BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Analisis Hasil Penelitian
4.1.1
Uji Validitas Dalam penelitian uji validitas dilakukan pada jumlah data sebanyak 67
responden dengan menggunakan SPSS 16.0 caranya adalah membandingkan antara rtabel adalah N-2 dengan tingkat kepercayaan sebesar 90%. Suatu pernyataan dikatakan valid atau tidak valid yaitu dengan membandingkan antara nilai rhitung dengan rtabel. Suatu pernyataan dikatakan valid jika nilai rhitung lebih besar dari rtabel sedangkan tidak valid apabila rhitung lebih kecil dari rtabel. Berdasarkan tarif signifikan 10%, jumlah populasi (N) = 67, df = 65, dan t = 1,29 maka diperoleh nilai rtabel 0.16. 4.1.2 Uji Validitas Budaya Organisasi (X) Berikut ini adalah hasil uji validitas yang diolah menggunakan SPSS 16.0 dari nilai setiap butir kuesioner variabel budaya organisasi: Tabel 4.0.1 Uji Validitas Variabel Budaya Organisasi
Variabel
Nomor Butir Pertanyaan
Corrected Item-Total
rtabel
Keterangan
Correlation
Butir 1
0.945
0.16
Valid
Budaya
Butir 2
0.214
0.16
Valid
Organisasi (X)
Butir 3
0.475
0.16
Valid
Butir 4
0.174
0.16
Valid
Butir 5
4.1.2
0.294
0.16
Valid
Uji Validitas Variabel Stres Kerja (Y) Berikut ini adalah hasil uji validitas dari variabel dependen yaitu stres
kerja yang didapat dari pengisian kuesioner stres kerja dan diolah dengan SPSS 16.0 Tabel 4.0.2 Uji Validitas Variabel Stres Kerja
Variabel
Nomor Butir Pertanyaan
Corrected ItemTotal
rtabel
Keterangan
Correlation
Butir 1
0.583
0.16
Valid
Butir 2
0.525
0.16
Valid
Butir 3
0.460
0.16
Valid
Butir 4
0.576
0.16
Valid
Butir 5
0.297
0.16
Valid
Butir 6
0.317
0.16
Valid
Butir 7
0.501
0.16
Valid
Butir 8
0.610
0.16
Valid
Butir 9
0.703
0.16
Valid
Butir 10
0.388
0.16
Valid
Butir 11
0.522
0.16
Valid
Butir 12
0.536
0.16
Valid
Stres Kerja (Y)
Sumber: Output SPSS, 2014
4.1.3
Uji Validitas Variabel Moderasi Work-Life Conflict (Z) Berikut ini adalah hasil uji validitas dari variabel moderasi yaitu work-life
conflict yang didapat dari pengisian kuesioner dan diolah dengan SPSS 16.0, yaitu: Tabel 4.0.3 Uji Validitas Variabel Work-Life Conflict
Variabel
Work-Life Conflict (Z)
Nomor Butir Pertanyaan
Corrected ItemTotal
rtabel
Keterangan
Correlation
Butir 1
0.559
0.16
Valid
Butir 2
0.468
0.16
Valid
Butir 3
0.427
0.16
Valid
Sumber: Output SPSS, 2014
4.2
Uji Reliabilitas Dalam penilitian ini uji reliabilitas yang dilakukan pada masing-masing variabel
menggunakan SPSS 16.0, yaitu nilai apabila Cronbach’s Alpha > 0,16 maka dinyatakan reliabel. Hasil pengujian reliabilitas terhadap semua variabel ditunjukan pada table berikut: Tabel 4.0.4 Uji Reliabilitas Variabel Budaya Organisasi, Stress Kerja, dan WorkLife Conflict Variabel
Cronbach’s Alpha
Keterangan
Budaya Organisasi
0.717
Reliabilitas Tinggi
Stres Kerja
0.840
Reliabilitas Tinggi
Work-Life Conflict
0.671
Reliabilitas Moderat
Sumber: Output SPSS, 2014
4.3
Analisis Asumsi Klasik Penelitian dengan variabel moderasi adalah termasuk penelitian dengan model
regresi linear. Model regresi linear disebut baik apabila sudah memenuhi asumsi klasik. Hasil perhitungan uji asumsi klasik akan diuraikan pada sub bab berikut. 4.3.1
Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan pada tiap variabel-variabel penelitian ini dengan
melihat titik sebaran data pada gambar grafik Q-Q plot. Data dari variabel dapat dikatakan normal, jika sebaran data berada pada garis lurus sebaran titik plot. Adapun kriteria pengujian normalitas adalah sebagai berikut: •
Jika angka signifikasi Uji Kolmogorov-Smirnov Sig > 0,10 maka data berdistribusi normal
•
Jika angka signifikasi Uji Kolmogorov-Smirnov Sig < 0,10 maka data berdistribusi normal Angka Sig. atau signifikansi dapat diperoleh dengan perhitungan test of
normality atau plot melalui alat bantu SPSS 16.0 dengan tingkat kepercayaan 90% atau tingkat kesalahan 10%. 4.3.1.1 Uji Normalitas Variabel Budaya Organisasi (X) Dengan menggunakan software SPSS 16.0 diperoleh hasil uji normalitas pada variabel budaya organisasi adalah sebagai berikut: Tabel 4.0.5 Uji Normalitas Variabel Budaya Organisasi
Sumber: Output SPSS,2014
Dasar Pengambilan Keputusan Jika angka Sig Uji Kolmogorov-Smirnov ≥ 0,10 maka data berdistribusi normal Jika angka Sig Uji Kolmogorov-Smirnov < 0,10 maka data tidak berdistribusi normal
Keputusan Variabel X memiliki sig = 0,200 (> 0,100) maka data berdistribusi normal, sehingga variable X dapat digunakan dalam analisis jalur berikutnya.
Gambar 4.0.1 Grafik Uji Normalitas Variabel Budaya Organisasi Sumber: Output SPSS, 2014
Dilihat pada gambar ini, sebaran data variabel budaya organisasi
dapat
dikatakan baik karena hasil normal Q-Q plot variabel budaya organisasi membuktikan bahwa sebaran titik-titik plot berada pada garis lurus. 4.3.1.2 Uji Normalitas Variabel Stres Kerja (Y) Dengan menggunakan software SPSS 16.0 diperoleh hasil uji normalitas pada variabel stres kerja adalah sebagai berikut: Tabel 4.0.6 Uji Normalitas Variabel Stres Kerja
Sumber: Output SPSS, 2014
Dasar Pengambilan Keputusan Jika angka Sig Uji Kolmogorov-Smirnov ≥ 0,10 maka data berdistribusi normal Jika angka Sig Uji Kolmogorov-Smirnov < 0,10 maka data tidak berdistribusi normal Keputusan Variabel X memiliki sig = 0,200 (> 0,10) maka data berdistribusi normal, sehingga variable X dapat digunakan dalam analisis jalur berikutnya.
Gambar 4.2 Grafik Uji Normalitas Variabel Stres Kerja Sumber: Output SPSS, 2014
Dilihat pada gambar ini, sebaran data variabel stres kerja dapat dikatakan baik karena hasil normal Q-Q plot variabel stres kerja membuktikan bahwa sebaran titik-titik plot berada pada garis lurus. 4.3.1.3 Uji Normalitas Variabel Moderasi Konflik Work-Life Conflict (Z) Dengan menggunakan software SPSS 16.0 diperoleh hasil uji normalitas pada variabel moderasi work-life conflict adalah sebagai berikut: Tabel 4.0.7 Uji Normalitas Variabel Moderasi Konflik Work-Life Conflict
Sumber: Output SPSS, 2014
Dasar Pengambilan Keputusan Jika angka Sig Uji Kolmogorov-Smirnov ≥ 0,10 maka data berdistribusi normal Jika angka Sig Uji Kolmogorov-Smirnov < 0,10 maka data tidak berdistribusi normal
Keputusan Variabel X memiliki sig = 0,100 (≥0,10) maka data berdistribusi normal, sehingga variable X dapat digunakan dalam analisis jalur berikutnya. 4.3.2
Uji Heterokedasitas Uji asumsi ini dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi linear
terjadi
kesalahan
dalam
penentuan
error
atau
tidak.
Gambar 4.3 Hasil Uji Heterogenitas Sumber: Output SPSS, 2014
Dari scatterplot tersebut terlihat titik-titik yang menyebar secara acak tidak berpola, baik diatas angka 0 atau dibagian bawah angka 0 dari sumbu vertical atau sumbu Y. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heterokedatisitas dalam model regresi ini. 4.3.3
Uji Multikorelasi Uji multikorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah hubungan diantara variabel
bebas memiliki masalah multikorelasi atau tidak. Dari beberapa alternative pengujian multikorelasi, peneliti memilih menguji dengan melihat nilai VIF (variance-inflating factor) dengan dasar: •
Jika VIF < 10 tingkat kolinearitas dapat ditoleransi.
•
Jika VIF > 10 tingkat kolinearitas tidak dapat ditoleransi.
Dari perhitungan yang dilakukan dengan SPSS 16.0, terdapat hasil uji multikorelasi antara variabel budaya organisasi, stres kerja, dan variabel moderasi worklife conflict seperti yang tercantum pada table berikut. Tabel 4.0.8 Coefficients: Uji Multikorelasi
Sumber: Output SPSS, 2014
Dari tabel hasil output, dapat diketahui bahwa nilai VIF berada dibawah 10, yaitu 1.001. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat multikolinieritas diantara variabel bebas pada penelitian ini. 4.3.4
Uji Linearitas Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah data yang kita miliki sesuai dengan
garis linear atau tidak, dan menurut Fridayana (2013,p79) uji ini digunakan untuk menyatakan apakah persamaan linear cocok digunakan pada data yang ada,persamaan garis regresi variabel bebas (x) terhadap variabel terikat (y).
Tabel 4.0.9 ANOVA: Uji Linearitas ANOVA Table Mean Sum of Squares y*z
Between Groups
F
Sig.
21.034
8
2.629 262.367
.000
Linearity
20.880
1
20.880 2.084E3
.000
.155
7
.022
.581
58
.010
21.615
66
Linearity
Total
Square
(Combined)
Deviation from
Within Groups
df
2.205
.047
Sumber: Output SPSS, 2014
Pada gambar ini dapat dilihat bahwa nilai hasil analisis linearitas menunjukkan bahwa nilai signifikan linearity 0,000 < α (0,10), maka dengan hasil ini menunjukan model regresi linear. 4.3.5 Uji Auto Korelasi Uji ini dilakukan untuk menguji pada model regresi linear ada korelasi antara variabel pengganggu pada periode t ke periode t-1 (satu periode sebelumnya), dengan istilah lain adalah longitudinal study atau time series. Menurut Santoso (2012, p.112) autokorelasi jarang dijumpai pada data cross section. Biasanya terjadi pada data time series (serial waktu). Untuk itu, dalam penelitian ini tidak dilakukan uji auto korelasi. Sebab time horizon yang digunakan cross sectional, yaitu pengambilan data yang diperoleh hanya satu periode atau periode tertentu. 4.4
Analisis Korelasi Untuk mengetahui hubungan antara variabel yang diteliti, maka analisis korelasi
dilakukan dua kali, yang pertama untuk mengetahui hubungan antara variabel budaya organisasi (X) dengan variabel stres kerja (Y), dan yang kedua adalah analisis korelasi yang dilakukan dengan memasukan variabel work-life conflict
sebagai variabel
moderator pada penelitian ini. Sifat korelasi akan menentukan arah dari korelasi. Keeratan korelasi dapat dikelompokan sebagai berikut. Riduwan (2005, p.136) : 1. 0,00 – 0,199 berarti korelasi memiliki hubungan sangat lemah 2. 0,20 – 0,399 berarti korelasi memiliki hubungan lemah 3. 0,40 – 0,599 berarti korelasi memiliki hubungan cukup kuat 4. 0,60 – 0,799 berarti korelasi memiliki hubungan kuat 5. 0,80 – 1,000 berarti korelasi memiliki hubungan sangat kuat Dasar pengambilan keputusan untuk mengetahui hubungan antar variabel menggunakan analisis korelasi adalah jika sig ≤ α 0.10 berarti dinyatakan tidak ada hubungan antara kedua variable yang diteliti. Jika sig ≥ α 0.10, maka terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel yang diteliti.
4.4.1
Analisis Korelasi Variabel Budaya Organisasi (X) dan Stres Kerja (Y) Hasil olah data dengan analisis variabel korelasi untuk mengetahui hubungan
antara variabel budaya organisasi (X) dan variabel stres kerja (Y) seperti yang diharapkan nantinya diteliti pengaruhnya pada tujuan pertama adalah: Tabel 4.0.10Correlations Budaya Organisasi (X) dan Stres Kerja (Y) Correlations x X
Pearson Correlation
Y 1
Sig. (1-tailed) N Y
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
.985
**
.000 67
67
**
1
.985
.000 67
67
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Sumber: Output SPSS, 2014
Budaya Organisasi (X) dengan stres kerja (Y) mempunyai koefisien korelasi sebesar 0,985 dimana dengan nilai tersebut, berarti hubungan antar kedua variabel sangat kuat. Dan dengan signifikan 0.000 yang berarti ≤ α 0.10 yang menyatakan benar adanya hubungan antara kedua variabel budaya orgnisasi (X) dan stres kerja (Y). Kesimpulannya, pada penelitian ini, benar adanya hubungan antara budaya organisasi (X) dan stres kerja (Y) dengan hubungan yang sangat kuat, karena memiliki nilai korelasi sebesar 0.985. 4.4.2 Analisis Korelasi Variabel Budaya Organisasi (X) dan Stres Kerja (Y) dengan Variabel Moderasi Work-Life Conflict (Z) Hasil olah data dengan analisis variabel korelasi untuk mengetahui hubungan antara variabel budaya organisasi (X) dan variabel stres kerja (Y) dengan variabel moderasi WLC (Z) adalah sebagai berikut:
Tabel 4.0.11 Correlations Budaya Organisasi (X) dan Stres Kerja (Y) dengan Variabel Moderasi Work-Life Conflict (Z) Correlations Control Variables -none-
a
X
Y
X Correlation
.985
.974
Significance (1-tailed)
.
.000
.000
Df
0
65
65
Correlation
.985
1.000
.983
Significance (1-tailed)
.000
.
.000
65
0
65
Correlation
.974
.983
1.000
Significance (1-tailed)
.000
.000
.
65
65
0
1.000
.659
Significance (1-tailed)
.
.000
Df
0
64
Correlation
.659
1.000
Significance (1-tailed)
.000
.
64
0
Df Z
X
Y
Z
1.000
Df Z
Y
Correlation
Df a. Cells contain zero-order (Pearson) correlations.
Sumber: Output SPSS, 2014
Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara variabel budaya organisasi (X) dan stres kerja (Y) dengan variabel work-life conflict (Z) sebagai variabel pengontrol/variabel moderasi dengan hasil 0.000 < α 0.1. Hubungan antar variabel dikatakan kuat karena tingkat hubungannya sebesar 1.000 dengan sifat hubungan sangat kuat. Pada variabel Z ke X dan hubungan antar variabel Z ke Y adalah 0.659 dengan sifat hubungan kuat.
4.5
Analisis Regresi
4.5.1
Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Stres Kerja Untuk menjawab hipotesis pertama dalam penelitian ini, yaitu mengetahui
pengaruh antar variabel budaya organisasi dan stres kerja. Dari hasil analisis, didapat hasil pada output seperti dibawah ini:
Tabel 4.12 ANOVA X,Y b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
Df
Mean Square
6.698
1
6.698
Residual
14.917
65
.229
Total
21.615
66
F 29.185
Sig. .000
a
a. Predictors: (Constant), x b. Dependent Variable: y
Sumber: Output SPSS, 2014
Hipotesis: Ho: Tidak ada pengaruh antara budaya organisasi terhadap stres kerja dengan work-life conflict sebagai variabel moderator Ha: Ada pengaruh antara budaya organisasi terhadap stres kerja dengan work-life conflict sebagai variabel moderator Dasar Pengambilan Keputusan Sig ≥ 0,10 Ho diterima Sig < 0,10 Ho ditolak Hasil Sig = 0,000 < 0,10 maka H0 ditolak Ha diterima Kesimpulan Ada pengaruh antara budaya organisasi terhadap stres kerja dengan work-life conflict sebagai variabel moderator.
Setelah diketahui bahwa hasil kesimpulan uji signifikan menunjukan hasil adanya pengaruh antara kedua variabel tersebut, maka untuk mengetahui seberapa besar pengaruh nya didapat dari tabel Model Summary dibawah ini: Tabel 4.13 Model Summary X, Y b
Model Summary
Model
R
1
.557
Adjusted R Std. Error of Square the Estimate
R Square a
.310
.299
.47906
a. Predictors: (Constant), x
Sumber: Output SPSS,2014
b. Dependent Variable: y
Di mana sifat hubungan Untuk menjawab masalah apakah frekuensi budaya organisasi mempengaruhi stres kerja, dalam hal ini menggunakan angka R Square atau disebut juga dengan Koefisien Determinasi (KD). R square merupakan koefisien determinasi yang menyatakan bahwa pengaruh budaya organisasi (X) terhadap stres kerja (Y) adalah rendah. Dan dalam hasil pengolahan data ini menunjukan R square (R2) sebesar 0.310. Artinya, budaya organisasi di perusahaan tersebut mempengaruhi stres kerja karyawan sebesar 31%. Dan sisanya sebesar 69% (diperoleh dari 100% 31%) dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti.
Selanjutnya, untuk
mengetahui persamaan regresi variabl X dan Y, dapat diliat dari hasil output pada tabel coefficient berikut:
Tabel 4.14 Coefficients X, Y Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) X
a.
Dependent Variable: y
Sumber: Output SPSS, 2014
Std. Error .302
.517
-.734
.136
Coefficients Beta
T
.557
Sig. .583
.562
5.402
.000
Dari tabel Coefficients diatas menggambarkan bahwa persamaan regresi untuk budaya organisasi dengan stres kerja sebagai berikut:
Y= 0,302 + (- 0,734X)
Dimana:
X = Budaya Organisasi Y = Stres Kerja
Keterangan dari persamaan regresi diatas adalah: 1) Konstanta sebesar 0,302 menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan nilai dari variabel budaya organisasi (X), maka stres kerja (Y) di lingkungan karyawan adalah tetap sebesaar 0,302. 2)
Nilai budaya organisasi (X) adalah -0,734 menyatakan, jika budaya organisasi
(X) yang diterapkan di PT. Sumberdaya Sewatama semakin baik, maka akan dapat mengurangi stres kerja di lingkungan karyawan, sebab tanda negatif pada fungsi tersebut menyatakan pebandingan berlawanan arah diantara keduanya. 4.6 Analisis Pengaruh dengan Variabel Moderasi menggunakan Moderated Regression Analysis (MRA) Untuk menjawab tujuan selanjutnya pada penelitian ini, yaitu mengatahui pengaruh antara variabel budaya organisasi dan stres kerja dengan adanya variabel worklife conflict sebagai variabel moderator di uji dengan Moderated Regression Analysis (MRA). Dengan rancangan hipotesis: Dengan rancangan hipotesis sebagai berikut:
Ho: Tidak ada pengaruh antara budaya organisasi terhadap stres kerja dengan work-life conflict sebagai variabel moderator Ha: Ada pengaruh antara budaya organisasi terhadap stres kerja dengan work-life conflict sebagai variabel moderator
Dari hasil analisis, didapat hasil pada output seperti dibawah ini:
Tabel 4.15 ANOVA X, Y, dan Z
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
Mean Square
F
19.077
2
9.538
.519
63
.008
19.596
65
Residual Total
Df
Sig.
1.157E3
.000
a
a. Predictors: (Constant), x, moderasi b. Dependent Variable: y
Sumber: Output SPSS, 2014
Dasar Pengambilan Keputusan Sig ≥ 0,10 Ho diterima Sig < 0,10 Ho ditolak Hasil Sig = 0,000 < 0,10 maka H0 ditolak Ha diterima Kesimpulan Ada pengaruh antara budaya organisasi terhadap stres kerja dengan work-life conflict sebagai variabel moderator
Setelah diketahui bahwa hasil kesimpulan uji signifikan menunjukan hasil adanya pengaruh antara kedua variabel tersebut, maka untuk mengetahui seberapa besar pengaruh nya didapat dari tabel Model Summary dibawah ini:
Tabel 4.16 Model Summary X, Y, dan Z b
Model Summary
Model 1
R .987
R Square a
.973
a. Predictors: (Constant), x, moderasi b. Dependent Variable: y
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate .973
.09079
Sumber: Output SPSS, 2014
Dari hasil table model summary terlihat pada tabel Adjusted R Square menunjukan nilai 0.973. Nilai 0.973 pada tabel tersebut artinya hubungan antara budaya organisasi dan stres kerja dipengaruhi dengan adanya variabel moderasi yaitu work life conflict sebesar 97,3%. Dan sisanya sebesar 2,7% dipengaruhi oleh variabel lainnya diluar model yang diteliti. Dan hasil lainnya yang menjelaskan pengaruh variabel moderator pada penelitian ini adalah membuat rumusan fungsi regresi dari hubungan pengaruh antara ketiga variabel ini, dimana funginya adalah: Y = k + bX + bX*Z Keterangan: k : Konstanta X : Budaya Organisasi (X) Z : Work Life Conflict (Z) Selanjutnya, untuk mengetahui persamaan regresi nya, dilihat dari tabel coeeficients berikut:
Tabel 4.17 Coefficients Hasil Analisis MRA Coefficients Unstandardized Coefficients Model 1
B
Std. Error
(Constant)
-.161
.426
moderasi
.070
.018
-.637
.167
x
a
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
-.379
.706
.504
3.973
.000
.485
3.824
.000
a. Dependent Variable: y
Sumber: Hasil Output SPSS Berdasarkan tabel , dapat dibuat persamaan regresi dengan variabel moderasi adalah : Y = -161+(-0.637X)+0.070XZ
Keterangan: X : Budaya Organisasi Z : Work-Life Conflict
Kesimpulan dari fungsi diatas adalah: Dari persamaan regresi diatas di mana Y adalah variabel stres kerja, X adalah variabel budaya organisasi, sedangkan XZ adalah interaksi antara variabel independen dan variabel moderator . Dari persamaan regresi tersebut menyatakan bahwa jika interaksi antara budaya organisasi (X) dan work-life conflict (Z) menurun, maka maka interaksi antara kedua variabel X dan Z tersebut akan memperkuat variabel stres kerja. Sebab tanda negatif pada konstanta menggambarkan hubungan berlawanan arah antara keduanya. Koefisien regresi X bernilai negatif, maka jika koefisien regresi X meningkat, maka akan mengurangi tingkat stres kerja dalam organisasi. 4.7 Pembahasan Penelitian Dari hasil pengolahan data diatas,dapat diringkas dalam Tabel 4.34 sebagai berikut:
Tabel 4.18 Ringkasan Hasil Pengolahan Data Hubungan Variabel X
Y
XZ Y (variabel moderasi)
Korelasi 0.985 (sangat kuat) 1.000 (sangat kuat)
Sumber: Pengolahan Data, 2014
Pengaruh
31%
97,3%
Persamaan Regresi Y= 0,302 + (- 0,734X)
Y = -161+0.637X+0.070XZ
Uji Signifikan Signifikan
Signifikan
Hasil analisis dalam penelitian ini menggunakan program SPSS 16.0 yaitu regresi sederhana dan regresi dengan variabel moderasi moderated regression analysis (MRA). Di mana hasilnya dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut: 31 %
Budaya Organisasi
Stres Kerja
(X)
(Y) 97,3 %
Konflik Pekerjaan dan diluar Pekerjaan (Work Life)
Keterangan: 1) Pengaruh budaya organisasi (X) terhadap stres kerja (Y) adalah berpengaruh secara signifikan sebesar 31 % pada PT. Sumberdaya Sewatama. 2) Pengaruh variabel moderasi work life conflict (Z) terhadap budaya organisasi dan stres kerja
adalah memperkuat dan memperlemah sebesar 97,3% pada PT.
Sumberdaya Sewatama kantor pusat
Setelah dilakukan penelitian terhadap pengaruh variabel budaya organisasi dan variabel stres kerja dengan work-life conflict sebagai moderator, maka berikut pembahasan setiap variabel tersebut. 4.7.1 Budaya Organisasi Budaya organisasi merupakan hal yang abstrak tetapi sangat penting bagi sebuah perusahaan. Budaya organisasi merupakan driver dari sebuah organisasi untuk dapat mencapai tujuannya. Dengan budaya yang tepat, maka akan mempermudah organisasi unruk mencapai tujuannya. Melalui analisis korelasi yang dilakukan pada PT. Sumberdaya Sewatama, didapat hasil mengenai budaya organisasi tersebut.. Berdasarkan open questionnaire, sebagian besar karyawan merasa sudah nyaman dengan budaya organisasi yang
kekeluargaan. Namun, seperti yang diketahui bahwa budaya organisasi merupakan sebuah kunci kesuksesan organisasi, maka budaya organisasi harus sejalan dengan visi dan misi perusahaan. Melalui kuesioner kedua yang merupakan kuesioner utama yang dilengkapi oleh indikator dari masing-masing variabel, indikator pertama mengenai gambaran budaya organisasi pada PT. Sumberdaya Sewatama
adalah tuntutan keharusan terhadap
karyawan untuk berani mengambil risiko dan inovatif. Pernyataan ini mendapatkan respon terbesar sebanyak 49% yang menyatakan karyawan merasa kurang setuju dengan pernyataan tersebut. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa karyawan mungkin masih lebih senang dengan comfort zone, yaitu mengerjakan hal-hal yang biasa dilakukan dan sewajarnya. Di sisi lain, menurut open questionnaire juga pernah didapat informasi mengenai terkadang karyawan tidak terlalu berani untuk mengerjakan pekerjaan yang sama dengan cara yang berbeda, sebab merasa takut melakukan kesalahan. Padahal justru hal ini akan membuat karyawan menjadi termotivasi untuk menemukan hal-hal baru, berkembang dan inovatif agar perusahaan pun dapat cepat beradaptasi karena memiliki orang-orang yang inovatif di bidang nya. Indikator kedua yaitu karyawan diharapkan untuk selalu memperhatikan segala ketetapan dan analisis yang ada. Respon dari kuesioner menujukan bahwa karyawan di perusahaan ini sebanyak 73% menyatakan kurang setuju dengan pernyataan ini. Hal ini bisa disebabkan oleh karena deadline yang terlalu cepat misalnya, karyawan menjadi kekurangan waktu untuk menyelesaikannya sehingga karyawan menyelesaikan nya hanya berdasarkan time table, bukan berdasarkan ketepatan dan analisis yang ada. Indikator ketiga adalah mengenai perhatian karyawan mengenai hal – hal yang berkaitan dengan perusahaan. Respon yang menyatakan tidak setuju dengan pernyataan ini adalah sebesar 56,7%. Karyawan merasa hal-hal lainnya tidak perlu diperhatikan mungkin dikarenakan mereka terlalu terpaku dengan pekerjaan atau job desc yang mereka miliki, sehingga mereka tidak lagi memperhatikan hal-hal lainnya selain hal tersebut. Indikator kelima ialah mengenai fokus pihak manajemen terhadap pekerjaan karyawan. Pada kuesioner, pernyataan tentang indikator ini meyatakan pihak manajemen lebih fokus terhadap hasil ketimbang proses dalam pencapaian hasil tersebut. Sebanyak 41,7 % menyatakan setuju dengan pernyataan tersebut. Hasil pekerjaan yang diberikan
oleh karyawan bisa saja baik dan selesai tepat pada waktunya. Tetapi sebaiknya perusahaan mengetahui mengenai bagaimana hasil itu dicapai karyawan tersebut, sebab hasil yang baik belum tentu melewati proses yang baik pula. Perusahaan harus memastikan akan proses yang digunakan untuk mencapai tersebut sudah baik dan memenuhi standard prosedur yang berlaku. Indikator terakhir mengenai kebijakankebijakan di perusahaan. Apakah kebijakan di perusahaan mencerminkan keinginan karyawan. Sebanyak 44,7 % menyatakan setuju bahwa kebijakan-kebijakan yang diterapkan di perusahaan mencerminkan keinginan karyawan. Hal ini merupakan sebuah hal yang baik bagi perusahaan supaya perusahaan mendapat kepercayaan karyawan nya untuk menjalin terjadinya hubungan yang baik antara karyawan dan pihak perusahaan. Pengukuran yang diambil dari kuesioner menggunakan interval dengan range 15 di di mana angka 1 adalah yang paling tidak baik dan 5 yang paling baik, angka 3,781 sudah melewati batas tengah dari skala 1 – 5 tersebut. Karyawan di PT. Sumberdaya Sewatama memang sudah merasa bahwa budaya organisasi yang diterapkan di perusahaan tersebut sudah sangat baik dan membuat lingkungan kerja menjadi nyaman dengan diterapkannya budaya organisasi tersebut. Mereka menyebutnya budaya dengan integritas yang tinggi dan kekeluargaan adalah budaya organisasi yang diterapkan ditanamkan pada individu dalam perusahaan ini. 1.7.2 Stres Kerja Pada model penelitian diatas, stres kerja sebagai variabel dependen terlihat dipengaruhi oleh budaya organisasi sebesar 31 %, dan hubungan tersebut diperkuat sebesar 97% oleh adanya variabel moderasi yaitu work life conflict. Dari hasil pengambilan data melalui kuesioner pada PT. Sumberdaya Seawatama, ada 12 butir pertanyaan yang dijadikan acuan untuk mengetahui gambaran hal-hal yang menyebabkan stres kerja di lingkungan PT. Sumberdaya Sewatama tersebut. Butir pertama mengenai kemampuan kebijaksanaan, menyatakan adanya keharusan didalam perusahaan untuk belajar hal-hal baru yang terkait dengan pekerjaannya membuat karyawan mengalami stres kerja. Sebesar 37,31 % responden menyatakan kurang setuju dengan pernyataan bahwa belajar hal-hal baru terkait dengan pekerjaannya membuat karyawan mengalami stres kerja. Alternatif jawaban lain yang terbesar yaitu 26,8 % responden mengatakan mereka merasa setuju jika mereka merasa
stres ketika mereka diharuskan untuk belajar hal-hal baru. Belajar hal-hal yang baru padahal dapat membuat para karyawan berkembang dan mendapat keahlian-keahlian serta pengetahuan baru mengenai bidangnya. Indikator selanjutnya yang masih merupakan dimensi kemampuan kebijaksanaan adalah bahwa tugas yang mereka tangani membutuhkan tingkat keterampilan tinggi dan menyebabkan stres. 37,31% karyawan merasa kurang setuju dengan hal tersebut. Mereka merasa bahwa tugas yang membutuhkan tingkat keterampilan tinggi bukan termasuk sumber stres di lingkungan perusahaan. Perusahaan cenderung mengukur pekerjaan anak buah nya sehingga jarang terjadi stres kerja di ligkungan karyawan yang disebabkan oleh keterampilan tinggi yang harus dimiliki karyawan untuk menangani hal-hal yang membutuhkan tingkat keterampilan tinggi. Indikator selanjutnya adalah tugas atau pekerjaan yang saya lakukan melakukan hal-hal sama dan dikerjakan secara berulang-ulang dan menyebabkan karyawan tersebut stres. Menurut dimensi berikutnya yaitu mengenai keputusan autoritas yang diberikan kepada karyawan adalah adanya kebebasan untuk memutuskan bagaimana cara menyelesaikan pekerjaan justru membuat karywan menjadi stres. Hal ini mendapat respon 37,31% dari karyawan dan menyatakan kurang setuju dengan pernyataan ini. Berdasarkan obrolan singkat dengan karyawan-karyawan, mereka lebih senang memang jika tidak terlalu diperlakukan secara kaku sehingga mereka tidak terpaku dengan satu cara saja. Sebab jika demikian, mereka akan sulit berkembang untuk menangani pekerjaan-pekerjaan lain yang memiliki tingkat fleksibilitas lebih tinggi. Indikator berikutya adalah mengenai kesempatan untuk mengutarakan hal yang terjadi selama saya menyelesaikan pekerjaan setiap karyawan merupakan pemicu stres di lingkungan PT. Sumberdaya Sewatama. Sebanyak 56,7 % menyatakan setuju bahwa hal tersebut terkadang membuat karyawan stres. Stres yang dimaksud bisa jadi berasal dari tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk mengutarakan feedback mengenai apa yang seharusnya diusahakan perusahaan sehingga karyawan merasa terjadi komunikasi 2 arah diantara karyawan dan perusahaa agar tidak terlalu membuat karyawan stres jika memiliki hal yang harus dibicarakan kepada pihak perusahaan. Dimensi ketiga adalah tentang tuntutan psikologis. Dan pernyataan selanjutnya mengenai stres yang kemudian timbul ketika pekerjaan membuat karyawan menjadi
sangat sibuk. Ada dua respon yang memiliki persentase sama, yaitu 40,29 % menyatakan bahwa mereka kurang setuju dengan pernyataan tersebut, 40,29 % kemudian menyatakan setuju dengan pernyataan tersebut, dan sisanya adalah pilihan jawaban lainnya. Untuk responden yang menyatakan setuju dengan pernyataan stres kerja timbul ketika pekerjaan membuat karyawan menjadi sangat sibuk adalah bisa jadi mereka merupakan orang-orang yang kelebihan beban kerja dan mereka tidak termasuk orang-orang yang workaholic, jadi mereka terpaksa harus membawa pekerjaan yang belum selesai ke rumah sehingga pikiran dirumah teralih ke pekerjaan. Hal tersebut jika dibiarkan dapat mendorong terjadinya work-life conflict. Untuk responden yang menyatakan kurang setuju dengan pernyataan bahwa stres kerja dapat timbul ketika pekerjaan membuat karyawan menjadi sangat sibuk dapat dikatakan kebalikan dari responden yang sebelumnya dijelaskan. Mereka dapat digolongkan menjadi tipe seorang workaholic sehingga mereka sangat menikmati pekerjaan-pekerjaan yang harus mereka selesaikan dikantor, tidak peduli sesibuk dan sebanyak apapun pekerjaan tersebut. Sehingga, pekerja tipe ini mengetahui akan konsekuensi menjadi workaholic, sehingga mereka berusaha memaksimalkan sesedikit apapun waktu yang mereka miliki diluar pekerjaan. Untuk mengatasi kedua tipe pekerja tersebut, maka departemen SDM memiliki peran penting didalamnya. Mencari tahu mengenai bagaimana masing-masing individu merupakan tipe pekerja yang seperti apa, dan bagian apa yang ia senangi agar pekerjaan yang dikerjakan sesuai dengan kemampuan karyawan tersebut, ia menikmati pekerjaan yang dikerjakan, dan tidak memberikan pekerjaan-pekerjaan tambahan diluar jobdesc orang tersebut. Ketika perusahaan dapat memperhatikan hal tersebut, maka walaupun karyawan merasa dirinya sangat sibuk, ia akan merasa bahwa apa yang dikerjakan sesuai dengan kemampuan, kapasitasnya, dan tidak merasa bahwa pekerjaan yag dilakukan diluar tanggungjawab nya yang mengakibatkan stres. Indikator berikutnya adalah mengenai konflik di lingkungan kerja terkait dengan tuntutan pekerjaan. Berdasarkan kuesioner, 46,2 % mengatakan bahwa mereka kurang setuju jika konflik di lingkungan kerja terkait dengan tuntutan pekerjaan membuat mereka stres. Hal ini menandakan karyawan di PT. Sumberdaya Sewatama secara mayoritas dapat dengan baik menghindari konflik terkait dengan tuntutan pekerjaan. Mungkin ini juga
dikarenakan budaya PT. Sumberdaya Sewatama yang kekeluargaan sehingga konflik di lingkungan kerja terkait dengan tuntutan pekerjaan dapat diminimalisir. Dimensi yang keempat adalah mengenai status kepegawaian. Indikator pertama adalah mengenai stres yang dikarenakan status kepegawaian karyawan yang belum menjadi karyawan tetap sehingga membuat karyawan tersebut merasa tidak aman dan stres. 29,8% memberikan respon kurang setuju dengan pernyataan tersebut, 28,35 % menyatakan setuju dengan pernyataan tersebut. Dengan kata lain, permasalahan mengenai stres kerja yang dikarenakan oleh status kepegawaian menurut sebagian pegawai tidak dipermasalahkan. Yang merasa stres dengan terkait hal tersebut yaitu 28,35 % lainnya adalah hal yang wajar ketika orang tersebut merasa cemas akan status kepegawaiannya yang belum tetap, takut tiba-tiba tidak diperpanjang kembali dan sebagainya. Oleh karena itu, perusahaan harus tetap dapat meretain orang-orang tersebut terutama yang berkinderja baik agar stres terkait status kepegawaiannya itu tidak mempengaruhi perilakunya terhadap perusahaan. Dimensi selanjutnya adalah dimensi mengenai aktivitas fisik pegawai. Indikator dari dimensi ini adalah saat seseorang yang dalam pekerjaannya diharuskan melakukan upaya fisik yang dapat menyebabkan stres. 37,3 % merespon kurang setuju dengan pernyataan jika aktifitas fisik yang diharuskan saat melakukan pekerjaan dapat membuatnya menjadi stres.Mungkin memang tidak banyak aktifitas fisik yang dilakukan di lingkungan kantor merupakan mengapa mereka tidak merasa stres dengan hhal demikian Dan ketika perusahaan menghadapi karyawan yang merasa stres dengan hal tersebut, pihak perusaan dapat dengan mengatur variasi pekerjaan agar tidak menjadi suatu kendala bagi seorang karyawan untuk bekerja. Dimensi terakhir mengenai stres kerja adalah mengenai dukungan sosial dari rekan dan supervisor. Pernyataan pertama adalah adanya konflik dengan orang-orang yang bekerja satu tim membuat pekerja stres. 43,8 % merasa setuju jika stres terjadi saat adanya konflik dengan orang-orang yang bekerja satu tim. Hal ini dikarenakan di setiap organisasi pasti merupakan kumpulan orang-orang yang berbeda karakter, perilaku, kebiasaan, dan sebagainya. Hal ini adalah tugas departemen sumberdaya manusia, di mana
dalam
pemilihan
anggota
tim
dari
kelompok-kelompok
kerja
harus
dipertimbangkan mengenai siapa saja dan apa yang harus dikerjakan agar satu sama lain
dapat saling support dan meminimalisir konflik antar rekan satu tim, hal ini dapat berakibat negatif terhadap pekerjaan terutama dalam mencapai sebuah tujuan tim. Selanjutnya stres yang diakibatkan oleh tidak adanya dukungan dari atasan dalam menyelesaikan pekerjaan yang membuat seorang karyawan stres. Artinya, atasan hanya memberikan soal dan pekerjaan tanpa memikirkan apakah pekerjaan itu masih dalam ruag lingkup kapasitas karyawan tersebut, apakah deadline ang diberikan cukup untuk pengerjaannya, dan sebagai nya yang
merupakan segala hal yang memungkinkan
menimbulkan kendala dalam pengerjaan pekerjaan tersebut. 37,3 % menyatakan bahwa mereka setuju dengan hal tersebut. Sebaiknya kontrol mengenai hal ini dapat lebih ditingkatkan, karena yang menurut pegawai pada PT. Sumberdaya Sewatama takutkan adalah terjadi nya penumpukan pekerjaan yang dikarenakan oleh deadline yang menumpuk dan datangnya pekerjaan yang tiba-tiba dengan deadline sempit. Indikator yang terakhir adalah tentang tidak ada dukungan dari rekan kerja terkait dengan pekerjaan yang dilakukan sehingga membuat karyawan tersebut merasa stres. 32,83% menyatakan setuju apabaila stres kerja yang ditimbulkan juga berasal dari tidak ada dukungan dari rekan kerja terkait dengan pekerjaan yang dilakukan sehingga membuat karyawan tersebut merasa stres. Sebab, karyawan merasa tidak tau akan siapa yang dapat dijadikan kawan diskusi untuk memudahkan pengerjaan suatu pekerjaan. Sebab, beban pekerjaan dan tingkat kesulitan pekerjaan satu dan karyawan lainnya berbedabeda. Jika mayoritas pekerja bersikap individual, maka pernyataan ini dapat dibenarkan bahwa stres juga dapat timbul akibat hal tersebut. Yang harus ditanamkan oleh perusahaan adalah bagaimana karyawan antara satu dan yang lain dapat menanamkan rasa organizational citizenship behavior di mana perasaan dan tindakan karyawan yang ditujukan untuk membantu rekan kerja yang mengalami kesulitan untuk melakukan pekerjaan yang berlebih, lebih sulit, dan sebagainya. Karyawan di PT. Sumberdaya Sewatama ternyata walaupun menurut karyawannya berbudaya yang baik yaitu menerapkan budaya kekeluargaan tetapi masih terdapat cukup banyak karyawan yang merasa memiliki perasaan stres terhadap pekerjaan. Jika kontrol akan stres kerja dapat ditingkatkan, maka hal ini dapat membuat organisasi lebih cepat berkembang dan encapai visi dan misi perusaahaannya.
1.7.3
Konflik Pekerjaan dan diluar Pekerjaan (Work Life Conflict) Pada model penelitian diatas, work life conflict yang merupakan variabel
moderasi memberikan pengaruh sebesar 93,7% terhadap hubungan antara budaya organisasi dan stres kerja. Melalui wawancara yang beberapa kali dilakukan kepada karyawan PT. Sumberdaya Sewatama, diperoleh keterangan bahwa memang konflik yang timbul di tempat kerja ini mempengaruhi stres kerja karyawan. Karena konflik pribadi jika dibawa ke pekerjaan, walaupun berusaha profesional, sedikit atau banyak akan tetap mempengaruhi bagaimana mereka mengerjakan sesuatu. Banyak faktor lain yang yang dapat terkena imbasnya jika adanya variabel moderasi ini sebagai variabel yang memperkuat pengaruh antar dua variabel lainnya. Dari kuesioner didapat hasil mengenai work-life conflict adalah pada indikator pertama, pernyataan yang tertulis mengenai keharusan karyawan untuk memprioritaskan pekerjaan di atas keluarga sebagai kompensasi komitmen karyawan terhadap perusahaan adalah salah satu karakteristik terjadinya work-life conflict. 38,8% menyatakan kurang setuju dengan pernyataan tersebut bahwa karyawan harus memprioritaskan pekerjaan di atas keluarga sebagai kompensasi komitmen karyawan terhadap perusahaan. Padahal jika dilihat dari kenyataan bahwa seseorang yang bekerja di Jakarta misalnya. Bekerja selama 8 jam dengan perjalanan pulang – pergi 3 jam saja telah menghabiskan 11 jam diluar rumah untuk bekerja. Di jaman seperti sekarang ini, keluarga memang akan menjadi option jika kita menjadi orang yang bekerja di kantoran. Oleh karena itu, perusahaan harus memperhatikan bagaimana cara agar dengan waktu singkat seorang karyawan berkumpul dengan keluarganya perusahaan atau organisasi tidak mengambil hak jam keluarga atas organisasi atau pekerjaan. Indikator kedua adalah mengenai kinerja yang cenderung menurun ketika seorang pekerja lebih memanfaatkan waktu untuk keluarga dibandingkan untuk hal-hal yang masih mengenai organisasi. 40,29 % menyatakan mereka tidak setuju jika dikatakan kinerja mereka cenderung menurun saat mereka lebih memanfatkan waktu untuk keluarga dibandingkan untuk hal-hal yang masih mengenai organisasi. Berarti, karyawan di PT. Sumberdaya Sewatama memiliki komitmen terhadap pekerjaan mereka sehingga walaupun mereka harus memanfaatkan waktu untuk keluarga, tetapi tetap berusaha memenuhi kewajiban serta tanggung jawab mereka sebagai seorang karyawan.
Perusahaan harus mengetahui bagaimana me-retain karyawan yang termasuk karyawankaryawan yang demikian, sebab orang-orang seperti itu dapat mendapatkan profit bagi perusahaan melalui kinerja nya yang baik Pernyataan mengenai indikator terakhir yaitu karyawan merasa perusahaan peka dan bertanggung jawab terhadap keluarga karyawan. 50,7 % menyatakan setuju dengan pernyataan tersebut, sedangkan 46,2 % menyatakan kurang setuju dengan pernyataan tersebut. Walaupun yang setuju dengan pernyataan tersebut sudah mencapai 50%, tetapi angka yang merasa kurang setuju dengan pernyataan tersebut termasuk masih besar. Menurut keterangan beberapa responden yang peneliti jumpai di tempat saya melakukan penelitian, mereka berpendapat bahwa masih ada departemen tertentu yang merasa kurang mendapat perhatian dari pihak manajemen dan terkadang apa yang mereka inginkan tidak seperti yang mereka dapatkan. Oleh karena itu perusahaan harus mencari cara untuk meratakan persepsi mengenai bagaimana perusahaan turut memikirkan kehidupan karyawan nya, tidak hanya jika karyawan tersebut di tempat kerja, tetapi juga membuat mereka merasa keluarga mereka yaitu orang yang terdekat dengan mereka juga merupakan pertimbangan perusahaan dalam menentukan kebijakan, kebijakan tunjangan misalnya. Sebab, secara tidak langsung, hal tersebut akan menambah motivasi karyawan untuk bekerja dengan sebaik-baik nya jika ia juga sudah merasa diperlakukan sebaikbaiknya. 4.8 Implikasi Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai gambaran variabel budaya organisasi, variabel stres kerja dan variabel work-life conflict di ketahui pengaruh variabel budaya organisasi terhadap variabel stres kerja adalah sebesar 31% dan pengaruh variabel work –life conflict terhadap hubungan antara variabel budaya organisasi dan variabel stres kerja memoderasi sebesar 97,3%. Dengan presentase yang besar ini, maka adanya work-life conflict harus diwaspadai. Sebab, dengan konflik saja dapat secara signifikan mempengaruhi stres kerja dilingkunga karyawan. Jika dibiarkan, maka stres kerja akan bertambah akibat pengaruh konflik pekerjaan dan diluar pekerjaan ini, sebaliknya budaya organisasi yang baik bisa memudar akibat adanya stres kerja. Karena karyawan merasa ada yang lebih penting untuk diperhatikan, yaitu ketenangan dan kenyamanan diri nya terlebih dahulu baru memikirkan pekerjaan.
Berdasarkan kuesioner, respon terendah mengenai budaya organisasi yang harus diperhatikan adalah poin mengenai kebijakan-kebijakan di perusahaan mencerminkan keinginan karyawan. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah dalam pengambilan keputusan sebaiknya perusahaan memiliki perwakilan pekerja yang mewakili lapisanlapisan tertentu yang rentan terhadap ketidak setujuan. Jika memang keputusan yang diberikan perusahaan tidak sesuai dengan keinginan mereka, setidaknya mereka mengetahui alasan. Pada variabel stres kerja, butir yang harus diperhatikan adalah karyawan sangat setuju apabila stres kerja disebabkan oleh tidak adanya kesempatan mengutarakan hal yang terjadi selama karyawan menyelesaikan pekerjaan dan
mengenai kesempatan
mengutarakan pendapat akan hal yang terjadi selama karyawan menyelesaikan pekerjaan. Hal ini mugkin akan membuat pekerja merasa diperhatikan akan bagaimana mereka mengerjakan pekerjaan yang diberikan perusahaan, sehingga perusahaan juga dapat mengontrol sejauh mana karyawan tersebut mengalami kesulitan dan dapat mencari jalan untuk menyelesaikannya. Variabel work-life conflict memiliki butir yang harus diperhatikan yaitu mengenai kepekaan perusahaan terhadap keluarga karyawan, dimana untuk mengatasi hal tersebut perusahaan harus mulai berorientasi dan mengemas secara baik kebijakan agar karyawan dapat mengerti bahwa perusahaan mengusahakan yang terbaik tidak hanya untuk perusahaan dan karyawan, melainkan juga untuk keluarga karyawan yang juga menjadi tanggungjawab perusahaan walaupun tidak secara keseluruhan. Oleh karena itu, jika PT. Sumberdaya Sewatama meningkatkan budaya organisasi agar dapat menjadi kekuatan organisasi nya untuk mencapai tujuan strategisnya, maka harus diterapkan manajemen stres dan pendekatan yang baik terhadap karyawannya, agar konflik pekerjaan dan diluar pekerjaan juga dapat diminimalisisr dengan baik. Hal ini sangat baik untuk menjadi langkah prefentif untuk mencegah berbagai hambatan organisasi lainnya.