96
BAB 4 HASIL dan PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Perusahaan dan Profil Responden Sub bab ini akan memberikan gambaran umum perusahaan PT. Matahari Putra Prima, Tbk. dan profil responden penelitian ini.
4.1.1 Profil Responden Responden yang menjadi unit analisis penelitian ini adalah perusahaan PT. Matahari Putra Prima, Tbk dengan studi kasus di Matahari Department Store Mal Ciputra, untuk pengumpulan data sekunder, dan para pengunjung Matahari Department Store Mal Ciputra yang pernah melakukan pembelian di MDS Mal Ciputra dalam enam bulan terakhir, untuk pengumpulan data primer.
4.1.2 Profil Perusahaan PT. Matahari Putra Prima, Tbk adalah salah satu peritel besar di Indonesia dengan jumlah toko yang sangat banyak, yakni 83 Matahari Department Store, 28 Hypermaket, 37
Supermarket (Foodmart), 9 Kids2Kids, 36 Boston Pharmacy, dan 110 TimeZone yang tercatat beroperasi hingga Agustus 2007 di lebih dari 50 kota di seluruh Indonesia. Segmen yang dibidiknya adalah konsumen kalangan menengah atas. Masyarakat menengah yang dituju adalah keluarga dengan jumlah pengeluaran bulanannya berkisar antara Rp. 1.750.000,hingga Rp. 2.500.000.-. Kemudian untuk supermarket, sasaran konsumennya adalah yang memiliki pengeluaran bulanan sekitar Rp. 1.250.000,- (Visidata Riset Indonesia, 2003).
97
Sesuai dengan visinya untuk menjadi perusahaan ritel berkelas internasional dan misinya menjadikan perusahaan ritel Indonesia yang dominan dan modern serta berwawasan global, perusahaan ini juga telah mengembangkan sayapnya di dunia internasional dengan membuka cabang department store pertama di Shenzhen, China, pada bulan Oktober 2005. Matahari bermula dari sebuah toko kecil di Pasar Baru, yang merupakan shopping
center bergengsi di Jakarta kala itu. Pada tahun 1958, seorang businessman bernama Hari Dharmawan membeli “The Sun”, sebuah toko yang menjual bermacam-macam barang, dan mengubah namanya menjadi “Matahari”. Pada saat dibuka, ruangan yang digunakan masih sederhana, hanya satu lantai dan hanya berfokus pada penjualan pakaian dan kosmetik. Selanjutnya, pada tahun 1972 terjadi kemajuan yang menggembirakan yang mana omset toko Matahari mengalami kenaikan secara signifikan sehingga Hari Dharmawan memutuskan untuk memperluas tempat usahanya. Jumlah dan jenis barang yang dijual semakin beragam, tidak hanya fashion saja, tetapi juga makanan, minuman, peralatan rumah tangga, dan peralatan elektronik. Pada tahun yang sama, Matahari mengukuhkan dirinya sebagai pionir konsep Department Store pertama di Indonesia. Beberapa tahun selanjutnya Matahari mulai membuka beberapa cabang, seperti di Blok M, Pasar Senen, dan bahkan pada tahun 1980 dilakukan ekspansi hingga ke luar Jakarta untuk pertama kalinya, yakni di Bogor, dengan nama “Sinar Matahari Bogor”. Lima belas tahun kemudian, pihak manajemen Matahari memantapkan diri untuk fokus pada bisnis
Supermarket sebagai bagian dari bisnis ritel yang menjual kebutuhan sehari-hari dengan harga bersaing. Tahun 1998 adalah tahun yang berat bagi Matahari yang disebabkan terjadinya kerusuhan massa di Indonesia. Pada saat itu, 11 toko milik Matahari mengalami penjarahan ataupun hancur terbakar oleh para perusuh. Namun, Matahari mampu untuk segera bangkit
98
kembali yang terbukti dari perkembangan-perkembangan yang semakin pesat di tahun-tahun selanjutnya. Pada tahun 1999, PT. Matahari Putra Prima Tbk. menciptakan Private Brand. Private
Brand tersebut merupakan suatu kumpulan produk unggulan yang bertujuan untuk menyatakan bahwa Matahari Department Store memiliki merek yang tidak dimiliki oleh
department store lain, sehingga memberikan daya tarik tersendiri bagi konsumen dan membangun loyalitas terhadap toko. Semakin menyadari pentingnya loyalitas pengunjung terhadap tokonya, pada tahun 2000 diluncurkanlah kartu pelanggan yang akan memberikan banyak manfaat bagi pemiliknya, yakni Matahari Club Card (MCC). Hal ini disambut gembira oleh para konsumen, terbukti dengan banyaknya pengunjung yang segera mendaftarkan diri untuk mendapatkan kartu MCC. Saat ini anggota MCC mencapai 4 juta member. Semenjak Matahari Group beralih kepemilikan ke tangan Lippo Group pada tahun 1997 dengan kepemilikan saham sebesar 50,1%, Matahari terlihat berjalan kurang lancar. Untuk mengantisipasi kemungkinan yang lebih buruk di tahun-tahun mendatang, pihak Lippo membentuk tim manajemen yang baru. Dari susunan manajemen baru nampak para petinggi Lippo banyak menggantikan manajemen lama. Bersamaan dengan itu pula masuk beberapa tenaga ahli asing. Dengan manajemen baru tersebut, strategi Matahari banyak mengalami perubahan mendasar. Setelah pemisahan manajemen department store dan supermarket, Matahari kembali ke core business-nya yaitu mengelola bisnis eceran untuk konsumen kelas menengah atas dengan satu nama, yakni Matahari. Hal itu dilakukan lewat konsep one-stop shopping yang menggabungkan bisnis department store dan supermarket dalam satu atap. Ini berarti Matahari meninggalkan bisnis lainnya seperti Galeria yang membidik segmen atas, Mega M yang mengembangkan konsep Hypermarket, dan Super Ekonomi yang membidik
99
menengah bawah. Kemudian, pada tahun 2003 Matahari meluncurkan Market Place di Mal Kelapa Gading Center. Tahun 2004 Matahari meluncurkan konsep Hypermart yang disusul dengan ekspansi agresif pada tahun 2005. Kesuksesan tersebut membawa Matahari masuk dalam Retail Asia
Top 500 Gold Awards sebagai peritel terbaik di Indonesia selama tiga tahun berturut-turut, yakni tahun 2004 s/d tahun 2006. Penghargaan tersebut merupakan penghargaan tahunan yang diselenggarakan oleh Retail Asia, sebuah majalah bisnis ritel yang terkemuka di Asia, yang bekerja sama dengan perusahaan riset global, Euromonitor International, sebagai sumber penyedia data, dan KPMG yang merupakan salah satu dari empat perusahaan auditor terbesar (Big Four Auditor). Sejak akhir Mei 2007, dilakukan perubahan nama 38 gerai Matahari Supermarket menjadi Foodmart. Perubahan nama ini dilakukan untuk mendongkrak omzet bisnis
supermarket dan menjadikan gerai supermarket lebih independen dari Matahari Department Store. Bersamaan dengan itu, grup Matahari sedang mempersiapkan pembukaan Parisian Department Store yang pertama di Indonesia.
4.1.3 Kondisi Perusahaan Matahari memiliki tingkat penjualan yang terus meningkat dan bahkan pada kuartal ke-3 tahun 2006, YTD (Year-To-Date) September 2006 menunjukkan peningkatan sebesar 25,3% dengan total net sales mencapai Rp. 5,7 triliun, meningkat dari nilai tahun lalu sebesar Rp. 4,5 triliun. Pertumbuhan net sales tersebut terutama berasal dari peningkatan sebesar 7,2% pada divisi department store dengan total net sales mencapai Rp. 2,9 triliun dan 57,6% peningkatan pada total net sales divisi supermarket/hypermarket yang mencapai Rp. 2,5 triliun. Hypemarket memberikan kontribusi yang besar pada peningkatan pada total
net sales divisi supermarket/hypermarket (MSM). Matahari Department Store Mal Ciputra
100
sendiri pada tahun 2006 memberikan kontribusi net sales sebesar 16,2% dari total net sales Matahari Department Store (MDS) keseluruhan. PT Matahari Putra Prima Tbk., tahun ini telah menyediakan dana sebesar Rp. 1,1 triliun untuk pembukaan gerai baru, renovasi, dan investasi di teknologi informasi. Sementara dalam 3-5 tahun ke depan, dana sebesar 600 miliar telah disediakan untuk membangun 50 hypermarket di Jabodetabek dan kota-kota lainnya. Renovasi sedang dan telah dilakukan di seluruh gerai Matahari Department Store, termasuk di MDS Mal Ciputra. Pada saat tulisan ini dibuat, sedang berlangsung realisasi dari sebuah konsep baru untuk divisi Department Store bernama “Parisian” yang mana sedang dilaksanakan di lokasi yang sebelumnya merupakan lokasi Galeria Department Store di Mal Taman Anggrek.
4.1.4 Analisis Industri
Analisis struktur industri dapat dilihat melalui 5-forces Porter yang merupakan lima kekuatan dalam persaingan industri di bawah ini :
4.1.4.1 Ancaman Pendatang Baru
Pendatang baru dalam industri akan memberi dampak pada bertambah ketatnya tingkat persaingan dalam industri. Namun demikian pemain baru tidak dapat begitu saja masuk dalam industri, tetapi perlu memperhitungkan hambatan-hambatan yang ada untuk masuk ke dalam industri sebagaimana berikut ini:
a.) Skala Ekonomis
101
Skala ekonomis tidak mudah dicapai dalam industri department store mengingat dibutuhkannya modal yang sangat besar serta biaya operasi yang tinggi. Sebagai gambaran, Ramayana akan membangun 10—15 gerai baru dengan belanja modal 2007 sekitar Rp 300 - 400 miliar (wartaekonomi.com). Hal ini berarti untuk membangun 1 gerai saja akan membutuhkan modal sekitar Rp. 30-40 miliar. Kemudian, berdasarkan data biaya operasional MDS Mal Ciputra tahun 2000-2006, dapat diperkirakan biaya rata-rata operasional per gerai adalah Rp. 6,2 miliar per tahun.
b.) Akses ke Saluran Distribusi Pusat
perbelanjaan
pada
umumnya
terbagi
menjadi
dua
jenis
pengembangan fisik, yaitu trade centers dan shopping mall. Pada umumnya, status kepemilikan trade centers adalah strata-title dimana unit kios-kios yang tersedia adalah untuk dijual, bukan untuk disewa seperti shopping mall pada umumnya. Pasokan pusat perbelanjaan di Jabotabek memperlihatkan pertumbuhan yang sangat pesat. Pembangunan shopping mall dan trade centers di Jakarta dan sekitarnya akan terus membanjiri pasokan ruang perbelanjaan hingga tahun 2007 dengan 34 proyek (Tabel lampiran 5), baik pembangunan baru maupun ekspansi, dengan total area keseluruhan 2.565.300 m2. Distribusinya adalah 759.000 m2 (29%) untuk trade centers dan 1.805.400 m2 (71%) untuk shopping mall (Info Properti, 2005, p5). Menurut riset Procon Indah, jumlah total kumulatif pasokan ruang ritel di Jakarta sampai pertengahan September 2004 adalah mencapai 1,78 juta m2, sedangkan total pasokan pusat perbelanjaan dengan sistem sewa di Jakarta saat ini sebesar 1,46 juta m2 (Info Properti, 2005, p5). Namun, dengan adanya dua mal premium yang dibuka tahun 2007 ini, yakni Grand Indonesia dan
102
One Pacific Place, maka dalam waktu yang nyaris bersamaan akan ada tambahan pasokan ruang ritel sebesar 213.000 m2.
Service charge untuk shopping centers di Jakarta pada umumnya masih stabil. Untuk shopping mall kelas A, seperti Plaza Senayan dan Plaza Indonesia misalnya, service chargenya adalah Rp. 45.000 hingga Rp. 75.000 per m2, sedangkan untuk mal-mal menengah di bawahnya, seperti Plaza Semanggi, service
charge yang berlaku adalah Rp. 27.500 hingga Rp. 45.000 per m2. Adanya tabiat pengembang yang ikut-ikutan membangun pusat-pusat perbelanjaan pada saat sub-sektor ritel ini booming di Jakarta sehingga menghasilkan tambahan pasokan ruang ritel yang besar, membuat harga sewa sedikit merosot. Hal ini memang menguntungkan untuk para pengusaha ritel. Saat ini, mal-mal kelas atas dan premium memasang tarif sewa Rp. 500.000 – Rp. 850.000 per m2 per bulan. Beberapa bulan lalu, sebelum kemunculan Grand Indonesia dan One Pacific Place, terdapat tarif sewa ruang ritel hingga Rp. 1 juta per m2 per bulan. Tidak berhenti hingga bantingan tarif sewa, menurut Utami Prastiana selaku Manajer Senior PT. Procon Indah, saat ini beberapa mal baru bahkan menawarkan program promosi berbentuk joint profit. Keberadaan hypermarket dan department store sendiri pada umumnya merupakan anchor-tenant yang biasanya dipertimbangkan oleh pengelola gedung sebagai pihak yang dapat mendatangkan keramaian (traffic) tinggi. Karena sifat istimewa tersebut, pada umumnya anchor ini menikmati rent-rate dan service
charge yang lebih rendah dari tenant lain pada umumnya. Sebagai contoh adalah PT.
Mitra
Adiperkasa (pewaralaba Sogo
Department Store) yang pernah
mendominasi saleable area lantai dasar di Plaza Indonesia secara gratis pada saat krisis 1997-2001 lalu. Ini dilakukan pihak manajemen Plaza Indonesia supaya Sogo
103
Department Store tidak pindah ke gedung lain dan dengan demikian masih menjadi magnet traffic yang diandalkan untuk Plaza Indonesia. Dengan kondisi dan fasilitas tersebut, cukup memudahkan akses ke saluran distribusi bagi para pendatang baru di industri department store, namun umumnya hanya pengusaha ritel dengan merek-merek terkenal yang bisa menikmati fasilitas ini.
c.) Identitas Merek Perusahaan yang sudah lama bermain di pasar relatif lebih mudah diterima konsumen, sehingga tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk membangun kepercayaan dan brand image pada konsumen. Sebaliknya, bagi pemain baru yang akan masuk ke pasar dengan menggunakan merek baru dan dilakukan oleh perusahaan baru akan membutuhkan upaya yang lebih besar untuk masuk ke pasar, membangun kepercayaan, dan brand image pada para konsumen.
d.) Peraturan-peraturan Pemerintah Pemerintah mendukung terciptanya persaingan yang sehat baik sesama peritel modern dengan peritel tradisional. Ini terlihat dari aturan sistem zoning yang mengatur jarak ritel modern dengan pasar tradisional. Bahkan peraturan ini cenderung merupakan upaya memelihara pasar-pasar tradisional dari gempuran ritel-ritel modern, baik lokal maupun asing. Namun demikian, perkembangan bisnis ritel modern yang semakin kompleks sekarang ini cenderung sudah tidak terakomodasi oleh peraturan yang ada. Ini bisa terlihat dari kasus benturan yang terjadi antara minimarket dengan ritel-ritel kecil di berbagai pelosok kota dan pemukiman. Karena kasus benturan ini, Indomaret
104
diperingati Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk tidak membuka gerai di wilayah Jabotabek terutama yang berhadapan dengan warung-warung kecil. Terdapat pula kekhawatiran sebagian besar peritel lokal atas ekspansi Carrefour yang berhasil membuka sepuluh gerai hypermarketnya dalam waktu singkat meski masih di wilayah Jakarta. Kekhawatiran ini disebabkan peraturan
zoning yang ada tidak memadai untuk dipakai saat ini. Oleh sebab itu, Aprindo mengusulkan sistem zoning ritel yang bertitik tolak dari pusat kota atau pusat pasar tradisional, sehingga ritel modern yang memliki ruang yang lebih luas harus berada di pinggiran kota, dan seterusnya. Di samping peraturannya yang sudah tidak relevan lagi, peraturan pemerintah sudah sejak lama selalu dapat diperdaya oleh ritel modern. Seperti ketika bisnis ritel modern ini masih dalam kerangka daftar negatif investasi (DNI), sehingga peritel lokal masih terlindungi dari intervensi asing. Namun, kenyataannya beberapa ritel modern asing, seperti Yaohan, Walmart, dan Seibu bisa masuk dengan dalih waralaba dengan pengusaha lokal. Sekarang dengan ketentuan ini seperti yang tertuang dalam SK Meneg Investasi/ Kepala BKPM No. 29/SK/1998 tertanggal 29 September 1998, bisnis ritel di Indonesia boleh dimasuki oleh investor asing secara langsung. Ketentuan tersebut diberlakukan bersamaan dengan masuknya bantuan finansial IMF kepada Pemerintah Indonesia yang mana bantuan tersebut diberikan dalam rangka memulihkan perekonomian Indonesia yang jatuh akibat krisis ekonomi. Ketentuan baru tersebut ternyata sangat ditunggu-tunggu oleh para investor mancanegara. Dua riteler raksasa Perancis, Continent dan Carrefour, juga masuk bersamaan dengan diberlakukannya ketentuan tersebut. Belakangan ini, sedang dipersiapkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pembinaan pasar tradisional dan penataan pusat perbelanjaan dan toko modern saat
105
ini yang masih dalam tahap harmonisasi redaksional oleh para pakar hukum. Pengesahan Perpres ini dipastikan tidak sampai Oktober 2007 seperti yang ditargetkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2007. Dalam Perpres Pasar Modern terdapat tiga poin penting yang diatur untuk melindungi pedagang kecil. Tiga poin tersebut antara lain pengaturan persyaratan perdagangan (trading
term) antara ritel modern dan pemasok, pengaturan zonasi untuk ritel modern, serta kemitraan dengan usaha kecil. Seperti yang tertulis di Jurnal Nasional bulan Juni 2007, pengaturan untuk
trading term dalam draft Perpres Pasar Modern antara lain peritel pasar modern dilarang mengembalikan barang yang sudah dibeli. Selain itu, pembayaran barang dilakukan dalam waktu yang disepakati oleh kedua pihak. Peritel modern juga dilarang menjual produk di bawah harga beli yang tertulis dalam faktur, kecuali produk spesifik yang memiliki karakteristik tertentu. Sedangkan peritel besar dilarang melakukan
praktek
diskriminasi
terhadap
pemasok
dan
praktik
lain
yang
mengakibatkan terjadinya monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Terkait dengan kemitraan UMKM, bentuk pengaturan di dalam rancangan Perpres tersebut adalah larangan memungut biaya pendaftaran dan pembayaran kepada pemasok UMKM. Lebih lanjut, pada November 2007 diumumkan bahwa telah dilakukan revisi Perpres DNI (Daftar Negatif Investasi) yang menyatakan bahwa pemerintah mengizinkan investasi asing masuk di bidang usaha ritel, khususnya untuk pendirian supermarket berukuran lebih dari 1.200 meter persegi dan department store berukuran lebih dari 2.000 meter persegi. Keputusan tersebut merupakan hasil sinkronisasi dan harmonisasi antara Peraturan Presiden tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Toko, dan Pasar Modern (Perpres Pasar Modern)
106
dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Bersyarat (Perpres Daftar Negatif Investasi/DNI).
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa ancaman masuknya pendatang baru cukup rendah, mengingat besarnya biaya-biaya yang diperlukan untuk memulai industri ini, dan ketatnya persaingan untuk mendapatkan lokasi strategis. Namun, untuk pendatang baru asing yang memiliki modal sangat besar serta memiliki merek yang bonafit di industri department store, ancamannya cukup besar mengingat telah dibukanya kesempatan penuh bagi investasi asing untuk mendirikan department store berukuran besar di Indonesia, dan telah diberlakukannya kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA). Organisasi perdagangan dunia (WTO) juga tidak memberikan toleransi hanya karena SDM kita belum siap.
4.1.4.2 Ancaman Subtitusi
Subtitusi department store merupakan ritel lain yang dapat memberikan manfaat yang sama tetapi dengan feature atau tampilan yang berbeda.
a.) Kesamaan Manfaat Beberapa jenis ritel merupakan subsitusi department store bila dilihat dari kesamaan produk yang dijual dan manfaat fungsional yang diperoleh konsumen.
Hypermarket dan factory outlet merupakan substitusi dari department store jika dilihat dari tersedianya produk department store yang juga dijual oleh kedua tipe outlet tersebut.
107
Hypermarket secara fisik merupakan sebuah toko yang cukup besar dengan luas minimal 4.000 m2. Jadi jika dibandingkan dengan ritel modern lainnya, seperti
minimarket, supermarket maupun department store, hypermarket adalah toko paling besar dan luas. Sementara item barang yang dijual di hypermarket berkisar antara 60 ribu jenis hingga 75 ribu jenis barang. Adapun jenis barang yang dijajakan meliputi kelompok makanan dan non-makanan. Jadi dalam hal ini hypermarket adalah memadukan antara supermarket dan department store menjadi satu kegiatan besar. Keberadaan hypermarket ini di Indonesia merupakan pesaing berat bagi peritel lokal. Yang menjadi sumber masalah adalah harga murah yang ditawarkan oleh hypermarket tersebut. Sebaliknya, justru konsumen yang mengalami penurunan daya beli akibat krisis justru sangat diuntungkan oleh kehadiran hypermarket ini. Kenyataan di lapangan menunjukkan sejak dibukanya Continent dan Carrefour hingga kini selalu dipenuhi oleh konsumen untuk membeli barang-barang kebutuhannya. Bahkan sebagian konsumen Matahari ikut tersedot, hal ini terlihat dari menurunnya omzet Matahari sekitar 40% saat kemunculan pertama Continent pada Maret 1999 (Visidata Riset Indonesia, 2002, pp121-122).
Factory Outlet (FO) biasanya diidentikkan dengan suatu tempat yang menjual pakaian sisa ekspor dengan harga miring atau relatif murah. Belakangan ini keberadaan FO yang semula hanya di Bandung, kini telah menyebar ke kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Menurut beberapa pengamat ritel, keberadaan FO itu meniru dari luar negeri, namun lokasinya berada di luar kota, dan tidak di sekitar pertokoan atau di tengah kota seperti yang ada di Indonesia. Selain itu produk-produk fashion yang dijual merupakan sisa ekspor yang memang reject dan memang dimiliki pabrikan, bukan pedagang.
108
Meski demikian, kedua tipe outlet tersebut tidak dipersepsi sekuat
department store oleh konsumen sebagai tempat menjual kebutuhan sandang sebagaimana ditunjukkan hasil riset oleh TNS, 2002, p15. Hypermarket oleh penduduk Jabotabek dipersepsikan sebagai tempat menjual perkakas, perlengkapan kendaraan, barang elektronik, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Sementara, persepsi konsumen terhadap factory outlet adalah tempat menjual pakaian dewasa, anak dan bayi, serta kosmetik, sepatu dan tas. Prilaku belanja konsumen Jabotabek dalam berbelanja di kedua jenis outlet tersebut masih rendah. Hasil riset di Jabotabek menunjukkan adanya 4% konsumen yang belanja ke factory outlet secara teratur, dengan frekuensi lebih jarang dari satu bulan sekali. Sedangkan untuk pembelanja hypermarket ada sebanyak 29% dengan frekuensi satu kali dalam sebulan (TNS, 2002, p16).
b.) Kecenderungan Harga Trisrianto dalam Koran Tempo mengatakan bahwa produk yang dijual di
factory outlet kebanyakan adalah barang sisa ekspor, dengan komposisi 80% produk ekspor dan sisanya lokal. Produk dengan merek terkenal seperti GAP dan Calvin Klein dijual dengan harga 20%-30% lebih murah dari aslinya. Namun demikian belakangan ini karena tingginya persaingan factory outlet dan menurunnya kapasitas produksi dari pemasok lokal, menyebabkan komposisi produk ekspor yang dijual berkurang menjadi sekitar 50%. Selain itu, beberapa pemain yang mulai menjual produk sisa ekspor palsu membuat minat konsumen berkurang (2002).
Hypermarket memberikan harga yang lebih murah dibandingkan ritel modern lainnya. Menurut pengamatan Aprindo, harga tersebut lebih rendah dari harga pasokan. Atau dengan kata lain hypermarket melakukan praktek jual rugi.
109
Indikasi praktek jual rugi tersebut terlihat dari pemberian diskon secara besarbesaran dan terus menerus. Sementara itu diskon biasanya dilakukan pada event-
event tertentu dalam waktu yang relatif pendek (Visidata Riset Indonesia, 2002, p122).
c.) Identitas Produk Produk substitusi dapat menjadi kuat di pasar jika produk tersebut berhasil membangun identitas dengan memiliki merek yang kuat dan memiliki karakter yang berbeda dengan produk yang sudah ada di dalam industri. Hasil riset prilaku belanja konsumen di Jabotabek belum menunjukkan adanya kesadaran yang tinggi terhadap merek factory outlet.
Kesimpulan uraian di atas adalah ancaman factory outlet sebagai produk substitusi masih rendah, begitupun halnya dengan hypermarket, yang mana masih tidak dipersepsikan sekuat department store sebagai tempat menjual kebutuhan sandang, khususnya fashion.
4.1.4.3 Daya Tawar Pembeli
Pembeli
dalam
industri
department
store
adalah
konsumen
akhir
yang
mengkonsumsi langsung produk yang ditawarkan dari department store.
a.) Pembeli Dalam Industri Department Store Konsumen pembeli produk industri department store adalah individu-individu dalam masyarakat di Jabotabek. Besarnya pasar industri department store di Jabotabek tahun 2001 mencapai Rp. 7,6 triliun, dengan jumlah populasi pada tahun
110
2005 mencapai 18,5 juta orang. Dari penghuninya, diperkirakan sebesar 8,8 juta orang tinggal di Jakarta, 3,7 juta orang tinggal di Bekasi, 3,4 juta orang di Tangerang, dan 2,6 juta orang di Bogor. Pemerintah Indonesia memproyeksikan bahwa populasi Jabotabek akan mencapai 32 juta orang pada tahun 2016. Menurut statistik tsb, Jakarta akan memiliki 12 juta orang, dan kota-kota penyangganya memiliki 20 juta orang (id.wikipedia.org). Pasar ini terbagi atas tiga kelompok, yang mana kelompok kelas atas (SES di atas Rp. 4 juta per bulan, menurut AC Nielsen) sebanyak sekitar 365.000 orang atau hanya 2% dari total populasi Jabotabek yang mencapai 19,3 juta orang (Marketing, Mei 2006, p11). Sedangkan 98% sisanya, yakni sekitar 18,93 juta orang merupakan kelompok kalangan menengah dan kelompok kalangan bawah. Berdasarkan penelitian MRI (2001), prilaku penduduk Jabotabek dalam memenuhi kebutuhan sandang dilakukan dengan cara membeli pakaian jadi sebanyak 89,5 % dan sebanyak 10,5% menjahitkan. Secara ekonomis membeli pakaian jadi relatif lebih murah dibandingkan dengan membeli bahan kemudian menjahitkan. Pemenuhan dengan cara menjahitkan biasanya dilakukan untuk membeli pakaian jadi, kebanyakan membelinya di department store 85,3%, dan selebihnya membeli di kios, pedagang keliling atau di pertokoan. Menurut data riset Frontier 2005 terhadap responden di kota-kota besar di Jawa menyebutkan, 62,14% responden masih melakukan pembayaran secara tunai. Sisanya, 37,86% menggunakan kartu kredit dan debit (Marketing, Juli 2006, p.24). Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel lampiran 7.
b.) Diferensiasi
111
Diferensiasi department store menurut konsumen di Jabotabek tampak terbagi atas tiga kelompok besar, yaitu department store bagi kelompok kelas atas, kelasa menengah, dan kelas bawah. Hal ini sejalan dengan kelompok konsumennya yang secara ekonomi juga terbagi atas kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Atribut yang mengikuti diferensiasi department store adalah harga barang yang dijual, kualitas produk, kenyamanan suasana dan pelayanan oleh pelaku dalam industri department store.
c.) Switching Cost Pembeli relatif tidak memerlukan biaya yang besar untuk beralih dari satu
department store ke department store lainnya. Hal ini disebabkan banyaknya pilihan department store yang ada, sehingga mereka bebas berpindah kapan saja mereka ingin berbelanja. Hasil penelitian MRI menunjukkan bahwa kunjungan konsumen ke
department store pada kunjungan lima terakhir memperlihatkan adanya sebanyak 2,85 kali belanja ke department store langganan, dan sebanyak 1,31 kali pindah ke
department store lain, dan 0,84 kali pindah ke tempat lainnya. Kecenderungan pembeli untuk beralih ke department store lain pada kunjungan yang akan datang ada sebanyak 19% yang menjawab pasti dan mungkin akan pindah ke department
store lain. Beberapa pemain dalam industri ini telah membuat biaya beralih dengan memberikan manfaat lebih bagi pelanggan loyalnya. Matahari misalnya, memberikan manfaat lebih bagi pelanggannya dengan membentuk Matahari Club Card, demikian juga halnya dengan Metro yang menerbitkan Metro Card.
d.) Integrasi Balik
112
Pada saat ini, upaya konsumen untuk melakukan integrasi balik cenderung kecil. Hal ini dikarenakan pengadaan kebutuhan sandang dengan alternatif lain menjadi lebih sulit dan tidak ekonomis. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, data menunjukkan bahwa kebiasaan konsumen dalam membeli pakaian yang sudah jadi lebih besar (89,5%) dibandingkan dengan yang menjahit (10,5%) sendiri maupun oleh pihak lain. Konsumen yang membeli pakaian jadi kebanyakan lebih memilih membeli di department store (85,3%).
Melihat uraian di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa daya tawar pembeli dalam industri department store
relatif rendah. Hal ini diakibatkan oleh jumlah pembeli yang
banyak dan bersifat individu memperkecil daya tawar pembeli dalam menghadapi
department store. Beberapa pelaku industri telah menawarkan manfaat lebih bagi pelanggannya. Akibatnya akan ada switching cost yang timbul, berupa hilangnya manfaat lebih bila berpindah ke department store lain. Selain itu, diferensiasi department store yang sejalan dengan jenis pembeli, memperkecil pilihan pembeli dalam mencari department store pengganti.
4.1.4.4 Daya Tawar Pemasok
Dalam struktur usaha ritel modern, pemasok merupakan ujung tombak dan bagian yang cukup penting bagi peritel. Persaingan yang cukup sengit di tingkat bisnis ritel modern belakangan ini sedikit banyaknya berdampak kepada hubungan antara peritel dan pemasoknya. Hubungan peritel dan pemasok kini sudah tidak bersifat tradisional lagi. Pemasok tidak bisa lagi mengandalkan hanya hubungan baik, tetapi harus professional dengan didasarkan kepada angka-angka kinerja dari produk pemasok.
113
Pemasok dalam industri department store adalah produsen garment yang memproduksi pakaian pria, pakaian wanita, pakaian anak-anak, dan barang tekstil lainnya. Perusahaan besar garment yang berorientasi ekspor menikmati keuntungan akibat depresiasi rupiah, sebaliknya cukup banyak perusahaan yang tidak mampu melanjutkan usahanya dan mereka ini umumnya perusahaan yang berorientasi hanya pada pasar di dalam negeri.
a.) Pemasok Kinerja industri pakaian jadi (garmen) nasional pada kuartal I tahun 2006, diperkirakan mengalami penurunan rata-rata sekira 40 persen (Pikiran Rakyat, 2006). Hal itu diduga akibat lesunya ekonomi di dalam negeri dan turunnya daya beli masyarakat. Penurunan itu juga diperparah oleh banyak beredarnya produk impor dengan harga murah yang sulit disaingi produsen dalam negeri. Berdasarkan data APGI, jumlah industri garmen pada 2001 mencapai 860 perusahaan, turun menjadi 849 perusahaan pada 2002, dan menjadi 855 perusahaan pada 2003. Perusahaan garment dapat dipisahkan menjadi tiga kelompok berdasarkan jumlah mesin jahit terpasang. Perusahaan besar adalah perusahaan dengan jumlah mesin jahit minimal sebanyak 1000 unit ada sebanyak 100 perusahaan. Perusahaan
garment berskala menengah ada sebanyak 500 perusahaan, sedangkan perusahaan garment berskala kecil dan home industry jumlahnya ada sebanyak 600 perusahaan. Angka tersebut merupakan angka perkiraan dari hasil penelitian yang dilakukan Indotextile. Penyediaan pakaian jadi selain produksi lokal ada pula perusahaan importir yang menyediakan pakaian impor. Akan tetapi jumlah penyediaan pakaian impor ini sangat kecil dibandingkan dengan produksi lokal. Penyediaan pasokan pakaian jadi
114
untuk pasar lokal mulai tumbuh kembali sejak tahun 2000, dan pasokan tahun 2001 mencapai 728,206 ton. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel lampiran 8. Menurut Benny, ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), yang terlibat di dalam industri garmen untuk pasar dalam negeri umumnya adalah pengusaha usaha kecil dan menengah (UKM). Sesuai dengan catatan Kompas, setidaknya ada sekitar 98.000 UKM yang menekuni industri tekstil dan produk tekstil (TTP).
b.) Switching Cost Switching cost bagi pemain department store untuk berganti pemasok relatif tidak ada, ini disebabkan adanya jumlah pemasok yang banyak dan kekuatan beli
department store terhadap pemasok sangat besar. Sebaliknya, bagi pemasok skala menengah dan kecil, untuk masuk sebagai pemasok dalam industri harus mendaftarkan diri sebagai pemasok dan bersedia memenuhi persyaratan untuk menjamin kesinambungan pemasokan barang, dan kualitas produk. Kesinambungan penyediaan barang yang berkualitas sangat dipentingkan oleh pemain industri
department store, karena pembelian yang dilakukan secara terpusat dan dalam jumlah besar akan sulit dicarikan pengganti bila ada pemasok yang mendadak gagal memenuhi permintan.
c.) Ancaman Integrasi ke Hilir Integrasi ke hilir dalam batas waktu tertentu dilakukan oleh pemasok, terutama yang telah memiliki brand name yang kuat. Pemasok yang demikian seringkali membuka showroom di dalam mal atau plaza. Walaupun demikian,
showroom tersebut tidak terlalu besar dan lebih ditujukan untuk display produk, terutama untuk membangun citra eksklusif. Lagipula, traffic yang tinggi di dalam
115
department store merupakan hal utama yang akan membuat produk pemasok lebih memiliki kemungkinan yang tinggi untuk dilihat dan menarik pengunjung untuk membeli. Benefit tersebut tidak dimiliki oleh sebuah showroom.
Hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa daya tawar pemasok relatif lemah, terutama pada pemasok berskala menengah dan kecil. Pemasok dalam industri pada dasarnya memproduksi barang lebih berdasarkan pada permintaan dari ritel dan pengecer lainnya.
4.1.4.5 Intensitas Persaingan
Industri adalah kumpulan perusahaan yang bergerak dalam bidang yang sama. Maka, persaingan dalam industri adalah persaingan di antara perusahaan-perusahaan dalam bidang yang sama yang berupaya mendapatkan posisi terbaik di pasar dengan menggunakan strategi tertentu.
a.) Jumlah Pemain Jumlah pemain dalam industri ritel department store ada sekitar 16 pemain, baik berupa perusahaan ritel skala besar, menengah, maupun skala kecil, dengan jumlah gerai sebanyak 379 buah yang tersebar di seluruh Indonesia yang tercatat hingga bulan Juni tahun 2002 (Tabel lampiran 1). Matahari Group masih merupakan yang terbesar dibandingkan dengan kelompok department store lainnya di Indonesia, baik dalam jumlah gerai maupun luas lantainya. Hingga pertengahan tahun 2002, gerainya bertambah dari 81 gerai di tahun 2001 menjadi sekitar 83 gerai department store yang tersebar di beberapa
116
propinsi di seluruh Indonesia. Luas lantai 83 gerai tersebut diperkirakan mencapai sekitar 433.000 m2. Kelompok kedua terbesar setelah Matahari Group adalah Ramayana Group, yang hingga pertengahan tahun 2002 telah memiliki 88 gerai. Kelompok Yogya Dept. Store yang berkantor pusat di Bandung juga tergolong besar, yakni sekitar 31 gerai dengan luas sekitar 87.000 m2 pada tahun 2002. Sedangkan untuk Jabotabek, hingga awal tahun 2003 terdapat sepuluh pemain dari perusahaan ritel skala besar dan menengah yang mendominasi sebagian besar ruang ritel department store di Jabotabek. Dengan memperhitungkan pemain yang memiliki luas ruang lebih kecil, maka secara keseluruhan terdapat 147 gerai perusahaan ritel skala besar dan menengah yang tersebar di seluruh wilayah Jabotabek (Tabel lampiran 2). Jumlah gerai terbanyak di Jabotabek adalah Ramayana sebanyak 41 buah diikuti Pojok Busana sebanyak 36 buah, kemudian Matahari sebanyak 28 buah. Untuk luas lantai terbesar dimiliki oleh Matahari dengan luas 247.940 m2 diikuti oleh Ramayana sebesar 203.303 m2. Persaingan antara Ramayana dan Matahari tidak hanya dari jumlah dan luasan toko yang dimiliki, tetapi dari sebaran outlet juga terlihat bahwa kedua department store ini tersebar di sembilan wilayah Jabotabek. Sampai akhir 2007, Matahari akan membuka lima department store baru. Sedangkan Ramayana yang hingga kuartal pertama 2007 memiliki 97 gerai -termasuk OrangeMart, Robinson, dan Cahaya Department Store, menargetkan memiliki 103 gerai hingga akhir tahun 2007. Namun, mereka akan memfokuskan ekspansinya ke luar Jawa (Warta Ekonomi, Agustus 2007). Selain itu, di Jakarta kerap bermunculan pemain-pemain baru dalam industri department store, tidak hanya lokal, tetapi juga dari luar negeri (Tabel lampiran 3). Trend ini menunjukkan jumlah gerai department store akan terus bertambah, sebagai upaya para pemain
117
untuk memperbesar pasar. Hal ini mengakibatkan persaingan dalam industri akan semakin ketat. Lebih jauh lagi persaingan department store di Jabotabek bila dilihat dari wilayah Jakarta Barat (Tabel lampiran 4), tampak bahwa di wilayah tersebut terdapat delapan pemain dengan total 12 gerai yang tersebar seluruh wilayah Jakarta Barat. Melihat tabel tersebut, MDS Mal Ciputra yang terletak di wilayah Jakarta Barat memiliki enam pesaing department store lain dengan total gerai delapan buah, dan dua pesaing dari sesama department store milik Matahari Group, yakni MDS di Mal Daan Mogot dan Lokasari Plaza serta Parisian di Mal Taman Anggrek, dengan total gerai tiga buah.
b.) Pertumbuhan Industri Industri ritel di Indonesia memiliki pertumbuhan yang positif. Pada 2005, misalnya, kapitalisasi bisnis ritel di Nusantara masih berada di kisaran Rp. 40 triliun. Namun, tahun lalu, angkanya melonjak menjadi Rp. 50 triliun. Bahkan di tahun ini, menurut Handaka Santosa (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo), nilainya bisa mencapai Rp. 58,5 triliun. Aprindo memperkirakan pertumbuhan bisnis ritel di tahun ini sekitar 17%. Sebagian besar gerai ritel modern, baik yang lokal maupun asing, yang kecil atau besar, berada di Jakarta dan sekitarnya. Pada 2006, di Jakarta ada 3.384 gerai ritel atau 38,1% dari total gerai di tanah air (Majalah Trust, Juli 2007). Laporan yang dibuat oleh Visidata Riset Indonesia pada Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa omzet
department store di Indonesia pada tahun 2001
mencapai Rp. 10,84 triliun dari Rp. 5,072 triliun pada tahun 1997 dengan
118
pertumbuhan rata-rata sebesar 21,2%. Sedangkan, khusus di Jabotabek, omsetnya mencapai Rp. 7,6 triliun pada tahun 2001. Data
dari
Asosiasi
Pengusaha
Ritel
Indonesia-Aprindo
(2006)
memperlihatkan pada tahun 2005 omzet ritel modern di Indonesia telah mencapai Rp. 140 triliun. Lembaga riset Euromonitor (Bisnis Indonesia, 2002, p21) memperkirakan pertumbuhan industri ritel di Indonesia masih sekitar 19% per tahun dalam lima tahun ke depan. Sejalan dengan hal tersebut, Danareksa Research
Institut (SWA, 2003, p36) menyatakan bahwa pertumbuhan pasar department store tahun 2002 dan 2003 berturut-turut adalah 16,31% dan 12,78%. Berdasar angka pertumbuhan tersebut dapat dilihat bahwa peluang industri department store masih besar. Tabel 4.1 Perkiraan Perkembangan Omzet Department Store di Indonesia, 1997-2001 Tahun
Omzet (Rp milyar)
Pertumbuhan (%)
1997
5.072
-
1998
5.862
15,6
1999
6.430
9,7
2000
8.327
29,5
2001
10.840
30,2
Pertumbuhan rata-rata
21,2
Sumber : Visidata Riset Indonesia, 2003, “Studi Tentang Perkembangan Bisnis Ritel Modern di Indonesia (Hypermarket, Department Store, Supermarket, dan Minimarket)”, p78.
c.) Besarnya Modal Pemain dalam industri department store membutuhkan modal yang tidak sedikit. Besarnya modal yang digunakan untuk mengembangkan perusahaan
119
mengakibatkan
perusahaan
yang
memiliki
akses
modal
lebih
besar
akan
mempengaruhi kondisi persaingan dalam industri. Ramayana department store pada pembukaan outletnya yang ke-83 dengan luas 12.000 m2 menghabiskan investasi sebesar Rp. 37 miliar (Sijori Pos, 2002, p1). Selanjutnya, menurut Kojongian, investasi yang dikeluarkan Matahari pada tahun 2003 adalah sebesar Rp. 350 miliar, yang mana Rp. 80 miliar untuk renovasi 11 toko dan sisanya Rp. 270 miliar untuk membuka delapan toko baru (RUPS Matahari tahun 2003).
d.) Hambatan Keluar Industri department store merupakan industri yang relatif rendah hambatan bagi pelaku untuk keluar dari industri. Terlebih lagi apabila lokasi gerai yang dimiliki berada pada tempat yang strategis. Kecenderungan pemain industri ritel bila akan keluar dari industri adalah dengan menawarkan asset yang dimiliki kepada pemain lain dalam industri. Sebagai contoh, department store Cahaya ketika keluar dari industri menawarkan asetnya dan sekarang dimiliki oleh Ramayana Group. Contoh lain adalah Alfa Supermarket dan Alfa Gudang Rabat yang dijual oleh pihak PT. Alfa Retalilindo Tbk. karena daya saingnya yang terus merosot dan akhirnya diakuisisi oleh PT. Ramayana Lestari Sentosa Tbk. (Warta Ekonomi, 2007, p23). Proses akuisisi tersebut telah berlangsung sejak akhir Juni 2007 dan direncanakan akan selesai dalam tiga sampai empat bulan setelahnya.
Kesimpulan dari uraian di atas adalah terdapat kecenderungan bahwa intensitas persaingan dalam industri pada masa depan akan tinggi, yang ditunjukkan oleh banyaknya pesaing dan pertumbuhan gerai yang terus berlanjut, akibat daya tarik industri yang memiliki
120
pertumbuhan tinggi. Begitupun untuk wilayah Jakarta Barat, MDS Mal Ciputra berada di dalam persaingan dengan intensitas yang tinggi.
Sebagai penutup dari analisis industri, dapat disimpulkan bahwa industri department store masih menarik, karena : 1. Pertumbuhan industri semakin tinggi yang didukung dengan tingginya pertumbuhan mal-mal ataupun pusat-pusat perbelanjaan lain yang merupakan saluran distribusi utamanya. Namun akibatnya intensitas persaingan di masa mendatang cenderung semakin ketat. 2. Ancaman pendatang baru relatif rendah, akibat tingginya biaya untuk masuk ke dalam industri dan ketatnya persaingan untuk mendapatkan lokasi strategis. Namun tetap perlu diwaspadai munculnya pendatang-pendatang asing, karena kekuatan modal mereka yang besar dan nama merek yang terkenal. 3. Ancaman produk substitusi di masa depan masih rendah, karena awareness dan prilaku belanja konsumen untuk kebutuhan sandang, khususnya fashion, di factory
outlet maupun di hypermarket masih rendah. 4. Daya tawar pembeli dalam industri rendah. Walaupun switching cost bagi konsumen rendah, tetapi faktor atribut pelaku industri lebih mempengaruhi loyalitas konsumen. 5. Daya tawar pemasok juga rendah, karena pemasok tidak menguasai informasi tentang konsumen dan cenderung memproduksi barang berdasarkan permintaan pelaku industri.
Kesimpulan lain yang dapat diambil dari analisis di atas adalah bahwa MDS Mal Ciputra walaupun masih berdaya saing tinggi di lingkungan internal Mal Ciputra sendiri, tetapi memiliki posisi yang rentan terhadap persaingan industri, khususnya di sektor Jakarta
121
Barat. Wilayah Jakarta Barat yang sering disebut sebagai daerah “mulut naga” memiliki pertumbuhan yang amat pesat. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya kompleks perumahan maupun pusat perbelanjaan. Kondisi tersebut memberikan daya tarik yang tinggi bagi pemain-pemain department store lain untuk mendapatkan lokasi di wilayah Jakarta Barat. Mengingat peraturan pemerintah yang ada saat ini belum memadai untuk mengantisipasi persaingan tidak seimbang karena pengaturan lokasi berdirinya pusat-pusat perbelanjaan yang tidak ketat dan perijinan yang cenderung dimudahkan bagi pengembang pusat-pusat perbelanjaan yang memiliki modal besar, serta telah diberlakukannya AFTA, maka MDS Mal Ciputra berada pada kondisi waspada.
4.1.5 Struktur Organisasi dan Uraian Pekerjaan
Pada sub-bab ini akan diberikan gambaran struktur organisasi PT. Matahari Putra Prima, Tbk. dengan uraian pekerjaan untuk masing-masing jabatan dalam struktur organisasi, baik yang di perusahaan secara keseluruhan, maupun di cabang-cabang toko.
4.1.5.1 Perusahaan 1. Board of Commisioner Pemegang tertinggi perusahaan dan mempunyai pengaruh besar dalam hal pemberian modal perusahaan. Komisaris juga pemilik saham terbesar perusahaan selain dari public. Tugas utama adalah mengawasi pekerjaan Direktur dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan visi dan misi yang diemban perusahaan. Komisaris terdiri dari : -
Presiden Komisaris
-
Komisaris
122
-
Komisaris independen
2. Board of Director (BOD) Pimpinan tertinggi dalam hal operasional perusahaan. BOD tunduk pada ketentuanketentuan global yang telah digariskan oleh RUPS dan Komisaris Perusahaan. BOD adalah ujung tombak dari pelaksanaan bisnis dan langsung memimpin para manajer dan senior manager untuk mencapai tujuan perusahaan. BOD terdiri dari : -
Presiden Direktur
-
Direktur 1
-
Direktur 2
-
Direktur 3
3. Business Unit of Director (BUD) Bekerja sama dengan BOD dalam menentukan pelaksanaan bisnis dan perusahaan, khususnya dalam pengembangan Department Store dan Supermarket. Bagian ini terdiri dari : -
CEO Department Store
-
CEO Supermarket
4. Corporate Senior Management (CSM) Tugas utamanya adalah membina hubungan baik dengan para investor yang telah ada maupun dengan calon investor yang telah ada maupun dengan calon investor, serta berusaha mengembangkan, dan membuka bisnis-bisnis baru perusahaan. CSM terdiri dari : -
Investor Relation & Public Director
123
-
Business Development Director
4.1.5.2 Cabang-cabang Toko 1. Store Manager Setingkat dengan kepala cabang di suatu tempat. Store manager adalah pimpinan tertinggi dalam suatu cabang di Department Store atau Supermarket. Ia bertanggung jawab dalam memimpin, mengarahkan, dan melaksanakan semua kebijakan pusat terhadap pelaksanaan bisnis di Department Store tersebut. Ia mempunyai target terhadap pemasukan atau omset sejumlah sekian rupiah per bulan dan per tahun, tingkat shrinkage atau angka kehilangan, dan bertanggung jawab langsung kepada Regional Manager. Store manager dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari dibantu oleh Asisten Store Manager, Supervisor Area,
Supervisor EDP & Finance, Supervisor Teknisi, dan Supervisor VM.
2. Asisten Manager Membantu Store Manager dalam memberikan saran dan pendapat dalam operasional toko dan bertanggung jawab atas toko bila Store Manager tidak ada di tempat. Selain itu, Asisten Manager bertanggung jawab atas administrasi harian baik penjualan, pengeluaran kas, customer service, dan penampilan toko. Untuk tipe toko A+, terdapat dua Asisten Manager dengan pertimbangan adanya beban kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan tipe-tipe toko A,B, dan C.
3. Supervisor Area Bertanggung jawab atas area yang dipimpinnya baik dalam segi penjualan tiap konter, Visual Merchandising, shrinkage area atau angka kehilangan, nilai inventory,
124
dan standar grooming dari para pramuniaganya, dan yang paling utama adalah terhadap merchandising atau barang, yaitu memantau atas barang new arrival dan barang aging. RUPS
Komisaris
Presiden Komisaris Manager
Presiden Direktur
Direktur 1,2,3
Bisnis Unit Direktur
Komisaris
Corporate Secretary
Corporate Senior Manager Spv
Regional Manager
Manager
Manager Store Manager
Staf
Staf
Sumber : PT. Matahari Putra Prima, Tbk. Gambar 4.1. Struktur Organisasi PT. Matahari Putra Prima, Tbk – Kantor Pusat 4. Supervisor EDP dan Finance Bertanggung jawab atas operasional kasir dan EDP, yang mana mencatat dan mengatur sistem rotasi kasir, laporan penjualan harian dan bulanan, penerimaan dan pengeluaran kas, penyediaan uang kecil.
5. Supervisor Ekspedisi Bertanggung jawab atas
inventory merchandising atau persediaan barang,
penerimaan barang, dan retur barang.
125
6. Supervisor Teknisi dan Keamanan Bertanggung jawab atas operasional toko yang berkaitan atas supply listrik, AC, dan mesin kassa. Selain itu juga bertanggung jawab kepada Store Manager atas biaya operasional dari hal tersebut di atas. Selain itu juga membawahi keamanan yang mana mengatur rotasi dan target, sistem dari keamanan.
7. Supervisor Visual Merchandising dan Promosi Bertanggung jawab atas acara promosi yang sedang berlangsung dan sistem penataan, pemajangan barang dan POP dari tiap konter, dan yang paling utama adalah penampilan toko.
Store Manager
Ass. Store Manager
Supervisor Area
Supervisor EDP & Finance
Supervisor Ekspedisi
Supervisor Teknisi & Keamanan
Supervisor Visual Merchandising & Promosi
Koordinator Area
Staf Pramuniaga
Staf kasir & EDP
Staf Ekspedisi
Teknisi & Keamanan
Sumber : PT. Matahari Putra Prima, Tbk. Gambar 4.2. Struktur Organisasi PT. Matahari Putra Prima, Tbk – Cabang Toko
VM Artis
126
4.2 Analisis Hasil Pengambilan Data Dalam sub-bab ini, akan dipaparkan hasil pengambilan data beserta analisisnya. Tahapan pembahasan dilakukan berdasarkan urutan tujuan-tujuan dari penelitian ini.
4.2.1 Suasana Toko, Lokasi Toko, Variasi Merchandise, Tingkat Loyalitas Toko, dan Tingkat Penjualan MDS Mal Ciputra Berikut
ini
akan
dijelaskan
bagaimana
pertimbangan-pertimbangan
dalam
pengaturan suasana toko dan variasi merchandise, alasan penempatan lokasi toko MDS di Mal Ciputra serta tingkat loyalitas pengunjung terhadap toko MDS Mal Ciputra dan tingkat penjualan MDS Mal Ciputra selama ini.
4.2.1.1 Pengaturan Suasana Toko Pengaturan suasana toko adalah menyangkut pengaturan elemen-elemen dalam lingkungan toko dengan tujuan mempengaruhi kondisi emosi, kognisi, dan perilaku pengunjung. Elemen-elemen tersebut di antaranya adalah disain toko, pengaturan layout/ perencanaan toko, dan pengaturan visual merchandising (VM). Di dalam pengaturan tokonya, MDS menggunakan istilah “World” dalam membagi-bagi wilayah produk yang dijual. Penataan barang di Matahari ditangani oleh Bagian Pengembangan Toko (Store
Development Division). Bagian ini selain menangani penataan barang, juga desain toko baik dalam maupun luar, penataan lampu, warna hingga pengawasan konstruksi dan negosiasi dengan kontraktor. Bagian Pengembangan Toko ini langsung di bawah pengawasan Presiden Direktur yang dibantu oleh tim khusus yang terdiri dari para manajemen senior. Penataan produk fashion dikelompokkan berdasarkan jenis barang dan merek. Seperti kelompok pakaian pria dengan berbagai mereknya, juga kelompok celana pria
127
dengan berbagai mereknya. Kemudian kelompok yang tergolong besar yaitu sepatu, tas, dan kelompok kosmetika. Matahari melakukan pengaturan tersebut berdasarkan konsep disain Family Tree. Oleh karenanya, suasana yang ingin dibentuk adalah bernuansa family yang dibentuk oleh penataan toko, penempatan produk, perancangan area promosi, dan pengaturan visual
merchandising yang mendukung. Di samping itu, diperhatikan pula efisiensi ruang, sehingga daya tampung ruang terhadap produk yang dipajang menjadi maksimal, dan tidak menghambat lalu lintas di dalam toko. Kesemuanya itu dilakukan dengan melalui tahaptahap seperti yang ditunjukkan oleh diagram alur pada Gambar 4.3. Pertimbangan-pertimbangan dalam pengaturan suasana toko tersebut didasari akan
sales contribution dari masing-masing merek dan kondisi market. Berikut penjelasannya : a. Sales Contribution Jika sebuah merek tidak dapat memberikan kontribusi penjualan yang seimbang dengan persentase ruang yang dihuninya di dalam sebuah MDS, maka MDS akan mempertimbangkan kembali bagaimana pengaturan ruang untuk merek tersebut. Misalnya, merek A menghasilkan kontribusi penjualan sebesar 12%, sementara persentase ruang yang dihuninya di dalam sebuah MDS adalah 20%, maka MDS berhak mengusulkan untuk memperkecil ruang merek A tersebut dan memberikan lebihnya ke merek yang memang memiliki kontribusi yang baik.
b. Kondisi Market Kondisi pasar selalu berubah, dan merupakan tugas penting bagi toko untuk terus mengikuti perkembangan terbaru dari kondisi pasar. Demi hal tersebut, maka MDS terus melakukan renovasi untuk memberikan suasana yang lebih menarik dan sesuai dengan keinginan pasarnya. Renovasi yang dilakukan tergantung pada kebutuhan
128
masing-masing toko (MDS). Hal itu dilakukan dengan melihat apakah kondisi toko tersebut sudah tidak layak (terdapat kerusakan), adanya market yang menuntut disain yang lebih menarik, dan banyaknya dana yang tersedia. Selain itu, perubahanperubahan dari pesaing juga menjadi bahan pertimbangan. Kondisi market tersebut berhubungan langsung dengan sales contribution dari merek-merek yang ada. Selera pasar di masing-masing toko MDS pasti memiliki perbedaan. Misalnya, MDS di Mal Ciputra yang lokasinya dekat dengan universitas-universitas menyebabkan merekmerek pakaian kasual dan denim memiliki kontribusi penjualan yang besar dibandingkan pakaian-pakaian formal. Sementara di MDS Daan Mogot, celana bermuda (celana pendek) memiliki tingkat penjualan yang sangat hebat karena lokasinya yang dekat dengan perumahan. Hal itu tercermin pula dari para pengunjungnya yang banyak menggunakan celana pendek ketika berbelanja di MDS Daan Mogot. Dengan demikian, walaupun pada dasarnya pengaturan layout di setiap MDS adalah sama dan memiliki jenis-jenis merek yang sama, namun pengalokasian ruang untuk setiap merek atau jenis produknya akan berbeda, tergantung dari kondisi market di masing-masing lokasi MDS. Lebih lanjut, renovasi yang dilakukan dalam hal Visual Merchandising di MDS dilakukan berdasarkan event-event tertentu, seperti Valentine’s Day, Back to School, Hari Kemerdekaan 17 Agustus, Lebaran, Natal, dan event-event tertentu lainnya. Secara teknis, pengaturan Visual Merchandising antara lain : a. penyusunan berdasarkan warna (colour story) yang lebih menyentuh konsumen, misalnya memadukan warna oranye dengan kuning; b. menetapkan
standard display untuk masing-masing “World”, setiap merek
mempunyai desain counter tersendiri yang satu sama lain berbeda. Meski demikian, satu sama lain juga memperhatikan keharmonisan ruang secara keseluruhan;
129
Pusat
MDS
Store Concept
Usulan renovasi
Evaluasi oleh pusat
Tidak Renovasi perlu dilakukan?
Tidak
Tidak melakukan renovasi Ya
Ya
Sales Contribution
Confirm ke para pemimpin
space contribution?
³
Koordinasi pihak project dan toko Soft Design
Pengaturan layout
Penempatan brands
Grouping sesuai world
Gambar 4.3. Proses Pengaturan Suasana Toko MDS
130
c.
berkomunikasi dengan pihak supplier—apakah ada acara, launching product, ataupun new arrival yang mau diperkenalkan, dalam penempatan titik-titik promosi yang setiap bulannya diatur bergantian sesuai dengan event yang ada;
d. memperhatikan penampilan Show Window yang menampilkan manekin yang mewakili brand yang dijual. Dengan melihat show window tersebut, diharapkan konsumen akan dapat merasa tertarik dengan merek yang dikenakan oleh manekinmanekin tersebut dan memutuskan untuk masuk dan membeli produk tersebut ataupun produk-produk lain yang dijual di MDS.
4.2.1.2 Pengaturan Variasi Merchandise MDS memiliki keragaman produk yang dalam dan lebar, dengan memiliki banyak variasi kategori produk dan variasi pilihan dalam kategori produk. Seperti yang telah dibahas pada sub-bab sebelumnya, pembagian kategori produk di MDS dilakukan berdasarkan “World”. MDS memiliki 10 World, yakni:
1. Men’s 2. Shoes 3. Youth Boy
4. Youth Girl 5. Ladies 6. Cosmetic 7. Bag & Accessories 8. Intimatte 9. Home 10. Children
131
Sementara itu, produk yang dijual di MDS terbagi atas dua kategori, yakni Direct Purchase (DP) dan Konsinyasi (CV). DP adalah produk-produk yang pembeliannya dikelola langsung oleh pihak Merchandiser (MD) di pusat. Sementara CV merupakan produk-produk yang dititipkan oleh pihak suppliers di MDS. Adapun komposisi produk yang ada di MDS tergantung dari tipe dari sebuah toko MDS. Komposisi produk dari segi tipe sebuah toko MDS adalah sbb : 1. Tipe Toko A+ Merupakan toko MDS dengan total nilai penjualan per tahun sebesar > Rp. 100 miliar, dengan komposisi produk 70% produk CV dan 30% produk Private Brand. 2. Tipe Toko A Merupakan toko MDS dengan total nilai penjualan per tahun sebesar > Rp. 50 miliar, dengan komposisi produk 70% produk CV dan 30% produk Private Brand. 3. Tipe Toko B Merupakan toko MDS dengan total nilai penjualan per tahun sebesar > Rp. 50 miliar, dengan komposisi produk 60% produk CV dan 40% produk Private Brand. 4. Tipe Toko C Merupakan toko MDS dengan total nilai penjualan per tahun sebesar > Rp. 50 miliar, dengan komposisi produk 50% produk CV dan 50% produk Private Brand.
MDS Mal Ciputra termasuk tipe toko A+, dengan omset per tahun sebesar lebih dari Rp. 100 miliar dan komposisi DP sebesar 36% dan CV 64%. Komposisi produknya berdasarkan kategori produk dan world untuk periode Januari – Juni 2007 adalah sebagai berikut (Tabel 4.2) :
132
Tabel 4.2. Kontribusi by World dan Kategori Produk ( DP dan CV )
World
Contribution Space (%)
Men’s
14
Shoes
11
Youth Boy
10
Youth Girl
11
Ladies
12
Cosmetic
7
Bag & Accessories
4
Intimatte
5
Home
12
Children
14
Total
100
Contribution Space (%)
DP : 36
CV : 64
Sumber : MDS Mal Ciputra Di dalam prosesnya, pemilihan model atau pembelian produk yang akan dijual di MDS untuk produk DP ditentukan dan dilakukan sepenuhnya oleh pihak Merchandiser (MD) dari kantor pusat di Jakarta berdasarkan volume yang dibagi secara proporsional untuk masing-masing toko MDS. MD tersebut bertanggung jawab dalam menentukan jenis serta jumlah barang yang akan dijual di setiap toko, melakukan negosiasi harga pembelian dengan pemasok, serta menentukan harga penjualan yang tepat agar dapat mencapai marjin laba kotor yang diharapkan dari tingkat penjualan bulanan dan tahunan yang ditargetkan. Sementara tugas pihak toko MDS Ciputra adalah menerima produk DP yang dikirim dari
133
Distribution Center (DC) dan tidak berhak untuk menolak. Secara praktek, pihak toko MDS seharusnya memiliki pengamatan yang lebih baik mengenai produk mana yang lebih memiliki penjualan yang baik dan sesuai dengan selera pengunjungnya, dan produk mana yang secara historikal terbukti tidak laku. Oleh karena itu, pihak toko MDS dapat memberikan laporan mengenai hal tersebut kepada pihak MD pusat untuk dipertimbangkan kembali oleh pihak MD pusat. Namun, terkadang pihak MD kurang tegas karena menangani terlalu banyak toko-toko MDS sehingga terjadi pengiriman produk yang telah disarankan untuk tidak dijual pada toko MDS yang telah memberikan laporan tidak laku tersebut. Jika terjadi demikian, pihak toko MDS tetap harus menerima terlebih dahulu, baru kemudian melakukan laporan kembali dan akhirnya jika disetujui oleh pihak MD pusat, maka akan dilakukan transfer internal (mengirimkan produk atau merek tertentu tersebut ke toko MDS lain yang memiliki penjualan yang baik akan produk tersebut). Lain halnya untuk produk CV, yang mana pihak toko MDS dapat memberikan saran langsung kepada pihak supplier mengenai produk mana yang kurang atau tidak laku dan produk mana yang lebih laku terjual, untuk kemudian melakukan pengurangan atau penarikan model tertentu dan memperbanyak produk atau model tertentu yang lebih laku terjual. Produk-produk CV yang menentukan model dan pilihan produk yang dijual adalah dari pihak supplier. MDS tidak bertanggung jawab atas produk-produk yang cacat atau tidak laku, dan menggunakan sistem margin dalam penjualannya. Misalnya, harga sebuah produk A adalah Rp. 100.000, sesuai perjanjian bahwa MDS mendapatkan 30% gross margin dari harga penjualan tersebut, maka MDS hanya memberikan sejumlah Rp. 70.000 kepada pihak
supplier apabila barang tersebut terjual, sedangkan Rp. 30.000 adalah untuk pendapatan toko MDS. Sesuai prinsip konsinyasi yang berarti titip jual, maka untuk barang-barang yang cacat atau tidak laku akan dikembalikan kepada pihak supplier tanpa syarat apapun. Proses
134
pengaturan variasi merchandise seperti yang telah dijelaskan di atas, digambarkan pada diagram alur di bawah ini (Gambar 4.4). Pusat
MDS
Pembelian produk oleh Merchandiser
Pemilihan model, warna, dll Penerimaan produk DP dan CV
Distribution Center
Evaluasi oleh pihak MD
Supplier
Tidak
Penjualan bagus ?
Tidak
Ya
Produk sebaiknya di transfer?
Tidak
Penerimaan produk DP dan CV yang sama
Ya MDS cabang lain
Gambar 4.4 Proses Pengaturan Variasi Merchandise MDS Mal Ciputra
4.2.1.3 Pertimbangan dalam Pemilihan Lokasi MDS di Mal Ciputra Mal Ciputra dibangun pada tahun 1991 dan dibuka pada 26 Februari 1993. Pada saat itu selama kurun waktu beberapa tahun, mal ini sempat berjaya menjadi pusat belanja terbesar di Indonesia sebelum menjamurnya mal-mal lain yang lebih besar. Matahari melihat adanya kesempatan untuk masuk ke Mal Ciputra berdasarkan alasan di atas dan melihat lokasi Mal Ciputra yang menempati lahan di persimpangan antara Jl. S. Parman – Jl. Kyai
135
Tapa – Jalan Tol Dalam Kota adalah lokasi yang strategis, karena selalu menjadi daerah yang dilewati setiap orang yang akan menuju ke kawasan Jakarta Barat. Akses pencapaiannya pun sangat menguntungkan karena dapat ditempuh melalui beberapa ruas jalan dan dibuat pintu-pintu masuk dari setiap ruas jalan tersebut. Lokasi ditentukan oleh pihak pusat dan dievaluasi kembali melalui pertumbuhan penjualannya. Apabila terdapat masalah, maka akan dilihat faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi hal tersebut. Jika masih terdapat peluang bagi lokasi-lokasi MDS yang ada, baik dilihat dari segi penjualan maupun market yang potensial, maka tokotoko MDS di lokasi-lokasi tersebut akan terus di-upgrade (misalnya, dari tipe toko A menjadi tipe toko A+). Sebagai contoh, dulu MDS hanya menjual produk-produk lokal, tetapi dengan adanya market sekarang yang lebih menyukai produk-produk high-end, maka Matahari memutuskan untuk lebih banyak menjual produk-produk merek internasional (khususnya untuk denim, kosmetik, dan apparel). Lebih spesifiknya, untuk lokasi MDS Mal Ciputra yang terletak dekat dengan univesitas-universitas dan banyak pengunjungnya yang merupakan kalangan anak muda (market youth lebih besar), sehingga penjualan untuk produk Youth lebih besar dibandingkan produk lainnya. Hal tersebut berimplikasi pada keputusan untuk membagi world Youth menjadi dua, yakni Youth Boy dan Youth Girl. Sedangkan, untuk world
Children memiliki penjualan yang kurang baik karena tidak banyak terdapat keluarga muda yang datang berkunjung di MDS Mal Ciputra. Keputusan dalam pemilihan lokasi merupakan hal yang besar dan merupakan pengeluaran biaya yang paling besar dibandingkan keputusan-keputusan dalam unsur Retail
Marketing lainnya. Jika masalah yang terjadi sangat krusial dan toko MDS di lokasi tertentu tidak lagi memiliki peluang sedikitpun untuk berkembang, maka hal terburuk yang harus dilakukan adalah menutup toko MDS di lokasi tersebut. Hal ini sangat dihindari oleh para peritel, sehingga pihak Matahari akan sangat berhati-hati dalam pemilihan lokasi gerai-
136
gerainya, serta selalu introspeksi dengan melihat tren yang ada, seperti meningkatkan pelayanan dan peluncuran MCC yang akan memberikan nilai tambah bagi para pengunjung yang datang ke MDS.
4.2.1.4 Tingkat Loyalitas Pengunjung Terhadap MDS Mal Ciputra Seperti yang telah diceritakan dalam bab profil responden mengenai sejarah Matahari, dalam rangka membangun, mempertahankan, dan meningkatkan loyalitas pengunjung atau konsumennya terhadap MDS, diluncurkanlah MCC (Matahari Club Card). Maka, dalam melihat tingkat loyalitas pengunjung terhadap toko MDS Mal Ciputra dapat dilakukan melalui data MCC tersebut. Data MCC pada LAMPIRAN 9 menunjukkan jumlah member MCC yang dibagi ke dalam tiga kategori loyalitas (segment loyalty) pada MDS Citraland (Mal Ciputra) beserta pergerakan tingkat loyalitasnya selama periode Juni 2006 Mei 2007. Pengkategorian loyalitas untuk program MCC terbagi tiga, yakni : ·
Kategori “A” = dalam 6 bulan pengamatan, 6 bulan berbelanja (berturut-turut).
·
Kategori “B” = dalam 6 bulan pengamatan, 3-5 bulan berbelanja (namun tidak harus berturut-turut).
·
Kategori “C” = dalam 6 bulan pengamatan, 1-2 bulan berbelanja (namun tidak harus berturut-turut).
Pengamatan yang dilakukan terbagi atas dua periode tiap tahunnya (satu periode adalah enam bulan). Berdasarkan hasil pengamatan pada periode 1 (Juni 2006 - November 2006), anggota MCC yang termasuk kategori “A” berjumlah 678 orang, “B” sejumah 13.931 orang, dan “C” sejumlah 63.069 orang. Sementara untuk periode 2 (Desember 2006 – Mei 2007), kelompok “A” meningkat menjadi 713 orang, tetapi sebaliknya untuk kategori “B” dan “C” menurun menjadi sejumlah 13.749 dan 59.715 orang. Dari kedua periode tersebut,
137
kelompok “C” merupakan kategori yang memiliki jumlah terbesar, hal ini mencerminkan bahwa mayoritas anggota MCC MDS Mal Ciputra memiliki tingkat loyalitas yang tidak terlalu tinggi. Mereka berbelanja hanya satu hingga dua bulan selama jangka waktu enam bulan, yang berarti total hanya berbelanja dua hingga empat bulan dalam setahun. Hal tersebut juga terlihat dari data pergerakan tingkat loyalitas anggota MCC MDS Mal Ciputra (LAMPIRAN 9), yang menunjukkan bahwa jumlah anggota yang meningkat loyalitasnya (total promote) lebih kecil dibandingkan jumlah anggota yang menurun loyalitasnya (total down grade), yakni 6.265 (total promote) dan 6.329 orang (total down
grade). Adapun jumlah anggota yang tingkat loyalitasnya stabil (tidak meningkat ataupun menurun) menunjukkan angka terbesar, yakni sejumlah 27.651 orang. Gambar 4.5 menunjukkan diagram batang pergerakan jumlah pembelian dari anggota MCC pada tiap kategori loyalitas selama dua periode. Diagram tersebut juga memperlihatkan bahwa selain jumlah anggota MCC MDS Mal Ciputra dengan loyalitas yang stabil adalah yang terbanyak, mereka juga memiliki jumlah pembelian yang terbanyak dan berkontribusi paling besar terhadap tingkat penjualan MDS Mal Ciputra dibandingkan dengan jumlah pembelian anggota MCC yang memiliki penurunan atau peningkatan loyalitas. Uniknya, mereka yang mengalami kenaikan tingkat loyalitas (promote), yakni mereka yang semakin sering berbelanja di MDS Mal Ciputra justru memiliki kontribusi pembelian yang lebih kecil pada periode 1, dan kontribusi pembelian terbesar kedua pada periode 2. Bisa ditarik kesimpulan pula, bahwa nilai belanja per transaksi dari mereka yang memiliki loyalitas stabil juga lebih besar daripada mereka yang tingkat loyalitasnya berubah. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa persentase pertumbuhan dari mereka yang loyalitasnya meningkat (promote) sangat signifikan, mencapai hingga 338% (LAMPIRAN 9).
138
Sales Periode 1 dan 2
14,000,000,000 12,000,000,000 10,000,000,000 8,000,000,000 (Rp) 6,000,000,000 4,000,000,000 2,000,000,000 0
Stable Promote Down Grade
Period 1
Period 2
Gambar 4.5 Pergerakan Jumlah Pembelian Anggota MCC MDS Mal Ciputra Secara keseluruhan kembali terbukti, seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa mayoritas anggota MCC MDS Mal Ciputra memiliki tingkat loyalitas yang tidak terlalu tinggi. Mereka berbelanja hanya satu hingga dua bulan selama jangka waktu enam bulan, yang berarti total hanya berbelanja dua hingga empat bulan dalam setahun (kategori CC), tetapi mereka berbelanja dengan nilai yang lebih besar dalam setiap transaksinya. Sebaliknya, mereka yang berbelanja lebih sering justru memiliki nilai belanja per transaksi yang lebih sedikit, tetapi dengan tingkat pertumbuhan pembelian yang sangat signifikan.
4.2.1.5 Tingkat Penjualan MDS Mal Ciputra MDS Mal Ciputra memiliki tingkat penjualan rata-rata Rp. 97,279 miliar per tahun selama periode 2002-2006 (Tabel 4.3). Selama tahun 2002-2004, terlihat adanya penurunan tingkat penjualan pada MDS Mal Ciputra hingga senilai Rp. 9,519 miliar. Namun kembali
139
mengalami peningkatan penjualan pada tahun 2005 dan 2006, yang mana MDS Mal Ciputra memiliki tingkat penjualan di atas Rp. 100 miliar (upgrade to A+). Sementara itu, kontribusi MDS Mal Ciputra terhadap penjualan bersih MDS keseluruhan memiliki nilai rata-rata sebesar 13,64%.
Tabel 4.3. Tingkat Penjualan MDS Mal Ciputra Tahun 2002-2006 (dalam juta rupiah) Tahun
Penjualan
Kontribusi
% Net Sales
2002
94.112
14.112
15,3%
2003
89.281
10.350
11,6%
2004
83.926
9.519
11,3%
2005
104.487
14.466
13,8%
2006
114.589
18.520
16,2%
Sumber : PT. Matahari Putra Prima Tbk.
Pembelian oleh anggota MCC senilai Rp. 61,764 miliar memberikan kontribusi sebesar 53,90% terhadap penjualan MDS Mal Ciputra pada tahun 2006 (LAMPIRAN 11). Hal ini menunjukkan adanya kontribusi yang lebih besar dari pembelian oleh anggota MCC dibandingkan dengan pengunjung yang bukan anggota MCC. Kondisi serupa juga terlihat dari kontribusi penjualan MCC sebesar 51% terhadap penjualan MDS Mal Ciputra pada periode 2006 hingga pertengahan 2007. Adapun produk yang memberikan kontribusi terbesar dan memiliki produktivitas per m2 tertinggi bagi penjualan MDS Mal Ciputra antara lain adalah kategori produk CV (konsinyasi) dengan rata-rata kontribusi di atas 60% dan rata-rata produktivitas Rp. 3 juta. Jika dilihat dari kontribusi by world, kategori produk yang memberikan kontribusi di atas 10%
140
di antaranya adalah produk Men’s (18%), Shoes (15%), Youth Boy (12%), dan Youth Girl
(12%). Kontribusi kategori Youth secara total menjadi 24%, yang merupakan kategori produk dengan kontribusi terbesar terhadap penjualan MDS Mal Ciputra. Hal ini wajar, mengingat lokasi MDS Mal Ciputra yang dekat dengan lembaga-lembaga pendidikan, khususnya universitas-universitas. Tabel 4.4 memberikan ringkasan data kontribusi tersebut.
Tabel 4.4. Contribution By World Januari-Juni 2007 MDS Mal Ciputra Keterangan
Penjualan (%)
Produktivitas per m2 (Rp.) DP
CV
Men’s
18
2.398.890
3.740.370
Shoes
15
2.616.630
4.687.620
Youth Boy
12
2.461.920
3.120.810
Youth Girl
12
1.501.320
3.756.840
Ladies
10
1.374.660
3.121.890
Cosmetic
8
Bag & Acc.
3
2.011.230
1.826.190
Intimatte
6
1.508.280
4.426.950
Home
6
1.232.820
1.475.640
Children
10
1.669.590
2.332.560
TOTAL
100
2.327.790
3.167.580
Contribution Sales
DP : 31 %
CV : 69 %
Jan-Des ‘05
Contribution Sales
DP : 27 %
CV : 73 %
Jan-Des ‘06
Contribution Sales
DP : 23 %
CV : 77 %
Jan-Jun ‘07
3.359.130
Sumber : MDS Mal Ciputra
4.2.2 Data Demografis Berikut ini merupakan informasi mengenai sebaran demografis pengunjung MDS Mal Ciputra yang sebagian besar akan disajikan dalam bentuk graphic pie.
141
a. Jenis Kelamin Mayoritas pengunjung MDS Mal Ciputra adalah wanita, yakni 130 orang dengan persentase 65%. Sementara pengunjung pria hanya sejumlah 35%.
Jenis Kelamin Lelaki 35%
Wanita 65%
Gambar 4.6. Jenis Kelamin Responden
b. Usia Rata-rata pengunjung merupakan pengunjung dewasa, dengan mayoritas 73% memiliki usia 20-35 tahun. Sementara pengunjung dengan usia lanjut hanya terdapat 5%.
Usia (tahun) 5%
0% 13%
9%
< 20 thn 20-35 thn 36-50 thn 51-65 thn
73%
> 65 thn
Gambar 4.7. Usia Responden
c. Tingkat Pendidikan Tertinggi 47% responden memiliki pendidikan tertinggi S2, diikuti oleh D3 sebesar 29% dan -
142
S1 sebesar 10%. Sisanya memiliki pendidikan tertinggi SD, SMU/sederajat, dan S3 sebesar 9%, 3%, dan 2%. Tidak terdapat responden dengan pendidikan tertinggi SLTP.
Tingkat Pendidikan Tertinggi 9% 0%
0%
3%
2% 29%
47% 10%
SD SLTP SMU/sederajat D3 S1 S2 S3 Lainnya
Gambar. 4.8. Tingkat Pendidikan Tertinggi Responden
d. Status Pernikahan Status pernikahan responden mayoritas merupakan bujang/single (belum menikah), dengan persentase 75% (150 orang). Sisanya telah menikah 24% dan merupakan janda/duda 1%. Status Pernikahan
Janda/ duda 1%
Lainnya 0%
Bujang/ single 75%
Menikah 24%
Menikah Bujang/single Janda/duda Lainnya
Gambar 4.9. Status Pernikahan Responden
143
e. Rata-rata Pengeluaran per Bulan Sebagian besar responden merupakan kalangan menengah ke atas (69%), dengan total persentase kalangan atas sebesar 46%, dan total kalangan menengah sebesar 23%. Sementara kalangan bawah memiliki total persentase sebesar 31% (pie warna hijau dan biru tua).
Rata-rata Pengeluaran per Bulan > Rp.3.000.000
14%
22%
Rp.1.800.001-Rp.3.000.000
17%
Rp.1.000.001-Rp.1.800.000
24%
23%
Rp. 600.000-Rp1.000.000 < Rp.600.000
Gambar 4.10. Rata-rata Pengeluaran per Bulan Responden
f. Keanggotaan MCC Lebih dari 50% responden tidak memiliki keanggotaan MCC, sedangkan yang merupakan anggota MCC hanya sebesar 46%.
Keanggotaan MCC Member MCC 46% 54%
Nonmember MCC
Gambar 4.11. Keanggotaan MCC Responden g. Prilaku Belanja Responden
144
Hanya 39% dari responden yang memiliki prilaku belanja yang berorientasi rekreasi. Sedangkan sebagian besar responden (61%) memiliki prilaku belanja yang berorientasi fungsional. Dengan demikian, sebagian besar responden menjawab bahwa mereka dalam berbelanja lebih mementingkan hal-hal yang sifatnya praktis dan fungsional (lokasi mudah dicapai, harga menarik, antrian sedikit) dibandingkan adanya suasana yang menyenangkan dari tempat mereka berbelanja (tempat yang bergengsi, tampilan disain dan interior yang menarik, serta penataan produk yang menarik).
Prilaku Belanja Responden
Berorientasi fungsional
39% 61%
Berorientasi rekreasi
Gambar 4.12. Prilaku Belanja Responden
h. Jenis Pekerjaan Responden yang bekerja sebagai karyawan dan profesional menunjukkan persentase tertinggi, masing-masing sebesar 31%. Jenis pekerjaan responden kedua terbanyak adalah mahasiswa, dengan persentase sebesar 19% atau 38 orang. Sedangkan sisanya merupakan pelajar 8%, ibu rumah tangga 5%, PNS 2%, dan freelance, sedang bekerja magang, telah pensiun, serta pengangguran, dengan masing-masing persentase sebesar 1%.
145
Jenis Pekerjaan 1% 31%
31%
2% 1%
5% 1% 8%
Freelance Pelajar
Karyawan Pengangguran
19%
1%
Ibu rumah tangga Pensiun
Magang PNS
Mahasiswa Profesional
Gambar 4.13. Jenis Pekerjaan Responden
i. Transportasi yang Digunakan Sebagian besar dari mereka yang datang ke MDS Mal Ciputra menggunakan kendaraan umum (42%), dan mobil pribadi (41%). Sisanya menggunakan motor dan jalan kaki sebesar 12% dan 5%.
Transportasi yang Digunakan Jalan kaki 12%
5% Kendaraan umum 42%
Mobil Pribadi
41% Motor
Gambar 4.14. Jenis Transportasi yang Digunakan Responden
146
j. Waktu Tempuh, Lama Belanja, dan Jumlah Kunjungan dalam 1 Bulan Terakhir Hasil survei menunjukkan bahwa responden membutuhkan waktu tempuh rata-rata 32,82 menit untuk sampai ke MDS Mal Ciputra, menggunakan waktu rata-rata 98,025 menit melihat-lihat di dalam MDS Mal Ciputra, serta rata-rata responden mengunjungi MDS Mal Ciputra sebanyak 3,03 kali dalam sebulan terakhir.
Berdasarkan penjabaran hasil sebaran demografis di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden merupakan wanita sebesar 65% (130 orang), berusia 20-35 tahun (73% atau 146 orang), memiliki pendidikan tertinggi S2 sebanyak 47% (94 orang), belum menikah 75% (150 orang), merupakan kalangan atas dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp. 1.800.001 hingga lebih dari Rp. 3 juta sebanyak 46% (92 orang), bukan merupakan anggota MCC 54% (108 orang). 61% (122 orang) memiliki prilaku belanja yang berorientasi fungsional, bekerja sebagai karyawan dan profesional dalam bidang tertentu masing-masing sebesar 31% (total 124 orang), dan menggunakan transportasi kendaraan umum 42% (84 orang). Mereka membutuhkan waktu tempuh rata-rata sekitar 32,82 menit, menghabiskan waktu melihat-lihat di dalam MDS Mal Ciputra selama rata-rata 98,025 menit, serta mengunjungi MDS Mal Ciputra rata-rata sebanyak 3,03 kali dalam sebulan terakhir.
4.2.3 Screening Data Berikut sebagian output PRELIS yang merupakan output statistik deskriptif yang memberikan informasi mengenai mean, standar deviasi skewness dan kurtosis, sampai nilai minimum dan maximum beserta frekuensinya pada tiap-tiap variabel manifest (indikator) : Total Sample Size =
200
Univariate Summary Statistics for Continuous Variables
147
Variable --------
Mean ----
St. Dev. --------
T-Value -------
Skewness --------
Kurtosis --------
Minimum Freq. Maximum Freq. ------- -----
------- -----
ST11 ST12 ST13 ST14 ST15 ST16 ST21 ST22 ST23 ST24 ST25 ST26 ST27 ST28 ST29 ST210 ST211 ST31 ST32 ST33 ST34
3.775 4.035 4.040 3.755 3.800 3.965 3.525 3.775 3.730 3.415 3.260 3.550 3.760 3.555 3.565 3.635 3.925 3.230 3.680 3.780 3.965
0.894 0.958 0.686 0.805 0.730 0.726 1.084 0.865 0.825 1.029 1.148 1.036 0.752 0.928 0.922 0.852 0.694 1.106 0.861 0.822 0.712
59.749 59.546 83.272 65.958 73.633 77.285 45.984 61.723 63.945 46.951 40.143 48.470 70.728 54.173 54.684 60.357 79.970 41.302 60.445 65.067 78.805
-1.547 -1.385 -1.088 -1.043 -1.238 -1.302 -0.639 -1.194 -1.143 -0.622 -0.363 -0.601 -1.293 -0.601 -1.009 -1.045 -1.629 -0.377 -0.953 -1.274 -1.387
2.483 1.961 2.474 0.957 1.999 2.907 -0.497 1.509 1.128 -0.811 -0.994 -0.501 2.086 -0.538 0.314 0.717 4.486 -0.787 0.516 1.797 3.793
1.000 1.000 2.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
8 6 11 1 1 1 8 4 2 5 13 5 2 1 5 3 2 14 2 3 2
5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000
23 63 40 21 18 33 30 26 19 15 21 29 16 20 14 15 24 18 20 22 32
LT11 LT12 LT13 LT21 LT22
3.665 4.085 3.775 3.605 3.560
0.920 0.591 0.964 0.924 0.889
56.318 97.717 55.388 55.193 56.631
-0.964 -1.348 -0.929 -0.911 -0.747
0.481 7.240 0.427 0.238 0.270
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
4 2 4 4 4
5.000 5.000 5.000 5.000 5.000
23 37 38 19 18
VM11 VM12 VM13 VM14 VM21 VM22
3.900 4.075 3.900 3.920 3.530 3.460
0.868 0.657 0.750 0.804 1.041 1.046
63.527 87.727 73.519 68.929 47.937 46.785
-1.294 -1.153 -1.060 -1.083 -0.552 -0.585
2.025 3.168 1.859 1.182 -0.681 -0.651
1.000 2.000 1.000 2.000 1.000 1.000
4 10 1 21 4 6
5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000
38 41 31 36 28 22
LYT11 LYT12 LYT21 LYT22 LYT31 LYT32 LYT33 LYT34 LYT35 LYT36
4.065 3.395 3.640 3.930 3.855 3.835 3.860 3.705 3.820 3.850
0.919 1.084 0.730 0.894 0.726 0.700 0.709 0.838 0.663 0.693
62.538 44.296 70.506 62.174 75.127 77.461 76.976 62.560 81.461 78.596
-1.228 -0.312 -0.419 -1.013 -1.126 -1.446 -1.586 -0.901 -0.724 -0.983
1.463 -0.895 0.015 1.102 2.081 2.867 3.707 0.696 1.100 2.090
1.000 1.000 2.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 2.000 1.000
3 6 14 3 1 1 2 2 9 1
5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000
66 28 16 49 24 17 19 22 20 23
PP11 PP12 PP13 PP21 PP22 PP23
2.980 2.695 2.765 3.295 3.180 3.990
1.112 1.140 1.165 1.046 1.185 0.856
37.911 33.447 33.573 44.563 37.946 65.882
-0.027 0.127 0.160 -0.349 -0.043 -1.096
-1.117 -1.177 -1.161 -0.669 -1.183 1.425
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
15 30 26 9 11 2
5.000 5.000 5.000 5.000 5.000 5.000
12 6 10 19 28 51
Hasil di atas memperlihatkan tidak terdapat data outliers, yang terbukti dari nilai minimum dan maksimum yang tidak berada di luar angka 1 - 5. Sementara itu, dengan melihat nilai rata-rata dari masing-masing variabel manifest tersebut dapat kita lihat bahwa secara
148
keseluruhan responden memberikan ranking yang baik untuk variabel laten suasana toko, lokasi toko, dan variasi merchandise. Namun, responden memberikan ranking yang kurang baik untuk variabel pembelian pengunjung. Lebih lanjut, untuk variabel suasana toko, indikator yang mendapatkan ranking terburuk paling banyak (31,5% responden memberi nilai 5) adalah indikator pada dimensi
ambient factors : ST12, yakni mengenai kesukaan responden akan musik yang diputar di MDS Mal Ciputra. Indikator tersebut menggunakan pernyataan negatif pada kuesioner (“Saya merasa terganggu dengan musik yang diputar di MDS ini”). Dengan demikian, nilai 5 menunjukkan penilaian yang sangat buruk dari responden. Hal ini menunjukkan bahwa 31,5% responden merasa terganggu dengan musik yang diputar di MDS Mal Ciputra selama kunjungan mereka. Sedangkan indikator pada dimensi yang sama: ST13, yakni mengenai penilaian responden akan kebersihan lantai MDS Mal Ciputra, merupakan indikator yang mendapat ranking tertinggi terbanyak (20% responden memberi nilai 5) dibandingkan indikator-indikator suasana toko lainnya. Kemudian, untuk variabel lokasi toko, indikator yang mendapatkan nilai 5 terbanyak (19% atau 38 responden memberi nilai 5) adalah indikator pada dimensi aksesbilitas : LT13, yakni penilaian responden akan kemudahan untuk datang ke MDS Mal Ciputra dengan menggunakan transportasi umum. Pernyataan untuk menilai indikator ini menggunakan pernyataan negatif (“Sulit untuk berkunjung ke MDS ini dengan menggunakan transportasi umum”), yang berarti nilai 5 merupakan penilaian yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 19% responden yang memberikan penilaian sangat buruk akan kemudahan mengakses MDS Mal Ciputra dengan menggunakan transportasi umum. Sementara untuk indikator-indikator lainnya mendapatkan penilaian yang baik dari para responden. Pada variabel variasi merchandise, indikator yang mendapatkan penilaian tertinggi ataupun terendah paling banyak adalah indikator-indikator pada dimensi variabilitas.
149
Indikator VM12, yang merupakan penilaian responden akan ragam kategori produk yang tersedia, mendapat penilaian tertinggi (nilai 5) terbanyak, yakni 20,5% responden memberi nilai 5. Sementara indikator yang mendapatkan penilaian rendah (nilai 2) terbanyak, adalah VM14, yang merupakan penilaian responden akan banyaknya pilihan warna (ukuran, bahan, dll) dalam setiap kategori produk. VM14 mendapat nilai 2 dari 21 responden (10,5%). Akan tetapi VM14 juga mendapatkan penilaian tertinggi (nilai 5) yang tidak terlalu jauh berbeda dengan jumlah responden yang memberikan nilai 2, yakni 36 orang (18%) responden memberikan nilai 5 untuk VM14. Pada variabel loyalitas toko, nilai rendah terbanyak diberikan oleh 66 responden (33%) pada indikator dimensi commitment, yakni LYT11 : kekuatan komitmen responden untuk berbelanja kembali di MDS Mal Ciputra. Indikator tersebut menggunakan pernyataan negatif (“Saya tidak berniat untuk kembali berbelanja di MDS ini”). Sehingga nilai 5 yang diberikan oleh responden menunjukkan tidak adanya komitmen responden untuk kembali berbelanja di MDS Mal Ciputra. Sementara itu, indikator pada dimensi satisfaction, yakni LYT31 : kepuasan pengunjung terhadap pelayanan di MDS, memiliki penilaian tertinggi terbanyak dibandingkan indikator-indikator loyalitas toko lainnya. 12% atau 24 responden memberikan nilai 5 untuk LYT31. Kondisi tersebut mengimplikasikan adanya loyalitas yang tidak terlalu kuat dari para pengunjung MDS Mal Ciputra. Terakhir, pada variabel pembelian pengunjung, indikator yang mendapatkan nilai tertinggi terbanyak dari responden (9,5% responden memberi nilai 5) adalah indikator pada dimensi average number of visits over a year, yakni PP21 : bahwa responden setiap bulan datang berkunjung ke MDS Mal Ciputra. Sementara indikator yang mendapatkan penilaian terendah dari responden (25,5% responden memberi nilai 5) adalah indikator pada dimensi
average number of visits over a year, yakni PP23 : bahwa responden hanya sekali dalam setahun berkunjung dan atau berbelanja di MDS. Hasil yang diharapkan dari indikator ini
150
adalah nilai 1 (Sangat Tidak Setuju), karena kondisi yang diinginkan adalah responden sering berkunjung atau setiap bulan berkunjung ke MDS Mal Ciputra. Hal ini memperlihatkan bahwa sebagian besar responden tidak setiap bulan berkunjung di MDS Mal Ciputra. Di samping itu, melihat hasil indikator lainnya dapat disimpulkan pula bahwa rata-rata responden mengunjungi banyak toko dalam setahun dan 7,5% (15 orang) menyatakan bahwa MDS Mal Ciputra merupakan pilihan pertama mereka.
Berikut adalah hasil tes distribusi normalitas multivariat dengan PRELIS : Test of Univariate Normality for Continuous Variables Skewness Variable Z-Score P-Value
Kurtosis Z-Score P-Value
Skewness and Kurtosis Chi-Square P-Value
ST11
-9.001
0.000
3.920
0.000
96.385
0.000
ST12
-8.058
0.000
3.450
0.001
76.833
0.000
ST13
-6.330
0.000
3.912
0.000
55.379
0.000
ST14
-6.067
0.000
2.208
0.027
41.687
0.000
ST15
-7.199
0.000
3.488
0.000
64.001
0.000
ST16
-7.575
0.000
4.244
0.000
75.393
0.000
ST21
-3.714
0.000
-1.809
0.071
17.068
0.000
ST22
-6.946
0.000
2.961
0.003
57.013
0.000
ST23
-6.646
0.000
2.465
0.014
50.249
0.000
ST24
-3.620
0.000
-3.895
0.000
28.272
0.000
ST25
-2.110
0.035
-5.823
0.000
38.353
0.000
ST26
-3.495
0.000
-1.827
0.068
15.553
0.000
ST27
-7.521
0.000
3.571
0.000
69.314
0.000
ST28
-3.493
0.000
-2.026
0.043
16.303
0.000
ST29
-5.869
0.000
0.983
0.326
35.412
0.000
ST210
-6.079
0.000
1.808
0.071
40.221
0.000
ST211
-9.477
0.000
5.161
0.000
116.454
0.000
ST31
-2.191
0.028
-3.691
0.000
18.425
0.000
ST32
-5.543
0.000
1.423
0.155
32.749
0.000
ST33
-7.412
0.000
3.283
0.001
65.719
0.000
ST34
-8.065
0.000
4.804
0.000
88.122
0.000
LT11
-5.608
0.000
1.352
0.176
33.284
0.000
LT12
-7.838
0.000
6.173
0.000
99.540
0.000
151
LT13
-5.405
0.000
1.238
0.216
30.748
0.000
LT21
-5.299
0.000
0.801
0.423
28.724
0.000
LT22
-4.343
0.000
0.878
0.380
19.631
0.000
VM11
-7.525
0.000
3.513
0.000
68.967
0.000
VM12
-6.708
0.000
4.424
0.000
64.563
0.000
VM13
-6.167
0.000
3.348
0.001
49.243
0.000
VM14
-6.300
0.000
2.540
0.011
46.139
0.000
VM21
-3.213
0.001
-2.898
0.004
18.722
0.000
VM22
-3.403
0.001
-2.698
0.007
18.861
0.000
LYT11
-7.140
0.000
2.905
0.004
59.416
0.000
LYT12
-1.817
0.069
-4.683
0.000
25.236
0.000
LYT21
-2.435
0.015
0.193
0.847
5.968
0.051
LYT22
-5.891
0.000
2.427
0.015
40.597
0.000
LYT31
-6.552
0.000
3.566
0.000
55.644
0.000
LYT32
-8.413
0.000
4.215
0.000
88.553
0.000
LYT33
-9.223
0.000
4.755
0.000
107.682
0.000
LYT34
-5.242
0.000
1.769
0.077
30.614
0.000
LYT35
-4.208
0.000
2.424
0.015
23.587
0.000
LYT36
-5.715
0.000
3.575
0.000
45.441
0.000
PP11
-0.156
0.876
-7.746
0.000
60.022
0.000
PP12
0.740
0.459
-9.035
0.000
82.182
0.000
PP13
0.933
0.351
-8.650
0.000
75.699
0.000
PP21
-2.032
0.042
-2.816
0.005
12.062
0.002
PP22
-0.250
0.802
-9.178
0.000
84.293
0.000
PP23
-6.373
0.000
2.858
0.004
48.784
0.000
Relative Multivariate Kurtosis = 1.146 Test of Multivariate Normality for Continuous Variables Skewness
Kurtosis
Skewness and Kurtosis
Value
Z-Score P-Value
Value
Z-Score P-Value
Chi-Square P-Value
------
------- -------
-------
------- -------
---------- -------
902.832
45.637
0.000
2750.427
16.911
0.000
2368.725
0.000
Berdasarkan hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat ketidaknormalan multivariate. Hal tersebut ditunjukkan dari bagian Skewness dan Kurtosis yang signifikan
152
pada skala 5% (p-value < 0.05). Jika data adalah tidak multivariate normal, maka besar kemungkinan univariate juga tidak normal. Hal tersebut terbukti dimana hampir seluruh variabel melanggar asumsi univariate normality. Kecuali variabel manifest LYT21, yang memiliki nilai Skewness and Kurtosis yang tidak signifikan (p-value sebesar 0.051; yakni lebih besar daripada 0.05). Hal ini adalah wajar, mengingat responden merupakan pengunjung di sebuah department store (dalam hal ini MDS Mal Ciputra), yang pada dasarnya memiliki resiko adanya kondisi psikologis responden (internal) yang tidak dapat terduga, seperti sedang terburu-buru, memiliki suasana hati yang sedang buruk atau sedang senang. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap pengisian kuesioner oleh sang responden. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Schermelleh-Engel et. al. (2003) yang menyatakan bahwa pelanggaran akan asumsi distribusi adalah umum dan sering tidak terhindarkan dalam prakteknya. Data yang tidak normal tersebut akan berpengaruh terhadap pemilihan metode estimasi yang akan digunakan pada proses pengolahan SEM nanti. Setelah ini, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis SEM.
4.2.4 Analisis SEM (Structural Equation Modeling) Menurut buku berjudul Structural Equation Modeling yang ditulis oleh Imam Ghozali dan Fuad , proses SEM mencakup beberapa langkah yang harus dilakukan, yakni : 1. konseptualisasi model 2. penyusunan diagram alur (path diagram) 3. spesifikasi model 4. identifikasi model 5. estimasi parameter 6. penilaian model fit
153
7. modifikasi model 8. validasi silang model (opsional)
4.2.4.1 Konseptualisasi Model Tahap ini berhubungan dengan pengembangan hipotesis berdasarkan teori sebagai dasar dalam menghubungkan variabel laten dengan variabel laten lainnya, dan juga dengan indikator-indikatornya. Tabel 4.5 menunjukkan hubungan antar variabel dan indikatorindikator dari masing-masing variabel laten. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya pada sub bab hipotesa, berdasarkan teori dapat disimpulkan bahwa suasana toko, lokasi toko, dan variasi merchandise memiliki pengaruh terhadap loyalitas toko yang akan berimplikasi kepada pembelian pengunjung dalam bentuk pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja. Oleh sebab itu, hipotesis dari penelitian yang akan diuji adalah: H1. Suasana toko berpengaruh positif terhadap loyalitas toko Dengan sub hipotesa: H1-1. Hubungan fungsional yang positif antara Ambient Factors (ST-1), Design Factors
(ST-2), dan Social Factors (ST-3) terhadap suasana toko (ST). H1-2. Hubungan fungsional yang positif antara suasana toko (ST) terhadap loyalitas toko (LYT). H2. Lokasi toko berpengaruh positif terhadap loyalitas toko Dengan sub hipotesa: H2-1. Hubungan fungsional yang positif antara Aksesbilitas (LT-1) dan Keberadaan toko lain (LT-2) terhadap lokasi toko (LT). H2-2. Hubungan fungsional yang positif antara lokasi toko (LT) terhadap loyalitas toko (LYT).
154
H3. Variasi merchandise berpengaruh positif terhadap loyalitas toko Dengan sub hipotesa: H3-1. Hubungan fungsional yang positif antara Variabilitas (VM-1) dan Availibility (VM-2) terhadap variasi merchandise (VM). H3-2. Hubungan fungsional yang positif antara variasi merchandise (VM) terhadap loyalitas toko (LYT). H4. Loyalitas toko berpengaruh positif terhadap pembelian pengunjung Dengan sub hipotesa: H4-1. Hubungan fungsional yang positif antara Commitment (LYT-1), Intention to revisit
the store (LYT-2), dan Satisfaction (LYT-3) terhadap loyalitas toko (LYT). H4-2. Hubungan fungsional yang positif antara Average Number of Stores Visited Over a
Year (PP-1) dan Average Number of Visits Over a Year (PP-2) terhadap pembelian pengunjung (PP). H4-3. Hubungan fungsional yang positif antara loyalitas toko (LYT) terhadap pembelian pengunjung (PP) yang dilihat dari pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja (loyalitas pengunjung terhadap toko).
Tabel 4.5. Hubungan Antar Variabel Variabel
Sifat Variabel
Dimensi
Indikator 1. Volume musik (ST11)
Suasana Toko (ST)
Laten Eksogen ( x1 )
Ambient Factors (ST-1)
2. Disukainya musik (ST12) 3. Kebersihan lantai (ST13) 4. Kebersihan tembok (ST14) 5. Kebersihan rak (ST15) 6. Scent (ST16)
155
Variabel
Sifat Variabel
Dimensi
Design Factors (ST-2)
Indikator 1. Penataan produk yang baik (ST21) 2. Kemudahan menemukan barang (ST22) 3. Penataan produk yang menarik (ST23) 4. Perasaan senang ketika berjalan di lorong (ST24) 5. Kenyamanan (ST25) 6. Tanda petunjuk yang membantu (ST26) 7. Tanda petunjuk yang dimengerti (ST27) 8. Style (ST28) 9. Warna (ST29) 10. Display (ST210) 11. Lighting (ST211)
Social Factors (ST-3)
1.Banyaknya pengunjung lain (ST-31) 2.Penampilan karyawan (ST-32) 3.Perilaku karyawan (ST-33) 4.Keramahan karyawan (ST-34)
156
Variabel
Sifat Variabel
Dimensi
Lokasi
Laten Eksogen
Aksesbilitas (LT-1)
Toko (LT)
Variasi Merchandise (VM)
( x2 )
Indikator 1. Lokasi yang dekat dengan rumah pengunjung/tempat kerja (LT-11) 2. Lokasi nyaman (LT-12) 3. Mudah dicapai dengan menggunakan transportasi umum (LT-13)
Laten Eksogen
Keberadaan toko lain (LT-2)
1. Keberadaan toko lain di sekitar MDS bersifat komplementer bagi MDS (LT-21)
Variabilitas (VM-1)
1. Ragam merek (brands) yang tersedia (VM-11)
( x3 )
2. Keberadaan toko lain di sekitar MDS bersifat substitusi bagi MDS (LT-22)
2. Ragam kategori produk yang tersedia (VM-12) 3. Ragam private labels (VM-13) 4. Banyak pilihan (warna,ukuran,bahan,dll) dalam setiap kategori produk (VM-14)
Availibility (VM-2)
Loyalitas
Laten Endogen
Toko (LYT)
( h1 )
1. Ketersediaan produk (VM-21) 2. Consistency in assortment (C2C) (VM-22)
Commitment (LYT-1)
1. Komitmen untuk berbelanja kembali (LYT-11)
Intention to revisit the store (LYT-2)
1. Di masa mendatang, pengunjung akan sangat sering shopping di MDS (LYT-21)
2. Komitmen untuk tidak berpindah (LYT-12)
2. Di masa mendatang, pengunjung tidak akan shopping di MDS (LYT-22)
157
Variabel
Sifat Variabel
Dimensi
Indikator 1. Kepuasan pengunjung terhadap pelayanan di MDS (LYT-31)
Satisfaction (LYT-3)
2. Kepuasan pengunjung terhadap produk di MDS (LYT-32) 3. Kepuasan pengunjung terhadap lokasi MDS (LYT-33) 4. Kepuasan pengunjung terhadap disain toko secara keseluruhan (LYT-34) 5. Kepuasan pengunjung terhadap pembelian yang dilakukannya di MDS (LYT-35) 6. Akan merekomendasikan kepada orang lain (LYT-36)
Pembelian Pengunjung (PP)
Laten Endogen
( h2 )
Average number of stores visited over a year (PP-1)
Average number of visits over a year (PP-2)
1. Mengunjungi banyak toko dalam setahun (PP-11) 2. Mengunjungi sedikit toko dalam setahun (PP-12) 3. Hanya mengunjungi 1 toko dalam setahun (PP-13) 1. Sering berkunjung (tiap bulan) di MDS (PP-21) 2. Jarang berkunjung (tidak setiap bulan) di MDS (PP-22) 3. Sekali dalam setahun berkunjung dan atau berbelanja di MDS (PP-23)
4.2.4.2 Penyusunan Diagram Alur Penyusunan diagram alur akan memudahkan kita dalam memvisualisasi hipotesis yang telah diajukan dalam konseptualisasi model di atas. Visualisasi model akan mengurangi tingkat kesalahan kita dalam pembangunan suatu model pada LISREL. Gambar 4.15 menunjukkan diagram alur dari model konseptual.
158
Gambar 4.15. Model Konseptual
159
4.2.4.3 Spesifikasi Model Parameter yang diestimasi (hanya sebagian dari format LISREL):
LAMBDA-Y lyt
LAMBDA-X pp
st
-------- --------
lt
vm
-------- -------- --------
LYT11
0
0
ST11
15
0
0
LYT12
1
0
ST12
16
0
0
LYT21
2
0
ST13
17
0
0
LYT22
3
0
ST14
18
0
0
LYT31
4
0
ST15
19
0
0
LYT32
5
0
ST16
20
0
0
LYT33
6
0
ST21
21
0
0
LYT34
7
0
ST22
22
0
0
LYT35
8
0
ST23
23
0
0
LYT36
9
0
ST24
24
0
0
PP11
0
0
ST25
25
0
0
PP12
0
10
ST26
26
0
0
PP13
0
11
ST27
27
0
0
PP21
0
12
ST28
28
0
0
PP22
0
13
ST29
29
0
0
PP23
0
14
ST210
30
0
0
ST211
31
0
0
ST31
32
0
0
ST32
33
0
0
ST33
34
0
0
ST34
35
0
0
LT11
0
36
0
LT12
0
37
0
LT13
0
38
0
LT21
0
39
0
LT22
0
40
VM11
0
0
41
0
VM12
0
0
42
VM13
0
0
43
VM14
0
0
44
VM21
0
0
45
VM22
0
0
46
160
THETA-DELTA
THETA-EPS
BETA
pp
LYT11
LYT12
LYT21
LYT22
LYT31 LYT32
ST32
ST33
ST34
LT11
-------- --------
--------
--------
--------
--------
-------- --------
-------- --------
--------
--------
57
58
59
lyt
lyt
0
0
pp
47
0
56
60
61
90
91
92
93
LT12
LT13
--------
--------
94
95
THETA-DELTA
THETA-EPS GAMMA LYT33 st
lt
LYT34
LYT35
LYT36
PP11
PP12
-------- -------- -------- -------- -------- --------
vm
62
-------- -------- -------lyt
48
49
50
pp
0
0
0
63
64
65
66
67
PP13
PP21
PP22
0
lt
51
vm
52
68
vm
69
70
0
ST11
ST12
ST13
ST14
ST15
ST16
-------- -------- -------- -------- -------- -------72
PSI
73
74
75
76
77
Note: This matrix is diagonal. THETA-DELTA lyt
54
pp
55
--------
--------
--------
--------
--------
--------
96
97
100
101
102
71
0
-------- --------
VM13
ST21
ST22
ST23
ST24
ST25
ST26
-------- -------- -------- -------- -------- -------78
79
80
81
82
83
ST210 ST211
ST31
THETA-DELTA
ST27
ST28
ST29
-------- -------- -------84
85
86
-------87
VM22
-------- --------
THETA-DELTA
53
VM12
VM21
PP23
-------- -------- -------st
VM11
THETA-DELTA
-------- -------- -------- -------lt
LT22
THETA-EPS
PHI
st
LT21
-------- -------88
89
103
98
99
VM14
161
Seperti yang dapat dilihat di atas, jumlah parameter yang diestimasi adalah 103 parameter. Program LISREL akan melakukan estimasi terhadap parameter-parameter di atas. Hasilnya adalah penilaian model fit dan saran modifikasi (apabila ada) untuk pertama kalinya.
4.2.4.4 Identifikasi Model Informasi yang diperoleh dari data diuji untuk menentukan apakah cukup untuk mengestimasi parameter dalam model. Tahapan ini dimaksudkan untuk menjaga agar model yang dispesifikasikan bukan merupakan model yang under-identified atau unidentified. Untuk menentukan apakah model kita mengandung masalah identifikasi atau tidak, maka harus dipenuhi keadaan berikut : t ≤ s/2 t = Jumlah parameter yang diestimasi s = Jumlah varians dan kovarians antara variable manifest (observed/ manifest) ; yang merupakan (p + q) (p + q + 1) p = Jumlah variabel y (indikator variabel endogen) q = Jumlah variabel x (indikator variabel eksogen)
Hasil perhitungan berdasarkan output awal adalah dibawah ini: t = 103 parameter, dengan perincian seperti pada Tabel 4.6. s = ( 16 + 33 ) ( 16 + 33 + 1 ) = 2450 s/2 = 2450 / 2 = 1225
Maka, t < s/2 ; dimana 103 < 1225
162
Kondisi tersebut merupakan over-identified. Berarti terdapat cukup persamaan untuk melakukan estimasi untuk masing-masing parameter (jumlah persamaan yang tersedia melebihi jumlah parameter yang diestimasi). Oleh karena itu, model dapat di-identifikasi.
Tabel 4.6. Perincian Parameter Parameter
Keterangan
Jumlah
LAMBDA-Y
Hubungan antara variabel laten
14
endogen LAMBDA-X
Hubungan antara variabel laten
32
eksogen BETA
Hubungan langsung variabel
1
endogen terhadap variabel endogen lain GAMMA
Hubungan langsung variabel
3
eksogen terhadap variabel endogen PHI
Kovarians/korelasi antara
3
variabel eksogen PSI
Matriks kovarians antara
2
residual struktural ( z ) THETA-EPS
Matriks kovarians simetris antara kesalahan pengukuran pada indikator suatu variabel laten endogen ( e )
16
163
THETA-DELTA
Matriks kovarians simetris
32
antara kesalahan pengukuran pada indikator suatu variabel laten endogen ( d )
4.2.4.5 Estimasi Parameter Pertimbangan dalam memilih metode estimasi yang akan digunakan tergantung pada besar sampel dan normalitas suatu penelitian. Sampel penelitian ini berjumlah 200, serta terdapat ketidaknormalan multivariat seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab screening
data. Oleh karena itu, estimasi yang akan digunakan adalah Maximum Likelihood (ML). Seperti yang dinyatakan dalam buku Structural Equation Modeling, bahwa ukuran sampel yang disarankan untuk penggunaan estimasi Maximum Likelihood adalah sebesar 100-200. Selain itu, ML memiliki kelemahan, yakni adanya asumsi yang kuat akan normalitas multivariat, sementara pelanggaran akan asumsi distribusi adalah umum dan sering tidak terhindarkan dalam prakteknya, serta berpotensial membawa ke hasil yang menyesatkan (Schermelleh-Engel et al, 2003, p26). Walaupun demikian, ML tampaknya cukup kuat akan pelanggaran asumsi normalitas (cf Boomsma & Hoogland, 2001; Chou & Bentler, 1995; Curran, West & Finch, 1996; Muthén & Muthén, 2002; West, Finch, & Curran, 1995). Hal ini didukung pula oleh Schermelleh-Engel et al (2003) dengan pernyataannya : “Simulation
studies suggest that under conditions of severe nonnormality, ML parameter estimates are still consistent but not necessarily efficient”. Alasan penting lain atas pemilihan metode ML tersebut adalah karena metode ini memungkinkan tes statistik formal untuk overall model fit bagi overidentified models
164
(Schermelleh-Engel et al, 2003, p26), yang mana sesuai dengan kondisi model penelitian ini seperti yang telah ditunjukkan oleh hasil perhitungan pada sub-bab identifikasi model (t < s/2 ; dimana 103 < 1225). Kelebihan lainnya yakni “…its estimates are in general scale
invariant and scale free” (Bollen, 1989, p109). Sehingga konsekuensinya nilai-nilai dari fungsi kecocokan tidak tergantung apakah korelasi atau matrix-matrix kovarians yang dianalisa, serta apakah data original atau yang telah ditransformasi yang digunakan (SchermellehEngel et al, 2003, p26).
4.2.4.6 Penilaian Model Fit Output indeks-indeks Goodness of Fit : Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 1073 Minimum Fit Function Chi-Square = 2448.06 (P = 0.0) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 2686.32 (P = 0.0) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1613.32 90 Percent Confidence Interval for NCP = (1464.55 ; 1769.70) Minimum Fit Function Value = 12.30 Population Discrepancy Function Value (F0) = 8.11 90 Percent Confidence Interval for F0 = (7.36 ; 8.89) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.087 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.083 ; 0.091) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 14.53 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (13.79 ; 15.32) ECVI for Saturated Model = 11.82 ECVI for Independence Model = 21.70 Chi-Square for Independence Model with 1128 Degrees of Freedom = 4222.49 Independence AIC = 4318.49 Model AIC = 2892.32 Saturated AIC = 2352.00 Independence CAIC = 4524.81 Model CAIC = 3335.04 Saturated CAIC = 7406.82 Normed Fit Index (NFI) = 0.42
165
Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.53 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.40 Comparative Fit Index (CFI) = 0.56 Incremental Fit Index (IFI) = 0.56 Relative Fit Index (RFI) = 0.39 Critical N (CN) = 97.22 Root Mean Square Residual (RMR) = 0.083 Standardized RMR = 0.094 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.64 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.61 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.58 Chi-Square dan P Model awal memiliki nilai chi-square sebesar 2448.06 dengan 1073 degrees of freedom. Probabilitas chi-square adalah signifikan (P=0.0) yang berarti bahwa model tidak fit. Demikian pula dengan Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square yang juga memiliki nilai P yang signifikan (P=0.0), yang berarti bahwa model adalah tidak fit.
x2/df Rasio perbandingan antara nilai chi-square dengan degrees of freedom pada model awal di atas adalah 2448.06/1073 = 2.282. Hasil tersebut menunjukkan bahwa model awal termasuk acceptable fit. Selain itu, hasil tersebut lebih rendah dari cut-off model fit yang disarankan oleh Wheaton (1977), yaitu 5, dan sedikit lebih tinggi daripada yang dianjurkan oleh Carmines dan Melver (1982), yaitu 2. Sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dengan mengendalikan kompleksitas model (yang diproksikan dengan jumlah degrees of
freedom), model sebenarnya memiliki fit yang cukup baik.
RMSEA RMSEA merupakan indikator model fit yang paling informatif. Ia mengukur penyimpangan -
166
nilai parameter pada suatu model dengan matriks kovarians populasinya (Browne dan Cudeck, 1993). RMSEA model adalah sebesar 0.087. Nilai tersebut menunjukkan bahwa model tidak fit ( > 0.08). Karena model tidak fit, 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.083 ; 0.091) juga mengindikasikan bahwa nilai RMSEA tersebut memiliki ketepatan yang tidak baik, yang mana nilai batas kiri confidence interval tersebut menunjukkan nilai yang sangat jauh dari nol (left boundary of CI = 0.00 -> good-fit). Begitu pula dengan P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00 yang jauh lebih kecil dari 0.1 (Schermelleh-Engel et al, 2003) , juga jauh lebih kecil daripada 0.5 sebagaimana yang disarankan oleh Joreskog dan Sorbom (1996). Dengan kata lain, kita ingin menerima hipotesis null yang menyatakan bahwa RMSEA model kurang daripada 0.05. Akan tetapi, nilai yang signifikan tersebut (< 0.5) mengindikasikan bahwa RMSEA tidak kurang daripada 0.05.
NNFI NNFI digunakan untuk mengatasi permasalahan kompleksitas model. Nilai NNFI model awal adalah sebesar 0.53 yang jauh lebih kecil dari 0.95, sehingga dapat disimpulkan bahwa model tidak fit.
CFI Suatu model dikatakan baik apabila memiliki nilai CFI yang mendekati 1 dan 0.95 adalah batas model fit (Schermelleh-Engel et al, 2003). Sementara menurut Bentler (1990), batas model fit adalah 0.9. Model awal memiliki nilai CFI sebesar 0.56, sehingga model dinyatakan tidak fit.
167
SRMR SRMR digunakan untuk mengatasi masalah ketergantungan RMR terhadap ukuran varians dan kovarians dari variabel teramati. Nilai SRMR
£
1 adalah batas model fit. Model awal
memiliki SRMR sebesar 0.094 yang berarti masih dapat diterima sebagai acceptable fit.
Berdasarkan penilaian output di atas, secara keseluruhan dapat diambil kesimpulan bahwa model awal memiliki kinerja yang tidak baik. Tabel 4.7 meringkas hasil di atas.
Tabel 4.7. Penilaian Model Fit Awal Indeks Fit 2
X (df)
Model Awal
Syarat Kriteria
2448.06 (1073)
0 £ X2 £ 2df = Good Fit ; 2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
P-value
0.0
.05 < p £ 1.00 = Good Fit ; .01 £ p £ .05 = Acceptable Fit
2
X / df
2.282
0 £ X2 £ 2df = Good Fit ; 2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
RMSEA
0.087
0 £ RMSEA £ .05 = Good Fit ; .05< RMSEA £ .10 = Acceptable Fit
P-value for test of close fit
0.00
(RMSEA <0 .05) 90% CI
.10 < p £ 1.00 = Good Fit ; .05 £ p £ .10 = Acceptable Fit
0.083 ; 0.091
close to RMSEA, left boundary of CI = .00 = Good Fit; close to RMSEA = Acceptable Fit
NNFI
0.53
.97 £ NNFI £ 1.00 = Good Fit ; .95 £ NNFI < .97 = Acceptable Fit
CFI
0.56
.97 £ CFI £ 1.00 = Good Fit ; .95 £ CFI < .97 = Acceptable Fit
SRMR
0.094
0 £ SRMR £ .05 = Good Fit ; .05 < SRMR £ .10 = Acceptable Fit
Sumber : Output SIMPLIS hasil pengolahan data
168
4.2.4.7 Evaluasi Model Pengukuran (Uji Validitas dan Reliabilitas) Pada sub bab ini akan diberikan hasil uji validitas dan reliabilitas indikator-indikator. Pembahasan akan dibagi menjadi dua bagian, yakni validitas dan reliabilitas masing-masing indikator terhadap variabel latennya (secara individual) dan reliabilitas konstruk (composite
reliability).
A. Uji Validitas dan Reliabilitas (Individual) Output SIMPLIS persamaan pengukuran: LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Measurement Equations LYT11 = 0.15*lyt, Errorvar.= 0.82 , R² = 0.025 (0.083) 9.94 LYT12 = 0.24*lyt, Errorvar.= 1.12 , R² = 0.049 (0.14) (0.11) 1.73 9.90 LYT21 = 0.40*lyt, Errorvar.= 0.37 , R² = 0.30 (0.19) (0.040) 2.06 9.39 LYT22 = 0.15*lyt, Errorvar.= 0.78 , R² = 0.027 (0.096) (0.078) 1.53 9.94 LYT31 = 0.47*lyt, Errorvar.= 0.31 , R² = 0.42 (0.23) (0.034) 2.08 8.98 LYT32 = 0.56*lyt, Errorvar.= 0.18 , R² = 0.64 (0.27) (0.024) 2.10 7.46 LYT33 = 0.46*lyt, Errorvar.= 0.30 , R² = 0.41 (0.22) (0.033) 2.08 9.00 LYT34 = 0.58*lyt, Errorvar.= 0.36
, R² = 0.49
169
(0.28) 2.09
(0.042) 8.65
LYT35 = 0.48*lyt, Errorvar.= 0.21 , R² = 0.53 (0.23) (0.025) 2.10 8.42 LYT36 = 0.40*lyt, Errorvar.= 0.32 , R² = 0.33 (0.19) (0.034) 2.07 9.28 PP11 = 0.12*pp, Errorvar.= 1.22 , R² = 0.012 (0.12) 9.95 PP12 = - 0.065*pp, Errorvar.= 1.29 , R² = 0.0033 (0.099) (0.13) -0.66 9.97 PP13 = 0.37*pp, Errorvar.= 1.22 , R² = 0.10 (0.27) (0.13) 1.38 9.49 PP21 = 0.95*pp, Errorvar.= 0.19 , R² = 0.83 (0.69) (0.23) 1.38 0.80 PP22 = 0.53*pp, Errorvar.= 1.12 , R² = 0.20 (0.37) (0.13) 1.42 8.34 PP23 = 0.16*pp, Errorvar.= 0.71 , R² = 0.035 (0.13) (0.072) 1.25 9.88 ST11 = 0.11*st, Errorvar.= 0.79 , R² = 0.015 (0.067) (0.079) 1.60 9.96 ST12 = 0.14*st, Errorvar.= 0.90 , R² = 0.023 (0.072) (0.090) 2.01 9.94 ST13 = 0.30*st, Errorvar.= 0.38 , R² = 0.19 (0.049) (0.039) 6.15 9.65 ST14 = 0.24*st, Errorvar.= 0.59 , R² = 0.092 (0.059) (0.060)
170
4.11
9.84
ST15 = 0.36*st, Errorvar.= 0.40 , R² = 0.25 (0.051) (0.042) 7.09 9.53 ST16 = 0.28*st, Errorvar.= 0.45 , R² = 0.15 (0.053) (0.046) 5.39 9.73 ST21 = 0.30*st, Errorvar.= 1.09 , R² = 0.075 (0.080) (0.11) 3.69 9.87 ST22 = 0.43*st, Errorvar.= 0.57 , R² = 0.24 (0.061) (0.059) 7.01 9.54 ST23 = 0.52*st, Errorvar.= 0.41 , R² = 0.39 (0.055) (0.045) 9.30 9.11 ST24 = 0.33*st, Errorvar.= 0.95 , R² = 0.10 (0.076) (0.097) 4.34 9.82 ST25 = 0.25*st, Errorvar.= 1.26 , R² = 0.047 (0.086) (0.13) 2.90 9.91 ST26 = 0.28*st, Errorvar.= 1.00 , R² = 0.072 (0.077) (0.10) 3.62 9.87 ST27 = 0.32*st, Errorvar.= 0.46 , R² = 0.18 (0.054) (0.048) 5.97 9.67 ST28 = 0.63*st, Errorvar.= 0.47 , R² = 0.45 (0.061) (0.053) 10.24 8.86 ST29 = 0.49*st, Errorvar.= 0.61 , R² = 0.28 (0.064) (0.065) 7.63 9.45 ST210 = 0.56*st, Errorvar.= 0.41 , R² = 0.44 (0.056) (0.046) 10.00 8.93
171
ST211 = 0.42*st, Errorvar.= 0.31 , R² = 0.36 (0.047) (0.034) 8.81 9.23 ST31 = 0.31*st, Errorvar.= 1.13 , R² = 0.076 (0.082) (0.11) 3.73 9.86 ST32 = 0.53*st, Errorvar.= 0.46 , R² = 0.37 (0.058) (0.051) 9.05 9.17 ST33 = 0.51*st, Errorvar.= 0.42 , R² = 0.38 (0.055) (0.046) 9.16 9.15 ST34 = 0.31*st, Errorvar.= 0.41 , R² = 0.19 (0.051) (0.043) 6.03 9.67 LT11 = 0.26*lt, Errorvar.= 0.78 , R² = 0.083 (0.076) (0.081) 3.47 9.59 LT12 = 0.35*lt, Errorvar.= 0.22 , R² = 0.36 (0.055) (0.036) 6.41 6.15 LT13 = 0.18*lt, Errorvar.= 0.90 , R² = 0.034 (0.080) (0.091) 2.21 9.84 LT21 = 0.29*lt, Errorvar.= 0.77 , R² = 0.10 (0.077) (0.081) 3.84 9.48 LT22 = 0.035*lt, Errorvar.= 0.79 , R² = 0.0016 (0.074) (0.079) 0.48 9.97 VM11 = 0.57*vm, Errorvar.= 0.43 , R² = 0.43 (0.059) (0.050) 9.63 8.64 VM12 = 0.41*vm, Errorvar.= 0.26 , R² = 0.40 (0.045) (0.030) 9.20 8.79
172
VM13 = 0.46*vm, Errorvar.= 0.35 , R² = 0.37 (0.052) (0.040) 8.85 8.91 VM14 = 0.53*vm, Errorvar.= 0.37 , R² = 0.43 (0.054) (0.043) 9.75 8.59 VM21 = 0.73*vm, Errorvar.= 0.56 , R² = 0.49 (0.069) (0.067) 10.49 8.26 VM22 = 0.68*vm, Errorvar.= 0.63 , R² = 0.42 (0.071) (0.073) 9.57 8.66 Output LISREL completely standardized solution (nilai loading yang telah distandardisasi) : Completely Standardized Solution LAMBDA-Y
LYT11 LYT12 LYT21 LYT22 LYT31 LYT32 LYT33 LYT34 LYT35 LYT36 PP11 PP12 PP13 PP21 PP22 PP23
lyt -------0.16 0.22 0.54 0.17 0.65 0.80 0.64 0.70 0.73 0.58 - - - - - - -
pp -------- - - - - - - - - - 0.11 -0.06 0.32 0.91 0.45 0.19
st -------0.12 0.15 0.44
lt -------- - - -
LAMBDA-X
ST11 ST12 ST13
vm -------- - - -
173
ST14 ST15 ST16 ST21 ST22 ST23 ST24 ST25 ST26 ST27 ST28 ST29 ST210 ST211 ST31 ST32 ST33 ST34 LT11 LT12 LT13 LT21 LT22 VM11 VM12 VM13 VM14 VM21 VM22
0.30 0.50 0.39 0.27 0.49 0.63 0.32 0.22 0.27 0.43 0.67 0.53 0.66 0.60 0.28 0.61 0.62 0.43 - - - - - - - - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - 0.29 0.60 0.18 0.32 0.04 - - - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 0.65 0.63 0.61 0.66 0.70 0.65
Berdasarkan output model pengukuran di atas, dapat disimpulkan beberapa hal (Ghozali & Fuad, 2003, p212): 1. Indikator-indikator tidak valid : ditunjukkan dengan tidak signifikannya hubungan antara indikator dengan variabel laten (taraf arti 5%, t < 1,96) 2. Indikator-indikator paling kurang valid : ditunjukkan dengan nilai loading paling rendah yang dimiliki oleh indikator, yang ditampilkan pada output Completely Standardized Solutions 3. Paling kurang reliable : ditunjukkan dengan R2 yang paling rendah pada persamaan pengukuran (measurement equations) antara indikator dengan variabel latennya.
174
Sehingga kita dapat mengelompokkan “indikator-indikator yang bermasalah” tersebut ke dalam tiga kelompok :
1. Indikator-indikator yang tidak valid / tidak signifikan ( t < |1.96| ) : PP12 =
- 0.065*pp, Errorvar.= 1.29 , R² = 0.0033 (0.099) (0.13) -0.66 9.97
PP23 = 0.16*pp, Errorvar.= 0.71 , R² = 0.035 (0.13) (0.072) 1.25 9.88 LT22 = 0.035*lt, Errorvar.= 0.79 , R² = 0.0016 (0.074) (0.079) 0.48 9.97 2. Indikator-indikator dengan nilai loading yang rendah (< 0.5) : LYT11
0.16
LYT12
0.22
LYT22
0.17
PP11
0.11
PP12
-0.06
PP13
0.32
PP22
0.45
PP23
0.19
ST11
0.12
ST12
0.15
ST13
0.44
ST14
0.30
ST16
0.39
175
ST21
0.27
ST22
0.49
ST24
0.32
ST25
0.22
ST26
0.27
ST27
0.43
ST31
0.28
LT11
0.29
LT13
0.18
LT21
0.32
LT22
0.04
3. Indikator yang paling kurang reliabel : · Indikator variabel laten Suasana Toko (ST) : ST11 ; R² = 0.015 Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa variabel manifest / indikator ST11 (musik) memiliki kontribusi paling kecil pada pembentukan variabel laten Suasana Toko (ST), yakni sebesar 1,5%.
· Indikator variabel laten eksogen Lokasi Toko (LT) : LT22 ; R² = 0.0016 Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa variabel manifest / indikator LT22 (keberadaan toko lain di sekitar MDS bersifat subtitusi bagi MDS) memiliki kontribusi paling kecil pada pembentukan variabel Lokasi Toko (LT), yakni sebesar 0,16%.
176
· Indikator variabel laten eksogen Variasi Merchandise (VM) : VM13 ; R² = 0.37 Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa variabel manifest / indikator VM13 (ragam private labels) memiliki kontribusi paling kecil pada pembentukan variabel laten Variasi Merchandise (VM), yakni sebesar 37%.
· Indikator variabel laten endogen Loyalitas Toko (LYT) : LYT11 ; R² = 0.025 Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa variabel manifest / indikator LYT11 (komitmen untuk berbelanja kembali) memiliki kontribusi paling kecil pada pembentukan variabel laten Loyalitas Toko (LYT), yakni sebesar 2,5%. · Indikator variabel laten endogen Pembelian Pengunjung (PP): PP12 ; R² = 0.0033 Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa variabel manifest / indikator PP12 (mengunjungi sedikit toko dalam setahun) memiliki kontribusi paling kecil pada pembentukan variabel laten Pembelian Pengunjung (PP), yakni sebesar 0,33%.
Selain ketiga kelompok di atas, terdapat beberapa indikator yang walaupun tidak memenuhi syarat signifikansi validitas pada taraf 5% ( t ³ |1.96| ), namun memenuhi syarat signifikansi validitas yang diukur berdasarkan taraf arti 20% ( t ³ |1.282| ) dan 10% ( t ³ |1.645| ) : 1. Valid pada taraf arti 10% : LYT12 = 0.24*lyt, Errorvar.= 1.12 , R² = 0.049 (0.14) (0.11) 1.73 9.90 2. Valid pada taraf arti 20% : LYT22 = 0.15*lyt, Errorvar.= 0.78 , R² = 0.027 (0.096) (0.078) 1.53 9.94
177
PP13 = 0.37*pp, Errorvar.= 1.22 , R² = 0.10 (0.27) (0.13) 1.38 9.49 PP21 = 0.95*pp, Errorvar.= 0.19 , R² = 0.83 (0.69) (0.23) 1.38 0.80 PP22 = 0.53*pp, Errorvar.= 1.12 , R² = 0.20 (0.37) (0.13) 1.42 8.34 ST11 = 0.11*st, Errorvar.= 0.79 , R² = 0.015 (0.067) (0.079) 1.60 9.96 Signifikansi pada tingkat kepercayaan yang lebih rendah pada enam indikator tersebut khususnya disebabkan karena enam indikator tersebut merupakan enam hal yang tidak dapat dipastikan sepenuhnya oleh pengunjung. Seperti pada LYT12 : “Komitmen untuk tidak berpindah”, komitmen pengunjung untuk tidak berpindah tersebut dapat digoyahkan oleh adanya penawaran-penawaran khusus di department store lain. Hal ini secara khusus disebutkan pada pernyataan untuk indikator LYT12 di kuesioner, yakni : “Saya akan berbelanja ke department store lain yang memberikan penawaran khusus walaupun jauh”. Demikian pula halnya dengan LYT22 : ”Di masa mendatang, pengunjung tidak akan shopping di MDS”, PP13 : ”Hanya mengunjungi satu toko dalam setahun”, PP21 : “Sering berkunjung (tiap bulan) di MDS”, PP22 : “Jarang berkunjung (tidak setiap bulan) di MDS”, dan ST11 : “Volume musik”.
B. Composite Reliability Seperti yang telah dijelaskan pada bab metodologi penelitian, di samping menguji reliabilitas indikator secara individual dengan R2 (squared multiple correlations), kita juga dapat menilai reliabilitas gabungan (composite reliability) untuk tiap-tiap variabel laten
178
(sering juga disebut construct reliability). Untuk melakukan hal tersebut, kita menggunakan informasi pada bagian Completely Standardized Solutions dan menghitung reliabilitas gabungan dengan rumus :
rc = (ål)2 / [ (ål)2 + å (q) ] Berikut perhitungannya : Variabel Laten Suasana Toko rc = ( 0.121 + 0.151 + 0.440 + 0.303 + 0.499 + 0.390 + 0.273 + 0.494 + 0.625 + 0.319 + 0.216 + 0.268 + 0.428+ 0.674+0.531 + 0.661 + 0.598 + 0.276 + 0.612 + 0.617 + 0.432 )2 / [ ( 0.121 + 0.151 + 0.440 + 0.303 + 0.499 + 0.390 + 0.273 + 0.494 + 0.625 + 0.319 + 0.216 + 0.268 + 0.428+ 0.674+0.531 + 0.661 + 0.598 + 0.276 + 0.612 + 0.617 + 0.432 )2 + (0.985 + 0.977 + 0.807 + 0.908 + 0.751 + 0.848 + 0.925 + 0.756 + 0.609 + 0.898 +
0.953 + 0.928 + 0.817 + 0.546 + 0.718 + 0.563
+ 0.642 + 0.924 + 0.626 + 0.619 + 0.814 ) ] = (8.928)2 / [ ( 8.928 )2 + 16.614 ] = 79.709 / 96.323 = 0.828 » 0.8 ( > 0.5 dan > 0.6 ; Reliabel)
Variabel Laten Lokasi Toko rc = ( 0.288 + 0.600 + 0.183 + 0.319 +0.040 )2 / [ ( 0.288 + 0.600 + 0.183 + 0.319 +0.040 )2 + (0.917 + 0.640 + 0.966 + 0.898 + 0.998 ) ] = ( 1.43 )2 / [ (1.43 )2 + 4.419 ] = 2.045 / 6.464 = 0.316 » 0.3 ( < 0.5 ; Tidak Reliabel )
179
Variabel Laten Variasi Merchandise rc = (0.653 + 0.630 + 0.611 + 0.659 + 0.698 + 0.650)2 / [ (0.653 + 0.630 + 0.611 + 0.659 + 0.698 + 0.650)2 + (0.573 + 0.603 + 0.627 + 0.565 + 0.513 + 0.577 ) ] = ( 3.901 )2 / [ ( 3.901 )2 + 3.458 ] = 15.218 / 18.676 = 0.815 » 0.8 ( > 0.5 dan > 0.6 ; Reliabel )
Variabel Laten Loyalitas Toko rc = (0.158 + 0.221 + 0.545 + 0.165 + 0.646 + 0.801+ 0.642 + 0.697 + 0.725 + 0.578)2 / [ (0.158 + 0.221 + 0.545 + 0.165 + 0.646 + 0.801+ 0.642 + 0.697 + 0.725 + 0.578)2 + (0.975 + 0.951 + 0.703 + 0.973 + 0.583 + 0.358 + 0.587 + 0.514 + 0.474 + 0.666 ) ] = ( 5.178 )2 / [ ( 5.178 )2 + 6.784 ] = 26.812 / 33.596 = 0.798 » 0.8 ( > 0.5 dan > 0.6 ; Reliabel )
Variabel Laten Pembelian Pengunjung rc = (0.112 - 0.057 + 0.320 + 0.911 + 0.447+ 0.187)2 / [ (0.112 - 0.057 + 0.320 + 0.911 + 0.447+ 0.187)2 + (0.988 + 0.997 + 0.898 + 0.170 + 0.800 + 0.965 ) ] = ( 1.92 )2 / [( 1.92 )2 + 4.818 ] = 3.686 / 8.504 = 0.433 » 0.4 ( < 0.5 ; Tidak Reliabel )
180
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat terlihat bahwa terdapat dua variabel laten yang secara composite tidak reliabel, yakni variabel laten Lokasi Toko dan Pembelian Pengunjung. Hal tersebut disebabkan adanya indikator-indikator dari kedua variabel tersebut yang memiliki nilai-nilai validitas tidak signifikan dan nilai-nilai reliabilitas terendah seperti yang telah dikemukakan di awal penilaian model pengukuran di atas. Indikator-indikator yang tidak valid dan memiliki reliabilitas yang sangat rendah tersebut berpengaruh kepada model yang tidak fit dari hasil penilaian output model awal di atas. Namun secara keseluruhan, indikator-indikator yang ada memiliki validitas yang baik , dan dapat digunakan untuk pengolahan data selanjutnya.
4.2.4.8 Penilaian Model Struktural Berikut sebagian output SIMPLIS model awal: Structural Equations lyt = 0.53*st - 0.12*lt + 0.37*vm, Errorvar.= 0.49 , R² = 0.51 (0.27) (0.36) (0.36) (0.47) 1.98 -0.34 1.01 1.05 pp = 0.32*lyt, Errorvar.= 0.90 , R² = 0.10 (0.28) (1.25) 1.12 0.72 Correlation Matrix of Independent Variables st -------1.00
lt --------
lt
0.60 (0.10) 5.77
1.00
vm
0.63 (0.06) 11.01
0.88 (0.10) 8.50
st
vm --------
1.00
181
Covariance Matrix of Latent Variables
lyt pp st lt vm
lyt -------1.00 0.32 0.68 0.51 0.59
pp --------
st --------
lt --------
vm --------
1.00 0.22 0.16 0.19
1.00 0.60 0.63
1.00 0.88
1.00
Melihat hasil output persamaan model struktural awal di bawah ini, Structural Equations lyt = 0.53*st - 0.12*lt + 0.37*vm, Errorvar.= 0.49 , R² = 0.51 (0.27) (0.36) (0.36) (0.47) 1.98 -0.34 1.01 1.05 pp = 0.32*lyt, Errorvar.= 0.90 , R² = 0.10 (0.28) (1.25) 1.12 0.72 dapat disimpulkan bahwa hanya terdapat 1 hubungan dan pengaruh yang signifikan, yakni dari variabel eksogen ST terhadap variabel endogen LYT (Loyalitas Toko), dengan t-value sebesar 1.98 ( t > |1.96|, signifikan pada taraf 5%). Sementara, nilai R2 sebesar 0.51 menunjukkan nilai yang cukup reliabel , yang menunjukkan bahwa 51% dari variabel laten LYT dijelaskan oleh variabel-variabel laten ST (Suasana Toko), LT (Lokasi Toko), dan VM (Variasi Merchandise). Di lain pihak, pada hubungan pengaruh antara variabel laten LYT terhadap PP (Pembelian Pengunjung) menunjukkan nilai t-value sebesar 1.12 yang tidak signifikan (t < |1.96|) dan memiliki nilai R2 hanya sebesar 0.10. Berarti, variabel laten LYT hanya menjelaskan 10% dari variabel laten PP. Dengan demikian, model struktural tidak sesuai dengan yang diharapkan.
182
Lebih lanjut mari kita melihat hasil Correlation Matrix of Independent Variables di bawah ini : Correlation Matrix of Independent Variables st -------1.00
lt --------
lt
0.60 (0.10) 5.77
1.00
vm
0.63 (0.06) 11.01
0.88 (0.10) 8.50
st
vm --------
1.00
Dari output tersebut, kita dapat mengetahui korelasi antara variabel-variabel laten eksogen yang dapat dilihat dari nilai estimasinya. Setiap korelasi antar variabel menunjukkan hasil yang signifikan, karena nilai t-value yang seluruhnya signifikan bahkan hingga taraf 1% ( t > |3.291| ). Informasi korelasi dan standard error di atas sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah sebenarnya model di atas cocok menggunakan dua variabel laten atau tiga variabel laten. Karena kemungkinan korelasi tertinggi antara variabel ST-LT dan ST-VM adalah 0.70 dan 0.69 yang mana jauh dari nilai 1 (yaitu adanya hubungan yang sempurna antara dua variabel), maka penggunaan dua variabel tersebut adalah tepat. Namun, kemungkinan korelasi tertinggi dari variabel LT-VM adalah 0.98 (mendekati 1), maka seharusnya model menggunakan kedua variabel tersebut menjadi satu variabel saja. Dengan kata lain, indikator-indikator dari LT dan VM sebaiknya digabung ke dalam satu faktor jika melihat hasil korelasi tertingginya tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak sesuai dengan teori, sehingga penelitian ini akan tetap menggunakan tiga variabel eksogen tersebut. Hasil model struktural yang tidak baik di atas tidaklah mengherankan mengingat hasil penilaian overall fit di awal yang menunjukkan hasil bahwa model tidak fit. Maka
183
terlebih dahulu akan dilakukan respesifikasi atau modifikasi model dengan menggunakan data yang sama di sub-bab selanjutnya, dengan tujuan memperbaiki model awal yang tidak fit tersebut. 4.2.4.9 Modifikasi Model Seperti yang dapat dilihat pada hasil penilaian goodness-of-fit model keseluruhan yang memberikan hasil tidak fit, maka dilakukan modifikasi pada model awal yang tidak fit tersebut.
A. MODIFIKASI 1 (MODEL A) Dari analisis model pengukuran pada sub-bab sebelumnya, ditemukan beberapa indikator yang tidak valid, baik pada taraf 5%, 10%, maupun 20%, serta indikator-indikator yang memiliki reliabilitas rendah. Karena indikator-indikator tersebut adalah tidak reliabel dan tidak (kurang valid), sehingga kontribusinya terhadap variabel laten dipertanyakan. Alternatif terbaik untuk meningkatkan model fit adalah dengan meningkatkan kontribusi indikator terhadap variabel laten (Ghozali & Fuad, 2005, p213). Maka, hal pertama yang akan dilakukan dalam modifikasi model awal adalah dengan menghilangkan variabel observed yang paling dipertanyakan kontribusinya (paling tidak valid dan tidak reliabel) sebagai indikator dari variabel latennya. Di bawah ini adalah indikator-indikator paling tidak valid dan tidak reliabel, diurutkan mulai dari indikator dengan nilai validitas dan reliabilitas terkecil :
PP12 =
- 0.065*pp, Errorvar.= 1.29 , R² = 0.0033 (0.099) (0.13) -0.66 9.97
LT22 = 0.035*lt, Errorvar.= 0.79 , R² = 0.0016 (0.074) (0.079) 0.48 9.97
184
PP23 = 0.16*pp, Errorvar.= 0.71 , R² = 0.035 (0.13) (0.072) 1.25 9.88 PP12 memiliki t-value terendah : -0.66, dan R2 = 0.0033. Maka, variabel manifest atau indikator yang akan dihilangkan untuk pertama kali adalah indikator dari variabel laten Pembelian Pengunjung (PP), yakni PP12 : “Mengunjungi sedikit toko dalam setahun”. Indikator tersebut dapat menjadi tidak valid dan reliabel karena definisi sedikit toko tidak sama bagi setiap pengunjung, dan mereka lebih memiliki pemahaman yang sama atas pernyataan ekstrim seperti “banyak” atau “hanya satu”.
Hasil pengolahan modifikasi pertama dapat dilihat pada lampiran. Berikut sebagian output SIMPLIS :
W_A_R_N_I_N_G: PHI is not positive definite W_A_R_N_I_N_G: The solution was found non-admissible after 50 iterations. The following solution is preliminary and is provided only for the purpose of tracing the source of the problem. Setting AD> 50 or AD=OFF may solve the problem
Output di atas merupakan hasil model modifikasi pertama yang tidak dapat diidentifikasi (model does not converge). Model mengalami specification error yang timbul karena dihapusnya hubungan antara indikator PP12 dengan variabel latennya PP (Pembelian Pengunjung), yang berarti bahwa indikator PP12 seharusnya tidak dihilangkan dari model. Pernyataan WARNING yang kedua menginformasikan bahwa LISREL tidak dapat menghasilkan estimasi yang benar dan reliabel selama 50 proses iterasi. Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan memberikan perintah Options: AD>50 IT=100, yang mengijinkan program untuk melakukan iterasi lebih dari
185
50. Akan tetapi, Joreskog & Sorbom (1996) menyatakan bahwa hal tersebut akan sia-sia karena biasanya model yang baik akan langsung menghasilkan nilai estimasi beserta standar
error-nya hanya dalam beberapa iterasi. Oleh karena itu, PP12 tidak akan dihilangkan dari model dan kembali menggunakan model awal untuk modifikasi selanjutnya.
B. MODIFIKASI 2 (MODEL B) Modifikasi kedua tetap mengacu kepada model awal, dan dilakukan dengan menghilangkan indikator paling tidak valid dan tidak reliabel kedua, yakni LT22 : “Keberadaan toko lain di sekitar MDS bersifat substitusi bagi MDS”. LT22 merupakan indikator dari variabel laten Lokasi Toko. LT22 memiliki t-value sebesar 0.48, dan R2 = 0.0016. Hasil pengolahan modifikasi kedua (dapat dilihat pada lampiran) menghasilkan model yang lebih baik. Berikut indeks goodness-of-fit model modifikasi kedua: Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 1027 Minimum Fit Function Chi-Square = 2285.22 (P = 0.0) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 2444.90 (P = 0.0) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1417.90 90 Percent Confidence Interval for NCP = (1277.10 ; 1566.34) Minimum Fit Function Value = 11.48 Population Discrepancy Function Value (F0) = 7.13 90 Percent Confidence Interval for F0 = (6.42 ; 7.87) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.083 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.079 ; 0.088) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 13.30 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (12.59 ; 14.05) ECVI for Saturated Model = 11.34 ECVI for Independence Model = 20.87
186
Chi-Square for Independence Model with 1081 Degrees of Freedom = 4059.45 Independence AIC = 4153.45 Model AIC = 2646.90 Saturated AIC = 2256.00 Independence CAIC = 4355.47 Model CAIC = 3081.03 Saturated CAIC = 7104.50 Normed Fit Index (NFI) = 0.44 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.56 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.42 Comparative Fit Index (CFI) = 0.58 Incremental Fit Index (IFI) = 0.59 Relative Fit Index (RFI) = 0.41 Critical N (CN) = 99.87 Root Mean Square Residual (RMR) = 0.079 Standardized RMR = 0.091 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.66 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.62 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.60 a. Chi-Square dan P Model B mengalami penurunan nilai chi-square menjadi sebesar 2285.22 dengan 1027
degrees of freedom. Probabilitas chi-square adalah signifikan (P=0.0) yang berarti bahwa model tidak fit. Demikian pula dengan Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square yang juga memiliki nilai P yang signifikan (P=0.0), yang berarti bahwa model adalah tidak fit.
b. x2/df Rasio perbandingan antara nilai chi-square dengan degrees of freedom pada model B mengalami
penurunan
(membaik),
yakni
2285.22/1027
=
2.225.
Hasil
tersebut
menunjukkan bahwa model B termasuk acceptable fit. Selain itu, hasil tersebut lebih rendah dari cut-off model fit yang disarankan oleh Wheaton (1977), yaitu 5, dan sedikit lebih tinggi daripada yang dianjurkan oleh Carmines dan Melver (1982), yaitu 2. Sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dengan mengendalikan kompleksitas model (yang
187
diproksikan dengan jumlah degrees of freedom), model sebenarnya memiliki fit yang cukup baik.
c. RMSEA RMSEA model B juga membaik, yakni sebesar 0.083. Nilai tersebut menunjukkan bahwa model acceptable fit ( < 0.1). Sedangkan, 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.079 ; 0.088) mengindikasikan bahwa nilai RMSEA tersebut memiliki ketepatan yang tidak baik, yang mana nilai batas kiri confidence interval tersebut menunjukkan nilai yang jauh dari nol (left boundary of CI = 0.00 -> good-fit). Begitu pula dengan P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00 yang lebih kecil dari 0.1 (Schermelleh-Engel et al, 2003) , dan jauh lebih kecil daripada 0.5 sebagaimana yang disarankan oleh Joreskog dan Sorbom (1996). Dengan kata lain, kita ingin menerima hipotesis null yang menyatakan bahwa RMSEA model kurang daripada 0.05. Akan tetapi, nilai yang signifikan tersebut (< 0.5) mengindikasikan bahwa RMSEA tidak kurang daripada 0.05. Namun, nilai CI tersebut termasuk kategori Acceptable Fit (90% CI = close to RMSEA).
d. NNFI Nilai NNFI model B mengalami peningkatan hingga senilai 0.56. Namun, nilai tersebut masih lebih kecil dari 0.95, sehingga dapat disimpulkan bahwa model tidak fit.
e. CFI Suatu model dikatakan baik apabila memiliki nilai CFI yang mendekati 1 dan 0.95 adalah batas model fit (Schermelleh-Engel et al, 2003). Sementara menurut Bentler (1990), batas
188
model fit adalah 0.9. Model B mengalami peningkatan nilai CFI sebesar 0.58, namun model masih dinyatakan tidak fit.
f. SRMR SRMR digunakan untuk mengatasi masalah ketergantungan RMR terhadap ukuran varians dan kovarians dari variabel teramati. Nilai SRMR
£
1 adalah batas model fit. Model B
mengalami penurunan nilai SRMR hingga sebesar 0.091, dan masih dapat diterima sebagai
acceptable fit.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa model B masih memiliki kinerja yang tidak baik walaupun telah mengalami perbaikan yang membuktikan bahwa dengan dihilangkannya LT22 dapat memberikan peningkatan pada kontribusi indikator-indikator lokasi toko terhadap variabel latennya. Hal tersebut juga memberikan informasi bahwa pengunjung tidak menganggap toko-toko lain di sekitar MDS Mal Ciputra sebagai substitusi yang kuat, khususnya karena MDS memiliki pilihan produk yang lebih banyak dibandingkan dengan toko-toko kecil di sekitar MDS Mal Ciputra. Oleh karena itu, akan dilakukan modifikasi kembali dengan menggunakan model B. Modifikasi yang akan dilakukan adalah dengan menghilangkan indikator yang paling tidak valid dan tidak reliabel pada hasil estimasi pada model B. Tabel 4.8 memberikan ringkasan hasil di atas.
Tabel 4.8. Penilaian Model Fit Model B Indeks Fit
Model B
Syarat Kriteria
X2 (df)
2285.22 (1027)
0 £ X2 £ 2df = Good Fit ; 2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
P-value
0.0
.05 < p £ 1.00 = Good Fit ;
189
.01 £ p £ .05 = Acceptable Fit 2
X / df
2.225
0 £ X2 £ 2df = Good Fit ; 2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
RMSEA
0.083
0 £ RMSEA £ .05 = Good Fit ; .05< RMSEA £ .10 = Acceptable Fit
P-value for test of close fit
0.00
(RMSEA <0 .05) 90% CI
.10 < p £ 1.00 = Good Fit ; .05 £ p £ .10 = Acceptable Fit
0.079 ; 0.088
close to RMSEA, left boundary of CI = .00 = Good Fit; close to RMSEA = Acceptable Fit
NNFI
0.56
.97 £ NNFI £ 1.00 = Good Fit ; .95 £ NNFI < .97 = Acceptable Fit
CFI
0.58
.97 £ CFI £ 1.00 = Good Fit ; .95 £ CFI < .97 = Acceptable Fit
SRMR
0.091
0 £ SRMR £ .05 = Good Fit ; .05 < SRMR £ .10 = Acceptable Fit
Sumber : Output SIMPLIS hasil pengolahan data
Dengan melihat output model pengukuran pada model B (lihat lampiran), ditemukan satu indikator yang paling tidak valid dan tidak reliabel, yakni : PP12 =
- 0.065*pp, Errorvar.= 1.29 , R2 = 0.0033 (0.099) (0.13) -0.66 9.97
Ternyata indikator yang paling bermasalah tersebut adalah sama dengan indikator yang dihilangkan pada model A (modifikasi pertama). PP12 memiliki nilai t yang tidak signifikan sebesar -0.66 dengan R2 sebesar 0.0033. Oleh karena itu, PP12 : “Mengunjungi sedikit toko dalam setahun”, akan dihilangkan dari model B untuk modifikasi selanjutnya.
C. MODIFIKASI 3 (MODEL C) Modifikasi ketiga mengacu kepada model B, dan dilakukan dengan menghilangkan indikator -
190
paling tidak valid dan tidak reliabel pada hasil estimasi model B, yakni PP12 : “Mengunjungi sedikit toko dalam setahun”. PP12 merupakan indikator dari variabel laten Pembelian Pengunjung. PP12 memiliki t-value sebesar -0.66, dan R2 = 0.0033. Hasil pengolahan modifikasi ketiga (dapat dilihat pada lampiran) menghasilkan model yang lebih baik. Berikut indeks goodness-of-fit model modifikasi ketiga: Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 982 Minimum Fit Function Chi-Square = 2165.26 (P = 0.0) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 2320.76 (P = 0.0) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1338.76 90 Percent Confidence Interval for NCP = (1201.83 ; 1483.35) Minimum Fit Function Value = 10.88 Population Discrepancy Function Value (F0) = 6.73 90 Percent Confidence Interval for F0 = (6.04 ; 7.45) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.083 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.078 ; 0.087) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 12.66 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (11.97 ; 13.38) ECVI for Saturated Model = 10.86 ECVI for Independence Model = 20.26 Chi-Square for Independence Model with 1035 Degrees of Freedom = 3938.95 Independence AIC = 4030.95 Model AIC = 2518.76 Saturated AIC = 2162.00 Independence CAIC = 4228.67 Model CAIC = 2944.30 Saturated CAIC = 6808.48 Normed Fit Index (NFI) = 0.45 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.57 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.43 Comparative Fit Index (CFI) = 0.59 Incremental Fit Index (IFI) = 0.60 Relative Fit Index (RFI) = 0.42 Critical N (CN) = 101.00 Root Mean Square Residual (RMR) = 0.077 Standardized RMR = 0.089
191
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.66 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.63 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.60 a. Chi-Square dan P Model C mengalami penurunan nilai chi-square menjadi sebesar 2165.26 dengan 982
degrees of freedom. Probabilitas chi-square adalah signifikan (P=0.0) yang berarti bahwa model tidak fit. Demikian pula dengan Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square yang juga memiliki nilai P yang signifikan (P=0.0), yang berarti bahwa model adalah tidak fit.
b. x2/df Rasio perbandingan antara nilai chi-square dengan degrees of freedom pada model C mengalami penurunan (membaik), yakni 2165.26/982 = 2.205. Hasil tersebut menunjukkan bahwa model C termasuk acceptable fit. Selain itu, hasil tersebut lebih rendah dari cut-off model fit yang disarankan oleh Wheaton (1977), yaitu 5, dan sedikit lebih tinggi daripada yang dianjurkan oleh Carmines dan Melver (1982), yaitu 2. Sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dengan mengendalikan kompleksitas model (yang diproksikan dengan jumlah degrees of freedom), model sebenarnya memiliki fit yang cukup baik.
c. RMSEA RMSEA model C tidak berubah, yakni sebesar 0.083. Nilai tersebut menunjukkan bahwa model acceptable fit ( < 0.1). Sementara 90 Percent Confidence Interval for RMSEA
=
(0.078
;
0.087) mengalami penurunan (membaik) sebesar 0.001. Ia
mengindikasikan bahwa nilai RMSEA tersebut memiliki ketepatan yang masih tidak baik, yang mana nilai batas kiri confidence interval tersebut menunjukkan nilai yang jauh dari nol (left
192
boundary of CI = 0.00 -> good-fit). Namun, nilai CI tersebut termasuk kategori Acceptable Fit (90% CI = close to RMSEA). Begitu pula dengan P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00 yang lebih kecil dari 0.1 (Schermelleh-Engel et al, 2003) , dan jauh lebih kecil daripada 0.5 sebagaimana yang disarankan oleh Joreskog dan Sorbom (1996). Dengan kata lain, kita ingin menerima hipotesis null yang menyatakan bahwa RMSEA model kurang daripada 0.05. Akan tetapi, nilai yang signifikan tersebut (< 0.5) mengindikasikan bahwa RMSEA tidak kurang daripada 0.05.
d. NNFI Nilai NNFI model C mengalami peningkatan hingga senilai 0.57. Namun, nilai tersebut masih lebih kecil dari 0.95, sehingga dapat disimpulkan bahwa model tidak fit.
e. CFI Suatu model dikatakan baik apabila memiliki nilai CFI yang mendekati 1 dan 0.95 adalah batas model fit (Schermelleh-Engel et al, 2003). Sementara menurut Bentler (1990), batas model fit adalah 0.9. Model C mengalami peningkatan nilai CFI hingga sebesar 0.59, namun model masih dinyatakan tidak fit.
f. SRMR Nilai SRMR
£
1 adalah batas model fit. Model C mengalami penurunan nilai SRMR hingga
sebesar 0.089, dan dapat diterima sebagai acceptable fit.
193
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa model C masih memiliki kinerja yang tidak baik, tetapi telah mengalami sedikit perbaikan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan dihilangkannya PP12 : “Mengunjungi sedikit toko dalam setahun”, telah meningkatkan kontribusi indikator-indikator pembelian pengunjung terhadap variabel latennya. Hal tersebut dapat terjadi karena definisi sedikit toko tidak sama bagi setiap pengunjung, dan mereka lebih memiliki pemahaman yang sama atas pernyataan ekstrim seperti “banyak” atau “hanya satu”. Perbaikan yang terjadi sangat sedikit, nilai RMSEA bahkan tidak berubah, sehingga masih akan dilakukan modifikasi kembali dengan menggunakan model C. Modifikasi yang akan dilakukan adalah dengan menghilangkan indikator yang paling tidak valid dan tidak reliabel pada hasil estimasi pada model C. Tabel 4.9 memberikan ringkasan hasil di atas.
Tabel 4.9. Penilaian Model Fit Model C Indeks Fit 2
X (df)
Model C
Syarat Kriteria
2165.26(982)
0 £ X2 £ 2df = Good Fit ; 2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
P-value
0.0
.05 < p £ 1.00 = Good Fit ; .01 £ p £ .05 = Acceptable Fit
X2 / df
2.205
0 £ X2 £ 2df = Good Fit ; 2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
RMSEA
0.083
0 £ RMSEA £ .05 = Good Fit ; .05< RMSEA £ .10 = Acceptable Fit
P-value for test of close fit
0.00
(RMSEA <0 .05) 90% CI
.10 < p £ 1.00 = Good Fit ; .05 £ p £ .10 = Acceptable Fit
0.078 ; 0.087
close to RMSEA, left boundary of CI = .00 = Good Fit; close to RMSEA = Acceptable Fit
NNFI
0.57
.97 £ NNFI £ 1.00 = Good Fit ; .95 £ NNFI < .97 = Acceptable Fit
194
CFI
0.59
.97 £ CFI £ 1.00 = Good Fit ; .95 £ CFI < .97 = Acceptable Fit
SRMR
0.089
0 £ SRMR £ .05 = Good Fit ; .05 < SRMR £ .10 = Acceptable Fit
Sumber : Output SIMPLIS hasil pengolahan data
Dengan melihat output model pengukuran pada model C (lihat lampiran), ditemukan satu indikator yang paling bermasalah, yakni : PP21 = 0.96*pp, Errorvar.= 0.17 , R2 = 0.85 (0.72) (0.24) 1.34 0.69 PP21 memiliki nilai t-value dan errorvar yang tidak signifikan pada taraf 5%. Nilai errorvar yang tidak signifikan berarti mengungkapkan bahwa indikator tersebut tidak memiliki kesalahan pengukuran (measurement error). Meskipun sebagai peneliti kita sangat ingin untuk memperkecil nilai measurement error tersebut, namun dalam bidang ilmu sosial dan keperilakuan, tidak adanya kesalahan pengukuran dalam penelitian adalah hal tidak masuk akal dan tidak mungkin (Diamontopoulus dan Siguaw, 2000). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka PP21 : “Sering berkunjung (tiap bulan) di MDS”, akan dihilangkan dari model C untuk modifikasi selanjutnya.
D. MODIFIKASI 4 (MODEL D) Modifikasi selanjutnya mengacu kepada model C, dan dilakukan dengan menghilangkan indikator paling tidak valid dan tidak reliabel pada hasil estimasi model C, yakni PP21 : “Sering berkunjung (tiap bulan) di MDS”.
Hasil pengolahan modifikasi keempat (dapat dilihat pada lampiran) menghasilkan model yang lebih baik. Berikut indeks goodness-of-fit model modifikasi keempat:
195
Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 938 Minimum Fit Function Chi-Square = 2061.12 (P = 0.0) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 2190.28 (P = 0.0) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = 1252.28 90 Percent Confidence Interval for NCP = (1119.59 ; 1392.64) Minimum Fit Function Value = 10.36 Population Discrepancy Function Value (F0) = 6.29 90 Percent Confidence Interval for F0 = (5.63 ; 7.00) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 0.082 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.077 ; 0.086) P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 11.98 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (11.31 ; 12.69) ECVI for Saturated Model = 10.40 ECVI for Independence Model = 19.47 Chi-Square for Independence Model with 990 Degrees of Freedom = 3783.99 Independence AIC = 3873.99 Model AIC = 2384.28 Saturated AIC = 2070.00 Independence CAIC = 4067.41 Model CAIC = 2801.22 Saturated CAIC = 6518.76 Normed Fit Index (NFI) = 0.46 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.58 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.43 Comparative Fit Index (CFI) = 0.60 Incremental Fit Index (IFI) = 0.61 Relative Fit Index (RFI) = 0.43 Critical N (CN) = 101.58 Root Mean Square Residual (RMR) = 0.073 Standardized RMR = 0.087 Goodness of Fit Index (GFI) = 0.67 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.64 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.61 a. Chi-Square dan P Model D mengalami penurunan nilai chi-square menjadi sebesar 2061.12 dengan 938
degrees of freedom. Probabilitas chi-square adalah signifikan (P=0.0) yang berarti bahwa
196
model tidak fit. Demikian pula dengan Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square yang juga memiliki nilai P yang signifikan (P=0.0), yang berarti bahwa model adalah tidak fit.
b. x2/df Rasio perbandingan antara nilai chi-square dengan degrees of freedom pada model D mengalami penurunan (membaik), yakni 2061.12/938 = 2.197. Hasil tersebut menunjukkan bahwa model D termasuk acceptable fit. Selain itu, hasil tersebut lebih rendah dari cut-off model fit yang disarankan oleh Wheaton (1977), yaitu 5, dan sedikit lebih tinggi daripada yang dianjurkan oleh Carmines dan Melver (1982), yaitu 2. Sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dengan mengendalikan kompleksitas model (yang diproksikan dengan jumlah degrees of freedom), model sebenarnya memiliki fit yang cukup baik.
c. RMSEA RMSEA model D mengalami penurunan (membaik), yakni sebesar 0.082. Nilai tersebut menunjukkan bahwa model acceptable fit ( < 0.1). Sementara, Byrne (1998) menyatakan bahwa nilai RMSEA yang kurang daripada 0.05 mengindikasikan adanya model fit, dan nilai RMSEA yang berkisar antara 0.08 menyatakan bahwa model memiliki perkiraan kesalahan yang reasonable. Lebih lanjut, MacCallum et al. (1996) menyatakan bahwa RMSEA berkisar antara 0.08 sampai dengan 0.1 menyatakan bahwa model memiliki fit yang cukup (mediocre). 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.077 ; 0.086) mengalami penurunan (membaik). Ia mengindikasikan bahwa nilai RMSEA tersebut memiliki ketepatan yang masih tidak baik, yang mana nilai batas kiri confidence interval tersebut menunjukkan nilai yang jauh dari nol (left boundary of CI = 0.00 -> good-fit). Namun, nilai CI tersebut termasuk kategori Acceptable Fit (90% CI = close to RMSEA).
197
P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.00 lebih kecil dari 0.1 (Schermelleh-Engel et al, 2003) , dan jauh lebih kecil daripada 0.5 sebagaimana yang disarankan oleh Joreskog dan Sorbom (1996). Kita ingin menerima hipotesis null yang menyatakan bahwa RMSEA model kurang daripada 0.05. Akan tetapi, nilai yang signifikan tersebut (< 0.5) mengindikasikan bahwa RMSEA tidak kurang daripada 0.05.
d. NNFI Nilai NNFI model D mengalami peningkatan hingga senilai 0.58. Namun, nilai tersebut masih lebih kecil dari 0.95, sehingga dapat disimpulkan bahwa model tidak fit.
e. CFI Suatu model dikatakan baik apabila memiliki nilai CFI yang mendekati 1 dan 0.95 adalah batas model fit (Schermelleh-Engel et al, 2003). Sementara menurut Bentler (1990), batas model fit adalah 0.9. Model D mengalami peningkatan nilai CFI hingga sebesar 0.60, namun model masih dinyatakan tidak fit.
f. SRMR Nilai SRMR
£
1 adalah batas model fit. Model D mengalami penurunan nilai SRMR hingga
sebesar 0.087, dan dapat diterima sebagai acceptable fit.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa model D masih memiliki kinerja yang tidak sempurna, tetapi telah mengalami perbaikan yang lebih baik, khususnya dengan adanya penurunan nilai RMSEA yang menyatakan bahwa penyimpangan nilai parameter pada model dengan matriks kovarians populasinya semakin kecil, sehingga model lebih dapat diandalkan.
198
Tabel 4.10. Penilaian Model Fit : “Model D” Indeks Fit 2
X (df)
Model D
Syarat Kriteria
2061.12(938)
0 £ X2 £ 2df = Good Fit ; 2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
P-value
0.0
.05 < p £ 1.00 = Good Fit ; .01 £ p £ .05 = Acceptable Fit
2
X / df
2.197
0 £ X2 £ 2df = Good Fit ; 2df < X2 £ 3df = Acceptable Fit
RMSEA
0.082
0 £ RMSEA £ .05 = Good Fit ; .05< RMSEA £ .10 = Acceptable Fit
P-value for test of close fit
0.00
(RMSEA <0 .05) 90% CI
.10 < p £ 1.00 = Good Fit ; .05 £ p £ .10 = Acceptable Fit
0.077 ; 0.086
close to RMSEA, left boundary of CI = .00 = Good Fit; close to RMSEA = Acceptable Fit
NNFI
0.58
.97 £ NNFI £ 1.00 = Good Fit ; .95 £ NNFI < .97 = Acceptable Fit
CFI
0.60
.97 £ CFI £ 1.00 = Good Fit ; .95 £ CFI < .97 = Acceptable Fit
SRMR
0.087
0 £ SRMR £ .05 = Good Fit ; .05 < SRMR £ .10 = Acceptable Fit
Sumber : Output SIMPLIS hasil pengolahan data
Melihat hasil model pengukuran pada model D (lihat lampiran), maka tidak terdapat lagi variabel manifest atau indikator-indikator yang tidak signifikan (baik pada taraf 1%, 5%, 10%, maupun 20%). Maka selanjutnya modifikasi akan dilakukan dengan melihat
modification indices yang dilihat pada format SIMPLIS. Berikut adalah hasil saran modifikasi dari LISREL dalam format SIMPLIS pada model D: The Modification Indices Suggest to Add the Path to from Decrease in Chi-Square ST31 lt 12.1
New Estimate 0.45
The Modification Indices Suggest to Add an Error Covariance Between and Decrease in Chi-Square New Estimate LYT12 LYT11 25.2 0.34
199
LYT22 LYT22 LYT33 LYT36 PP23 PP23 PP23 ST12 ST15 ST15 ST16 ST16 ST16 ST23 ST24 ST26 ST26 ST27 ST28 ST28 ST29 ST210 ST210 ST210 ST31 ST31 ST31 ST32 ST33 ST33 ST33 ST34 ST34 ST34 LT12 LT13 LT13 LT13 LT13 LT13 LT13 LT13 LT13 LT21 LT21 VM11 VM12 VM12 VM13 VM13 VM14 VM21
LYT11 LYT12 LYT32 LYT33 LYT11 LYT22 PP22 ST11 LYT33 ST14 LYT35 ST13 ST14 ST21 ST23 LYT12 LYT22 ST26 LYT34 ST13 LYT22 LYT31 ST16 ST29 LYT22 LYT31 PP13 PP13 LYT31 LYT33 ST24 LYT31 ST22 ST33 LYT11 LYT11 LYT12 LYT22 ST12 ST21 ST25 ST26 ST31 ST25 ST31 ST211 LT13 VM11 LYT32 PP13 ST33 LYT21
55.1 16.5 17.2 9.9 18.5 19.0 12.0 11.1 12.9 8.6 9.5 17.0 18.5 9.6 12.6 8.2 11.0 16.2 9.0 9.6 10.6 11.1 8.5 39.6 11.8 9.3 8.8 11.2 55.4 10.0 9.3 28.5 11.9 32.9 8.4 16.4 8.8 24.6 8.6 10.4 12.0 9.4 12.6 8.4 24.5 9.9 9.4 29.7 9.3 7.9 8.9 9.1
0.42 0.27 0.09 -0.08 0.23 0.23 0.26 0.20 0.09 0.10 -0.07 0.12 0.16 0.16 0.17 0.22 0.21 0.20 0.10 -0.10 -0.16 -0.09 -0.09 0.24 -0.23 -0.13 0.26 0.19 0.21 -0.09 -0.14 0.14 -0.12 0.18 0.10 0.25 0.21 0.30 0.19 0.23 -0.26 0.21 -0.26 0.21 0.33 0.09 0.11 0.15 0.06 -0.14 0.09 0.11
200
VM21 VM21 VM22 VM22 VM22 VM22 VM22
ST16 VM12 ST21 ST31 LT13 LT21 VM21
9.1 8.3 8.9 16.3 8.1 15.3 21.3
-0.12 -0.10 -0.19 0.26 -0.16 0.21 0.24
Saran modifikasi yang diberikan oleh LISREL tersebut memberikan informasi akan besar penurunan nilai chi-square dan nilai estimasi yang akan dihasilkan, apabila menambah
path langsung (indikator composite) ataupun membebaskan parameter tertentu. Penurunan chi-square di atas semuanya akan memberikan hasil indeks goodness-of-fit yang lebih baik. Akan tetapi, saran-saran tersebut tidak akan diikuti karena tidak sesuai atau tidak dapat dijustifikasi dengan teori yang ada. Adalah lebih baik untuk memiliki teori substantif yang dapat dijadikan dasar dalam melakukan modifikasi, karena modifikasi yang tidak berdasarkan atas teori sangatlah tidak disarankan (Field, 2000). Lebih jelasnya, akan dibahas satu per satu mengenai saran modifikasi di atas. The Modification Indices Suggest to Add the Path to from Decrease in Chi-Square ST31 lt 12.1
New Estimate 0.45
Saran pertama adalah dengan memberikan path langsung dari variabel laten LT (Lokasi Toko) ke ST31 (indikator Suasana Toko : “Banyaknya pengunjung lain”). Hal ini tidak dapat dilakukan karena hal tersebut berarti menjadikan variabel manifest atau indikator ST31 menjadi indikator komposit dari variabel LT dan ST. Seperti yang telah disampaikan di bab metodologi penelitian di dalam sub-bab operasionalisasi variabel, bahwa indikator-indikator untuk masing-masing variabel baik LT maupun ST telah ditentukan berdasarkan pada teori dan penelitian-penelitian yang ada, yang mana tidak menyatakan bahwa terdapat indikator dari variabel suasana toko yang juga merupakan indikator dari variabel lokasi toko. Dengan demikian, saran tersebut tidak dapat dibenarkan secara teori.
201
Saran selanjutnya adalah dengan mengkorelasikan error di antara indikator-indikator (membebaskan parameter). The Modification Indices Suggest to Add an Error Covariance Between and Decrease in Chi-Square New Estimate LYT12 LYT11 25.2 0.34 LYT22 LYT11 55.1 0.42 LYT22 LYT12 16.5 0.27 LYT33 LYT32 17.2 0.09 LYT36 LYT33 9.9 -0.08 PP23 LYT11 18.5 0.23 PP23 LYT22 19.0 0.23 PP23 PP22 12.0 0.26 ST12 ST11 11.1 0.20 ST15 LYT33 12.9 0.09 ST15 ST14 8.6 0.10 ST16 LYT35 9.5 -0.07 ST16 ST13 17.0 0.12 ST16 ST14 18.5 0.16 ST23 ST21 9.6 0.16 ST24 ST23 12.6 0.17 ST26 LYT12 8.2 0.22 ST26 LYT22 11.0 0.21 ST27 ST26 16.2 0.20 ST28 LYT34 9.0 0.10 ST28 ST13 9.6 -0.10 ST29 LYT22 10.6 -0.16 ST210 LYT31 11.1 -0.09 ST210 ST16 8.5 -0.09 ST210 ST29 39.6 0.24 ST31 LYT22 11.8 -0.23 ST31 LYT31 9.3 -0.13 ST31 PP13 8.8 0.26 ST32 PP13 11.2 0.19 ST33 LYT31 55.4 0.21 ST33 LYT33 10.0 -0.09 ST33 ST24 9.3 -0.14 ST34 LYT31 28.5 0.14 ST34 ST22 11.9 -0.12 ST34 ST33 32.9 0.18 LT12 LYT11 8.4 0.10 LT13 LYT11 16.4 0.25 LT13 LYT12 8.8 0.21 LT13 LYT22 24.6 0.30 LT13 ST12 8.6 0.19 LT13 ST21 10.4 0.23 LT13 ST25 12.0 -0.26 LT13 ST26 9.4 0.21 LT13 ST31 12.6 -0.26 LT21 ST25 8.4 0.21 LT21 ST31 24.5 0.33
202
VM11 VM12 VM12 VM13 VM13 VM14 VM21 VM21 VM21 VM22 VM22 VM22 VM22 VM22
ST211 LT13 VM11 LYT32 PP13 ST33 LYT21 ST16 VM12 ST21 ST31 LT13 LT21 VM21
9.9 9.4 29.7 9.3 7.9 8.9 9.1 9.1 8.3 8.9 16.3 8.1 15.3 21.3
0.09 0.11 0.15 0.06 -0.14 0.09 0.11 -0.12 -0.10 -0.19 0.26 -0.16 0.21 0.24
Error dari masing-masing indikator dalam penelitian ini disebabkan oleh adanya hal-hal eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh pihak MDS, seperti suasana toko, lokasi toko, dan variasi merchandise yang lebih baik atau berbeda dari para pesaing dalam kondisi persaingan yang semakin ketat, serta kondisi psikologis ataupun karakter (internal) konsumen yang berbeda-beda, sehingga menyebabkan terganggunya loyalitas konsumen ataupun pembelian mereka dalam hal pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja. Dan bukan terkait dengan error dari indikator-indikator seperti yang disarankan di atas. Hal ini juga dikemukakan di dalam artikel harian-global.com, yakni bahwa bisnis ritel kini hanyut dalam arus yang semuanya bermuara pada apa yang diinginkan konsumen. Kemudahan, kenyamanan, harga murah dan kualitas produk, diberikan oleh semua kompetitor bisnis tersebut. Banyaknya pilihan tempat berbelanja juga menjadikan konsumen tidak loyal terhadap satu gerai atau satu merek perusahaan ritel tertentu. Karena konsumen dapat dengan leluasa berpindah-pindah belanja dari satu gerai ke gerai yang lain untuk mencari yang paling cocok. Faktor daya tariknya mencakup aspek kenyamanan tempat, akses transportasi menuju ke lokasi dan penawaran harga produk (“Konsumen Semakin Tidak
Loyal, Kenapa?”, 10 Oktober 2007). Maka, penelitian ini tidak akan mengikuti hasil saran di atas untuk mengkorelasikan error dari antara kedua indikator tertentu dan akan tetap menggunakan model D sebagai model yang terbaik.
203
Selain itu, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya pada Bab Metodologi Penelitian, perlu diperhatikan bahwa indeks-indeks fit di atas tersebut (X2 and its associated
p-value, X2/df, RMSEA and its associated confidence interval, SRMR, NNFI, dan CFI) dapat terpengaruh oleh model misspecification, small-sample bias, efek dari pelanggaran normalitas dan kemandirian (independence), serta efek-efek dari metode estimasi yang digunakan (Hu & Bentler, 1998), maka adalah selalu mungkin bahwa sebuah model adalah fit dengan data walaupun satu pengukuran fit atau lebih memberikan nilai
bad fit (Schermelleh-Engel et al., 2003, p53). Berdasarkan hal tersebut, dan kenyataan bahwa penelitian ini memiliki data yang menunjukkan adanya pelanggaran normalitas, maka model D dengan 5 indeks kecocokan model dari total 9 indeks fit yang digunakan menunjukkan acceptable fit (nilai-nilai yang diberi Bold pada Tabel 4.9), menunjukkan bahwa model D adalah moderately fit dengan data, walaupun 4 indeks kecocokan model lainnya (nilai-nilai yang tidak diberi Bold pada Tabel 4.9) menunjukkan bahwa model adalah tidak fit. Selanjutnya, mari kita melihat dan membandingkan normal probability (Q-plots), yang menunjukkan asumsi terpenuhi tidaknya asumsi normalitas dan juga kemungkinan model fit dari setiap model (lihat lampiran). Model awal memiliki garis residual yang hampir sejajar dengan garis diagonal, meskipun pada puncak gambar Q-plots menunjukkan adanya penyimpangan normalitas. Pola yang tidak linear tersebut menunjukkan bahwa terdapat indikasi bahwa data menyimpang dari asumsi normalitas, linearitas, atau bahkan dapat
spesification errors (model yang tidak sempurna yang timbul akibat dimasukkan variabel atau indikator yang tidak relevan dan/atau dihilangkannya variabel/indikator yang relevan). Namun, seiring dengan modifikasi model yang dilakukan dengan menghilangkan indikatorindikator yang paling dipertanyakan kontribusinya terhadap variabel latennya di atas, garis residual tersebut tampak semakin berkumpul dan sejajar dengan garis diagonal, dan puncak
204
gambar Q-plots menunjukkan penyimpangan normalitas yang semakin mengecil. Garis residual ditunjukkan dengan tanda bintang (*) dan silang (x), tampak jelas bahwa tandatanda bintang dan silang tersebut dari yang terpecah-pecah di model awal menjadi semakin menyatu selama proses modifikasi hingga model D. Model D memiliki kemungkinan
acceptable fit terbaik karena garis residualnya adalah yang paling sejajar dengan garis diagonal, memiliki kecuraman lebih besar daripada 45 derajat, serta menunjukkan penyimpangan normalitas yang paling kecil.
4.2.4.10 Validasi Silang Model Setelah melihat hasil di atas, maka tahap terakhir dari proses SEM adalah melakukan validasi silang model, yaitu menguji fit-tidaknya model terhadap suatu data baru (atau validasi sub-sampel yang diperoleh melalui prosedur pemecahan sampel). Validasi silang ini penting hanya apabila terdapat modifikasi yang substantial yang dilakukan terhadap model asli (Ghozali & Fuad, 2005, p10). Oleh karena dalam penelitian ini tidak terdapat modifikasi yang substantial yang dilakukan terhadap model aslinya, maka tahap ini tidak perlu dilakukan. Walaupun demikian, akan diberikan pembahasan singkat mengenai validasi silang model D. Hasil validasi silang tersebut dapat dilihat pada indeks ECVI (Expected Cross
Validation Index). ECVI digunakan untuk menilai kecenderungan bahwa model, pada sampel tunggal, cross validates (dapat divalidasi silang) pada ukuran sampel dan populasi yang sama (Browne & Cudeck, 1989). ECVI mengukur penyimpangan antara fitted (model)
covariance matrix pada sampel yang dianalisis dan kovarians matriks yang akan diperoleh pada sampel lain tetapi yang memiliki ukuran sampel yang sama besar (Byrne, 1998). Model yang memiliki ECVI terendah berarti model tersebut sangat potensial untuk direplikasi. Nilai ECVI model yang lebih rendah daripada ECVI yang diperoleh pada saturated model dan
205
independence model, mengindikasikan bahwa model adalah fit (Byrne, 1998). Berikut hasil output indeks tersebut. Expected Cross-Validation Index (ECVI) = 11.98 90 Percent Confidence Interval for ECVI = (11.31 ; 12.69) ECVI for Saturated Model = 10.40 ECVI for Independence Model = 19.47 Hasil output tersebut menunjukkan nilai ECVI sebesar 11.98. Sementara ECVI for Saturated
Model sebesar 10.40 dan ECVI for Independence Model sebesar 19.47. Sehingga, karena nilai ECVI jauh lebih kecil daripada nilai ECVI for Independence Model, dan hanya sedikit lebih besar dari nilai ECVI for Saturated Model, maka dapat disimpulkan bahwa model D cukup fit dan dapat direplikasi untuk sampel lain yang memiliki ukuran yang sama besar. Dengan demikian, langkah selanjutnya adalah melakukan uji hipotesis pada model struktural dan analisis hubungan-hubungan antar indikator dengan variabel latennya pada model pengukuran. 4.2.4.11 Uji Sub Hipotesa pada Model Pengukuran Sub-sub hipotesa yang akan diuji adalah : H1-1. Hubungan fungsional yang positif antara Ambient Factors (ST-1), Design Factors
(ST-2), dan Social Factors (ST-3) terhadap suasana toko (ST). H2-1. Hubungan fungsional yang positif antara Aksesbilitas (LT-1) dan Keberadaan toko lain (LT-2) terhadap lokasi toko (LT). H3-1. Hubungan fungsional yang positif antara Variabilitas (VM-1) dan Availibility (VM-2) terhadap variasi merchandise (VM). H4-1. Hubungan fungsional yang positif antara Commitment (LYT-1), Intention to revisit
the store (LYT-2), dan Satisfaction (LYT-3) terhadap loyalitas toko (LYT).
206
H4-2. Hubungan fungsional yang positif antara Average Number of Stores Visited Over a
Year (PP-1) dan Average Number of Visits Over a Year (PP-2) terhadap pembelian pengunjung (PP). Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 3, nilai loading dari model pengukuran merupakan ukuran korelasi antara variabel dan faktornya. Maka, dengan mengacu kepada kriteria tingkat korelasi dari Tabel 3.8, selanjutnya akan dilakukan analisis terhadap hubungan fungsional antara masing-masing indikator dengan variabel latennya. Sementara untuk analisis uji sub hipotesa mengenai hubungan fungsional antar variabel laten akan dibahas di sub-bab uji hipotesa pada model struktural.
A. Hubungan Fungsional Ambient Factors (ST-1), Design Factors (ST-2), dan Social Factors (ST-3) Terhadap Variabel Laten Suasana Toko (ST) Pada bagian ini akan dianalisis hubungan indikator-indikator dalam dimensi ambient
factors, design factors, dan social factors dengan variabel laten suasana toko (uji sub hipotesa H1-1).
A.1. Hubungan Fungsional Ambient Factors (ST-1) Terhadap Variabel Laten Suasana Toko (ST) ST11 = 0.11*st, Errorvar.= 0.79 , R2 = 0.015 (0.067) (0.079) 1.61 9.96 ST-11 (volume musik) memiliki nilai loading sebesar 0.11 yang menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan fungsional yang tidak signifikan terhadap variabel laten Suasana Toko (Tabel 3.8). Seharusnya indikator ini disarankan untuk dihilangkan dari model, tetapi ketika hal ini dilakukan, model mengalami spesifikasi error yang berarti bahwa model membutuhkan
207
indikator tersebut dan dengan demikian tidak akan dihilangkan dari model. Kondisi tersebut dapat terjadi karena volume musik merupakan hal yang tidak disadari dengan kuat oleh para responden, walaupun sebenarnya tingkat volume musik yang digunakan memberikan pengaruh di bawah sadar mereka.
ST12 = 0.15*st, Errorvar.= 0.90 , R2 = 0.023 (0.072) (0.090) 2.02 9.94 ST14 = 0.24*st, Errorvar.= 0.59 , R2 = 0.092 (0.059) (0.060) 4.12 9.84 ST16 = 0.28*st, Errorvar.= 0.45 , R2 = 0.15 (0.052) (0.046) 5.41 9.73 Nilai loading ST12 (disukainya musik), ST14 (kebersihan tembok), dan ST16 (scent) berada di atas kriteria signifikansi 5% untuk ukuran sampel minimum 200 (Tabel 3.8). Hal ini menunjukkan bahwa ST12, ST14, dan ST16 memiliki hubungan yang signifikan (³ +0.14) dengan variabel laten Suasana Toko. Dengan demikian, indikator disukai tidaknya musik, kebersihan tembok, dan aroma yang dirasakan oleh responden memiliki hubungan dengan suasana yang dirasakan oleh pengunjung pada sebuah toko. ST13 = 0.30*st, Errorvar.= 0.38 , R2 = 0.19 (0.049) (0.039) 6.15 9.65 ST15 = 0.36*st, Errorvar.= 0.40 , R2 = 0.25 (0.051) (0.042) 7.10 9.53 Nilai loading ST13 (kebersihan lantai) dan ST15 (kebersihan rak), berada di atas kriteria signifikansi untuk ukuran sampel > 50 (Tabel 3.8). ST13 dan ST15 memiliki nilai loading di atas
+0.30,
yang
berarti
indikator-indikator
tersebut
memiliki
hubungan
yang
208
bermakna/berarti (Bachrudin & Tobing, 2003) terhadap variabel laten Suasana Toko. Dengan demikian, kebersihan lantai maupun kebersihan rak memiliki hubungan dengan suasana toko yang dirasakan oleh pengunjung.
A.2 Hubungan Fungsional Design Factors (ST-2) Terhadap Variabel Laten Suasana Toko (ST) ST21 = 0.30*st, Errorvar.= 1.09 , R2 = 0.075 (0.080) (0.11) 3.71 9.87 ST24 = 0.33*st, Errorvar.= 0.95 , R2 = 0.10 (0.076) (0.097) 4.34 9.82 ST27 = 0.32*st, Errorvar.= 0.46 , R2 = 0.18 (0.054) (0.048) 5.96 9.68 Ketiga indikator di atas, yakni ST21 (penataan produk yang baik), ST24 (perasaan senang ketika berjalan di lorong), dan ST27 (tanda petunjuk yang dimengerti) memiliki nilai loading > +0.30 , yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna/ berarti (signfikan) antara ketiga indikator di atas dan variabel laten suasana toko. Sementara itu, untuk indikator ST24 memiliki nilai loading pada kriteria > +0.30 yang lebih besar dibandingkan kedua indikator lainnya. Hal tersebut memberikan pandangan bahwa perasaan senang ketika berjalan di lorong memberikan efek yang lebih terasa nyata dan berarti bagi suasana toko yang dirasakan oleh pengunjung dibandingkan dengan penataan produk yang baik dan terdapatnya tanda petunjuk yang dimengerti. ST22 = 0.43*st, Errorvar.= 0.57 , R2 = 0.24 (0.061) (0.059) 7.01 9.54 ST29 = 0.49*st, Errorvar.= 0.61
, R2 = 0.28
209
(0.064) 7.62
(0.065) 9.45
ST211 = 0.42*st, Errorvar.= 0.31 , R2 = 0.36 (0.047) (0.033) 8.83 9.22 Nilai loading dari ST22 (kemudahan menemukan barang), ST29 (warna), dan ST211 (lighting) berada pada tingkat signifikansi untuk sampel lebih dari 50, yakni nilai loading > +0.40 (Tabel 3.8). Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan yang lebih bermakna antara ketiga indikator tersebut dengan variabel laten suasana toko (Bachrudin & Tobing, 2003). Dari ketiganya, ST29 memiliki nilai loading yang paling tinggi, yakni 0.49. Hal ini memberikan arti bahwa tema warna dari suatu toko memberikan suasana toko yang paling lebih bermakna, yang dirasakan oleh pengunjung suatu toko. ST23 = 0.52*st, Errorvar.= 0.42 , R2 = 0.39 (0.055) (0.046) 9.29 9.12 ST28 = 0.63*st, Errorvar.= 0.47 , R2 = 0.45 (0.061) (0.053) 10.25 8.86 ST210 = 0.56*st, Errorvar.= 0.41 , R2 = 0.44 (0.056) (0.046) 10.00 8.93 Berikutnya, ST23 (penataan produk yang menarik), ST28 (style), dan ST210 (display), merupakan indikator-indikator yang memiliki nilai loading tertinggi (>+0.50) di antara indikator-indikator dimensi design factors lainnya. Dengan demikian, ketiga indikator tersebut memiliki hubungan yang sangat bermakna terhadap suasana toko yang dirasakan oleh pengunjung. Nilai loading tertinggi dimiliki oleh indikator ST28, yakni 0.63. Maka, dapat disimpulkan bahwa style dari sebuah toko sangat berpengaruh terhadap suasana toko yang dirasakan oleh pengunjungnya.
210
ST25 = 0.25*st, Errorvar.= 1.26 , R2 = 0.047 (0.086) (0.13) 2.90 9.91 ST26 = 0.28*st, Errorvar.= 1.00 , R2 = 0.072 (0.077) (0.10) 3.62 9.87 Terakhir,
indikator-indikator
yang
memenuhi
taraf
signifikansi
5%
adalah
ST25
(kenyamanan) dan ST26 (tanda petunjuk yang membantu) dengan nilai loading ³ 0.14. Hal ini menunjukkan adanya hubungan fungsional yang signifikan antara kenyamanan dan tanda petunjuk yang membantu dengan suasana yang dirasakan oleh pengunjung di sebuah toko.
A.3 Hubungan Fungsional Social Factors (ST-3) Terhadap Variabel Laten Suasana Toko (ST)
ST31 = 0.30*st, Errorvar.= 1.13 , R2 = 0.076 (0.082) (0.11) 3.72 9.87 ST34 = 0.31*st, Errorvar.= 0.41 , R2 = 0.19 (0.051) (0.043) 6.01 9.67 Banyaknya pengunjung lain (ST31) dan keramahan karyawan (ST34) memiliki nilai loading yang memenuhi taraf signifikan untuk kriteria sampel lebih dari 50 (Tabel 3.8). Nilai loading tersebut menunjukkan bahwa ST31 dan ST34 memiliki hubungan yang bermakna/ berarti terhadap variabel laten suasana toko (ST). Dengan adanya hubungan tersebut, maka banyaknya pengunjung lain dan keramahan karyawan berhubungan dengan suasana yang dirasakan oleh pengunjung dari suatu toko, dengan keramahan karyawan sedikit lebih berarti daripada banyaknya pengunjung lain karena nilai loading ST34 (0.31) lebih besar daripada nilai loading ST31 (0.30). Sedangkan, berdasarkan nilai koefisien determinasinya, dapat
211
diketahui bahwa ST31 dapat menjelaskan variabel suasana toko sebesar 7,6% dan ST34 sebesar 19%. ST32 = 0.53*st, Errorvar.= 0.46 , R2 = 0.37 (0.058) (0.051) 9.05 9.17 ST33 = 0.51*st, Errorvar.= 0.42 , R2 = 0.38 (0.055) (0.046) 9.15 9.15 Sementara itu, ST32 (penampilan karyawan) dan ST33 (perilaku karyawan) menunjukkan nilai loading yang sangat bermakna (>+0.50). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat bermakna antara baik buruknya penampilan dan perilaku karyawan dengan suasana toko yang dirasakan oleh pengunjungnya. Dengan demikian, berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sub hipotesa H1-1 diterima.
B. Hubungan Fungsional Aksesbilitas (LT-1), dan Keberadaan Toko Lain (LT-2) Terhadap Variabel Laten Lokasi Toko (LT) Pada bagian ini akan dianalisis hubungan indikator-indikator dalam dimensi aksesbilitas dan keberadaan toko lain dengan variabel laten lokasi toko (uji sub hipotesa H2-1).
B.1. Hubungan Fungsional Aksesbilitas (LT-1) Terhadap Variabel Laten Lokasi Toko (LT)
LT11 = 0.27*lt, Errorvar.= 0.78 , R2 = 0.085 (0.076) (0.081) 3.50 9.58 LT13 = 0.17*lt, Errorvar.= 0.90 , R2 = 0.031 (0.080) (0.091) 2.11 9.85
212
Indikator-indikator LT11 (lokasi yang dekat dengan rumah pengunjung/ tempat kerja) dan LT13 (mudah dicapai dengan menggunakan transportasi umum) menunjukkan nilai loading yang signifikan pada taraf 5% (³ +0.14) dan 1% (³ 0.18). Maka, terlihat adanya hubungan yang signifikan antara lokasi yang dekat dengan rumah pengunjung/ tempat kerja dan mudah dicapai tidaknya suatu toko dengan menggunakan transportasi umum dengan kondisi lokasi suatu toko dalam kaitannya dengan pemilihan tempat belanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung.
LT12 = 0.36*lt, Errorvar.= 0.22 , R2 = 0.36 (0.055) (0.036) 6.43 6.09 Sedangkan LT12 (lokasi nyaman), menunjukkan nilai loading yang signifikan untuk ukuran sampel lebih dari 50. Dengan demikian, indikator LT12 memiliki hubungan yang bermakna/ berarti dengan variabel laten lokasi toko. Dengan kata lain, lokasi yang nyaman memiliki hubungan yang bermakna dengan kondisi lokasi suatu toko dalam kaitannya dengan pemilihan tempat belanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung.
B.2. Hubungan Fungsional Keberadaan Toko Lain (LT-2) Terhadap Variabel Laten Lokasi Toko (LT) LT21 = 0.30*lt, Errorvar.= 0.76 , R2 = 0.10 (0.077) (0.081) 3.87 9.47 Keberadaan toko lain di sekitar MDS yang bersifat komplementer bagi MDS (LT21) memiliki nilai loading yang signifikan pada jumlah sampel lebih dari 50 (Tabel 3.8). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan toko lain di sekitar MDS yang bersifat komplementer bagi MDS memiliki hubungan yang bermakna/ berarti dengan variabel laten lokasi toko. Maka, dapat disimpulkan bahwa keberadaan toko lain di sekitar MDS bersifat komplementer bagi
213
MDS sehingga memberikan pandangan kondisi lokasi MDS yang baik bagi pengunjung, dalam kaitannya dengan pemilihan tempat berbelanja oleh pengunjung dan frekuensi berkunjung pengunjung. Dengan demikian, berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sub hipotesa H2-1 diterima.
C. Hubungan Fungsional Variabilitas (VM-1) dan Availability (VM-2) Terhadap Variabel Laten Variasi Merchandise (VM) Pada bagian ini akan dianalisis hubungan indikator-indikator dalam dimensi variabilitas dan availability dengan variabel laten variasi merchandise (uji sub hipotesa H3-1).
C.1. Hubungan Fungsional Variabilitas (VM-1) Terhadap Variabel Laten Variasi Merchandise (VM)
VM11 = 0.57*vm, Errorvar.= 0.43 , R2 = 0.43 (0.059) (0.050) 9.65 8.63 VM14 = 0.53*vm, Errorvar.= 0.37 , R2 = 0.43 (0.054) (0.043) 9.73 8.59 Indikator-indikator VM11 (ragam merek yang tersedia) dan VM14 (banyak pilihan seperti warna, ukuran, bahan, dll, dalam setiap kategori produk) menunjukkan nilai loading yang berada di atas +0.50. Nilai tersebut menunjukkan adanya hubungan yang sangat bermakna antara indikator-indikator tersebut dengan variabel laten variasi merchandise. Maka, ragam merek yang tersedia serta banyaknya pilihan dalam setiap kategori produk memiliki hubungan yang sangat bermakna dengan pandangan pengunjung dalam kaitannya dengan pemilihan tempat berbelanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung.
214
VM12 = 0.41*vm, Errorvar.= 0.26 , R2 = 0.40 (0.045) (0.030) 9.20 8.79 VM13 = 0.46*vm, Errorvar.= 0.35 , R2 = 0.37 (0.052) (0.040) 8.87 8.90 Sementara VM12 (ragam kategori produk yang tersedia) dan VM13 (ragam private labels) menunjukkan nilai loading di atas +0.40, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang lebih bermakna antara kedua indikator tersebut dengan variabel laten variasi merchandise (Bachrudin & Tobing, 2003). Dengan demikian, ragam kategori produk yang tersedia dan ragam private labels memiliki hubungan fungsional yang lebih bermakna terhadap pandangan pengunjung akan variasi merchandise di suatu toko dalam kaitannya dengan pemilihan tempat berbelanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung tersebut. Melihat hasil loading VM13 atau ragam private labels yang lebih besar daripada nilai loading VM12 atau ragam kategori produk yang tersedia, maka dapat disimpulkan pula bahwa ragam
private labels yang ada di suatu toko lebih memiliki makna dalam pemilihan tempat berbelanja dan banyaknya frekuensi berkunjung dari pengunjung.
C.2. Hubungan Fungsional Availability (VM-2) Terhadap Variabel Laten Variasi Merchandise (VM)
VM21 = 0.73*vm, Errorvar.= 0.56 , R2 = 0.48 (0.069) (0.068) 10.46 8.27 VM22 = 0.68*vm, Errorvar.= 0.63 , R2 = 0.42 (0.071) (0.073) 9.56 8.66 Baik VM21 (ketersediaan produk) maupun VM22 (consistency in assortment) memiliki nilai
loading di atas +0.50, yang berarti bahwa kedua indikator tersebut memiliki hubungan
215
fungsional yang sangat bermakna dengan variabel laten variasi merchandise. Maka, dapat disimpulkan bahwa ketersediaan produk dan consistency in assortment dari suatu toko memberikan hubungan yang sangat bermakna bagi pandangan pengunjung akan variasi
merchandise di suatu toko dalam kaitannya dengan pemilihan tempat berbelanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung tersebut. Di antara keduanya, indikator VM21 menunjukkan hubungan yang paling hampir mendekati 1, sehingga dapat diketahui bahwa ketersediaan produk-produk yang diinginkan (tidak pernah kehabisan stok) oleh pengunjung yang baik akan memberikan kontribusi yang lebih sangat bermakna terhadap pemilihan pengunjung akan tempat belanjanya dan frekuensi berkunjung pengunjung di sebuah toko. Dengan demikian, berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sub hipotesa H3-1 diterima.
D. Hubungan Fungsional Commitment (LYT-1), Intention to Revisit the Store (LYT-2), dan Satisfaction (LYT-3) Terhadap Variabel Laten Loyalitas Toko (LYT) Pada bagian ini akan dianalisis hubungan indikator-indikator dalam dimensi commitment,
intention to revisit the store, dan satisfaction dengan variabel laten loyalitas toko (uji sub hipotesa H4-1).
D.1. Hubungan Fungsional Commitment (LYT-1) Terhadap Variabel Laten Loyalitas Toko (LYT)
LYT11 = 0.15*lyt, Errorvar.= 0.82 , R2 = 0.028 (0.083) 9.94
216
LYT12 = 0.25*lyt, Errorvar.= 1.11 , R2 = 0.052 (0.14) (0.11) 1.81 9.90 Indikator LYT11 (komitmen untuk berbelanja kembali) dan LYT12 (komitmen untuk tidak berpindah) sama-sama memperlihatkan nilai loading yang signifikan untuk ukuran sampel minimum sebanyak 200 (Tabel 3.8). LYT11 signifikan pada taraf 5% (³ +0.14), sementara LYT12 signifikan pada taraf 1% (³ +0.18). Maka, kesimpulan yang dapat diambil dari hasil tersebut adalah bahwa komitmen untuk berbelanja kembali (LYT11) dan komitmen untuk tidak berpindah (LYT12) memiliki hubungan fungsional yang signifikan terhadap variabel laten loyalitas toko.
D.2. Hubungan Fungsional Intention to Revisit the Store (LYT-2) Terhadap Variabel Laten Loyalitas Toko (LYT) LYT21 = 0.39*lyt, Errorvar.= 0.38 , R2 = 0.29 (0.18) (0.040) 2.17 9.40 LYT22 = 0.15*lyt, Errorvar.= 0.78 , R2 = 0.030 (0.096) (0.078) 1.61 9.93 LYT21 (di masa mendatang, pengunjung akan sangat sering shopping di MDS) memiliki nilai
loading di atas +0.30, yang menunjukkan bahwa indikator LYT21 memiliki hubungan yang berarti/bermakna dengan variabel laten loyalitas toko. Sementara itu, LYT22 (di masa mendatang, pengunjung tidak akan shopping di MDS) memiliki nilai loading di atas +0.14, yang berarti bahwa indikator LYT22 memiliki hubungan fungsional yang signifikan dengan variabel laten loyalitas toko pada taraf 5%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keinginan pengunjung untuk akan sangat sering berbelanja dan tidak akan berbelanja di MDS memiliki hubungan yang bermakna dan signifikan dengan loyalitas toko pengunjung.
217
D.3. Hubungan Fungsional Satisfaction (LYT-3) Terhadap Variabel Laten Loyalitas Toko (LYT) LYT31 = 0.47*lyt, Errorvar.= 0.31 , R2 = 0.42 (0.21) (0.034) 2.20 8.98 LYT33 = 0.46*lyt, Errorvar.= 0.29 , R2 = 0.41 (0.21) (0.033) 2.20 8.99 LYT35 = 0.48*lyt, Errorvar.= 0.21 , R2 = 0.52 (0.22) (0.025) 2.21 8.45 LYT36 = 0.40*lyt, Errorvar.= 0.32 , R2 = 0.33 (0.18) (0.035) 2.18 9.29 Hubungan yang lebih bermakna (> +0.40) terhadap variabel laten loyalitas toko ditunjukkan oleh keempat indikator di atas, yakni LYT31 (kepuasan pengunjung terhadap pelayanan di MDS), LYT33 (kepuasan pengunjung terhadap lokasi MDS), LYT35 (kepuasan pengunjung terhadap pembelian yang dilakukannya di MDS), dan LYT36 (akan merekomendasikan kepada orang lain). Nilai-nilai tersebut memberikan makna bahwa kepuasan pengunjung terhadap pelayanan di MDS, kepuasan pengunjung terhadap lokasi MDS, kepuasan pengunjung terhadap pembelian yang dilakukannya di MDS, serta akan tidaknya merekomendasikan kepada orang lain untuk berbelanja di MDS, memliki makna yang lebih terhadap komitmen pengunjung untuk berbelanja kembali dan keinginan untuk kembali berkunjung ke toko MDS. LYT32 = 0.56*lyt, Errorvar.= 0.17 , R2 = 0.65 (0.25) (0.023) 2.22 7.36 LYT34 = 0.58*lyt, Errorvar.= 0.36 , R2 = 0.49 (0.26) (0.042) 2.21 8.66
218
LYT32 (kepuasan pengunjung terhadap produk di MDS) dan LYT34 (kepuasan pengunjung terhadap disain toko secara keseluruhan) menunjukkan nilai loading di atas +0.50, yang berarti indikator-indikator tersebut memiliki hubungan signifikan dan sangat bermakna terhadap variabel laten loyalitas toko. Nilai loading tersebut memberikan kesimpulan bahwa kepuasan pengunjung terhadap produk di MDS dan disain toko secara keseluruhan memiliki hubungan yang sangat bermakna terhadap pembentukan loyalitas toko pengunjung terhadap toko MDS. Dengan demikian, berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sub hipotesa H4-1 diterima.
E. Hubungan Fungsional Average Number of Stores Visited Over A Year (PP-1) dan Average Number of Visits Over A Year (PP-2) Terhadap Variabel Laten Pembelian Pengunjung (PP) Pada bagian ini akan dianalisis hubungan indikator-indikator dalam dimensi average
number of visits over a year dan average number of visits over a year dengan variabel laten pembelian pengunjung (uji sub hipotesa H4-2).
E.1. Hubungan Fungsional Average Number of Stores Visited Over A Year (PP-1) Terhadap Variabel Laten Pembelian Pengunjung (PP)
PP11 = 0.65*pp, Errorvar.= 0.82 , R2 = 0.34 (0.21) 3.93 Indikator PP11 (mengunjungi banyak toko dalam setahun) menunjukkan nilai loading atau hubungan yang sangat bermakna (> +0.50) terhadap variabel laten pembelian pengunjung. Berarti, perilaku pengunjung yang mengunjungi banyak toko dalam setahun memiliki
219
hubungan yang sangat bermakna terhadap perilaku pembelian pengunjung dalam kaitannya dengan pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja.
PP13 = 0.33*pp, Errorvar.= 1.25 , R2 = 0.079 (0.17) (0.14) 1.97 8.90 Sementara itu, PP13 (hanya mengunjungi satu toko dalam setahun), dengan nilai loading > +0.30, menunjukkan adanya hubungan yang berarti/ bermakna terhadap variabel latennya, yakni pembelian pengunjung. Nilai tersebut memberi informasi bahwa perilaku pengunjung yang hanya mengunjungi satu toko dalam setahun memiliki hubungan yang bermakna terhadap perilaku pembelian pengunjung dalam kaitannya dengan pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja. Lebih lanjut, jika melihat nilai loading yang lebih besar hingga dua kali lipat pada indikator PP11 (mengunjungi banyak toko dalam setahun) dibandingkan dengan indikator PP13 (hanya mengunjungi satu toko dalam setahun), memberikan suatu kesimpulan bahwa perilaku pengunjung yang mengunjungi banyak toko dalam setahun melibatkan pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja yang lebih mudah dibandingkan dengan perilaku pengunjung yang hanya mengunjungi satu toko dalam setahun. Wajar tentunya, karena mereka yang hanya mengunjungi satu toko dalam setahunnya cenderung memiliki banyak pertimbangan dalam pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja dan banyak berpikir, sebab pada dasarnya mereka telah terbiasa untuk berbelanja di satu toko tertentu yang telah sangat mereka percaya (loyalitas toko yang sangat kuat) dan adalah sangat sulit bagi mereka untuk keluar dari comfort zone tersebut.
E.2. Hubungan Fungsional Average Number of Visits Over A Year (PP-2) Terhadap Variabel Laten Pembelian Pengunjung (PP)
220
PP22 = 0.29*pp, Errorvar.= 1.32 , R2 = 0.062 (0.16) (0.14) 1.85 9.17 PP23 = 0.22*pp, Errorvar.= 0.69 , R2 = 0.066 (0.12) (0.075) 1.88 9.11
Terakhir, indikator-indikator PP22 (jarang berkunjung atau tidak setiap bulan berkunjung ke MDS) dan PP23 (sekali dalam setahun berkunjung dan atau berbelanja di MDS) memiliki nilai
loading yang signifikan pada taraf 1% (³ +0.18). Hasil tersebut memberikan kesimpulan bahwa terdapat hubungan fungsional yang signifikan antara indikator PP22 dan indikator PP23 terhadap variabel laten pembelian pengunjung, pada taraf 1%. Hubungan fungsional yang signifikan tersebut memberikan informasi bahwa perilaku pengunjung yang jarang atau tidak setiap bulan berkunjung ke MDS dan perilaku pengunjung yang hanya sekali dalam setahun berkunjung dan atau berbelanja di MDS, memiliki efek terhadap perilaku pembelian pengunjung, dalam kaitannya dengan pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja. Secara implisit, dapat diketahui bahwa mereka yang jarang berkunjung atau tidak setiap bulan berkunjung di MDS memiliki perilaku pemilihan toko MDS sebagai tempat mereka berbelanja yang lebih kuat dibandingkan mereka yang hanya sekali dalam setahun berkunjung atau berbelanja di MDS. Hal ini dikarenakan oleh kepercayaan dan pengalaman yang dimiliki oleh mereka yang tidak setiap bulan berkunjung di MDS lebih besar daripada mereka yang hanya sekali dalam setahun berkunjung atau berbelanja di MDS. Dengan demikian, berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sub hipotesa H4-2 diterima. Tabel 4.11 memberikan ringkasan hubungan antara indikator-indikator dengan variabel latennya.
221
Tabel 4.11 Hubungan Indikator-indikator dengan Variabel Latennya Variabel
Suasana
Lokasi
Variasi
Loyalitas
Pembelian
Toko
Toko
Merchandise
Toko
Pengunjung
ST11
0.11
-
-
-
-
ST12
0.15
-
-
-
-
ST13
0.30
-
-
-
-
ST14
0.24
-
-
-
-
ST15
0.36*
-
-
-
-
ST16
0.28
-
-
-
-
ST21
0.30
-
-
-
-
ST22
0.43
-
-
-
-
ST23
0.52
-
-
-
-
ST24
0.33
-
-
-
-
ST25
0.25
-
-
-
-
ST26
0.28
-
-
-
-
ST27
0.32
-
-
-
-
ST28
0.63**
-
-
-
-
ST29
0.49
-
-
-
-
ST210
0.56
-
-
-
-
ST211
0.42
-
-
-
-
ST31
0.30
-
-
-
-
ST32
0.53*
-
-
-
-
ST33
0.51
-
-
-
-
ST34
0.31
-
-
-
-
LT11
-
0.27
-
-
-
LT12
-
0.36**
-
-
-
LT13
-
0.17
-
-
-
LT21
-
0.30*
-
-
-
VM11
-
-
0.57*
-
-
VM12
-
-
0.41
-
-
VM13
-
-
0.46
-
-
222
Variabel
Suasana
Lokasi
Variasi
Loyalitas
Pembelian
Toko
Toko
Merchandise
Toko
Pengunjung
VM14
-
-
0.53
-
-
VM21
-
-
0.73**
-
-
VM22
-
-
0.68
-
-
LYT11
-
-
-
0.15
-
LYT12
-
-
-
0.25*
-
LYT21
-
-
-
0.39*
-
LYT22
-
-
-
0.15
-
LYT31
-
-
-
0.47
-
LYT32
-
-
-
0.56
-
LYT33
-
-
-
0.46
-
LYT34
-
-
-
0.58**
-
LYT35
-
-
-
0.48
-
LYT36
-
-
-
0.40
-
PP11
-
-
-
-
0.65**
PP13
-
-
-
-
0.33
PP22
-
-
-
-
0.29*
PP23
-
-
-
-
0.22
* Indikator dengan korelasi tertinggi dari suatu dimensi. ** Indikator dengan korelasi tertinggi dari suatu dimensi dan merupakan korelasi tertinggi indikator terhadap variabel latennya.
Sumber : Output SIMPLIS hasil pengolahan data.
4.2.4.12 Uji Hipotesis pada Model Struktural Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: H1. Suasana toko berpengaruh positif terhadap loyalitas toko H2. Lokasi toko berpengaruh positif terhadap loyalitas toko H3. Variasi merchandise berpengaruh positif terhadap loyalitas toko H4. Loyalitas toko berpengaruh positif terhadap pembelian pengunjung
223
Pengujian hipotesis-hipotesis di atas akan dilakukan dengan mengevaluasi model stuktural dari model D. Berikut hasil akhir persamaan model struktural tersebut:
Structural Equations lyt = 0.53*st - 0.15*lt + 0.38*vm, Errorvar.= 0.49 , R2 = 0.51 (0.26) (0.35) (0.36) 2.08 -0.43 1.06 pp = 0.38*lyt, Errorvar.= 0.85 , R2 = 0.15 (0.21) 1.82 Interpretasi estimasi paramater unstandardized hampir sama dengan regresi linear biasa, dimana perubahan variabel dependen dipengaruhi oleh besarnya estimate value suatu variabel independen lainnya dengan mengasumsikan bahwa seluruh variabel independen lainnya dianggap tetap (Ghozali & Fuad, 2005, p286). Nilai estimasi ST (Suasana Toko) memiliki nilai positif dan signifikan pada taraf 5% (nilai t = 2.08 > |1.96|). Output tersebut memiliki arti bahwa berubahnya suasana toko sebesar satu unit akan menambah loyalitas toko sebesar 0.53. Hasil tersebut mendukung pernyataan hipotesis 1, yakni bahwa suasana toko berpengaruh positif terhadap loyalitas toko. Sementara itu, nilai estimasi variabel lokasi toko memiliki nilai yang negatif dan tidak signifikan baik pada taraf 20%, 10%, 5%, maupun 1%. Demikian pula halnya dengan nilai estimasi variabel variasi merchandise. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi toko dan variasi
merchandise tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas toko. Dengan demikian, pernyataan hipotesis 2 dan 3 tidak diterima. Adapun, nilai estimasi variabel loyalitas toko memiliki nilai yang positif dan signifikan pada taraf 10%, karena nilai t hitung (1.82) lebih besar daripada |1.645| (Tabel 3.9). Output tersebut memiliki arti bahwa loyalitas toko berpengaruh positif dan signifikan terhadap
224
pembelian pengunjung pada taraf 10%, yakni berubahnya loyalitas toko sebesar satu unit akan menambah pembelian pengunjung sebesar 0.38. Hasil tersebut mendukung pernyataan hipotesis 4, yakni bahwa loyalitas toko berpengaruh secara positif terhadap pembelian pengunjung. Lebih jauh lagi, akan dilakukan perbandingan untuk mengetahui variabel manakah yang memiliki pengaruh terbesar terhadap variabel endogen loyalitas toko dan pembelian pengunjung dengan melihat pada bagian estimasi parameter yang telah distandarisasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, standardized estimates tidak lagi dipengaruhi oleh adanya perbedaan unit pengukuran pada variabel-variabel independen. Oleh karena itu, untuk mengetahui variabel mana yang memiliki pengaruh terbesar, maka sangat disarankan untuk melihat pada standardized estimates daripada unstandardized estimates (Ghozali & Fuad, 2005, p324). Berikut adalah sebagian format LISREL dari model D : BETA lyt pp
lyt -------- 0.384
GAMMA lyt pp
st -------0.533 - -
pp -------- - -
lt --------0.153 - -
vm -------0.383 - -
Dari hasil output tersebut, dapat diketahui bahwa dari ketiga variabel yang mempengaruhi variabel endogen loyalitas toko, variabel suasana toko memiliki pengaruh terbesar dengan
nilai
standardized estimates sebesar 0.533, diikuti oleh variasi
merchandise (0.383), dan lokasi toko yang memiliki pengaruh terkecil (-0.153). Namun, hanya suasana toko yang memiliki pengaruh yang signifikan dengan alasan seperti yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan, variabel endogen pembelian pengunjung hanya
225
dipengaruhi oleh satu variabel, yakni variabel loyalitas toko, sehingga jelas terlihat bahwa loyalitas toko adalah variabel yang memiliki pengaruh terbesar terhadap pembelian pengunjung (0.384). Lalu, untuk mengetahui seberapa kuat hubungan antara dua variabel dari masingmasing variabel penelitian (uji sub hipotesa H1-2, H2-2, H3-2, dan H4-2), akan dilihat dari
Correlation Matrix of ETA and KSI hasil standarisasi. Berikut adalah output tersebut : Correlation Matrix of ETA and KSI
lyt pp st lt vm
lyt -------1.000 0.384 0.683 0.500 0.585
pp --------
st --------
lt --------
vm --------
1.000 0.262 0.192 0.224
1.000 0.599 0.628
1.000 0.871
1.000
Dari hasil di atas, dapat diketahui bahwa : ·
Suasana toko dan loyalitas toko memiliki hubungan positif yang paling kuat, yakni sebesar 0.683. Hal ini menunjukkan bahwa suasana toko yang menarik atau disukai oleh pengunjung memiliki hubungan yang sangat dan paling kuat terhadap loyalitas mereka terhadap toko tersebut. Dengan demikian, sub hipotesa H1-2 diterima.
·
Lokasi toko dan loyalitas toko memiliki hubungan positif yang juga kuat, tetapi paling lemah jika dibandingkan dengan hubungan di antara loyalitas toko dengan variabel-variabel eksogen lainnya (suasana toko dan variasi merchandise), yakni sebesar 0.500. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi toko yang baik menurut pengunjung berhubungan kuat dengan tingkat loyalitas pengunjung terhadap toko tersebut,
226
walaupun tidak sekuat hubungan dengan suasana toko dan variasi merchandise. Dengan demikian, sub hipotesa H2-2 diterima. ·
Variasi merchandise dan loyalitas toko memiliki hubungan positif yang kuat, yakni sebesar 0.585. Hal ini menunjukkan bahwa variasi merchandise yang baik menurut pengunjung berhubungan sangat kuat dengan tingkat loyalitas mereka terhadap suatu toko. Dengan demikian, sub hipotesa H3-2 diterima.
·
Terakhir, loyalitas toko dan pembelian pengunjung memiliki hubungan yang cukup kuat, yakni sebesar 0.384. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat loyalitas toko yang cukup atau tinggi dari pengunjung berhubungan cukup kuat dengan pembelian pengunjung tersebut dalam hal pemilihan gerai tempatnya akan berbelanja. Dengan demikian, sub hipotesa H4-2 diterima.
Sementara itu, melihat hasil koefisien determinasi dari persamaan struktural loyalitas toko, dapat diketahui bahwa variabel-variabel eksogen / independen (suasana toko, lokasi toko, dan variasi merchandise) 51% varians loyalitas toko dijelaskan oleh variabel suasana toko, lokasi toko, dan variasi merchandise. Sedangkan sisanya (49%) dijelaskan oleh faktor selain suasana toko, lokasi toko, dan variasi merchandise. Nilai koefisien determinasi pada persamaan struktural pembelian pengunjung menunjukkan bahwa 15% varians pembelian pengunjung dijelaskan oleh loyalitas toko, sedangkan sisanya (85%) dijelaskan oleh faktor selain loyalitas toko. Dengan demikian, persamaan struktural loyalitas toko dan pembelian pengunjung cukup baik.
227
4.3 Implikasi Hasil Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan-tujuan : T-1
Mengidentifikasi pertimbangan-pertimbangan dalam pengaturan suasana toko dan variasi merchandise, mengetahui alasan penempatan lokasi toko MDS di Mal Ciputra serta mengetahui tingkat loyalitas pengunjung terhadap toko MDS Mal Ciputra dan tingkat penjualan MDS Mal Ciputra selama ini.
T-2
Menganalisis pengaruh dari suasana dalam toko (ST) terhadap loyalitas pengunjung terhadap toko (LYT). Secara rinci sebagai berikut: a.
Menganalisis hubungan fungsional antara Ambient Factors (ST-1),
Design Factors (ST-2), dan Social Factors (ST-3) terhadap suasana toko (ST). b. Menganalisis hubungan fungsional antara suasana toko (ST) terhadap loyalitas toko (LYT).
T-3
Menganalisis pengaruh dari lokasi toko (LT) terhadap loyalitas pengunjung terhadap toko (LYT). Secara rinci sebagai berikut: a. Menganalisis hubungan fungsional antara Aksesbilitas (LT-1) dan Keberadaan toko lain (LT-2) terhadap lokasi toko (LT). b. Menganalisis hubungan fungsional antara lokasi toko (LT) terhadap loyalitas toko (LYT).
T-4
Menganalisis pengaruh dari banyaknya variasi/pilihan merchandise (VM) terhadap loyalitas pengunjung terhadap toko (LYT). Secara rinci sebagai berikut:
228
a. Menganalisis hubungan fungsional antara Variabilitas (VM-1) dan
Availibility (VM-2) terhadap variasi merchandise (VM). b. Menganalisis hubungan fungsional antara variasi merchandise (VM) terhadap loyalitas toko (LYT).
T-5
Menganalisis pengaruh dari loyalitas tersebut (LYT) terhadap pembelian pengunjung (PP) yang dilihat dari pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja (loyalitas toko pengunjung). Secara rinci sebagai berikut: a. Menganalisis
hubungan
fungsional
antara
Commitment
(LYT-1),
Intention to revisit the store (LYT-2), dan Satisfaction (LYT-3) terhadap loyalitas toko (LYT). b. Menganalisis hubungan fungsional antara Average Number of Stores
Visited Over a Year (PP-1) dan Average Number of Visits Over a Year (PP-2) terhadap pembelian pengunjung (PP). c.
Menganalisis hubungan fungsional antara loyalitas toko (LYT) terhadap pembelian pengunjung (PP) yang dilihat dari pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja (loyalitas pengunjung terhadap toko).
Hasil penelitian dengan pembahasan seperti yang telah dijabarkan pada sub bab 4.2 telah mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengaturan suasana toko di sebuah MDS didasari akan sales contribution dari masing-masing merek dan kondisi market. Besarnya dana yang tersedia dan kondisi dari masing-masing toko, dan perubahan-perubahan dari para pesaing juga dijadikan bahan pertimbangan.
229
Kemudian, pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan dalam pemilihan lokasi toko MDS di Mal Ciputra di antaranya adalah pada saat Mal Ciputra pertama akan dibuka, mal ini merupakan pusat belanja terbesar di Indonesia sebelum menjamurnya mal-mal lain yang lebih besar. Alasan lainnya, adalah berdasarkan kelengkapan sarana. Outlet-outlet Matahari umumnya merupakan gedung-gedung yang telah dilengkapi sarana yang cukup baik, seperti tempat parkir, AC, lift, dan eskalator. Sarana tersebut merupakan sarana utama yang mempunyai peranan penting dalam rangka menciptakan suasana nyaman berbelanja. Mal Ciputra sendiri dilengkapi eskalator sebanyak 28 unit, lift dengan kapasitas penumpang 15 orang, dan AC sentral. Selain itu, dilengkapi juga dengan sarana seperti telepon sebanyak 480 lines, electricity 14MW, drinking water, system keamanan yang terdiri dari CCTV, alarm
system, safety system, dan sprinkler system. Kemudian, terdapat pula indoor parking sebanyak 500 kendaraan, dan outside parking untuk sekitar 1.500 kendaraan. Untuk pengaturan variasi merchandise, di dalam prosesnya, pemilihan model atau pembelian produk yang akan dijual di MDS untuk produk DP ditentukan dan dilakukan sepenuhnya oleh pihak Merchandiser (MD) dari kantor pusat di Jakarta berdasarkan volume yang dibagi secara proporsional untuk masing-masing toko MDS. MD tersebut bertanggung jawab dalam menentukan jenis serta jumlah barang yang akan dijual di setiap toko, melakukan negosiasi harga pembelian dengan pemasok, serta menentukan harga penjualan yang tepat agar dapat mencapai marjin laba kotor yang diharapkan dari tingkat penjualan bulanan dan tahunan yang ditargetkan. Sementara tugas pihak toko MDS Ciputra adalah menerima produk DP yang dikirim dari Distribution Center (DC) dan tidak berhak untuk menolak. Sementara, untuk produk-produk CV yang menentukan model dan pilihan produk yang dijual adalah dari pihak supplier. MDS tidak bertanggung jawab atas produk-produk yang cacat atau tidak laku, dan menggunakan sistem margin dalam penjualannya. Sesuai
230
prinsip konsinyasi yang berarti titip jual, maka untuk barang-barang yang cacat atau tidak laku akan dikembalikan kepada pihak supplier tanpa syarat apapun. Tingkat loyalitas pengunjung MDS Mal Ciputra dilihat dari data MCC (Matahari Card Club). Pengkategorian loyalitas untuk program MCC terbagi tiga, yakni : Kategori “A” = dalam 6 bulan pengamatan, 6 bulan berbelanja (berturut-turut); kategori “B” = dalam 6 bulan pengamatan, 3-5 bulan berbelanja (namun tidak harus berturut-turut); dan kategori “C” = dalam 6 bulan pengamatan, 1-2 bulan berbelanja (namun tidak harus berturut-turut). Berdasarkan analisis atas data MCC, ditemukan bahwa mayoritas anggota MCC MDS Mal Ciputra memiliki tingkat loyalitas yang tidak terlalu tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah anggota yang meningkat loyalitasnya (total promote) lebih kecil dibandingkan jumlah anggota yang menurun loyalitasnya (total down grade), yakni 6.265 (total promote) dan 6.329 orang (total
down grade). Adapun jumlah anggota yang tingkat loyalitasnya stabil (tidak meningkat ataupun menurun) menunjukkan angka terbesar, yakni sejumlah 27.651 orang. MDS Mal Ciputra memiliki tingkat penjualan rata-rata Rp. 97,279 miliar per tahun selama periode 2002-2006 (Tabel 4.2). Selama tahun 2002-2004, terlihat adanya penurunan tingkat penjualan pada MDS Mal Ciputra hingga senilai Rp. 9,519 miliar. Namun kembali mengalami peningkatan penjualan pada tahun 2005 dan 2006, yang mana MDS Mal Ciputra memiliki tingkat penjualan di atas Rp. 100 miliar (upgrade to A+). Pembelian oleh anggota MCC senilai Rp. 61,764 miliar memberikan kontribusi sebesar 53,90% terhadap penjualan MDS Mal Ciputra pada tahun 2006. Adapun produk yang memberikan kontribusi terbesar dan memiliki produktivitas per m2 tertinggi bagi penjualan MDS Mal Ciputra antara lain adalah kategori produk CV (konsinyasi) dengan rata-rata kontribusi di atas 60% dan rata-rata produktivitas Rp. 3 juta. Jika dilihat dari kontribusi by world, kategori produk yang memberikan kontribusi di atas 10%
231
di antaranya adalah produk Men’s (18%), Shoes (15%), Youth Boy (12%), dan Youth Girl
(12%). Hasil pengolahan data kuesioner menunjukkan bahwa hanya suasana toko yang memiliki pengaruh yang signifikan dan positif (untuk taraf 5%) terhadap loyalitas toko. Suasana toko dan loyalitas toko juga memiliki hubungan yang paling kuat, yakni sebesar 0.683. Tidak lupa, melihat hubungan fungsional yang terjadi di antara indikatorindikator suasana toko dengan variabel laten suasana toko, diketahui bahwa elemen suasana toko yang paling besar kontribusinya adalah indikator pada dimensi Design Factors, yakni ST28 : “Style”, yakni sebesar 63%. Maka, elemen ini adalah yang berpengaruh paling besar pula dalam pembentukan suasana toko yang dapat meningkatkan loyalitas toko pengunjung. Hal ini diperkuat pula dengan hasil korelasi terkuat di antara indikator-indikator loyalitas toko dengan variabel latennya, adalah pada indikator LYT34 : “Kepuasan pengunjung terhadap disain toko secara keseluruhan”, dengan kontribusi 58%. Kemudian, melihat hubungan antara indikator-indikator suasana toko terhadap variabel latennya, ditemukan bahwa : ST15 (kebersihan rak) dengan nilai loading sebesar 0.36, adalah ambient factors yang paling besar hubungannya dengan suasana toko yang dirasakan oleh pengunjung; style dari suatu toko (ST28) dengan nilai loading sebesar 0.63, merupakan dimensi design factors yang paling besar hubungannya dengan suasana toko yang dirasakan oleh pengunjung; penampilan karyawan dari suatu toko (ST32) dengan nilai loading sebesar 0.53, merupakan dimensi social factors yang paling besar hubungannya dengan suasana toko yang dirasakan oleh pengunjung. Sementara itu, nilai estimasi variabel lokasi toko memiliki nilai yang negatif dan tidak signifikan baik pada taraf 20%, 10%, 5%, maupun 1%. Demikian pula halnya dengan nilai estimasi variabel variasi merchandise. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi toko dan variasi
merchandise tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas toko.
232
Walaupun begitu, lokasi toko dan loyalitas toko memiliki hubungan yang juga kuat, tetapi paling lemah jika dibandingkan dengan hubungan di antara loyalitas toko dengan variabelvariabel eksogen lainnya (suasana toko dan variasi merchandise), yakni sebesar 0.500 atau 50%. Sedangkan, variasi merchandise dan loyalitas toko memiliki hubungan yang lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antara lokasi toko dengan loyalitas toko, yakni sebesar 0.585 atau 58,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun tidak berpengaruh secara signifikan, namun perubahan-perubahan di dalam variasi merchandise dan loyalitas toko atau lokasi toko dan loyalitas toko memiliki hubungan kuat yang positif dan searah. Pengaruh yang tidak signifikan tersebut dapat disebabkan oleh banyaknya peritel lain yang menawarkan kelengkapan merchandise dan bahkan memiliki variasi yang berbeda seperti merek tertentu mungkin hanya ada di toko tertentu. Begitupun halnya dengan lokasi, yang mana walaupun lokasi yang strategis dan dekat merupakan pilihan yang tepat bagi pengunjung, tetapi dengan adanya penawaran khusus ataupun ingin merasakan suasana yang berbeda di tempat lain akan menyebabkan pengunjung berpindah-pindah. Kemudian, melihat hubungan antara indikator-indikator lokasi toko terhadap variabel latennya, ditemukan bahwa: lokasi nyaman (LT12) adalah indikator dengan nilai korelasi tertinggi sebesar 0.36 atau 36%, merupakan indikator dimensi aksesbilitas yang paling besar hubungannya dengan kondisi lokasi suatu toko dalam kaitannya dengan pemilihan tempat belanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung; indikator LT21 (keberadaan toko lain di sekitar MDS yang bersifat komplementer bagi MDS) dengan nilai loading 0.30, adalah indikator dari dimensi tersebut yang paling besar hubungannya dengan kondisi lokasi suatu toko dalam kaitannya dengan pemilihan tempat belanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung. Selanjutnya, melihat hubungan antara indikator-indikator variasi merchandise terhadap variabel latennya, ditemukan bahwa: ragam merek yang tersedia (VM11)
233
dengan nilai korelasi tertinggi sebesar 0.57 atau 57% merupakan indikator dimensi variabilitas yang paling besar hubungannya dengan pandangan pengunjung akan variasi
merchandise dalam kaitannya dengan pemilihan tempat berbelanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung; ketersediaan produk (VM21) dengan nilai loading 0.73, merupakan indikator dimensi Availability (VM-2) yang paling besar hubungannya dengan pandangan pengunjung akan variasi merchandise dalam kaitannya dengan pemilihan tempat berbelanja dan frekuensi berkunjung dari pengunjung. Adapun, nilai estimasi variabel loyalitas toko memiliki nilai yang positif dan signifikan pada taraf 10%, karena nilai t hitung (1.82) lebih besar daripada |1.645| (Tabel 3.9). Output tersebut memiliki arti bahwa loyalitas toko berpengaruh positif dan signifikan terhadap pembelian pengunjung pada taraf 10%. Selain itu, loyalitas toko dan pembelian pengunjung memiliki hubungan yang cukup kuat, yakni sebesar 0.384 atau 38,4%. Lalu, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa kepuasan pengunjung terhadap disain toko secara keseluruhan merupakan elemen yang paling penting dalam pembentukan variabel laten loyalitas toko, maka meningkatkan kepuasan pengunjung terhadap disain toko secara keseluruhan adalah penting pula untuk meningkatkan pembelian pengunjung dalam kaitannya dengan pemilihan gerai MDS Mal Ciputra sebagai tempat berbelanja mereka. Tingkat signifikansi pada tingkat yang lebih rendah tersebut disebabkan loyalitas toko dari target pengunjung MDS yang merupakan kalangan menengah dan menengah ke atas, tidak terlalu kuat. Hal ini terkait dengan prilaku kalangan tersebut yang karena dengan kemampuan finansialnya yang berlebih mereka bisa secara leluasa berpindah belanja, terutama produk fashion dan aksesoris, ke banyak gerai. Sementara masyarakat konsumen kelas menengah ke bawah relatif lebih mudah untuk menjadi loyal terhadap suatu toko, terlebih kalangan kelas bawah. Sebab, mereka hanya butuh lokasi belanja yang dapat dijangkau tanpa harus mengeluarkan biaya dan lebih murah. Tingkat loyalitas yang tidak
234
terlalu kuat dari pengunjung MDS tersebut juga terlihat dari hasil analisis atas data MCC, yang menemukan bahwa mayoritas anggota MCC MDS Mal Ciputra memiliki tingkat loyalitas yang tidak terlalu tinggi. Kemudian, dengan melihat hubungan antara indikator-indikator loyalitas toko terhadap variabel latennya, ditemukan bahwa: indikator LYT12 (komitmen untuk tidak berpindah) dengan nilai loading 0.25, merupakan indikator dimensi commitment yang paling besar hubungannya dengan loyalitas toko pengunjung; LYT21 (keinginan pengunjung untuk akan sangat sering berbelanja) memiliki nilai korelasi sebesar 0.39 atau 39%, yang berarti indikator tersebut merupakan indikator dimensi Intention to
Revisit The Store (LYT-2) yang paling besar hubungannya dengan loyalitas toko pengunjung; kepuasan pengunjung terhadap disain toko secara keseluruhan (LYT34) dengan nilai loading sebesar 0.58, merupakan indikator dimensi satisfaction yang paling besar hubungannya dengan loyalitas toko pengunjung. Selanjutnya, melihat hubungan antara indikator-indikator pembelian pengunjung terhadap variabel latennya, ditemukan bahwa: indikator PP11 (mengunjungi banyak toko dalam setahun) dengan nilai loading 0.65, merupakan indikator dimensi Average
Numbers of Stores Visited Over a Year yang paling besar hubungannya dengan pembelian pengunjung dalam kaitannya dengan pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja; dan perilaku pengunjung yang jarang berkunjung atau tidak setiap bulan berkunjung di MDS (PP22) dengan nilai loading sebesar 0.29, adalah indikator dimensi average
numbers of visits over a year yang paling besar hubungannya dengan pembelian pengunjung dalam kaitannya dengan pemilihan gerai tempat mereka akan berbelanja. Dengan hasil uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, elemen Retailing
Mix yang paling penting dalam meningkatkan potensi MDS Mal Ciputra dalam rangka meningkatkan loyalitas toko pengunjungnya yang akan berimplikasi kepada pembelian
235
pengunjung dalam kaitannya dengan pemilihan gerai MDS Mal Ciputra sebagai tempat berbelanja mereka, adalah Suasana Toko (ST). Lalu, walaupun lokasi toko dan variasi
merchandise tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas toko, tetapi kedua variabel tersebut menunjukkan adanya hubungan yang signifikan yang sangat kuat dengan loyalitas toko pengunjung. Oleh karena itu, perlu dilakukan perancangan yang lebih baik dengan melihat indikator-indikator yang berperan paling besar di dalam ketiga variabel tersebut, yani kebersihan rak, style dari disain sebuah toko, penampilan karyawan, kenyamanan lokasi, memperhatikan keberadaan toko lain yang bersifat komplementer di sekitar MDS yang terletak di mal, banyaknya ragam merek yang disediakan, dan memastikan ketersediaan produk agar tidak pernah kehabisan stok. Terkait dengan prilaku target konsumen MDS yang merupakan kalangan menengah dan menengah ke atas, yakni lebih mengutamakan kualitas produk, ekslusivitas, dan harganya yang bersaing, sementara peritel-peritel lain juga banyak yang memberikan hal-hal tersebut, maka MDS harus lebih kreatif dan memberikan diferensiasi yang menonjol. Style dari toko MDS adalah hal utama yang harus dipertimbangkan untuk dirancang ulang secara drastis agar dapat meningkatkan potensi MDS Mal Ciputra khususnya, dan mungkin juga untuk MDS lainnya. Penggunaan teknologi canggih dalam melaksanakan hal tersebut juga perlu dipertimbangkan. Sejalan dengan hal tersebut, Yongky Surya Susilo di dalam sebuah wawancara di majalah Marketing edisi Agustus 2007 menyatakan bahwa ini sudah zamannya
shopping experience, total emosi, semua panca indra disentuh. Ia memberi contoh bahwa ada sebuah toko baju yang menggunakan teknologi untuk mengidentifikasi konsumennya secara pribadi. Toko tersebut telah memiliki data tinggi, berat badan, dan sebagainya. Di komputer, gambar baju dicocokkan dengan tubuh calon pembeli, sehingga tidak perlu lagi sibuk mencoba di kamar ganti. Cukup melihat di komputer. Teknologi seperti itu patut dicoba di MDS, sebab tidak hanya masyarakat Indonesia yang menyukai sesuatu yang customized
236
dan distinctive, tetapi masyarakat internasional juga demikian. Kemudian, berdasarkan studistudi yang pernah dilakukan oleh AC Nielsen, salah satu kebutuhan emosional dari konsumen-konsumen yang berbelanja di outlet modern, adalah “make kids happy”. Anakanak butuh ruang sendiri dalam hiburan. Sehingga cukup menarik untuk mengadaptasi hal ini di dalam sebuah department store, misalnya menyediakan area produk anak-anak yang dirancang khusus sehingga menciptakan experience khusus dan mendorong anak-anak untuk ingin membeli produk-produk di MDS. Lagipula, anak-anak sangat berperan dalam membujuk orang tuanya untuk membeli suatu produk. Untuk melakukan hal ini, Matahari dapat melakukan outsourcing dengan peritel tempat penitipan, bermain, dan edukasi anak-anak seperti Gymboree. Akan lebih baik pula jika dapat merancang suasana atau khususnya style yang berbeda-beda untuk setiap World. Selama ini di MDS hanya terlihat perbedaan yang mencolok pada bagian sepatu, home, dan kosmetik. Dari hasil penjualan MDS Mal Ciputra juga terlihat adanya penjualan yang mencolok hanya pada bagian Men’s. Kondisi tersebut dapat dijelaskan oleh sifat lelaki yang cenderung praktis dan tidak terlalu memperhatikan segi emosional sebuah toko, sehingga dengan adanya produk yang bagus dan harga yang terjangkau, mereka akan berbelanja di situ. Sementara anak-anak dan wanita lebih mudah terdorong oleh sesuatu yang sifatnya emosional. Jika dipicu oleh suasana yang menarik dengan dukungan style dan tampilan produk yang unik, mereka adalah konsumen yang sangat potensial untuk ditingkatkan porsi belanjanya oleh MDS. Inovasi-inovasi lebih lanjut dari hal-hal seperti itu akan membawa Matahari kepada pencapaian visi dan misinya. Selain itu, terdapat beberapa kondisi spesial yang layak diperhatikan, khususnya di kota-kota besar. Misalnya, Jakarta dengan persoalan kemacetannya. Menurut Sugiyanto Wibawa dari tim teknis Aprindo, kemacetan tersebut akan mempengaruhi pola belanja. Konsumen cenderung mengambil pola shopping jarak dekat. Selain itu, pusat perbelanjaan malam juga tetap menjadi incaran. Pasalnya, konsumen kota pada pagi hari sibuk bekerja.
237
Karena itu, faktor kenyamanan dan entertainment harus lebih dikedepankan para peritel dalam melayani pelanggan. Lebih lanjut, di kota-kota besar, mal-mal dan ritel-ritel menjamur bak cendawan di musim hujan. Banyak sentra perbelanjaan mengepung konsumen dari berbagai sudut, sehingga kemungkinan terjadi over supply di kota-kota tersebut. Walaupun begitu, tentunya akan terjadi seleksi alam, karena konsumen pada akhirnya yang memiliki kekuatan untuk menentukan hidup mati para peritel. Mengenai lokasi toko MDS Mal Ciputra, selain kemacetannya yang sudah terkenal, letaknya di wilayah Jakarta Barat tersebut juga dikhawatirkan akan mengalami kelebihan supply pusat perbelanjaan. Khususnya karena kawasan tersebut dinilai memiliki prospek yang baik sebab di kawasan tersebut banyak dibangun perumahan-perumahan baru dengan mayoritas target market golongan menengah ke atas (Visidata Riset Indonesia, 2003). Maka, satu alasan kuat lagi bagi Matahari untuk lebih menonjolkan diferensiasinya dibandingkan dengan peritel lain selain harga bersaing, pelayanan, dan produk yang berkualitas. Jangan melakukan hal-hal yang generik, tetapi sekarang ini harus lebih mengutamakan kreativitas. Hermawan Kertajaya juga menyatakan bahwa tidak ada gunanya melakukan price war terus menerus, strategi “me too” tersebutlah yang menyebabkan terjadinya over supply di Indonesia. Menurutnya, kreativitas adalah
added value yang sangat berharga dan akan membuat mereka yang memilikinya menjadi unggul di atas yang lainnya. Oleh karena itu, menghadapi kemungkinan kenaikan harga minyak di tahun 2008, Matahari sebaiknya mengkaji ulang strategi ekspansinya. Sugiyanto juga menyatakan perlunya memperhatikan masalah listrik akibat krisis energi dan kenaikan harga minyak tersebut, termasuk harga sewa properti yang semakin melambung (Marketing, Desember 2007). Terlebih lagi dengan adanya rencana peraturan pemerintah di tahun 2008 mengenai mewajibkan masyarakat Indonesia untuk hanya menggunakan Pertamax sebagai bahan bakar mobil pribadi dan tidak diperbolehkan memperpanjang STNK bagi pemilik
238
kendaraan yang diproduksi sebelum tahun 2000. Tentunya lokasi yang memiliki akses mudah dengan menggunakan kendaraan umum akan sangat berharga. Dengan demikian, sangat dianjurkan agar Matahari lebih fokus kepada inovasi-inovasi dan kreativitas dalam membuat keunikan-keunikan nyata yang akan membuatnya unggul dan mampu melawan persaingan yang semakin ketat, khususnya terhadap para pesaing asing yang akan semakin banyak berdatangan oleh karena telah dibukanya kesempatan lebar bagi mereka untuk membuka
department store berukuran besar (di atas 2000 m2) di Indonesia, dari pemerintah. Terkait dengan merchandise, program promosi dari setiap pengelola jaringan usaha ritel yang tujuannya untuk membangun loyalitas konsumen ternyata justru berdampak pada semacam program training untuk membangun kecenderungan konsumen menjadi tidak loyal. Sebab, dengan banyaknya informasi mengenai produk murah tersebut bisa jadi konsumen hanya akan berbelanja ke gerai yang sedang menggelar kegiatan promosi. Kecenderungan yang demikian terlihat jelas. Konsumen rata-rata pergi berbelanja di tiga perusahaan ritel yang berbeda (harian-global.com, Oktober 2007). Sementara dari hasil screening data pada hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa rata-rata pengunjung menyatakan kalau mereka mengunjungi banyak toko yang berbeda dalam setahunnya. Mengoptimalkan ragam merek yang dimiliki serta selalu memastikan ketersediaan produk untuk tidak pernah mengalami kehabisan stok adalah hal penting terkait dengan merchandise assortments atau variasi
merchandise dalam membentuk loyalitas toko yang ditemukan dalam penelitian ini. Khusus dalam perancangan ragam merek yang akan dijual, perlu memperhatikan prilaku orang Indonesia yang masih “brand minded”. Mereka lebih mempercayai merek yang telah mereka kenal. Sementara private label hanya akan dipilih saat ekonomi sedang tidak bagus, sebab lebih murah dan hemat. Tetapi, seperti yang diutarakan oleh Yongky Surya Susilo, begitu ekonomi membaik, orang Indonesia akan kembali lagi ke merek. Kondisi tersebut juga dapat terlihat dari laporan keuangan MDS Mal Ciputra yang menunjukkan kontribusi penjualan
239
produk konsinyasi rata-rata lebih besar dua kali lipat daripada kontribusi penjualan produk
direct purchase yang di dalamnya termasuk private labels. Yongky juga menyatakan bahwa produk branded masih akan masuk ke Indonesia yang ditujukan untuk menjaring orang Indonesia yang gemar belanja ke luar negeri. Sebagai tambahan, Hermawan Kertajaya dalam acara khususnya di Metro TV barubaru ini memberikan delapan prediksi kecenderungan di tahun 2008 yang perlu diketahui oleh para pengusaha. Di antaranya adalah internet booming, pro-competition policy, desentralisasi otonomi daerah semakin banyak yang akan membuat setiap daerah saling berlomba untuk menjadi yang terbaik, pemerintah yang akan berlaku sangat mendukung terhadap kinerja perekonomian khususnya untuk berusaha meninggalkan “nilai rapor” yang baik di akhir masa pemerintahannya dan untuk berusaha memenangkan pemilu selanjutnya, adanya kebangkitan dari “I-express community” (individu-individu yang ingin menunjukkan otoritas dirinya, umumnya sebagai ahli dari suatu hal tertentu), masyarakat lebih menyukai gosip (rumours) atau lebih mempercayai pendapat orang terpercayanya (word of mouth), ekspansi akan lebih mengarah ke luar Jawa, kemudian yang terakhir dan yang paling menarik adalah proliferation of mass market atau mengecilnya segmen pasar kalangan menengah sementara kalangan atas masih sangat baik dan kalangan bawah semakin membesar. Khusus terkait dengan prediksi kecenderungan terakhir, Matahari harus mempertimbangkan apakah selanjutnya MDS masih akan tetap bertahan pada target pasarnya yakni di kalangan menengah dan menengah ke atas atau ingin berfokus pada kalangan atas saja. Perlu diperhatikan bahwa sekarang ini, jika melihat data demografis MDS Mal Ciputra, prosentase masyarakat kalangan menengah dengan pengeluaran per bulan Rp. 1.000.001 hingga Rp. 1.8000.000 yang berkunjung, hanya 23%. Jika benar terjadi, maka prosentase
tersebut
akan
jauh
lebih
mengecil.
Sehingga
disarankan
untuk
240
mempertimbangkan merancang suasana toko yang lebih menampilkan gaya premium dan menyajikan experience yang kental dan unik untuk meraih lebih banyak pasar kalangan atas. Akhir
kata,
penelitian
ini
memiliki
beberapa
batasan,
yakni
terdapatnya
ketidaknormalan data. Selain itu, sampel pengunjung di MDS Mal Ciputra masih belum dapat mewakili seluruh pengunjung MDS di lokasi lain terkait dengan perbedaan sosial ekonomi dari masing-masing lokasi. Oleh karenanya, hasil penelitian ini tidak sepenuhnya dapat diandalkan untuk diaplikasikan di MDS lain selain MDS Mal Ciputra. Maka, dianjurkan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sampel yang lebih dapat mewakili seluruh MDS. Selain itu, metode penelitian SEM dan saran-saran dari temuan-temuan yang ada dari penelitian ini dapat diperluas ke dalam cross-cultural settings untuk menemukan variabel-variabel atau elemen-elemen Retailing Mix mana yang lebih penting di daerah atau bahkan di negara yang berbeda-beda.