BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Minat Belajar Minat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta (1984) merupakan perhatian, kesukaan (kecenderungan hati) kepada sesuatu, dan keinginan. Minat merupakan kondisi awal sebelum subjek mempertimbangkan atau membuat keputusan untuk melakukan tindakan serta perasaan tertarik, suka, dan percaya terhadap suatu objek yang dipersepsi menyenangkan dan bermanfaat bagi subjek, serta memiliki komponen afektif, kognitif, dan konatif (Taufani 2008: 38). Selain itu, minat merupakan kecenderungan jiwa seseorang kepada sesuatu (biasanya disertai dengan perasaan senang), karena merasa ada kepentingan dengan sesuatu itu (Sardiman 2001: 74). Secara fungsional minat merupakan suatu jenis pengalaman, perasaan yang dianggap bermanfaat dan diasosiasikan dengan perhatian pada suatu objek tertentu. Secara struktural minat merupakan suatu elemen dalam diri individu, baik bawaan maupun yang diperoleh lewat proses belajar yang menyebabkan seseorang merasa mendapatkan manfaat, merasa berhubungan dengan suatu objek tertentu terhadap suatu pengetahuan tertentu, Drever (Taufani 2008: 38). Terdapat tiga batasan minat menurut Iskandarwassid dan Sunender (2013: 114) yakni: (1) suatu sikap yang dapat meningkatkan perhatian seseorang kearah objek tertentu secara selektif, (2) suatu perasaan bahwa aktivitas dan kegemaran terhadap objek tertentu sangat berharga bagi individu, (3) bagian dari motivasi atau kesiapan yang membawa tingkah laku pada suatu arah atau tujuan tertentu. Minat timbul tidak secara tiba-tiba atau spontan
melainkan timbul
akibat dari partisipasi, pengalaman, kebiasaan pada waktu belajar atau bekerja. Minat akan berkembang membentuk suatu kebiasaan. Bentuk-bentuk minat akan dimanifestasikan dalam pilihan suka atau tidak suka dan senang atau 7
8
tidak senang terhadap suatu objek, kegiatan, gagasan, atau orang. Oleh karena itu, semakin individu membutuhkan atau tertarik terhadap objek minat, maka semakin besar pula minatnya. Minat dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang-bidang studi tertentu, (Syah 2000: 136). Minat belajar itu sendiri menurut Sumiyati (2010: 178) merupakan kecenderungan hati yang tinggi terhadap suatu yang menyangkut perhatian, rasa ingin tahu, rasa ketertarikan, untuk melakukan kegiatan belajar. Pendapat itu sejalan dengan pendapat Mulyana, Hidayat, dan Sholih (2013: 319) bahwa minat merupakan suatu kondisi yang menunjukan adanya ketertarikan siswa terhadap pembelajaran yang kemudian mendorong siswa tersebut untuk mempelajari dan menekuni suatu pelajaran. Eratnya hubungan antara minat dengan perasaan senang atau tidak senang, Mulyana, Hidayat, dan Sholih (2013: 319) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa minat dapat menentukan sikap yang menyebabkan seseorang aktif dalam suatu pekerjaan atau situasi, dengan kata lain minat dapat menjadi penyebab, faktor atau motivasi dari suatu kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu, siswa yang memperoleh nilai kurang baik salah satunya disebabkan karena tidak adanya minat terhadap pembelajaran serta malas dalam belajar. Eavan (2012: 72) pada jurnal penelitiannya berpendapat bahwa “This interest is spurred by a desire to personalize and improve student learning and is supported by a wide variety of models displyed and promoted in professional”. Minat adalah keinginan untuk memicu kepribadian dan meningkatkan belajar siswa dan didukung oleh berbagai macam model yang ditampilkan dan dipromosikan secara profesional. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar menurut Sudjana (Mulyana, Hidayat, dan Sholih 2013: 318) yaitu faktor internal dan faktor eksternl. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu atau siswa itu sendiri seperti minat, sikap, maupun motivasi. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu seperti faktor guru, faktor media
9
pembelajaran yang digunakan, faktor metode pembelajaran yang diterapkan dan lain sebagainya. Belajar menurut Jamalong (2012: 395) merupakan proses yang mengacu pada perubahan perilaku akibat dari proses pengalaman, baik yang dialami ataupun yang sengaja dirancang. Dalam bidang studi bahasa Jawa, minat seseorang terhadap pelajaran membaca aksara Jawa dapat dilihat dari kecenderungan untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap suatu pelajaran. Hal-hal yang memperkuat adanya minat belajar membaca aksara Jawa adalah sebagai berikut: a. Kesadaran Kegiatan membaca akan berhasil apabila seorang menyadari akan kebutuhannya. Dengan demikian akan mengantarkan anak untuk mencari dan bertindak agar memperoleh hasil maksimal, sehingga anak merasa puas karena kebutuhannya terpenuhi. Werington (Supadmi 2009: 61) minat adalah kesadaran seseorang bahwa suatu objek atau situasi mengandung sangkutpaut dengan dirinya. Jadi, karena ada sesuatu yang kurang dari dirinya, maka dengan kesadaran yang tinggi anak akan berusaha untuk membaca. b. Kemauan Menurut Kartono (1980: 83) kemauan anak adalah dorongan yang terarah pada tujuan hidup tertentu, yang dipertimbangkan akal budi. Hal ini menumbuhkan rancangan kuat untuk berusaha melakukan perintah internalnya berdasarkan pertimbangan yang masuk akal agar terpenuhi kebutuhan dalam dirinya. c. Perhatian Menurut Warington (Supadmi 2009: 62) perhatian adalah aktivitas yang vital dalam pendidikan, sebab pada saat anak berkonsentrasi aktivitas jiwa secara maksimal bekerja. Anak akan berusaha mengenal memahami objek yang diperhatikan dengan sebaik-baiknya.
10
d. Perasaan senang Winkel (Supadmi 2009: 63) minat merupakan motor penggerak psikis di mana minat menimbulkan rasa senang. Dalam hal ini rasa senang merupakan sikap positif bagi aktivitas membaca. Perasaan merupakan perasaan psikis yang tidak boleh diabaikan, karena perasaan dalam diri anak akan berpengaruh pada aktivitas membacanya. Perasaan itu akan menentukan sikap anak dalam menanggapi objek yang dihadapinya. Perasaan senang puas atau gembira akan membentuk sikap positif, sedangkan perasaan takut, sedih, benci akan menimbulkan sikap yang negatif. Usaha untuk meningkatkan minat belajar membaca di tingkat sekolah menurut Hasyim (Dalman 2013: 144) adalah guru selaku tenaga pendidik harus mengubah mekanisme proses pembelajaran. Setiap guru atau pendidik dalam semua bahan kajian harus dapat memainkan perannya sebagai fasilitator dan motivator agar peserta didik termotivasi dalam belajar. Peran tersebut dikembangkan melalui metode-metode pengajaran, selain itu teknik pembelajaran dan sumber daya terkait lainnya. Melalui penggunaan metode yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan pembelajaran, diharapkan dapat meningkatkan minat belajar siswa dalam suatu pembelajaran dan berdampak pada hasil belajar yang telah dilakukan oleh siswa dengan adanya perubahan sikap tingkah laku maupun nilai. Seperti pendapat Keke (2008) dalam penelitiannya “The students are mostly interested and motivated to learn because their interest and motivation are strongly influenced by the teaching strategies and methods implemented by the teachers”. Artinya bahwa sebagian besar siswa tertarik dan termotivasi karena minat dan motivasi dipengaruhi oleh strategi dan metode pengajaran yang diterapkan oleh guru. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dijelaskan akhirnya dapat disimpulkan bahwa minat belajar merupakan suatu kondisi yang dipengaruhi oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik individu serta lingkungan sekitar baik sengaja dirancang maupun apa adanya yang berupa perasaan tertarik, suka, senang dan
11
percaya terhadap suatu objek atau aktivitas (pembelajaran) yang dianggap menyenangkan dan memberi manfaat serta dapat mendorong seseorang untuk menekuni suatu objek yang disukai. Dengan demikian pada akhirnya akan memberikan pengaruh positif bagi kehidupannya, memberikan perubahan sikap ataupun hasil belajar ke tingkat yang lebih baik. 2. Hakikat Membaca a. Pengertian Membaca Membaca merupakan kemampuan yang harus diajarkan kepada anak. Membaca menurut Soedarso (Abdurrahman 2012: 158) adalah aktivitas kompleks yang memerlukan sejumlah besar tindakan terpisah-pisah mencakup penggunaan pengertian, khayalan, pengamatan, dan ingatan. Menurut Listiawati (2010: 15) membaca adalah sebuah aktivitas karena kegiatan membaca harus aktif sampai tingkat tertentu. Pendapat tersebut sejalan dengan Mortimer (Listiawati 2010: 15) bahwa membaca merupakan aktivitas yang kompleks sama seperti menulis, ia terdiri dari banyak tindakan mental yang terpisah, dan semuanya harus dilakukan agar bisa membaca dengan baik. Abdurrahman (2012: 158) juga berpendapat bahwa membaca merupakan aktivitas kompleks yang mencakup fisik dan mental. Aktivitas fisik yang terkait adalah gerak mata dan ketajaman penglihatan, sedangkan aktivitas mental yang terkait adalah ingatan dan pemahaman. Membaca menurut Bond (Abdurrahman 2012: 158) merupakan pengenalan simbol-simbol bahasa tulis yang merupakan stimulus yang membantu proses mengingat tentang apa yang dibaca, untuk membangun suatu pengertian melalui pengalaman yang telah dimiliki. Tidak berbeda jauh dengan pendapat Bond, Andayani (2009: 19) berpendapat membaca adalah proses pemberian makna pada bahasa tulis dengan menggunakan pengetahuan tentang huruf-huruf tertulis yang dimiliki dan juga melibatkan aktivitas secara visual, berfikir, psikolinguistik, dan metakognitif untuk mendapatkan penafsiran. Dari segi linguistik menurut Anderson (Tarigan 2008: 7) membaca adalah suatu proses penyandian kembali dan pembaca sandi (a recording
12
and decoding prosess). Sebuah aspek pembacaan sandi (decoding) adalah menghubungkan kata-kata tulis (written word) dengan makna bahasa lisan (oral language meaning) yang mencakup pengubahan tulisan atau cetakan menjadi bunyi yang bermakna. Menurut Tarigan (2008: 8) membaca adalah suatu kemampuan untuk melihat lambang-lambang tertulis melalui fonik (phonics: suatu metode pengajaran membaca, ucapan ejaan berdasarkan interpretasi fonetik terhadap ejaan biasa menjadi atau menuju membaca lisan (oral reading). Menurut Broughton (Tarigan 2008: 11-12) Keterampilan membaca mencakup tiga komponen, yaitu: 1) Pengenalan terhadap aksara serta tanda-tanda baca. Merupakan suatu kemampuan untuk mengenal bentuk-bentuk yang disesuaikan dengan model yang berupa gambar-gambar di atas suatu lembaran, lengkunganlengkungan, garis-garis, dan titik-titik dalam hubungan berpola teratur dan rapi. Pengenalan terhadap aksara dan tanda baca, dipelajari pada membaca permulaan. 2) Korelasi antara aksara beserta tanda baca dengan unsur linguistik formal.
Keterampilan
tersebut
merupakan
kemampuan
untuk
menghubungkan tanda-tanda hitam di atas kertas yaitu gambar-gambar berpola. 3) Hubungan lebih lanjut antara pengenalan aksara dan hubungan aksara. Keterampilan ini mencakup keseluruhan keterampilan membaca. Kemampuan untuk menghubungkan makna yang dilambangkan oleh kata-kata tersebut. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa membaca merupakan aktivitas fisik dan mental yang membuthkan proses untuk penyandian kembali terhadap simbol-simbol tertulis yang berupa lengkunga-lengkungan, garis-garis, dan titik-titik dalam hubungan yang berpola teratur, dilakukan secara aktif dan interaktif terhadap tulisan yang disampaikan penulis dalam tulisannya dengan tujuan untuk mendapatkan informasi.
13
Ada dua cara yang dapat dilakukan oleh pembaca dalam memperoleh makna dari suatu bacaan yaitu: (1) secara langsung, yakni menghubungkan ciri penanda visual dari tulisan dengan maknanya. Cara ini digunakan untuk pembaca lanjut, dan (2) tidak langsung, mengidentifikasi bunyi dalam kata dan menghubungkannya dengan makna, cara ini digunakan untuk pembaca permulaan. Dalam membaca permulan, untuk memicu perkembangan anak dalam membaca seorang guru perlu menciptakan kondisi yang kondusif. Menurut Clay (Rofi’uddin dan Zuhdi 2001: 32) kondisi yang dapat memicu perkembangan anak dalam membaca di antaranya: 1) Melalui interaksi sosial dan tingkah laku emulatif (kompetitif) 2) Melalui pengalaman hidup 3) Mengetahui tujun membaca 4) Melalui kegiatan bermain atau memainkan suatu peran dalam kegiatan membaca. Terdapat 3 hal pokok yang perlu diperhatikan dalam pengajaran membaca menurut Rofi’uddin dan Zuhdi (2001: 32) tiga hal pokok itu adalah (1) pengembangan aspek sosial anak, yakni
kemampuan bekerja sama,
percaya diri, pengendalian diri, kestabilan emosi, dan rasa tanggung jawab, (2) pengembangan fisik, yaitu pengaturan gerak motorik, koordinasi gerak mata dan tangan, (3) perkembangan kognitif, yakni membedakan bunyi huruf menghubungkan kata dan makna. b. Penilaian Kemampuan Membaca Penilaian pembelajaran bahasa yang dilakukan harus meliputi penilaian hasil belajar dan penilaian proses belajar. Penilaian hasil belajar dapat diperoleh dengan menggunakan evaluasi berupa tes dan nontes. Evaluasi berupa tes digunakan untuk melihat kemampuan membaca aksara Jawa siswa sedangkan nontes digunakan untuk melihat sikap siswa dalam proses pembelajaran. Penilaian menurut Sudjana (2011: 22) adalah upaya atau tindakan untuk mengetahui sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan
14
itu tercapai atau tidak. Penilaian itu sendiri berfungsi sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar siswa. Menurut Imam (1993: 11), penilaian adalah kegiatan untuk membanding-bandingkan hasil yang diperoleh (hasil kegiatan) seseorang dan sekaligus menetapkan hasilnya. Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian adalah proses meberi nilai berdasarkan hasil pengukuran dengan kualitas nilai tertentu serta membandingkan hasil yang diperoleh untuk mengetahui apakah proses dan hasil dari suatu program kegiatan tersebut sudah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang telah ditetapkan. Sudjana (2011: 62) menjelaskan bahwa salah satu keberhasilan proses belajar mengajar dilihat dari hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Dalam hal ini aspek yang dilihat antara lain: 1) Perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. 2) Kualitas dan kuantitas penguasaan tujuan instruksional oleh para siswa. 3) Jumlah siswa yang dapat menacapai tujuan instruksional minimal 75% dari jumlah instruksional yang harus dicapai. 4) Hasil belajar tahan lama diingat dan dapat digunakan sebagai dasar dalam mempelajari bahan berikutnya. Dalam penelitian ini penilaian yang dilakukan adalah penilaian hasil belajar dengan menggunakan penugasan. Indikator kemampuan membaca aksara Jawa meliputi: 1) Kelancaran dalam membaca aksara Jawa Yaitu kemampuan membaca dengan kecepatan tertentu dalam membaca. 2) Ketepatan dalam pemenggalan kata berhuruf Jawa Yaitu kemampuan siswa untuk memisahkan kata sebagai kata yang bermakna.
15
3) Pelafalan Yaitu kemampuan siswa untuk mengucapkan huruf-huruf yang dibaca sesuai dengan fonetiknya. Kemampuan membaca sangat dibutuhkan oleh setiap siswa sehingga penting untuk diajarkan. Dari pengajaran tersebut diharapkan siswa mampu membaca dengan baik, sehingga nantinya siswa tidak lagi belajar untuk membaca namun siswa mampu membaca untuk belajar. 3. Paragraf Berhuruf Jawa a. Paragraf Paragraf berasal dari bahasa latin paragraphus atau paragraphos dari bahasa Yunani, yang berasal dari kata para yang berarti tepi dan graphos yang berarti tanda, sehinga memiliki arti tanda di tepi. Paragraf merupakan rangkaian beberapa kalimat yang secara bersama-sama mengembangkan satu ide atau pemikiran (Enre 1988: 43-45). Menurut Rohmadi dan Nasucha (2010: 20) paragraf merupakan kumpulan kalimat yang berisi satu gagasan pokok yang dikembangkan untuk membentuk sebuah informasi atau pesan yang utuh dan terpadu. Keraf (Winarni 2010: 45) menyebut paragraf dengan istilah alenia. Alenia merupakan kesatuan pikiran yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat, sehinga paragraf merupakan himpunan dari kalimat-kalimat yang bertalian dalam suatu rangkaian untuk membentuk suatu ide. Ciri-ciri paragraf menurut Rahardi (2010: 4), yaitu: (1) suatu paragraf selalu diawali dengan kalimat baru dan baris baru dengan penulisan awal kalimatnya harus ditulis bertakuk (indented) menjorok ke dalam sebanyak 5 ketuk atau 5 karakter huruf dari batas kiri, (2) terdapat kalimat utama dan kalimat penjelas, (3) terkandung kepaduan bentuk dan kepaduan makna. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa paragraf adalah kesatuan pikiran yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat, atau kumpulan dari dua atau lebih kalimat, yang mengandung suatu kalimat utama (pikiran pokok) dan beberapa kalimat pendukung, yang awal
16
kalimatnya ditulis dengan bertakuk (indented) atau menjorok ke dalam sebanyak 5 karakter huruf atau 5 ketukan dari batas penulisan. Dalam kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada kompetensi membaca paragraf sederhana berhuruf Jawa telah disebutkan bahwa untuk tataran SLTP batasan paragraf sederhana itu berkisar 1-2 paragraf, sehingga paragraf yang dipakai dalam penelitian ini adalah 1 sampai 2 paragraf. b. Aksara Jawa Akasara Jawa merupakan hasil budaya yang usianya sudah berabad-abad. Aksara Jawa tidak terjadi begitu saja. Kelahiran aksara Jawa dapat dijelaskan dari dua pandangan, yaitu dari segi tradisional (dari cerita Aji Saka) dan dari segi ilmiah. Kutipan serat Aji Saka yang menceritakan kelahiran aksara Jawa yang dikutip oleh Kraf (Riyadi 1996: 9) diceritakan 2 abdi Aji Saka yang bernama Sembada dan Dora diutus oleh Ajisaka untuk menjaga keris dan sejumlah perhiasan. Mereka dipesan agar tidak menyerahkan barangbarang itu kepada orang lain kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Setibanya di Medangkamulan, lalu Aji Saka bertahta di negeri itu. Medangkamulan kemudian menjadi sangat termasyhur hingga sampai terdengar oleh Dora. Mendengar kabar tersebut Dora pergi tanpa sepengetahuan Sembada menuju Medangkamulan. Sesampainya di hadapan Aji Saka kemudian Dora diutus untuk menjemput Sembada, dan jika Sembada tidak mau, barang-barang yang dijaga agar ikut dibawa ke Medangkamulan. Namun Sembada tidak mau meninggalkan barang yang dijaga dan tidak percaya jika yang mengutus adalah Ajisaka sendiri. Hingga akhirnya terjadilah pertengkaran antara keduanya. Mereka saling bersikukuh untuk menjalankan perintah dari tuannya, hingga mereka mati bersama karena kesaktian mereka seimbang. Ketika mendapatkan laporan kematian kedua abdinya Aji Saka menyadari kekhilafannya. Oleh karena itulah ia menciptakan sastra 20 yang dalam Manikmaya disebut Sastra Sarimbagan. Sastra Sarimbagan itu dibuat
17
untuk mengenang atau memberi panghormatan kepada kedua abdinya itu, yang sekarang dikenal dengan aksara Jawa Hanacaraka. Hanacaraka itu memiliki makna filosofi seperti yang dijelaskan Ki Sarodja (Sulaksono 2014: 72) yaitu: 1) HaNaCaRaKa “ada utusan atau caraka cipta-rasa-karsa” 2) DaTaSaWaLa “Datan suwala: tidak menentang, tidak berkeberatan atau sumarah” 3) PaDhaJaYaNya “sama-sama sukses” 4) MaGaBaThaNga “mundhi atau meletakkan ditempat yang tinggi, wujud kesaksian; maga:meletakkan sesuatu di paga” Hal itu mengingatkan kita kepada tuhan bahwa kita harus tunduk dan taqwa kepadanya, sehingga bila amalan kita baik maka kita nantinya akan ditempatkan ditempat yang tinggi atau dinaikan derajatnya. Sedangkan kelahiran Aksara Jawa jika dilihat dari segi ilmiah, bahwa kelahiran dan perkembangan aksara Jawa erat hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa. Diperkirakan aksara yang dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke Pulau Jawa. Pada awalnya, bahasa Jawa lahir sebagai alat komunikasi lisan. Bahasa Jawa yang dilisankan itu seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, Riyadi (1996: 15). Namun sejalan dengan tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan, perkembangan ilmu, dan teknologi, maka dibuatlah sarana yang nyata dan kekal berupa aksara. Aksara menurut Ali (Riyadi 1996: 20) adalah sistem tanda-tanda grafis yang dipakai manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran. Pendapat Tukiman dan Rahmawan (2011: 1) mengenai aksara Jawa bahwa: “Aksara Jawa iku asale saka aksara Kawi. Dene aksara Kawi iku gaweane wong Jawa dhewe kanthi adhedhasar aksara Pallawa lan aksara Dewanagari saka India. Ing jaman kunane aksara Jawa iku nunggal asal karo aksara Dewanagari. Aksara Pallawa lan Dewanagari iku bisa kasumurupi nunggal asal karo aksara Kawi kang tinemu ana ing prasasti-prasasti kang saiki isih ana.”
18
Pendapat itu sejalan dengan pendapat Arismadhani, Yuhana, dan Kuswardayan (2013: 94) bahwa aksara Jawa merupakan modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida, yaitu aksara segmental yang didasarkan pada konsonan dengan notasi vokal yang diwajibkan tetapi bersifat skunder. Raffles (2008: 252) berpendapat huruf Jawa adalah huruf yang khas yang terdiri dari 20 konsonan (y dan w termasuk di dalamnya), yang disebut aksara atau huruf. Huruf ini dianggap seperti suku kata, terdiri dari konsonan dan bunyi vokal yang melekat, diekspresikan tanpa kecuali, kecuali di tengah dengan tanda khusus. Aksara Jawa memiliki beberapa bentuk penulisan. Secara umum bentuk tersebut ada empat. Keempat ragam itu merupakan ragam yang pernah ada dan dapat digunakan berdasarkan selera. Keempat bentuk itu antara lain: 1) Ngetumbar, artinya bulat. Tumbar atau ketumbar adalah bumbu masak yang bentuknya kecil dan bulat. Penulisan aksara Jawa tidak harus Sembilan puluh derajat pada tiap sudutnya, tetapi dapat juga bulat seperti bentuk ketumbar. 2) Mucuk eri, artinya runcing seperti ujung duri. Ujung duri dapat dipastikan ujungnya runcing. Jadi, penulisan aksara Jawa bisa saja ujungnya dibuat runcing seperti ujung duri. Model tulisan mucuk eri sulit untuk ditemukan, biasanya terdapat pada manuscript yang ditulis dengan tulisan tangan. 3) Mbata sarimbag, artinya seperti batu bata yang ditata. Menata batu bata bagi masyarakat Jawa disebut ngrimbag. Batu bata secara umum bentuknya empat persegi panjang, masing-masing sudutnya Sembilan puluh derajat, ada juga yang menyebut bentuk batu bata adalah kotak. 4) Campuran, artinya bisa merupakan kombinasi mbata sarimbag dengan ngetumbar, ngetumbar dengan mucuk eri, dan mbata sarimbag dengan mucuk eri. Kombinasi yang dimaksud dalam satu aksara, (Sulaksono 2014: 73)
19
Beberapa bentuk penulisan aksara Jawa berdasarkan fungsinya masing-masing menurut (Arismadhani, Yuhana, dan Kuswardayan 2013: 94), di antaranya: 1) Aksara carakan, terdiri dari 20 aksara pokok. 2) Aksara pasangan, yang merupakan penghubung suku kata yang diakhiri konsonan dengan suku kata berikutnya, aksara pasangan berjumlah 20 huruf. 3) Aksara murda, digunakan untuk menuliskan huruf kapital. 4) Aksara swara, disebut sebagai huruf vokal mandiri. Digunakan untuk menuliskan aksara vokal untuk mempertegas pelafalannya. 5) Aksara rekan, digunakan untuk menuliskan aksara konsonan pada kata-kata asing yang masih dipertahankan seperti aslinya. 6) Sandangan, adalah tanda yang dipakai sebaga pengubah bunyi di dalam aksara Jawa. 7) Angka, dan lambang bilangan Subjek pada penelitian ini adalah siswa kelas VII MTs, di mana pada tingkatan tersebut siswa harus menguasai aksara Jawa beserta pasanganya dan sandangan dengan kompetensi dasar membaca paragraf berhuruf Jawa. Berikut adalah huruf beserta pasangan aksara Jawa dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Aksara Jawa dan Pasangannya Aksara Jawa dan Pasangan Ha a... H Da f... F Pa p... P Ma m... M
Na n... N Ta t... T Dha d... D Ga g... G
Ca c... C Sa s... S Ja j... J Ba b... B
Ra r... R Wa w... W Ya y...Y Tha q... Q
Sumber: pedoman penulisan aksara Jawa -2002
Ka k... K La l... L Nya v... V Nga z... Z
20
Sedangkan sandhangan vokal dan konsonan dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini. Tabel 2.2 Sandhangan vokal dan Konsonan Sandhangan Vokal dan Konsonan Taling= e .....= cecak = ng Taling tarung [..o .....h Wigyan = h =o Suku = u Layar = r .../ ......u wulu = i Pengkal = ya ......i Pangkon ....] cakra = ra ....\ pepet = é ....e ....} Keret = re Sumber:pedoman penulisan aksara Jawa-2002 [ ....
Dalam pembelajaran aksara Jawa diperlukan adanya prinsip dalam pembelajarannya. Prinsip belajar aksara Jawa itu ada lima (Endraswara 2009: 8687) yaitu: a) Imitating, adalah belajar aksara Jawa dengan meniru dari pengajar, buku, maupun apa saja yang pernah dilihat. Kekuatan memori subjek didik akan diuji dalam meniru aksara Jawa, baik menulis dengan jejeg (tegak) atau dhoyong (miring). Karena itu, pengajar perlu meletakkan dasar tiruan yang tepat, sebab salah memberi contoh, akan fatal subjek didik ketika meniru. b) Remembering, adalah belajar aksara Jawa dengan metode memberdayakan daya ingat. c) Reformulating, adalah langkah belajar aksara Jawa dengan mencoba menulis ulang yang pernah diingat, dilihat dalam contoh, menggabungkan antara aksara ngelegena dengan pasangan, sandhangan, dan tanda baca.
21
d) Greating, adalah langkah mencipta aksara Jawa. Penciptaan perlu kebaruan. Pencitaan dapat dirangkai kebentuk kata menjadi kalimat, memasukkan angka Jawa ke dalam kalimat, membuat ungkapan, dan sebagainya. Penciptaan ini sangat terbuka untuk pengembangan skil subjek didik. e) Justifying, adalah langkah menilai mana tulisan aksara Jawa yang benar dan yang salah. Langkah ini dapat ditawarkan kepada seluruh subjek didik agar ikut menilai, berpikir, hingga menemukan kesimpulan yang tepat. 4. Model Cooperative LearninT teknik Make A Match Cooperative learning berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim, Isjoni (2013: 15). Johnson (Isjoni 2013: 15) mengemukakan, “Cooperanon means working together to accomplish shared goal. Within cooperative activities individuals seek outcomes that are beneficial to all other grous members. Cooperative learning is the instructional use os small groups that allows students together to maximize their own and each other as learning”. Berdasarkan uraian tersebut, cooperative learning mengandung arti bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama. Dalam kegiatan cooperative, siswa mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompok. Belajar cooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil untuk memaksimalkan belajar mereka dan anggota lainnya dalam kelompok itu. Cooperative Learning adalah suatu model pembelajaran yang digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa, terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain, Isjoni (2013: 16). Sejalan dengan pendapat Isjoni, Li dan Lam (2005) dalam jurnal penelitiannya mengungkapkan: “Cooperative learning is student centered, strategy in which a small group of students is responsible for its own learning and the learning of all group member. Students interact with each other in the same group to acguire and practice.
22
Pernyataan itu memiliki arti bahwa pembelajaran cooperative learning adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa, di mana sekelompok kecil siswa bertanggung jawab untuk belajar sendiri dan belajar dari semua anggota kelompok. Siswa berinteraksi satu sama lain untuk memperoleh secara praktik dari grup atau kelompok yang sama. Breach (2009) mengemukakan bahwa terdapat lima elemen dasar pembelajaran cooperatife, yaitu meliputi saling ketergantungan positif, face to face interaksi, akuntabilitas individu, keterampilan sosial dan pengolahan kelompok. Selain itu, model pembelajaran cooperative melibatkan kerja kelompok dan telah dipergunakan untuk membantu menyimpan informasi dan meningkatkan minat pada materi pembelajaran tertentu. Lie (2008: 18) menyebut cooperative Learning dengan istilah pembelajaran gotong-royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran cooperative adalah pembelajaran kelompok yang memberikan kesempatan kepada setiap individu atau setiap anggota kelompok untuk saling berinteraksi, bekerjasama, antar anggota kelompok dengan menerapkan serta mengembangkan pengetahuan yang dimiliki serta merevisi yang kurang tepat untuk memaksimalkan belajar dan meningkatkan hasil belajar. Unsur-unsur penting dalam pembelajaran cooperative menurut Jamalong (2012: 396), yaitu: (1) adanya rasa tanggung jawab antaranggota kelompok, (2) adanya tenggang rasa dan menghargai antaranggota kelompok dalam belajar hingga tercipta komunikasi yang baik, (3) adanya rasa kebersamaan dalam belajar sehingga setiap siswa bisa memahami makna dan hasil belajar mereka, (4) adanya presentasi hasil kerjasama antar anggota kelompok yang kemudian hasil itu akan menentukan mereka terhadap evaluasi atau penghargaan dari guru. Pembelajaran cooperative memiliki tujuan untuk meningkatkan kerjasama
akademik
antarsiswa,
membentuk
hubungan
positif,
23
mengembangkan rasa percaya diri, serta meningkatkan kemampuan akademik melalui aktivitas kelompok. Seperti pendapat Li dan Lam (2005) bahwa kerjasama itu biasanya menghasilkan (1) prestasi yang lebih tinggi dan produktivitas yang lebih besar, (2) lebih peduli, mendukung, dan berhubungan antar sesama, dan (3) mampu untuk berbesar hati dan harga diri. Dalam pembelajaran cooperative terdapat saling ketergantungan positif di antara peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Aktivitas belajar berpusat pada siswa terbentuk dalam diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling membatu dan saling mendukung dalam memecahkan masalah (Lie 2008: 21). Dengan model pembelajaran cooperatif learning memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka dan demokratis. Siswa yang belajar dengan
menggunakan metode cooperatif learning
akan
memiliki motivasi yang tinggi karena didorong dan didukung dari rekan sebayanya, Sharan (Isjoni 2013: 23). Pendekatan cooperative mengajak siswa menerapkan pengetahuan mereka siswa menjadi lebih aktif, imajinatif, dalam mengemabngkan data yang dimiliki, siswa menjadi lebih aktif dan bertanggungjawab dalam pendidikan mereka sendiri, (Lenore 2006). Dalam metode ini banyak sekali teknik pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru untuk meningkatkan proses pembelajaran dan kemampuan atau hasil belajar siswa. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode cooperative learning teknik make a match sebagai solusi untuk pemecahan masalah dalam penelitiannya yaitu untuk meningkatkan minat dan kemampuan membaca aksara Jawa. Ramadianti (2011) menyatakan bahwa cooperative learning adalah salah satu model yang cocok untuk meningkatkan motivasi siswa. Karena dalam model ini siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan siswa lain, suasana belajar dikelas dapat dibuat menjadi permainan yang mengandung kompetisi
24
antarsiswa, untuk memecahkan masalah sehingga siswa dapat belajar dengan suasana yang menyenangkan. Teknik belajar make a match menurut Lorna Curran (1994) (Aqib 2013: 23); (Sugiyanto 2009: 47); (Huda 2013: 135); (Saminanto 2010: 33); (Lie 2008: 55); (Isjoni 2013: 77) merupakan model pembelajaran mencari pasangan. Pada model ini siswa diminta untuk mencari pasangan kartu. Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan, dan dapat digunakan dalam semua mata pelajaran, Lie (2008: 55). Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Anis dan Aryanti (2016: 305) bahwa motode make a match adalah teknik pembelajaran yang menggunakan kartu. Kartu itu terdiri dari kartu pertanyaan dan kartu jawaban. Model itu dapat menghasilkan pembelajaran siswa aktif dalam proses pembelajaran. Kelompok yang terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok pertanyaan dan pemegang kartu jawaban. Metode make a match dapat digunakan untuk semua subjek dan dalam semua tingkatan. Metode kooperative learning teknik make a match memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya. Kurniasih dan Sani (2015: 54-55) berpendapat bahwa kelebihan model pembelajaran teknik make a match di antaranya adalah : a. Mampu menciptakan suasana belajar aktif dan menyenangkan b. Materi pembelajaran nyang disampaikan lebih menarik perhatian siswa c. Mampu meningkatkan hasil belajar siswa mencapai taraf ketuntasan belajar secara klasikal d. Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran e. Kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis f. Munculnya dinamika gotong royong yang merata diseluruh siswa Kelemahan dari metode pembelajaran make a match adalah sebagai berikut:
25
a. Sangat memerlukan bimbingan dari guru untuk melakukan kegiatan waktu yang tersedia perlu dibatasi karena besar kemungkinan besar siswa banyak bermain-main dalam proses pembelajaran b. Guru perlu persiapan bahan dan alat yang memadai c. Pada kelas dengan murid yang banyak (<30 siswa /kelas) jika kurang bijksana maka yang muncul adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali, dan bisa mengganggu ketenangan belajar kelas di kiri kanannya Langkah-langkah pembelajaran dengan teknik make a-match adalah sebagai berikut: a) Yang perlu dipersiapkan adalah kartu-kartu. Guru menyiapkan beberapa kartu soal dan kartu jawaban dengan jumlah sesuai siswa yang ada di kelas. Namun dalam penelitian ini dimodifikasi menjadi kartu aksara Jawa dan kartu aksara latin. Berikut adalah contoh gambar kartu aksara Jawa dan aksara latin.
Gambar 2.1 Kartu aksara Jawa dan kartu aksara Latin b) Langkah berikutnya adalah guru membagi siswa menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama dan kedua merupakan kelompok pembawa kartu aksara Jawa dan kartu aksara latin. Atur posisi kelompok tersebut, kelompok pertama dan kedua saling berhadapan. c) Setelah masing-masing kelompok telah menempati posisi masing-masing tiap kelompok, guru membagikan secara acak kartu soal maupun kartu jawaban,
26
pada kelompok satu dan dua. Setiap siswa dalam kelompok tersebut masingmasing mendapatkan satu buah kartu. d) Jika semua siswa sudah mendapatkan kartu dan siap untuk bermain, guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertama dan kedua saling bergerak dan saling bertemu mencari pasangan kartu yang cocok dengan kartu yang dibawanya. Berikan waktu kepada siswa untuk berdiskusi. e) Pasangan-pasangan yang sudah terbentuk wajib menunjukan kartu aksara Jawa dan latin kepada kelompok penilai atau guru. Kemudian kelompok ini mempresentasikan. Guru memberikan penilaian kepada pembawa kartu aksara Jawa untuk membaca kalimat yang tertuliskan pada kartu, sedangkan siswa yang membawa kartu bertuliskan huruf latin menyimak, penilai memberikan evaluasi apakah pasangan kartu itu cocok atau tidak. f) Setiap siswa yang dapat mencocokan kartunya sebelum batas waktu habis akan mendapatkan skor atau tambahan nilai. g) Setelah penilaian dilakukan, aturlah sedemikian rupa kelompok-kelompok tersebut dan dilakukan permainan ulang. Permainan dilakukan sebanyak dua kali. Dalam kegiatan ini peserta dan penilai tidak semua mengetahui apakah benar pasangan kartu itu sesuai, maka dalam hal ini guru memfasilitasi untuk memberikan kesempatan kepada seluruh peserta didik mengkonfirmasi hal-hal yang mereka telah lakukan yaitu memasangkan kartu aksara Jawa dan kartu aksara latin dan melaksanakan penilaian, (Suprijono 2013: 94). Teknik make a match dipilih dalam pembelajaran membaca aksara Jawa karena dalam teknik tersebut terdapat unsur permainan yang menimbulkan rasa kompetisi yang dapat dimanfaatkan oleh guru untuk menjadikan suasana pembelajaran menjadi lebih menarik dan menyenangkan bagi anak dan diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca aksara Jawa. Sehubung dengan metode pembelajaran dengan teknik make a match pada jurnal penelitian Mazida (2013) disimpulkan bahwa “Pembelajaran membaca paragraf berhuruf Jawa dengan game berburu gambar sangat efektif digunakan
27
untuk menarik minat siswa dalam membaca paragraf sederhana berhuruf Jawa. Game berburu gambar yaitu mencocokan kartu yang bacaan dengan gambar yang sesuai dengan bacaan tersebut. Selain itu dengan game mencocokan gambar dengan teks aksara Jawa dapat melatih keaktifan siswa pada perilaku ke arah yang positif yaitu berupa semangat, perhatian, dan keaktifan siswa”. Untuk memacu perkembangan anak dalam membaca perlu penciptaan kondisi yang kondusif bagi kegiatan membaca, Clay (Rofi’uddin dan Zuhdi 2001: 32) kondisi itu di antaranya: 1) Melalui interaksi sosial dan tingkah laku emulatif (kompetitif) 2) Anak menguasai kemahiran membaca sebagai hasil dari pengalaman hidupnya 3) Anak akan meguasai kemahiran membaca jika ia tau tujuannya. 4) Melalui kegiatan bermain atau memainkan peran penting dalam penguasaan membaca. Unsur permainan yang terdapat pada teknik pembelajaran make a match yang menimbulkan rasa kompetisi ini dimanfaatkan untuk menciptakan lingkungan belajar yang alamiah, dan siswa juga dapat mengembangkan berbagai konsep yang telah dimiliki dan akan menguji serta merevisi konsep-konsep yang telah diketahuinya. Seperti
penelitian
Yulianti
(2012)
dengan
judul
penelitiannya
“Peningkatan Keterampilan Membaca Aksara Jawa Melalui Metode Struktural Mencari Pasangan pada Siswa Kelas II SD N 01 Sambirejo Jumantono Tahun Pelajaran 2011/2012” juga disimpulkan bahwa metode struktural mencari pasangan dapat meningkatkan keterampilan membaca aksara Jawa. Hal itu terbukti dengan melihat hasil tes pada tiap siklus tindakan. Keterampilan membaca aksara Jawa siswa pada kondisi awal (prasiklus) masih tergolong rendah yaitu dengan nilai rata-rata sebesar 52,4 dan siswa yang mendapatkan nilai di atas KKM sebesar 45,16% atau sekitar 14 siswa. Kondisi itu dapat ditingkatkan pada siklus I dengan perolehan rata-rata sebesar 72,5 dan siswa yang medapatkan nilai di atas KKM sebesar 70,97% atau sekitar 22 siswa. Pada siklus II dapat ditingkatkan lagi dengan rata-rata 81,06 dan siswa yang mendapatkan nilai di atas KKM sebesar 90,32% atau sekitar 28 siswa dari jumlah keseluruhan 31 siswa.
28
Penelitian lain juga dilakukan Indaryatiningsih (2013) dari Universitas Sebelas Maret Surakarta yang berjudul “Peningkatan Keterampilan Membaca dan Menulis Aksara Jawa Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Make A-Match pada Peserta Didik Kelas IV SD N Peleman 1 Sragen Tahun Pelajaran 2012/2013”, diketahui bahwa metode kooperatif teknik make a-match dapat meningkatkan keterampilan membaca dan menulis aksara Jawa pada siswa SD N Peleman 1 Sragen. Peningkatan itu dapat dibuktikan
dengan adanya
peningkatan hasil nilai rata-rata kelas keterampilan membaca dan menulis aksara Jawa dari nilai prasiklus ke siklus I dan siklus I ke siklus ke II. Ditinjau dari Kriteria Ketuntasa Minimun (KKM) yaitu 60 diperoleh nilai rata-rata kelas pada kondisi awal (prasiklus) sebelum tindakan sebesar 48,25. Pada Siklus 1 sebesar 72,50 dan pada siklus II meningkat menjadi 83,5. Pada kondisi awal prasiklus peserta didik yang mendapat nilai di atas KKM (60) hanya 8 peserta atau 25%, pada siklus I meningkat 27 siswa, pada siklus II meningkat menjadi 29 peserta atau 91%. Perbedaan dalam penelitian tersebut terletak pada salah satu variabel yang digunakan. Dalam penelitian Indaryatiningsih mengkaji peningkatan keterampilan membaca dan menulis, sedangkan peneliti akan meneliti keterampilan membaca saja. Selain itu, pada penelitian tersebut subjek penelitian yaitu siswa kelas IV SD N Peleman 1 Sragen, sementara peneliti akan melakukan penelitian pada siswa kelas VII G MTs N 1 Ngemplak. Penelitian tersebut mendukung terhadap penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan menerapkan teknik make a match sebagai solusi untuk mengatasi kurangnya minat serta kemampuan membaca aksara Jawa. Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan teknik Make a match sebagai solusi untuk meningkatkan minat siswa dan kemampuan membaca aksara Jawa.
29
B. Kerangka Berpikir Keberhasilan proses belajar mengajar di kelas ditentukan oleh berbagai faktor yang tentunya saling berkaitan satu sama lain. Di antara berbagai faktor tersebut salah satu faktor yang signifikan mempengaruhi faktor tersebut adalah model, metode ataupun teknik yang digunakan dalam suatu pembelajaran. Teknik make a match merupakan teknik pembelajaran dalam metode cooperative yang digunakan untuk meningkatkan minat dan kemampuan membaca paragraf berhuruf Jawa di kelas. Teknik pembelajaran ini dapat memberikan ruang kepada siswa untuk belajar berinteraksi, bersosialisasi di antara siswa atau anggota kelompok untuk saling mendukung dan membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal dan teknik pembelajaran ini, dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman serta pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dalam hal ini, diketahui bahwa kondisi awal objek penelitian bahwa minat serta kemampuan membaca aksara Jawa pada siswa kelas VII G MTs N 1 Ngemplak Boyolali tergolong kurang. Penyebabnya karena kurangnya minat belajar pada materi aksara Jawa, dan tidak hafal aksara Jawa. Salah satu penyebab terkain dengan pembelajaran aksara Jawa di kelas. Pembelajaran yang dilakukan masih sebatas pemberian teori-teori biasa secara konvensional atau pembelajaran terpusat pada guru dan guru belum menggunakan metode pembelajaran yang inovatif, dan variatif, serta kurangnya aktivitas siswa untuk membaca aksara Jawa, sehingga keterampilan membaca aksara Jawa siswa tidak berkembang. Berdasarkan hasil analisis kemampuan membaca aksara Jawa siswa serta hasil observasi dan catatan lapangan, maka peneliti melakukan pemecahan tindakan untuk meningkatkan minat dan kemampuan membaca aksara Jawa pada siswa. Setelah mengetahui permasalahan dan kendala tersebut, maka peneliti menerapkan penggunaan teknik make a match. Dalam pengumpulan informasi, peneliti melakukan praktek langsung penggunaan metode yang dipilih oleh peneliti dengan membaginya kedalam dua siklus, yaitu siklus I dan siklus II.
30
Adanya pembagian siklus tersebut untuk mengetahui minat serta kemampuan membaca aksara Jawa. Diharapkan pada kondisi akhir penelitian, ada peningkatan yang signifikan dalam upaya meningkatkan minat dan kemampuan membaca aksara Jawa dengan metode make a match. Berikut ini gambar kerangka berfikir dalam penelitian tindakan kelas yang akan dilakukan oleh peneliti. KONDISI AWAL Guru belum menggunakan metode make a match pada pembelajaran membaca aksara Jawa
Minat serta kemampuan membaca aksara Jawa siswa masih rendah
Dengan menggunakan metode make a match dapat meningkatkan minat dan kemampuan membaca aksara Jawa pada siswa kelas VII G MTsN 1 Ngemplak.
TINDAKAN
Guru menggunakan metode cooperative learning teknik make a match, pada siklus I,dan II
Gambar 2.2 Alur Kerangka Berfikir C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, maka hipotesis pada Penelitian Tindakan Kelas ini adalah: 1. Penggunaan metode cooperative learning teknik make a match dapat meningkatkan minat belajar membaca paragraf berhuruf Jawa pada siswa kelas VII G MTs N 1 Ngemplak Boyolali. 2. Penggunaan metode cooperative learning teknik make a match dapat meningkatkan kemampuan membaca paragraf berhuruf Jawa pada siswa kelas VII G MTs N 1 Ngemplak Boyolali.