BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Penelitian yang berkaitan dengan Sedulur Sikep sudah banyak dilakukan di Indonesia. Hal ini terjadi karena Sedulur Sikep sebagai komunitas sosial termasuk golongan “orang kecil”, tertindas, miskin, termarginalkan, serta memiliki keunikan, baik segi historis, sosial, politik, maupun budayanya. Komunitas Sedulur Sikep merupakan bentuk masyarakat yang didasarkan pada ajaran dan tradisi hidup yang khas di dalam berinteraksi dengan komunitas lain. Namun, hal ini tidak berarti telah menutup kemungkinan untuk mengkajinya lebih lanjut. Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada kajian yang secara mendalam membahas perjuangan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dalam perspektif kajian budaya. Tulisan-tulisan tersebut, antara lain seperti di bawah ini. Karya Moh. Rosyid (2009), Nihilisasi Peran Negara: Potret Perkawinan Samin. Kajian ini memotret eksisnya model perkawinan di lingkungan komunitas Samin di Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah yang tidak selalu taat produk hukum positif secara utuh berupa tidak “dicatatkan” di kantor pencatatan nikah. Meskipun memenuhi norma hukum nikah selain catat mencatat, hanya mengandalkan patuh pada ajaran leluhurnya, selain dukungan dari komunitas non-Samin imbas bekal perilaku sosial Samin yang humanis dan responsif terhadap lingkungannya yang Samin dan non-Samin, beserta taat 19
20
kebijakan pemerintah, seperti membayar pajak, menjadi Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Ketua Rukun Warga (RW) yang menaungi warga Samin dan nonSamin. Pemerintah pun (Kantor Urusan Agama) tidak dapat berbuat banyak karena di luar agama yang dinaunginya dan keterbatasan perangkat dukung sumber daya manusia. Di sisi lain, budaya birokrat yang lentur karena komunitas Samin tidak memicu konflik vertikal dan horizontal. KUA hanya melayani pemeluk agama Islam, sedangkan masyarakat Samin mengaku beragama Adam. Apabila diamati, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan Samin juga memenuhi kaidah perundangan berupa adanya wali (orang tua), saksi (tamu undangan dan keluarga), adanya kedua mempelai, adanya ijab kabul, mahar (yang tidak dinyatakan secara terbuka di hadapan forum), dan sekufu (seagama). Tidak disertakannya peran negara (KUA atau Kantor Catatan Sipil) karena dalih bahwa Nabi Adam ketika menikah dengan Hajar pun tidak menyertakan surat nikah. Selama ini, argumen pentingnya surat nikah (produk KUA atau Kantor Catatan Sipil) sebagai bentuk antisipasi negara dalam memfasilitasi warganya jika terjadi persengketaan agar mendapatkan kepastian hukum. Bagi masyarakat Samin, kepastian hukum diwujudkan dengan realisasi prinsip kesaminan dalam berperilaku, termasuk di dalam perkawinan. Jika terjadi persengketaan keluarga, menyangkut perceraian dan pembagian harta warisan, cukup diselesaikan secara kekeluargaan dengan prinsip saling memahami dan menyadari. Penelitian ini juga menunjukkan data bahwa tidak ditemukannya konflik dalam perceraian dan pembagian harta
warisan di dalam komunitas
Samin Kudus. Referensi ini sangat berharga untuk mengantarkan pada
21
pemahaman awal tentang perkawinan di lingkungan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah sama-sama meneliti komunitas Samin (Sedulur Sikep). Adapun perbedaannya adalah tema yang dipilih dan lokasi penelitiannya, di mana penelitian yang dilakukan penulis lebih terfokus pada studi perjuangan identitas di dalam perspektif kajian budaya dengan lokasi di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Karya lain Moh. Rosyid (2008) berjudul Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal mendeskripsikan potret budaya dan keagamaan pada masyarakat Samin Kudus di Desa Kutuk, Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, dan Desa Larekrejo, Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penilaian mendasar tentang kebahagiaan versi masyarakat modern yang selalu diukur dengan kemapanan ekonomi dengan kebahagiaan menurut ukuran Samin Kudus berdasarkan terciptanya interaksi komunitas Samin dengan lingkungannya yang penuh kerukunan, kenyamanan, dan meninggalkan konflik. Kata kunci tersebut, terekam di dalam prinsip ajaran hidup dan prinsip pantangan hidup masyarakat Samin, seperti hidup secukupnya, jangan pamer, jangan suka terkenal. Di dalam penelitian ini, Moh. Rosyid menggunakan pendekatan etnografi untuk menggambarkan kondisi budaya dan agama yang ada di dalam masyarakat Samin. Tulisan Rosyid tersebut dapat memberikan wawasan bagi penelitian yang komprehensif tentang Sedulur Sikep saat ini. Persamaan penelitian yang dilakukan Rosyid dengan penulis adalah sama-sama tentang komunitas Sedulur Sikep.
22
Adapun perbedaannya adalah wilayah spasial penelitiannya dan data yang digunakan. Selain data etnografi, penulis juga menggunakan data historis untuk melihat dari waktu ke waktu munculnya gejala-gejala sosial. Suripan Sadi Hutomo (1996) menulis buku yang berjudul Tradisi dari Blora. Buku ini berisi berbagai topik yang disajikan secara beragam dari persoalan filsafat, sejarah lokal, legenda, dan kesenian dengan lokasi di daerah Blora. Hal yang menarik dari buku ini adalah pada topik sejarah lokal, di mana diuraikan lahirnya Samin Surosentika dan ajaran-ajarannya. Buku ini terdiri atas dua bagian, bagian pertama lebih menonjolkan sejarah lokal Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya, bagian kedua buku ini berisi berbagai macam kesenian yang terdapat di daerah Blora. Bahasa yang digunakan pada topik di kedua bagian buku ini adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Tulisan ini penting karena memberikan informasi awal lahirnya Sedulur Sikep pada masa kolonial. Namun, tidak didapatkan gambaran sedikit pun tentang persebaran Sedulur Sikep
pada masa kini, khususnya di Kabupaten Pati Provinsi Jawa
Tengah. Fatekhul Mujib (2004) melakukan penelitian terhadap masyarakat Samin dengan judul Islam di Masyarakat Samin: Kajian Atas Pemahaman Masyarakat Samin terhadap Ajaran Agama Islam di Dusun Jepang Kabupaten Bojonegoro. Penelitian itu memfokuskan pada kajian atas pemahaman masyarakat Samin di Dusun Jepang Kabupaten Bojonegoro terhadap ajaran Islam, seperti sejauh mana masyarakat Samin memahami konsep ajaran Islam dan pengamalannya di dalam kehidupan sehari-hari. Fokus utama penelitian tersebut
23
diarahkan pada tiga ajaran pokok Islam, yaitu masalah teologi (tauhid), hubungan sosial kemasyarakatan (muamalah), dan ritus (ibadah), seperti ibadah sholat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. Beberapa penelitian yang mirip, yaitu terfokus pada kajian tentang agama adalah tulisan Sahpeni (2008) yang berjudul Peranan Golongan Muda dalam Perkembangan Agama Islam pada Masyarakat Samin Dusun
Jepang
Desa
Margomulyo
Kecamatan
Margomulyo
Kabupaten
Bojonegoro Tahun 1989--1999 menjelaskan perubahan masyarakat Samin di Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro, baik sosial maupun budayanya. Perubahan tersebut terjadi karena berbagai faktor yang melingkupinya, baik faktor dari dalam maupun dari luar. Peran penting golongan muda
Samin
terhadap
perubahan
masyarakat
Samin,
khususnya
pada
pengembangan agama Islam. Perubahan sistem religi masyarakat Samin pada masa Orde Baru tidak terlepas dari kebijakan pemerintah tentang kehidupan beragama. Setelah peristiwa 30 September 1965 berakhir, masyarakat Samin di Desa Margomulyo yang menganut religi agama Adam dianggap sebagai penganut aliran komunis. Oleh karena itu, pemerintah melalui Departemen Agama Republik Indonesia melakukan pembinaan dan mengajak masyarakat Samin di Dusun Margomulyo Kabupaten Bojonegoro masuk dan menjalankan syariat Islam. Akibatnya, banyak di antara masyarakat Dusun Margomulyo memeluk agama Islam meskipun hanya sebatas Islam KTP atau abangan. Perubahan ini diawali dengan adanya pernikahan massal pada tahun 1967.
24
Upaya golongan muda untuk menciptakan masyarakat Samin Dusun Margomulyo agar melaksanakan agama Islam sesuai dengan syariatnya dengan melakukan pembangunan, baik fisik maupun nonfisik. Pembangunan fisik meliputi pembangunan berbagai sarana ibadah dan fasilitas lainnya, sedangkan pembangunan nonfisik melalui pengajaran amaliah dalam kehidupan sehari-hari. Melalui upaya para pemuda tersebut, masyarakat Samin Dusun Margomulyo telah banyak mengalami perubahan dalam tradisi, identitas, pemahaman terhadap keyakinan kepada Tuhan. Di dalam penulisan ini, fokus kajiannya lebih mengutamakan pada pendekatan historis. Hal yang membedakan dengan penulis adalah lokasi penelitian dan fokus kajian yang dibahas. Penelitian lain tentang agama pada masyarakat Samin adalah tulisan Retnaningtyas (2002) yang berjudul Perubahan dari Agama Adam ke Agama Islam pada Masyarakat Samin 1967--1998. Penelitian ini memfokuskan kajiannya terhadap perubahan keyakinan masyarakat Samin. Masuknya agama Islam ke dalam kehidupan masyarakat Samin telah mengubah keyakinan masyarakatnya, terutama pada golongan mudanya. Pengaruh Islam terhadap golongan muda Samin berlangsung harmonis dan penuh toleransi. Bagi golongan tua yang masih tetap menganut agama lama, yaitu agama Adam memberikan kebebasan kepada golongan muda Samin untuk memeluk agama baru, yaitu agama Islam dengan tetap menghargai keyakinan golongan tua. Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai keterpinggiran komunitas Samin (Sedulur Sikep) di dalam bidang agama akibat masuknya agama Islam. Wilayah objek kajian penelitian
25
tersebut, sama-sama tentang Sedulur Sikep, tetapi penelitian yang dilakukan di atas terfokus pada masalah agama. Karya lain yang memperbincangkan komunitas Sedulur Sikep berjudul Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Buku ini dieditori oleh Nurudin (2003) dan kawan-kawan, yang merupakan bunga rampai hasil penelitian lapangan dan pengabdian masyarakat tentang pola hidup masyarakat Samin di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah dan masyarakat Tengger di Kabupaten Probolinggo Provinsi Jawa Timur. Artikel yang meneliti komunitas Samin ada pada bagian kesatu di dalam buku ini, antara lain berjudul Pergeseran Fungsi Tayub, Hubungan Pemerintahan dengan Komunitas Samin, Bahasa Samin: Suatu Bentuk Perlawanan Sosial, Samin: Ajaran yang Nyleneh, Otonomi dan Peran Pemerintahan Desa, serta Konsep Kesejahteraan Desa Klopodhuwur. Walaupun setiap tulisan yang ditampilkan pada buku tersebut berbeda titik tekannya, tetapi sering dijumpai munculnya data yang sudah ditampilkan penulis sebelumnya karena adanya kesamaan objek. Buku tersebut memberikan gambaran umum kepada penulis tentang pola hidup komunitas Sedulur Sikep. Kajian lainnya tentang komunitas Sedulur Sikep, tetapi terfokus pada kajian teks adalah tulisan Heru (2008) di dalam artikelnya yang berjudul Sedulur Sikep (Wong Samin): Dari Perlawanan Pasif dengan Sangkalan ke Budaya Tanding dengan Teks. Di dalam artikel itu diuraikan gerakan sosial berupa perlawanan pasif Sedulur Sikep terhadap kekuatan hegemoni yang merupakan bentuk resistensi terhadap penguasa, baik pada masa kolonial maupun pada masa
26
sekarang. Gerakan yang memanfaatkan strategi komunikasi melalui bahasa Jawa ngoko dengan “konvensi khusus”
berupa basa Sangkak dianggap mampu
mengacaukan pemahaman orang non-Sedulur Sikep terhadap perilaku sosial Sedulur Sikep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk perlawanan pasif komunitas Sedulur Sikep dewasa ini diformulasikan dalam berbagai format tekstual, baik dalam format naskah/tulisan maupun audiovisual. Produk teks masyarakat Samin menjadi materi untuk membangun budaya tanding terhadap kekuatan hegemoni. Karya Heru (2008) lainnya yang hampir sama dengan tulisan sebelumnya berjudul Resistensi Kultural Sedulur Sikep merupakan hasil penelitian lapangan dengan objek terfokus pada aspek penggunaan bahasa Sangkak (menyangkal) dan religius oleh
Sedulur Sikep sebagai perlawanan terhadap
kekuatan hegemoni. Memahami bahasa Sangkak, maka kesalahpahaman di dalam berkomunikasi dengan Sedulur Sikep dapat dihindari. Sementara itu, hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa di dalam aspek religi, Sedulur Sikep lebih menekankan pada substansi asal mula (kawitan) dengan Adam sebagai referensinya sehingga Sedulur Sikep menganut sistem religi berupa agama Adam. Konsep agama tersebut tidak menekankan pada aspek normatif legalistik sebagaimana agama negara atau agama formal. Hal ini dilandasi oleh sikap bahwa norma-norma legalistik yang datang dari “luar” Sedulur Sikep dianggap tidak sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran saminisme. Lebih lanjut, penolakan Sedulur Sikep terhadap agama negara tidak saja dilandasi oleh ketidaksesuaian esensi hidup, tetapi tidak nyamannya kehidupan Sedulur Sikep diatur oleh “orang luar” yang dipersepsikan secara historis sebagai kepanjangan tangan kolonial.
27
Karya lain Heru (2008) dengan berjudul Pandangan Dunia Orang Samin: Menghayati Masyarakat Samin dengan Perspektif Etnografi Emik. Penelitian ini dilakukan di empat lokasi, yaitu Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Blora, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Kudus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa generasi muda komunitas Samin di Kabupaten Bojonegoro dan Blora tidak mampu mempertahankan tradisi Saminismenya, sedangkan generasi muda di Kabupaten Kudus dan Pati masih cukup banyak yang mempertahankan prinsip Saminismenya. Dinamika yang kondusif pada komunitas Samin Kudus dan Pati di dalam memaknai perubahan sosial dan semangat zaman serta produk modernitas dianggap sebagai posisi tawar budaya tanding terhadap kekuasaan dominan. Ketiga penelitian yang dilakukan Heru tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh penulis. Walaupun terdapat persamaan di dalam objek penelitian, yaitu komunitas Sedulur Sikep, perbedaan mendasar penelitian yang telah dilakukan oleh Heru terfokus pada bidang kajian teks, sedangkan penulis lebih terfokus pada ranah kajian budaya. Penelitian lainnya yang terfokus pada ranah kajian budaya dan mengangkat tema-tema perjuangan identitas dan keterpinggiran adalah tulisan Indriani (2010) berjudul Perjuangan Identitas Orang Kajang di Bulu Kumba Sulawesi Selatan. Di dalam tulisan tersebut, ada dua bagian utama dari perbincangkan, yaitu (1) bagian identitas orang Kajang yang berbeda dan (2) bagian proses munculnya perjuangan identitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Kajang telah membuktikan kesatuan pada tradisi nenek moyang Bugis Makasar sehingga mereka harus diposisikan sejajar dengan kelompok Bugis
28
Makasar. Selama ini hak dasar orang Kajang masih belum terjamin secara keseluruhan oleh negara, sebagai contoh kepercayaan Patuntung sebagai tradisi kepercayaan asli yang diyakini oleh orang Kajang tidak dapat dikategorikan sebagai agama dan tidak boleh dianut oleh orang Kajang. Penelitian Indriani dapat dijadikan model penelitian yang mengangkat tema perjuangan identitas. Persamaan penelitian yang dilakukannya dengan penelitian penulis adalah samasama terfokus pada ranah kajian budaya dengan tema perjuangan identitas. Namun, objek kajian yang dilakukan oleh Farida adalah orang Kajang di Kabupaten Bulu Kumba Provinsi Sulawesi Selatan, sedangkan yang dilakukan penulis adalah komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah sehingga hasil rekonstruksi yang dilakukan tentunya berbeda. Tulisan lainnya berjudul Keterpinggiran Komunitas Hindu dalam Pluralitas Agama di Kabupaten Karo Sumatera Utara karya Minawati (2010). Di dalam penelitian ini dijelaskan bahwa keterpinggiran komunitas Hindu di Kabupaten Karo disebabkan oleh adanya dominasi agama yang lebih besar. Fenomena keterpinggiran komunitas Hindu tersebut tidak datang secara spontan, tetapi memiliki masa transisi, yaitu diawali dari masuknya agama Islam, agama Kristen, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi. Pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi, perpolitikan dengan isu mayoritas dan minoritas menjadi akar munculnya diskriminasi. Kondisi ini menghambat perkembangan agama Hindu di Kabupaten Karo. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa keterpinggiran komunitas Hindu Karo berujung pada konversi agama, mengecilnya jumlah komunitas Hindu, bahkan cenderung punah dan terkikisnya budaya Karo.
29
Keterpinggiran komunitas Hindu Karo juga terkait dengan makna lemahnya kebertahanan umat Hindu Karo, hilangnya kedalaman pemahaman agama umat Hindu, makna menipisnya semangat multikulturalisme, dan makna politik identitas. Penelitian yang dilakukan oleh Minawati memberikan informasi tentang keterpinggiran suatu komunitas akibat dominasi agama tertentu. Kondisi ini juga dialami oleh komunitas Sedulur Sikep. Secara umum, keterpinggiran komunitas Sedulur Sikep juga berujung pada penetrasi pemerintah terhadap agama yang dianut oleh komunitas Sedulur Sikep, yaitu agama Adam agar ditinggalkan dan selanjutnya memeluk salah satu agama resmi negara. Hal yang membedakan penelitian yang dilakukan Minawati dengan penulis adalah lokasi penelitian dan masalah yang diteliti tidak terfokus pada keagamaan semata, tetapi lebih pada perjuangan identitas secara luas. Dari paparan kajian pustaka di atas, penelitian yang dilakukan penulis memiliki persamaan pada wilayah objek kajian penelitian, yaitu tentang komunitas Sedulur Sikep. Namun demikian, yang berbeda dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah pemilihan lokasi penelitian, skup temporal, fokus kajian, masalah penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan pendekatan yang digunakan. Di dalam kaitan ini, kajian pustaka di atas menjadi cerminan bahwa masih ada ruang untuk melakukan penelitian terhadap komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah.
30
2.2 Konsep Konsep-konsep yang dikemukakan di dalam penelitian ini berkaitan dengan perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Adapun paparan konsep tersebut, sebagai berikut.
2.2.1 Perjuangan Identitas Perjuangan identitas merupakan suatu upaya untuk memperbaiki keadaan hidup dengan mendapat pengakuan dan sejajar dengan etnis lainnya. Istilah identitas merujuk pada pemahaman tentang citra diri dan kepemilikan kelompok yang dianut oleh anggota budaya dan yang ditingkatkan oleh konsumsi produk-produk budaya dan representasi melalui media (Burton, 2008: 34). Menurut Tajfel (http://idhamputra.wordpress.com, 12 April 2012), identitas adalah pengetahuan individu, dalam hal ini individu merasa bagian dari anggota kelompok yang memiliki kesamaan emosi dan nilai. Identitas tersebut dapat berupa kebangsaan, ras, etnik, kelas, pekerjaan, agama, umur, gender, suku, dan keturunan. Identitas sosial masyarakat tidak bisa lepas dari kategori sosial yang ada dalam masyarakat yang dibentuk secara sejajar, tetapi juga menimbulkan status sosial dan kekuasaan. Adapun identitas menurut Chris Barker (2005: 219) adalah esensi dengan tanda-tanda tertentu, di mana dapat berupa ciri yang ditampilkan oleh seorang individu agar dirinya terlihat berbeda dari orang lain. Chris Barker membedakan identitas menjadi dua, yaitu (1) identitas diri; dan (2) identitas kelompok sosial. Identitas diri merupakan segala sesuatu yang menyangkut diri kita di dalam sudut pandang kita sendiri, sedangkan identitas kelompok sosial
31
dibentuk oleh pendapat orang lain. Di dalam kaitan ini terdapat dua pandangan tentang identitas menurut pencarian Barat, yaitu pandangan pertama menganggap identitas merupakan inti diri yang bersifat universal dan kekal, di mana setiap orang memiliki esensi diri (penganut paham esensialisme). Pandangan kedua adalah pandangan yang mengatakan bahwa identitas sepenuhnya bersifat kultural, khas pada setiap zaman dan tempat. Hal ini berarti bahwa identitas bisa dipertukarkan dan dikaitkan dengan keadaan sosial serta kultural tertentu (penganut paham anti esensialisme). Identitas menurut pandangan anti esensialisme, lebih tepat digunakan. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini, kata identitas merujuk pada dua pengertian mendasar. Pertama, merujuk pada bentuk dan posisi identitas Sedulur Sikep sesuai dengan pandangan anti esensialisme. Kedua, merujuk pada proses perjuangan identitas yang dilakukan komunitas Sedulur Sikep. Secara kronologis diuraikan bagaimana perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep berdasarkan perkembangan politik yang terjadi di Indonesia, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
2.2.2 Komunitas Sedulur Sikep Komunitas Sedulur Sikep adalah istilah untuk menunjuk suatu entitas organik yang terdiri atas sekumpulan individu dengan kesamaan identitas tertentu (unifying traits), seperti kesamaan geografis tempat tinggal, ideologi atau agama, kepentingan/kebutuhan/aspirasi, minat dan bakat, serta profesi yang ada di sekitar Pegunungan Kendeng di wilayah utara yang memanjang mulai dari Provinsi Jawa Tengah hingga Provinsi Jawa Timur. Di dalam penelitian ini adalah komunitas Sedulur Sikep yang ada di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah.
32
Secara etimologi, kata komunitas (community) berakar dari bahasa Latin, yaitu ‘cum’ (bersama-sama, di antara satu dengan lainnya) dan ‘munus’ (pemberian, memberi, berbagi). Komunitas mengandung unsur berbagi (sharing) dan
kesamaan
identitas
(http://id.wikipedia.org/wiki/Komunitas).
Menurut
Koentjaraningrat (1990: 148), komunitas sebagai satu kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata, berinteraksi menurut adat istiadat, dan terikat oleh suatu identitas komunitas. Pendapat lain menyebutkan bahwa komunitas adalah sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu yang seluruh anggotanya berinteraksi antara satu dan yang lain, di samping pembagian peran dan status yang jelas (Novia, 2008: 406; Primarianti, 1998: 8; Budimanta, 2008: 11). Di dalam pendekatan argumentasi ontologis, terdapat dua perspektif yang berbeda mengenai komunitas. Argumen pertama mengatakan bahwa komunitas pada dasarnya merupakan asosiasi kooperatif dari individu-individu yang terikat melalui kontrak sosial. Di dalam perspektif ini, individu diposisikan lebih superior daripada komunitas, manusia adalah makhluk individualistik. Manusia modern tidak membutuhkan komunitas sebagaimana yang ada pada masyarakat tradisional, ia bisa menjadi anggota komunitas sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan sewaktu-waktu bisa keluar masuk antara komunitas satu dan lainnya. Hal ini disebabkan oleh sense of belonging manusia modern terhadap komunitasnya sangatlah rendah, penguatan rasa komunitas tidak dilihat sebagai suatu tujuan. Ia akan menjalankan kewajiban sosialnya yang selalu dipandang dari sisi untung rugi kepentingan individu. Oleh karena itu, ada
33
kecenderungan manusia modern merasa kesepian dalam keramaian, merasa terasing dengan kerabatnya sendiri, terpenjara oleh dunia serba bebas yang sesungguhnya memberikan kenikmatan semu, terbelenggu dan menjadi budak oleh ciptaannya sendiri, yaitu raksasa teknologi modern melalui mekanisasi, otonomisasi, dan standardisasi. Manusia digambarkan di dalam kesepian yang sangat menderita. Pandangan lain melihat komunitas adalah suatu entitas organik di mana individu-individu berperan sebagai kandungannya (ingredients). Individu tidak dapat menjadi manusia seutuhnya tanpa menjadi bagian/anggota suatu komunitas. Argumentasi ontologis ini selaras dengan pandangan Aristoteles. Menurut Aristoteles, manusia adalah zoon politicon, yaitu makhluk sosial yang hanya menyukai hidup bergolongan atau sedikitnya mencari teman untuk hidup bersama lebih suka daripada hidup sendiri. Anggota komunitas akan lebih mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan individu. Individu tidak hanya memiliki hak, tetapi juga kewajiban sebagai anggota komunitas atau dengan kata lain dalam setiap hak terkandung kewajiban (rights come with responsibilities). Sedemikian tingginya rasa kepemilikan komunitas sehingga sesama anggota komunitas terdapat satu perasaan yang disebut community sentiment. Community sentiment memiliki tiga ciri penting, yaitu (1) seperasaan sehingga orang yang tergabung di`dalamnya menyebut dirinya “kelompok kami”; (2) sepenanggungan, di mana setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri memungkinkan peranannya dalam
34
kelompok dijalankan; (3) saling memerlukan, individu yang tergabung dalam suatu komunitas merasa dirinya tergantung pada komunitasnya. Istilah Sedulur Sikep diambil dari kata tiyang sami-sami (sedulur) dan kata sikep (semacam target ideal perilaku sosial yang harus dilaksanakan. Target tersebut berorientasi pada perilaku yang lugu dan jujur, serta tidak merugikan orang lain). Sedulur dalam bahasa Jawa berarti saudara, di mana mereka memandang semua orang itu pada hakikatnya sama dan bersaudara sehingga komunitas Sedulur Sikep bersikap egaliter dalam interaksi sosialnya. Terkait dengan penelitian ini, penggunaan konsep di atas dapat menggambarkan perjalanan sejarah perjuangan identitas yang dilakukan komunitas Sedulur Sikep Kabupaten Pati. Hubungan timbal balik yang tidak harmonis antara pemerintah dengan komunitas Sedulur Sikep sehingga memunculkan pelabelan yang stereotipe memaksa komunitas Sedulur Sikep menyusun strategi perlawanan melalui perjuangan identitasnya agar memperoleh kedudukan yang sejajar dengan komunitas lainnya.
2.3 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan perspektif kajian budaya, di mana teoriteorinya termasuk ke dalam kelompok postrukturalisme. Teori-teori tersebut, antara lain teori identitas sosial, teori subaltern, teori hegemoni, dan teori dekonstruksi. Teori-teori tersebut digunakan secara eklektik, seperti yang biasa dilakukan dalam ranah kajian budaya. Dengan demikian, fenomena yang kompleks dianalisis dengan menggunakan teori secara eklektik sehingga mendapatkan hasil yang lebih valid (Sanderson, 2003: 619).
35
Teori
identitas
sosial
digunakan
untuk
menjelaskan
proses
pembentukan dan perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep, sedangkan teori subaltern digunakan untuk mengamati dan menganalisis keterpinggiran yang dialami komunitas Sedulur Sikep yang terisolasi dan terbungkam di dalam struktur yang dominan. Teori selanjutnya, yaitu teori hegemoni digunakan untuk menganalisis proses terjadinya hegemoni serta reaksi komunitas Sedulur Sikep atas berlangsungnya penerapan pola hegemoni, baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat non-Sedulur Sikep. Teori terakhir adalah teori dekonstruksi digunakan untuk menganalisis makna yang dilekatkan sehubungan dengan keberadaan komunitas Sedulur Sikep sehingga ada upaya mendekonstruksi makna lama dengan makna baru.
2.3.1 Teori Identitas Sosial Teori identitas sosial dikembangkan dan dipopulerkan oleh ahli psikologi Henri Tajfel pada tahun 1972. Tajfel bersama dengan peneliti lain, seperti Michael Billing, Dick Eisier, Jonathan Turner, dan Glyns Breakwell membuat penelitian mengenai identitas sosial, kategorisasi sosial, dan perbandingan sosial di dalam hubungan antarkelompok. Tajfel melihat kategorisasi yang dilakukan individu di dalam melekatkan nilai-nilai di dalam kelompoknya dan di dalam kelompok lain, sebagaimana penuturannya berikut ini.
36
“Kategorisasi sosial terjadi ketika kita berpikir tentang seseorang, baik diri kita maupun orang lain sebagai anggota kelompok sosial yang berarti atau bermakna. Di dalam hal ini, kita melihat saya sebagai kelompok A dan dia sebagai kelompok B. Saya berada di dalam kelompok ini karena memang sudah terlahir menjadi bagian kelompok karena kelompok tersebut, memang mendekati kriteria kepribadian saya. Kategorisasi diri terjadi ketika seseorang berpikir terhadap dirinya (daripada berpikir tentang orang lain) sebagai anggota kelompok sosial. Kategorisasi diri melibatkan di dalamnya perbandingan antarkelompok yang mereka miliki (in-group) dan kelompok yang tidak mereka rasa memilikinya (out-group). Dengan demikian, mengategorisasi, tentu saja manusia akan lebih dimudahkan untuk mengenal” (http:idhamputra.wordpress.com, 2 Maret 2012). Jeefrey Weeks (Kinarsih, 2007: 4) berpendapat tentang pentingnya identitas bagi individu ataupun kelompok adalah tentang belonging, persamaan dengan sejumlah orang, dan yang membedakan diri sendiri dengan orang lain. Identitas adalah kemampuan membangun cerita tentang dirinya. Hal ini merupakan sebuah proyek, yaitu individu berusaha mengonstruksi suatu narasi identitas koheren diri yang membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan (dengan pertanyaan, seperti siapakah aku, apa yang harus aku lakukan, bagaimana harus bertindak, dan lainlain). Jadi, identitas diri bukanlah kumpulan sifat yang dimiliki oleh individu, melainkan apa yang dipahami secara reflektif oleh orang dalam konteks biografinya. Identitas bukanlah ciri yang kita miliki, bukanlah sesuatu yang kita miliki untuk dipertunjukkan, tetapi merupakan cara berpikir tentang diri kita. Apa yang kita pikirkan tentang diri kita sering berubah-ubah dari lingkungan yang satu ke lingkungan yang lain serta dalam ruang dan waktu (sebuah proyek). Sebaliknya, kebenaran umum mencatat bahwa kita lahir dalam dunia yang telah ada sebelum kita. Hal ini mewajibkan kita belajar menggunakan bahasa yang telah
37
ada dan tata hubungan sosial yang telah ada. Secara singkat, hal ini menjelaskan mengapa kita mau dan tidak mau melalui tahapan sosialisasi atau akulturasi. Dalam tahapan ini, sumber yang digunakan sebagai proyek identitas tergantung pada kekuasaan situasional yang menjadi asal tempat budaya di mana kita berada. Di sini, identitas menjadi penting karena tidak hanya untuk penggambaran diri, tetapi juga ciri sosial. Identitas sosial diasosiasikan dengan hak-hak normatif, kewajiban, dan sanksi, yakni pada kolektivitas tertentu membentuk peran. Pemakaian tanda-tanda yang terstandardisasi, khususnya yang terkait dengan atribut badaniah, umur, dan gender merupakan hal yang fundamental pada masyarakat meskipun ada budaya yang tercatat. Secara spesifik, identitas menekankan suatu cerita yang dibangun setelah memikirkan diri kita. Pada saat kita membicarakan identitas kita, sebenarnya kita sedang bercerita pada orang lain bagaimana diri kita dalam persepsi kita sendiri setelah melihat, termasuk memikirkan keberadaan kita. Tampaknya, hal tersebut juga dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati karena hal-hal berikut. Pertama, komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati menyadari bahwa keberadaan mereka akan ditanggapi oleh orang di luar komunitas Sedulur Sikep. Di dalam hal ini, bisa saja tanggapan orang luar tersebut berbeda dengan apa yang dialami oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati karena keberadaannya dianggap sebagai sesuatu yang aneh, bahkan ditanggapi secara negatif oleh kelompok masyarakat lainnya. Kedua, karena keberadaan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati ditanggapi secara negatif, maka komunitas Sedulur Sikep menyadari bahwa mereka perlu
38
mengungkapkan bagaimana identitasnya dan cara komunitas Sedulur Sikep sendiri, walaupun mereka sadar bahwa identitas tersebut akan terpengaruh pada identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati apabila melihat dirinya sendiri. Pada kenyataan ini, peran teori identitas sosial adalah untuk melihat sejauh mana identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dibentuk, yaitu apakah pembentukan identitas ini mengikuti persepsi komunitas Sedulur Sikep sendiri atau justru dipaksakan oleh kekuatan dari komunitas non-Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Untuk memudahkan penelitian, maka lebih tepat apabila digunakan analisis identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dengan melihat komunitas Sedulur Sikep memikirkan dirinya. Walaupun demikian, unsur subjektivitas komunitas Sedulur Sikep cukup tinggi karena mereka akan melihat dirinya sendiri, tetapi ini jauh lebih tepat daripada mengikuti pandangan orang dari luar komunitas Sedulur Sikep. Dari bentuk identitas komunitas Sedulur Sikep tersebut, tercermin bagaimana posisi komunitas Sedulur Sikep di dalam masyarakat di Kabupaten Pati. Jika memang benar komunitas Sedulur Sikep dikategorikan sebagai warga kelas dua, yakni dalam pengertian lebih rendah daripada komunitas lain, maka apa yang dilakukan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati agar posisinya disejajarkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Pada saat inilah perlu fase perjalanan waktu yang dilalui oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Karena lewat paparan perjalanan waktu, maka terlihat hal-hal penting yang
39
dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati untuk menyejajarkan dirinya dengan kelompok masyarakat lain.
2.3.2 Teori Subaltern Teori
subaltern
digunakan
untuk
menganalisis
keterpinggiran
komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah yang terisolasi dan terbungkam di dalam struktur yang dominan. Secara umum, keterpinggiran adalah suatu posisi sisa atau posisi korban dalam hubungan oposisi biner (binary opposition) dalam paham modernisme. Pada kenyataannya, posisi komunitas Sedulur Sikep yang terpinggirkan, berada pada posisi yang dianggap kalah. Pada posisi tersebut, komunitas Sedulur Sikep juga dianggap the other (yang lain) atau subaltern. Studi subaltern pada dasarnya berada di wilayah postkolonial. Di dalam postkolialisme sering dipertentangkan antara yang dominan dan yang dikuasai. Kata “postkolonial” sering dihubungkan dengan kata kolonial (colonial) dari bahasa Romawi yang berarti pertanian atau permukiman. Pengertian ini sama sekali tidak berhubungan dengan konotasi negatif kata kolonial dalam pengertian penjajahan atau penguasaan tanah dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang. Penggunaan istilah postkolonial sebagai salah satu teori kritis untuk pertama kali tidak diketahui secara pasti. Di dalam hal ini, para ilmuwan, seperti Frantz Fanon, Edward W. Said, Bill Ashroft, Gayatri Spivak, P. Williams, dan L. Chrisman juga menggunakan kata postkolonial dalam karya-karya mereka. Pengertian postkolonial dalam
sudut
pandang budaya, kerap
dihubungkan dengan posisi konstruksi budaya menuju budaya putih global. Kebudayaan putih yang dimiliki kaum kolonial dianggap sebagai acuan
40
perkembangan bagi semua budaya. Hal ini terjadi karena anggapan bahwa budaya putih mempunyai keagungan tertinggi. Ketika kaum kolonial kemudian tidak lagi berkuasa karena sebab-sebab tertentu, maka penguasaan wilayah jajahan diserahkan kepada orang pribumi. Namun, ternyata pemerintahan masyarakat pribumi masih saja memakai pandangan kolonial sehingga masih dikategorikan sebagai kolonialisme (Sutrisno M, 2004: 10). Di dalam hal ini dapat dipahami bahwa postkolonial dapat berarti suatu keadaan setelah masa penjajahan berakhir. Penekanan penjajahan dalam dua pengertian, baik tipe penjajahan dari kelompok asing (Barat) maupun penjajahan dari masyarakat pribumi itu sendiri. Secara umum, postkolonial mengibarkan panji-panji kebebasan, pluralisme, dan dekonstruksi atau membongkar tradisi. Bidang yang luas pun menjadi
sasaran
ekspansi
postkolonialisme
walaupun
terminologinya
postkolonialisme berarti kondisi sesudah kolonial atau penjajahan dalam hal ini pengertiannya tidak hanya tentang hubungan yang terjajah dengan penjajah semata, tetapi juga mewadahi kajian tentang strategi politis ataupun intelektual yang digunakan oleh kaum yang terpinggirkan untuk menuntut kedaulatannya. Di dalam postkolonialisme, identitas merupakan sebuah ikon yang menjadi tema sentral; apakah identitas itu; bagaimana wujudnya; apa kegunaannya; menjadi rentetan permasalahan yang paling hangat diperdebatkan dewasa ini. Identitas kemudian dapat digolongkan sebagai produk strategis dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan (marginalisasi) untuk kembali merebut posisi mereka.
41
Di dalam poskolonial, istilah subaltern yang berkaitan dengan imperialisme, penjajahan budaya atau dominasi budaya tertentu terhadap budaya lain banyak digunakan. Istilah subaltern pertama kali digunakan oleh Antonio Gramsci untuk menunjukkan suatu kelompok sosial yang berada di subordinat, yaitu kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Teori subaltern berkembang dari konsep Marxis mengenai struktur kelas kelompok borjuis (kaum bangsawan) dan kelompok buruh (proletariat) yang kemudian dikembangkan oleh Gramsci di dalam teori hegemoninya (http://www.wikipedia.com, 23 Juni 2012). Perhatian utama teori subaltern adalah penekanan pada difference, termarginal, terpinggir, posisi tepi, subordinat, menomorduakan, dekonstruksi, representasi, dan identitas. Salah satu peletak dasar teori subaltern adalah Gayatri Spivak (Amin, 1996:12; http://kunci.or.id/esei/misc/maria gayatri.htm, 23 Juni 2012). Di dalam hal ini, Spivak tidak telepas dari pemikiran kelompok Marxis terutama Gramsci. Struktur teoretik kajian subaltern diadopsi dari Barat yang dipelopori oleh Gramsci yang menyebut subaltern sebagai kelas inferior, sedangkan Spivak menyebutnya sebagai subjek yang tertindas (kelas-kelas subaltern) dan secara krusial sublaternitas merupakan posisi tanpa identitas (Morton, 2008: 159). Wacana kekalahan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, sebagai kelompok masyarakat yang minoritas dari segi jumlah adalah keterpinggiran dan pandangan yang stereotipe negatif terhadap komunitas tersebut. Politik identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati menunjukkan representasi kekalahan, keterpinggiran, ingin diterima, dan berdaya
42
tanpa meniadakan kelas sosial lingkungannya. Di dalam konteks ini, menurut Spivak, memahami perbedaan manusia sangat penting daripada sebuah persamaan. Oleh karena itu, dekonstruksi menjadi sebuah metode yang tepat untuk memahami perbedaan dan keragamaan di dalam komunitas Sedulur Sikep. Spivak (Ritzer, 2003: 204) mendefiniskan sebagai berikut. “Untuk melokasikan teks marginal yang diharapkan, untuk menyingkap momen yang tidak dapat dipastikan, untuk membongkar kelonggarannya dengan pengungkit penanda positif untuk membalikkan hierarki yang tetap, hanya dengan menggantikannya, membongkarnya agar dibangun kembali.” Perhatian pemikiran subaltern terfokus
pada
kelompok yang
terpinggirkan dan terbungkam, yang tidak memiliki daya dan kemampuan di dalam menunjukkan eksistensinya. Kekerasan epistemik (epistemic violence) menjadi perrmasalahan mendasar yang selalu dihadapi oleh kelompok subaltern. Menurut Lubis (2006: 234), kekerasan epistemik adalah (1) mengakarnya asumsi logosentrisme tentang solidaritas cultural di antara masyarakat yang heterogen; (2) ketergantungan terhadap intelektual dan cara berpikir Barat sehingga ketika mereka berbicara lebih cenderung menunjukkan kepentingan Barat daripada kepentingan mereka sendiri. Komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, saat ini masih berada pada posisi subordinat, terpinggirkan, tepi, bungkam/diam, dan kalah di dalam persaingan dengan komunitas lain, terutama
Suku Jawa.
Kenyataannya bahwa komunitas Sedulur Sikep adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang telah merdeka dari penjajahan bangsa lain sejak 17 Agustus 1945. Namun, di dalam perjalanan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati tetap
43
tercatat adanya upaya-upaya kelompok di luar komunitas Sedulur Sikep untuk “menjajah”. Pola kolonialisme ternyata masih dirasakan oleh komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati karena posisinya dianggap lebih rendah, terpinggirkan, maka patut diajarkan berbagai hal agar mereka dapat sederajat dengan kelompok masyarakat lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutrisno (2004: 10) bahwa poskolonial tidak lantas mengisyaratkan berakhirnya era kolonialisme karena ada kemungkinan justru kaum pribumi yang berkuasa, yakni mengadopsi pikiran kolonialisme asing dan mempraktikkannya pada komunitas lainnya yang dianggap lebih rendah daripada yang berkuasa. Akhirnya, komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati tetap berjuang untuk membuktikan esksistensinya dan menolak terjajah lagi. Secara historis, walaupun komunitas Sedulur Sikep telah ada secara turuntemurun di Kabupaten Pati dan diakui sebagai salah satu kelompok masyarakat, keberadaan komunitas Sedulur Sikep dari waktu ke waktu dipandang negatif dan menjadi bahan ejekan dan perdebatan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan yang ditampilkan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dalam kehidupan sehari-hari jika dibandingkan dengan kehidupan keseharian etnis lain (suku Jawa). Hal ini membuktikan bahwa komunitas Sedulur Sikep masih dianggap lebih rendah daripada kelompok masyarakat lainnya. Sebagaimana lazimnya kelompok yang direndahkan, maka dapat dikatakan ada upaya dari kelompok lain untuk “menjajah” komunitas Sedulur Sikep. Keputusan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati untuk keluar dari keterpinggiran agar sederajad dengan komunitas lain adalah saat yang tepat untuk dianalisis melalui teori
44
subaltern. Di dalam hal ini, dengan menerapkan teori tersebut dapat dilihat apa yang sebenarnya mendorong komunitas Sedulur Sikep keluar dari subaltern.
2.3.3 Teori Hegemoni Negara dan masyarakat selalu berinteraksi.
Negara mengeluarkan
kebijakan dan peraturan untuk dilaksanakan oleh masyarakat. Agar peraturan tersebut dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat, maka salah satu cara yang digunakan oleh negara adalah melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Kepemimpinan moral dan intelektual ini disebut teori hegemoni (Wibowo, 2000). Teori hegemoni dipopulerkan oleh Antonio Gramsci (1891--1937), salah seorang teoretis Marxis terpenting pada abad ke-21. Pada awalnya, teori hegemoni merupakan bagian dari teori struktural konflik, tetapi versi Gramsci dikategorikan menjadi teori struktural konflik baru karena menawarkan sudut pandang baru tentang hegemoni. Di dalam teori struktural konflik, asumsi yang dibangun adalah bahwa masyarakat penuh dengan ketegangan dan selalu berpotensi melakukan konflik serta senantiasa terjadi perubahan (Maliki, 2003: 132). Pada awalnya, teori struktural konflik dicetuskan oleh Karl Marx dan diikuti oleh Max Weber. Keduanya mengembangkan berbagai ide dasar, yaitu pada satu sisi adalah kesamaan, tetapi pada sisi lainnya mengembangkan tipe konflik berbeda. Setelah berkembang, maka tipe konflik Karl Marx ternyata lebih populer daripada tipe konflik yang dikembangkan Max Weber. Walaupun lebih populer, bukan berarti pemikiran Karl Marx terlepas dari kritikan. Salah seorang pengkritik utama pemikiran Karl Marx adalah Antonio Gramsci.
45
Antonio Gramsci adalah salah seorang tokoh yang mengkritik prediksi Karl Marx tentang revolusi sosialisme yang dilandasi kekuatan ekonomi. Menurut Antonio Gramsci, terjadinya revolusi mungkin disebabkan oleh ekonomi. Namun, hal itu bukan faktor yang utama karena ideologilah yang mendorong bangkitnya massa menuntut revolusi. Di dalam hal ini, Gramsci mengemukakan bahwa terdapat dua macam hegemoni, yaitu (1) hegemoni dengan pemaksaan atau kekerasan; dan (2) hegemoni tanpa paksaan atau hegemoni dengan persetujuan (Maliki, 2003: 133). Menurut Simon (2004:
37 - 47), hegemoni dengan
persetujuan oleh Gramsci dinyatakan bahwa ada suatu blok historis dari fraksi kelas penguasa yang menerapkan otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelas subordinat dengan cara merebut persetujuan. Di dalam kaitan ini yang paling sentral menurut Gramsci adalah hegemoni selalu melibatkan pendidikan dan keberhasilan merebut persetujuan, yakni tidak hanya menggunakan kekuatan kasar dan pemaksaan semata. Salah satu contoh adalah ideologi yang menghegemoni karena ideologi dipahami sebagai peta-peta makna yang menyokong kekuasaan kekuatan kelompok sosial tertentu, memiliki akar dalam kondisi sehari-hari kehidupan populer. Di dalam kehidupan populer, orang mengatur kehidupan dan pengalaman mereka menjadi situsi krusial pertarungan ideologi. Inilah tempat ideologi dipahami sebagai serangkaian aliansi yang cair dan sementara terus-menerus direbut kembali dan dinegosiasi ulang. Selain hal di atas, Simon juga menjelaskan bahwa Gramsci memaparkan perjuangan ideologi pada politik Barat sebagai bagian terpenting. Hal ini sangat relevan dengan mereka yang peduli pada perubahan sosial.
46
Perubahan sosial itu merupakan hubungan yang erat dengan keberadaan mereka yang disebutnya sebagai intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional adalah mereka yang menempati posisi ilmiah, filosofis, atau religius di mata masyarakat. Intelektual tradisional dapat berasal dari berbagai kalangan dan sering memandang dirinya sebagai kelompok independen yang terlepas dari pengaruh ideologi mana pun. Meskipun demikian, intelektual tradisional juga memproduksi dan mempertahankan serta menyebarkan ideologi-ideologi yang membentuk hegemoni. Ideologi ini kemudian menjadi tertanam dan ternaturalisasi dalam akal sehat. Intelektual organik adalah bagian konstitutif dari perjuangan kelas pekerja. Mereka terlibat dalam pemikiran dan pengorganisasian berbagai elemen kelas kontra hegemoni dan sekutu-sekutunya. Peran ini dimainkan oleh mereka yang ada di dunia pendidikan, anggota serikat pekerja, para penulis, para pembuat kampanye, dan lain-lain. Walaupun pada mulanya konsep hegemoni berbicara tentang kelas sosial, pengaruh Gramsci melebar sehingga relasi konsep hegemoni yang ada sekarang sering melibatkan gender, kelamin, usia, etnisitas, dan identitas nasional. Di sisi lain, ia menguraikan bahwa hegemoni dapat dipandang sebagai upaya suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaannya terhadap kelaskelas di bawahnya dengan cara kekuasaan dan persuasi. Selain itu, penekanan pada upaya merebut sama besarnya dengan upaya mempertahankan kekuasaan. Hal itu terjadi karena jika hanya merebut lalu kemudian jatuh lagi, bukan sesuatu yang dipandang sebagai hegemoni. Hegemoni berhubungan dengan kekuasaan
47
dan kekuasaan dipandang sebagai suatu hubungan. Hal ini merupakan sebuah hubungan yang rumit karena melibatkan berbagai kelas, kelompok, dan kekuatan sosial lain. Sebagai contoh, pada saat menganalisis bagian munculnya kelas kapitalis serta tiga fase perkembangan kesadaran politik kolektif dan organisasi. Di dalam kaitan ini ada tiga fase yang harus dilalui, yaitu (1) berdiri sendiri dan belum tumbuh rasa solidaritas sesama pengusaha; (2) perasaan solidaritas mulai tumbuh di antara para pedagang; (3) para pedagang sadar bahwa untuk kepentingan perusahaannya pada masa sekarang dan masa yang akan datang, maka ia harus dapat melampaui batas korporasi kelas serta kepentingannya menjadi kepentingan kelompok yang lebih rendah. Di dalam hal ini, fase satu dan fase dua disebut korporasi, sementara fase tiga disebut hegemoni. Di dalam hal ini sebuah kelas dapat melakukan hegemoni jika mampu melampaui fase korporasinya dan berhasil menyatukan kepentingan kelas dan kekuatan sosial yang lain dengan kepentingannya sendiri sehingga berhasil menjadi representasi penuh dari kekuatan sosial utama membangun bangsa. Dengan demikian, kelas yang lebih rendah harus mulai melampaui aktivitas korporasi dalam lingkup setempat (aktivitas ketika mereka hanya peduli dengan kepentingan mereka sendiri yang bersifat sesaat) dan harus bergerak menuju fase hegemoni dengan memerhatikan kepentingan kelas dan kelompok lain. Selanjutnya, menurut Bocock (2006: 26) Gramsci juga menyatakan bahwa masyarakat kapitalis itu terdiri atas tiga hubungan sosial, yaitu (1) hubungan produksi sebagai hubungan dasar antara pekerja dan pemodal; (2) hubungan koersif yang menjadi watak negara; dan (3) hubungan sosial lain yang
48
membentuk masyarakat sipil. Di dalam hal ini hubungan pertama didasari oleh saling membutuhkan aset ekonomi, yakni tenaga dan modal. Hubungan kedua memaparkan suatu hubungan yang dimiliki oleh aparat negara yang bersifat monopolit dan koersif. Sementara itu, hubungan ketiga merupakan hubungan yang lebih luas karena tidak hanya melibatkan kelas pekerja dan pemodal, tetapi juga meliputi organisasi atau kelompok lain yang terbentuk dari praktik-praktik hubungan yang lebih kompleks, seperti gereja atau sekolah. Di dalam hal ini ada unsur kesengajaan untuk memisahkan masyarakat politik dengan masyarakat sipil. Masyarakat politik digunakan untuk mewakili hubungan koersif yang terwujud di dalam berbagai lembaga negara, seperti kepolisian, departemen, dan lembaga hukum. Masyarakat sipil merupakan wilayah di tempat pemilik modal, pekerja, dan kelompok lain terlibat dalam politik, partai politik, serikat dagang, dan lembaga keagamaan yang muncul. Namun, di sini bukan hanya sebagai wilayah perjuangan kelas, melainkan juga perjuangan demokrasi kerakyatan. Dengan demikian, secara teoretis kelas hegemoni akan menjalankan kekuasaannya terhadap kelas-kelas di bawahnya di samping kekuasaan negara yang menjalankan dominasinya dalam negara. Kekuasaan itu tersebar dalam masyarakat sipil dan menjelma dalam aparat koersif negara. Teori hegemoni Gramsci digunakan untuk menganalisis pernyataan lanjutan. Di dalam hal ini, faktor apa saja yang mendorong perjuangan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Secara umum, hegemoni Gramsci menawarkan bentuk baru, yakni adanya pola hegemoni dengan persetujuan di samping adanya
49
strategi khusus yang dilakukan kelas penguasa agar dominasinya diterima secara berkelanjutan. Di dalam kaitan ini, walaupun inti penekanan hegemoni tetap pada pola-pola mengenai kelas, Gramsci lebih luas memaparkan kesempatan yang dapat dijadikan pendekatan lebih baik untuk menguasai kelompok lain. Pada langkah pertama, dianalisis ideologi apa yang melekat kuat di dalam benak komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Selanjutnya, bagaimana ideologi tersebut memengaruhi komunitas Sedulur Sikep dalam menghadapi dinamika konflik sejak era Orde Lama sampai dengan Orde Reformasi. Asumsinya, pada saat konflik terjadi, kebanyakan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati membacanya sebagai tanda yang menyatakan adanya pihak luar ingin menguasai komunitas Sedulur Sikep. Konotasi penguasaan adalah konotasi negatif karena akan membahayakan kehidupan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati sehingga mereka bereaksi untuk menolak penguasaan tersebut. Walaupun demikian, pada saat tertentu, komunitas Sedulur Sikep bersedia berdialog dengan kelompok masyarakat lain yang berusaha menguasai komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Teori hegemoni Gramsci lebih difokuskan untuk menganalisis ideologi yang amat menekan atau mendorong adanya perjuangan identitas yang dilakukan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati. Perjuangan identitas ini merupakan cara untuk menolak penguasaan yang hendak dilakukan oleh kelompok di luar komunitas Sedulur Sikep.
50
2.3.4 Teori Dekonstruksi Dekonstruksi berasal dari kata deconstruction walaupun kata dasarnya adalah construction, deconstruction dapat dipahami secara umum sebagai usaha untuk membongkar bangunan yang telah dibangun atau dengan kata lain adalah upaya pembongkaran. Namun, ternyata belakangan kata dekonstruksi digunakan untuk mencirikan bagian terpenting dalam teori-teori yang digunakan oleh kalangan poststrukturalisme. Di dalam hal ini, dekonstruksi dapat diartikan sebagai cara-cara pengurangan terhadap suatu intensitas konstruksi yang merupakan susunan baku, bahkan universal. Sehubungan dengan hal tersebut, Al Fayyadl (2005: 7) menyatakan bahwa
pada
mulanya
dekonstruksi
adalah
bagian
ketiga
dari
aliran
posmodernisme. Posmodernisme merupakan reaksi dan kritik terhadap proyek modernisme Barat yang pada dasarnya berintikan pandangan dunia yang berorientasi pada kemajuan. Tanda kemajuan didefinisikan dengan kapitalisme, individualisme, dan kebangkitan Barat sebagai satu-satunya kekuatan peradaban. Modernisme didasari oleh para filosofis pandangan dunia (Barat) yang memiliki asumsi bahwa pengetahuan bersifat objektif, netral, dan bebas nilai, manusia sebagai subjek, dan alam sebagai objek. Pengetahuan kita terhadap realitas adalah positif, gamblang, dan jelas, rasio dan akal budi merupakan sumber dan satusatunya otoritas yang memiliki kebenaran tak tergugat. Manusia adalah pelaku dan penggerak sejarah karena ia memegang kendali secara monopoli atas berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi, serta aspek kehidupan lainnya.
51
Gelombang postmodernisme mematahkan asumsi-asumsi filosofis tersebut. Di dalam hal ini kedudukan manusia dan rasio bukanlah segalanya dan bahwa pandangan kita tentang dunia tidak seluruhnya bersifat objektif karena apa yang kita ketahui (pengetahuan) lahir dari pengalaman dan sering kali ambigu, eksistensial, dan dramatik (Al Fayyadl, 2005: 10). Selanjutnya, postmodernisme dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama, pemikiran yang merevisi paradigma kemodernan dengan merujuk kembali pola-pola pikir pramodern, tetapi bukan primitif. Sebagai contoh adalah kecenderungan gerakan spiritual yang kembali pada model metafisika Timur (new age) atau model pendekatan fisika baru (new physic) yang bersemboyan holisme dengan paradigma integralisme, seperti yang dikumandangkan Fritjop Capra, Frithjof Schuon, dan lain-lain. Kedua, pemikiran yang hendak merevisi paradigma kemodernan dengan mengoreksi tesis-tesis tertentu modernisme, tetapi tanpa menolaknya secara total. Nilai kemodernan, seperti rasionalitas atau adanya keyakinan tentang kebenaran yang objektif diakui, sejauh terbuka untuk menerima pluralitas dan kritik. Telaah kategori ini adalah David Ray Griffin, Frederick Ferre, dan David Bohm. Di dalam kategori ini pula, Jurgen Habermas berada meskipun tidak eksplisit menyebut dirinya postmodernis, ia meletakkan dialog dan konsensus sebagai konsep untuk mempertahankan modernitas. Konsep tentang rasio komunikatif Habermas merupakan upaya untuk merevisi wajah modernisme pada era postmodern. Ketiga, merupakan kategori yang lebih radikal karena semua pemikiran dalam kategori ini terkait dengan literary studies sehingga meminjam paradigma dan pendekatan kebahasaan atau linguistik. Kecenderungan kelompok ini adalah keinginan untuk mengatasi segala
52
bentuk pandangan dunia modern melalui gagasan yang sama anti pandangan dunia. Dari sini nilai fundamental modernisme, seperti diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, dan lain-lain dibenturkan secara ekstrem yang tidak pernah diduga kalangan modernitas itu sendiri. Semua hal itu untuk menunjukkan kecacatan internal dalam modernisme sehingga tidak mungkin membangun sebuah pandangan dunia yang utuh. Dekonstruksi merupakan kata yang paling populer dari kelompok ini. Pada mulanya diperkenalkan oleh Heidegger, tetapi belakangan dipopulerkan secara radikal oleh Derrida. Di dalam hal ini, cara mendekonstruksi modernisme dilakukan dengan berbagai langkah, seperti yang dilakukan Derrida, yaitu dengan menerapkan dua strategi: (1) membaca teks-teks yang dihasilkan filsuf Barat pada abad Pencerahan; (2) membandingkan antarteks tersebut untuk menemukan kontradiksi internal yang tersembunyi dalam logika atau tutur teks itu. Strategi tersebut, menempatkan Derrida sebagai salah satu tokoh paling populer dalam mendekonstruksi narasi besar. Paling tidak ada tiga butir utama pemikiran Derrida (Al Fayyadl, 2005: 25 - 28). Pertama, ia menolak adanya oposisi biner yang membuat satu unsur menjadi pusat, sementara unsur lain hanya menjadi tempelan. Dengan kata lain, Derrida menolak dikotomi “kehadiran” dan “absensi” (kehadiran subjek dan ketiadaan subjek lain). Di dalam tradisi metafisika, dikotomi kehadiran dan absensi dipertahankan sedemikian rupa dengan pemilahan pikiran atau tubuh, kesadaran atau kegilaan, rasionalitas atau irasionalitas, logos atau mitos, dan yang lainnya. Akan tetapi, Derrida menolaknya sehingga terbuka peluang sama besar terhadap semua subjek untuk tampil ke
53
permukaan. Oleh karena itu, subjek seperti kegilaan, mitos, irasional, dan lain-lain dapat setara dengan kesadaran rasionalitas dan logos. Kedua, Derrida menolak adanya suatu pemusatan atau dominasi struktur yang dianggap sebagai sentral dari semuanya. Sentral dianggap asal usul atau archia yang dalam metafisika disebut sebagai sumber kebenaran, yang menjadi fondasi bagi filsafat untuk membangun asumsi-asumsi filosofinya. Derrida menyarankan agar konsep “tujuan atau telos” yang dianggap sebagai titik akhir dalam filsafat ditanggalkan. Hal itu dilakukan karena “telos” mengisyaratkan sesuatu yang telah sempurna atau telah sampai pada realisasi akhir yang transenden dari segala jenis perubahan. Selanjutnya, menurut Derrida, “telos” menunjukkan tabiat logosentrisme yang senantiasa melihat sejarah secara linier, seolah-olah semuanya terjadi secara alamiah. Ketiga, Derrida mengajukan tawaran dalam rangka membendung logosentrisme Barat sehingga filsafat diperlukan sebagai sebuah tulisan, yakni konsep khas metafisika, seperti subjek, pengarang, pusat luruh dengan sendirinya. Tulisan yang dimaksudkan Derrida adalah teks yang tidak lagi memiliki esensi yang menjadi pusat dari struktur atau teks yang memiliki kemungkinan tidak terhingga untuk dibaca atau ditafsirkan. Di dalam tulisan ini muncul penafsiran-penafsiran yang berbeda dari keinginan pengarang karena teks tidak lagi tergantung pada subjek apa pun, tetapi membiarkan dirinya terurai dan otonom dalam pemaknaan yang tiada henti. Tidak berhenti di sini, Derrida juga membayangkan adanya suatu tulisan primordial yang diistilahkan ‘archi-writing”, yakni tulisan yang mengatasi segala bentuk metafisika dan kehadiran.
54
Teori Dekonstruksi Derrida digunakan untuk melihat apa makna perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati dikaitkan dengan hak untuk menyatakan pendapat dan demokrasi, hak kesejahteraan dan kelestarian lingkungan, serta hak kebebasan beragama dan melaksanakan keyakinan kepercayaan. Berbicara tentang makna, kita berbicara tentang upaya komunitas Sedulur Sikep membongkar makna lama yang menempatkan mereka pada posisi lebih rendah daripada kelompok masyarakat lain. Komunitas Sedulur Sikep berupaya memberikan makna baru berhubungan dengan keberadaan mereka di Kabupaten Pati. Pemaknaan ini terkait dengan upaya komunitas Sedulur Sikep membuat posisi kelompok mereka diakui setara dengan kelompok lain sehingga hak-hak dalam kehidupan keseharian juga dapat ditegakkan. Di dalam hal ini sesuai dengan acuan Hak Asasi Manusia (HAM), maka hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya merupakan hak dasar yang wajib dilindungi negara Indonesia, sehingga dalam kerangka perlindungan ini, seharusnya hak untuk menyatakan pendapat dan demokrasi, hak kesejahteraan dan kelestarian lingkungan, serta hak kebebasan beragama dan melaksanakan keyakinan kepercayaan komunitas Sedulur Sikep juga mendapat pengakuan secara utuh dari semua pihak, baik pemerintah maupun komunitas non-Sedulur Sikep.
2.4 Model Penelitian Ringkasan secara keseluruhan proses dan cara kerja penelitian, baik yang dilakukan secara teoretis, seperti yang telah direncanakan, maupun cara kerja seperti ditemukan dan dilakukan di lapangan dapat dilihat di dalam model
55
penelitian. Oleh karena itu, sebagai abstraksi penelitian mengenai perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah, maka model penelitian yang dikembangkan dapat dijelaskan dengan gambar berikut.
56
Gambar 2.1 PERJUANGAN IDENTITAS KOMUNITAS SEDULUR SIKEP DI KABUPATEN PATI PROVINSI JAWA TENGAH
KOMUNITAS SEDULUR SIKEP (MASYARAKAT TRADISI)
PEMERINTAH (MODERNISASI)
NILAI BUDAYA: PROGRAM PEMERINTAH: - AGAMA - PENDIDIKAN FORMAL - KEPENDUDUKAN - PEMBERDAYAAN EKONOMI
Bagaimana konstruksi identitas dan bentuk perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah?
PERJUANGAN IDENTITAS KOMUNITAS SEDULUR SIKEP DI KABUPATEN PATI
Mengapa muncul perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah?
- Ajaran Sikep - Agama Adam - Pendidikan Nonformal - Bahasa Jawa Sangkak - Pakaian Khas - Lingkungan Tempat Tinggal - Sistem Ritus
Apa makna perjuangan identitas komunitas Sedulur Sikep terhadap eksistensinya di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah?
KESEDERAJATAN KOMUNITAS SEDULUR SIKEP DENGAN KOMUNITAS LAINNYA Keterangan:
: menunjukkan hubungan timbal balik : menunjukkan pengaruh searah atau hubungan langsung : menunjukan harapan/tujuan penelitian
57
Pada bagian awal model digambarkan hubungan timbal balik antara pemerintah dan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah. Pihak pemerintah, baik pusat maupun di daerah, melalui aparaturnya selama ini berusaha menekan dan memperlakukan diskriminatif melalui programprogramnya agar dilaksanakan oleh komunitas Sedulur Sikep. Program yang dimaksud, antara lain keharusan untuk memilih agama resmi negara bagi pengikut Sedulur Sikep, program wajib belajar pendidikan dasar enam tahun (pendidikan formal), program kependudukan (seperti kewajiban memiliki kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan lain-lain), serta program pemberdayaan ekonomi masyarakat (revolusi hijau dan rencana pembangunan Pabrik Semen Gresik dan Pabrik Indocement). Pada sisi lain, komunitas Sedulur Sikep berusaha untuk melaksanakan
nilai-nilai budaya yang telah mengatur kehidupannya.
Bagi
Sedulur Sikep, nilai budaya yang dimiliki dapat memberikan kehidupan yang harmoni bagi komunitasnya. Oleh karena itu, komunitas Sedulur Sikep berupaya untuk melestarikan nilai budayanya karena tanpa pelestarian nilai budaya Sedulur Sikep akan membahayakan kelangsungan hidup mereka sendiri. Hubungan timbal balik yang tidak harmonis antara pemerintah dan komunitas Sedulur Sikep mengakibatkan munculnya pelabelan diri dari etnis Jawa terhadap komunitas Sedulur Sikep yang steretotip karena kebiasaan hidup mereka yang ”berbeda” (tidak mendukung program-program pemerintah). Dari rentetan tekanan tersebut, maka komunitas Sedulur Sikep menyusun strategi perlawanan melalui perjuangan identitasnya. Komunitas Sedulur Sikep menuntut pengakuan yang utuh atas keberadaan kelompoknya demi
58
kelangsungan anak cucu mereka pada masa yang akan datang. Proses komunitas Sedulur Sikep memperjuangkan identitasnya dapat dilihat dari tiga rumusan masalah yang diteliti. Berdasarkan pertanyaan tersebut, permasalahan penelitian ini dibahas pada bab V, VI, dan VII dengan refleksi dan temuan di samping dilengkapi juga dengan simpulan dan saran. Penelitian ini dilakukan melalui berbagai metode, acuan, konsep, dan landasan teori. Dari hasil penelitian ini diharapkan muncul rekomendasi untuk kesederajatan komunitas Sedulur Sikep di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah agar dapat berdaya dan berkembang bersama-sama dengan komunitas lainnya di Indonesia.