BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Keterampilan Menyimak Cerita di Sekolah Dasar a. Pengertian Keterampilan Keterampilan berasal dari kata dasar “terampil” yang berarti “cakap” atau “cekatan”. Soemarjadi, Ramanto, dan Zahri (2001: 2) juga mengungkapkan pengertian yang sama yaitu keterampilan sama artinya dengan kata kecekatan. Terampil atau cekatan adalah kepandaian melakukan sesuatu pekerjaan dengan cepat dan benar. Keterampilan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau bidang tertentu jelas berbeda-beda. Sebuah keterampilan hanya dapat diperoleh melalui proses belajar dan latihan secara berkesinambungan. Keterampilan berhubungan dengan pengetahuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukmadinata dan Syaodih (2012: 184) Keterampilan adalah kemampuan seseorang dalam menerapkan atau menggunakan pengetahuan yang dikuasainya dalam sesuatu bidang kehidupan. Pengetahuan yang dikuasai setiap orang berbeda-beda, maka dapat dipastikan bahwa keterampilan yang dimiliki setiap orang juga berbedabeda. Ada yang terampil dalam bidang kesenian, berhitung, bahasa dan sastra, dan masih banyak keterampilan lainnya. Berbeda dengan dua pendapat sebelumnya, menurut Ichsan dan Nursanto (2013: 29) Keterampilan adalah kegiatan mental dan atau fisik yang terorganisasi serta memiliki bagian-bagian kegiatan yang saling bergantung dari awal hingga akhir. Di sini keterampilan digambarkan seperti suatu sistem yang memiliki komponen-komponen yang saling berhubungan dengan teratur. Keterampilan berwujud kegiatan mental seperti ide dan gagasan maupun kegiatan fisik seperti membuat kerajinan, berbicara, menulis, menyimak, dan sebagainya. 9
10 Bertolak dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan adalah kemampuan seseorang dalam melakukan tindakan fisik maupun mental dengan menerapkan ilmu pengetahuan yang telah ia miliki. b. Pengertian Menyimak Keterampilan menyimak merupakan kegiatan yang paling awal dilakukan oleh manusia bila dilihat dari proses pemerolehan bahasa, baru kemudian diikuti oleh keterampilan berbicara, membaca, dan menulis. Dalam kehidupan sehari-hari pun manusia tidak bisa terlepas dari kegiatan menyimak. Namun demikian masyarakat luas sering menyamakan istilah menyimak dengan mendengar atau mendengarkan. Padahal ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda sebagaimana yang dijelaskan oleh Abidin (2013: 94) berikut: Mendengar adalah kegiatan menangkap bunyi bahasa yang dilakukan tanpa sengaja, berbeda dengan mendengarkan yang dilakukan secara sengaja untuk menangkap bunyi bahasa walaupun belum berorientasi pada pembentukan pemahaman. Menyimak di sisi lain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sungguhsungguh untuk memperoleh pesan, pengetahuan, dan informasi yang terkandung dalam bunyi bahasa yang didengarkan dengan serius dan penuh perhatian. Berdasarkan perbedaan ketiga istilah di atas, menyimak merupakan kegiatan berbahasa yang melibatkan penggunaan indra pendengaran dan kognisi pada tahapan tertinggi dibanding mendengar dan mendengarkan. Kegiatan menyimak menuntut penyimak untuk mampu memahami pesan yang terkandung dalam bahan simakan serta memberikan respon terhadap bahan simakan tersebut. Dengan demikian menyimak dapat diartikan sebagai kegiatan aktif yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk memahami pesan yang terkandung dalam bahan simakan yang diperdengarkan secara lisan (Abidin, 2013: 93) Pendapat di atas diperkuat oleh Hermawan (2012: 34) yang mengemukakan bahwa menyimak merupakan suatu keahlian dalam
11 menyandi pesan yang melibatkan faktor lainnya seperti perhatian, pemahaman, dan pengingatan. Bagaimanapun menyimak merupakan proses yang unik, kompleks, dan tidak sekedar berupa kegiatan pasif dan spontan layaknya aktivitas mendengarkan tetapi merupakan sebuah proses memperoleh berbagai fakta, bukti atau informasi tertentu yang didasarkan pada penilaian dan penetapan sebuah reaksi individual. Menyimak menyangkut proses dan interpretasi terhadap informasi yang datang, sehingga dalam aktivitas menyimak diperlukan konsentrasi, perhatian yang sunggguh-sungguh, kesengajaan, pemahaman, dan kehati-hatian. Sejalan dengan dua pendapat sebelumnya, Tarigan (2008: 28) mengemukakan bahwa menyimak adalah suatu proses mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan, serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menyimak merupakan proses mendengarkan bahasa lisan dengan sungguh-sungguh, penuh perhatian, pemahaman, dan pengingatan untuk dapat menangkap isi pesan yang disampaikan oleh pembicara. Setelah diketahui pengertian keterampilan dan pengertian menyimak, dapat disimpulkan bahwa keterampilan menyimak adalah kemampuan seseorang untuk menangkap isi sebuah pesan yang disampaikan secara lisan melalui proses mendengarkan dengan sungguh-sungguh, penuh perhatian, pemahaman dan pengingatan. 1) Tahapan dalam Menyimak Orang sering berpikir bahwa menyimak semata-mata merupakan kegiatan mendengarkan suara-suara, padahal sesungguhnya tidak sesederhana itu. Menyimak merupakan serangkaian proses yang meliputi berbagai tahap. Hermawan (2012: 36-42) mengemukakan tahapan menyimak meliputi:
12 a) Penerimaan Kegiatan menyimak dimulai dengan penerimaan pesan-pesan yang dikirim oleh pembicara. Pesan tersebut dapat diterima apabila penyimak mendengarkan dan memperhatikan. b) Pemahaman Pemahaman tersusun atas dua elemen pokok yaitu pembelajaran dan pemberian makna. Penyimak berusaha menghubungkan informasi yang ia terima dengan pengetahuan yang ia miliki kemudian menginterpretasikan pesan tersebut. c) Pengingatan Kemampuan untuk mengingat pesan berkaitan dengan seberapa banyak informasi yang ada dalam benak dan apakah informasi tersebut bisa diulang atau tidak. Pesan tersebut harus direkonstruksi sehingga memiliki arti bagi penyimak. d) Pengevaluasian Tahap pengevaluasian terdiri dari penilaian dan pengkritisan pesan. e) Penanggapan Tanggapan merupakan umpan balik yang menginformasikan bahwa kita mengirim balik kepada pembicara bagaimana kita merasakan dan apa yang kita pikirkan tentang pesan-pesan pembicara. Tahapan menyimak di atas diperkuat oleh Tarigan (2008: 63) yang mengemukakan bahwa menyimak adalah suatu kegiatan yang merupakan suatu proses, dalam proses menyimak pun terdapat tahaptahap, antara lain: a) Tahap Mendengar (hearing); pendengar baru mendengar segala sesuatu yang dikemukakan oleh pembicara. b) Tahap Memahami (understanding); penyimak mengerti atau memahami dengan baik isi pembicaraan yang disampaikan oleh pembicara.
13 c) Tahap Menginterpretasi (interpreting); yaitu menafsirkan butirbutir pendapat yang terdapat dan tersirat dalam ujaran tersebut. d) Tahap Mengevaluasi (evaluating); penyimak mulai menilai atau mengevaluasi pendapat serta gagasan pembicara mengenai keunggulan dan kelemahan serta kebaikan dan kekurangan pembicara. e) Tahap
Menanggapi
(responding);
penyimak
menyambut,
mencamkan dan menyerap serta menerima gagasan atau ide yang dikemukakan oleh pembicara dalam ujaran atau pembicaraannya.
Kelima tahapan tersebut dapat digambarkan melalui gambar 2.1. berikut:
Lima tahap dalam proses menyimak
Gambar 2.1. Tahap Menyimak Menurut Tarigan (Sumber: Tarigan, 2008: 63)
14 Hal yang senada diungkapkan oleh Slamet (2008: 12) yang mengemukakan tahapan menyimak terdiri dari 5 tahap, yaitu tahap mendengarkan, tahap memahami, tahap menginterpretasi, tahap mengevaluasi dan yang terakhir adalah tahap menanggapi. Di dalam tahapan menyimak diperlukan kemampuan tertentu agar proses menyimak berlangsung dengan baik. Berdasarkan tiga pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tahap-tahap dalam menyimak meliputi: 1) penerimaan (mendengar), 2)
pemahaman,
3)
pengingatan
dan
penginterpretasian,
4)
pengevaluasian, dan 5) penanggapan. Tahapan tersebut dapat diterapkan dalam penelitian ini, yaitu dalam hal menyimak cerita. Sehingga tahap menyimak cerita dimulai dengan mendengarkan cerita, memahami isi cerita, mengingat dan menginterpretasikan isi cerita, mengevaluasi cerita dan yang terakhir memberi tanggapan atas cerita yang telah disimak. 2) Jenis-jenis Menyimak Menyimak
dapat
digolongkan
menjadi
beberapa
jenis
berdasarkan aspek-aspek tertentu. Tarigan (2008: 37-53) membedakan aktivitas menyimak berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh penyimak. Menyimak berdasarkan tujuannya terdiri dari dua jenis, yaitu menyimak eksensif dan menyimak intensif. Menyimak ekstensif (extensive listening) adalah sejenis kegiatan menyimak mengenai hal-hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran, sehingga tidak membutuhkan bimbingan langsung dari seorang guru. Menyimak ekstensif dibedakan menjadi empat jenis yaitu a) Menyimak sosial (social listening), b) Menyimak Sekunder (secondary listening), c) Menyimak Estetik (aesthetic listening), dan d) Menyimak Pasif (passive listening).
15 Berbeda dengan menyimak ekstensif, menyimak intensif (intensive learning) diarahkan pada suatu kegiatan yang lebih diawasi, dikontrol terhadap suatu hal tertentu. Menyimak intensif dibagi menjadi enam jenis, antara lain menyimak kritis (critical listening), menyimak konsentratif (concentrative listening), menyimak kreatif (creative listening), menyimak eksploratif (exploratory listening), menyimak interogatif (interrogative listening), dan menyimak selektif (selective learning). Hermawan
(2012:
43-47)
mengklasifikasikan
menyimak
menjadi tiga macam berdasarkan intensitasnya, yaitu menyimak secara pasif, kritis dan aktif. Dalam kegiatan menyimak pasif, penyimak tidak melakukan evaluasi terhadap pesan-pesan pembicara melainkan hanya mengikuti pembicara dalam mengembangkan gagasannya. Jenis menyimak yang lebih intens dari pada menyimak pasif adalah menyimak kritis. Menyimak jenis ini menekankan pada kemampuan berpikir kritis dengan mencari kesalahan atau kekeliruan pembicara. Ketika melakukan aktivitas menyimak kritis maka secara otomatis kita telah melakukan penyimakan secara pasif. Selanjutnya jenis menyimak yang paling kompleks adalah menyimak aktif. Dikatakan paling kompleks karena aktivitas menyimak secara aktif di dalamnya sudah termasuk menyimak secara pasif dan kritis. Slamet dan Saddhono (2012: 32-33) membedakan jenis menyimak berdasarkan segi simakan yang terdiri atas sembilan jenis, yaitu menyimak tanpa mereaksi, menyimak pasif, menyimak terputusputus, menyimak dangkal, menyimak terpusat, menyimak untuk membandingkan, menyimak untuk organisasi materi, menyimak kritis, menyimak kreatif dan aspiratif. Simpulan yang dapat diambil dari pendapat tiga pakar di atas adalah jenis
menyimak
dapat
dibedakan
berdasarkan
tujuan
menyimak, intensitas menyimak dan segi simakan. Jenis menyimak yang diterapkan dalam penelitian ini adalah menyimak aktif. Siswa
16 dituntut untuk memahami dan mengingat cerita yang mereka simak, menafsirkan isi cerita, dan memberikan tanggapan atas cerita tersebut. Melalui aktivitas meyimak aktif peneliti juga dapat memeriksa seberapa besar keakuratan pemahaman siswa terhadap cerita yang mereka simak. 3) Penilaian Keterampilan Menyimak Tujuan penilaian adalah mengetahui tingkat pencapaian kompetensi yang diperoleh siswa. Nilai tersebut digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar dan memperbaiki proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Penilaian keterampilan menyimak dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung. Praktiknya setelah siswa selesai menyimak cerita, siswa diberikan soal sesuai dengan indikator pembelajaran yang dirumuskan dari standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD). SK dan KD kelas V semester II khususnya materi menyimak tertera pada tabel 2.1. berikut:
Tabel 2.1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Menyimak Kelas V Semester II Standar Kompetensi 5.
Mendengarkan: Memahami cerita tentang suatu peristiwa dan cerita pendek anak yang disampaikan secara lisan.
Kompetensi Dasar 5.1 Menanggapi cerita tentang peristiwa yang terjadi di sekitar yang disampaikan secara lisan. 5.2 Mengidentifikasi unsur cerita (tokoh, tema, latar, dan amanat).
17 Berdasarkan tingkat kemampuan menyimak, ada beberapa jenis tes kompetensi menyimak. Jenis-jenis tes kompetensi menyimak menurut Nurgiyantoro (2013: 360-367) antara lain: a) Tes kompetensi menyimak dengan memilih jawaban. Tes kompetensi menyimak dengan memilih jawaban dapat digolongkan menjadi dua yaitu: (1) Tes pemahaman wacana narasi adalah bahan tes kompetensi menyimak berupa ceramah (singkat dan agak panjang), cerita, berita, dan lain-lain yang sejenis. (2) Tes pemahaman wacana dialog adalah bahan kompetensi menyimak berupa dialog, khususnya dialog dalam konteks formal atau setengah formal, baik berupa dialog singkat atau agak panjang. b) Tes kompetensi menyimak dengan mengonstruksi jawaban Tes kompetensi menyimak dengan mengonstruksi jawaban tidak sekadar menuntut peserta memilih jawaban benar dari sejumlah opsi yang disediakan, melainkan mengemukakan jawaban dengan mengkreasikan bahasa sendiri dengan informasi yang diperoleh dari wacana yang didengarkan. Tugas otentik menuntut siswa untuk menunjukkan kinerjanya secara aktif produktif, maka tes kompetensi menyimak yang bersifat reseptif diubah menjadi tugas reseptif dan produktif. Unjuk kerja berbahasa menanggapi dan mengonstruksi jawaban dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis, dalam bentuk pertanyaan terbuka maupun menceritakan kembali isi teks. Penelitian ini menggunakan tes kompetensi menyimak dengan memilih jawaban (benar/salah dan menjodohkan) dan mengonstruksi jawaban dari pertanyaan isian terbuka. Selain mengerjakan tes, penilaian keterampilan menyimak juga diambil dari kemampuan siswa menceritakan kembali isi cerita secara tertulis maupun lisan melalui
18 unjuk kerja. Aktivitas menyimak siswa selama proses pembelajaran berlangsung juga diobservasi sebagai nilai afektif siswa. Indikator penilaian keterampilan menyimak cerita tertera pada tabel 2.2 dan tabel 2.3 berikut: Tabel 2.2. Indikator Penilaian Keterampilan Menyimak Secara Tertulis No. 1 2 3 4 5 6 7
Aspek yang dinilai
Tingkat kefasihan 1 2 3 4 5
Pemahaman isi teks Pemahaman detil isi teks Ketepatan organisasi teks Ketepatan diksi Ketepatan struktur kalimat Ejaan dan tata tulis Kebermaknaan penuturan Jumlah skor (Sumber: Burhan Nurgiyantoro, 2013: 367)
Tabel 2.3. Indikator Penilaian Menceritakan Kembali Cerita Secara Lisan No.
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5
Kelancaran Kesesuaian dengan isi bahan simakan Kejelasan bahasa dan komunikatif Keruntutan penyampaian Keberanian dan gestur (mimik) Jumlah skor
Tingkat kefasihan 1 2 3 4 5
c. Pengertian Cerita Cerita dalam bahasa Arab adalah qashash (kisah) yaitu suatu seni dalam menyampaikan ilmu, pesan, nasihat kepada orang lain baik anakanak, remaja, remaja maupun orang tua (Latif, 2014: 4). Cerita yang
19 diperuntukkan anak-anak biasa disebut cerita anak. Isi cerita anak biasanya mengandung nilai-nilai moral yang mengarah kepada pengembangan emosional, sosial dan spiritual anak (Dhieni, dkk, 2008: 11). Selain itu, hakikat cerita menurut Horatius (Musfiroh, 2008: 31) adalah dulce et utile yang berarti menyenangkan dan bermanfaat. Dengan demikian, cerita yang disajikan kepada anak-anak haruslah mengandung pesan moral yang menuntun kepada perilaku yang baik dan mengkritik perilaku yang kurang baik dan dapat menarik perhatian anak-anak. Cerita anak berhubungan dengan kehidupan dan segala aspek yang memengaruhi anak-anak. Dalam kehidupan sehari-hari, cerita anak sering disebut dengan sastra anak, dongeng, cerita pendek anak, komik, buku bergambar, cerita binatang, dan puisi anak. Sejalan dengan itu, Nurgiyantoro (2013: 217) memberikan penyebutan cerita anak dengan cerita fiksi anak. Cerita fiksi anak adalah cerita yang menggambarkan kehidupan dengan pertimbangan yang dapat dijangkau anak dengan tingkat perkembangan jiwanya. Cerita anak sangat banyak sekali bentuknya, seperti legenda, fabel, mite, sage, hikayat, dan masih banyak lagi. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita merupakan sastra yang menggambarkan kehidupan yang dapat dijangkau oleh
pambaca/pendengarnya,
mengandung
pesan
moral
sehingga
bermanfaat dan menyenangkan. Dalam rancangan penelitian ini, jenis cerita yang akan digunakan berupa cerita anak. Cerita anak memiliki unsur-unsur yang membedakannya dengan jenis cerita lain. Musfiroh (2008: 32) menyebutkan unsur-unsur utama pembangun fiksi yang meliputi: 1) tema, 2) amanat, 3) tokoh, 4) alur, 5) setting, 6) sudut pandang,dan 7) sarana kebahasaan. Berikut penjelasan singkatnya: 1) Tema, yaitu makna yang terkandung dalam sebuah cerita. Menentukan tema
pokok
sebuah
cerita
merupakan
aktivitas
memilih,
20 mempertimbangkan dan menilai di antara sejumlah makna yang kita tafsirkan ada dikandung oleh cerita yang bersangkutan. 2) Amanat, adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang
dalam
karyanya.
Amanat
dalam
cerita
biasanya
mencerminkan pandangan hidup pengarang, pandangan tentang nilainilai kebenaran. 3) Plot atau alur cerita, yaitu peristiwa-peristiwa naratif yang disusun dalam serangkaian waktu. Tiap kejadian dalam plot dihubungkan secara sebab-akibat. 4) Tokoh dan penokohan. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami berbagai peristiwa dalam cerita. Setiap tokoh memiliki watak, yakni kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwa yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak dan penciptaan citra tokoh dikenal dengan istilah penokohan. Tokoh pada cerita anak memiliki jumlah yang terbatas, mudah diingat dan familiar. 5) Sudut pandang atau point of view, merupakan salah satu sarana cerita. Sudut pandang mempermasalahkan siapa yang menceritakan atau dari kacamata siapa cerita dikisahkan. 6) Latar atau setting, yaitu unsur cerita yang menunjukkan kepada penikmatnya di mana dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung. 7) Sarana kebahasaan. Agar apa yang disampaikan itu sampai kepada penikmat yang dituju, bahasa yang digunakan harus disesuaikan dengan tingkat usia, sosial dan pendidikan penikmatnya.
d. Pembelajaran Menyimak Cerita di Sekolah Dasar Belajar berbahasa diawali dengan kegiatan menyimak. Sebagai contoh anak-anak kecil belajar berbahasa (bahasa ibu), pada awalnya mereka banyak menyimak bahasa target yang diciptakan oleh ibu. Sama halnya dengan siswa SD yang menyimak gurunya. Mereka menyimak
21 bunyi bahasa, kata atau kalimat. Lambat laun mereka menirukan ucapanucapan yang disimaknya. Menyimak di SD dilaksanakan dalam berbagai kegiatan untuk memperoleh fakta, menganalisis fakta, mendapatkan fakta, mengevaluasi fakta,
mendapat
inspirasi,
menghibur
diri
dan
meningkatkan
kemamampuan bercerita. Salah satu contoh kegiatan di SD adalah menyimak cerita anak. Kegiatan menyimak cerita di SD dilaksanakan agar siswa dapat lebih fokus dan tertarik untuk mendengarkannya. Dalam menyimak cerita anak tidak hanya sekedar mendengar, tetapi siswa diharapkan dapat mengetahui isi dari cerita yang didengarnya dan dapat mengetahui makna atau nasihat yang terkandung di dalamnya, serta siswa mampu mengerjakan soal-soal yang berhubungan dengan cerita yang telah mereka simak.
2. Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) a. Pengertian Model Pembelajaran Model pembelajaran perlu dipahami guru agar dapat melaksanakan pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan hasil pembelajaran. Dalam pelaksanaannya, model pembelajaran harus diterapkan sesuai dengan kebutuhan siswa, karena masing-masing model pembelajaran memiliki tujuan, karakteristik, dan tekanan utama yang berbeda-beda. Model
pembelajaran
merupakan
sebuah
landasan
dalam
melaksanakan pembelajaran di kelas. Pengertian tersebut sesuai dengan pendapat Suprijono (2010: 45-46) yang mengartikan model pembelajaran sebagai landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan mata pelajaran yang berorientasi kinerja seperti membaca, menulis, matematika, bahasa, kesenian, pendidikan jasmani, dan lain-lain. Artinya model pembelajaran digunakan sebagai pedoman dalam kegiatan pembelajaran di kelas dan juga untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran
termasuk
kurikulum, dan lain-lain.
didalamnya
buku-buku,
film,
komputer,
22 Pendapat mengenai model pembelajaran di atas senada dengan pendapat Winataputra (Sugiyanto, 2009: 3) yang berbunyi: Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Rosdiani
(2013:
116)
juga
mengemukakan
bahwa
model
pembelajaran merupakan sebuah rencana yang dimanfaatkan untuk merancang. Isi yang terkandung dalam model pembelajaran berupa strategi pembelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan instruksional. Contoh strategi pembelajaran yang dimaksud adalah manajemen kelas, pengelompokkan siswa, dan penggunan alat peraga atau media pembelajaran. Simpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat pakar di atas yaitu model pembelajaran merupakan landasan konseptual atau pedoman yang berisi perencanaan pembelajaran yang sistematis untuk mencapai tujuan pembelajaran.
b. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Dalam pembelajaran terdapat berbagai model yang dikembangkan oleh para ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa, di antaranya adalah model pembelajaran Konstektual, model pembelajaran Kooperatif, model pembelajaran Quantum, model pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) (Sugiyanto, 2009: 3). Dari beberapa model di atas, terdapat model pembelajaran Kooperatif yang merupakan salah satu model pembelajaran yang tepat digunakan dalam pembelajaran berbagai mata pelajaran. Pembelajaran Kooperatif berasal dari kata kooperatif yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim (Isjoni, 2009: 22). Pendapat tersebut diperkuat oleh Sugiyanto (2009: 7) yang menyatakan
23 bahwa model pembelajaran Kooperatif dapat diartikan sebagai model pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Dalam pembelajaran Kooperatif, siswa diharapkan saling membantu, saling berdiskusi dan saling berdebat, menilai kemampuan dan mengisi kekurangan anggota lainnya. Slavin (Isjoni, 2009: 22) mengemukakan “In cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material initially presented by the teacher”. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa pembelajaran Kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang sistemnya bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 siswa secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Dalam proses pembelajaran, guru tidak mendominasi kelas, melainkan siswa yang dituntut aktif dalam mencari informasi, berbagi informasi dengan siswa lainnya, dan saling belajar mengajar sesama mereka. Di dalam kelas Kooperatif, siswa belajar bersama dengan kelompokkelompok kecil yang terdiri dari 4-6 siswa yang sederajat tetapi heterogen dalam hal kemampuan, jenis kelamin, suku/ras, agama, dan lain-lain. Tujuan dibentuknya kelompok tersebut adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan oleh guru, dan saling membantu untuk mencapai ketuntasan belajar. Ketika
pengorganisasian
pembelajaran
tepat,
siswa
dalam
kelompoknya akan bekerja dengan anggota lainnya untuk memastikan bahwa setiap anggota kelompok telah menguasai konsep yang telah dajarkan. Kesuksesan kelompok tergantung pada kesanggupan anggota untuk memastikan bahwa setiap anggotanya telah memahami konsep yang telah diajarkan. Adanya pembelajaran kooperatif diharapkan dapat
24 menaikkan
prestasi
siswa,
pemahaman
siswa
terhadap
materi,
memperbaiki hubungan dengan temannya, meningkatkan rasa percaya diri dan mengembangkan keterampilan-keterampilan kooperatif. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Kooperatif merupakan sebuah model pembelajaran yang menggunakan sistem kelompok kecil yang heterogen yang saling bekerja sama, dengan tujuan utama untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. 1) Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif Pada hakikatnya pembelajaran Kooperatif sama dengan kerja kelompok, oleh sebab itu banyak guru yang mengatakan tidak ada sesuatu yang aneh dalam pembelajaran kooperatif karena mereka menganggap
telah
terbiasa
menggunakannnya.
Meskipun
pembelajaran Kooperatif terjadi dalam bentuk kelompok, tetapi tidak setiap kerja kelompok dapat dikatakan sebagai pembelajaran kooperatif. Bennet (Isjoni, 2009: 60) menyatakan ada lima unsur dasar yang dapat membedakan pembelajaran Kooperatif dengan kerja kelompok, yaitu: a) Positive interdependence, yaitu hubungan timbal balik yang didasari adanya kepentingan atau perasaan yang sama antaranggota kelompok. Artinya keberhasilan anggota kelompok tersebut merupakan keberhasilan yang lain pula. Begitupun sebaliknya, kegagalan salah satu anggota kelompok berarti kegagalan seluruh anggota kelompok tersebut. b) Interaction face to face, yaitu interaksi yang langsung terjadi antarsiswa tanpa adanya perantara. c) Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok. Hal tersebut dapat memotivasi siswa untuk membantu teman sekelompoknya.
25 d) Membutuhkan
keluwesan,
yaitu
antarpribadi,
mengembangkan
menciptakan
kemampuan
hubungan
kelompok,
dan
memelihara hubungan kerja yang efektif. e) Meningkatkan keterampilan bekerjasama dalam memecahkan masalah (proses kelompok). Ini merupakan tujuan utama dalam pembelajaran
kooperatif,
keterampilan
bekerjasama
yaitu dalam
siswa
dapat
kehidupan
menerapkan
sehari-hari
di
masyarakat. Selain itu Isjoni (2009: 27) juga memaparkan ciri dari pembelajaran Kooperatif yaitu: a) Setiap anggota memiliki peran. b) Terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa. c) Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya. d) Guru
membantu
mengembangkan
keterampilan-keterampilan
interpersonal kelompok. e) Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. Berdasarkan dua pendapat di atas, dapat diketahui ciri-ciri model pembelajaran Kooperatif yang membedakan dengan kerja kelompok maupun model-model pembelajaran yang lain. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pembelajaran Kooperatif adalah adanya kerjasama antaranggota kelompok, tanggung jawab bersama, interaksi yang terjadi secara langsung, hubungan timbal balik, dan keberadaan guru sebagai fasilitator sementara siswa sebagai sumber belajar. Perbedaan antara model pembelajaran Kooperatif dengan kerja kelompok yaitu pembelajaran Kooperatif menyangkut teknik pengelompokkan yang di dalamnya siswa bekerja secara terarah pada tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil.
26 2) Tujuan Pembelajaran Kooperatif Pada dasarnya model pembelajaran Kooperatif dikembangkan untuk
mencapai
setidak-tidaknya
tiga
tujuan
pembelajaran
sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim, et.al (Isjoni, 2009: 39) yaitu: a) Hasil belajar akademik Tujuan pembelajaran Kooperatif salah satunya adalah untuk memperbaiki prestasi siswa karena model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Siswa yang mengalami kesulitan belajar akan berkurang karena adanya tutor sebaya dalam kelompok, begitu pula siswa yang kemampuannya lebih juga akan lebih terasah kemampuannya. b) Penerimaan terhadap perbedaan individu Tujuan lain dari model pembelajaran Kooperatif adalah penerimaan secara luas dari siswa yang berbeda ras, suku, budaya, kelas sosial, agama, dan kemampuan untuk bekerjasama pada tugas akademik dan melaui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain. c) Pengembangan keterampilan sosial Pembelajaran Kooperatif bertujuan untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerjasama dan kolaborasi yang sangat penting untuk dimiliki siswa sebagai warga masyarakat, bangsa dan negara.
3) Perbedaan Pembelajaran Kooperatif dengan Kerja Kelompok Tradisional Pembelajaran Kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil yang memiliki latar belakang
yang
heterogen.
Meskipun
menggunakan
sistem
pengelompokan, namun terdapat perbedaan yang signifikan antara pembelajaran kooperatif dengan kerja kelompok. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.4. berikut:
27 Tabel 2.4. Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif dan Tradisional Kelompok Belajar Kooperatif Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif. Ada akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap kelompok. Kelompok belajar heterogen. Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok. Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong royong. Guru melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok. Guru memperhatikan secara langsung proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar. Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal.
Kelompok Belajar Tradisional Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok. Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok. Kelompok belajar biasanya homogen. Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok.
Keterampilan sosial sering tidak diajarkan secara langsung. Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok.
Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar. Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
(Sumber: Hamdayama, 2014: 64)
c. Tinjauan tentang Think Pair Share (TPS) Pembelajaran dewasa ini dituntut untuk diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas,
dan
kemandirian
sesuai
dengan
bakat,
minat,
dan
perkembangan fisik serta psikologis siswa. Oleh karena itu perlu dilakukan
28 inovasi dalam proses pembelajaran, salah satunya dengan menggunakan model-model pembelajaran yang inovatif. Dalam model pembelajaran kooperatif terdapat sangat banyak variasi tipe dan metode pembelajaran, salah satunya yaitu Think Pair Share (TPS) yang dipandang tepat untuk menjawab tuntutan pembelajaran sekarang ini. Think Pair Share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi merupakan
jenis
pembelajaran
kooperatif
yang
dirancang
untuk
memengaruhi pola interaksi siswa sehingga dapat memberi siswa lebih banyak
waktu
untuk
berpikir,
merespon
dan
saling
membantu
(Hamdayama, 2014: 201). Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Shoimin (2014: 208) bahwa Think Pair Share (TPS) merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang memberi siswa waktu untuk berpikir dan merespon serta saling bantu satu sama lain. Think Pair Share melatih siswa untuk berani berpendapat dan menghargai pendapat teman. Sama halnya dengan pendapat Radhakrishna dan Ewing (2012) yang mengemukakan Think Pair Share sebagai berikut: “Think, Pair, and Share – TPS is an Active Learning strategy that can be used in any classroom format which gives students time to think on a topic, turn to their neighbor for a short discussion and share the results of the discussion to the rest of the class.” (Radhakrishna and Ewing. (2012). TPS (Think, Pair and Share) as an Active Learning Strategy, NACTA Journal, September 2012 page 85) Pendapat di atas dapat diartikan bahwa Think Pair Share - TPS adalah sebuah strategi belajar aktif yang dapat digunakan pada seluruh bentuk kelas yang memberikan siswa waktu untuk memikirkan suatu topik, berdiskusi bersama teman sebangku, dan mengemukakan hasil diskusinya di depan kelas. Think Pair Share secara general terdiri dari tiga komponen yaitu Think (berpikir), Pair (berpasangan), dan Share (berbagi). Ketiga komponen tersebut dijelaskan oleh Surayya, L., Subagia, I.W., & Tika, I.N. (2014) sebagai berikut:
29 “Pada tahap think siswa harus berpikir sendiri tentang jawaban atas permasalahan yang diberikan oleh guru. Berpikir merupakan proses kognitif, yaitu suatu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Ketika harus berpikir, maka akan ada dialog dengan diri sendiri. Pada tahap pair, siswa akan berpasangan untuk mendiskusikan hasil berpikir mereka sebelumnya. Dalam berdiskusi diperlukan beberapa keterampilan berpikir, antara lain: mengenal masalah; menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah tersebut; mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan; memahami dan menggunakan bahasa yang tepat dan jelas; menganalisis data; dan menarik kesimpulan. Sedangkan pada tahap share, siswa akan berbagi dengan seluruh kelas. Pada tahap ini diperlukan kemampuan untuk mengatakan sesuatu dengan penuh percaya diri.” (Surayya, Subagia, dan Tika. (2014), Pengaruh Model Pembelajaran Think Pair Share terhadap Hasil Belajar IPA Ditinjau dari Keterampilan Berpikir Kritis Siswa, e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 4. 2014 page 3) Simpulan dari beberapa pendapat di atas yaitu Think Pair Share (TPS) adalah tipe dari model pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara individu mengenai sebuah topik, berdiskusi dan saling membantu secara berpasangan, dan saling berbagi ilmu pengetahuan serta merespon pendapat teman. 1) Karakteristik Model Pembelajaran Kooeratif Tipe Think Pair Share Model pembelajaran kooeratif tipe Think Pair Share memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang mampu membedakan model ini dengan model yang lain. Menurut Johnson & Johnson (Slameto, 2003: 60-61). terdapat lima unsur penting dalam pembelajaran kooperatif Think Pair Share yaitu: a) Saling ketergantungan yang bersifat positif antara siswa. b) Interaksi antara siswa yang semakin meningkat. c) Tanggung jawab individual. d) Proses kelompok.
30 Sedangkan ciri-ciri pembelajaran TPS menurut Julianto, dkk (2011:41) yaitu: kelompok terbentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Jika mungkin anggota kelompok terdiri dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan gender, penghargaan lebih menekankan pada kelompok dari pada masing-masing individu, kelompok dibentuk secara berpasang-pasangan, siswa bertukar informasi dengan siswa yang lain. 2) Langkah Pembelajaran Menggunakan Tipe Think Pair Share Think Pair Share (TPS) secara garis besar terdiri dari tiga tahap yaitu Think (berpikir), Pair (berpasangan), dan Share (berbagi). Menurut Shoimin (2014: 211) langkah pembelajaran menggunakan tipe Think Pair Share (TPS) yaitu: a) Tahap satu, think (berpikir) Pada tahap ini guru memberikan pertanyaan yang terkait dengan materi pelajaran yang menggalakkan aktivitas berpikir ke seluruh kelas. Pertanyaan ini hendaknya berupa pertanyaan terbuka yang memungkinkan dijawab dengan berbagai macam jawaban. b) Tahap dua, pair (berpasangan) Setelah siswa berpikir secara individu, tahap selanjutnya guru meminta siswa untuk berpasangan dan mulai memikirkan pertanyaan atau masalah yang diberikan guru dalam waktu tertentu. Siswa disarankan untuk menulis jawaban atau pemecahan masalah hasil pemikirannya. c) Tahap tiga, share (berbagi) Pada tahap ini siswa secara individu mewakili kelompok atau berdua maju bersama untuk melaporkan hasil diskusinya ke seluruh kelas. Pada tahap terakhir ini siswa seluruh kelas akan memperoleh keuntungan dalam bentuk mendengarkan berbagai ungkapan mengenai konsep yang sama dinyatakan dengan cara yang berbeda oleh individu yang berbeda.
31
Hamdayama
(2014:
202-203)
menyempurnakan
langkah
pembelajaran TPS dengan menambahkan tahap pendahuluan sebagai tahap paling awal dan tahap penghargaan setelah tahap share (berbagi), sehingga langkah pembelajaran TPS terdiri dari lima tahap sebagai berikut: a) Tahap Pendahuluan, dimulai dengan penggalian apersepsi sekaligus memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pembelajaran. Guru juga menginformasikan aturan main serta batasan waktu untuk setiap tahap kegiatan. b) Tahap Think, siswa berpikir secara individual mengenai pertanyaan atau permasalahan yang diberikan guru. c) Tahap Pair, siswa berpasangan dengan teman sebangku. d) Tahap Share, siswa berbagi jawaban dengan pasangan lain atau seluruh kelas (klasikal). e) Tahap Penghargaan, siswa mendapat penghargaan berupa nilai baik secara individu maupun kelompok. Nilai individu berdasarkan jawaban pada tahap think, sedangkan nilai kelompok berdasarkan jawaban pada tahap pair dan share.
Sedikit berbeda dari dua pendapat di atas, Huda (2013: 136-137) mengemukakan pendapatnya sendiri mengenai prosedur pelaksanaan Think Pair Share (TPS) yaitu: a) Siswa ditempatkan dalam kelompokkelompok yang terdiri dari empat anggota, b) Guru memberikan tugas pada setiap kelompok, c) Masing-masing anggota memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut secara individu terlebih dahulu, d) Kelompok membentuk anggota-anggotanya secara berpasangan, setiap pasangan mendiskusikan hasil pengerjaan individunya, e) Kedua pasangan lalu bertemu kembali dalam kelompoknya masing-masing untuk menshare hasil diskusinya.
32 Dari tiga pendapat di atas, peneliti lebih condong pada pendapat yang kedua karena paling rinci dan mudah diterapkan di kelas, sehingga dalam penelitian ini dilaksanakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan langkah seperti yang dikemukakan oleh Hamdayama. Adapun dalam kasus kelas yang siswanya berjumlah ganjil, padahal pada tahap pair (berpasangan) siswa berpasangan duadua, maka akan ada satu kelompok yang terdiri dari tiga siswa, sehingga semua siswa dapat berdiskusi dalam kelompoknya, tidak ada siswa yang bekerja secara individu pada tahap pair (berpasangan). Langkah pembelajaran TPS mengatur cara kerja siswa dalam sistem sosial, yaitu secara individu (tahap think), berkelompok (tahap pair), dan belajar dalam kelompok besar/klasikal (tahap share). Penerapan TPS kali ini juga didukung oleh sarana pendukung berupa media video. Media video digunakan dalam tahap think yaitu siswa memikirkan solusi pemecahan masalah dari cerita yang ada dalam video tersebut. Cara mengevaluasi hasil pembelajaran TPS hampir sama dengan pembelajaran pada umumnya, yaitu terdiri dari evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses meliputi pengerjaan LKS serta unjuk kerja menceritakan kembali cerita yang telah disimak secara lisan, sedangkan evaluasi hasil berupa pengerjaan soal secara tertulis.
3) Kelebihan Tipe Think Pair Share (TPS) Beberapa kelebihan dari Think Pair Share (TPS) menurut Hamdayama (2014: 203-204) antara lain: a) Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas. Penggunaan tipe Think Pair Share (TPS) menuntut siswa menggunakan waktunya untuk mengerjakan tugas-tugas atau permasalahan yang diberikan guru di awal pertemuan sehingga diharapkan siswa mampu memahami materi dengan baik sebelum guru menyampaikannya pada pertemuan selanjutnya.
33 b) Memperbaiki kehadiran. Tugas yang diberikan pada setiap pertemuan menjadikan siswa berusaha untuk selalu hadir, karena tugas pada setiap pertemuan memengaruhi hasil belajar siswa. c) Angka putus sekolah berkurang. Think Pair Share (TPS) diharapkan dapat memotivasi siswa sehingga hasil belajarnya menjadi lebih baik daripada pembelajaran dengan model konvensional. d) Sikap apatis berkurang. Terlibatnya siswa secara aktif dalam pembelajaran akan lebih menarik dan tidak monoton sehingga siswa bersikap aktif, tidak apatis. e) Penerimaan terhadap individu lebih besar. Think Pair Share (TPS) melibatkan seluruh siswa dalam permasalahan ynag diberikan oleh guru, sehingga akan lebih banyak siswa yang dapat menerima dan memahami materi, tidak seperti pembelajaran konvensional yang hanya didominasi oleh siswa yang benar-benar rajin dan aktif. f) Hasil belajar lebih mendalam. Hasil belajar siswa dapat diidentifikasi secara bertahap sehingga pada akhir pembelajaran hasil yang diperoleh siswa dapat lebih optimal. g) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi. Sistem kerjasama yang diterapkan dalam TPS menuntut siswa untuk bekerja sama dalam tim, sehingga siswa belajar berempati, menerima pendapat orang lain, atau mengakui secara sportif jika pendapatnya tidak diterima.
34 Shoimin (2014: 211) juga memaparkan kelebihan dari Think Pair Share (TPS) meliputi: a) TPS mudah diterapkan di berbagai jenjang pendidikan dan dalam setiap kesempatan, b) Menyediakan waktu berpikir untuk meningkatkan kualitas respons siswa, c) Siswa menjadi lebih aktif dalam berpikir mengenai konsep dalam mata pelajaran, d) Siswa lebih memahami konsep topik pelajaran selama diskusi, e) Siswa dapat belajar dari siswa lain, dan f) Setiap siswa dalam kelompoknya mempunyai kesempatan untuk berbagi dan menyampaikan idenya. Dari kelebihan-kelebihan di atas dapat diketahui bahwa TPS berpengaruh terhadap respon siswa dalam mengikuti pembelajaran. Siswa lebih tertarik dengan model pembelajaran ini karena lebih bervariasi, memacu siswa untuk lebih aktif, dan terbukanya kesempatan yang luas untuk menyampaikan ide/gagasan.
4) Kekurangan Tipe Think Pair Share (TPS) Selain memiliki sejumlah kelebihan, Think Pair Share (TPS) juga memiliki kekurangan sebagaimana yang diungkapkan oleh Hamdayama (2014: 205) berikut ini: a) Tidak selamanya mudah bagi siswa untuk mengatur cara berpikir sistematik. b) Lebih sedikit ide yang masuk. c) Jika ada perselisihan, tidak ada penengah dari siswa dalam kelompok yang bersangkutan sehingga banyak kelompok yang melapor dan dimonitor. d) Jumlah murid yang ganjil berdampak pada saat pembentukan kelompok, karena ada satu murid yang tidak memiliki pasangan. e) Jumlah kelompok yang terbentuk banyak. f) Menggantungkan pada pasangan.
35 d. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) dalam Pembelajaran Menyimak Cerita Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran menggunakan tipe Think Pair Share (TPS) yang sudah dijelaskan di atas, Think Pair Share (TPS) diarahkan pada pembelajaran kelompok yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir, berdiskusi, menyampaikan pendapat di depan kelas dan memberikan tanggapan. Perlu diketahui pula bahwa dalam penelitian
ini
juga
akan
menggunakan
video
sebagai
meia
pembelajarannya. Adapun langkah penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) dalam pembelajaran menyimak cerita kurang lebih sebagai berikut: 1) Guru mempersiapkan peralatan yang akan digunakan dalam pembelajaran antara lain: video, laptop, LCD, speaker aktif dan kabel. 2) Guru menggali apersepsi dan memotivasi siswa, menyampaikan aturan main dan alokasi waktu yang digunakan. 3) Siswa menyimak tayangan video cerita anak sambil membuat catatan kaki. 4) Guru mengajukan pertanyaan atau permasalahan yang harus diselesaikan oleh siswa secara indivdu. 5) Siswa berdiskusi dengan teman sebangku (berpasangan) untuk saling bertukar pendapat mengenai jawaban atas pertanyaan yang diajukan guru. 6) Siswa secara individu mewakili kelompok atau berdua maju bersama untuk melaporkan hasil diskusinya kepada kelompok lain atau seluruh kelas. 7) Guru memberikan penghargaan berupa nilai baik secara individu maupun kelompok.
36 3. Hakikat Media Video a. Pengertian Media Pembelajaran Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar (Sadiman, dkk, 2008: 6). Dengan demikian media pembelajaran dapat diartikan sebagai salah satu komponen komunikasi dalam pembelajaran, yaitu pembawa pesan dari guru menuju siswa. Pendapat tersebut disempurnakan oleh Sadiman, dkk. (2008: 6) yang mengemukakan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Sependapat dengan pengertian di atas, Sanjaya (2014: 61) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan media pembelajaran adalah segala sesuatu seperti alat, lingkungan dan segala bentuk kegiatan yang dikondisikan untuk menambah pengetahuan, mengubah sikap atau menanamkan keterampilan pada setiap orang yang memanfaatkannya. Munadi (2013: 8) mengartikan media pembelajaran sebagai segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif di mana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif. Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah sarana penyampaian pesan dari sumber belajar kepada objek pembelajaran (siswa) sehingga proses pembelajaran dapat kondusif, efektif dan efisien.
b. Pengertian Media Video Media pembelajaran terdiri dari beraneka ragam jenis, seperti media visual, audio, audio visual, spesimen, model, dan lain-lain. Salah satu media pembelajaran yang banyak digunakan saat ini adalah media video.
37 Video dianggap sebagai media yang sangat efektif untuk membantu proses pembelajaran, baik untuk pembelajaran masal, individual, maupun berkelompok. Media Video adalah segala sesuatu yang memungkinkan sinyal audio dapat dikombinasikan dengan gambar bergerak secara sekuensial (Daryanto, 2011: 80). Video dapat menyajikan gambar bergerak sekaligus suara serta dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan/materi pelajaran. Pesan yang disajikan bisa bersifat fakta (kejadian/peristiwa penting, berita) maupun fiktif (seperti cerita), bisa bersifat informatif, edukatif maupun instruksional. Tingkat retensi (daya serap dan daya ingat) siswa terhadap materi pelajaran dapat meningkat secara signifikan jika proses pemerolehan informasi awalnya lebih besar melalui indra pendengaran dan penglihatan. Munadi (2013: 132) menyatakan bahwa video adalah teknologi pemrosesan sinyal elektronik meliputi gambar gerak dan suara. Media video dapat digolongkan kedalam jenis media audio motion visual (media audio visual gerak) yakni media yang mempunyai suara, ada gerakan dan bentuk objeknya dapat dilihat. Informasi yang disajikan melalui media ini berbentuk dokumen yang hidup, dapat dilihat di layar monitor atau ketika diproyeksikan ke layar lebar melalui projector dapat didengar suaranya dan dapat dilihat gerakannya. Woottipong (2014) menyatakan dalam jurnalnya yang berjudul Effect of Using Video Materials in the Teaching of Listening Skills for University Students sebagai berikut: “Video is able to present complete communicative situations. At their best, video presentations will be intrinsically interesting to language learners. The learner will want to watch, even if comprehension is limited.” (Woottipong. (2014). Effect of Using Video Materials in the Teaching of Listening Skills for University Students. International Journal of Linguistics. Vol. 6. No. 4. August 2014 page 203)
38 Maksud dari pernyataan di atas adalah video mampu menyajikan situasi komunikatif yang lengkap. Tampilan video akan sangat menarik bagi para pembelajar bahasa. Pelajar akan ingin menonton sekalipun pemahaman mereka masih terbatas. Dari berbagai pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa media video merupakan alat bantu pembelajaran yang dapat dilihat dan didengar (audio visual) yang di dalamnya memuat pesan-pesan pembelajaran. Dalam rancangan penelitian ini nantinya akan digunakan video pembelajaran yang berisi cerita anak yang berfungsi sebagai media yang akan disimak siswa. Media video ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan menyimak siswa, karena siswa tidak hanya menyimak cerita melalui suara tetapi juga dapat melihat perilaku tokoh, latar, dan alur cerita yang jelas.
1) Karakteristik Media Video Media video memiliki karakteristik yang membedakannya dengan media pembelajaran yang lain. Karakteristik tersebut seperti yang dijelaskan oleh Munadi (2013: 127) berikut: a) Mengatas keterbatasan jarak dan waktu. b) Video dapat diulangi bila perlu untuk menambah kejelasan. c) Pesan yang disampaikannya cepat dan mudah diingat. d) Mengembangkan pikiran dan pendapat para siswa. e) Mengembangkan imajinasi siswa. f) Memperjelas hal-hal yang abstrak dan memberikan gambaran yang lebih realistik. g) Sangat kuat memengaruhi emosi seseorang. h) Sangat baik menjelaskan suatu proses dan keterampilan, mampu menunjukkan rangsangan yang sesuai dengan tujuan dan respon yang diharapkan dari siswa. i) Semua siswa dapat belajar dari video, baik yang pandai maupun yang kurang pandai.
39 j) Menumbuhkan minat dan motivasi belajar. k) Dengan video penampilan siswa dapat segera dilihat kembali untuk dievaluasi. 2) Kelebihan Media Video Sadiman, dkk. (2008: 74) memaparkan kelebihan media video antara lain: a) Dapat menarik perhatian untuk periode-periode yang singkat dari rangsangan luar lainnya. b) Demonstrasi yang sulit bisa dipersiapkan dan direkam sebelumnya, sehingga pada waktu mengajar guru bisa memusatkan perhatian pada penyajiannya. c) Menghemat waktu dan rekaman dapat diputar berulang-ulang. d) Keras lemah suara bisa diatur dan disesuaikan bila akan disisipi komentar yang akan didengar. e) Gambar proyeksi bisa dibekukan untuk diamati dengan seksama. 3) Kelemahan Media Video Selain memiliki kelebihan, media video juga tak lepas dari kelemahan seperti yang dikemukakan oleh Sadiman, dkk. (2008: 75) berikut: a) perhatian penonton sulit dikuasai, b) komunikasi bersifat satu arah, c) memerlukan peralatan pendukung yang kompleks, d) kurang mampu menampilkan detail dari objek yang disajikan secara sempurna. c. Penggunaan Media Video dalam Pembelajaran Menyimak Cerita Langkah penggunaan media video dalam proses pembelajaran dipaparkan oleh Munadi (2013: 127-128) yaitu: 1) Memilih video yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. 2) Guru harus mengenal program video yang tersedia dan terlebih dahulu melihatnya untuk mengetahui manfaatnya bagi pelajaran. 3) Sesudah video ditayangkan perlu diadakan diskusi.
40 4) Ada kalanya video perlu diputar dua kali atau lebih untuk memperhatikan aspek-aspek tertentu. 5) Agar siswa tidak memandang video sebagai media hiburan semata, sebelumnya perlu ditugaskan untuk memperhatikan bagian-bagian tertentu dalam video tersebut. 6) Sesudah itu dapat dilakukan tes berapa banyakkah ilmu yang dapat mereka tangkap dari penayangan video tersebut. Dalam pembelajaran menyimak cerita, guru juga dapat mengadaptasi langkah di atas dengan sedikit modifikasi, disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran. Perlu diketahui pula bahwa dalam rancangan penelitian ini, media video digunakan untuk meningkatkan keterampilan menyimak siswa. Penggunaan video sebagai media yang digunakan dalam menyimak cerita karena media ini dapat menarik antusias siswa dengan tayangan dan suara yang berbeda dari masing-masing tokohnya. Selain itu media video mudah untuk dioperasikan, hanya tinggal diputar melalui laptop yang akan diproyeksikan dengan LCD serta menggunakan speaker sebagai pengeras suara. Dalam praktiknya penggunaan media video akan dikolaborasikan dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Dengan demikian langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini sesuai dengan langkah pembelajaran dalam Think Pair Share (TPS) seperti yang sudah dibabarkan pada sub bab sebelumnya, yang didalamnya diselipkan penggunaan media video berupa video animasi cerita anak. 4. Penelitian yang Relevan Adapun penelitian yang relevan dengan rancangan penelitian ini sehingga dapat digunakan sebagai pembanding dan gambaran mengenai prosedur penelitian dan hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: a. Penelitian Fatimah, R.S (2015). Persamaan penelitian Fatimah, R.S dengan penelitian ini terletak pada variabel Y (variabel terikat) yakni keterampilan menyimak cerita. Sedangkan perbedaannya terletak pada
41 variabel X (variabel bebas), yaitu penggunaan metode bercerita, sementara dalam rancangan penelitian kali ini akan dibahas mengenai penerapan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan media video. Selain itu objek penelitian juga berbeda. Hasil dari penelitian Fatimah, R.S (2015) menyatakan bahwa terjadi peningkatan keterampilan menyimak cerita pada siswa kelas III SD Negeri 3 Waru Tahun Ajaran 2014/2015 melalui penggunaan metode bercerita. Peningkatan tersebut ditunjukkan dari rata-rata hasil tes keterampilan menyimak cerita tiap siklusnya yang mengalami peningkatan. Rata-rata nilai keterampilan menyimak cerita pada tahap prasiklus sebesar 59,93 dengan ketuntasan klasikal sebesar 34,61 %. Siklus I sebesar 68,69 dengan ketuntasan klasikal 64,29 %, dan siklus II sebesar 76,38 dengan ketuntasan klasikal 85,71 %. b. Penelitian Styawan, S (2013). Persamaan kedua penelitian ini terletak pada salah satu variabel bebas yaitu penggunaan media video. Adapun perbedaannya terletak pada variabel terikat. Jika pada penelitian Styawan meneliti pemahaman konsep peristiwa alam, maka pada penelitian ini meneliti tentang keterampilan menyimak cerita. Selain itu dalam penelitian ini juga menggunakan satu variabel bebas lagi yaitu Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS). Styawan menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa penggunaan media video dapat meningkatkan pemahaman konsep peristiwa alam pada siswa Kelas V SDN 03 Bolon Colomadu Tahun Ajaran 2012/2013. Peningkatan tersebut terlihat dengan adanya peningkatan nilai pemahaman konsep mulai dari kondisi pratindakan, siklus I, dan siklus II. Kondisi pratindakan menunjukkan bahwa hanya 13 siswa yang nilainya memenuhi KKM, persentase ketuntasan klasikal hanya sebesar 44,83 % dengan nilai ratarata kelas 62,31. Pada siklus I terdapat 22 siswa yang nilainya memenuhi KKM, persentase ketuntasan klasikal 75,86 % dengan nilai rata-rata kelas 75,69. Kondisi pada siklus II terdpat 25 siswa yang nilainya memenuhi
42 KKM, persentase ketuntasan klasikal 86,21 % dengan nilai rata-rata kelas 84,49. c. Penelitian Lida Ariesta (2012). Persamaan penelitian Lida dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti keterampilan menyimak cerita dan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Sedangkan perbedaannya terletak pada media yang digunakan. Jika penelitian Lida menggunakan media flipchart, dalam penelitian ini menggunakan media video. Hasil penelitian Lida menunjukkan fakta bahwa penerapan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share dengan media flipchart dapat meningkatkan keterampilan menyimak cerita pada siswa kelas V SD Negeri Trombol II, Mondokan, Sragen tahun ajaran 2011/2012. Nilai ratarata keterampilan menyimak cerita siswa sebelum tindakan sebesar 60,42 dengan persentase ketuntasan klasikal 41,67%, pada siklus I menjadi 70,42 dengan persentase ketuntasan klasikal 75%, selanjutnya pada siklus II mencapai 73,75 dengan persentase ketuntasan klasikal mencapai 92%.
B. Kerangka Berpikir Keterampilan menyimak merupakan salah satu keterampilan yang harus diajarkan dan dikuasai oleh siswa dalam kegiatan belajar dan mengajar di Sekolah Dasar, karena keterampilan menyimak sangat bermanfaat bagi siswa untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan baik dan mengembangkan kemampuan siswa dalam berbahasa. Kondisi awal berdasarkan hasil observasi dan pretest yang dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa keterampilan menyimak pada siswa kelas V SDN Karangasem I No. 61 Surakarta masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh hasil pretest yang dilaksanakan oleh peneliti pada tanggal 27 November 2015 pukul 09.30 s.d 10.40 WIB menunjukkan data bahwa dari 41 siswa, hanya 13 siswa (31,71%) yang lulus KKM, sedangkan 28 siswa lainnya (68,29%) memperoleh nilai di bawah KKM mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 70. Permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti siswa yang masih kesulitan
43 memahami isi cerita yang disimak, kurangnya konsentrasi dan kesungguhan siswa, dan siswa belum termotivasi dalam mengikuti pembelajaran. Selain itu guru sebagian besar kegiatan pembelajaran masih dilakukan secara konvensional, yakni guru hanya menggunakan teks cerita anak yang tertera dalam buku paket dan modul Bahasa Indonesia. Guru kemudian membacakan cerita dalam buku tersebut
sementara
siswa
diperintahkan
untuk
mendengarkan
sambil
memperhatikan teks bacaan yang ada di buku paket. Faktor lain yang berpengaruh dalam rendahnya keterampilan menyimak siswa adalah belum digunakannya media pembelajaran yang dapat menarik perhatian dan minat siswa. Pembelajaran tersebut di atas pasti dapat menganggu perkembangan keterampilan menyimak siswa. Oleh karena itu dibutuhkan solusi untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, pembelajaran yang mampu memberikan kesempatan sepenuhnya kepada siswa untuk berpikir dan belajar menemukan hal-hal baru yang dibangun dari pengetahuannya. Solusi yang tepat adalah pada pelaksanaan tindakan perlu adanya perubahan dalam penyampaian materi. Salah satunya dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat diharapkan dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam menyimak cerita. Dari sekian banyak media yang digunakan, video merupakan media yang cukup tepat digunakan untuk pembelajaran menyimak cerita. Selain itu penggunaan model pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) juga dapat menjadi solusi dari permasalahan di atas. Model ini menuntut siswa untuk dapat berpikir dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan guru secara individu maupun berpasangan serta membagikannya dengan teman lain sehingga pemahaman siswa terhadap cerita yang disimak dapat meningkat. Hasil akhirnya dengan solusi tersebut diharapkan keterampilan menyimak siswa dapat meningkat. Selain itu siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran dengan diberikannya kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dalam forum diskusi maupun seluruh kelas, sementara siswa yang lain mendapat pengetahuan lebih dari penyampaian temannya. Secara skematis kerangka berpikir dapat digambarkan pada gambar 2.2. berikut:
44
Kondisi Awal
Tindakan
Kondisi Akhir
1. Guru menggunakan model konvensional dalam pembelajaran keterampilan menyimak cerita. 2. Guru hanya menggunakan teks sebagai sarana pembelajaran keterampilan menyimak cerita. 3. Siswa kesulitan memahami cerita yang disimak.
Melalui PTK guru menggunakan Model Kooperatif tipe Think Pair Share dengan media video dalam pembelajaran menyimak cerita.
Keterampilan menyimak cerita pada siswa kelas V SDN Karangasem I No. 61 Surakarta tahun ajaran 2015/2016 dapat meningkat.
Keterampilan menyimak cerita pada siswa kelas V SDN Karangasem I No. 61 Surakarta tahun ajaran 2015/2016 masih rendah.
Siklus I Perencanaan Tindakan Observasi Refleksi dengan cerita Keledai dan Katak
Siklus II Perencanaan Tindakan Observasi Refleksi dengan cerita Asal Mula Kota Cianjur
Gambar 2.2. Bagan Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir seperti yang telah dijabarkan di atas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan media video dapat meningkatkan keterampilan menyimak cerita pada siswa kelas V SDN Karangasem I No. 61 Surakarta tahun ajaran 2015/2016.