47
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Ekonomi Kecamatan di Wilayah Pesisir Kecamatan-kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Garut sampai saat ini masih dianggap sebagai wilayah yang belum berkembang secara optimal baik dilihat dari sisi capaian PDRB maupun IPM. Untuk merancang suatu strategi pembangunan yang tepat dalam mendorong perkembangan ekonomi wilayah pesisir, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan menganalisis tingkat perkembangan ekonomi di wilayah tersebut terutama dari sisi keberagaman (diversitas) dan keberimbangan sektor-sektor ekonomi yang ada. Salah satu metode analisis yang dapat digunakan adalah dengan metode entropi. Prinsip pengertian indeks Entropi adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi Entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Nilai indeks diversitas entropi mengindikasikan keberagaman dan keberimbangan aktivitas/sektor ekonomi di suatu wilayah. Semakin bertambah jumlah jenis aktivitas/sektor ekonomi maka nilai indeks diversitas Entropi akan semakin besar. Semakin berimbang komposisi berbagai aktivitas/sektor ekonomi tersebut, nilai indeks Entropi juga semakin besar. Dalam penelitian ini, dilakukan analisis entropi wilayah terhadap 42 kecamatan yang ada di Kabupaten Garut. Tujuannya untuk melakukan perbandingan antara perkembangan wilayah di kecamatan pesisir dengan perkembangan wilayah di kecamatan-kecamatan lainnya. Komponen yang dianalisis adalah nilai PDRB tiap sektor di tiap kecamatan. Data yang digunakan adalah data PDRB 42 Kecamatan di Kabupaten Garut Tahun 2007 atas dasar harga konstan yang dipublikasikan BPS pada Tahun 2008. Data ini merupakan data paling baru yang dimiliki BPS karena sejak Tahun 2009 sampai saat ini, BPS Kabupaten Garut belum mempublikasikan kembali data terbaru PDRB tiap kecamatan. Data PDRB yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran. Dari hasil analisis entropi terhadap nilai PDRB tiap sektor, dapat diketahui bahwa nilai entropi total untuk Kecamatan Caringin adalah 0.0647, Kecamatan Bungbulang 0.1111, Kecamatan Mekarmukti 0.0334, Kecamatan Pakenjeng 0.0804, Kecamatan Cikelet 0.0874, Kecamatan Pameungpeuk 0.1059 dan Kecamatan Cibalong 0.1032. Dengan memperbandingkan nilai indeks entropi masing-masing kecamatan di wilayah pesisir, dapat diketahui bahwa nilai entropi tertinggi adalah Kecamatan Bungbulang sebesar 0.1111, Kecamatan Pameungpeuk sebesar 0.1059 dan Kecamatan Cibalong 0.1034. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat keberagaman (diversitas) dan keberimbangan sektor-sektor ekonomi di Kecamatan Bungbulang, Pameungpeuk dan Cibalong cukup baik dibandingkan dengan Kecamatan Cikelet, Caringin dan Mekarmukti. Artinya, ketiga kecamatan tersebut relatif memiliki perkembangan wilayah yang lebih maju dibanding kecamatan lainnya di wilaah pesisir. Nilai entropi tiap sektor ekonomi di kecamatan wilayah pesisir serta nilai rata-rata entropi total disajikan pada Tabel 13.
48 Tabel 13 Hasil Analisis Entropi terhadap Nilai PDRB Tiap Sektor Ekonomi Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut* PERDAGANGAN, HOTEL & RESTORAN
PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI
KEUANGAN, PERSEWAAN, & JS. PRSH.
CARINGIN 0.0441 0.0004 0.0033 0.0005 BUNGBULANG 0.0602 0.0004 0.0078 0.0009 MEKARMUKTI 0.0243 0.0000 0.0007 0.0003 PAKENJENG 0.0569 0.0002 0.0026 0.0009 CIKELET 0.0479 0.0000 0.0079 0.0006 PAMEUNGPEUK 0.0404 0.0007 0.0061 0.0007 CIBALONG 0.0655 0.0001 0.0087 0.0006 Rata-rata 0.0487 0.0003 0.0092 0.0010 42 Kec di Kab. Garut Perkembangan Wilayah Kecamatan Pesisir (Stot/Smaks)= Perkembangan Wilayah Kabupaten Garut (Stot/Smaks) =
BANGUNAN
LISTRIK, GAS & AIR BERSIH
INDUSTRI PENGOLAHAN
PERTAMBANGAN & PENGGALIAN
1 2 3 4 5 6 7
KECAMATAN
PERTANIAN
No.
JASAJASA
0.0009
0.0068
0.0015
0.0030
0.0042
0.0647
0.0036
0.0199
0.0023
0.0054
0.0106
0.1111
0.0004
0.0035
0.0004
0.0007
0.0032
0.0334
0.0024
0.0086
0.0018
0.0029
0.0042
0.0804
0.0046
0.0154
0.0046
0.0014
0.0049
0.0874
0.0016
0.0381
0.0071
0.0038
0.0074
0.1059
0.0028
0.0117
0.0059
0.0030
0.0049
0.1032
0.0043
0.0284
0.0048
0.0050
0.0124
0.1141
ENTROPI TOTAL
0.7168 0.8074
*) Diolah dari hasil analisis entropi 42 kecamatan di Kabupaten Garut
Dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa meskipun ada tiga kecamatan di wilayah pesisir yang memiliki nilai indeks entropi total cukup baik yaitu Kecamatan Bungbulang, Kecamatan Pameungpeuk dan Kecamatan Cibalong, tetapi bila dibandingkan dengan nilai entropi rata-rata seluruh kecamatan di Kabupaten Garut, ternyata perkembangan ekonomi semua kecamatan di wilayah pesisir masih berada di bawah rata-rata. Nilai entropi rata-rata seluruh kecamatan sebesar 0.1141, sementara nilai entropi tertinggi di kecamatan pesisir yaitu Kecamatan Bungbulang hanya 0.1111. Ketimpangan perkembangan wilayah juga terjadi bila diperbandingkan antara tingkat perkembangan wilayah dengan total kemampuan maksimumnya. Berdasarkan analisis entropi perkembangan wilayah (Stot/Smaks), dapat diketahui bahwa nilai entropi keseluruhan untuk kecamatan-kecamatan di wilayah pesisir hanya sebesar 0.7168. Itu berarti kecamatan di wilayah pesisir secara keseluruhan memiliki tingkat perkembangan sebesar 72% dari total kemampuan maksimumnya. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Garut yang memiliki tingkat perkembangan sebesar 0.8074 atau sebesar 81% dibandingkan dengan kemampuan maksimumnya. Ini mengindikasikan bahwa kecamatankecamatan di wilayah pesisir memiliki perkembangan wilayah yang relatif tertinggal dibanding Kabupaten Garut sebagai induk wilayah sehingga perlu didorong agar ekonominya tumbuh lebih baik. Peta tingkat perkembangan ekonomi wilayah di Kabupaten Garut berdasarkan nilai entropi disajikan pada Gambar 9.
49
Gambar 9 Peta Tingkat Perkembangan Ekonomi Wilayah 42 Kecamatan di Kabupaten Garut berdasarkan Hasil Analisis Entropi Penetapan kecamatan-kecamatan di wilayah pesisir oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Garut sebagai Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) yang diharapkan bisa menjadi pendorong ekonomi bagi wilayah lainnya tidak akan tercapai dalam kondisi saat ini. Hal tersebut mengindikasikan diperlukannya upaya berbagai pihak agar diversitas dan keberimbangan sektor ekonomi di kecamatan pesisir bisa didorong lebih maju sehingga memiliki perkembangan yang lebih baik atau setidaknya berimbang dengan tingkat perkembangan Kabupaten Garut sebagai induk wilayah. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Wilayah Untuk merancang strategi pengembangan sektor-sektor ekonomi di wilayah pesisir, diperlukan suatu analisis potensi ekonomi dari masing-masing kecamatan di wilayah pesisir. Salah satu pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan mengidentifikasi keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif wilayah. Analisis dilakukan berdasarkan sebaran nilai PDRB kecamatan tiap sektor/subsektor di Kabupaten Garut. Menurut Jusup dalam Panggabean (2013), sebaran Nilai Tambah Bruto tiap sektoral mencerminkan tingkat berkembangnya struktur perekonomian wilayah. Struktur ini dapat menjadi dasar untuk penetapan perencanaan pengembangan wilayah suatu daerah. Berdasarkan kontribusi sektoral ini dapat dilihat apakah dominasi struktur ekonomi suatu daerah berbasis SDA (primer), berbasis pada kegiatan ekonomi produktif dan industrialisasi (sekunder), dan atau jasa pelayanan dan perbankan (tersier). Indikator-indikator ekonomi ini penting bagi
50 perencana maupun investor untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang berkembang di suatu daerah. Keunggulan Komparatif Wilayah Analisis keunggulan komparatif wilayah dilakukan untuk mengidentifikasi sektor ekonomi basis dan non basis sebagai dasar bagi penetapan arahan dan strategi pembangunan kecamatan di wilayah pesisir. Menurut Tarigan (2004), sektor ekonomi basis adalah sektor yang merupakan kekuatan ekonomi suatu wilayah yang sudah mampu memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri dan diekspor keluar wilayah. Kegiatan ekspor adalah semua kegiatan baik penghasil produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah karena aktifitas ekonomi basis. Sementara sektor non basis adalah sektor yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal dimana sektor tersebut tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah sehingga satu-satunya sektor yang bisa meningkatkan perekonomian melebihi pertumbuhan alamiah adalah sektor basis. Analisis untuk mengidentifikasi sektor basis dalam penelitian ini menggunakan metode analisis Location Quotient (LQ). Menurut Rustiadi, et al. (2009), analisis LQ dapat digunakan untuk melihat sektor basis atau non basis pada suatu wilayah perencanaan dan dapat mengidentifikasi sektor basis atau keunggulan komparatif suatu wilayah. Analisis LQ mengasumsikan sistem perekonomian tertutup dimana pertukaran produk atau perdagangan hanya terjadi dalam wilayah yang dianalisis dan bisa dicukupi secara internal dalam cakupan wilayah tersebut. Jika nilai LQ > 1, maka dapat diterjemahkan bahwa subwilayah tersebut berpotensi untuk mengekspor produk suatu sektor ke wilayah lain karena secara relatif produksinya di atas rata-rata produksi di seluruh cakupan wilayah. Jika nilai LQ = 1, maka wilayah tersebut secara relatif mampu memenuhi kebutuhan internalnya, namun tidak memiliki surplus produksi yang potensial bisa diekspor ke wilayah lain. Sementara Jika nilai LQ< 1, maka sektor ekonomi di sub-wilayah tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan pangsa di seluruh wilayah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Data yang digunakan dalam untuk analisis LQ dalam penelitian adalah data PDRB Kecamatan di Kabupaten Garut Menurut Lapangan Usaha Tahun 2007 (Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000) yang merupakan data terbaru yang dimiliki BPS. Meskipun tidak menggunakan data tahun terakhir, tetapi diharapkan analisis dalam penelitian ini bisa menjadi pendekatan terhadap kondisi perkembangan ekonomi tiap sektor di kecamatan pesisir. Hasil analisis LQ kecamatan di wilayah pesisir dan kecamatan lainnya di Kabupaten Garut disajikan pada Tabel 14. Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa pada umumnya kecamatan di wilayah pesisir masih mengandalkan basis ekonominya pada kelompok sektor primer seperti pertanian dan pertambangan/penggalian. Kelompok sektor sekunder seperti industri, listrik dan air serta bangunan masih belum menjadi sektor basis yang merata di seluruh kecamatan. Dari hasil analisis, kecamatan yang memiliki basis di kelompok sektor tersier hanya ada tiga kecamatan yaitu
51 Tabel 14 Hasil Analisis Location Quotient (LQ) Ekonomi Kecamatan di Wilayah Pesisir
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Komunikasi
0.53 0.79 0.19 0.30 1.08 0.65 0.93
0.76 0.86 0.88 1.18 0.72 0.73 0.56
0.30 0.78 0.28 0.65 1.38 0.33 0.60
0.30 0.59 0.30 0.29 0.58 1.44 0.32
0.47 0.44 0.22 0.43 1.29 1.75 1.33
0.86 0.93 0.36 0.61 0.27 0.68 0.49
Jasa-Jasa
Bangunan/ Konstruksi
2.12 1.50 0.21 0.78 0.18 2.96 0.26
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
Listrik, Gas dan Air Minum
1.67 1.37 1.72 1.73 1.38 0.90 1.59
Industri Pengolahan
CARINGIN BUNGBULANG MEKARMUKTI PAKENJENG CIKELET PAMEUNGPEUK CIBALONG
Pertambangan dan Penggalian
1 2 3 4 5 6 7
Kecamatan
Pertanian
No.
terhadap Nilai PDRB Sektor
0.48 0.76 0.74 0.36 0.42 0.55 0.32
*) Diolah dari hasil analisis LQ 42 kecamatan di Kabupaten Garut
Kecamatan Pameungpeuk, Cikelet dan Cibalong, itupun terbatas hanya di sektor pengangkutan dan perdagangan. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa sektor basis yang merupakan keunggulan komparatif di Kecamatan Caringin adalah sektor pertanian dengan nilai LQ 1.67 serta sektor pertambangan dan penggalian dengan nilai LQ sebesar 2.12. Ini berarti bahwa sektor pertanian dan pertambangan/penggalian sudah mampu memenuhi kebutuhan internal serta berpotensi untuk di ekspor ke luar daerah. Di Kecamatan Bungbulang, sektor yang merupakan sektor basis sama dengan Kecamatan Caringin yaitu sektor pertanian dan pertambangan/penggalian dengan nilai LQ-nya relatif lebih rendah. Padahal dari hasil analisis entropi wilayah, Kecamatan Bungbulang memiliki nilai entropi paling tinggi yang berarti memiliki diversitas dan keberimbangan wilayah paling baik dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya di wilayah pesisir. Ini berarti bahwa meskipun perkembangan wilayahnya paling baik, tetapi Kecamatan Bungbulang secara agregatbelum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri kecuali untuk sektor pertanian dan pertambangan/penggalian. Hal ini dimungkinkan karena Bungbulang memiliki jumlah penduduk yang besar sebanyak 60,729 jiwa sehingga meskipun diversitas ekonominya cukup baik, tetapi rata-rata masih digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan belum mampu mengekspor keluar daerah. Kecamatan Mekarmukti merupakan kecamatan yang hanya memiliki sektor basis di pertanian dengan nilai LQ sebesar 1.72. Hal ini sejalan dengan hasil analisis entropi sebelumnya dimana Kecamatan Mekarmukti merupakan wilayah yang paling tertinggal dari sisi perkembangan ekonominya dibanding kecamatan lain. Meskipun begitu, nilai LQ di sektor pertanian cukup tinggi dan menempati urutan ketiga di Kabupaten Garut setelah Kecamatan Cigedug dan Kecamatan Caringin. Oleh sebab itu, untuk mendorong perkembangan wilayah Kecamatan
52 Mekarmukti, maka fokus pembangunan sebaiknya diarahkan pada sektor pertanian sebagai sektor basis. Kecamatan Pakenjeng memiliki dua sektor basis, tidak hanya di sektor pertanian tetapi juga di sektor listrik, gas dan air minum. Kecamatan Pakenjeng memiliki nilai entropi pertanian paling tinggi dibanding kecamatan-kecamatan lainnya di wilayah pesisir serta menempati urutan kedua di Kabupaten Garut setelah Kecamatan Cigedug. Itu berarti Kecamatan Pakenjeng berpotensi sebagai pengekspor hasil-hasil pertanian yang cukup diperhitungkan di Kabupaten Garut. Kuatnya sektor basis pertanian salah satunya dimungkinkan karena Pakenjeng memiliki jumlah penduduk paling besar dibandingkan dengan kecamatan lainnya di wilayah pesisir dimana sebagian masyarakatnya memiliki pekerjaan utama sebagai petani. .Kecamatan Cikelet adalah kecamatan di wilayah pesisir yang sudah menunjukan adanya pergeseran struktur ekonomi dari sektor primer ke skunder dan tersier. Hal ini terlihat bahwa sektor basis di Kecamatan Cikelet selain pertanian, juga meliputi sektor industri pengolahan, bangunan/konstruksi serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Itu artinya Kecamatan Cikelet sudah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan berpotensi ekspor ke luar wilayah untuk sektor-sektor tersebut. Kecamatan Pameungpeuk memiliki struktur ekonomi yang hampir sama dengan Kecamatan Cikelet dimana sudah terjadi pergesaran struktur ekonomi dari primer ke sekunder dan tersier. Berbeda dengan 6 kecamatan lainnya, Kecamatan Pameungpeuk tidak memiliki kekuatan basis di sektor pertanian. Hal ini dimungkinkan karena Kecamatan Pameungpeuk memiliki jumlah penduduk yang cukup besar dengan luas wilayah yang relatif kecil dibandingkan kecamatan lainnya. Tingkat kepadatan penduduknya paling besar yaitu sebanyak 899 jiwa/km2 sehingga lahan lebih banyak digunakan untuk pemukiman yang menyebabkan lahan untuk pertanian sangat terbatas. Dari data penggunaan lahan yang dikeluarkan BPS, lahan untuk pesawahan dan kebun campuran memiliki luasan yang paling kecil dibanding kecamatan lainnya yaitu hanya seluas 1.883 Ha. Itulah sebabnya sektor basis yang dimiliki Kecamatan Pameungpeuk justru berada di sektor pertambangan dan penggalian, perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Kecamatan Cibalong memperlihatkan nilai LQ yang cukup tinggi di sektor pertanian serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor pertanian menjadi basis dimungkinkan karena Cibalong merupakan basis perkebunan dengan luas lahan terbesar, mencapai 6.422 Ha. Meskipun hasil perkebunan tersebut lebih banyak dinikmati pihak swasta, tetapi keberadaan perkebunan mendorong tingginya PDRB di sektor pertanian. Keberadaan perkebunan juga mendorong pesatnya perkembangan di sektor pengangkutan sehingga sektor tersebut menjadi sektor basis yang potensial untuk dikembangkan. Struktur ekonomi sektor basis dari masing-masing kecamatan dapat dilihat pada Tabel 15.
53 Tabel 15 Struktur Sektor Ekonomi Basis Hasil Analisis Location Quotient (LQ) Kecamatan di Wilayah Pesisir No.
Kecamatan
Primer
Sektor Basis Sekunder
Tersier
1
CARINGIN
Pertanian, Pertambangan/ Penggalian
-
-
2
BUNGBULANG
Pertanian, Pertambangan/ Penggalian
-
-
3
MEKARMUKTI
Pertanian
-
-
4
PAKENJENG
Pertanian
Listrik gas dan air minum
-
5
CIKELET
Pertanian, Pertambangan/ Penggalian
6
PAMEUNGPEUK
Pertambangan/ penggalian
-
Perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi
7
CIBALONG
Pertanian
-
Pengangkutan dan komunikasi
Industri pengolahan, Bangunan/konstruksi
Pengangkutan dan komunikasi
Dari Tabel 15 dapat diketahui bahwa secara kewilayahan, Kecamatan Caringin, Bungbulang dan Mekarmukti masih berciri kawasan perdesaan dimana sektor basisnya masih berada di sektor primer dalam bentuk pemanfaatan sumberdaya alam secara langsung. Sebaliknya, Kecamatan Pakenjeng, Cikelet, Pameungpeuk dan Cibalong sudah mulai mengalami transformasi mengarah kawasan perkotaan dimana sudah terjadi pergeseran sektor ekonomi ke sekunder dan tersier. Keunggulan Kompetitif Wilayah Analisis keunggulan kompetitif wilayah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pergeseran struktur ekonomi dari suatu sektor atau sub-sektor dibandingkan dengan cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pergeseran struktur ekonomi tersebut dapat menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) dari suatu sektor atau sub-sektor ekonomi serta menjelaskan kinerja sektor tersebut. Salah satu metode yang bisa digunakan untuk menganalisis keunggulan komparatif wilayah adalah dengan metode Shift Share Analysis (SSA). Data yang digunakan dalam analisis SSA adalah data PDRB sub-sektor di wilayah kecamatan pesisir atas dasar harga konstan dalam dua titik tahun yaitu Tahun 2000 dan Tahun 2008. Data ini merupakan data terakhir PDRB kecamatan di wilayah pesisir yang dipublikasikan BPS Kabupaten Garut pada Tahun 2009. Data PDRB digunakan karena Pergeseran nilai PDRB tiap sub-sektor selain menunjukan keunggulan kompetitif juga menggambarkan pergeseran daya tarik suatu sub-sektor baik dari sisi peningkatan produksi maupun peningkatan serapan tenaga kerja.
54 Dari hasil analisis SSA, dapat diketahui bahwa keunggulan kompetitif wilayah dan kemampuan berkompetisi (competitiveness) sub-sektor ekonomi tiap kecamatan di wilayah pesisir cukup bervariasi. Keunggulan Kompetitif Wilayah Hasil Shift Share Analysis (SSA) terhadap Nilai PDRB Sub-Sektor Ekonomi Kecamatan di Wilayah Pesisir dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Keunggulan Kompetitif Wilayah Hasil Shift Share Analysis (SSA) terhadap Nilai PDRB Sub-Sektor Ekonomi Kecamatan di Wilayah Pesisir
KECAMATAN
PERTANIAN
PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
INDUSTRI PENGOLAHAN
LISTRIK, GAS DAN AIR MINUM
BANGUNAN DAN KONSTRUKSI
PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN
ANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
KEU, PERSEWAAN DAN JASA PRSH
JASA-JASA
CARINGIN BUNGBULANG MEKARMUKTI PAKENJENG CIKELET PAMEUNGPEUK CIBALONG
0.16 0.20 0.17 0.16 0.17 0.26 0.24
0.22 0.21 0.19 0.16 0.27 0.25 0.23
0.45 0.49 0.40 0.47 0.50 0.57 0.50
0.57 0.42 0.49 0.46 0.63 0.42 0.52
0.32 0.32 0.30 0.28 0.30 0.37 0.27
0.43 0.43 0.33 0.34 0.37 0.51 0.32
0.33 0.53 0.33 0.33 0.34 0.51 0.30
0.31 0.39 0.37 0.31 0.36 0.41 0.27
0.42 0.38 0.41 0.37 0.35 0.40 0.36
Hasil analisis memperlihatkan bahwa di Kecamatan Caringin, sektor yang memiliki keunggulan kompetitif atau yang paling cepat tumbuh adalah sektor listrik, gas dan air minum serta sektor industri pengolahan. Di Kecamatan Bungbulang, pertumbuhan paling cepat terjadi di sektor angkutan dan komunikasi serta sektor industri pengolahan. Di Kecamatan Mekarmuki, sektor yang unggul secara kompetitif adalah sektor listrik, gas dan air minum serta sektor jasa. Sektor yang paling cepat tumbuh di Kecamatan Pakenjeng adalah sektor industri pengolahan diikuti sektor listrik, gas dan air minum. Di Kecamatan Cikelet, sektor yang paling cepat tumbuh terjadi di sektor listrik, gas dan air minum serta sektor industri pengolahan. Kecamatan Pameungpeuk memiliki pertumbuhan yang paling cepat di sektor industri pengolahan diikut sektor perdagangan, hotel dan restoran. Di Kecamatan Cibalong, sektor yang tumbuh cukup cepat terjadi di sektor listrik, gas dan air minum serta sektor industri pengolahan. Dari hasil analisis SSA juga dapat diketahui pergeseran struktur ekonomi yang terjadi di wilayah pesisir. Berdasarkan nilai proportional shift masingmasing sektor sebagaimana disajikan pada Tabel 17, dapat diketahui bahwa sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dibanding pertumbuhan seluruh sektor dengan nilai proportional shift sebesar -0,065. Pertumbuhan yang lebih lambat juga terjadi di sektor pertambangan dan penggalian dengan nilai proportional shift sebesar -0.033. Hal ini mengindikasikan bahwa dari sisi pertumbuhan, sektor primer kurang berpotensi untuk dikembangkan dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.
55 Sektor sekunder dan tersier cukup berpotensi untuk dikembangkan karena memiliki nilai pertumbuhan yang lebih cepat dibanding sektor primer. Pertumbuhan yang paling cepat terjadi di kelompok sektor sekunder yaitu sektor industri pengolahan dengan nilai proportional shift sebesar 0.241 diikuti sektor listrik, gas dan air minum dengan nilai sebesar 0.206. Di sektor tersier, pertumbuhan yang paling cepat terjadi di sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai proportional shift sebesar 0.171 diikuti sektor angkutan dan komunikasi dengan nilai proportional shift sebesar 0.137. Tabel 17 Proportional Shift dan Regional Share Hasil Shift Share Analysis (SSA) terhadap Nilai PDRB Kecamatan di Wilayah Pesisir
0.02 0.02 0.00 -0.02 0.00 0.07 -0.04 0.042
JASA-JASA
0.10 -0.05 0.03 0.00 0.16 -0.05 0.06 0.206
KEU, PERSEWAAN DAN JASA PRSH
BANGUNAN DAN KONSTRUKSI
-0.05 -0.02 -0.11 -0.03 0.00 0.07 0.00 0.241
ANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
LISTRIK, GAS DAN AIR MINUM
0.00 -0.02 -0.04 -0.07 0.04 0.02 0.00 -0.033
PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN
INDUSTRI PENGOLAHAN
-0.03 0.00 -0.03 -0.03 -0.03 0.07 0.04 -0.065 0.261
PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
CARINGIN BUNGBULANG MEKARMUKTI PAKENJENG CIKELET PAMEUNGPEUK CIBALONG Proportional Shift Regional Share
PERTANIAN
KECAMATAN
0.00 0.00 -0.10 -0.09 -0.06 0.07 -0.11 0.171
-0.07 0.13 -0.07 -0.07 -0.06 0.11 -0.10 0.137
-0.03 0.04 0.03 -0.04 0.01 0.07 -0.07 0.085
0.03 0.00 0.02 -0.01 -0.03 0.02 -0.02 0.121
Pertumbuhan yang cepat di sektor industri pengolahan mengindikasikan bahwa di wilayah pesisir, industri berkembang dengan baik. Berdasarkan data Potensi Desa Tahun 2011 yang dirilis BPS, terdapat 4.895 industri kecil dan menengah yang ada di wilayah pesisir. Jumlah industri kecil menengah terbesar terdapat di Kecamatan Bungbulang sebanyak 2.297 unit usaha, diikuti oleh Kecamatan Pameungpeuk sebanyak 978 unit usaha dan Kecamatan Pakenjeng sebanyak 866 unit usaha. Komoditi industri terbanyak terutama di industri agro dan hasil hutan. Pertumbuhan yang cepat di sektor listrik, gas dan air minum dimungkinkan terjadi karena program-program pemerintah yang selama ini gencar melakukan pembangunan infrastruktur listrik, gas dan penyediaan air bersih di wilayah pesisir. Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Potensi Desa yang dikeluarkan BPS tahun 2011, keluarga di kecamatan pesisir yang sudah menggunakan listrik berjumlah 56,456 KK dari total 88,709 KK. Itu artinya masih ada 32,250 KK atau sekitar 36.4% yang belum memakai listrik. Dari 65 Desa yang masuk data PODES, baru 15 desa yang sudah menggunakan bahan bakar gas (LPG), sisanya sebanyak 50 desa atau sekitar 77% masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Dari sisi penggunaan air, belum ada satupun desa yang terjangkau fasilitas PDAM. Data ini memperlihatkan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap fasilitas listrik, gas dan air minum sehingga sektor ini tumbuh dengan cepat.
56 Secara keseluruhan, kecamatan-kecamatan di wilayah pesisir mengalami pertumbuhan ekonomi yang sudah mulai berkembang. Salah satu ciri dari perkembangan tersebut adalah dengan terjadinya pergeseran pertumbuhan dari sektor primer ke sektor skunder dan tersier. Dilihat dari struktur ekonomi tiap kecamatan, pergeseran dari sektor primer ke sekunder terjadi di Kecamatan Caringin, Mekarmukti, Pakenjeng, Cikelet dan Cibalong. Sementara pergeseran dari sektor sekunder ke tersier terjadi di Kecamatan Bungbulang dan Pameungpeuk. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Kecamatan Bungbulang dan Pameungpeuk relatif lebih berkembang dibanding lima kecamatan lainnya. Pergeseran struktur ekonomi berdasarkan keunggulan kompetitif wilayah dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Pergeseran Struktur Ekonomi Kecamatan di Wilayah Pesisir berdasarkan Keunggulan Kompetitif Wilayah Kecamatan
Primer -
CARINGIN
Sektor Paling Cepat Tumbuh Sekunder
Tersier
(1) Listrik, gas dan air minum, (2) Industri pengolahan
BUNGBULANG
-
(2) Industri Pengolahan
(1) Pengangkutan dan komunikasi
MEKARMUKTI
-
(1) Listrik, gas dan air minum
(2) Jasa-jasa
PAKENJENG
-
(1) Industri Pengolahan, (2) Listrik, gas dan air minum
CIKELET
-
(1) Listrik, gas dan air minum, (2) Industri pengolahan
PAMEUNGPEUK
-
(1) Industri Pengolahan, (2) Perdagangan, hotel dan restoran
CIBALONG
-
(1) Listrik, gas dan air minum, (2) Industri pengolahan
Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah penting dilakukan untuk membantu pemerintah, pelaku ekonomi dan masyarakat dalam mengidentifikasi sektor-sektor yang menjadi keunggulan suatu wilayah. Hal ini sejalan dengan pendapat Suryawardana (2006) bahwa dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, pemerintah seharusnya mengarahkan pengeluaran anggaran pada sektor-sektor unggulan. Selain itu, investasi diharapkan agar diarahkan pada sektor ungulan sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Kinerja pembangunan daerah dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan daerah itu sendiri antara lain
57 meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan wilayah dan meningkatkan daya beli masyarakat. Hasil analisis keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam memprioritaskan pembanguan sektor ekonomi. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa tiap kecamatan di wilayah pesisir memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang bervariasi. Untuk itu pemerintah daerah dapat memfokuskan pembangunan pada sektor-sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di masing-masing kecamatan. Fokus pembangunan pada sektor basis terutama bertujuan untuk meningkatkan ekspor ke luar wilayah sementara fokus pembangunan pada sektor yang tumbuh cepat dilakukan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan sektor tersebut agar bisa mendorong tumbuhnya sektor-sektor lain sehingga ekonomi di wilayah tersebut bisa berkembang optimal. Hal ini sejalan dengan pendapat Tarigan (2008) bahwa setelah berlkunya otonomi daerah, setiap daerah memiliki kewenangan dalam menetapkan sektor atau komoditas yang akan menjadi prioritas pengembangan. Sektor atau komoditas yang memiliki keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat menjadi push factor bagi sektor-sektor lain untuk berkembang. Hirarki dan Efisiensi Wilayah Pembangunan Perencanaan pembangunan wilayah harus dijalankan dengan memegang asas prioritas. Hal ini dikarenakan adanya keterbasan anggaran, sumberdaya manusia, sumberdaya alam serta hambatan geografis sehingga pemerintah perlu menetapkan wilayah-wilayah mana yang perlu mendapatkan prioritas untuk di bangun dan dikembangkan. Penetapan prioritas tersebut harus sejalan dengan potensi wilayah yang bersangkutan serta tingkat perkembangan dari wilayah tersebut termasuk ketersediaan infrastruktur dan sarana pelayanan. Hal ini sejalan dengan pendapat Riyadi dan Bratakusumah (2005) bahwa perencanaan pembangunan wilayah dalam hubungannya dengan suatu daerah sebagai wilayah pembangunan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, namun tetap berpegang pada asas prioritas. Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah, perlu diidentifikasi wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan yang mampu menggerakan ekonomi wilayah di sekitarnya. Melalui pendekatan konsep wilayah nodal, dapat diketahui wilayah yang menjadi pusat-pusat (inti) dan wilayah yang menjadi pendukung (hinterland). Identifikasi terhadap wilayah inti dan hinterland penting dilakukan untuk menentukan prioritas wilayah pembangunan. Fokus pembangunan pada pusat-pusat pertumbuhan yang menjadi inti wilayah akan memudahkan dalam penetapan prioritas wilayah pembangunan dimana pelaksanaan pembangunan pada wilayah inti diharapkan dapat memberikan multiplier effect terhadap perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya. Selain dilihat dari ketersediaan fasililitas pelayanan, perencanaan pengembangan wilayah juga bisa didekati melalui analisis efisiensi wilayah. Tujuannya adalah untuk menganalisis seberapa efisien pemanfaatan sumberdaya manusia, sarana prasarana dan sumberdaya lahan dalam mendorong pencapaian PDRB. Hal ini sejalan dengan pendapat Spurgeon (1999) bahwa ekonomi bisa
58 didefinisikan sebagai “studi efisiensi alokasi sumberdaya”. Pemerintah menghadapi tantangan bagaimana memaksimumkan pendapatan ekonomi melalui penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki (tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam). Hirarki Wilayah Pembangunan Untuk mengetahui prioritas wilayah pembangunan berdasarkan hirarki wilayah, dalam penelitian ini digunakan Analisis Skalogram. Menurut Saefulhakim (2004) analisis skalogram dapat digunakan untuk menganalisis hirarki wilayah berdasarkan data fasilitas pelayanan. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disusun dalam satu tabel. Metode skalogram ini bisa digunakan dengan menganalisis jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap wilayah. Data yang digunakan adalah data Potensi Desa (PODES) Kecamatan Pesisir Tahun 2011 yang bersumber dari BPS. Data yang dianalisis terdiri dari: (a) data jarak wilayah ke pusat pelayanan, (b) data jumlah dan jenis sarana kesehatan, (c) data jumlah dan jenis sarana pendidikan, (d) data jumlah dan jenis sarana transportasi, (e) data jumlah dan jenis sarana komunikasi, (f) data jumlah dan jenis industri, (g) data jumlah dan jenis sarana perdagangan, (h) data jumlah dan jenis koperasi serta (i) data jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kredit/perbankan. Dari hasil analisis skalogram, dapat diketahui bahwa sebagian besar perdesaan di kawasan pesisir berada pada tingkat perkembangan yang rendah. Dari 65 desa yang dianalisis, hanya ada 3 desa atau sekitar 4,6% yang masuk ke dalam Hirarki I. Desa yang masuk Hirarki II berjumlah 22 desa atau sekitar 33,9%. Kebanyakan desa berada pada Hirarki III sebanyak 40 desa atau sekitar 61,5% dari seluruh desa yang dianalisis. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa desa-desa di kecamatan pesisir Hirarki I yang merupakan inti atau pusat perkembangan wilayah masih sangat terbatas. Di wilayah Kecamatan Caringin, dari 6 desa yang dianalisis, tidak ada satupun desa yang termasuk desa Hirarki I atau yang menjadi pusat pertumbuhan. Desa yang termasuk Hirarki II ada tiga desa yaitu Desa Indralayang, Purbayani dan Caringin. Sementara yang termasuk Hirarki III dengan tingkat perkembangan yang paling lambat adalah Desa Cimahi, Desa Sukarame dan Desa Samudrajaya. Desa-desa di Kecamatan Bungbulang termasuk desa yang cukup berkembang dibanding desa-desa di kecamatan lainnya. Dari 13 desa yang dianalisis, terdapat satu desa yang merupakan Hirarki I atau pusat pertumbuhan yaitu Desa Bungbulang. Desa yang termasuk Hirarki II berjumlah 6 Desa yaitu Desa Tegalega, Desa Mekarjaya, Desa Hanjuang, Desa Margalaksana, Desa Cihikeu dan Desa Mekarbakti. Desa yang masuk kategori Hirarki III berjumlah enam desa yaitu Desa Sinarjaya, Desa Wangunjaya, Desa Gunamekar, Desa Bojong, Desa Gunung Jampang dan Desa Hegarmanah. Kecamatan Mekarmukti yang hanya memiliki empat desa, tidak ada satupun desa yang masuk kategori Hirarki I. Desa yang termasuk kategori Hirarki II hanya satu yaitu Desa Cijayana, yang merupakan desa pesisir. Sisanya yaitu Desa Karangwangi, Mekarmukti dan Jagabaya termasuk kategori Hirarki III.
59 Kecamatan Pakenjeng merupakan kecamatan yang memiliki desa kurang berkembang yang paling banyak. Diantara 13 desa, hanya ada tiga desa yang masuk kategori Hirarki II yaitu Desa Depok, Desa Jatiwangi dan Desa Jayamekar. Sisanya sebanyak 10 desa masuk kategori desa kurang berkembang atau Hirarki III yaitu Desa Karangsari, Desa Tanjungmulya, Desa Tanjungjaya, Desa Tegalgede, Desa Neglasari, Desa Sukamulya, Desa Pasirlangu, Desa Panyindaan, Desa Wangunjaya dan Desa Talagawangi. Kecamatan Cikelet juga termasuk kecamatan yang minim sarana pelayanan. Dari 11 Desa yang dianalisis, hanya ada tiga desa yang termasuk Hirarki II yaitu Desa Cijambe, Desa Cikelet dan Desa Ciroyom. Sisanya sebanyak 8 desa termasuk desa Hirarki III yaitu Desa Cigadog, Desa Pamalayan, Desa Linggamanik, Desa Karangsari, Desa Kertamukti, Desa Girimukti, Desa Tipar dan Desa Awassagara. Kecamatan Pameungpeuk merupakan kecamatan yang desa-desanya paling berkembang dari sisi sarana pelayanan. Dari 7 desa, dua desa diantaranya termasuk kategori Hirarki I yaitu Desa Pameungpeuk dan Desa Mandalakasih. Lima Desa lainnya masuk kategori Hirarki II yaitu Desa Mancagahar, Desa Sirnabakti, Desa Paas, Desa Bojong dan Desa Jatimulya. Desa-desa di Kecamatan Cibalong rata-rata kurang berkembang. Dari 11 desa yang dianalisis, hanya ada satu desa yang masuk kategori Hirarki II yaitu Desa Karyamukti. Sisanya sebanyak 10 desa masuk kategori Hirarki III yaitu Desa Mekarsari, Desa Karyasari, Desa Sagara, Desa Maroko, Desa Sancang, Desa Simpang, Desa Cigaronggong, Desa Mekarmukti, Desa Mekarwangi dan Desa Najaten. Berdasarkan hirarki tiap desa, dapat diketahui bahwa diantara 7 kecamatan yang ada di wilayah pesisir, hanya ada dua kecamatan yang desa-desanya bisa dianggap cukup berkembang yaitu Kecamatan Pameungpeuk dan Kecamatan Bungbulang. Kecamatan Pameungpeuk bisa dianggap sebagai pusat pertumbuhan atau inti wilayah di antara seluruh kecamatan di wilayah pesisir karena memiliki dua desa yang merupakan inti pertumbuhan serta tidak memiliki desa kategori Hirarki III. Hal ini dimungkinkan karena Kecamatan Pameungpeuk dilewati jalan utama Kabupaten dan memiliki jarak relatif dekat dengan pusat pemerintahan yaitu sekitar 84 km. Selain Kecamatan Pameungpeuk, Kecamatan Bungbulang merupakan wilayah yang desa-desanya relatif lebih berkembang. Hal ini dikarenakan selain memiliki sarana prasarana yang cukup memadai, desa-desa di Kecamatan Bungbulang relatif lebih dekat ke ibu kota kabupaten yaitu sekitar 75 km. hanya saja dari sisi akses dan kemudahan transportasi, Kecamatan Bungbulang masih kalah dengan Kecamatan Pameungpeuk yang merupakan akses utama dari ibu kota Kabupaten menuju ke wilayah pesisir. Selain itu, Kecamatan Pameungpeuk merupakan akses wisata dimana wisatawan yang ingin menikmati keindahan wilayah pesisir Garut umumnya melewati Pameungpeuk. Kecamatan Pameungpeuk juga memiliki kawasan Strategis Nasional yaitu Stasiun Peluncuran Roket LAPAN yang sedikit banyaknya turut mendorong perkembangan wilayah di sekitarnya.
60 Berdasarkan hasil pemetaan hirarki perkembangan wilayah desa secara spasial sebagaimana disajikan pada Gambar 10, dapat diamati bahwa desa-desa di wilayah kecamatan pesisir yang sudah berkembang atau menjadi inti dan pusat pertumbuhan wilayah hanya ada tiga desa yaitu Desa Bungbulang, Kecamatan Bungbulang serta Desa Pameungpeuk dan Mandalakasih, Kecamatan Pameungpeuk. Dengan hanya ada 3 desa dari 65 desa atau hanya sekitar 4,6% yang masuk ke dalam Hirarki I maka prioritas pembangunan perlu diarahkan untuk membangun desa-desa baru yang bisa dijadikan pusat pertumbuhan. Pembangunan desa-desa di wilayah pesisir yang berpotensi menjadi wilayah inti perlu menjadi prioritas. Alasannya adalah bahwa keberadaan wilayah inti akan mendorong pergerakan ekonomi wilayah yang menjadi hinterland atau pendukung.
Gambar 10 Peta Hirarki Perkembangan Wilayah Desa di Kecamatan Pesisir Kabupaten Garut Efisiensi Wilayah Pembangunan Untuk menentukan prioritas wilayah pembangunan tingkat kecamatan, salah satunya bisa didekati berdasarkan tingkat efisiensi pembangunan wilayah. Menurut Spurgeon (1999), dalam meningkatkan efisiensi alokasi sumberdaya, pemerintah menghadapi tantangan bagaimana memaksimumkan pendapatan ekonomi melalui penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki dalam bentuk tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam. Berdasarkan pendapat tersebut maka untuk mengukur efisiensi perkembangan ekonomi kecamatan di wilayah pesisir, dilakukan pendekatan analisis efisiensi penggunaan sumberdayasumberdaya yang dimiliki wilayah terhadap peningkatan ekonomi wilayah.
61 Untuk melakukan pendekatan terhadap pendapat Spurgeon (1999), dalam penelitian ini dilakukan analisis efisiensi wilayah yang terdiri dari: (1) analisis efisiensi modal dalam bentuk ketersediaan sarana prasarana, (2) analisis efisiensi tenaga kerja dalam bentuk serapan jumlah tenaga kerja tiap sektor; serta (3) analisis efisiensi sumberdaya alam dalam bentuk luasan pemanfaatan lahan. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). DEA digunakan dengan tujuan untuk melihat wilayah mana yang yang efisien dan wilayah mana yang kurang efisien. Dari analisis ini dapat ditentukan wilayah-wilayah mana yang kurang efisien dan perlu diprioritaskan dalam pembangunan dengan mengacu pada wilayah yang efisien. Metode analisis DEA dipilih karena metode ini mampu menentukan efisiensi dari suatu DMU (Decision Making Unit) berdasarkan beragam kriteria input yang memiliki satuan pengukuran yang berbeda. Menurut pendapat Hadinata dan Manurung (2010), salah satu keunggulan dari model DEA dibandingkan model lain antara lain: 1. Model DEA dapat mengukur banyak variabel input dan variabel output; 2. Tidak diperlukan asumsi hubungan fungsional antara variabel-variabel yang diukur; 3. Variabel input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda. DMU yang digunakan dalam penelitian ini adalah tujuh kecamatan pesisir sebagai alternatif unit wilayah yang akan dianalisis dari sisi efisiensinya. Kriteria input dan output sebagai pembatas dalam menentukan wilayah mana yang memiliki kinerja paling efisien didasarkan pada pendapat Vazhayil dan Balasubramaniam (2013) bahwa kriteria output yang bisa digunakan dalam analisis DEA terkait penentuan efisiensi pembangunan salah satunya bisa dilakukan dengan menggunakan kriteria tingkat pertumbuhan (growth). Sementara untuk kriteria input bisa digunakan kriteria biaya (cost) yang dikeluarkan baik dalam bentuk anggaran atau fisik serta kriteria pembatas (barier) dari tiap DMU. Berdasarkan pendapat Spurgeon (2013) maka dalam penelitian ini kriteria output yang digunakan dalam analisis DEA adalah capaian PDRB sebagai indikator pertumbuhan ekonomi (growth). Sementara kriteria input sebagai ukuran untuk melihat efisiensi wilayah pembangunan digunakan data jumlah penduduk, luas wilayah, luas penggunaan lahan, serapan tenaga kerja serta ketersediaan jumlah sarana pelayanan di masing-masing wilayah. Kriteria input dan output yang digunakan didasarkan data BPS Kabupaten Garut Tahun 2011. Untuk melihat efisiensi capaian PDRB berdasarkan ketersediaan jumlah sarana pelayanan, digunakan data Potensi Desa Tahun 2011 yang dikeluarkan BPS. Data yang digunakan terdiri dari jumlah sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi, sarana komunikasi, sarana produksi pertanian, jumlah industri, sarana perdagangan, sarana hiburan, sarana jasa keuangan, sarana angkutan umum dan sarana koperasi. Analisis efisiensi tenaga kerja didasarkan pada jumlah serapan tenaga kerja di 9 (sembilan) sektor ekonomi berdasarkan data BPS Tahun 2011 yang terdiri dari serapan kerja di sektor pertanian, sektor pertambangan/penggalian, sektor industri, sektor listrik,gas dan air minum, sektor
62 bangunan/konstruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa.jasa. Efisiensi pemanfaatan lahan didasarkan pada pola penggunaan lahan berdasarkan data BPS Tahun 2011 meliputi luas pemukiman, pesawahan, tegalan, kebun campuran, perkebunan, padang/semak, hutan dan perairan darat. Struktur data DEA disajikan pada lampiran. Berdasarkan hasil analisis sebagaimana disajikan pada Tabel 19, dapat diketahui bahwa dari sisi jumlah sarana pelayanan, semua kecamatan di wilayah pesisir menunjukan nilai efisiensi (efficiency summary) sebesar 1 kecuali untuk Kecamatan Pameungpeuk yang menunjukan efisiensi sebesar 0.990. Ini mengindikasikan bahwa secara umum keberadaan jumlah dan jenis sarana pelayanan yang ada di tiap kecamatan, telah secara efisien mendorong Tabel 19 Efisiensi jumlah sarana pelayanan, serapan tenaga kerja dan luas pemanfaatan lahan terhadap capaian PDRB Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut No.
Kecamatan
Efisiensi Sarana Prasarana Efficiency
Efisiensi serapan Tenaga Kerja
Peers
Efficiency
Efisiensi pemanfaatan Lahan
Peers
Efficiency
1
Caringin
1.000
1.000
0.796
2
Bungbulang
1.000
0.704
6
3
Mekarmukti
1.000
0.771
7
1
1.000
4
Pakenjeng
1.000
0.503
7
1
1.000
5
Cikelet
1.000
0.795
7
6
0.874
6
Pameungpeuk
0.990
1.000
7 Cibalong 1.000 1.000 Ket: Kolom Peers merujuk pada angka nomor urut kecamatan
1.000
7
6
1.000
1.000
5
Peers
3
6
peningkatan PDRB. Untuk Kecamatan Pameungpeuk, sarana prasara tidak efisien dimungkinkan karena kelengkapan jumlah prasarana di kecamatan tersebut tidak sebanding dengan capaian PDRB. Kecamatan Pameungpeuk merupakan kecamatan yang memiliki sarana prasarana yang cukup lengkap dibanding kecamatan lainnya, tetapi PDRB yang dihasilkan tidak sebanding dengan jumlah sarana prasarana yang ada. Artinya jumlah sarana prasarana yang ada belum mampu secara efisien mendorong peningkatan PDRB sesuai yang diharapkan. Untuk mendorong peningkatkan PDRB, Kecamatan Pameungpeuk perlu mengacu (peers) pada pola efisiensi sarana prasarana Kecamatan Cikelet dan Kecamatan Cibalong. Dari sisi serapan tenaga kerja tiap sektor, ada tiga kecamatan yang menunjukan tingkat efisiensi yang tinggi yaitu Kecamatan Caringin, Pameungpeuk dan Cibalong dengan nilai efisiensi (efficiency summary) sebesar 1. Empat kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Bungbulang, Mekarmukti, Pakenjeng dan Cikelet menunjukan tingkat efisiensi yang rendah. Kecamatan Bungbulang menunjukan tingkat efisiensi sebesar 0.704, Kecamatan Mekarmukti sebesar 0.771, Kecamatan Pakenjeng sebesar 0.503 dan Kecamatan Cikelet sebesar 0.795. Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa peningkatan input jumlah tenaga kerja
63 tiap sektor ekonomi di Kecamatan Caringin, Pameungpeuk dan Cibalong akan secara signifikan mendorong peningkatan capaian PDRB. Sementara untuk Kecamatan Bungbulang, Mekarmukti dan Cikelet, penambahan input tenaga kerja tidak akan mendorong peningkatan capaian PDRB secara signifikan. Hasil summary of peers analisis DEA menunjukan bahwa untuk meningkatkan efisiensi tenaga kerja masing-masing sektor ekonomi terhadap capaian nilai PDRB di Kecamatan Bungbulang, pola serapan tenaga kerja harus mengacu (peer) pada Kecamatan Pameungpeuk. Kecamatan Mekarmukti dan Pakenjeng harus mengacu pada pola serapan tenaga kerja Kecamatan Cibalong, Caringin atau Pameungpeuk. Kecamatan Cikelet harus mengacu pada pola serapan tenaga kerja Cibalong atau Pameungpeuk. Dari sisi luas pemanfaatan lahan, terdapat lima kecamatan yang memiliki tingkat efisiensi tinggi dengan nilai efficiency summary sebesar 1 yaitu Kecamatan Bungbulang, Mekarmukti, Pakenjeng, Pameungpeuk dan Cibalong. Ini berarti pola pemanfaatan luas lahan di lima kecamatan tersebut sudah efisien dalam mendorong capaian PDRB. Peningkatan luas lahan di lima kecamatan tersebut akan secara signifikan meningkatkan capaian PDRB. Sementara untuk Kecamatan Caringin dan Cikelet, masing-masing memiliki nilai efisiensi 0.796 dan 0.874. Ini berari penambahan luas pemanfaatan lahan tidak akan mendorong peningkatan capaian PDRB secara maksimal. Berdasarkan hasil summary of peers, menunjukan bahwa untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan di Kecamatan Caringin, harus mengacu pada pola pemanfaatan lahan Kecamatan Pameungpeuk. Untuk Kecamatan Cikelet, pola pemanfaatan lahannya harus mengacu pada pola pemanfaatan lahan Kecamatan Mekarmukti atau Pameungpeuk. Arahan Pembangunan Kecamatan Pesisir Arahan pembangunan kecamatan pesisir dalam penelitian ini dilakukan melalui dua pendekatan yaitu pendekatan wilayah dan pendekatan sektoral. Hal ini sejalan dengan pendapat Tarigan (2008) bahwa dalam perspektif paradigma keterkaitan antar wilayah, perencanaan pembangunan wilayah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu melalui pendekatan sektoral dan pendekatan wilayah. Pendekatan wilayah dilakukan bertujuan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah, sehingga terlihat perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang yang lainnya. Perbedaan fungsi tersebut terjadi karena perbedaan lokasi, perbedaan potensi, dan perbedaan aktivitas utama pada masing-masing ruang yang harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung penciptaan pertumbuhan yang serasi dan seimbang. Pendekatan sektoral dilaksanakan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut. Pendekatan ini mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang seragam atau dianggap seragam. Penetapan arahan pengembangan ekonomi di suatu wilayah idealnya tidak hanya didasarkan pada hasil analisis terhadap potensi wilayah tetapi juga perlu mempertimbangkan persepsi stakeholder selaku pelaku dan penerima manfaat hasil-hasil pembangunan. Konsep pembangunan berbasis masyarakat salah
64 satunya dicirikan dengan dilibatkannya masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam program-program pembangunan. Tujuan akhir dari perancangan pembangunan berbasis partisipasi masyarakat adalah terbentuknya kemandirian pembangunan dimana masyarakat turut berperan aktif dalam proses pembangunan dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan dan pengendalian. Hal ini sejalan dengan pendapat Sharp et al. (2002) bahwa dalam kaitannya dengan pembangunan wilayah, konsep kemandirian merupakan faktor yang paling memberikan pengaruh. Pembangunan berdasarkan pertimbangan aktif organisasi komunitas, dukungan sektor swasta terhadap komunitas lokal, kapasitas pendanaan dan hubungan lebih baik antara komunitas dan pemerintah merupakan faktor keberhasilan dari kemandirian pembangunan. Proses penjaringan persepsi masyarakat dalam penentuan arahan dan strategi pembangunan suatu wilayah penting dilakukan dimana seluruh stakeholder baik pemerintah, swasta maupun masyarakat perlu dilibatkan dalam proses perencanaan termasuk dalam menentukan alternatif strategi pembangunan. Menurut Conyers (1994), ada tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat sangat penting dalam konteks perencanaan pembangunan yaitu: (1) Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat; (2) Masyarakat akan lebih mempercayai dan mendukung program pembangunan jiga merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan; (3) Keyakinan banyak negara bahwa partisipasi publik merupakan suatu bentuk hak demokrasi dari masyarakat itu sendiri. Dalam penelitian ini, proses penjaringan persepsi stakeholder dalam kaitannya dengan penetapan arahan pembangunan dilakukan untuk melihat sejauhmana preferensi masyarakat terkait kriteria dan alternatif pengambilan keputusan yang harus dilakukan dalam mendorong pengembangan ekonomi kecamatan di wilayah pesisir. Data diperoleh melalui teknik kuesioner dengan penyebaran angket terhadap 21 responden. Pemilihan responden dan penentuan jumlah responden dilakukan dengan metode Purposive Sampling. Penentuan unsur responden dilakukan berdasarkan penetapan tingkat kepentingan terhadap permasalahan penelitian. Jumlah responden ditentukan berdasarkan tingkat keterwakilan responden sebagai pemangku kepentingan dan penerima manfaat pembangunan yang terdiri dari unsur pemerintah, swasta dan kelembagaan masyarakat dalam proporsi yang sama. Responden yang dimaksud adalah stakeholder yang terdiri dari unsur pemerintahan (Bappeda, Dinas teknis, pemerintah tingkat kecamatan), unsur swasta (UKM, pengusaha) dan unsur kelembagaan masyarakat (anggota kelompok tani, kelompok nelayan, LSM dan Ormas). Dari tabulasi hasil persepsi stakeholder dapat diketahui bahwa.100% responden menganggap perkembangan wilayah pesisir masing kurang dan perlu ditingkatkan serta mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Sebanyak 81% responden menganggap wilayah pesisir di Kabupaten Garut relatif kurang berkembang dibandingan dengan wilayah non-pesisir. Penyebab utama kurang berkembangnya kecamatan di wilayah pesisir berdasarkan persentasi jawaban responden adalah (a) tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah (30.2%),
65 (b) lambatnya program pembangunan (23.8%), (c) infrastruktur yang kurang memadai (22.2%), (d) jarak yang jauh dari pusat pemerintahan (14.3%), (e) wilayah pembangunan yang terlalu luas (4.8%), (f) program pembangunan yang kurang efektif (1.6%), (g) keberadaan kawasan lindung (1.6%) dan (h) minimnya sumberdaya alam (1.6%). Terkait pelaksanaan pembangunan, 81% responden menganggap pelaksanaan pembangunan kecamatan di wilayah pesisir belum efektif dan efisien dalam mendorong peningkatan ekonomi wilayah. Sebanyak 95.2% responden menginginkan pembangunan ekonomi di wilayah pesisir harus mendapatkan prioritas dari pemerintah. Sebanyak 100% responden menginginkan programprogram pembangunan kecamatan di wilayah pesisir harus disesuaikan dengan potensinya dan dibedakan dengan program pembangunan di wilayah lain. Berdasarkan hasil persepsi reponden terhadap kondisi perkembangan kecamatan di wilayah pesisir, maka dari sudut pandang stakeholder, dapat disimpulkan bahwa: 1.
Wilayah pesisir Kabupaten Garut masih dianggap kurang berkembang dibanding wilayah lainnya;
2.
Hambatan utama perkembangan wilayah pesisir diantaranya adalah masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, lambatnya program pembangunan, infrastruktur yang kurang memadai serta jarak yang jauh dari pusat pemerintahan;
3.
Pembangunan ekonomi di wilayah pesisir perlu mendapatkan prioritas dari pemerintah dimana program pembangunan harus dibedakan dengan wilayah lain dan disesuaikan dengan potensi yang ada.
Prioritas Wilayah Pembangunan Perencanaan pembangunan di suatu wilayah membutuhkan strategi yang baik sehingga hasil perencanaan dapat dilaksanaan dengan efektif sesuai karakteristik dan potensi wilayah. Dalam kaitannya dengan pengembangan ekonomi wilayah pesisir, pembangunan harus dilakukan berdasarkan prinsip prioritas. Hal ini sejalan dengan pendapat Riyadi dan Bratakusumah (2005) bahwa perencanaan pembangunan wilayah dalam hubungannya dengan suatu daerah sebagai wilayah pembangunan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, namun tetap berpegang pada asas prioritas. Menurut Hopkins (2001), perencanaan pembangunan harus secara eksplisit menjelaskan tentang bagaimana mengambil sebuah tindakan nyata dari beragam pilihan yang pada akhirnya akan memberikan konsekwensi atas hasil yang ingin dicapai. Oleh sebab itu, dalam menetapkan prioritas wilayah pembangunan perlu dilakukan pemilihan alternatif wilayah berdasarkan potensi masing-masing. Pemilihan alternatif wilayah salah satunya bisa didekati dengan melakukan analisis pengambilan keputusan menggunakan metode MCDM (Multi-Criteria Decision-Making). Menurut Vreeker dalam Postorino dan Pratico (2012), pendekatan MCDM bisa digunakan untuk mengevaluasi keuntungan atau kerugian dari alternatif-alternatif berdasarkan banyak kriteria ketika ada
66 perbedaan pilihan-pilihan yang tidak dapat dievaluasi dengan pendugaan sederhana atau dengan satu dimensi. Salah satu metode MCDM yang bisa digunakan dalam menentukan alternatif pengambilan keputusan adalah metode TOPSIS. Metode ini dipilih karena sangat berguna dalam kaitannya dengan permasalahan pengambilan keputusan multi-atribut atau multi-kriteria di dunia nyata. Hal ini sejalan dengan pendapat Shih, et al. (2007) bahwa metode TOPSIS mampu membantu para pengambil keputusan untuk mengelola permasalahan-permasalahan untuk dipecahkan, menganalisis, membandingkan serta mengurutkan banyak alternatif sehingga dapat diseleksi mana alternatif yang layak untuk dilaksanakan. TOPSIS mampu mengurutkan alternatif secara logis dan merepresentasikan pilihan-pilihan secara rasional. Prioritas Pembangunan Kecamatan Salah satu tujuan perencanaan pembangunan adalah bagaimana mewujudkan pemerataan pembangunan antar wilayah sehingga terjadi keberimbangan pertumbuhan yang pada akhirnya akan berdampak pada pengurangan tingkat disparitas. Hal ini sejalan dengan pendapat Rinaldi (2004) bahwa salah satu tujuan pengembangan wilayah nasional adalah mewujudkan keseimbangan pertumbuhan antar daerah. Oleh sebab itu tujuan perencanaan wilayah pada suatu kabupaten sebagai penjabaran dalam ruang lingkup yang lebih kecil, adalah keseimbangan pertumbuhan antara kecamatan, desa dan seterusnya. Prinsip keberimbangan pembangunan juga sejalan dengan pendapat Rustiadi et al. (2009) bahwa salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah adanya upaya mencapai pembangunan berimbang (balanced development), dengan terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah maupun daerah yang beragam sehingga dapat memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah. Upaya mewujudkan keseimbangan antar kawasan menjadi penting karena pada dasarnya keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi kesenjangan antarwilayah yang pada akhirnya akan mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Menurut Sumarsono (2004), salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka penyerasian pembangunan daerah untuk mengurangi disparitas, mewujudkan keterpaduan pembangunan, serta mempercepat kemajuan pembangunan daerah, dilaksanakan melalui pendekatan berbasis wilayah yang pada prinsipnya adalah meminimalisasi friksi dan memaksimalisasi sinergitas sehingga terwujud keserasian pembangunan daerah di wilayah pengembangan, yang mencakup tiga aspek, yaitu: (1) keserasian pertumbuhan antar daerah, antar wilayah maupun antar kawasan yang berorientasi pada kepentingan bersama pengembangan potensi lokal, (2) keserasian kebijakan dan program-program pembangunan sektoral dan daerah dalam skenario pengembangan wilayah, serta (3) keserasian di antara stakeholder dalam dinamika pengembangan wilayah . Berdasarkan landasan terori diatas, maka kriteria penetapan prioritas wilayah pembangunan tingkat kecamatan dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan prinsip pemerataan dan keberimbangan ekonomi. Oleh sebab itu,
67 untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, wilayah yang harus diprioritaskan adalah wilayah yang secara ekonomi belum berkembang sehingga diharapkan terjadi keseimbangan pertumbuhan ekonomi antar wilayah. Pemilihan wilayah didasarkan pada 4 kriteria sebagai berikut: 1. wilayah yang memiliki diversitas dan keberimbangan ekonomi yang rendah.Semakin rendah tingkat perkembangan ekonomi wilayah, maka wilayah tersebut semakin diprioritaskan untuk dikembangkan 2. wilayah yang memiliki jumlah desa yang kurang berkembang. Semakin banyak jumlah desa yang kurang berkembang (desa Hirarki III), maka wilayah tersebut semakin diprioritaskan untuk dikembangkan; 3. wilayah yang belum efisien dari sisi serapan tenaga kerja. Semakin wilayah tersebut tidak efisien, maka semakin diprioritaskan untuk dikembangkan; dan 4. wilayah yang belum efisien dari sisi pemanfaatan luas lahan. Semakin wilayah tersebut tidak efisien, maka semakin diprioritaskan untuk dikembangkan. Untuk memilih alternatif pengembangan wilayah kecamatan, digunakan metode MCDM-TOPSIS. Kriteria dan pembobotan yang digunakan dalam pemilihan alternatif didasarkan pada hasil penjaringan persepsi stakeholder sebagai berikut: (a) tingkat perkembangan ekonomi (bobot 42.86%), (b) tingkat perkembangan sarana prasarana (bobot 35.71%), (c) tingkat efisiensi serapan tenaga kerja (bobot 16.67%) dan (d) tingkat efisiensi pemanfaatan lahan (bobot 4,76%). Grafik hasil analisis TOPSIS disajikan pada Gambar 11.
Cibalong Pameungpk Cikelet Pakenjeng Mekarmukti Bungbulang Caringin 0.00000 0.10000 0.20000 0.30000 0.40000 0.50000 0.60000 0.70000 0.80000
Gambar 11. Grafik Ranking of Alternatives Wilayah Pembangunan Kecamatan Pesisir berdasarkan analisis TOPSIS
68 Berdasarkan Gambar 11, maka urutan prioritas wilayah pembangunan kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Garut adalah sebagai berikut: (1) Kecamatan Mekarmukti, (2) Kecamatan Pakenjeng (3) Kecamatan Caringin, (4) Kecamatan Cikelet, (5) Kecamatan Cibalong, (6) Kecamatan Bungbulang dan (7) Kecamatan Pameungpeuk.
6
2
3
1 4
7 5
Gambar 12. Peta prioritas pengembangan Kecamatan di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut Peta prioritas wilayah pembangunan kecamatan disajikan pada Gambar 12.
Prioritas Pembangunan Desa Berdasarkan hasil analisis perkembangan hirarki wilayah, perkembangan desa-desa di kecamatan wilayah pesisir masih belum berkembang dengan merata dimana hanya ada 3 desa dari 65 desa atau hanya sekitar 4,6% yang masuk ke dalam Hirarki I. Oleh sebab itu, prioritas pembangunan perlu diarahkan untuk membangun desa-desa baru yang bisa dijadikan pusat pertumbuhan. Semakin banyak desa yang bisa meningkat menjadi Hirarki I atau menjadi inti wilayah, maka wilayah pendukung (hinterland) di sekitarnya akan semakin berkembang.
69 Hal tersebut sejalan dengan pendapat Panuju (2012) bahwa wilayah yang menjadi inti memiliki fungsi penting yang berperan besar dalam mempengaruhi jalannya interaksi antar berbagai hinterland. Pusat memiliki daya tarik kuat bagi elemen di hinterland. Daya tarik tersebut secara harfiah berupa berbagai layanan yang didukung fasilitas dan infrastruktur yang lengkap. Hinterland mendukung berjalannya proses penting yang dilakukan di pusat. Proses-proses penting tersebut terdiri dari proses-proses transaksi dan peningkatan nilai tambah produksi. Industri dan jasa sebagai aktifitas yang berperan besar dalam peningkatan nilai tambah akan berkembang pesat di inti (kota) dengan fasilitas yang lengkap tersebut. Sebaliknya, hinterland sebagai pendukung berlangsungnya proses di pusat memiliki keunggulan sumberdaya dasar untuk mendukung proses peningkatan nilai tambah di pusat. Anwar (2005) mengemukakan bahwa pendekatan analisis pembangunan wilayah yang lebih tepat harus mampu mencerminkan adanya kerangka berfikir yang menyangkut interaksi antara aktivitas-aktivitas ekonomi spasial dan mengarah pada pemanfaatan sumberdaya secara optimal antara kegiatan di kawasan kota-kota dan wilayah-wilayah belakangnya (hinterland), di samping interaksi tersebut berlangsung dengan wilayah-wilayah lainnya yang lebih jauh. Kawasan kota dan wilayah belakangnya dapat terjadi hubungan fungsional yang tumbuh secara interaktif yang dapat saling mendorong atau saling menghambat dalam mencapai tingkat kemajuan optimum bagi keseluruhannya. Menurut Tarigan (2008), secara geografis pusat pertumbuhan merupakan lokasi dengan fasilitas dan kemudahan yang mampu menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) serta menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi dan masyarakat pun memanfaatkan fasilitas yang ada di lokasi tersebut. Wilayah sebagai pusat pertumbuhan pada dasarnya harus mampu mencirikan antara lain: hubungan internal dari berbagai kegiatan atau adanya keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya, keberadaan sektor-sektor yang saling terkait menciptakan efek pengganda yang mampu mendorong pertumbuhan daerah belakangnya, adanya konsentrasi geografis berbagai sektor atau fasilitas yang menciptakan efisiensi, serta terdapat hubungan yang harmonis antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya. Berdasarkan teori tersebut, maka untuk mendorong peningkatan ekonomi wilayah, sasaran pembangunan desa harus didasarkan pada hirarki tingkat perkembangan masing-masing desa. Arahan pembangunan untuk tiap desa perlu disesuaikan dengan tingkat hirarki masing-masing. Pendekatan pembangunan untuk desa yang merupakan inti wilayah atau pusat pertumbuhan harus dibedakan dengan pendekatan pembangunan bagi desa-desa hinterland. Hal ini disebabkan karena wilayah inti cenderung memiliki karakteristik berbeda dengan wilayah hinterland. Kriteria bagi arahan pembangunan desa adalah sebagai berikut: 1. Wilayah Pembangunan I (WP-1) yang terdiri dari Desa-desa Hirarki I dan II yang perlu diprioritaskan untuk dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan jumlah dan jenis sarana pelayanan. Sasaran pembangunan terutama ditujukan untuk desa-desa hirarki II yaitu desa-desa yang memiliki tingkat perkembangan sedang. Pembangunan perlu difokuskan
70 pada desa-desa tersebut agar desa tersebut bisa berkembang menjadi wilayah Hirarki I yaitu wilayah inti atau pusat pertumbuhan yang mampu menggerakan ekonomi wilayah-wilayah di sekitarnya. 2. Wilayah Pembangunan II (WP-2) yang terdiri dari desa-desa Hirarki III. Wilayah ini merupakan wilayah desa yang berpotensi sebagai penyedia sumberdaya atau wilayah hinterland dimana fokus pembangunan lebih diprioritaskan pada pembangunan sumberdaya alam terutama di sektor primer seperti pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan pertambangan/penggalian. Desa-desa tersebut perlu diperkuat dari sisi sarana prasarana produksi sebagai penyedia dan pemasok sumberdaya alam untuk mendukung perkembangan desa-desa di WP-1. Arahan pengembangan wilayah desa disajikan pada Tabel 20. pembangunan sarana prasarana disajikan pada Gambar 13.
Peta arahan
Tabel 20 Arahan Pengembangan Desa di Kecamatan Pesisir Kabupaten Garut Prioritas Pembangunan WP-1 (Wilayah prioritas untuk Dikembangan menjadi Pusat Pertumbuhan)
WP-2 (Wilayah prioritas untuk dikembangan menjadi pemasok sumberdaya)
CARINGIN
Indralayang, Purbayani, Caringin
Cimahi, Sukarame, Samudrajaya
2
BUNGBULANG
Bungbulang, Tegalega, Mekarjaya, Hanjuang, Margalaksana, Cihikeu, Mekarbakti
Sinarjaya, Wangunjaya, Gunamekar, Bojong, Gunung Jampang, Hegarmanah
3
MEKARMUKTI
Cijayana
Karangwangi, Mekarmukti, Jagabaya
4
PAKENJENG
Depok, Jatiwangi, Jayamekar
5
CIKELET
Cijambe, Cikelet, Ciroyom
Karangsari, Tanjungmulya, Tanjungjaya, Tegalgede, Neglasari, Sukamulya, Pasirlangu, Panyindaan, Wangunjaya, Talagawangi Cigadog, Pamalayana, Linggamanik, Karangsari, Girimukti, Tipar, Awassagara
6
PAMEUNGPEUK
7
CIBALONG
Pameungpeuk, Mandalakasih, Mancagahar, Sirnabakti, Paas, bojong, Jatimulya Karyamukti
No.
Kecamatan
1
-
Mekarsari, Karyasari, Sagara, Maroko, Sancang, Simpang, Cigaronggong, Mekarmukti, Mekarwangi, Najaten
71
Gambar 13. Peta arahan wilayah pengembangan desa di Kecamatan Pesisir Kabupaten Garut Pengembangan wilayah, perlu didukung dengan ketersediaan sarana prasarana yang memadai. Oleh sebab itu, perlu diidentifikasi jenis sarana prasarana apa saja yang harus diprioritaskan untuk dibangun di wilayah pesisir terutama di desa-desa yang merupakan inti wilayah atau pusat pertumbuhan. Informasi terkait prioritas jenis sarana prasarana yang akan dibangun sangat penting bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan untuk menentukan sarana prasarana mana yang perlu didahulukan untuk dibangun sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Penentuan prioritas kebutuhan jenis sarana prasarana dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis TOPSIS berdasarkan hasil penjaringan persepsi stakeholder. Kriteria dan pembobotan yang digunakan untuk menganalisis pemilihan alternatif pembangunan sarana prasarana adalah: 1. ketersediaan jumlah sarana prasarana di tiap kecamatan (bobot 57.1%). Semakin sedikit jumlah sarana prasarana yang tersedia, maka sarana prasarana tersebut semakin diprioritaskan untuk dipilih; 2. persepsi stakeholder (pemerintah, swasta dan masyarakat) (bobot 42.9%). Semakin banyak yang memilih sarana prasarana tersebut, maka sarana prasarana tersebut semakin penting untuk diprioritaskan.
72 Sebagai unit pengukuran bagi kriteria sarana prasarana digunakan data ketersediaan jumlah sarana prasarana berdasarkan data PODES 2011, sementara untuk persepsi stakeholder digunakan data tabulasi jawaban responden hasil kuisioner. Hasil analisis TOPSIS disajikan pada Gambar 14.
Keu & Jasa2 Pertanian Pariwisata Komunikasi Industri-Prd Transportasi Kesehatan Pendidikan 0.00000
0.20000
0.40000
0.60000
0.80000
1.00000
Gambar 14. Grafik Ranking of Alternatives Pengembangan Jenis Sarana Prasarana di Wilayah Kecamatan Pesisir Dari hasil analisis TOPSIS sebagaimana disajikan pada Gambar 14, dapat diketahui bahwa urutan prioritas alternatif pengembangan jenis sarana prasarana kecamatan di wilayah pesisir adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sarana pendidikan Sarana industri dan perdagangan Sarana kesehatan Sarana transportasi Sarana pertanian Sarana keuangan dan jasa-jasa Sarana komunikasi Sarana wisata dan hiburan
Berdasarkan urutan tersebut, maka dapat diketahui bahwa kebutuhan sarana prasarana kecamatan di wilayah pesisir umumnya masih berupa sarana kebutuhan dasar masyarakat seperti sarana pendidikan, kesehatan dan transportasi. Dorongan keinginan responden untuk meningkatkan ekonomi wilayah dapat terlihat dari kebutuhan akan sarana perdagangan dan industri di posisi kedua serta sarana
73 pertanian pada urutan kelima. Kebutuhan akan sarana keuangan, jasa, komunikasi dan sarana wisata/hiburan berada di urutan bawah dan masih merupakan kebutuhan tersier. Berdasarkan analisis tersebut, maka prioritas pembangunan yang harus dilakukan di kecamatan di wilayah pesisir adalah pada pembangunan sarana prasarana yang menunjang kebutuhan dasar masyarakat.
Arahan Pengembangan Sektor Ekonomi Berlakunya otonomi daerah membawa implikasi bagi setiap pemerintah daerah untuk mampu melihat sektor-sektor yang memiliki keunggulan ataupun kelemahan di wilayahnya. Oleh karena itu, setelah berlakunya otonomi daerah, setiap daerah memiliki kewenangan dalam menetapkan sektor atau komoditas yang akan menjadi prioritas pengembangan. Sektor atau komoditas yang memiliki keunggulan memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat menjadi push factor bagi sektor-sektor lain untuk berkembang (Tarigan, 2008). Pendekatan sektoral dilaksanakan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut. Pendekatan ini mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor unggul yang ada di setiap sub wilayah. Sektor ekonomi menjadi unggulan di banyak sub-wilayah merupakan sektor yang diunggulkan bagi pengembangan wilayah. Hal ini sejalan dengan pendapat Arief (1993) bahwa pendekatan sektoral dilakukan dengan menentukan sektor unggulan yang memiliki kontribusi dalam perekonomian secara keseluruhan. Dalam menetapkan arahan pembangunan kecamatan di wilayah pesisir, perlu ditetapkan sektor-sektor pembangunan mana saja yang menjadi prioritas dalam mendorong perkembangan ekonomi wilayah. Penetapan prioritas sektor pembangunan tidak hanya didasarkan pada potensi wilayah semata tetapi juga perlu mempertimbangkan persepsi stakeholder selaku pelaku dan penerima manfaat pembangunan. Hal ini sejalan dengan pendapat Riyadi dan Bratakusumah (2005), bahwa masyarakat semestinya dilibatkan secara langsung dalam proses perencanaan dan pengawasan pelaksanaan pembangunan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya serta berbagai aspek lainnya. langkah-langkah untuk mengikutsertakan peran serta masyarakat secara penuh didalam perencanaan pembangunan dapat dilakukan salah satunya dengan jalan merumuskan dan menampung keinginan masyarakat yang akan diwujudkan melalui upaya pembangunan. Berdasarkan landasan teori diatas, maka dalam memilih jenis sektor ekonomi yang akan diprioritaskan untuk dikembangan di wilayah pesisir, ditetapkan 4 (empat) kriteria pemilihan alternatif sebagai berikut: 1. Sektor yang dipilih adalah sektor yang unggul secara komparatif di banyak kecamatan. Semakin banyak kecamatan yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tersebut, maka sektor tersebut semakin diprioritaskan untuk dipilih;
74 2. Sektor yang dipilih adalah sektor yang unggul secara kompetitif di banyak kecamatan. Semakin banyak kecamatan yang unggul secara kompetitif di sektor tersebut, maka sektor tersebut semakin diprioritaskan untuk dipilih, 3. Sektor yang dipilih adalah sektor yang memiliki jumlah serapan tenaga kerja paling besar. Semakin besar jumlah serapan tenaga kerja di sektor tersebut, maka sektor tersebut semakin diprioritaskan untuk dipilih, 4. Sektor yang dipilih adalah sektor yang paling diminati stakeholder. Semakin banyak sektor tersebut dipilih/diminati responden, maka sektor tersebut semakin diprioritaskan untuk dipilih. Dalam menetapkan prioritas pengembangan sektor ekonomi, digunakan analisis MCDM TOPSIS dengan menggunaan data yang terdiri dari (a) keunggulan komparatif wilayah berdasarkan hasil analisis LQ, (b) keunggulan kompetitif wilayah berdasarkan hasil analisis SSA, (d) jumlah serapan tenaga kerja tiap sektor berdasarkan data BPS Tahun 2011 serta (d) persepsi stakeholder berdasarkan hasil tabulasi responden. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode MCDM-TOPSIS. Pembobotan yang digunakan dalam analisis didasarkan pada hasil tabulasi persepsi responden. Pembobotan yang digunakan adalah sebagai berikut: (a) keunggulan komparatif wilayah (bobot 19,05%), keunggulan kompetitif wilayah (bobot 21.43%), jumlah serapan tenaga kerja tiap sektor (bobot 28.57%), persentase pilihan responden (stakeholder) (bobot 30.95%). Hasil analisis TOPSIS disajikan pada Gambar 15.
Jasa-jasa Keuangan, Prsewaan, Js Prs Angkutan dan Komunikasi Perdagangan, Hotel, Resto Bangunan/konstruksi Listrik, gas, Air minum Industri Pengolahan Pertambangan/penggalian Pertanian 0.000000.100000.200000.300000.400000.500000.600000.700000.80000
Gambar 15. Grafik Ranking of Alternatives Pengembangan Sektor Ekonomi di Wilayah Kecamatan Pesisir
75
Berdasarkan hasil analisis TOPSIS, urutan atau ranking alternatif pembangunan sektor ekonomi kecamatan di wilayah pesisir adalah sebagai berikut: 1. Sektor Pertanian 2. Sektor Industri Pengolahan 3. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 4. Sektor Listrik, Gas dan Air Minum 5. Sektor Jasa-Jasa 6. Sektor Angkutan dan Komunikasi 7. Sektor Pertambangan/Penggalian 8. Sektor Bangunan/konstruksi 9. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Dari urutan tersebut, dari sembilan sektor yang ada, tiga prioritas utama pengembangan sektor ekonomi di kecamatan pesisir adalah sektor pertanian, sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Prioritas pertama pembangunan di wilayah kecamatan pesisir adalah dengan mengembangkan sektor pertanian sebagai basis ekonomi wilayah yang terdiri dari 5 sub-sektor yaitu sub-sektor tanaman pangan, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan. Berdasarkan data PDRB kecamatan Pesisir Tahun 2008, share PDRB sektor pertanian mencapai 66,86% dari total PDRB wilayah. Hal ini dimungkinkan terjadi karena berdasarkan data Potensi Desa Tahun 2011, sebanyak 56.456 KK atau sekitar 63,6% rumah tangga menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Dengan besarnya masyarakat yang memiliki mata pencaharian di sektor pertanian, maka pembangunan sektor tersebut sebagai sektor prioritas menjadi sangat penting. Pemerintah perlu memprioritaskan pembangunan pada tiap sub-sektor yang merupakan basis dari tiap kecamatan. Dari hasil analisis Location Quotient (LQ) terhadap PDRB sektor pertanian di wilayah pesisir dapat diketahui bahwa basis pertanian di Kecamatan Caringin adalah sub-sektor tanaman bahan makanan, sub-sektor peternakan, sub-sektor kehutanan dan sub-sektor perikanan. Basis di Kecamatan Bungbulang adalah subsektor tanaman bahan makanan dan sub-sektor perikanan. Di Kecamatan Mekarmukti, basis pertaniannya adalah sub-sektor tanaman bahan makanan dan sub-sektor perikanan. Di Kecamatan Pakenjeng, memiliki basis pertanian di subsektor tanaman bahan makanan dan kehutanan. Kecamatan Cikelet memiliki basis di sektor perkebunan, peternakan dan perikanan. Di Kecamatan Pameungpeuk, tidak ada sub-sektor yang menjadi basis. Di Kecamatan Cibalong, berbasis di subsektor Perkebunan, peternakan dan kehutanan. Dari hasil Shift Share Analysis (SSA) terhadap PDRB sektor pertanian di wilayah pesisir, dapat diketahui bahwa di seluruh kecamatan, sub-sektor yang paling cepat tumbuh adalah sub-sektor peternakan dengan nilai indeks antara 0.36-0.58. Hal ini dimungkinkan karena wilayah pesisir banyak memiliki wilayah terbuka dimana 15.3% wilayahnya masih berupa tegalan dengan luas mencapai 14,282 ha. Selain itu 4,09% wilayahnya berupa padang/semak dengan luas
76 mencapai 3,815 ha. Kondisi iklim dan luasnya tegalan dan padang/semak memungkinkan wilayah pesisir berpotensi untuk dijadikan lahan pengangonan untuk pengembangan sektor peternakan. Sektor berikutnya yang perlu diprioritaskan untuk dikembangkan di wilayah pesisir adalah sektor industri pengolahan. Sektor ini penting untuk menghasilkan nilai tambah produk olahan berbasis pertanian dalam mendorong peningkatan pendapatan masyarakat dan ekonomi wilayah. Berdasarkan hasil analisis Location Quotient (LQ) terhadap PDRB di wilayah pesisir, kecamatan yang memiliki basis di sektor industri pengolahan adalah Kecamatan Cikelet, Bungbulang dan Cibalong. Kecamatan Cikelet adalah kecamatan yang memiliki nilai PDRB tertinggi di sektor industri pengolahan dibandingkan dengan kecamatan lainnya di wilayah pesisir dengan total PDRB sebesar 11,23 milyar rupiah yang terutama didominasi oleh industri agro dan hasil hutan. Sektor industri pengolahan menjadi prioritas kedua untuk dikembangkan karena meskipun share PDRB sektor ini hanya mencapai 4,87% dari total PDRB wilayah pesisir, tetapi Berdasarkan hasil analisis SSA, sektor industri memiliki keunggulan dari sisi pertumbuhan hampir di seluruh kecamatan yaitu Kecamatan Caringin, Bungbulang, Pakenjeng, Cikelet, Pameungpeuk dan Cibalong. Sektor selanjutnya yang menjadi prioritas pembangunan diarahkan pada sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor ini penting diprioritaskan untuk mendorong ekspor produk-produk pertanian ke luar daerah sekaligus meningkatkan potensi wisata dari sisi pengembangan hotel dan restoran. Subsektor prioritas untuk pengembangan sektor pertanian, sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran disajikan pada Tabel 21. Peta arahan pengembangan disajikan pada Gambar 16. Tabel 21 Arahan Pengembangan Sub-sektor Prioritas di Kecamatan Wilayah Pesisir Sub-Sektor Prioritas No.
Kecamatan
1
CARINGIN
2
BUNGBULANG
3
MEKARMUKTI
4
PAKENJENG
5
CIKELET
6
PAMEUNGPEUK
7
CIBALONG
Industri Pengolahan
Perdagangan, Hotel dan Restoran
-
Hotel
Industri Pengolahan
Perdagangan
-
-
-
-
Perkebunan, Peternakan, Perikanan
Industri Pengolahan
Hotel
-
-
Perdagangan, Hotel, Restoran
Perkebunan, Peternakan, Kehutanan
Industri Pengolahan
-
Pertanian Tanaman Bahan Makanan, Peternakan, Kehutanan, Perikanan Tanaman Bahan Makanan, Perikanan Tanaman Bahan Makanan, Perikanan Tanaman Bahan Makanan, Kehutanan
77
Gambar 16 Peta Arahan Pengembangan Sub-Sektor Prioritas di Wilayah Pesisir Kabupaten Garut Penelitian ini telah secara komprehensif membahas tentang potensi ekonomi makro kecamatan di wilayah Pesisir ditinjau dari berbagai aspek. Pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Garut akan efektif dan efisien apabila dilaksanakan berdasarkan potensi masing-masing wilayah tersebut baik dari sisi perkembangan wilayah maupun perkembangan antar sektor. Perencanaan pembangunan yang komprehensif yang didasarkan pada arahan hasil analisis serta dengan mempertimbangkan berbagai aspek pembangunan baik dari sisi pertumbuhan (growth), keberimbangan (equity) maupun keberlanjutan (suistainability) akan memberikan dampak positif bagi berkembangnya ekonomi di wilayah pesisir sehingga menjadi wilayah yang mampu memberikan multiplier effect bagi perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya.