BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Model Discovery Learning a. Pengertian Model Discovery Learning Model discovery learning diartikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi ketika siswa tidak disajikan informasi secara langsung tetapi siswa dituntut untuk mengorganisasikan pemahaman mengenai informasi tersebut secara mandiri. Model pembelajaran discovery learning mengacu pada teori pembelajaran dari Jerome Bruner yang menyatakan bahwa: “Discovery learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self”. Ide dari Bruner didasarkan pada pendapat Piaget yang menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran, siswa harus berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran di kelas (Dahar, 2006). Veermans (2002) menjelaskan bahwa discovery learning dapat mengkonstruk sendiri pemahaman siswa materi dan informasi. Discovery learning juga sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi untuk memperoleh referensi dalam mencari semua hal yang berkaitan dengan deskripsi fenomena yang ditampilkan oleh guru. Wenning (2010) menyatakan bahwa siswa mengembangkan konsep yang dipelajari berasaskan pengalaman yang dialami untuk membangun sendiri konsep tersebut berdasarkan kemampuan berpikirnya. Belajar penemuan mendeskripsikan fenomena yang terjadi tetapi tidak menjelaskan fenomena tersebut. Langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengembangkan konsep siswa antara lain: (1) Guru menampilkan fenomena yang terkait dengan materi yang dipelajari untuk menarik perhatian siswa; (2) Guru bertanya kepada siswa untuk mendeskripsikan fenomena yang telah ditampilkan oleh guru. Siswa hanya mendeskripsikan fenomena tersebut dan bukan menjelaskanya; (3) Guru mendorong siswa untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan peristiwa lain yang sejalan
6
7
dengan dengan fenomena yang ditampilkan oleh guru; (4) Guru meminta siswa untuk berdiskusi mengenai ide dan gagasan, mengidentifikasi hubungan, menyimpulkan dan mengembangkan pengetahuan yang diperoleh; (5) Guru sewajarnya memberikan istilah yang sesuai dengan fenomena yang telah dipelajari untuk mengembangkan konsep tersebut.
b. Karakteristik Model Discovery Learning Menurut Sanjaya (2006) karakteristik belajar dengan menemukan meliputi: (1) Strategi belajar penemuan menekankan pada aktivitas siswa untuk mencari dan menemukan sendiri informasi. Guru hanya bertugas sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran; (2) Strategi belajar penemuan mengarahkan siswa untuk mencari dan menemukan sendiri informasi yang telah dipertanyakan sebelumnya. Siswa diharapkan memiliki sikap percaya diri (self belief). Guru bertugas sebagai motivator dalam proses pembelajaran; (3) Tujuan dari penggunaan model pembelajaran discovery learning adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa secara sistematis,logis dan kritis, dengan kata lain ialah mengembangkan kemampuan intelektual melalui proses mental. Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang manusia bermakna apabila didasari oleh keingintahuan. Strategi belajar penemuan didasari dan dikembangkan dari rasa ingin tahu siswa. Strategi belajar penemuan bukan hanya menuntut siswa untuk menguasai materi pelajaran, tetapi siswa dituntut untuk mengunakan segenap potensi yang dimilikinya (Dahar, 2006). Menurut Kosasih (2015) model pembelajaran discovery learning mendorong siswa untuk berpikir kreatif dan kritis. Guru memiliki tugas menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan kognitif dan kreativitas siswa. Peranan guru sebagai motivator, fasilitator dan manajer pembelajaran bagi siswa: (1) Motivator, yaitu mendorong siswa untuk berpikir keras dan bekerja keras agar bisa belajar dengan sungguh-sungguh. Guru meyakinkan dan menumbuhkan sikap percaya diri siswa agar siswa yakin dan mampu menemukan sesuatu yang bermanfaat; (2) Fasilitator,
8
yaitu guru menyediakan sumber belajar berupa media pembelajaran dan lingkungan belajar yang optimal yang diperlukan siswa untuk mewujudkan penemuanpenemuanya; (3) Manajer pembelajaran,yakni guru meneliti keadaan siswa dan menentukan rencana pembelajaran yang sesuai untuk dilakukan sehingga kegiatan pembelajaran berlangsung efektif.
c. Teori Pembelajaran yang Mendukung Discovery Learning 1) Teori Belajar John Dewey Dewey menjelaskan pembelajaran sebagai tindakan di mana pengetahuan dan ide-ide muncul dalam diri siswa di lingkungan yang membangun pengetahuan mereka dengan menerapkan kesimpulan dari pengalaman masa lalu yang dimiliki. Dewey percaya bahwa anak-anak secara alami termotivasi untuk aktif belajar dan perkembangan mental dicapai melalui interaksi sosial. Dewey melihat anak-anak sebagai peserta dalam pembelajaran yang mana mereka bukan hanya sebagai penerima pembelajaran tetapi anak-anak adalah peserta didik yang berpartisipasi aktif untuk bekerja sama dengan orang lain sehingga lebih memahami situasi yang bermakna. Teori belajar John Dewey menganggap bahwa membangun pengetahuan diperoleh dari pengalaman masa lalu. Model discovery learning merupakan model pembelajaran yang menekankan proses pencarian informasi dengan menemukan melalui proses-proses pengalaman (Dahar, 2006) 2) Teori Belajar Penemuan Bruner Buku bruner tentang The Process of Education yang diterbitkan pada 1960 merupakan rangkuman hasil konferensi Woods Hole yang diadakan pada tahun 1959. Teori belajar penemuan Bruner merupakan dasar dari model discovery learning. Bruner memusatkan perhatianya pada masalah apa yang dilakukan manusia dengan informasi yang diterima dan apa yang dilakukan terhadap atau sesudah menerima informasi tersebut untuk mencapai pemahaman yang dapat memberikan kemampuan padanya atau menunjang kemampuanya. Pendekatan Bruner didasarkan pada dua
9
asumsi. Asumsi yang pertama adalah pemereolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Bruner meyakini bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan lingkunganya secara aktif, perubahan bukan hanya terjadi pada lingkungan tetapi pada
dirinya
sendiri.
Asumsi
yang kedua
adalah
orang mengkonstruksi
pengetahuanya dengan cara menghubungkan informasi yang baru didapat dengan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Bruner memandang belajar sebagai konseptualisme instrumental. Pandangan ini berpusat pada dua prinsip, yaitu: (1) pengetahuan seseorang tentang alam didasarkan pada model-model tentang pengetahuan yang dibangunya; (2) model-model tersebut pada awalnya diadopsi untuk kemudian diadaptasi. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dengan berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Tujuan belajar dengan cara penemuan ialah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih kemampuan intelektual siswa, merangsang keingintahuan dan memotivasi kemampuan siswa. Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi aktif dengan konsep dan prinsip-prinsip untuk memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen untuk menemukan konsep itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan. Kebaikan tersebut antara lain: (1) pengetahuan tersebut bertahan lama dan lebih mudah diingat bila dibandingkan pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara lain; (2) hasil belajar penemuan memiliki efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainya; (3) belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas (Dahar, 2006). 3) Teori Belajar Bermakna Ausubel Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan pengetahuan atau informasi yang disajikan
10
kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi yang kedua menyangkut cara siswa mengaitkan informasi yang baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Bagi ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkanya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Model discovery learning menekankan penemuan pada informasi yang disajikan seperti pada dimensi pertama dan membantu siswa dalam rangka mengaitkan informasi yang baru dengan pengetahuan yang dimiliki. Belajar bermakna memiliki prasyarat. Prasyarat-prasyarat belajar bermakna antara lain: (a) materi yang dipelajari harus bermakna secara potensial; (b) siswa yang belajar harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna. Tujuan siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna. Menurut Ausubel, ada tiga kebaikan belajar bermakna, yaitu: (1) informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat; (2) informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsume-subsumer; (3) informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif meninggalkan efek residual pada subsume sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah terjadi “lupa” (Dahar, 2006). 4) Teory Belajar Piaget Piaget dalam In To Understand is to Invent (1973)
menulis bahwa
pemahaman berasal dari penemuan (discovery) dimana tanpa memahami proses dan kreativitas pada individu, yang didapat hanya pengulangan. Jerome Bruner mendasarkan model discovery learning pada pendapat Piaget bahwa pemehaman berasal dari penemuan. Piaget mengemukakan bahwa anak-anak tidak berpikir dengan logika yang sama seperti orang dewasa. Menurut piaget, setiap individu mengalami tingkattingkat perkrmbangan intelektual sebagai berikut: (1) sensori motor; (2) praoperasional; (3) operasional konkret; (4) operasional formal. Menurut piaget, ada lima faktor yang mempengaruhi transisi tingkat perkembangan intelektual: (1) kedewasaan; (2) pengalaman fisik; (3) pengalaman logika-matematis; (4) transmisi
11
sosial; (5) proses keseimbangan (Dahar, 2006). 5) Teori Belajar Konstruktivistik Vigotsky Vygotsky berpendapat bahwa fungsi-fungsi psikologi yang lebih tinggi seperti logical memory, voluntary action dan pembentukan konsep merupakan proses internalisasi. Dua konsep penting dalam teori Vygotsky yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Guru memberikan bantuan kepada siswa berupa berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. Siswa mengalami masalah berupa ZPD dan guru memberikan bantuan berupa scaffolding, bantuan yang diberikan oleh guru dapat berupa model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Model discovery learning diharapkan mampu menjadi model yang mampu memberikan bantuan kepada siswa untuk mencapai tingkat perkembangan yang sesungguhnya (Dahar, 2006).
d. Langkah-langkah Pembelajaran dalam Model Discovery Learning
12
Menurut Veerman (2003) langkah-langkah pembelajaran dalam model discovery learning antara lain Orientation, Hypothesis Generation, Hypothesis Testing, Conclusion Dan Regulation. Orientation Guru memberikan fenomena yang terkait dengan materi yang diajarkan untuk memfokuskan siswa pada permasalahan yang dipelajari. Fenomena yang ditampilkan oleh guru membuat guru mengetahui kemampuan awal siswa. Tahap orientation melibatkan siswa untuk membaca pengantar dan atau informasi latar belakang, mengidentifikasi masalah dalam fenomena, menghubungkan fenomena dengan pengetahuan yang didapat sebelumnya. Sintaks orientation melatihkan kemampuan interpretasi, analisis dan evaluasi pada aspek kemampuan berpikir kritis. Produk dari tahapan orientation dapat digunakan untuk tahapan yang lainya terutama tahapan hypothesis generation dan conclusion. Hypothesis Generation Informasi mengenai fenomena yang didapatkan pada tahapan orientation digunakan pada tahapan hypothesis generation. Tahapan hypothesis generation membuat siswa merumuskan hipotesis terkait permasalahan. Siswa merumuskan masalah dan mencari tujuan dari proses pembelajaran. Sintaks hypothesis generation melatihkan kemampuan interpretasi, analisis, evaluasi dan inferensi. Masalah yang telah dirumuskan diuji pada tahapan hypothesis testing. Hypothesis Testing Hipothesis yang dihasilkan pada tahapan hypothesis generation tidak dijamin kebenaranya. Pembuktian terhadap hipotesis yang dibuat oleh siswa dibuktikan pada tahapan hypothesis testing. Tahapan pengujian hipotesis siswa harus merancang dan melaksanakan eksperimen untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan, mengumpulkan data dan mengkomunikasikan hasil dari eksperimen. Sintaks hypothesis testing melatihkan kemampuan regulasi diri, evaluasi, analisis, interpretasi dan penjelasan. Conclusion
13
Kegiatan siswa pada tahapan conclusion adalah meninjau hipotesis yang telah dirumuskan dengan fakta-fakta yang telah diperoleh dari pengujian hipotesis. Siswa memutuskan fakta-fakta hasil pengujian hipotesis apakah sesuai dengan hipotesis yang telah dirumuskan atau siswa mengidentifikasi ketidaksesuaian antara hipotesis dengan fakta yang diperoleh dari pengujian hipotesis. Tahapan conclusion membuat siswa merevisi hipotesis atau mengganti hipotesis dengan hipotesis yang baru. Sintaks conclusion melatihkan kemampuan menyimpulkan, analisis, interpretasi, evaluasi dan penjelasan Regulation Tahapan regulation berkaitan dengan proses perencanaan, monitoring dan evaluasi. Perencanaan melibatkan proses menentukan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Monitoring merupakan sebuah proses untuk mengetahui kebenaran langkahlangkah dan tindakan yang diambil oleh siswa terkait waktu pelaksanaan dan hasil berdasarkan
perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Guru mengkonfirmasi
kesimpulan dan mengklarifikasi hasil-hasil yang tidak sesuai untuk menemukan konsep sebagai produk dari proses pembelajaran. Sintaks regulation melatihkan kemampuan
evaluasi,
regulasi
diri,
analisis,
penjelasan,
interpretasi
dan
menyimpulkan.
Tabel 1. Sintaks Model Discovery Learning Tahap Pembelajaran Tahap 1 : Orientation
Tahap 2 : Hypothesis generation Tahap 3 : Hypothesis testing
Tahap 4 :
Kegiatan Guru Menyajikan fenomena, media atau masalah Meminta siswa merumuskan Permasalahan Meminta siswa merumuskan Hipotesis
Kegiatan Siswa Mengamati fenomena, media atau masalah. Merumuskan masalah
Meminta siswa dalam menguji hipotesis Mengarahkan pengumpulan Data Menerima kesimpulan
Merancang penemuan Mengumpulkan data
Merumuskan hipotesis
Membuat kesimpulan
14
Conclusion Tahap 5 : Regulation
berdasarkan uji hipotesis Mengevaluasi dan Generalisasi
Mengevaluasi dan generalisasi
(Sumber : Veermans,2003) e. Kelebihan dan Kekurangan Model Discovery Learning 1) Kelebihan Model Discovery Learning Model discovery learning
memiliki kelebihan-kelebihan. Kelebihan-
kelebihan model pembelajaran discovery learning antara lain: (1) Strategi pembelajaran penemuan merupakan strategi pembelajaran yang menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran melalui strategi belajar penemuan dianggap lebih bermakna; (2) Strategi belajar penemuan dapat mengakomodasi semua gaya belajar siswa; (3) Strategi belajar penemuan merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yaitu belajar adalah proses perubahan tingkah laku karena adanya pengalaman; (4) Siswa yang memiliki kemampuan belajar diatas rata-rata tidak terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar (Sanjaya, 2006). Pendapat lain dari Markaban (2008) menjelaskan bahwa kelebihan dari Model Pembelajaran discovery learning adalah sebagai berikut: (1) Siswa berpartisipasi aktif selama proses pembelajaran; (2) Pembelajaran penemuan menumbuhkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah; (3) Pembelajaran penemuan memberikan wahana untuk berkomunikasi dan berinteraksi antara siswa dengan siswa, maupun siswa dengan guru; (4) Materi yang dipelajari dapat bermakna karena siswa dilibatkan dalam proses menemukanya.
2) Kekurangan Model Discovery Learning Model pembelajaran discovery learning memiliki kekurangan-kekurangan. Kekurangan-kekurangan model pembelajaran discovery learning antara lain: (1) Kegiatan dan keberhasilan siswa sulit dikontrol oleh guru; (2) Perencanaan pembelajaran sulit untuk dibuat karena terbentur dengan gaya belajar siswa; (3)
15
Strategi belajar penemuan memerlukan waktu yang panjang sehingga guru sering sulit menyesuaikanya denga waktu yang telah ditentukan; (4) Strategi belajar penemuan sulit diimplementasikan oleh setiap guru ketika kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi(Sanjaya, 2006). Pendapat lain dari Markaban (2008) menjelaskan bahwa kelemahan dari Model discovery learning adalah sebagai berikut: (1) Model discovery learning kurang sesuai dengan semua materi karena untuk materi tertentu membutuhkan waktu yang lebih lama; (2) Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan model discovery learning, beberapa siswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah.
2. Kemampuan Berpikir Kritis a. Pengertian Kemampuan Berpikir Kritis. Menurut Kurfiss (1988) kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan untuk menyelidiki dan memeriksa situasi, fenomena, pertanyaan atau masalah untuk menemukan hipotesis atau kesimpulan dari segala informasi yang ada yang bertujuan untuk menemukan suatu pembenaran secara meyakinkan. Hasil dari berpikir kritis mengacu pada pembenaran (justifikasi) dan kesimpulan (hipotesis). Ennis (1962) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir secara beralasan dan reflektif yang bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal sehingga bisa dipercayai dan atau dilakukan. Menurut Ennis, tiga kemampuan berpikir menurut taksonomi bloom yaitu menganalisis, mencipta dan mengevaluasi merupakan ranah dari berpikir kritis. Berpikir kritis menurut Facione (2013) merupakan proses disiplin secara aktif dengan pengamatan, menganalisis, mensintesis, menyimpulkan,mengevaluasi dan mengkomunikasikan informasi yang diperoleh secara jelas, tepat, presisi, konsisten dan relevan dengan tujuan yang hendak dicapai. Fischer (2001) mengemukakan pendapat lain yang menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan tindakan berpikir secara menyeluruh terhadap suatu fenomena atau masalah yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan atau memecahkan
16
masalah. Berdasarkan pendapat para ahli maka kemampuan berpikir kritis dapat diartikan sebagai kemampuan menganalisis dan mencari solusi terbaik melalui pemikiran mendalam terhadap suatu permasalahan.
b. Aspek dan Indikator Kemampuan Berpikir Kritis. Proses pembelajaran yang menarik dan efektif sangatlah penting dalam upaya mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis memiliki sejumlah hal yang menjadi bagian-bagian dari keterampilanya. Aspek-aspek tersebut menjadi pembeda dari setiap proses pembelajaran yang berlangsung. Aspek kemampuan berpikir kritis menurut Facione (2013) dijelaskan pada Tabel 2.
Tabel 2. Aspek Kemampuan Berpikir Kritis Menurut Facione (2013) Keterampilan Interpretasi
Analisis
Kesimpulan
Evaluasi
Deskripsi Menurut Kesepakatan Para Ahli Kemampuan untuk memahami dan menjelaskan makna dari pengalaman yang dilalui, situasi, data, kejadian,penilaian, kaidah-kaidah, aturan,prosedur atau kriteria. Kemampuan untuk menganalisis masalah antara pernyataan, pertanyaan, deskripsi, atau hubungan-hubungan representasi lain yang diharapkan dapat menjelaskan keyakinan, penilaian, pengalaman, alas an dan informasi Kemampuan untuk mengenali dan menarik kesimpulan yang masuk akal, memecahkan dugaan dan hipotesis, mempertimbangkan informasi yang relevan, dan mengembangkan hasil yang ditimbulkan dari data, pernyataan, prinsip, bukti, penilaian, keyakinan, opini, konsep, deskripsi, pernyataan, atau bentukbentuk representasi lainnya. Kemampuan untuk menilai kredibilitas pernyataan atau representasi lainnya yaitu catatan-catatan atau deskripsi tentang persepsi, pengalaman, situasi, penilaian, keyakinan atau opini, konsep, deskripsi,
Sub Keterampilan - Mengelompokkan - Menjelaskan pokok bahasan - Menjelaskan makna yang terkandung - Menguji ide-ide - Mengenali argumen - Mengenali alasan dan pernyataan - Menanyakan bukti - Membuat kesimpulan dengan pertimbanganb induktif atau deduktif
- Menilai kredibilitas pernyataan - Menilai kualitas argumen yang dibuat dengan menggunakan
17
pertanyaan atau bentuk-bentuk representasi seseorang.
pertimbangan induktif/deduktif
Lanjutan Tabel 2. Aspek Kemampuan Berpikir Kritis Menurut Facione (2013) Keterampilan Penjelasan
Pengaturan Diri
Deskripsi Menurut Kesepakatan Para Ahli Kemampuan untuk menetapkan dan memberikan alasan yang masuk akal melalui pertimbanganbukti, konseptual, metodologi, standarisasi, dan kontekstual yang menjadi dasar dari penetapan dan menambahkan argumen yang meyakinkan Memonitor kemampuan kognitifnya melalui analisis aspek-aspek kognitif dan mengembangkan hasil dengan menerapkan keterampilan dalam menganalisis dan mengevaluasi penilaian inferensial pada dirinya melalui pertanyaan, kofirmasi, validasi atau mempertimbangkan pendapat orang
Sub Keterampilan - Menyatakann hasil - Membenarkan prosedur - Menyajikan argument - Monitoring Diri - Perbaikan diri
(Sumber : Facione, 2013).
Indikator-indikator kemampuan berpikir kritis menurut R.H Ennis (2008) meliputi: (1) merumuskan masalah; (2) menganalisis argument; (3) menanyakan dan menjawab pertanyaan; (4) menilai kredibilitas sumber informasi; (5) melakukan observasi dan menilai laporan hasil observasi; (6) membuat deduksi dan menilai deduksi; (7) membuat induksi dan menilai induksi; (8) mengevaluasi; (9) mendefinisikan dan menilai definisi; (10) mengidentifikasi asumsi; (11) memutuskan dan melaksanakan; (12) berinteraksi dengan orang lain. Pendapat lain dikemukakan olah Gleser dalam Fisher (2001) menyatakan kemampuan berpikir yang meliputi kemampuan: (1) mengidentifikasi masalah; (2) mencari cara untuk menemukan permasalahan; (3) mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan; (4) mengidentifikasi nilai dan asumsi yang tidak sesuai (5) memahami dan menggunakan bahasa yang baku dan benar; (6) menganalisis data; (7) menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan – pernyataan; (8) mengenal adanya hubungan yang logis antara permasalahan-permasalahan; (9) menarik kesimpulan; (10) menguji kesimpulan yang diambil; (11) menyusun kembali pola pendapat para
18
ahli; (12) membuat penilaian yang tepat tentang hal yang bersifat kualitatif dan spesifik. Peningkatkan kemampuan berpikir kritis dapat dilakukan melalui pertanyaanpertanyaan yang dapat diajukan oleh guru. Pertanyaan yang diajukan oleh guru haruslah menarik dan menantang yang berhubungan dengan topik dan yang memang dirancang untuk melibatkan pemikiran siswa, sehingga memancing siswa untuk terlibat berpikir aktif dalam proses pembelajaran di kelas. Pertanyaan yang dapat memacu kemampuan berpikir kritis siswa dijabarkan dalam Tabel 3. Tabel 3. Pertanyaan – pertanyaan untuk Memacu Kemampuan Berpikir Kritis Pertanyaan untuk memacu kemampuan berpikir kritis Interpretasi a. Apakah arti dari hal ini? b. Apa yang terjadi? c. Bagaimanakah yang harus kita pahami ? d. Apakah cara yang terbaik untuk mengklasifikasikan hal ini? e. Bagaimanakah kita dapat memaknai hal ini)? Analisis a. Ceritakan kembali kepada kami alasan–alasan yang mendasari pernyataan tersebut! b. Apakah kesimpulan dari hal ini? c. Apakah yang harus kita lakukan terhadap kesimpulan itu? d. Apakah dasar anda mengatakan hal itu? Kesimpulan a. Berdasarkan yang telah kita ketahui, buatlah deskripsi terhadap hal ini! b. Apakah yang tersirat dari inti pernyataan ini? c. Jika kita meninggalkan atau menerima asumsi itu, apakah hal ini berubah? d. Informasi tambahan apa yang kita perlukan untuk menegatifkan pertanyan ini? e. Jika kita percaya hal ini, apa yang tersirat dari mereka bagi kita untuk maju? f. Apa konsekuensi dari melakukan hal – hal dengan cara itu? g. Adakah beberapa alternative yang belum kita teliti? Mari pertimbangkan setiap pilihan dan mengetahui kemana hal ini membawa kita? h. Apakah ada konsekuensi yang tak dapat dihindari yang dapat dan seharusnya kita hadapi?
19
Lanjutan Tabel 3. Pertanyaan–pertanyaan untuk Memacu Kemampuan Berpikir Kritis Pertanyaan untuk memacu kemampuan berpikir kritis Evaluasi a. Apakah pernyataan tersebut terpercaya? b. Apakah pendapat tersebut kuat? c. Apakah kita percaya dengan pendapat orang ini? d. Apakah kita memiliki fakta – fakta yang benar? e. Apakah temuan – temuan atau hasil khusus dari penelitian ini? Penjelasan a. Bagaimanakah anda melakukan analisis itu? b. Bagaimanakah anda menjelaskan tentang hubungan itu? c. Bagaimanakah anda menjelaskan mengapa keputusan itu dibuat? d. Apakah kita percaya terhadap kesimpulan kita, dengan apa yang kita ketahui sekarang? e. Bagaimana dasar anda terhadap kesimpulan ini? Pengaturan a. Saya menemukan beberapa dari keputusan kita sedikit diri membingungkan, dapatkah kita merevisi apa yang kita maksud dengan hal–hal tertentu sebelum membuat keputusan – keputusan itu? b. Apakah bukti kuat? c. Apakah metodologi kita tepat, apakah kita tetap mengikutinya? d. Sebelum kita lakukan, apakah kita melupakan sesuatu? e. Apakah ada suatu cara bagi kita untuk mencocokan dua kesimpulan yang tampaknya bertentangan ini? f. Kedudukan kita pada masalah ini masih terlalu samar, dapatkah kita memperjelasnya? (Sumber: Facione, 2013)
c. Pentingnya Kemampuan Berpikir Kritis Ditingkatkan Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan dalam rangka pemecahan masalah. Siswa diharapkan mampu memberikan keputusan yang beralasan kuat dan keputusan tersebut mampu memecahkan masalah yang dihadapinya (Facione, 2013). Afshar dan Rahimi (2015) mengunkapkan bahwa kemampuan berpikir kritis selain
20
melatih proses kognitif juga mampu melatihkan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional diharapkan mampu meningkatkan kemampuan afektif siswa. Kemampuan berpikir kritis harus dikembangkan dalam proses pembelajaran karena kemampuan berpikir kritis melatihkan siswa untuk memperoleh informasi yang akurat dengan cara yang sederhana sehingga mampu meningkatkan pemahaman siswa akan informasi tersebut. Siswa yang cakap dalam kemampuan berpikir kritis akan tahu apa yang harus dilakukan setelah siswa memperoleh informasi tersebut (Dwyer et.al, 2014). Galerstein et.al., (2016) mengungkapkan bahwa kegiatan peningkatan kemampuan berpikir kritis harus memperhatikan tahapan perkembangan siswa, budaya yang ada dan kurikulum pembelajaran yang digunakan. Minner, Levy dan Century (2009) menjelaskan bahwa pembelajaran yang berdasarkan fenomena akan membuat siswa berpikir secara aktif. Pembelajaran discovery learning merupakan model pembelajaran yang berdasarkan fenomena (Veermans, 2003). Duron (2006) mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis mampu ditingkatkan dengan proses pembelajaran yang berdasarkan fenomena dan dirumuskan melalui rumusan masalah untuk diselesaikan melalui serangkaian kegiatan pemecahan masalah.
B. Kerangka Berpikir Menurut Kurfiss (1988) kemampuan berpikir kritis merupakan kemampuan untuk menyelidiki dan memeriksa situasi, fenomena, pertanyaan atau masalah untuk menemukan hipotesis atau kesimpulan dari segala informasi yang ada yang bertujuan untuk menemukan suatu pembenaran secara meyakinkan. Hasil dari berpikir kritis mengacu pada pembenaran (justifikasi) dan kesimpulan (hipotesis). Ennis (1962) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir secara beralasan dan reflektif yang bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal sehingga bisa dipercayai dan atau dilakukan. Berdasarkan kegiatan observasi awal, diketahui bahwa model pembelajaran belum memberdayakan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis siswa
21
yang rendah tergambarkan melalui kemampuan bertanya siswa masih rendah, padahal kemampuan bertanya merupakan gerbang awal dari proses berpikir kritis. Siswa kesulitan memecahkan masalah yang berupa penalaran. Siswa kurang terbiasa menganalisis suatu permasalahan. Berdasarkan masalah yang ditemukan pada kelas XI IPA 5 SMAN Kebakkramat maka diperlukan adanya usaha untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa melalui bimbingan yang dilakukan oleh guru dengan model pembelajaran yang tepat. Fakta di lapangan, model pembelajaran ceramah yang diterapkan guru belum bisa mengakomodasi kemampuan berpikir kritis siswa. Model ceramah cenderung membuat siswa belajar dengan cara menghafal. Cara belajar siswa dengan menghafal membuat siswa mengalami kesulitan dalam proses belajarnya. Proses pembelajaran yang bersifat konstruktivis dan kontekstual mampu mengakomodasi kemampuan berpikir kritis siswa. Banyak model pembelajaran bersifat konstruktivis dan kontekstual yang dapat menyelesaikan masalah rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa, salah satu model yang dapat mengatasi masalah tersebut adalah model discovery learning. Model discovery learning menekankan pada pengalaman belajar secara langsung melalui kegiatan penyelidikan dan menemukan konsep. Proses dalam penerapan model ini merepresentasikan sebuah siklus pembelajaran yang membuat siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran, siswa dilatih berpikir untuk memecahkan permasalahan, siswa didorong untuk berpikir kritis dan menganalisis sendiri permasalahan, sehingga dapat menemukan konsep atau prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan guru. Dengan demikian pemahaman siswa tentang konsep biologi lebih kuat. Skema kerangka berpikir terdapat pada Gambar 1.
22
Fakta: Guru masih menerapkan metode ceramah Model pemebelajaran belum melatihkan kemampuan berpikir kritis siswa Harapan: Masalah dalam Pembelajaran: Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Rendah
Model pemebelajaran mampu melatihkan kemampuan berpikir kritis siswa. Guru menerapkan metode pembelajaran yang melatihkan kemampuan berpikir kritis
Syarat Melatihkan Kemampuan Berpikir Kritis: Bersifat Konstruktivistik dan kontekstual Mendukung kegiatan berpikir secara aktif Model pembelajaran mampu membuat siswa melakukan kegiatan untuk mengkonstruk pengetahuan
Penerapan Model Discovery Learning
Pendekatan pembelajaran dengan menggunakan model konstruktivis dan kontekstual mampu mengakomodasi kemampuan berpikir kritis siswa (Matanluk,2013). Model pembelajaran berdasarkan fenomena yang membuat siswa berpikir secara aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan yang akan dipelajari (Minner et.al, 2009).
Harapan: Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Meningkat
Gambar 1. Diagram Kerangka Berpikir
23
C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian yang relevan, maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan yaitu penerapan model discovery learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI IPA 5 SMAN Kebakkramat tahun pelajaran 2015/2016 pada materi sistem ekskresi manusia.