5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 5.1.1
Aktivitas Penangkapan Ikan Lemuru Alat tangkap Purse seine merupakan alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan
di sekitar Selat Bali dalam menangkap ikan lemuru. Purse seine merupakan alat tangkap yang paling efektif digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang membentuk gerombolan. Alat tangkap purse seine terbuat dari gabungan beberapa helai jaring yang digabung menjadi satu. Tepi bagian atas diapungkan di permukaan air dengan bantuan sejumlah pelampung. Sedangkan di tepi bagian bawah diberi pemberat serta terdapat sebuah tali yang dipasang melalui lubanglubang berbentuk cincin yang telah terikat dengan tepat pada tepi jaring bagian bawah. Hal tersebut agar tali kolor yang melalui cincin tadi dapat ditarik dan cincin terkumpul sehingga jaring mengkerut membentuk kantong yang mengurung gerombolan ikan lemuru. Alat tangkap purse seine yang digunakan di sekitar Selat Bali dioperasikan dengan menggunakan 2 unit kapal (two boat system). Gambaran mengenai desain bentuk jaring alat tangkap purse seine dengan two boat system dapat dilihat pada Gambar 17.
Tali Pelampung Pelampumg
Tali Ris Atas
Tali Ris Bawah Tali Pemberat Tali Kolor
t Pembera
Cincin
(a) Konstruksi alat tangkap purse seine dengan two boat system
(b) Purse seine yang digunakan nelayan di Selat Bali
Gambar 17. Alat tangkap purse seine di Selat Bali
76
Bahan jaring yang digunakan untuk alat tangkap purse seine umumnya terbuat dari nylon. Spesifikasi alat tangkap purse seine di sekitar Selat Bali sebagai berikut : -
Bahan badan jaring : Nylon
-
Ukuran benang : 210d/6, 210d/9, dan 210d/12
-
Ukuran mata jaring (mesh size) : 0.75 inch, dan 1 inch (1 inch = 2.5 cm)
-
Panjang jaring : 400 meter
-
Pelampung terbuat dari plastik atau rubber bulat memanjang dengan garis tengah 7 cm dan panjang 14 cm, lazimnya disebut dengan pelampung W35 DL.
-
Pemberat terbuat dari timah dengan diameter 2 cm dan panjang 5,5 cm
-
Ring atau cincin oleh para nelayan muncar disebut kolong, digunakan sebagai tempat tali kolor dan terbuat dari bahan kuningan yang berukuran diameter 5.5 cm dan lebar 6.5 cm.
-
Alat bantu penangkapan lainnya yang digunakan meliputi palu, serok, bambu, keranjang dan lampu. Berdasarkan Keppres No. 85, 1982 dan SKB Gubernur KDH Tingkat I
Jawa Timur dan Bali No. 238 Tahun 1992//674 Tahun 1992 ditetapkan untuk ukuran mata jaring yang digunakan minimal adalah 1 inchi = 2,5 cm. Pada kenyataanya, sebagian unit jaring purse seine di Selat Bali menggunakan ukuran mata jaring kurang dari 1 inchi yaitu 0,75 inchi. Panjang jaring yang ditetap dalam SKB sebesar 300 meter dengan kedalaman 60 meter. Panjang jaring yang digunakan oleh nelayan di Selat Bali telah melebihi ukuran yang ditetapkan dalam SKB yaitu mencapai 400 meter dengan kedalaman dapat mencapai 100 meter. Kondisi ini menunjukkan aturan yang telah ditetapkan dalam SKB tahun 1992 sudah banyak yang tidak dipatuhi oleh nelayan. Praktek pengoperasian alat tangkap purse seine semakin menuju ke arah yang tidak ramah lingkungan. Tingginya tingkat persaingan usaha dapat menjadi salah satu pemicu bagi nelayan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan ikan hasil tangkapan.
77
5.1.2 Armada kapal Kapal yang digunakan untuk satu unit alat tangkap purse seine yaitu sebanyak dua unit. Beberapa keunggulan operasi purse seine dengan two boat system yaitu waktu yang diperlukan untuk melingkari gerombolan ikan akan menjadi lebih cepat dari waktu yang diperlukan oleh one boat system. Gerombolan ikan akan lebih mudah dilingkari dan dapat dilakukan dengan cepat, sehingga diharapkan akan mengakibatkan catch yang besar. Kelamahannya yaitu biaya operasional dengan dua unit kapal lebih besar dibandingkan hanya menggunakan satu unit kapal. Ukuran setiap unit armada kapal penangkapan dengan alat tangkap purse seine di Selat Bali sebagai berikut : -
Panjang kapal (LOA)
: 20 m
-
Lebar kapal
: 6 – 6.5 m
-
Draft
: 3 – 3.5 m
-
Bahan kapal
: Kayu Jati (Tectona grandis)
-
Anak Buah Kapal (ABK)
: 45 – 50 orang
-
Bahan bakar
: Solar
-
Merek Mesin Disel
: Yanmar
-
Kekuatan Mesin
: @ 30 PK dengan 4 Mesin
Desain kapal purse seine di Selat Bali dibentuk untuk pengoperasian one day fishing sehingga kapal berbentuk terbuka tanpa ada atap penutup. Kondisi ini dilakukan untuk lebih memudahkan dalam pengoperasian alat tangkap. Ukuran lebar kapal cukup besar dan tidak terlalu tinggi berguna untuk mendapatkan stabilitas kapal yang baik, tinggi kapal yang rendah untuk mencegah agar titik berat kapal tidak naik. Dua unit kapal yang digunakan untuk operasi penangkapan purse seine di Selat Bali dibedakan menjadi perahu pemburu atau perahu selerek dan perahu jaring. Perahu selerek bertugas untuk menarik tali kolor atau purse line dan mengangkut hasil tangkapan sedangkan perahu jaring mempunyai tugas untuk membawa jaring serta melingkarkan jaring untuk mengurung gerombolan ikan. Alat tangkap jaring biasanya diletakkan diatas lambung kapal sebelah kiri.
78
Gambaran selengkapnya mengenai armada kapal purse seine di Selat Bali dapat dilihat pada Gambar 18.
(a) Penataan jaring di atas kapal
(b) kapal purse seine di Selat Bali
Gambar 18. Kapal purse seine di Selat Bali
5.1.3 Pengoperasian alat tangkap Purse seine atau pukat cincin adalah perangkat jaring penangkap ikan yang dirakit untuk dipergunakan dengan cara melingkari ikan sasaran sedemikian rupa sehingga ikan tidak dapat meloloskan diri secara horisontal dan atau vertikal. Metode pengoperasian alat tangkap purse seine dapat dilakukan dengan alat bantu lampu dan tidak menggunakan lampu. Sistem operasi alat tangkap purse seine dilakukan dengan menggunakan dua buah kapal (two boat sistem). Pengoperasian purse seine menggunakan lampu (ngoncor) dipengaruhi oleh umur bulan dan biasanya dilakukan pada saat musim barat, sedangkan pada musim timur pengoperasian purse seine tidak menggunakan lampu (gadangan). Pencarian gerombolan ikan pada saat Musim Timur dilihat dengan mata telanjang (tanpa bantuan alat lain). Metode pengoperasian alat apabila dilihat ada gerombolan ikan yang cukup besar, baru dilakukan operasi penangkapan dengan penurunan jaring. Pada musim Barat, operasi penangkapan dilakukan dengan memakai lampu, yaitu perahu behenti disuatu daerah penangkapan tertentu, lalu memasang lampu petromak sebanyak 4-6 buah atau lampu dengan genset dalam satu bangkrak. Lampu ini dimaksudkan untuk menarik pehatian ikan lemuru untuk berkumpul di
79
dekat lampu. Jika sudah telihat banyak ikan yang bergerornbol dekat lampu, operasi penangkapan dilakukan penurunan jaring. Pada Musim Barat ini tidak selalu memakai lampu, karena sering terjadi saat menuju daerah penangkapan ikan terlihat gerombolan ikan yang cukup besar, yang selanjutnya dilakukan penurunan
jaring.
Gambaran
selengkapnya
mengenai
metode
operasi
penangkapan alat tangkap purse seine dengan menggunakan 2 buah kapal (two boat system) dapat dilihat pada Gambar 19.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Keterangan : Kapal A = kapal jaring Kabal B = kapal selerek/pemburu
Gambar 19. Metode operasi penangkapan alat tangkap purses seine dengan menggunakan dua kapal (two boat purse seine)
80
Metode pengoperasian alat tangkap purse seine dengan 2 unit kapat (two boat system) dilakukan dengan cara apabila sudah diketahui gerombolan ikan lemuru maka kapal jaring mendekati kapal selerek (Gambar 19a), selanjutnya ujung jaring diikat ke kapal selerek lalu kapal jaring dan selerek melingkari gerombolan ikan (Gambar 19b). Laju arah kedua kapal dalam melingkari gerombolan ikan tersebut berlawan arah. Hal ini dimaksudkan agar proses melingkari gerombolan ikan dengan menggunakan 2 kapal dapat berlangsung cepat sehingga sedikit ikan yang dapat meloloskan diri. Setelah gerombolan ikan dilingkari dan kedua kapal bertemu maka tali jaring bagian bawah yang berada pada lobang cincin atau tali kolor diikatkan ke kapal selerek (Gambar 19c). Kapal selerek menarik tali kolor agar bagian bawah jaring dapat tertutup sehingga ikan tidak dapat meloloskan ke bagian bawah jaring (Gambar 19d). Setelah jaring bagian bawah tertutup, kapal selerek dan kapal jaring melakukan persiapan untuk proses mengangkat jaring atau hauling (Gambar 19e). Pengangkatan jaring dilakukan oleh ABK yang ada di kapal jaring maupun di kapal selerek (Gambar 19f). Waktu operasi mengikuti peredaran bulan. Operasi penangkapan hanya dilakukan pada saat bulan gelap saja dan dilakukan pada malam hari. Pada setiap kali operasi penangkapan, nelayan akan segera kembali kepangkalan begitu bulan mulai muncul. Pada waktu bulan purnama yaitu sekitar 2-3 hari sebelum dan sesudah purnama penuh, kegiatan operasi penangkapan terhenti. Waktu-waktu istirahat ini dipergunakan untuk memperbaiki jaring atau perahu. Jumlah hari operasi penangkapan (hari aktif) setiap bulan bekisar antara 18-20 hari.
5.1.4 Daerah penangkapan ikan Secara
tradisional
masyarakat
nelayan
sudah
mengenal
daerah
penangkapan (fishing ground) secara turun temurun. Fishing ground tersebut diberikan berdasarkan nama daratan terdekat, yaitu : Klosot (Wringinan-paparan Jawa), Senggrong (paparan Jawa), Tanjung Angguk (paparan Jawa), Karang Ente (paparan Jawa), Grajakan (paparan Jawa), Pulukan (paparan Bali), Seseh (paparan Bali), dan Uluwatu (paparan Bali). Selain itu, daerah penangkapan ikan lemuru dilakukan di Teluk Pangpang, Teluk Banyubiru dan Teluk Senggrong.
81
Ikan lemuru ukuran kecil (sempenit) banyak tertangkap di daerah Klosot (wringinan), Senggrong dan Teluk Pangpang. Ikan lemuru dengan ukuran besar tertangkap di daerah penangkapan Tanjung Angguk, Karang Ente, Seseh dan Uluwatu. Daerah penangkapan tersebut sekaligus merupakan migrasi berdasarkan ukuran ikan lemuru. Sebaran daerah penangkapan ikan lemuru dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Daerah penyebaran ikan lemuru di Selat Bali
5.1.5
Musim penangkapan ikan Musim ikan lemuru terjadi pada saat musim barat karena persentase ikan
lemuru yang tertangkap lebih tinggi pada bulan musim barat, sehingga hasil tangkap pada bulan musim timur hasil tangkapnya relatif lebih sedikit dari pada bulan-bulan musim barat. Produksi ikan Lemuru umumnya mulai naik pada bulan Oktober dan puncaknya adalah bulan Desember dan Januari selanjutnya pada bulan Februari mengalami penurunan kembali. Untuk lebih jelasnya mengenai musim penangkapan ikan di Perairan Selat Bali, pada Gambar 21 disajikan
82
gambar indeks musim penangkapan ikan. indeks musim penangkapan tersebut dihitung berdasarkan hasil tangkapan ikan di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. 2.5 2 1.5 1 Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
0.5 0
Gambar 21. Indeks musim penangkapan ikan lemuru di Selat Bali Pada gambar di atas terlihat bahwa musim penangkapan ikan di Perairan Selat Bali terlihat meningkat mulai bulan oktober hingga bulan Februari. Aktivitas penangkapan ikan di Perairan tersebut mengalami puncaknya pada akhir tahun yakni bulan November dan Desember.
5.2 Produksi Ikan Lemuru menurut Jenis Alat Tangkap Sumberdaya ikan lemuru merupakan spesies tangkapan utama bagi nelayan di sekitar Perairan Selat Bali karena jumlahnya yang melimpah. Aktivitas penangkapan ikan lemuru di Selat Bali didominasi oleh alat tangkap purse seine. Alat tangkap lainnya yang digunakan oleh nelayan di sekitar selat bali yaitu payang dan gillnet. Secara administrasi Perairan Selat Bali berada di 2 wilayah Provinsi yaitu Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Bali. Wilayah yang berbatasan langsung dengan Perairan Selat Bali di Provinsi Jawa Timur yaitu Kabupaten Banyuwangi. Sedangkan di Provinsi Bali terdiri dari 2 wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Badung. Namun demikian aktivitas kegiatan penangkapan ikan lemuru di Kabupaten Badung menempati proporsi yang kecil karena di Kabupaten Badung sebagian besar wilayah pantainya merupakan wilayah wisata. Sehingga hanya ada sebagian kecil yang dijadikan sebagai
83
wilayah pendaratan ikan. Sebagian besar pendaratan ikan lemuru di Provinsi Bali dilakukan di Kabupaten Jembrana, tepatnya di PPN Pengambengan.
Dengan
demikian, kegiatan pengelolaan ikan lemuru di Selat Bali terdapat 2 wilayah yaitu di Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana. Produksi ikan lemuru di Kabupaten Banyuwangi lebih besar dibandingkan produksi ikan lemuru di wilayah Kabupaten Jembrana. Hal ini disebabkan karena jumlah alat tangkap utama ikan lemuru yaitu alat tangkap purse seine yang ada di Kabupaten Banyuwangi lebih banyak dibandingkan di Kabupaten Jembrana. Pada tahun 2009 tercatat jumlah alat tangkap purse seine di Kabupaten Banyuwangi tercatat sebanyak 216 unit sedangkan di Kabupaten Jembrana tercatat sebanyak 108 unit purse seine pada tahun yang sama. Volume produksi ikan lemuru selang periode tahun 1995 hingga tahun 2010 berfluktuatif. Selama selang periode tersebut produksi ikan lemuru mengalami produksi tertinggi pada tahun 2007 yang mencapai 67848,94 ton dan pada tahun 2009 mencapai 65.237,54 ton. Data selengkapnya mengenai jumlah produksi ikan lemuru di Selat Bali menurut jenis alat tangkap dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Produksi ikan lemuru di Selat Bali menurut jenis alat tangkap, tahun 1995 – 2010 (satuan ton) Tahun Purse seine Payang Gillnet 1995 14.216 506 128 1996 8.512 272 173 1997 21.296 412 131 1998 53.096 4.130 938 1999 5.840 251 64 2000 7.586 450 134 2001 9.013 886 247 2002 34.075 1.881 300 2003 30.797 3.083 421 2004 19.750 1.333 101 2005 13.451 962 152 2006 56.777 3.485 324 2007 67.042 604 203 2008 36.381 1.392 557 2009 62.793 1.556 889 2010 14.790 4 1 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi Dinas Pertanian Kehutanan Dan Kelautan Kabupaten Jembrana PPP Muncar PPN Pengambengan
84
Berdasarkan data yang dihimpun diperoleh jumlah trip operasi penangkapan ikan lemuru di Selat Beli menurut jenis alat tangkap seperti yang disajikan pada Tabel 24. Data tersebut merupakan data dari banyaknya jumlah kapal yang tercatat medaratkan ikan di masing-masing pelabuhan. Pada faktanya jumlah armada kapal penangkapan ikan di perairan Selat Bali masih banyak yang belum tercatat. Berdasarkan data primer diperoleh informasi bahwa jumlah hari operasi untuk setiap alat tangkap purse seine rata-rata sebanyak 18 hari per bulan. Dengan demikian apabila dibandingkan dengan jumlah hari operasi armada kapal maka data jumlah kapal yang mendaratkan ikan di pelabuhan baru sekitar 40 persen dari jumlah hari operasi armada kapal yang tersedia. Berdasarkan data pada Tabel 24 diketahui bahwa aktivitas penangkapan ikan lemuru dengan menggunakan alat tangkap purse seine paling tinggi terjadi pada tahun 2004 sebanyak 30.310 trip dan tahun 2009 sebanyak 26.141 trip.
Tabel 24. Jumlah trip operasi penangkapan ikan lemuru di Selat Bali menurut jenis alat tangkap, tahun 1995-2010 (satuan trip) Tahun Purse seine Seine Net Gillnet 1995 11.367 9.532 51.192 1996 11.212 10.310 52.988 1997 11.835 11.686 53.790 1998 11.796 11.871 54.308 1999 12.102 11.885 55.675 2000 10.938 9.500 52.197 2001 12.447 16.184 17.893 2002 10.345 16.720 20.763 2003 11.715 16.788 45.667 2004 30.310 22.781 23.425 2005 17.584 51.037 35.401 2006 20.269 51.037 35.244 2007 22.756 8.136 48.820 2008 22.175 8.136 48.820 2009 26.141 7.766 58.009 2010 23.613 17.197 52.840 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi Dinas Pertanian Kehutanan Dan Kelautan Kabupaten Jembrana PPP Muncar PPN Pengambengan
85
5.3 Standarisasi Alat Tangkap Data jumlah input agregat (total effort) dari sumberdaya perikanan diperlukan dalam melakukan analisis bionomi untuk optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan. Karakteristik perikanan di Indonesia umumnya bersifat spesies yang beragam dan alat tangkap yang beragam, sehingga unit alat tangkap, jenis dan jumlah spesies yang tertangkap mempunyai kemampuan yang berbeda. Standarisasi terhadap alat tangkap yang memiliki produktivitas tertinggi digunakan untuk mengetahui masing-masing sumberdaya ikan yang tertangkap oleh alat tangkap nelayan. Standarisasi alat tangkap dilakukan terhadap alat tangkap yang memiliki produktivitas tertinggi. Sumberdaya ikan lemuru di selat bali ditangkap oleh alat tangkap purse seine, payang dan gillnet. Alat tangkap payang dan gillnet distandarkan ke alat tangkap purse seine, karena alat tangkap purse seine memiliki produktivitas yang lebih tinggi dari kedua alat tangkap tersebut
80000
5
70000
4.5 4
60000
3.5
50000
3
40000
2.5
30000
2 1.5
20000
CPUE (ton/trip)
Produksi (ton) / Effort (trip)
(Lampiran 2).
1
10000
0.5
0
0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Produksi (ton)
Effort (trip)
CPUE
Gambar 22. Perbandingan produksi, effort dan CPUE pada sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali, tahun 1995-2010 Pada Gambar 22 menggambarkan perbandingan produksi, effort dan CPUE pada sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali dari Tahun 1998 hingga tahun 2010. Jumlah effort mulai dari tahun 1995 hingga tahun 2010
86
cenderung terus mengalami peningkatan, puncaknya terjadi pada tahun 2004 dengan jumlah effort mencapai 32.511 trip dan tahun 2009 dengan jumlah effort sebanyak 27.159 trip. Produksi ikan lemuru dari tahun 1995 hingga tahun 2010 berfluktuatif, jumlah produksi tertinggi terjadi pada tahun 2007 yang mencapai 67.849 ton dan tahun 2009 sebesar 65.238 ton. Hal yang sama juga ditunjukkan dari nilai CPUE yang berfluktuatif. Nilai CPUE tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 4,5 ton per trip, sedangkan nilai CPUE pada tahun 2009 mencapai 2,4 ton per trip.
5.4 Hubungan Catch per Unit Effort (CPUE) dan Effort Hubungan antara CPUE dan effort pada sumberdaya ikan lemuru yang disajikan pada Gambar 23 menunjukkan peningkatan aktivitas penangkapan (effort) semakin menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Secara linier hubungan CPUE dan effort digambarkan dalam persamaan y = -2E-05x + 2,0304 yang artinya setiap terjadi peningkatan effort sebanyak 1 trip, maka CPUE akan turun sebesar 0,00002 ton per trip. Kondisi ini mengindikasikan sumberdaya ikan lemuru hampir mengalami overfishing secara biologi. Hubungan antara CPUE dan effort pada sumberdaya ikan lemuru dalam 16 tahun terakhir secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 23. 5 4.5 4 3.5 3 2.5 y = -2E-05x + 2,0304
2 1.5 1 0.5 0 0
5000
10000
15000 CPUE
20000
25000
30000
35000
Linear (CPUE)
Gambar 23. Hubungan antara CPUE dan effort pada sumberdaya ikan lemuru
87
5.5 Estimasi Parameter Biologi Ada beberapa model estimasi yang digunakan dalam melakukan estimasi parameter biologi, yaitu model estimasi Algoritma Fox, model estimasi Clark, Yoshimoto dan Pooley (CYP), model estimasi Walters dan Hilborn (WH), dan model estimasi Schnute. Pemilihan model estimasi yang paling cocok dengan karakteristik sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali dilakukan dengan cara membandingkan tingkat pertumbuhan intrinsik (r), koefisien daya tangkap (q) dan daya dukung lingkungan (K) dari masing-masing model estimasi. Selain itu dilakukan uji statistik dan membandingkan biomas (x), produksi (h), dan effort (E) pemanfaatan aktual dengan optimal (MSY) sumberdaya ikan dari masingmasing model estimasi. Parameter biologi yang akan diestimasi meliputi tingkat pertumbuhan intrinsik (r), koefisien daya tangkap (q) dan daya dukung lingkungan (K).
Parameter biologi dan nilai uji statistik dari masing-masing
model estimasi dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Perbandingan data aktual, parameter biologi, MSY dan uji statistik pada sumberdaya ikan lemuru Parameter Biologi Pemanfaatan Algoritma Fox Biomas (x) (ton) Produksi (h) (ton) Effort (E) (trip) CYP Biomas (x) (ton) Produksi (h) (ton) Effort (E) (trip) Walter - Hilborn Biomas (x) (ton) Produksi (h) (ton) Effort (E) (trip) Schnute Biomas (x) (ton) Produksi (h) (ton) Effort (E) (trip)
Aktual
r 0,890925
q 7,0415E-06
K 288347,9
144.173,97 64.224,12 63.262,47
30.086,63 17.605,42 1,931011
1,87222E-05
43.802,72 42.291,76 51.570,13 2,142987
3,09083E-05
30.086,63 17.605,42 0,754851
2,9483E-05
Sig
R2
0,112171
0,742652
0,007949
0,032515
0,968093
0,00539
3,628129
0,058567
0,376826
0,233153
0,795274
0,034628
51,36 50,78
215417,07 107.708,53 40.651,94 12.801,46
Uji F
71,14 34,14
109335,49 54.667,74 58.576,12 34.666,87
Uji Statistik
46,85 27,41
87605,43
30.086,63 17.605,42
30.086,63 17.605,42
MSY
Persentase aktual terhadap MSY
74,01 137,53
Pada Tabel 25, dapat dilihat perbandingan tingkat pertumbuhan instrinsik (r), koefisien daya tangkap (q) dan daya dukung lingkungan (K) dari masingmasing model estimasi. Tingkat pertumbuhan intrinsik (r) yang paling tinggi dari keempat model estimasi tersebut adalah model estimasi CYP yaitu sebesar 1,93
88
ton per tahun. Sedangkan untuk koefisien daya tangkap (q) yang tertinggi adalah model estimasi WH yaitu 0,00003 ton per trip dan model yang memiliki nilai daya dukung lingkungan (K) tertinggi adalah model estimasi Algoritma Fox yaitu sebesar 288.347,9 ton per tahun. Nilai Uji F dan R square digunakan untuk mengukur goodness of fit dari model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap variable independen dalam model, dimana jika nilai signifikansi Uji F lebih kecil dan nilai R square semakin besar menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Pada Tabel di atas dapat dilihat model estimasi yang memiliki nilai signifikasi paling kecil dan nilai R square paling tinggi yaitu model estimasi Walter Hilborn. Berdasarkan perbandingan nilai pemanfaatan aktual dengan optimal (MSY) pada sumberdaya ikan lemuru, rata-rata tingkat produksi aktual dari model estimasi Walter Hilborn telah mencapai 30.190,09 ton atau 67 persen dari tingkat produksi maksimal (nilai MSY = 45.128,38 ton). nilai biomas dari model estimasi Walter Hilborn sebesar 58.576,12 ton. Dari hasil estimasi model Walter Hilborn diperoleh nilai koefisien tingkat pertumbuhan intrinsik (r) sebesar 2,14; 2) koefisien daya tangkap (q) sebesar 0,00003 ton per trip; dan 3) dan daya dukung lingkungan (K) sumberdaya ikan lemuru sebesar 109.335,49 ton per tahun. Apabila dilihat dari nilai koefisien tingkat pertumbuhan intrinsik (r) sebesar 2,14 dimana lebih besar dari 1, maka secara logika dan teoritis hal tersebut menunjukkan bahwa model estimasi Walter Hilborn tidak dapat digunakan untuk menduga dan menggambarkan kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Berdasarkan pada Tabel 25 terdapat dua model estimasi yang memiliki nilai koefisien tingkat pertumbuhan intrinsik (r) yang lebih kecil dari 1 yaitu model estimasi Algoritma Fox dan model estimasi Schnute. Apabila dilihat dari nilai R square diketahui bahwa model estimasi Schnute memiliki nilai R square yang lebih besar. Dengan demikian model estimasi Schnute lebih memungkinkan digunakan untuk menduga dan menggambarkan kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Berdasarkan model estimasi Schnute, maka diperoleh parameter biologi yang meliputi: 1) tingkat pertumbuhan intrinsik (r), dimana sumberdaya ikan lemuru akan tumbuh secara alami tanpa ada gangguan dari gejala alam meupun kegiatan manusia sebesar 0,75 ton per tahun; 2) koefisien daya tangkap (q), yang
89
mengindikasikan bahwa setiap peningkatan satuan upaya penangkapan akan berpengaruh berpengaruh sebesar 0,000029 ton per trip; dan 3) dan daya dukung lingkungan (K), yang menunjukkan kemampuan ekosistem mendukung produksi sumberdaya ikan lemuru sebesar 215.417,07 ton per tahun. Hasil perhitungan dari parameter biologi menurut model estimasi dapat dilihat pada Lampiran 3. 5.6 5.6.1
Estimasi Parameter Ekonomi Standarisasi biaya input Data untuk biaya input diperoleh dari responden yang menggunakan alat
tangkap purse seine, payang dan gillnet yang terkait dengan sumberdaya ikan lemuru. Struktur biaya dan harga ini merupakan data cross section dan series yang diperoleh melalui wawancara di lapangan. Biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap, karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Struktur biaya dari masing-masing alat tangkap dari data time series diperoleh melalui penyesuaian dengan Indek Harga Konsumen (IHK) dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur, untuk menghasilkan nilai biaya series tahun 1995-2010. Hasil perhitungan biaya per unit effort tahun 1995-2010, untuk masing-masing alat tangkap, seperti Tabel 26. Tabel 26. Biaya per unit effort dan rata-rata biaya masing-masing alat tangkap tahun 1995-2010 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rataan
IHK 2006 25,40 26,99 27,81 53,56 53,69 59,30 67,68 73,87 77,41 82,12 93,71 100,00 106,27 117,85 121,20 124,87 75,73
Biaya (Rp)
521.634 554.163 571.120 1.099.792 1.102.452 1.217.718 1.389.785 1.516.966 1.589.561 1.686.318 1.924.442 2.053.506 2.182.238 2.420.029 2.488.912 2.564.213 1.555.178
90
Dari Tabel 26 secara berturut-turut diketahui besarana rata-rata biaya riil dari penangkapan sumberdaya ikan lemuru rata-rata sebesar Rp 1,55 juta per trip. Perhitungan tersebut dilakukan selama selang periode tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 dan indeks harga konsumen dengan tahun dasar tahun 2006. 5.6.2 Standarisasi harga output Dalam menganalisis bionomi sumberdaya tersebut selain faktor biaya juga sangat diperlukan faktor harga atau nilai dari sumberdaya yang dimanfaatkan. Variabel harga berpengaruh terhadap jumlah penerimaan yang diperoleh dalam usaha penangkapan ikan. Data harga nominal merupakan nilai rataan dari masingmasing target spesies dari alat tangkap. Harga jenis ikan tersebut disajikan dalam bentuk harga ikan per ton, yang diperoleh dari data primer di lapangan. Setelah melalui penyesuaian dengan Indek Harga Konsumen (IHK) dari BPS Provinsi Jawa Timur maka diperoleh nilai harga ikan time series tahun 1995-2010, seperti Tabel 27. Tabel 27. Rata-rata harga ikan lemuru tahun 1995-2010 Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rataan
IHK Tahun Dasar 2006 25.40 26.99 27.81 53.56 53.69 59.30 67.68 73.87 77.41 82.12 93.71 100.00 106.27 117.85 121.20 124.87 75.73
Harga Ikan Lemuru Rp/kg 815.22 866.06 892.56 1718.79 1722.94 1903.08 2172.00 2370.76 2484.21 2635.43 3007.57 3209.28 3410.46 3782.09 3889.74 4007.43 2430.48
Dari Tabel 27 diketahui bahwa harga rata-rata ikan lemuru pada tahun 2010 mencapai Rp 4007,43 per kg. Harga riil selang periode tahun 1995 hingga tahun 2010 rata-rata sebesar Rp 2430,48 per kg atau sebesar Rp 2,43 juta per ton.
91
5.7 Estimasi Discount Rate Hasil perhitungan real discount rate mengacu pada nilai laju pertumbuhan (ekonomi) PDRB di Kabupaten Banyuwangi rata-rata sebesar 0,11727 atau g = 11,73 persen dan nilai nominal discount rate saat ini sebesar 15 persen, sehingga dengan menggunakan pendekatan Kula (1984) diacu dalam Anna S (2003) diperoleh nilai riil discount rate sebesar 3,27 persen. Nilai riil discount rate ini kemudian dijustifikasi untuk mendapatkan nilai riil discount rate dalam bentuk annual continues discount rate dengan menggunakan persamaan ln(1 r ) , sehingga diperoleh nilai annual continues discount rate sebesar 3,22 persen (Lampiran 4). 5.8
Estimasi Produk Lestari Estimasi produksi lestari dilakukan dengan cara mensubstitusikan hasil
parameter biologi yang telah didapatkan ke dalam persamaan sehingga diperoleh fungsi produksi lestari atau yang dikenal dengan istilah sustainable yield-effort curve.
Perbandingan produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan
lemuru selama tahun 1995 -2010 dapat dilihat pada Gambar 24. Pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 volume produksi aktual ikan lemuru di Perairan Selat Bali bersifat fluktuatif. Puncak produksi ikan lemuru selama selang periode tahun 1995 hingga tahun 2010 terjadi pada tahun 2007 yang mencapai produksi aktual sebesar 67.848,94 ton dan pada tahun 2009 dengan volume sebesar 65.237,54 ton, selanjutnya pada tahun 2006 mencapai angka produksi sebesar 60.586,38 ton. Peningkatan atau penurunan volume produksi aktual dan volume produksi lestari disebabkan oleh peningkatan atau penurunan upaya tangkap (effort), kemampuan armada atau alat tangkap yang digunakan oleh nelayan serta kemampuan sumberdaya ikan lemuru dalam melakukan perbaharuan atau mempengaruhi diri.
80000
60000
70000
40000
60000
20000
50000
0
40000 -20000
30000
-40000
20000
-60000
10000 0
Produksi Lestari (ton)
Produksi Aktual (ton)
92
-80000 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun Produksi Aktual
Produksi Lestari
Gambar 24. Perbandingan produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan lemuru di Belat Bali Berdasarkan pada gambar tersebut terlihat bahwa adanya penambahan effort pada tahun 2004 menyebabkan produksi lestari ikan lemuru menurun tajam. Selanjutnya karena adanya penurunan produksi pada tahun 2004, maka pada tahun 2005 jumlah effort mulai berkurang sehingga produksi pada tahun 2006 mulai meningkat. Akan tetapi mulai tahun 2006 hingga tahun 2009 jumlah effort yang digunakan untuk menangkap sumberdaya ikan lemuru mengalami peningkatan sehingga produksi ikan lestarinya mengalami penurunan mulai tahun 2006 hingga tahun 2000. Penangkapan ikan lemuru mulai dari tahun 2004 dan berlanjut dari tahun 2006 hingga tahun 2009 telah melebihi dari batas produksi lestasi. Besarnya tingkat eksploitasi tangkapan terhadap sumberdaya ikan lemuru selama tahun 2006 hingga tahun 2009 diduga menjadi penyebab produksi ikan lemuru mulai tahun 2010 hingga saat ini mengalami penurunan. Selama tahun 1995 hingga tahun 2010, sebagian besar volume produksi aktual sumberdaya ikan lemuru berada di dalam kurva produksi lestari, namun pada tahun 1998 dan 2004 serta mulai tahun 2006 hingga tahun 2009 volume produksi aktual berada di luar kurva produksi lestari. Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan sumberdaya ikan lemuru dalam melakukan perbaharuan atau mempengaruhi diri sudah berkurang, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan
93
lemuru di Selat Bali mulai tahun 2006 hingga tahun 2009 terindikasi mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Gambaran selengkapnya mengenai hubungan produksi aktual dengan kurva produksi lestasi dapat dilihat pada Gambar 25.
80000 2007
Produkasi (ton)
70000 1998
60000
2009
2006
50000 2008
2002
40000
2003
30000 1997
20000 10000
1995 1996 2000
2001 1999
10,000
15,000
0 0
5,000
2005
20,000
2004
2010
25,000
30,000
35,000
Effort (trip)
Produksi Aktual
Produksi Lestari
Gambar 25. Kurva hubungan produksi lestari, produksi aktual dan effort sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali 5.9 5.9.1
Analisis Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan Lemuru Analisis optimasi statik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru Optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru dianalisis dalam beberapa
kondisi pengelolaan, yaitu kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY), open access (OA) dan maximum sustainable yield (MSY). Ketiga kondisi pengelolaan tersebut juga dibandingkan dengan kondisi aktual dari pemanfaatan tiap-tiap sumberdaya perikanan di Perairan Selat Bali. Hasil analisis optimasi static dari pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali disajikan pada Tabel 28.
94
Tabel 28. Hasil analisis optimasi statik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru Pemanfaatan sumberdaya Biomass (x) (ton) Produksi (h) (ton) Effort (E) (trip) alat tangkap (unit) π (juta Rp)
Aktual 30.086,63 17.605 357 45.745,30
model pengelolaan Sole Owner / Open MEY Access/OAY 118.559,97 21.702,86 40.239,31 14.731,93 11.512 23.023 234 467 79.897,92 0
MSY 107.708,53 40.651,94 12.801 260 78.895,05
Pada Tabel 28 menunjukkan bahwa sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali memiliki : 1) tingkat biomass (x) pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) sebesar 118.559,97 ton per tahun, open access (OA) sebesar 21.702,86 ton per tahun dan maximum sustainable yield (MSY) sebesar 107.708,53 ton per tahun; 2) tingkat produksi (h) pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) sebesar 40.239,31 ton per tahun, open access (OA) sebesar 14.731,93 ton per tahun dan maximum sustainable yield (MSY) sebesar 40.651,94 ton per tahun; 3) tingkat upaya (effort) pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) sebesar 11.512 trip per tahun, open access (OA) sebesar 23.023 trip per tahun dan maximum sustainable yield (MSY) sebesar 12.801 trip per tahun. Tingkat produksi (h) aktual sumberdaya ikan lemuru selama rentang waktu 1995-2010 sebesar 30.086,63 ton per tahun. Tingkat produksi (h) aktual ini masih memiliki nilai yang sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat produksi (h) optimal, yaitu 40.239,31 ton per tahun (sole owner atau maximum economic yield) dan maximum sustainable yield (MSY) sebesar 40.651,94 ton per tahun. Akan tetapi apabila dilihat dari tingkat produksi aktual (h) pada tahun 2009 yang mencapai 65.237,54 ton maka jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat produksi (h) optimal tersebut. Pada effort aktual (E) sumberdaya ikan lemuru selama tahun 1995-2010 memiliki nilai effort yang lebih kecil dari tingkat effort optimal. Nilai effort (E) pada kondisi aktual rata-rata sebanyak 17.605 trip per tahun, masih lebih tinggi dibandingkan nilai effort (E) pada sole owner atau maximum economic yield (MEY) sebesar 11.512 trip per tahun dan maximum sustainable yield (MSY)
95
sebesar 12.801 trip per tahun. Namun demikian, nilai effort (E) memiliki nilai effort lebih rendah dari effort open access (OA) yaitu sebanyak 23.023 trip per tahun. Apabila dilihat dari nilai effort (E) aktual pada tahun 2009 yang mencapai 27.159 trip per tahun, lebih tinggi dibandingkan dengan nilai effort (E) optimal. Hasil tangkapan dengan effort tersebut telah melebihi dari hasil tangkapan optimal. Hal ini menunjukkan telah terjadi peningkatan daya tangkap ikan dari alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan lemuru di perairan selat bali. Dari Tabel 28 di atas juga dapat diketahui tingkat keuntungan atau rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp 79.897,92 juta per tahun pada kondisi sole owner atau maximum economic yield (MEY), dan sebesar Rp 78.895,05 juta per tahun pada kondisi pengelolaan maximum sustainable yield (MSY). Berdasarkan kondisi aktual diperoleh tingkat keuntungan atau rente aktual sebesar Rp 45.745,30 juta per tahun, maka dapat dilihat selisih jumlah keuntungan yang cukup besar. Selisih jumlah rente ini disebabkan oleh menurunnya jumlah produksi hasil tangkapan dan tingkat effort yang semakin tinggi, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk melakukan aktivitas penangkapan sumberdaya ikan lemuru tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa adanya indikasi ke arah overfishing secara ekonomi (economical overfishing). Oleh karena itu, upaya penangkapan (effort) harus segera diturunkan agar dapat
45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 Aktual
Sole Owner / MEY
Produksi (h) (ton)
Open Access/OAY Effort (E) (trip)
Rente ekonomi (Rp juta)
Produksi (ton) dan effort (trip)
diperoleh keuntungan yang maksimal.
MSY π (juta Rp)
Gambar 26. Perbandingan pemanfaatan optimasi statik sumberdaya ikan lemuru
96
Pada Gambar 26 menunjukkan perbandingan pemanfaatan optimasi statik sumberdaya ikan lemuru. Pada Gambar 26 terlihat tingkat produksi dan keuntungan atau rente ekonomi pada kondisi aktual lebih rendah dibandingkan pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) dan kondisi pengelolaan maximum sustainable yield (MSY). Walaupun demikian, apabila dibandingkan pada kondisi pengelolaan open access, tingkat produksi aktual masih lebih tinggi dan tingkat effort aktual juga lebih rendah. Upaya pengelolaan (effort) pada kondisi aktual lebih tinggi dibandingkan pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) dan kondisi pengelolaan maximum sustainable yield (MSY). Sehingga kondisi ini telah menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak tepat. Tingkat effort yang diperlukan untuk mencapai kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) tampak lebih kecil daripada yang diperlukan dalam mencapai kondisi pengelolaan maximum sustainable yield (MSY). Oleh karena itu, keseimbangan kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) terlihat lebih conservative minded (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya pada titik keseimbangan pada kondisi pengelolaan maximum sustainable yield (MSY). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 27. 45000 40000
MEY
TR dan TC (juta rupiah)
35000
MSY
30000 25000
max.
20000
TC
15000
OA
10000 5000 0 -5000
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
Effort (trip)
Gambar 27. Keseimbangan bioekonomi model Gordon Schaefer pada sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali
97
5.9.2 Analisis optimasi dinamik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru Analisis optimasi dinamik pemanfaatan sumberdaya perikanan dilakukan karena tangkapan (yield) dan upaya penangkapan (effort) pada kegiatan perikanan tidak bersifat statis. Kegiatan perikanan bergerak mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada sumberdaya dan faktor eksternal lainnya. Aspek pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan pendekatan model dinamik bersifat intertemporal, maka dalam menganalisis aspek tersebut dijembatani dengan penggunaan discount rate, dimana discount rate yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti pendekatan Kula, yaitu 3,22% dan discount rate dari World Bank yaitu 10%, 12%, 15% dan 18%. Nilai discount rate digunakan dalam menghitung tingkat pemanfaatan optimal dinamik sumberdaya ikan lemuru. Hasil estimasi pada masing-masing tingkat discount rate dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Hasil analisis optimasi dinamik pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Pemanfaatan sumberdaya Biomass (x) (ton) Produksi (h) (ton) Effort (E) (trip) alat tangkap (unit) π (juta Rp)
i= 3,22% 114.833,18 40.474,07 11.955 243 2.477.252,45
Optimasi Dinamik i = 10% i = 12% i = 15% 107.700,78 105.709,23 102.826,64 40.651,94 40.637,93 40.568,42 12.802 13.039 13.382 260 265 272 827.756,43 692.600,10 556.587,25
i = 18% 100.065,19 40.447,22 13.710 278 465.123,89
Pada Tabel 29 dapat dilihat perbandingan pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru pada kondisi aktual dan kondisi optimal dinamik dengan tingkat discount rate yang berbeda. Berdasarkan tingkat volume produksi, maka tingkat volume produksi yang dapat diperoleh jika pemanfaatan menggunakan optimal dinamik akan jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat volume produksi pada pemanfaatan aktual, sedangkan dari sisi tingkat upaya penangkapan (effort) menunjukkan tingkat upaya (effort) yang dilakukan pada kondisi optimal dinamik lebih sedikit dari tingkat upaya (effort) pada kondisi aktual. Hal yang sama terjadi pada nilai rente ekonomi, dimana tingkat keuntungan yang diperoleh pada kondisi aktual jauh lebih kecil daripada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru pada kondisi dinamik. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan
98
lemuru di Perairan Selat Bali telah menunjukkan gejala yang overfishing baik secara biologi maupun ekonomi. Sehingga perlu dilakukan langkah-langkah dalam mengatasinya seperti mengurangi upaya penangkapan (effort) agar kelestarian sumberdaya ikan lemuru dapat terjaga. Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi optimal dinamik pada sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali dapat dilihat pada Gambar 28. Pada gambar tersebut menunjukkan tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin lajunya tingkat effort dan sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan memperlambat laju tingkat effort. Secara umum tingkat discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan optimal yield dan optimal biomass yang lebih tinggi dan apabila tingkat discount rate turun hingga ke level nol, maka analisis dinamik pada sumberdaya ikan lemuru ini identik dengan analisis statik pada pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY). Tingkat discount rate yang tinggi akan memacu eksploitasi sumberdaya ikan lemuru yang lebih ekstraktif dan dampaknya akan mempertinggi tekanan sumberdaya ikan lemuru. Jika discount rate semakin tinggi hingga tak terhingga, maka analisis dinamik sumberdaya ikan lemuru akan sama dengan analisis statik pada pengelolaan open access (OA), sehingga keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya degradasi yang menjurus kepada kepunahan sumberdaya ikan lemuru. Hal yang sama juga terlihat pada rente ekonomi yang diperoleh, dimana rente ekonomi yang diperoleh akan semakin besar apabila semakin rendahnya tingkat discount rate, sebaliknya jika tingkat discount rate semakin tinggi maka akan membuat rente ekonomi yang diperoleh semakin kecil. Artinya bahwa ekstraksi sumberdaya ikan lemuru secara berlebihan saat ini dengan nilai rente ekonomi yang diterima untuk waktu jangka panjang ternyata tidak memberikan nilai rente yang optimal. Peningkatan upaya yang berlebihan akan mengakibatkan peningkatan terhadap biaya yang dikeluarkan. Hal ini berimplikasi terhadap laju degradasi sumberdaya ikan lemuru yang semakin cepat.
99
3,000,000.00
Rente ekonomi (Rp juta)
2,500,000.00 2,000,000.00 y = 7E+06x-0,813 R² = 0,9992
1,500,000.00 1,000,000.00 500,000.00 0
5
10
15
20
Discount Rate (%)
Gambar 28. Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi optimal dinamik sumberdaya ikan lemuru
5.10 Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Degradasi dan depresiasi sumberdaya dapat diartikan sebagai penurunan nilai dari sumberdaya baik secara kuantitas maupun kualitas dan manfaat secara ekonomi sebagai dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Jika nilai koefisien degradasi dan depresiasi suatu sumberdaya berada pada kisaran nilai toleransi yaitu 0 hingga 0,5, maka sumberdaya tersebut belum mengalami degradasi dan depresiasi. Hasil analisis laju degradasi dan depresiasi pada sumberdaya ikan lemuru dapat dilihat pada Tabel 30. Koefisien laju degradasi dan laju depresiasi pada sumberdaya ikan lemuru tiap tahun secara berturut-turut rata-rata mencapai 0,26 dan 0,31. Nilai koefisien ini lebih kecil dari nilai toleransi koefisien laju degradasi dan laju depresiasi. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali secara rata-rata selang periode tahun 1995 hingga 2010 belum mengalami degradasi dan depresiasi. Namun demikian, pada tahun 2004 nilai koefisien laju degradasi mencapai 0,93, lebih besar dari nilai toleransi (>0,5). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2004 sumberdaya ikan lemuru di Perairan Selat Bali telah terdegradasi. Selain itu, nilai laju degradasi dan depresiasi ikan lemuru pada tahun 2009 sebesar 0,54 dan 0,64, lebih tinggi dari nilai toleransi (>0,5), yang berarti
100
bahwa sumberdaya ikan lemuru telah terdegradasi dan terdepresiasi pada tahun 2009.
Tabel 30. Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rataan
Hasil analisis laju degradasi dan laju depresiasi pada sumberdaya ikan lemuru Produksi (ton) Aktual Lestari
14.850,61 8.957,77 21.838,99 58.164,36 6.154,99 8.170,25 10.145,40 36.256,04 34.301,27 21.184,19 14.565,45 60.586,38 67.848,94 38.329,55 65.237,54 14.794,34 30.086,63
RenteEkonomi (Rp juta) Aktual Lestari
40.438,86 5.912,35 40.402,65 1.219,42 40.542,32 12.561,16 40.648,30 85.759,92 40.651,41 -3.457,71 40.393,46 1.203,13 40.288,91 2.563,23 39.853,26 69.256,84 40.636,93 64.471,89 -55.709,53 1.005,93 30.996,86 7.164,89 21.320,15 150.022,64 14.698,53 181.139,34 12.983,80 88.427,78 -10.480,91 186.161,86 11.617,69 -1.279,86 24.330,17 53.258,30
26.772,51 28.452,63 29.255,07 55.653,55 55.977,68 62.526,61 68.034,82 77.785,00 80.211,00 -201.641,81 56.583,56 24.006,37 -128,27 -7.432,17 -108.363,50 -14.010,03 14.605,19
Laju Degradasi
Laju Depresiasi
0,06 0,01 0,14 0,33 0,00 0,01 0,02 0,25 0,23 0,93 0,11 0,41 0,45 0,42 0,54 0,31 0,26
0,01 0,00 0,09 0,34 1,00 0,00 0,00 0,25 0,22 1,00 0,00 0,46 0,50 0,52 0,64 0,00 0,31
Pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru pada tahun 2009 mempunyai track record terdegradasi dan terdepresiasi. Kemudian pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 hingga tahun 2008 mempunyai track record nilai laju degradasi yang hampir mendekati nilai toleransi yaitu sebesar 0,5, sedangkan nilai depresiasinya sudah melebihi dari nilai toleransi (>0,5). Hal ini menindikasikan bahwa pada tahun 2006 hingga 2008, sumberdaya ikan lemuru walaupun belum sampai terdegradasi tetapi telah mengalami depresiasi. Oleh karena itu, tindakan preventif pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru harus segera dilakukan agar nilai koefisien degradasi dan depresiasi tidak semakin tinggi. Untuk lebih jelasnya mengenai laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan lemuru dapat dilihat pada Gambar 29.
101
1.20
Laju degradasi dan Laju depresiasi
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
-0.20 Laju degradasi
Laju depresiasi
Bench Marking
Gambar 29. Grafik laju degradasi dan laju depresiasi pada sumberdaya ikan lemuru Pada Gambar 26 terlihat pola grafik laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan lemuru yang hampir sama, karena besaran nilai keduanya yang tidak jauh berbeda. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien laju degradasi akan diikuti oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien laju depresiasi. Artinya, kondisi biologi sumberdaya ikan lemuru akan sangat berpengaruh pada tingkat ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan 5.11 Analisis Sistem Tarif 5.11.1 Analisis rente sumberdaya Analisis rente ekonmi sumberdaya ikan lemuru dihitung berdasarkan nilai produksi optimal pada kondisi statik dan kondisi optimal dinamik. Besaran nilai rente ekonomi dihitung berdasarkan nilai Net Present Value (NPV) selama 10 tahun ke depan pada tingkat discount rate 10% dan 18%. Penentuan tingkat discount rate dilakukan berdasarkan tingkat discount rate dari World Bank yaitu sebesar 10% sampai dengan 18%, sehingga tingkat discount rate dipilih pada batas tingkat discount rate yang paling kecil yaitu 10% dan tingkat discount rate paling besar yaitu 18%.
102
Ada 2 skenario yang digunakan dalam menghitung nilai rente ekonomi yaitu pada skenario 1 digunakan perhitungan tanpa memasukkan nilai investasi; dan pada skenario 2, besaran biaya investasi dimasukkan dalam perhitungan. Biaya investasi yang dibutuhkan untuk satu unit penangkapan purse seine untuk mengekstraksi sumberdaya ikan lemuru sebesar Rp 1,311 milyar. Hasil perhitungan besaran nilai rente sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Besaran nilai rente sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali selama 10 tahun ke depan (satuan juta rupiah) No. 1 2 3 4 5 6
Kondisi Pengelolaan Optimasi Statik (MEY) Optimasi Dinamik (i = 3,22%) Optimasi Dinamik (i = 10%) Optimasi Dinamik (i = 12%) Optimasi Dinamik (i = 15%) Optimasi Dinamik (i = 18%)
Skenario 1 NPV NPV ( = 10%) ( = 18%) 490.938 359.068 490.211 358.537 484.767 354.555 482.296 352.747 477.984 349.594 473.038 345.976
Skenario 2 NPV NPV ( = 10%) ( = 18%) 184.679 52.809 172.168 40.493 144.171 13.959 135.403 5.854 121.976 -6.414 108.298 -18.764
Pada Tabel 31 terlihat bahwa besaran nilai rente ekonomi sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali pada kondisi optimal statik (MEY) memiliki nilai rente yang paling besar baik pada skenario 1 maupun skenario 2 dengan berbagai tingkat discount rate. Hal ini dikarenakan pada kondisi optimal statik tidak ada tekanan terhadap sumberdaya (i=0%). Besaran nilai rente ekonomi sumberdaya ikan lemuru pada kondisi optimal statik pada skenario 1 berkisar Rp 359,1 milyar sampai Rp 490,9 milyar. Sementara itu, pada skenario 2 nilai NPV lebih rendah yang disebabkan karena adanya biaya investasi. Besaran nilai rente ekonomi skenario 2 berkisar Rp 52,8 milyar sampai Rp 184,7 milyar. Besaran nilai rente ekonomi kondisi optimal dinamik pada skenario 1 dan tingkat discount rate 10% berkisar Rp 473 milyar sampai dengan Rp 490 milyar, pada tingkat discount rate 18% berkisar Rp 346 milyar sampai dengan Rp 358,5 milyar. Hal yang menarik yaitu besaran nilai rente ekonomi sumberdaya ikan lemuru pada kondisi optimal dinamik dengan skenario 2 dan tingkat discount rate 18% yang memiliki nilai NPV negatif pada kondisi pengelolaan optimal dinamik dengan i=15% dan i=18%. kondisi ini menunjukkan bahwa pada tingkat discount rate 18 %, besarnya biaya investasi yang dikeluarkan pada kondisi pengelolaan
103
dinamik i=15% dan i=18% tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. Oleh kerana itu, pada kondisi tersebut maka kegiatan usaha penangkapan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali tidak layak dilakukan. 5.11.2 Analisis resource rent tax (RRT) Nilai rente menunjukan adanya selisih atau surplus atas pemanfaatan sumberdaya tersebut. Sebagian dari surplus ini kemudian diambil kembali dalam bentuk tax, maka tax tersebut menjadi resource rent tax (RRT) atau user fee. Karena pada faktanya setiap rente sumberdaya tersebut dihasilkan dari memanfaatkan sumberdaya yang ada. Nilai besaran pajak rente sumberdaya (RRT=Resource Rent Tax) dilakukan dengan menghitung suatu proporsi terhadap besaran rente yang didapatkan secara keseluruhan. Hal yang menarik adalah pada umumnya nelayan bersedia membayar pungutan apabila ada jaminan sumberdaya ikan lemuru di waktu yang akan datang selalu tersedia, sehingga penangkapan ikan dapat dilakukan sepanjang tahun. Umumnya nelayan lemuru sudah membayar pungutan rata-rata sebesar 2 persen dari nilai total penerimaan (gross) atau rata-rata sebesar 12 persen dari keuntungan usaha (net profit). Akan tetapi berdasarkan kuesioner, responden juga mengakui sebagian nelayan tidak membayar pungutan tetapi sebagian lagi membayar pungutan. Pengenaan pungutan tambahan dari yang sekarang sudah dilakukan dirasakan akan memberatkan dan bersifat disinsentif untuk usaha. Oleh karena itu perlu dilakukan secara lebih berhati-hati. Apabila nelayan sekarang ini bersedia membayar pungutan sekitar 12% dari keuntungan usaha (net profit), maka diperoleh total besaran RRT per tahun pada kondisi optimal statik skenario 1 dengan discount rate sebesar 10% sebesar Rp 5,89 milyar per tahun dan dengan discount rate sebesar 18% sebesar Rp 4,3 milyar per tahun. Nilai RRT per tahun pada model dinamik berkisar Rp 5,6 milyar per tahun sampai Rp 5,88 milyar per tahun pada tingkat discount rate sebesar 10%, sedangkap pada discount rate sebesar 18% nilai RRT diperoleh berkisar Rp 4,15 milyar per tahun sampai Rp 4,3 milyar per tahun.
Besaran nilai RRT
pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru pada skenario 1 disajikan pada Tabel 32.
104
Tabel 32. Besaran nilai RRT Skenario 1 pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali (satuan juta rupiah) No. 1 2 3 4 5 6
Kondisi Pengelolaan Optimasi Statik (MEY) Optimasi Dinamik (i = 3,22%) Optimasi Dinamik (i = 10%) Optimasi Dinamik (i = 12%) Optimasi Dinamik (i = 15%) Optimasi Dinamik (i = 18%)
Discount rate = 10% RRT per NPV tahun 490.938 5.891 490.211 5.883 484.767 5.817 482.296 5.788 477.984 5.736 473.038 5.676
Discount rate = 18% RRT per NPV tahun 359.068 4,309 358.537 4,302 354.555 4,255 352.747 4,233 349.594 4,195 345.976 4,152
Besaran nilai RRT per tahun pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali pada skenario 2 disajikan pada Tabel 33. Hasilnya menunjukkan bahwa besaran nilai RRT pada kondisi statis dengan sebesar Rp 2,2 milyar per tahun dan dengan discount rate 18% sebesar Rp 0,6 milyar per tahun. Nilai RRT pada model dinamik discount rate 10% berkisar Rp 1,3 milyar per tahun sampai Rp 2 milyar per tahun. Sedangkan pada tingkat discount rate 18%, diperoleh nilai RRT pada kondisi dinamik i=15% dan i=18% sama dengan nol, karena nilai NPV negatif.
Tabel 33. Besaran nilai RRT Skenario 2 pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali (satuan juta rupiah) No. 1 2 3 4 5 6
Kondisi Pengelolaan Optimasi Statik (MEY) Optimasi Dinamik (i = 3,22%) Optimasi Dinamik (i = 10%) Optimasi Dinamik (i = 12%) Optimasi Dinamik (i = 15%) Optimasi Dinamik (i = 18%)
Discount rate = 10% RRT per NPV tahun 184.679 2,216 172.168 2,066 144.171 1,730 135.403 1,625 121.976 1,464 108.298 1,300
Discount rate = 18% RRT per NPV tahun 52.809 634 40.493 486 13.959 168 5.854 70 -6.414 0 -18.764 0
Nilai rente tersebut diperoleh dari sejumlah unit alat tangkap yang dioperasikan. Besaran nilai tax atau user fee dalam rangka pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali pada skenario 1 pada kondisi pengelolaan statik dengan tingkat discount rate 10% sebesar Rp 511.761 per trip, sedangkan pada tingkat discount rate 18% sebesar Rp 374.298 per trip. Pada kondisi pengelolaan dinamik dengan discount rate 10% berkisar Rp 414.041 per trip sampai dengan Rp 492.070 per trip, pada tingkat discount rate 18% berkisar Rp
105
302.826 per trip sampai Rp 359.896 per trip. Besaran nilai user fee atau RRT per trip pada skenario 1 dengan berbagai kondisi pengelolaan disajikan pada Tabel 34.
Tabel 34. Nilai Resource Rent Tax per tahun dan per trip untuk pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Skenario 1 Kondisi Pengelolaan
Effort optimum (trip)
Optimasi Statik (MEY) Optimasi Dinamik (i = 3,22%) Optimasi Dinamik (i = 10%) Optimasi Dinamik (i = 12%) Optimasi Dinamik (i = 15%) Optimasi Dinamik (i = 18%)
11.512 11.955 12.802 13.039 13.382 13.710
Discount rate = 10% RRT per RRT per trip tahun (Rp per (Rp juta) trip) 490.938 511.761 490.211 492.070 484.767 454.384 482.296 443.862 477.984 428.631 473.038 414.041
Discount rate = 18% RRT per RRT per tahun trip (Rp (Rp per juta) trip) 359.068 374.298 358.537 359.896 354.555 332.333 352.747 324.637 349.594 313.497 345.976 302.826
Besaran nilai RRT per trip pada skenario 2 dengan kondisi pengelolaan statik dengan tingkat discount rate 10% sebesar Rp 192.511 per trip, sedangkan pada tingkat discount rate 18% sebesar Rp 55.048 per trip. Pada kondisi pengelolaan dinamik dan dengan discount rate 10% diperoleh nilai RRT per trip berkisar Rp 94.791 per trip sampai dengan Rp 172.820 per trip. Akan tetapi, apabila tingkat discount rate 18% pada kondisi dinamik i=15% dan i=18% besaran nilai RRT per trip sama dengan nol, karena kegiatan usaha penangkapan mengalami kerugian. Besaran nilai user fee atau RRT per trip pada skenario 2 dengan berbagai kondisi pengelolaan disajikan pada Tabel 35.
Tabel 35. Nilai Resource Rent Tax per tahun dan per trip untuk pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali Skenario 2 Kondisi Pengelolaan
Effort optimum (trip)
Optimasi Statik (MEY) Optimasi Dinamik (i = 3,22%) Optimasi Dinamik (i = 10%) Optimasi Dinamik (i = 12%) Optimasi Dinamik (i = 15%) Optimasi Dinamik (i = 18%)
11.512 11.955 12.802 13.039 13.382 13.710
Discount rate = 10% RRT per RRT per trip tahun (Rp per (Rp juta) trip) 184.679 192.511 172.168 172.820 144.171 135.135 135.403 124.612 121.976 109.382 108.298 94.791
Discount rate = 18% RRT per RRT per tahun trip (Rp (Rp per juta) trip) 52.809 55.048 40.493 40.646 13.959 13.084 5.854 5.388 -6.414 0 -18.764 0
106
Berdasar analisis diatas terlihat bahwa berbagai skenario besaran pungutan baik untuk model statik maupun model dinamik. Hal ini dapat memberikan berbagai pilihan besaran jumlah pungutan, akan tetapi tentunya mekanisme pengumpulan pungutan perlu dilakukan secara efisien. Apabila dilihat dari besaran nilai RRT maka model statik memiliki nilai RRT yang paling besar dibandingkan dengan model dinamik pada berbagai skenario dan tingkat discount rate. Model pungutan pada skenario 2 lebih dapat diterapkan karena kegiatan usaha penangkapan ikan lemuru dipandang sebagai suatu unit bisnis sehingga perlu dimasukkan besaran biaya investasi yang dikeluarkan oleh pelaku usaha. Besaran nilai user fee pada skenario ini pada kondisi pengelolaan statik dan tingkat discount rate 10% sebesar Rp 192.511 per trip. Nilai tersebut merupakan nilai user fee paling tinggi. Apabila tingkat discount rate 18% maka perlu dilakukan secara lebih berhati-hati, karena pada kondisi optimal dinamik dengan i=15% dan i=18% kegiatan usaha penangkapan secara bisnis mengalami kerugian.
5.12 Implikasi Kebijakan Tujuan pengelolaan perikanan termasuk di dalamnya perikanan tangkap sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan mengandung beberapa makna, diantaranya adalah melakukan pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, serta meningkatkan peran perikanan tangkap terhadap pembangunan perikanan nasional Sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access dan common property, artinya pemanfaatan ikan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum, tanpa ada pengelolaan. Konsekuensi dari sifat sumberdaya seperti ini adalah munculnya gejala eksploitasi berlebih (over exploitation), investasi berlebih (over investment) dan tenaga kerja berlebih (over employment). Dalam kondisi seperti ini, jika tidak segera diambil kebijakan yang tepat, maka sulit rasanya untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan yang telah digariskan di atas. Begitu pula dengan yang terjadi pada sumberdaya ikan lemur di Perairan Selat Bali. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan
107
lemuru selama kurun waktu dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 sudah nampak tingginya tingkat aktivitas penangkapan, sehingga walaupun secara ratarata masih berada dibawah tingkat MSY akan tetapi pada sejak tahun 2006 hingga tahun 2009 tingkat eksploitasi penangkapan sudah melebihi nilai MSY. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas panangkapan sumberdaya ikan lemuru memiliki kecenderungan overfishing. Hal ini juga yang diindikasi menjadi penyebab hasil tangkapan ikan lemuru mulai tahun 2010 mengalami penurunan yang cukup drastis. Perairan Selat Bali memiliki potensi sumberdaya ikan lemuru yang sangat besar sebagai salah satu sumber ekonomi bagi pendapatan daerah, namun besarnya potensi sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali belum diimbangi dengan optimalnya pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki. Dari hasil penelitian menunjukkan
selain
terjadinya
ketidakefektifan
biaya
dalam
kegiatan
penangkapan ikan juga menunjukkan adanya indikasi terjadi gejala kelebihan tangkap secara ekologi dan secara ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di perairan Selat Bali. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan yang baik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lemuru dengan melakukan penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran, merencanakan dan mengelola seluruh kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal dan berkelanjutan. Berdasarkan
hasil
penelitian
diketahui
bahwa
volume
produksi
sumberdaya ikan lemuru optimal pada kondisi MSY sebesar 40.651,94 ton per tahun dengan tingkat effort sebesar 12.801 trip per tahun, tingkat CPUE rata-rata sebesar 3,2 ton per trip dan rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp 78,9 milyar per tahun, sedangkan pada kondisi MEY produksi optimal ikan lemuru sebesar 40.239,31 ton per tahun diperoleh pada tingkat effort optimal sebanyak 11.512 trip per tahun, dengan tingkat CPUE sebesar 3,5 ton per trip dan rente optimal yang bisa diperoleh sebesar Rp 79,9 milyar per tahun. Pada analisis laju degradasi dan laju depresiasi juga menunjukkan arah semakin kuatnya tekanan terhadap sumberdaya ikan lemuru yang diakibatkan besarnya tingkat effort yang dilakukan dalam kegiatan penangkapan dibandingkan dengan jumlah upaya (effort) optimal. Dari hasil analisis bionomi pada pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru menunjukkan jumlah effort aktual lebih
108
besar dibandingkan effort optimal (Eaktual > Eoptimal). Selama selang periode tahun 1995 hingga tahun 2010, rata-rata jumlah effort aktual sebesar 17.605 trip per tahun, sedangkan jumlah effort optimal pada kondisi MSY sebesar 12.801 trip per tahun dan pada kondisi MEY sebesar 11.512 trip per tahun. Dengan demikian maka perlu adanya pengurangan jumlah upaya penangkapan (effort). Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa banyaknya jumlah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan lemuru di perairan Selat Bali yaitu purse seine
sebanyak 324 unit, payang sebanyak 103 unit dan gillnet
sebanyak 7278 unit. setelah dilakukan standarisasi alat tangkap ke alat tangkap purse seine diperoleh jumlah alat tangkap sebanyak 357 unit setara purse seine. berdasarkan hasil analisis optimal maka perlu adanya pengurangan unit alat tangkap sehingga pada kondisi MEY menjadi sebanyak 234 unit setara purse seine. Apabila dikonversi dengan index power maka diperoleh rincian sebanyak 212 unit purse seine, payang sebanyak 67 unit dan gillnet sebanyak 4767 unit. Dari data tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali selama ini belum berjalan dengan optimal, sehingga berdampak pada minimnya produksi dan manfaat ekonomi yang diperoleh nelayan. Oleh karena itu, harus segera melakukan pembenahan, membuat kebijakan antisipatif dan strategis sebagai solusi dari permasalahan pengelolaan sumberdaya perikanan lemuru di Selat Bali. Sehubungan dengan hal itu, kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru dapat dilakukan melalui pengendalian output dan pengendalian input. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengendalian dari sisi output sebagai berikut: -
Penetapan kuota atau pembatasan dari sisi output yang dapat dilakukan melalui batasan jumlah maksimum ikan lemuru yang dapat ditangkap. Hasil analisis bionomi menunjukkan batasan jumlah ikan maksimum sumberdaya ikan lemuru pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) yaitu sebesar 40.239,31 ton per tahun.
-
Melakukan moratorium penangkapan ikan lemuru di Selat Bali selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada ikan lemuru untuk melakukan reproduksi kembali hingga mencapai pada kondisi yang optimum.
109
-
Melakukan moratorium penangkatan ikan lemuru secara terbatas, yaitu hanya boleh melakukan aktivitas penangkapan ikan lemuru pada saat musim penangkapan, sedangkan pada saat musim sedikit ikan yang berlangsung mulai bulan April sampai bulan Juli penangkapan ikan lemuru ditutup. Karena pada bulan April sampai dengan bulan Juli ikan lemuru sempenit dan protolan masih berukuran muda dan sebagian besar diduga belum matang gonad reproduksi sehingga aktivitas penangkapan pada bulan tersebut cukup membahayakan kelestarian sumberdaya ikan lemuru. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dari sisi pengendalian input
sebagai berikut : -
Membuat regulasi tentang rasionalisasi jumlah alat tangkap. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dari jumlah alat tangkap yang berlebih. jumlah unit alat tangkap yang optimal pada kondisi pengelolaan sole owner atau maximum economic yield (MEY) yaitu sebanyak 234 unit. Saat ini jumlah unit alat tangkap yang tersedia sebannyak 357 unit setara purse seine. Sehingga ada sekitar 123 unit alat tangkap setara purse seine yang perlu dirasionalisasi. Kebijakan ini memiliki cost dan resistensi yang cukup tinggi, karena dengan kebijakan mengurangi alat tangkap dan membatasi alat tangkap, apabila memang sudah berlebih, berarti menuntut harus ada yang dikorbankan, kondisi ini sama halnya dengan menghalangi seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
-
Pengurangan jumlah alat tangkap yang melebihi jumlah optimum dapat dilakukan oleh pemerintah dengan membeli kelebihan jumlah alat tangkap dengan harga yang sesuai dan biaya lain sebagai kompensasi bagi nelayan maupun masyarakat yang terkena dampak dari kebijakan divestasi. Konsekuensinya adalah pemerintah harus menganggarkan sejumlah dana agar program pengurangan jumlah alat tangkap dapat terlaksana. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mengalihkan unit armada alat tangkap ke jenis alat tangkap lainnya dengan target spesies ikan yang berbeda seperti alat tangkap pancing untuk menangkap ikan tuna. Hal ini dapat dilakukan mengingat di sebelah selatan perairan selat bali saat ini banyak yang dipasang rumpon dengan target spesies ikan tuna dan tongkol.
110
-
Penetapan schedule of catch. Kebijakan penetapan jadwal penangkapan ikan dilatarbelakangi oleh banyaknya kendala dalam implementasi kebijakan untuk mengurangi dan mengontrol peningkatan jumlah alat tangkap. Dengan kebijakan ini diharapkan tidak ada yang dikorbankan terutama para nelayan, karena masih bisa melaut. Penjadwalan ini diatur sedemikian rupa, sehingga tingkat produksi effort dan manfaat rente yang diperoleh tetap dalam kondisi yang optimal. Apabila dilihat dari uraian di atas, maka kegiatan pengendalian
pemanfaatan
sumberdaya
ikan
lemuru
dari
sisi
output
lebih
sulit
diimplementasikan dan memerlukan biaya yang cukup besar. Pengawasan terhadap output hasil tangkapan ikan nelayan relatif lebih sulit, selain itu nilai kearifan lokal dalam prilaku penangkapan ikan di Selat Bali sudah hilang. Kegiatan moratorium penangkapan akan memberikan dampak perekonomian kepada masyarakat nelayan, mengingat aktivitas penangkapan ikan merupakan mata pencaharian utamanya. Oleh karena itu, pengendalian dari sisi input akan lebih relevan dilakukan dan lebih mudah yakni dengan melakukan pembatasan effort penangkapan. Aturan kegiatan pengelolaan ikan lemuru di Perairan Selat Bali yang sudah diatur dalam SKB Gubernur Tingkat I Jawa Timur dan Bali No.238 Tahun 1992//674 Tahun 1992 perlu diaktifkan kembali dan ditinjau mengingat bahwa pada peraturan tersebut jumlah purse seine yang diijinkan sebanyak 273 unit (Jawa Timur=190 unit dan Bali=83 unit). Pada kenyataannya jumlah alat tangkap purse seine yang beroperasi telah melebihi dari batas maksimum yang ditetapkan SKB tersebut yaitu sebanyak 357 unit. Semantara itu, hasil analisis bioekonmi diperoleh jumlah optimal alat tangkap purse seine sebanyak 234 unit Kebijakan lainnya yang dapat dilakukan yaitu pengembangan sumberdaya manusia (human development), mengingat manusia merupakan pelaku utama dalam aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan. Kebijakan sehebat apa pun atau sebagus apa pun seringkali terlihat mentah di lapangan, tidak memberikan dampak apa-apa sebagaimana tujuan dari ditetapkannya kebijakan tersebut, jika tidak didukung sendiri oleh para pelaku utama dari kebijakan tersebut, baik pembuat kebijakan atau pun yang harus melaksanakan kebijakan. Kebijakan ini ditujukan
111
bagi peningkatan kualitas dan profesionalitas para pemegang kebijakan dan pengelola perikanan, juga ditujukan kepada para nelayan dalam bentuk memberikan penyadaran, sosialisasi, pemahaman, rasa memiliki dan rasa tanggung jawab akan pentingnya pembangunan perikanan yang berkelanjutan bagi kehidupan di kemudian hari, pentingnya memanfaatkan sumberdaya ikan agar memberikan manfaat ekonomi yang optimal secara terus menerus. Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan di sekitar Selat Bali saat ini sudah tidak lagi bentuk kearifan lokal. Kebijakan pengembangan sumberdaya manusia dalam hal ini nelayan di sekitar Selat Bali sebagai pelaku utama penangkapan ikan perlu diarahkan kembali dalam menjaga kearifan lokal seperti pelarangan penggunaan alat tangkap yang berbahaya dan merusak lingkungan yang dapat menyebabkan hancurnya sumberdaya ikan di Selat Bali. Pengambilan pungutan sumberdaya dapat digunakan dengan maksud untuk mengurangi jumlah effort sehingga tekanan terhadap sumberdaya ikan lemuru dapat berkurang. Selain itu, hasil dari pungutan user fee
tersebut
hendaknya digunakan dalam rangka kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Berdasarkan analisis rente ekonomi maka diperoleh berbagai skenario besaran pungutan baik untuk model statik maupun model dinamik. Besaran nilai user fee yang dapat dipungut pada kondisi statik yaitu sebesar Rp 192.511 per trip alat tangkap purse seine, sedangkan pada kondisi dinamik berkisar Rp 94.791 per trip sampai dengan Rp 172.820 per trip. Kebijakan penting lainnya yang harus diperhatikan yaitu melakukan monitoring, controlling dan law enforcement (penegakkan hukum), kebijakan ini bertujuan agar produksi aktual yang dihasilkan tidak melebihi kapasitas dari produksi optimal yang seharusnya dihasilkan, juga untuk meminimalkan praktek pencurian ikan, hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported catch), penangkapan yang merusak ekosistem (destructive fishing).