BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Kajian Tentang Anak Tunalaras a. Pengertian Tunalaras Tunalaras adalah peristilahan secara umum yang diberikan kepada anak yang mengalami hambatan emosional atau kelainan perilaku, sehingga ia mengalami kesulitan dalam menyelaraskan perilakunya dengan norma umum yang berlaku di masyarakat. Istilah tunalaras lebih dikenal masyarakat sebagai anak nakal, Di Indonesia memang telah dipakai istilah resmi “tunalaras”, tetapi istilah ini baru dikenal dalam dunia Pendidikan Luar Biasa (PLB). Para psikiater dan psikolog lebih sering menyebutnya dengan istilah yang juga banyak digunakan adalah penyimpangan atau kelainan perilaku. Tunalaras secara harfiah berasal dari kata : “tuna dan laras”. Tuna artinya kurang sedangkan laras artinya sesuai. Jadi, anak tunalaras berarti anak yang bertingkah laku kurang sesuai dengan lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang terdapat di dalam masyarakat tempat ia berada. Dalam dunia pendidikan luar biasa, anak yang mengalami masalah tingkah laku ini disebut sebagai anak tunalaras yang di dalamnya
terdapat
anak
dengan
gangguan
emosi
(emotional
disturbance) dan anak dengan gangguan perilaku (behavioral disorder). Hal ini sejalan dengan batasan anak tunalaras yang digariskan oleh Departemen Pendidikan Kebudayaan dalam Somantri (1996: 115) mengemukakan yaitu sebagai berikut : Anak yang berumur antara 6 (enam) – 17 (tujuh belas) tahun dengan
karakteristik
bahwa
anak
tersebut
mengalami
gangguan/hambatan emosi dan berkelainan tingkah laku
7
8 sehingga ia kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kauffman dalam Sunardi (1995: 9) berpendapat bahwa, “peyandang tunalaras adalah anak yang secara kronis, dan mencolok berinteraksi dengan lingkunganya dengan cara yang secara sosial tidak dapat diterima atau secara pribadi tidak menyenangkan, tetapi masih dapat diajar untuk bersikap yang secara sosial dapat diterima dan secara pribadi menyenangkan”. Begitu pula Algozzine, Schmid dan Mercer dalam Sunardi (1995: 9) berpendapat bahwa : anak tunalaras adalah anak yang secara kondisi dan terus menerus masih menunjukkann penyimpangan tingkah laku tingkat berat yang mempengaruhi proses belajar, meskipun telah menerima layanan belajar dan bimbingan seperti halnya anak lain. Ketidakmampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain dan gangguan belajarnya tidak disebabkan oleh kelainan fisik, syaraf, atau intelegensi. Delphie (2009: 133), menyatakan bahwa anak dikatakan memiliki hambatan emosional atau kelainan perilaku apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut: 1) tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, pengindraan atau kesehatan; 2) ketidakmampuan menjalin hubungan yang menyenangkan dengan teman dan guru; 3) bertingkah laku tidak pada tempatnya. 4) Mengalami depresi 5) Merasa ketakutan dengan orang lain atau ada permasalahan di sekolah. Berdasarkan
berbagai
definisi
pendapat
yang
telah
dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan emosi dan gangguan tingkah laku serta
9 kurang dapat berinteraksi dengan lingkunganya secara baik, baik di dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat. Sebagian dari anak tunalaras tersebut merasa lingkungannya tidak bisa menerima dikarenakan anak tunalaras memiliki kebiasaan melanggar norma dan nilai kesusilaan maupun sopan santun yang berlaku di kehidupan masyarakat. Sehingga dalam hal ini pemberian penanganan dan pelayanan terhadap anak tunalaras harus diberikan secara tepat agar potensi yang dimiliki anak tunalaras dapat berkembang. b. Karakteristik Anak Tunalaras Secara umum anak tunalaras memiliki beberapa ciri-ciri yang menyimpang dari aturan dan jauh dari perilaku anak normal. Adapun karakteristik
anak
tunalaras
menurut
Delphie
(2009:
133)
mengemukakan bahwa anak tunalaras memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Tidak mampu belajar, tetapi bukan karena faktor intelektual atau kesehatan 2) Tidak dapat berhubungan, baik dengan teman-teman maupun dengan guru-gurunya. 3) Bertingkah laku tidak pada tempatnya 4) Mengalami depresi 5) Merasa ketakutan dengan orang lain atau ada permasalahan di sekolah Wardani (2007: 30) mengemukakan bahwa, karakteristik anak tunalaras ada tiga yaitu: 1) Karakteristik akademik Kelainan perilaku akan mengakibatkan adanya penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibat penyesuaian yang buruk tersebut maka dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: a) Pencapaian hasil belajar yang berada jauh di bawah ratarata. b) Seringkali dikirim ke kepala sekolah untuk tindakan indisipliner.
10 c) Seringkali tidak naik kelas atau bahkan dikeluarkan dari sekolahnya. d) Lebih sering dikirim ke lembaga kesehatan, dengan alasan sakit, perlu istirahat. e) Seringkali membolos sekolah. f) Anggota keluarga terutama orang tua lebih sering mendapat panggilan dari petugas kesehatan atau bagian presensi. g) Orang yang bersangkutan lebih sering berurusan dengan polisi. h) Lebih sering menjalani masa percobaan dari pihak yang berwenang. i) Lebih sering melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran lalu lintas. j) Lebih sering dikirim ke klini bimbingan. 2) Karakteristik sosial/ emosional a) Karakteristik sosial (1) Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain, dengan ciri-ciri: perilaku tidak diterima masyarakat dan biasanya melanggar norma budaya, dan perilaku melanggar aturan keluarga, sekolah, dan rumah tangga. (2) Perilaku tersebut ditandai dengan tindakan agresif, yaitu tidak mengikuti aturan, bersifat mengganggu, mempunyai sikap membangkang atau menentang, dan tidak dapat bekerjasama. (3) Melakukan kejahatan remaja, seperti melanggar hukum. b) Karakteristik emosional (1) Adanya hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, seperti tekanan batin dan rasa cemas. (2) Adanya rasa gelisah seperti, rasa malu, rendah diri, ketakutan, dan sangat sensitive atau perasa. c) Karakteristik fisik/ kesehatan Karakteristik kesehatan/ fisik anak tunalaras ditandai dengan adanya gangguan makan, gangguan tidur, dan gangguan gerakan. Seringkali anak merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan jasmaninya, ia mudah mendapat kecelakaan, merasa cemas terhadap kesehatannya, merasa seolah-olah sakit. Kelainan lain yang berwujud kelainan fisik seperti, gagap, buang air tidak terkendali, sering mengompol dan jorok. Berdasarkan uraian kedua teori yang telah dikemukakan di atas mengenai karakteristik anak tunalaras dapat disimpulkan bahwa anak tunalaras mengalami gangguan emosi dan penyimpanngan tingkah
11 laku dengan ditandai perilaku seperti mengganggu, mempunyai sikap membangkang atau menentang, suka membolos, melanggar peraturan yang terdapat di sekolah dan masyarakat. Dari gangguan tersebut mengakibatkan anak tunalaras tidak diterima oleh keluarganya, masyarakat dan sekolah. Sehingga menjadikan anak tunalaras kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungannya. c. Klasifikasi Tunalaras Secara garis besar anak tunalaras diklasifikasikan sebagai anak yang mengalami gangguan emosi dan tingkah laku yang menyimpang, Kauffman
dalam
Sunardi
(1995:
28)
mengemukakan
bahwa
“klasifikasi untuk anak tunalaras terbagi menjadi dua macam yaitu klasifikasi psikiatris dan klasifikasi behavioristik”, Klasifikasi psikiatris dijelaskan oleh Sunardi (1995: 28) terbagi menjadi dua kelompok : 1) Tingkat ringan atau sedang ditandai dengan penyimpangan perilaku yang ditunjukan melalui konflik emosi dan kecemasan tetapi masih mempunyai hubungan dengan dunia nyata 2) Tingkat berat, terbagi menjadi tiga, yaitu : a) Psychosis merupakan penyimpangan perilaku yang ditandai dengan penyimpangan dari pola-pola perilaku normal dalam berpikir, berbicara, dan bertindak. b) Schizophrenia merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan distorsi berpikir, persepsi tidak normal, dan perilaku atau emosi yang aneh, c) Autism merupakan gangguan jiwa tingkat berat pada masa kanak-kanak, ditandai dengan isolasi diri secara berlebihan, perilaku aneh, keterlambatan perkembangan, biasanya mulai dapat diamati pada usia sebelum 2 ½ tahun. Klasifikasi behavioristik ini berlandaskan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Quay dan kawan–kawannya dalam Sunardi (1995: 33-35) yang memperoleh empat dimensi perilaku menyimpang, yaitu :
12 1) Conduct disorder, juga disebut unsocialized aggression, yaitu ketidakmampuan mengendalikan diri. Ada banyak jenis perilaku yang termasuk dalam dimensi ini, yaitu : berkelahi, pemarah, tidak patuh, merusak milik orang lain, nakal, menentang, menolak arahan, tidak pernah diam, ramai, lekas marah, mencari perhatian, hiperaktif, tidak dapat dipercaya, berbicara kasar, suka iri, suka bertengkar,
tidak
bertanggungjawab,
tidak
memperhatikan,
mencuri, mudah terganggu, mengganggu, menolak kesalahan, kejam, pendendam. 2) Socialized aggression, yaitu berbagai perilaku yang dilakukan secara berkelomppok . beberapa perilaku yang termasuk dimensi ini antara lain bertemu dengan anak-anak jahat, mencuri secara kelompok, setia dengan teman-temannya yang nakal, menjadi anggota gang, keluar rumah sampai larut malam, bolos dari sekolah, lari dari rumah. 3) Anxiety-withdrawal, juga disebut personality problem, yaitu perilaku yang berkaitan dengan kepribadian. Beberapa perilaku yang termasuk dalam dimensi ini antara lain cemas, sangat pemalu, menyendiri, sedih, terlalu sensitif, terlalu perasa, merasa rendah diri, kurang percaya diri, mudah bingung, menyembunyikan diri, sering menangis, sangat tertutup. 4) Immaturity, juga disebut inadequacy, yaitu kelompok perilaku yang menunjukkan sikap kurang dewasa, kurang matang. Perilaku yang termasuk dalam dimensi ini antara lain tidak dapat berkonsentrasi, melamun,
kaku,
pandangan
kosong,
pasif,
kesulitan
memperhatikan, mengantuk, kurang minat, mlempem, kurang berusaha keras, ceroboh.
13 William M. Cruickshank dalam Somantri (1996: 116-117) mengemukakan bahwa mereka yang mengalami penyimpangan perilaku dapat diklasifikasikan ke dalam kategori sebagai berikut: 1) The semi-socialized child Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Keadaan ini terjadi pada anak yang datang dari lingkungan yang menganut normanorma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di dalam masyarakat. Di lingkungan sekolah, kerena perilaku mereka sudah diarahkan oleh kelompoknya, maka sering kali menunjukkan perilaku memberontak karena tidak mau terikat oleh peraturan di luar kelompoknya. Dengan demikian anak selalu
merasakan
ada
masalah
dengan
lingkungan
di
luar
kelompoknya. 2) Children arrested at a primitive level or socialization Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya berhenti pada level atau tingkat yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap sosial dan terlantar dari pendidikan sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya perhatian dari orang tua, yang berakibat pada perilaku anak kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah. 3) Children with minimum socialization capacity Anak pada kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap – sikap sosial. Ini disebabkan karena kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini lebih banyak bersikap apatais dan egois. Berdasarkan berbagai uraian teori yang telah dikemukakan di atas mengenai klasifikasi anak tunalaras dapat disimpulkan bahwa
14 anak tunalaras di klasifikasikan menjadi dua, yaitu klasifikasi psikiatris dan klasifikasi behavioristik. Pada klasifikasi psikiatris terbagi menjadi dua kelompok yaitu tingkat ringan atau sedang dan tingkat berat, sedangkan klasifikasi behavioristik terbagi dalam empat dimensi, yaitu Conduct disorder, Socialized aggression, Anxietywithdrawal, Immaturity. Apabila anak tidak segera ditangani dan tidak segera ada tindakan, maka akan berpengaruh juga pada kegiatan belajar anak tunalaras. d. Penyebab Tunalaras Secara umum bahwa penyebab ketunalarasan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor penyebab internal yaitu faktorfaktor yang langsung berkaitan dengan kondisi individu, seperti keturunan, kondisi fisik dan psikisnya. Sedangkan faktor penyebab eksternal yaitu faktor yang berkaitan di luar individu terutama lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah Effendi (2006: 147) menjelaskan penyebab tunalaras dibagi menjadi tiga periode yaitu: 1) Sebelum lahir Ada dua faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya tunalaras sebelum lahir: a) Faktor ibu Peranan ibu sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan janin yang ada dalam rahimnya. Kegiatan dan keadaan ibu sehari-hari yang berpengaruh terhadap janin antara lain: penyakit, keadaan gizi ibu, keadaan emosi ibu, saataupun pemakaian berbagai obat b) Faktor keturunan Yang dimaksud disini adalah pengaruh sifat-sifat yang diterima anak dari kromosom kedua orang tuanya terhadap perilaku anak setelah lahir. Beberapa perilaku yang dapat memberikan pengaruh yang negatif bagi keturunannya adalah kawin sedarah, seks maniak, alkoholisme, kleptomania, gangguan kepribadian, dll. 2) Saat lahir Hambatan (masalah) dalam proses kelahiran bayi ini disebabkan oleh dua faktor yaitu:
15 a) Faktor ibu Usia ibu pada saat hamil yang tidak tepat dapat menimbulkan resiko pada saat melahirkan seperti ibu yang hamil pada usia yang terlalu muda atau lebih dari 35 tahun. b) Faktor bayi Faktor bayi ini yang dimaksud adalah ketika bayi tersebut lahir dengan tidak normal misalkan bayi sungsang, bayi cacat, atau bayi dengan kepala yang besar. 3) Setelah kelahiran Setelah bayi dilahirkan mulai berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Lingkungan sekitar anak mencakup lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. a) Lingkungan keluarga Beberapa wujud lingkungan keluarga yang tidak menguntungkan disorganisasi rumah, sering cek-cok, teladan yang kurang baik, kurang pembinaan moral dan agama, membantu tumbuh kembangnya kenakalan atau pemerolehan kompetensi sosial yang buruk. b) Lingkungan sekolah Beberapa aspek berkaitan dengan sekolah yang dapat menyebabkan terjadinya ketunalarasan antara lain hubungan sosial guru dan murid yang kurang harmonis, tuntutan kurikulum yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak, hubungan antar teman sebaya yang kurang baik, kurangnya perhatian guru terhadap hal-hal yang bersifat positif dan konstruktif, kurangnya sarana-prasarana pengembangan aktivitas dan kreativitas. c) Lingkungan masyarakat Kurangnya sosialisasi yang tepat merupakan akar dari masalah kekerasan yang ada dalam masyarakat. Berbagai pengaruh baik positif maupun negatif menjadi dampak dari terjunnya anak di lingkungan masyarakat. Kauffman dalam Sunardi (1995: 62) menjelaskan bahwa faktor penyebab ketunalarasan diklasifikasikan menjadi tiga kelompok besar, yaitu faktor keluarga, faktor bilogis, dan faktor sekolah. Selain itu, Jamila (2008: 130) berpendapat bahwa faktor penyebab ketunalarasan antara lain:
16 1) Aspek keluarga dan suasana di rumah, misalnya orang tua bercerai, orang tua terlalu sibuk bekerja hingga mengabaikan anaknya, dan kemiskinan yang menjadikan anak rendah diri. 2) Aspek pergaulan dan suasana di sekolah, misalnya sering diejek karena kekurangan yang ada pada diri anak. Dari berbagai beberapa pendapat di atas mengenai penyebab ketunalarasan, dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab tunalaras disebabkan oleh faktor keturunan, faktor keluarga, faktor biologis, faktor sekolah, dan faktor-faktor lainnya. faktor internal dan eksternal dari lingkungan sekitar menjadi penyebab utama anak tunalaras.
2. Kajian Tentang Prestasi Belajar a. Pengertian Prestasi Belajar Proses belajar yang terjadi terhadap individu merupakan aktivitas yang sangat penting, karena dalam proses belajar siswa belajar dari pengalamannya, membangun pengetahuannya, kemudian memberikan makna pada pengetahuan yang telah di dapatkan. Dengan mengalami sendiri, menemukan sendiri, secara berkelompok, siswa menjadi lebih senang sehingga tumbuhlah minat untuk belajar. Ketika proses belajar sudah dilakukan dengan baik, maka prestasi belajar akan mengalami peningkatan dan siswa akan memiliki motivasi dalam proses belajar. Sejalan dengan pendapat di atas, Qohar dalam Hamdani (2010: 137) berpendapat bahwa “Prestasi sebagai hasil yang telah diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan”. Winkel (1996) dalam Hamdani (2010: 138) mengemukakan bahwa, “Prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Dengan demikian, prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar.”
17 Selain itu, Gunarso dalam Hamdani (2010: 138) berpendapat bahwa, “prestasi belajar adalah usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar. Pendapat lain disampaikan oleh Hamdani (2010: 138) mengemukakan bahwa, prestasi belajar merupakan hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu. Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai siswa dalam penguasaan materi serta pengalamanya yang diperoleh siswa dari proses belajar yang dinyatakan dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menjelaskan hasil yang sudah dicapai oleh anak pada periode tertentu. b. Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar Dalam
prestasi
belajar
banyak
faktor-faktor
yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab terbentuknya prestasi belajar sepanjang proses belajar itu berlangsung. Rusman (2012: 124) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain: 1) Faktor Internal a) Faktor Fisiologis. Secara umum kondisi fisiologis, seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan cacat jasmani dan sebagainya. Hal tersebut dapat mempengaruhi peserta didik dalam menerima materi pelajaran. b) Faktor Psikologis. Setiap indivudu dalam hal ini peserta didik pada dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal ini turut mempengaruhi hasil belajarnya. Beberapa faktor psikologis meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi, kognitif dan daya nalar peserta didik.
18 2) Faktor Eksternal a) Faktor Lingkungan. Faktor lingkungan dapat mempengurhi hasil belajar. Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan alam misalnya suhu, kelembaban dan lain-lain. Belajar pada tengah hari di ruangan yang kurang akan sirkulasi udara akan sangat berpengaruh dan akan sangat berbeda pada pembelajaran pada pagi hari yang kondisinya masih segar dan dengan ruangan yang cukup untuk bernafas lega. b) Faktor Instrumental. Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang direncanakan. Faktor-faktor instrumental ini berupa kurikulum, sarana dan guru. Pendapat lain mengenai faktor yang mempengaruhi prestasi belajar diutarakan Slameto (2010: 54-72) yaitu digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal : 1) Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu, faktor tersebut antara lain : a) Faktor jasmaniah (kesehatan dan cacat tubuh) b) Faktor
psikologis
(intelegensi,
minat,
bakat,
motivasi,
kematangan dan kesiapan) c) Faktor kelelahan 2) Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar individu, faktor tersebut antara lain : a) Faktor keluarga (perhatian orangtua, keadaan ekonomi, suasana rumah, cara orang tua mendidik individu) b) Faktor sekolah (metode mengajar guru, hubungan guru dengan siswa, hubungan siswa dengan siswa, cara penyajian pelajaran, alat-alat pelajaran, kurikulum, keadaan gedung,)
19 c) Faktor masyarakat (pergaulan siswa dalam masyarakat, bentuk kehidupan masyarakat, pergaulan teman)
Berdasarkan kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor penentu prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yang pertama faktor internal dan yang kedua faktor eksternal. Yang termasuk faktor internal adalah faktor psikologis, faktor jasmani, faktor kelelahan, faktor kecerdasan, faktor sikap, faktor minat, faktor bakat, dan faktor motivasi. Sedangkan faktor eksternal meliputi kondisi lingkungan di sekitar siswa, seperti faktor keluarga, faktor sekolah, faktor faktor masyarakat yang menunjang proses belajar mengajar. c. Fungsi Prestasi Belajar Arifin (1991: 3) mengemukakan bahwa, prestasi belajar terasa penting karena memiliki beberapa fungsi, antara lain : 1) Sebagai indikator kualitas dan komunitas pengetahuan yang telah dikuasai murid 2) Prestasi belajar sebagai lambang pemuas hasrat ingin tahu 3) Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan 4) Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan 5) Prestasi belajar dapat dijadikan indikator terhadap daya serap siswa. Berdasarkan pendapat di atas mengenai fungsi prestasi belajar dapat disimpulkan bahwa fungsi prestasi belajar merupakan sebagai indikator dalam pencapaian daya serap peserta didik pada suatu institusi pendidikan. 3. Kajian Tentang IPA untuk Anak Tunalaras a. Pengertian IPA Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehinga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang
20 berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Dikemukakan
Powler
yang
dikutip
Winaputra
dalam
Samatowa (2010: 3) mengemukakan bahwa : IPA merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala alam dan kebendaan yang sistematis yang tersusun secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari hasil observasi dan eksperimen/sistematis (teratur) artinya pengetahuan itu tersusun dalam suatu system, tidak berdiri sendiri, satu dengan yang lainnya saling berkaitan, saling menjelaskan sehingga seluruhnya merupan satu kesatuan yang utuh, sedangkan berlaku umum artinya pengetahuan itu tidak berlaku atau oleh seseorang atau beberapa orang dengan cara eksprementasi yang sama akan memperoleh hasil yang sama atau konsisten. Selanjutnya Winaputra dalam Samatowa (2010: 3) mengemukakan bahwa tidak hanya merupakan kumpulan pengetahuan tentang benda atau mahkluk hidup, tetapi memerlukan kerja, cara berpikir, dan memecahkan masalah. Kesimpulan dari uraiaan diatas adalah ilmu pengetahuan yang : 1. Mempunyai objek. 2. Menggunakan metode ilmiah.” Sementara itu, Samatowa (2010: 3) berpendapat bahwa, Ilmu pengetahuan alam merupakan terjemahan kata-kata dalam bahasa inggris yaitu natural science, artinya ilmu pengetahuan alam (IPA). Berhubungan dengan alam atau bersangkut paut dengan alam, science artinya ilmu pengetahuan. Jadi ilmu pengetahuan alam atau science itu pengertiannya dapat disebut sebagai ilmu tentang alam. Ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa di alam ini. IPA membahas tentang gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis yang didasarkan pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia. Iskandar (2001:15) dalam buku Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam mendefinisikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai berikut, “IPA ialah Ilmu Pengetahuan tentang kejadian-kejadian bersifat
21 bersifat kebendaan dan pada umumnya didasarkan atas hasil observasi, eksperimen, dan induksi”. Berdasarkan berbagai pengertian yang dikemukakan di atas mengenai pengertian IPA dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan Ilmu Pengetahuan Alam yang mempelajari tentang kejadian-kejadian di alam dan kejadian yang bersifat kebendaan dan didasarkan oleh hasil observasi, eksperimen, dan induksi.
b. Fungsi Ilmu Pengetahuan Alam Samatowa (2010: 4) berpendapat bahwa, “IPA berfaedah bagi suatu bangsa, kiranya tidak perlu diperpanjang lebar. Kesejahteraan materil suatu bangsa banyak sekali tergantung kepada kemapuan bangsa itu dalam bidang IPA, sebab IPA merupakan dasar teknologi. Sedangkan
teknologi
disebut-sebut
sebagai
tulang
punggung
pembangunan. Suatu teknologi tidak akan berkembang pesat jika tidak didasari pengetahuan dasar yang memadai. Sedangkan pengetahuan dasar untuk teknologi adalah IPA. IPA melatih anak untuk bepikir kritis dan obyektif”. Agustiana
dan
Tika
(2013:
258)
berpendapat
bahwa,
“pengetahuan alam sekitar penting bagi pebelajar karena IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari guna memenuhi kebutuhan manusia
melalui
pemecahan
berbagai
masalah
yang
dapat
diidentifikasikan”. Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi IPA antara lain memberikan kesempatan peserta didik supaya berpikir kritis dan obyektif didalam pemecahan berbagai masalah.
c.
Materi IPA untuk Anak Tunalaras Bahan kajian IPA di SDLB E tidak berbeda dengan bahan kajian yang terdapat di SD. Untuk kepentingan tersebut, peneliti hanya akan menggunakan bahan kajian yang terdapat di SD yang
22 menurut Sulistyorini (2007:40) ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI berdasarkan KTSP meliputi aspek-aspek sebagai berikut : 1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan serta kesehatan 2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya, meliputi : cair, padat dan gas. 3) Energi dan perubahannya meliputi : gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana 4) Bumi dan alam semesta meliputi : tanah, bumi, tata surya dan benda-benda langit Lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil materi tentang gaya yang terdapat pada ruang lingkup IPA Energi dan perubahannya yang meliputi gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya. Pada IPA kelas IV SDLB E yang sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pada materi yang diberikan sebagaimana yang disajikan dalam tabel 2.1 sebagai berikut :
Tabel 2.1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA kelas IV SDLBE materi gaya.
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
7. Memahami gaya dapat mengubah 7.1 Menyimpulkan hasil percobaan gerak benda
dan/atau
bentuk
suatu
bahwa
gaya
(dorongan
dan
tarikan) dapat mengubah gerak suatu benda.
23 d. IPA Materi Gaya Gaya berdasarkan sumbernya dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu gaya magnet, gaya gravitasi dan gaya gesekan. Berikut ini pengertian gaya : Gaya magnet menurut Yosaphat dkk (2009: 11.32-11.33) “Kita telah mengetahui bahwa sebuah magnet dapat menarik jarum, paku, clips kertas, serbuk besi dan sebagainya. Sebuah magnet berbentuk batang atau ladam (sepatu kuda), mempunyai dua ujung yang disebut kutub-kutub magnet, yang merupakan bagian magnet yang mempunyai pengaruh kemagnetan paling kuat. Jika sebuah magnet digantungkan dengan benang dan bisa bergerak bebas, maka salah satu ujungnya selalu menunjuk ke arah utara dan ujung yang lain menunjuk arah selatan. Ini merupakan asas piranti yang kita kenal dengan kompas.Jarum kompas adalah sebuah magnet yang ditopang pada pusat beratnya sehingga dapat berputar secara bebas.Kutub magnet menunjuk arah utara disebut kutub utara; kutub magnet yang menunjuk arah selatan disebut kutub selatan.Kenyataan yang sudah biasa kita amati bahwa kedua magnet yang saling didekatkan akan melakukan gaya satu sama lain. Gaya tolak akan terjadi jika kutub-kutub yang didekatkan sejenis (kutub utara dengan kutub utara atau kutub selatan dengan kutub selatan). Gaya tarik-menerik akan terjadi jika kutub-kutub yang didekatkan berlawanan jenis (kutub utara dengan kutub selatan).” Gaya gravitasi menurut Yosaphat dkk (2009: 7.43) “Jika melempar bola vertikal ke atas, maka bola itu akan jatuh kembali ke bumi.Gerak benda jatuh dekat permukaan bumi merupakan salah satu contoh yang paling banyak digunakan untuk memahami gerak benda pada percepatan konstan.Gerak benda jatuh telah diselidiki secara eksperimen oleh Galileo Galilei (1564-1642). Hasil eksperimen Galileo dapat diringkas dengan pernyataan bahwa tempat tertentu permukaan bumi dan tanpa adanya hambatan udara, smua benda jatuh dengan percepatan konstan yag sama. Percepatan yang dialami oleh benda-benda yang bergerak jatuh disebut percepatan gravitasi g yang besarnya g = 9,80 m/s2.” Gaya gesekan menurut Yosaphat dkk (2009: 7.58) “Dalam kenyataan tidak ada permukaan yang licin sempurna. Jika benda meluncur pada permukaan kasar, maka antara beda dan permukaan terdapat gesekan luncur yang disebut gesekan kinetik.
24 Marilah kita perhatikan sebuah meja yang diam pada lantai, dalam keadaan semacam ini tidak ada gaya gesekan antara meja dan lantai. Kemudian kita dorong meja dengan gaya horizontal sejajar lantai dan meja itu belum bergerak. Menurut hukum Newton terdapat gaya lain sehingga gaya newton yang bekerja pada meja itu adalah nol. Dalam keadaan semacam ini antara meja dan lantai bekerja gaya gesekan yang disebut gaya gesekan statik jika gaya dorong yang kita berikan diperbesar, maka gaya gesekan statik ini akan semakin besar.” Menurut pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa gaya berdasarkan sumbernya di kelompokkan menjadi tiga, gaya magnet, gaya gravitasi, gaya gesekan. Gaya merupakan salah satu besaran yang dapat diukur dan dapat dinyatakan dengan angka. Gaya yang bekerja pada benda mempengaruhi keadaan benda tersebut. Gaya dapat mengubah bentuk dan gaya dapat mengubah arah gerak.
4. Kajian Tentang Model Pembelajaran Berbasis Masalah a. Pengertian Model Pembelajaran Model pembelajaran memiliki arti yang sama dengan pendekatan, strategi, atau metode pembelajaran, mulai dari model pembelajaran yang sangat sederhana sampai model pembelajaran yang
rumit.
Dalam
proses
pembelajaran
guru
harus
bisa
menyesuaikan model pembelajaran yang dilaksanakan didalam kelas, Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman guru terhadap pendekatan, model, strategi, metode dan teknik pembelajaran tidak boleh diabaikan, sehingga prestasi belajar yang diharapkan dapat tercapai dengan baik terhadap materi pelajaran yang disampaikan. Pembelajaran merupakan proses belajar yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Sugandi (2004) dalam Hamdani (2010: 23) mendiskripsikan, “Pembelajaran sebagai pemberian kebebasan kepada siswa untuk memilih bahan pelajaran dan cara mempelajarinya sesuai dengan minat dan kemampuannya.”
25 Untuk tercapainya tujuan pembelajaran yang baik diperlukan pendekatan pembelajaran yang digunakan guru untuk proses pembelajaran. Brady (1985) dalam Aunurrahman (2013: 146) menjelaskan bahwa, “model pembelajaran dapat diartikan sebagai blueprint yang dapat
dipergunakan
untuk
membimbing
guru
di
dalam
bahwa
model
mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran”. Aunurrahman
(2013:
146)
menjelaskan
pembelajaran adalah kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para guru untuk merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Berdasarkan
berbagai
uraian
pendapat
di
atas
dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan kerangka yang berisi tentang prosedur yang sistematik yang digunakan sebagai pedoman dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran di kelas.
b. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah Model pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran
yang
menekankan
untuk
membantu
siswa
mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah dan keterampilan intelektual, serta belajar melalui pengalaman nyata atau simulasi. Tujuan utama dari pembelajaran berbasis masalah ini adalah untuk menggali daya kreativitas siswa dalam berpikir dan memotivasi siswa untuk melakukan belajar secara menerus. Wina Sanjaya dalam Suyadi (2013: 129) menjelaskan, “Pembelajaran Berbasis Masalah dipopulerkan pertama kali oleh Barrows dan Tamblyn (1980) pada akhir abad ke 20. Pada awalnya, Pembelajaran Berbasis Masalah dikembangkan dalam dunia pendidikan kedokteran. Akan tetapi, saat
26 ini Pembelajaran Berbasis Masalah telah dipakai secara luas pada semua jenjang pendidikan. Beberapa pendapat menjelaskan mengenai pengertian dari model Pembelajaran Berbasis Masalah, dijabarkan sebagai berikut : Sujarwo (2011: 151) menyatakan bahwa, “Pembelajaran Berbasis Masalah adalah pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara langsung dalam suatu mata kuliah atau mata pelajaran yang memerlukan praktik”. Pannen dkk, dalam Sujarwo (2011: 151) “Pembelajaran Berbasis Masalah adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berlandaskan
pada
paradigma
konstruktivisme
yang
sangat
mementingkan peserta didik dan berorientasi pada proses belajar peserta didik (Student Centered Learning)”.
Beberapa kedua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa model Pembelajaran Berbasis Masalah adalah model pembelajaran yang memiliki ciri penggunaan masalah nyata sebagai modal peserta didik dalam mempelajari cara berpikir kritis serta keterampilan untuk memecahkan masalah.
c. Langkah-Langkah Pembelajaran Berbasis Masalah Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan salah satu model pembelajaran
yang
menekankan
untuk
membantu
siswa
mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah dan keterampilan intelektual, serta belajar melalui pengalaman nyata atau simulasi. Tujuan utama dari pembelajaran berbasis masalah ini adalah untuk menggali daya kreativitas siswa dalam berpikir dan memotivasi siswa untuk melakukan belajar secara menerus. Hamruni (2009) dalam Suyadi (2013: 137) menyatakan bahwa terdapat enam langkah untuk dapat menerapkan strategi pembelajaran berbasis masalah ini :
27 1) Menyadari Masalah 2) Merumuskan Masalah 3) Merumuskan Hipotesis 4) Mengumpulkan Data 5) Menguji Hipotesis 6) Menentukan pilihan penyelesaian 7) Variasi pengembangan problem based learning bemuatan karakter.
Langkah-langkah penerapan model Pembelajaran Berbasis Masalah, Gardner (2003) dalam Sujarwo (2011: 158) menjelaskan bahwa, tahapan-tahapan dalam pembelajaran Problem Based Learning antara lain : 1) Menyelidiki kejadian-kejadian 2) Membuat daftar apa yang akan diketahui 3) Mengembangkan dan menulis pernyataan masalah dengan katakata sendiri 4) Membuat daftar solusi yang mungkin 5) Membuat daftar apa yang seharusnya dikerjakan 6) Membuat daftar apa saja yang perlu diketahui 7) Menulis solusi yang mendukung dokumentasi 8) Meninjau kembali penampilan/kinerja 9) Melaksanakan tugas
Pembalajaran Berbasis Masalah terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dari pendidik memperkenalkan peserta didik dengan satu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja peserta didik. Secara singkat kelima tahapan pembelajaran berbasis masalah adalah seperti pada tabel 2.2 berikut ini :
28 Tabel 2.2. Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah Tahap
Tingkah Laku Pendidik
Tahap 1
Pendidik
menjelaskan
Orientasi dan mengorganisasi peserta pembelajaran, didik pada masalah
tujuan
menjelaskan
logistik
yang dibutuhkan, memotivasi peserta didik terlibat pada aktivitas pemecahan masalah
yang
dipilihnya.
Pendidik
mendiskusikan rubric asesmen yang akan
digunakan
dalam
menilai
kegiatan/hasil karya peserta didik. Tahap 2
Pendidik
membantu
peserta
didik
Penyajian dan identifikasi masalah
mendefinisikandan mengorganisasikan tugasbelajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap 3
Pendidik
mendorong
peserta
didik
Pengumpulan dan analisis data
untuk mengumpulkan informasi yang sesuai melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap 4 Merencanakan
Pendidik membantu peserta didik dalam dan
alternatif
menerapkan merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temanya.
Tahap 5 Merumuskan
Pendidik membantu peserta didik untuk dan
menetapkan mengevaluasi
terhadap
penyelidikan
pemecahan masalah serta tindak mereka,sehingga menetapkan alternatif lanjut
pemecahan masalah.
29 Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah yaitu terdiri dari identifikasi masalah, mengumpulkan data, analisis data, menghasilkan pemecahan masalah, memilih cara pemecahan masalah, merencanakan penerapan dan pemecahan masalah, merumuskan alternatif pemecahan masalah dan menetapkan pemecahan masalah serta menentukan tindak lanjutnya.
d. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Dalam penggunaan model Pembelajaran Berbasis Masalah Suyadi (2013: 142-143) mengemukakan terdapat kelebihan dan kekurangan. Setiap strategi pembelajaran memiliki kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan Problem Based Learning antara lain : 1) Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran. 2) Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan peserta didik, sehingga memberikan keleluasaan untuk menentukan pengetahuan baru bagi peserta didik. 3) Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran peserta didik. 4) Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. 5) Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan barunya, dan bertanggung jwab dalam pembelajaran yang dilakukan. 6) Peserta didik mampu memecahkan masalah dengan suasana pembelajaran yang aktif dan menyenangkan.
30 7) Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan peerta didik untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka guna beradaptasi dengan pengetahuan baru. 8) Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengaplikasikan pengetahuanyang mereka miliki dalam dunia nyata. 9) PBM
dapat
mengembangkan
minat
peserta
didik
untuk
mengembangkan konsep belajar secara terus-menerus, karena dalam parksisnya, masalah tidak akan pernah selesai. Artinya, ketika satu masalahselesai diatasi, masalah lainmuncul dan membutuhkan penyelesaian secepatnya. Adapun kekurangan dalam model Pembelajaran Berbasis Masalah adalah: 1) Ketika peserta didik tidak memiliki minat tinggi, atau tidak mempunyai
kepercayaan
diri
bahwa
dirinya
mampu
menyelesaikan masalah yang dipelajari, maka mereka cenderung enggan untuk mencoba karena takut salah. 2) Tanpa
pemahaman
“mengapa
mereka
berusaha”
untuk
memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari. Artinya, perlu dijelaskan manfaat menyelesaikan masalah yang dibahas pada peserta didik. 3) Proses pelaksanaan PBL membutuhkan waktu yang lebih lama atau panjang. Itu pun belum cukup, karena sering kali peserta didik masih memerlukan waktu tambahan untuk menyelesaikan persoalan yang diberikan. Padahal, waktu pelaksanaan PBL harus disesuaikan dengan beban kurikulum yang ada.
31 B. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir dalam penelitian yang akan dilaksanakan peneliti dalam penelitian ini, dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :
Pembelajaran IPA materi Gaya siswa tunalaras kelas IV di SLB E Bhina Putera Surakarta
Belum menerapkan model Pembelajaran Berbasis Masalah
Prestasi belajar IPA kelas IV siswa tunalaras di SLB E Bhina Putera Surakarta materi Gaya masih rendah
Penggunaan model Pembelajaran Berbasis Masalah
Prestasi belajar IPA kelas IV siswa tunalaras di SLB E Bhina Putera Surakarta materi Gaya meningkat Gambar 2.1 Kerangka Berpikir.
32 C. Hipotesis Purwanto dan Sulistyastuti (2007: 137) mengemukakan bahwa “Hipotesis merupakan pernyataan sementara masalah penelitian yang kebenarannya belum tentu benar sehingga harus diuji secara empiris”. Sugiyono (2011: 64) mengemukakan bahwa “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan”. Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah penggunaan model pembelajaran berbasis masalah berpengaruh dalam meningkatkan prestasi belajar pada mata pelajaran IPA materi gaya bagi siswa tunalaras kelas IV SLB E Bhina Putera Surakarta tahun ajaran 2015/2016.