukan hasil peningkatan belajar IPA. Peresamaan dengan penelitian ini adalah tentang peningkatan pembelajaran IPA untuk sekolah dasar. Penelitian yang dilakukan oleh Indah Lestari (2014: 8) berjudul “Pengaruh Model Student Facilitator and Explaining Terhadap Hasil Belajar IPA Kelas V”. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar antara siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran SFE (Student Facilitator and Explaining) dan siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional, yang dapat dibuktikan dengan (thitung = 8,044 > ttabel = 2,00) di dapat rata-rata hasil belajar dalam pembelajaran IPA kelas V yang dibelajarkan dan model pembelajaran SFE lebih tinggi dari siswa yang dibelajarkan dengan model konvensional (82,19>67,2). Persamaan penelitian antara peneliti dan penelitian relevan ini
37 adalah sama-sama menggunakan model student facilitator and explaining dan pada pembelajaran IPA kelas V sedangkan perbedaannya terletak pada penggunaan media, subjek penelitian dan tujuan penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Tri Asih Yuli Astuti (2014: 4) berjudul “Peningkatan Pembelajaran IPA Tentang Gaya Melalui Metode Eksperimen Dengan Media Konkret Pada Siswa kelas IV SDN 2 Giripurno”. Menunjukan hasil belajar IPA SDN 2 Giripurno kelas IV mengalami peningkatan sebesar 38.1% setelah diterapkannya metode eksperimen dengan media konkret. Persamaan penilitian ini adalah sama-sama meneliti tentang PTK dan adanya kesamaan dalam penggunaan media konkret dan perbedaannya pada penggunaan model pembelajaran dan subjeknya.
B. Kerangka Berpikir
Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan salah satu pembelajaran yang diarahkan pada pengembangan kemampuan berpikir anak berdasarkan pengalaman langsung agar siswa mampu memahami alam sekitar melalui serangkaian kegiatan keterampilan proses yang disesuaikan dengan karakteristik siswa. Pemahaman terhadap konsep IPA pada siswa, tidak dapat diajarkan hanya menggunakan metode ceramah, konvensional atau hanya berpusat pada guru yang sering dilakukan selama ini, apalagi dengan melihat karakteristik siswa kelas V SD yang berpikit logis, objektif, berada pada tahap oprasional konkret, gemar bereksperimen, serta memiliki rasa tahu yang besar. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar akan lebih bermakna jika siswa diberikan pengalman langsung dalam memahami konsep, pengalaman langsung itu dapat di hadirkan menggunkan media konkret yang kontekstual dan siswa deberi kesempatan untuk mengamati, bereksperimen menemukan konsep sendiri dan memecahkan masalah untuk mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, pembelajaran IPA yang bermakna dapat dilakukan dengang menggunakan model pembelajaran yang inovatif disertai dengan media yang bervariasi. Salah saru model yang inovatif adalah student facilitator and
38 explaining yang merupakan model yang efektif untuk mengembangkan pengertahuan ketrampilan siswa melalui penyampaian hasil di depan kelas kepada teman-temannya. Model student facilitator and explaining akan lebih menarik dipadukan dengan media yang variatif seperti media konkret. Model student facilitator and explaining yang dipadukan dengan media konkret ini sesuai dengan karateristik siswa kelas V SD yang senang berkelompok dan masih pada tahap oprasional konkret. Model pembelajaran ini dapat mendorong siswa untuk belajar aktif dalam menemukan sebuah konsep sesuai dengan mata pelajaran IPA. Selain itu kelebihan model pembelajaran student facilitator and explaining dengan media konkret adalah berorientasi pada siswa, melatih siswa mengungkapkan pendapat, menambah kekompakan siswa, menambah rasa percaya diri, meningkatkan kemampuan berbicara, melatih keberanian siswa sehingga menuntut keaktifan siswa dalam memahami konsep materi pelajaran melalui serangkaian kegiatan menggunakan media konkret mendiskusikan, demonstrasi, eksperimen dan berbagi informasi di antara anggota, hal ini sesuai dengan karakteristik siswa pada kelas V SDN 2 Wonoharjo yang masih pada tahap oprasional konkret, yang artinya siswa belum mampu untuk memahami konsep yang abstrak. Pembelajaran yang menyenangkan, melibatkan siswa secara aktif, materi yang diajarkan bermakna bagi siswa dan memberikan pengalaman belajar bagi siswa, memungkinkan tujuan pembelajaran IPA akan tercapainya secara maksimal. Sehingga pembelajaran IPA siswa akan meningkat. Berdasarkan pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya penerapan model student facilitator and explaining dengan media konkret dalam peningkatan pembelajaran IPA tentang gaya pada siswa kelas V SDN 2 Wonoharjo tahun ajaran 2015/2016, dengan melalui skenario yang tepat dapat meningkatkan pembelajaran IPA dan siswa dapat memahami konsep IPA tentang gaya dengan baik serta mencapai KKM sebesar 75 atau 80%. Jika dalam pelaksanaanya sebelum sampai siklus III presentase peningkatan pembelajaran IPA sudah mencapai 80% maka penelitian ini dapat dihentikan. Adapun skema Kerangka Berpikir, dapat dilihat gambar 2.1.
39
Masalah Pembelajaran masih terpusat pada guru Guru belum sepenuhnya menggunakan media yang variatif dan inovatif untuk menunjang proses pembelajaran IPA Siswa kurang antusias Siswa kurang terlibat aktif pembelajaran belum bermakna
Akibat Hasil belajar IPA siswa mengenai materi Gaya masih rendah
Tindakan Penerapan model SFE dengan media konkret dalama pembelajaran IPA materi gaya. Hasil Tindakan
Dominasi guru dalam pembelajaran berkurang Siswa terlibat aktif selama pembelajaran Meningkatkan percayadiri siswa Siswa menemukan konsep atas usaha sendiri Meningkatkan hasil belajar siswa
Pembelajaran IPA tentang Gaya pada siswa kelas V Meningkat dengan KKM 75. Siswa tuntas mencapai 85%
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
40
C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan rumusan masalah, kajian pustaka, penelitian relevan, dan kerangka berpikir yang telah dijelaskan di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah “Jika penerapan model student facilitator and explaining dengan media konkret dilaksanakan dengan langkah-langkah yang tepat, maka dapat meningkatkan pembelajaran IPA tentang gaya pada siswa kelas V SDN 2 Wonoharjo tahun ajaran 2015/2016”.