5
5.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Biofisik
5.1.1 Karakteristik Fisik Lokasi Penelitian Pantai Jamursba Medi dan Wermon terletak di sebelah utara semenanjung Kepala Burung Papua. Jamursba Medi terletak dengan posisi geografis (00 2‟– 00 22‟ S dan 1320 25‟–1320 39‟ E), dengan panjang pantai 18 km, yang terdiri dari tiga pantai yaitu pantai Wembrak, pantai Baturumah, dan pantai Warmemedi. Pantai peneluran lainnya adalah Wermon (00 41‟– 00 43‟ S dan 1320 80‟–1320 86‟ E) dengan panjang pantai 6 km. Jarak pantai Wermon dari pantai Jamurba Medi adalah 30 km. Kedua pantai ini secara administrasi termasuk Distrik Abun Kabupaten Tambrauw. Pantai Jamursba Medi diapit oleh dua kampung yaitu kampung Saubeba dan Warmandi, sedangkan Wermon berada tepat disebelah barat dari kampung Wau-Weyaf. Pantai Jamursba Medi dan Wermon dibentuk oleh tebing-tebing, bebatuan, sungai dan muara. Pantai Jamursba Medi dan Wermon sangat dipengaruhi oleh pola angin dan arus musiman yang membentuk proses erosi dan akresi. Selain angin dan arus musiman, pengaruh dari Samudra Pasifik sangat dominan terhadap perubahan pantai di pesisir Tambrauw.
Gambar 17. Bentang alam pantai Jamurba Medi Pantai Jamursba Medi memiliki bentuk topografi yang cenderung datar yaitu 0.93% sampai 1.23% dengan lebar pantai ke arah laut pada saat surut ± 200 m dan jarak perairan dan daratan 50 m (Gambar 17). Masukan air tawar diperoleh
80
dari sungai Wembrak dan sungai Warmamedi dengan debit yang rendah pada musim kemarau dan tinggi pada musim hujan.
Gambar 18. Bentang alam pantai Wermon Pantai Wermon memiliki topografi yang lebih landai yaitu 14% dengan jarak pantai kearah laut pada surut terendah ±100 m dan jarak perairan kedaratan 20 m (Gambar 18). Masukan air tawar ke perairan berasal dari sungai Wermon yang mengalir sepanjang tahun dan memiliki debit air yang besar. Perairan kepala burung cenderung dalam dengan kisaran 2000 - 4000 m jika dilihat dari batimetri (Gambar 19). Kondisi ini menyebabkan kedua pantai ini sangat rentan terhadap pengaruh fisik oseanografi yang mempengaruhi topografi pantai yang selalui berubah ubah sepanjang tahun
Gambar 19. Batimetri pesisir utara Kepala Burung menunjukkan kisaran kedalaman 1000 m sampai 9500 m.
81
5.1.2 Arah dan Kecepatan Angin Nontji (1986) menyatakan angin sangat menentukan terjadinya gelombang dan arus permukaan. Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin musim (monsun). Perairan utara kepala burung Papua sangat dipengaruhi angin monsun baik barat maupun timur. Angin monsun timur (Juni-Juli-Agustus) 2010 angin berhembus dari arah timur laut menuju keselatan dengan kekuatan melemah dengan rata rata adalah 6.6m/detik (BMG Sorong 2012). Monsun barat (Desember-Januari-Februari) 2011/2012 berhembus ketika musim panas di Belahan Bumi Utara (BBU) atau asia summer season yang ditandai dengan musim peneluran di Wermon. Angin berhembus dari selatan akan mengarah ke timur dengan kekuatan 6.6 m/detik (BMG Sorong 2012). 5.2
Penilaian Non Detrimental Finding Penyu Belimbing
5.2.1 Biologi, Distribusi, Migrasi dan Karakteristik Penyu belimbing adalah salah satu dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia dan saat ini mengalami penurunan populasi akibat tingginya angka kematian induk dewasa maupun tukik dan telur yang gagal menetas. Taksonomi dari penyu belimbing adalah Klass
: Reptilia
Ordo
: Testudines
Family
: Dermochelidae
Spesies
: Dermochelys coriacea (Vrandelli 1761) Penyu belimbing merupakan monospesies dari genus dermochelidae yang
terdistribusi pada daerah tropis maupun sub tropis (Bahler et al. 1996). Studi lain menyatakan bahwa genetik dari populasi peneluran Penyu Belimbing menyebar dalam skala global (Dutton et al. 1999, 2002). Penyu belimbing yang melakukan peneluran di Pantai Jamursba Medi dan Wermon dan beberapa pantai di Indonesia termasuk dalam populasi di Pasifik Barat termasuk populasi PNG dan Kepulauan Salomon. Penyu belimbing yang bertelur di Indonesia memiliki bentuk morfologi yang sama dengan populasi di lokasi lainnya. Perbedaan hanya terdapat pada bagian ekor dimana penyu jantan memiliki ekor yang relatif lebih besar dan panjang dibandingkan induk betina (Pritchard 1971). Berat rata rata penyu
82
belimbing adalah 300 - 600 kg bahkan ada yang bisa mencapai 1 ton, dengan panjang karapas berkisar antara 160 - 180 cm. 5.2.2 Ekologi dan Reproduksi Penyu tergolong kedalam kelompok reptil, dan secara fisiologis memiliki ketergantungan terhadap faktor lingkungan. Ketergantungan terhadap lingkungan mempengaruhi semua fase hidup dari penyu mulai dari fase perkawinan, peneluran, sukses penetasan telur sampai fase pertumbuhan (Ackerman 1997). Faktor lingkungan yang memiliki keterkaitan nyata adalah suhu sebagai penentu seksualitas dari tukik (Mrosovsky 1996 in Ackerman 1997). Penyu belimbing memiliki masa hidup panjang dan melalui beberapa fase atau siklus hidup yang sulit. Penyu yang berumur muda sekitar 20 - 50 tahun akan mengawali dengan proses pemijahan kemudian melakukan fase migrasi untuk prose perkawinan dengan penyu jantan. Setelah kawin, penyu akan kembali ke daerah peneluran dan kawin dengan waktu yang dibutuhkan adalah 2 tahun. Penyu belimbing memiliki laju reproduksi tinggi ditunjukan dengan jumlah telur yang dihasilkan oleh satu induk penyu betina selama musim peneluran (Tabel 19). Estimasi dalam satu musim peneluran induk bisa memiliki periode bertelur 3 - 4 kali, maka rata rata telur yang dihasilkan oleh satu induk dalam 1 musim peneluran rata-rata berkisar antara 231 – 360 butir. Kondisi ini berbanding terbalik dengan persentasi penetasan dan jumlah tukik yang berhasil hidup hingga mencapai dewasa. Sebagaimana diketahui bahwa penyu belimbing memiliki laju rekruitmen yang rendah meskipun laju reproduksinya tinggi. Hal ini tentunya berdampak terhadap jumlah populasi muda yang dihasilkan. Secara ekologis penyu memiliki karakteristik habitat sebagaimana ditampilkan pada Tabel 19. Tabel 19. Karakteristik habitat peneluran penyu belimbing Rata-rata Stdv (kisaran)
Ekologi Habitat Peneluran Tipe Suhu Potensial Tekstur pasir Habitat Pasir Air (μm) Produksi Telur (C) (Kpad) 77.04±16.79 Pasir 25-34 Partikel halus (41-116) <500μm500μm)
Rata-rata Kedalaman sarang (cm) 85.17 cm
83
Sukses penetasan telur penyu belimbing pada sarang insitu di Jamursba Medi dan Wermon mengalami penurunan setiap musimnya. Penurunan populasi tukik terindikasikan dengan rendah persentasi sukses penetasan pada plot pengamatan dikedua pantai (Tabel 20). Penurunan sukses penetasan pada musim 2005/06 dan 2006/07 menyebabkan dilakukannya relokasi terhadap sarang yang berada dibawah batas pasang terendah. Pemilihan sarang disebabkan adanya abrasi sarang yang terjadi pada sarang yang letaknya dibawah batas pasang terendah karena mengalami abrasi akibat ombak pasang surut sehingga gagal menetas. Relokasi tersebut berhasil karena persentasi sukses penetasan mencapai 50% (Tapilatu et al. 2007) Tabel 20. Persentasi sukses penetasan telur penyu belimbing pada pantai Jamursba Medi dan Wermon. Sarang insitu Plot Jamursba Wermon Medi (%) Rata (sd) Rata (sd) Kisaran (n) Kisaran (n)
Tahun
2005-2006
25.5±32 0–85 (48) 40.7± 6.6 0–98.8 (112) 44.47± 9.35 0–98.9 (52) -
2006-2007 2007-2008
2008-2009 2009-2010
2010-2011
2011-2012
5.2.3
-
-
Sarang insitu luar plot Jamursba Wermon Medi Rata (sd) Rata (sd) Kisaran (n) Kisaran (n)
Sarang doom Jamursba Wer Medi mon Rata (sd) Rata Kisaran (n) (sd) Kisar an (n) -
47.1±23.6 3.8–100 (52) -
-
-
-
-
-
-
11.95±22.68 0–57.44 (8)
46.08±15.03 0-96.88 (70)
43.24±16.74 0-87.21 (15)
42.94±18.7 1 0-93.41 (6)
-
57.55±8.98 51.22-63.89 (2)
67.65±33 35–96.43 (10)
73.23±25.07 20.21-97.33 (24)
78.51±18.1 44.2-3.5 (5)
69.39 ±17.8 0 44.293.1 (6)
-
-
-
-
Migrasi Penyu belimbing ditemukan diseluruh perairan di dunia karena memiliki
pergerakan luas mencakup perairan nasional sampai perairan regional antara negara dan samudra. Pergerakan ini menyebabkan sulitnya perlindungan dan pendeteksian populasi genetik terhadap spesies tersebut (Dutton and Squires
84
2008). Penelitian genetik tentang populasi penyu belimbing oleh Dutton et al. (1999, 2007) menemukan ada tiga populasi berbeda yaitu (1) populasi di Pasifik Timur yang melakukan persarangan di pantai Meksiko dan Costarica, (2) populasi di Pasifik Barat yang melakukan peneluran di Papua Barat Indonesia (PBI), PNG, Kepulauan Salomon dan Vanuatu dan (3) populasi di Malaysia. Dari ketiga populasi ini yang mengalami penurunan paling drastis adalah populasi di Pasifik Barat dan Malaysia. Indikasi utama penurunan populasi disebabkan oleh aktivitas sosial antropogenik yaitu pemanfaatan langsung seperti ekploitasi telur dan daging serta pemanfaatan tak langsung seperti tangkapan sampingan dari perikanan skala besar (komersil) (Chan and Liew 1996). Pola pergerakan penyu saat ini sudah diketahui dengan adanya pemansangan transmiter untuk melacak arah migrasi. Sebagaimana diketahui musim peneluran di Pasifik Timur berlangsung pada musim dingin (winter) dari bulan desember sampai maret, dengan pergerakan setelah bertelur (postnesting) dari lokasi peneluran di Meksiko dan Costarica menuju perairan pelagik dibagian timur Pasifik Selatan (Eckert dan Sarti 1997 in Benson et al 2007). Populasi di Pasifik Barat terjadi sepanjang tahun baik musim panas dibelahan bumi utara (July-Agustus) dan musim panas dibelahan bumi selatan (Desember-Februari) dengan membentuk beragam metapopulasi yang tersebar dan melakukan peneluran dibeberapa pantai dan pulau di Pasifik Barat. Hasil analisis genetik dan studi telemetri menunjukkan populasi penyu belimbing Pasifik Barat mengunjungi beberapa perairan bagian timur dan tengah di Utara Pasifik, perairan bagian barat di Selatan Pasifik, Laut Cina Selatan dan Laut Jepang (Dutton et al. 2000, 2007). Pemantauan satelit telemetri juga menunjukkan bahwa penyu belimbing selesai bertelur akan melakukan pergerakan yang terkonsentrasi pada perairan dekat dengan pantai peneluran. Penyu belimbing yang melakukan peneluran di Papua Barat Indonesia (PBI) (boreal summer) akan melakukan pergerakan menuju ke barat laut semenanjung Kepala Burung dan Kepulauan Raja Ampat dengan menempuh jarak 170 – 315 km dari lokasi peneluran (Benson et al. 2011). Selanjutnya pada musim austral summer melakukan pergerakan menuju perairan timur laut semenanjung Kepala Burung dan Teluk Cendrawasih dengan jarak yang ditempuh 120 - 300 km dari pantai peneluran (Gambar 20). Berbeda dengan
85
penyu belimbing yang melakukan peneluran di PNG hanya melakukan pergerakan ke Teluk Huon dengan jarak tempuh 140 - 300 km dari pantai peneluran. Sementara untuk penyu belimbing yang bertelur di Kepulauan Salomon (SI) terkonsentrasi di Kepulauan Santa Isabel dan Kepulauan Malaita dengan jarak yang ditempuh 200 - 400 km dari pantai peneluran (Gambar 20). Migrasi populasi penyu belimbing Jamursba Medi dan Wermon terbagi menjadi dua pola berbeda berdasarkan musim peneluran. Penyu belimbing yang bertelur pada musim boreal summer, diketahui yang dipasangkan trasmiter sebanyak tiga puluh tujuh individu (Gambar 20) melakukan pergerakan awalnya kearah timur laut menuju utara Pasifik. Selanjutnya dari dua puluh tiga individu, enam belas individu mencapai perairan dingin di Utara Pasifik sementara enam individu lainnya menuju ke Region Kuroshio Extention. Lima individu melakukan pergerakan melalui Trans Pasifik antara Pasifik Barat dan Pantai Barat Amerika utara. Ada tujuh individu yang memiliki jalur yang pendek dan bergerak menuju ke utara Pasifik (Benson et al. 2011) Pola kedua yang paling sering ditemukan (N=13 individu) terlihat melakukan migrasi ke arah barat Laut Cina Selatan berdekatan dengan Borneo Malaysia dan Kepulauan Palau Filipina. Migrasi ke Laut Cina Selatan biasanya melewati perairan Laut Sulawesih dan Sulu meskipun ada dua individu yang melalui Selat Luzon antara Taiwan dan Filipina, sementara satu individu menuju ke laut Jepang (Benson et al. 2011). Perbedaan pola migrasi menyebabkan perbedaan musim peneluran pada populasi Pasifik Barat sehingga membentuk sub populasi atau yang dikenal metapopulasi. Metapopulasi yang tergambar pada populasi penyu belimbing adalah adanya perbedaan musim peneluran yang terjadi di PNG, Kepulauan Salomon dan Papua Indonesia. Metapopulasi adalah sejumlah populasi yang membentuk suatu mosaik yang dinamis dan saling berhubungan melalui peristiwa migrasi maupun penyebaran pasif (Primark et al. 2007).
86
Gambar 20. Pola migrasi 126 ekor penyu belimbing pada periode internesting (Benson at al. 2011). Tanda lingkaran : batasan area migrasi, tanda kotak: batasan saat transit, merah: boreal summer, biru: austral summer. PBI : Papua Indonesia, PNG, SI (Salomon Island), CCA (Central California) (Benson et al. 2011)
5.2.4 Trend Populasi di Jamursba Medi dan Wermon Kecenderungan populasi penyu belimbing berdasarkan hasil pemantauan dibeberapa negara mengalami penurunan populasi termasuk di Pantai Jamursba Medi dan Wermon (Gambar 21 dan 22). Perhitungan populasi penyu belimbing mengacu pada tiga perumusan yang dipublikasikan oleh Dutton et al (2007), Sarti et al.(1996) dan Tapilatu et al in prep. Pemantauan yang dilakukan oleh Hitipeuw et al. 2007 menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah sarang penyu dipantai Jamursba Medi mulai tahun 1993 sebanyak 14.420 sarang menurun sampai 1534 sarang pada tahun 2011 (Gambar 21). Sementara untuk Wermon yang dimulai pada tahun 2003 sebanyak 2504 sarang menurun menjadi 1292 pada tahun 2011 (Gambar 22). Banyak spekulasi penyebab penurunan populasi yaitu faktor eksternal dari luar kawasan dan faktor internal dari dalam kawasan konservasi. Penurunan populasi disebabkan oleh faktor alami maupun faktor manusia yang terjadi di lingkungan darat maupun di lingkungan laut. Sebagai contoh kehilangan habitat bertelur, perusakan sarang oleh predator, perubahan iklim global yang mempengaruhi sukses penetasan telur penyu (Hitipeuw et al. 2007). Ancaman di lingkungan laut seperti perburuan induk penyu dan tingginya tangkapan sampingan (bycatch), pencemaran dimana penyu laut mengkonsumsi berbagai sampah seperti kantong plastik tal balls dan balon serta pengaruh lainnya. Ancaman lain yang beresiko tinggi dan berdampak kematian pada penyu adalah perikanan skala besar dengan alat tangkap seperti pukat harimau (trawl), perikanan tuna dengan alat tangkap rawai, perikanan hiu, sampai perikanan skala kecil atau perikanan tradisional.
Dutton et al 2005 Sarti et al 1996 Pit-tag 2003-2011
3500
Jumlah Penyu Belimbing
3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1985
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
2011
Gambar 21. Populasi penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi 1984-2011 (Hitipeuw et al. 2007 dan Tapilatu et al. in prep).
700 Variable Dutton et al 2005 Sarti et al 1996 Pit-tag 2003-2011
Jumlah Penyu Belimbing
600
500
400
300
200 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 22. Populasi penyu belimbing di Pantai Wermon 2003-2011 (Hitipeuw et al. 2007 dan Tapilatu et al. in prep)
5.2.5 Status Konservasi Wibowo (2007) menyatakan status konservasi suatu spesies merupakan indikator penting dalam menentukan kelangsungan hidup spesies pada saat ini hingga dimasa datang. Tidak mudah untuk mengetahui status konservasi suatu spesies, karena harus melakukan penelitian secara menyeluruh tentang peningkatan maupun penurunan pertumbuhan populasi disepanjang waktu, tingkat keberhasilan kawin dan berbagai ancaman yang mempengaruhi populasi spesies tersebut. IUCN (2003) in Wibowo (2007), menginventarisasi status konservasi seluruh tumbuhan dan hewan melalui pembentukan IUCN Red List of Threatened Spesies tahun 1963 salah satunya adalah penyu belimbing. IUCN Red List merupakan ukuran yang tepat untuk mengevaluasi resiko kepunahan ribuan spesies dan sub spesies. Status konservasi penyu belimbing adalah status terancam yang dikeluarkan oleh The World Conservation Union (Ballie dan Grommbrigde 1996 in Wibowo 2007). IUCN dalam daftar buku merah memberikan status kepada penyu belimbing adalah terancam kritis (Critical endangered), sementara dalam Convention on International Trade in Endangered Spesies Wild Fauna and Flora (CITES) penyu belimbing termasuk dalam Apendix I; Born Convention juga mendaftarkan penyu belimbing kedalam Apendix I, II (Hykle 1999 in Wibowo 2007). Secara jelas pengklasifikasian status penyu belimbing terlihat pada Tabel 21. 5.2.6 Ancaman Kepunahan Populasi Keseluruhan isu tentang perubahan lingkungan saat ini mengarah pada kepunahan spesies (Wilson 1980). Pendapat sama menyatakan kehidupan suatu spesies akan berubah dalam kurun waktu tertentu karena adanya perubahan sehingga adaptasi diperlukan untuk bertahan terhadap perubahan (Harding 1998 in Wibowo 2007). Tetapi ketika perubahan besar dan berlangsung dalam rentang waktu singkat maka spesies tidak mampu beradaptasi terhadap proses reproduksi dan pada akhirnya mengalami kepunahan. Kepunahan spesies diartikan sebagai hilangnya suatu spesies dari muka bumi untuk selamanya. Kepunahan secara massal telah terjadi dimana 40% hingga 95% spesies hewan dan tumbuhan telah hilang dari bumi dan setiap tahun diperkirakan 10 hingga 20 spesies telah punah.
Tabel 21. Kriteria keterancaman terhadap penyu belimbing Konvensi Status Uraian IUCN (Keterancaman Critical Spesies yang berpeluang ekologi) Endangred tinggi untuk punah dalam waktu dekat CITES (keterancaman Apendix I jenis yang terancam punah, perdagangan) peredaran komersil dilarang. CMS atau Bonn Apendix I dan II Jenis terancam punah (I) Convention (Keterancaman Jenis belum terancam punah berdasarkan sifat migrasi) namun status konservasinya kurang baik sehingga membutuhkan perjanjian internasional bagi konservasi dan pengelolaannya, serta jenis lain dengan status konservasinya dapat terbantu secara signifikan apabila dilakukan kerjasama internasional melalui suatu perjanjian (II) Wilson (1980) menyatakan bahwa peningkatan kepunahan spesies pada abad ini telah diketahui dan sebagian besar penyebabnya karena aktivitas manusia, kerusakan habitat dan pengenalan spesies baru kedalam suatu kawasan. Ancaman kepunahan penyu belimbing sama seperti yang dialami spesies penyu laut lainnya dimana manusia adalah ancaman utama yang memberi tekanan sepanjang hidup penyu dari telur hingga penyu dewasa. Ancaman lain terhadap kehidupan populasi penyu adalah perubahan lingkungan dan iklim yang berlangsung secara global dan berdampak pada penurunan habitat dan ekosistem. Ancaman terhadap penurunan populasi penyu belimbing baik populasi dewasa maupun juvenil di Jamursba Medi dan Wermon disebabkan oleh beberapa faktor seperti perubahan suhu pasir, penurunan habitat persarangan, predasi telur, perburuan individu dewasa, pengambilan telur dan perikanan komersil (Hitipeuw et al. 2007). Faktor predasi terhadap telur oleh predator seperti babi hutan, anjing, biawak dan kepiting menjadi penyebab gagalnya sukses penetasan pada sarangsarang alami selain faktor suhu pasir yang ekstrim dan pengambilan telur oleh masyarakat. Stark (1993) menyatakan predasi sarang penyu belimbing di pantai Jamursba Medi yang dilakukan anjing sebanyak 181 sarang dari 1300 sarang atau sekitar 14% pada bulan Juli sampai september 1993. Selanjutnya Tapilatu et al.
(2007) menyatakan laju predasi sarang mencapai 29.3% dalam periode waktu satu bulan (juni-juli) dengan jumlah sarang terpredasi sebanyak 29 sarang di pantai Wembrak Jamursba Medi. Observasi lain menunjukkan adanya aktivitas predasi yang ekstensif oleh babi hutan dan anjing dari bulan september sampai oktober di pantai Warmamedi. Abrasi pantai peneluran teridentifikasi menjadi salah satu ancaman penurunan habitat persarangan di pantai peneluran. Pantai Jamursba Medi dan Wermon mengalami abrasi dan akresi musiman setiap musim monsun barat laut. Monsun barat laut ditandai dengan gelombang tinggi menyebabkan sarang-sarang dirusak ombak sampai terlihat telur di pantai. Kondisi ini biasanya ditemukan pada bulan Agustus sampai Oktober (Tapilatu et al. 2007). Pola pantai akan berbeda ketika musim teduh. Kondisi ini terlihat sekitar bulan April dimana terjadi penambahan pasir dari laut yang ditandai dengan peningkatan induk yang bertelur dipantai. Indikator lain penyebab terjadi abrasi dan akresi pada pantai peneluran adalah aktivitas penebangan dan pembuatan jalan penghubung antar kota dan kampung. Aktivitas penebangan untuk tujuan pembangunan basecamp menyebabkan adanya pembukaan lahan di hulu sungai dan berdampak adanya banjir dan erosi. Aliran runoff menyebabkan banyaknya kayu terdampar di pantai peneluran dan menghalagi induk penyu yang akan melakukan peneluran. Putrawijaya (2000) in Hitipeuw et al. (2007) menyatakan bahwa aktivitas penebangan kayu dan transportasi pengangkutan di sungai menyebabkan erosi pada habitat peneluran di Jamursba Medi yang hanya berjarak 5 km dari lokasi penebangan. Aktivitas pembukaan lahan sebagai penghubung jalan antar kampung menyebabkan adanya fragmentasi habitat dan penurunan ekosistem daratan yang juga mempengaruhi ekosistem pantai dan laut. Ancaman lainnya adalah pengambilan telur penyu oleh masyarakat. Pengambilan telur secara luas dilakukan oleh masyarakat yang bermukim pada daerah yang berdekatan dengan pantai peneluran (Kinch et al. 2009). Pengambilan telur termasuk salah satu ancaman penurunan populasi juvenil penyu (tukik). Kebiasaan ini dilakukan dalam kurun waktu yang lama sebelum penyu dilindungi sehingga menurun sampai saat ini dan berdampak kepada penurunan jumlah individu baru penyu (recruitmen).
Perburuan individu dewasa oleh masyarakat terklasifikasi sebagai pemanfaatan langsung sumberdaya penyu yang beresiko signifikan mempengaruhi populasi. Aktivitas ini terjadi hampir disemua negara (Thorbjarnarson et al. 2000 in Champbell 1996) seperti Amerika Serikat meliputi Florida, Georgia, Lousiana, Mississippi, North California, Texas dan Virginia), Pesisir Atlantik, Ecuador, Peru, Madagaskar, Seychelles, Indis, Srilanka, Jepang, dan Indonesia. Perburuan di Indonesia dalam skala besar terjadi di kepulauan Kei Maluku (Suarez dan Starbird 1996) karena keterkaitan adat istiadat terhadap perburuan menyebabkan tidak adanya larangan. Lawalata et al (2006) menyatakan bahwa tingkat perburuan masyarakat Kei terbilang tinggi mencapai 78% dengan jumlah penyu belimbing yang tertangkap berkisar antara 1-10 ekor dalam periode Juni-Oktober 2006. Lebih lanjut, terlihat adanya peningkatan jumlah tangkapan Penyu Belimbing periode tahun 2007-2009 yaitu sekitar 82 ekor pada musim 2006/2007, jumlah tangkapan menurun menjadi 16 ekor pada musim 2007/2008, dan pada musim 2008/2009 sekitar 48 ekor yang tertangkap oleh masyarakat Kei (WWF 2008). Kondisi ini menunjukkan bahwa ancaman perburuan sangat signifikan mempengaruhi penurunan populasi Penyu Belimbing dewasa. Ancaman lain terhadap penurunan populasi penyu belimbing yaitu tangkapan sampingan dari aktivitas perikanan yang terklasifikasi sebagai pemanfaatan tidak langsung. Perikanan komersil dalam skala besar seperti tuna dan udang telah menjadi ancaman terbesar bagi penyu karena tingginya tangkapan sampingan. Fakta ini menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan tuna dan udang berpotensi menyebabkan penurunan populasi penyu belimbing terutama pada fase bermigrasi baik di peraiaran samudra maupun di perairan Indonesia. Meskipun sejauh ini, belum ada data dan informasi yang akurat tentang tertangkapnya penyu akibat perikanan di Indonesia, akan tetapi data tentang tertangkapnya penyu sebagai tangkap sampingan dari kegiatan rawai tuna telah dilaporkan dibeberapa perairan di kawasan lain seperti di laut Mediterania sekitar 20.000 ekor penyu tertangkap tuna rawai tuna setiap tahunnya, di Vietnam sekitar 4.000 ekor penyu per tahun dan di Australia sekitar 400 ekor penyu per tahun (Zainudin et al. 2006)
5.2.7 Perdagangan dan Pemanfaatan ProFauna (2005) in Wibowo (2007) melaporkan bahwa eksploitasi penyu belimbing di Indonesia masih berlangsung hingga kini. Dalam laporannya ProFauna menyatakan bahwa perdagangan penyu dan bagian bagian tubuhnya dijumpai di Pulau Jawa. Selama bulan Januari sampai April 2005, ProFauna mencatat tentang jenis, jumlah, harga dan asal penyu yang diperdagangkan dienam lokasi pantai Selatan P. Jawa, antara lain: Pantai Teluk Penyu Cilacap (Jawa Tengah), Pantai Puger Banyuwangi (Jawa Timur), Pantai Pangandaran (Jawa Barat), Pantai Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Pantai Pangumbahan Sukabumi (Jawa Barat), dan Pantai Samas (Yogyakarta). Konsumsi terhadap penyu belimbing terjadi di Kepulauan Kei Maluku terjadi dalam skala besar yang ditandai tingginya jumlah tangkapan individu dewasa permusim (WWF 2007). Tujuan perburuan masyarakat Kei bervariasi mulai dari konsumsi keluarga sampai perayaan hari besar keagamaan dan adat. Lawalata et al. (2004) mengestimasi bahwa dalam 1 tahun (musim 2003/2004) masyarakat menangkap sebanyak 29 ekor penyu belimbing dengan jumlah jantan 9 ekor dan 20 ekor betina untuk dikonsumsi oleh masyarakat dari 7 kampung di Kepulauan Kei seperti ditampilkan pada Gambar 21. 14
Jumlah Penyu Belimbing (ekor/tahun)
12 10 8 6
4 2 0
D.coriacea
Somlain
Ohoiderto m
Madwaar
Ohoidetut u
UR
Warnal
Ohoira
4
6
4
12
1
1
1
Gambar 23. Estimasi penangkapan penyu belimbing di perairan Kepulaun Kei Maluku Tenggara (Lawalata et al. 2004) Ekploitasi oleh masyarakat terhadap induk dan daging di perairan Kei disebabkan kondisi ekonomi keluarga, keterbatasan pengetahuan masyarakat, rendahnya
kontrol dan pengawasan yang diberikan oleh pemerintah dan lembaga konsevasi pada daerah tersebut. Alasan lainnya adalah adanya kepercayaan dari tetua adat bahwa Penyu Belimbing adalah
Hewan suci dari leluhur masyarakat Kei
Pengikat kekeluargaan masyarakat Kei
Karapas menggambarkan tujuh bagian menunjukan tujuh suku inti masyarakat Kei
Distribusi Penyu Belimbing diperairan Kei menjadi hak untuk pemanfaatan secara tradisional Eksplotasi terhadap telur dan daging juga terjadi di perairan utara Papua
mulai dari pesisir Sausapor sampai Manokwari dengan frekuensi yang relatif kecil jika dibandingkan dengan masyarakat Kei. Ini disebabkan daging penyu belimbing memiliki rasa yang tidak lezat, dibandingkan dengan Penyu Hijau. Ukuran body yang relatif besar menjadi kendala dalam menangkap, tetapi tidak menutup kemungkinan penyu belimbing tetap ditangkap apabila tidak ada hasil laut lainnya untuk dikonsumsi. Daging penyu belimbing tidak hanya dikonsumsi tetapi juga diperjualbelikan untuk peningkatan pendapatan ekonomi keluarga. Survei dipasar tradisional Manokwari ditemukan daging penyu belimbing dijual dengan harga bervariasi mulai dari Rp. 25.000,- sampai Rp. 40.000,- per tumpukan daging atau sekitar 1 kg. Selain daging, telur juga bernilai ekonomis dan banyak dibeli untuk dikonsumsi. Di pasar Sausapor telur penyu belimbing diperjualbelikan dengan harga Rp. 10.000,- per 10 butir. 5.2.8 Pengawasan dan Regulasi Program konservasi penyu di Indonesia mengacu pada dua pendekatan yaitu konservasi spesies dan konservasi habitat. Konservasi spesies bertujuan menghindari kepunahan ekologi. Pendekatan spesies mengarah pada perlindungan semua jenis penyu, melarang pemanfaatan yang tidak berkelanjutan dan bersifat komersil, meningkatkan pengelolaan populasi baik secara insitu melalui recovery (seperti penangkaran dan relokasi). Indonesia menetapkan penyu belimbing menjadi salah satu satwa yang dilindungi baik secara nasional maupun global. UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya telah mengatur pengelolaan dan perlindungan terhadap jenis satwa dan sanksinya.
Berdasarkan PP No.7 tahun 1990 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa dimana semua jenis penyu di Indonesia termasuk bagian-bagiannya ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi (Dahuri 2003). Penetapan semua perangkat hukum ini dikarenakan tingginya eksploitasi telur dan daging yang berdampak pada penurunan populasi induk dewasa dan juvenil yang tersedia di alam. Pendekatan habitat bertujuan melindungi habitat baik habitat peneluran, habitat makan dan habitat migrasi. Perlindungan habitat peneluran diarahkan pada penetapan status kawasan sehingga memudahkan dalam pengelolaan dan pengawasan. Perlindungan habitat yang telah dilakukan adalah penetapan suakamargasatwa Jamursba Medi dan sekitarnya serta Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun Tambrauw Papua Barat. Berbagai peraturan untuk melindungi penyu laut telah disepakati dan sampai saat ini tercatat sembilan peraturan untuk konservasi penyu laut. Beberapa regulasi tentang perlindungan penyu ditampilkan pada Tabel 22. Tabel 22. Regulasi konservasi penyu laut di Indonesia Regulasi/Kebijakan Keputusan Presiden No.43
Tahun 1997
Kepmen Pertanian No.327
1978
Kepmen Pertanian No.716
1980
UU No.4
1992
Keputusan Presiden No.26
1986
Keputusan Presiden No.32
1990
UU No.5 Peraturan Pemerintah No.7
1994 1999
Keterangan Ratifikasi konvesi internasional Trade In Endangared Of Wild Flora dan Fauna (CITES) Penentuan berbagai jenis satwa liar yang dilindungi (paus, lumba-lumba, penyu) Penentuan berbagai jenis satwa liar yang dilindungi (paus, lumba-lumba, penyu hijau, penyu tempayan, penyu belimbing) Peraturan dasar pengelolaan lingkungan hidup Ratifikasi perjanjian ASEAN tentang konservasi sumberdaya alam Konservasi Sumberdaya hayati dan ekosistemnya Ratifikasi konvensi biodiversitas Perlindungan semua jenis penyu
Pengawasan internasional menetapkan bahwa semua jenis Penyu telah dikategorikan sebagai satwa langka dan dilindungi dalam Red Data Book IUCN, Apendix I CITES (Tabel 21) dimana penyu merupakan jenis satwa terancam punah sehingga dilarang diperjualbelikan dan pengaturan perdagangannya harus berdasarkan prosedur CITES. Berdasarkan sifat migrasi, Penyu Belimbing juga
termasuk dalam Apendix I dan II daftar CMS karena status populasi yang terancam. 5.2.9 Penilaian Non Detrimental Finding Penyu Belimbing Perdagangan internasional jenis flora dan fauna diatur melalui suatu konveksi internasional yang disebut dengan Convention on Internasional Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora menjamin keberlanjutan populasi flora dan fauna di habitat alam. Indonesia meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 14 tahun 1978 artinya Indonesia mengikuti aturan dalam konveksi tersebut secara efektif. Salah satu isi dari konveksi terkait dengan perdagangan satwa yang masuk dalam daftar Appendix I yaitu artikel IV yang menyatakan bahwa pengambilan dan perdagangan internasional terhadap suatu spesies tidak akan merusak populasi di alam atau dengan istilah non detrimental finding. Panduan pelaksanaan non detrimental finding dikompilasi oleh Rosser and Haywood (2002) in Oktoviani et al. (2008) . Pelaksanaan non detrimental finding di Indonesia dilakukan oleh Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas keilmuan (Scientific authority) CITES. Komponen utama non detrimental finding dalam menelaah suatu spesies yang ditangkap dari alam berdasarkan sifat biologis, status nasional, pengelolaan penangkapan, kontrol penangkapan, pemantauan
penangkapan,
insentif
dan
keuntungan
penangkapan
serta
perlindungan dari penangkapan (Prijono 2005 in Oktoviani et al. 2008). Baik buruk pelaksanaan non detrimental finding untuk suatu spesies digambarkan dalam radar yang menghubungkan nilai nilai dari unsur non detrimental finding. Radar plot yang semakin menjauhi titik pusat menggambarkan pelaksanaan non detrimental finding yang buruk. Penerapan non detrimental finding pada penyu belimbing dilakukan dengan menganalisis 25 unsur dimana hasil penilaian penyu belimbing dijelaskan seperti pada Gambar 24. Pertimbangan sebagai landasan dalam penilaian untuk 25 unsur non detrimental finding mengacu pada hasil penelitian terdahulu sampai dengan saat ini. Penilaian NDF dijabarkan secara detail berdasarkan sistem ranking dengan mengacu pada lima penilaian utama yaitu aspek biologi penyu belimbing, aspek status populasi, aspek perdagangan dan pemanfaatan, aspek pengawasan dan
peraturan. Aspek biologis dan karakteristik terlihat bahwa siklus hidup penyu belimbing memiliki rentang waktu yang panjang dengan reproduksi tinggi sebanding dengan laju mortalitas tinggi. Waktu yang dibutuhkan penyu mencapai usia muda sampai pada matang kelamin adalah 20 tahun. Penyu belimbing memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan seperti kemampuan renang dan menyelam untuk menjangkau perairan dalam dan perairan dangkal. Distribusi selama bertelur di Jamursba Medi dan Wermon diketahui meliputi pesisir Utara Papua dengan distribusi habitat di pantai Utara Papua, Taman Nasional Teluk Cendrawasih Wasior, Kepulauan Rajampat dan Kepulauan Kei Maluku Tenggara. Populasi di Jamursba Medi dan Wermon memiliki areal migrasi yang relatif luas sampai mencapai perairan Monterbay California. Interaksi antara penyu belimbing dengan
manusia
bukanlah
hubungan
mutualisme
melainkan
hubungan
komensalisme karena manusia berperan sebagai predator. Aspek status populasi menunjukkan bahwa ancaman penurunan populasi adalah degradasi habitat peneluran, perubahan iklim yang mempengaruhi persentasi sukses penetasan, ekploitasi telur dan daging, perikanan komersil yang menyebabkan banyaknya tangkapan sampingan. Tingginya tangkapan sampingan disebabkan penggunaan alat tangkap dari perikanan skala besar yang biasanya tidak selektif sehingga beresiko tertangkapnya penyu belimbing. Dampak dari tangkapan dan pemanfaatan tradisional adalah penurunan populasi spesies dewasa yang mengarah pada kepunahan. Rencana pengelolaan yang sudah dilakukan adalah perlindungan habitat dengan penetapan status kawasan Suaka Margasatwa Jamursba Medi dan penetapan KKLD Abun. Adanya penetapan status kawasan mengakomodir penelitian tentang populasi penyu belimbing oleh pemerintah (BBKSDA dan DKP) bahkan lembaga konservasi internasional seperti WWF Indonesia, Universitas Negeri Papua, NOAA Fisheries dan Yayasan Alam Lestari Indonesia. Tujuan pengelolaan mengarah pada perlindungan spesies dan perlindungan habitat. Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan peningkatan proporsi populasi penyu belimbing dialam yang saat ini mengalami penurunan. Untuk meningkatkan proporsi populasi maka diperlukan metode pemantauan terhadap ancaman utama seperti penangkapan baik penangkapan langsung maupun penangkapan tidak langsung. Pengaruh internal dari masyarakat
digambarkan adanya konflik baik hak ulayat pada habitat peneluran dan konflik pemanfaatan sumberdaya penyu. Lembaga pengelola yang berperan mengelola kawasan merupakan tanggungjawab semua stakehoder seperti masyarakat, pemerintah pusat (BKSDA) dan pemerintah daerah (DKP) dan lembaga konservasi internasional yang bersepakat untuk melakukan kolaborasi program dengan cakupan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Hasil analisis radar plot dalam penilaian non detrimental finding pada Gambar 24 memperlihatkan bahwa daerah yang berwarna menjauhi titik pusat menunjukan pemanfaatan terhadap penyu belimbing tidak mengarah pada jaminan terhadap kelestarian populasi di alam. Kondisi ini semakin kritis mengingat siklus hidup penyu belimbing dengan tingkat reproduksi tinggi, mortalitas tinggi dan masa hidup yang panjang menyebabkan rendahnya jumlah individu dewasa yang bisa mencapai umur dewasa. Selain biologi, status dari penyu belimbing yang termasuk dalam critical endangared yang tidak didukung oleh unsur lain menyebabkan perlu ada penanganan secara kontinue.
Gambar 24. Penilaian non detrimental finding status pemanfaatan penyu belimbing di Tambrauw Papua Barat.
5.3
Keadaan Sosial Antropogenik
5.3.1 Analisis Responden Masyarakat yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terkait langsung dengan pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing. Jumlah responden dari enam kampung adalah 185 Kepala Keluarga (KK) terdiri dari 41 KK untuk kategori pengambil telur, 53 KK untuk kategori konsumsi telur, 38 KK untuk penangkap penyu dan 53 KK untuk konsumsi daging penyu belimbing. Responden kunci pengambil kebijakan terambil 5 orang yang berasal dari instansi teknis lingkup pemerintah Kabupaten Tambrauw. Responden kunci terdiri atas Kepala Bidang Perikanan dan Kelautan Tambrauw, Kepala Distrik Sausapor, Kepala Distrik Abun, Kepala Bidang Lingkungan Hidup Tambrauw dan Kepala BKSDA II Papua Barat.
(a). Tingkat pendidikan
(c) Jenis pekerjaan
(b).Usia
(d). Asal daerah
Gambar 25. Hasil analisis responden di pesisir KKLD Abun Tambrauw
Berdasarkan hasil analisis kuesioner terhadap 185 responden diketahui karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan, usia, jenis pekerjaan dan asal daerah seperti terlihat pada Gambar 25. Berdasarkan tingkat pendidikan, persentase responden yang memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing di pantai Jamursba Medi dan Wemon adalah 37% untuk Sekolah Dasar (SD), diikuti SMA sebesar 34%, SMP sebesar 19% dan paling rendah Perguruang Tinggi (PT) seperti D3 dan D2 sebesar 10%. Selanjutnya berdasarkan tingkat usia, sejumlah responden yang memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing memiliki kisaran usia dari 20 - 35 tahun sebesar 52%, diikuti 30 - 50 tahun sebesar 36 - 50 tahun, sebesar 18% berusia 51 - 65 tahun, >65 tahun sebesar 5% dan yang terendah adalah >15 tahun sebesar 4%. Berdasarkan jenis pekerjaan, responden yang memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing bermatapencaharian petani atau nelayan sebesar 82%, PNS sebesar 9% dan pedagang sebesar 9%. Selanjutnya berdasarkan asal daerah responden diketahui persentase terbesar adalah berasal dari suku Abun 30%, diikuti suku Meyah-Kebar sebesar 26%, suku Biak sebesar 22%, sementara suku Serui dan pendatang memiliki nilai persentase yang sama yaitu 11%. 5.3.2 Responden Pengambil Telur Pengumpul telur dari pantai peneluran didominasi oleh kaum lelaki yang merupakan penduduk yang mendiami pesisir utara Papua terdiri dari suku Abun, suku Meyah-Kebar, suku Biak dan suku Serui serta beberapa suku pendatang. Hasil survei terlihat bahwa jumlah responden pengambil telur tertinggi yaitu pada frekuesni 1-2 sarang dengan persentase 68%, diikuti 13% untuk frekuensi 3 - 4 sarang ditiap musim. Secara jelas jumlah pengambilan telur tersaji pada Tabel 23. Tabel 23. Jumlah responden pengambil telur Penyu Belimbing berdasakan jumlah sarang per satu periode musim peneluran. No Jumlah Sarang Jumlah responden Persentase (%) (musim) 1 1-2 28 68.29 2 3-4 13 31.71 3 5-6 0 4 >7 0 Jumlah 41 100.00 Sumber : Data Primer (2012)
Pengambilan telur penyu belimbing telah dilakukan sejak lama (10-15 tahun terakhir) dan aktivitas ini menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat yang berdekatan dengan pantai peneluran. Dari 41 responden pengambil telur, berdasarkan tingkat pendidikan diketahui 17 orang responden diantaranya tamatan SD, 9 orang tamatan SMP, 12 orang tamatan SMA dan 3 orang tamatan D2. Usia responden terlihat bahwa 16 responden berusia 2035 tahun, 14 responden berusia 36-50 tahun, 9 responden berusia 51-65 tahun dan >65 tahun sebanyak 2 responden. Responden kelompok pendidikan pada tingkat SD sampai Perguruan tinggi mendominasi untuk pengambilan sarang telur pada frekuensi 1-2 dan 3-4 sarang. Pada frekuensi pengambilan 1-2 sarang pada tingkat SD sebanyak 11 responden, diikuti SMA sebanyak 8 responden, SMP sebanyak 7 responden dan terendah pada tingkat perguruan tinggi sebanyak 2 responden. Selanjutnya untuk frekuensi 3-4 sarang terlihat bahwa responden yang berpendidikan SD masih mendominasi sebanyak 6 responden, SMA sebanyak 4 responden, SMP sebanyak 2 responden dan Perguruan tinggi sebanyak 1 responden.
Responden
kelompok
usia
menunjukkan
usia
20-35
tahun
mendominasi frekuensi Pengambilan telur 1-2 sarang sebanyak
10 responden, 36-50 tahun
sebanyak 9 responden, 51-65 tahun sebanyak 5 responden dan >65 tahun sebanyak 2 responden. Selanjutnya untuk frekuensi 3-4 sarang juga didominasi oleh usia 20-35 tahun sebanyak 6 responden, 30-50 tahun sebanyak 5 responden
2.5
2.5
2
2
y = 0.0696x + 1.1905 R² = 0.0255
1.5 1
KP
0.5
Linear (KP) 0
0
1
2
3
4
5
Frekuensi Pengambilan Telur (Sarang)
Frekuensi Pengambilan Telur (sarang)
dan 51-65 tahun sebanyak 4 responden.
y = -0.0174x + 1.3991 R² = 0.0012
1.5
1 KU
0.5
Linear (KU)
0 0
1
Kelompok Pendidikan
2 3 Kelompok Usia
4
5
Gambar 26. Laju pengambilan telur berdasarkan tingkat pendidikan dan usia responden. Kelompok pendidikan 1(SD), 2(SMP), 3(SMA), 4(PT). Kelompok usia 1(20-35), 2(36-50),3(51-65), 4(>65). Frekuensi 1(1-2 sarang), 2(3-4sarang),3(5-6 sarang),4(>7sarang)
Gambar 26 terlihat dua trend atau kecenderungan berbeda antara kelompok pendidikan dan kelompok usia. Kelompok pendidikan menggambarkan kecenderungan peningkatan pada frekuensi pengambilan telur yang terindikasi berdasarkan garis trend regresi. Adanya peningkatan kecenderungan pengambilan telur sejalan dengan tingginya pendidikan masyarakat menjelaskan bahwa tingkat pendidikan masyarakat tidak memberikan perubahan perilaku masyarakat untuk tidak memanfaatkan telur. Kondisi ini disebabkan karena pengambilan telur merupakan kebiasaan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga setinggi apapun tingkat pendidikan masyarakat tidak mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam memanfaatakan sumberdaya. Kelompok usia menunjukkan adanya kecenderungan penurunan dimana semakin tua usia maka semakin rendah frekuensi pengambilan telur yang terindikasi berdasarkan garis trend regresi. Adanya penurunan pengambilan telur sejalan dengan usia dimana semakin tua (umur tidak produktif) maka semakin kurang tenaga sehingga aktivitas seperti pengambilan telur akan jarang dilakukan. Sebaliknya pada pelaku yang berusia muda (umur produkti 20 - 35 tahun) melakukan pengambilan telur pada frekuensi tinggi dengan jumlah sarang yang banyak. Ini disebabkan, pada umur produktif dengan status sosial yang sudah berumahtangga mengharuskan tambahan tanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Faktor lain menyatakan bahwa pola hidup masyarakat Papua yang bersifat extended family artinya bekerja untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga dalam skala besar mengharuskan lelaki dewasa umur produktif memiliki beban kerja cenderung besar dibanding lelaki berusia tua. Hasil analisis regresi berganda variabel pendidikan dan usia secara simultan menunjukkan hasil nilai F adalah 6,40 dengan signifikasi 0,004 atau lebih besar dari 0,001 (1%) yang menunjukkan bahwa faktor pendidikan dan usia tidak berpengaruh terhadap perilaku pengambilan telur. Hasil R2=25% menunjukkan variabel bebas pendidikan dan usia tidak memiliki keeratan hubungan dengan variabel pengambil telur. 25% variasi perilaku pengambilan telur dipengaruhi oleh model pendidikan dan usia, sementara 21.3% dipengaruhi variabel lainnya. Berdasarkan uji parsial melalui analisis regresi diperoleh model pendidikan (X1) menunjukkan koefisien sebesar 0,4155 terhadap perilaku
pengambilan telur dengan signifikansi 0,004. Hal ini menjelaskan bahwa secara signifikan (0,004) model pendidikan mempengaruhi perilaku pengambil telur dan bernilai negatif, dimana semakin tinggi tingkatan pendidikan akan menurunkan frekuensi pengambilan telur sebesar 0,4155 sarang begitupun sebaliknya. Selanjutnya untuk variabel dari model usia pada selang kepercayaan 0,047 menunjukkan bahwa secara signifikan usia mempengaruhi perilaku pengambilan telur dan bernilai negatif dimana semakin tinggi tingkatan usia akan menurunkan frekuensi pengambilan telur. Lampiran 8 pada plot uji normalitas menjelaskan tentang respon dari pengambil telur yang menunjukkan adanya kenormalan data yang berupa garis lurus linear maka penyebaran data secara normal terpenuhi dan model ini layak untuk memperkirakan hubungan pengambilan telur berdasarkan variabel pendidikan dan usia. Lampiran 8 pada plot residual dengan pendugaan Y menjelaskan pola hubungan pengambil telur terhadap pendidikan dan usia mebentuk pola acak dan tidak membentuk suatu pola tertentu dan menyebar diatas maupun dibawah angka pada angka 0 pada sumbu Y sehingga model ini dikatakan tepat atau dapat dipakai untuk menilai perilaku pengambilan telur berdasarkan masukan dari pendidikan maupun usia. 5.3.3 Responden Konsumen Telur Masyarakat yang mendiami pesisir utara KKLD Abun adalah pelaku konsumen telur penyu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentasi konsumsi terbesar oleh masyarakat adalah 30.19% dengan frekuensi konsumsi 0 - 20 butir dan 55 - 100 butir, diikuti 16% untuk frekuensi konsumsi 110 - 200 butir dan 13.12% untuk frekuensi 25 - 50 butir. Secara jelas persentase konsumsi telur ditampilkan pada Tabel 24. Tabel 24. Jumlah responden konsumsi telur penyu belimbing berdasarkan jumlah telur per satu periode musim peneluran. No Jumlah telur Jumlah responden Persentase (%) (butir/kk/musim) 1 0-20 16 30.19 2 25-50 7 13.12 3 55-100 16 30.19 4 110-200 14 26.42 Jumlah 53 100.00 Sumber : Data Primer (2012)
Masyarakat pesisir KKLD Abun menjadikan telur sebagai alah satu makanan alternatif pengganti ikan dan daging. Kebiasaan konsumsi telur telah dilakukan sejak lama dan sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun. Laju konsumsi telur oleh masyarakat terklasifikasi berdasarkan tingkat pendidikan dan usia responden. Berdasarkan tingkat pendidikan diketahui 22 responden berpendidikan SD, SMP 9 responden, 12 responden berpendidikan SMA dan 10 responden setingkat perguruan tinggi. Berdasarkan usia terlihat bawa 25 responden berusia 20 - 35 tahun, 13 responden berusia 36 - 50 tahun, 7 responden berusia 51-65 tahun dan 1 responden berusia >65 tahun. Survei pada Gambar 27 menyatakan laju konsumsi telur berdasarkan tingkat pendidikan yaitu tingkatan SD mendominasi sebanyak 8 responden untuk frekuensi 110 - 200 butir, 6 responden untuk frekuensi 1 - 20 butir dan 2 responden untuk frekuensi 25 - 50 butir. Kelompok responden setingkat SMA sebanyak 5 responden untuk frekuensi 55 - 100 telur, 4 responden mengkonsumsi 1 - 20 butir dan 3 responden mengkonsumsi 25 - 100 butir. Kelompok responden setingkat SMP sebanyak 4 responden untuk konsumsi 1 - 20 telur, 3 responden untuk konsumsi 50 - 100 butir dan 1 responden masing-masing untuk 25 -50 butir dan 110 - 200 butir. Selanjutnya kelompok usia didominasi oleh usia muda 20 35 tahun pada frekuensi 50 - 100 butir sebanyak 9 responden, frekuensi 1 - 20 butir sebanyak 7 responden, frekuensi 110 - 200 butir sebanyak 6 responden dan frekuensi 25 - 50 butir sebanyak 3 responden. Pada usia 36 - 50 tahun dengan frekuensi 51 - 100 butir sebanyak 6 responden, frekuensi 110 - 200 sebanyak 4 responden, frekuensi 1 - 20 sebanyak 3 responden. Usia 51 - 65 tahun pada frekuensi 25 - 50 butir sebanyak 5 responden dan usia >65 tahun pada frekuensi 55 - 100 sebanyak 1 responden. Secara rinci laju konsumsi telur berdasarkan tingkat pendidikan dan usia terdeskripsikan pada Gambar 27. Gambar 27 menunjukkan trend atau kecenderungan yang sama terhadap kelompok pendidikan maupun kelompok usia. Trend pada kelompok pendidikan menunjukkan setiap tingkatan pendidikan memiliki peluang dan dominasi yang sama dalam mengkonsumsi telur pada frekuensi 1(1 - 20 butir) sampai frekuensi 4(110 - 200 butir). Rendahnya hubungan antara tingkat pendidikan dan usia terhadap perilaku konsumsi telur disebabkan karena konsumsi telur merupakan
salah satu kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan protein tubuh tetapi juga telur merupakan salah satu makanan alternatif pengganti daging dan ikan sebagaimana dijelaskan pada variabel sebelumnya. Selain itu pola masyarakat pesisir Papua yang bersifat subsitem yang memiliki nilai memanfaatkan semua sumberdaya yang disediakan alam, karena tidak memiliki kemampuan memproduski makanan. Tidak adanya kemampuan memproduksi makanan menyebabkan laju pemanfaatan akan semakin tinggi seiring dengan peningkatan kebutuhan sehingga berdampak pada penurunan sumberdaya.
Gambar 27. Laju konsumsi telur berdasarkan tingkat pendidikan. Kelompok pendidikan 1(SD), 2(SMP), 3(SMA), 4(PT). Kelompok usia 1(20-35), 2(36-50),3(51-65), 4(>65). Frekuensi 1(0-20butir), 2(25-50butir), 3(55100butir), 4(110-200butir).
Hasil analisis simultan (uji F) adalah sebesar 0.14 menjelaskan bahwa variabel pendidikan dan usia konsumsi telur oleh masyarakat pesisir Tambrauw tidak mempengaruhi perilaku konsumsi telur dengan signifikansi atau selang kepercayaan 0.869. Model pendidikan dan usia hanya mempengaruhi perilaku konsumsi dengan variasi sebesar 0.6%. Berdasarkan (uji T) terlihat bahwa model pendidikan dan usia tidak mempengaruhi perilaku konsumsi telur. Model pendidikan dengan selang kepercayaan 0.668 menunjukkan bahwa perilaku konsumsi telur oleh masyarakat tidak dipengaruhi oleh model pendidikan. Variabel usia pada selang kepercayaan 0.727 juga menjelaskan bahwa perilaku konsumsi tidak dipengaruhi oleh usia. Kedua variabel ini menegaskan bahwa
setinggi tingkatan pendidikan ataupun usia, perilaku konsumsi telur tetap dilakukan karena aktivitas ini sudah merupakan kebiasaan masyarakat setempat. Lampiran 8 pada plot uji normalitas menjelaskan tentang respon dari konsumsi telur yang menunjukkan adanya kenormalan data terlihat pada score -50 pada sumbu X dan 50 pada sumbu Y untuk membetuk garis linear sehingga perlu dilakukan normalitas data karena beberapa data tidak terbentuk linear. Lampiran 8 pada plot residual dengan pendugaan Y menggambarkan adanya hubungan konsumsi telur terhadap pendidikan dan usia dimana terbentuknya pola acak yang terdistribusi diatas maupun dibawah angka 0 sumbu Y. Hal ini mengindikasikan bahwa model ini tepat atau dapat digunakan untuk mengestimasi hubungan perilaku konsumsi telur berdasarkan masukan dari pendidikan maupun usia. 5.3.4 Responden Penangkap Responden penangkap penyu belimbing merupakan masyarakat yang mendiami pesisir utara Papua. Seluruh responden yang melakukan aktivitas penangkapan adalah lelaki dewasa sebanyak 38 responden. Hasil menunjukkan bahwa persentase pengambilan terbanyak sebesar 57.89% pada frekuensi 1 - 2 ekor/KK/kampung/musim, diikuti 31.58% pada frekuensi 3 - 4 ekor, sebesar 7.89% pada frekuensi 7 - 8 ekor. Secara jelas persentase penangkapan ditampilkan pada Tabel 25. Tabel 25. Jumlah responden penangkap Penyu Belimbing berdasakan jumlah individu per satu periode musim. No Jumlah penyu Jumlah responden Persentase (%) (musim) 1 1-2 22 57.89 2 3.4 12 31.58 3 5-6 3 7.89 4 7-8 1 2.63 Jumlah 38 100.00 Sumber : Data Primer (2012)
Responden penangkap penyu belimbing terklasifikasi berdasarkan tingkat pendidikan dan usia. Berdasarkan tingkat pendidikan diketahui 19 responden setingkat SD, 8 responden adalah SMP, 10 responden adalah SMA dan 1 responden setingkat PT. Berdasarkan usia diketahui usia 20 - 35 tahun sebanyak 22 responden, usia 36 - 50 tahun sebanyak 14 responden, usia 51 - 65 tahun sebanyak 5 responden dan 5 responden berusia >65 tahun.
Gambar 28 menunjukkan bahwa kegiatan pemanfaatan penyu belimbing tertinggi dilakukan oleh responden berpendidikan SD untuk frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor sebanyak 10 responden, 5 responden untuk frekuensi tangkapan 3 - 4 ekor, 3 responden untuk frekuensi tangkapan 5 - 6 ekor dan 1 responden untuk frekuensi tangkapan >7ekor. Responden yang berpendidikan SMP untuk frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor dan 3 - 4 ekor sebanyak 4 responden, selanjutnya responden yang setingkat SMA untuk frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor sebanyak 7 responden, 3 responden untuk frekuensi tangkapa 3 - 4 ekor. Untuk tingkat PT terlihat hanya 1 responden pada frekuensi tangkapan 1 - 2 ekor. Kelompok usia terlihat bahwa usia muda mendominasi dalam aktivitas tangkapan pada semua frekuensi tangkapan. Hasil menunjukkan bahwa usia 20-35 pada frekuensi tangkapan 1 - 3 ekor sebanyak 15 responden, frekuensi tangkapan 4 - 6 ekor sebanyak 6 responden, frekuensi tangkapan 7-8 ekor sebanyak 1 responden. Pada usia 36 - 50 tahun pada frekuensi tangkapan 1 - 3 ekor sebanyak 10 responden, frekuensi tangkapan 4 - 6 ekor sebanyak 3 responden, dan frekuensi tangkapan 7 - 8 ekor sebanyak 1 responden. Pada usia yang lebih tua yaitu 51 - 65 tahun terlihat mengalami penurunan dimana pada frekuensi 1 - 3 ekor hanya 4 responden, 1 responden pada frekuensi tangkapan 4 - 6 ekor. Hal sama juga ditunjukkan pada usia >65 tahun pada frekuensi tangkapan 1 - 3 ekor sebanyak 3 responden, dan frekuensi tangkapan 7 - 8 ekor sebanyak 2 responden. 4.5
Frekuensi Tangkapan (ekor)
4
KP
3.5
Linear (KP)
3 2.5
2
y = -0.1987x + 1.9463 R² = 0.0741
1.5 1 0.5
0 0
1
2
3
4
5
Kelompok Pendidikan
Gambar 28. Laju tangkapan penyu belimbing berdasarkan tingkat pendidikan dan usia. Kelompok pendidikan 1(SD), 2(SMP), 3(SMA), 4(PT). Kelompok usia 1(20-35), 2(36-50),3(51-65), 4(>65). Frekuensi 1(1-2 ekor), 2(3-4 ekor),3(5-6 sarang),4(7-8 ekor)
Gambar 28 menggambarkan dua trend berbeda antara kelompok pendidikan dan kelompok usia. Kelompok pendidikan memperlihatkan trend penurunan penangkapan pada tingkatan pendidikan yang sudah tinggi seperti perguruan tinggi. Responden dengan tingkatan pendidikan rendah mendominasi dalam penangkapan penyu belimbing dikarenakan keahlian dan kemampuan intelektual yang rendah sehingga tidak ada pilihan alternatif matapencaharian. Responden berpendidikan tinggi cenderung lebih rendah menangkap karena adanya alternatif mata pencaharian lain dengan keuntungan tinggi dibandingkan dengan responden yang rata-rata tingkatan pendidikan SD sampai SMA. Kelompok usia memperlihatkan trend penurunan pada usia muda dibandingkan usia tua. Adanya perbedaan dimana usia tua lebih disebabkan pengalaman menangkap. Responden yang berusia tua cenderung memiliki pengalaman dalam hal daerah penangkapan, alat tangkap yang dipakai sampai teknik teknik penangkapan. Uji simultan (Uji F) sebesar 0,35 menjelaskan bahwa variabel pendidikan dan usia tidak mempengaruhi perilaku tangkapan penyu oleh masyarakat dengan signifikansi mencapai 0,710. 1.9% variasi perilaku tangkapan penyu dipengaruhi oleh model pendidikan dan usia. Selebihnya atau 0% dipengaruhi oleh variasi variabel lain. Secara parsial model pendidikan dan usia tidak mempengaruhi perilaku
tangkapan
penyu
oleh
masyarakat.
Model
pendidikan
tidak
mempengaruhi perilaku tangkapan penyu pada signifikasi 0,436 dan memberi nilai negatif yang artinya adanya peningkatan tingkatan pendidikan menurunkan frekuensi tangkapan sebesar 0,2191 ekor/musim, begitupun sebaliknya. Model usia pada signifikansi 0,969 tidak mempengaruhi perilaku tangkapan dan bernilai negatif yang artinya semakin meningkat tinggi tingkatan usia maka semakin rendah perilaku tangkapan sebesar 0,0105 ekor. Plot uji normalitas (Lampiran 8) pada perilaku tangkapan penyu menunjukkan ketidaknormalitas data terlihat pada skore (-2) pada sumbu X dan (10) pada sumbu Y selebihnya data terbentuk linear. Lampiran 8 pada plot residual terisitribusi secara acak diatas maupun dibawah angka 0 sumbu Y dan membetuk beberapa pola.
5.3.5 Responden Konsumsi Daging Konsumsi daging menjadi salah satu tujuan yang ingin diketahui dalam penelitian ini. Konsumsi daging yang digambarkan dalam penelitian ini memiliki nilai tertinggi pada frekuensi 1 - 3 kg sebesar 60.39%, diikuti 4 - 6 kg sebesar 32.08%, dan frekuensi konsumsi 7 - 8 kg mencapai 7.55%.
Secara jelas
persentase konsumsi daging ditampilkan dalam Tabel 26. Tabel 26. Jumlah responden konsumsi Penyu Belimbing berdasakan jumlah kilogram yang dikonsumsi per musim. No Jumlah telur Jumlah responden Persentase (musim) (%) 1 1-3 32 60.39 2 4-6 17 32.08 3 7-8 4 7.55 4 9-11 0 Jumlah 53 100.00 Sumber : Data Primer (2012)
Total responden konsumsi daging adalah 52 (KK) yang diketahui berdasarkan tingkat pendidikan yaitu 21 KK tamatan SD, 9 tamatan SMP, 17 tamatan SMA dan sarjana 6 orang. Sementara untuk usia sebanyak 22 responden berusia 20 - 35 tahun, 14 responden berusia 35 - 50 tahun, 5 responden berusia 51 - 65 tahun dan >6 tahun sebanyak 5 responden. Hasil
menunjukkan
bahwa
kelompok
pendidikan
setingkat
SD
mendominasi konsumsi daging pada frekuensi 1 - 3 kg sampai 7 - 8 kg mencapai 21 responden, responden setingkat SMP sebanyak 9 responden, responden setingkat SMA sebanyak 17 responden dan setingkat Perguruan tinggi sebanyak 13 responden. Selanjutnya kelompok usia memperlihatkan konsumsi daging didominasi oleh usia muda 20 - 35 tahun sebanyak 15 responden untuk frekuensi konsumsi 1 - 3 kg, 6 responden untuk frekuensi konsumsi 4 - 6 kg, dan 1 responden untuk frekuensi konsumsi 7 - 8 kg. Selanjutnya usia 31 - 50 tahun pada frekuensi konsumsi 1 - 3 kg sebanyak 10 responden, 3 responden untuk frekuensi konsumsi 4 - 6 kg dan 1 responden untuk frekuensi konsumsi 7 - 8 kg. Selanjutnya pada usia 51 - 65 tahun sebanyak 4 dan 1 responden untuk frekuensi konsumsi 1 - 3 kg dan 4 - 6 kg. Sementara pada usia >65 tahun sebanyak 3 dan 2 responden pada frekuensi konsumsi 1 - 3 kg dan 7 - 8 kg.
Gambar 29. Laju konsumsi daging penyu belimbing berdasarkan tingkat pendidikan dan usia. Kelompok pendidikan 1(SD), 2(SMP), 3(SMA), 4(PT). Kelompok usia 1(20-35), 2(36-50),3(51-65),4(>65). Frekuensi konsumsi daging 1(1-3 kg), 2(4-6 kg),3(7-8 kg),4(9-11 kg)
Gambar 29 menjelaskan trend kelompok pendidikan menunjukkan responden setingkat SD sampai SMA mendominasi konsumsi daging dan cenderung menurun pada responden dengan pendidikan setingkat perguruan tinggi. Kelompok usia memperlihatkan trend peningkatan pada usia tua dimana konsumsi meningkat seiring dengan pertambahan usia. Kondisi ini disebabkan kebiasaan konsumsi yang terbawa sampai saat ini menyebabkan responden yang berusia tua lebih menyukai daging penyu dibandingkan responden yang berusia muda yang lebih selektif dalam memilih makanan untuk dikonsumsi. Uji varian (Uji F) sebesar 2,73 menjelaskan bahwa variabel pendidikan dan usia mempengaruhi perilaku tangkapan penyu oleh masyarakat dengan signifikansi mencapai 0,075. Variasi sebesar 9,9% dari perilaku konsumsi daging dipengaruhi oleh model pendidikan dan usia. Selebihnya atau 0,62% dipengaruhi oleh variasi variabel lain. Analisis parsial model pendidikan dan usia mempengaruhi perilaku konsumsi daging. Model pendidikan mempengaruhi perilaku tangkapan penyu pada signifikasi 0,030 dan memberi nilai negatif yang artinya adanya peningkatan tingkatan pendidikan menurunkan frekuensi konsumsi sebesar 0.6263 kg, begitupun sebaliknya. Model usia pada signifikansi 0,117 tidak mempengaruhi perilaku konsumsi dan bernilai positif yang artinya semakin
meningkat tinggi tingkatan usia maka semakin tinggi perilaku konsumsi daging sebesar 0,0105 kg. Plot uji normalitas (Lampiran 8) pada perilaku tangkapan penyu menunjukkan ketidaknormalitas data terlihat pada skore (-2) pada sumbu X dan (20) pada sumbu Y selebihnya data terbentuk linear. Lampiran 8 plot residual terisitribusi secara acak diatas maupun dibawah angka 0 sumbu Y dan membetuk tidak membentuk pola.
5.4
Indeks Kerentanan Populasi Penyu Belimbing Indeks kerentanan yang dikonstruksikan dalam penelitian ini terdiri dari
model statis untuk indeks kerentanan populasi Penyu Belimbing. Model statis adalah indeks untuk menghitung kerentanan saat ini. 5.4.1 Penentuan Bobot Variabel Kerentanan Variabel kerentanan untuk tiap dimensi kerentanan memiliki peranan atau signifikansi yang berbeda terhadap besar kecilnya nilai indek kerentanan populasi. Kaitannya dengan signifikansi suatu variabel, Rao et al. (2008) dan Daukakis (2005) memberikan bobot yang lebih tinggi dibandingkan variabel lainnya. Ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk memberikan besaran bobot pada tiap variabel seperti pemberian nilai signifikansi secara langsung, menggunakan persamaan linier dan menggunakan matriks perbandingan seperti yang dikemukakan oleh Villa and Mcleod (2002) in Tahir (2010). Dalam penelitian ini, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan matriks karena dianggap paling sesuai dalam menggambarkan peran atau signifikansi dari setiap variabel dari kerentanan populasi. Metode matriks perbandingan pada prinsipnya adalah melakukan penilaian kepentingan relatif dua elemen dengan aksioma reciprocal, artinya jika elemen i dinilai 3 kali lebih penting dibanding elemen j, maka elemen j harus sama dengan 1/3 kali pentingnya dibanding elemen i. Selain itu, perbandingan dua elemen yang sama akan menghasilkan angka 1, yang berarti peran atau signifikansinya sama pentingnya. Jika terdapat m elemen, akan diperoleh matriks pairwise comparison berukuran m x n. Banyaknya penilaian yang diperlukan dalam menyusun matriks yaitu n(n-1)/2 karena matriks reciprocal dan elemen diagonalnya sama dengan 1.
Setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari nilai eigen vectornya untuk mendapatkan local priority. Oleh karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis antara local priority. Urutan elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis dinamakan priority setting. Berdasakan pendekatan ini, bobot setiap parameter dimensi keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif ditampilkan pada Tabel 27 Tabel 27. Bobot variabel kerentanan populasi Variabel Dimensi keterpaparan Variasi suhu pasir Kenaikan muka laut x kemiringan pantai Monsun Laju Predasi Pengambilan Telur Tangkapan Masyarakat Dimensi kepekaan Suhu pasir Teksture pasir Kedalaman sarang Konsumsi telur Konsumsi daging Tangkapan sampingan Dimensi kapasitas adaptif Sarang relokasi Perlindungan habitat Pengetahuan masyarakat Potensi konflik Peranan Pemerintah
Bobot VSP (SLR) x KP M LP PT TM
0,35 0,18 0,18 0,12 0,09 0,09
SP TP KS KT KD BC
0,34 0,17 0,17 0,11 0,09 0,09
SR PH PM PK PP
0,41 0,21 0,14 0,14 0,10
5.4.2 Sistem Lingkungan 5.4.2.1 Suhu dan Variasi Suhu Pasir Suhu pasir menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan keberhasilan penetasan telur selama masa inkubasi. Tabel 28 menunjukkan rata rata suhu pasir di Pantai Jamursba Medi dan Wermon berfluktuasi dengan kisaran 27.31 0C sampai 30.83 0C tahun 2009. Berbeda dengan suhu pasir tahun 2010 yang cenderung konstan dengan kisaran 28.42 0C sampai 29.78 0C. Adanya perbedaan suhu pasir pada kedua pantai peneluran dan tahun yang berbeda disebabkan frekuensi curah hujan dan kemarau yang tidak menentu sepanjang
tahun sehingga mempengaruhi fluktuasi suhu udara suhu pasir. Selain pengaruh iklim, tipe pasir dan kedalaman sarang juga mempengaruhi fluktuasi suhu pasir. Secara jelasnya suhu pasir di pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon ditampilkan pada Tabel 28. Tabel 28. Suhu Pasir pada plot pengamatan di Pantai Jamursba Medi dan Wermon 2009/2010 Jamurba Medi (April-Oktober) dan Wermon (NovemberMaret) Pantai Peneluran 2009 2010 0 Rata±SD (min-max) ( C) Rata±SD (min-max) (0C) Jamursba Medi 30.44±1.22(24.54-34.57) 29.78±1.10(26.60-33.75) Wembrak 30.83±1.68(24.47-33.56) 29.94±1.12(26.08-32.89) Baturumah 29.36±1.22(24.43-33.82) 28.42±0.78(26.06-33.00) Warmamedi 27.31±1.60(24.41-33.34) 29.79±0.75(26.08-33.96) Wermon Sumber : Data primer 2012
Nilai minimum pada Tabel 28 terlihat peningkatan suhu pasir dari 24 0C menjadi 26 0C pada tahun 2009/2010. Adanya peningkatan suhu pasir ini dipengaruhi oleh peningkatan suhu global. Sebagaimana diketahui bahwa suhu global di tahun 2010 meningkat signifikan dan oleh BMG menyatakan bahwa tahun 2010 merupakan tahun dengan suhu udara terpanas. Hal yang sama juga disampaikan Trendberth et al. (2007) in Poloczanska et al. (2009) menyatakan rata-rata suhu global meningkat sekitar 0.74 0C dalam 100 tahun terakhir menjadi lebih hangat. Peningkatan suhu secara global ini mempengaruhi fluktuasi suhu pasir (Gambar 30) yang diprediksi mempengaruhi perkembangan embrio penyu bahkan proses sukses penetasan telur dan ratio seks dari tukik yang dihasilkan (Hansen et al. 2006; IPCC 2007 in Poloczanska et al. 2009 ). Gambar 30 menunjukkan variasi suhu pasir sangat berfluktuasi dan cenderung mengalami perubahan pada plot pengamatan. Suhu pasir dengan fluktuasi yang besar terlihat di pantai Baturumah dengan kisaran 22 - 34 0C. Besarnya fluktuasi suhu pasir plot dipengaruhi lingkungan plot pengamatan dan tersebut dan proporsi pasir yang berukuran sedang mencapai 24.14% lebih banyak dibandingkan ketiga pantai lainnya. Novitawati et al. (2003) menyatakan bahwa komposisi dan diameter butiran pasir berpengaruh terhadap kepadatan pasir dan porositas. Hal ini berkaitan dengan kemampuan pasir menyimpan air dan menahan laju penguapan sehingga akan mempengaruhi perubahan suhu pasir dan
suhu sarang. Suhu pasir plot ditiga pantai lainnya cenderung meningkat seperti Wembrak, Warmamedi dan Wermon berkisar antara 25 - 34 0C tetapi tidak ada perbedaan signifikan dibandingkan dengan suhu pasir plot di pantai Baturumah. 34
Suhu Pasir (0C)
32 30 28 26 24 22
1 2 3 b 1 2 3 4 5 6 1 b 2 3 4 1 2 3 4 5 6 n n n n n n Br Br Br Br 3 k k k k k k W i i 1 W i Wi Wi W W W W W W W W W `W W W W Plot pengamatan Baturumah (BR), Wembrak (Wk), Warmamedi (Wi) dan Wermon (Wn)
Gambar 30. Variasi suhu pasir di plot pengamatan Pantai Baturumah (21 April–2 Oktober 2010 ), Wembrak (22 April–1 Oktober 2010), Warmamedi (23 April-3Oktober 2010) dan Wermon (11 November 2010-31 Maret 2011). Variasi suhu pasir perbulan mempengaruhi periode inkubasi telur dalam sarang dan seksualitas tukik yang dihasilkan. Gambar 31 menyajikan variasi suhu pasir perbulan pada empat pantai selama musim peneluran. Hasil ini menjelaskan distribusi suhu pasir perbulan pada pantai Jamursba Medi dan Wermon. Variasi suhu perbulan ditiga pantai di Jamursba Medi terlihat menyebar merata dengan rata rata 28 - 29 0C tetapi menurun ketika memasuki bulan Oktober. Hal ini disebabkan pada bulan Oktober, frekuensi curah hujan cenderung tinggi terutama di Kabupaten Sorong dan sekitarnya termasuk pesisir Tambrauw. BMG (2012) menyatakan intensitas curah hujan pada bulan oktober adalah 342.8 dengan jumlah hari hujan adalah 23 hari. Variasi suhu pasir perbulan dipantai Wermon seperti Gambar 31 terlihat konstan yang berkisar antara 27 - 31 0C. Variasi suhu pasir perbulan di Jamursba Medi dan Wermon menunjukkan variasi yang berkisar antara 26 - 33 0C yang hampir sama dengan variasi suhu pasir penyu pada umumnya. Apabila dikaitkan dengan periode inkubasi maka suhu pasir dikedua pantai ini sesuai dengan suhu
masa inkubasi yang berkisar 25 - 33 0C (Miller 1985, Spotila and Standora 1985 in Fuentes et al. 2009). Data ini bisa diestimasi dimana masa inkubasi bervariasi mulai dari 60 - 85 hari. 34 33
Suhu Pasir (0C)
32 31 30 29 28 27 26
i i i i i i i k k k k k k k n n n n n BR BR BR BR BR BR BR W W W W W W W r_ e i_ n_ ul_ gt_ p_ kt _ pr_ e i_ n_ ul_ gt_ p_ kt_ r_ W i_ W n_ W l_ W t_ W p_ W t _W v _W s_ W n_ W b_ W r_ W p A M J u J A Se O A M J u J A Se O A p M e J u Ju A g Se O k No De J a F e Ma Baturumah
Warmamedi
Wembrak
Wermon
Gambar 31. Variasi Suhu Pasir di Pantai Jamursba Medi dan Wermon per bulan 2010/2011. Periode inkubasi dengan kisaran suhu perbulan maka diperkirakan proporsi seksualitas tukik yang dihasilkan akan bervariasi baik jantan maupun betina. Pada suhu pasir diatas 29 - 33 0C akan menghasilkan tukik betina sementara suhu pasir dibawah 29 - 24 0C akan menghasilkan tukik jantan, apabila suhu pasir sama dengan 29 0C selama masa inkubasi maka peluang tukik yang dihasilkan 50% untuk betina dan 50% untuk jantan (Fuentes et al. 2009). Periode inkubasi menurun seiring dengan meningkatnya suhu pasir (Bustard and Greenham1968; McGehee 1979; Miller 1982; Limpus et al. 1973 in Matsuzawa et al. 2001). Suhu pasir yang mendekati kisaran suhu tertinggi 33 0C akan menghasilkan sukses penetasan yang dicirikan dengan adanya kelainan bentuk morfologi dan kematian (Miller 1985; Spotila and Standora 1985 in Fuentes et al. 2009). 5.4.2.2 Kenaikan Muka Laut Trend kenaikan muka laut di Pesisir Utara Papua mengikuti pola linier dengan kenaikan rata-rata per tahun adalah 7.6 mm seperti pada Gambar 32 dan 33. Data terakhir dengan satelit Jason dan Altimetri ditemukan bahwa kenaikan rata rata di Indonesia berkisar antara 5 mm sampai 1 cm per tahun dengan
proporsi terbesar adalah kawasan timur Indonesia, salah satunya adalah pesisir Utara Kepala Burung. Skala dan trend kenaikan muka laut ditampilkan pada Gambar 32 dan 33. Posisi geografis Jamursba Medi dan Wermon, terletak pada 0021‟ S, 132033‟ E dan Wermon terletak 0026‟ S, 132050‟ E) yang berbatasan langsung dengan samudra Pasifik menjadikan daerah ini rentan terhadap kenaikan muka laut. Topografi Jamursba Medi yang relatif datar rata-rata kemiringan 1.037% membuat area daratan yang terendam lebih kecil dibandingkan pantai Wermon. Sedikit berbeda dengan Wermon yang relatif landai dengan kemiringan 13.64% beresiko merendam daratan pantai dalam area yang lebih besar.
Skala kenaikan muka
laut
(mm/tahun)
Gambar 32. Skala kenaikan muka laut di Pesisir Utara Kepala Burung Papua (1993-2011). (Altimetri 2012) Kenaikan muka laut diperkirakan meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun kedepan. Hasil proyeksi IPPC (2010) in Poloczanska et al. 2009 menunjukkan adanya kemungkinan kenaikan muka laut mencapai 18 - 59 cm pada tahun 2100 dan berpotensi adanya tambahan kenaikan muka laut antara 10 sampai 20 cm karena mencairnya lapisan es dan gletser (Overpeck et al. 2006; McInnes and O‟Farrell 2007; Meehl et al. 2007 in Poloczanska et al. 2009).
Gambar 33. Trend kenaikan muka laut di Pesisir Utara Papua berdasarkan Altimetri (1993-2011). Hubungan kenaikan muka laut terhadap penurunan populasi penyu belimbing adalah potensi limpasan air pada pasang tinggi terhadap sarang. Selain itu, potensi rendaman akibat kemunduran garis pantai juga mempengaruhi sarang mengakibatkan gagal menetas. Limpus et al. (2003) in Fuentes et al. (2009) menyatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir persentase sukses penetasan telur Penyu di Reine Island menurun yang diduga disebabkan oleh tingginya proporsi air dalam sarang, adanya proses geomorfik dan kenaikan muka laut diduga berperan dalam frekuensi genangan sarang. Berdasarkan teori ini, maka perlu diketahui potensi rendaman yang terjadi akibat kenaikan muka laut di pesisir utara kepala burung Papua. Potensi rendaman perlu diketahui untuk memprediksi berapa luasan pantai peneluran yang terendam dan seberapa besar resiko terhadap sarang-sarang penyu. Potensi rendaman pantai peneluran yang terjadi di Jamursba Medi dan Wermon tersaji pada Tabel 29. Tabel 29. Potensi rendaman pantai peneluran terhadap kenaikan muka laut Pantai
Lebar kelerengan (m)
Panja ng (m)
Luas (m2)
Rata kemiringan (%)
Potensi limpasan (meter)
Kemunduran garis pantai (m)
Wembrak Baturumah Warmamedi Wermon
48.5 51.87 60.48 21.71
7500 4000 5400 6000
363750 207200 326700 130260
1.25 0.95 0.93 13.64
1.088 1.840 0.929 6.494
0.0059 0.0070 0.0082 0.0006
Sumber : Data primer 2012
Empat skenario potensi rendaman berdasarkan IPCC 2010 (Fuentes et al. 2010) yang terdiri dari skenario 1.(0.18 m), skenario 2.(0.35 m), skenario 3.(0.59 m) dan skenario 4.(0.79 m) seperti pada Gambar 34.
Gambar 34. Potensi rendaman akibat kenaikan muka laut di pantai peneluran di Jamursba Medi dan Wermon berdasarkan skenario IPPC (0.18, 0.35, 0.59 dan 0.79 m/tahun) Hasil skenario pada Gambar 34 menunjukkan bahwa pantai Wermon berpotensi merendam area sebesar 0.054 - 0.24 m. Kondisi sama juga terlihat dipantai Baturumah, Wembrak dan Warmamedi berpotensi terendam dengan area rendaman cenderung kecil yaitu 0.002 - 0.018 m. Adanya perbedaan potensi rendaman pada empat pantai ini terkait dengan elevasi dan kemiringan pantai. Tabel 29 menyatakan bahwa pantai Wermon terklasifikasi landai dengan lebar pantai yang sempit menyebabkan area perendaman semakin tinggi. Potensi rendaman di pantai Warmamedi, Wembrak dan Baturumah relatif sama dimana area yang terendam cenderung kecil. Hal ini disebabkan ketiga pantai yang terklasifikasi datar dan landai menyebabkan tinggi muka laut yang merendam area daratan cenderung lebih kecil. Pengurangan area daratan akan mempengaruhi kepadatan sarang dan berpotensi meningkatkan infeksi sarang terutama sarang yang terletak dibawah batas pasang terendah (Fuentes et al. 2009). Dampak dari naiknya muka laut disebabkan oleh badai yang menyebabkan pantai peneluran akan terabrasi dan terakresi secara periodik. Kondisi ini diperkirakan mempengaruhi perkembangan telur dalam sarang dan menyebabkan kematian
embrio dalam telur karena tingginya potensial air, perubahan suhu pasir dan kelembaban dalam sarang 5.4.2.3 Kemiringan Pantai Kemiringan pantai berhubungan erat dengan tipe pantai, daerah intertidal dan pembentukan zona gelombang pecah. Pantai Jamursba Medi dan Wermon termasuk pantai lurus dan panjang dari pesisir datar. Pantai ini terletak ditepian samudera dengan agitasi kuat gelombang serta memiliki sejumlah muara sungai kecil berjajar dengan asupan sedimen yang dapat membentuk garis lurus dan panjang pantai berpasir. Erosi terjadi bila terjadi ketidakseimbangan lereng dasar perairan dan asupan sedimen (Hantoro 2006 in Kalay 2008). Kemiringan dikedua pantai menunjukkan perbedaan dimana Jamursba Medi dengan persentasi kemiringan 1.037% termasuk dalam klasifikasi pantai datar, sedangkan Wermon adalah 13.64% termasuk klasifikasi landai (Tabel 29 dan 30). Berdasarkan pengamatan lapangan penyu mampu mencapai pantai dengan kemiringan 450, namun pantai yang landai lebih memudahkan penyu untuk menemukan tempat bersarang yang tepat dan memilih lokasi bersarang diatara pasang tertinggi dan pasang terendah atau pada zona supratidal. Tabel 30. Persentase kemiringan pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon Pantai Peneluran Jamursba Medi Wembrak Baturumah Warmamedi Wermon Rata keseluruhan
Kemiringan (%)
Kelas
1.25 1.08 0.93 13.64
1 1 1 IV II
Rata
Klasifikasi Datar
1.095 13.64 14.74
Landai Landai
Sumber : Data Primer 2012
Kemiringan pantai berkorelasi dengan kenaikan muka laut dimana semakin datar topografi pantai maka kenaikan muka laut cenderung rendah dengan potensi rendaman terhadap daratan cenderung kecil. Berbeda jika pantai berbentuk landai maka muka laut akan semakin meningkat dan potensi rendaman akan semakin besar dan berdampak pada penyempitan lebar pantai. Elevasi pantai berkorelasi dengan muka laut. Semakin tinggi elevasi pantai maka kenaikan muka laut potensi rendaman area pantai cenderung kecil, berbeda apabila elevasi pantai rendah maka kemungkinan rendaman area pantai cenderung besar. Fuentes el al. (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai elevasi pantai peneluran maka
potensi rendaman akan semakin rendah begitupun ketika elevasi pantai bernilai rendah maka potensi rendaman daratan cenderung tinggi. 5.4.2.4 Monsun Wilayah Papua termasuk salah satu wilayah yang dipengaruhi monsun. Sebagaimana diketahui dua monsun global yang mempengaruhi wilayah Indonesia yaitu munson Asia dan monsun Australia. Angin monsun menunjukkan bahwa angin barat mulai terbentuk dan bertiup meskipun belum cukup stabil di Indonesia selama bulan Desember. Kondisi ini berbeda apabila dibandingkan data klimatologi (1979 - 1995) menunjukkan bahwa angin monsun yang melewati Indonesia pada bulan desember pada kondisi normal, karena terjadinya olakan anomali angin timur diatas perairan Papua dan sekitar. Perairan Utara Kepala Burung Papua sangat terpapar untuk dilewati munson baik Asia Monsun dan Australia Monsun. Monsun Asia yang terjadi pada bulan oktober sampai april ditandai dengan musim presipitasi yang tinggi dan musim penghujan dibagian barat Indonesia. Sementara monsun Australia terjadi pada bulan April sampai Oktober yang ditandai dengan musim kemarau di wilayah timur Indonesia. Hubungan antara monsun dengan musim peneluran Penyu Belimbing di Jamursba Medi dan Wermon dikaitkan dengan periode waktu yang sama. Musim peneluran yang mengikuti munson Asia adalah musim peneluran di Wermon yang terjadi pada bulan November sampai Maret dengan puncak peneluran Desember sampai Februari. Sementara musim Jamursba Medi mengikuti monsun Australia yang terjadi pada bulan April sampai September dengan musim puncak pada bulan Juni-Juli. Dokumentasi menyatakan tahun 2005-2007, monsun Asia selalu ditandai dengan musim ombak karena kecepatan angin yang berkisar antara 5 - 6 knott/jam dengan arah angin dari dari timur ke barat. Kondisi ini sangat berbeda apabila melihat pada Gambar 35 dimana kecepatan melemah bahkan negatif dan menunjukkan adanya musim teduh yang panjang dari bulan November sampai Maret, sebelum masuk musim peralihan.
Gambar 35.Indeks angin monsun Asia (knot/jam) 2011-2012 (sumber : http://www.cpc.noaa.gov/products/Global_Monsoons/Asian_Monsoons/Figure s/Index/amindex_total_forecast.gif)
Hasil analisis secara simultan (Uji F) terlihat bahwa monsun berpengaruh nyata terhadap musim peneluran penyu di Jamursba Medi. 91% variasi yang terjadi pada musim peneluran dipengaruhi oleh model yang dibangun (Monsun Asia dan Australia), sedangkan 88% dipengaruhi oleh variabel lain diluar monsun. Secara parsial pada selang kepercayaan 95% monsun Asia dan Australia singnifikan dan memiliki tanda negatif dimana artinya peningkatan kecepatan angin Asia dan Australia menyebabkan penurunan musim peneluran dan sebaliknya. Peningkatan kecepatan monsun Asia sebesar 1 knott/jam akan mengurangi sarang selama musim peneluran sebesar 31,236 sarang/musim di Jamursba Medi. Selanjutnya pningkatan kecepatan monsun angin Australia pada 1 knot/jam akan mengurangi jumlah sarang selama musim peneluran sebesar 67,72 sarang. Meskipun kedua monsun ini berpengaruh nyata tetapi monsun Australia memiliki dampak lebih besar dibandingkan monsun Asia.
Gambar 36. Indeks angin monsun Australia (knot/jam) 2011-2012 (sumber : http://www.cpc.noaa.gov/products/Global_Monsoons/Asian_Monsoons/Figure s/Index/aminde x_total_forecast.gif
Kondisi berbeda ditunjukkan oleh grafik monsun Australia pada Gambar 36, yang menunjukkan kecepatan angin melemah pada bulan Agustus-Oktober dan mengalami peningkatan kecepatan pada bulan November – Maret. Hasil analisis simultan (uji f) menunjukkan bahwa monsun berpengaruh nyata terhadap musim peneluran penyu Belimbing di Wermon. 77% Variasi yang terjadi pada musim peneluran Wermon dipengaruhi monsun Asia dan Australia, sementara 69% dipengaruhi variabel luar lainnya. Apabila dikaji secara terpisah pada selang kepercayaan diatas 95% monsun signifikan mempengaruhi dan memberi tanda negatif yang artinya semakin meningkat kecepatan angin monsun Asia dan Australia menyebabkan penurunan musim peneluran. Peningkatan monsun Asia sebesar 1 knott/jam akan mengurangi jumlah sarang sebanyak 12,872 sarang/musim, sementara apabila kecepatan
monsun Australia sebesar 1
knott/jam maka akan mengurangi jumlah sarang sebanyak 9,620 sarang/musim. Terlihat bahwa kedua monsun ini berpengaruh nyata tetapi monsun Asia cenderung memiliki pengaruh dan berdampak besar dibandingkan monsun Australia.
Hubungan monsun Asia dan Australia terhadap musim peneluran populasi penyu belimbing tidak terjadi secara langsung terjadi tetapi melalui beberapa proses. Monsun mempengaruhi kondisi oseanografi seperti arus, angin, suhu dan faktor lainnya, yang berdampak pada percampuran massa air dan proses lainnya. Percampuran massa air laut merujuk pada proses upwelling (kenaikan massa air dari dasar ke permukaan). Proses upwelling mempengaruhi kondisi lokal perairan terutama kesuburan perairan. Kesuburan perairan ini menyebabkan terjadi peningkatan organisme pelagik seperti ikan kecil karena memanfaatkan nutrien untuk makan dan bertumbuh. Kondisi ini dimanfaatkan oleh ubur-ubur laut yang merupakan predator dari juvenil ikan. Selain ubur ubur, penyu belimbing juga berada diposisi menguntungkan karena ketersediaan ubur ubur yang merupakan pakan dari Penyu Belimbing. Ketersediaan pakan menjadi salah satu faktor penunjang selama musim kawin dan musimn bertelur. Secara jelas hubungan monsun terhadap musim peneluran tersajikan pada Gambar 37. Percampuran massa air laut
Monsun Arus
Angin
Oseanografi
Upwelling Suhu laut Kondisi lokal
Peningkatan pelagik
Agregasi Ubur ubur
Penyu Belimbing
Proses kawin
Perilaku mencari makan (ARS)
Proses bertelur
Gambar 37. Hubungan antara monsun dan musim peneluran penyu belimbing
Monsun juga mempengaruhi pengaruhi pola sirkulasi arus permukaan terutama pada kedalam 100-300 meter (Rizal et al. 2009). Arus yang terbentuk dari monsun disebut dengan arus monsun (ARMONDO) yaitu arus laut yang terbentuk akibat dorongan angin monsun yang bersifat musiman baik dari monsun Australia maupun Asia (Rizal et al. 2009). Pola sirkulasi arus laut yang terbentuk akibat monsun di pantai Jamurba Medi didominasi oleh monsun Australia. Pada monsun ini arus akan bergerak dari Australia menuju Asia, dikarenakan pengaruh angin monsun timur dimana pola pergerakan arus ini terjadi pada periode bulan Juni sampai Agustus (Widyastuti et al. 2002). Sementara pola sirkulasi arus laut terhadap musim Wermon didominasi oleh monsun Asia dengan membentuk arus yang bergerak dari Asia menuju ke Australia, dikarenakan pengaruh angin monsun barat, dimana rata-rata pola pergerakan arus ini terjadi pada periode bulan Desember sampai Februari (Widyastuti et al. 2002). Monsun timur atau monsun Australia memperlihatkan sirkulasi arus dari samudera Pasifik melewati Selat Makassar membelok ke Laut Jawa dengan kecepatan 20-30 cm/detik dan sebagian juga membelok ke timur menuju Samudera Pasifik dengan kecepatan >60 – 100 cm/detik melalui Laut Buru dan Laut Maluku (Rizal et al. 2009). Arus yang mengalir sekitar perairan Papua bergerak menuju laut Banda dan laut timor. Di sisi lain dari Laut Arafuru, arus mengalir menuju Samudera Hindia dengan kecepatan 40 - 80 cm/detik yang akhirnya bergerak ke arah perairan selatan Jawa (Rizal et al. 2009). Pola sirkulasi arus permukaan pada monsun barat atau monsun Asia di perairan Indonesia Timur, memperlihatkan pola arus yang melewati Selat Makassar menuju ke selatan dan membelok ke timur dengan kecepatan arus 40 cm/detik dan dilanjutkan ke Samudera Pasifik dengan kecepatan >40 – 100 cm/detik melalui Laut Buru dan Laut Maluku serta ke Laut Banda dan Laut Arafuru sekitar 10 - 25 cm/detik. Arus yang melewati Laut Timor berkecepatan 30 - 40 cm/detik menuju Laut Banda dan Arafuru (Rizal et al. 2009). Berdasarkan penjelasan ini maka keterkaitan antara pola arus dan musim peneluran tergambar dari pola migrasi dimana pola arus membantu dalam proses daya renang penyu belimbing ketika bermigrasi (Benson et al. 2011). Pola migrasi penyu terlihat berdasarkan Gambar 38 searah dengan sirkulasi pola arus yang
dibentuk oleh monsun. Berdasarkan penelitian Benson et al. (2011) terhadap beberapa populasi penyu belimbing ditemukan di Laut Banda, Laut Seram, Laut Sulawesih dan beberapa perairan disekitarnya sampai pesisir California.
Gambar 38. Daerah sebaran penyu belimbing pada periode migrasi dimana titik merah : perilaku mencari makan, titik hitan : perilaku transit pada perairan di California (A), Laut Cina Selatan (B) dan Indonesia (C) (Benson et al. 2011) Gambar 38 menunjukkan sebaran penyu belimbing pada perairan California, Laut Cina Selatan dan Timur Indonesia. Pada musim monsun Australia yang bertepatan dengan musim peneluran Jamusrba Medi, diperkirakan pola arus yang bergerak dari Australia menuju kearah barat turut menghantar Penyu Belimbing untuk mencapai Laut Cina Selatan untuk sekedar transit dan mencari makan yang selanjutnya akan menuju ke samudra pasifik lalu menuju Centra
California (CCA). Kondisi berbeda ditunjukkan oleh monsun Asia yang terjadi bersamaan dengan musim peneluran Wermon. Pada musim ini diperkirakan pola arus yang bergerak dari Asia menuju ketimur Indonesia seperti Laut Banda, Seram dan salah satunya perairan Kei yang merupakan daerah pakan penyu belimbing. Berdasarkan penjelasan ini maka monsun pada dasarnya memiliki keeratan hubungan dengan pola migrasi dan musim peneluran penyu belimbing. 5.4.2.5 Laju Predasi Predasi atau pemangsaan adalah proses biologi yang identik dengan konsumsi suatu mahluk (mangsa) oleh mahluk lain (pemangsa=predator) dan mangsa tersebut masih dalam keadaan hidup ketika pemangsa menyerang pertama kali. Pemangsaan terjadi sebagai bentuk ketahanan untuk tetap hidup dialam tetapi juga merupakan bagian dari proses ekologi yang terdeskripsikan dalam rantai makanan. Salah satunya bentuk pemangsaan yang tergambar dalam penelitian ini adalah pemangsaan terhadap telur penyu. Telur sangar rentan terhadap pemangsaan oleh kepiting, babi hutan, anjing dan biawak. Hasil menunjukkan bahwa predasi kepiting bervariasi setiap musimnya. Rata-rata pemangsaan pada musim peneluran 2009/2010 mencapai 55,33 butir pada 19 sarang. Pada musim 2010/2011 pemangsaan telur oleh kepiting berkurang dengan rata-rata 11,67 butir per 21 sarang. Pemangsaan telur oleh kepiting mempengaruhi persentasi sukses penetasan meskipun tidak merusak sarang seperti predasi oleh hewan lainnya. Kondisi yang sama juga terjadi di pantai Wermon seperti terlihat pada Tabel 31. Tabel 31. Pemangsaan telur penyu belimbing oleh kepiting di pantai Jamursba Medi dan Wermon Pantai Peneluran Jamursba Medi Wermon
Musim 2009/2010 Rata (stdv) n 55.33 ±80.31 (19) -
Musim 2010/2011 Rata (stdv) n 11.67±15.31 (21) 43.5±44.7 (26)
2011/2012 Rata (stdv) n 15.33±21.01 (26)
Sumber : Data primer 2012
Tabel 31 menjelaskan bahwa pemangsaan terhadap telur oleh kepiting berpeluang kecil untuk merusak telur lain dibandingkan dengan pemangsaan yang dilakukan oleh hewan tingkat tinggi seperti babi hutan, anjing dan biawak. Evaluasi tahun 2001 terhadap sarang penyu di Bill Baggs Cape Florida State Park (CFSP) di Selatan Biscayne, Florida menunjukkan bahwa terjadi kegagalan penetasan akibat predasi yang dilakukan Colepteran ditandai dengan lubang-
lubang kecil pada kulit telur penyu. Dodd (1988) in Ellen et al. (2004) menyatakan bahwa predator utama yang bersifat destruktif di pantai Biscayne Florida adalah racoon, kepiting hantu, armandillo (Dasypus novemcinctus), rubah (Vulpes), anjing domestik (Canis familiaris), babi liar (Suscrofa), sigung (Spilagale putorius) dan beberapa larva serangga yang juga memangsa telur. Predasi oleh hewan tersebut merusak sarang secara keseluruhan. Persentase predasi sarang berbeda disetiap musimnya dimana pantai Jamursba Medi didominasi oleh predator anjing dan Wermon lebih didominasi oleh predator babi hutan seperti pada Tabel 33. Penelitian tahun 2003/2004 sarang yang dirusak oleh babi hutan dan anjing sekitar 4.9% dan 3.9% (Hitipeuw et al. 2002). Hasil penelitian Starbird and Suarez (1994) menduga bahwa sekitar 40% sarang di Warmon dirusak oleh babi hutan. Sedangkan Jamursba Medi pada bulan Juni sampai Juli 2005 sekitar 29 sarang di pantai Warmamedi dirusak oleh predator babi (29.3%) dan Wembrak hanya satu sarang yang dirusak (Tapilatu et al. 2007). Berdasarkan fakta ini maka dipastikan laju predasi terhadap telur penyu menjadi salah satu indikator yang perlu diperhatikan karena mempengaruhi populasi individu baru (tukik penyu). Tabel 32. Predasi sarang di Jamursba Medi dan Wermon Musim peneluran 2009/2010 JM = 13 sarang 2010/2011 JM = 16 sarang W = 11 sarang 2011/2012 JM = 0 sarang W = 37 sarang
Predator sarang penyu belimbing Anjing Babi Biawak Anjing Babi Biawak Anjing Babi Biawak
Jamursba Medi (%) predasi 7.52 2.26 29.09 -
Wermon (%) predasi 39.13 8.7 2 23.33 0.86
Sumber : Data Primer 2012
5.4.2.6 Tekstur Pasir Pasir merupakan unsur utama utama penyusun tekstur sarang penyu, dimana susunan tekstur pasir berdiameter halus dan sedang, sisanya adalah debu dan liat (Nuitja 1992). Sebaran partikel pasir berdasarkan ukuran t_sieve
menunjukkan persentase ukuran >500nm lebih tinggi dibandingkan ukuran lainnya disemua pantai peneluran seperti pada Gambar 39. Gambar 39 menunjukkan bahwa proporsi untuk diameter pasir pada pantai peneluran didominasi oleh pasir berukuran <500 nm dengan rata rata sebesar 40%. Dominasi pasir dengan ukuran ini disebabkan pantai peneluran yang berhadapan dengan samudra menyebabkan adanya kecenderungan substrat berukuran kecil. Selain letak pantai yang terbuka terhadap samudra, menurut Nybakken (1988) bahwa ukuran partikel pasir di pantai merupakan fungsi dari gerakan ombak pantai. Gerakan ombak pada pantai berpasir merupakan faktor lingkungan yang dominan terjadi dipantai tersebut. Jika gerakan ombak kecil maka terbentuk partikel pasir berukuran kecil, sedangkan jika gerakan ombak besar dan kuat maka akan terbentuk partikel pasir berukuran kasar dan kerikil. Butiran pasir halus akan menampung air lebih banyak karena adanya gaya kapiler sementara pasir berukuran kasar cenderung mengalirkan (Nybakken 1988). Butiran ukuran halus ini berperan sebagai media yang dimanfaatkan oleh penyu belimbing untuk menyimpan telur ketika musim peneluran.
Gambar 39. Persentase pasir berdasarkan ukuran t-sieve di pantai Jamursba Medi dan Wermon Proporsi diameter pasir dikedua pantai menunjukkan ukuran yang sama tetapi masing masing pantai memiliki nilai median yang berbeda seperti yang ditampilkan pada Gambar 40. Pantai Wermon memiliki proporsi nilai median yang relatif kecil yaitu 6,34% dibandingkan proporsi di pantai Jamursba Medi.
Hal ini disebabkan selama penelitian pantai Wermon dipengaruhi oleh musim ombak sehingga sedimen yang terangkut dengan massa air dar laut relatif berukuran antara 1 mm sampai 2 mm. Ukuran pasir menjadi penunjang dalam perkembangan embrio dan penetasan telur selama dalam sarang selama masa inkubasi. Ackerman (1977) in Wallace et al. 2003) menyatakan bahwa aktivitas metabolisme embrio penyu sangat dipengaruhi oleh konduktivitas dan difusi pasir pantai, adanya hubungan penapasan embrio dengan ukuran butir pasir, jumlah volume pasir dan pertukaran udara dalam sarang akan membuat kondisi ideal sarang sehingga menunjang perkembangan embrio penyu selama masa inkubasi
Median : 9.46
Pantai Wembrak
Median : 11.57
Pantai Warmamedi
Median : 10.08
Pantai Baturumah
Median : 6.34
Pantai Wermon
Gambar 40. Persen komulatif median ukuran pasir pada Pantai Jamursba Medi dan Wermon.
Sebaran pasir pada keempat pantai peneluran menunjukkan dominasi pasir dengan tekstur halus. Rata rata persentase pasir dengan tekstur halus 50%, diikuti pasir yang berukuran sedang sekitar 20% dan pasir berukuran kasar dibawah 10%. Pasir dengan ukuran sedang sampai halus merupakan tekstur ideal yang disukai penyu ketika hendak memilih habitat untuk bertelur. Anonimus (1999) mengemukakan bahwa penyu akan membatalkan proses bertelur jika tipe pasir yang berada dalam sarang berupa pecahan kerang yang kasar juga bercampur tanah liat atau kerikil. Selain ukuran pasir kasar dan pecahan karang, penyu juga sensitif ketika ukuran pasir terlalu halus. Hal ini dikarenakan ketika melakukan penggalian sarang akan terjadi longsor sarang yang mengakibatkan penyu akan berpindah lokasi untuk mencari tempat lain.
Gambar 41. Sebaran tekstur pasir di pantai Jamusrba Medi dan Wermon 5.4.2.7 Kedalaman Sarang Kedalaman sarang adalah jarak antara permukaan pasir sampai dasar sarang tempat dimana telur diletakkan. Penggalian sarang merupakan bagian dari proses peneluran yang umumnya dilakukan oleh induk penyu sebelum melepaskan telur. Penyu memiliki insting untuk menggali sarang berdasarkan panjang fliper, dimana semakin panjang fliper kemungkinan sarang yang tergali akan semakin dalam, begitupun sebaliknya.
Kedalaman sarang pada kedua pantai menunjukkan perbedaan. Kedalaman sarang di Jamursba Medi cenderung dalam, terutama jarak dasar sarang kepermukaan sarang adalah 91,3 cm dibandingkan Wermon sekitar 85 cm. Berbeda dengan kedalaman sarang dari pemukaan pasir sampai permukaan telur memperlihatkan persamaan jarak antara kedua pantai ini sekitar 71 cm. Berikut ini adalah rata-rata kedalaman sarang di kedua pantai yang disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. Kedalaman sarang di Pantai Jamusba Medi dan Wermon Kedalaman (cm) Rata (sd) Min-Max KAS 71.6±12.2 30-101 KSD 91.3±13.3 37-119 Wermon KAS 71.1 ± 9.6 49 - 98 KDS 85.1 ± 9.9 62-114 Keterangan : KAS adalah kedalaman sarang dari atas telur ke permukan pasir dan KDS adalah kedalaman dari dasar sarang kepermukaan. Jamursba Medi
Sumber : Tapilatu et al. (2007)
Sarang penyu belimbing yang tergali memiliki jarak cenderung dalam dibandingkan jenis penyu lainnya. Bentuk dan ukuran tubuh yang besar menjadikan sarang yang tergali cenderung dalam dibandingkan jenis penyu dari famili Chelonidae. Kedalaman sarang berhubungan dengan keterpaparan telur terhadap matahari. Semakin dangkal sarang maka peluang terpapar telur terhadap cahaya matahari semakin terbuka sehingga beberapa telur yang posisinya terletak dekat dengan permukaan sarang biasanya ditemukan warna kehitaman pada kulit telur, diduga terkena suhu panas yang terserap pasir. Resiko lainnya apabila kedalaman sarang dangkal memudahkan telur terpredasi oleh predator seperti babi, anjing dan biawak. 5.4.2.8 Sarang Relokasi Relokasi adalah upaya penangkaran telur penyu secara semi alami berdasarkan karakteristik lingkungan dimana penyu bersarang. Lingkungan persarangan diatur berdasarkan karakteristik persarangan alami penyu tetapi tetap menjaga keamanan sarang terhadap gangguan predator baik hewan maupun manusia. Sarang yang direlokasi biasanya diambil dari sarang-sarang yang berada dibawah batas pasang terendah dan beresiko terabrasi oleh gelombang pasang surut. Relokasi sarang bertujuan untuk meningkatkan persentase penetasan telur penyu atau meningkatkan populasi rekruitmen individu baru untuk keberlanjutan populasi Penyu Belimbing di alam.
Relokasi sarang dilakukan dengan adanya pemilihan tempat ideal yang mempertimbangkan keterbukaan terhadap matahari, keterbukaan terhadap predator, kedekatan dengan sungai dan kedekatan dengan vegetasi pantai karena perakaran yang beresiko mempengaruhi penetasan. Setelah pemilihan lokasi selanjutnya dilakukan treatment pasir baik permukaan dan kedalaman. Pembersihan lokasi dari sampah, akar tanaman dan kulit telur yang kemungkinan ada didalam pasir menjadi tahap selanjutnya sampai lokasi tersebut bersih. Tapilatu et al. in prep menyatakan bahwa relokasi sarang Penyu Belimbing dilakukan disemua pantai peneluran di Jamurba Medi dan pantai Wermon. Pantai Warmamedi dilakukan relokasi sebanyak 25 sarang. Setelah masa penetasan terlihat bahwa hasil persentase sukses penetasan mencapai 80% pada musim 2007-2008 sehingga dilanjutkan relokasi dikedua pantai lainnya yaitu pantai Wembrak dan Baturumah. Jumlah sarang yang direlokasi kemudian ditambahkan menjadi 50 sarang per pantai dengan pertimbangan sarang yang terambil adalah sarang yang letak posisinya dibawah batas terendah karena beresiko terabrasi oleh gelombang. Relokasi sarang di pantai Wermon mulai dilakukan pada musim 2007 2008 dengan jumlah 50 sarang. Hasil relokasi ini menunjukkan peningkatan persentase sukses penetasan mencapai 67% (Tapilatu et al. in prep). Selanjutnya relokasi dilakukan ditahun berikutnya dengan metode berbeda yang dikenal dengan sarang doom. Sarang doom tidak dikumpulkan disatu lokasi tetapi sarang ini hanya dipindahkan ketempat aman dimana posisinya berdekatan dengan sarang alami. 5.4.2.9 Perlindungan Habitat Pantai Jamusrba Medi dan Wermon merupakan bagian dari Cagar Alam Pegunungan Tambrauw yang membentang disebelah selatan dari kedua pantai ini. Pantai Jamursba Medi ditetapkan sebagai suakamargasatwa berdasarkan surat rekomendasi Bupati Sorong dengan luasan 10.000 ha. Tahun 2005 pemerintah daerah Sorong dan beberapa pihak swasta mengusulkan perluasan kawasan konservasi tidak hanya daratan pantai tetapi wilayah pesisir dan laut yang bertujuan melindungi Penyu Belimbing. Berdasarkan tujuan tersebut maka ditetapkanlah Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun dengan luasan 169.515.783
ha berdasarkan SK Bupati Kabupaten Sorong No.142 tahun 2005. Secara administrasi luasan KKLD Abun awalnya mencakup pesisir kampung Sausapor sampai Warmandi. Selanjutnya ada wacana penambahan luasan kawasan sampai pesisir kampung Waybeam dengan tujuan perlindungan mencakup pantai peneluran yaitu Jamursba Medi dan Wermon. Sejauh ini implementasi penambahan kawasan KKLD Abun belum terlaksana, mengingat belum ada rencana pengelolaan KKLD Abun yang dijadikan acuan dalam keberlanjutan KKLD. 5.4.3 Sistem Sosial Antropogenik Penyu Belimbing 5.4.3.1 Pengambilan dan Konsumsi Telur Ancaman utama penurunan populasi penyu diduga disebabkan tingginya ekploitasi terhadap sumberdaya penyu seperti pemanfaatan telur, induk yang menjadi konsumsi masyarakat. Pemanfaatan terhadap sumberdaya penyu terjadi secara langsung dan tidak langsung. Pemanfaatan langsung seperti pemanfaatan telur, daging, dan karapas. Pemanfaatan tak langsung ditandai dengan tangkapan sampingan dari aktivitas perikanan skala besar. Hasil pemanfaatan langsung yang terjadi di pesisir utara Tambrauw teridentifikasi adalah pemanfaatan telur dan daging untuk konsumsi keluarga. Hasil estimasi menunjukkan perbedaan frekuensi pengambilan telur pada keenam kampung di lokasi penelitian. Kampung Wau_Weyaf memiliki nilai pengambilan telur tertinggi yaitu 13,75 sarang, diikuti Saubeba sebesar 11,25 sarang, Bremi sebesar 9,5 sarang, Sarray sebesar 6,9 sarang, Sausapor sebesar 3.85 sarang dan Waybeam sebesar 0,84 sarang. Tingginya pengambilan telur di Wau-Weyaf dan Saubeba karena jarak dari kampung berdekatan dengan pantai Jamursba Medi dan Wermon. Kedua pantai ini merupakan pantai yang dilindungi tetapi aktivitas pengambilan telur masih dilakukan meskipun dengan frekuensi yang rendah. Laju pengambilan telur dengan frekuensi tinggi juga terjadi di kampung Sarray dan Bremi. Tingginya laju pengambilan telur dikedua kampung ini karena kedua kampung ini merupakan bagian dari pantai peneluran di pesisir utara Manokwari yang dijadikan pantai alternatif untuk bertelur. Berbeda dengan keempat pantai diatas, laju pengambilan telur cenderung rendah terlihat di
kampung Sausapor dan Waybeam disebabkan jarak pantai peneluran yang jauh dari kampung. Secara jelas pengambilan telur ditampilkan pada Gambar 42 dan Gambar 44 .
Gambar
42.
Estimasi jumlah pengambilan telur penyu belimbing (sarang/KK/Kampung/Musim) di pesisir KKLD Abun.
Peningkatan pengambilan terhadap telur oleh masyarakat di pesisir KKLD Abun disebabkan karena posisi pantai peneluran yang berdekatan dengan pemukiman dan merupakan jalur transportasi untuk menjangkau lahan pertanian ataupun penghubung antara kampung. Kondisi ini sama dengan yang terjadi di PNG dimana masyarakat lokal memiliki andil besar dalam pengambilan telur penyu belimbing. Jefft et al. (2009) melaporkan bahwa dari 46 sarang yang ditemukan di pantai peneluran PNG, 26 sarang telur diambil oleh masyarakat lokal karena sarang yang berdekatan dengan pemukiman. Selain penduduk asli yang bertempat tinggal disekitar pantai peneluran, nelayan menangkap dipesisir KKLD juga berpeluang mengambil telur di pantai. Pengambilan telur penyu belimbing berbanding lurus dengan konsumsi telur oleh masyarakat di kampung sekitar pantai peneluran. Gambar 38 menunjukkan konsumsi telur tertinggi oleh masyarakat Wau_Weyaf sebanyak 7012.5 butir, diikuti Bremi sebanyak 5.486,44 butir, Saubeba sebanyak 5.400 butir, Sarray sebanyak 3.757,5 butir, Sausapor sebesar 2.362,5 butir dan Waybeam sebanyak 1.596 butir seperti gambar 43.
Gambar
43. Estimasi jumlah konsumsi (butir/KK/Kampung/Musim
telur
penyu
belimbing
Tinggi laju konsumsi telur oleh masyarakat dikarenakan pola hidup masyarakat yang bersifat subsisten artinya memanfaatkan semua sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan rumah tangga. Selain sifat subsisten, telur penyu menjadi pilihan masyarakat disebabkan rendahnya sumber pendapatan ekonomi dan pola hidup sederhana. Faktor lain adalah rendahnya pengetahuan karena tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait perlindungan penyu menyebabkan kegiatan pemanfaatan telur masih berlangsung hingga saat ini. Gambar 43 dan 44 menjelaskan tekanan dari laju ekploitasi telur masing masing kampung terhadap populasi sarang di pantai Jamusrba Medi dan Wermon. Estimasi jumlah pengambilan telur di kampung Sausapor rata-rata sebanyak 1,3 sarang/KK/musim, maka diperkirakan jumlah sarang terambil sebanyak 38,5 sarang/musim dari 35 KK. Hasil estimasi di Saubeba cenderung lebih tinggi, sekitar 112,2 sarang/musim dari 45 KK. Rata-rata pengambilan sarang di pantai Jamursba Medi dari dua kampung tersebut adalah 75,5 sarang/musim. Berdasarkan jumlah total sarang Jamursba Medi tahun 2011 sebanyak 1.534 sarang maka persentasi telur yang terekploitasi masyarakat sebesar 5,12% sarang/musim atau sekitar 5.813,50 butir per musim seperti pada Tabel 34. Pengambilan telur dikampung Wau-Weyaf dalam satu musim adalah 137,5
sarang/musim dari 55 KK. Selanjutnya estimasi pengambilan sarang oleh masyarakat kampung Waybeam di pantai Wermon sebanyak 8,4 sarang/musim dari 28 KK. Rata-rata estimasi pengambilan telur di pantai Wermon adalah 72,95 sarang./musim. Berdasarkan jumlah sarang per tahun 2011 adalah 1.392 sarang/musim/kampung maka perkiraan laju eksploitasi telur sebesar 5,34 % sarang dalam satu musim seperti pada Tabel 34. Rata-rata pengambilan telur oleh masyarakat Sarray adalah 6,9 sarang/KK/musim, maka diperkirakan 69 sarang/musim terambil dari 28 KK. Sementara kampung Bremi, rata-rata pengambilan telur sebanyak 9,5 sarang/KK/musim, maka diperkirakan sekitar 95 sarang terambil dari 38 KK. Jumlah populasi sarang di pesisir pantai utara Manokwari tidak teridentifikasi karena pantai ini bukan merupakan pantai indeks sehingga tidak diketahui persentase ekploitasi sarang terhadap populasi sarang. Estimasi konsumsi telur oleh masyarakat Sausapor sebanyak 2.364,2 butir/musim dari 35 KK, sementara masyarakat kampung Saubeba sebanyak 5.400 butir/musim dari 45 KK. Rata-rata konsumsi telur dari dua kampung ini adalah 3.881,25 butir/musim dengan persentasi 3,3% dari jumlah telur normal dipantai Jamursba Medi. Konsumsi telur oleh masyarakat kampung Wau_Weyaf sebanyak 7.012,5 butir/musim dari 55 KK, sementara kampung Waybeam sebanyak 3.135 butir/musim dari 28 KK. Rata-rata konsumsi telur dari dua kampung ini sebanyak 5.073,75 butir/musim dengan persentasi 5.10% dari jumlah total telur normal di pantai Wermon. Berdasarkan penjelasan diatas maka disimpulkan tingginya eksploitasi jumlah sarang dan telur oleh masyarakat di pesisir Utara Papua. Hal ini berdampak pada penurunan persentasi sukses penetasan sehingga jumlah individu baru yang dihasilkan. Kondisi ini semakin kritis apabila tukik yang dihasilkan hanya 1% yang mencapai umur dewasa (Hitipeuw et al. 2007). Tabel 34. Estimasi pemanfaatan telur di Pantai Jamursba Medi dan Wermon
Pantai
Jamursba Medi Wermon
Jumlah Total Sarang
Jumlah Total Telur Normal/Butir /musim
Rata rata Pengambilan sarang
Estimasi Pemanfaatan (butir)
Sisa (Butir)
1.534 1.393
118.118 107.261
75.50 72.95
5.813,50 5.617,15
112.304,50 101.643,85
137
Pengambilan Telur : 13,75/Sarang/KK/Musim Konsumsi telur : 7,012,15/butir/KK/Musi m
Pengambilan Telur : 11,25/Sarang/KK/Musim Konsumsi telur : 5.400/butir/KK/Musim
Pengambilan Telur : 0,84/Sarang/KK/Musim Konsumsi telur : 1.596/butir/KK/Musim
Pengambilan Telur : 9,5/Sarang/KK/Musim Konsumsi telur : 5.486,44/butir/KK/Musim
Pengambilan Telur : 3,85/Sarang/KK/Musim Konsumsi telur : 2.362,5/butir/KK/Musim Pengambilan Telur : 6,9/Sarang/KK/Musim Konsumsi telur : 3.757.5/butir/KK/Musim
Gambar 44. Estimasi kerentanan populasi penyu belimbing berdasarkan pengambilan dan konsumsi telur oleh masyarakat di pesisir utara Kabupaten Tambrauw.
5.4.3.2 Tangkapan dan Konsumsi Daging Tangkapan penyu teridentifikasi merupakan pemanfaatan langsung disamping pengambilan telur. Hasil penelitian menunjukkan estimasi tangkapan penyu meningkat terjadi diluar KKLD Abun yaitu kampung Sarray dan Bremi (Gambar 40 dan 41). Kampung Bremi diketahui laju tangkapan sebanyak 10,45 ekor, Sarray sebesar 8,76 ekor, Sausapor sebanyak 2,905 ekor, Waybeam sebanyak 2,34 ekor, Wau_Weyaf sebanyak 1,37 ekor dan terendah Saubeba sebanyak 1,125 ekor. Secara jelas, estimasi penangkapan penyu belimbing pada saat penelitian ditampilkan pada Gambar 45
Gambar
45. Pendugaan jumlah tangkapan penyu (ekor/KK/kampung/musim) di pesisir KKLD Abun
belimbing
Gambar 45 menunjukkan tingginya tangkapan oleh masyarakat Sarray dan Bremi dikarenakan kebiasaan menangkap dan mengkonsumsi penyu sebagai makanan. Status pantai dan pesisir utara Manokwari yang bukan kawasan konservasi juga memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk melakukan penangkapan. Kondisi ini semakin kritis mengingat peran pemerintah tidak optimal. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya sosialisasi tentang perlindungan penyu kepada masyarakat. Akibatnya penangkapan terus terjadi seiring dengan permintaan pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Penangkapan penyu belimbing terjadi seiring dengan konsumsi daging oleh masyarakat disekitar pesisir utara Papua. Hasil menunjukkan bahwa tingginya konsumsi daging
terjadi di kampung Bremi yaitu 16,4 kg, Sarray
sebanyak 12,99 kg, Waybeam dan Wau_Weyaf sebanyak 4,2 kg dan 4,12 kg, Sausapor dan Saubeba sebanyak 3,74 kg dan 3,37 kg. Secara jelas konsumsi daging ditampilkan pada Gambar 46.
Gambar 46. Estimasi konsumsi daging (Kg/KK/kampung/musim) Gambar 46 menunjukkan laju konsumsi daging oleh masyarakat masih didominasi oleh masyarakat kampung Sarray dan Bremi. Tingginya laju konsumsi daging oleh masyarakat pada kedua kampung ini disebabkan kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun dan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Rendahnya pendapatan ekonomi menyebabkan ketergantungan terhadap semua sumberdaya yang berujung pada peningkatan laju pemanfaatan seiring dengan peningkatan kebutuhan hidup. Gambar 47 menjelaskan pola pemanfaatan terhadap individu dewasa berdasarkan jumlah tangkapan penyu dan konsumsi daging terhadap populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon. Terlihat bahwa laju tangkapan penyu terbanyak dilakukan oleh masyarakat Bremi dan Saray dengan rata-rata tangkapan 9,05 ekor/musim, dibandingkan dengan Sausapor/Saubeba 2.01 ekor/musim dan Wau_Weyaf/Waybeam sebanyak 2,1 ekor/musim. Kondisi ini sejalan dengan rata-rata konsumsi daging oleh masyarakat Bremi dan Sarray yaitu
14,7 kg/musim diikuti Wau_Weyaf/Waybeam yaitu 7,3 kg/musim dan Sausapor/Saubeba yaitu 3,6 kg/musim. Tingginya laju tangkapan dan konsumsi daging oleh masyarakat lokal mengindikasikan ketergantungan terhadap sumberdaya sangat besar. Ketergantungan terhadap sumberdaya terlihat dari pola pemanfaatan dengan frekuensi tinggi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Rendahnya pendapatan ekonomi dan minimnya pilihan matapencaharian alternatif menyebabkan pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing menjadi pilihan terbaik dalam pemenuhan kebutuhan makan dan ekonomi. Kondisi ini menggambarkan rendahnya taraf ekonomi masyarakat di pesisir Abun. Kondisi diperparah dengan lemahnya peran pemerintah terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan pengawasan perlindungan penyu. Apabila pemerintah mengoptimalkan perbaikan ekonomi masyarakat dengan memberikan matapencaharian alternatif maka akan terjadi pengalihan aktivitas, sehingga masyarakat tidak bergantung kepada penangkapan penyu tetapi lebih terfokus pada alternatif kegiatan yang ditawarkan. Solusi ini semestinya menjadi catatan penting bagi pemerintah dalam mengelola sumberdaya dimana masyarakat menjadi prioritas utama.
141
Penangkapan penyu : 1,37/ekor/KK/Musim Konsumsi daging: 4,12/kg/KK/Musim
dfdfcv
Penangkapan Penyu : 1,12/ekor/KK/Musim Konsumsi daging : 3,37/kg/KK/Musim
Penangkapan Penyu : 2,3/Sarang/KK/Musim Konsumsi telur : 4,2/kg/KK/Musim
Penangkapan Penyu : 10,45/ekor/KK/Musim Konsumsi daging : 16,45/kg/KK/Musim
Penangkapan Penyu : 2,905/ekor/KK/Musim Konsumsi telur : 3,75/kg/KK/Musim Penangkapan Penyu : 8,7/ekor/KK/Musim Konsumsi daging: 12,99/kg/KK/Musim
Gambar 47. Estimasi kerentanan populasi individu dewasa berdasarkan penangkapan dan konsumsi daging penyu belimbing oleh masyarakat di pesisir utara Kabupaten Tambrauw.
Keseluruhan pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing yang terjadi didalam KKLD Abun maupun diluar KKLD ditampilkan pada Tabel 35 dan Gambar 48. Tabel 35. Estimasi pemanfaatan sumberdaya penyu belimbing oleh masyarakat di pesisir utara Kepala Burung Pengambilan telur (sarang/KK/pant ai/musim)
Konsumsi Telur (butir/KK/kam pung/musim)
Tangkapan masyarakat (ekor/KK/ka mpung/musi m)
Konsumsi daging (kg/KK/kamp ung/musim)
1.26
646.88
0.67
0.59
1.22
717.38
0.62
0.69
1.37
770.33
3.20
7.36
Jamurba Medi (Sausapor & Saubeba) Wermon (Wau_Weyaf &Waybeam) Luar KKLD (Sarray&Bremi ) Sumber : Data primer 2012
Hasil menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya Penyu Belimbing masih didominasi oleh masyarakat diluar KKLD Abun. Dominasi pemanfaatan ini berkaitan dengan keleluasaan memanfaatkan tanpa batasan dan larangan. Keleluasaan pemanfaatan berdampak pada peningkatan frekuensi terhadap sumberdaya Penyu Belimbing baik telur maupun individu dewasa. Pemanfaatan sumberdaya penyu juga terjadi dalam KKLD Abun meskipun dengan nilai yang lebih rendah. Rendahnya nilai pemanfaatan ini dikarenakan status pantai Jamursba Medi dan Wermon sebagai kawasan konservasi menyebabkan adanya larangan pemanfaatan meskipun, ada beberapa masyarakat yang tetap memanfaatkan. Ekploitasi sumberdaya Penyu Belimbing secara nyata berdampak pada penurunan populasi di pantai Jamursba Medi dan Wermon yang merupakan penyuplai populasi terbesar di Pasifik Barat. Sebagaimana diketahui, bahwa saat ini jumlah populasi Penyu Belimbing yang tersedia dialam hanya 2.300 penyu betina dewasa. Jumlah ini terbilang sangat rendah dan berpeluang mengalami kepunahan apabila terjadi peningkatan jumlah tangkapan. Oleh sebab itu, perlu adanya pengawasan yang dilakukan secara kontinue untuk meminimalkan laju pemanfaatan dengan pengalihan aktivitas serta pilihan matapencaharian alternatif guna meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat setempat.
143
Pengambilan telur : 1,26 sarang/KK/pantai/musim Konsumsi telur : 717,38 butir/KK/pantai/musim Penangkapan : 0,62 ekor/KK/kampung/musim Konsumsi daging : 0,69 kg/KK/kampung/musim
Gambar Hasil penangkapan dan kosumsi daging oleh masyarakat di pesisir utara Kabupaten Tambrauw Pengambilan telur : 1,26 sarang/KK/pantai/musim Konsumsi telur : 646,88 butir/KK/pantai/musim Penangkapan : 0,67 ekor/KK/kampung/musim Konsumsi daging : 0,59 kg/KK/kampung/musim
Pengambilan telur : 1,37 sarang/KK/pantai/musim Konsumsi telur : 770,38 butir/KK/pantai/musim Penangkapan : 3,20 ekor/KK/kampung/musim Konsumsi daging : 7,36 kg/KK/kampung/musim
Gambar 48. Estimasi kerentanan populasi penyu belimbing akibat pemanfaatan penyu belimbing oleh masyarakat di pesisir utara Kabupaten Tambrauw.
Eksploitas terhadap sumberdaya penyu belimbing menggambarkan keterkaitan ekologi dan sosial secara tidak langsung Keterkaitan tersebut tergambar dari fungsi ekologis penyu belimbing sebagai penyeimbang populasi ubur-ubur laut yang merupakan predator jurvenil ikan (zooplankton) sehingga mempengaruhi sistem ekologis dimana menurunkan produksi perikanan. Penurunan produksi perikanan diketahui akan mempengaruhi ketersediaan stok perikanan dan pola konsumsi manusia terhada sumberdaya ikan. Berdasarkan penjelasan ini terlihat adanya keterkaitan hubungan dan ketergantungan antara sistem ekologi dan sosial, dimana apabila terjadi perubahan pada sistem ekologis maka akan mempengaruhi sistem sosial, dan sebaliknya seperti pada Gambar 49. Babi hutan
Anjing Telur Penyu - Belimbing
Biawak
+ Ikan Hiu
+ Tukik Penyu Belimbing -
Burung Elang
Masyarakat pesisir utara Papua Pemanfaatan langsung -
-
-
Manusia
Masyarakat Kei Maluku
+ Populasi Penyu Belimbing Ubur ubur family Scypozoa
Pemanfaatan taklangsung
+
Tangkapan sampingan -
-
Juvenil ikan (Zooplankton)
Produksi perikanan Alat tangkap tidak selektif
Gambar 49. Sistem ekologi sosial penyu belimbing di Abun (tulisan berwarna biru : populasi penyu belimbing. Kotak : faktor alami dan bukan kotak : faktor antropogenik)
Gambar 49 menjelaskan populasi penyu belimbing yang terdiri dari telur, tukik dan penyu dewasa. Telur penyu menjadi mangsa bagi beberapa jenis hewan karnivora seperti Babi hutan, Biawak dan Anjing. Tukik menjadi mangsa bagi burung Elang dan ikan Hiu. Sementara penyu dewasa memiliki peran vital karena berfungsi sebagai penyeimbang populasi ubur-ubur. Peran ini memberikan nilai positif terhadap peningkatan produksi perikanan secara alami. Selanjutnya predator utama populasi penyu belimbing adalah manusia melalui dua pola pemanfaatan yaitu pemanfaatan langsung dan tidak langsung. Masyarakat yang melakukan pemanfaatan langsung terindikasi pada masyarakat di KKLD Abun dan Kei Maluku. Sementara pemanfaatan tidak langsung merujuk pada aktivitas perikanan skala besar. Berdasarkan fakta ini diketahui bahwa manusia memberikan tekanan akibat dari eksploitasi yang berdampak pada penurunan populasi baik individu baru maupun individu dewasa dan secara langsung menjadi penyebab terganggunya sistem ekologis dialam. 5.4.3.3 Tangkapan Sampingan Tangkapan sampingan adalah tertangkap atau terjaringnya spesies bukan target dari suatu aktivitas perikanan seperti perikanan udang, tuna dan perikanan lainnya. Hasil wawancara nelayan pada kapal penangkap ikan dengan alat tangkap jaring insang dan jaring dasar dengan ukuran mata jaring 3 - 4 inchi pada kapasitas 4 - 5 GT menyatakan rata-rata jumlah penyu belimbing yang terjaring adalah 2 ekor per tahun, tetapi pada waktu tertentu penyu tidak terjaring sama sekali. Selanjutnya kapal udang dengan ukuran 290 GT yang menggunakan alat tangkap trawl menunjukkan tangkapan sampingan penyu lebih sedikit sekitar 2 ekor/trip. Sedikitnya jumlah penyu belimbing yang tertangkap dengan trawl dikarena telah terpasang Turtle Teds sehingga beberapa spesies non target tidak terjaring. Peningkatan jumlah armada perikanan di Sorong memberikan peluang terhadap aktivitas pemanfaatan sekitar perairan Sorong, Rajaampat, perairan Sorong Selatan. Tingginya aktivitas perikanan dipesisir Sorong yang merupakan jalur migrasi Penyu Belimbing selama masa internesting memberikan peluang adanya tangkapan sampingan. Wiadnyana et al. (2006) menyatakan bahwa banyak armada perikanan disekitar lokasi peneluran berpeluang terjadinya tangkapan
sampingan. Sebagai contoh Bali dengan armada perikanan terbanyak setelah Jawa menunjukkan tangkapan sampingan ± 1 ekor penyu, bahkan bisa mencapai 29 ekor/trip/kapal. Hasil ini diperkirakan meningkat seiring dengan peningkatan armada dan aktivitas tangkapan. Lebih lanjut diestimasi dalam satu tahun (asumsi sedikitnya 6 trip) bisa mencapai 4920 - 4980 ekor. Kondisi ini ditakutkan akan terjadi diperairan sekitar pantai peneluran Jamursba Medi mengingat jumlah armada perikanan yang semakin meningkat. Hasil penelitian menunjukkan kapal yang teridentifikasi dalam kawasan konservasi laut Abun adalah kapal dengan ukuran 3-5 GT , berjumlah 2-4 kapal, dengan alat tangkap yang digunakan adalah jaring benang. Waktu operasi kapal ini tidak menentu dan sangat bergantung kepada kondisi lingkungan laut. Kondisi lingkungan laut KKLD Abun merupakan perairan yang berhadapan dengan samudra Pasifik sehingga selalu bergelombang menyebabkan beberapa perahu nelayan tidak melakukan penangkapan. Rendahnya aktivitas penangkapan dipesisir KKLD Abun menunjukkan rendahnya jumlah Belimbing yang tertangkap didalam KKLD. Pengaruh dari luar KKLD justru menjadi ancaman penurunan populasi Penyu Belimbing di Jamursba Medi dan Wermon, salah satunya adalah ancaman aktivitas perikanan tuna. Zainudin et al. (2006) menunjukkan hasil observasi periode Mei - Desember 2006 dengan mengikuti operasi kapal rawai tuna yang berpangkalan di Bali, pelabuhan Ratu dan Bitung Sulawesih Utara. Dari observasi tersebut diperoleh sebanyak 10 kapal melakukan 559 kali setting alat tangkap dengan menebar 832.208 pancing. Dari aktivitas tersebut, diketahui 85 penyu tertangkap sebagai tangkapan sampingan, 3 mamalia laut, 2 burung laut dan 507 hiu. Dari tiga armana, kapal rawai tuna yang berpangkalan di Bitung memperoleh hasil tangkapan sampingan penyu terbanyak. Tingginya tangkapan sampingan dari kapal rawai tuna Bitung disebabkan daerah penangkapan tuna berada di Samudra Pasifik berdekatan dengan pantai peneluran (Gambar 49). Selain itu, kapal rawai tuna Bitung yang menggunakan metode setting dangkal diperkirakan menjadi penyebab tingginya tangkapan sampingan karena adanya interaksi dengan daerah renang penyu.
Meningkatnya tangkapan sampingan seiring dengan peningkatan aktivitas perikanan diperairan dunia seperti perikanan pelagik, perikanan udang dan jenis perikanan lainnya. Aktivitas perikanan ini berkontribusi terhadap peningkatan produksi guna memenuhi permintaan pasar internasional. Tingginya permintaan pasar internasional memicu peningkatan aktivitas untuk memperoleh hasil maksimal dengan mengabaikan dampak yang ditimbulkan seperti tingginya tangkapan sampingan. Beberapa contoh disampaikan oleh Lewison et al. (2006), bahwa perikanan rawai saat ini menjadi trend di negara maju dan berkembang untuk meningkatkan produksi perikanan. Lebih lanjut, Lewison et al. (2006), mengidentifikasi pengguna perikanan rawai diseluruh dunia sebanyak 40 negara dengan wilayah tangkapan yang berbeda. Wilayah penangkapan perikanan rawai yaitu di Samudra Pasifik sekitar 52%, samudra Atlantik 37% dan samudra Hindia sekitar 11%. Perairan utama perikanan rawai adalah perairan utara Kolombia tepatnya Central Pasifik, region antara Filipina dan Indonesia, laut Mediterania dan selatan samudra Atlantik. Dalam aktivitas penangkapan diperkirakan 1.4 milyar kail diletakkan di perairan dengan frekuensi pengulangan 3.8 juta kali/hari. Lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap tahunnya, perikanan rawai tuna memasang 1.2 milyar kail, lebih besar dibandingkan untuk memancing ikan cucut yang hanya 200 juta kail di perairan (Lewison et al. 2006). Kondisi ini memungkinkan tingginya jumlah tangkapan spesies target dan spesies bukan target. Spesies bukan target yang tertangkap salah satunya adalah penyu belimbing mengingat perairan tersebut merupakan jalur lintasan ketika melakukan migrasi ke area peneluran maupun ke area makan dan perkawinan. Apabila dihubungkan dengan pola migrasi Penyu belimbing musim boreal summer di Jamursba Medi, maka populasi ini sangat rentan dan berpeluang tertangkap sebagai tangkapan sampingan. Berdasarkan fakta ini maka dapat disimpulkan bahwa tangkapan sampingan diprediksi mempengaruh penurunan individu dewasa. 5.4.3.4 Persepsi Masyarakat Tentang Konservasi Penyu Belimbing Pengetahuan masyarakat adalah suatu bentuk pendapat yang dibutuhkan dalam menilai pengelolaan. Masyarakat adalah objek utama yang harus berpartisipasi dan merasakan manfaat dari pengelolaan yang dilakukan. Pengetahuan masyarakat adalah suatu bentuk pendapapt yang dibutuhkan dalam
menilai pengelolaan. Sebagai bentuk pastisipasi maka masyarakat harus dibekali dengan pengetahuan dasar maupun pengetahuan teknis. Dalam penelitian ini, perlu diketahui pengetahuan masyarakat tentang konservasi penyu di KKLD Abun. WWF (2009) menunjukkan pandangan masyarakat terkait dengan lingkungan dan kegiatan konservasi terbagi dalam beberapa bagian penting seperti pendapat masyarakat terkait dengan: (1) kondisi lingkungan pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon (2) kepedulian masyarakat terhadap perlindungan penyu, (3) pengetahuan tentang kawasan konservasi laut daerah (4) pembentukkan dan manfaat adanya KKLD Abun. Pendapat masyarakat pada kampung di KKLD Abun terhadap kondisi lingkungan perairan pantai peneluran sangat bervariasi. WWF (2009) menyatakan 78% masyarakat menyatakan kerusakan pesisir pantai peneluran merupakan masalah besar, 5% mengatakan kerusakan pesisir pantai peneluran bukan masalah besar. Pendapat kepedulian masyarakat tentang upaya perlindungan penyu menyatakan bahwa 79,4% masyarakat setuju adanya upaya perlindungan penyu, 15,3% masyarakat tidak setuju ada upaya perlindungan terhadap penyu, 4,7% masyarakat menyatakan tidak mengetahui apakah penyu harus dilindungi atau tidak dan 0.6% tidak menjawab. Masyarakat juga berpendapat tentang telur yang harus dibiarkan berada dalam sarang sehingga bisa menetas menjadi tukik penyu yaitu 82,5% masyarakat setuju, 7,81% tidak setuju dengan hal tersebut, 9,0% tidak tahu dan 0,6% tidak menjawab. Pendapat masyarakat tentang pentingnya pembentukkan KKLD Abun untuk melindungi ekosistem dan penyu menyatakan 77,81% masyarakat setuju, 12,19% menyatakan tidak setuju, 9,06% menyatakan tidak tahu dan 0,9% tidak menjawab. Selanjutnya pendapat masyarakat tentang manfaat KKLD Abun bagi masyarakat yaitu 84,4% menyatakan bahwa KKLD bermanfaat, 2,2% tidak bermanfaat, 3,1% menyatakan manfaat KKLD tidak mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat, 9,4% menyatakan tidak tahu, dan 0,9% tidak menjawab. Informasi tentang istilah kawasan konservasi laut dimana 50,31% menyatakan tidak pernah mendengar, 38,75% menyatakan pernah mendengar istilah kawasan perlindungan laut dan 10,31% tidak mengetahui istilah tentang kawasan perlindungan laut.
149
Areal tangkapan sampingan dari penyu belimbing
Gambar 50. Peta tangkapan sampingan dari perikanan rawai tuna di perairan indonesia. Titik merah : jumlah penyu belimbing yang tertangkap Utara Kepala Burung sampai di Samudra pasifik oleh kapal rawai tuna yang berpangkalan di pelabuhan Bitung Sulawesih Utara (Zainudin et al. 2006)
Secara keseluruhan masyarakat di KKLD Abun memiliki pengetahuan konservasi yang baik karena mampu merespon dan menilai kinerja konservasi yang telah dilakukan. Dasar pengetahuan ini diharapkan menjadi acuan masyarakat dipesisir Abun sehingga berpartisipasi dalam pengelolaan Penyu Belimbing dan kawasan konservasi perairan Abun. 5.4.3.5 Potensi Konflik Pengelolaan Sumberdaya Penyu Belimbing Konflik merupakan suatu bentuk interaksi diantara beberapa pihak yang berbeda dalam kepentingan, persepsi dan tujuan. Konflik dilatar belakangi oleh perbedaan ciri ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Potensi konflik biasanya bersumber dari konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal adalah konflik yang terjadi antar sesama masyarakat dalam satu kawasan tertentu. Sementara konflik eksternal adalah konflik yang terjadi oleh semua pihak diluar masyarakat. Konflik yang berpotensi terjadi dalam pengelolaan sumberdaya Penyu Belimbing bersumber dari konflik internal dan eksternal. Berikut ini identifikasi konflik terhadap pengelolaan Penyu Belimbing di pantai peneluran Jamursba Medi dan Wermon terdeskripsikan pada Gambar 51. Konflik internal terjadi antara masyarakat pemilik hak ulayat dan masyarakat biasa. Masyarakat hak ulayat meliputi beberapa marga dari suku Abun seperti Yesnat, Yekwam dan Yessa. Sementara masyarakat biasa adalah masyarakat yang berasal dari suku lain seperti suku Biak, Serui dan suku lainnya. Selanjutnya konflik eksternal terjadi antara masyarakat dengan pemerintah daerah (Tambrauw dan BBKSDA) dan beberapa lembaga swasta (WWF Indonesia, Universitas Negeri Papua dan Yayasan Penyu Indonesia). Konflik juga berpotensi terjadi antara pihak pengelola swasta dan pemerintah daerah maupun pusat (BBKSDA Papua Barat). Gambar 51 menjelaskan pemetaan konflik pengelolaan sumberdaya Penyu Belimbing di Jamursba Medi dan Wermon. Sumber konflik terklasfikasi bersumber dari konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal antara masyarakat hak ulayat dan masyarakat biasa terindikasi adanya keistimewaaan kepada oleh masyarakat pemilik hak ulayat dari beberapa pengelola swasta. Keistimewaan yang diberikan seperti pemberian kompensasi terhadap hak ulayat pantai, pemberian bantuan pendidikan bagi anak pemilik hak ulayat dan pemberian alternatif pekerjaan. Hal berbeda dirasakan masyarakat biasa dimana
tidak adanya perhatian dari pengelola seperti yang diberikan kepada masyarakat pemilik hak ulayat. Kondisi ini menimbulkan kecemburuan dan berakibat pada tindakan merugikan dan memberi dampak terhadap pengelolaan Penyu Belimbing. Tindakan negatif yang diperlihatkan adalah adanya pengambilan telur penyu, melakukan tangkapan terhadap penyu dan beberapa kegiatan lain yang memberikan dampak terhadap penurunan degradasi habitat peneluran.
Universitas Negeri Papua
WWF Indonesia Sahul
=
x
=
= BBKSDA Papua Barat
Pengelolaan Penyu Belimbing di KKLD Abun
=
Masyarakat Pemilik Hak Ulayat
x
x Masyarakat Biasa
x xPemerintah
=
=
x
Sorong
Daerah Kabupaten Tambrauw
Yayasan Penyu Indonesia
x
= Gambar 51. Pemetaan potensi konflik pengelolaan SD penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon Potensi konflik ini kemudian disederhanakan dalam matriks konflik untuk melihat peluang konflik yang terjadi dalam pengelolaan Penyu Belimbing KKLD Abun. WWF
Unipa
BBKSD A
YPI
PEMDA
Msy Biasa
Msy Hak ulayat
WWF Unipa BBKSDA YPI PEMDA Msy Biasa Msy hak ulayat
Keterangan : Arsiran abu: potensi konflik eksternal, Arsiran biru: potensi konflik internal antara Universitas Negeri Papua, BBKSDA Papua Barat, Pemerintah Kabupaten Tambrauw, WWF Indonesia Region Sorong, Yayasan Penyu Indonesia, Masyarakat pemilik hak ulayat, dan Masyarakat biasa.
Potensi konflik eksternal antara pemerintah daerah dengan BBKSDA Papua Barat, WWF Indonesia berhubungan dengan kepentingan sektoral dalam pengelolaan. Konflik kepentingan sektoral antara lembaga lembaga tersebut disebabkan ketidakadaan komunikasi dan pembagian peran sehingga adanya tumpang tindih program yang mengindikasikan ketidakefisien program dan hasil yang diharapkan. Solusi yang dibutuhkan untuk meminimalkan konflik ekternal ini adalah pengelolaan secara adaptif dengan pendekatan kolaborasi antara semua stakehoders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya penyu belimbing. Secara horizontal, masyarakat juga berkonflik dengan WWF, BBKSDA, Yayasan Penyu Indonesia dan terkait dengan transparansi hasil kegiatan konservasi dan dianggap informasi ini menjadi konsumsi lembaga tersebut tanpa sosialisasi kepada masyarakat. Konflik lainnya yang juga tergambar dari Gambar 51 adalah konflik antara pemeritah daerah dengan masyarakat. Konflik tersebut merujuk pada kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan ekonomi masyarakat yang mendiami pesisir KKLD Abun. Rendahnya pendapatan ekonomi masyarakat memicu tingginya pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya Penyu Belimbing. Kondisi ini memicu adanya peningkatan ekploitasi sumberdaya penyu untuk meningkatkan kebutuhan dan pendapatan ekonomi masyarakat. 5.4.3.6 Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw Pemerintah merupakan organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang undang di wilayah tertentu. Pemerintah daerah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan dan bertanggung jawab terhadap keberlanjutan pemeritahan di daerah tersebut. Pemerintah daerah berperan dalam semua kepentingan dan proses pembangunan baik secara ekonomi, ekologi dan sosial kelembagaan. Peranan yang diberikan pemerintah terkait dengan sarana dan prasarana, bimbingan teknis dan non teknis, serta program lainnya yang memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat. Peran pemeritah dari pengelolaan penyu belimbing dan keberlanjutan kawasan konservasi perairan dinilai belum maksimal disebabkan pemerintah Tambrauw merupakan kabupaten definitif (tahun 2009) sehingga masih dalam proses pembenahan. Tetapi dalam waktu mendatang pemerintah Tambrauw memiliki peran krusial dalam pengelolaan sumberdaya Penyu Belimbing dan
keberlanjutan kawasan konservasi perairan Abun mengingat penyu belimbing sebagai ikon Kabupaten Tambrauw, dan juga pesisir Tambrauw yang memiliki potensi keanekaragaman yang tinggi. Mengacu pada kondisi tersebut maka upaya terarah pada optimalisasi peran stakeholder yang berpartisipasi dalam pengelolaan tersebut. Model pendekatan yang perlu dipertimbangan dalam pengelolaan penyu belimbing adalah pendekatan adaptif dan pendekatan co-managemet. Pendekatan adaptif menekankan kepada pengelolaan yang disusun berdasarkan proses pembelajaran sistematis dari pengalaman sukses dan gagal sehingga merujuk pada kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan. Pendekataan co-management mengarah pada pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna sumberdaya dalam pengelolaan konservasi penyu belimbing (Pikerton 1989 in Adrianto dan Kusumastanto 2004). Manfaat yang diperoleh dari pendekatan ini adalah pendekatan pembangunan yang lebih berbasis pada masyarakat, meminimalkan konflik horizontal antara pemerintah dan masyarakat, adanya desentralisasi pengelolaan sumberdaya, dan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan. Sementara manfaat bagi pemerintah adalah berkurangnya wewenang yang berdampak pada meningkatnya efektivitas kewenangan dalam pengelolaan tersebut (Adrianto dan Kusumastanto 2004). 5.4.4 Penilaian Kerentanan Jumlah parameter pada kajian kerentanan populasi pada pantai Jamursba Medi dan Wermon terdiri dari 17 variabel dimana 6 variabel merupakan dimensi keterpaparan, 6 variabel termasuk dalam dimensi kepekaan dan 5 variabel termasuk dalam dimensi kapasitas adaptif seperti pada Tabel 36.
Tabel 36. Nilai skor masing-masing variabel kerentanan populasi penyu belimbing No Variabel Ranking Ranking Jamursba Medi Wermon A Dimensi Keterpaparan 1 Variasi suhu pasir 3 3 2 Kenaikan muka laut /kemiringan pantai 2 2 3 Munsoon 2 3 4 Laju predasi 2 3 5 Pengambilan telur 5 1 6 Tangkapan masyarakat 1 1 B Dimensi Kepekaan 7 Suhu Pasir 4 3 8 Kedalaman sarang 4 3 9 Tekstur pasir 3 2 10 Konsumsi telur 5 5 11 Konsums daging 1 1 12 Tangkapan sampingan perikanan 1 1 C Dimensi Kapasitas Adaptif 13 Relokasi sarang 4 3 14 Perlindungan habitat 2 2 15 Potensi konflik 2 2 16 Peranan pemerintah 2 2 17 Pengetahuan masyarakat 2 2 5.4.4.1 Indeks Keterpaparan Indeks keterpaparan merupakan bagian dari penyusun indeks kerentanan populasi dengan variabel penyusun terdiri dari variabel lingkungan dan sosial antropogenik. Tiap variabel ini memiliki nilai indeks yang berbeda berdasarkan signifikan variabel terhadap kerentanan populasi penyu belimbing. Variasi suhu pasir (VSP) memiliki proporsi terbesar atau paling mempengaruhi indeks keterpaparan kaitannya dengan sukses penetasan telur menjadi individu baru (tukik) pada kedua pantai peneluran. Suhu merupakan penentu seks baik betina maupun jantan untuk jenis hewan yang tergolong reptil (Ackerman 1997) tetapi juga suhu pasir merupakan faktor penunjang dalam perkembangan embrio penyu. Berdasarkan hal tersebut maka keterpaparan pasir terhadap sinar matahari berhubungan dengan suhu dan kelembaban dalam pasir. Perubahan suhu pasir mempengaruhi perkembangan embrio dan periode masa inkubasi telur dalam sarang. Apabila suhu pasir bervariasi dan cenderung meningkat maka dampak yang ditimbulkan adalah gagalnya penetasan telur menjadi tukik dan mengurangi
jumlah individu baru (tukik). Berkurangnya jumlah individu baru berdampak pada ketidakseimbangan alam yang merujuk pada penurunan spesies Penyu Belimbing. Variabel kenaikan muka laut dan kemiringan (SLR/KP) dikedua pantai memiliki proporsi berbeda terhadap indeks keterpaparan. Rata-rata kenaikan muka laut pada kedua pantai adalah 7,6 mm/tahun. Kenaikan muka laut berhubungan dengan elevasi dan kemiringan pantai. Hasil penelitian menunjukkan kemiringan di pantai Wermon termasuk dalam kategori landai (13.64%) dengan jarak surut terandah dan pasang tertinggi 21,71 m, sementara Jamursba Medi termasuk kategori landai sampai datar (1,037%) dengan jarak surut terendah sampai pasang tertinggi mencapai 52,45 m. Perbedaan elevasi dan kemiringan ini mempengaruhi potensi rendaman dimasing-masing pantai peneluran. Berdasarkan kategori kemiringan dan elevasi pantai maka dipastikan pantai Wermon memiliki potensi rendaman tertinggi, cenderung rentan dan berpotensi hilangnya daerah daratan pantai dibandingkan pantai Jamursba Medi yang berpotensi terendam lebih kecil untuk daratan pantai. Dari uraian ini maka rata-rata proporsi yang diberikan terhadap indek keterpaparan adalan 10,91% untuk Pantai Jamursba Medi dan 11,65% untuk pantai Wermon. Variabel lingkungan pembentuk nilai indeks keterpaparan lainnya adalah monsun. Monsun adalah angin musiman yang melintasi Indonesia karena adanya perbedaan musim dibelahan bumi utara (BBU) dan belahan bumi selatan (BBS). Monsun secara tidak langsung melintas diperairan Utara Papua bertepatan dengan musim peneluran penyu belimbing sehingga asumsi yang tersaji adalah monsun berhubungan dengan musim peneluran. Pengaruh monsun belum terukur secara pasti tetapi beberapa peneliti oseanografi mengatakan bahwa keterkaitan antara musim peneluran dan periode monsun teriindikasi dari pola arus yang membantu daya renang penyu mencapai daerah peneluran dan daerah makan. Variabel monsun (M) yang terjadi pada Pantai Jamursaba Medi dan Wermon memiliki proporsi nilai yang berbeda meskipun hanya berbanding 1%. Hal ini disebabkan karena monsun tidak lagi membuat perbedaan musim karena saat ini musim peneluran terjadi sepanjang tahun dikedua pantai ini. Indikasi lain menunjukkan perubahan iklim global berperan terhadap pergeseran monsun yang diasumsikan mempengaruhi pola arus dimana pola arus berkorelasi dengan pola migrasi penyu
belimbing. Pola migrasi dengan tujuan melakukan peneluran, mencari makan dan kawin juga mengalami perubahan secara temporal. Laju predasi menjadi variabel selanjutnya yang merupakan pembentuk indeks keterpaparan. Variabel laju predasi menunjukkan nilai proporsi berbeda antar kedua pantai. Jamursba Medi memiliki proporsi terbesar (25,45%) dan cenderung terbuka terhadap predasi dibandingkan Wermon yang tidak memiliki nilai proporsi (0%). Tingginya predasi di Jamursba Medi disebabkan oleh predator baik predator liar (babi hutan, biawak) dan predator peliharaan masyarakat (anjing). Kondisi yang sama disampaikan Stark (1993) menyatakan bahwa 181 sarang terpredasi (14%) dari 1300 sarang oleh babi hutan selama Juli sampai September 1993. Tapilatu et al. (2005) menunjukkan hal serupa dimana predasi sarang oleh babi hutan mencapai 29,3% selama Juni-Juli 2005. Sejauh ini, belum ada penanganan tentang predasi secara efektif menyebabkan laju predasi masih menjadi salah satu problem yang dijumpai dalam pengelolaan Penyu Belimbing. Faktor sosial antropogenik penyusun indeks keterpaparan terpilih dua variabel yaitu konsumsi telur dan tangkapan oleh masyarakat. Variabel pengambilan telur dan tangkapan masyarakat menunjukkan proporsi tertinggi di pantai Wermon dari kampung Wau-weyaf dan Waybeam sebesar 20,39% dan 11,65%. Sementara pengambilan telur dan tangkapan oleh masyarakat di kampung Sausapor dan Saubeba di pantai Jamursba Medi tidak memiliki nilai proporsi (0%).
Gambar 52. Proporsi nilai variabel pada indeks keterpaparan
Tangkapan dan konsumsi daging juga berkaitan dengan masyarakat Kei (Gambar 53) karena aktivitas perburuan terhadap penyu belimbing yang diketahui adalah populasi dari Jamursba Medi dan Wermon.
100
85
Jumlah
80 59 60 40
67 56
23
22
20
5
26
11
0 Periode 2006/2007 Tertangkap Jantan
Periode 2007/2008 Tertangkap Betina
Periode 2008/2009 Tdk Tertangkap
Gambar 53. Jumlah tangkapan penyu belimbing oleh masyarakat Kei Gambar 53 menunjukkan bahwa laju pemanfaatan tertinggi terjadi di perairan Kei Maluku Tenggara. Pada periode pengamatan (Juni 2008-Maret 2009), tercatat total tangkapan Penyu Belimbing yang dilakukan masyarakat Nufit sebanyak 46 ekor dan yang tidak tertangkap sebanyak 67 ekor. Jika diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin, maka penyu belimbing betina yang tertangkap sebanyak 24 ekor, sedangkan penyu belimbing jantan yang tertangkap sebanyak 22 ekor (WWF 2009). Hasil ini juga memperlihatkan perburuan penyu belimbing pada periode 2008/2009 cenderung tinggi dibandingkan dengan periode 2007/2008, tetapi hasil ini masih lebih rendah dari periode 2006/2007. Tingginya jumlah tangkapan pada periode 2008/2009 dikarenakan lokasi tangkapan yang relatif dekat dan musim ini bersamaan dengan musim teduh. Kedua faktor ini menyebabkan jumlah penyu belimbing yang tertangkap dalam jumlah besar yaitu sekitar 48 ekor. Laju pemanfaatan penyu belimbing baik jantan maupun betina diduga menjadi salah satu faktor penurunan populasi di Jamursba Medi dan Wermon.
5.4.4.2 Indeks Kepekaan Indeks kepekaan atau sensitivity indeks merupakan fungsi dari indeks kerentanan populasi yang diartikan kemampuan sistem dalam merespon gangguan eksternal terhadap sistem tersebut. Variabel penyusun indeks kepekaan menunjukkan perbedaan antara variabel dari faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik. Variabel penyusun indek kepekaan dengan nilai proporsi tertinggi adalah suhu pasir sebesar 51,48% untuk pantai Jamursba Medi dan 26,33% untuk pantai Wermon (Gambar 54). Suhu pasir di Jamursba Medi memiliki proporsi tertinggi dengan fluktuasi suhu pasir selama musim peneluran adalah 30 0C dan 34 0C dibandingkan pantai Wermon yang berfluktuasi 27 0C sampai 31 0C, seperti yang dijelaskan pada Gambar 39. Ditambahkan oleh Tapilatu et al. (2005) bahwa suhu pasir di Jamursba Medi sangat berfluktuasi antara 28.86 0C dan 34.98 0C pada high zone (dekat vegetasi) dan lower zone (dekat laut). Perbandingan ratarata suhu pasir (SP) antara Jamursba Medi dan Wermon menunjukkan bahwa suhu pasir di Jamursba Medi lebih berfluktuasi dibandingkan suhu pasir di Wermon.
Gambar 54. Proporsi nilai indeks kepekaan (Sensitivity index) Variabel tekstur pasir (TP) memiliki proporsi nilai lebih sensitif yaitu 21,30% pada pantai Jamursba Medi dibandingkan 0,58% di pantai Wermon. Hasil yang sama juga dikemukakan Tapilatu et al. (2005) dimana tekstur pasir di pantai Jamursba Medi relatif sensitif yang terindikasi dari rendahnya keberhasilan penetasan. Dari tiga pantai di Jamusrba Medi pantai Wembrak memiliki nilai
persentase paling rendah 9,2%, disebabkan ukuran dan tekstur pasir yang memicu peningkatan suhu pasir, berpotensi melebihi suhu termal perkembangan embrio sehingga menyebabkan kematian. Selanjutnya variabel kedalaman sarang (KS) menunjukkan nilai proporsi tinggi terhadap indeks kepekaan terutama di pantai Wermon sebesar 44,24% dibandingkan Jamursba Medi 21,89%. Jamursba Medi dan Wermon memiliki rata-rata kedalaman yang berbeda dimana kedalaman sarang di Jamursba Medi lebih dalam dibandingkan dengan Wermon. Kedalaman sarang berhubungan dengan topografi dan kemiringan pantai. Apabila pantai terklasifikasi datar maka mendukung proses penggalian sarang dan meminimalkan laju abrasi oleh gelombang pasang surut. Kondisi berbeda, jika pantai terklasifikasi landai dan curam maka sarang yang tergali cenderung tidak pada posisi ideal sehingga berpotensi terabrasi oleh gelombang. Faktor sosial antropogenik memiliki variabel penyusun indeks kepekaan yaitu variabel konsumsi telur dan konsumsi daging oleh masyarakat. Variabel konsumsi telur (KT) memiliki nilai proporsi 28,84% dan sensitif terhadap populasi di pantai Wermon. Sementara di Jamursba Medi memiliki nilai proporsi 21,89% terhadap populasi telur. Perbedaan nilai proporsi ini berhubungan dengan jumlah total sarang dikedua pantai. Jamursba Medi memiliki jumlah total sarang yang lebih banyak daripada Wermon dikarenakan panjang pantai yang mencapai 18 km, dibandingkan Wermon yang hanya 6 km. Panjang pantai mempengaruhi jumlah individu yang naik bertelur sehingga pantai Wermon dengan populasi sarang yang terbatas memberikan kontribusi terhadap nilai proposi pengambilan dan konsumsi telur yang bersifat negatif terhadap populasi sarang di Wermon. Konsumsi daging (KD) terhadap populasi di Jamursba Medi dan Wermon tidak memiliki nilai (0.0%) terhadap populasi. Konsumsi daging oleh masyarakat pesisir Abun tergolong rendah dengan frekuensi 1 - 3 kg dikarenakan hanya untuk konsumsi keluarga. Kondisi ini memungkinkan karena masyarakat hanya mengkonsumsi ketika musim peneluran selebihnya masyarakat bergantung terhadap hasil meramu di hutan. Variabel tangkapan sampingan menjadi variabel penyusun indeks kepekaan yang tidak memiliki nilai proporsi (0%). Tangkapan sampingan merupakan bagian dari aktivitas perikanan yang menghasilkan spesies bukan
target. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas perikanan di perairan utara Abun tergolong berskala kecil. Ini terlihat dari kapal penangkapan yang berukuran 4 - 5 GT dengan jumlah kapal 2 - 4 buah. Rendahnya aktivitas perikanan di pesisir utara Abun disebabkan kondisi perairan yang selalu bergelombang karena berhadapan dengan Samudra Pasifik. Oleh sebab itu, diperoleh informasi bahwa selama penangkapan ikan jarang terlihat penyu yang terjaring atau tertangkap. Kondisi berbeda terlihat di laut lepas dengan jarak yang jauh dari pesisir Abun (2 mil dari pantai) dimana beroperasinya kapal perikanan tuna. Fakta ini diperkuat dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa Utara Kepala Burung Papua menjadi daerah penangkapan beberapa kapal rawai tuna yang berpusat di Bitung (Zainuddin et al. 2006). Selain kapal rawai tuna, beberapa kapal udang diketahui melakukan penangkapan di perairan laut utara Kepala Burung Papua. Tangkapan sampingan terbanyak diketahui berasal dari perikanan rawai tuna dan kapal penangkap udang dengan alat tangkap trawl. Hasil survey LIPI dan WWF (2005), menunjukkan rawai tuna merupakan alat tangkap yang berpotensi dan efektif dalam menyebabkan tertangkapnya penyu laut secara tidak sengaja (bycatch). Bilahmar (2005), press com dari Asosiasi Tuna Indonesia menyatakan diduga terdapat 1600 buah kapal rawai tuna berbendera Indonesia, jika satu kapal rata- rata beroperasi dalam 4 trip dalam setahun,dan dalam satu trip minimal satu penyu tertangkap, maka estimasi jumlah penyu yang tertangkap sebanyak 6400 ekor dalam setahun (LIPI dan WWF 2005). Lewison (2004) memperoleh hasil tangkapan sampingan dari rawai untuk ikan tuna dan swordfish berkisar antara 014 ekor untuk penyu tempayan dan 0- 2.4 ekor untuk penyu belimbing dari 1000 mata pancing yang digunakan. Alat tangkap lain selain rawai tuna seperti gillnet/drifnet, purse seine, set net atau sero, trawl (pukat harimau) dan alat lainnya berpotensi menyebabkan penyu tertangkap atau terjaring. Pierpoint (2000) menunjukkan bahwa gillnet dan driftnet yang dipakai untuk menangkap ikan tuna dapat menjerat penyu belimbing dengan laju tangkapan sebesar 0,33 - 8 penyu per 10.000 rawai tuna di perairan Inggris dan Irlandia. Meskipun jenis alat tangkap ini memiliki persentase yang jauh dari rawai, namun 45% dari nelayan yang diwawancari pernah menangkap penyu dengan alat tangkap selain rawai.
Selanjutnya LIPI dan WWF (2005) melakukan analisa terkait aktivitas perikanan dan jumlah armada untuk memperkirakan laju tangkapan sampingan berdasarkan daerah menangkap. Hasil menunjukkan bahwa perbandingan pengoperasian armada di samudra Pasifik dan samudra Hindia adalah 16% berbanding 84%. Sejumlah armada penangkapan terkonsentrasi di Samudra Pasifik dikarena produktivitas perairan yang tinggi karena proses upwelling dan proses oseanografi lainnya. Selanjutnya estimasi perbandingan tangkapan sampingan antara penyu belimbing dan penyu tempayan dari kapal rawai tuna adalah 28% berbanding 86%. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa peluang tertangkapnya penyu belimbing oleh kapal rawai tuna Indonesia di samudra Pasifik adalah 768 – 2.304 ekor per tahun. Hasil berbeda ditunjukan oleh Lewison et al. (2004) melalui peta sebaran pendugaan penyu belimbing dan penyu tempayan untuk tahun 2000 diperairan dunia (Lampiran 13). Dari peta tersebut terlihat kisaran tangkapan sampingan di Pasifik untuk Penyu Belimbing adalah 20000-40000 ekor sedangkan disamudra Hindia adalah 4000 ekor. Jika dibandingkan dengan perkiraan tangkapan sampingan dari kapal perikanan rawai Tuna Indonesia yang beroperasi di samudra Hindia menunjukkan perbedaan nilai tangkapan sampingan estimasi Lewison et al. (2006) dimana perikanan rawai tuna Indonesia memiliki interaksi kuat dan tinggi terhadap tangkapan sampingan kedua jenis penyu samudra Hindia dan relatif rendah di samudra Pasifik. 5.4.4.3 Indeks Kapasitas Adaptif Indeks kapasitas adapatif adalah fungsi ketiga dari kerentanan selain indeks keterpaparan dan indeks kepekaan. Indeks kapasitas adaptif terdiri dari lima variabel penyusun yaitu variabel sarang relokasi (SR), perlindungan habitat (PH), pengetahuan masyarakat (PM) tentang konservasi, potensi konflik (PK) dan peranan pemerintah dalam konservasi (PP). Dari kelima varibel tersebut relokasi sarang memiliki proporsi tertinggi dalam menyusun indek kapasitas adaptif. Relokasi sarang di Jamursba Medi memiliki proporsi nilai terbesar yaitu 85,25% dibandingkan 66,45% untuk relokasi di pantai Wermon. Tingginya proporsi relokasi sarang di Jamursba Medi disebabkan jumlah sarang yang direlokasi lebih banyak dibandingkan Wermon yaitu sekitar 50 sarang per pantai. Jika dibandingkan di Wermon yang direlokasi hanya 25 sarang permusim.
Variabel perlindungan habitat (PH) berkaitan dengan penetapan status kawasan konservasi. Tahun 2005 penetapan kawasan pesisir laut Jamursba Medi diusulkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun. Pengusulan luasan KKLD Abun mencakup kawasan pesisir Jamursba Medi tanpa Wermon. Luasan ini dirasakan kurang mampu melindungi penyu belimbing mengingat Wermon merupakan pantai dengan jumlah populasi yang besar. Berdasarkan hal tersebut, maka adanya pengusulan baru yang meliputi pesisir Jamursba Medi sampai Wermon dengan luasan 169.515,783 ha. Dari uraian ini, nilai proporsi perlindungan habitat sebesar terlihat di Jamursba Medi rendah sekitar 7,25% dibandingkan perlindungan habitat di Wermon yaitu 14,19%. Nilai proporsi ini menjelaskan bahwa perlindungan habitat di Wermon harus menjadi prioritas dalam kaitannya perlindungan habitat dalam waktu mendatang mengingat keterancaman populasi penyu belimbing lebih tinggi dibandingkan populasi di pantai Jamursba Medi. Variabel pengetahuan masyarakat (PM) menjadi variabel penting sebagai dasar keberlanjutan konservasi penyu belimbing di KKLD Abun. Pengetahuan masyarakat menunjukkan persepsi yang bervariasi. Nilai proporsi pantai Wermon mencapai 5,16% dibandingkan Jamursba Medi yang tidak bernilai (0%). Nilai ini menjelaskan bahwa pengetahuan masyarakat di kampung yang berdampingan dengan Wermon masih terbilang rendah. Hal ini disebabkan tingkatan pendidikan yang rendah dan sosialisasi pemerintah maupun pihak konservasi yang cenderung belum optimal. Variabel potensi konflik (PK) dan peranan pemerintah (PP) memberikan kontribusi terkecil dalam indeks kapasitas adaptif. Potensi konflik memberikan kontribusi nilai proporsi sebesar 5,16% untuk pengelolaan di Wermon. Konflik yang teridentifikasi adalah konflik antara masyarakat, masyarakat dengan pemerintah. Adanya konflik ini menjadi kendala bagi kegiatan konservasi di pantai tersebut.
Gambar 55. Proporsi nilai indeks kapasitas adaptif (Adaptif capasity index) Variabel peranan pemeritah terhadap kegiatan konservasi dirasakan masih kurang karena nilai proporsi hanya 1%, untuk pengelolaan Jamursba Medi. Pemeritah daerah belum melakukan tugas dan fungsi dengan program-program prioritas. Indikasinya adalah lambatnya respon pemeritah dan mengelola KKLD Abun yang telah ditetapkan selama 7 tahun ini. Lambatnya respon pemerintah daerah juga terlihat dari rendahnya frekuensi sosialisasi tentang konservasi dan perlindungan lingkungan. Secara keseluruhan komposit nilai indek penyusun kerentanan populasi di kedua pantai terlihat pada Gambar 56 dan 57. Nilai indeks kerentanan yang tersusun dalam kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon menunjukkan perbedaan ditiap indeksnya. Keterpaparan populasi penyu belimbing terhadap perubahan lingkungan dan aktivitas manusia termasuk dalam kategori sedang (medium vurnerable) dengan nilai 0.48 dan 0.51 untuk populasi Jamursba Medi dan Wermon (Gambar 56). Indeks kepekaan menunjukkan kerentanan populasi termasuk dalam level tinggi (high vurnerable = 0.77) di pantai Wermon, sedangkan di Jamursba Medi berada pada level sedang (medium vurnerable = 0.52) (Gambar 56). Perbedaan nilai indeks kepekaan antara kedua pantai ini menunjukkan populasi Wermon sangat sensitivif terhadap ancaman faktor lingkungan maupun sosial antropogenik. Ancaman lingkungan berkaitan dengan degradasi habitat peneluran yang berdampak pada penurunan jumlah sarang
dipantai dan jumlah tukik yang dihasilkan. Ancaman sosial antropogenik terhadap populasi penyu belimbing di Wermon berdasarkan pengambilan telur oleh masyarakat lokal, pemanfaatan atau perburuan langsung oleh masyarakat diluar pantai Wermon seperti di pesisir Utara Manokwari dan masyarakat diperairan Kei. Indeks kapasitas adaptif pada kedua pantai ini berada pada level kerentanan yang sama yaitu kerentanan sedang (medium vurnerable) meskipun Wermon memiliki nilai lebih tinggi (0.52) dibandingkan Jamursba Medi (0.43) (Gambar 56). Adanya level yang sama dikedua pantai ini dikarenakan variabel lingkungan seperti sarang relokasi sudah dilakukan secara intesif di kedua pantai tersebut. Selain relokasi sarang, variabel kapasitas adaptif lainnya juga harus dioptimalkan dalam mendukung keberlanjutan pengelolaan populasi penyu belimbing.
Gambar 56. Fungsi indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon Gambar 57 menjelaskan tentang indeks komulatif kerentanan populasi dikedua pantai menunjukkan level yang berbeda. Pantai Jamursba Medi memiliki indeks kerentanan populasi pada level sedang (medium vurnerable = 0.486) dan Wermon berada pada level tinggi (high vurnerable = 0.616). Indikasi keterancaman populasi Wermon didasarkan penurunan populasi secara drastis (Gambar 19 daan 20) mencapai 10 % per tahun dan penurunan populasi Jamursba Medi mencapai 5.8 % (Gambar 57). Apabila dikomposit berdasarkan faktor
penyusun yaitu faktor lingkungan dan sosial antropogenik maka populasi Jamursba Medi berada pada level kerentan sedang (medium level) dengan nilai 0.525. Berdasarkan nilai ini maka dapat disimpulkan bahwa populasi di kedua pantai ini rentan terhadap ancaman faktor lingkungan dan sosial antropogenik serta faktor lain sehingga perlu dilindungi secara intensif dan menyeluruh.
Gambar 57. Indeks kerentanan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon Hasil indeks kerentanan menunjukkan bahwa populasi Wermon termasuk dalam level kerentanan tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian estimasi populasi yang dilakukan oleh Hitipeuw et al. (2007), Dutton et al. (2007) dan Sarti et al. (1996) menunjukkan bahwa populasi Wermon terancam punah apabila jumlah sarang per musim terus mengalami penurunan. Penurunan populasi sarang di pantai peneluran secara drastis mengindikasikan berkurangnya individu dewasa yang naik bertelur di pantai. Penurunan populasi individu dewasa tidak hanya terjadi di Wermon tetapi pada populasi Pasifik Barat. Hasil penelitian genetik menyatakan bahwa populasi Jamursba Medi dan Wermon merupakan satu populasi Pasifik Barat. Adanya perbedaan pola migrasi secara temporal menyebabkan populasi penyu belimbing Pasifik Barat memiliki habitat peneluran yang berbeda. Adanya perbedaan peneluran secara spasial dan temporal dari populasi ini membentuk metapopulasi di wilayah Pasifik Barat.
Gambar 58. Trend penurunan jumlah sarang penyu belimbing di Pantai Jamursba Medi dan Wermon (Tapilatu et al. in prep) Populasi di Jamursba Medi dan Wermon memiliki perbedaan waktu peneluran. Jamursba Medi memiliki musim peneluran yang dikenal dengan musim summer boreal (bertepatan dengan musim panas di belahan bumi utara) dimana populasi Penyu Belimbing terdistribusi dengan satu musim puncak (unimodal) pada bulan April-September (Gambar 59). Wermon memiliki musim peneluran austral summer (bertepatan musim panas di Australian dan musim dingin di belahan bumi utara). Populasi Wermon terdistribusi kedalam dua puncak musim yang dikenal dengan Bimodal dengan musim puncak pada DesemberFebruari dan Juni-Juli dengan jumlah sarang yang tidak signifikan (Gambar 59).
Gambar 59. Distribusi musim peneluran di Jamurba Medi (Unimodal atau plot berwarna biru) dan Wermon (Bimodal atau plot berwarna merah) (Tapilatu et al. in prep)
Gambar 59 menjelaskan tentang musim puncak dari populasi Jamursba Medi dan Wermon. Jamursba Medi memiliki satu musim puncak tetapi signifikan dan cenderung tinggi. Wermon memiliki dua musim puncak tetapi jumlah sarang tidak signifikan seperti Jamusrba Medi. Kondisi ini diperkuat dengan jumlah individu betina yang melakukan peneluran pada musim Jamursba Medi lebih banyak dibanding musim Wermon (Tapilatu et al. in prep). Terjadi trend penurunan populasi pada dua musim peneluran tetapi musim austral summer lebih rendah dibandingkan musim boreal summer yaitu 10.5% dan 6.4% selama 2005 2011 (Tapilatu et al.in prep) (Gambar 60). Penjelasan ini memperkuat indeks kerentanan dimana populasi Wermon sangat rentan apabila mengacu pada jumlah sarang, jumlah individu betina dan musim peneluran.
Gambar 60. Jumlah penyu belimbing yang bertelur pada musim boreal summer dan austral summer di pantai Jamursba Medi dan Wermon (Tapilatu et al. in prep).
5.5
Analisis Skenario KKLD Abun dengan Analisis Tradeoff (TOA) Groves (2003) menyatakan untuk menyelamatkan spesies menuju
kepunahan digunakan pendekatan konservasi keanekaragaman hayati. Spesies yang dimaksud menjadi target (species target), sedangkan komunitas biotik dimana spesies itu berada dijadikan target konservasi (conservation target). Jika pemikiran tersebut diterapkan pada kasus kawasan konservasi laut daerah Abun maka dengan melindungi Penyu Belimbing diperlukan kawasan konservasi cukup luas dengan keanekaragaman hayati dan beberapa tipe ekosistem didalamnya. Penyu berperan sebagai spesies payung (umbrella species) bagi upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem di pesisir utara Kepala Burung Papua dengan desain skenario yang mengakomodir semua kepentingan. Analisis tradeoff menjadi pilihan dalam menganalisis skenario keberlanjutan KKLD Abun dengan pendekatan sistem skor dan pembobotan. Ada empat tahapan dalam tradeoff yaitu identifikasi stakeholder, analisis multikriteria, analisis skenario dan identifikas rentang bobot serta pemilihan skenario terbaik. 5.5.1 Identifikasi Stakeholder Analisis stakeholder adalah sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai
kelompok
atau
individu
yang
mempengaruhi
keputusan,
mengkategorikan informasi dan menjelaskan konflik yang mungkin ada di antara kelompok penting, dan di daerah mana kemungkinan adanya trade-off. Untuk menjalankan analisis stakeholder, maka diperlukan langkah langkah. Pertama, mengidentifikasi stakeholder, metode untuk mengidentifikasi stakeholder adalah dengan menggunakan sebuah kontinum stakeholder dari makro ketingkat mikro. Identifikasi stakeholder dilokasi penelitian diketahui 10 stakeholder yang berperan dan relatif berpengaruh terhadap pengelolaan populasi Penyu Belimbing di KKLD Abun. Pengaruh dan peran dari tiap stakeholder dalam pengelolaan terklasifikasi berdasarkan skala oleh Marimin (2004) dan Saaty (1991). Untuk mengetahui pengaruh stakeholder terhadap populasi Penyu Belimbing dikelompokan kedalam 4 bagian yaitu 1: tidak berpengaruh, 2: sedikit berpengaruh, 3: berpengaruh dan 4: sangat berpengaruh (Marimin 2004). Selanjutnya untuk mengetahui kepentingan dari stakeholder juga dikelompokkan dalam empat skala yaitu 1: kurang
berkepentingan, 2: sedikit berkepentingan, 3: berkepentingan dan 4: sangat berkepentingan. X1 : Nelayan X2 : Peneliti X3 : Distrik Abun X4 : Badan Lingkungan Hidup X5 : Dinas Perikanan Kelautan X6 : BBKSDA X7 : Masyarakat lokal X8 : WWF Indonesia X9 : Universitas Negeri Papua X10 : Yayasan Penyu Indonesia
Gambar 61 : Kepentingan dan pengaruh stakeholder terhadap pengelolaan populasi penyu belimbing dan KKLD Abun Hasil analisis stakehoder yang dipilih adalah stakehoder diatas garis linear. Pemilihan stakehoder ini mengacu pada Kusdiantoro et al. (2006) yang menyatakan bahwa pemilihan stakeholder berdasarkan kelompok yang berada diatas garis linear secara diagonal karena memiliki nilai pengaruh dan peran yang besar terhadap pengelolaan populasi penyu belimbing. Stakeholder yang terpilih (Gambar 59) adalah X4 (Badan Lingkungan Hidup), X5 (Dinas Perikanan Kelautan), X6 (BKSAD II Papua), X7 (masyarakat lokal), X8 (WWF Indonesia), X9 (Universitas Negeri Papua), X10 (Yayasan Penyu Indonesia). Stakehoder yang berada diatas garis linear menentukan indikator keberlanjutan skenario, dimensi pengelolaan dan diharapkan menentukan kebijakan yang diambil terkait pengelolaan KKLD Abun.
5.5.2
Analisis Skenario Analisis skenario dan kriteria merupakan tahapan selanjutnya dalam
tradeoff analisis. Analisis skenario bertujuan mengklasifikasikan skenario terbaik berdasarkan isu yang terjadi. Klasifikasi skenario A, B, C dan D secara jelas dijabarkan pada Tabel 37. Tabel 37. Alternatif Skenario untuk pengelolaan penyu belimbing dan Keberlanjutan KKLD Abun No Skenario Deskripsi A Tanpa Pengelolaan Skenario tanpa pengelolaan berarti meniadakan aktivitas pengelolaan dengan membiarkan perkembangan populasi secara alami. B Sub Model Lingkungan Skenario sub model lingkungan menitikberatkan pada pengelolaan lingkungan terutama di pantai peneluran. Pada sub model lingkungan difokuskan pada peningkatan jumlah individu baru (tukik) melalui upaya relokasi, menurunkan laju predasi, menjaga kestabilan pantai dan meminimalkan degradasi habitat peneluran. C Sub Model Sosial Sub model sosial antropogenik diarahkan Antropogenik pembatasan pemanfaaatan terhadap sumberdaya penyu seperti pengambilan telur, perburuan individu dewasa, tangkapan sampingan dari aktivitas perikanan. D Sub Model Keterpaduan Skenario keterpaduan difokuskan pada memadukan Lingkungan dan Sosial dua menjalankan dua skenario yaitu sub model Antropogenik lingkungan dan sosial antropogenik secara bersamaan sehingga adanya keseimbangan dalam pengelolaan. Tahapan selanjutnya adalah pengelompokan issu dan permasalahan berdasarkan dimensi lingkungan dan sosial antropogenik. Hasil survei dan observasi selama penelitian mengakategorikan isu-isu dan permasalahan pengelolaan populasi Penyu Belimbing di KKLD Abun sebagaimana dijelaskan pada Gambar 61.
KKLD ABUN
Lingkungan
Suhu pasir
Tekstur pasir
Relokasi sarang
Kenaikan muka laut
Sosial antropogenik
Kemiringan pantai
Kedalaman sarang
Laju predasi
Perlindungan habitat
Pengambilan telur
Penangkapan penyu
Konsumsi telur
Konsumsi daging
Bycatch
Gambar 62. Isu utama dalam pengelolaan populasi penyu belimbing di KKLD Abun.
5.5.3 Analisis Multi Kriteria Analisis multi kriteria adalah proses penetapan skenario berdasarkan nilai yang pembobotan skenario. Berdasarkan hasil analisis dan pengumpulan data selama penelitian maka didapatkan hasil data yang dijelaskan pada Tabel 38 yaitu nilai kriteria untuk tiap dimensi lingkungan dan sosial antropogenik. Masingmasing nilai pada tabel skenario tersebut harus distandarisasi dengan menggunakan pengharkatan atau scoring agar nilai yang digunakan dapat dihitung sebagai pertimbangan keputusan.
Tabel 38. Nilai hasil skenario pengelolaan populasi penyu belimbing di KKLD Abun. Kriteria
Nilai Skenario B C
A Dimensi lingkungan (1) Suhu pasir (C) (2) Kenaikan muka laut (mm/tahun) (3) Kemiringan pantai (%) (4) Kedalaman sarang (cm) (5) Tekstur pasir (nm) (6) Laju predasi (%) (7) Relokasi sarang (sarang) (8) Perlindungan habitat (km2) Dimensi sosial antropogenik (9) Pengambilan telur (sarang) (10) Konsumsi telur (butir) (11) Penangkapan penyu (ekor) (12) Konsumsi daging (kg) (13) Tangkapan sampingan (ekor)
D
32 7.8 10 80 500 70 10 50
28 7.8 10 80 500 40 100 100
31 7.8 10 80 500 40 50 200
28 7.8 10 80 500 20 200 500
100 1000 50 30 100
50 500 20 20 50
25 250 10 10 20
15 100 5 5 10
Tabel 38 menjelaskan tentang nilai kriteria pada tiap skenario A, B, C dan D. Nilai kriteria ditiap skenario menggambarkan nilai masing masing variabel yang akan dikonversi menjadi skor (0-100) sehingga menghasilkan nilai skor. Nilai skor akan digunakan untuk penentuan sistem ranking berdasarkan pilihan stakholder. Nilai skenario ditampilkan pada Tabel 39. Tabel 39. Nilai skor dari tiap variabel terhadap skenario pengelolaan Kriteria A Dimensi lingkungan (1) Suhu pasir (0C) (2) Kenaikan muka laut (mm) (3) Kemiringan pantai (%) (4) Kedalaman sarang (cm) (5) Tekstur pasir (nm) (6) Laju predasi (%) (7) Relokasi sarang (sarang) (8) Perlindungan habitat (km2) Rata-rata skor lingkungan Dimensi sosial antropogenik (9) Pengambilan telur (sarang) (10) Konsumsi telur (butir) (11) Penangkapan penyu (ekor) (12) Konsumsi daging (kg) (13) Tangkapan sampingan (ekor) Rata-rata skor sosial antropogenik Skor rerata keseluruhan
Skoring Skenario B C
D
0 0 0 0 0 0 100 100 25
100 0 0 0 0 60 53 89 38
33 0 0 0 0 60 79 67 30
67 0 0 0 0 100 0 0 21
0 0 0 0 0 0 13
59 56 67 40 56 55 47
88 83 89 80 89 86 58
100 100 100 100 100 100 60
Berdasarkan Tabel 39 diperoleh nilai rata-rata tertinggi adalah pada skenario D (skor 60), diikuti nilai skenario C (skor 58). Untuk mendapatkan kesimpulan tentang skenario mana yang lebih baik, maka digunakan analisis preferensi dari stakeholder. Analisis preferensi tersebut dapat dilakukan melalui skala perhitungan antara lain adalah skala nominal, ordinal, interval dan rasio. Ringkasan hasil penelitian persepsi dari 7 stakeholder terhadap kedua dimensi
prioritas
dalam
penentuan
kebijakan
(lingkungan
dan
sosial
antropogenik) tersaji pada Table 40. Tabel 40. Preferensi stakeholder terkait pengelolaan KKLD Abun Prioritas pengelolaan Lingkungan
x 4 3
Sosial antropogenik
3
Preferensi stakeholder x x x x x x 5 6 7 8 9 10 3 2 3 3 3 3 4
4 4 4 4
4
Total Median 3 4
Bobot
Rank
20
0.43
2
27
0.57
1
47
1.00
Tabel ini (40) menjelaskan tentang pilihan dimensi terbaik oleh stakehoder yang dilakukan dalam pengelolan Penyu Belimbing. Pemilihan dimensi ini ditentukan oleh stakehoder berdasarkan persepsi dengan mengacu pada skala yang ditentukan mulai dari 1-4 berdasarkan Saaty 1991 dengan keterangan (1: tidak penting, 2: sedikit penting, 3: penting dan 4 : sangat penting). Pemberian nilai ranking berdasarkan pengaruh dimensi tersebut dalam pengelolaan. Semakin tinggi nilai ranking diketahui semakin berpotensi mempengaruhi populasi sehingga menjadi prioritas pengelolaan. Dalam penelitian ini, prioritas manajemen yang paling penting dilakukan bertujuan meningkatan populasi penyu belimbing dan keberlanjutan KKLD Abun. Berdasarkan faktor lingkungan yaitu perlindungan ekosistem, peningkatan populasi individu baru (tukik), pengurangan laju predasi sarang di pantai peneluran. Sementara faktor sosial antropogenik merujuk pada perbaikan isu-isu sosial antropogenik dan budaya serta pengawasan terhadap aktivitas perikanan terkait dengan tangkapan sampingan penyu belimbing.
5.5.4 Identifikasi Rentang Bobot untuk Skenario Bobot adalah angka-angka yang dapat dilampirkan atau mewakili dimensi dalam menentukan kepentingan relatif dari tiap item yang berbeda. Identifikasi bobot
bertujuan
mengetahui
tingkatan
dimensi
lingkungan
dan
sosial
antropogenik. Identifikasi bobot menjadi tahapan terakhir dalam penentuan skenario terbaik yang menjadi prioritas pengelolaan seperti pada perumusan berikut.
TLg
= Rata-rata preferensi Lingkungan
TSA
= Rata-rata preferensi Sosial Antropogenik
TR
= Total Rata-rata
Bobot yang digunakan adalah 0.43 untuk dimensi lingkungan dan 0.57 untuk dimensi sosial antropogenik dengan total bobot adalah 1.00. Selanjutnya perhitungan antara skor dikalikan bobot tergambarkan pada Tabel 41. Tabel 41. Nilai skor dan bobot untuk masing-masing skenario. Kriteria Dimensi lingkungan Dimensi Sosial antropogenik Total
Skenario A (0.43x25) 10.75 (0.57x0) 0 10.17
B (0.43x38) 16.34 (0.57x55) 31.35 47.69
C (0.43x43) 12.9 (0.57x86) 49.02 61.92
D (0.43x21) 9.03 (0.57x100) 57 66.03
Perhitungan ini berdasarkan perumusan skala prioritas dengan metode perkalian antara bobot dan skor yang telah didefinisikan. Skor didapatkan dari hasil analisis skala kriteria yang disajikan pada Table 40. Berdasarkan perhitungan ini diperoleh skenario D sebagai prioritas utama dalam pengelolaan populasi Penyu Belimbing sebagai indikator keberlanjutan KKLD Abun, dengan kriteria peningkatan utama pada pengelolaan aspek sosial antropogenik dan lingkungan. Namun demikin sebagai catatan, dalam pertimbangan model ini skenario C tetap diperhatikan karena nilainya tidak jauh berbeda dari Skenario D. Ada kemungkinan kedua sub model C bisa dipilih dengan melihat isu utama yang
terjadi di KKLD Abun. Skenario D (sub model keterpaduan) menjadi skenario terbaik disebabkan dalam pengelolaan perlu adanya keseimbangan pengelolaan dimana pendekatan pengelolaan antara ekologi, ekonomi dan sosial. Pengelolaan penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon telah berjalan dengan pendekatan lingkungan yaitu perlindungan habitat peneluran, peningkatan individu baru melalui relokasi sarang. Hasil dari pengelolaan lingkungan adalah adanya peningkatan jumlah individu baru dalam beberapa musim terakhir, tetapi ada indikasi penurunan jumlah individu dewasa yang ditandai dengan penurunan jumlah sarang di pantai. Estimasi penurunan populasi penyu belimbing di Jamursba Medi dan Wermon diduga disebabkan pengambilan telur oleh masyarakat disekitar pantai peneluran, perburuan oleh masyarakat lokal baik dipesisir Papua dan Kei Maluku dan tangkapan sampingan dari aktivitas perikanan (Tapilatu et al. in prep). Mengacu pada fakta tersebut maka pendekatan skenario keterpaduan merupakan pilihan tepat dalam pengelolaan penyu belimbing di KKLD Abun disamping perlu adanya regulasi antara kabupaten dan propinsi dalam kaitan perburuan oleh masyarakat Kei Maluku.