119
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengelolaan Pelelangan Ikan Aktivitas pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu pada Tahun 19932003 dikelola oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi. Pelelangan berjalan dengan baik sesuai dengan praktek lelang yang seharusnya. Aktivitas penjualan ikan dilakukan di depan khalayak umum, penawar dengan harga tertinggi dinyatakan sebagai pemenang lelang. Nelayan merasakan fungsi adanya TPI dan proses lelang yang dijalankan. Nelayan dan bakul merasa puas atas pelayanan pemasaran yang diberikan karena saling mengetahui harga jual yang berlaku di pasaran sehingga memperoleh manfaat dengan adanya pelelangan tersebut. Tahun 2004 hingga sekarang, pengelolaan mekanisme pelelangan beralih kepada KUD Mina Mandiri Sinar Laut. Sampai saat ini pelelangan ikan belum terlaksana kembali, meskipun retribusi pelelangan ikan tetap diberlakukan. Mekanisme pemasaran yang terjadi adalah setelah ikan didaratkan di dermaga, ikan langsung ditangani oleh bakul untuk dilakukan proses penimbangan di lapak masing-masing. Bakul membayar uang retribusi kepada TPI setelah proses penimbangan selesai. Hal tersebut membuat nelayan kurang bersemangat dan berinisiatif untuk memasarkan ikan melalui TPI karena telah ditangani oleh bakul. Jumlah produksi maupun raman (nilai produksi) ikan hasil tangkapan yang tercatat di TPI (fish by retribusi) ketika dikelola oleh KUD mengalami perkembangan fluktuatif. Raman ikan diperoleh dari nilai transaksi ikan yang berhasil tercatat melalui TPI dan tanpa melalui TPI. Raman ikan yang tercatat tanpa melalui TPI (fish by landing) merupakan ikan tujuan ekspor seperti hasil tangkapan tuna dan layur. Tabel dan grafik dibawah menyajikan perkembangan produksi beserta raman TPI PPN Palabuhanratu sejak Tahun 2000 hingga 2008.
Tabel 7 Jumlah produksi ikan dan nilai raman TPI Palabuhanratu, 2000- 2008 Tahun
Jenis dan Jumlah Ikan (kg)
∑
∑
120
Ckl
Tn
Cct
Jgl
Tkl
Lyr
Tbg
LainLain
prod
raman
(kg)
(Rp1000)
2000
284.211
41.740
58.475
27.011
128.802
1.240
0
30.321
571.800
1.409.690
2001
210.849
59.853
43.011
20.886
46.700
1.463
0
45.265
428.027
901.200
2002
439.344
107.474
61.848
35.989
238.372
11.065
0
184.063
1.078.155
2.305.902
2003
286.050
381.404
56.575
129.084
22.234
16.226
0
118.464
1.010.037
2.296.462
2004
331.105
353.386
20.166
25.884
31.882
28.745
0
30.072
821.240
2.233.378
2005
310.414
1.025.318
49.025
52.956
38.825
35.093
0
70.654
1.582.285
4.972.514
2006
178.860
288.745
117.381
26.284
46.897
0
22.426
19.493
700.086
2.497.876
2007
74.953
395.535
20.083
0
26.275
4.209
3.234
8.640
532.929
3.158.513
2008
84.003
507.405
6.797
0
9.746
8.532
35.701
43.759
695.943
5.386.046
2.199.789
3.160.860
433.361
318.094
589.733
106.573
61.361
550.731
7.420.502
25.161.581
244.421
351.207
48.151
35.344
65.526
11.841
6.818
61.192
824.500
2.795.731
∑ Rataan
Sumber: TPI PPN Palabuhanratu, 2009 Keterangan: Ckl: Cakalang, Tn: Tuna, Cct: Cucut, Jgl: Jangilus Tkl: Tongkol, Lyr: Layur, Tbg: Tembang
Hubungan antara produksi hasil tangkapan sejak Tahun 2000 hingga 2008 tidak selalu berkorelasi positif terhadap raman yang dihasilkan (Tabel 7). Faktorfaktor yang berpengaruh dikarenakan harga jual hasil tangkapan nelayan yang termasuk kategori ikan ekonomis rendah.
Musim penangkapan ikan
juga
berpengaruh terhadap jenis dan produksi hasil tangkapan nelayan sehingga nilai produksi tidak terlalu tinggi.
Gambar 8 Perkembangan produksi TPI PPNP, 2000-2008
121
Gambar 9 Perkembangan raman TPI PPNP, 2000-2008 Produksi terendah terjadi pada Tahun 2001 sebesar 428,02 ton dengan raman sebesar Rp901.200.000,00 dan produksi tertinggi terjadi pada Tahun 2005 yaitu 1.582,2 ton dengan raman sebesar Rp4.308.640.752,00.
Raman (nilai
produksi) tertinggi terjadi pada Tahun 2008 sebesar Rp5.386.045.679,00 dan raman terendah pada Tahun 2001 hanya sebesar Rp901.200.000,00. Tahun 2001 adalah tahun dengan produksi hasil tangkapan terendah yaitu hanya 428,02 ton, hal ini berdampak pula terhadap raman yang pada saat itu merupakan raman paling rendah karena hanya menghasilkan raman sebesar Rp901.200.000,00. Nilai raman terendah tersebut antara lain disebabkan pada Tahun 2001 produksi jenis hasil tangkapan ikan ekonomis tinggi yaitu tuna hanya sebesar 59,853 ton, sedangkan sebagian besar merupakan jenis ikan ekonomis rendah. Produksi tertinggi terjadi pada Tahun 2005 yaitu sebesar 1.582,2 ton, namun pada saat itu tidak menghasilkan raman terbesar.
Tahun 2005
menghasilkan raman sebesar Rp4.308.640.752,00 hal ini tidak sebanding dengan raman pada Tahun 2008 yang mencapai angka raman tertinggi yaitu Rp5.386.045.679,00 namun saat itu produksinya hanya sebesar 695,94 ton. Hubungan yang tidak berbanding lurus tersebut dapat dikarenakan antara lain harga per kilogram menurut jenis ikan yang berlaku pada tahun tersebut berubahubah sehingga berpengaruh terhadap nilai produksi hasil tangkapan.
122
Sebagian besar nelayan belum memanfaatkan sarana yang sudah ada, yaitu TPI untuk memasarkan ikan hasil tangkapannya. Nelayan lebih banyak yang terikat oleh pemilik modal atau terikat oleh pedagang pengumpul. Beberapa faktor yang memungkinkan rendahnya keikutsertaan nelayan dalam menjual ikannya di TPI diantaranya yaitu pendaratan ikan yang umumnya dilakukan pada malam hari, sedangkan pelelangan dilakukan pada siang hari. Rendahnya jumlah produksi hasil tangkapan ikan dan pemilik kapal yang merangkap sebagai bakul atau tengkulak menyebabkan hal tersebut turut berpengaruh terhadap penurunan nilai produksi di TPI. Kenyataannya tidak semua nelayan merasakan fungsi dari TPI. Sebagian nelayan merasa bahwa TPI tidak menguntungkan. Salah satunya disebabkan oleh adanya wajib pajak atau retribusi yang dikenakan pada nelayan tanpa diimbangi fasilitas yang disediakan bagi nelayan seperti air bersih dan pengelolaan pemasaran yang optimal, sementara itu hasil tangkapan nelayan relatif sedikit dan apabila dikenakan biaya retribusi maka keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Kerugian lainnya adalah pada saat hasil tangkapan para nelayan dalam kondisi baik, nelayan tidak dapat menentukan harga sendiri. Perkembangan jumlah produksi dan nilai raman hasil tangkapan di TPI yang dikelola oleh KUD Mina per tahun tertera dalam Gambar 10-27. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa trend perkembangan jumlah produksi tertinggi terjadi pada Tahun 2002 mengalami peningkatan sebesar 22,03%, sedangkan perkembangan jumlah produksi terendah terjadi Tahun 2005 yaitu minus 15,60%. Trend perkembangan jumlah nilai raman tertinggi pada Tahun 2002 dengan peningkatan sebesar
47,32% dan terendah pada Tahun 2005 dengan
perkembangan minus 47,23%. Hal tersebut berbanding lurus karena semakin banyak jumlah produksi di TPI maka nilai raman yang dihasilkan juga semakin tinggi. Kemungkinan hal tersebut tidak selamanya berbanding lurus apabila jumlah hasil tangkapan ekonomis penting lebih sedikit dibandingkan ikan bukan ekonomis penting maka nilai raman tidak terlalu besar.
123
Gambar 10 Perkembangan produksi, 2000
Gambar 11 Perkembangan produksi, 2001
Gambar 12 Perkembangan produksi, 2002
Gambar 13 Perkembangan produksi, 2003
Gambar 14 Perkembangan produksi, 2004
Gambar 15 Perkembangan produksi, 2005
Gambar 16 Perkembangan produksi, 2006
Gambar 17 Perkembangan produksi, 2007
Gambar 18 Perkembangan produksi, 2008
124
Gambar 19 Perkembangan raman, 2000
Gambar 20 Perkembangan raman, 2001
Gambar 21 Perkembangan raman, 2002
Gambar 22 Perkembangan raman, 2003
Gambar 23 Perkembangan raman, 2004
Gambar 24 Perkembangan raman, 2005
Gambar 25 Perkembangan raman, 2006
Gambar 26 Perkembangan raman, 2007
Gambar 27 Perkembangan raman, 2008
5.2 Faktor Penyebab tidak Berjalannya Lelang Ikan
125
Pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu belum berjalan optimal, untuk mengetahui penyebab tidak berjalannya aktivitas pelelangan ikan dapat ditinjau berdasarkan beberapa aspek yaitu: 5.2.1 Aspek sosial Pengamatan dan hasil wawancara di lapangan menunjukkan bahwa tidak berjalannya aktivitas lelang di TPI PPN Palabuhanratu termasuk isu permasalahan nasional yang cukup komplek. Permasalahan pelelangan bukan hanya kepentingan kelompok melainkan kepentingan banyak pihak yang harus didukung oleh semua unsur dan peran serta masyarakat sebagai pelaku pelelangan.
Daerah pesisir
dengan setiap karakteristik wilayah topografi yang berbeda memiliki ciri dan karakteristik sosial budaya masyarakat perikanan yang berbeda pula sehingga berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat perikanan setempat atas persepsinya mengenai pelelangan dan pentingnya pelelangan ikan. Hampir semua pelabuhan perikanan maupun pangkalan pendaratan ikan selalu memiliki fasilitas tempat pelelangan ikan (TPI). Hal ini dapat diartikan bahwa nelayan harus menjual hasil tangkapannya melalui sistem lelang. Peristiwa semacam ini dapat di jumpai pada TPI di PPP Juwana-Pati, PPN Pekalongan, PPP Muara Angke dan PPP Blanakan-Subang. Lain halnya dengan yang terjadi di TPI PPN Palabuhanratu. Lelang yang terjadi di TPI PPN Palabuhanratu bukan lelang hasil tangkapan nelayan melainkan lelang dari bakul.
Artinya bahwa sistem
lelang hasil tangkapan nelayan yang disampaikan melalui lisan secara terbuka di depan umum kerap tidak dijumpai, hal ini dikarenakan ikan hasil tangkapan nelayan langsung masuk dan ditangani oleh para bakul sebagai pemilik modal. Nelayan hanya mengurusi dan menangani proses penangkapan ikan selama di laut hingga ikan didaratkan di dermaga, untuk selanjutnya ikan akan ditangani oleh para bakul (Gambar 28-30). Satu hal yang cukup menentukan sikap keengganan nelayan terhadap pelaksanaan pelelangan ikan di TPI yaitu adanya keyakinan dan pengetahuan nelayan tentang fungsi dan tugas serta tata cara pelaksanaan pelelangan yang cukup formal sehingga membuat jarak yang cukup jauh antara pengelola TPI dengan nelayan. Hal tersebut kurang mendapatkan perhatian dari para pembina
126
pelelangan sehingga pemasaran hasil tangkapan hanya cenderung menguntungkan pihak bakul dan merugikan nelayan itu sendiri.
Gambar 28 Proses penimbangan ikan cakalang oleh bakul
Gambar 29 Mekanisme pemasaran ikan tanpa pelelangan di TPI
Gambar 30 Proses penimbangan ikan layur oleh bakul
127
Nelayan di Palabuhanratu umumnya mengetahui tentang keberadaan gedung TPI yang terletak di pusat kota Kelurahan Palabuhanratu. Pengetahuan masyarakat setempat mengenai sistem dan mekanisme pelelangan ikan yang seharusnya berlaku di kelembagaan TPI masih sangat kurang. Hal tersebut dapat dilihat dari kekurangtahuan masyarakat tentang struktur organisasi TPI serta keuntungan penjualan ikan melalui mekanisme pelelangan, bahkan tidak sedikit yang cenderung kurang paham mengenai fungsi dasar adanya tempat pelelangan ikan. Sebagian besar para nelayan cenderung berasumsi bahwa pengelola TPI hanya sebagai wadah bagi pemerintah untuk menarik retribusi. Nelayan kurang memahami akan hak dan kewajiban sebagai pelaku pelelangan. Hal tersebut dijadikan sebagai alasan mengapa beberapa nelayan tidak langsung menjual ikannya melalui TPI melainkan kepada para bakul. Berlakunya lelang tidak murni (nelayan menjual ikan melalui bakul), menjadikan nelayan tidak merasa terbebani dengan
pembayaran
retribusi
karena
sepenuhnya
ditanggung
pihak
bakul/tengkulak sebagai pembeli. Sebaliknya, jika dilakukan lelang murni maka nelayan harus membayar retribusi dari nilai transaksi penjualan ikan melalui TPI. Wawancara pribadi dengan Ernani, L (5 November 2009, Dosen Dept. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) mengatakan bahwa kenyataannya, tidak terdapat definisi dari istilah lelang murni dan tidak murni; yang ada hanyalah satu definisi pelelangan ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa di beberapa daerah, banyak nelayan yang sama sekali belum pernah melihat bahkan mengetahui adanya aktivitas pelelangan ikan, seperti yang terjadi di PPI Manggar - Kota Balikpapan - Kalimantan Timur, PPI Pontap - Kota Palopo - Sulawesi Selatan.
Hal ini menunjukkan masih
kurangnya pemahaman nelayan terhadap pelelangan itu sendiri. Setiap orang yang akan membeli dan menjual ikan di TPI harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat bagi pembeli adalah setiap orang yang benar-benar berminat untuk membeli ikan di TPI. Pembeli yang dinyatakan sebagai penawar tertinggi (pemenang) harus membayar secara tunai harga ikan yang dibeli (dilelang) kemudian membayar retribusi kepada TPI sebesar 3% dari nilai yang dibelinya. Pembayaran yang dilakukan secara tidak tunai hanya diijinkan bila dijamin oleh manajer TPI.
Syarat bagi penjual adalah nelayan dengan hasil
128
tangkapan diatas kebutuhan lauk-pauk wajib menjual hasil tangkapannya melalui TPI kemudian membayar retribusi kepada TPI sebesar 2% dari hasil penjualannya. Besaran retribusi ini tidak selalu sama untuk setiap pelabuhan perikanan di Indonesia. Kendala lain yang terjadi di PPN Palabuhanratu saat ini yaitu tidak lagi dilakukan pelelangan dalam pemasaran hasil tangkapannya adalah karena seringkali para bakul sebagai peserta lelang menunggak pembayaran atas harga nilai transaksi ditambah dengan pungutan retribusi sebesar 3%. Bakul seringkali melakukan transaksi yang melebihi batas kemampuan uang jaminan, padahal tindakan tersebut tidak diperkenankan tanpa diketahui oleh manajer TPI. Sanksinya, pihak pengelola TPI berhak untuk melakukan teguran bahkan melarang
peserta
lelang
tersebut
untuk
mengikuti
lelang
selanjutnya.
Penunggakan dari para bakul peserta lelang tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keberlangsungan proses lelang. Akibat adanya tunggakan, pengelola TPI terpaksa mengucurkan dana talangan sebagai pembayaran atas harga nilai transaksi kepada nelayan karena pembayaran tersebut harus diserahkan langsung setelah proses lelang selesai. Dana hasil retribusi tersebut dapat digunakan sebagai pembayaran biaya pembangunan dan penyediaan sarana TPI, biaya operasional TPI serta biaya lelang. Tunggakan tersebut masih bisa diatasi apabila hanya terjadi pada satu bakul, namun jika dilakukan berulangkali sehingga menjadi kebiasaan yang terjadi dikalangan para bakul maka dapat berdampak buruk terhadap KUD Mina karena akan mengalami permasalahan modal yang terus berkurang. Manajemen kelembagaan KUD Mina Mandiri Sinar yang lemah semakin membuat masyarakat nelayan kurang tertarik untuk menyalurkan dan menjual hasil tangkapannya melalui proses pelelangan. Permasalahan lain disebabkan karena rendahnya kesadaran masyarakat perikanan akan arti pentingnya pelelangan. Masyarakat perikanan masih berfikir bahwa dengan mengikuti sistem penjualan secara lelang maka akan terjadi banyak pungutan sebagai pembayaran retribusi lelang. Harga ikan hasil penjualan melalui lelang yang akan dibayarkan kepada nelayan akan dipotong sebesar 2% dari nilai transaksi dan akan digunakan sebagai dana-dana nelayan seperti tabungan nelayan, asuransi nelayan, dana paceklik, dan dana sosial (penanggulangan
129
darurat kecelakaan di laut).
Potongan retribusi nelayan sebesar 2% masih
menimbulkan pro dan kontra masyarakat perikanan. Nelayan yang memiliki hasil tangkapan ekonomis rendah dan jumlah produksi yang relatif rendah menganggap bahwa apabila menjual ikan melalui lelang maka akan mengalami kerugian karena harus mengalami potongan, apalagi jika harga jual ikan kurang menguntungkan sehingga nelayan cenderung memilih menjual ikan langsung kepada para bakul/tengkulak walaupun berada pada bargaining position yang lemah. Penyebab lain adalah multifungsi profesi sehingga menyulitkan peran seseorang dalam sistem pelelangan. Mayoritas beberapa orang yang berprofesi sebagai pengusaha pemilik kapal juga merangkap sebagai bakul. Kebiasaan lain dalam masyarakat perikanan Palabuhanratu yang sulit diubah adalah sistem langgan yang sudah mendarah daging. Sistem langgan terjadi ketika nelayan tidak memiliki modal untuk melaut, keadaan ini memaksa nelayan untuk meminjam uang kepada para bakul/juragan. Bentuk timbal baliknya, nelayan harus menjual ikan hasil tangkapannya kepada bakul juragan tersebut. 5.2.2
Aspek fasilitas Secara umum fasilitas yang dimiliki TPI PPN Palabuhanratu yang
digunakan untuk menyelenggarakan aktivitas pelelangan ikan diantaranya yaitu: (a) Fasilitas penunjang pelelangan ikan
Timbangan Timbangan berfungsi untuk menimbang ikan hasil tangkapan setelah didaratkan melalui dermaga lantai TPI. Timbangan yang ada di TPI PPN Palabuhanratu berjumlah 1 (satu) unit timbangan digital. Kondisi fisik timbangan digital (Gambar 31) mengalami beberapa kerusakan karena sudah cukup lama tidak digunakan sehingga keakuratannya berkurang. Timbangan ini seharusnya bisa digunakan oleh nelayan yang hendak melakukan lelang ikan.
130
Gambar 31 Timbangan gantung digital
Trays Trays (basket) berfungsi sebagai wadah ikan hasil tangkapan yang didaratkan. Trays (Gambar 32) biasanya terbuat dari bahan fiber yang bersifat kuat dan tahan lama. Trays di PPN Palabuhanratu berkapasitas 30 kg dan 45 kg, disewakan kepada nelayan yang hendak mengangkut ikan hasil tangkapan dan dikenai biaya sewa dan perawatan Rp500,00/trays. Penyewaan trays adalah pemasukan tambahan selain dari retribusi lelang ikan yang dipungut dari nelayan dan bakul. Trays yang ada TPI berjumlah 600 unit dengan rincian 100 unit disediakan oleh pihak pengelola PPN Palabuhanratu dan 500 unit disediakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Secara umum kondisi fisik trays ini adalah baik.
Gambar 32 Trays
Troli
131
Troli (Gambar 33) merupakan alat bantu yang berfungsi untuk mempermudah proses pengangkutan ikan dari dermaga menuju lantai TPI ketika ikan hasil tangkapan telah didaratkan dan hendak diangkut ke TPI. Troli yang dimiliki TPI PPN Palabuhanratu berjumlah 10 unit dan merupakan sumbangan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Sampai saat ini troli ini masih berfungsi dan kondisinya masih baik.
Gambar 33 Troli
Kursi Juru Lelang Kursi juru lelang ini berfungsi sebagai tempat duduk juru lelang ketika pelelangan ikan dilaksanakan. Kursi ini terbuat dari bahan kayu dan memiliki dudukan yang tinggi, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan juru lelang dalam melihat dan memutuskan peserta yang memenangkan lelang ikan. Kondisi fisik dari kursi juru lelang ini adalah kurang baik.
Megaphone Megaphone (Gambar 34) berfungsi sebagai pengeras suara ketika dipergunakan oleh juru lelang saat melakukan kegiatan pelelangan ikan. Hal ini dilakukan agar informasi yang disampaikan oleh juru lelang dapat terdengar oleh para peserta lelang sehingga transparansi jumlah dan harga ikan diketahui oleh nelayan dan bakul. Megaphone yang dimiliki TPI PPN Palabuhanratu berjumlah 2 (dua) unit, dengan rincian 1 (satu) unit megaphone
132
merk sun way ER 660 dan 1 (satu) unit megaphone merk TOA MR 2015. Semua megaphone berasal dari sumbangan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat. Megaphone ini hingga sekarang kondisinya masih baik dan dapat digunakan.
Gambar 34 Megaphone
(b) Fasilitas bangunan TPI Sistem pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu belum berjalan lancar. Hal ini dapat dilihat melalui fasilitas bangunan TPI PPN Palabuhanratu yang seharusnya berfungsi sebagai wahana penjualan ikan untuk mencari pembeli potensial sebanyak mungkin belum terwujud saat ini. TPI PPN Palabuhanratu memiliki konstruksi bangunan yang cukup memadai untuk berlangsungnya aktivitas pelelangan ikan, namun saat ini bangunan tersebut telah beralih fungsi menjadi pasar dimana para pedagang lapak ikan bebas berjualan di dalam bangunan TPI tersebut (Gambar 35-36). Hasil pengamatan selama di lapangan menunjukkan bahwa tata letak dermaga bongkar kurang sesuai dengan fungsinya sebagai areal untuk proses pendaratan dan pembongkaran ikan (Gambar 37-38). Areal dermaga bongkar juga digunakan sebagai tempat kapal nelayan bersandar dan menambatkan kapalnya untuk beristirahat. Akibatnya, tentu sangat mengganggu proses pendaratan dan pembongkaran ikan apabila pelelangan ikan hendak diaktifkan kembali.
133
Fasilitas bangunan TPI yang berpengaruh terhadap belum aktifnya kembali pelelangan ikan adalah kondisi lantai TPI yang masih belum memenuhi standar kebersihan lantai TPI. Fasilitas kran air bersih yang seharusnya dapat digunakan untuk membersihkan sampah dan sisa-sisa kotoran di lantai TPI tidak berfungsi dengan baik bahkan kondisinya rusak. Petugas kebersihan hanya menggunakan air kolam pelabuhan yang tercemar untuk membersihkan dan menyemprot lantai TPI. Kondisi fisik bangunan TPI saat ini berbeda dengan sebelumnya karena sudah mengalami renovasi di beberapa bagian gedung TPI. Kondisi lantai TPI yang dulunya hanya menggunakan bahan cor-coran semen (Gambar 39) sekarang telah berkeramik dan lantainya telah ditinggikan sekitar ± 60 cm serta dibuat 6 (enam) bagian petak besar (Gambar 40). Ketersediaan fasilitas penunjang pelelangan ikan (timbangan, trays, troli, kursi juru lelang, megaphone) sebenarnya sangat menunjang terhadap berlangsungnya aktivitas pelelangan ikan meskipun ada beberapa dari fasilitas tersebut yang kondisi fisiknya kurang baik namun secara teknis hal tersebut dapat diperbaiki.
Kondisi fasilitas bangunan dan lantai TPI serta dermaga cukup
berpengaruh terhadap tidak berjalannya aktivitas lelang ikan.
Gambar 35 Proses tawar-menawar antar pedagang tanpa pelelangan
134
Gambar 36 Penyalahgunaan TPI sebagai tempat kegiatan pedagang lain
Gambar 37 Proses pendaratan & pembongkaran ikan
Gambar 38 Areal bongkar dan tambat labuh kapal
135
Gambar 39 Kondisi lantai TPI sebelum renovasi
Gambar 40 Kondisi lantai TPI setelah renovasi 5.2.3
Aspek hasil tangkapan Jenis hasil tangkapan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu merupakan
jenis ikan komoditas ekspor dan non ekspor (Gambar 41-44). Pengelola PPN Palabuhanratu mengelompokkan berdasarkan ikan yang didaratkan dan tercatat di TPI (fish by retribusi) dan ikan yang didaratkan dan tercatat di pelabuhan perikanan (fish by landing). Fish by retribusi artinya ikan tersebut telah tercatat di TPI serta dikenai retribusi untuk proses pemasaran ikan, sedangkan fish by landing adalah ikan secara keseluruhan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu dan telah tercatat oleh pihak pengelola PPN Palabuhanratu. Fish by landing identik dengan jenis ikan komoditas ekspor seperti tuna, layur, dan swanggi. Ikan ekspor tersebut tidak masuk ke TPI melainkan langsung
136
masuk ke perusahaan pengekspor walaupun tetap dikenakan tarif retribusi. Mengingat aktivitas pelelangan ikan belum berjalan dengan baik, ditengarai retribusi yang didapat dari hasil tangkapan tuna kurang sesuai dengan nilai yang seharusnya. Pengelola pelelangan
pada saat itu menetapkan tarif retribusi
Rp8.800,00/kg untuk jenis hasil tangkapan tuna.
Hal tersebut bertentangan
dengan Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa: BAB II PELELANGAN IKAN Pasal 3 (1) Hasil penangkapan ikan di laut harus dijual secara lelang di TPI. (2) Tata cara pelaksanaan pelelangan ikan ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut dapat diartikan bahwa Pasal 3 di atas tidak membedakan untuk ikan-ikan tujuan ekspor, semuanya diberlakukan sama yaitu harus melalui pelelangan ikan. Wawancara pribadi dengan Sam, A. R (16 Mei 2009, Dosen luar biasa Dept. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) mengatakan bahwa, ada beberapa alasan tertentu yang menyebabkan suatu ikan hasil tangkapan tidak dilelang yaitu jumlah produksi ikan hasil tangkapan terlalu kecil yaitu ≤50 kg, ikan komoditas ekspor, ikan hasil tangkapan dari kapal pelatihan/penelitian, nelayan yang tidak patuh aturan, serta konsumen yang melakukan kecurangan “kongkalikong”.
Gambar 41 Ikan tembang hasil tangkapan bagan
137
Gambar 42 Ikan lisong dan kakap merah
Gambar 43 Ikan tuna reject tidak layak ekspor
Gambar 44 Ikan layur reject tidak layak ekspor
5.2.4
Aspek peraturan Kelembagaan TPI merupakan kelembagaan ekonomi yang bergerak di
sektor pemasaran hasil tangkapan nelayan. TPI Palabuhanratu dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 15 Tahun 1984 dan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jabar Nomor 31 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Pelelangan Ikan, berada di dalam wilayah operasional Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, untuk membantu masyarakat
138
menjual ikan dengan cara dilelang. Surat keputusan tersebut menyatakan bahwa semua ikan hasil tangkapan nelayan harus dijual melalui cara lelang di TPI. TPI merupakan salah satu fasilitas yang ada pelabuhan perikanan untuk memasarkan ikan melalui aktivitas pelelangan. TPI sebagai salah satu tempat pelelangan ikan saat ini masih mengutamakan pengumpulan dana dan retribusi. Kelembagaan TPI pada dasarnya memiliki tujuan untuk melindungi para nelayan yang seringkali berada pada posisi yang lemah dalam menghadapi pedagang atau tengkulak yang jumlahnya lebih sedikit. Pelelangan ikan adalah upaya pemerintah daerah yang bertujuan untuk membentuk persaingan harga yang layak serta melindungi nelayan dari permainan harga pasar yang kurang menguntungkan. Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah daerah adalah dengan membentuk kelembagaan KUD yang berwenang menyelenggarakan aktivitas pelelangan ikan. Hal ini sesuai dengan Perda Provinsi Jawa Barat No 5 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa: BAB III IZIN PENYELENGGARAAN PELELANGAN IKAN Pasal 5 (1) Penyelenggaraan Pelelangan Ikan harus memiliki izin dari Gubernur. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada KUD Mina yang memenuhi syarat. (3) Jika pada suatu lokasi TPI tidak terdapat KUD Mina yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara pelelangan ikan dapat diberikan kepada Dinas Kabupaten atau Kota. Berdasarkan penjelasan di atas, lembaga yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan pelelangan ikan adalah KUD Mina. Aktivitas pelelangan ikan merupakan suatu mekanisme pasar melalui pembentukan harga bersaing secara transparan dan dilakukan di hadapan khalayak umum. Pelaksanaan pelelangan ikan memiliki seperangkat aturan atau kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah Daerah. Provinsi Jawa Barat, saat ini masih memberlakukan Perda Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Peraturan tersebut mendukung sepenuhnya pelaksanaan lelang. Aspek kebijakan bukan merupakan
139
faktor penghambat tidak berfungsinya aktivitas pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu.
Aturan atau kebijakan tersebut belum sepenuhnya terlaksana
karena belum ada kerjasama serta kurangnya dukungan dari semua unsur dan peran masyarakat dalam penegakan aturan pelelangan, sebagai contoh adalah aktivitas pendaratan dan pembongkaran ikan oleh nelayan yang dilakukan di sembarang tempat untuk melakukan transaksi langsung dengan bakul/tengkulak tanpa melalui laporan terlebih dahulu ke TPI sehingga menyulitkan petugas TPI dalam mendata produksi hasil tangkapan nelayan.
Contoh lainnya adalah
kurangnya bantuan tenaga petugas keamanan dalam mengawasi aktivitas penjualan ikan di TPI serta sikap petugas yang masih lemah dalam menentukan sanksi tegas bagi yang melanggar aturan tersebut walaupun telah ada ketentuan pidana bagi yang melanggarnya. Contoh tersebut menandakan bahwa budaya kelembagaan tengkulak dalam masyarakat nelayan Palabuhanratu memang masih melekat kuat. Kendala lain yang masih meragukan adalah dalam beberapa ketentuan peraturan tersebut belum terdapat kejelasan yang lebih spesifik mengenai aturanaturan bagi ikan yang tidak dan yang diperkenankan untuk dilelang. Hal ini tentu saja membuka peluang untuk tidak berjalannnya sistem lelang sehingga fungsi KUD Mina sebagai penyelenggara lelang kurang berfungsi dengan baik.
5.3
Dampak Mekanisme Pemasaran tanpa Lelang Pelelangan ikan merupakan salah satu pola pemasaran krusial bagi
terbentuknya keseimbangan harga bersaing yang stabil, meningkat dan transparan. Awal tujuan sesungguhnya dilaksanakan sistem pelelangan ikan di daerah produksi adalah sebagai upaya mencari pembeli potensial sebanyak mungkin untuk menjual ikan hasil tangkapan nelayan sebagai produsen pada tingkat harga yang menguntungkan nelayan tanpa merugikan pihak pembeli; yaitu pedagang pengumpul. Sistem lelang ikan diharapkan mampu mencegah penjualan ikan hasil tangkapan nelayan kepada para tengkulak yang justru merugikan nelayan. Hasil wawancara menunjukkan sebagian besar nelayan cenderung apatis terhadap kelembagaan KUD yang menjalankan sistem lelang, terutama bagi nelayan buruh yang langsung turun ke laut. Nelayan menyadari bahwa dengan
140
adanya lelang, harga ikan cenderung meningkat, terkontrol dan diketahui oleh kedua belah pihak yaitu nelayan dan bakul. Harga dasar ikan yang akan dilelang di TPI PPN Palabuhanratu tidak lepas dari kontrol petugas penyelenggara lelang terhadap tingkat harga yang berlaku di pasaran pada saat itu. Nelayan cenderung lebih memilih kelembagaan tengkulak sebagai sarana pemasaran hasil tangkapan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa hal ini dimungkinkan karena pengetahuan masyarakat perikanan tentang pelelangan masih rendah. Kondisi Fasilitas permodalan dan jaminan pembelian hasil tangkapan adalah salah satu faktor pemicu yang menjadi norma atau nilai penting dalam kelembagaan bakul/tengkulak.
Hal tersebut dianggap menguntungkan bagi
nelayan karena mendapat kepastian dan jaminan penjualan hasil tangkapan dibandingkan bila dijual melalui sistem lelang, di sisi lain nelayan juga merasakan adanya kerugian karena harga menjadi lebih murah dan ikan hasil tangkapan tidak diperbolehkan dijual ke tempat lain. Mekanisme pemasaran saat ini semakin membuka peluang bagi para bakul/tengkulak untuk menguasai pembentukan harga di kalangan masyarakat nelayan tanpa ada kontrol dari pembina maupun pengawas pelelangan. Dampak
karena
tidak
berfungsinya
aktivitas
pelelangan
ikan,
menyebabkan bakul/tengkulak untuk menekan harga ikan yang dibeli dari nelayan dengan harga yang tidak layak. Nelayan hanya berperan sebagai penerima harga (price taker) karena posisi tawar yang lemah, sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap penurunan pendapatan nelayan. Sistem yang berlaku dalam kelembagaan tengkulak adalah kesepakatan antara nelayan dan tengkulak tersebut. Tengkulak akan memberikan modal kepada nelayan untuk melaut dan hasil tangkapannya harus dijual kepada tengkulak.
Harga ikan yang dibeli oleh tengkulak dari
nelayan akan lebih rendah, selisihnya dapat mencapai Rp2.000,00/kg bahkan lebih dari harga jual ikan standar bila melalui lelang. Tabel 8 dan 9 di bawah hanya sebagai informasi untuk menunjukkan adanya selang harga yang cukup besar apabila ikan dijual oleh nelayan langsung melalui bakul/tengkulak dibandingkan apabila ikan dijual melalui mekanisme lelang, sehingga dari data tersebut dapat diperkirakan dampak kerugian yang terjadi bukan hanya bagi nelayan dan pedagang melainkan juga PAD Kabupaten yang terus mengalami penurunan
141
dengan adanya mekanisme pemasaran tanpa lelang. Selisih harga jual ditentukan terhadap spesies ikan yang sama dalam periode waktu yang sama yaitu periode bulan Mei 2009 di PPN Palabuhanratu. Tabel 8 Harga jenis ikan per kg di PPN Palabuhanratu, Mei 2009 No
Jenis ikan
Harga per kg (Rp) Tingkat nelayan
Tingkat bakul
Tingkat pengecer
1
Cakalang
8.000,00
9.000,00
10.000,00
2
Tuna
15.000,00
25.000,00
30.000,00
3
Cucut
20.000,00
30.000,00
35.000,00
4
Tongkol
8.000,00
10.000,00
12.000,00
5
Layur
13.000,00
20.000,00
25.000,00
6
Tembang
7.000,00
8.000,00
9.000,00
Sumber: Data primer, Mei 2009
Tabel 9 Penghitungan raman untuk beberapa jenis ikan dengan lelang dan tanpa lelang di PPN Palabuhanratu, Mei 2009 Harga per kg (Rp) Jenis ikan
Produksi (kg)
Raman * (Rp)
Kehilangan penerimaan nelayan*
Asumsi melalui lelang*
Tanpa lelang*
Asumsi melalui lelang*
Tanpa lelang
(Rp)
Ckl
8.277
9.000,00
7.000,00
74.493.000,00
56.118.950,00
18.374.050,00
Tn
38.762
11.000,00
9.000,00
426.382.000,00
340.454.400,00
85.927.600,00
Tkl
431
9.000,00
7.000,00
3.879.000,00
3.015.000,00
864.000,00
47.470
29.000,00
23.000,00
504.754.000,00
399.588.350,00
105.165.650,00
Rataan 15.823.33 9.666,67 7.666,67 168.251.333,33 Sumber: TPI PPN Palabuhanratu, Mei 2009 (*diolah kembali)
133.196.116,67
35.055.216,67
Total
Keterangan: Ckl: Cakalang, Tn: Tuna, Tkl: Tongkol
Tabel 9 menunjukkan penghitungan raman beberapa komoditas ikan tertentu untuk mengetahui selisih raman (nilai produksi) sehingga nelayan kehilangan sebagian penerimaannya. Adanya informasi data yang terbatas saat di lapangan, maka peneliti hanya menghitung tiga jenis komoditas ikan tertentu sebagai contoh, tidak secara keseluruhan. Kondisi saat ini ketika pemasaran tidak lagi dilakukan lelang maka harga ikan yang terjual menjadi lebih rendah dibandingkan bila ikan tersebut diasumsikan dipasarkan melalui lelang. Asumsinya adalah bahwa pada saat ikan dipasarkan melalui lelang, maka harga
142
ikan akan meningkat sehingga berpengaruh terhadap raman yang juga mengalami peningkatan. Berbeda dengan kondisi saat ini dimana pemasaran ikan tidak lagi dilelang, maka harga jual ikan lebih rendah dan raman yang dihasilkan juga rendah. Berdasarkan wawancara terhadap nelayan harga ikan pada saat dilelang diasumsikan mengalami peningkatan sebesar Rp2000,00 per kg dibandingkan harga ikan ketika tidak dilelang, sehingga contoh kasus pada Tabel 9 adalah seharusnya jika terjadi pelelangan maka harga ikan cakalang, tuna dan tongkol per kg yang dijual nelayan berturut-turut adalah Rp9.000,00; Rp11.000,00; dan Rp9.000,00 dan potensi penerimaan raman dari masing-masing ikan tersebut juga akan meningkat, namun karena lelang belum berfungsi kembali maka harga jual ikan cakalang, tuna dan tongkol per kg menjadi lebih rendah yaitu Rp7.000,00; Rp9.000,00 dan Rp7.000,00 sehingga raman yang dihasilkan juga lebih rendah dibandingkan bila melalui lelang. Selisih harga tersebut mengakibatkan nelayan kehilangan sebagian penerimaannya. Total kehilangan sebagian penerimaan nelayan untuk tiga komoditas ikan diatas adalah Rp105.165.650,00 dan rata-rata untuk
masing-masing
komoditas
ikan
nelayan
kehilangan
sebagian
penerimaannya sebesar Rp35.055.216,67. Penjelasan diatas hanya terkait dengan komoditas ikan yang telah disebutkan dalam Tabel 9, tidak secara keseluruhan. Perlu adanya penghitungan untuk setiap komoditas ikan sehingga dapat mengetahui potensi penerimaan nelayan yang hilang akan menjadi lebih besar.
5.4 Potensi penerimaan PAD Penentuan besarnya selisih potensi pemasukan terhadap PAD dilakukan melalui beberapa tahapan analisis, sebagaimana dijabarkan dibawah ini: 5.4.1 Analisis perbandingan produksi dan nilai produksi hasil tangkapan ikan melalui pelelangan dan tanpa pelelangan Aktivitas pelelangan ikan di TPI PPN Palabuhanratu tidak berfungsi secara optimal, diduga jumlah produksi dan nilai produksi di TPI sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan TPI yang menyelenggarakan aktivitas pelelangan ikan seperti yang terjadi di TPI Muara Angke. Hasil wawancara kepada nelayan dan pedagang menyatakan bahwa hampir sebagian hasil tangkapan nelayan PPN Palabuhanratu dipasarkan juga ke wilayah Jakarta yaitu
143
ke daerah Muara Baru dan Muara Angke. Mira (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, antara pasar Muara Baru, Muara Angke dan pasar Palabuhanratu terintegrasi sempurna, artinya bahwa perubahan harga yang terjadi di Muara Baru dan Muara Angke bisa mempengaruhi perubahan harga di pasar Palabuhanratu dan begitu pula sebaliknya. TPI Muara Angke adalah salah satu pelelangan ikan dengan jumlah penjual terbanyak di Jakarta. Masing-masing penjual memiliki jam operasi yang beragam mulai dari jam 10.00-23.00 wib atau sebaliknya. Kawasan TPI Muara Angke tidak pernah sepi dari aktivitas pelelangan, meskipun penawaran dari beberapa daerah kadang terhambat lantaran cuaca yang kurang bersahabat. Pelelangan di TPI Muara Angke dikunjungi oleh pembeli dari beberapa tempat di Jawa Barat seperti Bekasi, Tangerang, Bogor dan Bandung. Ikan yang dilelang di TPI Muara Angke adalah ikan hasil tangkapan yang langsung didaratkan oleh kapal. Ikan-ikan kiriman dari daerah lain seperti Indramayu, Pekalongan, Tegal, Palabuhanratu, Tuban, Cilacap, Lampung, dan Labuan masuk ke pasar grosir Muara Angke. Pelaksanaan sistem lelang yang terjadi di Muara Angke, terkadang ikan yang dilelang tidak ada pembelinya atau nelayan tidak mau menjual hasil tangkapannya di TPI.
Setiap hasil tangkapan yang didaratkan di TPI harus
dilelang, jika hasil tangkapannya tidak ingin dilelang, maka nelayan tersebut harus membeli hasil tangkapannya sendiri dan dikenakan retribusi 5%. TPI Muara Angke mengenal cara tersebut dengan istilah “opow” (istilah lokal). TPI Palabuhanratu sejak Tahun 2004 dikelola oleh KUD Mina, aktivitas pelelangan ikan tidak berjalan mulus sehingga hanya sedikit nelayan yang dapat merasakan manfaat adanya retribusi pelelangan. Hal tersebut sesuai dengan wawancara kepada beberapa orang nelayan dan pengelola KUD bahwa tidak ada pembagian tabungan nelayan ataupun asuransi kecelakaan di laut, yang ada hanyalah pembagian berupa sembako yang dilakukan setahun sekali menjelang lebaran Idul Fitri. Dana-dana nelayan lebih diarahkan pada penggunaan perayaan untuk penyambutan hajatan seperti hari nelayan dan hajatan lain yang sifatnya dapat dinikmati bersama. Upaya yang telah dilakukan oleh pengelola TPI untuk menggiatkan kembali aktivitas pelelangan ikan adalah berupa penyuluhan dan pendekatan persuasif kepada para nelayan dan pedagang agar bersedia untuk
144
kembali melaksanakan pelelangan ikan. Penyuluhan tersebut hanya dilakukan ketika ada acara tertentu yang bekerjasama dengan suatu instansi, tidak dilakukan secara rutin. Pengelola TPI juga melakukan studi banding ke beberapa pelabuhan perikanan yang melaksanakan aktivitas pelelangan untuk meninjau dan mencontoh pelaksanaan pelelangannya. Peneliti mengasumsikan bahwa produksi dan raman yang dihasilkan oleh TPI ketika menyelenggarakan pelelangan lebih besar dibandingkan bila TPI tidak menyelenggarakan pelelangan seperti yang terjadi di PPN Palabuhanratu sehingga retribusi yang diterima juga akan meningkat (Tabel 10). Hubungan antara hasil tangkapan dengan retribusi berdasarkan tabel di atas adalah semakin banyak hasil tangkapan yang diperoleh maka akan banyak pula retribusi yang dibayarkan, demikian pula jika harga ikan yang dilelang tinggi maka retribusi yang dibayarkan juga meningkat. Kenaikan atau penurunan hasil penjualan nelayan akan sangat mempengaruhi nilai retribusi (Yustiarani, 2008). Tabel 10 memperlihatkan penghitungan retribusi beberapa komoditas ikan tertentu untuk mengetahui selisih retribusi ketika ikan dipasarkan dengan lelang dan tanpa lelang. Peneliti hanya menghitung tiga jenis komoditas ikan tertentu sebagai contoh, dikarenakan informasi data yang terbatas saat dilapangan. Kondisi saat ini ketika pemasaran tidak lagi dilakukan lelang maka harga ikan yang terjual menjadi lebih rendah dibandingkan bila ikan tersebut diasumsikan dipasarkan melalui lelang. Asumsinya adalah bahwa pada saat ikan dipasarkan melalui lelang, maka harga ikan cenderung meningkat sehingga berpengaruh terhadap raman dan retribusi yang diterima juga mengalami peningkatan. Berbeda dengan kondisi saat ini dimana pemasaran ikan tidak lagi dilelang, harga jual ikan lebih rendah sehingga raman dan retribusi yang diterima juga rendah. Contoh kasus pada Tabel 10 adalah seharusnya jika terjadi pelelangan maka raman ikan cakalang, tuna dan tongkol yang dijual nelayan berturut-turut adalah Rp74.493.000,00; Rp426.382.000,00; dan Rp3.879.000,00 sehingga akan meningkatkan retribusi yang diterima oleh pengelola pelelangan, namun karena lelang belum berfungsi kembali maka raman ikan cakalang, tuna dan tongkol menjadi
lebih
rendah
yaitu
Rp56.118.950,00;
Rp340.454.400,00
dan
Rp3.015.000,00 sehingga retribusi yang diterima pengelola pelelangan cenderung
145
lebih rendah dibandingkan bila melalui lelang. Selisih retribusi tersebut mengakibatkan pemda kehilangan sebagian penerimaannya. Total selisih retribusi untuk tiga komoditas ikan dibawah adalah Rp5.258.282,50 dan selisih retribusi rata-rata yang tidak diterima untuk masing-masing komoditas ikan sebesar Rp1.752.760,83. Penjelasan pada Tabel 10 hanya terkait dengan komoditas ikan yang telah disebutkan dalam Tabel 9, tidak secara keseluruhan. Perlu adanya penghitungan untuk setiap komoditas ikan sehingga dapat mengetahui selisih retribusi yang tidak diterima akan menjadi lebih besar. Semakin tinggi selisih retibusi maka semakin besar kerugian TPI akibat tidak adanya lelang ikan karena pemasukan dari retribusi pelelangan ikan kecil.
79
Tabel 10 Selisih retribusi melalui pelelangan dan tanpa pelelangan di PPN Palabuhanratu, Mei 2009 Jenis ikan
Cakalang
Produksi (kg)
Harga per kg (Rp) Asumsi Tanpa melalui lelang* lelang*
Raman (Rp) Asumsi melalui lelang*
Tanpa lelang
Retribusi (Rp) Asumsi melalui Tanpa lelang* lelang*
Selisih retribusi* (Rp)
8.277
9.000,00
7.000,00
74.493.000,00
56.118.950,00
3.724.650,00
2.805.947,50
918.702,50
38.762
11.000,00
9.000,00
426.382.000,00
340.454.400,00
21.319.100,00
17.022.720,00
4.296.380,00
431
9.000,00
7.000,00
3.879.000,00
3.015.000,00
193.950.00
150.750,00
43.200,00
47.470
29.000,00
23.000,00
504.754.000,00
399.588.350,00
25.237.700,00
19.979.417,50
5.258.282,50
Rata-rata 15.823.33 9.666,67 7.666,67 Sumber: TPI PPN Palabuhanratu, 2009 (*diolah kembali)
168.251.333,33
133.196.116,67
8.412.566,67
6.659.805,83
1.752.760,83
Tuna Tongkol Total
80
5.4.2 Analisis nilai riil retribusi (NRR) yang diterima Pemda Aktivitas pelelangan ikan diatur dalam Perda Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 menyebutkan bahwa semua hasil penangkapan ikan di laut harus dijual secara lelang di TPI karena harus cepat terjual dengan harga yang layak sehubungan dengan sifat dari komoditi tersebut yang cepat busuk. Perda tersebut tidak menyebutkan pengecualian. Hal ini berarti bahwa untuk ikan komoditas ekspor juga seharusnya dilakukan pelelangan ikan di TPI. Hanya saja untuk ikan komoditas ekspor ini terdapat beberapa ketentuan yaitu ikan jenis tertentu yang akan diekspor diprioritaskan pelelangannya dan penanganannya dalam rangka menjaga kualitas ikan. Nilai riil retribusi (NRR) yang diterima oleh Pemda berasal dari raman (nilai produksi) dari TPI yang pembagiannya sebesar 2,4% diperuntukkan bagi pemerintah daerah dan 2,6% untuk TPI yang penggunaannya telah diatur dalam Perda Jabar No 5 Tahun 2005. Nilai riil retribusi yang diterima oleh pemerintah daerah dapat dilihat berdasarkan penghitungan jumlah produksi dan nilai produksi dari TPI (Tabel 11). Berikut adalah nilai riil retribusi (NRR) dari yang diterima TPI. Tabel 11 Nilai riil retribusi (NRR) 5% yang diterima pengelola pelelangan, 2000-2008 Tahun
Jumlah
Jumlah
NRR*
Produksi
Raman
(5% x nilai raman)
(kg)
(Rp)
(Rp)
2000
571.800
1.409.690.000,00
70.484.500,00
2001
428.027
901.200.000,00
45.060.000,00
2002
1.078.155
2.305.901.667,00
115.295.083,00
2003
1.010.037
2.296.462.000,00
114.823.100,00
2004
821.240
2.233,378,471,00
111.668.924,00
2005
1.582.285
4.972.514.202,00
248.625.710,00
2006
700.086
2.497.876.483,00
124.893.824,00
2007
532.929
3.158.512.593,00
157.925.630,00
2008
695.943
5.386.045.679,00
269.302.284,00
Rata-rata
824.500
2.795.731.233,00
139.786.562,00
Sumber : TPI PPN Palabuhanratu, 2009 (*diolah kembali)
Dana retribusi yang diterima oleh pengelola TPI PPN Palabuhanratu akan disetor sebagai PAD Kabupaten kepada Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda)
81
yang sekarang beralih nama menjadi DPPKAD (Dinas Pengelolaan Pendapatan Kekayaan dan Aset Daerah) setelah diketahui oleh ketua KUD Mina Mandiri Sinar Laut. Dana yang disetor merupakan hak pemerintah daerah sebesar 2,4%. Besaran nilai 2,4% tersebut kemudian dibagi kedalam pos-pos yang telah ditentukan besaran persennya (lihat sub bab 2.3.2). Nilai riil retribusi (NRR) pelelangan ikan yang disetor untuk PAD Kabupaten (Tabel 12) adalah sebagai berikut : Tabel 12 Nilai riil retribusi (NRR) 2,4% bagi PAD Kabupaten, 2000-2008 Tahun
Raman
Penerimaan pemda (PAD) (1.6%)*
(Rp)
(Rp)
Pembagian PAD* Kabupaten/ Provinsi * Kota* (Rp) (Rp)
BO TPI (0.80%)* (Rp)
**
1.409.690.000
22.555.040
11.277.520
11.277.520
11.277.520
2001**
901.200.000
14.419.200
7.209.600
7.209.600
7.209.600
2002
**
2.305.901.667
36.894.427
18.447.213
18.447.213
18.447.213
2003
**
2.296.462.000
36.743.392
18.371.696
18.371.696
18.371.696
2004
**
2.233.378.471
35.734.056
17.867.028
17.867.028
17.867.028
2005
**
4.972.514.202
79.560.227
39.780.114
39.780.114
39.780.114
2006
***
2.497.876.483
39.966.024
24.978.765
14.987.259
19.983.012
2007
***
3.158.512.593
50.536.201
31.585.126
18.951.076
25.268.101
2008
***
5.386.045.679
86.176.731
53.860.457
32.316.274
43.088.365
2.795.731.233
44.731.700
24.819.724
19.911.975
22.365.850
2000
Rata-rata
Sumber : TPI PPN Palabuhanratu, 2009 (*diolah kembali)
Keterangan: ** : menggunakan Perda Provinsi No 9 Tahun 2000 ***: menggunakan Perda Provinsi No 5 Tahun 2005 Tabel di atas menunjukkan adanya perbedaan pembagian PAD bagi Pemerintah Kabupaten ataupun Pemerintah Provinsi dikarenakan penggunaan Perda yang berbeda pula. Tahun 2000 hingga 2005 menggunakan Perda Provinsi No 9 Tahun 2000 tentang Retribusi Pasar Grosir dan Pertokoan sedangkan tahun 2006 hingga sekarang menggunakan Perda Provinsi No 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Perbedaan dari kedua Perda tersebut terletak pada pengelompokkan jenis retribusi pelelangan ikan. Perda Provinsi Jabar No 9 Tahun 2000 menyebutkan bahwa retribusi pelelangan ikan termasuk jenis retribusi pasar gosir dan retribusi jasa usaha, namun dalam Perda Provinsi Jabar No 5 Tahun 2005 terjadi perubahan yang menyebutkan bahwa retribusi pelelangan ikan hanya sebagai retribusi jasa usaha sehingga
82
pembagian PAD untuk Pemerintah Daerah juga berbeda. Alasan lain penggunaan kedua Perda tersebut adalah mengenai perbedaan pembagian besarnya pemasukan bagi PAD antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Perda No 9 Tahun 2000 menetapkan pembagian PAD untuk Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 0,8% dan Pemerintah Provinsi sebesar 0,8%, namun Perda No 5 Tahun 2005 menetapkan besaran pembagian PAD untuk Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 1% sedangkan untuk Pemerintah Provinsi sebesar 0,6%. Biaya operasional TPI yang ditetapkan pada Perda No 9 Tahun 2000 dan Perda No 5 Tahun 2005 adalah sama yaitu sebesar 0,8%. 5.4.3 Analisis nilai retribusi yang seharusnya (NRS) diterima Pemda Nilai retribusi yang seharusnya (NRS) diterima oleh pemerintah daerah dihitung berdasarkan data jumlah produksi dan nilai produksi ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu sejak tahun 2000 hingga 2008. Nilai retribusi yang seharusnya (NRS) diterima diperoleh dari nilai produksi dikalikan 5% sebagai tarif retribusi (Tabel 13). Nilai retribusi yang seharusnya (NRS) diterima oleh PAD tertera dalam Tabel 14: Tabel 13 Nilai retribusi yang seharusnya (NRS) 5% diterima pengelola pelelangan, 2000-2008 Tahun
Jumlah
Jumlah
NRS*
Produksi
Raman
(5% x nilai raman)
(Rp)
(Rp)
(kg) 2000
2.505.091
3.854.151.900
192.707.595,00
2001
1.766.963
4.793.207.839
239.660.392,00
2002
2.890.127
9.885.365.315
494.268.266,00
2003
4.105.260
15.273.292.568
763.664.628,00
2004
3.367.517
15.670.740.946
783.537.047,00
2005
6.600.530
32.153.934.823
1.607.696.741,00
2006
5.461.561
32.550.912.620
1.627.545.631,00
2007
6.056.256
38.695.760.654
1.934.788.033,00
2008
4.580.683
42.562.536.675
2.128.126.834,00
Rata-rata
4.148.221
21.715.544.816
1.085.777.241,00
Sumber : PPN Palabuhanratu, 2009 (*diolah kembali)
Tabel 14 Nilai retribusi yang seharusnya (NRS) 2,4% bagi PAD Kabupaten, 2000-2008 Tahun
Raman
Penerimaan pemda (PAD) (1.6%)*
(Rp)
(Rp)
Pembagian PAD* Kabupaten/ Provinsi* Kota* (Rp) (Rp)
BO TPI (0.80%)* (Rp)
83
2000**
3.854.151.900
61.666.430
30.833.215
30.833.215
30.833.215
2001
**
4.793.207.839
76.691.325
38.345.663
38.345.663
38.345.663
2002
**
9.885.365.315
158.165.845
79.082.923
79.082.923
79.082.923
2003
**
15.273.292.568
244.372.681
122.186.341
122.186.341
122.186.341
2004**
15.670.740.946
250.731.855
125.365.928
125.365.928
125.365.928
**
32.153.934.823
514.462.957
257.231.479
257.231.479
257.231.479
2006
***
32.550.912.620
520.814.602
325.509.126
195.305.476
260.407.301
2007
***
38.695.760.654
619.132.170
386.957.607
232.174.564
309.566.085
2008
***
42.562.536.675
681.000.587
425.625.367
255.375.220
340.500.293
21.715.544.816
347.448.717
199.015.294
148.433.423
173.724.359
2005
Rata-rata
Sumber : PPN Palabuhanratu, 2009 (*diolah kembali)
Keterangan: ** : menggunakan Perda Provinsi No 9 Tahun 2000 ***: menggunakan Perda Provinsi No 5 Tahun 2005 Telah disebutkan dalam tahapan 5.4.2 di atas bahwa terdapat perbedaan penggunaan Perda Provinsi dalam penentuan besaran pembagian PAD bagi Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi. Sejak Tahun 2000 hingga 2005 menggunakan Perda Provinsi No 9 Tahun 2000 tentang Retribusi Pasar Grosir dan Pertokoan. Tahun 2006 hingga sekarang menggunakan Perda Provinsi No 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Perbedaan kedua Perda tersebut terletak pada pengelompokkan jenis retribusi pelelangan ikan. Perda Provinsi Jabar No 9 Tahun 2000 menyebutkan bahwa retribusi pelelangan ikan termasuk jenis retribusi pasar gosir dan retribusi jasa usaha, namun dalam Perda Provinsi Jabar No 5 Tahun 2005 terjadi perubahan yang menyebutkan bahwa retribusi pelelangan ikan hanya sebagai retribusi jasa usaha sehingga pembagian PAD untuk Pemerintah Daerah juga berbeda. Alasan lain penggunaan kedua Perda tersebut adalah mengenai perbedaan pembagian besarnya pemasukan bagi PAD antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Perda No 9 Tahun 2000 menetapkan pembagian PAD untuk Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 0,8% dan Pemerintah Provinsi sebesar 0,8%, namun Perda No 5 Tahun 2005 menetapkan pembagian PAD untuk Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 1% sedangkan untuk Pemerintah Provinsi sebesar 0,6%. Biaya operasional TPI yang ditetapkan pada Perda No 9 Tahun 2000 dan Perda No 5 Tahun 2005 adalah sama yaitu sebesar 0,8%. 5.4.4
Potensi penerimaan PAD perikanan dari retribusi pelelangan ikan
84
Nilai riil retribusi (NRR) yang diterima penyelenggara pelelangan berbeda jauh dengan nilai retribusi yang seharusnya (NRS) diterima. Nilai riil retribusi lebih kecil daripada nilai retribusi yang seharusnya diterima. Hasil perhitungan memperlihatkan bahwa nilai riil retribusi (NRR) yang disetor kepada pemerintah daerah relatif lebih kecil dari nilai retribusi yang seharusnya (NRS) diterima (Tabel 15).
Nilai rata-rata pertahun retribusi yang seharusnya diterima pemerintah
daerah sebesar Rp1.085.777.241,00 lebih besar dari nilai riil retribusi yang diterima oleh Pemda yaitu hanya sebesar Rp139.786.562,00 (NRS>NRR). Hal tersebut mengindikasikan terjadi “selisih potensi penerimaan” dengan belum aktifnya kembali pelelangan ikan. pemerintah
daerah
per
tahunnya
Selisih potensi penerimaan yang dialami mencapai
kisaran
rata-rata
sebesar
Rp945.990.679,00. Tabel 15 Selisih potensi penerimaan PAD Sukabumi, 2000-2008 Tahun
Retribusi 5% * (Rp) Pelabuhan * TPI * (NRS) (NRR)
Selisih potensi penerimaan (Rp)
2000
192.707.595,00
70.484.500,00
122.223.095,00
2001
239.660.391,95
45.060.000,00
194.600.391,95
2002
494.268.265,75
115.295.083,35
378.973.182,40
2003
763.664.628,40
114.823.100,00
648.841.528,40
2004
783.537.047,30
111.668.923,55
671.868.123,75
2005
1.607.696.741,15
248.625.710,10
1.359.071.031,05
2006
1.627.545.631,00
124.893.824,15
1.502.651.806,85
2007
1.934.788.032,70
157.925.629,65
1.776,.862.403,05
2008
2.128.126.833,75
269.302.283,95
1.858.824.549,80
Rataan
1.085.777.240,78
139.786.561,64
945.990.679,14
Tabel 15 diatas memperlihatkan perbedaan nilai riil retribusi (NRR) yang diterima dan nilai retribusi yang seharusnya (NRS) diterima. Nilai riil retribusi (NRR) yang diterima pengelola pelelangan di TPI berasal dari retribusi ikan komoditas utama seperti cakalang, tuna, cucut, jangilus, tongkol, layur dan tembang, sedangkan untuk ikan selain yang telah disebutkan di atas masuk ke dalam kategori ikan lain-lain. Contoh ikan kategori lain-lain yaitu cumi-cumi, lemadang dan selar.
Ikan hasil tangkapan kategori lain-lain tersebut tetap
dipungut retribusi sebagai penerimaan pendapatan asli daerah. Wawancara pribadi dengan Rachman, H (29 November 2009, Account officer PT. Trimegah Securities, Tbk) mengatakan bahwa dalam penghitungan nilai retribusi ternyata terdapat beberapa penyimpangan yang menyebabkan nilai retribusi yang seharusnya (NRS) diterima berbeda dengan nilai riil retribusi (NRR) yang diterima TPI. Perbedaan nilai tersebut dikarenakan yang terjadi di lapangan bukan hanya regular market tetapi juga terjadi cross market dan negosiation market (pasar tertutup sendiri). Regular market yang dimaksud adalah adanya aktivitas pelelangan ikan yang dilakukan secara terbuka di depan khalayak umum dengan persaingan harga secara meningkat dan transparan sesuai dengan tujuan awal pelelangan ikan yaitu untuk mencari pembeli potensial sebanyak mungkin untuk menjual ikan hasil tangkapan nelayan pada tingkat harga yang menguntungkan
nelayan
tanpa
merugikan
pihak
pedagang
pengumpul.
Selanjutnya dikatakan bahwa cross market yang biasanya terjadi di kalangan masyarakat nelayan Palabuhanratu adalah adanya hubungan keterikatan antara nelayan dan juragannya. Hubungan yang terjadi dalam cross market biasanya antara penjual dan pembeli sudah saling mengenal dengan baik. Berbeda halnya dengan negosiation market, yaitu hubungan antara penjual dan pembeli boleh jadi belum saling mengenal. Negosiation market memungkinkan ketika ikan didaratkan di dermaga langsung terjual pada konsumen tanpa adanya keterikatan. Cross market dan negosiation market tersebut dapat menyebabkan berkurangnya jumlah produksi dan raman (nilai produksi) ikan yang masuk ke TPI sehingga berakibat pada menurunnya kontribusi retribusi pelelangan ikan sebagai salah satu sumber penerimaan bagi PAD.
95
Bentuk pungutan yang harus dibayarkan oleh peserta lelang adalah retribusi pelelangan ikan. Retribusi hasil lelang tersebut sangat bermanfaat bagi keberlangsungan TPI disamping sebagai salah satu pemasukan bagi kas daerah (PAD). Retribusi hasil lelang ini harus dibayarkan oleh setiap pelaku lelang yang menggunakan TPI sebagai sarana untuk menjual hasil tangkapannya. Retribusi ini juga dikategorikan sebagai biaya transaksi. Sebagian alokasi biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pelaku pelelangan diterima oleh pemerintah daerah untuk tujuan pembangunan daerah. Anggraini (2006) menyatakan bahwa, biaya transaksi biasanya muncul karena 2 (dua) faktor, yaitu berdasarkan peraturan dan non peraturan, namun pada prinsipnya biaya transaksi tersebut harus diminimalkan agar usaha perikanan tangkap mencapai efisiensi ekonomi. Biaya transaksi yang dikeluarkan pada aktivitas pelelangan ikan di TPI Palabuhanratu sebagian tidak secara signifikan berpengaruh atau mendukung kegiatan pelelangan itu sendiri. Sebagian besar nelayan menerima haknya dari dana-dana sosial nelayan berupa pembagian sembako yang dilakukan pada saat acara tertentu seperti hari nelayan, sunatan massal dan menjelang Idul Fitri yang dilakukan rutin setahun sekali. Sembako yang dibagikan ke nelayan adalah paket berisi 5 kg beras; 1 kg minyak sayur; 1-2 kaleng sarden; 1 kg gula pasir; 5 bungkus mie instan; 10 bungkus kecil teh; dan 3-4 sachet sabun colek. Hal ini menunjukkan manfaat yang diterima nelayan maupun pedagang sebagai elemen dari usaha perikanan tangkap atas biaya transaksi yang dibayarkan berupa retribusi pelelangan ikan masih belum optimal. Rahardjo, W dalam Samudra (2009) menyatakan bahwa informasi yang berkembang saat ini adalah adanya kebijakan pemerintah pusat untuk menghapus retribusi perikanan mulai dari aktivitas pendaratan pelelangan ikan hingga retribusi di pelabuhan dengan alasan untuk meningkatkan pendapatan nelayan, seperti telah dikemukakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini. Selanjutnya dikatakan bahwa, kompensasi dengan adanya penghapusan retribusi tersebut, pemerintah pusat akan menggantikannya dengan Dana Alokasi Khusus (untuk provinsi), Dana Tugas Perbantuan (untuk kabupaten), dan Dana Dekonsentrasi (untuk provinsi). Total dana yang diterima bisa mencapai Rp1 miliar hingga Rp2 miliar, seperti telah dinyatakan oleh Dirjen Perikanan Tangkap:
96
“Jumlah retribusi yang daerah terima biasanya hanya sekitar Rp20 juta hingga Rp30 juta pertahun, tetapi Dana Alokasi Khusus, Dana Tugas Perbantuan, dan Dana Dekonsentrasi jumlahnya bisa Rp1 miliar sampai Rp2 miliar” Hal tersebut kurang sesuai dengan PP No 25 Tahun 2005 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, karena retribusi pelelangan ikan merupakan kebijakan yang diatur oleh Provinsi, seharusnya pemerintah pusat tidak lagi turut campur dalam hal retribusi tersebut karena retribusi pelelangan ikan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah (PAD). Retribusi tersebut justru melatih nelayan, bakul, dan pengelola agar dapat mengatur keuangan sesuai dengan prioritasnya. Retribusi pelelangan ikan juga digunakan
oleh
pengelola
pelelangan
untuk
membiayai
operasional
penyelenggaraan pelelangan ikan, dan memenuhi segala keperluan yang berkaitan dengan pelelangan ikan. 5.4.5 Analisis estimasi operasional penyelenggaraan pelelangan ikan Biaya operasional yang dikeluarkan oleh Pemda dalam penyelenggaraan pelelangan ikan berguna untuk mengetahui efisiensi suatu kelembagaan dalam penegakan aturan pelelangan ikan. Jumlah biaya operasional per tahun yang dikeluarkan oleh Pemda seharusnya lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata potensi penerimaan yang terjadi tiap tahunnya. Apabila nilai biaya operasional per tahun lebih kecil dari potensi penerimaannya, berarti pemerintah daerah masih bisa mendapatkan manfaat dengan adanya mekanisme pemasaran saat ini. Sebaliknya, apabila biaya operasional per tahun lebih besar dari rata-rata potensi penerimaannya, pemerintah daerah justru mengalami kerugian karena jumlah pengeluaran lebih besar dibanding dengan pendapatan. Biaya bersama yang ditanggung oleh TPI adalah sebesar 20% dari total nilai join cost (A*) yaitu Rp66.336.103,20 ditambah biaya tanggungan TPI (B) sebesar Rp119.839.780,00, diperoleh hasil total biaya operasional (BO) penyelenggaraan
pelelangan
ikan
Rp186.175.883,20 (Tabel 16).
di
TPI
PPN
Palabuhanratu
sebesar
Estimasi jumlah biaya operasional per tahun
tersebut ternyata masih lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata selisih potensi
penerimaannya
yaitu
sebesar
Rp945.990.679,00.
Hal
tersebut
mengindikasikan bahwa penegakan aturan pelelangan ikan oleh Pemda masih
97
tetap dilaksanakan dan masih bisa dirasakan manfaat adanya retribusi pelelangan ikan walaupun mekanisme pelelangan ikan yang sesungguhnya belum diterapkan kembali. Kondisinya akan berbeda apabila jumlah biaya operasional lebih besar dibandingkan dengan potensi penerimaannya, jika pemerintah daerah hendak mengeksekusi biaya operasional penyelenggaraan pelelangan tersebut, Pemda tidak akan mengalami kerugian karena mekanisme pelelangan ikan belum berfungsi kembali. Tabel 16 Estimasi operasional penyelenggaraan pelelangan ikan per tahun Uraian
Banyak
Jumlah (Rp)
A) Biaya bersama seluruh unit usaha KUD (join cost) Biaya karyawan (gaji, THR)
28.610.800,00
Biaya ATK
3.068.900,00
Biaya transportasi
368.500,00
Biaya perjalanan dinas
8.132.000,00
Biaya kantor
5.821.000,00
Biaya konsumsi
3.098.700,00
Tagihan telepon, listrik, PDAM, koran
9.080.000,00
Biaya rapat
539.000,00
Biaya rapat RAT
3.622.000,00
Biaya operasional pengurus
14.042.000,00
Biaya operasional pengawas
1.200.000,00
Biaya bunga bank/pinjaman
300.000,00
Biaya administrasi bank
100.000,00
Biaya akumulasi penyusutan
11.581.511,00
Biaya operasional unit SPDN
175.646.274,00
Biaya operasional unit pemasaran es
2.198.000,00
Biaya operasional unit jasa listrik
34.071.831,00
Biaya operasional unit simpan pinjam
200.000,00
Biaya operasional waserda
6.000.000,00
Biaya operasional fish market
24.000.000,00
Total join cost (A)
331.680.516,00
A* = 20% * (A)
66.336.103,20
B) Biaya tanggungan TPI Biaya karyawan (gaji, THR) a) Manajer
1 orang
24.000.000,00
b) Petugas keamanan
1 orang
8.040.000,00
c) Tata usaha
1 orang
8.040.000,00
d) Kasir
1 orang
8.040.000,00
98
Lanjutan Tabel 16 e) Statistik
1 orang
8.040.000,00
f) Teknik lelang
1 orang
8.040.000,00
g) Juru lelang
2 orang
16.080.000,00
h) Juru timbang
1 orang
8.040.000,00
i) Juru catat
1 orang
8.040.000,00
j) Petugas kebersihan dan peralatan
1 orang
3.600.000,00
Biaya ATK Biaya penyusutan peralatan kantor Biaya penyusutan fasilitas
613.780,00 2.729.000,00 16.537.000,00
Total biaya tanggungan TPI (B)
119.839.780,00
Total operasional = ((A*) + (B))
186.175.883,20