24 Pengetahuan gizi ibu adalah adalah kemampuan ibu balita dalam memahami 10 pertanyaan yang berhubungan dengan gizi dasar, gizi untuk balita, pemilihan makanan untuk balita, sanitasi dasar, dan keamanan pangan baik sebelum maupun sesudah penyuluhan gizi. Sikap gizi ibu adalah respon ibu dan kader terhadap 10 penyataan terkait gizi dasar, gizi untuk balita, pemilihan makanan untuk balita, sanitasi dasar, dan keamanan pangan baik sebelum maupun sesudah penyuluhan gizi yang diukur dengan tiga skala yaitu setuju, ragu-ragu, dan tidak setuju. Praktik gizi ibu adalah 10 pernyataan tindakan atau praktik ibu dan kader terkait gizi dasar, gizi untuk balita, kebiasaan makan balita, sanitasi, dan keamanan pangan baik sebelum maupun sesudah penyuluhan gizi yang diukur dengan tiga skala yaitu sering, kadang-kadang/jarang, dan tidak pernah. Balita adalah anak perempuan dan/atau laki-laki berusia 0 bulan hingga 36 bulan yang tercatat di posyandu desa Sukajadi dan desa Sukaluyu. Status gizi balita adalah keadaan gizi balita yang diukur berdasarkan standar baku WHO (2005) dengan menggunakan metode antropometri dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Taman Sari merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor yang memiliki luas 2.630.936 Ha. Kecamatan Taman Sari terdiri dari 8 desa, 25 lingkungan/dusun, 91 RW, 360 RT, dengan jumlah penduduk laki-laki 44.075 jiwa dan perempuan 41.803 jiwa. Secara administratif, kecamatan Taman Sari mempunyai batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ciomas dan Bogor Selatan, sebelah barat berbatasan dengan Gunung Salak, sebelah sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tenyolaya dan Kecamatan Dramaga, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk. Kecamatan Taman Sari beriklim sejuk dengan temperatur suhu rata-rata 250C pada siang hari dan 300C pada malam hari dengan ketinggian antara 700 meter di atas permukaan laut, yang merupakan kawasan berbukit di bawah kaki Gunung Salak. Sebagai wilayah pengembangan pertanian dan wisata, kecamatan Taman Sari memiliki produksi pertanian unggulan seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, dan sayur-sayuran. Disamping itu juga sebagai sentra tanaman hias yang pemasarannya telah memasuki pangsa lokal, regional, dan macanegara. Pengembanggan lainnya adalah industri sedang berjumlah 27 buah dengan tenaga kerja 77 orang, industri kecil 400 buah dengan pekerja 1200 orang, dan home industry 74 buah degan pekerja 400 orang. Untuk pengembangan pariwisata ada Kampung Budaya Sindang Barang, Bumi Perkemahan, Curug Nangka, dan Wisata Situs yang tersebar di desa Pasireurih, Sukamantri, dan Tamansari.
25 Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Sebaran ibu balita berdasarkan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 Sebaran ibu balita berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga Kecil (≤4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (≥8 orang) Total
Kontrol n 18 10 3 31
% 58,1 32,3 9,7 100
Intervensi n % 20 64,5 5 16,1 6 19,4 31 100
p-value
0,821
Berdasarkan jumlah anggota keluarga, besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga yaitu kecil (≤4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (≥8 orang). Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa besar keluarga kelompok kontrol dan intervensi memiliki jumlah keluarga ≤4 orang dan tergolong keluarga kecil (Hurlock 1993). Hasil uji statistik (Independent Sample t-Test) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan besar keluarga ibu balita pada kelompok kontrol dan intervensi (p>0,05). Studi oleh Ajao et al. (2010) di Nigeria menunjukkan bahwa rumah tangga dengan ukuran keluarga besar, kerawanan pangan dan praktik perawatan anak yang kurang memungkinkan untuk memiliki anak yang kekurangan gizi. Anakanak yang tumbuh di dalam keluarga miskin akan rawan dengan terjadinya kurang gizi diantara anggota keluarga terutama bagi anak yang paling kecil. Hal ini dapat terjadi karena biasanya dipengaruhi oleh besarnya anggota keluarga. Apabila anggota keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak akan berkurang (Suhardjo dkk 1988). Pekerjaan Ibu Balita dan Suami Sebagian besar jenis pekerjaan suami ibu balita kelompok kontrol (35,5%) dan intervensi (83,9%) adalah buruh non tani. Pekerjaan buruh non-tani dalam penelitian ini meliputi pengrajin sepatu dan sandal, baik untuk pria maupun wanita serta untuk anak-anak dan dewasa. Jenis pekerjaan yang mereka tekuni tidak berubah hingga pengambilan data akhir penelitian (endline). Tabel 7 Sebaran ibu balita dan suami berdasarkan jenis pekerjaan Baseline
Endline
Tidak bekerja
Kontrol Ibu Suami Balita n (%) n (%) 0 (0,0) 0 (0,0)
Intervensi Ibu Suami Balita n (%) n (%) 0 (0,0) 0(0,0)
Kontrol Ibu Suami Balita n (%) n (%) 0 (0,0) 0 (0,0)
Intervensi Ibu Suami Balita n (%) n (%) 0 (0,0) 0 (0,0)
Petani
1 (3,2)
0 (0,0)
1 (3,2)
1 (3,2)
0 (0,0)
0 (0,0)
2 (6,5)
0 (0,0)
Pedagang
2 (6,5)
3 (9,7)
2 (6,5)
2 (6,5)
4 (13,3)
5 (16,7)
2 (6,5)
4 (12,9)
Ibu Balita
26 Buruh tani
3 (9,7)
0 (0,0)
1(3,2)
0 (0,0)
1 (3,3)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
11 (35,5)
0 (0,0)
26 (83,9)
0 (0,0)
12 (40,0)
1 (3,3)
24 (77,4)
1 (3,2)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
1 (3,3)
0 (0,0)
1 (3,2)
0 (0,0)
Jasa
9 (29,0)
1 (3,2)
1 (3,2)
0 (0,0)
9 (30,0)
0 (0,0)
2 (6,5)
2 (6,5)
IRT
0 (0,0)
27 (87,1)
0 (0,0)
28 (90,3)
0 (0,0)
24 (80,0)
0 (0,0)
22 (71,0)
Lain-Lain
5 (16,1)
0 (0,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
3 (10,0)
0 (0,0)
0 (0,00)
2 (6,5)
Total
31 (100)
31 (100)
31 (100)
31 (100)
30 (100)
30 (100)
31 (100)
31 (100)
Buruh non tani PNS/ABRI/ Polisi
Sementara itu, ibu balita di kedua kelompok penelitian ini sebagian besar adalah Ibu Rumah Tangga (IRT). Peranan IRT dalam usaha perbaikan gizi keluarga sangatlah penting. Peran ibu di dalam keluarga di antaranya sebagai pengasuh anak dan pengatur konsumsi pangan anggota keluarga. Hasil t-test (p>0,01) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan jenis pekerjaan ibu balita kelompok kontrol dan intervensi begitupula jenis pekerjaan suami ibu balita kelompok kontrol dan intervensi. Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Menurut Suhardjo (1989), faktor pendapatan merupakan faktor kedua yang juga dominan dalam menentukan gaya hidup keluarga maupun masyarakat suatu wilayah. Sementara itu, tingkat pedapatan tidak terlepas dari jenis pekerjaan yang dimiliki oleh anggota keluaga tersebut. Rata-rata pendapatan dan pengeluaran keluarga dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8 Rata-rata pendapatan dan pengeluaran keluarga Variabel Pendapatan (Rp/kap/bln) Kontrol Intervensi Pengeluaran (Rp/kap/bln) Kontrol Intervensi
Baseline
Endline
Rata-rata ± Simpangan Baku
Rata-rata ± Simpangan Baku
1,107,924 ± 814,804a
1,108,074 ± 298,912a
909,354 ± 490,669
a
1,503,936 ± 1,105,476
p-value
0,428 b
0,038
780,964 ± 559,422a
759,284 ± 685,417a
0,560
a
a
0,256
750,569 ± 537,266
798,313 ± 784,593
Huruf yang berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) berdasarkan uji ANOVA
Pendapatan adalah salah satu unsur yang dapat mempengaruhi status gizi. Hasil studi menunjukkan bahwa kurangnya pendapatan rumah tangga akan membatasi kemampuan orangtua untuk mengasuh anak dengan baik. Hal ini dapat diperparah oleh banyaknya anak dalam keluarga (Reyes et al. 2004). Data baseline menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan kelompok kontrol (Rp. 1,107,924) sedikit lebih besar dibandingkan kelompok intervensi (Rp. 909,354). Akan tetapi, secara statistik tidak menunjukkan perbedaan signifikan pada besar pendapatan kedua kelompok tersebut (p>0,05). Besar pendapatan dari
27 masing-masing kelompok dapat pula dipengaruhi oleh besaran sumbangan pendapatan dari anggota keluarga lainnya yang menetap dalam satu rumah anggota keluarga. Sementara itu, pendapatan dan pengeluaran dari ke dua kelompok tersebut relatif meningkat pada pengambilan data akhir (endline), namun rata-rata pendapatan dan pengeluaran keluarga kelompok kontrol masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok intervensi. Hal ini dikarenakan jenis pekerjaan suami pada kelompok kontrol yang lebih beragam dibandingkan kelompok intervensi sehingga suami pada kelompok kontrol dapat menyumbang pemasukan kelaurga lebih besar. Akan tetapi, secara statistik tidak terdapat perbedaan pendapatan keluarga kelompok kontrol dan intervensi (p>0,05). Studi Basit et al. (2012) menunjukkan bahwakarakteristik sosio-demografi yang digunakan sebagai penentu status gizi anak di India adalah status sosial ekonomi keluarga dan pekerjaan orang tua. Hasil menunjukkan bahwa jenis pekerjaan ayah signifikan berhubungan dengan status gizi anak dimana seorang anak yang memiliki seorang ayah dengan pekerjaan buruh atau menganggur beresiko tiga kali lebih besar mengalami kekurangan gizi. Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan (p<0,05) antara pendapatan dan pengeluaran keluarga di desa kontrol dan intervensi. Semakin tinggi pendapatan keluarga maka semakin besar pengeluaran yang dikeluarkan. Keluarga dan masyarakat yang penghasilannya rendah, lebih cenderung untuk membeli bahan pangan, dan makin tinggi penghasilan seseorang maka semakin menurun bagian penghasilan yang digunakan untuk membeli bahan pangan atau makanan (Suhardjo 1989). Karakteristik Ibu Karakteristik ibu dalam penelitan ini adalah umur dan pendidikan ibu. Berdasarkan Tabel 9 di bawah ini, umur ibu balita balita kelompok kontrol lebih muda (24 tahun) dibandingkan dengan kelompok intervensi (27 tahun). Akan tetapi, secara statistik pada t-Test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan (p>0,01) antara umur ibu balita kelompok kontrol dan intervensi. Tabel 9 Rata-rata umur dan pendidikan ibu balita Variabel Umur Ibu (tahun) Pendidikan Ibu (tahun)
Kontrol ( x ±SD)
24,5 ± 3,9 6,6 ± 2,3
Intervensi ( x ±SD) 27,1 ± 7,8 4,5 ± 2,0
p-value 0,105 0,000**
(**) Signifikan berbeda pada taraf 1%
Berdasarkan kategori umur, umur ibu balita kelompok kontrol dan intervensi masih dalam kategori usia produktif (20-40 tahun) sehingga ibu akan lebih mudah untuk berfikir dan menerima informasi serta mudah untuk mengalami perubahan perilaku (Soekidjo 2005). Menurut Kotler (2002), salah satu faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam menerima informasi baru adalah umur. Semakin tua umur seseorang akan menghambat individu untuk menerima dan mengingat suatu informasi begitupula sebaliknya. Sementara itu, pendidikan adalah salah satu faktor penting dalam proses tumbuh kembang anak. Campbel (2002) menyatakan bahwa pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berfikir yang
28 lebih baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga, penyusunan makan keluarga, serta pengasuhan dan perawatan anak. Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu balita di kelompokkontrol setara dengan SD kelas 6, lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi yang setara dengan SD kelas 4. Hasil tersebut juga ditandai t-test yang menunjukkan adanya perbedaan antara pendidikan ibu balita kelompok kontrol dan intervensi (p<0,01). Akan tetapi, pendidikan ibu pada kedua kelompok tersebut masih tergolong pendidikan kategori rendah (Sekolah Dasar) sehingga dapat menjadi hambatan dalam menerima materi penyuluhan yang diberikan. Pada kenyataannya, tingkat pendidikan orang tua sangat berpengaruh pada kehidupan di dalam keluarga, khususnya tingkat pendidikan ibu yang mempunyai pengaruh lebih besar (Hien, Sin 2008). Hal ini dikarenakan ibu mempunyai peran dan tanggung jawab lebih besar dalam praktik pengasuhan dan perawatan anak serta keluarga (Cesare, Sabates, Keith 2013; Monden, Smith 2013).Menurut Madanijah (2003), pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap perawatan kesehatan, hygiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Perilaku Gizi Ibu Balita Pengetahuan Gizi Ibu Balita Pengetahuan gizi adalah segala bentuk informasi yang berkaitan dengan pangan dan gizi. Seseorang dapat memperoleh pengetahuan gizi melalui berbagai sumber seperti buku-buku pustaka, majalah, televisi, radio, surat kabar, dan orang lain (suami, teman, tetangga, ahli gizi, dokter, dan lain-lain) (Khomsan et al. 2009). Sebaran ibu balita berdasarkan jawaban yang benar dari setiap topik penyuluhan mengenai pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10 Sebaran ibu balita berdasarkan jawaban benar terhadap pertanyaan gizi Jenis Pertanyaan 1. Mengonsumsi sayuran sangat penting karena sayuran umumnya dapat menjadi sumber protein Kontrol Intervensi 2. Susu kental manis kandungan gizinya lebih baik daripada susu bubuk/ susu cair Kontrol Intervensi 3. Zat gizi untuk pertumbuhan disebut protein Kontrol Intervensi
Baseline n %
Endline n %
Follow-up n %
1 2
3,2 6,5
30 26
100,0 83,9
28 27
93,3 87,1
19 12
61,3 38,7
8 2
26,7 6,5
11 10
36,7 32,3
26 28
83,9 90,3
30 25
100,0 80,6
28 25
93,3 80,6
29 Jenis Pertanyaan 4. Mengonsumsi daging bermanfaat untuk pertumbuhan anak Kontrol Intervensi 5. Anak berusia 2-3 bulan sudah boleh diberi pisang/pepaya Kontrol Intervensi 6. Sarapan pagi tidak penting, lebih penting makan siang atau makan malam Kontrol Intervensi 7. ASI saja (eksklusif) diberikan pada anak sampai usia 3 bulan Kontrol Intervensi 8. Susu mempunyai kandungan kalsium tinggi Kontrol Intervensi 9. Tahu yang mengandung formalin akan lebih mudah basi Kontrol Intervensi 10. Mencuci sayuran dengan air kran yang mengalir lebih baik daripada di baskom Kontrol Intervensi
Baseline n %
Endline n %
Follow-up n %
30 31
96,8 100,0
7 7
23,3 22,6
28 28
93,3 90,3
19 19
61,3 61,3
20 22
66,7 71,0
6 7
20,0 22,6
25 29
80,6 93,5
10 20
33,3 64,5
9 3
30,0 9,7
17 12
54,8 38,7
26 25
86,7 80,6
9 10
30,0 32,3
31 31
100,0 100,0
30 26
100,0 83,9
30 28
100,0 90,3
18 20
58,1 64,5
22 20
73,3 64,5
12 14
40,0 45,2
29 30
93,5 96,8
30 23
100,0 74,2
28 30
93,3 96,8
Jenis pertanyaan yang diberikan kepada ibu balita telah mecakup lima topik penyuluhan gizi yaitu pertanyaan nomor 1, 2, dan 3 untuk topik “gizi dasar”; pertanyaan nomor 4, 5, dan 7 untuk topik “gizi untuk balita”, pertanyaan nomor 6 dan 8 untuk topik “kebiasaan makan balita”; pertanyaan nomor 10 untuk topik “sanitasi dasar”; dan pertanyaan nomor 9 untuk topik “keamanan pangan”. Dari 10 pertanyaan tersebut maka dapat diukur sebaran ibu balita dalam menjawab benar. Hasil data baseline menunjukkan bahwa semua ibu balita kelompok kontrol (100,0%) dan kelompok intervensi (100,0%) mengetahui kandungan gizi pada susu. Hal ini ditandai dengan kemampuan ibu balita menjawab dengan benar bahwa susu mengandung kalsium tinggi. Hal ini diduga karena pengetahuan mengenai susu bukan menjadi sesuatu yang awam di lapisan masyarakat baik di kota maupun di desa, mengingat sudah banyaknya produsen susu yang mengiklankan produk susu di berbagai media, baik media elektronik maupun media cetak.
30 Pertanyaan kedua yang mampu dijawab dengan baik adalah manfaat konsumsi daging bagi anak. Hal ini ditandai dengan hampir semua ibu balita kelompok kontrol (96,8%) dan semua ibu balita kelompok intervensi (100,0%) menjawab dengan benar bahwa mengkonsumsi daging bermanfaat untuk pertumbuhan anak. Di lain sisi, masih terdapat beberapa jenis pertanyaan yang sedikit dijawab dengan benar oleh ibu balita seperti kandungan gizi pada sayuran, usia pemberian ASI ekslusif serta kandungan gizi susu kental manis. Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita kelompok kontrol (96,8%) dan intervensi (93,5%) tidak mampu menjawab dengan benar item pertanyaan tentang kandungan gizi pada sayuran. Hal ini dikarenakan ibu balita kelompok kontrol dan intervensi masih sulit membedakan kelompok sayuran dan protein nabati dimana mereka masih menganggap bahwa “tahu” merupakan kelompok sayuran sehingga sayuran diasumsikan mengandung zat gizi protein. Akan tetapi, setelah diberikan penyuluhan gizi (endline) terjadi peningkatan pengetahuan ibu balita kelompok intervensi. Hasil tersebut ditandai dengan meningkatnya jumlah ibu yang mampu menjawab dengan benar pertanyaan tentang kandungan gizi pada sayuran (83,9%) dan usia pemberian ASI eklusif (80,6%). Hal ini berarti penyuluhan gizi topik gizi dasar dan gizi untuk balita dapat dipahami ibu balita dengan baik. Sementara itu, pada endline terdapat beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan benar atau sebaran jawaban benar menurun dari baseline. Hal ini diduga pengaruh jangka waktu pengambilan data akhir setelah penyuluhan (endline) yang cukup lama sehingga mempengaruhi kemampuan mengingat ibu balita tersebut. Sehingga, sangat dibutuhkan peran kader untuk melakukan penyuluhan berkelanjutan setiap bulannya agar pengetahuan ibu tentang gizi tetap baik. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada ibu balita terkait topik penyuluhan gizi di atas kemudian diberi skor dan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu kurang, sedang, dan baik (Khomsan 2000). Sebaran ibu balita berdasarkan kategori pengetahuan gizi dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11 Sebaran ibu balita berdasarkan kategori pengetahuan gizi Kategori Pengetahuan Gizi
Baseline Kontrol Intervensi
Endline Kontrol Intervensi
Follow-up Kontrol Intervensi
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
Kurang (<60%)
6
19,4
3
9,7
1
6,7
9
29,0
10
33,3
12
38,7
Sedang (60-80%)
22
71,0
26
83,9
14
86,7
17
54,8
18
60,0
18
58,1
Baik (>80%)
3
9,7
2
6,5
15
6,7
5
16,1
2
6,7
1
3,2
Total
31
100
31
100
30
100,0
31
100,0
30
100,0
31
100,0
x ±SD
69,4±15,5
b
69,0±11,9
b
71,0±10,3
b
65,0±24,5
ab
63,0±13,2ab
58,7±13,1a
Huruf yang berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) berdasarkan uji ANOVA
Tingkat pengetahuan gizi ibu balita yang baik secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap sikap dan praktik dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi anak balita yang bersangkutan. Sebagian besar ibu balita kelompok kontrol (63,3%) dan kelompok intervensi
31 (64,5%) diketahui tidak pernah mendapatkan informasi terkait pangan, gizi, dan kesehatan sebelumnya. Secara deskriptif, data baseline menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan gizi ibu pada kelompok kontrol (71,0%) dan intervensi (83,9%) tergolong sedang. Sementara itu, rata-rata skor pengetahuan gizi ibukelompok kontrol sedikit lebih tinggi dibandingkan kelolompok intervensi. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pengetahuan ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Intervensi berupa penyuluhan gizi pada ibu balita diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan gizi ibu kategori kurang dan sedang menjadi kategori baik karena pengetahuan gizi ibu yang baik berhubungan dengan sikap dan praktik gizi ibu yang kemudian akan berhubungan dengan perawatan anak dan keluarga (Madanijah 2003). Setelah diberikan penyuluhan (endline) terjadi peningkatan kategori pengetahuan gizi baik (16,1%) pada ibu balita kelompok intervensi. Meskipun demikian, rata-rata skor pengetahuan gizi ibu pada kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi. Hasil tersebut juga ditandai dengan rata-rata peningkatan skor pengetahuan gizi pada kelompok kontrol (ΔP1=3,3 poin). Akan tetapi, terjadi penurunan skor pengetahuan gizi pada kelompok intervensidengan rata-rata penurunan skor sebesar 6,7 poin (Gambar 4). Hal tersebut dikarenakan besarnya sebaran ibu dengan pengetahuan gizi kurang (29,0%) dibandingkan pengetahuan gizi baik (16,1%). Pengetahuan gizi kurang pada beberapa ibu balita di endline disebabkan penurunan sebaran ibu balita yang menjawab dengan benar beberapa pertanyaan tentang gizi seperti kandungan gizi susu kental manis, zat gizi untuk pertumbuhan, manfaat mengkonsumsi daging, sarapan pagi, kandungan gizi pada susu, dan cara mencuci sayuran. Uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pengetahuan ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Kecenderungan penurunan pengetahuan gizi pada masing-masing kelompok juga terjadi pada data follow-up. Berdasarkan uji Duncan, tidak terdapat perbedaan tingkat pengetahuan ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Berdasarkan Tabel 11 di atasdiketahui bahwa terjadi penurunan persentase ibu balita kelompok intervensi yang memiliki pengetahuan gizi baik hingga mencapai 3,2%. Hal tersebut juga ditandai dengan penurunan skor pengetahuan kelompok kontrol dan intervensi (ΔP2=13 poin; ΔP2=0,3 poin) (Gambar 4). Hal ini diduga karena ibu balita memiliki keterbatasan kemampuan untuk mengingat materi penyuluhan dan keinginan ibu balita untuk membaca kembali materi yang diberikan masih cukup rendah sehingga ibu balita tidak bisa menjawab pertanyaan terkait gizi dengan benar. Menurut Mariani (2002) ketidaktahuan tentang gizi dapat mengakibatkan seseorang salah memilih bahan dan cara menyajikannya. Akan tetapi sebaliknya, ibu dengan pengetahuan gizi baik biasanya akan mempraktikkan pola makan sehat bagi anak-anaknya agar terpenuhi kebutuhan gizinya. Hasil analisis pada uji Duncan diketahui bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,01) pada baseline, endlie, dan follow-up. Hal ini dikarenakan kelompok kontrol tidak mendapat perlakuan (penyuluhan gizi) sehingga perubahan tidak mempengaruhi skor pengetahuan gizi. Sementara itu, diketahui bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu
32
Rataan Skor Pengetahuan Gizi
kelompok intervensi pada baseline tidak berbeda nyata (p>0,01) pada saat endline namun terdapat perbedaan signifikan antara tingkat pengetahuan gizi ibu kelompok intervensi pada saat baseline dan follow-up (p<0,01). Hal ini dikarenakan terjadinya penurunan skor pengetahuan gizi hingga follow-up. 6 4 2 0 -2 -4 -6 -8 -10 -12 -14
3,3
-0,3 Kontrol -4,5
-5,5
Intervention
-10,3 -13 ΔP1
ΔP2
ΔP3
Keterangan: ΔP1: Rata-rata perubahan skor pengetahuan gizi ibu (endline terhadap baseline) ΔP2: Rata-rata perubahan skor pengetahuan gizi ibu (follow-up terhadap endline) ΔP3: Rata-rata perubahan skor pengetahuan gizi ibu (follow-up terhadap baseline) Gambar 4 Perubahan skor pengetahuan gizi ibu Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa rata-rata perubahan skor pengetahuan gizi kelompok kontrol dan intervensi cenderung menurun ketika dilakukan followup. Meskipun demikian, penurunan tersebut (ΔP2) masih lebih baik dibandingkan baseline (ΔP3). Sementara itu, dapat diketahui bahwa rata-rata penurunan skor pengetahuan gizi ibu kelompok kontrol lebih besar dibandingkan kelompok intervensi. Uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh antara penyuluhan gizi terhadap pengetahuan gizi ibu (p<0,05). Hal ini dapat dikatakan bahwa penyuluhan gizi yang diberikan kepada kelompok intervensi memberikan manfaat kepada ibu-ibu balita tersebut (Pelto et al. 2004; Abdurahmah 2012). Sikap Gizi Ibu balita Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap belum menunjukkan suatu tindakan namun menunjukkan suatu kecenderungan bertindak (Notoatmodjo 2003). Penyuluhan gizi yang diberikan kepada ibu balita diharapkan dapat menumbuhkan sikap yang lebih baik terhadap gizi. Sikap yang lebih baik (sikap positif) ditunjukkan dengan persetujuan akan sikap bahwa ibu bersedia menyediakan sayuran setiap hari untuk keluarga, memilih susu bubuk/cair untuk anak, menyediakan lauk-pauk, mengkonsumsi daging, anak usia 2-3 bulan tidak boleh diberi pisang, anak harus selalu sarapan pagi, ASI esklusif diberikan pada anak sampai usia 6 bulan, minum susu penting untuk anak, jajanan ciki-ciki kurang baik bagi anak, dan lalapan yang direbus lebih aman daripada lalapan
33 mentah. Sebaran ibu balita berdasarkan sikap positif (peryataan setuju) mengenai pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 12 di bawah ini. Tabel 12 Sebaran ibu balita berdasarkan sikap positif terhadap pernyataan gizi Jenis Pernyataan 1. Saya akan menyediakan sayuran setiap hari untuk konsumsi keluarga saya Kontrol Intervensi 2. Anak saya lebih baik minum susu bubuk/ susu cair daripada minum susu kental manis Kontrol Intervensi 3. Menyediakan lauk Kontrol Intervensi 4. Tidak setuju, anak tidak perlu mengonsumsi daging karena harganya mahal Kontrol Intervensi 5. Tidak setuju, anak berusia 2-3 bulan boleh diberi pisang agar tidak rewel Kontrol Intervensi 6. Anak harus selalu sarapan pagi agar kuat beraktivitas Kontrol Intervensi 7. Tidak setuju, ASI saja (eksklusif) diberikan pada anak sampai usia 3 bulan Kontrol Intervensi 8. Minum susu penting bagi anak untuk memperkuat tulang dan gigi Kontrol Intervensi 9. Jajanan ciki-cikian kurang baik bagi anak Kontrol Intervensi 10. Lalap yang direbus lebih aman daripada lalap mentah Kontrol Intervensi
Baseline n %
Endline n %
Follow-up n %
31 30
100,0 96,8
30 30
100,0 96,8
30 31
100,0 100,0
24 18
77,4 58,1
12 16
40,0 51,6
20 22
66,7 71,0
31 29
100,0 93,5
29 29
96,7 93,5
30 30
100,0 96,8
13 14
41,9 45,2
20 21
66,7 67,7
18 19
60,0 61,3
14 14
45,2 45,2
13 23
43,3 74,2
22 22
73,3 71,0
31 30
100,0 96,8
30 30
100,0 96,8
30 30
100,0 96,8
16 12
51,6 38,7
20 18
66,7 58,1
22 19
73,3 61,3
31 30
100,0 96,8
30 30
100,0 96,8
30 31
100,0 100,0
22 18
71,0 58,1
26 24
86,7 77,4
25 20
83,3 64,5
30 29
96,8 93,5
22 25
73,3 80,6
27 27
90,0 87,1
34 Berdasarkan Tabel 12 di atas diketahui bahwa pada baseline terdapat beberapa pernyataan yang masih mendapatkan respon tidak setuju (sikap negatif) dari ibu balita kelompok intervensi. Sebagian besar ibu balita kelompok intervensi (62,3%) memberikan respon negatif terhadap pernyataan ASI Esklusif dimana ibu tersebut setuju ASI ekslusif diberikan sampai usia 3 bulan. Pada kenyataanya, ASI-ekslusif harus diberikan kepada anak sampai usia 6 bulan (WHO 1991; Ukegbu et al. 2010). Sementara itu, terdapat pernyataan lainnya yang mendapatkan sikap negatif salah satunya adalah “jajanan ciki-cikian kurang baik bagi anak”. Hanya sebagian kecil (58,1%) ibu balita yang setuju bahwa jajanan tersebut kurang baik. Pada kenyataannya, jajanan ciki-ciki yang terasa sangat gurih karena bumbunya dapat mengakibatkan anak-anak ketagihan dan memakannya hampir setiap hari. Padahal bumbu tersebut umumnya mengandung zat yang berbahaya seperti Mono Sodium Glutamat (MSG) yang apabila dikonsumsi berlebihan dapat mengakibatkan radang tenggorokan, gangguan otak, gangguan ginjal, dan mual (Martyn et al. 2013; Vuthithu et al. 2013) Pada endline, terjadi peningkatan sikap positif pada masing-masing pernyataan yang mendapatkan sikap negatif pada baseline. Akan tetapi, masih terdapat beberapa penyataan negatif dari ibu balita dimana ibu balita tidak setuju memberikan susu bubuk/susu cair dibandingkan susu kental manis. Hal ini dikarenakan, selain anak mereka lebih menyukai suka kental manis juga harga susu kental manis yang ekonomis dibandingkan susu bubuk. Selanjutnya, pernyataan terkait sikap gizi ibu diberi skor dan dikategorikan menjadi sikap negatif, netral, dan positif (Khomsan 2010). Sebaran ibu balita berdasarkan sikap gizi dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini. Tabel 13 Sebaran ibu balita berdasarkan kategori sikap gizi Kategori Sikap Gizi Negatif (<60%) Netral (60-80%) Positif (>80%) Total
x ±SD
Baseline
Endline
Follow-up
Kontrol n % 0 0,0 16 51,6 15 48,4 31 100
Intervensi n % 4 12,9 18 58,1 9 29,0 31 100
Kontrol n % 1 3,3 15 50,0 14 46,7 30 100
Intervensi n % 1 3,2 16 51,6 14 45,2 31 100
Kontrol n % 1 3,3 9 30,0 20 66,7 30 100,0
Intervensi n % 0 0,0 16 51,6 15 48,4 31 100,0
80,6±13,7 ab
74,4±14,6 a
77,1±20,4 ab
81,0±11,5 ab
83,4±21,0 b
82,7±13,0 b
Huruf yang berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) berdasarkan uji ANOVA
Tabel 13 menunjukkan bahwa sikap gizi ibu balita kelompok kontrol dan intervensi tergolong netral. Sikap netral dalam penelitian ini berupa sikap raguragu terhadap pernyataan gizi yang diberikan. Data baseline menunjukkan adanya sikap negatif pada kelompok intervensi sebesar 12,9% namun pada kelompok kontrol tidak terdapat sikap negatif terhadap pernyataan gizi yang diberikan. Hasil tersebut juga ditandai dengan rata-rata skor sikap gizi kelompok kontrol (80,6±13,7) yang lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi (74,4±14,6). Namun, uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan sikap gizi ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Uji korelasi Pearson data baseline pada kelompok kontrol dan intervensi menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan (p<0,01) antara pengetahuan dan sikap gizi ibu balita. Menurut Khomsan (2009), tingkat pengetahuan
35 seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Penyuluhan gizi yang diberikan dapat meningkatkan sikap positif terhadap gizi menjadi 45,2% dan menurunkan sikap negatif terhadap gizi menjadi 3,2%. Hal ini juga ditandai dengan rata-rata peningkatan skor sikap gizi ibu kelompok intervensi sebesar 6,6 poin (ΔS1). Sementara itu, skor sikap gizi ibu kelompok kontrol menurun (ΔS1=1,0 poin) (Gambar 5). Uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pengetahuan ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Sementara itu, uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh antara penyuluhan gizi terhadap sikap gizi ibu (p<0,05). Hasil ini juga serupa dengan studi yang dilakukan oleh Abdurahmah (2012) dimana terdapat pengaruh konseling gizi terhadap pengetahuan dan sikap ibu tentang tumbuh kembang balita. Sementara itu, hasil follow up pada kelompok intervensi menunjukkan peningkatan sebaran ibu balita dengan sikap positif terhadap gizi menjadi 50,0% dan tidak terdapat ibu balita dengan sikap gizi negatif (82,7±13,0). Hal ini berarti penyuluhan gizi yang diberikan kepada ibu balita kelompok intervensi sustainable. Uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan sikap gizi ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01).
Rataan Skor Sikap Gizi
10,0
8,4
8,0
6,6
6,3 5,3
6,0
Kontrol
4,0 1,8
2,0
Intervention
0,0 -2,0
-1,0 ΔS1
ΔS2
ΔS3
Keterangan: ΔS1: Rata-rata perubahan skor sikap gizi ibu (endline terhadap baseline) ΔS2: Rata-rata perubahan skor sikap gizi ibu (follow-up terhadap endline) ΔS3: Rata-rata perubahan skor sikap gizi ibu (follow-up terhadap baseline) Gambar 5 Perubahan skor sikap gizi ibu Hasil analisis pada uji Duncan diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,01) sikap gizi ibu kelompok kontrol pada baseline, endline, dan follow-up. Sementara itu, diketahui bahwa sikap gizi ibu kelompok intervensi pada baseline tidak berbeda nyata (p>0,01) pada saat endline, namun terdapat perbedaan signifikan antara sikap gizi ibu kelompok intervensi pada saat baseline dan follow-up (p<0,01). Analisis korelasi Pearson pada data endline dan follow up menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0,01) antara pengetahuan dan sikap gizi ibu balita. Hal ini berarti meskipun pengetahuan ibu meningkat, namun tidak mencerminkan sikap gizi ibu balita tersebut. Hal ini disebabkan adanya faktor lain yaitu penghasilan keluarga (Reyes, Hortensia 2004; Basit et al. 2012). Hal
36 tersebut didukung dengan salah satu hasil dalam penelitian ini bahwa masih terdapat ibu-ibu balita yang cenderung tidak setuju dengan pernyataan akan memenuhi konsumsi daging untuk anak dan keluarga meskipun harganya mahal. Oleh sebab itu, pernyataan tersebut akan mendapatkan sikap negatif dari ibu balita yang tergolong ekonomi rendah. Praktik Gizi Ibu balita Pada penelitian ini praktik gizi ibu balita diperoleh dari pernyataan yang diberikan menggunakan kuesioner yang serupa pada pengukuran pengetahuan dan sikap gizi ibu. Akan tetapi, pernyataan dimodifikasi menjadi bentuk kebiasaan sehari-hari seperti sering, kadang-kadang/jarang, dan tidak pernah. Sebaran ibu balita berdasarkan jawaban sering dari setiap pernyataan gizi disajikan pada Tabel 14 di bawah ini. Tabel 14 Sebaran ibu balita berdasarkan jawaban sering terhadap pernyataan gizi Jenis Pernyataan 1. Anak saya mengonsumsi sayuran Kontrol Intervensi 2. Saya sering dan atau kadang-kadang memberi susu kental manis untuk anak saya Kontrol Intervensi 3. Saya menyediakan tahu/tempe untuk lauk anak saya Kontrol Intervensi 4. Anak saya mengonsumsi daging (sapi/ayam) sebagai lauk-pauk Kontrol Intervensi
Baseline n %
Endline n %
Follow-up n %
19 17
61,3 54,8
21 19
70,0 61,3
15 19
50,0 61,3
9 5
29,0 16,1
6 10
20,0 32,3
7 4
23,3 12,9
26 28
83,9 90,3
29 31
96,7 100,0
30 31
100,0 100,0
16 8
51,6 25,8
13 10
43,3 32,3
12 9
40,0 29,0
21 15
67,7 48,4
20 15
66,7 48,4
24 15
80,0 48,4
24 31
77,4 100,0
26 26
86,7 83,9
27 26
90,0 83,9
4 2
12,9 6,5
4 2
13,3 6,5
4 2
13,3 6,5
5. Anak saya ketika berusia 2-3 bulan tidak pernah diberi makan pisang Kontrol Intervensi 6. Anak saya biasa sarapan pagi Kontrol Intervensi 7. Saya memberikan ASI saja (eksklusif) sampai anak berusia 6 bulan Kontrol Intervensi 8. Saya membiasakan anak saya minum susu sampai sekarang
37 Kontrol Intervensi 9. Anak saya suka jajan ciki-cikian Kontrol Intervensi 10. Sayuran untuk anak saya selalu dimasak, bukan disajikan sebagai lalap mentah Kontrol Intervensi
20 17
64,5 54,8
18 14
60,0 45,2
15 10
50,0 32,3
7 3
22,6 9,7
2 2
6,7 6,5
0 0
0,0 0,0
23 27
74,2 87,1
28 29
93,3 93,5
29 30
96,7 96,8
Data baseline (Tabel 14) menunjukkan bahwa praktik gizi yang pada umumnya sudah diterapkan dengan baik oleh ibu balita kelompok intervensi berturut-turut yaitu sarapan pagi pada anak, menyediakan tahu/tempe sebagai lauk untuk makan anak, dan sayuran untuk anak disajikan matang/masak, sedangkan praktik gizi yang belum diterapkan dengan baik adalah ASI–ekslusif, jajanan cikiciki untuk anak, memberikan susu bubuk, konsumsi daging, anak diberikan makan pisang ketika usia 2-3 bulan, membiasakan anak minum susu, dan konsumsi sayuran pada anak. Pernyataan terkait praktik gizi ibu pada masing-masing topik penyuluhan dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu kurang, sedang, dan baik (Khomsan 2000). Sebaran ibu balita berdasarkan tingkat pengetahuan gizi disajikan pada Tabel 15 di bawah ini. Tabel 15 Sebaran ibu balita berdasarkan kategori praktik gizi Baseline Kategori Praktik Gizi
Kontrol n
Endline
Intervensi
Kontrol
Follow-up
Intervensi
Kontrol
Intervensi
%
n
%
n
%
n
%
n
%
n
%
Kurang (<60%)
7
22,6
15
48,4
7
23,3
13
41,9
7
23,3
11
35,5
Sedang (60-80%) Baik (>80%)
22 2
71,0
6,5
15 1
48,4 3,2
21 2
70,0 6,7
17 1
54,8 3,2
19 4
63,3 13,3
19 1
61,3 3,2
Total
31
100
31
100
30
100
31
100
30
100,0
31
100,0
x ±SD
61,3±21,3
ab
57,1±15,0
a
64,2±16,3
b
61,3±11,1
ab
65,8±17,1
b
64,5±10,4b
Huruf yang berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) berdasarkan uji ANOVA
Berdasarkan data baseline pada Tabel 15, sebagian besar ibu balita kelompok intervensi memiliki praktik gizi kategori sedang (48,4%) yang berarti sebagian besar ibu pada kelompok intervensi “jarang” menerapkan praktik gizi yang baik pada anak balitanya. Sementara itu, masih terdapat ibu balita yang memiliki praktik gizi yang kurang pada kelompok kontrol (22,6%) dan kelompok intervensi (48,4%). Hal ini berarti masih terdapat sebagian ibu balita kelompok tersebut yang tidak pernah menerapkan praktik gizi dengan baik pada anak balitanya. Uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara praktik gizi ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Uji korelasi Pearson pada data baseline menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan siginifikan (p>0,01) antara sikap dan praktik gizi ibu balita kelompok kontrol dan intervensi. Namun, menurut Ogunba (2006) dalam penelitiannya
38 menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan positif antara sikap ibu dan praktik pemberian makan anak dan status gizi anak (BB/TB) di Nigeria. Salah satu temuan terkait praktik gizi ibu pada awal penelitian ini adalah sebagian besar ibu balita yang memiliki skor praktik gizi kurang merupakan ibu balita yang tidak menerapkan Air Susu Ibu-Eklusif (ASI-Ekslusif) kepada anak mereka. Sebagian besar kelompok kontrol (88,1%) dan kelompok intervensi (93,5%) tidak memberikan ASI ekslusif kepada anak mereka ketika berusia 0-6 bulan dikarenakan telah memberikan minuman cair selain ASI seperti air putih dan madu. Menurut ibu balita yang diwawancarai, madu yang diberikan kepada bayi baru lahir diwajibkan bagi bayi baru lahir agar kulit kepala dan dahi anak tidak bersisik. Kebiasaan pada sebagian besar ibu tersebut mengakibatkan mereka melewatkan peran ASI Ekslusif (Ogunba 2006; Faber & Benade 2007). Penyuluhan gizi yang diberikan menunjukkan perubahan yang positif. Hal ini ditandai dengan dengan peningkatan praktik gizi ibu balita kategori sedang pada data endline sebesar 6,4% dari baseline.Hasil ini juga ditandai dengan peningkatan skor praktik gizi (ΔPR1) sebesar 4,2 poin pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (ΔPR1=2,9 poin). Sementara itu, hasil analisis uji Duncan (data endline) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara praktik gizi ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). 7,4
Rata-rata perubahan skor
8 7 6 5 4 3
4,5
4,2
Kontrol
3,2
2,9
Intervensi 1,6
2 1 0
ΔPR1
ΔPR2
ΔPR3
Keterangan: ΔPR1: Rata-rata perubahan skor praktik gizi ibu (endline terhadap baseline) ΔPR2: Rata-rata perubahan skor praktik gizi ibu (follow-up terhadap endline) ΔPR3: Rata-rata perubahan skor praktik gizi ibu (follow-up terhadap baseline) Gambar 6 Perubahan skor praktik gizi ibu Analisis pada uji Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara praktik gizi ibu kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01) pada saat followup. Berdasarkan Gambar 6 di atas, perubahan praktik gizi ibu pada ΔPR2 (3,2 poin) lebih rendah dibandingkan dengan ΔPR1 (4,2 poin). Akan tetapi, rata-rata skor praktik gizi follow-up (64,5±10,4) lebih tinggi dibandingkan baseline (57,1±15,0). Hasil tersebut menunjukkan bahwa penyuluhan gizi sustainable pada praktik gizi ibu. Hasil analisis uji Duncan diketahui bahwa praktik gizi ibu kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0,01) pada baseline, endline, dan follow-up. Sementara itu, diketahui bahwa praktik gizi ibu kelompok intervensi pada baseline tidak berbeda nyata (p>0,01) pada saat endline, namun terdapat
39 perbedaan signifikan antara praktik gizi ibu kelompok intervensi pada saat baseline dan follow-up (p<0,01). Analisis korelasi Pearson (endline dan follow-up) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0,01) antara sikap dan praktik gizi ibu. Meskipun diketahui bahwa sikap gizi ibu meningkat, namun tidak mencerminkan praktik gizi ibu balita dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya faktor lain seperti motivasi ibu balita untuk berubah menjadi lebih baik. Menurut Worsley (2002) pengetahuan gizi merupakan faktor yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk perubahan perilaku makan karena terdapat faktor lain seperti motivasi dalam diri individu tersebut. Dalam hal ini, peran kader sangat penting untuk melakukan penyuluhan gizi secara berkelanjutan sehingga ibu balita akan terus termotivasi untuk menerapkan praktik gizi dalam kehidupan sehari-hari. Studi Mbuya et al. (2013) menyimpulkan bahwa pengetahuan kader yang baik signifikan berhubungan dengan pengetahuan gizi ibu balita sehingga program edukasi gizi kepada kader dapat mendorong keberhasilan dalam meningkatkan pengetahuan ibu balita tersebut. Karakteristik Balita Balita adalah salah satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Karakteristik balita dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, berat ketika lahir (gram), dan riwayat penyakit satu bulan terakhir. Berdasarkan kriteria inklusi yang ditetapkan oleh peneliti, usia balita maksimal yang dipilih adalah 47 bulan. Hal ini dikarenakan asumsi penelitian yang berlangsung selama 12 bulan dapat mengurangi kejadian drop-out pada balita yang tidak tergolong balita (bayi lima tahun) saat pengambilan data akhir. Jenis Kelamin, Umur, dan Berat Lahir Tabel 16 di bawah ini menunjukkan bahwa sebagian besar balita kelompok kontrol berjenis kelamin laki-laki (20,0%) dan kelompok intervensi sebagian besar berjenis kelamin perempuan (16,0%). Sebagian besar umur balita kelompok kontrol berkisar 12-23 bulan (41,9%) dengan rata-rata usia balita 18,5±9,6 bulan, sedangkan kelompok intervensi 24-35 bulan (35,5%) dengan rata-rata usia balita 20,6±10,1 bulan. Hasil t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat pebedaan yang signifikan antara umur balita kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Tabel 16 Sebaran balita berdasarkan karakteristik balita Variabel Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Total Umur ≤5 bulan 6-11 bulan 12-23 bulan
Kontrol n %
Intervensi n %
20 11 31
64,5 35,5 100,0
15 16 31
48,4 51,6 100,0
2 6 13
6,5 19,4 41,9
1 8 8
3,2 25,8 25,8
p-value
0,207
0,130
40 24-35 bulan 36-47 bulan 48-59 bulan Total Berat Lahir (gram) Rendah(<2500) Normal (2500-4000) Gemuk (>4000) Total
9 1 0 31
29,0 3,2 0,0 100,0
11 3 0 31
35,5 9,7 0,0 100,0
2 22 7 31
6,5 71,0 22,6 100,0
2 18 11 31
6,5 58,1 35,5 100,0
0,125
Menurut Phaneendra, Prakash, Sreekumaran (2001), berat lahir adalah indikator yang penting dan reliabel bagi kelangsungan hidup neonatus dan bayi, baik ditinjau dari segi pertumbuhan fisik dan perkembangan status mentalnya. Berat lahir juga dapat digunakan sebagai indikator umum untuk mengetahui status kesehatan, gizi dan sosial ekonomi dari negara maju dan negara berkembang. Dalam hal ini, berat lahir yang tidak seimbang, baik kurang atau berlebih, dapat menyebabkan komplikasi bagi ibu dan bayinya. Hasil t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat pebedaan yang signifikan antara berat lahir pada balita kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar berat bayi lahir pada kelompok kontrol dan intervensi tergolong normal (71,0%;58,1%). Akan tetapi, masih terdapat berat bayi lahir rendah (BBLR) sebesar 6,5% pada masing-masing kelompok. BBLR dapat terjadi karena akumulasi kesalahan sebelum lahir sehingga biasanya bayi akan sulit mengejar pertumbuhan hingga dewasa. Berdasarkan hasil penelitian Gillespie et al. (2003), anak BBLR cenderung mengalami obesitas dan penyakit degeneratif pada usia dewasa. Fenomena ini dikenal dengan “Barker Theory” atau “the fetal origins of adult disease”. Berdasarkan hipotesis Barker bahwa ada serangkaian tahapan yang kritis dalam perkembangan anak, jika tahapan tersebut dilalui tidak sempurna maka akibatnya akan timbul di kemudian hari saat anak dewasa dan tua (Barker 2004). Thakur et al. (2011) menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa berat badan dan panjang badan pada bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) meningkat secara signifikan oleh pendidikan gizi dan praktik menyusui. Oleh karena itu, pendidikan gizi pada ibu menyusui terbukti menjadi alat yang kuat untuk mengurangi risiko tinggi malnutrisi dan kematian bayi pada BBLR. Secara umum, berat bayi lahir rendah dan berat bayi lahir berlebih lebih besar resikonya untuk mengalami masalah. Berat lahir rendah (BBLR) atau berat <2500g menyumbang 42,5%-56,0% kematian perinatal. Sementara itu, studi lainnya menyebutkan bahwa bayi yang memiliki berat badan ≥4000 g (macrosomia) dapat meningkatkan risiko beberapa penyakit ketika dewasa misalnya kanker payudara pada wanita dan diabetes melitus tipe 2 (Line et al. 2007). Hasil studi menunjukkan bahwa bayi macrosomia pada kelompok intervensi (35,5%) lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol (22,6%). Riwayat Penyakit 1 Bulan Terakhir Status kesehatan balita dapat dilihat dari kejadian penyakit yang sering dialami oleh balita. Secara umum, balita pada kelompok kontrol dan intervensi
41 memiliki riwayat penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) lebih tinggi dibandingkan demam, diare, penyakit kulit, dan lainnya (cacar dan kejangkejang). Sebaran balita berdasarkan riwayat penyakit satu bulan terakhir dapat dilihat pada Tabel 17 berikut. Tabel 17 Sebaran balita berdasarkan riwayat penyakit satu bulan terakhir Baseline
Kontrol Endline
n
%
n
%
n
Diare
14
45,2
10
32,3
Demam
23
74,2
20
ISPA (Batuk Pilek)
28
90,3
Penyakit Kulit
0
0,0
Lainnya
2
6,5
Riwayat Penyakit Satu Bulan Terakhir
Baseline
Intervensi Endline
%
n
%
n
%
n
%
10,0
33,3
12
38,7
5
16,1
8,0
25,8
64,5
14,0
46,7
23
74,2
23
74,2
18,0
58,1
28
90,3
23,0
76,7
26
83,9
24
77,4
23,0
74,2
5
16,1
3,0
10,0
3
9,7
5
16,1
4,0
12,9
1
3,2
1,0
3,3
2
6,5
1
3,2
3,0
9,7
Follow-up
Follow-up
Berdasarkan data baseline, sebaran balita yang mengalami ISPA pada kelompok kontrol lebih tinggi (90,3%) dibandingkan balita kelompok intervensi (83,9%) dengan rata-rata frekuensi sakit satu bulan terakhir pada masing-masing kelompok adalah 1,3±0,5 kali/1 bulan terakhir; 4,4±3,2 kali/1 bulan terakhir. Penyakit ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang serius karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira satu dari empat kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 kali ISPA setiap tahunnya. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anakanak tersebut dapat pula memberi kecacatan sampai padamasa dewasa (Christopher et al. 2011). Sementara itu, riwayat penyakit satu bulan terakhir tertinggi kedua pada masing-masing kelompok adalah demam. Berdasarkan data baseline, sebagian besar balita kelompok kontrol dan intervensi dengan persentase yang sama (74,2%) mengalami demam. Penyakit ini merupakan jenis penyakit yang sering dialami ketika anak mengalami ISPA. Tingginya presentase kejadian ISPA dan demam dikarenakan faktor demografi wilayah yang terletak di kaki gunung sehingga iklim yang dingin dan lembab dapat memicu kejadian ISPA seperti flu dan batuk pada balita di kedua wilayah penelitian tersebut. Hasil ini diacu pada studi Confalonieri et al. (2007), dimana studi ini menunjukkan bahwaperubahan iklim dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi kesehatan seperti meningkatkan kejadian diare dan penyakit infeksi lainnya. Posyandu sebagai deteksi dini masalah gizi dan kesehatan berperan dalam mencegah kejadian masalah gizi dan penyakit balita di wilayah tersebut. Beberapa studi menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat seperti Andean Rural Health Care (ARHC) di Bolivia, Community Health Workers (CHWs) di Sub-Saharan Afrika, Primary Health Care (PHC) di Colombia dapat meningkatkan status kesehatan balita. Melalui kader di pos pelayanan kesehatan tersebut, intervensi efektif dan relatif murah seperti penyuluhan kesehatan dapat menurunkan kejadian malaria, diare, dan pneumonia di wilayah tersebut (Perry, Shanklin, Schroeder 2003; Christopher et al. 2011; Mosquera et al. 2012). Pada penelitian ini, penyuluhan gizi dan kesehatan diberikan kepada kader dan ibu balita yang secara tidak langsung dapat merubah trend kejadian ISPA.
42 Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan riwayat ISPA 1 bulan terakhir pada kelompok intervensi menjadi 77,4% (1,6±0,9 kali/1 bulan terakhir) pada data endline dan 74,2% (1,0±0,8 kali/1 bulan terakhir) pada data follow-up. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluhan gizi yang diberikan dapat menurunkan kejadian penyakit di suatu wilayah sehingga penyuluhan gizi dan kesehatan penting untuk dilakukan secara terus menerus oleh kader kepada ibu balita. Status Gizi Balita Status berarti tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh suatu keadaan. Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi adalah kelompok bayi dan anak balita. Oleh karena itu, indikator yang paling baik untuk mengukur status gizi masyarakat adalah melalui status gizi bayi dan balita (Notoatmodjo 2007). Status gizi balita ditentukan dengan menggunakan beberapa indeks yang telah direkomendasikan oleh WHO, yaitu indeks berat badan menurut umur (BB/U), indeks tinggi badan menurut umur (TB/U), dan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Hasil pengukuran dari masing-masing indeks tersebut selanjutnya ditentukan dengan menggunakan nilai z-score dan diklasifikasikan berdasarkan standar baku antropometri Kementrian Kesehatan tahun 2010. Status Gizi Balita Indikator Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Menurut Kemenkes (2010), indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Tabel 18 Sebaran status gizi balita (BB/U) berdasarkan kelompok umur Kelompok Umur
Baseline Kontrol Intervensi n % n %
Endline Kontrol Intervensi n % n %
Follow-up Kontrol Intervensi n % n %
<1 tahun Kurang Baik Lebih Total 1-2 tahun Kurang Baik Lebih Total
0 7 1 8
0,0 87,5 12,5 100
0 9 0 9
0,0 100,0 0,0 100
0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
2 12 0 14
14,3 85,7 0,0 100
1 8 0 9
11,1 88,9 0,0 100
3 5 0 8
37,5 62,5 0,0 100,0
2 6 0 8
25,0 75,0 0,0 100
0 5 0 5
0,0 100,0 0,0 100,0
1 1 0 2
50,0 50,0 0,0 100,0
2-5 tahun Kurang Baik Lebih Total
0 9 0 9
0,0 3 100,0 10 0,0 0 100 13
23,1 76,9 0,0 100
1 4,5 21 95,5 0 0,0 22 100,0
4 19 0 23
17,4 4 16,0 82,6 21 84,0 0,0 0 0,0 100 25 100,0
4 25 0 29
13,8 86,2 0,0 100,0
43 Data baseline (Tabel 18) menunjukkan bahwa sebagian besar kategori status gizi baik berdasarkan indikator BB/U terdapat pada balita umur 2-5 tahun kelompok kontrol (100,0%) dan balita umur <1 tahun kelompok intervensi (100,0%). Sementara itu, masih terdapat balita yang memiliki status gizi kurang pada umur 1-2 tahun (11,1%) dan umur 2-5 tahun (23,1%) pada kelompok intervensi. Setelah diberikan penyuluhan (endline) terjadi peningkatan satus gizi baik pada balita umur 2-5 tahun (82,6%). Studi sebelumnya menunjukkan bahwa upaya peningkatan pengetahuan gizi pada ibu sangat berperan dalam peningkatan status gizi balita. Studi membuktikan bahwa setelah diberikan intervensi pendidikan gizi terjadi peningkatan yang signifikan dalam frekuensi pemberian makanan tambahan pada anak kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selanjutnya, anak pada kelompok intervensi diketahui memiliki berat badan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan pendidikan gizi (Roy et al. 2007). Dilain sisi, pada data endline menunjukkan bahwa sebaran balita dengan status gizi kurang (underweight) meningkat pada balita umur 1-2 tahun (25,0%). Hal ini terjadi karena pada umur tersebut, pengenalan terhadap lingkungan semakin luas sehingga jika lingkungan anak kurang sehat maka anak tersebut akan lebih mudah terkena infeksi. Uji korelasi Spearman (data baseline, endline,dan follow-up) menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) antara riwayat penyakit balita dan status gizi indikator BB/U pada kelompok umur 1-2 tahun dan 2-5 tahun. Hasil tersebut didukung dengan studi sebelumnya yang dilakukan oleh Studi Khatun et al. (2013), menunjukkan bahwa salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi masalah gizi kurang adalah penyakit infeksi. Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan status gizi memerlukan strategi berbasis masyarakat dan melibatkan modifikasi perilaku melalui pendidikan gizi selain memberikan pelayanan kesehatan dan gizi yang baik. Sementara itu, uji korelasi Pearson (data baseline, endline, dan follow-up) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) antara pengetahuan gizi ibu dan status gizi balita kelompok intervensi. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rayhan and Khan (2006) menunjukkan hubungan positif antara tingkat pengetahuan gizi ibu dan status gizi anak. Ibu yang yang memiliki pengetahuan gizi yang baik menyadari kesehatan anak dan merawat anaknya hingga menjadi lebih baik. Status Gizi Balita Indikator Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Kemenkes 2010). Berdasarkan Tabel 19 di atas, diketahui bahwa sebaran balita tergolong pendek (stunting) tersebar pada umur 1 hingga 5 tahun baik pada periode pengambilan data baseline, endline, dan follow-up. Sebaran status gizi balita (TB/U) berdasarkan kelompok umur disajikan pada Tabel 19 di bawah ini.
44 Tabel 19 Sebaran status gizi balita indikator TB/U berdasarkan kategori umur Kelompok Umur <1 tahun Pendek Normal Tinggi Total 1-2 tahun Pendek Normal Tinggi Total 2-5 tahun Pendek Normal Tinggi Total
Baseline Kontrol Intervensi n % n %
Endline Kontrol Intervensi n % n %
Follow-up Kontrol Intervensi n % n %
2 6 0 8
25,0 75,0 0,0 100,0
0 9 0 9
0,0 100,0 0,0 100,0
0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
6 42,9 8 57,1 0 0,0 14 100,0
3 6 0 9
33,3 66,7 0,0 100,0
2 6 0 8
25,0 75,0 0,0 100,0
3 5 0 8
37,5 62,5 0,0 100,0
1 4 0 5
20,0 80,0 0,0 100,0
1 1 0 2
50,0 50,0 0,0 100,0
22,2 7 53,8 3 13,6 12 52,2 5 20,0 77,8 6 46,2 19 86,4 11 47,8 20 80,0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 100,0 13 100,0 22 100,0 23 100,0 25 100,0
16 13 0 29
55,2 44,8 0,0 100,0
2 7 0 9
Kejadian stunting pada kelompok intervensi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur balita. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Taufiqurrahman et al. (2009) yang menyatakan bahwa kecenderungan stunting yang meningkat, seiring dengan pertambahan umur anak, diduga sebagai komulatif kejadian yang terjadi sejak lama, karena stunting bersifat menetap. Disamping stunting yang terjadi pada usia sejak kurang dari 2 tahun, juga terjadi pada usia lebih dari 2 tahun, sehingga persentase kejadian stunting menjadi lebih besar. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa 96% stunting yang terjadi pada usia 2 tahun, disebabkan oleh stunting yang terjadi pada usia anak-anak. Uji korelasi Pearson (data baseline, endline, dan follow-up) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara pengetahuan gizi ibu dan status gizi balita kelompok intervensi. Sementara itu, uji korelasi Spearman (data baseline, endline, dan follow-up) menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) antara riwayat penyakit balita dan status gizi indikator TB/U. Menurut Soetjiningsih (2005), kejadian penyakit infeksi yang berulang tidak hanya berakibat pada menurunnya berat badan atau akan tampak pada rendahnya nilai indikator berat badan menurut umur, akan tetapi juga indikator tinggi badan menurut umur. Hal tersebut bisa dijelaskan bahwa status gizi stunted disebut juga sebagai gizi kurang kronis yang menggambarkan adanya gangguan pertumbuhan tinggi badan yang berlangsung pada kurun waktu cukup lama. Balita yang sering mendapat infeksi dalam waktu yang lama tidak hanya berpengaruh terhadap berat badannya akan tetapi juga berdampak pada pertumbuhan linier. Status gizi TB/U merupakan cerminan status gizi masa lampau yang menggambarkan kondisi anak pada waktu yang lalu. Timbulnya status gizi stunting tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi juga karena
45 penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi. Status Gizi Balita Indikator Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Indikator BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat), seperti terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Disamping untuk identifikasi masalah kekurusan dan indikator BB/TB dapat juga memberikan indikasi kegemukan. Sebaran status gizi balita (BB/TB) berdasarkan kelompok umur disajikan pada Tabel 20 di bawah ini. Tabel 20 Sebaran status gizi balita indikator BB/TB berdasarkan kategori umur Kelompok Umur <1 tahun Kurus Normal Gemuk Total 1-2 tahun Kurus Normal Gemuk Total 2-5 tahun Kurus Normal Gemuk Total
Baseline Kontrol Intervensi n % n %
Endline Kontrol Intervensi n % n %
Follow-up Kontrol Intervensi n % n %
0 3 5 8
0,0 37,5 62,5 100,0
0 7 2 9
0,0 77,8 22,2 100,0
0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
0 0 0 0
0,0 0,0 0,0 0,0
0 0,0 13 92,9 1 7,1 14 100,0
0 8 1 9
0,0 88,9 11,1 100,0
1 7 0 8
12,5 87,5 0,0 100,0
1 7 0 8
12,5 87,5 0,0 100,0
0 5 0 5
0,0 100,0 0,0 100,0
0 2 0 2
0,0 100,0 0,0 100,0
0,0 1 7,7 1 4,5 0 0,0 2 100,0 11 84,6 21 95,5 23 100,0 22 0,0 1 7,7 0 0,0 0 0,0 1 100,0 13 100,0 22 100,0 23 100,0 25
8,0 88,0 4,0 100
3 25 1 29
10,3 86,2 3,4 100,0
0 9 0 9
Data baseline (Tabel 20) menunjukkan bahwa tidak terdapat balita kategori status gizi kurus (wasting) pada kelompok umur <1 tahun dan 1-2 tahun baik kelompok kontrol maupun intervensi. Akan tetapi, terdapat balita kelompok intervensi yang tergolong kurus (1 orang) dan gemuk (1 orang) pada kelompok umur 2-5 tahun. Setelah diberikan penyuluhan (endline), hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat balita yang tergolong kurus dan gemuk pada balita umur 2-5 tahun. Hasil ini didukung oleh studi Anwar et al. (2010) yang menyimpulkan bahwa metode intervensi pendidikan gizi melalui program gizi dan kesehatan di Posyandu menunjukkan hasil yang signifikan terhadap status gizi anak. Akan tetapi, sebaran balita kurus dan gemuk meningkat pada follow-up (10,3%; 3,4%). Studi follow-up oleh Haines, Sztainer, Wall, Story (2007) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
46 menjadi salah satu faktor penyebab obesitas saat dewasa. Kejadian obesitas pada anak merupakan tanda dari tingginya status sosial, kesuburan dan kesejahteraan. Uji korelasi Spearman (data baseline, endline, dan follow-up) menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) antara riwayat penyakit balita, pengetahuan, dan status gizi indikator BB/U. Hasil ini sejalan dengan studi sebelumnya yang menyimpulkan bahwa pengetahuan ibu tentang gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan (Ulfa, Neti, Ai 2008). Hal ini dikarenakan ibu yang cukup pengetahuan gizinya akan dapat memperhitungkan kebutuhan gizi anak balitanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain itu pengetahuan yang dimiliki ibu akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh anaknya. Salah satu sebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemauan untuk menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seorang ibu mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi oleh anggota keluarga khususnya anak balita yang mengkonsumsi menu tersebut, yang nantinya berdampak positif terhadap keadaan status gizinya. Lingkungan fisik rumah (termasuk ketersediaan air bersih) yang baik mengindikasikan baiknya sosial ekonomi keluarga, yang didukung dengan pengetahuan dan perilaku gizi ibu berperan dalam menentukan status gizi anak. Partisipasi Ibu di Posyandu Partisipasi ibu dalam kegiatan posyandu dapat dilihat dari keaktifan ibu dalam pelaksanaan posyandu di luar dan di dalam jadwal posyandu meliputi keikutsertaan ibu dalam penimbangan anaknya ke posyandu dan keikutsertaan ibu untuk menggerakkan masyarakat agar ikut serta dalam kegiatan posyandu. Partisipasi ibu dalam penelitian ini meliputi frekuensi kunjungan ke posyandu, motivasi kunjungan ke posyandu, dan pelaksanaan posyandu. Frekuensi Kunjungan ke Posyandu Frekuensi kunjungan ibu balita ke posyandu ditinjau dari kunjungan dalam tiga bulan terakhir. Berdasarkan Tabel 21 diketahui bahwa pada awal penelitian sebagian besar ibu balita rutin mengunjungi posyandu dalam tiga bulan terakhir. Frekuensi kunjungan ibu balita kelompok intervensi lebih tinggi (90,3%) dibandingkan kelompok kontrol (67,7%). Hasil penelitian Yogiswara (2011) menunjukkan bahwa Ibu dengan partisipasi rutin sebanyak 77,5% signifikan berhubungan dengan balita status gizi baik (72,5%). Hal ini membuktikan bahwa ibu yang hadir di posyandu secara rutin maka status gizi dari balita akan baik. Tabel 21 Sebaran ibu balita berdasarkan frekuensi kunjungan ke posyandu Baseline Variabel
Kontrol
p-value
Endline
Intervensi
Kontrol
Intervensi
n
%
n
%
n
%
n
%
Kunjungan tiga bulan terakhir Ya
21
67,7
28
90,3
24
80,0
25
80,6
Tidak
10
32,3
3
9,7
6
20,0
6
19,4
Total
31
100,0
31
100,0
30
100,0
31
100,0
0,058
47 Rencana kunjungan ke posyandu hingga balita berusia lima tahun Ya
27
87,1
28
90,3
30
100,0
29
93,5
Tidak
4
12,9
3
9,7
0
0,0
2
6,5
Total 31 100,0 ( ) * Signifikan berbeda pada taraf 5%
31
100,0
30
100,0
31
100,0
0,027*
Sementara itu, masih terdapat ibu balita yang tidak membawa anaknya ke posyandu dalam tiga bulan terakhir secara berturut-turut. Rata-rata kunjungan ibu balita kelompok kontrol dan intervensi yang tidak membawa anaknya ke posyandu tiga bulan terakhir secar berturut-turut adalah 1,3±0,9 kali dan 1,0±1,0 kali. Ketidakhadiran ibu balita dalam tiga bulan terakhir dikarenakan anak takut untuk diimunisasi, anak tidak mau ditimbang, tidak tahu jadwal posyandu, malu karena anak tergolong Bayi Garis Meras (BGM), dan jarak rumah dengan posyandu yang cukup jauh. Pada kenyataanya, keberhasilan posyandu sangat dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat yang salah satunya adalah pengguna posyandu (ibu balita). Menurut Marjanka et al. (2002), partisipasi ibu di posyandu sangat mempengaruhi pertumbuhan kesehatan dan status gizi anak. Dengan demikian, intervensi berupa penyuluhan gizi dan partisipasi posyandu kepada kader dan ibu balita diharapkan dapat meningkatkan partisipasi ibu balita di posyandu. Akan tetapi, Tabel 21 di atas menunjukkan bahwa penyuluhan partisipasi posyandu yang diberikan kepada ibu balita tidak menunjukkan perubahan. Persentase ibu balita berdasarkan kunjungan tiga bulan terakhir menurun sebesar 9,7% dari baseline. Pada kenyataanya, kegiatan tumbuh kembang anak di posyandu memerlukan kehadiran ibu balita dan anaknya setiap bulan. Hal ini dikarenakan kegiatan tersebut akan bermakna apabila anak hadir dan ditimbang di posyandu setiap bulan. Menurut Madanijah dan Triana (2007), tingkat kehadiran ibu balita di posyandu dikategorikan menjadi baik apabila garis grafik berat badan pada KMS tidak pernah putus (hadir dan ditimbang setiap bulan di posyandu). Kunjungan ibu balita dan anaknya ke posyandu sebaiknya rutin dilakukan hingga balita berusia lma tahun. Hal ini dimaksudkan agar perkembangan anak pada usia tersebut bisa dipantau dengan baik. Oleh karena itu, perlu diketahui apakah ibu balita akan tetap mengunjungi posyandu hingga balita berusia lima tahun. Berdasarkan Tabel 21 diketahui bahwa sebanyak 90,3% ibu balita kelompok intervensi menyatakan akan mengunjungi posyandu hingga balita berusia lima tahun. Sementara itu, sebanyak 9,7% ibu balita tidak akan menunjungi posyandu hingga balita berusia lima tahun dengan alasan kesibukan ibu balita, ibu malas ke posyandu, anak sudah selesai diimunisasi, dan anak tidak mau ke posyandu. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat ibu balita yang belum memahami pentingnya posyandu hingga balita berusia lima tahun. Meskipun penyuluhan partisipasi posyandu tidak memberikan perubahan terhadap kunjungan ibu balita ke posyandu dalam tiga bulan terakhir, keinginan ibu untuk membawa anaknya ke posyandu hingga usia lima tahun menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita kelompok intervensi (93,3%) menyatakan keinginannya untuk tetap mengikuti/membawa anak ke posyandu hingga usia lima tahun.
48 Hasil uji Duncan menunjukkan adanya perbedaan rencana kunjungan ke posyandu hingga balita berusia lima tahun pada data baseline dan endline kelompok intervensi (p<0,05). Hal ini berarti penyuluhan partisipasi posyandu berupa motivasi kunjungan ke posyandu mampu meningkatkan pengetahuan ibu balita tentang pentingnya posyandu sehingga keinginan ibu balita untuk tetap mengikuti posyandu semakin meningkat. Sementara itu, hal ini juga didukung oleh kader-kader posyandu yang terus berupaya mendorong ibu balita untuk rutin membawa anaknya ke posyandu hingga usia lima tahun. Kunjungan rutin ke posyandu akan memberikan manfaat lebih besar bagi balita karena dapat mencegah masalah gizi kurang dan atau mempertahankan status gizi baik. Motivasi Kunjungan ke Posyandu Menurut Notoadmojo (2010), motivasi merupakan suatu alasan seseorang untuk bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Motivasi pada dasarnya merupakan interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapinya. Bentuk motivasi ibu balita diantaranya dapat dilihat dari berupa kemauan untuk mengantarkan langsung anak balita ke posyandu, dukungan anggota keluarga, dan alasan ibu mengunjungi posyandu. Tabel 22 di bawah ini menunjukkan bahwa hampir semua ibu balita kelompok kontrol (96,8%) setiap bulan secara langsung mengantarkan anaknya ke posyandu. Sementara itu, sebanyak 93,5% ibu balita kelompok intervensi juga setiap bulan secara langsung mengantarkan anaknya ke posyandu, serta ada sebanyak 6,5% ibu balita yang hanya kadang-kadang mengantarkan anaknya ke posyandu. Hal ini disebabkan alasan kesibukan ibu balita sehingga sebagai gantinya anggota keluarga lain yang mengantarkan anaknya ke posyandu, seperti tante dan nenek dari balita tersebut. Tabel 22 Sebaran ibu balita berdasarkan motivasi kunjungan ke posyandu Pertanyaan Ibu secara langsung mengantarkan anaknya ke posyandu Ya,setiap bulan Kadang-kadang Tidak Keluarga tidak mendukung Ya Tidak Alasan ibu ke posyandu Agar anak sehat Mendapatkan imunisasi/kapsul vitamin A Agar berat badan anak terpantau Mendapatkan KB gratis Bisa bertemu dengan sesama warga Mendapatkan makanan tambahan (PMT) Mendapatkan pengetahuan gizi/Kesehatan ibu anak Disuruh kader/RT/RW Agar anak cerdas
Kontrol n %
Intervensi n %
30 0 1
96,8 0,0 3,2
29 2 0
93,5 6,5 0,0
1 30
3,2 96,8
0 31
0,0 100,0
20 17 26 0 5 0 1 1 1
64,5 54,8 83,9 0,0 16,1 0,0 3,2 3,2 3,2
31 13 17 0 1 0 1 0 0
100,0 41,9 54,8 0,0 3,2 0,0 3,2 0,0 0,0
49 Berdasarkan dukungan keluarga, diketahui bahwa semua ibu balita kelompok intervensi (100%) mendapatkan dukungan dari anggota keluarga untuk membawa anaknya ke posyandu. Sementara itu, masih terdapat satu orang ibu balita kelompok kontrol yang tidak mendapatkan dukungan dari keluarga (suami). Hal ini dikarenakan suami dari ibu balita tersebut khawatir anaknya demam setelah mendapatkan imunisasi di posyandu. Pada keyataannya, demam merupakan salah satu reaksi tubuh terhadap imunisasi yang akan meningkatkan kekebalan tubuh anak. Banyak hal yang dapat mendorong ibu balita untuk mengunjungi dan membawa anaknya ke posyandu. Selain dukungan dari keluarga, alasan pertama yang paling banyak pada ibu balita kelompok kontrol adalah agar berat badan anak terpantau (83,9%). Sementara itu, sebanyak 100% ibu balita kelompok intervensi memiliki alasan agar anak sehat. Alasan tersebut bisa dikatakan sudah sesuai dengan tujuan posyandu itu sendiri. Namun, sebagian besar ibu balita masih kurang menyadari salah satu fungsi dari posyandu yaitu pelayanan untuk mendapatkan pengetahuan gizi/kesehatan ibu dan anak. Hal ini terlihat dari rendahnya persentase ibu balita yang memilih alasan tersebut. Pelaksanaan Posyandu Pelaksanaan posyandu tidak terlepas dari peran serta ibu balita sebagai pengguna posyandu tersebut. Salah satu caranya adalah dengan memberikan sumbangan, baik secara material maupun non material. Sumbangan material dapat berupa dana yang diberikan langsung kepada pengelola posyandu. Sebaran ibu balita berdasarkan pelaksanaan posyandu dapat dilihat pada Tabel 23 di bawah ini. Tabel 23 Sebaran ibu balita berdasarkan pelaksanaan posyandu
Variabel Memberikan sumbangan dana ke Posyandu Ya,setiap bulan Kadang-Kadang Tidak pernah Memberikan bantuan PMT ke posyandu Ya,setiap bulan Kadang-Kadang Tidak pernah PMT diberikan saat penyelenggaraan posyandu Ada Tidak ada Ibu memiliki KMS Ya, dipegang ibu Ya, dipegang kader Tidak
Baseline Kontrol Intervensi n % n %
Endline Kontrol Intervensi n % n %
8 0 23
25,8 0,0 74,2
3 0 28
9,7 0,0 90,3
3 3 24
10,0 10,0 80,0
0 2 29
0,0 6,5 93,5
1 1 29
3,2 3,2 93,5
0 0 31
0,0 0,0 100,0
0 2 28
0,0 6,7 93,3
0 1 30
0,0 3,2 96,8
24 7
77,4 22,6
18 13
58,1 41,9
22 8
73,3 26,7
30 1
96,8 3,2
26 2 3
83,9 6,5 9,7
25 4 2
80,6 12,9 6,5
28 0 2
93,3 0,0 6,7
20 7 4
64,5 22,6 12,9
50 Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita kelompok kontrol dan intervensi tidak pernah memberikan sumbangan dana ke posyandu (74,2%;90,3%). Sementara itu, sebanyak 25,8% ibu balita kelompok kontrol dan 9,7% ibu balita kelompok intervensi menyatakan pernah memberikan sumbangan dana ke posyandu dengan rata-rata Rp.1143±476/bulan, Rp.1833±1893/bulan. Ibu balita yang tidak pernah memberikan sumbangan diduga berkaitan dengan tingkat pendapatan keluarga ibu balita yang tidak terlalu tinggi. Sehingga pendapatan keluarga hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja. Selain bantuan berupa dana, masyarakat juga bisa memberikan bantuan dalam bentuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT) seperti bubur kacang hijau, biskuit, telur, dan bubur nasi. Tabel 23 di atas menunjukkan bahwa pada data baseline seluruh ibu balita (100%) tidak pernah memberikan bantuan PMT. Sementara itu, terdapat 3,2% ibu balita kelompok kontrol yang setiap bulan memberikan bantuan PMT. Akan tetapi, data endline (Tabel 23) menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun ibu balita (kontrol dan intervensi) yang rutin setiap bulan memberikan bantuan PMT. Besarnya persentase ibu balita yang tidak pernah memberikan bantuan PMT ke posyandu diduga karena ibu balita merasa bahwa kewajiban dalam memberikan PMT tersebut adalah kader di posyandu. Salah satu kelengkapan posyandu yang harus dimiliki oleh ibu balita adalah Kartu Menuju Sehat (KMS). KMS adalah alat sederhana dan murah yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan dan pertumbuhan anak (Depkes 2000). KMS dibagikan kepada setiap balita yang berkunjung ke posyandu. Di dalam kartu tersebut terdapat kurva yang menunjukkan pola pertumbuhan berat badan anak. Selain itu, di dalam KMS juga dicantumkan catatan-catatan imunisasi yang telah dilakukan. Oleh karena itu, KMS balita dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat bagi ibu dan keluarga untuk memantau tumbuh kembang anak agar tidak terjadi kesalahan atau ketidakseimbangan pemberian makan pada anak. Setiap ibu balita seharusnya memiliki KMS untuk anak yang dibagikan gratis oleh posyandu. Pada kenyataannya, masih terdapat ibu balita yang tidak memiliki KMS. Ketidakpunyaan KMS pada ibu balita kelompok kontrol (9,7%) lebih banyak dibandingan kelompok intervensi (6,5%). Akan tetapi, data endline menunjukkan bahwa ibu balita kelompok intervensi yang tidak memiliki KMS meningkat hingga 12,9%. Hal ini diduga karena KMS tersebut ada yang hilang atau rusak sebelum balita berusia lima tahun tanpa ada penggantian dengan KMS baru. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena ibu balita yang tidak memiliki KMS untuk anak tidak akan bisa memantau tumbuh kembang anak dengan baik. Berdasarkan data endline (Tabel 23), sebagian besar ibu balita kelompok intervensi memiliki KMS (87,1%). Namun, tidak semua KMS dipegang oleh ibu balita. Ada sebanyak 64,5% KMS yang dipegang oleh ibu itu sendiri, sedangkan sisanya 22,6% dipegang oleh kader. Ibu balita yang KMS nya dipegang oleh kader diduga karena ibu balita malas membawa KMS, ketinggalan di posyandu, dan takut hilang atau rusak. Hal ini dapat mempengaruhi ketidakpahaman ibu balita dalam membaca grafik perkembangan anak, pengetahuan gizi dan kesehatan yang ada pada KMS.
51 Persepsi Ibu Balita Tentang Posyandu Menurut Notoadmojo (2010), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan. Tabel 24 Sebaran ibu balita berdasarkan persepsi tentang posyandu Variabel Peran Posyandu Tidak Penting Kurang penting Penting Total Pelayanan Posyandu Kurang Cukup Baik Total Kelengkapan sarana posyandu Kurang lengkap Lengkap Total
Kontrol
Intervensi
n
%
n
%
0 0 31 31
0,0 0,0 100,0 100,0
1 0 30 31
3,2 0,0 96,8 100,0
2 8 21 31
6,5 25,8 67,7 100,0
5 9 17 31
16,1 29,0 54,8 100,0
12 19
38,7 61,3
20 10
64,5 32,3
31
100,0
31
100,0
Tabel 24 menunjukkan bahwa seluruh ibu balita kelompok kontrol (100%) memiliki persepsi akan pentingnya peran posyandu. Akan tetapi, berbeda dengan kelompok intervensi dimana masih terdapat ibu balita (3,2%) yang memiliki persepsi bahwa posyandu tidak mempunyai peranan penting. Persepsi ini muncul dari ibu balita yang memiliki anak usia ≥3 tahun yang beranggapan bahwa anak pada usia tersebut tidak perlu ke posyandu sehingga peranan posyandu dianggap tidak penting. Posyandu merupakan salah satu bentuk dari pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama. Pelayanan kesehatan dasar di posyandu adalah pelayanan kesehatan yang mencakup sekurang-kurangnya 5 (lima) kegiatan yaitu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), imunisasi, gizi, dan penanggulangan diare (Kemenkes RI 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita kelompok kontrol dan intervensi menyatakan pelayananan posyandu di lokasi penelitian tergolong baik (67,7%, 54,8%). Pelaksanaan dalam kegiatan program posyandu tidak hanya didukung oleh pelayanan yang baik saja. Demi kelancaran pelaksanaan program maka posyandu harus memiliki alat dan bahan seperti alat-alat untuk penimbangan dan pelaksanaan program lainnya. Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu balita kelompok kontrol (61,3%) menyatakan sarana posyandu tergolong lengkap. Namun, sebagian besar ibu balita kelompok intervensi (64,5%) menyatakan sarana posyandu di tempat mereka tergolong kurang lengkap. Sebaran ibu berdasarkan persepsi ibu tentang program yang perlu ditingkatkan di posyandu dapat dilihat pada Tabel 25 berikut.
52 Tabel 25 Persepsi ibu tentang program yang perlu ditingkatkan di posyandu Program posyandu yang masih perlu ditingkatkan Penyuluhan PMT Penimbangan balita Imunisasi Tablet besi Penyediaan KMS Pelayanan KB Pemeriksaan kehamilan kapsul vitamin A
Kontrol n 28 29 20 15 18 13 18 17 17
% 90,3 93,5 64,5 48,4 58,1 41,9 58,1 54,8 54,8
Intervensi n % 30 96,8 30 96,8 27 87,1 22 71,0 22 71,0 20 64,5 26 83,9 25 80,6 22 71,0
Tabel 25 di atas menunjukkan bahwa lebih dari 90% ibu balita kelompok kontrol dan intervensi menginginkan kegiatan PMT dan penyuluhan di posyandu perlu ditingkatkan. Ibu balita menganggap kegiatan pemberian PMT dan penyuluhan ini belum dapat dilaksanakan dengan baik di posyandu. Adapun hal yang menjadi kendala dalam pemberian PMT ini dikarenakan keterbatasan dana dari Dinas Kesehatan setempat. Sementara itu, kualitas kader yang kurang memenuhi kualifikasi dan keterbatasan media atau materi untuk melakukan penyuluhan menjadi penyebab dari jarangnya dilakukan penyuluhan. Menurut Khomsan et al. (2007), penyuluhan gizi merupakan salah satu manfaat yang paling penting dirasakan ibu balita dan anak balita karena akan memberikan dampak panjang bagi perubahan pengetahuan, sikap, dan praktik menuju ke arah perbaikan asupan gizi. Secara keseluruhan, lebih dari setengah jumlah ibu balita menginginkan peningkatan pelayanan dari seluruh kegiatan yang dilaksanakan oleh posyandu. Imunisasi, pemberian tablet besi dan kapsul vitamin A, pelayanan KB, pemeriksaan kehamilan, dan penyediaan KMS juga merupakan bagian dari kegiatan di posyandu yang manfaatnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara itu, pada awal penelitian (baseline) semua kader menyatakan bahwa kegiatan posyandu yang masih perlu ditingkatkan pelaksanaannya secara berturut-turut adalah penyuluhan, pemberian PMT, penyediaan KMS, dan kapsul vitamin A, penimbangan balita, imunisasi, tablet besi, pelayanan KB, dan pemeriksaan kehamilan. Dengan demikian, untuk memenuhi keinginan masyarakat akan peningkatan kualitas pelayanan di posyandu maka pengelola posyandu, puskesmas, Dinas Kesehatan, dan pihak-pihak lain yang terkait perlu memberikan perhatian lebih agar masyarakat dapat memperoleh pelayananan gizi dan kesehatan secara maksimal. Kualitas Pelayanan di Posyandu Kualitas kader yang baik serta tingkat partisipasi kader berperan dalam tingkat keberhasilan posyandu tersebut (Sharma et al. 2011). Tingkat keberhasilan posyandu dalam penelitian ini diukur melalui persepsi terhadap tingkat kepuasan pengguna posyandu (ibu balita).
53 Salah satu studi mengenai lima dimensi kualitas pelayanan (service quality) oleh Parasuraman et al. (1996) dapat dijadikan acuan untuk menilai suatu program sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau sebaliknya. Hal tersebut sering digunakan pada bidang ilmu manajemen sosial yang bergerak dalam bidang pelayanan masyarakat seperti perhotelan, restoran, rumah sakit, dan jasa pelayanan lainnya. Dalam penelitian ini posyandu dianggap sebagai suatu perusahaan dan pelanggan adalah pemakai jasa dari posyandu tersebut yaitu Ibu balita. Indikator kualitas pelayanan posyandu meliputi lima dimensi yaitu tangibles (fisik), reliability (keandalan), responsiveness (ketanggapan), assurance (keterjaminan), dan empathy (perhatian). Lima dimensi tersebut diukur berdasarkan tingkat kepuasan ibu balita terhadap pelayanan yang diberikan oleh petugas posyandu (kader). Menurut beberapa peneliti, kepuasan pelanggan merupakan konstruk yang berdiri sendiri dan dipengaruhi oleh kualitas layanan (Oliver 1980). Kualitas layanan juga dapat mempengaruhi loyalitas pelanggan secara tidak langsung melalui kepuasan (Caruana 2002; Lupiyoadi & Hamdani 2006). Hal ini berarti kualitas layanan yang diberikan oleh posyandu melalui kader dapat mendorong ibu-ibu pengguna posyandu untuk komitmen kepada layanan yang diberikan. Pesentase tingkat kepuasan ibu balita terhadap kualitas pelayanan posyandu dapat dilihat pada Tabel 26 di bawah ini. Tabel 26 Tingkat kepuasan ibu balita terhadap kualitas pelayanan posyandu (%) Dimensi Kualitas Pelayanan Fisik Keandalan Ketanggapan Jaminan Empati x ±SD
Baseline
Endline
Follow-up
Kontrol
Intervensi
Kontrol
Intervensi
Kontrol
Intervensi
65,7 78,3 72,0 65,1 73,0 70,8±5,5a
63,1 82,6 75,7 63,0 73,5 71,6±8,5a
72,6 74,0 71,7 63,9 71,3 70,7±3,9a
90,3 91,6 80,0 70,5 80,5 82,6±8,6b
78,3 72,0 70,5 65,7 71,7 71,6±4,5a
87,0 86,0 78,3 65,1 75,7 78,4±8,9a
Huruf yang berbeda pada baris/kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) berdasarkan uji ANOVA
Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan peningkatan kualitas pelayanan posyandu pada kelompok intervensi. Data baseline menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara tingkat kepuasan ibu balita kelompok kontrol dan intervensi (p>0,01). Tingkat kepuasan ibu balita kelompok intervensi (endline) terhadap kualitas pelayanan berupa keandalan di posyandu lebih tinggi (91,6%) dibandingkan dimensi kualitas pelayanan lainnya. Sementara itu, diketahui bahwa peningkatan lima dimensi kualitas pelayanan lebih tinggi pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol. Hasil ini juga ditandai dengan uji Duncan yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p<0,01) antara tingkat kepuasan ibu balita kelompok kontrol dan intervensi. Berdasarkan analisis data baseline, rata-rata tingkat kepuasan ibu balita kelompok intervensi (71,6%) lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (70,8%). Akan tetapi, setelah diberikan intervensi berupa penyuluhan partisipasi
54 posyandu kepada kader dan pengadaan alat-alat di posyandu hasil menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 11,0% dari baseline. Kualitas pelayanan posyandu yang baik secara tidak langsung akan mempengaruhi partisipasi ibu balita di posyandu tersebut. Berdasarkan analisis sebelumnya diketahui bahwa terjadi peningkatan keinginan ibu balita untuk membawa anaknya ke posyandu hingga umur lima tahun. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh peran kader yang memberikan motivasi kepada ibu balita. Hasil tersebut didukung oleh studi sebelumnya yang menyimpulkan bahwa jika pelanggan puas dengan kualitas layanan yang diterima, mereka akan memiliki niat yang tinggi untuk kembali lagi ke penyedia layanan tersebut (Aliman & Mohamad 2012). Kualitas Pelayanan Dimensi Tangibles (Fisik) Dimensi tangibles (fisik) terdiri dari 5 indikator pernyataan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7 di bawah ini. Berdasarkan dimensi fisik dapat dilihat bahwa trend yang terjadi pada tingkat kepuasan ibu balita terhadap layanan posyandu cenderung meningkat pada endline (90,3%) dan menunurun pada follow-up (87,0%). 100 Tingkat Kepuasan (%)
90 80 70 60
Baseline
50
Endline
40
Follow-up
30 20 10 0 Kemutakhiran Kenyamanan alat tempat penimbangan
Penampilan kader
Penampilan petugas lainnya
Kemanfaatan fasilitas
Gambar 7 Tingkat kepuasan ibu balita berdasarkan kualitas pelayanan tangibles Kemutakhiran alat dalam hal ini diartikan apakah posyandu memiliki perlengkapan alat yang mutahir/canggih seperti penggunaan timbangan digital, timbangan khusus bayi baru lahir/belum bisa duduk dan microtoise. Hasil menunjukkan bahwa sebanyak 65% ibu balita sudah cukup puas dengan alat-alat yang digunakan di posyandu sebelum diberikan intervensi (pengadaan alat-alat posyandu). Pengadaan alat-alat tersebut sebaiknya menjadi perhatian karena berdasarkan SK Bupati No. 445.8/85/KPTS/HUK/2006, Pokjanal Posyandu Kabupaten sebagai unsur pelaksana dalam memfasilitasi kegiatan posyandu, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati Bogor melalui Sekretaris Daerah. Secara umum bertujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat menuju terwujudnya pemberdayaan dan kemandirian masyarakat dalam
55 pengelolaan posyandu yang berdaya guna dan berhasil guna, sehingga diharapkan masyarakat yang maju, mandiri, dan sejahtera dapat terwujud. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pengadaan alat-alat yang menunjang pelayanan posyandu dapat meningkatkan tingkat kepuasan ibu balita hingga 100%. Ibu balita menyatakan bahwa fasilitas di posyandu sudah lebih lengkap setelah mendapatkan pengadaan alat-alat oleh peneliti. Peningkatan ini tetap sustaine ketika dilakukan follow-up empat bulan berikutnya. Di lain sisi, sebanyak 35,8% ibu balita menyatakan tidak puas dengan kenyamanan tempat penimbangan. Ibu-ibu balita posyandu menyatakan bahwa tempat penimbangan belum bersih sehingga merasa tidak nyaman untuk melakukan penimbangan anaknya. Akan tetapi, setelah mendapatkan penyuluhan tingkat kepuasan ibu meningkat sebesar 41,6% dari baseline. Hal ini dikarenakan penyuluhan yang juga diberikan kepada kader dapat meningkatkan kepedulian dan kewajiban kader dalam menjaga kebersihan dan kenyamanan posyandu. Penampilan kader merupakan salah satu indikator yang diukur dalam dimensi fisik. Kader yang berpenampilan rapi merupakan suatu keharusan mengingat kader merupakan teladan di lingkungan tempat mereka tinggal. Sebagian besar (70,4%) ibu balita sudah merasa puas dengan penampilan kader yang rapi. Kader sering menggunakan pakaian seragam sehingga terlihat sopan dan rapi. Namun, setelah tidak ada kegiatan penyuluhan (follow-up) persepsi ibu terhadap penampilan kader menurun sebesar 1,7% dari baseline. Penurunan kualitas ini dikarenakan tidak ada monitoring terhadap kegiatan kader di posyandu sehingga kurangnya motivasi kader untuk berpenampilan rapi. Selain kader, penampilan petugas lainnya seperti bidan atau petugas kesehatan dipandang perlu untuk memiliki penampilan yang rapi. Tingkat kepuasan ibu balita terhadap penampilan petugas lainnya adalah 67,9%. Namun, pada data endline tingkat kepuasan meningkat hingga mencapai 100%. Peningkatan tingkat kepuasan ini tidak dipengaruhi oleh penyuluhan yang diberikan karena bidan atau petugas lainnya bukan merupakan sasaran penyuluhan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan bidan yang bertugas di posyandu tersebut lebih banyak terpapar pengetahuan/penyuluhan dibandingkan kader posyandu sehingga mengetahui bagaimana berpenampilan baik sebagai pemberi layanan. Gambar 7 di atas juga menunjukkan bahwa secara fisik alat-alat di posyandu masih dapat digunakan dengan baik. Sebagai posyandu kagetori pratama, sebanyak 76,3% ibu balita sudah merasa puas dengan fasilitas di posyandu yang dapat dimanfaatkan dengan baik meskipun belum tergolong canggih. Akan tetapi, pengadaan alat-alat di posyandu oleh peneliti memberikan dampak positif terhadap kualitas pelayanan posyandu. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 7, semua ibu balita (100%) pengguna posyandu merasa puas dengan fasilitas yang ada di posyandu. Setelah tidak dilakukan pemantauan dan penyuluhan terjadi penurunan kualitas pelayanan fisik fasilitas sebesar 4,2% dari endline. Namun, hasil tersebut masih lebih baik dibandingkan baseline. Hal ini dikarenakan ada beberapa alatalat yang rusak sehingga tidak bisa digunakan dalam kegiatan posyandu.
56 Kualitas Pelayanan Dimensi Reliability (Keandalan)
Tingkat Kepuasan (%)
Keandalan adalah kemampuan untuk memberikan jasa sesuai dengan yang dijanjikan dengan akurat dan handal. Hasil menunjukkan bahwa kualitas pelayanan dimensi reliability (keandalan) rata-rata sebesar 82,6% sudah sesuai dengan harapan ibu balita pada saat baseline (Gambar 8). Tingkat kepuasan ibu balita terhadap jadwal pelaksanaan posyandu tergolong cukup baik (73,5%), dan meningkat sebesar 23,3% dari baseline. Dalam hal ini, jadwal tersebut sudah menjadi kesepakatan dan jarang terjadi perubahan. Meskipun terjadi perubahan pada jadwal pelaksanaan posyandu, kader selalu menginformasikan sebelumnya kepada ibu balita. Sehingga, jadwal pelaksanaan posyandu setiap satu bulan sekali dinilai sudah baik oleh ibu-ibu. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Baseline Endline Follow-up
Jadwal pelaksanaan
Perhatian petugas kepada ibu balita
Kehandalan pelayanan
Lama waktu pelayanan
Pencatatan hasil pelayanan
Gambar 8 Sebaran tingkat kepuasan berdasarkan kualitas pelayanan dimensi reliability Perhatian petugas (kader) kepada ibu balita yang menghadapi masalah dengan layanan sudah tergolong baik (80,4%). Setelah dilakukan penyuluhan, kualitas kader semakin meningkat yang ditandai dengan tingkat kepuasan ibu balita yang meningkat hingga mencapai 83,9%. Demikian juga keandalan kader dalam memberikan pelayanan dari awal hingga akhir, sebesar 82,6% ibu balita sudah menilai puas terhadap pelayanan yang diberikan. Dalam hal ini, lama waktu pelayanan telah sesuai dengan jadwal telah ditentukan, rata-rata sebesar 86,0% ketepatan waktu sudah terealisasi dengan baik. Selain itu, 90,3% pencatatan hasil pelayanan sudah sangat baik dan sustaine hingga akhir penelitian (97,9%). Dalam hal ini, kader membuat catatan (administrasi)/dokumen dengan benar dan akurat seperti hasil pengukuran tinggi badan (TB), berat badan (BB), lingkar kepala di KMS. Sehingga, untuk indikator tersebut kader sudah terbiasa melakukan hal demikian disetiap pelaksanaan posyandu. Kualitas Pelayanan Dimensi Responsiveness (Ketanggapan) Berdasarkan dimensi responsiveness (ketanggapan), informasi terkait layanan masih kurang baik. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 9 bahwa sebanyak
57
Tingkat Kepuasan (%)
58,3% ibu balita tidak puas dengan informasi yang diberikan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kader belum mampu memberikan informasi/penjelasan mengenai layanan yang diberikan seperti pentingnya penimbangan dan pengukuran anak, pencatatan KMS, dan imunisasi. Kualitas yang rendah akan menimbulkan ketidakpuasan pada pelanggan, tidak hanya pelanggan yang datang ke posyandu tersebuttetapi juga berdampak pada orang lain. Karena pelanggan yang kecewa akan bercerita paling sedikit kepada 15 orang lainnya. Dampaknya, calon pelanggan akan menjatuhkan pilihannya kepada pesaing (Lupiyoadi & Hamdani 2006). Hal ini dapat berarti bahwa ibu balita yang tidak puas dengan layananan yang diberikan di posyandu akan lebih memilih untuk membawa anak nya ke puskesmas dibandingkan harus membawa ke posyandu. Hal ini akan semakin menjadikan peran posyandu menurun di kalangan masyarakat. Namun, setelah dilakukan penyuluhan terjadi perubahan sebesar 6,2% pada endline yang diduga karena pegetahuan gizi kader yang juga meningkat setelah diberikan penyuluhan. Hasil ini didukung dengan penelitian Elu dan Balthasar (2005) yang menyimpulkan bahwa keputusan perusahaan melakukan tindakan perbaikan pelayanan yang sistematis merupakan payung yang menentukan dalam menindaklanjuti komplain konsumen dari suatu kegagalan sehingga pada akhirnya mampu mengikat loyalitasi konsumen. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Baseline Endline Follow-up
Informasi terkait layanan
Kecekatan pelayanan
Kesediaan membantu anggota posyandu
Kecepatan merespon
Gambar 9 Sebaran tingkat kepuasan berdasarkan kualitas pelayanan dimensi responsiveness Demikian pula pada kecekatan pelayanan kader, kesediaan kader membantu kesulitan pengunjung posyandu, dan respon cepat dari kader menunjukkan peningkatan setelah dilakukan penyuluhan. Akan tetapi, persentase tingkat kepuasan ibu balita cenderung menurun pada follow-up namun masih dalam kisaran yang lebih baik dibandingkan dengan saat baseline. Hal ini berarti, penyuluhan yang diberikan kepada kader dapat meningkatkan kualitas pelayanan posyandu dan sustainable.
58 Kualitas Pelayanan Dimensi Assurance (Keterjaminan) Jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan kader untuk menumbuhkan rasa percaya para pengguna posyandu terhadap layanan yang diberikan. Tingkat kepuasan ibu balita pada dimensi assurance dapat dilihat pada Gambar 10 berikut. 90
Tingkat Kepuasan (%)
80 70 60 50 Baseline
40
Endline
30
Follow-up
20 10 0 Kemampuan memberikan konsultasi
Kenyamanan pengunjung
Kesabaran kader
Dukungan aparat desa
Gambar 10 Sebaran tingkat kepuasan berdasarkan dimensi assurance Kualitas pelayanan dimensi assurance (keterjaminan) rata-rata sebesar 63,0% sudah cukup baik. Akan tetapi, masih terdapat beberapa indikator yang tidak terealisasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan ketidakpuasan terhadap kemampuan kader dalam memberikan penyuluhan/konsultasi gizi dan kesehatan posyandu (51,6%). Hal ini disebabkan pendidikan kader yang masih tergolong rendah (SMP), kader merasa kerepotan dalam melayani ibu balita, kurangnya pelatihan dan akses informasi terkait gizi dan kesehatan sehingga kader belum mampu memberikan penyuluhan kepada ibu balita di posyandu. Pada kenyataanya, kader posyandu diharapkan dapat menjadi tenaga penggerak yang potensial karena kader lebih banyak berinteraksi dengan masyarakat, khususnya dalam penyampaian pengetahuan dan pesan-pesan gizi (Penny et al. 2005; Agrawal et al. 2012). Penyuluhan gizi yang diberikan kepada kader mampu meningkatkan pengetahuan kader dengan rata-rata skor 73,3±11,5 pada baseline menjadi 79,0±14,4 pada endline. Hal ini secara tidak langsung menyebabkanterjadi peningkatan kualitas pelayanan kader dalam memberikan konsultasi pada endline sebesar 12,9% dari baseline. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa pengetahun kader yang meningkat dapat meningkatkan kualitas kader dalam hal memberikan penyuluhan gizi dan kesehatan di posyandu (Naidu 2009). Akan tetapi, persentase tingkat kepuasan ibu balita cenderung menurun pada follow-up (52,0%) namun masih dalam kisaran yang lebih baik dibandingkan baseline. Hal tersebut disebabkan kader masih merasakan kerepotan dalam melayani ibu balita yang dikarenakan jumlah kader yang terbatas. Akan tetapi, penyuluhan yang diberikan kepada kader dapat meningkatkan kualitas pelayanan posyandu dan sustainable.
59 Dukungan aparat desa merupakan salah satu indikator penting dalam kualitas pelayanan dimensi assurance. Gambar 10 menunjukkan bahwa dukungan aparat desa terhadap kegiatan di posyandu masih kurang. Tingkat kepuasan ibu balita pada dimensi ini hanya mencapai 47,5%. Tingkat kepuasan ibu balita dari baseline hingga follow-up cenderung tidak menunjukkan perubahan/peningkatan yang berarti. Sehingga, penting dilakukannya kerja sama yang sinergis antara petugas posyandu dan aparat desa. Kajian terkait program berbasis pelayanan kesehatan pada masyarakat juga dilakukan di Nepal oleh Sharma et al. (2011). Analisa terhadap studi tersebut memaparkan bahwa tidak terdapat satu pun program nasional dari masyarakat di Nepal yang berbasis kesehatan ibu, bayi dan anak yang menggunakan pendekatan siklus aksi masyarakat dan keterlibatan jaringan suatu komunitas. Kelompok ibu (kader) atau yang dikenal dengan istilah Female Community Health Volunteers/FCHV) perlu direvitalisasi untuk memastikan partisipasi aktif mereka dalam mengidentifikasi, menganalisis dan menyepakati langkah-langkah untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan kesehatan ibu, bayi dan anak. Kualitas Pelayanan Dimensi Empathy (Perhatian)
Tingkat Kepuasan (%)
Kualitas pelayanan dimensi empathy (perhatian) ditunjukkan dengan kemampuan kader dalam memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada ibu balita dengan berupaya memahami keinginan ibu balita sebagai konsumen.Dalam hal ini, kader diharapkan memiliki pengertian, memahami kebutuhan ibu balita secara spesifik, serta memiliki waktu pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan. Tingkat kepuasan ibu balita pada dimensi empathy dapat dilihat pada Gambar 11 berikut. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Baseline Endline Follow-up Perhatian Perhatian kader kepada kader kepada anggota sesama kader posyandu
Pemahaman kader terhadap kebutuhan anggota posyandu
Jam buka sesuai kebutuhan
Gambar 11 Sebaran tingkat kepuasan berdasarkan dimensi empathy Gambar 11 di atas menunjukkan bahwa rata-rata sebesar 73,5% kualitas pelayanan dimensi empathy terealisasi dengan baik. Hal ini berarti kader telah mampu memberikan perhatian kepada ibu balita. Jika terdapat ibu balita yang tidak datang ke posyandu maka kader berupaya untuk mengunjungi ibu balita
60 langsung ke rumah mereka. Selain itu, pemahaman kader terhadap kebutuhan ibu balita yang datang sudah tergolong baik (>80%). Uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh antara penyuluhan gizi terhadap kualitas pelayanan posyandu (p<0,05). Meskipun persentase tingkat kepuasan ibu balita terhadap kualitas pelayanan di posyandu cenderung menurun setelah tidak dilakukan penyuluhan dan pemantauan namun hasil tersebut masih dalam kisaran yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum mendapatkan penyuluhan (baseline). Hal ini berarti, penyuluhan yang diberikan kepada kader dapat meningkatkan kualitas pelayanan posyandu dan sustainable. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pembinaan petugas berpengaruh terhadap kinerja kader (Puspasari 2002). Keadaan ini disebabkan karena dengan adanya pembinaan dari petugas akan menambah pengetahuan dan keterampilan kader serta akan menimbulkan kesan bahwa kader posyandu mendapat perhatian. Selain itu akan memicu kader untuk melaksanakan peran dan tugasnya dengan baik yang secara langsung akan berdampak terhadap kinerja yang dihasilkannya. Hal ini ditunjang dengan hasil penelitian Hayati (2001) bahwa supervisi dari petugas diperlukan untuk meningkatkan motivasi kader dalam rangka meningkatkan kemampuannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembinaan salah satunya melalui pendidikan gizi dan kesehatan serta supervisi dari petugas atau aparat yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidangnya yaitu gizi dan kesehatan dapat meningkatkan minat serta pengetahuan kader posyandu (Haines et al. 2007; Rahman et al. 2008). Perhatian Pemerintah Perhatian pemerintah dalam hal ini dapat berupa material dan non-material. Secara material, kader menyatakan bahwa dalam 3 tahun terakhir pemerintah rutin memberikan insentif dalam menjalankan tugas sebagai kader sebesar Rp.300.000/tiga bulan untuk masing-masing posyandu. Uang yang diberikan kepada kader tersebut dianggarkan hanya untuk keperluan posyandu saja seperti pembuatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Hal tersebut sudah menunjukkan perubahan yang lebih baik dibandingkan 3 tahun sebelumnya, dimana kader menyatakan tidak menerima uang insentif tersebut. Sehingga, untuk menunjang kegiatan posyandu kader harus menunggu bantuan dari pemerintah yang tidak bisa dipastikan kapan akan diberikan serta sukarela antara sesama kader dan pengguna posyandu. Pada umumnya kader mengharapkan ada bantuan rutin sebagai imbalan dari kerja kader setiap bulan di posyandu, paling sedikit sebagai pengganti biaya transpor kader ke posyandu. Pemberian insentif kepada kader dapat dilakukan sebagai salah satu bentuk penghargaan sehingga kader merasa dihargai dan akan lebih termotivasi untuk berperan aktif di posyandu. Sebagaimana dapat dipahami bahwa kader berperan sebagai tenaga sukarela sehingga membuat kader merasa tidak terikat dengan tugasnya dan dapat bekerja semaunya. Oleh karena itu pemberian insentif guna menarik minat kader dalam menjalankan tugasnya sangat berguna dan diharapkan dapat mencegah semakin menurunnya tingkat keaktifan kader serta mengurangi jumlah kader yang drop out. Pada kenyataannya, dalam pedoman World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa untuk menjamin keberlanjutan program jangka panjang, kader perlu dibayar. Wisnuwardani (2012) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa
61 pemerintah memberikan uang sebagai insentif bagi kader menyebabkan kader bersemangat dalam bekerja dan berkompetisi. Selain itu, kader diberikan pakaian seragam agar terlihat rapi dalam melayani para pengunjung posyandu. Akan tetapi, seragam posyandu yang diberikan jarang dipakai ketika kader menjalankan tugasnya. Seragam tersebut hanya digunakan kader ketika menghadiri pertemuan/rapat di balai desa. Secara non-material, kader diberikan pelatihan untuk meningkat peran kader di posyandu. Semua kader (100%) menyatakan sudah pernah mendapatkan pelatihan seperti cara pengukuran status gizi balita, pengisian buku registrasi, dan mengisi KMS. Selain itu, penghargaan bagi kader dengan mengikuti seminarseminar kesehatan dan pelatihan serta pemberian modul-modul panduan kegiatan pelayanan kesehatan. Dengan kegiatan tersebut diharapkan kader mampu dalam memberikan pelayanan kesehatan dan aktif datang disetiap kegiatan posyandu Pelaksanaan Posyandu Pada dasarnya, kader posyandu yang selanjutnya disebut kader adalah anggota masyarakat yang bersedia, mampu dan memiliki waktu untuk menyelenggarakan kegiatan posyandu secara sukarela. Meskipun demikian, semua kader kelompok kontrol (100%) dan kelompok intervensi (100%) menyatakan ingin menjadi kader selama-lamanya. Hal ini dikarenakan kader menyadari manfaat menjadi kader seperti menambahkan pengetahuan kader tentang gizi dan kesehatan serta meningkatkan amal kebaikan dalam membantu permasalahan ibu balita di posyandu tersebut. Sehingga, secara personal dapat membangkitkan motivasi kader untuk terus menjalankan tugasnya sebagai kader. Hal ini juga ditandai dengan tingkat kehadiran kader di posyandu yang mencapai 100%. Kegiatan rutin posyandu diselenggarakan dan digerakkan oleh kader posyandu dengan bimbingan teknis dari puskesmas dan sektor terkait. Idealnya, kader bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan posyandu seperti pendaftaran (meja pertama), penimbangan (meja kedua), pengisian KMS (meja ketiga), dan penyuluhan (meja keempat). Namun, terdapat beberapa tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh kader sebelum hari buka posyandu seperti memberikan informasi jadwal pelaksanaan posyandu. Meskipun di posyandu tersebut sudah memiliki jadwal rutin setiap bulan, beberapa waktu terjadi perubahan jadwal pelaksanaan posyandu sehingga kader harus menginformasikan kembali dengan cara menemui ibu balita secara langsung ke rumah mereka. Sebelum hari buka posyandu, kader bertanggung jawab untuk menyiapkan perlengkapan posyandu dan membantu menyiapkan PMT. Selain itu, mengajak ibu-ibu untuk ikut ke posyandu juga merupakan tugas dan tangggung jawab lainnya yang harus dilakukan oleh kader. Cara kader mengajak ibu-ibu pengguna poyandu agar mau membawa anaknya ke posyandu adalah dengan cara mengunjungi langsung ibu balita tersebut ke rumahnya. Menurut pernyataan kader, terdapat kendala untuk menjalankan tugas tersebut seperti kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM). Rata-rata kader di posyandu tersebut berjumlah 4 orang. Harapannya, saat penyelenggaraan posyandu minimal jumlah kader adalah 5 (lima) orang sehingga dapat melaksanakan sistem 5 langkah posyandu.