71
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Analisis Sistem Pemasaran Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah
5.1.1
Gambaran umum pasar di Kawasan Maluku Tengah Kota Ambon yang terdiri atas lima (5) Kecamatan, memiliki empat (4)
pasar di tingkat Kecamatan yang berfungsi sebagai pusat interaksi ekonomi masyarakat. Selain pasar Mardika yang merupakan pasar pusat di Kota Ambon yang bukan hanya menjual barang kebutuhan sehari-hari, namun juga barang kebutuhan rumahtangga lainnya seperti barang elektronik, barang pecah belah dan lainnya, terdapat pula pasar Benteng, pasar Passo dan pasar Wayame (Lampiran 2a). Pasar Benteng terletak di Kecamatan Nusaniwe dan menjadi pusat penyediaan kebutuhan pangan bagi masyarakat Kecamatan Nusaniwe dan sebagian masyarakat di Kecamatan Sirimau, sementara pasar Passo merupakan pusat transaksi ekonomi masyarakat Kecamatan Sirimau, Leitimur Selatan, Teluk Ambon, bahkan bagi sebagian masyarakat Kecamatan Leihitu dan Salahutu yang secara administratif tergabung dalam Kabupaten Maluku Tengah namun secara geografis berada di pulau Ambon. Pasar Wayame yang terletak di Desa Wayame Kecamatan Teluk Ambon merupakan pusat penyediaan bahan pangan, maupun barang kebutuhan lainnya bagi masyarakat Kecamatan Teluk Ambon. Selain keempat pasar tersebut, di Kota Ambon terdapat pula pasar-pasar kecil di tingkat Desa yang hadir sebagai sarana pemenuhan kebutuhan rumahtangga sehari-hari. Pasar-pasar ini muncul akibat jauhnya tempat pemukiman warga dengan pasar di tingkat Kecamatan. Di Kawasan Maluku Tengah, terdapat pasar Piru di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), pasar Binaya di Kabupaten Maluku Tengah dan pasar Bula di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) yang terletak di pusat ibukota masingmasing Kabupaten. Walau secara fungsional pasar-pasar ini hadir untuk melayani kebutuhan ekonomi masyarakat Kabupaten tersebut, namun karena jauhnya jarak beberapa desa dengan ibukota Kabupaten, serta terbatasnya sarana dan prasarana transportasi, mengakibatkan munculnya pasar-pasar yang lebih kecil di tingkat Kecamatan bahkan Desa.
72
Pasar-pasar tempat penelitian ini dilakukan masih tradisional dan umumnya berada di dekat pantai. Pasar-pasar tersebut sangat tidak higienis, bau dan becek, serta sampah tidak dikelola dengan baik walaupun ada uang kebersihan yang harus dibayar pedagang setiap hari. Walaupun sudah dipisahkan antara kios penjual sayuran, ikan dan daging, namun tidak jarang dijumpai penjual sayuran di antara pedagang ikan. Tidak sebandingnya kios yang tersedia dengan pedagang yang ada mengakibatkan pedagang sering menjajakan dagangannya di tepi jalan, sehingga mengganggu ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Pemandangan seperti ini sering terlihat di pasar Mardika maupun pasar Passo, sementara di pasar lainnya tidak terlihat, karena letaknya tidak di tepi jalan raya. Di pasar Piru (SBB) bahkan sering terdapat ternak peliharaan masyarakat seperti sapi dan babi yang tidak dikandangkan, sehingga terkadang harus dihalau oleh pedagang karena masuk ke dalam area pasar. Tidak jarang pula ketika datang di pagi hari untuk berdagang, pedagang menjumpai kotoran binatang-binatang tersebut di area pasar. Di pasar-pasar lokal ini juga terdapat ikan-ikan hasil olahan seperti ikan asap, ikan asin dan produk perikanan olahan lainnya, seperti udang kering, cumi kering dan lainnya. Akan tetapi, kios ikan segar letaknya berjauhan dengan ikanikan hasil olahan tersebut. Kios ikan segar biasanya terletak di bagian belakang, sementara ikan olahan lebih sering berada di bagian depan pasar. Kecuali di pasar Mardika dan pasar Passo, aktivitas jual beli di seluruh pasar yang menjadi lokasi penelitian ini biasanya akan berakhir pada pukul 12.00 hingga 13.00, setelah dimulai pada pukul 04.00 dini hari. Kegiatan jual beli ini biasanya hanya berlangsung setiap hari Senin hingga Sabtu, karena para penjual beristirahat pada hari Minggu. Kalaupun ada kegiatan transaksi jual beli di hari Minggu, biasanya pedagang dan pembeli hanya dalam jumlah sedikit. 5.1.2
Analisis Struktur Pasar (Market Structure) Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah Struktur pasar merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai
hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar.
73
Berikut ini akan disajikan profil pedagang pengumpul dan pedagang pengecer produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah. 5.1.2.1 Profil Pedagang Pengumpul dan Pedagang Pengecer Ikan Segar a
Umur Umur pedagang pengumpul, maupun pedagang pengecer yang terbanyak
berada pada kisaran 31-40 tahun, yaitu masing-masing sebanyak 12 dan 38 orang (Tabel 16). Samuel (1997) yang dikutip Leatemia (2008) menyatakan bahwa kelompok usia produktif adalah kelompok umur 15-64 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa hampir seluruh pedagang pengumpul dan pedagang pengecer yang ada di lokasi penelitian ini produktif. Pada kategori tersebut, secara fisik dan mental responden berada pada puncak produktivitas, karena lebih terarah dalam mobilisasi energi (tenaga) dan lebih matang dalam mengontrol emosi, sehingga kapasitasnya dalam memasarkan ikan berlangsung lebih maksimal. Tabel 16
Kelompok umur pedagang pengumpul dan pedagang pengecer ikan segar di Kawasan Maluku Tengah
Pedagang Pengumpul Kategori Umur (tahun) ≤ 20 21-30 31-40 41-50 51-60 ≥ 61 Total Pedagang Pengecer Kategori Umur (tahun) ≤ 20 21-30 31-40 41-50 51-60 ≥ 61 Total Sumber : Data primer diolah (2011)
Jumlah 12 11 2 25
Persentase (%) 48 44 8 100
Jumlah 2 13 38 27 17 3 100
Persentase (%) 2 13 38 27 17 3 100
Umumnya pedagang yang masih muda akan lebih banyak membutuhkan informasi dan pengalaman, sehubungan dengan hal-hal teknis dalam mengatur/ menjalankan usaha. Sejalan dengan itu, pada puncak produktivitas seseorang
74
tampak berpengalaman serta terampil, sehingga menguasai strategi berdagang. Namun pedagang yang lebih tua akan lebih mudah menurun secara fisik, sehingga mobilitas menjadi menurun yang berdampak pada produktivitas dan pendapatan. b Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan faktor penting penentu dinamika perubahan dalam populasi. Tujuan pendidikan (baik formal maupun informal) adalah untuk mengkomunikasikan kebijakan dan pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan untuk memfasilitasi partisipasi aktif dalam inovasi dan pengembangan pengetahuan baru (Lange et al., diacu dalam Rad 2012). Tabel 17 Tingkat pendidikan pedagang pengumpul dan pedagang pengecer ikan segar di Kawasan Maluku Tengah Pedagang Pengumpul Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%) SD (sederajat) 7 28 SMP (sederajat) 14 56 SMA (sederajat) 4 16 Total 25 100 Pedagang Pengecer Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%) SD (sederajat) 34 34 SMP (sederajat) 26 26 SMA (sederajat) 39 39 Universitas 1 1 Total 100 100 Sumber : Data primer diolah (2011) Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan dan cara mendidik. Tingkat pendidikan juga turut berpengaruh terhadap keberhasilan suatu usaha, terutama keterampilan dalam mengelola usaha. Tingkat pendidikan yang dicapai oleh responden menyebar pada kategori pendidikan dasar hingga menengah dan umumnya berada pada pendidikan menengah pertama dan atas (Tabel 17). Seorang pedagang pengecer memiliki pendidikan formal hingga tingkat tinggi (D2) (Lampiran 7). Dalam melakukan transaksi perdagangan ikan, para pedagang tidak memerlukan kegiatan khusus yang harus diperoleh melalui disiplin ilmu tertentu. Tetapi latar belakang pendidikan menengah dapat memberikan sumbangan yang
75
berarti, terutama dalam kemampuan membangun hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya. c
Pengalaman Usaha Pengalaman usaha mempengaruhi pengetahuan, sikap dan keterampilan
seseorang dalam menjalankan usaha. Dengan belajar dari pengalaman, seseorang akan lebih responsif terhadap teknologi yang diterapkan dalam usahanya. Berbagai situasi, kondisi serta masalah dan solusi yang harus dihadapi seseorang ketika menggeluti usahanya, berpengaruh dalam mendewasakan diri seseorang dalam mengambil keputusan, terutama yang berhubungan dengan bagaimana mempertahankan dan mengembangkan usaha. Tabel 18 Pengalaman usaha pedagang pengumpul dan pedagang pengecer ikan segar di Kawasan Maluku Tengah Pedagang Pengumpul Pengalaman Usaha (tahun) Jumlah Persentase (%) ≤10 1 4 11-20 17 68 21-30 6 24 31-40 1 4 41-50 Total 25 100 Pedagang Pengecer Pengalaman Usaha (tahun) Jumlah Persentase (%) ≤10 42 42 11-20 27 27 21-30 16 16 31-40 12 12 41-50 3 3 Total 100 100 Sumber : Data primer diolah (2011) Gray and Gray diacu dalam Salleh et al. (2012) mengatakan bahwa umur suatu usaha meningkat sejalan dengan umur pemilik usaha tersebut. Apabila seorang pengusaha mampu beroperasi dan mengembangkan usahanya lebih dari lima (5) tahun, maka dapat dikatakan usahanya berhasil. Semakin lama suatu usaha beroperasi, maka karyawannya akan semakin cakap dan pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan tahunan. Mohd (2011) mengatakan bahwa ada hubungan yang nyata antara umur suatu usaha dikaitkan dengan kinerja usaha tersebut.
76
Tabel 18 memperlihatkan persentase pedagang ikan di Kawasan Maluku Tengah berdasarkan pengalaman usaha yang ditekuni. Sebanyak 68% pedagang pengumpul sudah memiliki pengalaman usaha selama 11-20 tahun dan 42% pedagang pengecer ≤ 10 tahun. Kebanyakan pedagang pengumpul memulai pekerjaannya
sebagai
pedagang
pengecer
sebelumnya.
Seiring
dengan
pertambahan waktu serta meningkatnya pengalaman dan modal, para pedagang pengecer ini akan beralih fungsi menjadi pedagang pengumpul. 5.1.3
Derajat konsentrasi pedagang pengumpul ikan segar di Kawasan Maluku Tengah
Rasio kumulatif volume penjualan pedagang pengumpul diukur dengan menggunakan Cumulative Ratio (CR4). Rosyidi (2009) menyatakan bahwa Cumulative Ratio atau konsentrasi pasar adalah sebuah ukuran yang menyatakan banyaknya output yang berada di tangan sejumlah produsen. Semakin sedikit jumlah
produsen
yang
menguasai
pemasaran
suatu
output,
semakin
terkonsentrasilah pasar itu.
4500
Pasar Bula
Volume Penjualan
4000 Pasar Binaya
3500 3000
Pasar Piru
2500
Pasar Leihitu
2000
Pasar Salahutu Pasar Passo
1500 1000
Pasar Mardika
500 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Minggu Pengamatan
Sumber : Data primer diolah (2011) Gambar 8 Rekapitulasi volume penjualan pedagang pengumpul di pasar ikan segar Kawasan Maluku Tengah selama periode pengamatan.
77
Volume penjualan pedagang pengumpul terbanyak berada di Pasar Mardika (Gambar 8, Lampiran 9). Itu berarti bahwa bagi pedagang pengumpul, Pasar Mardika merupakan pasar yang potensial karena jumlah konsumen yang berbelanja kebutuhan sehari-hari lebih banyak di pasar tersebut dibandingkan dengan pasar lainnya. Pasar ini terletak di pusat kota Ambon dan berdekatan dengan terminal angkutan umum, sehingga mudah dijangkau oleh seluruh masyarakat. Tabel 19 CR volume penjualan ikan segar oleh pedagang pengumpul di pasar Kawasan Maluku Tengah Pedagang Volume Penjualan (kg) Persentase (%) CR (%) 1 28 809.25 11.77 11.77 2 20 929.47 8.55 20.32 3 18 263.22 7.46 27.78 4 16 298.36 6.66 34.44 5 14 895.88 6.09 40.53 6 13 402.35 5.48 46.01 7 12 524.84 5.12 51.12 8 11 589.83 4.74 55.86 9 10 775.31 4.40 60.26 10 9 800.77 4.00 64.27 11 9 161.13 3.74 68.01 12 8 299.37 3.39 71.40 13 7 327.28 2.99 74.39 14 6 812.03 2.78 77.18 15 6 418.66 2.62 79.80 16 5 917.98 2.42 82.22 17 5 712.40 2.33 84.55 18 5 456.67 2.23 86.78 19 5 254.58 2.15 88.93 20 5 082.69 2.08 91.01 21 4 831.30 1.97 92.98 22 4 688.25 1.92 94.89 23 4 548.19 1.86 96.75 24 4 205.91 1.72 98.47 25 3 740.98 1.53 100.00 Total 244 746.70 100 Sumber : Data primer diolah (2011)
Pada awal minggu penelitian dilakukan, volume penjualan ikan oleh pedagang pengumpul di pasar Mardika maupun pasar lainnya di Kawasan Maluku Tengah relatif sedikit. Hal ini disebabkan oleh musim penghujan dan angin
78
kencang yang mengakibatkan tingginya gelombang laut di sebagian besar tempat di Provinsi Maluku, sehingga nelayan tidak bisa melaut. Dengan demikian ikan yang dijual di pasar hanya sedikit sehingga harganya mahal. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ikan di bukan musim ikan seperti ini, pedagang biasanya membeli ikan dari Cold Storage untuk kemudian dijual kembali ke konsumen. Dari pengamatan di lapangan, terlihat bahwa besar kecilnya volume penjualan ikan oleh pedagang pengumpul di suatu pasar dipengaruhi oleh musim, modal yang dimiliki pedagang pengumpul, jumlah pembeli potensial, jumlah dan jenis ikan yang dijual di pasar, dan harga ikan di pasar. Perhitungan Cumulative Ratio volume penjualan ikan oleh pedagang pengumpul pada Tabel 19 didasarkan pada data di Lampiran 15 yang menyajikan keseluruhan volume penjualan selama proses penelitian berlangsung. Perhitungan CR ini diawali dengan mentransfer volume penjualan pedagang pengumpul yang awalnya dinyatakan dalam loyang ke dalam satuan kilogram. Pengamatan yang dilakukan terhadap 25 pedagang pengumpul selama 4 (empat) bulan kemudian dibagi ke dalam 18 minggu untuk melihat dinamika angka CR pada seluruh pasar yang telah diasumsikan sebagai satu pasar besar. Tabel 19 menunjukkan CR volume penjualan ikan segar dari 25 pedagang pengumpul di pasar Kawasan Maluku Tengah. Selama periode penelitian dilakukan, umumnya empat (4) pedagang pertama menunjukkan angka CR < 40, kecuali pada minggu ke-6 (CR4 = 41.22%) dan 11 (CR4 = 42.68%) (Gambar 9). Hal ini mengindikasikan berarti bahwa pada kedua minggu tersebut, pasar agak terkonsentrasi, sementara pada minggu-minggu pengamatan lainnya, pasar tidak terkonsentrasi. Pasar terkonsentrasi apabila rasio empat (4) pedagang pertama sedikitnya 40% (Parker and Connor dalam Sayaka 2006). Sementara Shepherd yang dikutip Rosyidi (2009) menyatakan bahwa apabila CR4 ≤ 40, maka pasar berbentuk loose oligopoly atau oligopoli yang tidak terlalu ketat (kendur). Subanidja (2006) menyatakan beberapa ciri pasar yang berstruktur oligopoli adalah : (a) hanya ada beberapa pedagang yang mendominasi pasar, (b) ada produsen yang menawarkan barang yang sama (produk yang tidak terdiferensiasi), namun ada pula produsen yang menawarkan model atau fitur berbeda (produsen dengan diferensiasi), (c) terdapat rintangan kuat (entry barrier)
79
untuk masuk ke pasar oligopoli, karena investasi yang dibutuhkan cukup tinggi, (d) persaingan melalui iklan sangat kuat.
45.00 40.00 1 Pedagang 2 Pedagang 3 Pedagang 4 Pedagang
Cumulative Ratio
35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Minggu Pengamatan
Sumber : Data primer diolah (2011) Gambar 9 Cumulative Ratio (CR) volume penjualan ikan segar dari empat pedagang pengumpul pertama di pasar Kawasan Maluku Tengah. Lebih lanjut dikatakan, bahwa struktur pasar ini memiliki kelebihan, yaitu penjual hanya sedikit karena besarnya investasi yang dibutuhkan untuk masuk ke pasar tersebut, jumlah penjual yang sedikit menyebabkan harga dapat dikendalikan pada tingkat tertentu dan bila terjadi perang harga, maka konsumen akan diuntungkan. Sebaliknya, produsen bisa melakukan kerja sama (kartel) yang bertujuan membatasi produksi, sehingga barang dibuat langka agar harga bisa melambung tinggi dan pada akhirnya dapat merugikan konsumen. Harga yang terlalu tinggi juga bisa mendorong inflasi serta dalam jangka waktu lama dapat mengganggu perekonomian Negara. Rosyidi (2011) mengemukakan bahwa dari cara para pedagang beroperasi di pasar, terdapat tiga (3) macam oligopoli. Yang pertama adalah oligopoli tanpa kolusi (Non-Collusive Oligopoly) yaitu pedagang yang memilih untuk tidak bekerja sama atau berkolusi dengan pedagang lainnya. Selanjutnya adalah oligopoli yang berkolusi (Collusive Oligopoly) atau yang sering disebut kartel (cartel). Kolusi ini dibuat secara formal, sehingga kartel juga disebut kolusi
80
formal atau formal collusion. Pada oligopoli jenis ini, sejumlah pedagang berkolusi untuk menetapkan harga tunggal yang berlaku bagi setiap pedagang. Dari kolusi ini, para pedagang mendapatkan laba masing-masing. Itulah sebabnya, model kartel ini juga disebut joint profit maximization (maksimisasi laba bersama). Kolusi oligopoli ini dinyatakan terlarang di banyak negara, termasuk Indonesia, berdasarkan UU No. 5/1999 tentang Persaingan Usaha karena memungkinkan munculnya monopoli. Jenis oligopoli yang ketiga adalah kolusi diam-diam dan kepemimpinan harga (Tacit Collusion and The Price Leadership). Tindakan ini diambil terutama sekali karena kolusi formal atau kolusi terangterangan dilarang. Di dalam kolusi diam-diam ini, semua pedagang terikat di dalam perjanjian yang amat longgar di antara sesama. Tidak ada kontrol langsung oleh siapapun juga terhadap harga yang diterapkan dan output yang dijual oleh masing-masing pedagang. Kelonggaran inilah yang membuat jenis oligopoli ini lebih diterima oleh kebanyakan pedagang di dalam pemasaran, dan itu pulalah yang menyebabkan kolusi diam-diam ini lebih banyak dijumpai dalam praktik dibandingkan dengan kartel. Rosyidi (2011) mengemukakan bahwa bentuk kolusi diam-diam yang paling populer adalah kepemimpinan harga atau price leadership. Pada jenis ini, semua pedagang dalam pemasaran menyadari ada satu di antara para pedagang ini yang menjadi pemimpin dalam menentukan harga dan yang lainnya menjadi pengikut. Ada tiga (3) macam kepemimpinan harga, yakni kepemimpinan harga oleh pedagang barometer, pedagang dominan dan oleh pedagang yang berbiaya rendah. Nelayan di Kawasan Maluku Tengah umumnya kembali dari melaut pada pagi hari, namun ada juga yang kembali pada siang hari. Apabila nelayan kembali melaut pada siang hari, maka tidak jarang pedagang membeli dan menjual kembali ikan tersebut di Cold Storage (apabila memenuhi standar), karena permintaan konsumen biasanya sudah berkurang. Besar investasi yang dibutuhkan dan tidak berfungsinya tempat pelelangan ikan juga turut memengaruhi konsentrasi pedagang pengumpul di pasar. Sayaka (2006) menemukan dalam penelitiannya bahwa besar kecilnya investasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi struktur pasar.
81
Rataan derajat konsentrasi pedagang pengumpul CR4 yang menunjukkan angka 34.44% atau di bawah 40% mengindikasikan bahwa struktur pasar produk perikanan yang terbentuk di Kawasan Maluku Tengah relatif kompetitif. Charles (2001) menyatakan bahwa pasar produk perikanan tidak pernah sempurna, disebabkan oleh peran pedagang perantara yang bukan hanya membeli ikan dari nelayan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga pemberi pinjaman uang kepada nelayan. Itu berarti bahwa interaksi di pasar tidak dapat hanya dilihat dari interaksi permintaan dan penawaran saja, namun interaksi yang terjadi antar individu pada saluran pemasaran tersebut, apakah bersifat eksploitasi, atau simbiosis. Sebagian besar ekonom berpendapat bahwa ukuran rasio konsentrasi (CR4) tidak cukup mengukur kekuatan suatu pasar. Satu pilihan yang dapat menjelaskan dengan baik tentang peran perusahaan terhadap dominasi pasar, adalah dengan menggunakan HHI yang dihitung dengan menjumlahkan kuadrat dari persentase pangsa pasar seluruh perusahaan di dalam suatu pasar. Tabel 20 Indeks Hirchman-Herfindahl selama periode penelitian Minggu Indeks HirchmanIndeks HirchmanHerfindahl Herfindahl 1 0.042 416.91 2 0.043 431.21 3 0.045 447.46 4 0.047 470.97 5 0.056 564.49 6 0.066 659.04 7 0.062 616.82 8 0.057 565.03 9 0.054 543.12 10 0.063 633.99 11 0.072 723.99 12 0.062 621.87 13 0.051 514.78 14 0.055 548.55 15 0.055 554.36 16 0.059 587.43 17 0.059 589.56 18 0.053 531.20 Rataan 0.056 556.71 Sumber : Data primer diolah (2011)
82
Nilai HHI selama periode penelitian kurang dari 1.000 dengan rataan sebesar 556.71 (Tabel 20). Menurut The U.S Department of Justice bahwa nilai HHI yang kurang dari 1 000 dikatakan bahwa pasar dalam kondisi persaingan yang kompetitif, sedangkan jika nilai HHI antara 1 000–1 800 dikatakan pasar dalam kondisi persaingan moderat dan dikatakan pasar dalam kondisi persaingan tidak sempurna (konsentrasi hanya pada beberapa perusahaan), jika nilai HHI lebih dari 1 800 (Subanidja 2006).
Dengan melihat hasil perhitungan rasio
konsentrasi (CR4) maupun HHI, dapat disimpulkan bahwa pasar produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah dalam kondisi persaingan kompetitif. 5.1.4
Analisis Perilaku Pasar (Market Conduct) Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah Analisis perilaku pasar dalam penelitian ini menggunakan cara predatory
and exclusivenary tactics, yaitu suatu strategi yang sifatnya ilegal karena bertujuan mendorong perusahaan pesaing untuk keluar dari pasar. Dalam penelitian ini analisis perilaku pasar produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah didekati dengan menggunakan pendekatan institusional dan fungsional. Pendekatan institusional meliputi analisis saluran pemasaran, sedangkan pendekatan fungsional terdiri atas analisis fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh semua institusi yang terlibat dalam setiap lembaga pemasaran yang ada. 5.1.4.1 Saluran Pemasaran Suatu saluran pemasaran menggambarkan urut-urutan lembaga pemasaran yang harus dilalui oleh suatu produk sejak diproduksi hingga ke konsumen akhir. Pada umumnya suatu produk mempunyai lebih dari satu macam saluran pemasaran dan dapat berbentuk sederhana ataupun rumit, tergantung dari produk tersebut. Lembaga pemasaran yang dengan cepat mampu menyalurkan produk ke konsumen, biasanya memiliki saluran pemasaran yang lebih sederhana. Kegiatan saluran pemasaran merupakan suatu tindakan ekonomi yang mendasarkan pada kemampuannya untuk membantu dalam penciptaan nilai ekonomi. Sedangkan nilai ekonomi menentukan harga barang dan jasa kepada individu-individu (Swastha 2002). Dalam sistem pemasaran produsen seringkali menggunakan perantara sebagai penyalurnya, dan perantara ini merupakan suatu kegiatan usaha
83
yang berdiri sendiri serta berbeda di antara produsen dan konsumen akhir atau pemakai. Nelayan sebagai produsen, pedagang pengumpul, Cold Storage (CS), pedagang pengecer dan konsumen merupakan institusi pemasaran atau badan yang menyelenggarakan kegiatan pemasaran produk perikanan, baik di Kota Ambon maupun di Kawasan Maluku Tengah. Umumnya lembaga pemasaran atau badan yang menyelenggarakan fungsi pemasaran ini terdiri atas produsen, pedagang perantara (dalam bentuk perorangan) dan pemberi kredit modal sebagai lembaga pemberi jasa. Dalam Hanafiah dan Saefuddin (1986) diungkapkan bahwa, golongan produsen adalah yang tugas utamanya menghasilkan barangbarang. Produsen ini adalah nelayan, petani ikan, dan pengolah hasil perikanan.
1 2
Nelayan
Pedagang Pengumpul
3
Cold Storage (CS)
Konsumen
Pedagang Pengecer
4 5
Pedagang Besar
Sumber : Hasil analisis data primer (2011) Gambar 10
Saluran pemasaran produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah.
Selanjutnya pedagang pengumpul, CS dan pedagang pengecer merupakan perantara dalam bidang tataniaga. Sementara lembaga pemberi jasa adalah yang memberi jasa atau fasilitas untuk memperlancar fungsi tataniaga, contoh dari lembaga ini adalah bank, usaha pengangkutan dan biro iklan. Gambar 10 menunjukkan bahwa dalam pemasaran produk perikanan tersebut, terdapat saluran pemasaran “tingkat satu”, “tingkat dua” dan “tingkat tiga”. Menurut Kotler (1993), saluran distribusi satu tingkat adalah saluran distribusi atau rantai pemasaran yang hanya terdiri dari satu lembaga pemasaran
84
yaitu pedagang pengecer, sedangkan saluran distribusi dua tingkat terdiri dari pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Hanafiah dan Saefuddin (1986) menyatakan bahwa panjang pendeknya saluran pemasaran hasil perikanan tergantung pada beberapa faktor antara lain, skala produksi, posisi keuangan dan cepat tidaknya produk rusak. Situasi dan kondisi yang menyebabkan sehingga masing-masing saluran pemasaran tersebut terjadi dapat dijelaskan berikut : 1
Nelayan–Konsumen Saluran pemasaran ini terjadi apabila konsumen tinggal berdekatan dengan
nelayan sebagai produsen. Pada saat nelayan kembali dari melaut, maka biasanya setelah menambatkan perahunya, ada sejumlah konsumen yang langsung membeli ikan di pesisir pantai. Para konsumen tersebut biasanya tidak bermata pencaharian sebagai nelayan, melainkan guru atau PNS lainnya yang bekerja di desa tersebut. Namun apabila ada nelayan yang tinggal di desa itu berhalangan melaut, maka biasanya isteri nelayan tersebut akan membeli ikan dari nelayan yang pulang melaut dan berhasil menangkap ikan. 2
Nelayan–Pedagang Pengecer–Konsumen Saluran pemasaran seperti ini banyak terjadi apabila pedagang pengecer
tinggal berdekatan dengan nelayan atau bahkan adalah isteri, anak atau saudara perempuan si nelayan. Ikan dibawa sendiri ke pasar dan langsung dijual ke konsumen setibanya di pasar. Pada dasarnya saluran pemasaran ini dipilih nelayan ketika ikan hasil tangkapan hanya sedikit. Apabila dalam melaut, nelayan purse seine, atau pole and line hanya mendapatkan sedikit ikan, maka ikan-ikan tersebut hanya akan dibagi kepada setiap Anak Buah Kapal (ABK) yang ikut melaut sebagai „ikan makan‟ (ikan untuk dikonsumsi bersama keluarga) dan sebagian ABK akan menjual ikan tersebut untuk membiayai keperluan lainnya. Nelayan pancingpun biasanya memilih saluran pemasaran seperti ini, karena hasil tangkapan mereka sedikit. Keuntungan dari saluran pemasaran ini, nelayan akan langsung menikmati penjualan hasil tangkapannya. Pedagang pengecer yang mungkin adalah isteri,
85
anak perempuan atau saudara perempuan nelayan, akan langsung membeli kebutuhan pokok rumah tangga seperti beras, minyak goreng dan lainnya, ketika selesai menjual ikan. Nelayanpun biasanya hanya dibelikan satu (1) atau dua (2) bungkus rokok. 3
Nelayan–Pedagang Pengumpul–Pedagang Pengecer–Konsumen Saluran pemasaran tipe ini banyak kali terjadi dalam pemasaran produk
perikanan di Kawasan Maluku Tengah. Banyak nelayan yang beroperasi dengan alat tangkap purse seine, pole and line dan bagan memilih saluran pemasaran seperti ini, karena alat tangkap seperti ini biasanya menangkap ikan dalam jumlah banyak. Antara nelayan dengan pedagang pengumpul telah terjalin kesepakatan dan kerjasama dalam kurun waktu yang cukup lama. Ketika ketersediaan ikan di pasar dalam jumlah banyak, nelayan tidak perlu cemas akan kemungkinan ikan hasil tangkapannya tidak habis terjual. Pada saat ikan hasil tangkapan nelayan telah dibawa ke pasar, maka tanggungjawab atas ikanpun berpindah dari nelayan ke pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul selanjutnya akan menyalurkan ikan tersebut ke pedagang pengecer untuk kemudian dijual ke konsumen. Apabila jumlah ikan di pasar sudah terlalu banyak dan pedagang pengecer tidak lagi mampu menjualnya, maka ikanpun dibuang ke laut. Hal ini sering kali terjadi pada musim panen ikan. Ketika musim susah ikan, nelayan tetap harus menjual ikan hasil tangkapannya ke pedagang pengumpul tersebut, walaupun mungkin tersedia alternatif lain yang dapat memberikan keuntungan lebih bagi nelayan, seperti menjual ke pedagang pengumpul lainnya. 4
Nelayan–Pedagang Pengumpul–CS–Pedagang Pengecer–Konsumen Setelah ikan dibawa ke pasar, maka tanggung jawab nelayan atas ikan
hasil tangkapannya berpindah ke tangan para pedagang pengumpul. Ketersediaan ikan yang banyak di pasar sehingga dapat menurunkan harga jual ikan dan kemampuan para pedagang pengumpul memprediksi harga membuatnya segera menyortir ikan yang memenuhi syarat untuk selanjutnya dijual ke CS. Tujuan utama pembelian ikan oleh CS adalah untuk ekspor, maka hanya jenis, ukuran dengan tingkat mutu tertentu yang diterima.
86
Pada dasarnya nelayan dapat saja langsung menjual ikan hasil tangkapannya ke CS ketika mengetahui ikan yang tersedia di pasar dalam jumlah banyak dan melebihi daya beli konsumen, sehingga harga jualnya sangat rendah. Namun semalaman berada di tengah laut, sering membuat nelayan tidak lagi ingin disibukkan dengan hasil tangkapannya, sehingga lebih memilih untuk menjual hasil tangkapannya kepada pedagang pengumpul. Selanjutnya pada musim ikan susah, pedagang pengecer membeli ikan dari CS untuk kembali dijual kepada konsumen. 5
Nelayan–Pedagang Pengumpul–CS–Pedagang Besar Tujuan utama pembelian ikan oleh CS pada dasarnya adalah dikirim ke
Pedagang Besar di Surabaya. Apabila telah mencapai kuota tertentu, selanjutnya ikan diekspor ke luar negeri. Kelebihan dan kekurangan dari setiap saluran pemasaran ikan segar di Kawasan Maluku Tengah dirangkum secara sederhana pada Tabel 21. Tabel 21 Karakteristik, Kelebihan dan Kekurangan Setiap Jenis Saluran Pemasaran Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah Tipe Saluran Pemasaran
Karakteristik
Kelebihan
Kekurangan
1) Nelayan – Konsumen
Konsumen biasanya tinggal dekat dengan nelayan
Hasil tangkapan segera terjual
Harga murah
2) Nelayan–Pedagang Pengecer– Konsumen
Tangkapan sedikit. Pedagang pengecer adalah isteri, saudara atau anak perempuan si nelayan
Waktu kerja isteri nelayan bertambah. Paceklik, nelayan sulit mendapat bantuan finansial
3) Nelayan–Pedagang Pengumpul– Pedagang Pengecer– Konsumen
Hasil tangkapan banyak. Hubungan kerjasama antara nelayan dengan pedagang pengumpul yang telah terbangun sejak lama.
Nelayan dan keluarganya dapat segera menikmati penjualan hasil tangkapan. Penjualan hasil tangkapan, seluruhnya dinikmati keluarga. Setiba di pasar, ikan menjadi tanggungjawab pedagang pengumpul. Ketika musim paceklik, nelayan mendapatkan bantuan finansial dari pedagang pengumpul.
Pedagang pengumpul menentukan harga. Terkadang pembayaran tidak dilaksanakan pada hari tersebut. Musim paceklik, nelayan tetap harus menjual hasil tangkapannya pada pedagang pengumpul tersebut.
87
Lanjutan Tabel 21 Tipe Saluran Pemasaran 4) Nelayan– Pedagang Pengumpul–CS– Pedagang Pengecer– Konsumen
Karakteristik Hasil tangkapan banyak. Hubungan kerjasama antara nelayan dengan pedagang pengumpul telah terbangun sejak lama. Harga yang ditentukan CS, tergantung mutu dan jenis ikan.
Kelebihan Setiba di pasar, ikan menjadi tanggungjawab pedagang pengumpul. Ketika musim paceklik, nelayan mendapatkan bantuan finansial dari pedagang pengumpul.
Pedagang pengumpul yang memutuskan, apakah ikan dijual di pasar atau di CS. Pedagang pengumpul mengambil 10% dari hasil penjualan di CS. Pada musim paceklik, nelayan tetap harus menjual hasil tangkapannya pada pedagang pengumpul tersebut.
Setiba di pasar, ikan menjadi tanggungjawab pedagang pengumpul. Ketika musim paceklik, nelayan mendapatkan bantuan finansial dari pedagang pengumpul.
Pedagang pengumpul yang memutuskan apakah ikan dijual di pasar atau di CS. Pedagang pengumpul mengambil 10% dari hasil penjualan di CS. Pada musim paceklik, nelayan tetap harus menjual hasil tangkapannya pada pedagang pengumpul tersebut.
Ketika musim ikan, pedagang pengecer membeli ikan beku dari CS, untuk selanjutnya menjualnya ke konsumen 5) Nelayan– Pedagang Pengumpul–CS– Pedagang Besar
Hasil tangkapan banyak. Hubungan kerjasama antara nelayan dengan pedagang pengumpul yang telah terbangun sejak lama. Harga yang ditentukan CS, tergantung mutu dan jenis ikan.
Kekurangan
Sumber : Hasil analisis data primer (2011) 5.1.4.2 Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga pemasaran Tabel 22 menjelaskan tentang fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh masing-masing lembaga pemasaran dalam setiap saluran pemasaran produk perikanan yang tercipta di Kawasan Maluku Tengah. Fungsi pertukaran, terutama sub fungsi penjualan dilakukan oleh semua lembaga pemasaran, sedangkan sub fungsi pembelian tidak dilakukan oleh nelayan. Berbeda dengan pada saluran pemasaran lainnya, nelayan pada saluran pemasaran pertama tidak melakukan fungsi pengangkutan. Hal ini terjadi karena hasil tangkapan nelayan hanya sedikit dan pedagang pengecer biasanya adalah isteri, anak perempuan, atau keluarga dekat si nelayan.
88
Pada saluran kedua, pedagang pengumpul tidak melakukan fungsi pengangkutan, karena biasanya nelayanlah yang membawa hasil tangkapannya ke pasar. Nelayan hanya membawa hasil tangkapannya ke pasar dan menyerahkan hasil tangkapan tersebut ke pedagang pengumpul. Dengan memperhatikan kondisi pasar serta jenis dan ukuran ikan, pedagang pengumpul kemudian memutuskan apakah hasil tangkapan nelayan akan dijual di pasar atau ke CS. Ketika pedagang pengumpul memutuskan untuk menjual ikan hasil tangkapan nelayan ke CS, maka biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang pengumpul. Apabila diputuskan Tabel 22
Fungsi-fungsi yang dilakukan lembaga pemasaran ikan segar
Saluran dan Lembaga Pemasaran
Pertukaran Jual
Beli
Fungsi-Fungsi Pemasaran Fisik Fasilitas Angkut Simpan
Saluran 1: -Nelayan * Saluran 2: -Nelayan * -Pedagang * * * * Pengecer Saluran 3: -Nelayan * * -Pedagang * * Pengumpul -Pedagang * * * * Pengecer Saluran 4: -Nelayan * * -Pedagang * * * Pengumpul -CS * * * -Pedagang * * * * Pengecer Saluran 5: -Nelayan * * -Pedagang * * * Pengumpul -CS * * * Sumber : Hasil analisis data primer (2011)
Sortasi Risiko Biaya
*
*
*
*
*
*
Infor masi Pasar
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
untuk dijual di pasar, maka sambil memperhatikan keadaan pasar, pedagang pengumpul segera menentukan harga dan mendistribusikan ikan hasil tangkapan
89
nelayan kepada pedagang pengecer. Fungsi risikopun beralih dari pedagang pengumpul kepada pedagang pengecer. Ketika pasar berangsur sepi karena pembeli mulai berkurang dan ikan tidak habis terjual, maka pedagang pengecer akan menjual ikan dengan harga lebih murah, atau bahkan di bawah biaya marginal walau harus merugi, daripada dibuang. Namun apabila yang tidak habis terjual adalah ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), tatihu (Thunnus sp) atau jenis-jenis ikan karang, maka ikan tersebut akan disimpan dalam kotak-kotak penyimpanan yang berisi es untuk selanjutnya dijual kembali pada keesokan harinya. Pada keesokan harinya para pedagang pengecer tersebut akan datang secepat mungkin untuk kembali menjual ikan yang disimpan, sebelum ikan hasil tangkapan nelayan semalam dibawa di pasar. Pada saat musim ikan dan ikan di pasar terdapat dalam jumlah banyak, tidak jarang ikan harus dibuang ke laut akibat ketidakmampuan masyarakat untuk mengonsumsinya dan sifatnya yang mudah busuk. Pedagang pengumpul harus menanggung risiko atas kondisi tersebut, apabila ikan belum dibeli oleh pedagang pengecer. Pada saat musim ikan, pedagang pengecer hanya mampu menjual 1-2 loyang (30-50 kg), sementara pada musim susah ikan, pedagang pengecer menjual hingga 3-4 loyang (90-120 kg). Hal ini disebabkan karena pada musim ikan, harga ikan cenderung rendah, sehingga pedagang pengecer dapat membeli untuk kemudian menjualnya kembali. Namun ketika musim susah ikan, hanya sejumlah pedagang pengecer yang bermodal kuat saja yang mampu membeli ikan untuk dijual kembali kepada konsumen. Seorang pedagang pengumpul pada saat musim ikan biasanya harus mendistribusikan 50-100 loyang ikan, sementara pada musim susah ikan, paling banyak hanya 50 loyang. Rataan seorang pedagang pengumpul memperoleh pendapatan Rp227 952.50 dengan kisaran Rp89 000 hingga Rp703 500. Berat ikan cakalang yang sering terjual di pasar adalah 2-3.5 kg, artinya dalam satu loyang yang biasanya terdapat 15-20 ekor, maka berat keseluruhannya adalah 40-52.5 kg. Apabila ikan cakalang beratnya ± 1 kg/ekor, maka satu loyang biasanya berisi 25-30 ekor dan apabila ikan cakalang beratnya 5 kg/ekor, maka biasanya terdapat 10 ekor dalam satu loyang. Untuk ikan pelagis kecil yang
90
ukuran per kilogramnya terdiri atas 3-5 ekor, maka satu loyang biasanya berisi 100-120 ekor dengan berat keseluruhan 32-40 kg. Sementara apabila 1 kg terdiri atas 6-7 ekor, maka satu loyang biasanya berisi 180-210 ekor dengan berat total 30-35 kg. Ikan yang dibeli oleh CS hanya jenis, ukuran dan mutu tertentu dengan harga yang cenderung stabil. Apabila pedagang pengumpul menjual ikan ke CS, maka fungsi sortasi harus dilakukannya. Fungsi penyimpanan dilakukan CS untuk kemudian akan dibeli oleh pedagang pengumpul ataupun pedagang pengecer ketika nelayan tidak mendapatkan ikan atau diekspor ke luar negeri. 5.1.4.3 Mekanisme Penentuan Harga Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006), harga suatu barang adalah nilai pasar (nilai tukar) dari barang tersebut yang dinyatakan dalam jumlah uang. Harga merupakan suatu hal yang penting dan menarik baik bagi penjual, maupun pembeli di pasar. Bagi seorang pedagang, selisih antara harga penjualan dan biaya akan menentukan besarnya laba yang merupakan dasar bagi yang bekerja pada setiap transaksi. Sementara melalui harga, seorang konsumen dapat menunjukkan jenis, mutu dan jumlah barang yang dikehendaki dan bersedia membayarnya dengan mempertimbangkan semua jasa yang diterimanya. Sekembalinya nelayan dari menangkap ikan, maka pemilik jaring akan segera menghubungi para pedagang pengumpul dan menyampaikan informasi berupa jenis dan kuantitas ikan yang tertangkap.
Karena biasanya nelayan
kembali dari laut pada menjelang pagi hari (subuh), maka apabila pedagang pengumpul telah terhubungi, nelayan akan segera membawa ikan ke pasar dengan mobil pick up. Kegiatan ini berlangsung pada pukul 3, atau 4 pagi, tetapi dapat juga terjadi ketika proses jual beli di pasar berlangsung, yaitu pukul 7 pagi–12 siang, atau bahkan setelah proses tersebut selesai, tergantung dari waktu kembalinya nelayan ke darat setelah melaut. Hampir semua nelayan purse seine, pole and line dan bagan telah memiliki pedagang pengumpul di pasar dan di antaranya telah ada kesepakatan, bahwa apabila nelayan membawa ikan ke pasar, si pedagang pengumpul yang akan menjualnya ke pedagang pengecer, baik dalam kondisi musim ikan banyak ataupun kurang. Di antara nelayan dan pedagang telah
91
terbangun suatu ikatan kerjasama selama puluhan tahun. Hubungan kerjasama yang tidak seimbang ini mengakibatkan lemahnya akses nelayan terhadap pasar, sehingga dapat berkontribusi pada kurangnya informasi tentang harga, kurangnya kesempatan untuk berhubungan dengan pelaku-pelaku pasar lainnya, distorsi atau ketidakhadiran input dan output pasar, tingginya biaya transaksi dan pemasaran (Bienabe et al., diacu dalam Tita 2011). Hidayati (2000) mengemukakan bahwa jasa lembaga pemasaran sangat diperlukan dalam proses pemasaran, karena jauhnya jarak tempat produksi dengan konsumsi. Dengan menjual hasil ke pedagang pengumpul desa, maka harga yang diperoleh petani akan lebih tinggi dibandingkan dengan jika menjual hasil ke pedagang pengumpul dusun, namun sedikitnya jumlah produk yang dipasarkan membuat petani merasa lebih efisien, apabila menjual produknya ke pedagang pengumpul
dusun.
Tidak
adanya
alternatif
tempat
meminjam
uang,
mengakibatkan petani meminjam uang untuk keperluan modal dan kebutuhan lainnya kepada pedagang pengumpul, sehingga terjadi kesepakatan yang bersifat mengikat, walaupun tidak tertulis bahwa petani harus menjual produksi rumput lautnya ke pedagang pengumpul tersebut. Crona (2010) menyatakan bahwa hubungan antara pedagang pengumpul desa dengan nelayan skala kecil telah terbangun sejak adanya proses pemasaran. Pedagang perantara menyediakan nelayan skala kecil suatu jaringan menuju pasar eksternal yang pada akhirnya mengurangi waktu dan upaya yang dibutuhkan untuk memasarkan produknya. Pedagang perantara juga menyediakan modal dalam bentuk kredit yang berfungsi sebagai akses prioritas pengaman terhadap produk (ikan) sesaat setelah ditangkap, sehingga memastikan pasokan produk stabil. Dalam bentuk keterikatan nelayan dengan pedagang, dikenal dua bentuk modal : (1) modal yang dipinjamkan oleh pedagang untuk proses produksi, misalnya bantuan perbaikan, atau pembelian alat tangkap, dan (2) sejumlah uang untuk menopang kehidupan nelayan ketika pendapatan berkurang akibat tidak bisa melaut atau hasil tangkapan berkurang. Walaupun ikan yang akan dijual merupakan hasil tangkapan nelayan, namun nelayan tidak memiliki hak sepenuhnya atas penetapan harga, dan walaupun ada negosiasi, namun pedagang pengumpul lebih mendominasi proses
92
negosiasi tersebut. Selama proses penurunan loyang, pedagang pengumpul akan terus memperhatikan kondisi pasar untuk selanjutnya menentukan harga jual ke pedagang pengecer.
Ketika proses tersebut selesai dan harga, serta cara
pembayaran telah disetujui oleh pedagang pengumpul dan pedagang pengecer, maka pedagang pengecer akan mengangkut, atau memikul loyang yang berisi ikan ke lapak-lapak penjualannya untuk selanjutnya dijual. Cara pembayaran ikan oleh pedagang pengecer dapat dilakukan pada saat ikan diambil untuk dijual, atau setelah ikan habis terjual, tergantung dari kesepakatan bersama. Biaya transportasi ikan ke pasar ditanggung oleh nelayan, sementara pedagang pengumpul biasanya akan membeli satu-dua bungkus rokok, atau membayarkan segelas teh hangat dan sepiring nasi untuk nelayan dan anak buahnya yang membawa ikan pada saat itu. Sejumlah pedagang pengumpul lebih suka menjual ikan hasil tangkapan nelayan ke CS dari pada ke pedagang pengecer, karena selain urusannya lebih mudah, harganyapun stabil. Akan tetapi CS biasanya hanya menerima ikan cakalang dan layang dengan ukuran dan mutu tertentu. Harga ikan di pasar dapat berubah dalam hitungan jam, atau bahkan menit, tergantung dari jumlah dan mutu ikan. Pengamatan di lapangan menunjukkan ketika ikan banyak di pasar, dan hasil tangkapan nelayan tetap terus dibawa ke pasar, maka harga ikan tersebut hanya dapat sama atau lebih rendah dari harga sebelumnya, sekalipun mutunya lebih baik dari ikan yang ada di pasar. Apalagi bila ikan di pasar banyak, maka harga ikan yang baru dibawa akan lebih turun. Di pasar Mardika terdapat kurang lebih 50 orang yang berfungsi sebagai pedagang perantara dan hanya setengahnya yang memiliki ijin dari pengelola pasar. Hanya 5-8 orang pedagang pengumpul yang memegang lebih dari lima (5) jaring, dengan rata-rata satu jaring menghasilkan 25-30 loyang. Setengah dari jumlah pedagang pengumpul tersebut memegang 3-5 jaring, sementara sisanya tidak sampai tiga (3) jaring. Dalam setiap kegiatan ekonomi, modal adalah unsur yang harus sangat diperhitungkan, baik modal bergerak, atau tidak bergerak. Sistem yang telah terbangun sejak lama dalam proses pemasaran produk perikanan segar mengakibatkan peran pedagang perantara tidak dapat dilihat hanya sebagai
93
pelengkap, yang berarti, walau tanpa kehadiran sub sistem ini, proses pemasaran akan tetap berjalan lancar. Sebagian besar pedagang pengumpul yang juga berfungsi sebagai pedagang perantara pada awalnya memulai fungsinya ini sebagai pedagang pengecer juga. Sebelum terbangun sistem seperti ini, para pedagang pengecer harus membeli ikan yang nantinya dijual ke nelayan di pinggir pantai. Itu berarti bahwa pedagang pengecer harus berada di pinggir pantai pada pagi buta. Setelah ikan dibeli, pedagang ikan harus segera ke pasar untuk kemudian menjual ikannya. Ikan dapat langsung dibayar pada saat diambil, atau setelah habis terjual, tergantung kesepakatan antara nelayan dengan pedagang. Seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi, saat ini setelah ikan hasil tangkapan nelayan didaratkan, ikan segera dibawa ke pasar. Pedagang pengumpul yang membawahi nelayan tersebut, sebelumnya telah berada di pasar untuk kemudian akan mengkoordinir penjualan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan kepada pedagang pengecer. Pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan, apakah pada saat pembelian atau setelah ikan habis terjual oleh pedagang pengecer. Pedagang pengecer produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah mempunyai beberapa cara dan strategi untuk menarik konsumen membeli ikan yang dijualnya. Cara yang lazim digunakan adalah dengan menambah satu (1), atau dua (2) ekor ikan kepada konsumen. Umumnya ikan dijual per tumpuk dengan harga Rp5 000 – Rp10 000 ketika ikan banyak dan Rp20 000 ketika ikan hanya sedikit di pasar. Menurunkan harga jarang sekali dilakukan pedagang ikan, namun ketika 1-2 ekor ikan ditambahkan kepada konsumen, secara tidak sengaja pedagang telah menurunkan harga jual ikan. Weisbuch et al. (2000) dalam penelitiannya tentang organisasi pasar dan hubungannya dengan perdagangan, menemukan bahwa keloyalan pembeli terhadap pedagang di pasar ikan Marseille terbagi atas dua (2) tipe: pembeli yang loyal terhadap satu pedagang dan pembeli yang cenderung memilih pedagang secara acak. Gallegati et al. (2011) menunjukkan bahwa tingkat keloyalan tersebut semakin meningkat apabila pembeli memperoleh ikan bermutu dengan harga yang diinginkan. Penelitian yang dilakukan oleh Cirillo (2012) di Boulogne Fish Market menunjukkan bahwa keloyalan dimiliki baik penjual dan pembeli, akan
94
tetapi penjual lebih loyal terhadap pembeli daripada sebaliknya. Hal ini mungkin
Gambar 11 Tumpukkan ikan yang masih utuh, maupun yang telah dikeluarkan kepala dan isi perutnya.
Gambar 12 Tumpukkan ikan yang disusun dengan menggunakan potongan bambu.
disebabkan oleh cukup besarnya agen dalam hubungannya dengan kuantitas yang diperdagangkan. Sejumlah pembeli akan secara acak mencari penjual yang dapat memuaskan keinginannya, walau ia telah memiliki beberapa pedagang yang telah loyal kepadanya. Selanjutnya disimpulkan bahwa keloyalan turut memengaruhi harga, membangkitkan dispersi harga dan diskriminasi antar agen. Gambar 11 dan 12 memperlihatkan strategi pedagang menarik konsumen untuk membeli ikannya. Gambar di sebelah kiri memperlihatkan ada dua (2) tumpuk ikan, yang setiap tumpukannya dihargai Rp5 000 oleh pedagang. Setumpuk ikan telah dibersihkan (kepala dan isi perut telah dibuang), sementara tumpukan lainnya dijual utuh lengkap dengan kepala. Ada konsumen yang lebih memilih tumpukan ikan yang telah bersih, karena waktu yang digunakan untuk membersihkan ikan dapat digunakan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya, namun ada juga konsumen yang memilih ikan yang masih utuh, karena selain memang menyenanginya, potongan kepala ikan dan isi perut digunakan untuk makanan ternak. Tumpukan ikan yang disusun dengan menggunakan potongan bambu (Gambar 12) bertujuan untuk menarik perhatian konsumen, karena umumnya hanya ikan yang benar-benar segar saja yang dapat disusun dengan bilah-bilah bambu. Apabila ikan yang benar-benar segar disusun tidak menggunakan
95
penyanggah bambu, maka ikan-ikan tersebut akan tergelincir, karena licin akibat adanya lendir yang dikeluarkan dari dalam tubuhnya, sehingga akhirnya tidak tersusun dengan rapi. 5.1.5
Analisis Keragaan Pasar (Market Performance) Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah Analisis keragaan pasar ikan segar di Kawasan Maluku Tengah diukur
berdasarkan efisiensi harga yang meliputi margin pemasaran. 5.1.5.1 Margin Pemasaran Margin pemasaran adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir (Hanafiah dan Saefuddin, 2006). Walau dipahami bahwa di Kawasan Maluku Tengah terdapat lima (5) bentuk saluran pemasaran, namun empat (4) saluran pemasaran pertama adalah yang paling lazim digunakan oleh nelayan maupun pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena CS yang berfungsi sebagai tempat pengumpulan ikan untuk dikirim ke pedagang besar di Surabaya dan selanjutnya diekspor ke Luar Negeri, hanya membeli ikan dengan jenis, ukuran dan kualitas tertentu. Oleh karena itu, perhitungan margin pada Tabel 23 hanya dijabarkan berdasarkan empat (4) bentuk saluran pemasaran pertama. Dari tabel tersebut terlihat bahwa apabila saluran pemasaran pendek, maka nelayan akan menerima bagian yang lebih besar, sehingga margin pemasaran kecil. Sebaliknya, suatu saluran pemasaran yang panjang dapat mengakibatkan penerimaan nelayan menjadi kecil dan margin pemasaran menjadi besar. Hanafiah dan Saefuddin (2006) menyatakan bahwa panjang pendeknya saluran pemasaran yang dilalui oleh suatu hasil perikanan tergantung pada beberapa faktor, antara lain :
96
Tabel 23 Perhitungan margin pemasaran ikan segar di Kawasan Maluku Tengah No 1
2
3
4
Uraian Saluran 1 - Harga Beli (Rp/kg) - Harga Jual (Rp/ kg) - Margin Pemasaran Saluran 2 - Harga Beli (Rp/kg) - Harga Jual (Rp/ kg) - Margin Pemasaran Saluran 3 - Harga Beli (Rp/kg) - Harga Jual (Rp/ kg) - Margin Pemasaran Saluran 4 - Harga Beli (Rp/kg) - Harga Jual (Rp/kg) - Margin Pemasaran
Pedagang Pengumpul
Nelayan
Pedagang KonsuPengecer men
CS
Total
-
-
-
-
9 000
-
9 000
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0
-
-
-
10 000
14 000
-
10 000
-
-
14 000
-
-
-
-
-
4 000
-
4 000
-
8 124
-
10 000
14 000
-
8 124
10 000
-
14 000
-
-
-
1 876
-
4 000
-
5 876
-
8 124
15 000
20 000
25 000
-
8 124
12 500
20 000
25 000
-
-
-
4 376
5 000
5 000
-
14 000
Sumber : Hasil analisis data primer (2011) a. Jarak antara produsen dan konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh produk. Produsen dan pasar (konsumen) produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah ada yang letaknya berdekatan, namun tak sedikit pula yang berjauhan. b. Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat atau mudah rusak harus segera diterima konsumen, dengan demikian membutuhkan saluran pendek dan cepat. c. Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil, maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula, maka hal tersebut tidak menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Dalam keadaan demikian kehadiran pedagang perantara diharapkan, sehingga saluran pemasaran yang dilalui cenderung menjadi panjang.
97
d. Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung untuk memperpendek saluran tataniaga, karena sejumlah fungsi pemasaran dapat dilakukannya sendiri dibandingkan dengan pedagang yang posisi modalnya lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung memperpendek saluran pemasaran. 5.2
Analisis Fisherman’s share Salah satu indikator yang cukup berguna untuk mengetahui efisiensi pasar
produk perikanan adalah membandingkan bagian yang diterima nelayan (fishermen’s share) dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dan sering dinyatakan dalam persentase. Umumnya, bagian yang diterima nelayan akan menjadi lebih sedikit apabila jumlah pedagang perantara bertambah panjang. Tabel 24 Fisherman’s share pemasaran ikan segar Saluran Pemasaran Saluran Pemasaran 1 Saluran Pemasaran 2
Harga di Tingkat Nelayan (Rp) 9 000
Harga di Tingkat Fishermen’s Konsumen Share (Rp) (%) 9 000 100.00
10 000
14 000
71.43
Saluran Pemasaran 3
8 124
14 500
58.03
Saluran Pemasaran 4
8 124
25 000
32.50
Sumber : Hasil analisis data primer (2011) Perhitungan Fishermen’s share bertujuan untuk mengetahui besarnya bagian yang diterima nelayan sebagai produsen pada setiap saluran pemasaran yang terjadi. Share nelayan terbesar terdapat di saluran pemasaran pertama, yang terdiri dari nelayan, pedagang pengecer dan konsumen (Tabel 24). Dengan demikian terlihat bahwa semakin panjang suatu saluran pemasaran, semakin kecil share yang diperoleh nelayan sebagai produsen. Hanafiah dan Saefuddin (2006) menyatakan bahwa banyak orang berpendapat terlampau banyak pedagang perantara yang bersaing pada setiap tindakan dalam proses pemasaran adalah pemborosan dan tidak ada gunanya. Jumlah perantara yang lebih sedikit dianggap akan bekerja dengan biaya per satuan yang lebih rendah, sehingga mengurangi biaya pemasaran dan memperbesar efisiensi. Akan tetapi perlu disadari juga bahwa pengurangan
98
pedagang perantara yang bersaing dapat menyebabkan pilihan konsumen terbatas dan mungkin konsumen terpaksa menerima layanan yang lebih buruk dan produk bermutu rendah. Demikian pula dengan anggapan bahwa terlampau banyak pedagang perantara yang bekerja pada saluran pemasaran secara vertikal akan menambah biaya pemasaran dan sebaliknya makin sedikit pedagang perantara makin cepat, makin murah dan makin efisien suatu produk disalurkan ke konsumen. Namun dengan sifat produk perikanan yang banyak dihasilkan di daerah terpencar dan jauh dari konsumen sering mengakibatkan banyak pedagang perantara yang diperlukan untuk bekerja pada tingkat berbeda dalam proses pemasaran. 5.3
Integrasi Pasar Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah Integrasi pasar merupakan salah satu indikator untuk mengetahui efisiensi
pasar (Heytens diacu dalam Adiyoga et al., 2006). Ketika pasar belum terintegrasi,
sehingga
mengakibatkannya
pemerintah sangat diperlukan.
tidak
efisien,
maka
kebijakan
Indikasi ketidakefisienan suatu pasar adalah
perbedaan harga yang masih relatif besar antar daerah untuk harga di tingkat produsen, maupun konsumen. Integrasi harga spasial dapat diartikan sebagai transmisi harga antar pasar, yang direfleksikan dalam perubahan harga di pasar berbeda geografis untuk komoditi yang sama. Ravallion (1986) mengatakan bahwa jika terjadi perdagangan antara dua (2) wilayah, kemudian harga di wilayah yang mengimpor komoditi sama dengan harga di wilayah yang mengekspor komoditi, ditambah dengan biaya transportasi yang timbul akibat perpindahan di antara keduanya, maka dapat dikatakan di antara kedua pasar tersebut terjadi integrasi spasial. 5.3.1
Jenis Ikan yang Dominan Dijual di Pasar di Kawasan Maluku Tengah Tiga (3) jenis ikan dominan dijual di beberapa pasar di Kota Ambon
maupun Kawasan Maluku Tengah pada bulan Mei hingga September 2011, ditunjukkan oleh Gambar 13. Terlihat bahwa umumnya ikan yang dominan dijual pada saat itu adalah Selar, Layang, Cakalang, Tongkol dan Madidihang, dengan rata-rata harga per kg berturut-turut Rp17 046, Rp16 566, Rp18 833, Rp16 421 dan Rp17 109. Penangkapan ikan cakalang banyak menggunakan alat tangkap
99
pole and line (huhate), sementara ikan Selar, Layang dan Tongkol ditangkap
140 Selar
120 100
Layang
80 Cakalang
60 40
Tongkol
20 Madidihang 0 Pasar Mardika Selar Cakalang Pasar Passo Cakalang Layang Pasar Salahutu Selar Layang Pasar Leihitu Layang Tongkol Pasar Binaya Selar Layang Pasar Piru Cakalang Madidihang Pasar Bula Cakalang Selar
Jumlah kemunculan di pasar
dengan menggunakan purse seine.
Jenis ikan yang dominan dijual di pasar
Sumber : Analisis data primer (2011) Gambar 13 Tiga jenis ikan dominan yang dijual di beberapa pasar di Kawasan Maluku Tengah pada bulan Mei hingga September 2011.
Dalam buku Tahunan Statistik Perikanan Provinsi Maluku (2009), dinyatakan bahwa sepanjang tahun 2009 di Provinsi Maluku, ikan Cakalang diproduksi terbanyak (35 717.2 ton), diikuti Tongkol
32 243.4 ton, Layang
28 308.1 ton, Kembung 10 072.5 ton, Madidihang 10 863.3 ton dan Selar 8 283 ton. Sementara pada tahun 2010, produksi ikan Cakalang masih yang terbanyak (35 952.4 ton), kemudian Layang sebanyak 27 798.2 ton, Tongkol 23 645.2 ton, Kembung 14 838.6 ton, Selar 7 554.6 ton dan Madidihang 6 769.9 ton. Ikan Cakalang bukan merupakan satu (1) dari tiga (3) ikan dominan yang dijual di pasar Leihitu, walaupun alat tangkap ikan cakalang banyak terdapat di Leihitu dan sekitarnya, karena mungkin di daerah tersebut terdapat PT Aneka Tata Bahari yang adalah perusahaan perikanan di bidang penyimpanan (Cool Storage), sehingga ikan Cakalang lebih banyak dijual ke perusahaan tersebut. Ikan yang berada di pasar Mardika umumnya dibawa dari sentra-sentra produksi seperti Latuhalat dan sekitarnya (Kecamatan Nusaniwe), Salahutu dan Leihitu
100
(Kabupaten Maluku Tengah), serta daerah Kecamatan Leitimur Selatan. Ikan dari Salahutu selain ditangkap di perairan Kecamatan Salahutu (Desa Tulehu dan Waai), banyak juga dibawa dari pulau-pulau sekitar, seperti Haruku, Saparua, dan Nusalaut. Sementara ikan di daerah Leihitu, selain ditangkap di perairan Leihitu, sering juga dibawa dari Desa-desa di bagian barat Pulau Seram. 5.3.2
Dinamika Harga Ikan Segar Gambar 14 menunjukkan dinamika harga produk perikanan selama empat
(4) bulan penelitian (Mei-September 2011). Terlihat dari gambar tersebut bahwa harga ikan di Kawasan Maluku Tengah sangat berfluktuasi. Gambar tersebut juga seakan menegaskan apa yang tertulis di Kompas (5 Desember 2011) bahwa harga produk perikanan di Maluku sangat berfluktuatif. Dari hasil pengamatan di lapangan, fluktuasi harga produk perikanan tersebut bisa terjadi dalam hitungan jam, atau menit tergantung dari banyaknya ikan yang terdapat di pasar, jumlah konsumen yang berbelanja, tidak diterapkannya rantai dingin pada produk selama proses berjualan dan lamanya waktu pedagang berjualan. Di pagi hari ketika jumlah ikan yang dijual di pasar masih sedikit, harga biasanya tinggi. Namun dengan bertambahnya waktu dan semakin banyak ikan yang dibawa ke pasar, maka harganya akan cenderung turun. Dengan sifat dan karakteristik ikan yang mudah busuk, maka apabila dalam penjualannya, pedagang tidak menerapkan rantai dingin, mengakibatkan semakin menurun mutu ikan sehingga turut menurunkan harganya. Hal ini akan diperparah apabila pedagang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghabiskan dagangannya, karena semakin siang, biasanya harga ikan semakin menurun. Di pasar tradisional di kota Ambon maupun kawasan Maluku Tengah, ikan tidak dijual dalam satuan kilogram, melainkan dalam satuan tumpuk untuk ikan-ikan kecil seperti Selar (Selaroides sp), Layang (Decapterus sp), Sardin (Rastrelliger sp) dan lainnya. Sementara untuk ikan-ikan besar seperti Cakalang (Katsuwonus pelamis), Madidihang (Thunnus sp), atau Tongkol (Auxis thazard) lebih banyak dijual dalam satuan ekor. Namun tidak jarang pula ditemui pedagang menjual potongan ikan Cakalang, atau Madidihang dengan ukuran ± 5 x 5 cm dengan tebal 1.5 cm sebanyak 8-10 potong yang dijual per tumpuk
101
Rp10 000 pada musim banyak ikan atau Rp20 000 pada musim susah ikan. Tindakan ini merupakan salah satu strategi pedagang dalam menjual ikan ketika harganya dianggap konsumen terlalu mahal.
Harga per tumpuk ikan biasanya
relatif stabil, yaitu Rp10 000, Rp15 000, hingga Rp20 000, namun jumlah dan ukuran ikan dalam tumpukan tersebut bervariasi mengikuti kondisi pasar dan mutu ikan. Ikan Cakalang, atau Madidihang juga sering dijual dalam bentuk belahan dua (2) atau empat (4), memanjang dari kepala hingga ekor, yang harganya tergantung pada ketersediaan ikan di pasar pada saat itu. Gambar 14 juga menunjukkan bahwa pada umumnya trend kenaikan maupun penurunan harga terjadi hampir secara bersamaan di pasar-pasar tersebut, walaupun besar kenaikan, maupun penurunan tersebut tidak sama. Kondisi terendah pada harga Rp4 966.67 yang terjadi pada hari ke 56 dan 84, atau pada bulan Juli dan Agustus di pasar Leihitu. Sementara harga tertinggi terjadi di pasar
Rataan Harga Ikan (Rp/Kg)
Salahutu pada hari ke 2 dan 27.
Hari Pengamatan
Sumber : Analisis data primer (2011) Gambar 14 Fluktuasi harga ikan segar di beberapa pasar di Kawasan Maluku Tengah. Pada pagi hari ketika ikan di pasar hanya sedikit, maka biasanya ikan dijual Rp20 000, per tumpuk. Seiring dengan bertambahnya waktu dan semakin banyak ikan dibawa ke pasar, harga dapat berkurang, atau jumlah ikan dalam tumpukan dapat bertambah. Apabila mutu ikan yang dijual mulai menurun, maka
102
pedagang tidak memiliki pilihan selain menambah jumlah ikan dalam tumpukan, sehingga jika dikonversikan ke satuan kilogram, harga ikan akan lebih murah lagi. Harga rataan ikan di pasar Leihitu berada di bawah pasar lainnya. Ikan umumnya dijual dalam satuan tumpuk seharga Rp5 000–10 000, namun ketika dikonversikan ke dalam satuan kilogram, harga ikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga ikan di pasar-pasar lainnya. Hal ini mungkin disebabkan kapasitas penawaran produk perikanan melebihi permintaannya. Dari Buku Tahunan Statistik Perikanan Provinsi Maluku Tahun 2010 terlihat bahwa Rumah Tangga Perikanan (RTP) terbanyak di Provinsi Maluku terdapat di Kabupaten Maluku Tengah 14 502 unit. Dari jumlah tersebut, RTP terbanyak di Kabupaten Maluku Tengah terdapat di Kecamatan Leihitu 2 714 unit dan 48 unit di Kecamatan Leihitu Barat, sementara jumlah nelayan tangkap masing-masing Kecamatan, 4 365 orang dan 1 522 orang. Dengan kenyataan tersebut, maka bukanlah suatu hal yang mustahil, apabila harga ikan di pasar Leihitu berada di bawah harga rataan ikan di pasar-pasar lainnya. Penawaran dan permintaan akan suatu produk menentukan, apakah harga produk tersebut berada di atas, atau di bawah harga tingkat umum. Jika penawaran dari dan permintaan akan suatu produk sama dengan penawaran dari dan permintaan akan keseluruhan produk, maka harga-harga dari setiap produk akan mendekati tingkat yang sama dari semua harga. Namun jika penawaran suatu produk relatif lebih besar dari permintaannya, maka harga barang tersebut secara relatif akan berada di bawah tingkat harga umum dan sebaliknya apabila penawaran dari suatu barang lebih kecil dari permintaannya, maka harga barang tersebut secara relatif akan berada di atas tingkat harga umum (Hanafiah dan Saefuddin, 2006). Ketika musim ikan, jumlah ikan yang ditawarkan oleh pedagang banyak sehingga harganya berada di bawah harga tingkat umum. Harga ikan Sardin (Rastrelliger sp) atau Layang (Decapterus sp) sebanyak satu (1) tas kresek besar mencapai Rp5 000. Padahal tingkat kesukaan, atau preferensi seseorang, kemampuan konsumsi yang terbatas dan sifat karakteristik ikan yang mudah busuk mengakibatkan ikan tidak dapat dibeli banyak, walaupun harganya murah.
103
5.3.3
Tingkat Integrasi Pasar Produk Perikanan di Kawasan Maluku Tengah Hasil analisis regresi pengujian integrasi pasar produk perikanan di
Kawasan Maluku Tengah ditunjukkan oleh Tabel 25 dan 26. Ketika Pasar Mardika dijadikan sebagai pasar acuan dan pasar Salahutu, Leihitu, Passo, Piru, Binaya dan Bula dijadikan sebagai pasar pengikut, terlihat bahwa nilai koefisien 1 + b1 pada rataan harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual pada pasar-pasar lokal atau pengikut (i) tersebut pada waktu t-1 (P3it-1) masing-masing adalah 0.550, 0.206, 0.250, 0.585, 0.678 dan 0.151.
Hasil nyata yang ditunjukkan
1+b1≠ 0 mengindikasikan bahwa seluruh pasar pengikut tersegmentasi secara temporal dengan pasar Mardika sebagai pasar acuan. Tabel 25 Hasil analisis pengujian integrasi pasar dengan Pasar Mardika sebagai pasar acuan Koefisien Pasar Pengikut Intersep P3it-1 (P3t – P3t-1) P3t-1 IMC R2 Df Pasar acuan : Mardika Ambon Salahutu
5 874.387
0.550*
0.119
Leihitu
6 809.358
0.206*
0.013
Passo Ambon
17 973.739
0.250*
SBB
1 676.176
Binaya SBT
0.174*
4.122
0.411
106
-0.022
5.289
0.049
106
-0.035
-0.141*
3.196
0.171
106
0.585*
0.228*
0.387*
7.657
0.682
106
1 028.769
0.678*
0.203*
0.305*
4.498
0.781
106
16 477.682
0.151
-0.026
0.023
8.992
0.026
106
*) nyata pada α 0.05 Sumber : Hasil analisis (2011) Selanjutnya pada analisis b2 yang merupakan ukuran derajat perubahan harga di pasar acuan yang ditransmisi ke pasar regional (P3t – P3t-1), diperoleh bahwa seluruh pasar pengikut menunjukkan hasil yang nyata, karena keseluruhan nilai b2≠1. Itu berarti bahwa seluruh pasar tidak terintegrasi secara spasial dalam jangka panjang. Integrasi harga spasial dapat diartikan sebagai transmisi harga antar pasar, yang direfleksikan dalam perubahan harga di pasar yang berbeda secara geografis untuk komoditi yang sama. Menurut Ravallion (1986), jika
104
terjadi perdagangan antara dua (2) wilayah, kemudian harga di wilayah yang mengimpor komoditi sama dengan harga di wilayah yang mengekspor komoditi, ditambah dengan biaya yang timbul karena perpindahan di antara keduanya maka dapat dikatakan keduanya terjadi integrasi spasial. Pengujian koefisien b3-b1 untuk rataan harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual di pasar acuan pada waktu t-1 (P3t-1) menunjukkan bahwa keseluruhan pasar menunjukkan hasil yang nyata, karena seluruh nilai koefisien b3-b1≤ 0. Nilai negatif hasil perhitungan koefisien b3-b1 dari masing-masing pasar, Pasar Salahutu (-0.376), pasar Leihitu (-0.228), pasar Passo (-0.391), pasar Piru (-0.198), pasar Binaya (-0.373) dan pasar Bula (-0.128) mengartikan bahwa seluruh pasar tidak terintegrasi secara spasial dalam jangka pendek. Ketidakterintegrasi pasar-pasar tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapatnya aliran informasi (flow of information) pasar, meskipun mungkin ada aliran produk (flow of product) antar pasar tersebut. Ketika penelitian ini dilakukan, hampir di seluruh pelosok di Provinsi Maluku mengalami hujan dan angin kencang yang mengakibatkan laut bergelombang. Hujan dan angin kencang, ditambah dengan terbatasnya infrastruktur informasi pada saat itu, sering mengakibatkan terjadinya gangguan dalam berkomunikasi. Padahal dengan komunikasi yang baik, pedagang dapat memperoleh informasi untuk menunjang kegiatan penjualan. Kesukaan masyarakat Maluku akan ikan yang tingkat kesegarannya tinggi juga turut memengaruhi pedagang untuk hanya menjual ikan di pasar-pasar terdekat. Apalagi bila dalam proses penangkapan, nelayan tidak menerapkan rantai dingin yang baik, sehingga produk dengan cepat dapat mengalami kemunduran mutu. Kondisi laut yang bergelombang pada saat itu juga, mengakibatkan hasil tangkapan nelayan tidak banyak, sehingga hanya dijual di pasar-pasar lokal. Ketidakterintegrasi Pasar Binaya maupun pasar Piru dengan pasar Mardika juga diduga disebabkan oleh umur kedua pasar tersebut. Sebagai pasar yang berada di kabupaten yang tertua di Pulau Seram, Binaya telah mempunyai pangsa pasar tersendiri. Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan daerah-daerah ini telah dilihat sebagai pasar potensial di Kawasan Maluku Tengah. Peningkatan jenis dan jumlah transportasi yang menghubungkan Pulau Seram dengan Pulau
105
Ambon, maupun pulau Ambon dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia juga telah membawa dampak positif bagi pembangunan ekonomi masyarakat di kedua Kabupaten tersebut, yang pada akhirnya juga turut meningkatkan daya beli masyarakat. Tidak terintegrasinya pasar-pasar pengikut dengan pasar acuan, dalam hal ini pasar Mardika, mengakibatkan belum efisiennya sistem pemasaran di pasarpasar tersebut. Pedagang cenderung untuk menentukan harga lebih tinggi, atau rendah dari harga normal. Rosyidi (2011) menyatakan bahwa harga terjadi karena dua (2) faktor yang terdapat bersama-sama dalam barang, atau jasa yang dijual, yakni faktor manfaat dan kelangkaan. Dari kedua faktor tersebut muncullah pengertian bahwa harga terbentuk karena seimbangnya permintaan dan penawaran. Berbedanya pola permintaan yang dihadapi oleh produsen mengakibatkan perbedaan kurva permintaan individual bahkan permintaan pasar. Sifat dan karakteristik produk perikanan yang musiman dan mudah busuk, apalagi jika pada produk tersebut tidak diterapkan perlakuan rantai dingin yang pada akhirnya turut mempengaruhi harga dan pola permintaan seseorang. Walaupun jarak pasar Passo dekat dengan pasar Mardika dibandingkan jarak pasar lainnya dengan pasar Mardika, namun pasar ini juga tidak terintegrasi dengan pasar Mardika lebih disebabkan oleh kosumen yang berbelanja di pasar ini memiliki kelas (segmen) tersendiri. Hasil analisis pengujian integrasi pasar dengan pasar Binaya yang terletak di Kabupaten Maluku Tengah sebagai pasar acuan, ditunjukkan pada Tabel 26. Pasar Salahutu dan Leihitu secara geografis yang terletak di Pulau Ambon, namun secara administratif tergabung dengan Kabupaten Maluku Tengah yang terletak di Pulau Seram, bersama pasar Piru di Kabupaten Seram Bagian Barat dan pasar Bula di Kabupaten Seram Bagian Timur, dijadikan pasar lokal atau pengikut (i). Koefisien 1 + b1 pada rataan harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual di pasar-pasar lokal atau pengikut (i) tersebut pada waktu t-1 (P3it-1) menunjukkan hasil yang nyata, dimana 1 + b1 ≠ 0 yang berarti bahwa pasar Binaya sebagai pasar acuan dengan masing-masing pasar pengikut tersebut tidak terintegrasi secara temporal. Analisis koefisien b2 yang menunjukkan transmisi perubahan harga antara pasar acuan dengan pasar regional (P3t – P3t-1) menghasilkan nilai
106
yang nyata dan berada di antara angka 0 dan 1. Nilai koefisien b2 dari Pasar Piru 1,090 mengartikan bahwa pasar ini lebih terintegrasi secara spasial dalam jangka panjang dengan pasar Binaya dibandingkan dengan pasar lain, dimana pasar Binaya sebagai pasar acuan. Sementara pasar Salahutu menunjukkan angka 0.034, pasar Leihitu 0.067 dan Bula 0.202 menggambarkan bahwa transmisi perubahan harga antara pasar Binaya di Kabupaten Maluku Tengah dengan pasar Piru di Kabupaten Seram Bagian Barat lebih cepat dibandingkan dengan pasar-pasar pengikut lainnya. Tabel 26 Hasil analisis pengujian integrasi pasar dengan Pasar Binaya sebagai acuan Koefisien Pasar Pengikut Intersep P3it-1 (P3t – P3t-1) P3t-1 IMC R2 Df Pasar acuan : Binaya Maluku Tengah Salahutu
5 578.491
0.541*
0.034
0.175*
4.210
0.423
106
Leihitu
6 321.945
0.209*
0.067
0.005
5.926
0.055
106
SBB
23.843
0.114
1.090*
0.911*
0.317
0.948
106
SBT
16 252.852
0.150
0.202
0.035
10.000
0.051
106
*) nyata pada α 0.05 Sumber : Hasil analisis (2011) Pengujian koefisien b3-b1 untuk rataan harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual di pasar acuan pada waktu t-1 (P3t-1) menunjukkan bahwa keseluruhan pasar menunjukkan hasil nyata, karena seluruh nilai koefisien b3-b1 ≠ 0 dan b3-b1< 0. Koefisien b3-b1 menunjukkan nilai negatif (pasar Salahutu -0.366, Leihitu -0.204 dan Bula -0.015) mengartikan bahwa seluruh pasar tersegmentasi dalam jangka pendek. Pasar Piru yang menunjukkan nilai 0.797 mengartikan bahwa Pasar Piru lebih terintegrasi dengan pasar Binaya dalam jangka pendek dibandingkan dengan pasar-pasar pengikut lainnya dengan pasar Binaya. Ketika Pasar Mardika dijadikan sebagai pasar acuan, maka nilai Integration Market Coeficient (IMC) pasar Salahutu, Leihitu, Passo, SBB, Binaya dan SBT yang merupakan pasar pengikut (reference market) menunjukkan angka > 1 (Tabel 25). Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak terjadi integrasi jangka pendek antara harga ikan di pasar acuan Mardika dengan pasar-pasar
107
lainnya sebagai pasar pengikut. Nilai IMC yang jauh lebih kecil dari 0 menunjukkan derajat integrasi lemah, atau bahkan tidak ada sama sekali. Dengan demikian, perubahan harga yang terjadi di pasar Mardika tidak dapat ditransmisikan dengan baik ke seluruh pasar pengikut. Untuk tiba di pasar Mardika yang terletak di pusat Kota Ambon, produk perikanan hasil tangkapan nelayan Kecamatan Salahutu dan sekitarnya, nelayan Kecamatan Leihitu dan sekitarnya, nelayan Kecamatan Leitimur Selatan dan sekitarnya harus melewati sejumlah pasar, termasuk pasar-pasar yang menjadi lokasi penelitian ini. Sejumlah ikan akan diturunkan terlebih dahulu di pasar-pasar tersebut untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang tinggal dan/atau berbelanja di pasar tersebut. Karenanya perubahan harga yang terjadi di pasar Mardika tidak dapat tertransmisikan dengan baik ke pasar-pasar pengikut tersebut. Hanafiah dan Saefuddin (2006) menyatakan bahwa harga terbentuk dari hasil kerjasama banyak faktor, yang digolongkan ke dalam kekuatan penawaran dan permintaan yang besarnya tidak tetap, tetapi berubah-ubah baik dalam jangka pendek maupun panjang. Perubahan permintaan dalam jangka pendek biasanya disebabkan oleh perubahan dalam harga barang pengganti, perubahan dalam preferensi dan taste konsumen dan dalam jangka panjang terjadi karena pertambahan penduduk, perubahan pendapatan per kapita dan perubahan kebiasaan membeli dari konsumen. Sementara perubahan penawaran dalam jangka pendek sering tergantung pada kebutuhan penjual akan uang, biaya penyimpanan dan perkiraan tentang harga-harga mendatang, sedangkan dalam jangka panjang sangat tergantung pada kesediaan produsen untuk memproduksi barangnya. Selain itu, tingkat harga suatu barang di pasaran turut ditentukan oleh tingkat harga umum. Apabila tingkat harga umum rendah, maka harga produk tersebut cenderung rendah, sebaliknya bila tingkat harga umum tinggi, maka harga produk tersebut cenderung tinggi pula. Ketika pasar Binaya yang terdapat di Masohi (Maluku Tengah) dijadikan pasar acuan bagi pasar Salahutu, Leihitu, Piru dan Bula, hanya nilai IMC di pasar Piru yang memberikan nilai positif dan mendekati nilai 0 (Tabel 26). Pasar Salahutu dan Leihitu yang walau terletak di pulau Ambon, namun secara administratif merupakan pasar tingkat Kecamatan pada Kabupaten Maluku
108
Tengah. Hal ini mengakibatkan nelayan-nelayan yang ada di sentra produksi Leihitu dan Salahutu lebih mudah mendistribusikan hasil tangkapannya ke Kota Ambon dibandingkan ke Masohi sebagai pusat Kabupaten Maluku Tengah, akibat ketersediaan sarana transportasi yang lebih mudah dengan harga lebih murah. Jumlah penduduk di Kota Ambon yang lebih banyak dari Kabupaten Maluku Tengah, sementara produksi perikanan Kabupaten Maluku Tengah yang lebih besar dari Kota Ambon, juga turut mengakibatkan nelayan-nelayan yang ada di Leihitu dan Salahutu lebih memilih untuk memasok produksi tangkapannya ke pasar-pasar di Kota Ambon dari pada dibawa ke pusat Kabupaten Maluku Tengah (Masohi). Tabel 27 Rangkuman hasil pengujian integrasi pasar ikan segar di Kawasan Maluku Tengah Pasar Acuan : Mardika Terintegrasi Terintegrasi Terintegrasi spasial jangka spasial jangka temporal Pasar pengikut panjang pendek Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Passo * * * Salahutu * * * Leihitu * * * Piru * * * Binaya * * * Bula * * * Pasar Acuan : Binaya Terintegrasi Terintegrasi Terintegrasi spasial jangka spasial jangka temporal Pasar pengikut panjang pendek Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Salahutu * * * Leihitu * * * Piru * * * Bula * * * Sumber : Hasil analisis (2011) Pengujian terhadap ketiga pasar lainnya seperti pasar Piru, Binaya dan Bula yang terletak di pulau Seram menunjukkan nilai negatif dan menjauhi angka 0. Secara umum, IMC yang bernilai mendekati 0 menunjukkan derajat integrasi pasar yang tinggi. Ini berarti bahwa perubahan harga di pasar Binaya ditransmisikan dengan baik ke pasar Piru. Rangkuman hasil analisis integrasi
109
pasar Mardika, maupun pasar Binaya dengan pasar-pasar pengikut yang ada di Kawasan Maluku Tengah disajikan pada Tabel 27. Ketika dua pasar dinyatakan tidak terintegrasi, itu berarti pasar pengikut tidak dapat dengan cepat melakukan penyesuaian terhadap perubahan harga yang terjadi di pasar acuan. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya sarana komunikasi yang cukup sehingga informasi tentang kondisi pasar tidak tersampaikan dengan baik. Padahal komunikasi merupakan salah satu faktor penentu integrasi pasar, selain transportasi dan karakteristik produk tersebut (Munir 1997). Selain itu, penjualan ikan dalam satuan tumpuk turut mengakibatkan adanya perbedaan harga yang cukup besar, ketika harga ikan dikonversikan ke dalam satuan kilogram. Walaupun kelihatannya harga ikan di setiap pasar mirip, namun perbedaan jumlah dan berat ikan yang dijual mengakibatkan adanya perbedaan harga antar pasar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa selama efisiensi pemasaran tidak terjadi di pasar-pasar yang diuji, kecuali antara pasar Piru (SBB) dengan pasar Binaya (Maluku Tengah). Hal ini mungkin disebabkan karena faktor-faktor pembentuk harga, karakteristik dan daya beli masyarakat di kedua daerah ini lebih mirip dibandingkan dengan faktor-faktor tersebut di pasar-pasar lainnya. Purwoto (2001) menyatakan, saat pasar belum berjalan efisien, kebijakan pemerintah sangat diperlukan agar harga bahan pangan terjangkau oleh daya beli masyarakat dan ketahanan pangan rumahtangga dapat terwujud. 5.4
Analisis Faktor Pembentukkan Harga Ikan Segar Pengujian integrasi pasar produk perikanan yang didasarkan pada model
Ravallion (1986) menunjukkan bahwa harga rataan tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual, atau didaratkan pada pasar lokal atau pengikut (i) pada waktu t (P3it), dipengaruhi oleh harga rata-rata tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual, atau didaratkan pada pasar lokal atau pengikut (i) pada waktu t-1 (P3it-1), lag harga rata-rata tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual di pasar acuan (P3t - P3t-1), serta harga rata-rata tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual pada waktu t-1 di pasar acuan (P3t-1). Berdasarkan hasil analisis pengujian integrasi pasar pada Tabel 25
110
dan 26, maka pembentukkan harga ikan segar di pasar-pasar di Kawasan Maluku Tengah dipengaruhi oleh : 1. Apabila Pasar Mardika Ambon adalah pasar acuan, maka harga ikan di pasar ini adalah PA, sedangkan harga ikan di masing-masing pasar pengikut adalah Pasar Passo (PPS), Salahutu (PS), Leihitu (PL), Piru (PSBB), Binaya (PMT), dan Bula (PSBT), sehingga model persamaannya sebagai berikut : a. Pasar Passo (PPS) = 17 973.74 + 0.250 (1+b1)* – 0.035 b2 – 0.141 (b3 - b1)* Peubah b2, atau lag harga rataan tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual di pasar Mardika (P3At - P3At-1) dan peubah b3-b1 (P3At-1) menunjukkan nilai negatif (-). Hal ini mengartikan bahwa setiap penambahan satu satuan lag harga rataan tiga (3) jenis ikan yang dominan dipasarkan di Pasar Mardika (P3At - P3At-1) akan mengurangi harga ikan di Pasar Passo 0.035 (ceterius paribus) dan setiap penambahan nilai satu satuan harga rataan tiga (3) jenis ikan yang dominan dijual pada waktu t-1 atau hari sebelumnya di pasar Mardika (P3At-1) akan mengurangi harga ikan di pasar Passo 0.141 (ceterius paribus). Berdasarkan persamaan di atas, maka harga ikan segar di Pasar Passo (PPSt) pada hari t ditentukan oleh harga ikan segar di Pasar tersebut pada hari sebelumnya (PPSt-1) dan harga ikan di Pasar Mardika sebagai pasar acuan pada hari sebelumnya (PMt-1). b. Pasar Salahutu (PS) = 5 874.39 + 0.550(1+b1)* + 0.119 b2+ 0.174(b3-b1)* Bersama dengan Pasar Leihitu, Pasar Salahutu secara geografis terletak di Pulau Ambon, walau secara administratif keduanya berada di bawah Kabupaten Maluku Tengah yang terletak di Pulau Seram. Itu berarti bahwa transportasi dari Kecamatan Leihitu dan Salahutu ke Kota Ambon lebih mudah dan murah dibandingkan dengan transportasi dari kedua Kecamatan tersebut ke Kabupaten Maluku Tengah. Kebutuhan masyarakat Kota Ambon akan produk perikanan yang lebih banyak dari Kabupaten lainnya juga mengakibatkan produk hasil tangkapan nelayan di kedua Kecamatan ini dipasok ke Kota Ambon. Persamaan (b) di atas memperlihatkan bahwa nilai 1+b1 yang merupakan koefisien rataan harga tiga (3) jenis ikan dominan yang dipasarkan di pasar Salahutu pada hari sebelumnya (P3St-1), b2 adalah koefisien lag rataan harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dipasarkan di pasar Mardika (P3At - P3At-1) dan
111
b3-b1 yang adalah koefisien rataan harga tiga (3) jenis ikan dominan yang dipasarkan pada hari sebelumnya di pasar acuan (P3At-1) menunjukkan nilai positif (+). Masing-masing variabel pada persamaan (b) tersebut secara berturut-turut adalah 0.550, 0.119 dan 0.174. Ini mengartikan bahwa setiap penambahan satu satuan harga ikan di pasar Salahutu pada hari sebelumnya, akan menaikkan harga ikan di pasar tersebut 0.550 (ceterius paribus). Penambahan satu satuan nilai b2 yang adalah koefisien lag harga rata-rata tiga (3) jenis ikan yang dominan dipasarkan di pasar Mardika (P3At - P3At-1) akan menaikkan harga ikan di pasar Salahutu 0.119 (ceterius paribus), sementara penambahan satu satuan nilai b3-b1 yang adalah koefisien rataan harga tiga (3) jenis ikan dominan yang dipasarkan pada hari sebelumnya di pasar Mardika(P3At-1)akan meningkatkan harga ikan di pasar Salahutu pada hari tersebut sebesar 0.174 (ceterius paribus). Berdasarkan persamaan di atas, maka harga ikan segar di Pasar Passo (PPSt) pada hari ini ditentukan oleh harga ikan segar di Pasar tersebut pada hari sebelumnya (PPSt-1) dan harga ikan di Pasar Mardika sebagai pasar acuan (PMt-1) pada hari sebelumnya. c. Pasar Leihitu (PL) = 6 809.36 + 0.206 (1+b1)* + 0.013 b2– 0.022 (b3 - b1) Persamaan (c) menunjukkan bahwa nilai b3-b1 yang adalah koefisien rataan harga tiga (3) jenis ikan dominan yang dipasarkan pada hari sebelumnya di pasar Mardika (P3At-1) menunjukkan nilai -0.022 yang berarti bahwa setiap penambahan satu satuan rataan harga tiga (3) jenis ikan dominan yang dipasarkan pada hari sebelumnya di pasar Mardika (P3At-1) akan menurunkan harga di pasar Leihitu pada saat itu sebesar 0.022 (ceterius paribus). Pembentukkan harga ikan segar di Pasar Leihitu hanya dipengaruhi oleh harga ikan segar di pasar tersebut pada hari sebelumnya. d. Pasar Piru (PSBB) = 1 676.18 + 0.585 (1+b1)* + 0.228 b2* + 0.387 (b3 - b1)* e. Pasar Binaya (PMT) = 1 028.77 + 0.678 (1+b1)* + 0.203 b2* + 0.305
(b3
- b1)* f. Pasar Bula (PSBT) = 16 477.68 + 0.151 (1+b1) – 0.026 b2 + 0.023 (b3 - b1) Dari persamaan pembentukkan harga di pasar Piru (d), Binaya (e) dan Bula (f), terlihat bahwa hampir semua peubah bernilai positif (+), kecuali peubah
112
b2 (-0.026) pada pengujian integrasi pasar Bula SBT. Dengan demikian setiap penambahan satu satuan lag rataan harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dipasarkan di Pasar Mardika (P3At - P3At-1)akan menurunkan harga di pasar Bula 0.026 (ceterius paribus). Harga ikan segar di Pasar Piru (PSBB) dan pasar Binaya (PMT) dibentuk oleh harga ikan segar di masing-masing pasar tersebut pada hari sebelumnya, lag harga ikan segar di Pasar Mardika dan harga ikan di pasar Mardika pada hari sebelumnya. Sementara harga ikan di Pasar Bula (PSBT) tidak ditentukan baik oleh harga ikan di pasar tersebut maupun di pasar acuan. Dengan demikian, harga ikan di Pasar Bula (PSBT) ditentukan oleh kondisi ikan yang ada di pasar tersebut pada setiap hari pengamatan. 2. Apabila pasar acuan adalah Pasar Binaya (PMT), sedangkan pasar pengikut masing-masing adalah Pasar Salahutu (PS), Leihitu (PL), Piru (PSBB) dan Bula (PSBT), maka model persamaannya pembentukkan harga di masing-masing pasar sebagai berikut : a. Pasar Salahutu (PS) = 5 578.49 + 0.541(1+b1)* + 0.034 b2 + 0.175 (b3 - b1)* b. Pasar Leihitu (PL) = 6 321.94 + 0.209 (1+b1)* + 0.067 b2 +0.005 (b3 - b1) c. Pasar Piru (PSBB)= 23.84 + 0.114 (1+b1) + 1.090 b2* + 0.911 (b3 - b1)* d. Pasar Bula (PSBT) = 16 252.85 + 0.150 (1+b1) + 0.202 b2 + 0.035 (b3 - b1)
Dari persamaan-persamaan di atas terlihat bahwa seluruh nilai 1+b1 yang merupakan koefisien rataan harga tiga (3) jenis ikan dominan yang dipasarkan di masing-masing pasar pengikut (P3it-1), b2 yang adalah koefisien lag rataan harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dipasarkan di pasar acuan (P3t - P3t-1) dan b3-b1 yang adalah koefisien rataan harga tiga (3) jenis ikan dominan yang dipasarkan pada hari sebelumnya di pasar acuan (P3t-1) menunjukkan nilai positif (+). Peubah rataan harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dipasarkan di masing-masing pasar pengikut pada hari sebelumnya (P3it-1) adalah 0.541, 0.209, 0.114 dan 0.150. Itu berarti bahwa setiap penambahan satu satuan harga ikan di masing-masing pasar pengikut (Salahutu, Leihitu, Piru dan Bula) pada hari sebelumnya (t-1), akan menaikkan harga ikan pada waktu t di pasar Salahutu 0.541, Leihitu 0.209, Piru 0.114 dan Bula 0.150 (ceterius paribus). Peubah b2 yang merupakan lag harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dipasarkan di pasar
113
acuan (P3t - P3t-1) menunjukkan angka sebesar 0.034, 0.067, 1.090 dan 0.202 pada masing-masing pasar pengikut. Angka-angka tersebut menerangkan bahwa setiap penambahan nilai lag rataan harga tiga (3) jenis ikan yang dominan dipasarkan di pasar Binaya, akan menaikkan harga ikan pada masing-masing pasar pengikut sebesar, Salahutu 0.034, Leihitu 0.067, Piru 1.090 dan Bula 0.202 (ceterius paribus). Peubah b3 - b1 yang merepresentasikan rataan harga tiga (3) jenis ikan dominan yang dipasarkan pada hari sebelumnya di pasar acuan (P3t-1) menunjukkan angka sebesar 0.175, 0.005, 0.091 dan 0.035. Dengan demikian bahwa setiap penambahan satu satuan rataan harga tiga (3) jenis ikan dominan yang dipasarkan pada hari sebelumnya di pasar acuan Binaya, dapat menaikkan harga ikan di masing-masing pasar pengikut, Salahutu 0.175, Leihitu 0.005, Piru 0.091 dan Bula 0.035 (ceterius paribus). Ketika Pasar Binaya dijadikan pasar acuan, maka faktor pembentuk harga ikan segar di Pasar Salahutu, Leihitu, Piru maupun Bula hampir mirip dengan ketika Pasar Mardika menjadi pasar acuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harga ikan segar di pasar-pasar pengikut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor harga ikan segar di masing-masing pasar tersebut pada hari sebelumnya dan harga ikan segar di di pasar acuan pada hari sebelumnya. 5.5
Strategi Pengembangan Pemasaran Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah Dalam menentukan strategi pengembangan pemasaran ikan segar di
Kawasan Maluku Tengah, dilakukan pemberian bobot (nilai) terhadap setiap unsur SWOT berdasarkan tingkat kepentingan dan kondisi pemasaran. Bobot atau nilai yang diberikan berkisar antara 1 (paling penting) hingga 0 (tidak penting) dan nilai rating diberi skala 4 hingga 1. Untuk faktor internal, apabila peluangnya besar, rating 4 dan jika peluangnya kecil, rating 1. Sebaliknya rating kelemahan akan bernilai -1 apabila kelemahannya besar dan bernilai -4 jika kelemahannya kecil. Untuk faktor eksternal, bobotnya sama dengan internal, 1 (paling penting) hingga 0 (tidak penting) dengan nilai rating 4 hingga 1. Semakin besar peluang, rating 4 dan semakin kecil, rating 1. Nilai rating untuk ancaman merupakan kebalikan dari peluang. Jika ancamannya besar, rating -1, sebaliknya jika nilai ancamannya kecil, rating -4 (Rangkuti, 2002).
114
Tabel 28
Analisis Faktor Internal dan Eksternal
Uraian Faktor-Faktor Internal dan Eksternal Kekuatan 1 Potensi SDI tinggi 2 Pulau yang banyak, memungkinkan ikan ada setiap saat 3 Transportasi cukup lancar 4 Penetapan Provinsi Maluku sebagai lumbung ikan nasional 5 Penetapan Kota Ambon sebagai Kawasan Minapolitan 6 Penetapan Provinsi Maluku sebagai salah satu koridor percepatan pembangunan kawasan ekonomi Indonesia Timur 7 Cold Storage tersedia Kelemahan 1 Kesadaran nelayan mempertahankan mutu ikan rendah 2 Keterbatasan modal yang dimiliki 3 Posisi tawar nelayan rendah 4 Daerah produsen menyebar dan jauh dari daerah konsumsi 5 TPI hanya berada di Kota Ambon dan tidak berfungsi 6 Fasilitas pemasaran terbatas 7 Biaya pemasaran tinggi 8 Fluktuasi harga ikan tinggi 9 Struktur pasar oligopoli 10 Integrasi pasar rendah 11 Jaringan dan informasi pasar lemah 12 Alternatif diversifikasi produk olahan sedikit Total skor kekuatan-kelemahan Peluang 1 Populasi penduduk di Maluku meningkat 2 Kesadaran masyarakat untuk makan ikan meningkat 3 Potensi pasar di luar Maluku 4 Peningkatan pendapatan per kapita dan daya beli 5 Perhatian Pemerintah yang besar terhadap nelayan Ancaman 1 Illegal, Unrepported and Unregulated Fishing di Maluku 2 Patroli laut yang tidak rutin 3 Peredaran ikan impor yang tidak terkontrol Total skor peluang-ancaman
Bobot
Rating
Skor
0.10 0.07 0.05 0.10 0.10 0.10
3 2 2 3 3 3
0.30 0.14 0.10 0.30 0.30 0.30
0.05
2
0.10
0.05 0.04 0.04 0.03 0.03 0.04 0.02 0.04 0.05 0.05 0.02 0.02 1.00
-1 -1 -1 -2 -3 -2 -3 -2 -1 -1 -4
-0.05 -0.04 -0.04 -0.06 -0.09 -0.08 -0.06 -0.08 -0.05 -0.05 -0.08 -0.06 0.80
0.10 0.10 0.20 0.10 0.20
3 3 4 3 4
0.30 0.30 0.80 0.30 0.80
0.10 0.10 0.10 1.00
-1 -2
-0.10 -0.20 -0.10 2.10
-3
-1
Hasil perhitungan di atas, kemudian dimasukkan ke dalam bentuk diagram Grand Strategy. Berdasarkan hasil analisis SWOT, posisi kondisi sistem pemasaran ikan segar di Kawasan Maluku Tengah berada pada kuadran I pada titik (0.80; 2.10) yang berarti mendukung strategi agresif atau Growth Oriented Strategy (Rangkuti 2002) sehingga strategi yang diterapkan dalam kondisi ini haruslah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (Gambar 15).
115
Berbagai Peluang
Kuadran IV
Kuadran I (0.80;2.10)
Kelemahan Internal
Kekuatan Internal
Kuadran III
Kuadran II
Ancaman Eksternal
Gambar 15
Diagram Grand Strategy berdasarkan Kondisi Pemasaran Ikan Segar di Maluku Tengah.
Kebijakan pertumbuhan agresif, yaitu kebijakan pengembangan sistem pemasaran dari hulu hingga ke hilir. Kebijakan tersebut meliputi penyediaan sarana produksi, penanganan dan pengolahan produk, penguatan kapasitas nelayan dan pengembangan layanan pendukung pemasaran. Selanjutnya berdasarkan faktor-faktor eksternal dan internal yang ada, maka dibuatlah strategistrategi dalam matriks SWOT kualitatif (Tabel 29).
a
Strategi SO Ketika sejumlah kekuatan (S) dipadukan dengan beberapa peluang (O)
yang hadir sebagai akibat peningkatan ekonomi global dewasa ini, maka beberapa strategi SO yang dihasilkan adalah : Pengembangan perikanan tangkap berwawasan lingkungan Pengembangan integrasi sarana dan prasarana pemasaran dan pengolahan Peningkatan ketrampilan penanganan dan pengolahan ikan.
116
Tabel 29 Analisis SWOT kualitatif pemasaran ikan segar di Kawasan Maluku Tengah Lingkungan Internal
Lingkungan Eksternal
Opportunities (O)
Strengths (S)
Weaknesses (W)
1 Potensi SDI tinggi 2 Lokasi geografis memiliki pulau banyak, memungkinkan ikan tersedia setiap saat 3 Transportasi antar pulau cukup lancar 4 Penetapan Kota Ambon sebagai Kawasan Minapolitan dan Lumbung Ikan Nasional 5 Penetapan Provinsi Maluku sebagai salah satu pusat koridor percepatan pembangunan kawasan ekonomi Indonesia bagian timur. 6 Cold storage tersedia
1 Kesadaran nelayan untuk mempertahankan mutu ikan rendah 2 Keterbatasan modal yang dimiliki 3 Posisi tawar nelayan rendah 4 Daerah produksi menyebar dan jauh dari daerah konsumen 5 TPI hanya berada di Kota Ambon dan tidak berfungsi 6 Fasilitas pemasaran terbatas 7 Biaya pemasaran tinggi 8 Fluktuasi harga ikan tinggi 9 Struktur pasar oligopoli 10 Integrasi pasar rendah 11 Jaringan dan informasi pasar lemah 12 Alternatif diversifikasi produk olahan sedikit
Strategi SO
Strategi WO
1 Peningkatan populasi a. Pengembangan perikanan tangkap penduduk di Maluku berwawasan lingkungan (S1,2,4; 2 Peningkatan kesadaran O1,2,3,4) masyarakat untuk ma- 2 Pengembangan integrasi sarana dan kan ikan prasarana pemasaran dan pengo3 Peluang pasar di luar lahan (S1,2,3,4,5,6; O1,2,3, 4,5,6) Maluku besar 3 Peningkatan keterampilan pena4 Peningkatan pendapatan nganan dan pengolahan ikan (S1,2, per kapita dan daya beli 3,4; O1,2,3,4,5,6) 5 Perhatian Pemerintah yang cukup terhadap nelayan Strategi ST Threats (T) 1 Illegal,Unrepported and 1 Pengawasan terpadu dengan Unregulated (IUU) melibatkan masyarakat lokal Fishing di Maluku (S1,3,4; T1,2) 2 Peredaran ikan impor 2 Pelarangan ikan impor (S1, 2,4; T2) yang tidak terkontrol 3 Pengetatan mekanisme dan fungsi 3 Patroli laut tidak rutin pengawasan (S7,8,9, 10,11; T1,2) 4 Perbaikan distribusi bahan baku (S1,2,3,4,5,7,8,9,10; T2)
1
Peningkatan kerjasama dengan lembaga keuangan dalam penyediaan modal usaha (W2,8;O1,2,3,4,5) b. Peningkatan program-program keterampilan penanganan dan pengolahan produk perikanan (W1,3,11,12; O1,2,3,4,5,6) c. Peningkatan fungsi lembaga-lembaga pemasaran (W4,5,6,7,9,10; O1,2,3,4,5) d. Pembentukan lembaga yang memiliki mandat untuk melaksanakan stabilisasi harga produk perikanan (W7; O1,2,3,4,5) Strategi WT 1 Peningkatan kapasitas pengamanan laut (W3;T1) 2 Pelarangan penjualan ikan impor (W2,3,10; T2) 3 Peningkatan sarana-prasarana produksi dan pemasaran produk perikanan (W1,2,3,4,5, 6,7,8,9,10,11,12; T1,2) 4 Pengetatan mekanisme dan fungsi pengawasan (W1,2,3,5,6,7,8,9,10, 11; O1,2)
Meningkatnya populasi penduduk dan kesadaran untuk mengonsumsi ikan, meningkatnya pendapatan serta daya beli masyarakat merupakan tantangan tersendiri bagi produsen untuk memproduksi ikan sebanyak-banyaknya. Eksploitasi sumber daya ikan yang tidak memperhatikan keseimbangan antara pemanfaatan dan kemampuan (daya) reproduksi, atau daya pulihnya telah mengakibatkan sejumlah tempat di Maluku mengalami tekanan penangkapan. Kondisi aktual sumber daya perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)
117
Laut Maluku pada tahun 2010, menunjukkan hampir semua jenis ikan sudah mengalami kondisi eksploitasi maksimum (fully exploited) dan hasil tangkap lebih (over fishing) (Purbayanto, 2011). Esensi pengembangan perikanan tangkap berwawasan lingkungan adalah untuk
mengelola sumber daya
perikanan
secara berkelanjutan
dengan
memperhatikan aspek kelestarian. Kontrol input melalui pembatasan terhadap upaya penangkapan yang diijinkan merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat dilakukan, di samping regulasi selektivitas alat tangkap dan pembatasan waktu penangkapan (Purbayanto, 2011). Lebih lanjut Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa, prinsip pengaturan perikanan dapat didekati dengan dua metode, yaitu pengaturan input berupa pembatasan upaya melalui perijinan, pembatasan ukuran kapal, pembatasan ukuran alat tangkap dan pembatasan unit waktu, sedangkan pengaturan output penangkapan adalah penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, pembagian kuota individu menurut armada, perusahaan dan nelayan. Walau sumber daya ikan di Maluku banyak, namun kemampuan nelayan sebagai produsen maupun pedagang ikan di pasar untuk mempertahankan mutu ikan sangat terbatas, maka harga ikan bisa sangat berfluktuasi, walaupun dalam sehari penjualan. Peningkatan keterampilan penanganan dan pengolahan ikan saat panen dan pasca panen, serta integrasi pengembangan sarana dan prasarana pemasaran dan pengolahan ikan diperlukan, agar sistem pemasaran yang memberikan share yang sebanding dengan usaha dapat tercapai. Keterampilan mengolah ikan juga perlu ditingkatkan agar alternatif ikan olahan yang terdapat di Maluku lebih beragam. Upaya peningkatan daya tahan, mutu dan standardisasi ikan dapat mengakibatkan ikan terdistribusi lebih jauh, sehingga terjadi peningkatan nilai tambah. b
Strategi WO Strategi ini didapatkan dengan usaha menekan atau meminimalisasi
kelemahan yang ditemukan dalam pemasaran produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah untuk memanfaatkan peluang yang ada saat ini. Beberapa strategi tersebut adalah :
118
1) Peningkatan kerjasama dengan lembaga keuangan dalam penyediaan modal usaha. 2) Peningkatan program-program keterampilan penanganan dan pengolahan produk perikanan. 3) Peningkatan fungsi lembaga-lembaga pemasaran. 4) Pembentukan lembaga yang memiliki mandat untuk melaksanakan stabilisasi harga produk perikanan. Keterbatasan modal merupakan masalah yang dihadapi pada hampir semua nelayan dari waktu ke waktu dan kondisi akan terus terjadi bila tidak ada bantuan dari pihak lain terutama Pemerintah. Maka strategi yang harus diusahakan adalah meningkatkan kerjasama dengan lembaga keuangan dalam menyediakan modal usaha dan memudahkan nelayan mengakses kredit untuk memperluas usahanya. Di samping itu, Pemerintah perlu pula membentuk lembaga yang memiliki mandat untuk melaksanakan stabilisasi harga produk perikanan, sehubungan dengan rentang fluktuasi harga produk perikanan di pasar. Lembaga yang nantinya diberikan mandat untuk melaksanakan stabilisasi harga produk perikanan ini akan memiliki tugas, peran dan fungsi yang kurang lebih sama dengan Badan Urusan Logistik (BULOG) yang bukan hanya menjalankan fungsi pemasaran, namun juga bertugas sebagai penjaga ketahanan pangan nasional dan berperan sebagai pengelola komoditas pangan milik pemerintah. Program-program keterampilan penanganan dan pengolahan produk perikanan, serta fungsi lembaga-lembaga pemasaran harus lebih ditingkatkan, agar selain mutu hasil tangkapan nelayan dapat terpelihara, produk-produk perikanan ini juga dapat didistribusikan ke konsumen yang tinggal jauh dari daerah produksi. Dengan demikian pendapatan, serta taraf hidup nelayan dan keluarganya dapat lebih ditingkatkan. c
Strategi ST Strategi ini didapatkan dengan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki
dalam proses pemasaran produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah dalam mengantisipasi ancaman yang ada. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, rumusan strategi yang harus dilakukan adalah : 1) Pengawasan terpadu dengan melibatkan masyarakat lokal.
119
2) Pelarangan ikan impor yang mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat. 3) Pengetatan mekanisme dan fungsi pengawasan. 4) Perbaikan distribusi bahan baku. IUU Fishing yang marak dilakukan di Maluku mengakibatkan sumber daya ikan yang seharusnya tersedia bagi nelayan lokal, dieksploitasi secara tidak bertanggungjawab. Praktik perikanan IUU yang memang terorganisasi dengan baik dan menggunakan teknologi yang lebih maju membuat nelayan lokal terdesak. Nelayan yang menggunakan teknologi sederhana dan skala kecil ini terpaksa keluar dari sumber daya yang pada hakekatnya adalah miliknya sebagai warga negara. Akibatnya, nelayan lokal memperoleh pendapatan yang kecil dan rendah. Praktik perikanan IUU yang jauh masuk ke perairan dekat pantai juga dapat mengganggu sistem pengelolaan sumber daya perikanan lokal berdasarkan hak ulayat dan sistem tradisional lainnya (Nikijuluw, 2008). Maraknya praktik perikanan IUU ini juga merupakan salah satu penyebab negara Indonesia yang dahulunya dikenal sebagai negara pengekspor ikan ke banyak negara lain, sekarang menjadi salah satu negara pengimpor ikan dari banyak negara di dunia, antara lain Cina, India dan Pakistan. Pada dasarnya impor ikan dilakukan karena adanya masalah kelangkaan bahan baku industri pengolahan. Akan tetapi penyalahgunaan izin impor oleh para pengusaha dan lemahnya koordinasi pengawasan, atau pemantauan Pemerintah mengakibatkan peredaran ikan impor tidak terkontrol, sehingga telah terdistribusi hingga ke pelosok daerah. Padahal membanjirnya produk ikan impor tersebut telah sangat merugikan nelayan dan memukul daya saing perikanan nasional. Apalagi, ikan impor yang ditemukan sering mengandung formalin yang membahayakan kesehatan konsumen. Evaluasi dan pengaturan impor, pendataan ulang kebutuhan bahan baku industri pengolahan serta kemampuan produksi nasional dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri (Kompas 2011) serta sistem buka-tutup (Kompas 2011) merupakan strategi yang dilakukan Pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini. Strategi-strategi ini masih menimbulkan pro dan kontra, karena bagi sejumlah pihak, kebijakan Pemerintah untuk membuka impor ikan dinilai kurang
120
tepat dan dianggap hanya merupakan jalan pintas menghadapi kelangkaan bahan baku industri pengolahan. Padahal permasalahan utama pada kelangkaan bahan baku industri pengolahan adalah kesemrawutan distribusi bahan baku dari sentra produksi ke pengolahan ikan yang masih terabaikan (Kompas 2011). Oleh karena itu, Pemerintah harus memperbaiki distribusi bahan baku dengan cara menyediakan sarana prasarana produksi serta pemasaran produk perikanan, meningkatkan fungsi-fungsi lembaga pemasaran, mengetatkan mekanisme dan fungsi pengawasan, agar kehidupan nelayan tidak akan semakin terpuruk. d
Strategi WT Strategi ini diperoleh melalui usaha meminimalisasi sejumlah kelemahan
(W) yang dimiliki dan mengantisipasi ancaman (T) yang hadir, atau untuk menghadapi kemungkinan ancaman yang ada dari lingkungan eksternal pemasaran produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah. Beberapa strategi yang muncul dari perpaduan unsur kelemahan dan ancaman adalah : 1) Peningkatan kapasitas pengamanan laut. 2) Pelarangan penjualan ikan impor yang mengandung bahan kimia. 3) Peningkatan sarana-prasarana produksi dan pemasaran produk perikanan. 4) Pengetatan mekanisme dan fungsi pengawasan. Strategi-strategi ini muncul untuk mengatasi kelemahan seperti rendahnya kesadaran nelayan untuk mempertahankan mutu ikan, serta terbatasnya modal yang dimiliki nelayan sering menyebabkan rendahnya posisi tawar nelayan dalam pemasaran produk hasil tangkapannya. Hal tersebut diperparah lagi dengan daerah produksi yang menyebar dan jauh dari daerah konsumen, tidak berfungsinya Tempat Pelelangan Ikan (TPI), fasilitas pemasaran terbatas, yang juga sering menyebabkan tingginya biaya pemasaran dan tingginya rentang fluktuasi harga di pasar. Kelemahan-kelemahan tersebut mendorong munculnya kelemahan lain Tantangan yang muncul dalam pemasaran produk perikanan di Kawasan Maluku Tengah adalah adanya perikanan IUU di Maluku dan tidak terkontrolnya peredaran ikan impor hingga ke pelosok pedesaan di Indonesia yang bukan hanya dapat menurunkan pendapatan nelayan namun membahayakan kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya.
121
5.6
Model Pengembangan Sistem Pemasaran Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah Model pengembangan sistem pemasaran ikan segar di Kawasan Maluku
Tengah ditunjukkan pada Gambar 16.
Pemerintah, dalam hal ini beberapa
lembaga terkait dengan pemasaran ikan segar seperti Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Perindustrian, Dinas Koperasi, Dinas Perhubungan, Dinas Pekerjaan Umum, PLN, Pertamina, Bank, BPS dan Lembaga Akademik bersama pihak Swasta, melakukan beberapa kegiatan untuk mewujudkan pemasaran ikan segar yang efisien. Kondisi geografis Provinsi Maluku khususnya Kawasan Maluku Tengah yang terdiri dari banyak pulau mengakibatkan sarana dan prasarana transportasi sangat dibutuhkan, agar pulau-pulau tersebut dapat saling terhubungkan satu dengan lainnya. Tidak memadainya sarana dan prasarana transportasi, komunikasi dan pemasaran mengakibatkan pasar-pasar yang ada di Kawasan Maluku Tengah tersegmentasi. Perbedaan harga yang besar di tingkat nelayan dan konsumen dengan share terbesar di tingkat pedagang juga merupakan permasalahan tersendiri dalam pemasaran. Padahal untuk menghasilkan suatu pasar yang efisien, share tersebut harus terbagi sama untuk semua unsur yang melakukan kegiatan pemasaran tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Daerah melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Perhubungan harus menyediakan sarana dan prasarana transportasi agar pulau-pulau yang ada di Provinsi Maluku dapat terhubungkan satu dengan lainnya. Dengan demikian produk yang dihasilkan di suatu pulau dapat terdistribusi dengan baik ke pulau lain. Fluktuasi harga ikan yang cukup besar merupakan masalah yang paling utama dalam pemasaran ikan segar di Kawasan Maluku Tengah. Hal ini disebabkan oleh sifat dan karakteristik ikan segar yang musiman dan mudah busuk. Pada saat musim ikan, ketersediaan ikan di pasar banyak dan pada saat bukan musim ikan, ketersediaan ikan di pasar sedikit. Sesuai hukum ekonomi,
122
Pemerintah Swasta Pertamina
Sarana dan prasarana transportasi
Lembaga Keuangan
Meningkatkan kapasitas dan menjamin kebutuhan listrik untuk Cold Storage
Nelayan
Dinas Perhubungan
Menjamin ketersediaan BBM dan es
PLN
Dinas Koperasi
Menyediakan pinjaman dan memberikan bantuan keuangan saat paceklik
Dinas Perikanan dan Kelautan
Memperluas jaringan komunikasi dan mekanisme informasi pasar yang akurat
Dinas Perindustrian
Menggalakan diversifikasi dan kebiasaan makan ikan olahan
BPS
Membangun pasar yang bersih dan sehat
Pedagang
Monitoring dan Evaluasi
Kinerja Pemasaran Ikan Segar
Gambar 16 Model konseptual pengembangan sistem pemasaran ikan segar di Kawasan Maluku Tengah.
Lembaga Akademik
Menyediakan infrastruktur pemasaran (boks penyimpanan ikan, air bersih dan es)
Konsumen
Kebutuhan ikan segar untuk masyarakat maupun industri
123
ketika ketersediaan ikan di pasar melebihi jumlah yang dibutuhkan konsumen, maka harganya akan turun. Kapasitas tampung Cold Storage yang terbatas dan hanya untuk jenis dan kualitas ikan tertentu mengakibatkan pada saat seperti ini, tak jarang ikan harus dibuang, karena pasar tidak mampu menyerap ikan yang ada. Apabila nelayan tidak membawa es ketika melaut dan penanganan ikan pasca panen tidak higienis, maka kesegarannya akan menurun. Penerapan rantai dingin yang seadanya selama proses distribusi dan pemasaran akan lebih mempercepat proses penurunan tingkat kesegaran ikan dan diikuti oleh penurunan harganya. Untuk mengatasi hal ini, maka Pemerintah dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan serta PLN bekerja sama dengan pihak Swasta harus meningkatkan kapasitas dan kebutuhan listrik untuk Cold Storage. Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan es yang bersih dan murah baik bagi nelayan maupun pedagang, agar dalam proses penangkapan, distribusi dan pemasaran, tingkat kesegaran ikan tetap terpelihara. Selanjutnya, Dinas Perikanan dan Kelautan melakukan pelatihan kepada nelayan tentang cara menangani ikan dengan baik selama proses penangkapan maupun pasca proses penangkapan agar tingkat kesegaran ikan tidak mudah menurun. Dinas Perikanan dan Kelautan dengan Dinas Perindustrian juga harus merevitalisasi pasar yang ada menjadi pasar yang bersih dan higienis serta menyediakan infrastruktur pemasaran seperti boks penyimpanan ikan, es maupun air bersih agar tingkat kesegaran ikan dapat dipertahankan. Pasar yang bersih dan sehat juga memberikan kenyamanan baik bagi pedagang yang berjualan maupun konsumen yang berbelanja. Melalui lembaga-lembaga terkait seperti Lembaga Akademik, Dinas Kelautan dan Perikanan maupun Badan Pusat Statistika Daerah, Pemerintah melakukan riset mengenai kebutuhan ikan segar untuk masyarakat maupun industri yang ada di Provinsi Maluku, serta bersama Lembaga Akademik dan pihak Swasta, Pemerintah memperluas jaringan informasi pasar yang efisien bagi semua lembaga pemasaran.
124
Proses pengembangan sistem pemasaran ikan segar secara ringkas ditunjukkan pada Tabel 30. Tabel 30. Proses Pengembangan Sistem Pemasaran Ikan Segar di Kawasan Maluku Tengah Input - Kepastian ketersediaan ikan di pasar dengan harga yang stabil
- Memberikan bantuan (bagi nelayan)
Process Output - Pembatasan jenis, - Kepastian keterseukuran alat tangkap, diaan ikan di pasar waktu tangkap dan dengan harga yang daerah penangkapan. stabil - Meningkatkan kapasitas Cold Storage dan menjamin kebutuhan listrik untuk Cold Storage. - Menjamin kebutuhan BBM dan es yang murah untuk nelayan melaut. - Memperluas jaringan informasi pasar serta mekanisme informasi pasar yang akurat bagi setiap pelaku pemasaran
Pelaku - Dinas Perikanan dan Kelautan
- Menyediakan pinjam- - Kredit untuk an dengan bunga ren- perluasan usaha dah. - Memberikan bantuan - Bantuan keuangan keuangan pada saat saat paceklik paceklik.
- Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Perindustrian, Bank
- Memberikan - Menyediakan pinjam- - Kredit bantuan (bagi peda- an dengan bunga rengang) dah dan aturan yang tidak berbelit. - Menyediakan infrastruktur pemasaran, - Infrastruktur seperti box pemasaran penyimpanan ikan, air bersih dan es yang murah.
- Dinas Perikanan dan Kelautan PLN
- Dinas Perikanan dan Kelautan, Pertamina - Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Perindustrian, Lembaga Akademik, Swasta
- Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Perindustrian, Bank - Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Perindustrian
125
Lanjutan Tabel 30. Input Process - Menyediakan pasar - Membangun pasar yang bersih dan yang bersih dan sehat sehat serta menyediakan sarana dan prasarana pendukung pemasaran. - Para pengguna pasar harus menjaga kebersihan pasar.
Output - Pasar yang higienis
Pelaku - Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Perindustrian, Swasta.
- Sosialisasi makan - Menggalakan kebiaikan olahan, agar saan makan ikan olahmasyarakat tidak an dengan cara melahanya bergantung kukan pekan pameran pada konsumsi ikan produk ikan olahan. segar Pameran ini dapat menjadi salah satu event Nasional dan sumber pendapatan Daerah. - Menggalakan diversifikasi produk ikan olahan di tingkat nelayan dan pedagang pengolah.
- Diversifikasi produk ikan olahan
- Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Perindustrian, Dinas Koperasi.
- Riset kebutuhan - Bekerjasama dengan ikan segar untuk lembaga terkait masyarakat maupun seperti Lembaga industri di Maluku, Akademik, Dinas serta mekanisme Kelautan dan perluasan informasi Perikanan maupun pasar bagi semua Dinas Perindustrian lembaga Daerah pemasaran.
- Data
- Lembaga Akademik, BPS.
5.7
Implikasi Penelitian Implikasi teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan dari penelitian ini,
adalah: 1
Implikasi teknis : pentingnya perbaikan fasilitas penunjang pemasaran seperti peningkatan efektifitas fungsi TPI, penyediaan pabrik es dengan harga yang murah untuk menjaga mutu ikan selama berlangsungnya proses produksi, distribusi maupun pemasaran, peningkatan kapasitas Cold
126
Storage agar ketersediaan ikan terjamin setiap saat dengan harga yang stabil. Peningkatan sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi juga merupakan fungsi penting dalam mewujudkan efisiensi sistem pemasaran. Implikasi ekonomi : terintegrasinya pasar dapat mewujudkan suatu sistem pemasaran yang efisien dan efektif. Itu berarti bahwa setiap unsur dalam sistem tersebut memperoleh pendapatan yang sesuai dengan usaha yang dilakukannya. Terintegrasinya pasar juga menjamin ketersediaan ikan di pasar pada setiap waktu dengan harga yang stabil. 2
Implikasi sosial : pasar yang terintegrasi dapat mengurangi terjadinya dominasi seorang pedagang pengumpul baik terhadap nelayan maupun pedagang pengecer dan dominasi pedagang pengecer terhadap konsumen atau sebaliknya.
3
Implikasi lingkungan : pasar yang terintegrasi akan mengurangi masalah tangkap lebih (over fishing) dan pembuangan ikan ke laut karena jumlah ikan yang ditawarkan pedagang jauh melebihi jumlah yang diminta, sehingga dapat mengakibatkan lingkungan laut tercemar.
4
Implikasi Nasional : Potensi perikanan yang tinggi di Maluku mengakibatkan Provinsi ini ditunjuk sebagai salah satu koridor Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN), selain Kendari (Sulawesi Tenggara). SLIN merupakan bagian dari pengembangan Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS) yang digulirkan Pemerintah sebagai upaya untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Selain itu, SLIN juga merupakan perwujudan upaya Pemerintah untuk menekan impor ikan sebagai bahan baku industri pengolahan dan menjamin ketersediaan ikan di seluruh wilayah Indonesia dengan harga yang terjangkau. Dengan demikian, SLIN diharapkan dapat menekan biaya transportasi bahan baku agar efisiensi pasar tercapai, menjamin stabilitas harga dan mendorong pertumbuhan industri pengolahan serta ekonomi masyarakat. Dalam melaksanakan SLIN, maka sistem distribusi ikan dari sentra produksi yang terletak di wilayah timur Indonesia ke sentra-sentra pasar di wilayah barat harus dibangun dengan optimal dan terpadu sebagai upaya menjamin kontinuitas pasokan bahan baku untuk kebutuhan konsumsi dan
127
industri pengolahan perikanan. Program yang dikembangkan Pemerintah pada tahun 2013 tersebut, diharapkan juga dapat membawa multiplier effect bagi nelayan, yang selama ini kurang mendapat jaminan pasar karena tidak didukung oleh sarana dan prasarana produksi, distribusi dan pemasaran yang memadai. Penetapan Maluku sebagai koridor SLIN oleh Pemerintah Pusat seharusnya memperhatikan kondisi sistem produksi dan distribusi ikan segar oleh nelayan. Pemenuhan infrastruktur yang dibutuhkan nelayan harus disiapkan Pemerintah agar selain keberlangsungan pasokan bahan baku yang bermutu baik terjamin, tingkat kesejahteraan nelayan di Maluku juga dapat ditingkatkan dan distribusi pendapatan dalam sistem pemasaran ikan segar berlangsung dengan baik.