5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Sebelum dilakukan penyebaran kuesioner atau pengambilan data primer,
maka kuesioner diuji validitas dan reliabilitas nya, uji validitas diperlukan untuk melihat apakah butir-butir pernyataan pada kuesioner sudah tepat menguji apa yang menjadi tujuan penelitian; sedangkan uji reabilitas untuk melihat sejauh mana kekonsistenan jawaban pegawai terhadap pernyataan-pernyataan tersebut apabila kuesioner diberikan pada waktu yang berbeda. Kuesioner dibagikan kepada 30 (tiga puluh) orang pegawai, kemudian dihitung nilai validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas dilakukan terhadap seluruh butir pernyataan, sementara uji reabilitas dilakukan untuk 1(satu) skala global (Global Constructive Thinking) dan 6 (enam) sub-skala pengukuran, yaitu Behavioral Coping, Emotional Coping, Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naïve Optimism. Pada uji pertama, masih diperoleh beberapa butir pernyataan yang tidak valid, penyebabnya adalah beberapa pernyataan yang kurang jelas dipahami oleh pegawai, sehingga jawabannya tidak sesuai dengan persepsi pegawai. Kemudian dilakukan penggantian tata bahasa pada pernyataan-pernyataan tersebut dan kuesioner kembali dibagikan kepada 30 (tigapuluh) orang pegawai sebelumnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa butir-butir pernyataan yang telah diperbaiki dianggap valid dan reliabel (Tabel 13) karena berada diatas nilai batas pengujian validitas dan reliabilitas. Selanjutnya kuesioner akan dibagikan kepada pegawai diluar 30 (tiga puluh) pegawai yang telah melakukan pengujian validitasreliabilitas. Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa rentang nilai validitas untuk masingmasing butir pernyataan pada enam sub-skala pengukuran berada di atas nilai 0,1334 yang merupakan batas nilai koefisien korelasi dengan selang kepercayaan 90% (Saleh, 1986). Uji validitas dilakukan terhadap seluruh butir pernyataan kuesioner, sebagai contoh pada pernyataan sub-skala Behavioral Coping terdapat 14 pernyataan (Lampiran 2). Pernyataan 12/BC12 bernilai 0,249, merupakan nilai terendah diantara pernyataan-pernyataan lain dalam sub-skala Behavioral Coping,
sementara pernyataan BC7 memiliki nilai tertinggi yaitu 0,779, maka dapat dikatakan bahwa seluruh pernyataan Behavioral Coping memiliki rentang nilai dari 0,249 sampai 0,779 (Lampiran 2). Rentang nilai tersebut memiliki nilai diatas 0,1334 sehingga dianggap seluruh pernyataan valid. Hal itu juga berlaku seluruh pernyataan pada sub-skala yang lain seperti Emotional Coping, Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naïve Optimism.
Berdasarkan hasil ini maka seluruh butir-butir pernyataan dalam
kuesioner dinyatakan valid, hasil uji disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil uji Validitas dan Reliabilitas kuesioner
1 2 3 4 5 6
Rentang Nilai Validitas 0,249 – 0,779 0,321 – 0,779 0,336 – 0,726 0,209 – 0,632 0,319 – 0,906 0,144 – 0,828
Pernyataan
No.
Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
Nilai Reliabilitas 0,883 0,940 0,802 0,741 0,928 0,723
Hasil uji rebilitas menunjukkan nilai alpha cronbach di atas 0,723 (Tabel 13). Nilai ini lebih besar dari nilai yang direkomendasikan oleh beberapa literatur yaitu > 0,7 (Agresti and Finlay, 1997), sehingga seluruh pernyataan dianggap sudah reliabel.
5.2
Karakteristik Pegawai Sebelum masuk pada analisis mengenai perbedaan faktor demografi dalam
strategi penanggulangan stres kerja dan mengetahui bagaimana tingkat Constructive Thinking pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor, perlu diketahui uraian karakteristik pegawai dalam penelitian ini yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin, usia dan pendidikan. Tiga karakteristik tersebut diambil dari sekian banyak karakteristik berdasarkan faktor demografi pegawai karena didasarkan pada penelitian sebelumnya mengenai Constructive Thinking (CT) yang dilakukan Kephart (2003). Kephart mencoba melakukan investigasi dampak dari jenis kelamin dan perbedaan karakteristik lainnya dalam menanggulangi stres di tempat kerja. Karakteristik atau faktor demografi yang
50
digunakan dalam penelitian tersebut adalah jenis kelamin, pendapatan, ras, pendidikan dan usia. Berdasarkan hasil penelitian Kephart (2003) maka faktor demografi yang cocok untuk diterapkan pada penelitian ini hanya jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Masing-masing faktor atau karakteristik tersebut memiliki jumlah yang bervariasi di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 273 pegawai. Jumlah tersebut adalah jumlah total kuesioner yang kembali dan diisi secara lengkap. Jumlah ini dianggap telah mewakili total keseluruhan populasi yang diuji, karena melebihi jumlah pegawai minimal yang ditetapkan berdasarkan rumus Slovin dengan margin error 5% sebanyak 244 pegawai. 5.2.1
Jenis Kelamin Berdasarkan perhitungan melalui software SPSS, maka diperoleh
gambaran jumlah pegawai berdasarkan jenis kelamin. Sampel didominasi oleh pegawai berjenis kelamin wanita, yaitu sebesar 68,9% atau 188 orang, sesuai dengan aturan pada rumus Slovin yang digunakan, yaitu minimal total pegawai wanita yang mewakili jumlah populasi adalah 186 orang, sementara pegawai pria sebesar 31,1% atau lebih banyak 27 orang dari target minimal jumlah pegawai sebesar 58 orang. Jumlah yang melebihi target berdasarkan rumus Slovin lebih baik karena semakin mendekati jumlah populasi. Tabel 14 Jumlah pegawai berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Pria Wanita Total
Jumlah Populasi 150 477 627
Jumlah Sampel 85 188 273
Persentase Populasi (%) 23,92 76,08 100
Persentase Sampel (%) 31,1 68,9 100
Jika diamati dari jumlah populasi berdasarkan jenis kelamin di Dinas Kesehatan Kota Bogor, maka mayoritas pegawai adalah wanita yaitu sebesar 76,08%. Hal ini cukup beralasan karena Dinas Kesehatan Kota Bogor bergerak di bidang jasa pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Karakter wanita yang dianggap lebih sabar dan luwes dalam bekerja sangat sesuai untuk memberikan
51
pelayanan terutama di bidang kesehatan. Terbukti dengan mayoritas pekerja kesehatan seperti perawat dan bidan didominasi oleh kaum wanita. Hal ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan penelitian ini. Peran ganda yang dimiliki oleh wanita memiliki kecenderungan sebagai faktor penyebab stres. Jika di Dinas Kesehatan Kota Bogor mayoritas pegawainya adalah wanita maka menarik untuk diketahui apakah terdapat perbedaan dalam menanggulangi stres antara pegawai pria dan wanita. 5.2.2
Usia Tingkat usia didasarkan pada kriteria penelitian Kephart (2003) yang
membagi ke dalam empat kelompok usia, yaitu rentang usia 21-32 tahun; 33-44 tahun; 45-56 tahun dan >56 dimana kelompok tersebut menunjukkan kematangan cara berpikir dan emosi. Berdasarkan kriteria penelitian Kephart tersebut, maka pegawai dalam penelitian ini terdiri atas kelompok usia 21 – 32 tahun sebesar 22,3% atau 61 orang, kelompok usia 33 – 44 tahun sebesar 42,5% atau sebanyak 116 orang, kelompok usia 45 – 56 tahun yaitu sebesar 34,8% atau sebanyak 95 orang sedangkan kelompok usia diatas 56 tahun hanya sebesar 0,4% atau hanya berjumlah 1 orang. Mayoritas pegawai didominasi oleh kelompok usia 33 – 44 tahun yaitu sejumlah 116 pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor sebagian besar berusia matang dan hanya sedikit yang memasuki masa pensiun. Jika dipisahkan berdasarkan jenis kelamin maka secara keseluruhan kelompok usia didominasi oleh wanita. Tabel 15 Jumlah pegawai berdasarkan Kelompok Usia Kelompok Usia
Jumlah
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun >56 tahun Total
61 116 95 1 273
Presentase (%) 22,3 42,5 34,8 0,4 100
Pria
Wanita
18 29 36 -
43 87 57 1
Banyak faktor yang menentukan tingkat kematangan berpikir manusia dan usia adalah salah satu faktor penentunya. Semakin dewasa manusia maka diharapkan semakin matang dalam mengambil keputusan atau menghadapi
52
permasalahan hidup. Sampel pegawai yang diambil di Dinas Kesehatan Kota Bogor menunjukkan bahwa 77,7% (100% - 22,3%) pegawai berusia diatas 32 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa seharusnya mayoritas pegawai memiliki kemampuan dalam menghadapi stres di tempat kerja karena faktor kematangan dalam berpikir. Maka penelitian ini menjadi menarik untuk melihat adakah perbedaan cara penanggulangan stres berdasarkan tingkatan usia. Pada kelompok usia 21 – 32 tahun, usia pegawai yang termuda adalah 24 tahun, sehingga kelompok responden tersebut dapat dipisahkan berdasarkan kriteria tingkat pendidikan sarjana dan non sarjana. Seperti diketahui bahwa kelompok lulusan sarjana biasanya berusia paling rendah 23 tahun. 5.2.3
Tingkat Pendidikan Selain jenis kelamin dan usia, pegawai juga dibagi menurut tingkat
pendidikan yaitu sarjana dan non-sarjana. Sarjana mencakup pendidikan S1 dan S2, sementara non-sarjana adalah lulusan D2, D3 dan SLTA. Dari total 273 pegawai, sebanyak 66,3% adalah non-sarjana sisanya sebesar 33,7% adalah sarjana, keadaan ini antara lain disebabkan oleh pada awal perekrutan pegawai masih menerima lulusan SLTA, khusus di bidang kesehatan, seperti farmasi dan administrasi rumah sakit minimal lulusan D3. Namun demikian saat ini, perekrutan pegawai lebih diutamakan lulusan S1. Jika dibedakan berdasarkan jenis kelamin maka pegawai wanita tetap mendominasi, hal ini berkaitan dengan karakter wanita yang lebih luwes dan sabar dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dibandingkan dengan pria sehingga sangat tepat tugas pegawai wanita dalam pelayanan kesehatan kepada publik. Tabel 16 Jumlah pegawai berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
Jumlah
Sarjana Non-sarjana Total
92 181 273
Presentase (%) 33,7 66,3 100
Pria
Wanita
22 63
70 118
Berdasarkan tingkat pendidikan maka mayoritas sampel adalah pegawai bergelar non-sarjana. Kondisi ini juga dapat disebabkan karena sebagian besar pegawai bertugas di unit-unit Puskesmas dengan populasi sebesar 516 orang
53
(Tabel 5) dari total 627 pegawai. Maka wajar jika sebagian besar pegawai bergelar non-sarjana karena keterampilan yang dibutuhkan di Puskesmas mayoritas hanyalah keterampilan administrasi dan pelayanan kesehatan setingkat perawat atau bidan. Lulusan sarjana hanya dibutuhkan untuk dokter dan kepala Puskesmas dengan jumlah yang lebih sedikit daripada pegawai administrasi dan perawat. Baik dokter maupun perawat setiap hari harus berhadapan dengan bermacammacam tipe pasien. Hal ini dapat menjadi pemicu timbulnya stres kerja. Oleh sebab itu sangat menarik untuk mengamati apakah terdapat perbedaan cara penanggulangan stres kerja pada pegawai bergelar sarjana maupun non-sarjana.
5.3
Analisis Perbedaan Faktor Demografi Untuk menjawab tujuan pertama yaitu mengetahui tingkat berpikir
konstruktif pada pegawai dapat dilihat pada hasil rataan dari Uji ANOVA yang kemudian hasilnya diterjemahkan kedalam klasifikasi rentang nilai skala sehingga dapat diketahui kecenderungan sikap pegawai pria dan wanita berdasarkan masing-masing pengukuran skala, berpikir konstruktif atau destruktif, sedangkan untuk menjawab tujuan dua dari penelitian ini yaitu menganalisis perbedaan faktor demografi dalam strategi penanggulangan stres kerja pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor maka faktor demografi dipisahkan menjadi 3(tiga) yaitu: jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Dengan menggunakan
metode
Analysis of Variance (ANOVA) dapat diketahui adakah perbedaan jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan pegawai dalam menanggulangi stres kerja. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari nilai probabilitas (p), dimana p > 0,1 maka hipotesis nol (H0) diterima, nilai p tersebut menunjukkan nilai alpha sebesar 10% atau tingkat signifikansi 90%. Artinya hipotesis tersebut dapat diterima dengan tingkat kesalahan 10%. Pada uji pertama faktor jenis kelamin pegawai dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu pria dan wanita demikian pula dengan faktor tingkat pendidikan, dibagi menjadi sarjana dan non-sarjana. Untuk uji ANOVA dengan 2 (dua) kategori digunakan uji-t. Sedangkan faktor usia yang dibagi menjadi 4 (empat) kategori dengan masing-masing rentang usia sebesar 12 tahun, digunakan uji-F. Uji kedua, faktor jenis kelamin pegawai dibagi untuk tingkat pendidikan sarjana dan non sarjana, kemudian uji ketiga faktor jenis kelamin pegawai dibagi
54
untuk tingkat sarjana dan non sarjana berdasarkan rentang usia.
Garis besar
analisis perbedaan faktor demografi tersebut diperlihatkan pada kerangka pemikiran (Gambar 2). Kerangka pemikiran menunjukkan bahwa analisis yang dilakukan adalah untuk melihat apakah terdapat perbedaan dalam mengatasi stres kerja berdasarkan perbedaan jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Persepsi pegawai tehadap cara menanggulangi stres diketahui melalui daftar pernyataan pada kuesioner yang dikembangkan oleh Epstein (1986). Epstein membagi seluruh pernyataan kuesioner ke dalam satu skala global yaitu Global Constructive Thinking dimana pernyataan di dalamnya merupakan pernyataan-pernyataan yang diambil dari 6 (enam) sub-skala yaitu: Behavioral Coping, Emotional Coping, Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naïve Optimism. Dalam analisis ini, masing-masing faktor demografi akan dilihat perbedaannya terhadap satu skala global dan enam sub-skala yang ada. Sebagai contoh pada sub-skala Behavioral Coping, apakah terdapat perbedaan jenis kelamin dalam merespon pernyataan-pernyataan tentang kecepatan beradaptasi. Apakah benar dugaan bahwa pegawai pria lebih cepat beradaptasi dalam cara menanggulangi stres kerja dibandingkan dengan pegawai wanita dan sebagainya. Pertanyaan ini akan dijawab dengan melakukan uji ANOVA. 5.3.1
Analisis Perbedaan Jenis Kelamin terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI)
A. Hasil Rataan Skor Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat perbedaan terhadap cara pria dan wanita dalam menanggulangi stres. Seperti pada hasil penelitian Wang dan Paten (2001)
yang menemukan bahwa penyebab stres kerja berbeda
berdasarkan jenis kelamin. Pada wanita, stres lebih disebabkan oleh keadaan fisik, sedangkan pria pada keadaan psikologis. Stres yang dialami wanita lebih cenderung karena banyaknya pekerjaan yang harus ditanggung. Pada wanita bekerja, selain harus menyelesaikan tugas-tugas di kantor, juga dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan di rumah seperti mengurusi anak dan suami. Beban ini yang menyebabkan terjadinya kelelahan fisik sehingga kondisi stres terjadi pada wanita.
55
Pada pria terjadi hal yang berbeda, tuntutan sebagai kepala keluarga untuk menyediakan kebutuhan bagi anak dan istri membuat pria seringkali terbebani pikirannya. Ditambah tuntutan pekerjaan yang semakin berat dan kondisi persaingan kerja membuat pria seringkali berada pada situasi stres. Pada Tabel 17 disajikan hasil rataan jawaban pegawai pria dan wanita berdasarkan uji ANOVA. Hasil perhitungan rataan menunjukkan bahwa rata-rata jawaban pegawai pria dan wanita cenderung sama. Seperti pada sub-skala Behavioral Coping memiliki nilai rataan 3,95 untuk pegawai pria, sedangkan wanita 3,96 (Tabel 17). Keduanya memiliki nilai yang tidak jauh berbeda atau cenderung sama. Demikian pula dengan hasil pada sub-skala Emotional Coping, untuk pegawai pria bernilai 3,41 dan 3,46 untuk pegawai wanita. Hasil yang serupa juga diperoleh untuk subskala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naïve Optimism. Tabel 17 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis kelamin Sub-Skala Global Constructive Thinking
Behavoral Coping Emotional Coping Personal Superstitious Thinking Categorical Thinking Esoteric Thinking Naïve Optimism
Jenis Kelamin Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita
N
Mean
85 188 85 188 85 188 85 188
3,4284 3,4547 3,9512 3,9680 3,4118 3,4696 3,0501 3,0954
Std Deviation ,18732 ,18942 ,24346 ,32940 ,30767 ,34407 ,48769 ,54652
85 188 85 188 85 188
3,0300 2,9424 3,0605 2,9771 3,6418 3,6264
,50510 ,45568 ,57479 ,48445 ,36960 ,37471
Std. Error Mean ,02032 ,01381 ,02641 ,02402 ,03337 ,02509 ,05290 ,03986 ,05479 ,03323 ,06234 ,03533 ,04009 ,02733
Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std Deviation = nilai simpangan; Std. Error Mean = galat rataan
Hasil ini menunjukkan bahwa baik pegawai pria maupun wanita cenderung memiliki persepsi yang sama terhadap cara berpikir konstruktif untuk menanggulangi stres di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Namun demikian hasil ini tidak dapat menjelaskan ke arah mana kecenderungan cara berpikir konstruktif tersebut berdasarkan skala-skala yang terdapat dalam Constructive Thinking Inventory (CTI). Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dilakukan perhitungan rataan berdasarkan rumus klasifikasi rentang kriteria. 56
B. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria Skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI) Untuk mengetahui kecenderungan sikap pegawai dalam berpikir konstruktif, maka berdasarkan jenis kelamin pegawai, jawaban-jawaban pada kuesioner dirata-ratakan dan dimasukkan dalam klasifikasi rentang kriteria masing-masing skala. Dengan demikian akan diketahui bagaimana kecenderungan sikap pegawai pria dan wanita berdasarkan masing-masing pengukuran skala. Berdasarkan skala global dan enam sub-skala yang ada dari Constructive Thinking Inventory (CTI) maka dapat dilihat hasil klasifikasi rentang kriteria skala dari CTI dan maknanya seperti pada Tabel 10. Tabel 10 menunjukkan klasifikasi rentang nilai dibagi menjadi lima kriteria dengan masing-masing memiliki makna sesuai dengan skalanya. Sebagai contoh nilai rataan pegawai pria pada skala Global Constructive Thinking adalah 3,43, maka masuk ke dalam klasifikasi rentang kriteria konstruktif. Artinya kecenderungan pegawai pria di Dinas Kesehatan Kota Bogor sudah berpikiran konstruktif. Rentang kriteria tersebut merupakan dasar dalam penilaian kecenderungan perilaku pegawai berdasarkan faktor demografi yang diuji yaitu: jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan. Tabel 18 memperlihatkan hasil klasifikasi rentang kriteria dari Constructive Thinking Inventory (CTI) berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Berdasarkan hasil klasifikasi rentang kriteria tersebut, maka dapat diketahui bahwa baik pegawai pria maupun wanita memiliki kecenderungan persepsi yang hampir sama, akan tetapi secara hasil uji statistik selisih nilai berapapun tetap menunjukka perbedaan terhadap cara berpikir konstruktif dalam menanggulangi stres pada pegawai pria dan wanita. Pada skala Global Constructive Thinking, pegawai pria memiliki nilai rataan sebesar 3,43 dan masuk kedalam klasifikasi rentang kriteria sudah berpikir konstruktif. Demikian pula dengan pegawai wanita dengan nilai rataan sebesar 3,45, juga masuk dalam klasifikasi rentang kriteria mampu berpikir konstruktif. Pada skala pengukuran ini secara uji statistik, pegawai wanita lebih mampu berpikir konstruktif daripada pegawai pria, hal tersebut terlihat dari selisih hasil rataan yaitu sebesar 0,02 sehingga pegawai wanita dapat dikategorikan lebih mampu mengatasi stres yang terjadi di tempat
57
kerja dibandingkan pegawai pria. Kemampuan berpikir konstruktif mutlak diperlukan dalam menanggulangi stres yang terjadi. Tabel 18 Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Jenis Kelamin Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET)
3,43 3,95 3,41 3,05 3,03 3,06
Naïve Optimism (NaO)
3,64
Rentang Nilai dan Makna Pria Wanita konstruktif 3,45 konstruktif antusias 3,96 antusias terbuka 3,47 terbuka netral 3,09 netral netral 2,94 netral netral 2,98 netral optimis optimis 3,63 unrealistis unrealistis
Pada skala Behavioral Coping, baik pegawai pria maupun wanita memiliki hasil rataan yang sangat dekat, yaitu masing-masing 3,95 dan 3,96, artinya keduanya masuk dalam klasifikasi rentang kriteria sikap antusias dalam pekerjaan. Sedangkan hasil uji statistik menunjukkan selisih nilai rataan sebesar 0.01 lebih tinggi pada pegawai wanita, sehingga dapat dikategorikan bahwa pegawai wanita lebih bersikap antusias daripada pegawai pria, hal tersebut sangat mendukung pegawai dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Dengan rasa antusias yang tinggi maka pegawai dapat terhindar dari stres di tempat kerja. Rataan nilai sebesar masing-masing 3,41 dan 3,47, dimiliki oleh pegawai pria dan wanita pada skala Emotional Coping. Nilai tersebut masuk pada klasifikasi rentang kriteria terbuka. Selisih nilai rataan secara uji statistik menunjukkan nilai sebesar 0,06 lebih tinggi pada pegawai wanita, sehingga pegawai wanita lebih bersikap terbuka daripada pegawai pria artinya lebih bersedia menerima kritikan atau tidak mudah tersinggung karena celaan dari rekan kerja maupun atasan. Sikap terbuka tersebut akan membantu pegawai untuk tidak mudah mengalami stres di tempat kerja. Pada skala Personal Superstitious Thinking, pegawai pria dan wanita di Dinas Kesehatan Kota Bogor masuk pada klasifikasi rentang kriteria yang sama yaitu netral, artinya pegawai tersebut cenderung tidak bersikap defensif maupun ofensif dalam menghadapi permasalahan di tempat kerja. Sikap netral disini berarti menerima keadaan akan tetapi tidak cenderung pasrah menerimanya. Pegawai dengan sikap demikian cenderung tenang-tenang saja apabila 58
menghadapi kendala di tempat kerja. Tidak proaktif untuk mencari pemecahan permasalahan tetapi tidak pasrah juga terhadap keadaan jadi lebih bersikap netral. Akan tetapi secara hasil uji statistik selisih hasil rataan yang didapat menunjukkan bahwa pegawai wanita memiliki nilai yang lebih tinggi daripada pegawai pria yaitu sebesar 0,04, sehingga dapat dikategorikan pegawai wanita lebih bersikap ofensif daripada pegawai pria. Pada skala Categorical Thinking, rataan nilai yang diperoleh oleh pegawai pria dan wanita memiliki nilai 3,03 dan 2,94. Nilai ini berada pada klasifikasi rentang kriteria yang sama yaitu menunjukkan sikap netral bila menghadapi suatu permasalahan. Sikap netral ini juga menunjukkan pegawai yang terkesan fleksibel tetapi kadang-kadang bersikap kaku dalam melakukan pekerjaan ataupun mengambil keputusan. Selanjutnya jika dilihat dari hasil uji statistik didapatkan selisih nilai sebesar 0,09 lebih tinggi pegawai pria, artinya pegawai pria lebih dapat bersikap fleksibel dibandingkan pegawai wanita. Sub skala Esoteric Thinking salah satunya mengukur sejauh mana pegawai percaya akan hal-hal di luar kewajaran. Hasil rataan nilai adalah 3,06 untuk pegawai pria dan 2,98 untuk pegawai wanita. Ini menunjukkan bahwa keduanya masuk pada klasifikasi rentang kriteria berpikiran netral, tidak percaya akan hal-hal gaib atau di luar kewajaran tetapi juga seringkali tidak berpikir logis. Selisih nilai dari hasil uji statistik menunjukkan nilai sebesar 0,08 lebih tinggi pegawai pria daripada pegawai wanita, artinya pegawai pria lebih berpikir logis dibandingkan pegawai wanita yang kecenderungan emosinya lebih tinggi. Hasil dari perhitungan
rataan untuk sub-skala ke enam yaitu Naïve
Optimism menunjukkan nilai 3,64 untuk pegawai pria dan 3,63 untuk pegawai wanita. Nilai ini masuk pada klasifikasi rentang kriteria sikap optimis unrealistis. Selisih hasil uji statistik sebesar 0,01 menunjukkan pegawai pria lebih bersikap optimis unrealistis akan
tetapi cenderung optimis dalam melihat sebuah
permasalahan namun terlalu mengeneralisasi keadaan dibandingkan pada pegawai wanita. Sikap ini lebih dapat berpotensi menjadi penyebab stres pada pegawai pria. C. Hasil Perhitungan ANOVA
59
Tabel 19 menunjukkan hasil perhitungan ANOVA berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Skala Global Constructive Thinking memiliki t-value sebesar 1,066, derajat kebebasan (df) 271 dan nilai probabilitas (p) 0,287. Nilai t-value merupakan nilai mutlak sehingga tidak terpengaruh oleh nilai negatif maupun positif. Nilai tersebut harus berada dibawah nilai t-tabel yaitu sebesar 1,96 agar diterima pada tingkat signifikansi 90%. Demikian pula dengan nilai p harus berada dibawah 0,1 yang artinya nilai probabilitas atau kemungkinan terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil skala Global Constructive Thinking dari Constructive Thinking Inventory (CTI) dalam strategi penanggulangan stres kerja berada pada kisaran 0 – 90% (Tabel 19). Sementara keseluruhan skala memiliki derajat kebebasan yang sama yaitu sebesar 271. Khusus untuk uji-t, derajat kebebasan memiliki rumus jumlah sampel dikurangi 2 atau N-2. Sub-skala Behavioral Coping memiliki t-value sebesar -0,422 dan p sebesar 0,673. Kedua nilai tersebut masuk pada kriteria yang ditetapkan, sehingga hipotesis nol dapat diterima. Dengan kata lain, tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil pernyataan sikap optimis, antusias dan enerjik (sub-skala Behavioral Coping) yang merupakan salah satu strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Tabel 19 Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin Hasil Skala
t-value ≥ 1,96 -1.066 -0.422 -1.327 -0.655 1.421 1.240 0.109
Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
df
p
271 271 271 271 271 271 271
0.287 0.673 0.186 0.513 0.157 0.216 0.913
Hipotesis Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0
Keterangan: t-value = nilai uji-t; df = derajat kebebasan; p = nilai kemungkinan
Pada sub-skala Emotional Coping juga diperoleh t-value sebesar -1,327 dan probabilitas sebesar 0,186. Hasil ini menunjukkan penerimaan terhadap hipotesis nol, artinya tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil pernyataan kemampuan untuk tidak mudah tersinggung apabila mendapat kritikan
60
atau celaan (sub-skala Emotional Coping) sehingga pegawai pria dan wanita mampu menanggulangi stres kerja di Dinas Kesehatan Kota Bogor. T-value sebesar -0,655 dan probabilitas sebesar 0,513, diperoleh untuk sub-skala Personal Superstitious Thinking. Pernyataan-pernyataan pada sub-skala ini mengukur kecenderungan pegawai untuk bersifat defensif terhadap suatu permasalahan. Hasil perhitungan ANOVA untuk sub-skala tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil sub-skala Personal Superstitious Thinking dalam strategi penanggulangan stres kerja pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Sedangkan sub-skala Categorical Thinking memiliki t-value sebesar 1,421 dan nilai p sebesar 0,157. Kedua nilai tersebut memenuhi kriteria yang ditetapkan sehingga hipotesis nol diterima. Artinya tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap
hasil
pernyataan
sikap
fleksibilitas
ketika
menghadapi
suatu
permasalahan (sub-skala Categorical Thinking) dalam strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Pada sub-skala Esoteric Thinking, hipotesis nol yang diajukan juga diterima karena nilai dari t-value dan probabilitasnya memenuhi kriteria yang diharuskan. Masing-masing bernilai 1,240 dan 0,216. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil pernyataan sikap kecenderungan berpikir logis (sub-skala Esoteric Thinking) dalam strategi penanggulangan stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Sub-skala terakhir yaitu Naïve Optimism juga memiliki nilai t-value dan probabilitas yang masuk pada kriteria penerimaan hipotesis nol, yaitu masingmasing bernilai 0,109 dan 0,913. Artinya tidak terdapat perbedaan jenis kelamin terhadap hasil pernyataan sikap optimisme (sub-skala Naïve Optimism) dalam strategi penanggulangan stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Secara keseluruhan, nilai p untuk skala Global Constructive Thinking dan 6 (enam)
sub-skala
(Behavioral
Coping,
Emotional
Coping,
Personal
Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naive Optimism) pada pernyataan kuesioner bernilai diatas 0,1, sehingga H0 diterima. Hipotesis nol menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata berdasarkan jenis kelamin terhadap hasil dari Constructive Thinking Inventory (CTI) dalam strategi
61
menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Artinya baik pegawai pria maupun wanita memiliki kecenderungan yang sama dalam merespon strategi menghadapi stres di tempat kerja. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Wang dan Paten (2001) yang menyatakan bahwa pria dan wanita dalam menghadapi penyebab stres
cenderung berbeda dalam cara
menanggulanginya. Wanita lebih cenderung mengalami konflik dan stres dibanding pria (Austin, 2000), terutama menyangkut peran ganda yang dimiliki wanita, baik di tempat bekerja maupun di rumah. Namun demikian hasil dari penelitian ini tidak berbeda nyata berdasarkan jenis kelamin dalam cara penanggulangan stres baik pada pegawai pria maupun wanita, dengan demikian hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Epstein (1986) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan atau perbedaan jenis kelamin dalam menanggulangi stres kerja. Kenyataan ini juga didukung oleh fakta bahwa jika tidak banyak pekerjaan yang dilakukan maka tidak banyak beban pekerjaan yang ditimbulkan, sehingga menghilangkan faktor dominan penyebab stres. Tidak terdapatnya perbedaan antara pegawai pria dan wanita dalam merespon hasil dari strategi penanggulangan stres kerja berdasarkan metode Constructive Thinking mengindikasikan bahwa berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata yang signifikan dalam menanggulangi stres kerja pada pegawai pria dan wanita, hal ini disebabkan: 1.
Populasi yang homogen (PNS) sehingga kurangnya competitiveness diantara pegawai baik pria maupun wanita di Dinas Kesehatan Kota Bogor, hal ini sangat berbeda dengan pegawai swasta yang selalu dituntut untuk bekerja berdasarkan target yang ditetapkan, sehingga apabila tidak menunjukkan kinerja yang baik akan berpengaruh pada kompensasi, penilaian pegawai bahkan harus berhadapan dengan situasi kehilangan pekerjaan.
2. Keamanan kerja (job security) di Dinas Kesehatan Kota Bogor, artinya kenyataan bahwa pegawai negeri sipil (PNS) merupakan pekerjaan dengan tingkat keterjaminan tinggi, membuat pegawai pria dan wanita berada pada kondisi yang nyaman. Kondisi kerja yang nyaman membuat
62
lingkungan kerja menjadi lebih stabil, sehingga tingkat stres menjadi rendah, akibatnya baik pegawai pria maupun wanita tidak memiliki perbedaan dalam menanggulangi stres. 3. Perlakuan yang sama terhadap pegawai pria dan wanita dalam hal pekerjaan. Tidak adanya pembatasan jenis kelamin dalam menduduki jabatan tertentu di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Adanya peluang yang sama pada pegawai pria dan wanita untuk pengembangan karirnya. Kondisi ini meminimalisasi timbulnya stres di kalangan pegawai yang diakibatkan tidak tersalurkannya keinginan untuk pencapaian prestasi dengan menduduki suatu jabatan. Penentuan pegawai yang dapat menduduki jabatan tertentu ditentukan berdasarkan kinerja dan prestasi yang berhasil diraih, hal ini menghilangkan timbulnya konflik antara pegawai pria dan wanita. 4. Atasan selalu mengutamakan musyawarah apabila menemui persoalan yang membutuhkan pemecahan. Kebebasan pada pegawai pria dan wanita dalam mengemukakan pendapat lebih diutamakan sehingga pegawai lebih mampu
mengekspresikan
kritik
dan
saran
dalam
menjalankan
pekerjaannya. Kenyataan ini mampu meminimalkan timbulnya stres akibat keluhan yang tidak tersalurkan, sehingga baik pegawai pria maupun wanita dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik karena selalu dapat berdiskusi dengan atasan apabila menemui hambatan. 5. Untuk meminimalkan timbulnya stres di kalangan pegawai, penempatan pegawai baik pria dan wanita baik pada kantor pusat maupun puskesmaspuskesmas berdasarkan tempat tinggal pegawainya. Seperti diketahui bahwa kemacetan akan menyebabkan bertambahnya waktu tempuh yang harus digunakan pegawai untuk berangkat maupun pulang dari kantor. Bertambahnya waktu tempuh akan mengakibatkan berkurangnya waktu yang dibutuhkan di tempat kerja maupun setelah pulang bekerja. Tepatnya penempatan
pegawai
yang
dilakukan
oleh
bagian
kepegawaian
menyebabkan terutama pada pegawai wanita tidak harus berangkat lebih pagi dan dapat pulang tepat waktu sehingga mampu memaksimalkan perannya sebagai wanita bekerja dan sebagai ibu rumah tangga. Kondisi-
63
kondisi tersebut diatas yang menyebabkan tidak adanya perbedaan dalam menanggulangi stres antara pegawai pria dan wanita. 5.3.2
Analisis Perbedaan Usia terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) Setelah mengetahui bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan wanita
dalam menanggulangi stres kerja di Dinas Kesehatan Kota Bogor maka penelitian selanjutnya adalah melihat kaitan stres dengan tingkatan usia pegawai. Mengutip hasil penelitian Siebert (1999) yang menemukan bahwa ada perbedaan atau hubungan langsung antara stres dan usia pekerja. Sebagai contoh adalah perubahan sistem komputerisasi pada suatu perusahaan dapat menyebabkan stres bagi pegawai berusia tua dan justru menyenangkan bagi pegawai berusia muda. Kebingungan sering terjadi akibat kurangnya pemahaman pegawai berusia tua terhadap perintah atau bahasa komputer. Bagi pegawai berusia muda yang hidup di era teknologi menganggap penggunaan komputer sebagai hal biasa dan ketergantungan terhadap media ini sangat tinggi, sehingga kondisi tanpa kecanggihan teknologi justru dianggap menyulitkan dalam menyelesaikan pekerjaan. Berbeda kondisinya jika terjadi permasalahan yang cukup sulit, pekerja berusia tua akan cenderung lebih berpengalaman menghadapinya, sehingga dianggap lebih bijaksana dalam menghadapi situasi tersebut. Sementara itu pekerja berusia muda cenderung lebih tergesa-gesa dan ingin cepat beres, sehingga justru seringkali membuat kondisi semakin parah dan memicu terjadinya stres. Mengacu pada kenyataan tersebut maka menarik untuk mengamati adakah perbedaan antara pegawai berusia tua dan muda dalam mengatasi stres di Dinas Kesehatan Kota Bogor. A. Hasil Rataan Skor Tabel 20 menunjukkan nilai rataan (mean) dan simpangan baku (standar deviation) dari hasil perhitungan jawaban pegawai terhadap kuesioner dari Constructive Thinking Inventory (CTI). Pada sub-skala Behavioral Coping, rataan jawaban pegawai berada pada nilai 3,94 – 4 untuk seluruh tingkatan usia. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh pegawai memiliki kecenderungan sikap yang sama dalam berpikir konstruktif. Demikian pula dengan sub-skala Emotional Coping,
64
jawaban pegawai berkisar antara 3,33 – 3,51. Kisaran nilai tersebut tidak berbeda jauh, sehingga menunjukkan kesamaan dalam sikap terkait pernyataan-pernyaaan pada kuesioner. Hasil serupa juga diperoleh untuk empat sub-skala sisanya yaitu Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naïve Optimism. Untuk menjelaskan bagaimana kecenderungan sikap pegawai berdasarkan tingkatan usia, Tabel 20 menunjukkan pengelompokan klasifikasi rentang kriteria skala global dan 6 (enam) sub-skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI). Tabel 20 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Usia Sub-Skala
Tingkat Usia
N
Mean
Std Deviation
Std. Error Mean ,02329 ,01667 ,02117 ,09821 ,01143
Global Constructive Thinking
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
3,4782 3,4474 3,4238 3,4713 3,4465
,18186 ,17958 ,20417 ,17010 ,18882
Behavoral Coping
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
4,0080 3,9463 3,9525 4,0000 3,9628
,27954 ,29347 ,33709 ,18520 ,30490
,03579 ,02725 ,03495 ,10693 ,01845
Emotional Coping
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
3,4302 3,4152 3,5148 3,3333 3,4516
,30643 ,30297 ,38277 ,10066 ,33368
,03923 ,02813 ,03969 ,05812 ,02020
Personal Superstitious Thinking
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
3,0295 3,0786 3,1230 3,9433 3,0813
,56189 ,53954 ,49533 ,53715 ,52843
,07194 ,05010 ,05136 ,31013 ,03198
Categorical Thinking
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
3,9839 3,9537 3,9727 3,2067 2,9697
,43686 ,41598 ,54478 ,96023 ,47244
,05593 ,03862 ,05649 ,55439 ,02859
Esoteric Thinking
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
2,9795 2,9866 3,0297 3,2967 3,0031
,51957 ,46608 ,57282 ,38188 ,51466
,06652 ,04327 ,05940 ,22048 ,03115
Naïve Optimism
21 – 32 tahun 33 – 44 tahun 45 – 56 tahun > 56 Total
61 116 93 3 273
3,6152 3,6895 3,5988 3,3333 3,6381
,40025 ,38091 ,33703 ,33501 ,37246
,05125 ,03537 ,03495 ,19342 ,02251
Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std Deviation = nilai simpangan; Std. Error Mean = galat rataan
65
B. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria skala dari Consturctive Thinking Inventory (CTI) Berdasarkan tingkatan usia dapat diketahui bagaimana kondisi penerapan cara berpikir kostruktif diantara pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Setelah sebelumnya menganalisa bagaimana hasil rataan skor dan diperoleh bahwa kecenderungan pegawai memiliki jawaban yang serupa maka untuk mengetahui bagaimana kecenderungan pemikiran konstruktif tersebut berdasarkan skala-skala dalam Constructive Thinking Inventory dilakukan perhitungan rataan masingmasing dan diterjemahkan kedalama klasifikasi rentang kriteria skala, hasil klasifikasi rentang kriteria skala disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Usia Skala
Rentang Nilai dan Arti 33-44 45-56
21-32
Global Constructive 3,48 konstruktif Thinking (GCT) Behavioral Coping 4,00 antusias (BC) Emotional Coping 3,43 terbuka (EC) Personal 3,03 Superstitious netral Thinking (PST) Categorical 3,98 fleksibel Thinking (CaT) Esoteric Thinking 2,98 netral (ET) Naïve Optimism optimis 3,61 (NaO) unrealistis CTI = Constructive Thinking Inventory
>56
3,45
konstruktif
3,42
konstruktif
3,47
konstruktif
3,95
antusias
3,95
antusias
4,00
antusias
3,41
terbuka
3,51
terbuka
3,33
netral
3,08
netral
3,12
netral
3,94
ofensif
3,95
fleksibel
3,97
fleksibel
3,20
netral
2,99
netral
3,03
netral
3,30
netral
3,69
optimis unrealistis
3,60
optimis unrealistis
3,33
netral
Tabel 21 menunjukkan hasil rataan masing-masing skala
yang
diterjemahkan dalam klasifikasi rentang kriteria skala dari Constructive Thinking Inventory berdasarkan tingkatan usia. Pada skala Global Constructive Thinking seluruh tingkatan usia berada pada klasifikasi rentang kriteria yang sama yaitu menunjukkan kemampuan dalam berpikir konstruktif. Pegawai berusia muda maupun tua sama-sama memiliki kemampuan dalam mengatasi stres di tempat kerja karena telah memiliki pikiran yang konstruktif. Hal ini sangat baik, namun perlu jika dilihat dari hasil uji statistik tentunya terdapat selisih perbedaan angka, hal ini ditunjukkan pada rentang usia 21 – 32 yang memiliki nilai paling tinggi,
66
sehingga dapat dikategorikan bahwa pegawai berusia 21 – 32 tahun yang berpikir paling konstruktif dibandingkan rentang usia diatasnya, hal ini sangat beralasan karena pada rentang usia tersebut pegawai masih memiliki semangat dan pemikiran-pemikiran yang positif bagi pekerjaanya. Pada sub-skala Behavioral Coping, pegawai dari seluruh rentang usia memiliki rataan nilai yang sama.
Nilai tersebut masuk ke dalam klasifikasi
rentang kriteria antusias, artinya selalu bersemangat dalam melakukan pekerjaan dan berpikiran positif terhadap segala hal. Sub-skala tersebut tidak hanya menunjukkan sikap antusias saja melainkan juga sikap untuk selalu berpikir positif. Akan tetapi hasil uji statistik menujukkan perbedaan nilai, sehingga jelas bahwa pegawai lebih antusias pada usia 21 – 32 tahun dan kemudian kembali antusia pada rentang usia diatas 56 tahun, artinya baik pegawai yang lebih tua maupun muda memiliki kemampuan tersebut. Hasil sama juga diperoleh pada sub-skala pengukuran Emotional Coping, pegawai berusia 21-56 tahun memiliki rataan nilai yang masuk pada klasifikasi rentang kriteria terbuka, artinya tidak mudah tersinggung apabila menghadapi kritikan atau celaan dari sesama rekan kerja maupun atasan. Nilai uji statistik menunjukkan bahwa pegawai pada rentang usia 45 - 56 tahun memiliki sikap yang sangat terbuka. Hal ini mengindikasikan bahwa pada usia tersebut pegawai sudah memiliki pengalaman kerja yang cukup sehingga sangat terbuka terhadap permasalahan dan situasi dalam pekerjaan. Sikap ini penting untuk menghindari perselisihan yang dapat memicu stres akibat dari ketidak-terimaan karena diperlakukan tidak benar. Pegawai yang memiliki
kemampuan tersebut akan
dapat mengelola emosi dengan baik sehingga dapat mengatasi tekanan yang dihadapinya. Sementara pegawai pada rentang usia diatas 56 tahun menunjukkan klasifikasi rentang kriteria netral, artinya pada usia tersebut pegawai lebih tenang dalam melakukan pekerjaannya karena lebih kepada persiapan menjelang masa pensiun. Pada sub-skala Personal Superstitious Thinking, pegawai berusia 21-56 tahun memiliki rata-rata jawaban yang serupa yaitu berada pada kriteria netral. Pada rentang kriteria tersebut, baik pegawai yang berusia tua maupun muda tidak berusaha mencari solusi dari permasalahan dan cenderung hanya bersifat netral.
67
Akan tetapi dari hasil uji statistik kenyataannya menunjukkan hasil nilai yang berbeda, dimana pada pegawai berusia diatas 56 tahun lebih memiliki sikap ofensif terhadap permasalahan yang dihadapinya dibandingkan dengan rentang usia dibawahnya. Hasil
perhitungan
rataan
pada
sub-skala
Categorical
Thinking
menunjukkan perbedaan sikap antara pegawai dengan rentang usia 21-56 tahun dengan pegawai berusia di atas 56 tahun. Pegawai berusia 21-56 tahun cenderung bersikap fleksibel artinya tidak melihat sesuatu dengan kacamata hitam dan putih. Sementara pegawai berusia di atas 56 tahun cenderung lebih netral. Pada sub-skala Esoteric Thinking, pegawai berusia diatas 56 tahun masuk dalam klasifikasi rentang kriteria yang memiliki kemampuan berpikiran logis dibandingkan pegawai usia, tidak cepat terpengaruh sesuatu yang di luar akal sehat namun kadang tidak logis juga. Hal ini dikarenan pada usia tersebut sudah memiliki pengalaman kerja yang banyak, sehingga memiliki pemikiran lebih ke depan, dengan demikian pegawai tersebut lebih percaya pada kemampuan sendiri dan dapat menyelesaikan pekerjaan yang diberikan tetapi tanpa percaya akan halha diluar kewajaran. Pada sub-skala terakhir yaitu Naïve Optimism, pegawai dengan rentang usia 21-56 tahun cenderung lebih optimis yang berlebihan dan tidak realistis dibandingkan dengan pegawai berusia di atas 56 tahun. Sikap optimis unrealistis dapat berarti bersedia untuk menerima tanggung jawab lebih besar karena merasa memiliki keterampilan yang dibutuhkan namun terlalu berlebihan sehingga terkadang berpkir tidak realistis. Sementara itu bagi pegawai berusia di atas 56 tahun sudah merasa nyaman dengan kondisi yang diperoleh saat ini dan cenderung lebih bersikap netral. Sikap optimis apabila berlebihan dapat menjadi pendorong terjadinya stres apalagi jika dibarengi dengan pikiran yang tidak realistis. C. Hasil Perhitungan ANOVA Tabel 22 merupakan hasil perhitungan berdasarkan metode ANOVA yang menunjukkan bahwa nilai signifikansi (p) yang diperoleh baik untuk skala Global Constructive Thinking maupun enam sub-skala lainnya berada di atas 0,1, dengan hasil ini maka hipotesis nol diterima, artinya tidak terdapat perbedaan nyata yang 68
signifikan berdasarkan usia terhadap hasil enam sub-skala dan skala global dari Constructive Thinking Inventory (CTI) dalam strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Pegawai berusia tua maupun muda memiliki sikap yang tidak berbeda dalam menanggulangi stres kerja yang dialami. Tabel 22 Hasil ANOVA untuk perbedaan Usia Skala
F 1.041 0.609 1.800 0.455 0.313 0.488 1.844
Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
Hasil df 272 272 272 272 272 272 272
p 0.375 0.610 0.148 0.714 0.816 0.691 0.140
Hipotesis Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0
Keterangan: F = nilai uji-F; df = derajat kebebasan; p = nilai kemungkinan
Pada skala Global Constructive Thinking, nilai probabilitasnya sebesar 0,375 berada diatas batas nilai signifikan 0,1. Hasil ini menunjukkan bahwa seluruh pegawai dari berbagai tingkatan usia sama-sama mampu berpikiran konstruktif sehingga mampu beradaptasi dengan kondisi stres kerja yang dialami. Pegawai tersebut mampu menerima perbedaan yang ada terutama perbedaan usia dan dapat mengontrol emosi sebaik mungkin. Sedangkan pada sub-skala Behavioral Coping, nilai p sebesar 0,610 juga masuk dalam kriteria signifikansi 90%. Hasil ini mengindikasikan bahwa pegawai berusia tua maupun muda, memiliki sikap yang antusias dan enerjik sehingga sama-sama mampu menanggulangi stres di tempat kerja. Hasil yang diperoleh pada sub-skala Emotional Coping, nilai p sebesar 0,148 masuk dalam kriteria berada pada batas nilai diatas signifikasi 0,1, sehinga terima H0 artinya tidak terdapat perbedaan nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan usia tidak ada kaitannya dengan kemampuan adaptasi pegawai dalam menghadapi stres kerja. Selain itu hal tersebut juga menunjukkan bahwa kemampuan pegawai untuk tidak mudah tersinggung (tidak sensitif) dan tidak memikirkan kegagalan masa lalu tidak didasarkan pada pertambahan usia. Semakin tua tidak berarti semakin mampu untuk melupakan kegagalan yang pernah dialami.
69
Pada sub-skala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking juga menunjukkan hasil yang sama, nilai p masing-asing subskala tersebut berada diatas nilai 0,1 yaitu sebesar 0,714; 0,816 dan 0,691 yang berarti menerima hipotesis nol. Hasil ini menggambarkan bahwa sikap defensif pegawai dalam menghadapi suatu masalah (Personal Superstitious Thinking), kecenderungan untuk berpikir kaku (Categorical Thinking) serta kecenderungan untuk berpikir logis (Esoteric Thinking), tidak berbeda antara pegawai dari seluruh tingkatan usia. Hal yang sama juga terjadi pada pengukuran berdasarkan sub-skala Naïve Optimism, nailai p sebesar 0,140 berada diatas nilai 0,1, sehingga hipotesis nol diterima. Keadaan ini menggambarkan bahwa sikap optimis dan kecenderungan selalu bersemangat dalam menyelesaikan pekerjaan yang diberikan (Naïve Optimism), tidak berbeda untuk seluruh pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor dari berbagai tingkatan usia. Kondisi ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Siebert (1996) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan nyata dalam cara menanggulangi stres kerja
seiring bertambahnya usia. Demikian pula dengan pernyataan Epstein
(1998) yang mengungkapkan bahwa cara pegawai dalam menanggulangi stres kerja berkembang sejalan dengan bertambahnya usia. Perkembangan ini berhubungan dengan proses maturity yang dialami pegawai, semakin bertambah usia, pegawai akan semakin bijaksana dalam menghadapi persoalan. Namun demikian, hasil penelitan pada Dinas Kesehatan Kota Bogor menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perberdaan nyata yang signifikan dalam menanggulangi stres kerja seiring dengan tingkatan usia pegawai, hal ini tidak dapat digeneralisasi bahwa menanggulangi stres kerja berkembang sejalan dengan bertambahnya usia pada setiap pegawai,
kecuali pegawai
tersebut mampu
memanfaatkan proses ini dengan baik. Kenyataan yang didapat tidak sejalan dengan hasil penelitian Siebert (1999) yang menemukan juga
bahwa ada
hubungan langsung antara stres dan usia pekerja Kenyataan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara pegawai berusia tua dan muda dalam menanggulangi stres di Dinas Kesehatan Kota Bogor dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
70
1. Seluruh pegawai di Dinas Kesehatan Kota Bogor merupakan pegawai negeri dengan tingkat keterjaminan kerja yang tinggi (high job security). Kondisi ini merupakan kenyamanan bagi seluruh pegawai, akibatnya tingkat stres kerja yang dialami tidak terlalu tinggi. Kanfer dan Hulin (1985) menyatakan suatu teori bahwa terdapat korelasi/hubungan langsung antara depresi dan kondisi saat kehilangan pekerjaan di usia senja. Teori tersebut tidak terbukti pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor, karena baik pegawai berusia tua maupun muda tidak khawatir kehilangan pekerjaan atau tergantikan dengan pegawai yang lebih muda usianya karena sebagai PNS sudah ada peraturan yang telah ditetapkan untuk masing-masing porsi pekerjaan baik bagi tingkat usia tua maupun muda. Apabila faktor pemicu stres tersebut dapat diminimalkan maka wajar jika tidak terdapat perbedaan antara pegawai berusia tua dan muda dalam menanggulangi stres. 2. Tidak banyak pekerjaan yang membutuhkan tingkat keterampilan tinggi untuk menyelesaikannya, akibatnya baik pegawai usia muda maupun tua mampu mengerjakannya dengan baik, sehingga tidak memicu timbulnya stres akibat ketidakmampuan dalam menyelesaikan pekerjaan. Jenis pekerjaan yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Bogor tidak banyak berhubungan dengan peralatan dengan tingkat komputerisasi yang tinggi dan lebih ditekankan pada jasa pelayanan administrasi dan kesehatan. Hal ini menyebabkan semua pekerjaan dapat dilakukan oleh pegawai dari berbagai tingkatan usia. Karena hubungan antar pribadi yang cukup baik di
Dinas Kesehatan Kota Bogor dapat meminimalkan perubahan
kemajuan teknologi yang terjadi diantara pegawai berusia tua mupun muda sehingga dapat dengan mudah saling memahami dan tidak menimbulkan stress dalam pekerjaan yang dilakukan. Kondisi ini yang semakin menguatkan kenyataan bahwa tidak terdapat perbedaan antara pegawai berusia tua maupun muda dalam menanggulangi stres. 3. Komunikasi yang cukup baik antara atasan dan bawahan lintas generasi di Dinas Kesehatan Kota Bogor juga mendukung kenyataan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam cara menangulangi stres berdasarkan tingkatan
71
usia. Ketidakmampuan atasan dalam cara mengkomunikasikan suatu pekerjaan kepada pegawai berbeda generasi (pegawai berusia tua dan muda) sering menjadi pemicu terjadinya salah pengertian yang berakibat pada stres yang dialami bawahan. Hal ini seiring dengan pernyataan Kennedy (1998) bahwa komunikasi antar generasi berarti membawa pesan dengan cara yang berbeda sehingga setiap pendengar mampu mengerti apa yang disampaikan dengan baik. Ini adalah keterampilan yang harus dimiliki setiap manajer agar mampu berkomunikasi secara efektif dengan pendengar berbeda usia dan meminimalkan isu stres kerja yang dapat ditimbulkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa baik pegawai dengan jabatan lebih tinggi maupun bawahan dengan beda generasi pada Dinas Kesehatan Kota Bogor terbukti memiliki kemampuan komunikasi yang baik, sehingga seluruh perintah yang diberikan dapat diterima dengan jelas oleh bawahan yang berbeda generasi, akibatnya efek stres yang timbul karena ketidakjelasan komunikasi dalam pekerjaan dapat diminimalkan. 4. Minimnya kondisi persaingan yang terjadi pada Dinas Kesehatan Kota Bogor karena tingkat keterjaminan kerja yang tinggi (high job security) sehingga tidak memicu timbulnya stres kerja diantara pegawai. Bagi PNS, pengisian posisi jabatan tertentu lebih banyak ditentukan oleh masa kerja, akibatnya pegawai berusia muda lebih santai dalam melakukan pekerjaan karena keyakinan bahwa suatu saat nanti pasti akan menduduki jabatan tertentu apabila masa kerjanya sudah lebih lama. Sebaliknya pegawai berusia tua juga tidak merasa terancam dengan kehadiran pegawai yang lebih muda, sehingga tidak memicu timbulnya stres. Pegawai berusia tua dan muda mengalami kondisi persaingan rendah yang tidak memicu timbulnya stres sehingga wajar jika tidak terdapat perbedaan faktor usia dalam menanggulangi stres. Pada pola kepegawaian di pemerintahan, usia menjadi salah satu faktor penentu untuk mencapai jabatan tertentu. Faktor usia dan pengalaman sering dijadikan pedoman bagi penilaian pegawai yang bersangkutan untuk memegang tanggung jawab yang lebih berat seperti memimpin sebuah departemen atau divisi, walaupun pada kenyataanya seringkali tidak demikian. Pada kasus ini
72
terbukti bahwa faktor usia di dinas pemerintahan khususnya pada Dinas Kesehatan Kota Bogor sangat lekat kaitannya dengan pengalaman. Masa kerja yang lebih lama memberikan peluang lebih besar bagi pegawai untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. 5.3.3
Analisis Perbedaan Tingkat Pendidikan terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) Mirowsky dan Ross (1989) mengungkapkan bahwa pegawai yang
memperoleh pendidikan lebih tingi cenderung memperoleh kemampuan lebih baik dalam mengontrol emosi. Kemampuan ini dapat membantu pegawai dalam mengatasi stres yang dialami di tempat kerja. Ketika mendapatkan permasalahan di tempat kerja, pegawai dengan tingkat pendidikan lebih tinggi lebih mampu dalam mencari solusi permasalahan. Berdasarkan hal itu maka perlu dilakukan analisis mengenai apakah terdapat perbedaan dalam menganggulangi stres berdasakan tingkat pendidikan di Dinas Kesehatan Kota Bogor khususnya bagi pegawai bergelar sarjana dan non-sarjana. A. Hasil Rataan Skor Tabel 23 menunjukkan nilai rataan dan standar deviasi untuk seluruh subskala pengukuran, terlihat bahwa pada sub-skala Personal Superstitious Thinking dan Naïve Optimism terdapat perbedaan nilai rataan antara pegawai bergelar sarjana dan non-sarjana. Pada sub-skala Personal Superstitious Thinking, nilai rataan pengukuran sarjana 2,97 sedangkan non-sarjana 3,13, terdapat perbedaan nilai sebesar 0,14. Perbedaan nilai tersebut diduga dapat menyebabkan perbedaan pada hasil ANOVA. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh sub-skala NaO, nilai pengukuran sarjana 3,56 sedangkan non-sarjana 3,67 terdapat perbedaan nilai rataan sebesar 0,11. Sementara pada sub-skala lain, perbedaan nilai hanya berkisar antara 0,02 – 0,09. Hasil rataan skor yang ditunjukkan pada Tabel 23, menunjukkan jawaban yang mengarah ke nilai 4 untuk skala Behavioral Coping, Emotional Coping dan Naïve
Optimism,
sementara
sub-skala
Personal
Superstitious
Thinking,
Categorical Thinking dan Esoteric Thinking, mengarah ke nilai 3. Kecenderungan ini sangat beralasan karena pada sub-skala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking, terdiri dari pernyataan-pernyaaan 73
yang cenderung negatif, sehingga jawaban pegawai lebih mengarah pada penolakan atau skala pengukuran yang lebih kecil. Namun demikian hasil tersebut harus dikonfirmasi melalui hasil rataan skor berdasarkan penggolongan sikap dalam Constructive Thinking Inventory, sehingga diperoleh kecenderungan sikap pegawai yang lebih akurat. Tabel 23 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Tingkat Pendidikan Sub-Skala Global Constructive Thinking Behavoral Coping Emotional Coping Personal Superstitious Thinking Categorical Thinking Esoteric Thinking Naïve Optimism
Tingkat Pendidikan Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana Sarjana Non Sarjana
N
Mean 92 181 92 181 92 181 92 181 92 181 92 181 92 181
3,4314 3,4542 3,9782 3,9550 3,4230 3,4661 2,9760 3,1348 2,9387 2,9855 3,0645 2,9719 3,5653 3,6751
Std.Dev ,19240 ,18704 ,31382 ,30084 ,35393 ,32295 ,51968 ,52619 ,46687 ,47575 ,55893 ,48930 ,36061 ,37390
Std. Error Mean ,02006 ,01390 ,03272 ,02236 ,03690 ,02400 ,05418 ,03911 ,04867 ,03536 ,05827 ,03637 ,03760 ,02779
Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std Deviation = nilai simpangan; Std. Error Mean = galat rataan
B. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari Constructive Thinking Inventory (CTI) Tabel 24 menunjukkan hasil klasifikasi rentang kriteria skala dari Constructive Thinking Inventory untuk skala global dan 6 (enam) sub-skala berdasarkan perbedaan tingkat pendidikan. Pada skala Global Constructive Thinking, pegawai lulusan sarjana dan non-sarjana memiliki rataan nilai yang sama dan masuk pada klasifikasi rentang kriteria konstruktif. Artinya pegawai dengan gelar sarjana maupun non sarjana di Dinas Kesehatan Kota Bogor telah mampu berpikiran konstruktif. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan nilai 0,02 lebih besar pada pegawai non sarjana, hal ini dapat dikategorikan bahwa pegawai non sarjana lebih berpikiran konstruktif daripada pegawai sarjana. Artinya pegawai non sarjana cenderung mampu mengendalikan emosi dengan baik dan dapat menghindari stres kerja. Kondisi ini sangat penting terutama dalam mengatasi stres yang terjadi di tempat kerja.
74
Berdasarkan sub-skala Behavioral Coping, diperoleh nilai 3,98 untuk pegawai bergelar sarjana dan 3,95 untuk non sarjana. Keduanya sama-sama menunjukkan klasifikasi rentang kriteria bersikap antusias, namun hasil uji statistis menunjukkan selisih nilai 0,03 lebih pegawai sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai sarjana memiliki sikap antusias lebih baik daripada pegawai non sarjana. Sikap ini diperlukan terutama untuk tetap menjaga semangat dalam bekerja, rasa antusias terhadap pekerjaan diperlukan agar pegawai tidak cepat bosan dan tertekan dalam mengerjakan tugas yang diberikan. Kebosanan dan perasaan tertekan dapat memicu timbulnya stres di tempat kerja. Sikap antusiasme yang tinggi akan membantu pegawai terhindar dari stres kerja. Tabel 24 Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Tingkat Pendidikan Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET)
3,43 3,98 3,42 2,98 2,93 3,06
Naïve Optimism (NaO)
3,56
Rentang Nilai dan Arti Sarjana Non Sarjana konstruktif 3,45 konstruktif antusias 3,95 antusias terbuka 3,47 terbuka netral 3,13 netral netral 2,98 netral netral 2,97 netral optimis optimis 3,67 unrealistis unrealistis
Untuk sub-skala Emotional Coping, baik pegawai bergelar sarjana maupun non-sarjana masuk pada klasifikasi rentang kriteria berpikir terbuka, artinya keduanya tidak mudah tersinggung apabila menghadapi penolakan atau kritikan. Akan tetapi hasil uji statistik menunjukkan selisih perbedaan nilai sebesar 0,05, lebih tinggi pada pegawai non sarjana, hal ini mengindikasikan bahwa pegawai non sarjana lebih bersikap terbuka daripada pegawai sarjana. Pegawai non sarjana lebih terbuka dalam menerima masukan dan kritikan terkaiat kemajuan dalam pekerjaannya. Dengan memiliki sikap seperti ini maka pegawai tersebut mampu mengaplikasikan salah satu strategi penanggulangan stres kerja dengan baik. Pada sub-skala Personal Superstitious Thinking, pegawai sarjana maupun non sarjana sama-sama masuk pada klasifikasi rentang kriteria bersikap netral. Sikap ini menunjukkan sikap kurang pro-aktif memecahkan suatu permasalahan di tempat kerja dan cenderung menunggu atau bahkan lepas tangan terhadap 75
beban pekerjaan yang diterima. Pada kenyataannya, hasil uji statistik menunjukkan nilai yang berbeda dengan selisih sebesar 0,15 lebih tinggi pada pegawai non sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai non sarjana lebih menerima permasalahan sebagai tantangan demi kemajuan pekerjaannya dibandingkan dengan pegawai sarjana. Rataan nilai 2,93 dan 2,98 untuk pegawai bergelar sarjana dan non sarjana diperoleh melalui pengukuran terhadap sub-skala Categorical Thinking. Sub-skala tersebut mengukur sejauh mana pegawai mampu menghadapi suatu permasalahan dan hasilnya menunjukkan bahwa keduanya masuk dalam klasifikasi rentang kriteria berpikiran netral atau kurang fleksibel tetapi tidak terlalu kaku. Kaku dalam arti kurang mampu berpikir di luar konteks untuk menemukan suatu solusi permasalahan. Keduannya cenderung melakukan pendekatan permasalahan dengan cara yang sama dan kurang improvisasi. Akan tetapi hasil uji statistis menunjukkan perbedaan nilai lebih tinggi pada pegawai non sarjana yaitu sebesar 0,05, hal ini menunjukkan bahwa pegawai non sarjana lebih bersikap fleksibel daripada pegawai sarjana. Pada sub-skala Esoteric Thinking, seluruh pegawai yang bergelar sarjana maupun non-sarjana memiliki nilai rataan 3,06 dan 2,97. Nilai ini digolongkan pada klasifikasi rentang kriteria netral. Artinya keduanya sangat percaya akan sesuatu yang dapat dijelaskan dengan akal sehat walaupun juga kadang percaya hal-hal gaib. Sikap percaya akan kemampuan yang dimiliki akan membuat pegawai lebih semangat dalam menghadapi pekerjaan dan tidak menghalalkan segala cara untuk memperoleh sesuatu. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan nilai uji lebih tinggi pada pegawai sarjana, yaitu selisih sebesar 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi lebih dapat berpikir logis sehingga tidak percaya akan hal-hal diluar kewajaran dibandingkan pegawai non sarjana. Sub-skala Naïve Optimism berhubungan dengan tingkatan optimisme pegawai dalam mengerjakan sesuatu. Pegawai bergelar sarjana dan non-sarjana sama-sama memiliki klasifikasi rentang kriteria kecenderungan bersikap optimis unrealistis, yaitu nilai sebesar 3,56 pada pegawai sarjana dan 3,67 pada pegawai non sarjana. Kecenderungan sikap ini dimungkinkan jika pegawai terpaksa
76
menerima suatu pekerjaan yang di luar kemampuannya namun tetap bersemangat untuk menyelesaikannya, akibatnya jika pekerjaan tidak selesai cenderung mencari penyelesaian dengan cara-cara yang tidak realistis, sehingga jika hasil kerja tidak sesuai yang diharapkan dapat memicu timbulnya stres kerja. Hasil uji statistik menunjukkan nilai uji lebih besar pada pegawai non sarjana dengan selisih perbedaan nilai sebesar 0,11. Artinya pegawai non sarjana lebih dapat bersikap optimis realistis dibandingkan pegawai sarjana. C. Hasil Perhitungan ANOVA Tabel 25 menunjukkan bahwa pada skala global (Global Constructive Thinking) dan 4 (empat) sub-skala (Behavioral Coping, Emotional Coping, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking) nilai probabilitas (p) berada diatas 0,1 yang berarti terima hipotesis nol atau tidak terdapat perbedaan nyata yang signifikan pada tingkat pendidikan terhadap skala Global Constructive Thinking dan 4 (empat) sub-skala Behavioral Coping, Emotional Coping, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking dalam strategi menanggulangi stres kerja pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor. Nilai mutlak t-value untuk skala-skala tersebut juga berada dibawah 1,96 yang merupakan batas atas tingkat signifikansi 90%, sehingga masuk pada kriteria terima hipotesis nol. Berbeda dengan hasil perhitungan ANOVA terhadap skala global dan 4 (empat) sub-skala diatas, maka didapatkan dua sub-skala yang memperoleh nilai p dibawah 0,1, yaitu Personal Superstitious Thinking dan Naïve Optimism dengan nilai masing-masing 0,019 dan 0,021, serta memiliki nilai mutlak t-value berada diatas 1,96. Hasil ini masuk dalam kriteria tolak hipotesis nol. Dengan nilai tersebut artinya terdapat perbedaan nyata yang signifikan dalam menanggulangi stres berdasarkan tingkat pendidikan pada pernyataan yang menunjukkan sikap defensif Personal Superstitious Thinking (PST) dan pernyataan optimisme Naïve Optimism (NaO), sebagaimana dapat dilihat hasilnya pada Tabel 25.
77
Tabel 25 Hasil ANOVA untuk perbedaan Tingkat Pendidikan Hasil Skala
Hipotesis t-value df p ≥ 1,96 Global Constructive Thinking (GCT) -0.942 271 0.347 Terima H0 Behavioral Coping (BC) Terima H0 0.593 271 0.554 Emotional Coping (EC) Terima H0 -1.007 271 0.315 Personal Superstitious Thinking (PST) Tolak H0 -2.367 271 0.019 Categorical Thinking (CaT) Terima H0 -0.773 271 0.440 Esoteric Thinking (ET) Terima H0 1.407 271 0.160 Naïve Optimism (NaO) Tolak H0 -2.320 271 0.021 Keterangan: t-value = nilai uji-t; df = derajat kebebasan; p = nilai kemungkinan
Hasil perhitungan pada skala Global Constructive Thinking dan 4 (empat) sub-skala diatas menunjukkan bahwa perbedaan tingkat pendidikan tidak ada kaitannya dengan sikap pegawai dalam berpikir konstruktif. Setiap pegawai dari berbagai jenjang pendidikan memiliki kemampuan yang sama dalam menerima perbedaan di tempat kerja dan sanggup mengontrol emosi saat menghadapi suatu permasalahan. Sifat-sifat tersebut tidak meningkat seiring dengan naiknya tingkat pendidikan yang dimiliki pegawai. Hasil analisis ANOVA pada empat sub-skala juga tidak menunjukkan perbedaan berdasarkan tingkat pendidikan. Sub skala tersebut adalah sikap antusias dan enerjik (Behavioral Coping), tidak mudah tersinggung atau tidak sensitif (Emotional Coping), bersikap kaku atau fleksibel (Categorical Thinking) dan kemampuan berpikir logis (Esoteric Thinking). Hal ini membuktikan bahwa berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, pegawai sarjana maupun non-sarjana tidak memiliki perbedaan dalam cara berpikirnya. Pada sub-skala Behavioral Coping, hasil signifikan yang diperoleh yaitu nilai p sebesar 0,554 menunjukkan bahwa sikap antusias dan enerjik dalam menghadapi tantangan tidak berkembang sejalan dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Pegawai bergelar sarjana maupun non-sarjana dapat memiliki sikap optimis, antusias dan enerjik dalam rangka menanggulangi stres kerja. Sama halnya dengan perhitungan pada sub-skala Categorical Thinking dan Esoteric Thinking dengan nilai probabilitas masing-masing sebesar 0,44 dan 0,16 menunjukkan bahwa perbedaan tingkat pendidikan tidak memiliki kaitan dengan sikap tidak percaya, tidak toleran (kaku) dan kecenderungan mempercayai
78
fenomena yang tidak logis dari setiap pegawai. Perbedaan tingkat pendidikan tidak menjadi halangan bagi setiap pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor untuk mengembangkan sikap dalam menanggulangi stres di tempat kerja. Pada sub-skala Emotional Coping, hasil ini menunjukkan bahwa pegawai yang bergelar sarjana maupun non-sarjana memiliki kemampuan yang tidak berbeda terhadap cara mereka dalam beradaptasi menghadapi stres kerja. Hal ini tidak sejalan dengan pernyataan Mone (2000) yang mengungkapkan bahwa pendidikan formal memberikan bekal yang berguna bagi pegawai agar mampu berkompetisi di dunia pekerjaan dengan baik. Pekerja yang memiliki kompetensi lebih tinggi akan cepat beradaptasi dengan pekerjaan sehingga terhindar dari stres di tempat kerja. Berlatarbelakang dari pernyataan Mone (2000) tersebut, pernyataan tolak H0 pada kategori Personal Superstitious Thinking mengindikasikan cara pandang yang berbeda antara pegawai bergelar sarjana dan non-sarjana terhadap kecenderungan pikiran yang negatif. Sebagai contoh pernyataan kecenderungan pegawai untuk bertindak defensif dalam melihat sebuah permasalahan dibandingkan melihatnya sebagai sebuah tantangan. Bagi pegawai yang memperoleh pendidikan sarjana, kemampuan manajerial menjadi salah satu pokok bahan pengajaran, sehingga lulusan bergelar sarjana lebih mampu menghadapi permasalahan di tempat kerja dengan baik dan cenderung melihatnya sebagai sebuah tantangan yang harus diselesaikan. Sementara pegawai lulusan D2, D3 atau bahkan SLTA yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menyelesaikan tugas
administratif
cenderung
bersifat
defensif
dalam
melihat
sebuah
permasalahan. Berdasarkan hasil rataan dari uji statistik dalam penelitian ini didapatkan perbedaan nilai lebih besar pada pegawai non sarjana, hal ini mengindikasikan bahwa pegawai non sarjana lebih bersikap ofensif dibandingkan dengan pegawai sarjana, karena merasa memiliki latar belakang pendidikan yang belum maksimal sehingga pegawai non sarjana lebih bersikap ofensif terhadap masukan dan permasalahan yang ada dan dijadikannya sebagai sebuah tantangan yang harus dikejarnya demi kemajuan dalam pekerjaannya. Sementara pada pegawai sarjana, karena merasa sudah memiliki latar belakang pendidikan yang lebih baik, maka
79
setiap kali ada permasalahan atau perubahan dalam pekerjaannya dianggap sebuah ancaman yang akan merubah kondisi yang sudah dianggapnya baik. Dari hasil uji diatas dapat disimpulkan bahwa tidak selalu tepat apabila dikatakan bahwa pegawai yang berlatar belakang sarjana dapat menghasilkan pemikiran yang positif dan bersikap lebih baik daripada pegawai yang berlatar belakang non sarjana. Sub-skala pengukuran lain yang menunjukkan perbedaan nyata yang signifikan
adalah
Naïve
Optimism,
dimana
sub-skala
pengukuran
ini
mengindikasikan tingkatan dimana pegawai berpikir optimis yang tidak realistis. Pernyataan tolak H0 pada kategori ini menunjukkan ada perbedaan dalam cara menghadapi stres antara pegawai bergelar sarjana dan non-sarjana khususnya dalam berpikir optimis menghadapi suatu permasalahan. Sejalan dengan penjelasan pada kategori Personal Superstitious Thinking, maka cara pandang pegawai bergelar sarjana dalam menghadapi masalah sebagai sebuah ancaman sering membuat pegawai yang bersangkutan merasa optimis yang berlebihan dan cenderung tidak realistis. Sisi baiknya, pegawai tersebut akan cenderung memiliki semangat tinggi dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan, sedangkan sisi buruknya akan lebih mudah stres ketika menghadapi kegagalan atau kenyataan yang tidak menyenangkan. Sementara pegawai bergelar non-sarjana tidak mudah stres karena memang
permasalahan
yang
ada
dijadikan
tantangan
demi
kemajuan
pekerjaannya sehingga terhindar dari kemungkinan kegagalan yang menjadi penyebab stres. Perbedaan hasil pengukuran ANOVA untuk sub skala Personal Superstitious Thinking dan Naïve Optimism dengan hasil rataan skor pada klasifikasi rentang kriteria cukup beralasan. Perbedaan tersebut disebabkan karena faktor pengukuran dalam metode statistika sangat memperhitungkan perbedaan nilai sekecil apapun. Dengan perhitungan rataan yang berbeda maka hasil perhitungan ANOVA menunjukkan perbedaan juga. Jadi meskipun masuk pada rentang kriteria yang sama, tetap memiliki perbedaan berdasarkan perhitungan uji statistik ANOVA.
80
5.3.4
Analisis Perbedaan Jenis Kelamin Pegawai Sarjana dan Non Sarjana terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI)
A. Hasil Rataan Skor Pada pembahasan ini akan dianalisa lebih dalam apakah terdapat perbedaan jenis kelamin pada pegawai bergelar sarjana dan non sarjana di Dinas Kesehatan Kota Bogor terhadap hasil dari perhitungan Constructive Thinking Inventory (CTI). Tabel 26 menunjukkan nilai rataan dan standar deviasi yang diperoleh pada perhitungan ANOVA. Hasilnya menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak ada perbedaan nilai rataan, baik pada pegawai pria dan wanita bergelar sarjana maupun pegawai pria dan wanita bergelar non sarjana. Ini mengindikasikan bahwa secara rata-rata tidak ada perbedaan persepsi terkait dengan sejauh mana pegawai di Dinas Kesehatan Kota Bogor telah berpikiran konstruktif. Hasil perhitungan rataan belum menunjukkan secara rinci perbedaan yang terjadi terkait dengan persepsi mengenai metode Constructive Thinking Inventory (CTI) di Dinas Kesehatan Kota Bogor, namun kesimpulan sementara yang diperoleh adalah kecenderungan jawaban pegawai yang berbeda jenis kelamin tersebut berkisar di nilai 3 atau nilai tengah yang menyatakan cenderung netral, . perhitungan ANOVA disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin pegawai Sarjana dan Non Sarjana
Sub-Skala
Jenis Kelamin
Sarjana N
Mean
Std.Dev
Non Sarjana N
Mean
Pria 22 3,3824 ,23817 63 3,4444 70 3,4655 ,24032 118 3,4594 Wanita Pria 22 3,8929 ,26059 63 3,9399 Behavoral Coping 70 4,0378 ,40675 118 3,9516 Wanita Pria 22 3,2891 ,28524 63 3,3829 Emotional Coping 70 3,3394 ,19605 118 3,4281 Wanita Pria Personal Superstitious 22 2,8561 ,50473 63 2,9788 Thinking 70 2,8857 ,49355 118 2,9732 Wanita Pria 22 ,34632 63 2,8581 2,9176 Categorical Thinking 70 ,25530 118 2,8347 2,7848 Wanita Pria 22 2,9129 ,33578 63 2,9524 Esoteric Thinking 70 2,8976 ,29528 118 2,9386 Wanita Pria 22 3,6061 ,36043 63 3,5619 Naïve Optimism 70 3,5229 ,35597 118 3,6407 Wanita Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std.Dev = nilai simpangan Global Constructive Thinking
81
Std.Dev ,16527 ,19816 ,20007 ,32430 ,23694 ,23443 ,43942 ,41572 ,28690 ,27133 ,25166 ,26586 ,28904 ,33476
B. Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin berdasarkan pegawai Sarjana dan Non Sarjana Tabel 27 menunjukkan hasil ANOVA untuk perbedaan jenis kelamin berdasarkan tingkat pendidikan. Berdasarkan perhitungan ANOVA pada pegawai pria dan wanita bergelar sarjana didapat hasil nilai p dibawah 0,1 pada sub-skala Categorical Thinking sehingga tolak hipotesis nol, artinya terdapat perbedaan nyata yang signifikan. Hasil tersebut didukung dengan hasil rataan dimana diperoleh hasil nilai rataan lebih besar pada pegawai pria bergelar sarjana yaitu sebesar 2,91 sementara
pegawai wanita sebesar 2,78, meskipun nilai rataan
masuk dalam klasifikasi rentang kriteria netral, akan tetapi secara hasil uji statistik didapatkan selisih nilai sebesar 0,13 lebih tinggi pada pegawai pria bergelar sarjana. Hasil ini menunjukkan bahwa pegawai pria bergelar
sarjana lebih
berpikir fleksibel baik dalam melakukan pekerjaan maupun dalam mengambil keputusan dibandingkan pegawai wanita bergelar sarjana yang emosinya lebih mempengaruhi dalam melakukan pekerjaan maupun dalam pengambilan keputusan, Hasil ini sejalan dengan pernyataan dari Mirowsky dan Ross (1989) yang mengungkapkan bahwa individu yang memperoleh pendidikan lebih tinggi cenderung memperoleh kemampuan lebih baik dalam mengontrol emosi. Artinya pegawai bergelar sarjana baik pria dan wanita lebih memiliki kemampuan mengontrol emosinya sehingga dapat membantu pegawai tersebut dalam mengatasi stres yang dialami di tempat kerja, ketika mendapatkan permasalahan di tempat kerja, individu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi lebih mampu dalam mencari solusi permasalahan yang dihadapinya. Sementara itu hasil ANOVA pada pegawai pria dan wanita bergelar non sarjana ditemukan hasil yang tidak berbeda nyata, hal ini didukung dengan hasil p diatas 0,1 atau dengan kata lain terima hipotesis nol untuk seluruh skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI). Dengan demikian, pegawai pria dan wanita bergelar non sarjana memiliki persepsi yang cenderung sama mengenai hasil dari penilaian cara berpikir konstruktif dan dalam penanggulangan stres kerja di Dinas Kesehatan Kota Bogor.
82
Tabel 27 Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin berdasarkan pegawai Sarjana dan Non Sarjana Sarjana
Non Sarjana
tvalue ≥ 1,96
p
Hipotesis
t-value ≥ 1,96
p
Hipotesis
-1.417
0.160
Terima H0
-0.511
0.610
Terima H0
-1.569
0.120
Terima H0
-0.260
0.795
Terima H0
-0.936
0.352
Terima H0
-1.233
0.219
Terima H0
-0.245
0.807
Terima H0
0.086
0.932
Terima H0
1.946
0.055
Tolak H0
0.541
0.589
Terima H0
0.205
0.838
Terima H0
0.339
0.735
Terima H0
Naïve Optimism (NaO) 0.953 0.343 Terima H0 Keterangan: t-value = nilai uji-t; p = nilai kemungkinan
-1.579
0.116
Terima H0
Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET)
5.3.5
Analisis Perbedaan Jenis Kelamin Pegawai Sarjana dan Non Sarjana berdasarkan Usia terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) Setelah diketahui bahwa terdapat perbedaan nyata yang signifikan antara
pegawai pria dan wanita bergelar sarjana dalam mempersepsikan hasil dari Constructive Thinking Inventory (CTI), maka selanjutnya dilakukan perhitungan lebih rinci dengan membagi jenis kelamin berdasarkan kelompok usia dan tingkat pendidikan. Dengan perhitungan ini diharapkan terdapat perbedaan persepsi antara pegawai pria dan wanita berdasarkan rentang usia dan tingkat pendidikannya. Dari hasil uji ANOVA didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan nyata yang signifikan, yaitu : 1) antara pegawai pria dan wanita untuk tingkat pendidikan sarjana pada rentang usia 21-32 tahun, khususnya pada skala Global Costructive Thinking; 2) antara pegawai pria dan wanita untuk tingkat pendidikan sarjana pada rentang usia 45-56 tahun, khususnya pada dua sub-skala, yaitu Behavioral Coping dan Categorical Thinking; dan 3) antara pegawai pria dan wanita untuk tingkat pendidikan non sarjana pada rentang usia 33-44 tahun, khususnya pada sub-skala Naive Optimism. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 28-36, akan tetapi hasil perhitungan keseluruhan secara lengkap dapat dilihat pada bagian lampiran (14 -20).
83
A. Analisis Perbedaan Jenis Kelamin Pegawai Sarjana rentang Usia 21-32 terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) 1.
Hasil Rataan Skor Tabel 28 menunjukkan nilai rataan dan standar deviasi yang diperoleh pada
perhitungan ANOVA. Hasilnya menunjukkan bahwa pada skala Global Contructive Thinking, sub skala Emotional Coping dan Naive Optimism nilai rataan cenderung ke nilai 3,5. Sementara pada sub skala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking memiliki rataan yang cenderung ke nilai 3 atau cenderung netral. Hasil rataan lebih besar diperoleh pada sub skala Behavioral Coping yang cenderung ke nilai 4. Perbedaan nilai rataan tersebut tetap mengarah pada kecenderungan berpikir konstruktif untuk pegawai sarjana berumur 21-32 tahun. Pada skala Behavioral Coping diperoleh nilai yang lebih besar dari sub skala yang lain, ini menunjukkan bahwa pegawai sarjana pria dan wanita yang berusia antara 21-32 tahun lebih dominan dalam berpikiran positif, memiliki sikap antusias dan enerjik dalam mengerjakan tugas yang dibebankan dibandingan pegawai sarjana pria dan wanita pada rentang usia diatasnya. Kondisi ini akan mendorong pegawai untuk mampu mengatasi stres kerja karena selalu bertindak antusias dan memiliki energi positif dalam bekerja. Seperti telah dibahas pada bagian demografi responden bahwa meskipun rentang usia lulusan sarjana antara 21-32 tahun, namun tidak ada responden yang berusia dibawah 24 tahun. Hal ini untuk menghindari persepsi bahwa rentang kriteria yang digunakan kurang tepat karena umumnya responden lulusan sarjana (fresh graduate) berusia rata-rata 23 tahun. Hasil rataan ini
belum dapat
menjelaskan bagaimana sikap pegawai sarjana pria dan wanita pada rentang usia 21 -32 tahun. Hasil rataan dan standar deviasi ANOVA disajikan pada Tabel 28 berikut:
84
Tabel 28 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis pegawai Sarjana rentang Usia 21-32 tahun Sub-Skala
Tingkat N Mean Std Pendidikan Deviation Sarjana Usia(21-32) Global Constructive 2 3,6725 ,21991 Pria Thinking 17 3,4564 ,15967 Wanita Behavoral Coping 2 4,1425 ,10112 Pria 17 4,0798 ,22429 Wanita Emotional Coping 2 3,5400 ,53740 Pria 17 3,3294 ,18949 Wanita Personal 2 3,1665 ,94257 Pria Superstitious Thinking Wanita 17 2,6765 ,46945 Categorical Thinking Pria 2 2,9065 ,04455 17 2,7721 ,19757 Wanita Esoteric Thinking 2 2,9165 ,23547 Pria 17 2,8101 ,20083 Wanita Naïve Optimism 2 3,4000 ,47093 Pria 17 3,4000 ,32914 Wanita Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std.Dev = nilai simpangan
2.
Kelamin Std. Error Mean
,15550 ,03873 ,07150 ,05440 ,38000 ,04596 ,66650 ,11386 ,03150 ,04792 ,16650 ,04871 ,33300 ,07983
Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria berdasarkan skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI) Hasil rataan pada Tabel 28 belum dapat menjelaskan bagaimana
kecenderungan sikap pegawai pria dan wanita pada tingkat pendidikan sarjana dengan rentang usia 21-32 tahun dalam berpikiran konstruktif, sikap tersebut baru dapat diketahui dengan melakukan perhitungan rataan berdasarkan hasil klasifikasi rentang rentang kriteria skala global dan sub-skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI). Hasil rataan berdasarkan Constructive Thinking Inventory (CTI) pegawai pria dan wanita sarjana dengan rentang usia 21-32 tahun disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI berdasarkan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 21-32 tahun. Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
Rentang Nilai dan Arti Pria Sarjana Wanita Sarjana (Usia 21-32 tahun) (Usia 21-32 tahun) 3,67 3,45 konstruktif konstruktif 4,14 4,07 antusias antusias 3,54 3,32 terbuka netral 3,16 2,67 netral netral 2,90 2,77 netral netral 2,91 2,81 netral netral 3,40 3,40 netral netral
CTI = Constructive Thinking Inventory
85
Tabel 29 menunjukkan klasifikasi rentang nilai masing-masing skala dalam perhitungan Constructive Thinking Inventory (CTI) pegawai pria dan wanita sarjana dengan rentang usia 21-32 tahun. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada sub skala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, Esoteric Thinking dan Naive Optimism, jawaban pegawai cenderung masuk pada rentang kriteria netral. Artinya kondisi cara berpikir konstruktif di Dinas Kesehatan Kota Bogor yang menunjukkan pikiran defensif, fleksibel, logis dan optimis dipersepsikan rata-rata oleh pegawai. Sementara secara keseluruhan pegawai pria dan wanita sarjana dengan rentang usia 21-32 tahun sudah mengarah ke cara berpikir konstruktif terutama pada sub skala Behavioral Coping yang menunjukkan minat atau antusiasme yang tinggi. 3.
Hasil Perhitungan ANOVA Tabel 30 menunjukkan hasil ANOVA bahwa terdapat perbedaan nyata yang
signifikan terhadap hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) antara pegawai pria dan wanita
sarjana dengan rentang usia 21 -32 tahun, khususnya skala
Global Constructive Thinking
dimana didapatkan nilai p dibawah 0,1 yaitu
sebesar 0,096 sehingga tolak hipotesis nol artinya baik pegawai pria dan wanita sarjana dengan rentang usia 21-32 tahun memiliki kemampuan berpikir konstruktif yang berbeda, sedangkan pada keenam sub-skala lainnya tidak ditemukan perbedaan nyata, hal tersebut dilihat dari nilai p diatas 0,1 artinya terima hipotesis nol. Tabel 30 Hasil ANOVA untuk perbedaan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 21-32 tahun Hasil Skala
t-value ≥ 1,96 1.765 0.383 1.250 1.286 0.937 0.701 0.000
Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
df
p
17 17 17 17 17 17 17
0.096 0.707 0.228 0.216 0.362 0.493 1.000
Keterangan: t-value = nilai uji-t; df = derajat kebebasan; p = nilai kemungkinan
86
Hipotesis Tolak H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0
Jika diperhatikan pada hasil perhitungan klasifikasi rentang kriteria sebelumnya (Tabel 29), baik pegawai laki-laki dan wanita sarjana berusia 21-32 tahun masuk pada rentang kriteria berpikir konstruktif, namun memiliki nilai yang berbeda, khususnya pada Global Constructive Thinking scale dimana hasil uji statistik menunjukkan selisih nilai perbedaaan lebih besar pada pegawai pria yang sarjana dengan rentang usia 21 – 32 tahun yaitu sebesar 0,22, artinya pada usia tersebut pegawai pria sarjana memiliki cara berpikir yang lebih konstruktif daripada pegawai wanita sarjana, hal ini disebabkan pada usia tersebut pegawai pria sarjana masih memiliki semangat tinggi dalam mengejar karir masa depannya Selain itu pemikiran konstruktif juga ditunjukkan dengan sikap optimis dan mampu menerima perbedaan pendapat dengan rekan kerja. Berbeda dengan pegawai wanita yang kadang cenderung lebih memilih teman kerja dan lebih menunjukkan sikap kurang suka apabila terjadi perbedaan pendapat dengan rekan kerja. B. Analisis Perbedaan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 45-56 terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) Setelah diketahui terdapat perbedaan nyata berdasarkan jenis kelamin pada pegawai sarjana dengan rentang usia 21-32 khususnya skala Global Contructive Thinking, maka didapatkan hasil yang berbeda nyata secara signifikan pada pegawai sarjana dengan rentang usia 45-56 tahun. Namun sebelumya perlu dikaji terlebih dahulu bagaimana hasil rataan skor dan klasifikasi rentang kriteria dari pegawai tersebut. 1.
Hasil Rataan Skor Tabel 31 menunjukkan nilai rataan dan standar deviasi yang diperoleh pada
perhitungan ANOVA. Hasilnya menunjukkan bahwa pada skala Global Contructive Thinking, Behavioral Coping, Emotional Coping , dan Naive Optimism memiliki nilai rataan diatas 3, sementara pada sub skala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking memiliki nilai rataan cenderung ke nilai 3. Hasil ini memperlihatkan bahwa pegawai lakilaki dan wanita sarjana berusia 45-56 tahun, pada sub-skala yang mengukur kemampuan dalam berpikir defensif, fleksibel dan logis lebih cenderung berada di
87
tengah-tengah atau berpikiran lebih netral. Sementara pada sikap yang menunjukkan antusiasme, keterbukan dan optimis, nilainya rata-rata lebih tinggi pada pegawai pria sarjana. Namun demikian hasil rataan ini
belum dapat
menjelaskan bagaimana sikap pegawai sarjana pria dan wanita pada rentang usia 45 – 56 tahun. Hasil rataan dan standar deviasi ANOVA disajikan pada Tabel 31 berikut: Tabel 31 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 45-56 tahun Tingkat Pendidikan Std Std. Error Sub-Skala N Mean Sarjana usia Deviation Mean (45-56) Pria Global Constructive 92 3,3526 ,21624 ,07208 Thinking 21 3,4745 ,38257 ,08348 Wanita Pria 92 3,7539 ,30746 ,10249 Behavoral Coping 21 3,3966 ,20389 ,04449 Wanita Pria 92 3,2400 ,25298 ,08433 Emotional Coping 21 3,3257 ,19931 ,04349 Wanita Pria Personal 92 2,7963 ,29777 ,09926 Superstitious Thinking Wanita 21 2,9444 ,51190 ,11170 Pria 92 3,0697 ,43594 ,14531 Categorical Thinking 21 2,7649 ,24914 ,05437 Wanita Pria 92 2,8611 ,15030 ,05010 Esoteric Thinking 21 2,8769 ,15728 ,03432 Wanita Pria 92 3,5780 ,25602 ,08534 Naïve Optimism 21 3,5270 ,38233 ,08343 Wanita Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std.Dev = nilai simpangan
2.
Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria berdasarkan skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI) Tabel 32 menunjukkan klasifikasi rentang nilai masing-masing skala dari
Constructive Thinking Inventory (CTI) pegawai pria dan wanita sarjana dengan rentang usia 45-56 tahun. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada sub skala Emotional Coping, Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking jawaban pegawai cenderung masuk klasifikasi rentang kriteria netral. Artinya kondisi cara berpikir konstruktif di Dinas Kesehatan Kota Bogor yang menunjukkan pikiran terbuka, defensif, kaku, dan percaya pada hal gaib dipersepsikan rata-rata oleh pegawai pria dan wanita sarjana pada rentang usia 45 – 56 tahun, akan tetapi berdasarkan hasil uji statistik selisih nilai sekecil berapapun merupakan perbedaan, selisish nilai sebesar 0,12 pada skala Global Constructive Thinking lebih tinggi pada pegawai wanita sarjana usia 45 – 56
88
tahun, artinya pegawai wanita sarjana pada usia tersebut lebih berpikir konstruktif daripada pegawai pria sarjana. Sementara itu selisih nilai sebesar
0,36; 0,3 dan
0,05 berturut-turut pada sub-skala Behavioral Coping, Categorical Thinking dan Naive Optimism. didapatkan hasil lebih tinggi pada pegawai pria sarjana, artinya pegawai pria sarjana tersebut lebih bersikap antusias, fleksibel dan optimis daripada pegawai wanita sarjana pada usia tersebut. Sedangkan pada sub-skala Emosional Coping,
Personal Superstitious Thinking dan Esoteric Thinking
berturut didapatkan selisih perbedaan nilai masing-masing sebesar 0,08; 0,15 dan 0,01 lebih tinggi pada pegawai wanita sarjana usia 45 – 56 tahun, artinya pegawai wanita sarjana lebih bersikap terbuka, ofensif dan berpikir logis dibandingkan pegawai pria sarjana pada usia tersebut. Tabel 32 Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI pegawai pria dan wanita Sarjana rentang Usia 45-56 tahun Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
3.
Rentang Nilai dan Arti Pria Sarjana Wanita (Usia 45-56) tahun (Usia 45-56) tahun 3,35 3,47 netral konstruktif 3,75 3,39 antusias netral 3,24 3,32 netral netral 2,79 2,94 netral netral 3,06 2,76 netral netral 2,86 2,87 netral netral optimis optimis 3,57 3,52 unrealistis unrealis
Hasil Perhitungan ANOVA Tabel 33 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata yang signifikan
mengenai hasil pengukuran dari Constructive Thinking Inventory (CTI) pada pegawai laki-laki dan wanita bergelar sarjana dengan rentang usia 45-56 tahun khususnya pada sub-skala Behavioral Coping dan Categorical Thinking. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pegawai sarjana pada rentang usia 45-56 masih menunjukkan sikap berpikiran positif, antusias, enerjik dan cepat mengambil tindakan terhadap rencana yang telah dibuat (sub-skala Behavioral Coping), sedangkan sub-skala Categorical Thinking menunjukkan cara berpikiran yang terpola dan bersikap fleksibel, hasil ini dapat dilihat pada hasil klasifikasi
89
rentang kriteria sehingga kondisi tersebut dapat menekan tingkat emosi yang berlebihan yang dapat memicu timbulnya stres kerja. Pada sub-skala Behavioral Coping dan Categorical Thinking, hasil rataan skor masuk pada klasifikasi rentang kriteria secara keseluruhan bersikap netral, akan tetapi hasil uji statistik menunjukkan bahwa selisih perbedaan sekecil apapun tetap merupakan perbedaan, sehingga hasil nilai sesungguhnya pada kedua subskala yaitu selisih nilai sebesar 0, 36 dan 0,3 tersebut menunjukkan bahwa pegawai pria sarjana pada usia 45 – 56 tahun lebih bersikap antusias dan fleksibel daripada pegawai wanita sarjana pada rentang usia
Kenyataan ini dapat
mengurangi penyebab stres kerja. Individu yang berpikiran terlalu antusias dan fleksibel dapat mengontrol emosinya sehingga dapat menekan masalah pekerjaan yang dapat memicu timbulnya stres. Hasil penelitain ini bertolak belakang dengan hasil penelitian sebelumnya, dimana Reddy dan Ramamurthy (1991) yang menganalisis pengaruh usia pada pengalaman stres seseorang menyatakan bahwa kelompok usia 41-60 tahun mengalami stres lebih tinggi dari kelompok usia dibawahnya. Sementara hasil penelitian ini menujukkan bahwa pegawai pada rentang usia 45 -56 masih bersikap antusias dan fleksibel, sehingga dapat menekan tingkat stres. Sementara itu
pada skala global dan empat sub-skala lain (Emotional
Coping, Personal Superstitious Thinking, Esoteric Thinking dan Naive Optimism), tidak terdapat perbedaan nyata pada pegawai pria dan wanita sarjana dengan rentang usia 45 -56 tahun dalam penanggulangan stres kerja, artinya baik pegawai pria dan wanita sarjana keduanya memiliki cara yang sama. Hasil rataan skor memperlihatkan bahwa pegawai pria maupun wanita berada pada rentang kriteria yang menunjukkan hasil rata-rata lebih pada klasifikasi rentang kriteria netral. Hasil ANOVA disajikan pada Tabel 33.
90
Tabel 33 Hasil ANOVA perbedaan Jenis Kelamin pegawai Sarjana rentang Usia 45-56 tahun Hasil Skala
t-value ≥ 1,96 -1.089 -2.558 -0.996 -0.806 2.436 -0.256 0.365
Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
df
p
28 28 28 28 28 28 28
0.285 0.016 0.328 0.427 0.021 0.800 0.718
Hipotesis Terima H0 Tolak H0 Terima H0 Terima H0 Tolak H0 Terima H0 Terima H0
Keterangan: t-value = nilai uji-t; df = derajat kebebasan; p = nilai kemungkinan
C. Analisis Perbedaan Jenis Kelamin Pegawai Non Sarjana rentang usia 33-44 terhadap Hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) Setelah diketahui terdapat perbedaan nyata berdasarkan jenis kelamin pada pegawai sarjana dengan rentang usia 21-32 dan 45-56 tahun, maka didapatkan perbedaan nyata yang signifikan pada pegawai non sarjana dengan rentang usia 33-44, khususnya pada sub-skala Naive Optimism. Berikut dijabarkan analisa hasilnya dimulai dengan hasil rataan skor, klasifikasi rentang kriteria hasil uji ANOVA. 1.
Hasil Rataan Skor Tabel 34 menunjukkan nilai rataan dan standar deviasi yang diperoleh pada
perhitungan ANOVA. Pada skala global Global Contructive Thinking, sub skala Behavioral Coping, Emotional Coping dan Naive Optimism, nilai rataan berada diatas nilai 3 yang menjadi pedoman nilai netral. Sementara untuk sub skala Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking dan Esoteric Thinking cenderung mengarah ke nilai 3. Dengan hasil tersebut maka pegawai laki-laki dan wanita non sarjana berusia 33-44 tahun cenderung berpikir lebih netral pada pengukuran yang menyangkut
sikap
defensif,
cara
berpikir
yang
terpola
atau
sikap
ketidakpercayaan pada orang lain dan cara berpikir logis. Nilai tertinggi diperoleh pada sub skala Behavioral Coping yang menunjukkan bahwa pegawai laki-laki dan wanita non sarjana berusia 33-44 tahun cenderung dapat berpikir positif dan terbuka sehingga cepat mengambil tindakan terhadap rencana yang dibuat. Akan
91
tetapi hasil rataan tersebut belum dapat menjelaskan bagaimana sikap pegawai non sarjana pria dan wanita pada rentang usia 33 – 44 tahun. Hasil rataan dan standar deviasi ANOVA disajikan pada Tabel 34. Tabel 34 Rataan dan standar deviasi ANOVA berdasarkan Jenis Kelamin pegawai Non Sarjana rentang usia 33-44 tahun Tingkat Std Pendidikan N Mean Deviation Non Sarjana 18 3,4234 ,13000 Pria Global Constructive 56 3,4616 ,19701 Thinking Wanita 18 3,9246 ,19824 Pria Behavoral Coping 56 3,9605 ,31825 Wanita 18 3,3156 ,25846 Pria Emotional Coping 56 3,4257 ,24138 Wanita 18 2,8241 ,31557 Pria Personal 56 2,9315 ,37575 Superstitious Thinking Wanita 18 2,9167 ,33349 Pria Categorical Thinking 56 2,8750 ,29242 Wanita 18 2,9167 ,19386 Pria Esoteric Thinking 56 2,9315 ,24777 Wanita 18 3,5074 ,26973 Pria Naïve Optimism 56 3,6702 ,31229 Wanita Keterangan: N = jumlah data; Mean = nilai rataan; Std.Dev = nilai simpangan Sub-Skala
2.
Std. Error Mean ,03064 ,02633 ,04673 ,04253 ,06092 ,03226 ,07438 ,05021 ,07860 ,03908 ,04569. ,03311 ,06358 ,04173
Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria berdasarkan skala dari Constructive Thinking Inventory (CTI) Tabel 35 menunjukkan klasifikasi rentang nilai masing-masing skala dari
Constructive Thinking Inventory (CTI) pegawai pria dan wanita non sarjana dengan rentang usia 33 – 44 tahun. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada sub skala Emotional Coping, Personal Superstitious Thinking, Categorical Thinking, dan Esoteric Thinking jawaban pegawai cenderung masuk klasifikasi rentang kriteria netral. Artinya kondisi cara berpikir konstruktif di Dinas Kesehatan Kota Bogor yang menunjukkan pikiran terbuka, ofensif, fleksibel, dan berpikir logis dipersepsikan rata-rata oleh pegawai pria dan wanita non sarjana pada rentang usia 33 – 44 tahun, akan tetapi berdasarkan hasil uji statistik selisih nilai sekecil berapapun merupakan perbedaan, selisih nilai sebesar 0,11; 0,11; dan 0, 02 masing-masing pada sub-skala Emotional Coping, Personal Superstitious Thinking, dan Esoteric Thinking menunjukkan selisih nilai pada pegawai wanita non sarjana, hal ini mengindikasikan bahwa pegawai wanita non sarjana lebih memiliki sikap terbuka, ofensif dan berpikir logis dibandingkan pegawai pria non
92
sarjana pada usia tersebut, pada sub-skala Categorical Thinking didapat selisih nilai sebesar 0,04 lebih tinggi pada pegawai pria non sarjana, artinya pegawai pria non sarjana memiliki sikap lebih fleksibel daripada pegawai wanita non sarjana pada usia tersebut. Sementara itu sub-skala
Behavioral Coping dan
Naive
Optimism masing-masing memiliki selisih nilai sebesar 0,04 dan 0.17 lebih tinggi pada pegawai wanita non sarjana usia 33 – 44 tahun, hal ini mengindikasikan bahwa pegawai wanita non sarjana lebih dapat bersikap antusias dan optimis dari pada pegawai pria non sarjana dalam melakukan pekerjaan dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sedangkan skala Global Constructive Thinking lebih tinggi pada pegawai wanita non sarjana usia 33 – 44 dengan selisih nilai statistik sebesar 0,04 tahun, artinya pegawai wanita non sarjana pada usia tersebut lebih berpikir konstruktif daripada pegawai pria non sarjana Sikap tersebut akan membantu pegawai untuk mengatasi stres kerja, terutama dengan kecenderungan pekerjaan yang monoton, perlu dijaga sikap antusiasme terhadap pekerjaan. Apalagi di Dinas Kesehatan Kota Bogor, pekerjaan yang dilakukan cenderung bertemu dengan banyak pasien, maka sangat perlu untuk menjaga tingkat optimis agar pegawai terus mampu melayani pasien dengan baik. Hasil pengukuran yang menunjukkan bahwa sikap optimis itu telah tinggi akan sangat membantu pihak manajemen untuk memikirkan cara terbaik untuk terus mempertahankan kondisi tersebut sehingga kinerja pelayanan dapat terjaga dengan baik. Tabel 35 Hasil Klasifikasi Rentang Kriteria dari CTI pegawai pria dan wanita Non Sarjana rentang Usia 33-44 tahun Skala Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET)
3,42
Naïve Optimism (NaO)
3,50
3,92 3,31 2,82 2,91 2,91
93
Rentang Nilai dan Arti Pria Wanita 3,46 konstruktif konstruktif 3,96 antusias antusias 3,42 netral terbuka 2,93 netral netral 2,87 netral netral 2,93 netral netral optimis optimis 3,67 unrealistis unrealistis
3.
Hasil Perhitungan ANOVA Tabel 36 menunjukkan hasil ANOVA dimana terdapat perbedaan nyata
yang signifikan terhadap hasil Constructive Thinking Inventory (CTI) antara pegawai pria dan wanita bergelar non sarjana dengan rentang usia 33-44 tahun, khususnya skala Naive Optimism dimana didapatkan nilai p dibawah 0,1 yaitu sebesar 0,051 sehingga tolak hipotesis nol. Hasil ini mengandung arti bahwa pegawai pria dan wanita bergelar non sarjana dengan rentang usia 33-44 tahun memiliki perbedaan pandangan tentang cara mereka menghadapi suatu permasalahan. Nilai yang lebih tinggi diperoleh oleh pegawai wanita (Tabel 35) yang menunjukkan bahwa wanita non sarjana dengan rentang usia 33-44 tahun cenderung lebih berpikir optimis namun mengarah ke hal yang tidak realistis. Tabel 36 Hasil ANOVA perbedaan Jenis Kelamin pada pegawai Non Sarjana dengan rentang Usia 33-44 tahun Hasil Skala
t-value ≥ 1,96 -0.774 -0.450 -1.656 -1.094 0.508 -0.233 -1.985
Global Constructive Thinking (GCT) Behavioral Coping (BC) Emotional Coping (EC) Personal Superstitious Thinking (PST) Categorical Thinking (CaT) Esoteric Thinking (ET) Naïve Optimism (NaO)
df
p
72 72 72 72 72 72 72
0.442 0.654 0.102 0.277 0.613 0.817 0.051
Hipotesis Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Terima H0 Tolak H0
Keterangan: t-value = nilai uji-t; df = derajat kebebasan; p = nilai kemungkinan
Dari sisi positif, pegawai wanita tersebut akan cenderung memiliki semangat tinggi dan disukai banyak orang, namun sisi negatifnya adalah ketidakinginan pegawai tersebut untuk menghadapi kegagalan atau kenyataan yang tidak menyenangkan. Pada rentang usia tersebut wanita memang cenderung lebih berpikir optimis terutama dalam menghadapi permasalahan hidup, namun juga sering tidak realistis. Sikap tersebut dikarenakan wanita cenderung lebih mengutamakan
menggunakan
perasaan
dibandingkan
pria
yang
lebih
mengutamakan akal sehat. Pemikiran wanita lebih cenderung dikuasai hati dan perasaan, hal ini yang menyebabkan seringkali tidak realistis. Selain itu akan berefek negatif jika wanita berselisih pendapat terutama dengan rekan sekerja yang menyebabkannya cenderung tidak tahan menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga berpotensi timbulnya stres kerja. Hasil tersebut jika
94
terjadi sisi positif akan bertolak belakang dengan penelitian Beena dan Poduval, (1992) sedangkan jika terjadi sisi negatif hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian Beena dan Poduval (1992) yang mengatakan bahwa wanita akan mengalami stres yang lebih tinggi daripada pria dikarena perubahan pekerjaan dan tanggung jawab yang lebih besar. Perbedaan hasil yang diperoleh melalui pengukuran rentang nilai dan ANOVA disebabkan perbedaan dalam pengukuran statistik. Pada rentang nilai dimaksudkan untuk melihat kecenderungan responden dalam berpikir konstruktif sehingga dapat diketahui responden masuk pada klasifikasi rentang kriteria seperti apa. Namun jika responden masuk pada rentang nilai yang sama tidak berarti memiliki kecenderungan yang sama dalam berpikir, perbedaan nilai sedikit saja dapat mempengaruhi hasil perhitungan ANOVA, karena secara statistik, perbedaan nilai sekecil apapun dapat berakibat perbedaan hasil yang diperoleh.
5.4
Implikasi Manajerial Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui tingkat pemikiran
konstruktif pada pegawai Dinas Kesehatan Kota Bogor secara keseluruhan menunjukkan kemampuan berpikir yang sudah konstruktif dan bersikap antusias, terbuka, ofensif, fleksibel, berpikir logis dan optimis baik berdasarkan perbedaan jenis kelamin, usia maupun tingkat pendidikan sehingga dari hasil tersebut dapat memiliki beberapa implikasi yang dapat diterapkan oleh pihak manajemen Dinas Kesehatan Kota Bogor. Hal ini dimaksudkan agar pihak manajeman tetap mempertahankan bahkan meningkatkan kemampuan bersikap dan berpikir konstruktif tersebut pada pegawai, sehingga tetap memiliki motivasi yang tinggi dalam bekerja, terhindar dari stres kerja dan berkorelasi dengan peningkatan produktifitas kerja. Hasil lain, secara umum masih terdapat perbedaan pandangan antara pegawai pria dan wanita dalam berpikiran konstruktif. Hal ini sangat wajar terjadi seperti diulas pada beberapa penelitian yang telah dilakukan. Hal ini akan sangat berpengaruh pada kondisi kerja jika berkaitan dengan konflik kepentingan penempatan jabatan tertentu. Pihak manajemen khususnya pimpinan harus tetap mempertahankan asas persamaan hak antara pegawai pria dan wanita dalam
95
menempati suatu jabatan tertentu. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kecemburuan yang dapat memicu stres kerja. Pegawai pria dan wanita memiliki hak yang sama untuk dipilih dalam menempati posisi tertentu. Keputusan atasan dalam penempatan itu harus diprioritaskan dengan penilaian secara objektif yaitu memperhitungkan hasil kerja dan loyalitas terhadap institusi. Perbedaan tingkat pendidikan juga menyebabkan terdapat perbedaan persepsi mengenai cara berpikiran konstruktif di kalangan pegawai DKK Bogor. Menyingkapi hal itu maka pihak atasan atau manajemen Dinas Kesehatan Kota Bogor perlu mempertimbangkan kesesuaian tingkat pendidikan dengan posisi yang ditawarkan dalam merekrut pegawai baru. Hal ini akan berpengaruh pada kesiapan pegawai baru dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Latar belakang pendidikan yang sesuai akan membantu pegawai baru dalam menanggung beban pekerjaan yang diberikan. Semakin cepat pegawai baru dalam beradaptasi dengan pekerjaan dan lingkungan kerja, maka stres kerja dapat dihindari seminimal mungkin. Selain itu terdapat perbedaan persepsi juga berdasarkan tingkatan usia terhadap cara berpikiran konstruktif. Hal ini berkitan dengan cara komunikasi antara atasan dan bawahan di Dinas Kesehatan Kota Bogor. Perbedaan usia cenderung mempengaruhi cara komunikasi atasan terhadap pegawai berusia tua dan muda. Pihak pimpinan perlu membedakan cara komunikasi terutama dalam memberikan tugas terhadap pegawai berbeda usia. Perbedaan persepsi dalam menerjemahkan tugas atau pekerjaan yang diberikan dapat disebabkan oleh perbedaan kemampuan dalam menggunakan peralatan teknologi yang semakin berkembang, seperti penggunaan software pada komputer. Untuk pegawai berusia muda akan lebih terbiasa dengan perkembangan teknologi tersebut, sebaliknya pada pegawai berusia lebih tua, pihak pimpinan harus lebih bersabar dalam menjabarkan
perintah
yang
berhubungan
dengan
penggunaan
alat-alat
berteknologi canggih. Kesabaran ini diperlukan untuk menghindari terjadinya kesenjangan sikap diantara kedua kelompok pegawai tersebut. Jika hal ini dapat diterapkan oleh pihak pimpinan di Dinas Kesehatan Kota Bogor, maka kondisi stres akibat terjadinya kesenjangan tersebut dapat dihindari. Selain itu pihak pimpinan juga dapat menanamkan sikap selalu berpikiran positif pada
96
bawahannya terkait dengan pekerjaan yang dibebankan. Khususnya pegawai berusia tua akan lebih percaya diri dalam mengerjakan tugas-tugas yang menggunakan peralatan dengan teknologi yang lebih tinggi jika sebelumnya dilakukan sosialisasi pada perubahan teknologi tersebut
97