45
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem Kemiri merupakan tanaman yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Tanah Pinem sejak dahulu sampai sekarang. Keberadaan tanaman ini sudah berlangsung turun temurun. Tanaman kemiri berperan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjadi sumber penghasilan masyarakat. Berikut ini adalah gambaran mengenai keadaan tanaman kemiri rakyat yang yang ada di Kecamatan Tanah Pinem meliputi pola tanam, kondisi tanaman, teknik budidaya, pengelolaan hasil dan pemasarannya. Pola penanaman kemiri yang dimiliki oleh masyarakat adalah sejenis (monokultur) dan agroforestry yaitu campuran dengan tanaman lain seperti sirih, cokelat, kelapa, pinang, durian, cengkeh dan lain-lain (Tabel 20). Responden yang menanam kemiri saja sebanyak 35 responden (55,56%) sedangkan yang menanam dengan kombinasi tanaman lain sebanyak 28 responden (44,44%). Keberadaan tanaman lain di antara tanaman kemiri berperan dalam menambah penghasilan petani, seperti sirih yang tumbuh secara alami maupun ditanam, tidak perlu ada perawatan dan pemeliharaan khusus tetapi dapat menghasilkan sebanyak 4 kali dalam setahun. Pola pengelolaan kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem mirip dengan pola pengelolaan kemiri rakyat di Kabupaten Maros dengan pola monokultur dan agroforestry yaitu kombinasi antara kemiri dengan palawija, pisang dan coklat (Yusran 1999; Ichwandi 2001).
Tabel 20 Pola tanaman kemiri rakyat No Pola tanaman 1 Kemiri 2 Kemiri + sirih 3 Kemiri + cokelat 4 Kemiri + cokelat + pinang + sirih + dll Jumlah
Jumlah Responden 35 8 4 16 63
Persentase 55,56 12,70 6,35 25,40 100,00
Pada Gambar 3 dapat dilihat pola tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem.
46
(a) monokultur
(b) agroforestry
Gambar 3 Pola tanaman kemiri rakyat.
Rata-rata luas lahan yang ditanami tanaman kemiri cukup lebar yaitu 2,67 ha, yang paling kecil adalah 0,45 ha dan yang paling besar adalah 6 ha. Besar kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh petani yang ditanami kemiri mempengaruhi jumlah pohon yang tumbuh dan besaran produksi yang diperoleh yang tergantung pada jarak tanam yang ada.
47 Tanaman kemiri yang dimiliki oleh masyarakat saat ini adalah tanaman yang diwariskan dari orang tua, ada juga yang ditanam sendiri dan ada yang dibeli dalam kondisi sudah ada tanaman kemirinya. Masyarakat yang menanam sendiri adalah masyarakat yang membuka lahan di dalam dan luar kawasan hutan. Pada saat awal penanaman, masyarakat mendapatkan bibit dari tanaman yang tumbuh secara alami di ladang dan hutan. Alasan masyarakat mempertahankan tanaman kemiri sampai saat ini, antara lain perawatan tidak susah atau tidak ada perawatan khusus, tidak perlu ada pemupukan, bisa mendatangkan hasil setiap hari, bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, cocok untuk lahan miring dan bersifat sebagai tabungan untuk masa depan.
Gambar 4 Buah kemiri yang disimpan yang akan dijual pada saat dibutuhkan.
Pada saat awal penanaman, masyarakat sebagian besar sudah menggunakan jarak tanam. Tetapi, kondisi tanaman yang ada saat ini umumnya sudah tidak memiliki jarak tanam yang teratur karena sebagian besar sudah ada yang tumbang dan ada juga yang dibiarkan tumbuh secara alami (permudaan alami). Jumlah responden yang memiliki jarak tanam teratur sebanyak 29 responden (46,03%) yaitu antara 5m x 5m sampai 10m x 12m, sedangkan 34 responden (53,97) menyebutkan bahwa jarak tanam yang ada di lahan miliknya tidak teratur lagi.
48
(a) jarak tanam teratur
(b) jarak tanam tidak teratur
Gambar 5 Kondisi jarak tanaman kemiri rakyat.
Kondisi umur tanaman yang ada saat ini adalah beragam. Secara umum, tanaman-tanaman yang ada sudah memasuki umur tidak produktif. Umur rata-rata tanaman kemiri adalah 37,37 tahun. Tanaman yang paling muda berumur 13 tahun sedangkan tanaman paling tua berumur 80 tahun. Dari semua responden, hanya 5 responden (7,94%) yang pernah melakukan peremajaan. Alasan peremajaan dilakukan karena memiliki lahan pada lahan-lahan miring yang curam, pemeliharaannya tidak sulit dan merasakan bahwa kemiri masih mendatangkan hasil yang lumayan bagi hidupnya.
(a) tanaman produktif
Gambar 6 Kondisi tanaman kemiri rakyat.
(b) tanaman tua (tidak produktif)
49 Paimin (1994); Koji (2002); Deptan (2006a) menyebutkan bahwa batas produksi kemiri sampai umur 35 tahun. Tanaman kemiri di atas umur 35 tahun tetap berproduksi, tetapi cenderung menurun sampai umur 50 tahun. Bila tanaman kemiri produktif sampai umur 35 tahun, maka terdapat 32 responden (50,79%) memiliki tanaman kemiri yang masih produktif dan 31 responden (49,21%) memiliki tanaman kemiri yang tidak produktif. Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa kriteria kelas umur muda untuk kemiri adalah dibawah 10 tahun, produktif pada umur 11-35 tahun dan umur tua di atas 35 tahun. Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa hampir 50,6% tanaman kemiri rakyat sudah melewati umur produktif, yang menunjukkan bahwa proses regenerasi kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem tidak berlangsung secara berkelanjutan (Yusran 1999). Walaupun tanaman kemiri sudah melewati umur produktif, tanaman kemiri akan tetap menghasilkan buah, tetapi hasilnya akan menurun seiring dengan pertambahan umur karena tanaman sudah lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit dan lebih mudah tumbang.
Tabel 21 Produksi tanaman kemiri rakyat tahun 2010 No
Umur (tahun) 13 – 35 > 35
1 2 Total Rata-rata
Luas (ha) 83 84,95 167,95
Produksi (kg) 55.686 42.284 97.970
Jumlah pohon (batang) 10.209 9.071 19.280
Produksi per ha (kg/ha) 670,92 497,75 583,33
Produksi per pohon (kg/pohon) 5,45 4,66 5,08
Pada tabel di atas dapat dilihat produksi buah kemiri rakyat yang sudah dikupas pada tahun 2010. Jika dilihat dari luas tanaman, maka tanaman kemiri yang masuk kategori menghasilkan adalah 83 ha dengan rata-rata produksi biji kupasan 670,92 kg/ha, sedangkan 84,95 ha lainnya termasuk pada kategori tanaman tua menghasilkan dengan rata-rata produksi biji kupasan 497,75 kg/ha. Produksi buah per ha secara keseluruhan adalah rata-rata 583,33 kg/ha. PPL (2010) menyebutkan produktivitas tanaman kemiri di Kecamatan Tanah Pinem pada tahun 2010 adalah 520 kg/ha. Hasil ini lebih kecil dengan produksi kemiri di Indonesia tahun 2007 yaitu 797 kg/ha (Deptan 2009). Produksi kemiri yang dihasilkan di Kecamatan Tanah Pinem hampir sama dengan rata-rata produksi kemiri di Indonesia sekitar 0,5 ton/ha/tahun biji kupasan (Paimin 1994).
50 Produksi buah per pohon adalah berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi umur pohon dan kondisi kesehatan tanaman. Pada Tabel 21, produksi kemiri pada kategori umur menghasilkan (umur 5 sampai 35 tahun) adalah 5,45 kg biji kupasan/pohon sedangkan produksi kemiri pada kategori tanaman tua menghasilkan (di atas 35 tahun) menurun menjadi 4,66 kg biji kupasan/pohon. Rata-rata produksi buah kemiri untuk keseluruhan sampel adalah 5,08 kg biji kupasan/pohon. Produksi kemiri per pohon di atas masih sangat kecil jika dibandingkan dengan Dephut (2006a) dan Paimin (1994) yang menyebutkan produksi pohon kemiri pada saat panen pertamanya adalah 10 kg biji kupasan/pohon (umur 5 tahun), 25 kg biji kupasan (umur 6 sampai 10 tahun) dan akan menghasilkan produksi yang stabil berkisar 35 sampai 50 kg/pohon/tahun (umur 11 sampai 20 tahun). Perbedaan produktivitas kemiri ini sangat dipengaruhi oleh jumlah tanaman per satuan luas, kondisi kesehatan tanaman, kondisi tempat tumbuh dan intensitas pemeliharaan. Jumlah pohon pada suatu lahan dipengaruhi oleh jarak tanam yang ada. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pada saat awal penanaman terdapat jarak tanam seperti 8m x 8m, 8m x 10m dan lain-lain. Tetapi seiring berjalannya waktu, tanaman kemiri adalah tanaman yang mudah busuk sehingga dapat tumbang pada saat angin kencang maupun pada musim penghujan. Ada juga penambahan tanaman yang tumbuh secara alami yang dibiarkan berkembang menjadi tanaman besar. Akibatnya adalah jarak tanam menjadi tidak beraturan. Rata-rata jumlah pohon per ha untuk keseluruhan responden adalah 115 pohon. Rendahnya hasil produksi yang diperoleh petani berhubungan dengan tingkat intensitas kegiatan perawatan yang dilakukan terhadap tanaman dan adanya pengaruh penyakit yang selama ini sudah sering terjadi tetapi belum ditemukan cara mengatasinya yaitu terjadinya gugur buah pada saat buah sudah hampir mencapai kondisi panen. Buah yang gugur tidak bisa dipanen karena belum menghasilkan biji kupasan (kernel). Untuk kegiatan pemeliharaan tanaman, sebagian besar responden menyebutkan bahwa tidak ada kegiatan pemupukan yang dilakukan karena jika dipupuk, buah akan banyak dan pada saat buah mulai besar, cabang atau ranting pohon banyak yang patah sehingga menyebabkan kerugian bagi petani.
51
Buah yang jatuh karena penyakit gugur buah (belum matang dan tidak dapat dipanen)
Buah matang yang jatuh secara alami
Gambar 7 Perbedaan antara buah yang jatuh alami dan buah yang jatuh karena penyakit gugur buah.
Jika dibandingkan dengan produksi kemiri dari tempat lain, maka produksi kemiri di beberapa tempat di Indonesia adalah berbeda-beda. Yusran (1999) menyebutkan bahwa produktivitas kemiri rakyat di Kabupaten Maros adalah 72,1 kg/ha. Darmawan dan Kurniadi (2007) menyebutkan bahwa produktivitas kemiri Propinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Ngada (2001) berkisar 3,67–5 kg/pohon/tahun, di Kecamatan Soa dan Bajawa rata-rata 13,02 kg/pohon/tahun, di Kabupaten Ende rata-rata 7,25 kg/pohon/tahun dan di Kecamatan Ende Selatan dan Kecamatan Ndona rata-rata 15,09 kg/pohon/tahun. Wibowo (2007) menyebutkan produksi kemiri di Desa Kuala adalah 62,5 kg per pohon. Besar kecilnya produktivitas kemiri di berbagai tempat menunjukkan bahwa produksi kemiri berbeda-beda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, yang dapat disebabkan oleh faktor tempat tumbuh, umur tegakan, kondisi tanaman (sehat atau sakit) dan faktor lingkungan (perubahan musim). Umumnya masyarakat menyatakan bahwa menanam kemiri tidak sulit karena hanya melakukan penanaman, pembersihan tumbuhan bawah dan tinggal menunggu hasil, tidak perlu penggunaan pupuk dan dapat ditinggalkan dalam
52 waktu yang lama, yang berhubungan dengan intensitas masyarakat melakukan pemeliharaan terhadap tanaman kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman kemiri rakyat sangat sederhana dan tidak intensif (Koji 2002; Wibowo 2007; Awang et al. 2007). Dari keseluruhan responden, hanya 3 responden yang rutin pergi ke ladang, 21 responden hanya pergi pada saat-saat tertentu, 37 responden melakukan pemeliharaan kemiri pada saat panen dan 2 responden hampir tidak pernah melakukan pemeliharaan.
Tabel 22 Intensitas kunjungan petani pada tanaman kemiri No
Intensitas pemeliharaan
1 Rutin ke ladang 2 Jarang pergi (pada saat tertentu saja) 3 Pada saat panen 4 Tidak pernah melakukan pemeliharaan Jumlah
Jumlah Responden 3 21 37 2 63
Persentase 4,76 33,33 58,73 3,17 100,00
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh masyarakat pada tanaman kemiri adalah pembersihan tumbuhan bawah karena mengganggu pada saat dilakukan pengumpulan buah. Pembersihan tumbuhan bawah dilakukan dua kali setahun yaitu pada saat musim berbuah besar yang dilakukan dengan cara membabat ataupun dengan menggunakan round-up untuk mematikan tumbuhan bawah. Pembersihan tumbuhan bawah yang dilakukan dengan membabat akan membutuhkan waktu yang agak lama sedangkan bila menggunakan zat kimia, akan lebih cepat dan praktis. Tanaman kemiri pada dasarnya bisa berbuah sepanjang tahun, tetapi (Deptan 2006a) menyebutkan bahwa panen buah dapat dilakukan 2-3 kali setahun. Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa musim berbuah sekarang dengan musim berbuah dulu (tahun 1980-an) sudah jauh berbeda. Pada waktu dulu, masyarakat dapat memperoleh hasil sepanjang tahun, tetapi sekarang hampir tidak menentu. Deptan (2006a) menyebutkan untuk merangsang pembentukan bunga tanaman kemiri, maka dibutuhkan musim kemarau yang tegas, bila setelah penyerbukan hujan turun, maka bunga akan gugur dan persentase bunga menjadi buah akan semakin kecil. Perubahan musim berbuah dan besar kecilnya jumlah buah yang dihasilkan di lokasi penelitian, diduga
53 terjadi karena perubahan musim penghujan dan musim kering yang tidak menentu akhir-akhir ini. Hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan bahwa musim berbuah paling besar terjadi 1 kali setahun dan ada juga yang menyebutkan 2 kali setahun. Perbedaannya hanya pada besaran produksi yang dihasilkan. Musim berbuah besar adalah musim berbuah paling banyak dibandingkan dengan musim berbuah lainnya sedangkan musim kedua adalah musim berbuah besar tetapi hasilnya tidak seperti pada musim berbuah besar yang pertama. Adapun kisaran bulan musim berbuah kemiri adalah antara bulan Mei sampai Juli dan bulan Nopember sampai Januari. Tetapi ada juga yang menyebutkan bulan lainnya selain bulan di atas. Hal ini terjadi karena memang tidak semua tanaman kemiri memiliki musim berbuah yang sama secara keseluruhan, ada yang berbuah di luar musim berbuah biasanya.
(a) berbunga
(b) berbuah
Gambar 8 Pohon kemiri sedang berbunga dan berbuah.
Pemanenan buah dilakukan dengan cara menunggu buah jatuh ke tanah. Tidak ada kegiatan pengambilan buah secara sengaja, karena hal ini berhubungan dengan tingkat kematangan buah yang akan diperoleh. Buah yang dipanen adalah buah yang sudah jatuh ke tanah, kemudian dikumpulkan, dikupas dari daging buah dan diangkut ke rumah. Pengangkutan kemiri sangat sulit dilakukan karena berat dan jarak tempuh dari ladang ke rumah. Masyarakat mengatakan bahwa jika membawa kemiri dengan cara menjujung di atas kepala seperti membawa batu. Sehingga, saat ini dilakukan dengan menggunakan sepeda motor yang disebut dengan sistem “langsir”. Pengangkutan bagi petani yang memiliki sepeda motor
54 tidak ada masalah, tetapi bagi petani yang tidak memiliki sepeda motor, hal ini menjadi biaya pengeluaran. Sebelum kemiri dikupas, dilakukan penjemuran selama 3-4 hari bila cuaca cerah atau 5-6 hari bila cuaca tidak cerah. Masyarakat umumnya menjual kemiri yang dimilikinya dengan mengupas terlebih dahulu (biji kupasan) karena berhubungan dengan harga jual yang lebih tinggi. Ada juga yang menjual kemiri tanpa dikupas dengan alasan memenuhi kebutuhan mendesak seperti membeli beras. Harga jual kemiri kupasan pada saat penelitian berkisar antara Rp22.000 sampai Rp25.200 per kg, sedangkan harga biji kemiri yang tidak dikupas adalah Rp6.000 sampai Rp8.000 per tumba (1 tumba=2 liter).
(a) Kemiri di jemur
(b) kemiri kering
(c) Pengupasan kemiri
(d) Kemiri setelah dikupas
Gambar 9 Proses pengupasan kemiri.
Untuk melakukan pemasaran hasil, masyarakat tidak mengalami kesulitan karena hampir di semua desa ada pembeli lokal (toke) dan ada juga pedagang pengumpul yang datang dari luar desa. Harga di pasar dengan harga di rumah
55 adalah sama. Karena itu, masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam pemasaran dan tidak ada biaya yang keluar. Selain buah, kulit biji kemiri juga sudah laku dijual dengan harga Rp10.000 sampai Rp13.000 per karung (ukuran karung urea). Kulit biji kemiri mulai laku dijual sejak tahun 2009 yang digunakan untuk industri-industri yang menggunakan pengering (dryer) dalam bentuk tungku yang membutuhkan bahan baku kayu bakar. Sejak kesulitan dalam menemukan bahan bakar kayu, banyak industri-industri yang beralih menggunakan kulit kemiri karena bara api yang lebih tahan lama.
(a) Kulit kemiri (cangkang)
(b) Pengangkutan kulit kemiri
Gambar 10 Pengangkutan kulit kemiri yang dijual ke industri di Medan.
Setelah melakukan rangkaian pengumpulan data primer, data sekunder dan juga melakukan kunjungan lapangan, wawancara dan diskusi dengan masyarakat, tokoh masyarakat dan pihak terkait, adapun hasil penelitian yang diperoleh untuk menjawab tujuan penelitian dapat dilihat pada pembahasan berikutnya.
5.2 Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengelola Kemiri Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengelola tanaman kemiri, dilakukan analisis dengan model regressi logistik. Adapun variabel
bebas
yang
digunakan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi masyarakat untuk mengelola tanaman kemiri adalah umur petani
56 (tahun), lama tinggal di desa (tahun), luas lahan yang dikelola (ha), pekerjaan sampingan
(ada
atau
tidak
ada),
status
kepemilikan
lahan
(belum
bersertifikat/sudah bersertifikat), jumlah anak sekolah (orang), jumlah anggota keluarga produktif (orang), jumlah tanggungan dalam keluarga (orang), jumlah pendapatan per bulan (Rp/bulan), asal usul tanah (beli/warisan/garap sendiri), kondisi jalan atau aksesibilitas ke ladang (mudah atau sulit), pekerjaan utama (petani/non petani), pengalaman bertani (tahun), jarak dari rumah ke ladang (meter), status lahan yang dipakai (sewa/milik), tingkat pendidikan sekolah (tidak sekolah, SD/SR, SLTP, SMU, Sarjana) dan jumlah anak yang sekolah di luar daerah (orang).
Tabel 23 Hasil estimasi menggunakan regressi logistic Peubah Konstanta Umur petani (X1) Luas lahan (X3) Pendapatan per bulan (X9(3)) Asal usul tanah (X10(2)) Aksesibilitas ke ladang (X11(1))
B -7,815 0,087 0,955 -2,315 3,213 -1,411
Sig 0,015 0,027* 0,001* 0,040* 0,038* 0,054**
Exp (B) 0,000 1,091 2,600 0,099 24,843 0,244
Keterangan : *= signifikan pada taraf nyata 5%, **=signifikan pada taraf nyata 10%
Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengambil keputusan untuk mengelola tanaman kemiri dapat dilihat pada Tabel 23. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 17 faktor yang diduga mempengaruhi seorang untuk mengelola tanaman kemiri, hanya 4 faktor yang signifikan pada taraf nyata 5%, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan dan asal usul tanah serta 1 faktor yang signifikan pada taraf nyata 10%, yaitu aksesibilitas ke ladang. Adapun model regressi logistik yang diperoleh adalah
Ln(p/1-p) =-7,815+ 0,087 umur petani + 0,955 luas lahan - 2,315 pendapatan per bulan + 3,213 asal usul tanah – 1,411 aksesibilitas ke ladang
Untuk menilai kelayakan model dalam memprediksi, digunakan uji Chi Square Hosmer dan Lemshow. Adapun hipotesis yang digunakan adalah
57 H0 = Tidak ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati H1 = Ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati Hasil pengujian yang diperoleh adalah nilai Chi Square sebesar 3,679 dan nilai Sig sebesar 0,885. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Sig lebih besar dari α sebesar 0,1 sehingga kesimpulannya adalah menerima H0, artinya tidak ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati sehingga model regressi logistik bisa digunakan untuk analisis selanjutnya. Untuk melihat keakuratan model regressi logistik, dapat dilihat dari count-R2, Nagelkerke-R2 dan Cox & Snell–R2. Untuk mengetahui count-R2 dapat dilihat pada clasification table (Bock 1:Metode = Enter), dimana banyaknya prediksi pengamatan yang benar sebanyak 101 dan jumlah pengamatan keseluruhan 126 sehingga count-R2 = 101/126 = 0,802. Hal ini menunjukkan bahwa keakuratan model regressi logistik dapat dikatakan tinggi sebesar 80,2% dan model tersebut dapat digunakan untuk mengalokasikan responden yang mengelola dan yang tidak mengelola kemiri. Nilai berdasarkan Nagelkerke-R2 mengindikasikan bahwa peluang mengelola kemiri dapat diterangkan oleh variabel umur, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul lahan dan aksesibilitas ke ladang sebesar 54.4% sedangkan menurut Cox & Snell-R2 sebesar 40.8%. Berikut ini adalah analisis faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengelola kemiri, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul tanah dan aksesibilitas ke ladang. a.
Faktor umur petani Umur merupakan faktor yang mempengaruhi kekuatan fisik, cara berpikir dan bertindak seseorang. Seorang petani yang berumur muda akan mempunyai tubuh atau fisik yang kuat dan cenderung mudah menerima dan mempraktekkan teknik baru dalam bertani. Pada kondisi ini, seorang petani muda akan lebih memilih jenis tanaman yang cepat menghasilkan walaupun membutuhkan waktu dan tenaga yang besar untuk mengelolanya. Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa usia produktif menunjukkan tersedianya sumber
58 tenaga kerja yang baik, karena umur produktif akan lebih mudah menerima perubahan, ide-ide dan inovasi. Sementara itu, seorang petani yang sudah berumur tua, mempunyai pengalaman lebih banyak, lebih matang, tetapi memiliki kekuatan fisik yang cenderung menurun dan lebih berani mempraktekkan teknik bertani yang lama yang sudah pernah dialami sebelumnya. Akibatnya, petani yang berumur tua cenderung menanam tanaman yang tidak memerlukan intensitas tinggi ke ladang tetapi tetap dapat memberikan hasil yang dapat diperoleh setiap saat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa umur petani mempunyai nilai koefisien positif dengan nilai odd ratio 1,091. Setiap penambahan 1 tahun umur responden, peluang seseorang untuk mengelola kemiri adalah 1,091 kalinya dibanding peluang seseorang tidak mengelola kemiri, ceteris paribus. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa kelompok umur petani kemiri lebih banyak di atas 50 tahun yaitu 41 responden (65,08%) dibandingkan kelompok umur petani non kemiri yaitu 20 responden (31,75%). Hal ini menunjukkan bahwa petani yang menanam serta mempertahankan mengelola kemiri adalah yang sudah memasuki usia tua atau sudah mulai tidak produktif. Hardono dan Saliem (2006) dalam penelitiannya tentang peluang masyarakat melakukan diversifikasi usaha, menyebutkan bahwa semakin tua umur KK kecenderungan melakukan diversifikasi usaha semakin berkurang. Hal ini disebutnya wajar karena mengingat dalam melakukan diversifikasi usaha membutuhkan dukungan kondisi jasmani yang sehat, sehingga diversifikasi usaha pada rumah tangga yang KK-nya masih produktif cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga dengan KK yang sudah tidak produktif. Jika hal ini dihubungkan dengan peluang menanam dan mengelola kemiri, seseorang yang semakin tua umurnya maka kemampuan fisiknya akan berkurang (sudah mulai tidak produktif) akan lebih berpeluang menanam dan mengelola kemiri, karena tidak memerlukan waktu dan tenaga yang besar dalam pengelolaannya.
59 b. Faktor luas lahan Luas lahan yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi jenis usaha yang akan dilakukannya pada lahan tersebut. Semakin luas lahan yang dimiliki oleh seseorang, maka ada kemungkinan untuk menanam lebih dari satu jenis tanaman. Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa responden petani kemiri memiliki luas lahan yang cukup besar. Terdapat 41 responden (65,01%) petani kemiri memiliki luas lahan di atas 2 ha, sedangkan 41 responden (65,01%) petani non kemiri memiliki luas lahan rata-rata di bawah 2 ha. Rata-rata luas kepemilikan lahan petani non kemiri adalah 1,54 ha, lebih kecil dibanding dengan rata-rata luas kepemilikan lahan petani kemiri yaitu 2,67 ha. Hasil ini menunjukkan bahwa pemilik lahan yang luas akan cenderung menanam jenis tanaman kemiri disamping jenis tanaman lain seperti pola agroforestry atau tanaman campuran. Alasan lain, mengapa pemilik lahan yang lebih luas menanam kemiri adalah karena sebagian besar responden yang diwawancarai adalah petani yang memiliki lahan pada daerah yang curam sampai terjal dengan tingkat kelerengan di atas 250, dimana lahan ini umumnya tidak cocok untuk ditanami tanaman pertanian. Dari hasil pengolahan data diperoleh bahwa luas lahan berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan untuk mengelola kemiri dengan nilai koefisien positif dan dengan nilai odd ratio 2,600. Setiap peningkatan luas lahan 1 hektar, peluang seseorang untuk mengelola kemiri adalah 2,600 kalinya dibanding peluang seseorang tidak menanam kemiri, ceteris paribus. Sumaryanto
(2006)
dalam
penelitiannya
tentang
faktor
yang
mempengaruhi keputusan melakukan diversifikasi, menyebutkan bahwa faktor luas lahan tidak berpengaruh nyata dalam menjelaskan diversifikasi usahatani, artinya rata-rata luas kepemilikan lahan tidak menjadi kendala dalam melakukan diversifikasi usahatani. Hasil ini berbeda dengan hasil analisis di atas yang menyebutkan bahwa luas lahan signifikan dalam menjelaskan peluang untuk mengelola kemiri, ini terjadi karena masyarakat yang menanam dan mengelola kemiri pada lahan miliknya adalah masyarakat yang memiliki lahan pada kondisi topografi yang curam dan terjal. Masyarakat mengatakan bahwa tidak memiliki pilihan lain selain menanam
60 kemiri karena hanya kemiri yang bisa ditanam dan dapat mendatangkan penghasilan bagi mereka. Apabila menanam tanaman pertanian, biaya usaha besar, bahaya erosi dan longsor serta resiko tanaman dimakan oleh hama (monyet dan babi hutan). Jika kondisi lapangan datar, ada kemungkinan masyarakat bisa beralih menanam tanaman lain yang dapat mendatangkan penghasilan besar. c.
Faktor pendapatan per bulan Besar kecilnya pendapatan petani mempengaruhi keputusan apa yang akan dikerjakan dan jenis usaha yang akan dilakukannya pada sebidang lahan yang dimilikinya. Bila pendapatan petani cukup besar, kemungkinan petani tersebut akan memilih menanam tanaman yang mendatangkan hasil yang banyak walaupun dengan resiko harus mengeluarkan modal yang cukup besar. Andayani (2002) menyebutkan, pemilik lahan yang berlatar belakang sosial ekonominya cukup mampu akan memilih jenis usaha yang memiliki nilai komersial tinggi pada lahan miliknya dan pada pemilik lahan yang kurang mampu, pemilihan jenis terkendala oleh faktor ekonomi tersebut. Pada faktor ini, pendapatan petani per bulan dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu: pendapatan rendah, pendapatan sedang, pendapatan tinggi dan pendapatan sangat tinggi. Pengelompokkan data dilakukan untuk memudahkan analisis data yang akan diolah. Bila angka pendapatan digunakan secara langsung, akan menimbulkan kesenjangan (gap) pada hasil yang diperoleh karena angka yang digunakan sangat besar. Dari hasil pengolahan data diperoleh, petani dengan pendapatan per bulan sangat tinggi berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan untuk menanam kemiri dengan nilai odd ratio 0,099, tetapi memiliki nilai koefisien yang negatif. Peluang seseorang yang memiliki pendapatan sangat tinggi untuk mengelola kemiri adalah 0,099 kalinya dibanding dari seseorang yang pendapatannya rendah, atau peluang seseorang yang berpendapatan rendah untuk mengelola kemiri adalah 10,10 (1/0,099) kalinya dibanding dari seseorang yang berpendapatan sangat tinggi, ceteris paribus. Hasil akhir ini menunjukkan bahwa petani dengan penghasilan yang rendah akan cenderung lebih memilih menanam kemiri, ini terjadi karena berhubungan dengan
61 modal usaha yang tidak besar dalam mengelolanya, khususnya dalam kegiatan penanaman dan pemeliharannya. Hal ini didukung oleh Andayani (2002) yang menyebutkan bahwa pemilihan jenis usaha pada sebidang lahan akan terkendala oleh faktor ekonomi. Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa pemilik kayu rakyat (yang mengusahakan hutan rakyat) umumnya adalah petani miskin dengan modal yang sangat terbatas, karena biaya pengelolaan kayu rakyat hampir tidak ada dan tenaga kerja yang digunakan untuk pemeliharaan kayu rakyat dapat dikerjakan oleh anggota keluarga. Suharjito (2002) menyebutkan salah satu alasan mengapa masyarakat memilih menanam jenis tertentu pada kebun talun adalah mudah memelihara. Hal ini merujuk pada orientasi hemat input produksi (tenaga kerja, pupuk dan obatobatan) dan pengelolaannya kurang intensif. Hasil dari analisis yang diperoleh berbeda dengan hasil penelitian Hardono dan Saliem (2006) dan penelitian Fatmawati (2011). Hardono dan Saliem (2006) dalam penelitiannya tentang diversifikasi pendapatan rumah tangga menyebutkan bahwa peluang diversifikasi usaha lebih tinggi pada rumah tangga yang sumber pendapatannya terbatas, akibatnya diversifikasi usaha menjadi suatu kebutuhan atau suatu strategi mempertahankan kesejahteraan (livelihood strategy) hidupnya. Fatmawati (2011) juga menyebutkan bahwa faktor pendapatan yang semakin tinggi akan memberi peluang yang lebih besar kepada masyarakat untuk memiliki (menanam) cendana. Hal ini disebabkan karena pendapatan dari cendana sangat besar dan berhubungan dengan biaya pemeliharaan yang intensif dan modal usaha untuk menanam cendana. Kedua hasil penelitian di atas berbeda dengan hasil yang diperoleh dari pengolahan data, karena peluang menanam kemiri lebih besar pada seseorang yang berpenghasilan lebih rendah. Seseorang yang berpenghasilan rendah akan berjuang mendapatkan penghasilan yang lebih besar dengan menanam tanaman yang lebih mudah dikelola, lebih cepat mendatangkan penghasilan dan tidak memerlukan modal yang tinggi. Tetapi, dalam hal ini masyarakat dengan penghasilan lebih rendah lebih memilih menanam kemiri karena petani berpenghasilan rendah sudah merasakan manfaat dari tanaman kemiri
62 sehingga cenderung lebih memilih untuk tetap mempertahankannya daripada mengganti tanaman lain yang belum tentu mendapatkan keuntungan yang besar dan lebih berpeluang untuk mencari penghasilan sampingan dari sumber lain karena tanaman kemiri tidak memerlukan pengelolaan yang intensif. Sehingga alasan mengapa masyarakat yang berpendapatan rendah menanam kemiri adalah karena biaya usaha yang tidak besar. d. Faktor asal usul tanah Ichwandi (2001) menyebutkan hak kepemilikan lahan di Kabupaten Maros diperoleh melalui jalur warisan, pembelian dan membuka lahan sendiri. Hal ini juga berlangsung di Kecamatan Tanah Pinem. Asal usul kepemilikan lahan biasanya berhubungan dengan jenis tanaman apa yang sebelumnya dikelola pada lahan tersebut. Seseorang yang membeli lahan, akan mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan tanaman yang ada diatasnya atau mengganti dengan jenis tanaman baru. Bila warisan, maka biasanya akan mempertahankan jenis tanaman yang ada. Suharjito (2002) menyebutkan bahwa salah satu alasan masyarakat Desa BuniwangiSukabumi memilih jenis tanaman yang diusahakan pada kebun talun adalah warisan dari orang tua. Hal yang sama juga terjadi pada pewarisan repong damar di Pesisir Krui-Lampung (Wijayanto 2002). Sedangkan bila tanah tersebut berasal dari hasil garapan, apalagi lahan tersebut adalah kawasan hutan, maka jenis tanaman yang akan ditanam adalah jenis tanaman yang mendatangkan manfaat bagi petani yang bersangkutan dan jenis yang dipilih berdasarkan jenis tanaman yang ada disekitarnya. Jenis tanaman yang dipilih biasanya adalah jenis tanaman keras yang menghasilkan, memiliki daya tahan yang cukup tinggi, tidak dimakan hama seperti monyet ataupun babi hutan. Beberapa responden yang membuka hutan menyatakan bahwa mereka lebih memilih jenis tanaman kayu-kayuan karena bisa ditinggal dalam waktu lama. Hasil analisis menunjukkan bahwa asal usul lahan mempunyai nilai koefisien positif dengan nilai odd rasio 24,843. Peluang seseorang yang memiliki lahan hasil garapan sendiri dari lahan hutan untuk mengelola kemiri adalah 24,843 kalinya dari seseorang yang memiliki lahan dari hasil
63 membeli, ceteris paribus. Kecenderungan orang yang membuka hutan untuk digarap sendiri akan memilih menanam dan mengelola kemiri dibanding dengan orang yang membeli lahan ataupun yang memperolehnya dari warisan. Yusran (2005) menyebutkan bahwa status lahan kemiri yang dikelola masyarakat di Kawasan Pegunungan Bulusaruang terdiri dari tanah milik, tanah negara dan hutan negara, yang akan berpengaruh pada performansi hutan kemiri rakyat. Semakin kuat status lahan yang dikelola maka semakin intensif pengelolaannya dan menjamin kelestariannya. Sementara di Kecamatan Tanah Pinem, pengelolaan lahan kemiri belum secara intensif, khususnya pada lahan hutan karena berhubungan dengan status lahan yang berhubungan dengan tingkat resiko kerugian yang akan dihadapi bila sewaktu-waktu ada larangan memasuki kawasan hutan. e.
Faktor aksesibilitas ke ladang Tingkat kesulitan ataupun kemudahan menjangkau suatu ladang, akan mempengaruhi jenis tanaman apa yang akan ditanam. Semakin dekat ladang dan semakin mudah menjangkaunya dengan sarana transportasi seperti sepeda motor, maka jenis tanaman yang akan ditanam adalah jenis tanaman yang cepat mendatangkan hasil, sedangkan semakin jauh ladangnya dan semakin sulit menjangkaunya dengan sarana transportasi maka akan lebih memilih menanam jenis tanaman tahunan. Keputusan menanam jenis tanaman pertanian atau tanaman tahunan sangat berhubungan dengan jarak tempuh dan tingkat kesulitan menjangkaunya. Hal ini berhubungan dengan intensitas seseorang pergi ke ladang dan tingkat kemudahan dalam pengangkutan sarana dan prasarana produksi serta hasil. Hasil analisis menunjukkan bahwa aksesibilitas ke ladang mempunyai nilai koefisien negatif dengan nilai odd ratio 0,244. Peluang seseorang untuk mengelola kemiri pada lahan yang memiliki aksesibilitas ke ladang lebih mudah adalah sebesar 0,244 kalinya dibanding dari seseorang yang memiliki aksesibilitas ke ladang sulit, atau peluang seseorang untuk mengelola kemiri pada lahan yang memiliki aksesibilitas ke ladang sulit adalah 4,09 (1/0,244) kali daripada yang memiliki aksesibilitas ke ladang mudah, ceteris paribus.
64 Dari kelima faktor yang signifikan mempengaruhi petani mengelola kemiri, faktor yang paling besar memberi pengaruh adalah asal usul tanah khususnya tanah yang berasal dari lahan garapan karena memiliki nilai koefisien yang besar (3,213) yang menyebabkan nilai odd ratio juga besar (24,843). Semua masyarakat yang memiliki lahan hasil garapan dari hutan memilih jenis kemiri sebagai tanaman yang ditanam karena dapat memberikan pendapatan bagi petani. Hiola (2011) menyebutkan bahwa status penguasaan lahan akan mempengaruhi masyarakat untuk menanam jenis tanaman tertentu pada lahan miliknya. Jenis kemiri merupakan jenis tanaman yang banyak ditanam masyarakat pada kawasan hutan (tanah negara) karena menanam kemiri pada tanah negara tidak menjadi ancaman bagi petani. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam pada lahan milik akan dipengaruhi oleh adanya rasa aman untuk menanam dan mendapatkan hasil dari tanaman tersebut tanpa ada rasa takut atau ancaman jika sewaktu-waktu ada peraturan dari pemerintah yang berhubungan dengan status lahan yang belum jelas (khususnya pada kawasan hutan). Faktor yang berpengaruh kepada petani untuk mengelola kemiri pada urutan kedua adalah pendapatan petani perbulan khususnya petani yang memiliki pendapatan perbulan yang rendah (<1,5 juta per bulan). Hal ini terjadi karena petani dengan pendapatan yang rendah akan memiliki keterbatasan modal dalam mengembangkan usaha yang akan dilakukannya. Faktor ketiga yang berpengaruh adalah faktor aksesibilitas ke ladang yang sulit dijangkau, intensitas kunjungan dan ancaman bahaya serangan hama (monyet dan babi hutan) akan berkurang bila menanam jenis tanaman keras seperti jenis kayu-kayuan. Faktor keempat yang berpengaruh adalah luas kepemilikan lahan yang masih cukup lebar. Umumnya masyarakat yang mengelola kemiri adalah masyarakat yang memiliki lahan yang berada pada lahan-lahan miring dengan luas lahan yang cukup lebar. Pilihan menanam kemiri menjadi pilihan yang utama karena cocok ditanam pada lahan miring, hasilnya dapat dijual secara berkelanjutan dan menjadi sumber pendapatan bagi petani. Bila beralih menanam tanaman lain (pertanian), akan memerlukan biaya usaha yang besar dan adanya resiko yang terjadi seperti erosi dan tanah longsor.
65 Faktor yang mempengaruhi petani mengelola kemiri dengan nilai yang lebih kecil adalah faktor umur petani. Walaupun faktor umur petani memiliki nilai odd ratio yang kecil tetapi faktor ini menjadi alasan beberapa petani yang sudah mulai kurang produktif untuk memilih menanam serta mempertahankan tanaman kemiri pada lahan miliknya karena kekuatan petani dalam mengelola lahan sudah mulai berkurang sehingga pengelolaannyapun nantinya akan menjadi tidak intensif dan disisi lain ada jaminan pendapatan yang masih dapat diperoleh dari tanaman tersebut secara berkelanjutan. Faktor-faktor yang tidak berpengaruh dalam menjelaskan peluang masyarakat menanam kemiri adalah lama tinggal di desa, pekerjaan utama dan sampingan, status kepemilikan lahan, jumlah anak sekolah di desa dan di luar daerah, jumlah anggota keluarga produktif, jumlah tanggungan dalam keluarga, pengalaman bertani, jarak dari rumah ke ladang, status lahan yang dipakai dan tingkat pendidikan. Berikut ini adalah penjelasan mengapa faktor-faktor tersebut di atas tidak berpengaruh. a.
Lama tinggal di desa Faktor lama tinggal di desa akan berpengaruh pada pengalaman seseorang dalam menganalisa berbagai jenis tanaman yang berkembang dalam lingkungan masyarakat sekitarnya. Pola perubahan penggunaan lahan dan besar kecilnya produktivitas yang diperoleh akan mempengaruhi seseorang untuk memilih menanam jenis tanaman tertentu. Pada masa kejayaan kemiri, kemiri merupakan sumber penghasilan utama masyarakat dan tanaman kemiri hampir ditanam semua masyarakat. Tetapi, pada saat hasil dan produksi menurun, maka ada keinginan beralih pada jenis tanaman lain yang bisa menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Peralihan ini terjadi karena berbagai alasan, salah satunya adalah pengalaman masyarakat lain disekitarnya yang sudah menanam cokelat dan jagung. Sekitar tahun 2005, masyarakat pelahan-lahan mulai menebang kemiri dan beralih menanam tanaman cokelat dan jagung.
b.
Pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan Faktor ini berhubungan dengan kesempatan melakukan kegiatan pada lahan miliknya. Seseorang yang memiliki pekerjaan utama bukan petani akan
66 berpeluang lebih besar menanam kemiri karena waktu yang dimilikinya akan lebih banyak dalam pekerjaan utamanya. Responden yang memiliki pekerjaan utama bukan petani, akan cenderung mempekerjaan orang lain untuk mengelola lahan miliknya. Sementara seseorang petani yang memiliki pekerjaan sampingan, kemungkinan memberi peluang menanam kemiri juga semakin besar, seperti pedagang, sopir dan buruh bangunan. Ternyata, hasil pengolahan data menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki pekerjaan utama sebagai petani dan ada atau tidaknya pekerjaan sampingan tidak berpengaruh nyata dalam menentukan keputusan untuk menanam kemiri. c.
Status kepemilikan lahan Status lahan bersertifikat dan belum bersertifikat tidak berpengaruh dalam mendorong masyarakat untuk menanam kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan sertifikat tidak akan mempengaruhi seseorang untuk menanam atau tidak menanam kemiri. Petani kemiri yang tidak memiliki sertifikat 85,71% dan petani non kemiri yang tidak bersertifikat 66,67%. Ini menunjukkan bahwa apapun status lahan, masyarakat bebas menentukan untuk menanam kemiri dan non kemiri. Faktor status lahan milik atau lahan sewa juga tidak berpengaruh dalam menjelaskan peluang menanam kemiri. Adanya masyarakat yang menyewakan lahan yang ditanami kemiri menunjukkan bahwa jenis tanaman apapun yang ada pada sebidang lahan tidak mempengaruhi seseorang untuk menyewa lahan sepanjang usaha tersebut memberikan pendapatan bagi penyewa. Masyarakat yang menyewa kemiri hanya bersifat memungut hasil, menjaga dan tidak untuk mengganti tanaman kemiri. Hal ini didukung dengan penelitian Sumaryanto (2006) bahwa sikap petani pemilik dan penyewa tidak berbeda dalam menentukan pola tanaman pada lahan miliknya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan tidak mempengaruhi masyarakat untuk menanam kemiri.
d.
Jumlah anggota keluarga Hal ini berhubungan dengan jumlah anak sekolah, jumlah anggota keluarga produktif dan jumlah anak sekolah di luar daerah. Dalam melakukan usaha tani, idealnya semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak
67 tenaga kerja yang berperan dalam kegiatan usaha taninya. Ternyata pada hasil pengolahan data menunjukkan bahwa besar kecilnya jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh dalam menentukan untuk menanam kemiri pada lahan milik masyarakat. Jumlah anggota keluarga yang besar belum tentu keseluruhannya berperan dalam melakukan kegiatan pertanian. Ini terjadi karena anggota keluarga terdiri dari anak-anak yang masih bersekolah, ada anggota keluarga yang bersekolah di luar daerah dan ada tanggungan yang sudah berusia lanjut (tidak produktif). Hal ini berbeda dengan Sumaryanto (2006) yang menyebutkan bahwa jumlah anggota keluarga akan berperan dalam melakukan diversifikasi usaha. Perbedaan ini bisa terjadi karena usaha tanaman pertanian memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak karena pengelolaannya yang lebih intensif sedangkan dalam mengelola tanaman kemiri kurang intensif. e.
Pengalaman bertani Pada hasil pengolahan data diketahui bahwa pengalaman bertani responden tidak berpengaruh dalam memilih untuk mengelola kemiri. Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa pengalaman dalam usaha tani dapat menunjukkan tersedianya tenaga kerja yang telah mempunyai keterampilan awal yang cukup memadai. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian karena adanya berbagai latar belakang yang dialami oleh petani kemiri, seperti harga kemiri yang tidak mendukung, perolehan hasil yang semakin berkurang, masalah hama dan penyakit, pengangkutan yang sulit serta pengolahan hasil (pengupasan). Latar belakang inilah yang menjadi salah satu kendala dalam pengembangan tanaman kemiri pada lahan milik. Akibatnya, beberapa petani mulai melakukan konversi lahan menjadi lahan pertanian, baik pada lahan datar maupun pada lahan yang miring.
f.
Jarak dari rumah ke ladang Untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam pada lahan masyarakat, dipengaruhi oleh jarak dari rumah ke ladang. Jenis tanaman kayu-kayuan akan lebih cenderung ditanam masyarakat pada lahan miliknya yang jaraknya sangat jauh dari rumah karena berhubungan dengan intensitas kunjungan yang lebih sedikit dan dapat ditinggalkan dalam waktu yang lama.
68 Tetapi pada penelitian ini, faktor jarak dari rumah ke ladang tidak berpengaruh pada peluang untuk menanam kemiri. Penyebabnya adalah karena hampir sebagian besar lahan masyarakat berada pada kondisi topografi yang curam dan terjal dan berada disekitar lingkungan masyarakat. Tanaman kemiri yang ditanam pada lahan yang jauh adalah lahan-lahan hasil garapan yang merupakan lahan hutan yang jaraknya cukup jauh dari rumah masyarakat. Hasil berbeda dengan penelitian Fatmawati (2011) yang menyebutkan bahwa jarak akan mempengaruhi peluang masyarakat menanam cendana. Semakin dekat jarak dari rumah, peluang menanam cendana akan semakin besar, karena menanam cendana dekat rumah akan lebih aman dari pencurian, bahaya kebakaran, pengembalaan liar dan penebangan illegal. Untuk menanam jenis tanaman kayu komersil yang memiliki nilai jual tinggi memang lebih baik ditanam pada lahan yang dekat dengan rumah penduduk. g.
Tingkat pendidikan sekolah Pendidikan akan mempengaruhi pengambilan keputusan petani. Hasil pengolahan
data
menunjukkan
bahwa
tingkat
pendidikan
tidak
mempengaruhi masyarakat menanam kemiri. Hal ini didukung oleh Sumaryanto (2006) yang menyebutkan bahwa faktor pendidikan tidak mempengaruhi petani melakukan diversifikasi usaha. Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan petani umumnya sangat terbatas (rendah), yang berdampak pada keterbatasan pengetahuan. Akibatnya untuk memulai suatu yang baru akan memakan waktu yang lama, seperti penggunaan teknologi pertanian. Silamon (2011) menyatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki kecenderungan
hubungan
berbanding
terbalik
dengan
keputusan
mengusahakan hutan rakyat, dimana semakin tinggi pendidikan maka semakin kecil peluang untuk mengusahakan hutan rakyat atau petani dengan pendidikan yang semakin rendah akan semakin besar peluangnya untuk mengusahakan hutan rakyat. Pada akhirnya, faktor pendidikan yang rendah menyebabkan petani memilih menanam jenis tanaman yang tidak intensif karena dilatarbelakangi oleh pengetahuan yang terbatas.
69 Hasil analisis faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi masyarakat mengelola kemiri menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan kegiatan hutan rakyat dengan jenis tanaman kemiri yaitu pada lahan masyarakat yang diperoleh dari membuka hutan, pendapatan masyarakat khususnya pada masyarakat yang berpenghasilan rendah, lahan-lahan masyarakat yang sulit dijangkau, luas kepemilikan lahan khususnya pada masyarakat yang memiliki lahan yang berada pada lahan miring (curam dan terjal) dan kelompok masyarakat yang kurang produktif.
5.3 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kemiri Rakyat Untuk melakukan analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri diketahui dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Aspek yang digunakan dalam analisis ini merupakan kombinasi yang sudah dimodifikasi sesuai kebutuhan analisis keberlanjutan pengelolaan untuk jenis tanaman hasil hutan bukan kayu berdasarkan pendekatan indikator LEI (2001), Davis et al. (2001) dan Dephut et al. (1997). Selanjutnya adalah hasil penilaian terhadap masing-masing indikator.
5.3.1 Aspek Ekologi Hasil penilaian setiap indikator dari aspek ekologi adalah yang bernilai Baik sebanyak 3 (30%); yang bernilai Cukup sebanyak 7 (70%); dan yang bernilai Jelek tidak ada. Adapun penjelasan setiap indikator adalah sebagai berikut:
Tabel 24 Hasil penilaian aspek ekologi pada pengelolaan tanaman kemiri No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Indikator Erosi Produksi lahan Karakteristik air Kualitas air Cara mengambil manfaat Pengendalian hama dan penyakit Adanya gangguan (kebakaran, hama & penyakit, banjir, tanah longsor, dll) Struktur tegakan Penutupan lahan Konservasi tanah
Keterangan : B= Baik, C= Cukup
Penilaian B C B C B C C C C C
Keterangan
70 1
Erosi tanah Erosi adalah peristiwa terangkutnya partikel tanah oleh air ke tempat yang
lebih rendah. Peristiwa erosi merupakan hal alami yang tidak dapat dihindarkan dan erosi alami tidak akan menimbulkan kerusakan. Erosi yang menimbulkan kerusakan adalah erosi yang mengangkut partikel tanah dalam jumlah yang sangat besar dan menyebabkan terkikisnya lapisan solum tanah, yang pada akhirnya menimbulkan lahan kritis. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya erosi adalah iklim (curah hujan), topografi, pola penggunaan lahan, jenis tanah dan kegiatan/aktivitas manusia. Hutan rakyat adalah salah satu pola yang dapat diadopsi untuk mengatasi erosi, seperti hutan rakyat pola agroforestry. Mahendra (2009) menyebutkan bahwa dengan sistem agroforestry memungkinkan terciptanya multi strata tajuk. Pohon yang dominan akan menempati tajuk paling atas dan tanaman pangan akan menempati strata paling bawah.Akar pohon akan berfungsi sebagai spon pengikat air, dapat mengurangi laju infiltrasi dan tajuk dapat mengurangi kerusakan akibat air hujan. Penerapan sistem agroforestry akan meningkatkan konservasi tanah dan air suatu lahan. Haryadi (2006) menyebutkan, hutan rakyat pola campuran berperan dalam mencegah terjadinya erosi karena (1) kerapatan lapisan tajuk, (2) perakaran tanaman yang kuat dan (3) adanya kegiatan pengelolaan lahan. Peran hutan rakyat sengon dengan sistem agroforestry telah membuat masyarakat Desa Pecekelan sadar akan keberadaan hutan rakyat yang dapat memberikan keamanan lingkungan seperti dari aspek konservasi tanah, yaitu berkurangnya tanah longsor oleh run off (Rahayu dan Awang 2003). Tentu hal ini berkaitan dengan tingkat erosi yang dihasilkan hutan rakyat adalah kecil. Lapisan tanah yang ditumbuhi oleh tanaman keras akan berperan dalam mencegah terjadinya erosi. Suripin (2004) menyatakan hutan yang terpelihara dengan baik yang dikombinasikan dengan tanaman penutup tanah (rumput, perdu, semak dan belukar) merupakan pelindung tanah yang ideal dalam mencegah terjadinya erosi. Pengaruh vegetasi dalam memperkecil laju erosi adalah (1) vegetasi mampu menangkap (intersepsi) butir air hujan sehingga energi kinetiknya terserap oleh tanaman dan tidak menghantam langsung pada tanah; (2) tanaman penutup mengurangi energi aliran, meningkatkan kekasaran sehingga
71 mengurangi kecepatan aliran permukaan; (3) perakaran tanaman meningkatkan stabilitas tanah dengan meningkatkan kekuatan tanah, granularitas dan porositas; (4) aktivitas biologi yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman memberikan dampak positif pada porositas tanah; dan (5) tanaman mendorong transpirasi air sehingga lapisan tanah atas menjadi kering dan memadatkan lapisan bawahnya. Kecamatan Tanah Pinem adalah kecamatan yang berada di daerah yang cukup berbukit dengan kondisi topografi seperti pada Tabel 10, dengan curah hujan yang cukup tinggi serta kegiatan masyarakat yang umumnya bertani dengan pola penggunaan lahan seperti ladang/huma, kebun/tegalan dan perkebunan. Dengan kondisi di atas, maka segala bentuk aktifitas masyarakat dalam pengelolaan lahan akan berdampak terhadap terjadinya erosi. Dari hasil perhitungan prediksi erosi tanah di Kecamatan Tanah Pinem dengan menggunakan pendekatan dari Universal Soil Loss Equation (USLE) yaitu memprediksi laju erosi rata-rata lahan pada suatu kemiringan lahan dengan pola hujan tertentu untuk setiap jenis tanah dan penerapan pengelolaan lahan, diperoleh data seperti Tabel 25. Tingkat bahaya erosi pada lokasi penelitian berada pada kategori ringan sampai sedang. Hal ini dapat dipengaruhi dari keberadaan hutan yang ada di daerah bertopografi bergelombang sampai terjal, sehingga ada pelindung tanah yang bersifat mencegah terjadinya erosi tanah. Data ini menunjukkan bahwa kondisi lahan masih cukup baik.
Tabel 25 Prediksi tingkat bahaya erosi potensial di Kecamatan Tanah Pinem No 1 2 3 4 5 6
Tingkat bahaya erosi aktual (ton/ha/tahun) Bahaya erosi I (< 15 ton/ha/tahun) Bahaya erosi II (16 – 60 ton/ha/tahun) Bahaya erosi III (60 – 180 ton/ha/tahun) Bahaya erosi IV (180-480 ton/ha/tahun) Bahaya erosi V (>480 ton/ha/tahun) Tidak ada data Jumlah
Luas (ha) 10.050,65 32.061,46 57,38 1.770,51 43.940,00
Persentase (%) 22,87 72,97 0,13 4,03 100
Sumber : BPKH Wilayah 1 Medan (2001)
Keberadaan
tanaman
kemiri,
pada
lahan-lahan
yang
bertopografi
bergelombang sampai terjal di Kecamatan Tanah Pinem akan berperan dalam menjaga tanah agar terhindar dari erosi dan tanah longsor. Pada lahan-lahan yang
72 ditanami tanaman kemiri, tampak bahwa lapisan permukaan tanah dalam kondisi ditumbuhi tumbuhan bawah yang berperan dalam mencegah terjadinya erosi. Pada lahan-lahan yang ditanami tanaman kemiri tidak ada dijumpai penipisan lapisan tanah karena tajuk yang lebat dan lebar serta tumbuhan bawah yang tumbuh rapat berperan melindungi tanah dari pengaruh tumbukan air hujan sehingga tidak menimbulkan erosi. Lain halnya pada lahan-lahan yang ditumbuhi oleh tanaman pertanian berdaur pendek seperti tanaman jagung, tampak adanya erosi alur yang membentuk parit-parit kecil tempat berlalunya air yang mengangkut partikel tanah. Hal ini terjadi karena tidak adanya perlindungan terhadap permukaan tanah pada saat hujan turun.
Gambar 11 Tumbuhan bawah pada tegakan kemiri berperan dalam mencegah terjadinya erosi.
2
Produktivitas lahan Produktivitas lahan untuk jenis tanaman kemiri yang ada di Kecamatan
Tanah Pinem selama 10 (sepuluh) tahun terakhir disajikan pada Gambar 12. Tampak pada gambar bahwa produktivitas kemiri naik turun seiring dengan naik turunnya luas tanaman kemiri. Produksi kemiri dipengaruhi oleh umur tanaman, yang rata-rata tanaman sudah termasuk pada kategori tidak produktif dan kondisi kesehatan tanaman.
73 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 Produksi (Ton) Luas (Ha)
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem (2001-2010)
Gambar 12 Luas dan produktivitas kemiri selama 10 tahun terakhir.
Untuk perbandingan, pada Tabel 26 dapat dilihat produktivitas empat jenis komoditi utama di Kecamatan Tanah Pinem seperti jagung, padi ladang, cokelat dan kemiri sejak tahun 2005 sampai tahun 2009. Produktivitas untuk ke-4 komoditas setiap tahunnya adalah meningkat, walaupun pada tahun tertentu ada yang menurun. Informasi dari kecamatan, rata-rata produktivitas jagung masih sangat rendah yaitu berkisar 6-7 ton/ha. Bila dilakukan pengelolaan lahan yang intensif, maka dapat mencapai hasil yang cukup tinggi yaitu 8–10 ton/ha. Produktivitas kemiri masih cukup besar yaitu antara 0,50 sampai 0,77 ton/ha jika dibandingkan dengan produktivitas kemiri untuk tingkat Indonesia pada tahun 2007 adalah 0,797 ton/ha. Produktivitas tanaman kemiri dari sampel yang diambil rata-ratanya adalah 583,33 kg/ha/tahun, mendekati rata-rata produksi kemiri di Indonesia sebesar 0,5 ton/ha/tahun (Paimin 1994).
Tabel 26 Produktivitas 4 jenis komoditi utama tahun 2005 sampai tahun 2009 No
Tahun
1 2 3 4 5
2005 2006 2007 2008 2009
Jagung 5,63 6,33 6,16 6,23 6,63
Produktivitas (ton/ha) Padi Ladang Cokelat 2,63 38,85 1,87 0,70 2,30 0,75 2,30 0,93 2,32 1,01
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2006-2010)
Kemiri 0,50 0,65 0,50 0,75 0,77
74 Salah satu alasan masyarakat memilih untuk menanam jenis tanaman tertentu pada lahannya adalah sesuai dengan kondisi tanahnya, yang mengarah pada produktivitas lahan dengan harapan hasilnya banyak (Suharjito 2002). Kondisi ini juga dialami oleh masyarakat pada lokasi penelitian, menanam kemiri merupakan tanaman yang menghasilkan bagi masyarakat (khususnya pemilik lahan pada lahan miring) dan produksinya masih ada walaupun produktivitas lahan cenderung menurun. 3
Karakteristik air Kondisi sungai-sungai di lokasi penelitian umumnya mengalir sepanjang
tahun. Sungai-sungai di Kecamatan Tanah Pinem umumnya sulit dimanfaatkan oleh masyarakat karena keberadaannya yang berada pada daerah jurang yang dalam dan diantara bebatuan yang curam dan terjal. Untuk kehidupan sehari-hari, masyarakat memanfaatkan sungai-sungai yang mengalir di dekat perkampungan yang bersumber dari kawasan hutan. Mata-mata air mengalir dari bebatuan yang dibagian hulunya terdapat pepohonan, termasuk tanaman kemiri. Hal ini sesuai dengan BPKH (2009) yang menyebutkan bahwa dengan keberadaan hutan rakyat berperan dalam menjamin ketersediaan air lokal. Wijayanto (2002) juga menyebutkan bahwa ada keterpaduan repong damar dengan agro-ekosistem dalam sistem tata air yang akan menjamin ketersediaan air sepanjang tahun. Masyarakat Desa Pecekelan menyatakan bahwa hutan rakyat berperan dalam menjaga keberadaan mata air dan menjamin tidak pernah kering pada musim kemarau (Rahayu dan Awang 2003).
Gambar 13 Tegakan pohon (kemiri) berperan menjamin ketersediaan air lokal.
75 4
Kualitas air Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh semua mahluk
hidup. Salah satu hal yang menjadi perhatian utama dalam penggunaan air adalah kualitas air. Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk penggunaan tertentu, misalnya untuk air minum, perikanan, pengairan/irigasi, industri dan sebagainya. Mengetahui kualitas air berarti mengetahui kondisi air untuk menjamin keamanan dan kelestarian dalam penggunaannya. Kualitas air dapat dilihat dari parameter kemasaman (pH) air, Biological Oxygen demand (BOD), Chemichal Oxygen Demand (COD), residu terlarut dan temperatur air. Kecamatan Tanah Pinem secara keseluruhan berada di daerah DAS Singkil. Berdasarkan data dari BPDAS Wampu Sei Ular (2009), pH air berkisar antara nilai 6 sampai di bawah 7,5, BOD berkisar kurang dari 0,7 mg/l, COD berkisar pada nilai 3,19 sampai 22,31 mg/l dan residu terlarut (sedimen) bernilai antara 20,75 sampai 444,5 mg/l. Dari hasil tersebut di atas dinyatakan bahwa sungaisungai yang termasuk dalam DAS Singkil secara keseluruhan masih dalam kondisi yang baik sesuai kriteria PP No.82 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Syarat kelas mutu air menurut PP No.82 tahun 2001 adalah pH berkisar 6-9, BOD berkisar 2-12 mg/l, COD berkisar 10-100 mg/l dan residu terlarut berkisar 1000-2000 mg/l. Bila dilihat dari tingkat kejernihan air, maka air yang mengalir pada sungaisungai pada musim kemarau umumnya bersih dan keruh pada musim penghujan. Untuk kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan sumber mata air dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 5
Cara-cara mengambil manfaat (kayu dan buah) Manfaat yang diambil masyarakat dari tanaman kemiri secara umum adalah
buahnya. Cara-cara mengambil manfaat buah yang dilakukan oleh masyarakat masih sederhana, tidak merusak dan ramah lingkungan. Buah yang diambil adalah buah yang jatuh secara alami yang ada di bawah tegakan tanaman kemiri. Pada saat pengambilan manfaat dilakukan pembabatan tanaman bawah untuk pembersihan lahan. Pembabatan dilakukan sebanyak dua kali setahun yaitu sebanyak musim berbuah banyak. Selain dilakukan pembabatan, juga dilakukan
76 dengan cara kimia seperti penggunaan round-up. Bahan kimia ini merupakan sejenis racun tanaman yang dapat mematikan tanaman bawah seperti rumput dan alang-alang. Penggunaan round-up sudah sangat banyak digunakan oleh masyarakat karena lebih mudah, praktis dan tidak memerlukan biaya yang besar. Pengambilan manfaat kayu belum banyak dilakukan masyarakat. Pada umumnya masyarakat belum memikirkan untuk menjual kayu kemiri yang sudah tidak produktif. Dari 63 responden petani kemiri yang di wawancarai, hanya 7 responden (11,11%) yang pernah menjual kayu kemiri yang dimilikinya. Tidak semua responden dapat menjual kayu kemiri yang dimilikinya karena tidak mengetahui informasi tentang penjualan kayu kemiri, kondisi tanaman kemiri yang tidak bagus (percabangannya banyak), jumlah kayu yang berdiameter besar dan bulat sangat jarang dan pengaruh jarak lokasi tanaman kemiri dari jalan angkutan. Semakin jauh jarak dari jalan, harga kayu kemiri akan sangat murah dan bahkan tidak laku. Responden yang menjual kayu menyebutkan bahwa kayunya laku dijual karena dekat dengan jalan, sudah berdiameter besar dan kondisi batang lurus dan bulat cukup banyak. Penentuan harga kayu kemiri yang dimiliki oleh masyarakat adalah dengan sistem taksir. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah pohon yang dapat diangkut sesuai kriteria yang diperlukan pembeli, jarak lokasi ke jalan dan semua biaya tebang sampai angkut ditanggung oleh pembeli, sehingga posisi tawar pemilik kayu adalah lemah. Umumnya masyarakat menerima setiap harga yang ditentukan dengan alasan daripada tidak laku. Dalam hal pemasaran kayu kemiri, posisi tawar masyarakat sangat lemah dalam penentuan harga (Sumodiningrat 1999; Hardjanto 2000; Awang et al 2007). Hardjanto (2000) menyebutkan bahwa petani hutan rakyat memiliki posisi tawar yang lebih rendah dibanding tengkulak, industri kecil dan industri besar. Hal ini terjadi karena tengkulak, industri kecil dan besar sudah memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Untuk kegiatan penebangan, penyaradan dan pengangkutan kayu dari lahan masyarakat dilakukan oleh pembeli kayu, akibatnya berdampak pada kekuatan pembeli untuk menentukan harga. Hal ini berdampak pada pendapatan petani yang kecil dan tidak dapat merangsang petani untuk mengembangkan usaha yang sama.
77 Masyarakat yang memiliki pohon kemiri yang tidak laku dijual, akan menebangnya dan hanya membiarkan kayunya begitu saja sampai membusuk dan menjadi pupuk bagi tanaman lain yang ditanaminya. Masyarakat kurang tertarik menggunakan kayu kemiri menjadi kayu bakar, karena kurang bagus dalam proses pembakaran, terutama kalau kayunya pernah basah. 6
Pengendalian hama dan penyakit Permasalahan yang dihadapi masyarakat pada umumnya adalah adanya
hama dan penyakit. Hama yang pernah terjadi adalah serangan ulat yang memakan daun sehingga meninggalkan kayu kemiri dengan kondisi tidak berdaun (hanya meninggalkan kayu dan ranting). Hal ini terjadi sekitar tahun 1987 sampai tahun 1990-an. Hama ulat ini menyerang semua tanaman kemiri masyarakat hampir di semua desa yang ada di Kecamatan Tanah Pinem. Semua responden yang diwawancarai menyebutkan bahwa mereka tidak dapat melakukan upaya pencegahan, mengingat ulat yang ada sangat banyak dan cukup sulit untuk mengatasinya. Sementara untuk jenis penyakit yang dihadapi oleh masyarakat secara umum adalah gugur buah. Hampir semua responden menyatakan menghadapi permasalahan gugur buah. Buah kemiri akan gugur ketika buah hampir mencapai kondisi setengah tua (hampir masak pohon). Buah yang gugur ini tidak bisa dipanen karena belum membentuk buah kemiri yang bagus (belum menjadi kernel). Permasalahan ini belum bisa diatasi oleh masyarakat dan beberapa hasil penelitian belum mampu menjelaskan penyebab terjadinya gugur buah ini. Permasalahan lain yang dihadapi adalah adanya benalu yang tumbuh pada pohon kemiri yang lama kelamaan makin banyak yang akhirnya mengganggu pertumbuhan tanaman kemiri. Berbagai hama dan penyakit di atas adalah masalah-masalah yang umumnya banyak ditemui pada tanaman kemiri (Sunanto 1994, Paimin 1994 dan Deptan 2006a). Untuk upaya pencegahan dan pengobatan, akan menemui kesulitan karena ukuran tanaman yang tinggi dan membutuhkan biaya untuk membeli obat-obatan. Informasi yang diperoleh dari masyarakat dan penyuluh menyebutkan bahwa beberapa upaya pencegahan terhadap hama dan penyakit yang umum terjadi pada tanaman kemiri adalah dengan melakukan pengasapan
78 dari bawah tegakan dengan membakar kayu ataupun belerang dan menebas batang bagian bawah pohon tetapi tidak sampai merusak kayu (hanya sebatas kulit luar saja). Sementara itu, ada juga masyarakat yang mengambil keputusan membiarkan saja atau menebang tanamannya dan beralih ke tanaman lain. 7
Adanya gangguan (kebakaran, hama dan penyakit, banjir, tanah longsor, dan lain-lain) Gangguan terhadap tanaman kemiri dan dampaknya bagi lingkungan sekitar
pernah terjadi tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan dan korban jiwa dan korban materi. Gangguan seperti kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi. Tetapi gangguan hama dan penyakit pernah terjadi seperti pada poin 6 di atas. Gangguan seperti banjir bandang pernah terjadi di Pamah sekitar tahun 2006. Banjir bandang terjadi di daerah alur perlaluan air yang diangkut dari daerah yang tinggi (dataran tinggi) yang melewati Pamah (daerah yang ada di dataran rendah). Sementara tanah longsor terjadi pada lahan-lahan yang bertopografi curam, khususnya di daerah pinggir jalan, pinggir sungai dan pinggir lahan-lahan terjal yang sudah gundul. Tanah longsor yang terjadi masih cukup ringan dan tidak menimbulkan bahaya. Tetapi, menurut pengamatan di lapangan, dengan kondisi topografi yang bergelombang, curah hujan yang tinggi, pola peralihan penggunaan lahan dari tanaman keras menjadi tanaman semusim, bila tidak diantisipasi dengan baik, bisa menimbulkan banjir bandang dan tanah longsor yang lebih besar di tahun-tahun yang akan datang. Deptan (2006b) menyebutkan bahwa pengembangan kemiri dapat memperbaiki kondisi hidro-orologis setempat seperti mengurangi erosi dan banjir, kebakaran, ketersediaan oksigen dan penyerapan CO2. Gangguan banjir bandang yang terjadi di Pamah dan longsor di beberapa tempat dapat disebabkan karena struktur tegakan kemiri yang sudah mulai rusak oleh peralihatan dari tanaman kemiri menjadi tanaman berumur pendek pada lahan-lahan yang bertopografi curam dan terjal. 8
Struktur tegakan hutan Struktur tegakan kemiri pada lokasi tanaman kemiri yang diamati
menunjukkan kondisi yang sangat rapat, masih baik dan utuh serta bermanfaat dalam melindungi lapisan tanah dari erosi dan tanah longsor. Tetapi, dari
79 pengamatan dan pemantauan di lapangan secara keseluruhan dapat dilihat bahwa struktur tegakan hutan umumnya sudah mulai terganggu dengan adanya peralihan lahan-lahan yang ditanami tanaman keras menjadi tanaman semusim, baik di lahan datar maupun lahan miring yang menyebabkan keterbukaan sebagian permukaan lahan. Tetapi, beberapa kawasan hutan keberadaannya tetap terjaga. Seperti di daerah Pasir Tengah, ada kawasan hutan yang tidak boleh diganggu (tidak boleh dirusak dan ditebang) karena dipercayai sebagai kawasan hutan keramat. Kawasan ini dikeramatkan karena masyarakat percaya ada roh-roh yang menjaga hutan tersebut, jika ada yang merusak hutan maka akan diganggu oleh roh penjaga. Kawasan hutan yang dikeramatkan akan berperan dalam menjaga kawasan hutan sehingga tidak ada kegiatan perusakan oleh masyarakat. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Kasepuhan di Banten. Suharjito dan Saputro (2008) menyebutkan bahwa Leuweung titipan pada lingkungan masyarakat Kasepuhan adalah hutan yang tidak boleh dipungut hasilnya atau kawasannya tidak dapat dimanfaatkan karena dianggap keramat. Leuweung titipan bagi warga Kasepuhan merupakan titipan dari Karuhun yang harus dijaga kelestarian dan keasliannya. 9
Jaminan penutupan lahan Penanaman tanaman kemiri yang dilakukan oleh masyarakat secara umum
menjamin penutupan lahan. Penutupan lahan ini terlihat dari besarnya tajuk tanaman kemiri yang menutupi lahan sehingga berperan dalam melindungi permukaan tanah. Penanaman kemiri dengan jarak tanam tertentu akan menjamin luas lahan yang akan ditutupi oleh tajuk pohon. Penanaman yang dilakukan oleh masyarakat bertujuan untuk mendapatkan buah, maka jarak tanam kemiri yang digunakan masyarakat adalah berkisar antara 8m x 8m, 8m x 10m, 10m x 10m, 10m x 12m. Tetapi ada juga beberapa penduduk yang menanam dengan jarak tanaman yang lebih sempit yaitu dengan jarak tanam 5m x 5m sampai 6m x 6m. Tujuan penanaman dengan jarak tanaman yang lebar adalah agar tajuk tanaman kemiri lebar dan besar sehingga buah yang akan dihasilkan lebih banyak. Penanaman kemiri untuk tujuan menghasilkan buah dapat menjamin penutupan lahan sehingga berperan menjaga tanah tidak rusak, menjaga kesuburan tanah dan mencegah erosi. Berapapun jarak tanam yang dibuat, secara umum struktur
80 tegakan kemiri pada suatu bentang lahan akan menjamin penutupan lahan, yang kemudian akan berperan dalam mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor (Haryadi 2006; Mahendra 2009).
Gambar 14 Tajuk tanaman kemiri yang lebar berperan menutupi permukaan tanah
10 Adanya upaya konservasi tanah Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa di beberapa lokasi yang diamati, tidak ada upaya konservasi tanah yang sengaja dilakukan. Tetapi, untuk beberapa tempat, seperti daerah terjal, pinggir-pinggir sungai, lembah curam dan alur-alur sungai, masyarakat masih mempertahankan keberadaan tanaman kemiri. Apalagi untuk beberapa responden menyebutkan bahwa mereka masih mau menanami tanaman kemiri pada lahan milik mereka khususnya pada lahan miring karena tidak bisa dikelola menjadi tanaman pertanian. Jika masyarakat beralih menanam tanaman lain pada lahan miliknya yang miring, maka akan membutuhkan biaya yang besar. Suripin (2004) menyebutkan untuk kondisi lapangan yang curam dan terjal dan untuk menjamin produktivitas lahan sebaiknya menerapkan kaidah konservasi tanah dengan cara pengolahan tanah menurut kontur, guludan, teras dan lain-lain sesuai dengan kondisi lapangan. Dengan menerapkan kaidah konservasi pada lahan miring, maka masyarakat dapat memperoleh penghasilan dan bermanfaat bagi lingkungan. Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem dari aspek ekologi masuk pada kategori berkelanjutan dengan catatan yaitu harus ada pembenahan dan perbaikan dalam pengelolaan agar pengelolaannya sampai pada tahap berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari
81 hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan yang belum sepenuhnya dilakukan kearah pengelolaan yang keberlajutan seperti belum adanya upaya penanganan hama dan penyakit yang berdampak pada menurunnya produktivitas, luas tanaman kemiri yang terus menurun yang berdampak pada jaminan penutupan lahan khususnya pada lahan miring, belum adanya kegiatan yang aktif dalam konservasi tanah seperti penanaman pada lahan miring dan lain-lain. Adanya gangguan hama dan penyakit menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman kemiri belum intensif dan adanya bencana banjir bandang akibat dari perubahan penggunaan lahan pada lahan miring menunjukkan terjadinya pola penggunaan lahan yang tidak tepat pada lahan-lahan miring. Jika pengelolaan tanaman kemiri rakyat berkelanjutan, maka peran tanaman kemiri dari aspek ekologi (lingkungan) akan tercapai seperti menyimpan keanekaragaman hayati, habitat satwa, mempertahankan kesuburan tanah, menjaga kestabilan suhu tanah dan organisme penghuninya, mengurangi karbon dioksida, mengurangi pemanasan global dan penahan erosi (Haryadi 2006). 5.3.2 Aspek Ekonomi Hasil penilaian setiap indikator yang diperoleh dari aspek ekonomi adalah yang bernilai Baik sebanyak 3 (37,5%); yang bernilai Cukup sebanyak 3 (37,5%); dan yang bernilai Jelek sebanyak 2 (25%). Penjelasan setiap indikator adalah sebagai berikut:
Tabel 27 Hasil penilaian aspek ekonomi pada pengelolaan tanaman kemiri No 1 2 3 4 5 6 7 8
Indikator Sumber modal Peningkatan pendapatan Kelayakan usaha Penyerapan tenaga kerja Kesejahteraan penduduk Kepastian potensi produksi di panen (buah) Keuntungan usaha Akses pasar
Penilaian J C B B J C C B
Keterangan
Keterangan : B= Baik, C= Cukup, J= Jelek
1
Sumber modal Sumber modal untuk berbudidaya tanaman kemiri berasal dari pemilik
lahan. Sumber modal dalam tanaman keras belum dapat diajukan ke bank dalam
82 bentuk kredit karena tingkat pengembalian modal yang cukup lama. Bank hanya mengeluarkan dana pinjaman seperti untuk kegiatan usaha pertanian dan peternakan. Diniyati et al. (2008) menyebutkan bahwa bank dan koperasi dapat berpengaruh dalam perkembangan hutan rakyat. Sementara Mosher dalam Soekartawi (2002) menyebutkan bahwa salah satu unsur kelembagaan yang dapat digunakan untuk mengetahui sejauhmana pembangunan pedesaan sudah berkembang adalah adanya perkreditan yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan rakyat dalam mengadakan faktor produksi. Jika hal di atas dihubungkan dengan pinjaman yang mudah pada jenis usaha pertanian, tentu mendukung kegiatan pengembangan usaha tanaman pertanian, tetapi tidak untuk tanaman keras (kayu-kayuan) yang menghasilkan agak lambat. Nugroho (2010) lembaga keuangan seperti bank masih enggan untuk mendanai pengusahaan hutan rakyat berdasarkan sifat manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat dihasilkan dari pengusahaan hutan rakyat. Tidak adanya akses untuk mendapatkan kredit dari bank dalam pengusahaan kemiri, menyebabkan penanaman kemiri hanya dilakukan berdasarkan pengalaman dengan modal lahan yang tersedia, tenaga kerja dari keluarga dan pengadaan bibit diperoleh dari bibit tanaman kemiri yang tumbuh di lahan-lahan sekitar, sehingga usaha pengembangan tanaman kemiri sebagai tanaman yang dapat bermanfaat dari aspek ekologi dan ekonomi kurang berkembang. 2
Peningkatan pendapatan Untuk mendapatkan peningkatan pendapatan, maka suatu jenis kegiatan
haruslah mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya. Tanaman kemiri merupakan salah satu sumber pendapatan keluarga bagi pemiliknya. Petani kemiri tidak hanya menanam kemiri saja, tetapi juga menanam tanaman lain seperti jagung dan cokelat. Sumber penghasilan masyarakat selain dari tanaman pertanian adalah dari gaji, berdagang, supir, tukang dan lain-lain. Jika pendapatan dari kemiri dibandingkan dengan pendapatan total per tahun, maka pendapatan yang diperoleh petani dari tanaman kemiri adalah sekitar 35,79% terhadap pendapatan total (Lampiran 5). Sementara penelitian lainnya menyebutkan bahwa kontribusi pendapatan petani dari kemiri terhadap pendapatan total per bulan di Kecamatan
83 Kuta Buluh, Tiga Binanga, Lau Balang dan Mardinding (Kabupaten Karo) adalah antara 10,34% sampai 39,43% (Hutasoit 2008). Jika hasil pendapatan dari HHBK kemiri di atas dibandingkan dengan hasil pendapatan dari kayu hutan rakyat, maka pendapatan ini masih lebih besar dari hasil kayu karena kontribusi hasil hutan rakyat kayu masih lebih kecil dari HHBK seperti getah damar dan kemenyan (Hardjanto 2000; Hardjanto 2001; Wijayanto 2001; Nurrochmat 2001; Darusman dan Hardjanto 2006; Sitompul 2011). Hal ini terjadi karena pendapatan dari HHBK dapat diperoleh petani hampir sepanjang tahun pada saat usia tanaman masih produktif sedangkan dari hasil dari kayu hanya dapat dirasakan pada saat masa penjarang ataupun pada masa panen akhir. Pendapatan dari HHBK akan berfluktuasi sepanjang tahun tergantung dari besar kecilnya produksi HHBK yang diperoleh sedangkan pendapatan dari hasil kayu yang sangat besar akan diperoleh pada saat akhir panen. Data di atas menunjukkan bahwa tanaman kemiri berperan sebagai sumber penghasilan petani dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan primer dan sekunder (Sumodiningrat 1999). Peran pendapatan dari tanaman kemiri terhadap petani yang cukup besar disebabkan karena responden yang diwawancarai umumnya adalah responden yang memang menggantungkan hidupnya dari hasil tanaman kemiri. Hal ini juga dipengaruhi karena kondisi harga kemiri yang meningkat secara tajam. Menurut informasi, harga kemiri tahun 2005-2008 berkisar antara Rp6.000-Rp7.000/kg, pada tahun 2009 sampai awal 2010 berkisar antara Rp8.000-Rp9.000/kg, pada tahun 2010 berkisar Rp20.000-23.000/kg. Pada saat penelitian dilakukan, harga kemiri antara Rp22.000-25.200/kg. Tentu peningkatan harga kemiri ini akan mempengaruhi peningkatan pendapatan masyarakat secara umum. 3
Kelayakan usaha Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha tanaman
kemiri. Analisis dilakukan dengan menggunakan aliran biaya dan pendapatan yang terdiskonto (discounted cash flow analysis). Jangka waktu analisis dimulai sejak tahuk pertama sampai tahun ke-50 dengan asumsi bahwa produksi buah masih dapat diperoleh sampai umur 50 tahun.
Asumsi lain yang digunakan
adalah bahwa kondis lahan adalah subur, jarak tanam 8m x 8m dengan perkiraan
84 produksi buah pertahun berdasarkan Deptan (2006a) dan Paimin (1994). Tingkat suku bunga yang digunakan adalah 24% yaitu besaran kisaran tingkat suku bunga yang berlaku di lokasi penelitian. Tabel 28 Analisis kelayakan usaha tanaman kemiri untuk luas 1 ha No Kondisi Kriteria Kriteria Hasil Kesimpulan investasi layak perhitungan 1 Lahan milik NPV (Rp) NPV>0 130.123.463 Layak IRR (%) IRR>DR 79,66 BCR BCR>1 7,61 2 Lahan sewa NPV (Rp) NPV>0 124.981.450 Layak IRR (%) IRR>DR 78,99 BCR BCR>1 6,04 3 Lahan dibeli NPV (Rp) NPV>0 13.852.311 Layak IRR (%) IRR>DR 25,75 BCR BCR>1 1,10 Perhitungan biaya, pendapatan, NPV, BCR dan IRR dapat dilihat pada Lampiran 6. Analisis NPV, BCR dan IRR dilakukan pada tiga kondisi yaitu lahan milik, lahan sewa dan lahan yang dibeli. Suatu kegiatan atau usaha disebut layak jika jumlah seluruh manfaat yang diterimanya melebihi biaya yang dikeluarkan, yang disebut dengan manfaat bersih. Suatu kegiatan dinyatakan layak bila NPV lebih besar dari 0 (NPV>0) yang artinya usaha menguntungkan atau memberikan manfaat. Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa hasil perhitungan NPV pada lahan milik, lahan sewa dan lahan dibeli adalah lebih besar dari 0, sehingga usaha kemiri dapat memberikan keuntungan kepada yang mengusahakannya. Nilai BCR digunakan untuk mengetahui pengaruh adanya tambahan biaya terhadap tambahan manfaat yang diterima. Suatu kegiatan dinyatakan layak bila BCR lebih besar dari 1 (BCR>1) yang artinya bahwa usaha layak untuk dijalankan. Nilai BCR pada lahan milik adalah 7,61, artinya bahwa investasi satu rupiah akan memberikan tambahan pendapatan sebesar 7,61 rupiah, demikian halnya pada lahan sewa dan lahan yang dibeli. Dari hasil nilai BCR di atas, dapat diketahui bahwa usaha menanam kemiri layak dilakukan. Nilai IRR digunakan untuk mengetahui tingkat pengembalian usaha terhadap investasi yang ditanamkan. IRR adalah tingkat discount rate (DR) yang menghasilkan NPV sama dengan 0. Suatu usaha disebut layak apabila IRR-nya
85 lebih besar dari opportunity cost of capital-nya (DR). Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa nilai IRR pada lahan milik, lahan sewa dan lahan yang dibeli, masingmasing berada di atas tingkat suku bunga awal perhitungan (DR) sebesar 24%. Hasil analisis kelayakan usaha tanaman kemiri dari nilai NPV, BCR dan IRR menunjukkan bahwa kegiatan penanaman kemiri layak untuk dikembangkan, baik pada lahan milik, lahan sewa maupun lahan yang dibeli. Tetapi untuk lahan yang dibeli, tingkat keuntungan yang akan diperoleh hanya sedikit. Hal ini dilatarbelakangi oleh harga tanah yang sangat tinggi yaitu sekitar 144.000.000/ha. Untuk investasi kemiri sebaiknya dilakukan pada lahan sewa dan lahan milik. Hasil penelitian tanaman kemiri yang ada di Kabupaten Maros oleh Yusran (1999) menunjukkan bahwa nilai NPV sebesar Rp6.392.526, BCR > 3,59 dan IRR sebesar 53,51% pada tingkat suku bunga 19%, dan disebutkan bahwa pengusahaan tanaman kemiri juga layak untuk diusahakan. Untuk kegiatan tanaman rakyat lain yang tergolong HHBK juga menunjukkan layak untuk dikembangkan seperti kemenyan karena nilai NPV sebesar Rp17.226.420, BCR sebesar 2,37 dan IRR sebesar 22,6% pada lahan sewa dan nilai NPV sebesar Rp24.902.670, BCR > 2,85 dan IRR sebesar 28,8% pada lahan yang tidak disewa pada tingkat suku bunga 13% (Sitompul 2011). 4
Penyerapan tenaga kerja Aktivitas pengelolaan kemiri cukup menyerap tenaga kerja baik dari
lingkungan keluarga petani dan dari luar anggota keluarga petani. Terdapat 33 responden (52,38%) yang menyebutkan bahwa aktivitas pengelolaan kemiri menyerap tenaga kerja dari lingkungan keluarga petani itu sendiri sedangkan 30 responden (47,62%) menyebutkan selain menyerap tenaga kerja dari lingkungan keluarga petani juga menyerap tenaga kerja dari luar anggota keluarga. Aktivitas penanaman kemiri sangat menyerap tenaga kerja bagi anggota keluarga pemilik lahan seperti pembersihan tumbuhan bawah, pengumpulan buah dan pengupasan. Tentu hal ini tidak jadi masalah bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga usia produktif. Lain halnya dengan petani yang sudah kurang produktif. Jumlah responden yang memiliki tanaman kemiri yang sudah berumur di atas usia produktif (di atas 60 tahun) sebanyak 15 orang (23,81%). Responden ini tidak dapat melakukan kegiatan pertanian yang aktif karena berhubungan
86 dengan kekuatan fisik. Sehingga pengelolaan lahan yang dimilikinya akan diserahkan kepada keluarga atau disewakan. Sementara itu, tanaman kemiri juga dimiliki oleh masyarakat yang melakukan pekerjaan lain seperti berdagang, tukang dan PNS, dimana mereka ini tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk mengelolanya. Bagi keluarga pemilik lahan yang memiliki pekerjaan pokok di luar bertani, maka untuk kegiatan tertentu seperti mengumpulkan buah dan membabat atau membersihkan tumbuhan bawah akan mempekerjakan orang lain baik dari anggota keluarga terdekat, tetangga maupun penduduk sekampung. Hal ini menunjukkan bahwa penanaman kemiri menyerap tenaga kerja dari lingkungan anggota keluarga dan di luar anggota keluarga. Untuk mempekerjakan orang lain, tidak dilakukan dengan sistem gajian tetapi dibayar dengan cara “sistem dibelahkan”. Seseorang yang memiliki tanaman kemiri, tetapi tidak punya waktu untuk mengumpulkan kemirinya, maka dia akan mempekerjakan orang lain dan orang tersebut akan dibayar dengan menyerahkan setengah hasil kemiri yang dikumpulkannya. Sedangkan kegiatan membabat atau mematikan tanaman bawah dengan round-up dilakukan dengan pembayaran upah kerja per hari. Darusman dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat yang dikelola secara intensif maupun sambilan mampu menyerap tenaga kerja di desa. Hal ini juga berlaku untuk kegiatan hutan rakyat pada jenis HHBK. Kegiatan lain yang menyerap tenaga kerja dalam usaha tanaman kemiri selain dalam hal pengelolaan adalah kegiatan pengupasan kemiri yang dilakukan oleh masyarakat baik yang memiliki tanaman kemiri maupun yang tidak memiliki tanaman kemiri. Beberapa masyarakat menjual kemiri dengan kulitnya langsung. Tetapi ada juga yang lebih dahulu mengupasnya. Kemiri yang dijual dengan dikupas akan lebih mahal. Untuk masyarakat yang tidak memiliki lahan dan tidak memiliki pekerjaan, akan mencari nafkah dengan cara membeli kemiri berkulit lalu mengupasnya. Wibowo (2007) menyebutkan bahwa kegiatan penanaman kemiri mampu menumbuhkan usaha jasa pengusapan kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan penanaman kemiri bersifat sebagai efek pengganda (multiflier
87 effect) dimana mampu meningkatkan pendapatan bagi petaninya, meningkatkan lapangan kerja dan bermanfaat dalam menjaga lingkungan. 5
Kesejahteraan penduduk Kesejahteraan dalam lingkup masyarakat sangat tergantung pada tingkat
kesejahteraan keluarga-keluarga yang ada pada suatu tempat. Tingkat kesejahteraan menurut BKKBN tahun 1999 adalah suatu tingkatan yang menyatakan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara keluarga, masyarakat dan lingkungan. Pengukuran kesejahteraan keluarga dibagi menjadi 5 kelompok seperti pada kriteria BPS sedangkan analisis kesejahteraan penduduk dalam penelitian ini, dikelompokkan menjadi 3 bagian seperti pada Tabel 29. Pada tabel dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk di lokasi penelitian pada tahun 2008 dan 2009 berada pada kriteria pra sejahtera sampai sejahtera II. Pada tahun 2009, terjadi peningkatan jumlah penduduk tidak sejahtera dan terjadi penurunan jumlah penduduk pada kriteria cukup sejahtera jika dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kesejahteraan penduduk walaupun sangat kecil. Peran tanaman kemiri dalam meningkatkan kesejahteraan petani adalah melalui pendapatan yang diperoleh dari hasil kemiri yang berperan dalam memenuhi kebutuhan hidup petani terutama kebutuhan sehari-hari. Apabila pendapatan tersebut dapat memenuhi kebutuhan lain selain kebutuhan sehari-hari, maka kesejahteraan hidup petani akan lebih baik. Tabel 29 Kodisi sebaran kesejahteraan penduduk di Desa Kutabuluh, Pamah dan Pasir Tengah tahun 2009-2010
Kriteria
Tahun 2008 Kriteria untuk analisis 663 Tidak sejahtera 415 Cukup sejahtera 307 47 Sejahtera 13
Jumlah
Jumlah
Pra sejahtera 663 Sejahtera I 722 Sejahtera II Sejahtera III 60 Sejahtera III Plus Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2009-2010)
Kriteria Pra sejahtera Sejahtera I Sejahtera II Sejahtera III Sejahtera III Plus
Tahun 2009 Kriteria untuk analisis 692 Tidak sejahtera 408 Cukup 304 sejahtera 48 Sejahtera 13
Jumlah
Jumlah 692 712 61
88 6
Potensi produksi Dalam suatu perusahaan, faktor-faktor produksi sangat menentukan besar
kecilnya produksi yang akan diperoleh. Untuk mengetahui potensi produksi tanaman kemiri, maka ada 4 faktor yang dianggap paling berperan dalam menentukan besar kecilnya hasil yang diperoleh setiap periode waktu, yaitu luas lahan, umur tanaman, jumlah tanaman yang menghasilkan serta tenaga kerja. Faktor lain yang umumnya paling berperan adalah pupuk, tetapi petani tidak melakukan pemupukan karena dengan pemupukan bisa menyebabkan kerugian sebab banyak ranting yang patah pada saat buah sudah besar. Tenaga kerja pada kegiatan usaha kemiri umumnya berasal dari kalangan keluarga sendiri. Tetapi bagi petani yang sudah memasuki usia tidak produktif dan bagi keluarga yang memiliki mata pencaharian yang lainnya, seperti PNS, tukang, supir, dagang, dan lain-lain, cenderung mempekerjakan tenaga kerja dari anggota keluarga terdekat atau masyarakat sekitarnya (Yusran 1999, 2005; Simatupang 2001; Sihotang 2007). Pekerjaan yang dilakukan antara lain membersihkan tumbuhan bawah, pengumpulan buah dan pengolahan hasil. Ketersediaan lahan merupakan hal penting dalam melakukan usaha tanaman kemiri. Keberadaan lahan tanaman kemiri yang ada di lokasi penelitian cukup luas yaitu rata-rata 2,67 ha, luas paling kecil 0,45 ha dan luas paling besar 6 ha. Luas kepemilikan lahan ini berbeda dengan rata-rata luas kepemilikan lahan yang ada di Jawa yang hanya berkisar 0,25 ha (Hardjanto 2003). Tanaman kemiri rakyat yang ada saat ini banyak terdapat pada lahan yang bertopografi curam sampai terjal dengan kemiringan 250 ke atas, pada tepi sungai, jurang dan lembah. Umur tanaman akan mempengaruhi besar kecilnya produksi per pohon. Umur tanaman kemiri akan berproduksi pada tahun ke-5 sampai tahun ke-35. Umur tanaman bisa lebih dari 50 tahun, tetapi tidak akan sampai di atas 100 tahun, hal ini terkait dengan kekuatan batang tanaman yang rendah. Tanaman kemiri dikenal sebagai tanaman yang mudah busuk, mudah roboh dan mudah terserang hama dan penyakit. Walaupun tanaman kemiri sudah melewati umur 35 tahun, kemiri akan tetap menghasilkan, tetapi hasilnya akan terus menurun seiring dengan pertambahan umurnya (Paimin 1994, Deptan 2006a).
89 Produksi kemiri per satuan luas sangat berpengaruh pada jumlah pohon yang menghasilkan dimana hal ini terkait dengan jarak tanamnya. Untuk tujuan menghasilkan buah, jarak tanaman yang paling baik adalah jarak tanam yang lebar seperti 8m x 8m (Paimin 1994) sampai 10m x 10m (Sunanto 1994; Deptan 2006a), dengan tujuan agar kemiri yang tumbuh menghasilkan tajuk yang lebar sehingga menghasilkan buah yang banyak. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kemiri yang akan diperoleh petani dipengaruhi oleh faktor jumlah tenaga kerja, luas lahan, umur tanaman, dan jumlah pohon menghasilkan. Hasil pengolahan data dengan menggunakan fungsi produksi cobb-douglas (Soekartawi 2002) adalah seperti pada Tabel 30. Tabel 30 Hasil estimasi fungsi produksi tanaman kemiri Predictor Coef Konstanta 1,252 Tenaga Kerja (X1) 0,791 Luas lahan (X2) 0,078 Umur tanaman (X3) -0,126 Jumlah pohon (X4) 0,150
P 0,000 0,000* 0,423 0,160 0,057**
Keterangan : * Signifikan pada taraf nyata 5%, ** Signifikan pada taraf nyata 10%
Untuk analisis data yang menggunakan model regressi linier berganda, maka ada empat asumsi yang harus terpenuhi, yaitu asumsi multikolinearitas, heterokedastisitas, autokorelasi dan komponen sisaan menyebar normal (normalitas). Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah sesama variabel bebas (independen) saling berhubungan atau berkorelasi. Jika model regressi baik, maka tidak terjadi korelasi di antara variabel bebasnya. Ada atau tidaknya multikolinearitas dapat diketahui dari nilai Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF tidak melebihi 10 dan nilai Tolerance tidak kurang dari 0,1 (nilai tolerance diperoleh dari 1/VIF atau 1/10), maka dapat dikatakan bahwa data terbebas dari multikolinearitas. Pada Lampiran 8 dapat dilihat bahwa tidak ada variabel yang memiliki nilai VIF yang melebihi 10 dan nilai tolerance (1/VIF) masih di atas 0,1, sehingga dapat dikatakan bahwa model regresssi linier berganda yang dihasilkan tidak ada multikolinearitas.
90 Asumsi heterokedastisitas adalah asumsi dimana varians dari residual tidak sama untuk satu pengamatan ke pengamatan yang lain atau hasil pengamatan tidak memiliki pola tertentu. Pola yang tidak sama ini ditunjukkan dengan nilai yang tidak sama antar satu varians dari residual atau disebut dengan gejala heterokedastisitas, sedangkan gejala varians dari residual yang sama dari satu pengamatan dengan pengamaan lainnya disebut dengan homokedastisitas. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala heterokedastisitas dapat dilihat dari gambar residual versus fitted value. Pada gambar grafik di Lampiran 8 terlihat bahwa residual versus fitted value memiliki sebaran data cenderung acak dan tidak membentuk
pola
tertentu
sehingga
dapat
dikatakan
bahwa
asumsi
heterokedastisitas telah dipenuhi. Uji autokorelasi digunakan untuk pengujian asumsi dimana variabel dependen (Y) tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri, artinya bahwa nilai dari variabel dependen tidak berhubungan dengan nilai variabel itu sendiri, baik nilai periode sebelumnya atau nilai periode sesudahnya. Untuk mengetahui gejala autokorelasi diketahui dari gambar observation order dengan residual, dimana hasilnya akan menunjukkan acak tidak beraturan. Pada gambar di Lampiran 8 dapat dilihat bahwa hasil pengamatan adalah acak tidak beraturan sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada gejala autokorelasi. Asumsi normalitas dapat diketahui melalui plot Normal Probability Plot. Apabila setiap pencaran data residual berada di sekitar garis lurus melintang, maka dikatakan bahwa residual mengikuti fungsi distribusi normal. Pada gambar di Lampiran 8 dapat dilihat bahwa sebaran residual berada dalam garis lurus melintang dan sebaran residual cenderung membentuk garis lurus. Hasil ini menunjukkan bahwa asumsi komponen sisaan menyebar normal atau mengikuti distribusi normal. Untuk melihat pengaruh variabel yang dianggap mempengaruhi produksi secara bersamaan, maka dilakukan uji F. Hasil uji F pada model adalah F = 99,48 > F(4,57,0,1) = 3,649 dan nilai α = 0,10 > P = 0,000, maka model yang diperoleh dapat secara bersama digunakan untuk menerangkan produksi kemiri atau faktor luas lahan, tenaga kerja, umur tanaman dan jumlah pohon menghasilkan berpengaruh secara signifikan terhadap produksi kemiri. Hasil analisis regresi
91 memperlihatkan nilai R-Sg (adj) 86,6%, artinya bahwa 86,6% produksi kemiri dapat dijelaskan oleh faktor luas lahan, faktor tenaga kerja, faktor umur tanaman dan faktor jumlah pohon menghasilkan, sedangkan sisanya sebesar 13,4% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model. Adapun persamaan regressi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: Log Y = log 1,252 + log 0,791 X1 + log 0,078 X2 – log 0,126 X3 + log 0,150 X4 Persamaan di atas perlu dikembalikan kepersamaan semula dengan cara meng-anti-log-kan persamaan yang sudah diperoleh, dan hasilnya adalah Y = 0,097 X1 0,791 X2 0,078 X3-0,126 X40,150 Pada persamaan dapat dilihat bahwa koefisien b1, b2 dan b4 adalah positif, maka peningkatkan tenaga kerja, luas lahan dan jumlah pohon menghasilkan cenderung meningkatkan produksi kemiri. Sedangkan nilai koefisien b3 adalah negatif, maka peningkatkan umur tanaman akan mengurangi produksi kemiri. Bila ditinjau dari nilai P, maka tenaga kerja dan jumlah pohon signifikan pada taraf nyata 10%, sedangkan luas lahan dan umur tanaman masing-masing tidak signifikan. Pada faktor tenaga kerja, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan jumlah tenaga kerja akan diikuti peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh bahwa faktor tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan nilai koefisien 0,791. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri cukup respon terhadap penggunaan tenaga kerja, apabila dilakukan penambahan tenaga kerja sebanyak 10% akan diikuti dengan kenaikan produksi kemiri sebesar 7,91%, ceteris paribus. Untuk pengelolaan kemiri, tenaga kerja diperlukan dalam kegiatan pembersihan lahan, pengumpulan buah, penjemuran dan pengupasan kemiri. Sehingga tenaga kerja sangat berperan dalam menghasilkan dan meningkatkan produksi kemiri masyarakat. Pada faktor luas lahan, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan luas lahan akan diikuti peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh bahwa faktor luas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan
92 nilai koefisien 0,078. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri tidak respon terhadap luas lahan atau tidak signifikan dalam mempengaruhi produksi kemiri. Besar kecilnya luas lahan, pada dasarnya akan memberikan pengaruh pada produksi kemiri yang akan diperoleh. Tetapi pada hasil analisis ini, luas lahan tidak berpengaruh dalam meningkatkan produksi kemiri. Hal ini dapat dihubungkan dengan jumlah tanaman pada suatu lahan. Jarak tanam kemiri rakyat adalah berbeda-beda, maka jumlah tanaman pada setiap lahan yang dimiliki oleh petani juga berbeda-beda. Pada pemilik tertentu, mungkin lahan yang dimilikinya luas dan jumlah tanamannya sangat banyak, tetapi pada pemilik lahan lainnya, lahannya mungkin luas tetapi jumlah tanamannya sangat sedikit. Sehingga, faktor luas lahan kurang berpengaruh dalam meningkatkan produksi kemiri, tetapi luas lahan mungkin akan berpengaruh jika setiap contoh yang diperoleh menggunakan pola jarak tanam yang sama sehingga pada luasan yang sama jumlah tanaman yang ada juga sama. Pada faktor umur tanaman, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan bernilai negatif, artinya jika terjadi penambahan umur tanaman maka akan diikuti dengan penurunan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh bahwa faktor umur tanaman tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan nilai koefisien 0,126. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri tidak respon terhadap umur tanaman atau tidak signifikan dalam mempengaruhi produksi kemiri. Walaupun umur tanaman tidak signifikan dalam mempengaruhi produksi kemiri, tetapi nilai keofisien yang negatif menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan produksi kemiri seiring dengan penambahan umur tanaman. Penurunan produksi kemiri pada model sangat dipengaruhi oleh pertambahan umur tanaman, semakin tinggi umur tanaman apalagi jika sudah melewati umur produktif, maka hasil yang diperoleh juga akan menurun. Umur rata-rata tanaman kemiri pada sampel adalah 37,37 tahun. Paimin (1994) menyebutkan bahwa produksi tanaman kemiri akan meningkat dari tahun ke-6 sampai umur 35 tahun. Sementara jika umur tanaman lewat 35 tahun, maka produksi kemiri pelahanlahan akan menurun dan pada saat tertentu akhirnya tidak produktif lagi. Jika mengikuti kondisi di atas, luas lahan yang produktif adalah 83 ha dengan produksi rata-rata 670,92 kg/ha. Sedangkan luas lahan di atas 35 tahun
93 adalah 84,95 ha dengan rata-rata produksi sudah dalam kondisi menurun yaitu 497,75 kg/ha. Perbedaan produksi rata-rata pada usia di bawah 35 tahun dengan rata-rata produksi di atas 35 tahun adalah 173,16 kg/ha. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri yang dihasilkan akan menurun karena dipengaruhi oleh umur tanaman yang sudah melewati batas produktif. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kondisi kesehatan tanaman, kondisi kesuburan lahan dan tingkat keintensifan dalam mengelola lahan dan memelihara tanaman. Untuk meningkatkan produksi kemiri, maka sebaiknya dilakukan peremajaan tanaman pada tanaman yang sudah berumur tua khususnya tanaman yang sudah melewati umur produktif di atas 35 tahun. Pada faktor jumlah pohon, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan jumlah pohon, maka akan diikuti peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh bahwa faktor jumlah pohon berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan nilai koefisien 0,15. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri cukup respon terhadap jumlah pohon. Apabila terjadi penambahan pohon sebanyak 10%, akan diikuti dengan kenaikan produksi kemiri sebesar 1,5%, ceteris paribus. Sebenarnya, kondisi ini bisa diterima atau bisa juga tidak, karena produksi kemiri akan dipengaruhi oleh jarak tanam. Jika tujuan penanaman kemiri adalah untuk menghasilkan buah maka jarak tanam sebaiknya 10m x 10m (Deptan 2006a; Sunanto 1994), 8m x 8m atau 8m x 10m (Paimin 1994). Sedangkan bila tujuan penanaman adalah untuk menghasilkan kayu maka jarak tanamnya adalah 4m x 4m (Paimin 1994; Sunanto 1994). Jumlah pohon yang ada pada satuan luas lahan sangat tergantung pada jarak tanam yang digunakan oleh petani. Rata-rata jumlah pohon per satuan luas pada lokasi penelitian adalah 115 pohon/ha. Jika luas lahan 1 ha, maka jarak tanam yang mendekati jumlah pohon di atas adalah 8m x 10m atau 10m x 10m. Jika kondisi di lapangan dibandingkan dengan jarak tanam yang dianjurkan untuk tujuan menghasilkan buah (Paimin 1994; Sunanto 1994; Deptan 2006a), maka kondisi jumlah pohon kemiri di lapangan sudah sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan buah yaitu sekitar 100 pohon/ha untuk jarak tanam 10m x 10m dan 125 pohon untuk jarak tanam 8m x 10m. Sementara itu, rata-rata jumlah pohon
94 menghasilkan sampai umur 35 tahun adalah 123 pohon/ha dan rata-rata jumlah pohon menghasilkan pada usia di atas 35 tahun (produksi mulai menurun) adalah 107 pohon/ha. Penurunan ini terjadi karena banyak pohon yang mati. Tabel 30 menunjukkan bahwa jumlah koefisien regressi fungsi produksi tanaman kemiri sebesar 0,893. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri berlangsung pada tahapan ”decreasing retun to scale”, yaitu penambahan jumlah seluruh faktor produksi secara bersamaan akan memberikan penambahan proporsi hasil produksi yang lebih kecil. Artinya, bahwa setiap penambahan faktor produksi secara bersamaan sebanyak 100% maka akan terjadi penambahan hasil atau produksi kemiri sebesar 89,3%. Simatupang (2001) pernah melakukan penelitian tentang faktor yang mempengaruhi produksi kemiri pada tahun 2000 dengan sampel yang berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor luas lahan dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri sedangkan faktor umur tanaman dan jumlah pohon tidak berpengaruh nyata. Sementara penjumlahan koefisien regressi yang di peroleh berada pada tahap ”increasing retun to scale” sebesar 1,002, maka penambahan jumlah seluruh faktor produksi secara bersamaan akan memberikan penambahan proporsi hasil produksi yang lebih besar. Artinya, bahwa setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama 100% (variabel luas lahan, umur tanaman, tenaga kerja dan jumlah tanaman) akan meningkatkan produksi sebesar 100,2%. Sihotang (2007) juga pernah melakukan penelitian tentang faktor yang mempengaruhi produksi getah kemenyan. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor umur tanaman, jumlah pohon dan tenaga kerja signifikan dalam mempengaruhi produksi getah kemenyan sedangkan faktor luas lahan tidak signifikan. Dari hasil ketiga penelitian ini menunjukkan bahwa setiap faktor memberikan nilai dan pengaruh yang berbeda-beda. Faktor tenaga kerja adalah faktor yang memberikan pengaruh signifikan dalam meningkatkan produksi kemiri dan kemenyan, hal ini terkait dengan proses pengelolaan lahan dan proses lanjutan sampai hasil dapat dijual. Sementara faktor umur tanaman menghasilkan koefisien regressi yang bernilai negatif, hal ini menunjukkan bahwa umur tanaman yang diteliti sudah memasuki umur tidak produktif sehingga
95 penambahan umur tanaman akan cenderung memberikan hasil yang makin sedikit. 7
Keuntungan usaha Untuk mengembangkan suatu kegiatan budidaya tanaman keras, maka perlu
diketahui tingkat keuntungan yang diperoleh per periode waktu tertentu untuk satuan luas tertentu. Setelah melakukan perhitungan maka diketahui bahwa ratarata
pendapatan
yang
diperoleh
petani
dari
tanaman
kemiri
adalah
Rp8.544.924/ha/tahun. Sementara rata-rata pengeluarannya per tahun sekitar Rp1.197.757/ha/tahun.
Adapun
keuntungan
yang
diperoleh
adalah
Rp7.347.167/ha/tahun. Biaya yang kecil disebabkan karena tidak ada petani yang melakukan pemupukan terhadap tanaman kemiri. Biaya yang keluar hanya untuk membeli racun rumput (round-up), biaya membabat, biaya sewa, biaya tenaga kerja panen, menjemur dan mengupas kemiri. Hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan, bahwa sebenarnya menanam kemiri tidak selalu untung. Hasil perhitungan pada Lampiran 5 menunjukkan keuntungan yang cukup besar karena posisi harga jual yang cukup tinggi. Sedangkan kalau harga sangat kecil yaitu sekitar Rp8.000 sampai Rp9.000, maka tingkat keuntungan yang diperoleh pasti lebih kecil dan bahkan mungkin akan menyebabkan kerugian bagi petani bila kegiatan pengusahaan yang dilakukan petani termasuk ongkos biaya pengeluaran dengan harga 1 HOK adalah Rp50.000,Kenaikan harga jual kemiri yang terjadi dua tahun terakhir telah menumbuhkan kembali niat petani untuk mengusahakan kemiri miliknya yang sudah lama ditinggalkan. Ada beberapa petani yang memiliki niatnya untuk menjual kemiri tetapi pada akhirnya mengurungkan niatnya karena harga yang tinggi dan luas lahan kemiri miliknya sangat luas. 8
Akses pasar Salah satu syarat yang diperlukan agar suatu produk yang dihasilkan disebut
berhasil apabila didukung oleh pemasarannya. Petani kemiri di Kecamatan Tanah Pinem tidak ada menemui kesulitan dalam pemasaran kemiri, karena selain masyarakat dapat menjual kemiri di pasar lokal, mereka juga dapat menjual kemiri di rumah. Harga di rumah dengan harga di pasar adalah sama. Karena tidak perlu mengeluarkan biaya dalam menjual kemiri, maka masyarakat
96 umumnya menunggu pembeli datang ke rumah-rumah. Rata-rata setiap desa ada pengumpul sehingga dalam hal pemasaran buah kemiri tidak ada masalah. Kemiri dijual dalam bentuk berkulit dan sudah dikupas. Kemiri berkulit dijual oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup mendesak seperti beras. Kemiri berkulit dibeli masyarakat yang usahanya adalah mengupas kemiri. Penjualan dalam bentuk kemiri kupas lebih banyak dilakukan masyarakat karena lebih tinggi harga jualnya. Pendapatan masyarakat selain dari biji kupas (kernel) juga dari kulit cangkang. Saluran pemasaran kemiri masyarakat adalah produsen, pedagang pengumpul desa/kecamatan, pedagang pengumpul besar (propinsi), pedagang antar pulau dan konsumen. Sampai tahun 2005, kemiri rakyat dari Kecamatan Tanah Pinem dapat memasuki pasar ekspor tetapi setelah tahun 2005 tidak ada lagi ekspor. Kemiri rakyat yang ada saat ini adalah untuk memenuhi kebutuhan lokal dan daerah.
Gambar 15 Pemasaran buah kemiri kupas di pasar lokal.
Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem dari aspek ekonomi masuk pada kategori berkelanjutan dengan catatan. Pada dasarnya penanaman kemiri pada lahan milik masyarakat dapat memberikan keuntungan pada petani, khususnya petani pemilik lahan pada lahan-lahan miring. Tanaman kemiri juga bisa berperan menjadi sumber pendapatan petani karena dapat memberikan tambahan pendapatan yang berperan dalam memenuhi kebutuhan sandang dan pangan masyarakat. Untuk investasi kemiri, hasil penilaian NPV, BCR dan IRR pada lahan milik dan lahan sewa menunjukkan bahwa usaha tanaman kemiri layak dilakukan. Aspek pemasaran
97 hasil bukanlah masalah untuk mengelola kemiri karena pemasaran hasil sangat mudah dan menguntungkan bagi petani. Agar tanaman kemiri memberikan keuntungan yang berkelanjutan kepada masyarakat, maka produksi yang diperoleh harus terjamin dan disertai dengan harga yang lebih baik. Produksi buah umumnya sudah menurun karena umur tanaman kemiri sudah memasuki kategori tidak produktif dan kondisi kesehatan tanaman sehingga keterjaminan hasil tidak menentu. Pengaruh harga saat penelitian telah mendorong masyarakat kembali melirik untuk mengelola lahan kemiri yang masih dimilikinya. Tetapi usaha ini terhambat oleh faktor modal yang sulit diperoleh dari lembaga keuangan. Sementara masyarakat umumnya hanya memiliki modal yang terbatas sehingga dalam pengelolaannyapun tidak memperhatikan teknik silvikultur yang baik yang berdampak pada produktivitas hasil yang sedikit.
5.3.3 Aspek Sosial
Hasil penilaian setiap indikator yang diperoleh dari aspek sosial adalah yang bernilai Baik sebanyak 4 (40%); yang bernilai Cukup sebanyak 5 (50%); dan yang bernilai Jelek sebanyak 1 (10%). Adapun penjelasan setiap indikator adalah sebagai berikut: Tabel 31 Hasil penilaian aspek sosial pada pengelolaan tanaman kemiri No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Indikator Partisipasi masyarakat Peraturan pemanfaatan sumberdaya alam Akses terhadap pelayanan pendukung Pengangguran Kemiskinan Migrasi Akomodasi perubahan Status lahan Kejelasan batas lahan Hubungan sosial
Penilaian C C C B B J C B B C
Keterangan
Keterangan : B= Baik, C= Cukup, J= Jelek
1
Partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat yang dimaksud di sini adalah kemauan masyarakat
menanam kemiri pada lahan miliknya dan masih mempertahankannya sampai saat ini, serta ada peran aktif masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaannya.
98 Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan kehutanan adalah partisipasi atau keikutsertaan masyarakat. Dari hasil survei diketahui bahwa partisipasi masyarakat untuk menanam kemiri sudah menurun, hal ini ditunjukkan dengan keberadaan luas tanaman kemiri setiap tahunnya cenderung menurun (Gambar 3). Penyebabnya adalah masyarakat lebih tertarik menanam tanaman berumur pendek karena dapat memberikan penghasilan yang lebih besar dan lebih cepat, adanya perubahan musim berbuah (tidak sepanjang tahun lagi), adanya penyakit gugur buah, hawar daun dan serangan ulat, produksi buah yang cenderung menurun dan harga kemiri yang murah. Wibowo (2007) juga menyampaikan hal yang sama bahwa penurunan luas tanaman kemiri yang ada di Kecamatan Tiga Binanga disebabkan karena petani kemiri tidak merasakan keuntungan dari usaha kemiri sehingga mengkonversinya menjadi usaha pertanian lain yang lebih menguntungkan. Tanaman kemiri yang masih ada, tumbuh dan berkembang saat ini adalah tanaman kemiri yang ada pada lahan-lahan miring, pinggir-pinggir sungai dan lembah-lembah yang cukup sulit untuk dikelola bila diganti menjadi tanaman lainnya. Masyarakat yang masih mau menanam kemiri adalah masyarakat yang memiliki lahan yang sulit dikelola pada lahan curam dan terjal, karena lebih sesuai ditanam pada kondisi lapangan tersebut dan telah menjadi sumber penghasilan selama bertahun-tahun. Wawancara dengan masyarakat dan penyuluh menyebutkan bahwa petani masih mau menanam kemiri karena merasakan bahwa tanaman kemiri masih memberikan hasil yang lumayan, dapat menjadi tabungan masa depan dan karena hanya kemiri yang sesuai tumbuh pada lahannya. Kemauan menanam dan mempertahankan tanaman kemiri untuk beberapa masyarakat juga dilatarbelakangi oleh faktor harga yang membaik. 2
Peraturan masyarakat Peraturan masyarakat
adalah peraturan-peraturan
yang ada dalam
lingkungan masyarakat (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang mengatur pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya alam, dimana peraturan ini juga berlaku dalam kelompok masyarakat untuk pengelolaan tanaman kemiri. Peraturan-peraturan dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam lingkungan masyarakat adalah dalam hal pelarangan penebangan pohon di kawasan sumber
99 mata air dan larangan penebangan pohon pada kawasan hutan yang dikeramatkan. Hal ini tentu berperan dalam menjaga keberadaan hutan agar tidak dirusak. Peraturan larangan yang sama juga terdapat pada masyarakat Kasepuhan di Banten (Suharjito dan Saputro 2008). Peraturan lainnya adalah adanya sanksi yang dikenakan kepada seseorang jika terbukti bersalah dengan melakukan kesalahan seperti mencuri hasil-hasil pertanian. Jika terbukti melakukan pencurian hasil-hasil pertanian (termasuk kemiri), maka akan dikenakan sanksi tegas sesuai dengan kesepakatan yang sudah disepakati sebelumnya. Seperti di Pamah, dikenakan sanksi membayar denda seharga 1 mayam emas. Hal ini juga berlaku di Desa Pasir Tengah, tetapi sudah mulai lemah, karena bila ada terjadi pencurian, sanksi yang diterima sudah berubah dan biasanya sudah ada komunikasi dalam menuju perdamaian. Pada perkembangan saat ini, bila ada permasalahan dalam lingkungan masyarakat, maka akan dibawa dalam lembaga adat dan lembaga desa untuk mencari solusi yang terbaik dalam mengatasinya. Rahayu dan Awang (2003) menyebutkan bahwa keuntungan finansial yang masyarakat Desa Pecekelan rasakan dari hutan rakyat telah mendorong terbentuknya suatu peraturan desa yang mengatur tentang pencurian kayu dan pakan ternak atau hasil lainnya dari hutan rakyat. Sanksi yang diberikan biasanya berupa denda yang besarnya diatur berdasarkan keputusan bersama antara yang punya hutan dengan pencuri dan perangkat desa yang berwenang. Keberadaan suatu sumber daya alam yang memberikan manfaat kepada masyarakat akan mendorong timbulnya peraturan-peraturan yang akan menjaga hak-hak dari masyarakat dari suatu tindakan-tindakan yang merugikan pemilik sumber daya seperti hasil tanaman kemiri di Desa Pasir Tengah dan Desa Pamah dan hasil hutan rakyat di Desa Pecekelan. 3
Akses terhadap pelayanan pendukung
Pengelolaan kemiri masyarakat akan berkembang bila didukung oleh akses yang mendukung seperti penyuluhan, kredit dan teknologi. Untuk bidang penyuluhan cukup berkembang karena adanya penyuluhan bidang pertanian dan berjalan secara rutin tetapi untuk bidang tanaman kehutanan tidak ada. Akses pada bidang kredit juga berkembang tetapi lebih cenderung untuk tanaman
100 pertanian dan peternakan (Mosher dalam Soekartawi 2002). Sementara akses tekhnologi juga cenderung untuk bidang pertanian. Akses yang mendukung pengembangan penanaman tanaman kemiri hampir tidak ada karena kemiri belum menjadi tanaman yang diinginkan saat ini oleh beberapa masyarakat, bukan merupakan jenis tanaman yang dapat mengembalikan modal dalam waktu singkat dan teknologi pemanfaatan hasil yang belum ada, seperti pengupasan kemiri masih dilakukan manual. 4
Pengangguran
Purnomo (2006) menyebutkan bahwa bidang kehutanan dapat menciptakan lapangan kerja melalui aktivitas pembalakan di hutan, industri, pengolahan kayu, program reforestasi hutan, hutan kemasyarakatan dan lain-lain. Pengelolaan hutan skala kecil mampu menyerap tenaga kerja dan dengan nilai tambah yang lebih besar dari pengusahaan jenis tanaman lain di sela-sela jenis tanaman utamanya. Lapangan kerja yang banyak terserap dan uang hasil usaha yang beredar akan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat. Nugroho (2010) menyebutkan pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh tenaga kerja rumah tangga yang berperan sebagai buruh dan sekaligus manajer. Skala usaha hutan rakyat umumnya kecil dan bersifar padat karya (labour intensive) sehingga mampu menyerap tenaga kerja pedesaan dalam jumlah besar. Pencipataan lapangan kerja bidang hutan rakyat terjadi, seperti kegiatan penebangan, pengangkutan dan industri-industri kayu rakyat. Hal ini juga terjadi pada pengusahaan kemiri yang dilakukan di Kecamatan Tanah Pinem, yaitu dengan munculnya usaha-usaha pengupasan kemiri di rumah-rumah penduduk dan bagi keluarga yang tidak memiliki lahan. Padat karya terjadi pada petani dengan pola tanaman yang beraneka ragam seperti agroforestry. Anggota keluarga yang diwawancarai yang berada pada usia produktif secara umum sudah bekerja dengan ikut melakukan kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh keluarganya ataupun yang ikut upahan dengan petani lainnya. Pekerjaan lain yang dilakukan adalah dengan bekerja melakukan pengupasan kemiri dan mengikat sirih. Walaupun secara jelas banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi masyarakat secara umum sudah bisa mencari sumber penghasilan bagi dirinya sendiri dan anggota keluarga dengan ikut
101 bekerja diladangnya sendiri, bekerja di ladang orang lain dan melakukan pekerjaan lain seperti mengikat sirih, panjat sirih, panen coklat, membabat, dan lain-lain. Kondisi jumlah penduduk yang tidak bekerja di lokasi penelitian selama 5 tahun (2005-2009) dapat dilihat pada Tabel 32. Jumlah penduduk yang tidak bekerja setiap tahunnya cenderung menurun. Djajapertjunda (2003) menyebutkan bahwa hutan rakyat secara langsung akan berdampak pada terbukanya lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan ini bisa dalam anggota keluarga petani dan bisa dari luar anggota keluarga petani. Darusman dan Hardjanto (2006) juga menyebutkan bahwa hutan rakyat mampu menyerap tenaga kerja di desa. Penyerapan tenaga kerja dalam bidang usaha kemiri adalah pembabatan tumbuhan bawah, pengumpulan dan pengangkutan buah serta pengolahan hasil.
Tabel 32 Kondisi penduduk tidak bekerja tahun 2005-2009 No 1 2 3 4 5
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Kutabuluh 331 331 241 145 140
Desa Pamah 366 366 184 144 146
Total Pasir Tengah 223 223 230 107 112
920 920 655 396 398
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2006-2010)
5
Kemiskinan BPS (2008) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
(basic needs approach) dalam mengetahui tingkat kemiskinan penduduk. Pendekatan ini dipandang dari ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan untuk Propinsi Sumatera Utara menurut BPS (2008) di tingkat desa tahun 2007 adalah Rp154.827 dan tahun 2008 adalah Rp171.922 dalam Rp/Kapita/bulan. Dari hasil pengolahan data, besaran pengeluaran responden per bulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita per bulan terendah adalah Rp233.333. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada responden yang berada dalam kategori keluarga miskin karena rata-rata
102 pengeluarannya perbulan masih di atas garis kemiskinan yang sudah ditetapkan propinsi yaitu Rp171.922,- Sedangkan jika keseluruhan pengeluaran responden dibagi dengan jumlah keseluruhan anggota keluarga, maka diperoleh rata-rata tingkat pengeluaran per kapita semua responden adalah Rp616.677 artinya bahwa keseluruhan reponden bukan termasuk keluarga miskin karena pengeluaran per kapitanya masih di atas standar BPS pada tahun 2008. 6
Migrasi penduduk Perkembangan dan kemajuan suatu tempat dapat dilihat dari jumlah
penduduk yang datang dan yang pergi. Hal ini menunjukkan bahwa suatu tempat mempengaruhi orang untuk datang dan pergi bila di tempat tersebut ada suatu kegiatan yang membuat orang untuk datang. Hal ini bisa terjadi karena pada suatu tempat ada perusahaan baru, lokasi tujuan wisata, kawasan industri, pertanian modern, kawasan pendidikan dan lain-lain. Misalnya pada suatu kawasan industri, jumlah penduduk disekitarnya akan cenderung berkembang karena masyarakat yang datang bekerja, penjual makanan, usaha penginapan, membuka toko, usaha transportasi dan lain-lain. Perkembangan suatu tanamanpun akan mempengaruhi orang untuk datang dan pergi, hal ini berhubungan dengan proses produksi dan pemasaran. Kondisi perubahan penduduk di lokasi penelitian sejak tahun 2005 sampai tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 33. Pada tabel dapat dilihat bahwa grafik perubahan jumlah penduduk yang datang dan yang pergi cenderung meningkat. Tetapi, dari informasi yang diperoleh, hal ini terjadi bukan karena pengaruh dari tanaman kemiri, tetapi karena mobilitas penduduk yang pindah, menikah ataupun keluarga yang datang ataupun pergi karena alasan lain. Adanya migrasi penduduk yang cukup besar sehubungan dengan perkembangan hutan rakyat sebagai dampak dari penyerapan tenaga kerja dari bidang perkembangan usaha hutan rakyat tidak dapat ditunjukkan secara signifikan. Dari 63 responden yang diwawancarai, hanya 1 responden sebagai pendatang untuk mengelola tanaman kemiri keluarga.
103 Tabel 33 Kondisi penduduk yang datang dan yang pergi tahun 2005-2009 No
Tahun
1 2 3 4 5
2005 2006 2007 2008 2009
Kutabuluh Datang Pergi 2 3 8
4
16
17
Pamah Pasir Tengah Datang Pergi Datang Pergi 3 3 4 2 Tidak ada data 7 4 4 3 Sama dengan tahun 2007 18 16 16 14
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka (2006-2010)
7
Kapasitas mengakomodasi perubahan Kapasitas mengakomodasi perubahan dapat dilihat dari tingkat pendidikan
masyarakat, pembangunan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas lainnya yang mendukung perkembangan masyarakat.Untuk tingkat pendidikan, dapat diketahui dari minat masyarakat yang menyekolahkan anaknya di sekolah lokal (SD, SMP, SMA) maupun di luar daerah (untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti SMA atau universitas). Untuk infrastruktur juga mengalami perkembangan seperti bangunan sekolah, jalan, layanan kesehatan, layanan pertanian dan lainlain. Masyarakat secara umum sudah sangat mengakomodasi perubahan yang diterima dari dunia luar (luar desa) dari media lain seperti televisi, radio, internet, hp dan lain-lain. Perubahan yang diterima oleh masyarakat adalah perubahan yang membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang lebih baik dan lebih mudah. Misalnya penggunaan obat-obatan dalam mengatasi penyakit tanaman, penggunaan zat-zat kimia yang bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas lahan, sarana pengelolaan lahan dengan traktor, sarana teknologi hasil pertanian seperti pemipil jagung, dll. Sementara untuk kehidupan sehari-hari, juga sudah menggunakan teknologi dalam bentuk sarana dan prasarana kebutuhan keluarga. 8
Status lahan Status lahan yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat petani kemiri
adalah lahan yang diperoleh dengan proses membeli, diwariskan orang tua (Suharjito 2002) maupun yang digarap sendiri atau dibuka sendiri (Yusran 1999; 2005). Gambaran asal usul kepemilikan lahan responden yang menanam kemiri adalah 30 responden (47,62%) memiliki tanah yang berasal dari warisan orang tua, 19 responden (30,16%) memiliki tanah yang dibeli dan 14 responden (22,22%) memiliki tanah dari hasil garapan sendiri.
104 Status kepemilikan lahan dapat diketahui dari surat-surat kepemilikan lahan. Pada Tabel 16 dapat dilihat status surat-surat kepemilikan lahan yang dimiliki oleh responden. Jumlah petani kemiri yang memiliki surat sertifikat lahan hanya 9 responden (14,29%) sedangkan yang belum memiliki surat sertifikat tanah sebanyak 54 responden (85,71%). Tanaman kemiri rakyat yang ada pada lahan-lahan milik masyarakat, jika dilihat menurut kriteria hutan hak (UU No. 41 tahun 1999), hanya 14,29% yang memenuhi kriteria tersebut. Tetapi, tidak serta merta 85,71% lainnya tidak dapat disebut hutan rakyat. Keterangan yang diperoleh dari responden adalah bahwa semua lahan yang ada pada masyarakat adalah lahan yang sudah menjadi milik masyarakat itu sendiri yang diperoleh melalui jalur warisan, dibeli dan dibuka sendiri. Lahan-lahan yang sudah diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya, tidak akan diganggu gugat oleh siapapun karena sudah ada jelas pemiliknya. Pembuktian kepemilikan lahan bagi masyarakat yang tidak memiliki sertifikat dapat dibuktikan dengan kepemilikan fisik tanaman di lahan-lahan miliknya yang sudah diakui dan diterima oleh masyarakat secara sosial dan tidak ada klaim dari pihak lain. Status lahan sudah dimiliki oleh responden dan sudah dikelola dalam waktu yang lama dan ada yang diperoleh dari orang tua, maka tanaman kemiri rakyat dapat disebut hutan rakyat. Djajapertjunda (2003) menyebutkan bahwa hutan rakyat di luar Pulau Jawa berasal dari tanah persekutuan adat yang status haknya telah berubah bentuk menjadi lahan hak garapan, kemudian menjadi tanah dengan status hak milik adat dan selanjutnya diubah menjadi hak milik dengan sertifikat. Jika dalam hak ini ada hutan maka hutan tersebut menjadi hutan rakyat. Proses pembuatan surat sertifikatlah yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat agar kepemilikan lahan menjadi terjamin sehingga masyarakat bebas untuk menentukan akses dan pengendalian atas tanah dan sumberdaya yang ada di atasnya. Adapun permasalahan konflik kepemilikan lahan terjadi apabila ada lahan yang dulu diberikan seseorang kepada orang lain, kemudian ada keluarga (keturunan pemilik lahan) meng-klaim kembali kepemilikan lahan yang sudah
105 diberikan tersebut. Permasalahan seperti ini sangat jarang terjadi dan umumnya dapat diselesaikan dengan baik. 9
Kejelasan batas lahan Kejelasan status lahan yang dimiliki oleh masyarakat akan disertai dengan
kejelasan batas lahan. Lahan milik masyarakat umumnya sudah memiliki batasbatas lahan yang sudah diakui oleh masyarakat, dimana hal ini dapat mencegah terjadinya konflik dalam penggunaan lahan. Batas lahan-lahan yang dimiliki oleh seseorang dengan batas lahan yang dimiliki oleh orang lain secara jelas dapat dilihat dilapangan. Batas-batas lahan milik dapat dilihat dengan adanya pembatas yaitu jalan, sungai, tanaman pinang, tanaman kapuk, tanaman kemiri, jenis tanaman yang berbeda dan lain-lain. Hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat menyatakan bahwa tidak ada permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat mengenai batas kepemilikan lahan. Konflik mengenai batas lahan pernah terjadi, tetapi hal ini terjadi pada ahli waris yang tidak mengetahui batas awal lahan yang diwariskan oleh orang tua atau tanah warisan yang sudah ditinggalkan lama oleh ahli warisnya yang kemudian beralih ke pihak lain dan lama kelamaan menjadi permasalahan khususnya pada pemilik lahan disekitarnya. Penyelesaian konflik batas lahan dapat diatasi dengan jalur pertemuan dengan pihak-pihak yang bertikai.
Gambar 16 Batas kepermilikan lahan dapat diketahui dari jenis tanaman pagar yang ada (seperti pinang).
106 10 Terbangunnya hubungan sosial antara masyarakat Hubungan sosial masyarakat terbangun dengan adanya kebutuhan bersama dalam lingkungan masyarakat yang memiliki adat istiadat dan latar belakang yang sama. Hubungan sosial terbentuk dalam lingkungan komunitas yang sama, sehingga dalam berbagai kondisi, peranan sosial masyarakat sangat berperan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya seperti dalam acara adat kematian dan adat pernikahan. Hubungan sosial yang terbentuk untuk pengelolaan sumberdaya alam adalah dalam hal tolong menolong pada saat panen, penanaman dan penggunaan sarana produksi atau alat-alat pertanian. Hubungan sosial yang sama juga tercipta pada masyarakat di Desa Buniwangi-Sukabumi (Suharjito 2002). Mehendra (2009) menyebutkan bahwa salah satu pengaruh hutan rakyat dari aspek sosial dapat dilihat dari hubungan sosial yang terjalin dan budaya bercocok tanam menjadi budaya semua orang dalam domain semua kelas umur. Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem dari aspek sosial masuk pada kategori berkelanjutan dengan catatan. Hal ini dapat dilihat bahwa partisipasi masyarakat menanam kemiri sudah mulai menurun karena dampak dari berbagai permasalahan yang muncul seperti produksi yang menurun, kondisi kesehatan tanaman dan lain-lain. Sementara dari aspek kepemilikan lahan, batas lahan, peraturan dalam lingkungan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam, hubungan sosial, akses terhadap pelayanan pendukung dapat membantu dalam mencapai pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, tetapi perlu pembenahan-pembenahan yang lebih baik dari instansi terkait untuk mendorong minat masyarakat kembali menanam kemiri pada lahan-lahan miring. Kelestarian pengelolaan suatu sumberdaya alam yang tumbuh dalam lingkup lokal masyarakat dapat dilihat dari sudut sejauhmana sumberdaya tersebut memberikan manfaat pada kesejahteraan masyarakat, distribusi manfaat sumberdaya alam bagi masyarakat, kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi perubahan dan akseptabilitas sosial atau pengelolaan sumberdaya alam diterima secara ekologi, ekonomi dan nilai sosial yang berlaku dalam lingkungan masyarakat (Davis et al. 2001).
107 5.3.4 Analisis keberlanjutan Secara keseluruhan hasil penilaian terhadap indikator dari semua aspek yang diperoleh sebagai berikut: 1.
Indikator yang bernilai Baik sebanyak 10 (35,71%) atau masih di bawah 50% dari keseluruhan indikator yang dinilai, tetapi berada di atas 25% dari keseluruhan indikator yang dinilai.
2.
Indikator yang bernilai Cukup sebanyak 15 (53,57%) atau berada diatas 50% dari keseluruhan indikator yang dinilai.
3.
Indikator yang bernilai Jelek sebanyak 3 (10,72%) atau berada dibawah 25% dari keseluruhan indikator yang dinilai. Dari hasil penilaian ini, maka keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat dari
aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial adalah “berkelanjutan dengan catatan” karena hanya memenuhi persyaratan: Baik > 25% x n; Cukup > 50% x n; Jelek < 25% x n. Tanaman kemiri adalah salah satu tanaman hasil hutan bukan kayu penghasil buah. Tanaman ini memiliki banyak manfaat, buahnya untuk bahan baku industri dan penyedap makanan, kulit buah yang keras sebagai bahan baku obat nyamuk bakar dan saat ini dijadikan sebagai bahan bakar industri yang menggunakan pengering (dryer), kayunya sebagai bahan baku kayu lapis dan tanamannya sendiri sebagai tanaman yang cocok untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis. Jika dilihat, maka sebenarnya tanaman kemiri memiliki multi manfaat baik pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Tetapi, manfaat ini belum sepenuhnya dilirik dan dijadikan pemerintah sebagai program dalam mengatasi luas lahan kritis yang meningkat dan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat. Tanaman kemiri hampir tumbuh dan berkembang di semua tempat di Indonesia. Keberadaan tanaman kemiri pada suatu tempat sangat berlatar belakang dengan sejarah keberadaannya pada tempat tersebut. Tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem sudah ada sejak dahulu. Tanaman kemiri adalah tanaman yang tumbuh secara alami di lahan-lahan milik dan kawasan hutan. Kepemilikan lahan tanaman kemiri adalah berasal dari tanah adat yang kemudian diwariskan kepada keturunannya. Terdapat 30 responden (47,62%) yang memiliki tanaman kemiri dari warisan, hal ini
108 menunjukkan bahwa tanaman kemiri telah menjadi tanaman yang berlangsung secara turun temurun yang berlanjut sampai sekarang. Kemudian, untuk beberapa pihak terjadi transaksi jual beli baik pada penduduk asli maupun pada penduduk pendatang. Kepemilikan lahan tanaman kemiri tidak hanya dari warisan atau dibeli, tetapi ada juga yang membuka hutan dan menjadikannya sebagai milik. Pada saat kemiri belum laku diperjualbelikan, buahnya hanya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti bumbu dapur, obat sakit perut, obat bisul dan bahan bakar untuk lampu penerang. Kemudian pelahan-lahan kemiri dibawa ke pasar dan mulai laku dan diperjualbelikan. Sekitar tahun 1955 disebutkan bahwa kemiri sudah laku diperdagangkan. Sejak itu, kemiri menjadi tanaman yang menghasilkan bagi masyarakat dan umumnya tanaman kemiri pada periode tersebut menghasilkan buah hampir sepanjang tahun. Pada tahun 1980-an disebutkan bahwa setiap minggunya ada sekitar 100 ton buah kemiri kupas yang siap angkut keluar dari Kecamatan Tanah Pinem. Bahkan karena banyaknya, kadang-kadang tidak dapat diangkut karena keterbatasan sarana pengangkutan. Kondisi ini berbeda dengan kondisi yang ada sekarang. Dari hasil pengolahan data yang diperoleh, produksi kemiri kupas yang dihasilkan pada tahun 2010 hanya 583,33 kg/ha. Berarti ada penyimpangan yang sangat jauh antara produksi tahun 1980-an dengan tahun 2010. Hal ini dapat dijelaskan oleh penurunan luas tanaman kemiri, kondisi kesehatan tanaman dan umur tanaman yang memasuki kategori tidak produktif cukup banyak. Pada saat tanaman kemiri masih berperan dalam kehidupan masyarakat, masyarakat sangat menggantungkan kehidupannya dari kemiri. Masyarakat dari usia muda sampai tua mendapatkan uang dari kemiri. Banyak anak-anak yang sudah kenal uang dan bisa mencarinya dengan bekerja sebagai upahan baik untuk mengumpulkan kemiri di ladang maupun mengupasnya. Keadaan ini mulai berubah dengan adanya serangan hama dan penyakit, seperti ulat pemakan daun, penggerak batang dan gugur buah. Perubahan musim penghujan dan musim kemarau yang tidak jelas, mempengaruhi musim berbunga dari tanaman kemiri yang berdampak pada musim berbuah. Pada akhir-akhir ini,
109 masyarakat menyebutkan bahwa musim berbuah sudah berubah dan buah tidak lagi dapat diperoleh sepanjang tahun. Perubahan dan permasalahan yang terjadi, telah mempengaruhi masyarakat beralih untuk menanam tanaman lain. Pada daerah yang lebih landai, masyarakat mulai beralih menanam tanaman seperti jagung, cokelat, pisang, pepaya dan sawit. Selain karena perubahan produksi yang menurun, salah satu faktor yang juga kurang mendukung adalah fluktuasi harga. Fluktuasi harga kemiri antara tahun 1997 sampai awal tahun 2011 adalah seperti Gambar 17.
Sumber : Kecamatan Tanah Pinem (1997 – 2004) dan hasil wawancara untuk data tahun 2005-2011
Gambar 17 Fluktuasi harga kemiri di lokasi penelitian.
Pola perubahan penggunaan lahan yang mulai beralih ke tanaman muda disebabkan karena pengaruh harga pasar yang lebih besar dan stabil, pendapatan yang diperoleh lebih besar dan cepat (jagung bisa panen 2 kali setahun dan cokelat bisa memberikan penghasilan bulanan). Peralihan ini juga dipengaruhi oleh umur tanaman kemiri yang sudah melewati umur produktif. Masyarakat yang melakukan replanting pada tanaman kemirinya adalah masyarakat yang memiliki lahan pada lahan-lahan miring yang tidak bisa ditanami dengan tanaman pertanian seperti padi dan jagung. Tanaman kemiri rakyat yang masih utuh keberadaannya adalah lahan-lahan milik yang ada pada daerah lahan miring, pinggir sungai, lembah/jurang dan daerah terjal dan juga pada lahan masyarakat yang masih merasakan manfaat dari
110 tanaman tersebut. Juga lahan-lahan yang datar tetapi dimiliki oleh masyarakat yang kurang produktif dan atau memiliki pekerjaan utama bukan sebagai petani. Di Desa Kutabuluh, tanaman kemiri masih terjaga diantara tanaman lain, sementara di Pamah dan Pasir Tengah, tanaman kemiri rakyat yang masih tinggal terdapat pada lahan-lahan miring, jaraknya cukup jauh dari perumahan penduduk dan di sekitar kawasan hutan. Hasil analisis keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri berdasarkan indikator yang diperoleh adalah “berkelanjutan dengan catatan”. Jika pengelolaan yang dilakukan masih sama dan tidak ada upaya memperbaiki kondisi tanaman maka pengelolaan tanaman kemiri dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial bisa menjadi tidak berkelanjutan. Untuk mencapai pengelolaan yang berkelanjutan, maka perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan dengan dasar pertimbangan sbb: 1
Kondisi topografi Luas wilayah Kecamatan Tanah Pinem yang termasuk pada kategori curam dan terjal adalah 39.546 ha atau hampir 90% dari total luas lahan. Maka jenis tanaman yang cocok dan sesuai untuk dikembangkan adalah jenis tanaman yang memiliki sistem perakaran kuat, tanaman tahunan dan jenis endemik setempat. Penanaman tanaman pertanian seperti jagung, kurang sesuai ditanam pada lahan miring karena pengelolaan lahan dengan sistem land clearing (tebang habis) dapat menyebabkan terjadinya erosi sangat tinggi. Apalagi dengan proses tanam dan panen yang cukup cepat (2 kali setahun) sehingga dapat menimbulkan penurunan unsur hara tanah. Dengan kondisi ini, sebaiknya lahan-lahan milik masyarakat yang ada pada daerah miring ditanami kembali jenis tanaman kayu-kayuan seperti kemiri, karena kemiri merupakan ciri khas tanaman setempat atau jenis tanaman lain yang cepat tumbuh (fast growing) maupun jenis MPTS lainnya sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat dari aspek ekonomi dan aspek ekologi.
2
Lahan kritis Luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem menurut BPDAS Wampu Sei Ular tahun 2010 adalah 30.718,44 ha atau sekitar 70% dari total luas lahan. Adapun rincian luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem berdasarkan arahan fungsi lahan adalah seperti Tabel 34. Hal ini
111 menunjukkan bahwa perlu dilakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan dalam rangka meningkatkan peran lahan sebagai media produksi dan sebagai media pengatur tata air. Kegiatan yang bisa dilaksanakan dalam bidang kehutanan adalah reboisasi pada kawasan hutan dan penghijauan di luar kawasan hutan. Tabel 34 Luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem No 1 2 3
Kriteria lahan kritis Sangat kritis Kritis Agak kritis Jumlah
Arah fungsi penggunaan lahan APL HL HSA (HK) HP/HPT 2661,73 82,93 5.164,68 8.106,89 4.369,76 2.937,10 3.110,75 4.284,60 10.763,51 11.217,64 8.737,29
Jumlah 2.744,66 17.641,33 10.332,45 30.718,44
Sumber : BPDAS Wampu Sei Ular (2010)
3
Regenerasi tanaman Tanaman masyarakat umumnya belum menunjukkan regenerasi yang berkelanjutan dalam menghasilkan buah. Untuk memulihkan kembali fungsi tanaman kemiri sebagai produksi hasil tanaman rakyat, maka perlu dilakukan regenerasi tanaman. Regenerasi tanaman pada satuan luas, dapat dilakukan secara bertahap dengan tujuan agar tetap dapat menghasilkan bagi masyarakat. Metode regenerasi dapat dilakukan dengan mendekati kriteria lestari pada hutan tanaman. Sebagai contoh: luas lahan 1 ha, jarak tanam 10m x 10m, maka jumlah pohon adalah 100 batang. Daur tanaman ditentukan selama 7 tahun. Maka, luas lahan dibagi menjadi 5 petak dengan luas masingmasing petak adalah 2.000 m2. Kondisi tanaman pada saat sudah berumur 35 tahun, sudah layak dilakukan regenerasi penanaman. Jika dilakukan penebangan pohon secara keseluruhan, maka pendapatan dari buah akan terhenti pada saat itu juga. Tetapi jika penebangan hanya dilakukan pada satu petak saja, maka luas areal yang menghasilkan buah akan berkurang dan tinggal 8.000 m2. Setelah penebangan pada petak pertama, maka kembali dilakukan penanaman, pemupukan dan pemeliharaan. Pada tahun ke-5, tanaman sudah kembali dapat menghasilkan buah. Tujuh tahun kemudian (daur ke-2), dilakukan penebangan pada petak ke-2 dan kemudian dilakukan penanaman kembali pada lahan tersebut. Hal ini dilakukan sampai daur ke-5.
112 Setelah daur ke-5, petak ke-1 sudah berumur 35 tahun, maka bisa dilakukan kembali peremajaan dengan kembali melakukan kegiatan seperti langkah di atas. Jika tujuan penanaman adalah komersil untuk mendapatkan penghasilan dari buah kemiri, maka proses pengelolaan dengan sistem peremajaan secara bertahap bisa dilakukan agar keberlanjutan mendapatkan buah terjamin. Pada saat yang sama, setiap hasil penebangan tanaman kemiri dapat dijual pada pasar yang tersedia dan didukung oleh aksesibilitas pengangkutan. Penjualan kayu kemiri cukup berpotensi dilakukan karena di Sumatera Utara terdapat industri yang menggunakan kayu kemiri sebagai bahan baku kayu lapis. 4
Rehabilitasi dengan teknik konservasi Kondisi lahan di Kecamatan Tanah Pinem adalah 90% masuk pada kategori curam dan terjal. Hal ini menunjukkan bahwa lahan-lahan di kecamatan Tanah Pinem sangat rawan terhadap bahaya erosi dan tanah longsor. Untuk lahan-lahan yang saat ini sudah tidak produktif, berada pada lahan miring curam dan terjal, maka perlu dilakukan rehabilitasi lahan dengan penanaman tanaman keras dan dengan teknik konservasi tanah. Teknik konservasi tanah dan air yang dapat dilakukan secara mekanis antara lain pengolahan tanah menurut kontur, guludan, teras dan lain-lain (Suripin 2004). Penanaman kemiri pada lahan miring harus dilakukan menurut garis kontur (melintang terhadap lereng) dengan sistem teras, tujuannya agar akar tanaman berperan dalam menghambat aliran permukaan, memungkinkan adanya penyerapan air dan menghindarkan hilangnya humus tanah akibat erosi.
5
Menerapkan pola tanam yang efektif Untuk mengefektifkan fungsi lahan sebagai media tumbuh pohon dan meningkatkan produksi lahan, maka pola tanaman yang digunakan sebaiknya menggunakan metode segitiga karena jumlah pohon yang ditanam akan lebih banyak jika ditanam dengan metode bujursangkar. Jika jarak tanam 8m x 8m, maka jumlah pohon yang ditanam adalah 156 pohon/ha apabila mengikuti kaidah bujursangkar, sedangkan bila mengikuti kaidah segitiga, jumlah pohon yang ditanam adalah 175 pohon/ha (Paimin 1994). Pola tanam ini juga sesuai dilakukan pada lahan yang bertopografi curam dan terjal.
113 6
Penyuluhan Kehutanan Lapangan Keberadaan kelompok tani sudah mengindikasikan bahwa akses penyuluhan pada lingkungan masyarakat sudah berjalan dan berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakarat melalui pengenalan sarana dan prasarana pertanian yang sudah berkembang. Pemberdayaan kelompok tani dapat diperluas dalam bidang kehutanan. Hal ini disebabkan karena penyuluh lapangan bidang kehutanan hampir tidak ada. Tujuan dari kegiatan ini adalah dalam melakukan pemulihan fungsi dan peran lahan masyarakat dalam mendatangkan manfaat dengan tujuan memulihkan fungsi lahan sebagai media produksi dan media pengatur tata air. Penyuluh ini nantinya akan berperan dalam melatih masyarakat dalam melakukan penanaman kemiri (dan jenis tanaman kehutanan lainnya) sesuai dengan teknik budidayanya untuk tujuan mendapatkan produksi yang bermanfaat sebagai sumber penghasilan masyarakat yang memiliki lahan pada lahan-lahan miring.
7
Pasar dan hubungannya dengan pengembangan Produksi berhubungan dengan pemasaran. Pemasaran buah kemiri sebenarnya tidak sulit, karena permintaan akan kemiri setiap tahun cenderung meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Paimin (1994) menyebutkan permintaan kebutuhan kemiri setiap tahunnya akan naik sebesar 10-20%. Pada tahun 1975 sampai tahun 1995, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengekspor kemiri. Tahun 1996 sampai 2003 tidak ada ekspor dan kembali mengeskpor tahun 2004 dan 2005. Ekspor terakhir kemiri Indonesia adalah tahun 2005. Sampai tahun 2010 tidak ada lagi ekspor kemiri. Sementara itu, pada tahun 2004 dan 2005, Indonesia melakukan impor kemiri sebanyak masing-masing 13 ton (62.000 US$) dan 15 ton (27.000 US$). Seharusnya, Indonesia tidak perlu mengimpor kemiri karena kemiri adalah tanaman yang hampir tumbuh di semua tempat di Indonesia. Hal
ini
menunjukkan
bahwa
belum
ada
perhatian
serius
dalam
pengembangan tanaman kemiri dalam memenuhi kebutuhan domestik. Jika pengelolaan kemiri dilakukan oleh pemerintah dengan mengembangkan pola penanaman kemiri yang ada pada lahan-lahan milik rakyat, maka peran kemiri sebagai sumber devisa negara, sumber pendapatan daerah, sumber
114 pendapatan masyarakat dan sebagai tanaman yang bermanfaat bagi lingkungan akan sangat dapat dirasakan. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan program khusus pemberdayaan masyarakat dalam memulihkan peran tanaman kemiri dalam bentuk hutan rakyat, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat (lahan yang ada dalam kawasan hutan) serta hutan tanaman industri untuk mendukung penyediaan bahan baku kayu lapis. Tanaman kemiri dapat dijadikan sebagai tanaman industri (untuk menghasilkan kayu) dengan jarak tanaman yang lebih sempit (4m x 4m) sehingga batang yang dihasilkan bulat dan lurus. 8
Sinergi antar sektor Perlu adanya sinergi antara instansi seperti dinas kehutanan dan perkebunan, dinas pertanian, dinas perdagangan dan dinas pemberdayaan masyarakat serta dinas terkait lainnya dalam mendukung potensi tanaman kemiri sebagai tanaman yang multi manfaat, yaitu sebagai sumber penghasilan masyarakat, sumber pendapatan daerah, manfaat lingkungan dan lain-lain. Peran antar sektor diharapkan saling mendukung sehingga tujuan setiap sektor tidak overlapping yang bertujuan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dan daerah. Hal-hal tersebut di atas dapat menjadi bahan pertimbangan dan dapat
dilakukan dengan tujuan agar pengelolaan tanaman kemiri pada masa yang akan datang menjadi berkelanjutan, dapat berperan dalam mendatangkan penghasilan petani, meningkatkan pendapatan daerah dan berperan dalam menjaga fungsi hutan dan lahan. Sebaliknya, jika tanaman kemiri tidak dijadikan sebagai tanaman yang layak untuk diusahakan, terjadi penebangan serta peralihan menjadi tanaman lain, maka keberlanjutan pengelolaan kemiri pada masa yang akan datang akan turun menjadi “tidak berkelanjutan”. Untuk mencapai keberlanjutan pengelolaan kemiri, maka perlu dibuat prioritas kegiatan yang dapat diperbaiki dari beberapa indikator, khususnya indikator yang bernilai Cukup dan Jelek. Pada Tabel 35 dapat dilihat prioritas indikator yang dapat diperbaiki dan kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri. Selanjutnya, dari prioritas kegiatan yang yang sudah dibuat, dikembangkan menjadi program-program yang
115 perlu dilakukan yang kemudian menentukan kegiatan-kegiatan yang lebih spesifik dari setiap program yang perlu dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang diharapkan dalam mencapai keberlanjutan yang diharapkan. Adapun rekomendasi program dan kegiatan yang perlu dilakukan agar pengelolaan tanaman kemiri rakyat dapat mencapai keberlanjutan adalah seperti Tabel 36, 37 dan 38. Pada rekomendasi ini juga ditentukan pihak-pihak yang perlu berperan dalam kegiatan tertentu sehingga setiap pihak mengetahui perannya masingmasing.
116 Tabel 35 Prioritas perbaikan dan kegiatan yang perlu dilakukan No 1
2
3
Aspek Ekologi
Ekonomi
Sosial
Indikator Erosi Produktivitas lahan
Nilai B C
Kegiatan Pengelolaan lahan yang intensif, regenerasi tanaman Pengelolaan air (dinas terkait) -
Rencana Program Regenerasi penanaman
Penelitian tentang hama dan penyakit tanaman kemiri Pencegahan dan pengendalian
Karakteristik air Kualitas air
B C
Cara-cara mengambil manfaat Pengendalian hama dan penyakit
B
Adanya gangguan (kebakaran, hama penyakit, banjir,tanah longsor, dll) Struktur tegakan hutan Aktivitas penanaman menjamin penutupan lahan
C
C C
Penanaman lahan-lahan yang sudah rusak, lahanlahan kosong, lahan kritis, dan lain-lain
Adanya upaya konservasi tanah
C
Sumber modal untuk kegiatan penanaman
J
Peningkatan pendapatan Kelayakan usaha Penyerapan tenaga kerja Kesejahteraan masyarakat Kepastian potensi produksi buah dan kayu
C B B
Pembuatan bangunan KTA & konservasi secara mekanis Bantuan kredit dari pemerintah, swasta, LSM dan mitra Pengelolaan intensif, agroforestry -
J C
Keuntungan usaha Akses pasar Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam
C B C
Peraturan di masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam Akses terhadap pelayan pendukung (kredit, penyuluhan dan masukan tekhnologi) Pengangguran Kemiskinan Migrasi penduduk Kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi perubahan
C
Status lahan Kejelasan batas lahan Terbangunnya hubungan sosial antara masyarakat
B B C
C
C
B B J C
Prioritas 2
-
-
-
-
Penelitian
5
Penyuluhan dan sosialisasi dalam upaya mengatasi gangguan Rehabilitasi hutan dan lahan melalui HR, HTR, HKm, Reboisasi dan Agroforestry Pembuatan bangunan KTA
4
Penyaluran bantuan kredit, kemitraan
1
RHL (Agroforestry)
2
-
-
Kegiatan dari BKKBN
-
-
Regenerasi tanaman dan pencegahan hama dan penyakit Sosialisasi penanaman kayu-kayuan (khususnya jenis-jenis yang dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat dan aspek ekologi). Misalnya: Jenis tanaman yang cepat tumbuh (fast growing) dan MPTS. -
Regenerasi penanaman
3
Penyuluhan
1
-
-
Mempermudah masyarakat dalam menjangkau akses pelayanan yang mendukung Pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan penyuluhan dan meningkatkan infrastruktur pembangunan daerah -
Penyuluhan
2
Penyuluhan dan pembangunan daerah
3
-
-
1
3
117 Tabel 36 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek ekologi No 1
Program
Kegiatan
Tujuan yang ingin dicapai
Pelaksana
Rehabilitasi hutan dan lahan
Hutan rakyat, agroforestry
Penghijauan lahan-lahan milik masyarakat khususnya lahan-lahan yang ada di daerah bertopografi curam dan terjal (>250) dengan tujuan meningkatkan fungsi ekologi bagi lingkungan dan fungsi ekonomi bagi masyarakat
1. Masyarakat 2. Pemda 3. Dishutbun kabupaten 4. Dishutprop 5. Kemenhut
Hutan kemasyarakatan (HKm) dan hutan tanaman rakyat (HTR)
Pemberdayaan masyarakat lokal yang diberi kesempatan memanfaatkan sumberdaya hutan pada kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi
1. Dishutbun kabupaten 2. Pemda 3. Dishutprop 4. Masyarakat 5. Kemenhut
Reboisasi (lahan kritis pada kawasan hutan)
Penanaman kembali lahanlahan hutan yang sudah rusak untuk memulihkan fungsi hutan sebagai media tata air dan media produksi
1. Dishutbun kabupaten 2. Dishutprop 3. Kemenhut 4. Pemda
2
Regenerasi penanaman
Penerapan metode penanaman dengan teknik silvikultur yang berkelanjutan
Manfaat yang akan diperoleh masyarakat akan berkelanjutan dan hasil yang diperoleh berkesinambungan dengan metode daur tanam
1. 2. 3. 4.
3
Konservasi Tanah dan Air
Pembuatan bangunan konservasi tanah dan air
Mencegah terjadinya banjir, tanah longsor, erosi dan kekeringan dengan kegiatan pembuatan teras, guludan, gully plug, dam pengendali, sumur resapan, embung dan lain-lain
1. Pekerjaan umum 2. Pemda 3. Dishutbun kabupaten 4. Masyarakat
4
Penyuluhan
Penyuluhan dan sosialisasi dalam upaya mengatasi gangguan yang terjadi (hama dan penyakit, banjir dan longsor)
Meningkatkan kemampuan masyarakat mengatasi permasalahan hama dan penyakit serta upaya penanggulangannya
1. Penyuluh (Kehutanan dan pertanian) 2. Pemda (Kabupaten, kecamatan dan desa) 3. LSM
Penelitian untuk mengatasi hama dan penyakit
Untuk mendapatkan cara atau metode yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah penyakit yang menyerang tanaman kemiri seperti gugur buah
5
Penelitian
Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya pohon dalam mencegah terjadinya banjir dan tanah longsor
1. 2. 3. 4.
Penyuluh Dishutbun Peneliti Universitas
Peneliti Universitas LSM Penyuluh
118 Tabel 37 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek ekonomi No 1
Program Penyaluran kredit
Kegiatan Pemberian modal usaha bagi masyarakat lemah dengan kredit ringan
Tujuan yang ingin dicapai Memberdayakan masyarakat pemilik lahan dengan bantuan modal kredit bunga ringan
2
Kemitraan
Pembangunan kerjasama kemitraan dengan industri pengguna bahan baku kemiri
Mitra dapat menyalurkan bantuan dana bagi masyarakat dan mitra dapat menampung produksi kemiri rakyat dengan harga yang terjamin
Pola tanaman campuran antara tanaman kayukayuan dan tanaman pertanian
Meningkatkan pendapatan petani dari tanaman pertanian dan tanaman kayu-kayuan secara berkelanjutan yang berperan dalam menjamin kesinambungan penghasilan masyarakat
1. 2. 3. 4.
Agar potensi produksi kemiri yang diperoleh petani dapat berkelanjutan
1. Masyarakat 2. Penyuluh 3. Dishutbun kabupaten
3
4
RHL (Agroforestr y)
Regenerasi penanaman
Pengaturan daur tanaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4.
5.
Pelaksana Pemda BPR Bank Mitra usaha Penyuluh Masyarakat Disperindag Masyarakat Industri/ perusahaan Pemda Masyarakat Penyuluh LSM Dishutbun kabupaten Dinas pertanian kabupaten
Tabel 38 Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek sosial No 1
2
Program Penyuluhan dan sosialisasi
Percepatan pembangun an infrastruktur
Kegiatan Sosialisasi penanaman kayu-kayuan (khususnya jenis-jenis yang dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat dan aspek ekologi). Misalnya: Jenis tanaman yang cepat tumbuh (fast growing) dan MPTS.
Tujuan yang ingin dicapai Meningkatnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang tanaman-tanaman kehutanan yang dapat berproduksi cepat, layak untuk ditanam dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga menimbulkan minat bagi masyarakat untuk mau menanam di lahan-lahan miliknya
Pelaksana 1. Penyuluh 2. Masyarakat 3. Dishutbun kabupaten 4. LSM
Mempermudah masyarakat dalam menjangkau akses pelayanan kredit, penyuluhan dan teknologi
Mudahnya petani menjangkau layanan pendukung dalam meningkatkan kemampuannya dalam mengembangkan usahanya melalui akses kredit, penyuluhan dan teknologi
1. Penyuluh 2. Masyarakat 3. Dishutbun kabupaten 4. Dinas pertanian
Pembangunan sarana dan prasarana umum untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengakomodasi perubahan (sekolah, jalan, puskesmas, dan lain-lain)
Meningkatnya kapasitas masyarakat dalam mengakomdasi perubahan seperti perbaikan mutu pendidikan, mempermudah akses masyarakat dalam menjangkau perkotaan dalam melakukan transaksi hasil-hasil pertanian, dan lain-lain
1. Pemda 2. Pihak kecamatan dan desa
119 Jika kegiatan-kegiatan tersebut di atas dapat dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, maka diharapkan dapat sampai pada tujuan pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, jika sumberdaya alam tersebut saat ini dapat dimanfaatkan oleh generasi sekarang dan pemanfaatan itu tidak mengganggu kesempatan generasi yang akan datang untuk memperolehnya (Davis et al. 2001; Fauzi 2006). Untuk menjamin manfaat tanaman kemiri dapat diperoleh generasi yang akan datang, maka keberlanjutan pengelolaan kemiri harus diperhatikan. Masyarakat Kecamatan Tanah Pinem masih sangat tergantung pada usaha pertanian. Dengan kondisi topografi curam dan terjal, sebaiknya jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman-tanaman yang mampu mendatangkan penghasilan bagi penduduk secara berkelanjutan. Tanaman kemiri adalah salah satu jenis tanaman yang multi manfaat karena dapat memberikan hasil buah untuk dipanen setiap tahun (umur 5-35 tahun), berfungsi sebagai tanaman perlindungan tanah dan air dan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Tanaman kemiri dapat menjadi sumber, menyediakan lapangan kerja dan berperan dalam fungsi ekologis, menunjukkan bahwa tanaman kemiri memiliki sifat multiflier effect. Pembahasan tentang pengelolaan kemiri dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa pengembangan tanaman kemiri dalam kegiatan hutan rakyat dapat berperan dalam mencapai tujuan pengembangan hutan rakyat. Dari aspek ekologi, pohon kemiri berperan dalam melindungi tanah dari erosi dan menjamin penutupan permukaan tanah karena tajuknya yang lebar. Dari aspek ekonomi, tanaman kemiri berperan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat karena buah, kulit cangkang dan kayunya dapat dijual. Sedangkan dari aspek sosial menunjukkan bahwa tanaman kemiri dapat mengurangi pengangguran karena menyerap tenaga kerja dari dalam keluarga dan luar keluarga. Jika usaha yang sama dikembangkan dalam bentuk hutan rakyat yang dikelola secara intensif, maka pengembangan hutan rakyat dengan jenis tanaman kemiri dapat sampai pada tujuannya yaitu meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kualitas lingkungan dan peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan.