7 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka 1. Kreativitas dan Hasil Belajar SBK tentang Relief Pada Siswa Kelas IV SD a. Karakteristik Peserta Didik Kelas IV Sekolah Dasar Proses pembelajaran mempengaruhi setiap aspek perkembangan siswa sehingga mereka dapat menyesuaikan diri sebaik mungkin terhadap lingkungannya.
Karakteristik perkembangan peserta didik usia sekolah
dasar yaitu bekisar antara usia 5 atau 6 sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Erikson (Budiman, 2006: 5) menyebutkan anak usia ini sebagai usia sekolah, dalam hal ini sekolah dasar. Jean Piaget (Suharjo, 2006: 37) membagi proses perkembangan kognitif ke dalam empat tahapan, tahap-tahap perkembangan kognitif sebagai berikut: tahap sensori motor (0–2 tahun), anak tidak/belum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan inderanya. Selanjutnya tahap preoperasional (2–6/7 tahun), anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai di lingkungannya saja. Baru pada akhir tahun kedua, anak mulai mengenal simbol/nama. Pada tahap oprerasional konkret (6/7-11/12 tahun), anak sudah dapat mengetahui simbol-simbol matematis, tetpai belum dapat mengahadapi hal-hal yang abstrak. Dalam tahap ini anak mulai berkurang egosentrismenya dan sosiosentris (mulai membentuk peer group). Akhirnya tahap operasional formal (11 atau 12–14 atau 15), anak sudah mempunyai pemikiran yang abstrak pada bentuk-bentuk lebih kompleks. Selanjutnya menurut Rusman (2012: 251) pada usia SD (7-11 tahun) anak berada pada tahap operasional kongkrit, yang mana pada rentang usia ini tingkah laku anak yang tampak sebagai berikut:
7
8 1) anak mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek ke aspek yang lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak; 2) anak mulai berfikir secara operasional; 3) anak mampu mempergunakan cara berfikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda; 4) anak dapat membentuk dan menggunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat; 5) anak dapat memahami konsep substansi, panjang, lebar, luar, tinggi, rendah, ringan dan berat. Sedangkan menurut Susanto (2013: 78) bahwa, anak usia sekolah dasar berada pada tahapanan operasional konkret (usia 7-11 tahun) menunjukkan perilaku belajar yang berkembang, yang ditandai dengan ciriciri sebagai berikut: 1) anak mulai memandang dunia secara objektif; 2) anak mulai berpikir secara operasional, yakni anak mampu memahami aspek-aspek kumulatif materi; 3) anak
dapat
menggunakan
cara
berpikir
operasional
untuk
mengklasifikasikan benda-benda yang bervariasi beserta tingkatannya; 4) anak mampu membentuk dan menggunakan keterhubungan aturanaturan, prinsip ilmiah sederhana, dan menggunakan hubungan sebab akibat; 5) anak mampu memahami konsep substansi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan karakteristik siswa kelas IV SD yaitu usia 9-11 berada pada tahap operasional konkret, mereka sudah memandang dunia secara objektif, berpikir secara
operasional,
mampu memahami konsep sebenarnya, mampu memahami peristiwaperistiwa
yang
konkret,
mampu
membentuk
dan
menggunakan
keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana dan menggunakan hubungan sebab akibat. Penerapan model CTL dengan media konkret sesuai karakteristik siswa kelas IV SD, karena model ini dapat mengaitkan antara
9 materi yang dipelajarinya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. b. Hakikat Hasil Belajar 1) Pengertian Belajar Belajar secara konseptual Fontana (Winataputra, 2007: 1.9) mengartikan bahwa, “Belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman”. Seperti Fontana, R. Gagne (Susanto, 2013: 1) mendifinisikan belajar sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Menurut Burton Usman dan Setiawati (Susanto, 2013: 3), “Belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu lain dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya”. Selanjutnya, W.S. Winkel (Susanto, 2013: 4) bahwa, “Belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung
dalam
interaksi
aktif
antara
seseorang
dengan
lingkungannya dan menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas”. Sementara E.R Hilgard (Susanto, 2013: 3) berpendapat bahwa, “Belajar adalah suatu perubahan kegiatan reaksi terhadap lingkungan. Perubahan kegiatan yang dimaksud mencakup pengetahuan, kecakapan, tingkah laku, dan diperoleh melalui latihan (pengalaman).” Sedangkan Susanto (2013: 4) menyimpulkan bahwa, belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dengan sengaja dalam keadaan sadar untuk memperoleh suatu konsep, pemahaman, atau pengetahuan baru sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang relatif tetap baik dalam berpikir, merasa, maupun dalam bertindak.
10 Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian belajar adalah suatu aktivitas dalam proses terjadinya perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap yang relatif tetap sebgai hasil dari pengalaman interaksi dengan lingkungannya. 2) Pengertian Hasil Belajar Setiap kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan pasti tujuannya untuk mendapatkan hasil dari kegiatan pembelajaran. Hasil belajar ini yang akan menunjukkan suatu pembelajaran apakah berhasil atau tidak. Hal ini sejalan dengan pendapat Dimiyati dan Mudjiono (2009: 3) bahwa, hasil belajar dapat diartikan sebagai tindak belajar dan mengajar. Menurut Susanto (2013: 5), pengertian hasil belajar, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada diri siswa, baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar. Selanjutnya, Nawawi (Susanto, 2013: 5) mempertegas bahwa, “Hasil belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.” Sedangkan Arifin. Z (26) menyebutkan, “Hasil belajar merupakan gambaran tentang apa yang harus digali, dipahami, dan dikerjakan peserta didik.” Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, pengertian hasil belajar adalah perubahan tingkah laku dalam diri siswa setelah menerima pengalaman belajar berupa aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. 3) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Menurut Munadi (Rusman, 2012: 124) faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal terdiri dari faktor fisiologis (seperti kesehatan yang prima, tidak dalam keaadaan lelah, tidak dalam keadaan catatan
11 psikologis (meliputi intelegensi/ IQ, perhatian, minat, motif, motivasi, kognitif, dan daya nalar siswa). Sedangkan faktor eksternal terdiri dari faktor lingkungan (seperti lingkungan fisik dan lingkungan sosial) dan faktor instrumental (berupa kurikulum, sarana dan guru). Sejalan dengan pendapat di atas, Sunarto (Siswoyo, 2013), menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar meliputi faktor internl dan eksternal. Faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor dari dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi prestasi belajarnya,
meliputi (1) kecenderdaan/
intelegensi, (2) bakat, (3) minat, dan (4) motivasi. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar seseorang yang sifatnya berasal dari luar diri seseorang tersebut, anatar lain: (1) keadaan lingkungan keluarga, (2) keadaan lingkungan sekolah, (3) keadaan lingkungan masyarakat. Wasliman (Susanto, 2013: 12) juga sependapat bahwa, faktorfaktor yang mempengaruhi hasil belajar meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri siswa yang mempengaruhi kemampuan belajarnya. Faktor internal meliputi kecerdasan, minat dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri siswa yang mempengaruhi hasil belajar. Faktor eksternal meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, faktorfaktor yang mempengaruhi belajar ialah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kecerdasan, minat dan perhatian, bakat, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
12 c. Hakikat Kreativitas 1) Pengertian Kreativitas Kreativitas merupakan istilah yang banyak digunakan baik di lingkungkan sekolah maupun di luar sekolah, tergantung pada cara pandang seseorang. Kreativitas biasanya dikaitkan dengan sikap kreatif seseorang. Jerome Kagam (Winatraputra, 2011: 8.9) mengatakan bahwa: Creativity refers to a product, and if made by a person, we give him (or her) the honor of the adjuective. Pada budaya barat kreativitas umumnya dilihat sebagai kemampuan seseorang dalam membuat atau menciptakan suatu produk, atau kemampuan seseorang memecahkan masalah atau misteri. Kreativitas menurut Clark Moustakis (Munandar, 2012: 18) adalah pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, alam, dan orang lain. Selanjutnya Silver (Susanto, 2013: 99) menyatakan “...kreatif dipandang sebagai ciri-ciri mental yang langka, yang dihasilkan oleh individu luar biasa berbakat melalui penggunaan proses pemikiran yang luar biasa, cepat, dan spontan.” Lain dari pendapat Silver, kreativitas menurut Harris (Susanto, 2013: 100) dipandang sebagai suatu kemampuan, sikap, dan proses. Kreativitas sebagai kemampuan adalah untuk menghasilkan ide-ide baru dengan mengkombinasikan, mengubah atau menerapkan kembali ide-ide yang telah ada. Kreativitas sebagai sikap adalah kemampuan diri untuk melihat perubahan dan kebaruan, suatu keinginan untuk bermain dengan ide-ide dan kemungkinan-kemungkinan, sambil mencari caracara untuk memperbaikinya. Kreativitas sebagai proses adalah suatu kegiatan yang terus-menerus memperbaiki ide-ide dan solusi-solusi, dengan membuat perubahan yang bertahap dan memperbaiki karyakarya sebelumnya. Selanjutnya, Susanto (2013: 105) menyimpulkan bahwa, kreativitas secara operasional adalah sebagai kemampuan yang
13 mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas dalam berpikir, serta
kemampuan
untuk
mengolaborasikan,
mengembangkan,
memperkaya, merinci suatu gagasan. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian kreativitas adalah kemampuan seseorang dalam membuat atau menciptakan suatu yang baru baik ide-ide, produk, atau proses yang mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas. Sedangkan kreativitas siswa adalah kemampuan yang dimiliki siswa dalam membuat atau menciptakan suatu yang baru baik berupa ide, produk, atau proses yang mencerminkan ciri khusus yang dilihat keorisinalitasannya dengan siswa lainnya. 2) Indikator Kreativitas Siswa Adapun menurut rumusan yang dikeluarkan oleh Depdiknas tentang Kurikulum Pendidikan Dasar (Susanto, 2013: 102), bahwa indikator siswa yang memiliki kreativitas, yaitu: a) Memiliki rasa ingin tahu yang besar. b) Sering mengajukan pertanyaan yang berbobot. c) Memberikan banyak gagasan dan usul dalam suatu masalah. d) Mampu menyatakan pendapat secara spontan dan tidak malu-malu. e) Mempunyai dan menghargai rasa keindahan. f) Mempunyai pendapat sendiri dan dapat mengungkapkannya, tidak terpengaruh orang lain. g) Memiliki rasa humor tinggi. h) Mempunyai daya imajinasi yang kuat. i) Mampu mengajukan pemikiran, gagasan pemecahan masalah yang berbeda dari orang lain (orisinal). j) Dapat bekerja sendiri. k) Senang mencoba hal-hal baru. l) Mampu
mengembangkan
(kemampuan elaborasi).
atau
memerinci
suatu
gagasan
14 Sedangkan menurut Uno (Sajidin, 2013) Indikator kreativitas belajar adalah sebagai berikut: a) Memiliki rasa ingin tahu. Siswa kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat, mempunyai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. b) Sering mengajukan pertanyaan yang membangun. Siswa kreatif dalam belajar selalu bertanya dan pertanyaan yang diajukan berbobot dan sifatnya membangun. c) Memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah. Siswa keatif mampu memberikan gagasan dan usul terhadap suatu masalah yang perlu diselesaikan. d) Mampu menunjukkan pendapat secara spontan dan tidak malumalu. Apabila mengeluarkan pendapat dan tidak malu-malu. e) Mempunyai atau menghargai keindahan. Minat siswa dalam keindahan lebih kuat, walaupun tidak semua orang kreatif menjadi seniman, tetapi mereka mempunyai minat yang cukup besar terhadap keadaan alam, seni, sastra, musik dan teater. f) Bebas berfikir dalam belajar. Siswa mempunyai kebebasan untuk mengembangkan
pengetahuan
awal
yang
diperoleh
untuk
kemudian diterapkan dalam kehidupannya. g) Memiliki rasa humor tinggi. Siswa dapat melihat masalah dari berbagai sudut dan memiliki kemampuan untuk bermain dengan ide, konsep atau kemungkinan-kemungkinan yang dikhayalkan. h) Mempunyai daya imajinasi yang kuat. Siswa kreatif biasanya lebih tertarik pada hal-hal rumit. i) Mampu mengajukan pemikiran, gagasan pemecahan masalah yang berbeda dengan orang lain. Siswa mempunyai rencana yang inovatif serta orisinal yang telah dipikirkan dengan matang dengan mempertimbangkan
masalah
yang
mungkin
timbul
dan
implikasinya. j) Dapat bekerja sendiri. Siswa kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri, sehingga selalu mengerjakan sendiri.
15 k) Sering mencoba hal-hal baru. Siswa yang kreatif berani mengambil resiko (tetapi dengan perhitungan). l) Mampu mengembangkan atau merinci suatu gagasan. Siswa kreatif dapat mengembangkan suatu gagasan baru agar dapat berkembang kearah yang lebih baik dan jelas. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, indikator kreativitas siswa yaitu: (1) memiliki rasa ingin tahu; (2) sering mengajukan
pertanyaan
yang
membangun;
(3)
banyak
gagasan/pendapat yang berbeda terhadap masalah; (4) tidak malu-malu; (5) mempunyai atau menghargai keindahan; (6) bebas berfikir dalam belajar; (7) memiliki rasa humor tinggi; (8) mempunyai daya imajinasi yang kuat; (9) dapat bekerja sendiri; (10) sering mencoba hal-hal baru; (11) mampu mengembangkan atau merinci suatu gagasan; dan (12) tidak mudah terpengaruh orang lain. 3) Faktor-faktor Pendorong dan Penghambat Kreativitas a) Faktor Pendorong Torrance (Susanto, 2013: 103) menyebutkan lima bentuk interaksi guru dan siswa yang mampu mengembangkan kecakapan kreatif siswa, sebagai berikut: (1) menghormati pertanyaan yang tidak biasa; (2) menghormati gagasan yang tidak biasa serta imajinatif; (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar atas prakarsa sendiri; (4) memberi penghargaan kepada siswa; (5) meluangkan waktu bagi siswa untuk belajar bersibuk diri tanpa suasana penilaian. Sedangkan menurut Hurlock (Susanto, 2013: 104) beberapa faktor pendorong yang dapat meningkatkan kreativitas, yaitu: waktu, kesempatan menyendiri, dorongan, sarana, lingkungan merangsang, hubungan anak dengan orang tua tidak posesif, cara mendidik anak, dan kesempatan memperoleh pengetahuan.
16 b) Faktor Penghambat Menurut Amabile (Susanto, 2013: 104). mengemukakan faktor penghambat yang dapat mematikan kreativitas anak, yaitu: evaluasi, hadiah, persaingan atau kompetisi antar anak, dan lingkungan yang membatasi. Sadangkan Torrance
(Susanto, 2013: 105) menyebutkan
faktor penghambat yang dapat mematikan kreativitas anak berupa hal-hal sebagai berikut: (1) Usaha terlalu dini untuk mengimplementasikan fantasi. (2) Pembatasan terhadap rasa ingin tahu anak. (3) Terlalu menekankan peran berdasarkan perbedaan seksual. (4) Terlau banyak melarang. (5) Takut dan malu. (6) Penekanan yang salah kaprah terhadap keterampilan verbal. (7) Memberikan kritik yang bersifat desktruktif. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, faktor pendorong kreativitas adalah (1) menghargai pertanyaan atau gagasan yang tidak biasa serta imajinatif; (2) memberi kesempatan belajar atas kemauan sendiri; (3) memberi penghargaan dan dorongan; (4) meluangkan waktu untuk belajar bersibuk diri tanpa penilaian; (5) penyedian sarana dan lingkungan belajar; dan (6) tidak posesif. Sedangkan faktor penghambat kreativitas siswa yaitu: (1) usaha terlalu dini mengimplementasikan fantasi; (2) pembatasan rasa ingin tahu anak; (3) banyak larangan; (4) takut dan malu; (5) penekanan yang salah kaprah terhadap keterampilan verbal; (6) kritik bersifat desktruktif; dan (7) lingkungan membatasi. Berdasarkan kesimpulan faktor pendorong dan penghambat kreativitas di atas, penelitian ini akan memaksimalkan faktor pendorong dan meminimalkan faktor penghambat agar tidak menghambat peningkatan kreativitas siswa.
17 d. Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) 1) Pengertian Pembelajaran SBK Sesuai yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang BSNP tidak hanya terdapat pada satu mata pelajaran karena budaya itu sendiri, yakni meliputi segala aspek kehidupan. Karena itu mata pelajaran SBK pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya yang aspek-aspeknya meliputi: seni rupa, seni musik, seni tari, dan keterampilan. Menurut Sobandi (Muharsih, 2014) pengertian SBK merupakan mata pelajaran yang memiliki keunikan, kebermaknaan, dan bermanfaat terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik yang memberikan pengalaman dalam bentuk berkreasi, berekpresi dan berapresiasi.
Sedangkan dalam KTSP menyebutkan bahwa, “Pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan merupakan salah satu pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah dasar. Pendidikan SBK merupakan sarana untuk mengembangkan kreativitas anak” (Susanto, 2013: 273). Melalui pembelajaran SBK para siswa dapat memunculkan kreativitasnya. Pendidikan bukan hanya mengajarkan siswa untuk menjadi pintar dan cerdas, namun disisi lain pendidikan juga harus mempertimbangkan unsur kreativitas pada diri siswa. Upaya untuk menumbuhkan kreativitas dengan memberi rangsangan dan pengalaman langsung. Dari uraian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, pembelajaran SBK merupakan kegiatan pembelajaran seni yang berbasis budaya dengan tujuan siswa menjadi lebih aktif, kritis, dan kreatif dalam mengembangkan kreativitasnya. 2) Fungsi Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) Pembelajaran SBK menurut Susanto (2013: 264) adalah sebagai salah satu pelajaran yang membantu mengembangkan jasmani dan rohani anak untuk membentuk kepribadian dan menyiapkan
18 manusia yang memiliki nilai estetis dan memahami perkembangan seni budaya nasional. Dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Kurikulum 2006 menyatakan bahwa, Pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan multikultural. Multilingual bermakna pengembangan kemampuan mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai cara dan media seperti bahasa rupa, bunyi, gerak, peran dan berbagai perpaduannya. Multidimensional bermakna pengembangan beragam kompetensi meliputi konsepsi (pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi), apresiasi, dan kreasi dengan cara memadukan secara harmonis unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika. Sifat multikultural mengandung makna pendidikan seni menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya Nusantara dan Mancanegara. Berdasarkan
uraian
di
atas,
Kesimpulan
dari
fungsi
pembelajaran SBK yaitu, membentuk kepribadian anak, menumbuhkan nilai estetis, sarana mengekspresikan diri secara kreatif, pengembangan beragam kompetensi (pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi), menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap ragam budaya. 3) Tujuan Pembelajaran Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) Tujuan pembelajaran merupakan rumusan tingkah laku dan kemampuan yang harus dicapai dan dimiliki siswa. Dijelaskan pada KTSP (Susanto, 2013: 273) bahwa, “Tujuan dari pendidikan SBK bukan untuk membina anak-anak menjadi seniman, melainkan untuk mendidik menjadi kreatif”. Rohidi (Susanto, 2013: 265) mengungkapkan “Seni sebagai media dalam pendidikan untuk meningkatkan kreativitas peserta didik”. Susanto (2013: 265) yang sependapat dengan yang dijelaskan Undang-Undang No. 22 tentang Standar Isi menjelaskan bahwa, Mata pelajaran SBK bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan dalam: (1) memahami konsep dan pentingnya seni budaya dan
19 keterampilan; (2) menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya dan keterampilan; (3) menampilkan kreativitas melalui seni budaya dan keterampilan; (4) menampilkan peran serta dalam seni budaya dan keterampilan dalam tingkat lokal, regional, maupun global. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran SBK yaitu: a) memahami konsep dan pentingnya seni budaya dan keterampilan; b) membentuk
kepribadian
yang
memiliki
nilai
estetis
dan
menampilkan sikap apresiasi terhadap suatu karya; c) sebagai media untuk meningkatkan kreativitas dan menampilkan kreativitas peserta didik; d) menampilkan peran serta dalam seni budaya dan keterampilan dalam tingkat lokal, regional, maupun global. Pada
penelitian
ini,
tujuan
pembelajaran
SBK
lebih
menekankan pada poin “c” yaitu sebagai media meningkatkan kreativitas dan menampilkan kreativitas peserta didik. Tujuan tersebut sesuai dengan penelitian ini yaitu dalam meningkatkan kreativitas siswa kelas IV SD Negeri 2 Sidomoro. 4) Ruang Lingkup Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) Undang-Undang No. 22 tentang Standar Isi (2006: 186) menjelaskan bahwa, mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a) Seni rupa, mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai dalam menghasilkan karya seni berupa lukisan, patung, ukiran, cetakmencetak, dan sebagainya. b) Seni musik, mencakup kemampuan untuk menguasai olah vokal, memainkan alat musik, apresiasi karya musik. c) Seni tari, mencakup keterampilan gerak berdasarkan olah tubuh dengan dan tanpa rangsangan bunyi, apresiasi terhadap gerak tari. d) Seni
drama,
mencakup
keterampilan
memadukan seni musik, seni tari dan peran.
pementasan
dengan
20 e) Keterampilan, mencakup segala aspek kecakapan hidup (life skills) yang
meliputi
keterampilan
personal,
keterampilan
sosial,
keterampilan vokasional dan keterampilan akademik. Berdasarkan aspek-aspek pelajaran SBK, pada penelitian ini menekankan pada aspek seni rupa, karena materi relief pada kelas IV SD semester 2 termasuk dalam seni rupa. Untuk lebih jelasnya penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar materi relief berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di SD Negeri 2 Sidomoro sebagai berikut. Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tentang Relief Kelas IV SD Negeri 2 Sidomoro Semester 2 Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 10. Mengekspresikan 10.1 Membuat relief dari bahan plastis diri melalui karya dengan pola motif hias. seni rupa. 10.2 Menyiapkan karya seni rupa yang dibuat untuk pameran kelas. 10.3 Menata karya seni rupa yang dibuat dalam bentuk pameran kelas. Penelitian ini tidak mengambil semua KD di atas, hanya 10.1 Membuat relief dari bahan plastis dengan pola motif hias. Kemudian, peneliti menentukan indikatornya yaitu: (1) mengidentifikasi pengertian relief, (2) menyebutkan contoh relief disekitar, (3) menyebutkan bahanbahan yang dapat digunakan untuk membuat relief, (4) menyebutkan teknik-teknik dalam pembuatan relief, (5) membuat pola rancangan, (6) mengidentifikasi cara/langkah pembuatan relief dari plastisin, (7) membuat karya relief dari plastisin, (8) mengidentifikasi cara/ langkah pembutan relief dari sabun batang, (9) membuat pola rancangan, (10) membuat karya relief dari sabun batangan, (11) mengidentifikasi langkah/cara pembuatan relief dari tanah liat, (12) membuat pola rancangan, dan (13) membuat karya relief dari tanah liat dengan pola ragam hias nusantara.
21 5) Seni Rupa a) Pengertian Seni Rupa Menurut Arul (2011), Seni rupa adalah salah satu cabang kesenian, seni rupa merupakan ungkapan gagasan dan perasaan manusia yang diwujudkan melalui pengolahan median dan penataan elemen serta prinsip-prinsip desain. Anwari (2015) berpendapat bahwa, “Seni rupa adalah ungkapan gagasan atau perasaan estetis dan bermakna yang diwujudkan melalui media titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, dan gelap terang yang ditata dengan prinsip-prinsip tertentu”. Sedangkan menurut Sa’diyah (2015) Seni rupa adalah sebuah konsep atau nama untuk salah satu cabang seni yang bentuknya terdiri atas unsur-unsur rupa yaitu: garis, bidang, bentuk, tekstur, ruang dan warna. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, pengertian seni rupa yaitu ungkapan gagasan dan perasaan estetis yang diwujudkan melalui pengolahan media titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, dan ruang yang ditata dengan prinsipprinsip desain. b) Bentuk Karya Seni Rupa Menurut Yandha (2012) bentuk karya seni rupa dibagi berdasarkan dimensinya (1) karya dua dimensi dan (2) karya tiga dimensi. Berdasarkan kegunaan atau fungsinya dibagi menjadi (1) karya seni rupa murni (pure art, fine art) dan (2) karya seni rupa terapan (useful art/applied art). Menurut Anwari (2014) menyebutkan bahwa, menurut kegunaannya seni dibagi menjadi seni rupa murni dan seni rupa terapan. Seni rupa murni karena karya seni ini mengutamakan fungsi keindahan atau hanya untuk dinikmati nilai atau mutu seninya dengan indera penglihatan. Sedangkan seni rupa terapan
22 merupakan karya seni rupa yang mengutamakan fungsi pakainya selain itu juga dinikmati mutu seninya. Berdasarkan wujud dan dimensinya seni rupa dapat dibedakan menjadi dua yakni karya seni rupa dua dimensi dan karya seni rupa tiga dimensi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bentuk karya seni rupa dibagi berdasarkan dimensinya yaitu seni rupa dua dimensi dan tiga dimensi. Sedangkan berdasarkan kegunaannya yaitu seni rupa murni dan seni rupa terapan. c) Jenis Karya Seni Rupa Menurut Yandha (2012) jenis karya seni rupa yaitu, (1) seni lukis, gambar; (2) seni patung; (3) seni grafis; (4) seni kria; (5) seni bangunan; dan (6) desain. Menurut Anwari (2014) macam-macam seni rupa yaitu: (1) seni lukis; (2) seni illustrasi; (3) seni reklame; (4) seni grafik (mencetak); (5) seni patung; (6) seni bangun (arsitektur); (7) seni dekorasi; (8) seni ukir (pahat); (9) seni kerajinan; (10) seni mode; (11) seni fotografi (potret). Sedangkan Sudrajat (2010) menyebutkan bahwa, jenis karya seni rupa yaitu: (1) seni lukis; (2) seni patung; (3)seni grafis (cetak); (4) seni kria; (5) seni bangunan; (6) desain. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan jenis karya seni rupa yaitu (1) seni lukis, gambar; (2) seni patung; (3) seni grafis (cetak); (4) seni kria; (5) seni bangunan (arsitektur); (6) desain; (7) seni ilustrasi; (8) seni reklame; (9) seni dekorasi; (10) seni ukir (pahat); (11) seni kerajinan; (12) seni mode. Pada penelitian ini, aspek SBK yang digunakan yaitu seni rupa yang jenisnya seni rupa terapan dua dimensi dan tiga dimensi. Jenis karya seni yang digunakan yaitu seni ukir pada pembelajaran SBK kelas IV di SD Negeri 2 Sidomoro.
23 6) Materi Relief a) Pengertian Relief Seni relief banyak ditemui di bangunan-bangunan candi. Seni tersebut digunakan untuk kepentingan spiritual. Di Indonesia seni relief juga banyak kita temui dalam bentuk lain, misalnya seni ukir. Menurut Rasjoyo, seni relief adalah hasil perpaduan seni rupa dua dimensi dengan seni rupa tiga dimensi. Bentuknya adalah gambar timbul di atas media dua dimensi (Nurmeita, 2013). Menurut Murtono (2011: 78) relief adalah gambar timbul. Selanjutnya, menurut Subekti. A., dkk (2010: 76) menyebutkan bahwa: “Relief adalah lukisan timbul yang diciptakan dengan cara memahat atau membentuk, menempel, memijit, dan sebagainya”. Sedangkan menurut Kamus Seni Rupa (Nurmeita, 2013), relief adalah karya seni rupa tiga dimensi yang nilai perwujudannya ditekankan pada penataan dalam dan dangkalnya (timbul atau dalam) suatu permukaan. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, pengertian relief yaitu lukisan gambar timbul dengan cara memahat atau membentuk,
menempel,
memijit,
dan
sebagainya
yang
menampilkan perbedaan bentuk dan gambar dari permukaan rata di sekitarnya. b) Teknik Pembuatan Relief Menurut Fauziyyah (2012) menyebutkan bahwa, “teknik pembuatan relief antara lain memahat, menempel, membentuk, dan memijat.” Menurut Yusup (2014) menyebutkan teknik membuat karya seni relief sebagai berikut: (1) Memahat (mengukir) adalah membentuk sesuatu dari bahan keras dengan mempergunakan pahat. Bahan yang biasa dipahat seperti batu, kayu, marmer dan gading.
24 (2) Membutsir adalah membentuk sesuatu dengan menggunakan jari dan alat sudip. Bahan-bahannya antara lain tanah liat, plastisin, lilin. (3) Mengecor adalah menuang dalam cetakan. Bahan pengisinya adalah lilin cair atau adukkan semen. (4) Menempel adalah melekatkan media kepada pola yang telah disediakan sehingga diperoleh pola gambar yang lebih menojol dari permukaan sekitarnya. Bahan-bahanya antara lain tepung kanji, kertas, dan pigura. Sedangkan menurut Mirantiyo (2013) teknik membuat relief yaitu: (1) Memahat adalah membentuk sesuatu dari bahan keras dengan mempergunakan pahat. Bahan yang biasa dipahat seperti batu, kayu, marmer dan gading. (2) Membutsir adalah membentuk sesuatu dengan menggunakan jari dan alat sudip. Bahan-bahannya antara lain tanah liat, plastisin, lilin, malam, bubur kertas dll. (3) Mengecor adalah menuang dalam cetakan. Oleh karena itu, yang perlu dibuat terlebih dahulu adalah pola acuannya atau cetakannya. Bahan pengisinya adalah lilin cair atau adukkan semen. Tim mencungkil
Bina adalah
Karya
(2006:
membentuk
26) sesuatu
menyebutkan dari
bahan
bahwa keras
menggunakan alat pahat. Sedangkan membutsir adalah membentuk bahan lunak dengan tangan atau alat bantu. Selanjutnya Murtono (2011: 79) menjelaskan, Mencungkil yaitu membuat pola gambar relief dengan membuang atau mengorek sebagian bahan dengan menggunakan alat pencungkil. Sedangkan membutsir adalah cara membentuk pola gambar relief dengan membentuk bahan dengan menggunakan tangan dan alat bantu.
25 Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa teknik dalam pembuatan relief yaitu memahat (mengukir), menempel, membentuk, dan memijat, mengecor,dan membutsir. Dari
beberapa
teknik
di
atas,
penelitian
ini
akan
menggunakan teknik dalam pembuatan relief pada kelas IV SD yaitu teknik membutsir dan mencungkil. Membutsir adalah membuat pola gambar relief dengan membuang atau mengorek sebagian bahan dengan menggunakan alat pencungkil. Sedangkan mencungkil adalah cara membentuk pola gambar relief dengan membentuk bahan yang sifatnya masih lentur atau lunak dengan cara mengurangi dan menambah. c) Pembuatan Relief dari Bahan Plastis (1) Pengertian Bahan Plastis Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014: 1085) plastis berarti bersifat mudah dibentuk (diwujudkan menjadi benda yang lain); bersifat plastik. Sedangkan Murtono (2011: 78) menyebutkan bahwa, “Bahan plastis yaitu bahan yang lunak, dan mudah dibentuk.” Selanjutnya menurut Eniriyanto (2010) menyebutkan bahwa, “Bahan plastis berarti lentur dan mudah dibentuk.” Berdasarkan beberapa pendapat di atas tentang pengertian bahan plastis disimpulkan bahwa, pengertian bahan plastis adalah bahan yang bersifat lentur dan mudah dibentuk menjadi wujud benda yang lain. (2) Jenis Bahan Plastis dalam Membuat Relief Yusup (2014) menyebutkan bahwa, “Bahan membuat relief yaitu dari alam terbuka seperti kayu, tanah dan batu. Sedangkan bahan yang dibuat oleh pabrik seperti plastisin, lilin, dan malam ataupun sabun batang.” Menurut Murtono (2011: 78) contoh bahan plastis, antara lain tanah liat, gips, sabun, dan plastisin.
26 Selanjutnya menurut Tim Bina Karya Guru (2006: 26) bahan pembuatan relief dengan teknik membutsir bahannya harus lentur, seperti tanah liat, plastisin, bubur kertas, bubur serbuk gergaji, campuran parutan sabun mandi, tepung maizena, fiber basah, dan adukan semen pasir basah. Sedangkan bahan yang dipakai dengan teknik mencungkil bisa keras seperti kayu, papan, dan triplek atau bahan padat lunak seperti sabun padat, lilin padat, gips, dan tanah liat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa jenis bahan plastis dalam pembuatan relief yaitu plastisin, sabun batangan, tanah liat, dan adonan tepung. Pada penelitian ini bahan plastis yang digunakan sebagai media pembelajaran yaitu plastisin, sabun batangan, dan tanah liat. (a) Pembuatan Relief dari Plastisin Plastisin biasanya untuk mainan anak-anak, banyak dijual di toko-toko buku bermacam-macam warna dan mudah dibentuk. Bentuk akhirnya tetap lunak tidak akan mengeras dan dapat diolah kembali. Relief dengan plastisin banyak kreasinya, baik berupa hewan, tumbuhan, ataupun benda.
Gambar 2.1. Hasil karya relief dari plastisin Alat dan bahan yang diperlukan dalam pembuatan relief dengan plastisin menurut Tim Bina Karya Guru (2006: 27) sebagai berikut: (1) plastisin dengan warna yang kamu inginkan; (2) kertas untuk merancang pola gambar,
(3) spidol untuk
menggambar pola, (4) pisau plastik atau menggunakan penggaris panjang; (5) papan ukuran 20 x 20 cm; (6) tusuk gigi
27 atau garpu, dan (7) gunting. Sedangkan cara pembebuatan relief dengan plastisin menurut yaitu: 1. Buatlah gambar rancangan sederhana di kertas. 2. Gunting gambar rancangan menjadi beberapa bagian. 3. Siapkan plastisin dengan warna yang kamu inginkan. Letakkan di atas papan, kemudian pipihkan plastisin hingga menutupi seluruh permukaan papan. 4. Rapikan sisi-sisinya dengan pisau plastik. 5. Siapkan plastisin warna lainnya kemudian pipihkan. 6. Letakkan guntingan pola gambar yang dipotong-potong pada plastisin yang dipipihkan dengan warna yang kamu inginkan. Potong plastisin mengikuti gambar pola dengan menggunakan pisau plastik. 7. Tempelkan plastisin yang berbentuk pola ke atas papan yang telah dilapisi plastisin sebelumnya sambil ditekan agar menempel. 8. Buatlah detail pada plastisin yang dibentuk pola sesuai dengan keinginan kamu. (b) Pembuatan Relief dari Sabun Batang
Gambar 2.2. Hasil Relief dari Sabun Batang Menurut Tim Bina Karya (2006: 34) alat dan bahan yang diperlukan untuk pembuatan relief dengan bahan sabun yaitu: sabun mandi padat, pisau lipat atau cutter, air, kuas kesil, paku atau bolpoin yang tidak terpakai. Sedangkan cara pembuatan relief dengan bahan sabun sebagai berikut: (1) gambar pola di kertas, (2) gambar rancangan bentuk dengan paku, bolpen, atau pensil pada permukaan sabun, (3) cungkilah
28 bagian luar pada pola gambar sedikit demi sedikit dengan pisau, (4) setelah gambar pola terbentuk, cungkilah detail pada pola gambar, sehingga gambar menjadi berbentuk relief, dan (5) poleslah dengan sedikit air agar tampak halus. (c) Pembuatan Relief dengan Bahan Tanah Liat Tanah liat yang biasa dipakai untuk membuat keramik merupakan pilihan bahan plastis yang juga cukup mudah dipergunakan. Tanah liat ini dapat dibeli dalam bentuk siap pakai. Jika kita tidak dapat menemukannya, maka kita dapat mengolahnya secara sederhana, dengan cara ditekan-tekan (diuleni) beberapa saat, supaya tanah menjadi lebih padat dan tidak meninggalkan gelembung udara di dalam.
Gambar 2.3 Hasil Karya relief dari tanah liat Menurut Tim Bina Karya (2006: 27) alat dan bahan yang diperlukan untuk pembuatan relief dengan bahan tanah liat yaitu: kertas dan alat tulis, tanah liat dan papan sebagai alas, sudip, pisau, kawat, paku, lidi, kain, plastik, kertas koran, air dan minyak goreng. Sedangkan cara pembuatan relief dengan bahan tanah liat sebagai berikut: (1) gambar sketsa pada kertas, (2) berilah beberapa paku pada papan alas untuk menegakan, (3) banting-banting, giling-giling dan tekan-tekan tanah liat di atas kertas koran agar kadar airnya berkurang dan menjadi lentur, (4) bentuk tanah liat menjadi bagian paling bawah pada pada gambar sketsa dan letakan di atas papan yang berpaku, (5) buat bagian-bagian lain seperti pada gambar sketsa, (6) sempurnakan dengan membuat detail bagianbagiannya dengan pisau, kawat atau paku, (7) jemur tanpa
29 terkena matahari langsung, setelah agak kering polesi dengan minyak goreng dan tutup dengan kain sampai kering, (8) setelah kering, berilah pewarna agar lebih menarik. e. Peningkatan Kreativitas dan Hasil Belajar SBK tentang Relief Pada Siswa Kelas IV Peningkatan kreativitas anak sangat penting, karena kreativitas mempunyai peran yang penting dalam perkembangan anak. Sesuai dengan pengertian pembelajaran SBK yang merupakan kegiatan pembelajaran seni yang berbasis budaya dengan tujuan siswa menjadi lebih aktif, kritis, dan kreatif dalam mengembangkan kreativitasnya. Untuk mewujudkan anak yang kreatif tergantung pada dorongan atau motivasi baik dari dalam diri maupun dari lingkungan sekitar. Menurut pengertian kreativitas dan hasil belajar di atas, kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam membuat atau menciptakan suatu yang baru baik ide-ide, produk, atau proses yang mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinalitasan. Sedangkan hasil belajar adalah perubahan tingkah laku dalam diri siswa setelah menerima pengalaman belajar berupa aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Sesuai dengan perkembangan siswa kelas IV SD yang berada pada tahap operasional konkret, anak memandang dunia secara objektif, berfikir secara operasional, memahami konsep dan peristiwa yang konkret. Pelaksanaan pembelajaran SBK tentang relief dalam peningkatan kreativitas dan hasil belajarnya perlu memperhatikan karakteristik siswa kelas IV SD. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, peningkatan kreativitas siswa kelas IV tentang relief merupakan usaha atau proses untuk meningkatkan
kemampuan
siswa kelas
IV
dalam membuat
atau
menciptakan suatu tentang relief yang baru baik ide-ide, produk, atau proses yang mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinalitasan. Sedangkan hasil belajar SBK tentang relief merupakan perubahan tingkah laku dalam diri siswa setelah menerima pengalaman belajar seni yang berbasis budaya tentang relief berupa aspek kognitif, afektif, dan psikomotor melalui
30 pembelajaran yang bermakna dan sesuai dengan karakteristik siswa kelas IV. Diharapkan kreativitas dan hasil belajar SBK tentang relief pada siswa kelas IV SDN 2 Sidomoro akan mengalami peningkatan. 2. Penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan Media Konkret a.
Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1) Pengertian Model Contextual Teaching and Learning Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014: 503) Kata “kontekstual” berasal dari kata “konteks”, yang berarti “bagian suatu uraian, situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian”. Dengan demikian, kontekstual diartikan “yang berhubungan dengan konteks”. Secara umum, contextual mengandung arti: yang berkenan, relevan, ada hubungan atau kaitan langsung, mengikuti konteks, yang membawa maksud, makna, dan kepentingan. Johnson (Rusman, 2012: 189) menyatakan bahwa: Contextual teaching and learning enables studenst to conect of academic subject with the immediate context of their daily lives to discover meaning. It enlarges their personal context furthemore, by providing students with fresh experience that stimulate the brain to make new conection and consecuently, to dicover new meaning. (CTL) memungkinkan siswa menghubungkan isi mata pelajaran akademik dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk menemukuan makna. CTL memperluas kontek pribadi siswa lebih lanjut melalui pemberian pengalaman segar yang akan merangsang otak guna menjalin hubungan baru untuk menemukan makna yang baru. Selanjutnya, pengertian CTL menurut Nurhadi merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang dipelajarinya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen pembelajaran efektif. Selain itu, Istiqomah, L juga berpendapat bahwa:
31 Pembelajaran kontekstual merupakan konesp belajar yang membantu guru mengaitkan antar materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Hosnan, 2014: 267). Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, model Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah model pembelajaran yang membantu guru dalam mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. 2) Komponen Model Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Hosnan (2014: 270) komponen CTL ada tujuh yaitu: (1) kontrukstivisme (contructivism); (2) inquiry (inquiry); (3) bertanya (questioning); (4) masyarakat belajar (community learning); (5) pemodelan (modelling); (6) refleksi (reflection), dan (7) penilaian autentik (autentic assessment). Menurut Sunarmi (2011) juga menyebutkan 7 komponen pembelajaran kontekstual yaitu (1) kontrukstivisme; (2) inquiry; (3) bertanya; (4) masyarakat belajar; (5) pemodelan; (6) refleksi, dan (7) penilaian nyata. Dari ketujuh komponen di atas lebih jelasnya sebagai berikut: a) Kontrutivisme (Contructivism) Menurut Endang Komara, kontruktivisme merupakan proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman (Sunarmi, 2011: 11). Sedangkan Rusman (2012: 193) berpendapat bahwa, Kontruktivisme merupakan landasan berpikir dalam CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil dan diingat. Manusia harus
32 membangun pengetahuan itu memberi makna melalui pengalaman yang nyata. Selanjutnya,
Muslich
mengemukakan
bahwa,
“Kontrukstivisme adalah proses pembelajaran yang menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna” (Hosnan, 2014: 270). Sedangkan Hosnan (2014: 270) menyebutkan, “Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif.” b) Menemukan (Inquiry) Rusman (2012: 195) berpendapat, “Menemukan merupakan inti dari CTL, melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan keterampilan serta kemampuankemampuan lain bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi merupakan hasil menemukan sendiri”. Muslich (Hosnan, 2014: 271) menyebutkan, Menemukan merupakan proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan. Kegiatan ini diawali dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya. Sedangkan Hosnan (2014: 270) berpendapat, “Inquiry artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis.” c) Bertanya (Questioning) Melalui penerapan bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, akan mendorong proses dan hasil pembelajaran yang lebih luas dan mendalam, dan akan banyak ditemukan unsur-unsur terkait yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh guru maupun siswa (Rusman, 2012: 195). Sedangkan Sanjaya (Hosnan, 2014: 271) berpendapat,
33 “Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu,
sedangkan
menjawab
pertanyaan
mencerminkan
kemampuan seseorang dalam berpikir.” d) Masyarakat belajar (Learning Comminity) Menurut Sanjaya, konsep masyarakat belajar dalam CTL adalah hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sana dengan orang lain, teman, antarkerlomok, sumber lain dan bukan hanya guru (Hosnan, 2014: 272). Sedangkan Rusman (2012: 195) menyebutkan bahwa, “Hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain melalui berbagai pengalaman (sharing). Melalui sharing ini anak akan dibiasakan untuk saling memberi dan menerima, sifat ketergantungan
yang
positif
dalam
learning
community
dikembangkan”. e) Pemodelan (Modelling) Pembuatan
model
dapat
dijadikan
alternatif
untuk
mengembangkan pembelajaran agar siswa bisa memenuhi harapan siswa secara menyeluruh, dan membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh para guru (Rusman, 2012: 196). Sedangkan Hosnan (2014: 272) berpendapat bahwa, “Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa”. f) Refleksi (Reflection) Rusman (2012: 197) menyebutkan, “Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau baru saja dipelajari”. Hal tersebut sesuai pendapat Trianto (Hosnan, 2014: 273) bahwa, refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Sedangkan menurut Hosnan (2014: 272), refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari dengan cara
34 mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. g) Penilaian nyata (Authentic Assesment) Rusman (2012: 197) menyebutkan, “Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa”. Pada pembelajaran, penilaian tidak hanya pada akhir pembelajaran saja tetapi selama proses pembelajaran, sehingga guru mengetahui tingkat kemampuan siswa yang sebenarnya. Sedangkan menurut Hosnan (2014: 273), penilaian nyata meliputi, (1) menilai sikap, pengetahuan, dan keterampilan, (2) berlangsung selama proses secara integrasi, (3) dilakukan melalui berbagai cara (tes dan nontes), (4) alternatif bentuk kinerja, observasi, portofolio, dan atau jurnal. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa komponen dalam pembelajaran CTL ada 7 yaitu, sebagai berikut: a) kontrukstivisme (contructivism) merupakan landasan berpikir dalam pembelajaran untuk membangun pemahaman sendiri pengetahuan baru dalam struktur kognitif secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan sebelumnya dan pengalaman belajar yang bermakna; b) inquiri (inquiry) adalah proses pembelajaran yang bermakna dengan didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir; c) bertanya (questioning) merupakan refleksi dari keingintahuan siswa dalam pembelajaran yang akan menjadikan lebih hidup, mendorong proses dan hasil pembelajaran yang lebih luas dan mendalam; d) masyarakat belajar (community learning) adalah hasil pembelajaran diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain melalui berbagai pengalaman (sharing);
35 e) pemodelan
(modelling)
adalah
proses
pembelajaran
dengan
memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa sehingga bisa memenuhi harapan siswa secara menyeluruh; f) refleksi (reflection) adalah cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau baru saja dipelajari dengan mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang lalu; g) penilaian nyata (autentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan data dan informasi perkembangan belajar yang dilakukan peserta didik secara nyata. Pada penelitian ini, ketujuh komponen model Contextual Teaching and Learning (CTL) akan diterapkan dalam penelitian yaitu (1) kontrukstivisme; (2) inquiry; (3) bertanya; (4) masyarakat belajar; (5) pemodelan; (6) refleksi, dan (7) penilaian nyata. Karena pembelajaran dikatakan menggunakan CTL jika telah melaksanakan 7 komponen model CTL. 3) Karakteristik Model Contextual Teaching and Learning (CTL) Model Contextual Teaching and Learning adalah bentuk pembelajaran yang memiliki karakteristik, berikut ini karakteristik model Teaching and Learning menurut Susanto (2013: 236): a) Keadaan yang mempengaruhi langsung kehidupan siswa dan pembelajarannya. b) Menggunakan waktu/kekinian, yaitu masa yang lalu, sekarang, dan yang akan datang. c) Lawan dari textbook centered. d) Lingkungan budaya, sosial, pribadi, ekonomi, dan politik. e) Belajar tidak hanya menggunakan ruang kelas, bisa dilakukan di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. f) Mengaitkan isi pelajaran dengan dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dengan penerapannya dalam kehidupan mereka.
36 g) Membekali siswa dengan pengetahuan yang fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan ke permasalahan lain, dari satu konteks ke konteks lain. Lain
halnya dengan
Nurhadi
(Hosnan,
2014:
277)
menyebutkan, Pembelajaran kontekstual memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) tercipta asas kerja sama, (2) saling menunjang, (3) situasi belajar menyenangkan, (4) belajar dengan bergairah, (5) pembelajaran terintegrasi, (6) menggunakan berbagai sumber, (7) kegiatan belajar siswa aktif, (8) sharing dengan teman, (9) siswa aktif, dan guru kreatif, (10) dinding kelas penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lainlain, (11) laporan kepada orang tua bukan hanya hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain. Selanjutnya Dinas Pendidikan Nasional (Rusman, 2012: 198) dan Shoimin sependapat (2014: 42) bahwa, karakteristik pembelajaran CTL yaitu: (1) kerja sama, (2) saling menunjang, (3) menyenangkan, tidak membosankan, (4) belajar dengan bergairah, (5) pembelajaran berintegrasi, (6) menggunakan berbagai sumber, (7) siswa aktif, (8) sharing dengan teman, (9) siswa kritis guru kreatif,(10) dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil karja siswa. peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain, (11) laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, melainkan hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dan lain-lain. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, karakteristik model Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah (1) Kerja sama; (2) Saling menunjang; (3) Menyenangkan, tidak membosankan; (4) Belajar dengan bergairah; (5) Pembelajaran berintegrasi; (6) Menggunakan berbagai sumber; (7) Siswa aktif; (8) Sharing dengan teman; (9) Siswa kritis guru kreatif; (10) Dinding kelas penuh dengan hasil karja siswa; dan (11) Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, melainkan hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dan lain-lain.
37 4) Langkah-langkah Model Contextual Teaching and Learning Pembelajaran yang dilaksanakan dikatan menggunakan model CTL jika melaksanakan 7 komponen dalam model CTL yaitu (1) kontrukstivisme; (2) bertanya; (3) inquiri; (4) masyarakat belajar; (5) pemodelan; (6) refleksi, dan (7) penilaian yang sebenarnya. Menurut Rusman (2012: 192) Langkah-langkah pembelajaran dengan CTL sebagai berikut: a) Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna, apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan
sendiri,
dan
mengontruksi
sendiri
sendiri
pengetahuan dan keterampilan baru yang akan dimiliknya. b) Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan. c) Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pertanyaanpertanyaan. d) Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya. e) Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui intruksi, model, bahkan media yang sebenarnya. f) Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. g) Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa. Sedangkan menurut Shoimin (2014: 43) langkah-langkah pembelajaran CTL sebagai berikut: a) Kegiatan awal (1) Guru menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran. (2) Apersepsi sebagai penggalian pengetahuan awal siswa terhadap materi yang akan diajarkan.
38 (3) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok-pokok materi yang akan dipelajari. (4) Penjelasan tentang pembagian kelompok dan cara belajar. b) Kegiatan inti 1) Siswa bekerja dalam kelompok menyesuaikan permasalahan yang diajukan guru. Guru berkeliling untuk memandu proses penyelesaian permasalahan. 2) Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil penyelesaian dan alasan atas jawaban permasalahan yang diajukan guru. 3) Siswa dalam kelompok menyelesaikan lembar kerja yang diajukan guru. Guru berkeliling untuk mengamati, memotivasi, dan memfasilitasi kerja sama. 4) Siswa wakil kelompok mempresentasikan hasil karya kerja kelompok dan kelompok yang lain menanggapi hasil kerja kelompok yang mendapat tugas. 5) Dengan mengacu pada jawaban siswa, melalui tanya jawab, guru dan siswa membahas cara penyelesaian masalah yang tepat. 6) Guru mengadakan refleksi dengan menanyakan kepada siswa tentang hal-hal yang dirasakan siswa, materi yang belum dipahami siswa dengan baik, kesan pesan selama mengikuti pembelajaran. c) Kegiatan akhir (1) Guru dan siswa membuat kesimpulan. (2) Siswa mengerjakan lembar tugas. (3) Siswa menukarkan lembar tugas satu dengan yang lain, kemudian guru bersama siswa membahas penyelesaian tugas sesuai sekaligus memberi nilai pada lembar tugas sesuai kesepakatan yang telah diambil (dilakukan apabila waktu masih tersedia).
39 Berdasarkan uraian di atas, dapat dismpulkan langkahlangkah model pembelajaran CTL sebagai berikut: a) Guru
menyiapkan
peserta
didik
untuk
mengikuti
proses
pembelajaran (Kegiatan Awal). b) Guru menanamkan dan mengarahkan siswa untuk mengkontruksi pengetahuan sendiri melalui pengalaman belajar (Konstruktivisme). c) Siswa dan guru betanya jawab mengenai masalah yang disajikan (Bertanya). d) Siswa
dan
guru
melakukan
observasi
untuk
menemukan
pengetahuan (Inkuiri). e) Siswa membentuk kelompok dan berdiskusi dalam kelas secara merata (Masyarakat Belajar). f) Guru melakukan pemodelan dengan melaksanakan kegiatan demonstrasi di depan kelas (Pemodelan). g) Siswa bersama guru mengurutkan kembali yang telah dilaksanakan dalam pembelajaran (Refleksi). h) Guru melakukan penilaian sebenarnya dengan menilai hasil pekerjaan siswa (Penilaian Autentik). 5) Kelebihan dan Kekurangan Model Contextual Teaching and Learning (CTL) Kelebihan dan kelemahan model pembelajaran CTL menurut Hosnan (2014: 279) sebagai berikut: a) Kelebihan (1) Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya, siswa dituntut dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan siswa dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak mudah dilupakan.
40 (2) Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran kontruktivisme, dimana siswa dituntut untuk menemukan pengetahuan sendiri. Melalui landasan filosofis kontruktivisme, siswa diharapkan belajar melalui “mengalami” bukan “menghafal”. b) Kekurangan (1) Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan keterampilan yang baru bagi siswa. Guru lebih intensif dalam membimbing siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai intrukstur atau “penguasa” yang memaksa kehendak, melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. (2) Guru hanya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar menyadari dengan sadar menggunakan strategistrategi mereka sendiri untuk belajar. Sedangkan Shoimin (2014: 44) menyebutkan kelebihan dan kekurangan pembelajaran kontekstual sebagai berikut: a) Kelebihan (1) Pembelajaran
kontekstual
dapat
menekankan
aktivitas
berpikir siswa secara penuh, baik fisik maupun mental. (2) Pembelajaran kontekstual dapat menjadikan siswa belajar bukan dengan menghafal, melainkan proses pengalaman dalam kehidupan nyata. (3) Kelas dalam kontekstual bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, melainkan sebagai tempat menguji data hasil temuan mereka di lapangan.
41 (4) Materi pembelajaran ditentukan oleh siswa sendiri, bukan hanya pemberian dari orang lain. b) Kekurangan (1) Beberapa pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang kompleks dan sulit dilaksanakan dalam konteks pembelajaran, selain juga membutuhkan waktu yang lama. Kemudian Suyadi (2013: 95) menyebutkan kekurangan dan kelebihan pembelajaran kontekstual yaitu: a) Kelebihan strategi pembelajaran kontekstual. 1) Pembelajaran kontekstual dapat mendorong peserta didik menemukan hubungan antar materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. 2) Pembelajaran kontekstual mampu mendorong peserta didik untuk menerapkan hasil belajarnya dalam kehidupan nyata. 3) Pembelajaran
kontekstual
menekankan
pada
proses
keterlibatan perseta didik untuk menemukan materi. b) Kekurangan strategi pembelajaran kontestual. 1) CTL membutuhkan waktu yang lama bagi peserta didik untuk bisa memahami semua materi. 2) Guru lebih intensif dalam membimbing, karena dalam metode CTL guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. 3) Upaya menghubungkan antara materi di kelas dengan realitas di dalam kehiadupan sehari-hari peserta didik rentan kesalahan. Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan kelebihan dan kekurangannya model Contextual Teaching and Learning (CTL). Kelebihannya yaitu (1) pembelajaran lebih bermakna dan nyata; (2) siswa lebih produktif dan menumbuhkan penguatan konsep; (3) menekankan aktivitas berpikir siswa secara fisik dan mental; (4) siswa belajar melalui proses pengalaman nyata bukan menghafal; (5) kelas sebagai tempat menguji data hasil temuan di lapangan; dan (6) materi
42 pembelajaran ditentukan siswa sendiri. Sedangkan kekurangannya yaitu: (1) guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi; (2) guru hanya memberikan kesempatan untuk menemukan atau menerapkan dan mengajak siswa menyadari strategi-strategi untuk belajar; dan (3) beberapa
pembelajaran
kontekstual
merupakan
pembelajaran
kompleks, sulit dilaksanakan, dan membutuhkan waktu yang lama. Berdasarkan kelebihan dari model CTL dalam pembelajaran yang
akan
tercapianya
dilaksanakan tujuan
peneliti
pembelajaran.
berusaha Sedangkan
mengoptimalkan kekurangannya
diminimalisir agar tidak menghambat tujuan pembelajaran. b. Penggunaan Media Konkret 1) Pengertian Media Pembelajaran Kata “media” berasal dari bahasa latin yang merupakan bentuk jamak dari kata “medium” yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Istilah perantara atau pengantar ini, menurut Boves (Asyhar, 2012: 4) digunakan karena fungsi media sebagai perantara atau pengantar suatu pesan dari si pengirim (sender) kepada si penerima (receiver) pesan. Sedangkan Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Communication Technology/AECT) (Sukiman, 2012: 28) menyebutkan bahwa, AECT membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi. Gagne menyatakan bahwa “Media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa dapat merangsangnya untuk belajar. Sementara itu, Briggs berpendapat bahwa “Media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar” (Padmono, 2011: 11). Ibrahim berpendapat, “Media pembelajaran diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan atau bahan pembelajaran sehingga merangsang perhatian, minat, pikiran,
43 dan perasaan peserta didik dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran” (Suharjo, 2006: 108). Sadiman, dkk (Warsita, 2008: 122) menyatakan bahwa, “Media pemebelajaran adalah perpaduan antara bahan dan alat atau perubahan antara software dan hardware”. Kemudian, Padmono (2011: 12) menyimpulkan pengertian media adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan sehingga subyek didik terangsang pikiran, emosinya sehingga timbul perhatian/ minat dan kemungkinan subyek belajar. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan atau bahan pembelajaran yang menfokuskan perhatian, minat, pikiran, dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran. 2) Manfaat Media Pembelajaran Menurut Edgar Dale, dkk (Padmono, 2011: 12) fungsi dan manfaat media, meliputi: a) memberikan dasar-dasar yang konkret untuk berpikir (tidak verbalistis); b) menarik perhatian siswa terhadap pelajaran; c) meletakkan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar, sehingga memungkinkan hasil belajar lebih tahan lama; d) memberikan pengalaman-pengalaman nyata pada siswa sehingga usaha belajar sendiri dapat berkembang; e) mengembangkan keteraturan dan kontinuitas berpikir; f) ikut membantu kegiatan belajar menjadi mendalam efisian dan beraneka ragam. Menurut Sudjana dan Rivai (2013: 2) alasan berkenaan dengan manfaat media pengajaran dalam proses belajar mengajar, yaitu: (1) pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar; (2) bahan pengajaran akan
44 lebih jelas maksudnya. Sehingga dapat lebih dipahami oleh para siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik; (3) metode pengajaran akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru sehingga siswa boleh bosan dan guru tidak kehabiisan tenaga, apalagi guru mengajar untuk setiap jam pelajaran; (4) siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tatapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melaksanakan, mendemonstrasikan, dan lain-lain. Sedangkan Midun (Asyhar, 2012: 40) menyebutkan beberapa manfaat penggunaan media yaitu: a) media pembelajaran yang bervariasi dapat memperluas cakrawala sajian materi pembelajaran yang diberikan; b) berbagai jenis media, siswa akan memperoleh pengalaman beragam selama proses pembelajaran; c) media pembelajaran dapat memberikan pengalaman belajar yang kokret dan langsung kepada siswa; d) media pembelajaran menyajikan sesuatu yang sulit diadakan; e) media dapat memberikan informasi yang akurat dan terbaru; f) media dapat menambah kemenarikan tampilan materi sehingga memotivasi dan minat serta mengambil perhatian siswa; g) merangsang
siswa
untuk
berfikir
kritis,
menggunakan
imajinasinya, bersikap dan berkembang lebih lanjut; h) meningkatkan efisiensi proses pembelajaran; i) memecahkan masalah pendidikan atau pengajaran baik dalam lingkup mikro maupun makro. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, manfaat media yaitu: (1) memberikan dasar-dasar berpikir konkret (tidak verbalistis); (2) menarik perhatian siswa; (3) memberikan pengalaman nyata pada siswa; (4) mengatasi keterbatasan ruang dan waktu, serta daya indera; (5) menyajikan sesuatu yang sulit diadakan;
45 (6) mengatasi kesulitan guru dalam mengahadapi siswa yang mempunyai sifat unik dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda; (7) bahan pengajaran akan lebih jelas; (8) metode pengajaran akan lebih bervariasi, sehingga siswa tidak bosan; (9) memperluas cakrawala sajian materi dan memberikan informasi yang akurat dan terbaru;
dan
(10)
merangsang
siswa
untuk
berfikir
kritis,
menggunakan imajinasinya, bersikap dan berkembang lebih lanjut sehingga proses pembelajaran meningkat. 3) Pengertian Media Konkret Media konkret atau media benda nyata, Asyhar (2012: 54) menyebutkan bahwa, “Benda nyata adalah benda yang dapat dilihat, didengar, atau dialami oleh peserta didik sehingga memberikan pengalaman langsung kepada mereka. Benda tersebut tidak harus dihadirkan di ruang kelas ketika proses pembelajaran berlangsung tetapi siswa dapat melihat langsung di lokasi obyek”. Sedangkan menurut Asra (Nurmeita, 2013) media Realita yaitu semua media nyata yang ada di lingkungan alam, baik digunakan dalam keadaan hidup maupun sudah diawetkan. Misalnya tumbuhan, batuan, binatang, insectarium, herbarium, air, dan sawah. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, pengertian media konkret adalah media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran dalam keadaan asli dapat dilihat, didengar, atau dialami siswa dan memberikan pengalaman langsung. 4) Jenis-jenis media konkret Menurut Suharjo (2006: 110) benda nyata digolongkan menjadi dua, yaitu obyek (object) dan benda/barang (specimen). (a) Benda nyata (object) adalah semua benda yang masih dalam keadaan asli, alami seperti dimana ia hidup dan berada. (b) Benda/barang (specimen) adalah benda-benda asli atau sebagian dari benda-benda asli yang digunakan sebagai contoh. Padmono (2011: 42)
mengungkapkan bahwa, “Specimen yaitu media
46 yang merupakan bagian atau pecahan dari benda sebenarnya (contoh).” Sedangkan Sudjana dan Rivai (2013: 196) menyebutkan bahwa, “Benda-benda nyata itu banyak macamnya, mulai dari benda atau makhluk hidup seperti binatang dan tumbuhan, juga termasuk benda-benda mati misalnya batuan, air, tanah, dan lain-lain”. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan jenis-jenis media konkret atau benda nyata yaitu benda hidup/makhluk hidup dan benda mati. Pada penelitian ini jenis media konkret yang akan digunakan yaitu benda mati berupa plastisin, sabun batang, dan tanah liat. 5) Langkah-langkah
Penggunaan
Media
Konkret
Pada
Pembelajaran SBK tentang Relief Kelas IV SD Penggunaan benda nyata dalam pelajaran sangat baik, karena siswa akan tepat memperoleh pengalaman nyata. Padmono (2011: 43) menyebutkan bahwa, Langkah-langkah penggunaan media konkret menurut yaitu: (1) memperkenalkan unit baru perlu metode khusus yang menarik perhatian anak; (2) menjelaskan proses, benda nyata tepat untuk pengajaran yang menunjukkan proses dan tidak sekedar benda; (3) menjawab pertanyaan (perlu diuji sejauh mana keterlibatan siswa dalam berinteraksi dengan benda nyata); (4) melengkapi perbandingan; (5) unit akhir atau puncak. Selanjutnya, menurut Sudjana dan Rivai (2013: 197) langkah-langkah penggunaan media konkret, sebagai berikut: a) Memperkenalkan unit, perlu dipilih metode khusus yang akan memikat perhatian para siswa dalam menghadapi kegiatan-kegiatan baru. b) Menjelaskan proses, pengalaman nyata yang hidup tidak hanya dapat menyampaikan informasi secara akurat terhadap penampilan benda-benda atau objek. c) Menjawab pertanyaan-pertanyaan, keterlibatan para siswa kepada unit buakan hanya sekedar memperoleh jawaban dari pertanyaan
47 orisinil yang diajukan mereka, tetapi berbagai pertanyaan baru akan bermunculan kemudian. d) Melengkapi perbandingan, sebagian besar dari studi sosial mengandung perbandingan tentang cara hidup kita dengan kehidupan masyarakat yang berbeda tempat tinggal dan waktunya. e) Unit akhir atau puncak, merangkum seluruh materi yang pernah dipelajari siswa. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, langkahlangkah
penggunaan
media
konkret
sebagi
berikut:
(1)
memperkenalkan unit baru perlu metode khusus yang menarik perhatian anak; (2) menjelaskan proses, benda nyata tepat untuk pengajaran yang menunjukkan proses dan tidak sekedar benda; (3) menjawab pertanyaan (perlu diuji sejauh mana keterlibatan siswa dalam
berinteraksi
dengan
benda
nyata);
(4)
melengkapi
perbandingan; dan (5) unit akhir atau puncak. Penggunaan media konkret dalam pembelajaran akan memudahkan siswa, karena siswa memperoleh pengalaman nyata. Media konkret dalam pembelajaran SBK khususnya materi relief sangat penting karena merupakan pembelajaran yang berorientasi praktek untuk siswa memahami materi. Pada penelitian ini, langkah-langkah penggunaan media konkret yang dilaksanakan pada pembelajaran relief yaitu: a) Persiapan sebelum menggunakan media konkret. Pada langkah ini, guru mempersiapkan bahan ajar, media dan peralatan yang mungkin diperlukan dalam penggunaan media konkret. Selanjutnya, mengatur penempatan media konkret dan peralatannya dengan tepat sehingga semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk melihat media tersebut. Pada materi relief, media konkret yang digunakan yaitu bahan plastis yang berupa plastisin, sabun dan tanah liat.
48 b) Kegiatan selama penggunaan media. Pada langkah ini, guru menjaga suasana dan kondisi kelas serta menghindari gangguan yang dapat menghambat atau mengganggu konsentrasi dan perhatian siswa. Pembelajaran relief ini membutuhkan perhatian penuh dari siswa. Kegiatan selama pengguanaan media konkret hasil karya dan bahan plastis berupa plastisin, sabun dan tanah liat dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (1) Guru menunjukkan beberapa media konkret hasil karya relief di depan kelas dengan tetap menjaga suasana kondusif kelas dan meminta siswa memperhatikan benda tersebut. (2) Guru bertanya jawab dengan siswa mengenai seputar benda tersebut dan membimbing siswa untuk memahami bahan dari masing-masing contoh hasil karya relief. (3) Guru menjelaskan materi relief dan bertanya jawab dengan siswa mengenai cara pembuatan relief dan pendapat mereka mengenai contoh hasil karya relief. (4) Guru memberikan contoh membuat relief dari bahan plastis. (5) Guru meminta siswa untuk membuat karya relief dari bahan plastis dan tetap membimbing siswa. c) Kegiatan tindak lanjut. Pada kegiatan ini, guru menjajagi kemampuan siswa apakah tujuan pembelajaran telah tercapai atau belum dengan tes evaluasi dan hasil karya siswa. 6) Kelebihan dan Kekurangan Media Konkret Penggunaan
media
konkret
atau
benda
nyata
dalam
pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Asyhar (2012: 55) berpendapat, “Kelebihan dari media konkret yaitu dapat memberikan pengalaman nyata kepada siswa sehingga pembelajaran bersifat lebih konkret dan waktu retensi lebih panjang”.
49 Sedangkan Sudjana dan Rivai (2013: 196) menyatakan bahwa, “Belajar dengan menggunakan benda-benda asli memegang peran yang penting dalam upaya memperbaiki proses pembelajaran”. Kemudian Padmono (2011: 43) menyebutkan bahwa, “Adanya pertimbangan dalam penggunaan media konkret yaitu: (1) apakah memungkinkan dimanfaatkan dalam kelas secara efisien; (2) bagaimana cara agar benda nyata sesuai dengan pola belajar siswa; (3) dari mana sumbernya benda nyata digunakan”. Berdasarkan uraian di atas, kelebihan media konkret yaitu dapat meberikan pengalaman nyata pada siswa dan sebagai upaya memperbaiki proses pembelajaran. Sedangkan kekurangan dari media konkret adalah tidak selalu dapat dihadirkan di kelas dan perlu mempertimbangkan kesesuaiannya dengan pola belajar siswa. Dari kekurangan media konkret tersebut guru terlebih dahulu harus merencanakan dan mempersiapkan lebih matang sebelum penggunaan media konkret sehingga kekurangan dapat diatas. 7) Penerapan Model Contextual Teachin And Learning (CTL) dengan Media Konkret Pada Siswa Kelas IV SD Pelaksanaan suatu proses pembelajaran perlu diterapkan model pembelajaran yang cocok dan dapat menunjang terencapainya tujuan pembelajaran. Salah satunya dengan menciptakan pembelajaran yang bermakna dan memberikan pengalaman belajar secara langsung pada siswa. Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan model pembelajaran yang membantu guru dalam mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sedangkan media konkret adalah media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran dalam keadaan asli, dapat dilihat, didengar, atau dialami siswa dan memberikan pengalaman langsung.
50 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan model CTL dengan media konkret merupakan penerapan salah satu model pembelajaran yang membantu guru dalam mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa yang dikombinasikan dengan penggunaan media konkret pada langkah-langkah model CTL untuk memudahkan siswa memperoleh pemahaman suatu materi yang telah dipelajari dan memberikan pengalaman kepada siswa secara langsung khususnya siswa kelas IV. Penerapan langkah-langkah model CTL dengan media konkret dalam penetian ini, sebagai berikut: 1) Kegiatan awal. Guru
mempersiapkan
diri,
mengkondisikan
kelas
dan
menyampaikan tujuan pembelajaran dan motivasi. 2) Kontruktivisme dengan media konkret. Guru menggali pengetahuan siswa, menunjukkan media konkret contoh relief dan memberi kesempatan kepada siswa membangun pengetahuan yang dimiliki dan mengungkapkan pendapatnya. 3) Bertanya. Siswa bertanya jawab dengan guru mengenai materi relief. 4) Inkuiri dengan media konkret. Guru memberikan masalah kepada siswa tentang teknik dan alat membuat relief dengan mengamati contoh relief dari kayu, batu, dan bahan plastis untuk dipecahkan masalahnya. 5) Masyarakat belajar. Guru menugaskan dan membimbing siswa dalam kelompok untuk berdiskusi cara pembuatan relief dari bahan plastis, menggambar pola dan merencanakan bentuk relief yang akan dibuat. 6) Pemodelan dengan media konkret. Guru memperagakan pembuatan relief denga media konkret bahan plastis (plastisin, sabun, dan tanah liat) di depan kelas dan siswa memperhatikan.
51 7) Refleksi. Siswa mempresentasikan hasil diskusi dan karyanya didepan kelas. Selain itu, bersama guru siswa mengurutkan kembali yang telah dilaksanakan dalam pembelajaran dan merefleksi hasil karya siswa. 8) Penilaian autentik. Guru melakukan penilaian autentik melalui proses pembelajaran serta hasil evaluasi siswa. 3. Penelitian Relevan Beberapa penelitian yang relevan berkaitan dengan penelitian tindakan kelas menerapkan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan media konkret antara lain: Hasil penelitian oleh Jackson, V.A Tambelu (VoL 4, No. 15, 2013) pada jurnal internasional Journal of educatoin and Practice dengan judul “Development of Mathematical Learning Based Contextual Model in Sout Minahasa Regency”. Secara umum disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis kontekstual dapat meningkatkan pembelajaran Matematika. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Tambelu yaitu sama-sama menggunakan pembelajaran
kontekstual.
Sedangkan
perbedaannya
adalah
untuk
meningkatkan pembelajaran Matematika dan subjeknya adalah siswa SMP kemudian pada penelitian ini yang ditingkatkan pembelajaran SBK dan subjeknya yang diteliti siswa SD kelas IV. Penelitian oleh Shawn M. Glynn (Vol. 16, No. 2 (Fall 2004), pp. 5163) dengan judul “Contextual Teaching and Learning of Science in Elementary Schools”. Penelitian ini dilakukan pada 21 guru yang digunakan CTL untuk mengajarkan ilmu di sekolah dasar untuk kelompok anak yang beragam. Hasilnya menunjukkan bahwa kondisi yang dipupuk penerapan strategi CTL adalah interaksi kolaboratif dengan siswa, tinggi tingkat aktivitas dalam pelajaran, koneksi ke konteks dunia nyata, dan integrasi konten ilmu dengan bidang isi dan keterampilan lainnya meningkat. Persamaan penelitian Shawn dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu model pembelajrannya CTL
52 dan subjeknya siswa sekolah dasar. Sedngkan perbedaannya mata pelajarannya sains dengan SBK. Selanjutnya, penelitian oleh Sunarmi (2011) dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) untuk meningkatkan prestasi belajar membatik siswa kelas IV SDN Mojosongo II Semerter I Tahun Ajaran 2010/2011 hasilnya menunjukkan peningkatan hasil belajar yaitu siklus I siswa yang memperoleh nilai ≥ 66 sebanyak 41,66% dan siklus II sebanyak 88,88%. Persamaan penelitian Sunarmi dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu penerapan model CTL pada mata pelajaran SBK untuk meningkatkan hasil belajar dan subjek yang diteliti kelas IV SD. Sedangkan
perbedaannya
yaitu
penggunaan
media
dan
materi
pembelajarannya. Penelitian oleh Muflihal Anhar dengan judul “Peningkatan Kreativitas Siswa Dengan Model Pembelajaran Quantum Teaching Pada Mata Pelajaran SBK (Seni Budaya Dan Keterampilan) Materi Seni Rupa Murni Siswa Kelas IV MI Al Falah Ngoro Jombang”. Hasilnya dapat meningkatkan kreativitas dalam menciptakan hasil karya seni lukis dengan nilai rata-rata siswa pada siklus I meningkat menjadi 75,34% dengan prosentase ketuntasan siswa 71,92%. Sedangkan siklus II nilai rata-rata siswa meningkat menjadi 80,93% dengan prosentase ketuntasan sebesar 90,48%. Persamaan penelitian Muflihal dengan penelitian ini adalah meningkatkan kreativitas dan hasil belajar pada pembelajaran SBK serta subjek yang diteliti kelas IV SD. Perbedaannya yaitu model yang diterapkan dan materi pembelajarannya. Berdasarkan keempat penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan model CTL dalam pembelajaran SBK dapat meningkatkan pembelajaran. Selain itu, penggunaan media konkret dalam pembelajaran dapat meningkatkan kreativitas dan hasil belajar siswa. Sehingga, pada penelitian ini diharapkan penerapan model CTL dengan media konkret dapat meningkatkan kreativitas dan hasil belajar siswa kelas IV pada materi relief.
53 B. Kerangka Berpikir Berdasarkan penjelasan di atas, kondisi awal di Kelas IV SD Negeri 2 Sidomoro saat pembelajaran SBK yaitu tampak siswa yang ramai atau mengobrol sendiri, kurang aktif dan merasa bosan. Kondisi ini dikarenakan guru dalam pembelajaran kurang mengekplorasi lingkungan sebagai sumber belajar pembelajaran sering dilakukan di dalam kelas, pengadaan jumlah media yang digunakan tidak sesuai dengan jumlah siswa serta kreativitas siswa masih rendah dan pembelajaran masih berorientasi hasil daripada proses. Pada pembelajaran SBK dalam mencapai tujuan pembelajaran harus bermakna dengan memberikan pengalaman nyata kepada siswa. Penggunaan media konkret dalam pembelajaran dapat memberikan pengalaman nyata kepada siswa sehingga pembelajaran bersifat lebih konkret dan waktu retensi lebih panjang. Sesuai dengan yang di ungkapkan Asyhar (2012: 55) bahwa “Kelebihan dari media nyata adalah memberikan pengalaman nyata kepada siswa sehingga pembelajaran bersifat konkret dan retensi lebih panjang”. Pada pembelajaran relief dilaksankan dengan media konkret berupa bahan plastis dari plastisin, sabun, dan tanah liat akan membuat siswa dapat melihat, mendengar, dan mengalami langsung membuat relief. Jadi, memberikan siswa pengalaman belajar nyata dan siswa lebih terinspirasi untuk membuat suatu karya yang lebih kreatif. Penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) pada pemebelajaran SBK materi relief dapat membantu guru dalam mengaitkan materi relief dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengalaman yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Melalui komponen CTL kontruktivisme, bertanya, inquiri, masyarakat belajar,
pemodelan,
refleksi,
dan
penilaian
autentik
akan
menjadikan
pembelajaran SBK akan lebih bermakna, memberikan pengalaman belajar nyata dalam menumbuhkan konsep pada siswa dan memberikan kesempatan siswa untuk lebih dekat dengan lingkungannya. Sehingga siswa lebih terinspirasi untuk membuat karya yang lebih kreatif. Karena kreativitas dalam pembelajaran SBK adalah salah satu tujuan pembelajaran SBK diadakan. Selain itu, hasil belajar siswa bukan hanya berorientasi pada hasil saja tetapi proses juga meningkat.
54 Penerapan model CTL dengan media konkret dalam pembelajaran SBK materi relief yang dilaksanakan selama 3 siklus dengan langkah-langkah (1) kegiatan awal, (2) kontruktivisme dengan media konkret, (3) bertanya dengan media konkret, (4) inquiri dengan media konkret, (5) masyarakat belajar, (6) pemodelan dengan media konkret, (7) refleksi, dan (8) penilaian autentik. Siklus I materi relief dari bahan plastis berupa plastisin, siklus II materi relief dari bahan plastis berupa sabun batang, dan siklus III materi relief dari bahan plastis berupa tanah liat. Diharapkan kegiatan pembelajaran menjadi menyenangkan dan menarik minat belajar siswa sehingga siswa tidak jenuh, siswa aktif, siswa kreatif dan pembelajaran lebih bermakna. Sesuai dengan keadaan setelah penerapan model CTL dengan media konkret dapat belajar relief dengan baik, kreativitas, dan hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri 2 Sidomoro Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen tahun ajaran 2015/2016 dapat ditingkatkan. Uraian dari keseluruhan kerangka berpikir di atas dapat digambarkan pada gambar 2.4 halaman 55.
55
Kondisi Awal
Tindakan
Kondisi Akhir
Guru kurang dalam mengeksplorasi lingkungan sebagai sumber belajar, masih berorientasi pada hasil dan pengadaan jumlah media tidak sesuai dengan jumlah siswa.
Siswa pasif, merasa jenuh, kreativitas siswa masih rendah, dan hasil belajar siswa tentang relief masih rendah.
Guru menerapkan langkahlangkah model CTL dengan media konkret dalam pembelajaran SBK meliputi: 1. kegiatan awal, 2. kontruktivisme dengan media konkret, 3. bertanya, 4. inkuiri dengan media konkret, 5. masyarakat belajar, 6. pemodelan dengan media konkret, 7. refleksi, 8. penilaian autentik Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga siklus
Pembelajaran menarik minat belajar siswa dan siswa lebih aktif melibatkan diri dalam pembelajaran Pembelajaran menjadi menyennangkan Siswa lebih kreatif dalam pembelajaran dan membuat karya relief Siswa lebih mudah memahami materi dan mampu menyelesaikan masalah pembelajaran Pembelajaran SBK lebih bermakna
Kreativitas siswa dan hasil belajar siswa meningkat.
Gambar 2.4 Bagan Kerangka Berpikir C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir di atas dapat dirumuskan hipotesis tindakan penelitian ini adalah jika penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan media konkret dilakukan dengan langkah-langkah yang tepat, maka terdapat peningkatan kreativitas dan hasil belajar siswa materi relief di kelas IV SD Negeri 2 Sidomoro tahun ajaran 2015/2016.