BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Hakekat Konsentrasi Belajar a. Pengertian Konsentrasi Menurut asal katanya, Hakim (2003: 1) menyatakan bahwa, “Konsentrasi dalam bentuk kata kerja (verb), yaitu concentrate, yang berarti memusatkan dan dalam bentuk kata benda (noun), yaitu concentration, yang berarti pemusatan”. Berawal dari uraian tersebut,
Hakim (2003)
menambahkan bahwa konsentrasi oleh sebagian besar orang dipahami sebagai suatu proses pemusatan pikiran terhadap suatu objek. Hal ini juga disampaikan oleh Slameto (2010: 86) dengan menyatakan bahwa, “Konsentrasi adalah pemusatan pikiran terhadap suatu hal dengan menyampingkan semua hal lainnya yang tidak berhubungan”. Sejalan dengan itu, Siswanto (2007) juga menjelaskan bahwa konsentrasi memungkinkan seorang individu dalam memecahkan masalah atau persoalannya dan tidak terganggu oleh pikiran-pikiran atau hal-hal yang tidak
berkaitan
karena
konsentrasi
merupakan
kemampuan
untuk
memusatkan perhatian secara penuh pada persoalan yang sedang dihadapi. Sellers (Dewi, Rusmawati, & Ratnaningsih, 2015: 108) juga menyebutkan bahwasanya konsentrasi merupakan kemampuan untuk dapat mencurahkan perhatian untuk waktu yang relatif lama. Seorang anak dikatakan bisa berkonsentrasi jika mereka dapat memperhatikan apa yang mereka pelajari. Paparan diatas terkait konsentrasi, menunjukan bahwa konsentrasi merupakan sebuah proses pemusatan segala perhatian terhadap hal atau persoalan yang sedang dihadapi dengan mengesampingkan hal lain yang tidak berhubungan dan berlangsung dengan waktu yang relatif lama. Hal ini dapat diartikan bahwasanya seorang individu harus mengerahkan seluruh 9
10 perhatiannya, baik seluruh panca indera maupun fikirannya untuk fokus pada satu objek atau persoalan saja dalam jangka waktu yang relatif lama. Artinya, ketika kita mampu melakukan tindakan yang mengerahkan seluruh panca indera dan fikiran kita untuk memahami suatu objek atau menyelesaikan
sebuah
persoalan
yang
kita
hadapi
dengan
mengesampingkan tindakan atau kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan jangka waktu yang relatif lama maka itu dinamakan konsentrasi. b. Pengertian Belajar Makmun (2007: 157) mengatakan, “Belajar merupakan suatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu.”. Pendapat lain yang sejalan seperti Slameto (2010: 2) mengatakan, “Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Menurut
beberapa
pendapat
diatas,
belajar
memang
dapat
didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku, akan tetapi tidak bisa semua bentuk perubahan tingkah laku dapat dianggap belajar.
Hal ini sesuai
pendapat Islamuddin (2012: 161) yang menyatakan, “Perubahan yang timbul karena proses belajar, sudah tentu memiliki ciri-ciri perwujudan yang khas”. Adapun ciri-ciri tersebut antara lain : 1) Perubahan itu intensional (sadar dan disengaja, bukan kebetulan); 2) Perubahan itu positif dan aktif (bersifat baik dan didapatkan dengan usaha); 3) Perubahan itu efektif dan fungsional (membawa pengaruh dan dapat direproduksi serta dimanfaatkan). Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya belajar merupakan sebuah proses perubahan perilaku menuju kearah yang lebih baik berdasarkan hasil praktik atau pengalaman dalam interaksi dengan lingkungannya.
11 c. Pengertian Konsentrasi Belajar Menurut
Slameto
(2010:
86),
“Konsentrasi
belajar
adalah
memusatkan pikiran dan perhatian pada suatu mata pelajaran dengan mengesampingkan segala hal yang tidak berhubungan dengan pelajaran”. Senada dengan itu,
Dimyati & Mudjiono (2009: 239) mengatakan,
“Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran. Pemusatan perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses memperolehnya.”. Jadi, dapat disimpulkan bahwasanya konsentrasi belajar merupakan kemampuan seorang individu dalam memusatkan perhatiannya pada pelajaran, baik dari sisi isi bahan belajar maupun proses dalam memperolehnya, serta mampu menyaring dan mengolah informasi yang dibutuhkan serta mengesampingkan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran sehingga terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri individu. d. Konsentrasi Belajar Anak Usia Dini Menurut Tze & Chou (2010), cara terbaik bagi siswa untuk belajar adalah dengan situasi dan kondisi yang tenang. Hasil tersebut didasarkan pada penelitian yang menguji perbedaan hasil belajar siswa yang belajar menggunakan iringan musik hip hop, klasik, dan tidak memakai musik. Penelitian tersebut menunjukan bahwa siswa yang belajar tanpa iringan musik atau dengan keheningan, mendapatkan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan yang memakai iringan musik. Hal ini dikarenakan, pada situasi yang tenang siswa akan berada pada posisi dengan tingkat konsentrasi yang tinggi, sehingga dapat mengoptimalkan daya serap otaknya, sedangkan siswa yang memakai iringan musik, konsentrasi belajarnya akan sangat menurun karena anak lebih terfokus pada alunan musiknya daripada materi pembelajarannya. Akan tetapi, mungkin akan berbeda kondisi apabila siswanya adalah anak usia dini. Menurut Permendiknas (2014), umur anak usia dini adalah umur pada rentan waktu 0 sampai 6 tahun. Pada usia kelompok B, lebih khusus
12 terletak pada rentan waktu 4 sampai 6 tahun. Hasan (2010) menyebutkan bahwa anak usia 4 tahun sampai masuk jenjang pendidikan dasar merupakan anak usia prasekolah dan di usia tersebut anak memiliki tempat pendidikan berupa taman kanak-kanak yang mengusung prinsip bermain sambil belajar dan belajar sambil bermain. Pada rentan umur tersebut, menurut teori perkembangan kognitif Piaget, anak sedang berada pada fase praoperasional. Jamaris (2013: 27) menyebutkan, “Ciri utama pada fase ini yaitu anak sudah berpikir simbolik dan intuitif, egosentris, serta suka mendengar dongeng”. Pada fase ini pula, dijelaskan bahwa anak masih bersifat egosentris, yaitu kelihatan seperti keras kepala karena belum dapat menerima sudut pandang orang lain. Lebih lanjut Jamaris (2013: 28) mencontohkan, “..., misalnya pada waktu anak melihat gunung, maka ia berkata bahwa ia akan mendaki gunung dengan boneka-bonekanya. Apabila orang sekitarnya mengatakan hal tersebut sulit dilakukan, anak akan tetap berkata bahwa ia dapat melakukannya”. Oleh karena itu, akan ditemui banyak peristiwa di lembaga PAUD anak suka bermain sendiri dan tidak memperdulikan sekitarnya pada waktu pembelajaran, atau bahkan anak akan sering membuat kegaduhan tanpa alasan yang jelas. Hal ini memperlihatkan bahwa anak usia konsentrasi belajarnya yang rendah. Jamaris (2013) juga menuturkan pada fase ini kegiatan konsentrasi juga baru terjadi. Lebih lanjut, oleh Judarwanto (Ambarnianti, 2012: 2) dijelaskankan bahwa, “..., anak usia 4 tahun rata-rata mampu berkonsentrasi selama 12 menit, dan anak usia 5 tahun rata-rata mampu berkonsentrasi selama 14 menit.”. Berdasarkan
uraian
diatas,
dapat
disimpulkan
bahwasanya
kemampuan anak usia dini dalam memusatkan pikiran maupun perhatiannya pada pelajaran dengan mengesampingkan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran rata-rata hanya baru berkisar antara 12 menit sampai 14 menit. Akan tetapi, apabila anak-anak mampu dilatih untuk tenang dengan membiasakan anak menjauhi hal-hal yang dapat mengurangi
13 tingkat konsentrasinya, maka peneliti berasumsi konsentrasi belajar anak dapat meningkat. e. Aspek-aspek Pemusatan Perhatian atau Konsentrasi Odom & Guzman (Nuryana & Purwanto, 2010: 90) memaparkan tentang beberapa aspek yang dalam proses pemusatan perhatian atau konsentrasi perlu diperhatikan. Adapun aspek-aspek tersebut antara lain : 1) pemusatan atau kontrol perhatian. Perhatian
semakin
dapat
dipertahankan
(persistence)dengan
bertambahnya usia. Minat anak juga mempengaruhi perhatiannya. Semakin besar minatnya terhadap suatu pelajaran, semakin besar pula konsentrasi yang ditimbulkan. 2) penyaringan informasi Penyesuaian diri (adaptability) sangat memerlukan adanya penyaringan informasi yang relevan dalam poin ini. Individu harus bisa menyaring informasi yang didapat untuk bisa memenuhi informasi yang dibutuhkan. 3) Perencanaan sistematis Berencana (planfulness) merupakan perencanaan yang sistematis dan terorganisir merupakan strategi dalam mengarahkan perhatian. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi penyaringan informasi yang tidak relevan. Perencanaan ini termasuk menyiapkan kesehatan fisik, mentak, dan kondisi lingkungan. 4) Pengolahan informasi Sistem pengolahan informasi yang lebih kompleks dan lebih mampu menyelesaikan fokus perhatiannya dengan informasi yang ada. Setelah seorang individu mampu menyaring informasi, maka informasi tersebut akan diolah oleh seorang individu, sehingga akan menghasilkan pengetahuan yang baru dan dapat dimanfaatkan oleh individu. Sependapat dengan itu, Slavin (Dewi et al., 2015: 108) menjelaskan bahwasanya aspek-aspek atau proses yang terjadi dalam konsentrasi adalah proses manajemen informasi. Proses ini berlangsung ketika anak menerima
14 informasi
baru
melalui
rekaman
indera seperti
dari penglihatan,
pendengaran, sentuhan, bau dan rasa. Setelah itu muncul penafsiran dari apa yang dipikirkan sebagai hasil dari proses konsentrasi. Informasi yang telah ditafsirkan dan diubah dalam bentuk kesimpulan, kemudian disimpan dalam memori jangka pendek dan diteruskan ke memori jangka panjang melalui pengulangan. Informasi yang sudah tersimpan kemudian dilakukan pengolahan yang mendalam dengan menghubungkan informasi baru dengan informasi yang sudah ada sehingga informasi akan diingat setiap saat. Selama informasi pengolahan manajemen, konsentrasi anak-anak menjadi sangat penting. Pada waktu konsentrasi tidak berlangsung, maka informasi tersebut tidak dapat hafal atau diakses kembali. Pendapat lain dari Engkoswara (Rusyan, 1989: 10) terkait aspek perilaku yang memperlihatkan konsentrasi belajar, dijabarkan menjadi 4 aspek, meliputi : 1) Kognitif yaitu hal-hal yang menyangkut masalah pengetahuan, informasi, dan masalah kecakapan intelektual. Hal-hal tersebut dapat diamati pada siswa yang memiliki kriteria antara lain, siapnya pengetahuan yang apabila diperlukan dapat segera muncul, penafsiran informasi yang komprehensif, mampu mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh, dan dari pengetahuan yang diperoleh siswa mampu mengadakan analisis dan sintesis. 2) Afektif yaitu berupa sikap dan apersepsi. Pada aspek perilaku ini, konsentrasi belajar dapat ditandai dengan adanya perhatian dan respon yang berupa keinginan untuk mereaksi bahan yang diajarkan seperti mengemukakan suatu pandangan atau keputusan sebagai bentuk dari suatu keyakinan, ide dan sikap seseorang. 3) Psikomotor Pada aspek ini, terlihat siswa yang memiliki konsentrasi belajar akan menggerakkan anggota badannya dengan tepat atau sesuai dengan
15 petunjuk guru, serta gerakan-gerakan dan ekspresi muka penuh arti akan menunjang komunikasi non verbalnya. 4) Bahasa Aktivitas berbahasa yang terkoordinasi dengan baik dan benar merupakan tanda seorang memiliki konsentrasi yang baik. Beranjak dari pemaparan diatas, terlihat bahwasanya variabel konsentrasi belajar merupakan variabel yang dapat ditinjau dari berbagai macam aspek. Pada penelitian ini, peneliti mengambil pendapat dari Odom & Guzman (Nuryana & Purwanto, 2010: 90) mengenai aspek-aspek konsentrasi belajar sebagai dasar pembuatan instrumen penelitian. Adapun aspek-aspek tersebut diantaranya, pemusatan perhatian, penyaringan informasi, perencanaan sistematis, dan pengolahan informasi. Jadi, yang dimaksudkan konsentrasi belajar dalam penelitian ini adalah kemampuan seorang individu dalam memusatkan perhatiannya pada pelajaran, baik dari sisi isi bahan belajar maupun proses dalam memperolehnya, serta mampu menyaring
dan
mengolah
informasi
yang
dibutuhkan
serta
mengesampingkan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran sehingga terjadi perubahan perilaku pada diri individu. f. Ciri-ciri Konsentrasi Belajar Menurut Supriyo (2008), siswa yang tidak dapat berkonsentrasi dalam belajar memiliki ciri-ciri atau gejala, antara lain : 1) Pada umumnya anak merasa betah berjam-jam untuk melakukan aktifitas di luar kegiatan belajar, 2) Mudah kena rangsangan lingkungan (seperti suara radio, tv, gangguan adik/kakak), 3) Kadangkala selalu mondar-mandir kesana kemari untuk mencari perlengkapan belajar, 4) Setelah belajar tidak tahu apa yang baru saja dipelajari. Sejalan dengan itu, Fanu (2009) juga menyampaikan terkait ciri-ciri anak yag mengalami kesulitan konsentrasi belajar. Adapun ciri-cirinya, yaitu :
16 1) Tidak bisa memberikan perhatian yang penuh atau melakukan kesalahankesalahan karena ceroboh dalam melakukan pekerjaan atau pelajaran sekolahnya, 2) Mengalami kesulitan untuk terus-menerus terfokus pada pekerjaan sekolah ketika sedang belajar atau tidak kerasan dengan kegiatan bermainnya ketika ia sedang bermain; 3) Tampak tidak memberikan perhatian dan tidak menghormati orang lain ketika sedang berbicara; 4) Tidak bisa megikuti petunjuk atau arahan yang diberikan kepadanya untuk melakukan sebuah pekerjaan dan tugas-tugas sekolahnya (tetapi hal ini bukan dikarenakan ketidakmampuannya untuk memahami atau karena kenakalannya, melainkan disebabkan oleh ia tidak bisa memperhatikan petunjuk tersebut, melainkan pada hal-hal lainnya); 5) Mengalami kesulitan dalam mengorganisasikan/mengatur tugas-tugas dan kegiatan-kegiatannya; 6) Menghindari, tidak menyenangi, dan enggan mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan usaha mental berlarut-larut seperti PR; 7) Menghilangkan berbagai macam barang-barang yang dimilikinya, seperti mainan, 8) Tugas-tugas sekolah, pensil, buku, peralatan, baju, dan seterusnya; Mudah terusik oleh kegaduhan, objek yang bergerak atau rangsanganrangsangan lainnya; 9) Pelupa. Pendapat lain dari Hakim (2003) menjelaskan, jika suatu proses terfokusnya perhatian seorang secara maksimal terjadi secara otomatis serta mudah terhadap suatu objek kegiatan yang dilakukannya karena orang yang bersangkutan mampu menikmati kegiatan yang sedang dilakukannya maka itu dinamakan konsentrasi yang efektif. Prinsip konsentrasi yang efektif dijelaskan oleh Hakim (2003), antara lain : 1) Konsentrasi pada hakekatnya merupakan kemampuan seseorang dalam mengandalikan kemauan, pikiran, dan perasaannya. Dengan kemampuan
17 tersebut,
seseorang akan mampu memfokuskan sebagian besar
perhatiannya pada objek yang dikehendaki, 2) Untuk mengendalikan kemauan, pikiran, dan perasaan agar tercapai konsentrasi yang efektif dan mudah, seseorang harus berusaha menikmati kegiatan yang saat itu sedang dilakukannya, 3) Konsentrasi akan terjadi secara otomatis dan mudah jika seseorang telah menikmati kegiatan yang dilakukannya, 4) Salah satu penunjang pertama dan utama untuk dapat melakukan konsentrasi efektif adalah adanya kemauan yang kuat dan konsisten, 5) Untuk dapat melakukan konsentrasi efektif diperlukan faktor pendukung dari dalam diri orang tersebut (faktor internal) yang meliputi konsisi mental dan fisik yang sehat, 6) Konsentrasi efektif juga baru akan terjadi maksimal jika didukung oleh faktor-faktor yang ada di luar orang tersebut (faktor eksternal), yaitu situasi dan kondisi lingkungan yang menimbulkan rasa aman, nyaman, dan menyenangkan, 7) Salah satu prinsip utama terjadinya konsentrasi efektif adalah jika seseorang dapat menikmati kegiatan yang sedang dilakukannya. Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa ketika anak mampu menikmati pelajaran yang dihadapi dan memperhatikan secara fokus materi tersebut, maka konsentrasi akan terjadi dengan mudah. Makadari itu, anak yang mampu konsentrasi dalam belajarnya, pastilah dia akan mampu memberikan perhatian penuh terhadap apa yang ia kerjakan atau pelajari, mampu memberikan respon yang sesuai terhadap arahan atau perintah yang diberikan guru, tidak mudah terganggu dengan kegaduhan disekitarnya, serta mudah mengingat dan mengulangi apa yang baru saja diajarkan pada waktu pembelajaran. 2. Hakekat Kemampuan Menghafal Al-Qur’an a. Pengertian Menghafal Kata “Menghafal”, berasal dari kata dasar “hafal” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya sudah masuk didalam ingatan dan
18 dapat diucapkan di luar kepala. Kemudian mendapat awalan “me” menjadi “menghafal” yang berarti “usaha untuk meresapkan sesuatu ke dalam pikiran agar selalu ingat, sehingga dapat mengucapkannya kembali di luar kepala dengan tanpa melihat buku atau catatan”. Selain itu, dalam bahasa Arab, menghafal menggunakan terminologi al-Hifzh yang artinya menjaga, memelihara atau menghafalkan, artinya mengulangi apa yang sudah dihafal, supaya tidak mudah hilang hafalannya, meskipun sebelumnya dia sudah hafal. Sedangkan secara istilah, menghafal oleh Baharuddin (2010), diartikan sebagai bentuk penanaman asosiasi kedalam jiwa. Djamarah (2008: 44) juga menjelaskan bahwasanya “Menghafal adalah kemampuan jiwa
untuk
memasukkan
(learning),
menyimpan
(retention),
dan
menimbulkan kembali (remembering) hal-hal yang telah lampau”. Qoyyum
(2009:
12)
juga
berpendapat,
“Menghafal
adalah
menyampaikan ucapan di luar kepala (tanpa melihat teks), mengokohkan dan menguatkannya di dalam dada, sehingga mampu menghadirkan ilmu itu kapan pun di kehendaki”. Jadi, menurut beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa menghafal merupakan sebuah usaha menanamkan sesuatu untuk diingat sehingga dapat menyampaikan ucapan di luar kepala (tanpa melihat teks) yang kemudian mengokohkan dan menguatkannya didalam ingatan, jadi sewaktu-waktu
ketika
membutuhkan
ingatan
tersebut,
kita
dapat
memunculkannya kembali dengan mudah. b. Pengertian Kemampuan Menghafal Al-Qur’an Kaitannya dengan menghafal Al-Qur’an dijelaskan bahwasanya, Al Qur’an adalah kitab umat islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril yang berisi perintah dan larangan yang langsung turun dari Alloh SWT. Hal ini sesuai dengan pendapat Ahsin (2005), yang menjelaskan bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi yag sekaligus rasul Allah yaitu Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril yang periwayatannya dilakukan secara
19 mutawwatir (langsung kepada orang banyak) dan ketika membacanya dihitung sebagai ibadah serta kebenarannya tidak ditolak. Kebenaran dan keaslian Al Qur’an selalu terjaga dari masa ke masa. Penjagaan yang selama ini telah dilakukan adalah dengan cara menghafal dan mengamalkannya, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, sahabat-sahabat Nabi dan oleh banyak muslim di dunia ini. Oleh karena itu, menghafalkan Al-Qur’an dapat diartikan sebagai bentuk penjagaan Alloh SWT melalui umatnya terhadap Al-Qur’an. Oleh karena itu, menghafal Al-Qur’an dapat diartikan sebagai suatu proses menyimpan firman Alloh yang terkumpul dalam Al-Qur’an dengan cara menjaga dan memelihara kemurnian Al-Qur’an diluar kepala (mengingat) dengan baik serta benar sesuai syarat dan tata cara yang telah dicontohkan Rosul beserta para sahabat agar tidak terjadi perubahan dan pemalsuan serta dapat menjaga dari kelupaan, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya sehingga sewaktu-waktu membutuhkan ingatan tersebut, kita dapat memunculkannya kembali dengan mudah. Hal tersebut senada dengan pendapat Nawaz, Syeda, & Jahangir (2015) yang menyatakan bahwa, menghafal Al-Qur'an dengan hati dapat dikatakan sebagai proses encoding, kemudian menyimpannya dan mengambil teks Al-Qur’an dengan cara berlatih dan membacanya secara berulang-ulang. Proses ini melibatkan, pertama pengkodean teks Al-Qur’an dengan
memberi
perhatian,
kemudian
menyimpannya
dengan
mempertahankan informasi yang telah dikodekan dan kemudian mengambil informasi dari toko memori apabila diperlukan. Berkenaan dengan kemampuan, Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa menurut kata dasarnya berasal dari kata mampu yang mendapat imbuhan ke-an yang berarti kesanggupan, kecakapan dan kekuatan untuk melakukan sesuatu. Oleh Mulyasa (2008: 39) disebutkan bahwa, “kemampuan adalah sesuatu yang dimiliki individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya.”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kemampuan menghafal Al-Qur’an merupakan sesuatu
20 kecakapan yang dimiliki individu untuk menyimpan firman Alloh yang terkumpul dalam Al-Qur’an dengan cara menjaga dan memelihara kemurnian Al-Qur’an diluar kepala (mengingat) dengan baik serta benar, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya sehingga sewaktu-waktu membutuhkan ingatan tersebut, dapat memunculkannya kembali dengan mudah. c. Indikator Kemampuan Menghafal Al-Qur’an Podoluhur (Malihah, 2013: 21) menjelaskan, kemampuan menghafal Al-Qur'an seseorang dapat dilihat dari tiga aspek penilaian. Adapun ketiga aspek tersebut, yaitu : 1) Kelancaran Hafalan Al-Qur’an (Tahfidz) Penilaian untuk tahfidz diukur dari kelancaran seseorang dalam melafalkan hafalan Al-Qur’an, kebenaran dalam susunan ayatnya, serta tidak ada ayat yang tertinggal atau terbalik. Maka dari itu, tidak boleh ada satu ayatpun yang tertinggal atau terbalik pada saat melafalkan hafalan. Terkait kegiatan menghafal, oleh Sagala (Sofiah, 2013: 24) dijelaskan, bahwa ingatan yang baik yaiyu ingatan yang dapat dengan mudah memunculkan kembali hafalan apabila diperlukan. 2) Ketepatan tanda baca (Tajwid) Pada
indikator
tajwid,
lebih
dikhususkan
untuk
menilai
kesempurnaan bunyi hafalan yang meliputi, tempat keluarnya huruf (Makharijul kḥuruf), sifat atau keadaan ketika membaca huruf (Shifatul kḥuruf), dan hukum atau kaidah bacaan (Aḥkamul khuruf), serta hukum panjang dan pendeknya bacaan (Aḥkamul Mad Wal Qashr). 3) Kefasihan (Fashahah) Fokus penilaian untuk aspek ini lebih khusus memperhatikan ketepatan menghentikan dan memulai bacaan sesuai dengan dengan hukum bacaannya. Selain itu juga memperhatikan perihal keindahan dalam bacaannya. Menghafal Al-Qur’an perlulah menggunakan kaidah-kaidah ilmu tilawah pada saat melafalkannya. Oleh Bahrudin (2014), didalam
21 penelitiannya dijelaskan, selain aspek tajwid dan fashahah atau kefasihan dalam melafalkan hafalan, ada pula aspek suara dan lagu. Adapun penjabarannya sebagai berikut : 1) Suara Aspek ini memfokuskan penilaiannya pada kejernihan suara, keutuhan suara, kenyaringan suara, dan pengaturan nafas. 2) Lagu Aspek ini lebih fokus pada penilaian dalam hal memulai dan menutup hafalan dengan lagu, jumlah lagu yang dikuasai pada saat melafalkan bacaan, peralihan lagu, dan keutuhan lagu, serta tempo dan irama saat melafalkan ayat. Pendapat lain dari Nawabudin (Hariri, 2011: 32) juga menjelaskan terkait indikator kemampuan menghafal Al-Qur’an yang ditinjau dari kecepatan menghafal Al-Qur’an. Adapun indikatornya meliputi : 1) Kemampuan menghafal minimal 3 nama surat dalam 1 menit 2) Kemampuan menghafal minimal 3 kata (lafadz) dalam 1 menit 3) Kemampuan menghafal minimal 3 ayat pendek dalam 1 menit 4) Kemampuan menghafal minimal 1 ayat sedang dalam 1 menit 5) Kemampuan menghafal minimal 2 kalimat dalam 1 ayat panjang dengan 1 menit 6) Kemampuan mengingat/menjaga hafalan minimal 15 ayat pendek dalam 1 hari 7) Kemampuan mengingat/menjaga hafalan minimal 10 ayat sedang dalam 1 hari 8) Kemampuan mengingat/menjaga hafalan minimal 5 ayat panjang dalam 1 hari Menambahkan untuk indikator kecepatan menghafal Al-Qur’an, oleh Purwanto (2007) dalam penelitiannya, menggunakan cara membagi jumlah hafalan Al-Qur’an dalam satuan juz yang dimiliki subjek penelitian dengan lamanya subjek menghafal Al-Qur’an yang terhitung sejak subjek mengikuti program menghafal Al-Qur’an sampai pelaksanaan tes. Satuan lama dalam
22 penelitian tersebut adalah dalam jam yaitu mengalikan jumlah jam yang digunakan untuk menghafal setiap harinya dengan total bulan kemudian hasilnya dikalikan dengan 30 hari yang dikurangi waktu rata-rata haid. Berdasarkan pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya seseorang dapat dikatakan memiliki kemampuan menghafal Al-Qur’an yang tinggi, apabila dia mampu menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan intensitas waktu yang cepat serta mampu menjaga hafalannya, sehingga sewaktu-waktu hafalannya diperlukan, ingatan akan mudah untuk memunculkannya, serta pada waktu melafalkannya mampu dengan lancar dan benar, baik dari urutan suratnya maupun hukum bacaannya. Akan tetapi dalam penelitian ini, peneliti menggunakan indikator kelancaran hafalan AlQur’an (tahfidz) dari Podoluhur (Malihah, 2013: 21) dengan pertimbangan subjek penelitian adalah anak usia dini yang belum diajarkan materi secara menyuluruh terkait indikator diatas. Jadi, kemampuan menghafal Al-Qur’an pada penelitian diartikan dengan kecakapan seseorang dalam melafalkan hafalan Al-Qur’an secara lancar, serta benar dalam susunan ayatnya, sehingga tidak ada ayat yang tertinggal atau terbalik. d. Keutamaan Menghafal Al-Qur’an Banyak keutamaan yang didapatkan oleh individu yang menghafal Al-Qur’an. Hal ini sesuai pendapat Arifin (2015: 93), yang menyatakan “Memorizing the Qur'an has many virtues”, yang artinya banyak keutamaan atau manfaat dalam menghafal Al-Qur’an. Nawaz, Syeda, & Jahangir (2015) dalam penelitiannya yang menyelidiki efek dari menghafal Al-Qur’an dalam kaitannya dengan prestasi akademik dan kehidupan sosial-budaya para penghafal Al-Qur’an juga menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam prestasi akademik para penghafal Al-Qur’an sebelum dan sesudah menghafalkan AlQur’an. Selain itu, didalam analisisnya juga menunjukkan dampak positif secara keseluruhan pada pendidikan dan kehidupan sosial-budaya para penghafal Al-Qur’an. Oleh Nastiti (2015) dalam penelitianya juga menjelaskan bahwa Tahfidz Al-Qur’an memiliki pengaruh terhadap daya
23 ingat anak usia dini. Penelitiannya menggunakan subjek anak usia dini dengan melihat tingkat daya ingat anak sebelum dan sesudah diberikan treatment berupa kegiatan tahfidz Al-Qur’an. Berdasarkan hasil percobaan tersebut, terdapat sebuah perbedaan yang signifikan terkait daya ingat anak sebelum dan sesudah melakukan tahfidz Al-Qur’an. Lebih lanjut, oleh Arifin (2015) dijabarkan pula dalam penelitiannya, keutamaan atau kebajikan yang diperoleh oleh orang yang menghafal AlQur’an, yaitu : 1) Orang yang menghafal al-Qur'an termasuk sekelompok orang yang memiliki pengetahuan, 2) Menghafal Al-Qur'an dapat menjadi sumber keselamatan di dunia dan akhirat, 3) Orang-orang yang menghafal Al-Qur 'an, mereka akan berada di garis depan atau berada pada kelompok yang pertama dan diutamakan baik di dunia dan akhirat, 4) Menghafal Al-Qur'an akan menaikan status seseorang di surga, 5) Al-Quran akan memberikan berkah dan pertolongan pada hari kiamat bagi mereka yang membaca, menghafal dan mengamalkannya, 6) Orang-orang yang menghafal Al-Qur'an kelak di akherat akan ditempatkan mahkota kehormatan di kepala mereka dan orang tua mereka akan mengenakan pakaian indah yang tidak ada di dunia, 7) Orang-orang yang menghafal Al-Qur'an menikah tanpa Jahez (mahar) karena hafalan yang mereka bacakan merupakan bentuk mahar yang dapat diterima, 8) Membantu dalam menjaga pengetahuan dengan menghafal Al-Qur’an. Orang-orang yang menghafal Al-Qur'an adalah orang-orang yang memuliakan pengetahuan Al-Qur'an dan Allah akan memberikan posisi yang lebih tinggi kepada mereka sebagai ulama, 9) Menghafal Al-Quran akan memperkuat memori, 10) Orang-orang yang menghafal Al-Qur'an bisa dilihat dari moral dan sikap mereka,
24 11) Menghafal Al-Qur'an dapat meluruskan lidah, sehingga dalam berbicara mendapatkan kelancaran, 12) Menghafal Al-Qur'an berarti mengikuti Nabi Muhammad dan ulama Salaf, 13) Menghafal Al-Quran akan memberikan kemudahan bagi semua orang dan orang yang menghafal Al-Qur'an akan diberikan kemudahan untuk mencapai keberhasilan oleh Allah, 14) Orang-orang yang menghafal Al-Qur'an termasuk Ahlullah (keluarga Allah) dan memiliki hak untuk memperoleh kemuliaan Allah, 15) Membuat orang-orang iri akan kemuliaan yang diberikan Alloh dan membuat banyak orang ingin berbuat seperti para penghafal Al-Qur’an, 16) Orang-orang yang menghafal dan mempelajari Al-Quran lebih baik dari perhiasan di dunia dan menjadi orang yang paling banyak banyak pahalanya karena selalu melafalkan Al-Quran setiap saat, 17) Orang-orang yang menghafal Al-Quran tidak akan menemukan kesulitan untuk berbicara, menyampaikan sesuatu, dan belajar karena lidah mereka digunakan untuk membaca Al-Qur'an dan Al-Qur'an selalu dalam hati mereka. Beberapa hasil studi yang sejalan juga menjelaskan terkait hal ini, antara lain penelitian dari Asyhari Abta (Arifin, 2015: 95) dengan tesis yang berjudul “Student’s Motivation and Method at Islamic Boarding School (MA) Ali Maksum Krapyak Yogyakarta in Memorizing Al-Qur'an”. Penelitiannya menjelaskan bahwa siswa yang mengikuti program Tahfidzul Qur’an dapat melakukan kegiatan belajar dengan hasil terbaik, mampu melakukan kegiatan belajar terus menerus berkaitan dengan tuntutan dan kebutuhan. Mereka memiliki jiwa produktif dan dapat mengembangkan diri dan situasi kerja mereka. Hal ini tidak hanya dibuktikan dengan hasil yang dicapai secara optimal dalam setiap pekerjaannya tetapi juga banyak prestasi yang dicapai oleh mereka yang menghafal Al-Qur'an. Penelitian selanjutnya dari Kamal Ahmad Fauzi (Arifin, 2015: 95) yang berjudul “The Policy of the Quality of MA al-Nur Bantul Yogyakarta
25 (the total perspective of quality management)”. Berdasarkan hasil analisanya didapatkan hasil yang menyatakan bahwa pelaksanaan Tahfidz di pembelajaran yang termasuk dalam kurikulum adalah salah satu cara untuk menciptakan generasi yang benar-benar Islam. Berdasarkan penjabaran diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya setiap individu yang melakukan kegiatan menghafal Al-Qur’an, pastilah akan memperoleh keutamaan yang melimpah, baik di dunia maupun di akherat. e. Pendukung dan Penghalang dalam Menghafal Al-Qur’an Menghafal Al-Qur’an bukanlah suatu hal yang bisa dikatakan sulit, akan tetapi juga tidak bisa dikatakan mudah karena banyak faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya seorang individu dalam menghafal AlQur’an. Faktor-faktor tersebut oleh peneliti dikelompokkan menjadi 2, pendukung dan penghalang dalam menghafal Al-Qur’an. 1) Pendukung Arifin (2015) menjelaskan faktor pendukung menghafal Al-Qur’an diantaranya : a) Usia siswa yang masih muda, b) Siswa yang tidak memiliki beban apapun dalam hidup mereka (ada perhatian penuh terhadap kegiatan menghafal Al-Qur’an), c) Asrama atau tempat belajar yang nyaman, d) Perhatian penuh dari mentor atau guru menghafal Al-Qur’an dalam kegiatan sehari-hari siswa. Qasim (2015) juga menjelaskan seorang muslim memerlukan beberapa langkah sebelum memulai menghafal Al-Qur’an. Hal ini dilakukan untuk semakin mempermudah seorang individu dalam menghafal Al-Qur’an. Adapun langkah-langkah tersebut, antara lain : a) Mengikhlaskan niat, b) Selalu berpikir positif bahwa kita bisa menghafal Al-Qur’an, c) Menentukan target hafalan, d) Perkuat motivasi hanya mencari ridho Alloh,
26 e) Manajemen waktu (waktu paling baik untuk menghafal yaitu waktu sahur dan pagi hari), f) Tentukan tempat yang kondusif untuk menghafal, g) Mengambil nafas dalam-dalam karena akan membuat otak lebih berkualitas dalam bekerja, h) Konsentrasi, i) Mengulang-ulang hafalan, j) Melakukan kegiatan menghafal Al-Qur’an secara teratur dan rutin. Lebih lanjut, oleh Qasim (2015) juga dipaparkan beberapa hal yang dapat dijadikan pendukung seorang muslim dalam menghafal Al-Qur’an. Adapun beberapa hal tersebut antara lain : a) Hanya mempergunakan 1 model cetakan mushaf, b) Mendengarkan bacaan seorang syeikh yang mempraktikan tajwid dengan baik, c) Membaca Al-Qur’an dengan menggunakan tartil dan suara yang indah, d) Menghafal Al-Qur’an sekaligus dengan mentadabburi maknanya, e) Membayangkan dan menghubungkan makna-makna ayat dalam pikiran bisa mempermudah mengingat ayat tersebut, f) Konsisten menjalankan amal dan meninggalkan semua kemaksiatan, g) Menghafallah disaat kondisi hati sedang nyaman, h) Konsentrasi pada ayat-ayat Al-Qur’an yang mirip dan membedakan diantaranya. 2) Penghalang Kebalikan dari beberapa poin terkait hal-hal pendukung orang dalam menghafal Al-Qur’an diatas, Qasim (2015) menuturkan ada halhal yang dapat menghalangi seseorang dalam menghafal Al-Qur’an. Halhal tersebut, diantaranya : a) Beralih ke bidang lain Hal tersebut dijelaskan dengan istilah “mencari kompensansi”, yang berarti upaya seseorang untuk menutupi ketidakmampuanya dalam suatu bidang dengan cara meraih sukses dalam satu bidang lain.
27 Ketidak konsentrasian ini yang menjadi penghalang seseorang untuk lebih fokus dalam menghafal Al-Qur’an. b) Mengaku telah hafal Al-Qur’an “menjelma” merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan poin ini dengan arti seseorang yang meminjam atau mengarang sifat positif yang dimiliki orang lain untuk dirinya. c) Melangkah mundur dengan alasan tawadhu’ Hal ini terlihat pada kejadian turunnya semangat seorang murid secara drastis padahal sebelumnya di sangat bersemangat. d) Motivasi dan semangat mandeg Pada taraf ini, seseorang mengalami pengendapan dan kebekuan pikiran sehingga membuat tidak enjoy dengan dirinya sendiri. Hal ini diistilahkan dengan “stagnan”, yaitu berhentinya perkembangan kepribadian saat masih dalam fase pertumbuhan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Umari (Arifin, 2015 : 95) yang berjudul “The Factors influencing the memorization of Al-Qur'an at the Institute of Al-Qur'an Science Jakarta” menjelaskan beberapa faktor penghambat bagi siswa dalam menghafal Al-Qur'an, antara lain : a) Latar belakang pendidikan siswa, kebanyakan dari mereka berasal dari pendidikan umum, kemudian b) Jumlah kredit siswa mempengaruhi waktu mereka untuk menghafal dan memahami Al-Qur'an, dan terakhir c) Latar belakang ekonomi keluarga juga menjadi faktor penting, karena banyak siswa harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan seharihari terlebih dahulu sebelum mereka melakuka kegiatan menghafal Al-Qur’an. Arifin (2015) menambahkan dalam penelitiannya menyebutkan beberapa penghambat seorang siswa dalam menghafal Al-Qur’an. Adapun penghambatnya, sebagai berikut : a) Kemampuan siswa dalam membaca Al Qur'an masih minimal, b) Tidak adanya budaya membaca Al Qur'an diantara siswa,
28 c) Siswa memiliki banyak beban kegiatan, d) Mereka tidak hanya fokus pada program Tahfidzul Qur’an. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat ditelaah bahwa faktor/hal yang dapat menjadi pendukung dan penghalang dalam menghafal Al-Qur’an dapat ditinjau dari beberapa hal, antara latar belakang keluarga, ekonomi, lingkungan sosial, kurikulum pendidikan sekolah, dll. f. Metode Menghafal Al-Qur’an Menurut Anitah (2009: 45), “Metode adalah cara yang digunakan untuk menyampaikan pelajaran”. Pastilah setiap instansi atau setiap bentuk pembelajaran
menggunakan
metode-metode
yang
kaitannya
untuk
mempermudah guru menyampaikan pelajaran. Hal ini sama kaitannya dengan Menghafal Al-Qur’an. Menurut Herry (2013), dalam menghafal alQur’an orang mempunyai metode dan cara yang berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan dan kehendaknya. Adapun menurutnya 3 jenis metode menghafal Al-Qur’an, antara lain : 1) Metode klasik menghafal Al-Qur’an Metode klasik adalah cara yang biasanya digunakan oleh banyak orang. Metode klasik juga dibagi menjadi 3, diantaranya : a) Talqin, yaitu cara pengajaran hafalan yang dilakukan oleh seorang guru dengan cara membaca suatu ayat, lalu ditirukan oleh sang murid secara berulang-ulang hingga menancap di hatinya. b) Talaqqi, yaitu presentasi hafalan sang murid kepada gurunya atau setor hafalan. c) Mu’araḍah, yaitu saling membaca secara bergantian. 2) Metode modern menghafal Al-Qur’an Metode modern adalah cara yang digunakan oleh orang dengan mengikuti perkembanagan jaman, misalnya : a) Mendengarkan kaset murattal melalui tape recorder, walkman, AlQur’an Digital, MP3/4, handphone, komputer, dan sebagainya. AlQur‟an Penghafal (Mushaf Muhaffizh).
29 b) Merekam suara kita dan mengulang-ulanginya dengan bantuan alatalat modern di atas tadi. c) Menggunakan program software d) Membaca buku-buku Quranic Puzzle (semacam teka-teki yang di format untuk menguatkan daya hafalan kita). 3) Metode menghafal menurut Al-Qur’an Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang telah mengisyaratkan tentang metode dan cara menghafal. Metode-metode tersebut, antara lain : a) Talaqqi b) Membaca secara pelan-pelan dan mengikuti bacaan (talqin) c) Merasukkan bacaan dalam batin d) Membaca sedikit demi sedikit dan menyimpannya dalam hati e) Membaca dengan tartil (tajwid) dalam kondisi bugar dan tenang Selain itu, dijelaskan oleh Ahsin (2005) pula beberapa metode menghafal Al-Qur’an, antara lain : 1) Metode Wahdah, yaitu menghafal satu persatu terhadap ayat-ayat yang hendak dihafalnya. 2) Metode Kitabah, yaitu menghafal dengan cara menulis ayat-ayat yang akan dihafalnya pada secarik kertas yang telah disediakan untuknya. 3) Metode Sima’i, yaitu mendengarkan sesuatu bacaan untuk dihafalkannya 4) Metode Gabungan, metode ini merupakan gabungan antara metode wahdah dan metode kitabah sebagai uji coba terhadap ayat-ayat yang telah dihafalnya. 5) Metode Jama’, yakni cara menghafal yang dilakukan dengan secara bersama-sama, dipimpin oleh seorang instruktur.
30 3. Penelitian yang Relevan Berikut ini beberapa penelitian yang relevan sebagai acuan atau referensi oleh peneliti: a. Nada Angger Nastiti (2015) pada skripsinya yang berjudul “Pengaruh Tahfidz Al-Qur’an Terhadap Daya Ingat Anak Di Tk Islam Mardisiwi Pajang Laweyan Surakarta Tahun Ajaran 2014/2015”. Penelitian yang dilaksanakan bertujuan untuk mengetahui bagaimana kegiatan menghafal Al-Qur’an dengan subjek anak usia kelompok B dapat memberikan pengaruh terhadap daya ingat. Hasil penelitian menunjukan bahwa kegiatan tahfidz Al-Qur’an memberikan pengaruh terhadap daya ingat anak kelompok B di TK tempat penelitian tersebut dilaksanakan. Penelitian tersebut memilki persamaaan dengan penelitian yang hendak peneliti laksanakan, yaitu terletak pada subjek penelitian dan topik pembahasan terkait Tahfidzul Al-Qur’an atau menghafal Al-Qur’an. b. Zainal Arifin (2015) dengan judul penelitian “Tahfidzul Qur’an Program at SDIT Fajrul Islam Wiradesa Pekalongan Centre of Java Indonesia”. Penelitian yang dilaksanakan bertujuan untuk meneliti tentang pentingnya Tahfidzul Qur’an, jenjang pelaksanaan Tahfidzul Qur’an di SDIT Fajrul Islam Wiradesa Pekalongan, dan yang terakhir tentang peran Tahfidzul Qur’an dalam pembangunan karakter. Hasil penelitian menunjukan bahwa: pertama, Tahfidzul Qur’an adalah perbuatan yang sangat istimewa dalam Islam. Kedua, SDIT Fajrul Islam Wiradesa, Pekalongan memiliki program Tahfidzul Qur’an dengan target hafalan Al-Qur’annya sampai tiga juz Al Qur'an, untuk contoh, Juz 'Amma (juz 30), Juz 29 dan 28. Ketiga, terkait faktor pendukung program Tahfidzul Qur’an. Adapun faktor-faktornya meliputi: usia siswa yang relatif muda lebih mudah dalam menghafal, siswa muda yang tidak memiliki beban apapun dalam hidup mereka, asrama nyaman, dan adanya perhatian mentor untuk kegiatan sehari-hari siswa. Faktor penghambatnya antara lain: kemampuan siswa dalam membaca Al Qur'an masih minimal, tidak ada
31 budaya membaca Al Qur'an, siswa memiliki banyak beban kegiatan, dan terakhir mereka tidak hanya fokus pada program Tahfidzul Qur’an. Pada penelitian ini, terdapat persamaan dengan penelitian yang hendak peneliti laksanakan. Persamaan tersebut terdapat pada tema pembahasan yaitu Tahfidzul Al-Qur’an atau menghafal Al-Qur’an. c. Peter Tze & Ming Chou (2010) pada penelitiannya yang berjudul “Attention
Drainage
Effect
:
How
Background
Music
Effects
Concentration in Taiwanese College Students ”. Penelitiannya menguji perbedaan hasil belajar siswa yang belajar menggunakan iringan musik hip hop, klasik, dan tidak memakai musik. Penelitian tersebut menunjukan bahwa siswa yang belajar tanpa iringan musik atau dengan keheningan, mendapatkan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan yang memakai iringan musik. Hal ini dikarenakan, pada situasi yang tenang siswa akan berada pada posisi dengan tingkat konsentrasi yang tinggi, sehingga dapat mengoptimalkan daya serap otaknya, sedangkan siswa yang memakai iringan musik, konsentrasi belajarnya akan sangat menurun karena anak lebih terfokus pada alunan musiknya daripada materi pembelajarannya. Penelitian tersebut memilki persamaaan dengan penelitian yang hendak peneliti laksanakan, yaitu terletak pada variabel Independennya, yaitu konsentrasi belajar. d. Amalia
Cahya
Setiyani
(2014)
dalm
skripsinya
berjudul
“Meningkatkan Konsentrasi Belajar Melalui Layanan Bimbingan Kelompok pada Siswa Kelas VI SD Negeri 2 Karangcegak, Kabupaten Purbalingga Tahun Ajaran 2013/2014”. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui upaya dan keberhasilan dalam meningkatkan konsentrasi belajar siswa melalui layanan bimbingan kelompok. Manfaat penelitian ini memperkaya kajian tentang peningkatan konsentrasi belajar siswa melalui layanan bimbingan kelompok.
32 Lebih lanjut, penelitian ini menunjukan hasil bahwa konsentrasi belajar siswa dapat ditingkatkan melalui layanan bimbingan kelompok. Selain itu, dalam penelitiannya, Setiyani (2014) memperoleh kesimpulan yang kemudian dijadikan sebagai bahan saran terhadap pihak sekolah tempat penelitian berlangsung dengan menyatakan bahwa bagi guru mata pelajaran di sekolah, hendaknya dapat lebih memahami bagaimana tingkat konsentrasi belajar para siswa ketika kegiatan belajar berlangsung dan dapat memotivasi siswanya untuk aktif dalam belajar, karena konsentrasi belajar siswa di kelas dapat mempengaruhi kualitas proses pembelajaran dan pemahaman siswa terhadap pelajaran yang kelak akan berpengaruh pada hasil belajar siswa di kelas. Pada penelitian yang hendak peneliti laksanakan memiliki persamaan dengan penelitian yang telah dilaksanakan Amalia Cahya Setiyani. Persamaannya terletak pada variabel independennya, yaitu konsentrasi belajar. B. Kerangka Berpikir Kemampuan menghafal Al-Qur’an sangat dipengaruhi faktor konsentrasi belajar. Akan tetapi, guru kelas menuturkan perbedaan tingkat kemampuan menghafal Al-Qur’an setiap anak tidak tergantung pada tingkat konsentrasi belajar yang dimiliki oleh masing-masing anak pada waktu pembelajaran menghafal Al-Qur’an berlangsung, sehingga untuk anak-anak yang terindikasi memiliki tingkat konsentrasi rendah cenderung tidak dianggap sebagai suatu masalah. Hal ini menunjukan bahwa belum jelasnya peran serta konsentrasi belajar terkait hubungannya dengan kemampuan menghafal Al-Qur’an. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Antara Konsentrasi Belajar Dengan Kemampuan Menghafal Al-Qur’an Pada Anak Kelompok B Di Paud Palma, Banjarsari, Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016” untuk memperjelas hubungan antara kedua variabel. Semakin tinggi konsentrasi belajar yang anak miliki, semakin tinggi pula prestasi belajarnya. Anak yang memiliki konsentrasi belajar tinggi akan mampu
33 memberikan perhatian penuh terhadap apa yang ia kerjakan atau pelajari, mampu memberikan respon yang sesuai terhadap arahan atau perintah yang diberikan guru, tidak mudah terganggu dengan kegaduhan disekitarnya, serta mudah mengingat dan mengulangi apa yang baru saja diajarkan pada waktu pembelajaran. Jadi, dengan bertambahnya konsentrasi belajar anak, akan bertambah pula kemampuan menghafal Al-Qur’annya. Berdasarkan argumentasi diatas, dapat diasumsikan bahwasanya terdapat hubungan antara konsentrasi belajar dengan Kemampuan menghafal Al-Qur’an pada anak kelompok B di PAUD PALMA, Banjarsari, Surakarta. Selain itu, penulis dapat menjabarkan kerangka berpikir diatas melalui bagan yang dapat dilihat sebagai berikut : Konsentrasi Belajar
Kemampuan Menghafal Al-Qur’an
(Variabel Independen)
(Variabel Dependen)
Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir C. Hipotesis Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir di atas, hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada hubungan antara konsentrasi belajar dengan kemampuan menghafal Al-Qur’an pada anak kelompok B di PAUD PALMA, Banjarsari, Surakarta tahun ajaran 2015/2016”.