4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pola Perkembangan Kasus DBD Di Wilayah Jakarta Timur
Berdasarkan hasil pengolahan data kasus DBD di wilayah kota madya Jakarta Timur periode tahun 2003 hingga 2007, yang ditampilkan dalam bentuk histogram distribusi frekuensi, dan data rata kasus DBD di wilayah Jakarta Timur (gambar. 15, 16, 17, dan 18), diperoleh informasi sebagai berikut:
Histogram Distribusi Frekuensi Data DBD di Jakarta Timur Periode Tahun 2003 - 2007 25
Frekuensi
20 15 10 5 0 308 - 514
515 - 721
722 - 928
929 - 1135
1136 - 1342
1343 -
1550 -
1549
1756
Inte rval klas
Gambar. 15. Histogram distribusi frekuensi data kasus DBD di wilayah kota madya Jakarta Timur periode 2003-2007.
Gambar. 15 menunjukkan bahwa pola distribusi frekwensi dari kasus DBD di wilayah Jakarta Timur mempunyai tipe distribusi yang juling ke kanan (positively skewed), dengan frekwensi tertinggi terjadi pada kisaran antara 515-721 kasus sebanyak 21 kali dalam jangka waktu antara tahun 2003 hingga 2007. Tipe distribusi ini bersesuaian dengan distribusi teoritik χ2 (chi kuadrat) atau merupakan salah satu bentuk distribusi gamma yang berasal dari distribusi normal baku dengan derajat kebebasan (dk)=n-1 (Freud & Walpole, 1987, dalam Furqon,
59
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
2001). Untuk derajad kebebasan (dk) lebih besar dari 30 peluang yang berkaitan dengan distribusi ini biasanya didekati dengan model distribusi normal. Dalam kasus ini maka ukuran gejala pusat yang moderat adalah nilai median (Me), karena nilai rata-rata ( x ) akan cenderung lebih rendah dan nilai mode (Mo) akan cenderung tinggi. Berdasarkan informasi ini maka perhitungan nilai indeks musim (IM) akan mempergunakan nilai Median (Me) sebagai periode pangkal (acuan). Sedangkan apabila ditinjau dari jumlah kasus DBD tahunan menurut kelompok umur menunjukkan bahwa kasus DBD paling tinggi terjadi pada kelompok umur antara 15-44 tahun, kemudian menurun kembali pada umur di atas 45 tahun. Sedangkan kasus DBD terendah terjadi pada kelompok umur kurang dari 1 (satu) tahun (Gambar. 16).
Data Rata-rata Kasus DBD Menurut Golongan Umur di Wilayah Jakarta Timur Periode 2003-2007 Sumber Dinas Kesehatan DKI Jakarta 5000
Kasu s
4000 3000 2000 1000 0 < 1 th
1-4 th
5-14 th
15-44 th
> 45 th
Gambar. 16. Histogram kasus rata-rata DBD menurut golongan umur di wilayah kota madya Jakarta Timur periode 2003-2007. Sumber Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Data ini sesuai dengan hasil penelitian Tatty et al (2006), yang menyebutkan adanya pergeseran usia mode penderita DBD di Indonesia dari kelompok umur 411 bulan pada tahun 1979-1998 ke arah usia 15-dewasa (Lampiran.1). Informasi tersebut mengindikasikan adanya perubahan pola transmisi virus dengue dari pola transmisi domestik (perumahan) menjadi pola transmisi yang lebih luas dan
60
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
terbuka, misalnya di tempat kerja, sekolah, dan tempat umum lainnya. Menurut hasil penelitian Tatty et al (2006), menyatakan: ”Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya epidemi denggi, antara lain faktor lingkungan, biologi dan demografi, memegang peranan penting dalam masalah ini. Kasus DBD berhubungan dengan iklim yang semakin lembab dan panas . Suhu udara yang lebih tinggi menunjukkan peningkatan terhadap efisiensi vektor dan perilaku nyamuk untuk menggigit”. Dengan demikian nampak bahwa adanya pergeseran pola epidemi DBD merupakan hasil dari proses interaksi banyak faktor pencetusnya yang mereprensentasikan dinamika interaksi antara faktor lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial. Secara lebih spesifik Dutta dan Mahanta (2005), menyatakan: ”Kegiatan pembangunan, yang menyebabkan pertumbuhan daerah-daerah perkotaan baru secara cepat, telah menimbulkan munculnya masalah kesehatan yang ditularkan oleh serangga, khususnya penyakit denggi, yang pada dasarnya merupakan penyakit khas wilayah perkotaan Peningkatan kepadatan nyamuk yang sangat cepat di daerah-daerah perkotaan terutama berkaitan dengan perubahan lingkungan masyarakat urban yang kemudian menciptakan habitat yang cocok untuk kembang biak vector. Jadi baik langsung maupun tidak langsung manusialah yang telah menciptakan situasi ini. Jadi dalam hal ini kunci permasalahanya berada pada cara pandang manusia itu sendiri terhadap lingkungan hidupnya”.
Demikian pula bila ditinjau dari jumlah kasus DBD tahunan menurut kelompok umur menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kasus jumlah kasus DBD pada golongan umur antara 5-14 tahun dan 15-44 tahun, dimana peningkatan kasus paling tajam terjadi pada golongan umur antara 15-44 tahun, kemudian menurun kembali secara tajam pada golongan umur diatas 45 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pola perkembangan kasus DBD yang cenderung semakin tinggi dan bergeser pada golongan umur 15-44 tahun yang merupakan golongan usia kerja (Widhaningrat, 2006). Apabila ditinjau dari komposisi penduduk di wilayah Jakarta Timur menurut golongan umur berdasarkan data statistik kependudukan Jakarta Timur tahun 2006, menunjukkan persentase penduduk usia 15-49 tahun sebesar 62,01%, usia di bawah 15 tahun sebesar 23,44%, dan di atas 50 tahun sebesar 13,4% (BPS Jakarta Timur, 2007). Berdasarkan data statistik tersebut nampak bahwa peningkatan kasus DBD diwilayah Jakarta Timur yang cenderung tinggi pada golongan umur 14-44 tahun sebanding dengan komposisi jumlah penduduk dengan usia 15-49 tahun (Gambar. 17).
61
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Data Kasus DBD Per Tahun menurut Golongan Umur di Wilayah Jakarta Timur 6000
kasu s
5000
2003
4000
2004
3000
2005
2000
2006 2007
1000 0 < 1 th
1-4 th
5-14 th
15-44 th
> 45 th
Gambar. 17. Histogram jumlah kasus DBD per tahun menurut golongan umur di wilayah kota madya Jakarta Timur periode 2003-2007. Sumber Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Sementara itu
apabila ditinjau dari kasus DBD yang terjadi perkecamatan
dibandingkan dengan rata-rata wilayah Jakarta Timur, menunjukkan pola distribusi yang secara umum hampir sama, dimana kasus DBD paling banyak terjadi pada periode bulan Pebruari sampai Juni, dengan puncak kasus terjadi pada bulan Maret, sedangkan jumlah kasus terendah pada bulan September dan Oktober. Kondisi ini mengindikasikan adanya siklus musiman yang berkaitan dengan perubahan variabilitas cuaca yang mempengaruhi pola kembang biak dan perilaku menggigit dari vektor (nyamuk A. aegypty). Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa seluruh wilayah kecamatan di Jakarta Timur mempunyai karakteristik yang relatif hampir sama, baik dalam pola distribusi terhadap waktu (musimannya) maupun intensitasnya (banyaknya kasus per-bulan). Gambaran umum (kasar) dari hasil eksplorasi ini selanjutnya akan diuji memalui uji homogenitas populasi rata-rata kasus DBD di tiap kecamatan untuk mengetahui apakah ada perbedaan jumlah kasus DBD rata yang terjadi di tiap kecamatan pada kondisi lingkungan fisik pemukiman yang berbeda (Gambar. 18).
62
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
140
120
120
100
100
80
80
Cakung
60
Rata-rata
N op
S ep
Ju li
160
100
140 120
80
Ciracas
60
Rata-rata
Duren Saw it
100 80
Rata-rata
60
40
40
20
20
140
160
120
140
N op
op N
S ep
ep S
Ju li
li Ju
M ei
ei M
Ja n
ar M
M ar
0
0
120
100 80
Jatinegara
60
Rata-rata
100
n Ja
N op
S ep
0 Ju li
20
0 M ei
40
M ar
Rata-rata
60
20
120
120
100
100
80
Kramat Jati
80
40
ar M
ei M
li Ju
op N
ep S
80
Makasar
60
Rata-rata
40
20
20
0
Matraman
60
40
Rata-rata
0
ar M
ei M
li Ju
ep S
op N
n Ja
ar M
ei M
li Ju
op N
ep S
160
120
140
100
120
80 Pasar Rebo
60
Rata-rata
40
100
Pulo Gadung
80
Rata-rata
60
N op
S ep
Ju li
Ja n
N op
S ep
Ju li
M ei
0
M ar
20
0
M ei
40
20
M ar
Ja n
M ei
180
120
Ja n
M ar
Ja n
N op
S ep
Ju li
M ei
0
M ar
20
0 Ja n
20
n Ja
Rata-rata
40
40
n Ja
Cipayung
60
Gambar. 18. Histogram rata-rata kasus DBD per kecamatan dibandingkan dengan nilai rata-rata seluruh wilayah kota madya Jakarta Timur periode 2003-2007. (Dinas Kesehatan DKI Jakarta, 2008).
4.2. Variabilitas Cuaca Musiman Di Wilayah Jakarta Timur
Secara klimatologis type iklim wilayah Jakarta Timur dapat dikatakan sama dengan wilayah DKI Jakarta secara keseluruhan, yaitu type iklim tropis yang dipengarui oleh peredaran angin musiman (Monsun) dari benua Asia dan Australia. Terdapat dua periode musim dalam satu tahun, yaitu periode musim
63
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
hujan yang berlangsung mulai bulan Nopember-April dengan puncak musim hujan terjadi pada bulan Januari-Pebruari, dan musim kemarau berlangsung mulai bulan Mei-Oktober dengan puncak musim kemarau terjadi pada bulan Agustus (Gambar. 19). DISTRIBUSI CURAH HUJAN DAN HARI HUJAN RATA BULANAN DI WILAYAH JAKARTA TIMUR PERIODE TAHUN 1995-2005 (Sumber. Badan Meteorologi dan Geofisika) 25.0
350.0 20.0
300.0 250.0
15.0
200.0 10.0
150.0 100.0
Hari hujan (Hari)
CURAH HUJAN (Millimeter
400.0
5.0
50.0 0.0
0.0
Jan
Peb
Mer
Apr
Mei
Jun
Curah Hujan
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
Hari Hujan
Gambar. 19. Distribusi Curah hujan dan Hari hujan rata-rata bulanan (1995-2005), (Badan Meteorologi dan Geofisika, 2008).
Salah satu ciri dari iklim tropis adalah variasi suhu udara rata-rata bulanan yang relatif kecil hampir sepanjang tahun. Pada Gambar. 20 menunjukkan bahwa pada grafik suhu udara rata-rata variasi bulanannya relatif kecil, bahkan dapat dikatakan mempunyai pola yang hampir datar sepanjang tahun. Namun apabila dilihat dari grafik suhu udara maximum dan minimum menunjukkan rentang suhu maksimum dan minimum sedikit melebar pada periode Juli-Agustus, dan menyempit pada periode Desember-Pebruari. Kondisi tersebut berkaitan dengan penurunan dan peningkatan konsentrasi uap air pada musim kemarau dan musim hujan.
64
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Celcius
RATA-RATA SUHU UDARA BULANAN DI WILAYAH JAKARTA TIMUR PERIODE TAHUN 1995-2005 (Sumber. Badan Meteorologi dan Geofifika)
36.0 34.0 32.0 30.0 28.0 26.0 24.0 22.0 20.0 18.0 16.0 Jan
Peb
Mer
Suhu_rata2
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Suhu Udara Maksimum
Sep
Okt
Nop Des
Suhu Udara Minimum
Gambar. 20. Rata-rata suhu udara bulanan di wilayah DKI Jakarta periode 1995-2005. Sumber Badan Meteorologi dan Geofisika. 2008.
Ciri lain dari type iklim tropis adalah kelembapan udara rata-rata yang senantiasa tinggi (lebih dari 70%) sepanjang tahun. Namun berbeda dengan suhu udara, variasi kelembapan relatif udara pada musim kemarau dan musim hujan menunjukkan perbedaan yang nyata, dimana kelembapan cenderung tinggi pada periode musim penghujan hingga menjelang musim kemarau (Nopember-Mei); tertinggi pada bulan Januari, dan rendah pada periode musim kemarau; terendah pada bulan Agustus-September (Gambar. 21).
65
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
85.0
RATA-RATA KELEMBAPAN UDARA BULANAN DI WILAYAH JAKARTA TIMUR PERIODE TAHUN 1995-2005 (Sumber. Badan Meteorologi dan Geofisika)
(%)
80.0 75.0 70.0 65.0 60.0 Jan
Peb
Mer
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
Kelembapan Udara Rata-rata
Gambar. 21. Rata-rata kelembapan relatif udara bulanan di wilayah DKI Jakarta periode 1995-2005. Sumber Badan Meteorologi dan Geofisika. 2008.
Dari paparan tersebut di atas nampak bahwa karakteristik variabilitas cuaca musiman di wilayah Jakarta pada umumnya, dicirikan dengan pola variasi suhu udara rata-rata bulanan yang relatif rendah hampir sepanjang tahun, dan adanya kemiripan pola musiman pada variabel curah hujan, hari hujan, dan kelembapan relatif udara rata-rata bulanan, dimana pada periode musim hujan kelembapan udara cenderung tinggi, dan rendah pada periode musim kemarau. Karena faktor suhu udara menunjukkan kondisi yang relatif stabil pada kisaran antara 23-31°C, sehingga dapat dikatakan optimum untuk perkembangbiakan dan aktifitas nyamuk, yaitu antara 27-28°C (Koopman, 1991; Ridad, 2007), maka dalam hal ini nampak faktor hujan dan kelembapan udara mempunyai peranan penting dalam perkembangan kasus DBD musiman. Secara spesifik dapat dinyatakan wilayah tropis merupakan wilayah endemik DBD karena suhu udaranya senantiasa
optimum untuk kembangbiak
dan aktifitas nyamuk yang
perkembangannya dibatasi/ dikendalikan oleh variabilitas hujan dan kelembapan udara sebagai variabel pencetus (triger).
66
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
4.3. Rata-rata Jumlah Kasus DBD Berdasarkan Kondisi Permukiman
Untuk mengetahui rata-rata jumlah kasus DBD berdasarkan kondisi permukiman, dilakukan
uji
homogenitas populasi rata-rata kasus DBD yang kemudian
dibandingkan dengan prevalensi penyakit DBD pada tiap wilayah kecamatan, yang hasilnya adalah sebagai berikut:
4.3.1. Homogenitas Kondisi Permukiman Di Wilayah Jakarta Timur
Homogenitas kondisi pemukiman diuji dengan cara menghitung nilai skor kondisi permukiman penduduk dan wilayah industri, dituangkan ke dalam kriteria potensi resiko yang hasilnya disajikan pada Tabel. 3, 4, 5, 7; Gambar. 22 dan 23), dan uji hipotesis nul (Ho) dengan metode ANAVA (Tabel. 6) menunjukkan hasil sebagai berikut:
Tabel. 3. Nilai skoring menurut kecamatan di wilayah Jakarta Timur. Dioleh dari data Jakarta Timur Dalam Angka, tahun 2005 dan 2007.
Kecamatan
Permanen
Pasar Rebo Ciracas Cipayung Makasar Kramat Jati Jatinegara Duren Sawit Cakung Pulogadung Matraman
1.20 1.40 0.40 1.60 0.50 1.10 0.70 1.90 0.60 0.70
Semi Permanen Sementara 1.40 3.80 0.60 2.20 0.60 6.40 1.60 1.60 1.20 0.60
Tabel. 3 menunjukkan nilai hasil skoring
2.40 7.80 0.00 3.30 0.00 16.20 0.30 0.00 0.00 0.00
Industri
Jumlah Skor
2.00 4.40 0.80 2.40 0.80 0.80 0.40 28.00 0.80 0.00
7.00 17.40 1.80 9.50 1.90 24.50 3.00 31.50 2.60 1.30
berdasarkan kriteria kondisi fisik
bangunan dan wilayah industri. Berdasarkan tabel. 3 tersebut nampak bahwa jumlah skor tertinggi berada di kecamatan Cakung sebesar 31,50, dan terendah di kecamatan Matraman dengan nilai sebesar 1,30. Skor pada kriteria bangunan sementara (sementara)
paling tinggi terjadi di kecamatan Jatinegara sebesar
16,20, dan terendah di kecamatan Cipayung, Cakung, Pulogadung, dan Matraman sebesar 0,0 (tidak ada bangunan sementara). Sedangkan skor wilayah industri
67
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
paling tinggi terjadi di kecamatan Cakung sebesar 28,0, dan terendah di kecamatan Matraman sebesar 0,0 (tidak ada industri). Dari hasil skoring tersebut nampak bahwa kontribusi terhadap tingginya jumlah skoring di kecamatan Cakung bersumber dari industri sebesar 28,0. Sedangkan di kecamatan Jatinegara jumlah skor tertinggi berasal dari bangunan sementara sebesar 16,20. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pemukiman di kecamatan Cakung didominasi oleh wilayah perindustrian, dan di kecamatan Jatinegara lebih didominasi oleh kondisi bangunan sementara, sedangkan di wilayah kecamatan lainnya (kecuali Matraman hanya terdiri dari bangunan permanen dan semi permanen), kondisi pemukimannya merupakan campuran dari bengunan permanen, semi permanen, bangunan sementara, dan wilayah perindustrian. Selanjutnya berdasarkan hasil skoring pada Tabel. 3 tersebut di atas dibuat klasifikasi kondisi permukiman per-kecamatan (Tabel. 4) sebagai berikut: Tabel. 4. Kriteria potensi kasus DBD berdasarkan kondisi pemukiman di wilayah Jakarta Timur. Diolah berdasarkan data Jakarta Timur Dalam Angka 2005. Hasil perhitungan Rentang Banyak K Panjang K KLASIFIKASI Tertata Baik (TB) Tertata (T) Kurang Tertata (KT) Kumuh (K)
30.20 4 7.55 INTERVAL 1,3 - 8,85 8,86 - 16,41 16,42 - 23,97 23,98 - 31,53
Tabel. 4 menunjukkan bahwa rentang nilai skor teringgi dan terendah adalah sebesar 30,20. Nilai rentang dibagi dengan banyak klas diperoleh panjang kelas sebesar 7,55. Selanjutnya berdasarkan nilai panjang kelas tersebut disusun klasifikasi potensi terhadap DBD, secara berturut-turut Tertata Baik (TB) dengan interval 1,3-8,85; Tertata (T) dengan interval 8,86-16,41; Kurang Tertata(KT) dengan interval 16,42-23,97; dan Kumuh (K) dengan interval 23-31,53. Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka dapat ditetapkan kondisi permukiman wilayah kecamatan (Tabel. 5), yaitu sebagai berikut:
68
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Tabel. 5. Klasifikasi kondisi permukiman di wilayah kecamatan Jakarta Timur. Diolah berdasarkan data Jakarta Timur Dalam Angka 2005 dan 2007.
KECAMATAN
KLASIFIKASI
Pasar Rebo
Tertata Baik (TB)
Ciracas
Kurang Tertata (KT)
Cipayung
Tertata Baik (TB)
Makasar
Tertata (T)
Kramat Jati
Tertata Baik (TB)
Jatinegara
Kumuh (K)
Duren Sawit
Tertata Baik (TB)
Cakung
Kumuh (K)
Pulagadung
Tertata Baik (TB)
Matraman
Tertata Baik (TB)
Tabel. 5 menunjukkan wilayah kecamatan yang masuk dalam klasifikasi Kumuh (K) adalah kecamatan Jatinegara dan Cakung; Kurang Tertata (KT) adalah kecamatan Ciracas; Tertata (T) adalah kecamatan Makasar; dan Tertata Baik (TB) adalah kecamatan Pasar Rebo, Cipayung, Kramat Jati, Duren Sawit, Pulogadung, dan Matraman. Secara umum nampak bahwa kondisi permukiman di wilayah kecamatan Jakarta Timur, 60% kondisinya Tertata Baik (TB), 10% Tertata (T), 10% Kurang Tetata (KT), dan 20% Kumuh (K). Apabila ditinjau dari pola persebarannya, nampak bahwa secara spasial menunjukkan pola yang tidak beraturan, dimana wilayah kecamatan dengan kiteria Kumuh di sebelah utara dan barat, berada diantara wilayah dengan kondisi permukiman Tertata baik, demikian pula permukiman dengan kondisi kurang tertata di bagian tengah, berada diantara lingkungan permukiman yang Tertata Baik dan Tertata. Pola persebaran permukiman yang demikian akan berdampak pada peluang terjadinya transmisi virus menjadi lebih besar, yang disebabkan oleh faktor mobilitas orang dan barang, serta
persebaran vektor dari wilayah
permukiman dengan resiko DBD tinggi yaitu permukiman Kumuh dan Kurang Tertata, ke wilayah yang kondisi permukimannya Tertata Baik dan Tertata. Secara
69
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
umum kondisi tersebut mengindikasikan wilayah kecamatan di Jakarta Timur merupakan wilayah endemik DBD, karena pola persebaran permukiman yang sedemikan akan menyebabkan tingginya peluang penyebaran vektor dan virus dari kecamatan dengan resiko tinggi (Kumuh dan kurang Tertata) ke wilayah kecamatan dengan resiko yang relatif lebih rendah (Sangat Tertata dan Tertata). (Gambar. 22).
KLASIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN BERDASARKAN KONDISI FISIK BANGUNAN DAN LUAS DAERAH INDUSTRI DI JAKARTA TIMUR
Tertata Baik Tertata Kurang Tertata Kumuh
Gambar. 22. Klasifikasi potensi resiko DBD berdasarkan kondisi fisik bangunan dan daerah industri menurut kecamatan di wilayah kota madya Jakarta Timur. Diolah dari data BPS Kodya Jakarta Timur, Jakarta Timur dalam angka 2005 dan 2007.
Untuk membuktikan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan analisis variansi (ANAVA) agar dapat diketahui apakah ada perbedaan jumlah rata-rata populasi kasus DBD yang terjadi di setiap wilayah kecamatan dengan kondisi fisik lingkungan pemukiman yang berbeda. Hasil uji homogenitas melalui analisis variansi (ANAVA) yang dikaitkan dengan kasus DBD (Tabel.6, pada lampiran), di bawah hipotesis nul (Ho): μPT=μPS=μPR=μNP, dan Ha paling tidak salah satu tanda = (sama dengan) tidak berlaku, diperoleh hasil sebagai berikut:
70
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
SSw 85455.7 SSb 7642.2 MSw 1942.2 MSb 2547.4 Fhit 1.3 Ftabel 2,92 0,95 4,51 0,99
Ho: μb=μs=μr=μnk
Ha: paling tidak salah satu tanda = tidak berlaku
Fhit
Ho diterima
(α=00.5) (α=00.1)
F(1-α, k-1, n-k)
F(0,95, 3, 44)
Hasil perhitungan nilai stasitistik F yang dibandingkan dengan F tabel menyatakan bahwa Ho dapat diterima pada tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa
potensi resiko munculnya kasus DBD di suatu wilayah tidak hanya disebabkan kondisi fisik lingkungan pemukiman yang beresiko tinggi terhadap perkembangbiakan agen (virus) dan vektor, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak diteliti dalam penelitian ini, antara lain adalah intensitas mobilitas manusia dan hewan baik sebagai reservoir maupun penderita yang telah terinfeksi virus. Selain itu faktor ekologi dan bionomik vektor juga sangat berpengaruh terhadap penyebaran virus DBD (WHO, SEARO No.29, 2003: 60-62).
4.3.2. Prevalensi Penyakit DBD Di Wilayah Jakarta Timur
Selanjutnya untuk memperkuat hipotesis yang diperoleh dari analisis variansi, maka dilakukan cross check dengan nilai prevalensi penyakit DBD di setiap kecamatan, untuk mengetahui apakah secara nyata nilai variansi prevalensi DBD di setiap kecamatan cukup tinggi atau sebaliknya. Dan berdasarkan hasil perhitungan prevalensi DBD per-kecamatan periode 2002-2006, menunjukkan nilai rata-rata prevalensi kasus DBD di kodya Jakarta Timur adalah sebesar 2,4/1000 orang, dengan nilai simpangan baku rata-rata sebesar 0,6 dan variansi sebesar 0,4. Dari 10 kecamatan sebanyak 4 kecamatan yaitu Cakung, Cipayung, Kramat Jati, dan Makasar berada di atas nilai rata-rata, 1 kecamatan yaitu Pulo Gadung sama dengan rata-rata, dan 5 kecamatan yaitu Ciracas, Duren Sawit, Jatinegara, Matraman, Pasar Rebo, lebih rendah dari prevalensi rata-rata. Dengan demikian secara umum nampak bahwa prevalensi kasus DBD per-kecamatan di wilayah kodya Jakarta timur relatif hampir sama. Hal ini konsisten dengan hasil analisis variansi di bawah hipotesis nul, yang menyatakan tidak ada perbedaan
71
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
nilai rata-rata populasi kasus DBD perkecamatan di wilayah Jakarta Timur (Tabel. 6 dan Gambar.22). Tabel. 6. Prevalensi penyakit DBD per-kecamatan di kota madya Jakarta Timur. (diolah dari data sekunder kasus DBD bulanan; sumber Dinas Kesehatan DKI Jakarta, dan data kependudukan Jakarta Timur periode 2002-2007, sumber BPS Jakarta Timur). Kecamatan Cakung
2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata 0.4 2.5 3.7 1.7 5.7 2.8
Cipayung
0.4
1.4
5.6
1.7
4.6
2.7
Ciracas
0.6
1.7
2.8
1.1
4.6
2.2
Duren Sawit
0.3
1.2
2.9
1.6
5.5
2.3
Jatinegara
0.4
1.2
2.4
1.8
5.4
2.2
Kramat Jati
0.8
2.3
4.1
2.1
6.7
3.2
Makasar
0.5
1.7
3.7
1.7
4.6
2.5
Matraman
0.5
0.9
3.0
1.5
4.0
2.0
Pasar Rebo Pulo Gadung Jumlah Rata-rata SD
1.0 1.3 6.1 0.6 0.3
1.1 1.9 16.0 1.6 0.5
3.1 3.7 34.8 3.5 0.9
1.5 1.6 16.2 1.6 0.2
4.4 3.8 49.3 4.9 0.9
2.2 2.4 24.5 2.4 0.6
Tabel. 6. menunjukkan bahwa prevalensi penyakit DBD rata-rata per-kecamatan berkisar antara 2,0-3,2. Nilai prevalensi tertinggi sebesar 3,2 terdapat di kecamatan Kramat jati, dan terendah sebesar 2,0 terdapat di kecamatan Matraman, dengan rata-rata wilayah sebesar 2,4 kasus per 1000 (seribu) orang penduduk. Nilai simpangan baku berkisar antara 0,2-0,9, dengan simpangan baku rata sebesar 0,6. Berdasarkan Tabel.6 nampak bahwa perbedaan prevalensi penyakit DBD yang terjadi pada tiap kecamatan adalah kurang dari 1 (satu) kasus per 1000 penduduk, atau dapat dikatakan hampir sama/ tidak ada perbedaan. Hasil ini sesuai dengan hasil ANAVA yang menunjukkan bahwa jumlah kasus rata-rata yang terjadi di setiap kecamatan di Jakarta Timur hampir tidak ada perbedaan (Gambar. 23).
72
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
PREVALENSI RATA-RATA PER-KECAM ATAN DI WILAYAH JAKARTA TIM UR PERIODE 2002-2006 Sum be r BPS-Statis tik Jak arta Tim ur., Jak arta Tim ur Dalam Angk a., Tahun 2005 dan 2007
3.5
Prevalensi
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5
M ak as ar M at ra m an P as ar R eb P o ul o G ad un g
C ira ca D s ur en S aw it Ja tin eg ar a K ra m at Ja ti
C ak un g C ip ay un g
0.0
Gambar. 23 . Prevalensi rata-rata per kecamatan di wilayah Jakarta Timur. (BPS Statistik Jakarta Timur; Jakarta Timur Dalam Angka, 2005, 2007; Dinas Kesehatan DKI Jakarta, 2008).
4.4. Hubungan Antara Variable Cuaca Musiman Dengan Kasus DBD
Hubungan antara variable cuaca musiman dengan kasus DBD akan dilihat dari perspektif hubungan relasional antara nilai indeks cuaca musiman dengan banyaknya kasus DBD. Dalam hal ini nilai indeks cuaca musiman dihitung berdasarkan nilai bilangan indeks musiman variable suhu rata-rata, kelembapan relatif rata-rata, curah hujan, dan hari hujan, secara rinci adalah sebagai berikut:
4.4.1. Indeks Cuaca Musiman
Nilai indeks cuaca musiman yang akan dihitung adalah nilai indeks gabungan dari nilai indeks musiman variabel suhu udara rata-rata, kelembapan relatif udara rata-rata, curah hujan kumulatif
bulanan dan hari hujan bulanan,
yang
selanjutnya disebut dengan IC_DBD, secara rinci dipaparkan sebagai berikut:
73
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
4.4.1.1. Variasi cuaca musiman (IM)
Nilai variasi musiman merupakan nilai relatif suatu variabel cuaca bulanan dibandingkan dengan nilai rata-rata tahunannya. Pada hakekatnya nilai indeks cuaca musiman merupakan persentase besaran suatu variabel pada suatu waktu dibandingkan dengan nilai rata-rata tahunannya. Dengan demikian dapat diartikan terjadi peningkatan terhadap rata-ratanya apabila nilainya di atas 100%, dan penurunan terhadap rata-ratanya apabila nilainya kurang dari 100%, dan sama dengan rata-ratanya apabila nilainya 100%. Pengukuran nilai variasi indeks musiman (IM) untuk masing-masing variabel cuaca dapat dilihat pada Tabel.7, yang terdiri secara berturut-turut Tabel.8.A: Indeks Musim suhu udara rata-rata bulanan, Tabel.8.B: Indeks Musim kelembapan relatif
rata-rata bulanan, Tabel.8.C: Indeks Musim Curah hujan
kumulatif bulanan, dan Tabel.7.D: Indeks Musim jumlah hari hujan bulanan. Tabel. 7. Nilai indeks cuaca musiman (IM) di wilayah Jakarta Timur (diolah dari data suhu udara, Kelembapan udara relatif, curah hujan dan hari ada hujan, yang diamati di stasiun BMG Tj.Priok, Kemayoran, dan Halim Perdana kusumah periode tahun 20022006). Tabel.A: IM Suhu udara rata-rata bulanan Tahun Jan Peb Mar Apr 2002 97.8 95.3 99.3 95.8 2003 100.0 96.7 98.5 102.3 2004 98.1 96.7 98.4 101.7 2005 97.3 98.0 100.4 102.1 2006 98.0 97.6 100.4 99.6 Rata-rata 98.2 96.9 99.4 100.3 Median 98.0 96.7 99.3 101.7 Tabel.B: IM Kelembapan relatif udara rata-rata bulanan Tahun Jan Peb Mar Apr 2002 107.6 106.2 105.3 105.5 2003 98.1 108.6 107.0 101.6 2004 105.6 106.4 102.7 102.2 2005 104.7 105.1 102.3 98.8 2006 107.8 106.6 102.4 102.0 Rata-rata 104.8 106.6 104.0 102.0 Median 105.6 106.4 102.7 102.0 Tabel.C: IM Curah hujan kumulatif bulanan Tahun Jan Peb Mar Apr 2002 355.5 330.4 179.7 101.6 2003 91.8 309.6 101.0 67.3 2004 123.0 220.6 192.2 190.8 2005 220.5 206.2 212.4 50.1 2006 230.2 235.2 213.2 175.2 Rata-rata 204.2 260.4 179.7 117.0 Median 220.5 235.2 192.2 101.6 Tabel.D: IM Hari hujan bulanan Tahun Jan Peb Mar Apr 2002 262.9 256.2 155.1 114.6 2003 109.9 235.6 147.6 97.4 2004 169.8 166.8 163.9 108.3 2005 140.4 154.1 143.1 90.8 2006 218.8 190.2 195.0 136.3 Rata-rata 180.4 200.6 160.9 109.5 Median 169.8 190.2 155.1 108.3
74
Mei 100.9 100.9 101.1 102.6 101.1 101.3 101.1
Jun 102.1 102.7 98.5 100.2 100.2 100.7 100.2
Jul 101.4 101.1 98.0 99.1 100.9 100.1 100.9
Agt 100.3 101.8 99.8 100.6 100.5 100.6 100.5
Sep 100.2 99.7 103.5 100.1 101.8 101.1 100.2
Okt 103.7 100.2 103.6 101.4 101.0 102.0 101.4
Nop 103.1 100.2 102.4 99.0 99.5 100.9 100.2
Des 100.0 95.9 98.2 99.1 99.3 98.5 99.1
Mei 101.2 102.8 101.6 99.9 101.0 101.3 101.2
Jun 96.8 93.9 100.3 101.6 99.6 98.4 99.6
Jul 97.7 90.3 100.5 99.7 98.3 97.3 98.3
Agt 94.7 90.2 88.6 95.4 93.5 92.5 93.5
Sep 93.9 97.7 94.9 96.6 91.4 94.9 94.9
Okt 91.8 99.6 92.5 96.9 96.4 95.4 96.4
Nop 97.1 102.3 100.0 100.6 100.7 100.1 100.6
Des 102.2 107.7 104.5 98.5 100.3 102.6 102.2
Mei 40.5 48.5 85.5 61.9 102.9 67.9 61.9
Jun
Jul 51.6 0.1 50.6 69.8 37.4 41.9 50.6
Agt
Sep 13.6 41.5 3.7 69.1 0.1 25.6 13.6
Okt
4.9 1.0 32.7 100.4 32.3 34.3 32.3
3.5 161.7 52.6 51.5 32.1 60.3 51.5
Nop 41.2 130.5 76.1 53.6 28.1 65.9 53.6
Des 77.3 245.8 165.7 73.4 113.4 135.1 113.4
Mei 80.9 69.1 158.0 68.8 117.3 98.8 80.9
Jun 37.1 28.3 61.5 88.1 47.6 52.5 47.6
Jul 84.3 3.1 46.8 57.8 38.0 46.0 46.8
Agt
Sep 3.4 72.3 8.8 55.0 4.8 28.8 8.8
Okt 10.1 116.2 61.5 101.8 19.0 61.7 61.5
Nop 94.4 119.4 99.5 104.6 85.6 100.7 99.5
Des 94.4 188.5 143.4 126.6 147.4 140.1 143.4
0.1 1.2 6.5 31.3 0.0 7.8 1.2
6.7 12.6 11.7 68.8 0.0 20.0 11.7
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Tabel. 7.A. menunjukkan nilai rata-rata bulanan dan median indeks musiman suhu udara di wilayah Jakarta Timur. Pada tabel tersebut nampak bahwa nilai mendian indeks musim variabel suhu udara tertinggi berkisar antara 100,2 hingga 101,7 terjadi pada periode April hingga Nopember, dengan nilai indeks tertinggi sebesar 101,7 terjadi pada bulan April, atau dapat dikatakan bahwa pada periode bulan Maret hingga Nopember suhu udara rata-rata bulanan pada umumnya lebih tinggi dari nilai rata-rata suhu udara tahunanannya, dengan suhu tertinggi terjadi pada bulan April sebesar 101,7% lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata tahunannya. Sedangkan nilai indeks musiman suhu udara terendah berkisar antara 96,7 hingga 99,3 terjadi pada periode Desember hingga Maret, dengan nilai indeks terendah sebesar 96,7 terjadi pada bulan Pebruari, atau dapat dikatakan bahwa pada periode bulan Desember hingga Maret suhu udara rata-rata bulanan pada umunya lebih rendah dari nilai rata-rata suhu udara tahunannya, dengan suhu terendah terjadi pada bulan Pebruari sebesar 96,7% dibandingkan nilai rata-rata tahunannya. Pada Tabel. 7.B. menunjukkan nilai rata-rata bulanan dan median indeks musiman kelembapan relatif udara di wilayah Jakarta Timur. Pada tabel tersebut nampak bahwa nilai mendian indeks musim variabel kelembapan relatif udara tertinggi berkisar antara 100,6 hingga 106,4 terjadi pada periode Desember hingga Mei, dengan nilai indeks tertinggi sebesar 106,4 terjadi pada bulan Pebruari, atau dapat dikatakan bahwa pada periode bulan Desember hingga Mei kelembapan relatif udara rata-rata bulanan pada umumnya lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata kelembapan relatif
udara tahunanannya, dengan kelembapan relatif udara
tertinggi terjadi pada bulan Pebruari sebesar 106,4% lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata tahunannya. Sedangkan nilai indeks musiman kelembapan relatif udara terendah berkisar antara 93,5 hingga 99,6 terjadi pada periode Juni hingga Oktober, dengan nilai indeks terendah sebesar 93,5 terjadi pada bulan Agustus, atau dapat dikatakan bahwa pada periode bulan Juni hingga Oktober kelembapan relatif udara rata-rata bulanan pada umunya lebih rendah dari nilai rata-rata kelembapan relatif udara tahunannya, dengan nilai terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 93,5% dibandingkan nilai rata-rata tahunannya.
75
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Pada Tabel. 7.C. menunjukkan nilai rata-rata bulanan dan median indeks musiman curah hujan di wilayah Jakarta Timur. Pada tabel tersebut nampak bahwa nilai mendian indeks musim variabel curah hujan tertinggi berkisar antara 101,6 hingga 235,2 terjadi pada periode Desember hingga April, dengan nilai indeks tertinggi sebesar 235,2 terjadi pada bulan Pebruari, atau dapat dikatakan bahwa pada periode bulan Desember hingga April jumlah curah hujan rata-rata bulanan pada umumnya lebih tinggi dibandingkan jumlah curah hujan rata-rata tahunanannya, dengan jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Pebruari sebesar 235,2% lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah curah hujan rata-rata tahunannya. Sedangkan nilai indeks musiman curah hujan terendah berkisar antara 1,2 hingga 61,9 terjadi pada periode Mei hingga Nopember, dengan nilai indeks terendah sebesar 1,2 terjadi pada bulan Agustus, atau dapat dikatakan bahwa pada periode bulan Mei hingga Nopember jumlah curah hujan rata-rata bulanan pada umunya lebih rendah dibandingkan dengan jumlah rata-rata curah hujan
tahunannya,
dengan nilai terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 1,2% dibandingkan nilai rata-rata tahunannya. Pada Tabel. 7.D. menunjukkan nilai rata-rata bulanan dan median indeks musiman juhlah hari hujan di wilayah Jakarta Timur. Pada tabel tersebut nampak bahwa nilai mendian indeks musim variabel hari hujan tertinggi berkisar antara 108,3 hingga 190,2 terjadi pada periode Desember hingga April, dengan nilai indeks tertinggi sebesar 190,2 terjadi pada bulan Pebruari, atau dapat dikatakan bahwa pada periode bulan Desember hingga April jumlah hari ada hujan rata-rata bulanan pada umumnya lebih tinggi dibandingkan jumlah hari ada hujan rata-rata tahunannya, dengan jumlah hari ada hujan tertinggi terjadi pada bulan Pebruari sebesar 190,2% lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah hari ada hujan rata-rata tahunannya. Sedangkan nilai indeks musiman hari ada hujan terendah berkisar antara 8,8 hingga 99,5 terjadi pada periode Mei hingga Nopember, dengan nilai indeks terendah sebesar 8,8 terjadi pada bulan September, atau dapat dikatakan bahwa pada periode bulan Mei hingga Nopember jumlah hari ada hujan rata-rata bulanan pada umunya lebih rendah dibandingkan dengan jumlah rata-rata curah
76
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
hujan tahunannya, dengan nilai terendah terjadi pada bulan September sebesar 8,8% dibandingkan nilai rata-rata tahunannya. Dari paparan tersebut di atas nampak bahwa fluktuasi musiman nilai indeks variabel suhu udara dan kelembapan relatif udara, relatif
kecil (stabil)
dibandingkan dengan nilai indeks variabel curah hujan dan hari ada hujan. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah tropis faktor suhu dan kelembapan udara relatif dapat dikatakan stabil hampir sepanjang tahun. Sebaliknya faktor curah hujan dan hari ada hujan mempunyai rentang fluktuasi musiman yang sangat besar antara periode musim hujan dan musim kemarau. Bertolak dari informasi tersebut maka penulis berpendapat bahwa faktor determinan terhadap munculnya kasus DBD di Jakarta Timur pada khususnya, adalah faktor curah hujan dan hari ada hujan, yang berperan
dalam perkembangbiakan nyamuk. Sementara faktor suhu dan
kelembapan cenderung berpengaruh terhadap perilaku nyamuk untuk menggigit.
4.4.1.2. Indeks cuaca DBD (IC_DBD)
Hasil perhitungan nilai indeks gabungan yang selanjutnya disebut sebagai indeks cuaca DBD (IC_DBD), dihitung dari nilai
nilai IM dari Tabel.8, hasilnya
disajikan pada Tabel.8 sebagai berikut: Tabel. 8. Hasil perhitungan IC_DBD berdasarkan data cuaca 2002-2006. (BMG, 2008). Variabel
Jan
Peb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
Indeks Suhu Udara
98.0
96.7
99.3
101.7
101.1
100.2
100.9
100.5
100.2
101.4
100.2
99.1
Indeks Kelembapan
105.6
106.4
102.7
102.0
101.2
99.6
98.3
93.5
94.9
96.4
100.6
102.2
Indeks Curah hujan
220.5
235.2
192.2
101.6
61.9
32.3
50.6
1.2
13.6
51.5
53.6
113.4
Indeks Hari Hujan
169.8
190.2
155.1
108.3
80.9
47.6
46.8
11.7
8.8
61.5
99.5
143.4
IC_DBD
148.5
157.1
137.3
103.4
86.3
69.9
74.1
51.7
54.4
77.7
88.5
114.5
Tabel. 8. menunjukkan nilai IC_DBD bulanan untuk wilayah Jakarta Timur, dihitung dari rata-rata indeks suhu udara, kelembapan relatif udara, curah hujan, dan hari hujan rata-rata bulanan. Dari Tabel. 9 tersebut nampak bahwa nilai IC_DBD pada periode musim hujan (Nopember-April) berkisar antara 77,7-157,1, dengan nilai tertinggi terjadi pada bulan Pebruari sebesar 157,1. Sedangkan pada
77
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
periode musim kemarau (Mei-Oktober) nilai IC_DBD berkisar antara 51,7-86,3. Dalam hal ini nampak bahwa aktifitas cuaca musiman yang diindikasikan dengan nilai IC_DBD paling tinggi (di atas nilai rata-ratanya) terjadi pada periode musim hujan yaitu pada bulan Desember hingga April, dan penurunan aktifitas cuaca (di bawah nilai rata-ratanya) terjadi pada periode menjelang musim kering hingga menjelang musim hujan, yaitu antara bulan Nopember-Mei).
4.4.2. Analisis Runtun Waktu IC_DBD Dan Kasus DBD
Hasil analisis runtun waktu nilai IC_DBD dan data kasus DBD rata-rata bulanan dengan mempergunakan model trend line (polinom) orde 3 (tiga) menunjukkan adanya jeda waktu (time lag) 2 (dua) bulan pada periode puncak dan lembah (Gambar. 24) sebagai berikut:
GRAFIK KASUS DBD RATA-RATA BULANAN DIBANDINGKAN DENGAN NILAI INDEKS CUACA MUSIMAN (IC_DBD) DI WILAYAH KODYA JAKARTA TIMUR 2 BULAN
180
900
160
800
140
700
120
2 BULAN
600
100
500
80
400
IC_DBD
KASUS DBD
1000
60
300 200
40
100
20
0
0 Jan
Peb
Mar
Apr
Mei DBD
Jun
Jul
Poly. (DBD)
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
Poly. (IC_DBD)
Gambar. 24. Grafik kasus DBD rata-rata bulanan dibandingkan dengan nilai indeks cuaca DBD di wilayah Jakarta Timur.
Gambar. 24 menunjukkan perbandingan pola garis trend IC_DBD dengan data surveilans kasus DBD. Pada saat grafik IC_DBD mencapai titik terendah pada bulan Agustus, kasus DBD cenderung
terus menurun hingga mencapai titik
terendah 2 (dua) bulan kemudian (September), dan mulai meningkat kembali pada bulan Nopember pada saat grafik IC_DBD mencapai angka 90, dan terus
78
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
meningkat seirimg dengan peningkatan nilai IC_DBD hingga mencapai puncaknya pada bulan Maret pada saat grafik IC_DBD sudah mulai menurun pada nilai 130, yaitu 2 (dua) bulan setelah puncak IC_DBD pada bulan Januari. Hal ini mengindikasikan adanya rentang waktu 2 (dua) bulan antara titik tertinggi aktifitas dan titik terendah cuaca musiman dengan jumlah kasus DBD yang terjadi. Dan hasil dari rekronstruksi data setelah dilakukan penyesuaian fase pada garis polinom menunjukkan pola yang hampir simetris dan berpotongan di bulan Oktober (Gambar. 25), sebagai berikut:
1000
180
900
160
800
140
700
120
600
100
500
80
400
IC _D B D
K A SU S D B D
GRAFIK KASUS DBD RATA-RATA BULANAN (t+2) DIBANDINGKAN DENGAN NILAI INDEKS CUACA MUSIMAN (IC_DBD) DI WILAYAH KODYA JAKARTA TIMUR
60
300 200
40
100
20
0
0 Jan
Peb
Mar
Apr
Mei DBD
Jun Poly. (DBD)
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
Poly. (IC_DBD)
Gambar. 25. Grafik kasus DBD rata-rata bulanan t+2 dibandingkan dengan nilai indeks cuaca DBD (IC_DBD) di wilayah Jakarta Timur.
Gambar. 25. menunjukkan pola garis trend data kasus DBD dan IC_DBD yang telah direkonstruksi (disamakan periodenya). Dari kedua garis trend yang telah disamakan periodenya tersebut nampak bahwa titik terendah kasus DBD terjadi pada nilai IC_DBD kurang dari 60 pada bulan Agustus, kemudian meningkat dengan tajam pada nilai IC_DBD di atas 60 pada bulan September. Hal ini mengindikasikan adanya relasi yang cukup nyata antara aktifitas cuaca dengan munculnya kasus DBD. Garis trend line yang saling berpotongan pada bulan Oktober, mengindikasikan bahwa penurunan aktifitas cuaca akan cenderung
79
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
menekan perkembangan kasus secara linier (pola hampir sejajar) hingga titik terendah, dan peningkatan aktifitas cuaca pada batas tertentu (ambang batas) cenderung direspons secara eksponensial oleh munculnya kasus DBD, sehingga terdapat perbedaan yang cukup tajam antara nilai koefisien garis trend kasus DBD dibandingkan dengan IC_DBD. Berdasarkan hasil perhitungan, besarnya nilai koefisien korelasi antara variabel IC_DBD dengan data surveilans DBD yang telah direkonstruksi adalah sebesar +0,81.
4.5. Model Peringatan Dini Kasus DBD
Model peringatan dini kasus DBD dirumuskan berdasarkan hasil rekonstruksi data runtun waktu nilai IC_DBD dan data kasus DBD, dicari dengan mempergunakan diagram pencar (scatter diagram) dengan nilai IC_DBD sebagai absis (X), dan data kasus DBD sebagai ordinat (Y), (Munir, 2003) . Berdasarkan diagram pencar tersebut diperoleh persamaan polinom orde 3 (tiga) dengan nilai R2 sebesar 0.81 (dibulatkan) dapat dilihat pada Gambar. 26 dan persamaan 21.
DIAGRAM PENCAR KASUS DBD RATA-RATA WILAYAH (t+2) DIBANDINGKAN DENGAN NILAI INDEKS CUACA DBD (IC_DBD) DI WILAYAH JAKARTA TIMUR
1000 KASUS DBD
3
800
2
y = -0.0028x + 0.8133x - 66.765x + 1921.2 2
R = 0.8116
600 400 200 Non Potensial (NP)
Potensial (P)
Potensial Sedang Potensial Tinggi (PT) (PS)
0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
IC_DBD
Gambar. 26. Diagram pencar (scatter diagram) Grafik kasus DBD rata-rata bulanan t+2 dibandingkan dengan nilai indeks cuaca DBD (IC_DBD) di wilayah Jakarta Timur.
80
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 26 menunjukkan garis regresi (polinom orde tiga) dengan kasus DBD sebagai variabel terikat, dan nilai IC_DBD sebagai variabel bebas. Persamaan polinomial orde 3 (tiga) yang diperoleh dari diagram pencar nilai IC_DBD dengan kasus DBD rata-rata bulanan wilayah Jakarta Timur, adalah sebagai berikut: Y = −0,0028 X 3 + 0,8133 X 2 − 66,765 X + 1921,2 ………………………..(22) Dengan nilai koefisien determinasi (R2) = 0.81 (dibulatkan), menyatakan bahwa banyaknya kasus DBD yang terjadi di wilayah Jakarta Timur dapat dijelaskan melalui nilai indeks cuaca DBD (IC_DBD) dengan tingkat kepercayaan sebesar 81%, sedangkan 19% lainnya disebabkan oleh faktor lain yang tidak dapat dijelaskan dalam penelitian ini. Sebagai contoh, untuk membuat prediksi kasus DBD bulan Maret 2007 (Y), dapat dihitung mempergunakan nilai IC_DBD bulan Januari 2007 (X=148,9), sebagai berikut: Y= -0,0028(148,9)3+0,8133(148,9)2-66,765(148,9)+1921,2=768,5 kasus. Artinya kasus DBD bulan Maret 2007 dapat diprediksi mempergunakan nilai IC_DBD bulan Januari 2007 (768,5 kasus) dengan tingkat akurasi sebesar 81%.
4.5.1. Penentuan Nilai Ambang Batas IC_DBD Terhadap Kasus DBD
Nilai ambang batas IC_DBD yang diklasifikasikan kedalam 4 (empat) kelas interval dengan klasifikasi berturut-turut dari nilai terendah hingga tertinggi yaitu: Non Potensial, Potensial Rendah, Potensial Sedang, dan Potensial Tinggi, secara proporsional dipergunakan untuk menentukan kisaran banyaknya kasus DBD, dengan cara menarik garis dari titik absis (X) sejajar sumbu ordinat (Y) pada nilai batas atas tiap kelas interval IC_DBD. Selanjutnya dari tiap kolom yang terbentuk dapat dicari nilai kasus DBD dari perpotongannya dengan garis trend line (polinom), secara rinci dapat dilihat pada Gambar. 26 dan Tabel. 10, sebagai berikut:
81
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Tabel. 9. Klasifikasi Indeks Cuaca DBD (IC_DBD) dan relasinya terhadap banyaknya kasus DBD IC_DBD Nilai Max 157.0 Min 52.0 Rentang 105.0 Kelas 4 Interval 26.0 KLASSIFIKASI IC_DBD Non Potensial (NP) < 78 Potensial (P) 78 - 104 Potensial Sedang (PS) 105 - 131 Potensial Tinggi (PT) > 131
Kisaran banyaknya kasus < 400 400 - 599 600 - 799 >799
Tabel. 10. ditunjukkan rentang nilai IC_DBD maksimum (157,0) dan minimum (52,0) adalah sebesar 105,0. Nilai interval kelas sebesar 26,0 diperoleh dengan cara membagi nilai rentang dengan banyak kelas (4). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut maka diperoleh klasifikasi nilai IC_DBD Non Potensial (NP), Potensial (P), Potensial Sedang (PS), dan Potensial Tinggi (PT). Selanjutnya dengan menarik garis pada sumbu X yang bersesuaian dengan batas bawah dan batas atas tiap interval kelas, maka dapat diketahui kisaran kasus DBD yang mempunyai relasi dengan nilai IC_DBD.
4.6. Validasi Model
Berdasarkan hasil perhitungan nilai prediksi kasus DBD dengan mempergunakan formulasi persamaan (22), dengan data masukan adalah nilai IC_DBD bulan Januari-Oktober 2007, dibandingkan dengan data surveilans kasus DBD bulan Maret-Desember 2007 (disamakan jeda waktunya), diperoleh hasil berikut (Gambar. 27):
82
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
sebagai
VALIDASI MODEL PREDIKSI KASUS DBD DIBANDINGKAN DENGAN DATA SURVEILANCE KASUS DBD TAHUN 2007 1800 1600 KASUS DBD
1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Jan
Peb
Mar DBD
April
Mei
Juni
Prediksi
Juli
Agt
Poly. (DBD)
Sep
Okt
Nop
Des
Poly. (Prediksi)
Gambar. 27. Perbandingan model prediksi kasus DBD dengan data kasus DBD tahun 2007.
Gambar. 27 menunjukkan perbandingan
pola distribusi prediksi kasus DBD
dengan data surveilans kasus DBD. Secara visual, hasil validasi model statistik polinom dibandingkan dengan data kasus DBD tahun 2007 menunjukkan pola distribusi yang cukup simetris (mirip), dimana periode dengan jumlah kasus DBD tinggi pada periode bulan Maret-April-Mei dengan jumlah kasus DBD tertinggi terjadi pada bulan April menunjukkan kesesuaian pola, sedangkan pada periode dengan jumlah kasus rendah menunjukkan perbedaan 1 (satu) bulan, dimana pada model
terjadi lebih awal, yaitu pada bulan September-Oktober-Nopember,
dengan
jumlah kasus terendah terjadi pada bulan Oktober (pada model),
sedangkan data surveilance kasus DBD mulai rendah pada periode OktoberNopember-Desember, dengan jumlah kasus terendah terjadi pada bulan Nopember.
4.7. Verifikasi Model
Hasil verifikasi berdasarkan data prediksi dibandingkan data surveilans kasus DBD tahun 2007, menunjukkan nilai kesalahan absolut rata-rata (MAE) sebesar
83
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
396 dan nilai RMSE sebesar 494, dan terdapat selisih diantara keduanya sebesar 99, dapat dilihat pada Tabel. 11 sebagai berikut: Tabel. 10. Hasil validasi model prediksi DBD dengan mempergunakan nilai IC_DBD sebagai variabel bebas. Bulan Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
IC_DBD Model DBD_2007 148 571.0 157 965 137 769 1286 103 802 1681 86 772 1580 70 587 1264 74 468 889 52 356 558 54 291 278 78 242 150 88 276 149 115 505 284 Jumlah MAE RSME
|Yf-Yo|
517 879 808 677 421 202 13 92 127 221 3958 396 494
(Yf-Yo)2
267795 772669 652962 458570 177559 40826 169 8406 16119 48900 2443976
Tabel. 11. menunjukkan hasil perhitungan nilai Mean Absolute Error (MAE) dan Root Mean Squared Error (RSME). Nilai prediksi kasus DBD pada kolom Model dihitung berdasarkan nilai indeks IC_DBD pada kolom IC_DBD sebagai variabel bebas dibandingkan dengan data surveilans kasus DBD pada kolom DBD_2007. Dalam hal ini nilai prediksi model yang mempergunakan nilai IC_DBD bulan Januari adalah model prediksi DBD untuk dua bulan ke depan (Maret). Nilai MAE dan RSME dihitung dari nilai residu absolut Y f − Yo , dan nilai residu kuadrat
(Y
− Yo ) , mempergunakan persamaan 17 dan 18, diperoleh hasil 2
f
MAE=396, dan RSME=494. Dari hasil perhitungan tersebut terdapat selisih nilai antara MAE dan RMSE adalah sekitar 99, menunjukkan nilai variansi error individual sampel adalah sebesar 99 kasus, yang berarti perbedaan nilai kesalahan (error) bulanan adalah sebesar 99 kasus (berada pada nilai tengah interval kelas relasi kasus DBD sebesar 200. Nilai tersebut dipengaruhi oleh pola distribusi kasus DBD, dimana pada saat terjadi wabah (kejadian luar biasa) jumlah kasus melonjak sangat tajam dibandingkan dengan bulan sebelumnya, kemudian turun
84
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
dengan sangat tajam pula pada bulan berikutnya (bandingkan Gambar.9 dan Gambar. 18). Dalam hal ini nilai bias yang paling tinggi terjadi pada saat periode puncak, dimana nilai hasil prediksi pada umunya under estimate (lebih rendah dari data surveilance).
Dari hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa pola distribusi model cuaca IC_DBD pada saat periode kasus DBD tinggi (Maret-April-Mei) sudah mendekati pola data sureveilance, sedangkan pada saat periode kasus rendah terdapat perbedaan 1 (satu) bulan, dimana kondisi terendah nilai IC_DBD terjadi pada bulan Okober sedangkan kasus DBD terendah terjadi pada bulan Nopember. Hal ini mengindikasikan adanya nilai batas tertentu dari faktor cuaca (IC_DBD) yang harus dipenuhi untuk terjadinya perkembangan kasus DBD, yaitu pada kondisi IC_DBD Potensial (P) dengan kisaran nilai 78-104, yang bersesuaian dengan kejadian kasus antara 400-599.
4.8. Simulasi Model
Simulasi model yang dibuat berdasarkan hasil perhitungan nilai IC_DBD bulan Januari-Oktober 2007, dibandingkan dengan data surveilans kasus DBD perkecamatan di wilayah Jakarta Timur pada bulan Maret-Desember, secara rinci dapat dilihat pada Tabel. 11 dan Gambar. 28 sebagai berikut:
85
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Tabel. 11: Simulasi nilai IC_DBD dibandingkan dengan data surveilans kasus DBD perkecamatan di wilayah Jakarta Timur, pada bulan Maret-Desember 2007. (Data diolah dari data iklim BMG tahun 2007, dan data surveilans kasus DBD Dinas Kesehatan DKI Jakarta tahun 2007) KECAMATAN CAKUNG CIPAYUNG CIRACAS DUREN SAWIT JATINEGARA KRAMAT JATI MAKASAR MATRAMAN PASAR REBO PULO GADUNG IC_DBD Keterangan:
Mar 105 108 116 164 209 202 106 79 77 120 149
Apr 227 98 137 283 196 254 116 92 109 169 145
Mei 292 114 104 341 175 132 78 120 81 143 119
Jun 220 78 91 244 145 124 73 105 62 122 101
Jul 143 70 67 202 84 80 47 55 52 89 91
Agt 55 51 38 128 61 66 40 28 35 56 80
Sep 30 24 16 68 32 44 19 16 11 18 73
Okt
Nop
9 23 14 25 18 12 10 9 12 18 62
8 13 21 24 17 23 10 13 11 9 71
Des 28 27 19 46 42 32 16 22 17 35 94
: Non Potensial (NP) IC_DBD < 78, Kasus DBD < 400 kasus (Ringan) : Potensial (P) IC_DBD 78-104, Kasus DBD < 40-60 kasus (Sedang) : Potensial Sedang (PS) IC_DBD 105-131, Kasus DBD 60-80 kasus (Tinggi) : Potensial Tinggi (PT) IC_DBD > 131, Kasus DBD >80 kasus (Sangat Tinggi)
Tabel. 11 menunjukkan bahwa pada kondisi IC_DBD Non Potensial (NP), pada bulan September
80% kasus yang terjadi ringan; pada bulan Oktober dan
Nopember kasus yang terjadi 100% ringan. Pada kondisi IC_DBD Potensial (P), pada bulan Juni, kasus yang terjadi 30% tinggi, dan 70% sangat tinggi; bulan Juli, kasus yang terjadi 30% sedang, 20% tinggi, dan 50% sangat tinggi; pada bulan Agustus, kasus yang terjadi 30% ringan, 20% sedang, 40% tinggi, dan 10% sangat tinggi. Pada kondisi IC_DBD Potensial Tinggi (PT), pada bulan Maret
kasus
yang terjadi 80% sangat tinggi, dan 20% tinggi; pada bulan April kasus yang terjadi 100% sangat tinggi; pada bulan Mei kasus yang terjadi 90% sangat tinggi, dan 10% tinggi.
Berdasarkan paparan tersebut nampak bahwa pada kondisi
IC_DBD potensial (78-104) pada bulan juni, Juli dan Agustus perkembangan kasus menunjukkan kecenderungan ringan adalah sebesar 10%, sedang 13%, tinggi 30%, dan sangat tinggi 47%, sedangkan pada bulan Desember nilai IC_DBD Potensial (P) mempunyai relasi dengan kasus DBD ringan 100%. Secara umum hal tersebut menunjukkan bahwa nilai IC_DBD Potensial mempunyai relasi dengan perkembangan kasus yang cukup besar pada kisaran antararingan hingga sangat tinggi, kecuali pada bulan Desember, nilai IC_DBD di bawah batas atas kondisi Potensial (104)
mempunyai relasi dengan kasus DBD ringan.
Sedangkan pada kondisi IC_DBD Non Potensial (NP) dan Sangat Potensial (SP)
86
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
mempunyai relasi kesesuaian dengan kasus DBD yang cukup kuat yaitu berturutturut 93% dan 90%.
GRAFIK SIMULASI NILAI IC_DBD BULAN JANUARI-OKTOBER 2007 DIBANDINGKAN DENGAN DATA SURVEILANS KASUS DBD PER-KECAMATAN DI WILAYAH JAKARTA TIMUR BULAN MARET-DESEMBER 2007 375 350 325 300
Keterangan:
KASUS DBD/IC_DBD
275 250
CAKUNG
225
CIPAYUNG
200
CIRACAS
175
DUREN SAWIT
150
JATINEGARA
125
KRAMAT JATI
100
MAKASAR MATRAMAN
75
PASAR REBO
50
PULO GADUNG
25
IC_DBD
0 Mar
April
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nop
Des
Gambar. 28. Grafik simulasi model IC_DBD dibandingkan dengan data surveilans kasus DBD per-wilayah kecamatan di Jakarta Timur periode bulan Maret-Desember 2007. (Diolah dari data iklim BMG tahun 2007, dan data surveilans kasus DBD Dinas Kesehatan DKI Jakarta tahun 2007).
Gambar. 28 menunjukkan grafik simulasi model IC_DBD mempunyai pola variasi musiman yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan variasi musiman pada kasus DBD. Pada saat IC_DBD mencapai nilai tertinggi pada bulan Maret (149), jumlah kasus pada umumnya belum mencapai puncaknya, dan pada saat nilai IC_DBD sudah mulai turun pada bulan April (145) dan Mei (119), justru terjadi kenaikan jumlah kasus yang sangat tajam di hampir sebagian besar kecamatan. Melewati nilai IC_DBD 119 pada bulan Mei, secara konsisten seluruh kecamatan menunjukkan jumlah kasus DBD yang menurun pula. Penurunan nilai IC_DBD yang terus berlangsung hingga titik terendah pada bulan Oktober (62), secara konsisten diikuti oleh penurunan jumlah kasus, dan kenaikan nilai IC_DBD pada bulan Nopember (71) dan Desember (94), juga diikuti oleh kenaikan kasus DBD. Secara umum nampak bahwa perilaku distribusi kasus DBD pada saat terjadi wabah (out break) menunjukkan nilai pencilan (random) yang sangat dominan dibandingkan pada periode sebelum dan paska out break. Hal ini
87
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
mengindikasikan bahwa pada tahap awal faktor cuaca mempunyai peranan yang cukup penting sebagai pemicu, namun pada tahap selanjutnya kejadian wabah DBD sangat dipengaruhi oleh kompleksitas interaksi yang cukup tinggi dengan faktor eksternal (mobilitas penduduk, kondisi infra struktur kesehatan, pemberantasan sarang nyamuk, abatisasi, foging, dan lain sebagainya).
4.9. Pemetaan Potensi DBD
Peta potensi kasus demam berdarah dengue (DBD) per-kecamatan berdasarkan nilai prediksi indeks cuaca DBD (IC_DBD) dengan kriteria potensi kasus DBD ringan (kurang dari 40 kasus/kecamatan), sedang (antara 40-60 kasus/kecamatan), tinggi
(60-80
kasus/kecamatan),
dan
sangat
tinggi
(lebih
dari
80
kasus/kecamatan), untuk bulan Maret hingga Desember 2007, dibandingkan dengan data surveilance kasus DBD per-kecamatan, menunjukkan kondisi sebagai berikut: a. Potensi kasus DBD pada bulan Maret 2007 berdasarkan hasil perhitungan nilai
IC_DBD bulan Januari 2007, menunjukkan potensi berkisar antara Potensial (P) hingga Potensial Tinggi (PT), dengan kisaran nilai antara 78 -148. Kondisi Potensial Tinggi berada di wilayah kecamatan cakung bagian utara; kondisi Potensial berada di sekitar kecamatan Matraman, Kecamatan Makassar bagian selatan, dan sebagian besar Kecamatan Cipayung; sedangkan sebagian besar wilayah kecamatan lainnya
berada pada kondisi Potensial Sedang. Pola ini
berkaitan dengan tingginya aktifitas cuaca pada periode musim hujan pada bulan Januari, yang menyebabkan hasil hitungan nilai IC_DBD juga relatif (Gambar. 28):
88
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
tinggi
Gambar. 29. Peta tematik Potensi Kasus Demam Berdararah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Maret 2007
Berdasarkan data surveilance kasus DBD per-kecamatan di wilayah Jakarta Timur pada bulan Maret 2007, menunjukkan bahwa 3 (tiga) kecamatan yaitu, Jatinegara, Duren Sawit, dan Kramat Jati jumlah kasus yang terjadi sangat tinggi, 5 (lima) kecamatan yaitu, Pulo Gadung, Cakung, Makasar, Cipayung, dan Ciracas, menunjukkan jumlah kasus tinggi, 1 (satu) kecamatan yaitu Matraman menunjukkan jumlah kasus sedang, dan 1 (satu) kecamatan yaitu, Pasar Rebo menunjukkan jumlah kasus ringan. Berdasarkan peta potensi kasus DBD tersebut di atas,
menunjukkan bahwa
di bawah prediksi potensi kasus DBD akan
Potensial hingga Potensial Tinggi, kasus DBD yang terjadi per-kemacamatan bervariasi antara sangat tinggi hingga sangat rendah, dimana sebanyak 3 (tiga) kecamatan atau 30% mempunyai jumlah kasus DBD sangat tinggi, 5 (lima) kecamatan atau 50% tinggi, dan sisanya 20% sedang dan ringan. Sementara itu apabila dilihat dari penyimpangannya, menunjukkan bahwa di wilayah Cakung over estimate, di 3 (tiga) kecamatan yaitu Duren Sawit, Jatinegara dan Kramat
89
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Jati under estimate, di sebagian wilayah kecamatan Makassar, Cipayung, dan Pasar Rebo menunjukkan under estimates; dan di wilayah kecamatan lainnyanya menunjukkan kesesuaian. Secara garis besar nampak bahwa kasus yang terjadi dapat satu tingkat lebih tinggi atau lebih rendah dari indikasi berdasarkan nilai IC_DBD (Gambar. 29).
Gambar. 30. Peta tematik Data Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Maret 2007.
b. Potensi kasus DBD pada bulan April 2007 yang dihitung dengan nilai
IC_DBD bulan Pebruari 2007, menunjukkan Potensi sangat tinggi di seluruh wilayah Jakarta Timur, dengan kisaran nilai antara 188-216. Seperti pada kondisi bulan Maret, pola potensi pada bulan April masih berkaitan dengan tingginya aktifitas cuaca pada periode musim hujan, sehingga menyebabkan hasil hitungan nilai IC_DBD juga tinggi (Gambar. 30).
90
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 31. Peta tematik Potensi Kasus Demam Berdararah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan April 2007.
Berdasarkan data surveilance kasus DBD per-kecamatan di wilayah Jakarta Timur pada bulan April 2007, menunjukkan bahwa 6 (enam) kecamatan yaitu, Polu Gadung, Cakung, Jatinegara, Duren Sawit, Kramat Jati, dan Ciracas jumlah kasus yang terjadi sangat tinggi, 2 (dua) kecamatan yaitu, Makasar dan Pasar Rebo, menunjukkan jumlah kasus tinggi, 2 (dua) kecamatan yaitu Matraman dan Cipayung menunjukkan jumlah kasus sedang. Berdasarkan peta potensi kasus DBD tersebut di atas, menunjukkan bahwa di bawah prediksi potensi kasus DBD akan sangat tinggi, kasus DBD yang terjadi per-kemacamatan bervariasi antara sangat tinggi hingga sedang, dimana sebanyak 6 (enam) kecamatan atau 60% mempunyai jumlah kasus DBD sangat tinggi, 2 (dua) kecamatan atau 20% tinggi, dan sisanya 20% sedang (Gambar. 31).
91
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 32. Peta tematik Data Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan April 2007.
c. Potensi kasus DBD pada bulan Mei 2007 yang dihitung dengan nilai IC_DBD
bulan Maret 2007, menunjukkan kondisi Potensial (P) hingga Potensial Sedang (PS), dengan kisaran nilai antara 103-107, dengan pola distribusi nilai IC_DBD tinggi di wilayah barat laut dan semakin rendah ke arah tenggara. Pola potensi pada bulan Mei dipengaruhi oleh periode musim peralihan (transisi) dimana aktifitas cuaca secara umum sudah mulai menurun dibandingkan dengan bulan sebelumnya (Pebruari) namun pada skala lokal relatif masik aktif, sehingga nilai IC_DBD untuk potensi kasus bulan Mei juga menurun (Gambar. 32).
92
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 33. Peta tematik Potensi Kasus Demam Berdararah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Mei 2007
Berdasarkan data surveilance kasus DBD per-kecamatan di wilayah Jakarta Timur pada bulan Mei 2007, menunjukkan bahwa 5 (lima) kecamatan yaitu, Polu Gadung, Cakung, Jatinegara, Duren Sawit, Kramat Jati, jumlah kasus yang terjadi sangat tinggi, 2 (dua) kecamatan yaitu, Matraman, dan Cipayung menunjukkan jumlah kasus tinggi, 2 (dua) kecamatan yaitu Pasar Rebo dan Ciracas menunjukkan jumlah kasus sedang, dan 1 (satu) kecamatan, yaitu Makassar menunjukkan jumlah kasus ringan. Berdasarkan peta potensi kasus DBD tersebut di atas, menunjukkan bahwa di bawah prediksi potensi kasus DBD akan sedang dan tinggi, kasus DBD yang terjadi per-kemacamatan bervariasi antara sangat tinggi hingga ringan, dimana sebanyak 5 (lima) kecamatan atau 50% mempunyai jumlah kasus DBD sangat tinggi, 2 (dua) kecamatan atau 20% tinggi, 2 (dua) kecamatan atau 20% sedang, dan 1 (satu) kecamatan atau 10% ringan. Sementara itu apabila dilihat dari penyimpangannya, menunjukkan adanya kesesuaian tinggi di wilayah utara dan semakin rendah ke wilayah selatan (Gambar. 33).
93
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 34. Peta tematik Data Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Mei 2007.
d. Potensi kasus DBD pada bulan Juni 2007 yang dihitung dengan nilai IC_DBD
bulan April 2007, menunjukkan kondisi Potensial Sedang (PS) di seluruh wilayah kecamatan, dengan kisaran nilai antara 110-120. Pola potensi pada bulan Juni dibandingkan dengan potensi bulan Mei relatif hampir sama, kecuali di wilayah selatan nilai IC_DBD bulan Juni menjadi setingkat lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Mei. Hal itu disebabkan karena pada bulan April merupakan awal musim kemarau dimana aktifitas cuacanya relatif masih tinggi (Gambar. 34).
94
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 35. Peta tematik Potensi Kasus Demam Berdararah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Juni 2007
Berdasarkan data surveilance kasus DBD per-kecamatan di wilayah Jakarta Timur pada bulan Juni 2007, menunjukkan jumlah kasus yang terjadi sangat tinggi terjadi di 3 (tiga) kecamatan yaitu, Jatinegara, Cakung, dan Duren Sawit, 3 (tiga) kecamatan menunjukkan jumlah kasus tinggi, yaitu di Pulo Gadung, Matraman, dan Kramat Jati, 1 (satu) kecamatan menunjukkan jumlah kasus sedang, yaitu Ciracas, dan 3 (tiga) kecamatan menunjukkan jumlah kasus ringan, yaitu Makassar, Cipayung, dan Pasar Rebo. Berdasarkan peta potensi kasus DBD tersebut di atas, menunjukkan bahwa di bawah prediksi potensi kasus DBD akan sedang, kasus DBD yang terjadi per-kemacamatan bervariasi antara sangat tinggi hingga ringan, dimana sebanyak 3 (tiga) kecamatan atau 30% mempunyai jumlah kasus DBD sangat tinggi, 3 (tiga) kecamatan atau 30% tinggi, 3 (tiga) kecamatan atau 30% mempunyai jumlah kasus DBD sedang, 1 (satu) kecamatan atau 10% ringan. Seperti pada bulan-bulan sebelumnya dapat dilihat bahwa nilai kasus yang terjadi pada umumnya dapat lebih tinggi atau lebih rendah satu tingkat dari yang
95
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
diindikasikan oleh potensi IC_DBD, namun di beberapa wilayah kecamatan perbedaannya dapat menjadi lebih rendah 2 (dua) tingkat. Jadi dalam hal ini nampak bahwa pada periode dimana faktor aktifitas cuaca mulai menurun (dinamika respons dari sub sistem kondisi lingkungan buatan terhadap variabilitas cuaca musiman mulai melemah), maka dinamika subsitem vektor, virus, dan laju infeksi cenderung masih tinggi (Gambar. 35).
Gambar. 36. Peta tematik Data Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Juni 2007.
e. Potensi kasus DBD pada bulan Juli 2007 yang dihitung dengan nilai IC_DBD
bulan Mei 2007, menunjukkan kondisi Potensial (P) diseluruh wilayah Jakarta Timur. Pola potensi pada bulan Juli dibandingkan dengan potensi bulan Juni menunjukkan penurunan, hal ini dipengaruhi oleh penurunan aktifitas cuaca pada pada periode musim kemarau. Secara umum kondisi tersebut menyebabkan hasil hitungan nilai IC_DBD menunjukkan variasi spasial yang relatif kecil berkisar antara 80-90 (Gambar. 36).
96
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 37. Peta tematik Potensi Kasus Demam Berdararah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Juli 2007
Berdasarkan data surveilance kasus DBD per-kecamatan di wilayah Jakarta Timur pada bulan Juli 2007, menunjukkan jumlah kasus sangat tinggi masih terjadi 2 (dua) kecamatan yaitu, Cakung, dan Duren Sawit, 3 (tiga) kecamatan menunjukkan jumlah kasus sedang, yaitu di Pulo Gadung, Jatinegara, dan Kramat Jati, 5 (lima) kecamatan menunjukkan jumlah kasus ringan, yaitu Matraman, Cipayung, Ciracas, dan Pasar Rebo. Berdasarkan peta potensi kasus DBD tersebut di atas, menunjukkan bahwa di bawah kondisi Potensial, kasus DBD yang terjadi per-kemacamatan bervariasi antara ringan hingga sangat tinggi, dimana sebanyak 2 (dua) kecamatan atau 20% mempunyai jumlah kasus DBD sangat tinggi, 3 (tiga) kecamatan atau 30% sedang, dan 5 (lima) kecamatan atau 50% mempunyai jumlah kasus DBD ringan. Dilihat dari polanya, nampak konsentrasi jumlah kasus DBD sangat tinggi dan sedang masih terkonsentrasi di wilayah bagian utara dan barat, sedangkan di wilayah bagian selatan pada umumnya jumlah kasus DBD sudah pada taraf ringan. Hal yang menarik pada kasus bulan Juli ini adalah tidak
97
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
adanya kecamatan dengan jumlah kasus tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa intensitas musiman kasus DBD pada skala regional (kecamatan) bersifat diskontinue, namun apabila ditinjau dari pola musiman wilayah Jakarta Timur
(Gambar.18) nampak masih simetris dengan grafik nilai IC_DBD bulanannya. Jadi dalam hal ini nampak bahwa pada periode dimana faktor aktifitas cuaca mulai menurun (dinamika respons dari sub sistem kondisi lingkungan buatan terhadap variabilitas cuaca musiman mulai melemah), maka dinamika subsitem vektor, virus, dan laju infeksi cenderung masih tinggi (Gambar. 37).
Gambar. 38. Peta tematik Data Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Juli 2007.
f. Potensi kasus DBD pada bulan Agustus 2007 yang dihitung dengan nilai
IC_DBD
bulan Juni, menunjukkan kondisi Potensial (P) diseluruh wilayah
Jakarta Timur, dengan kisaran antara 76-91. Hal ini menunjukkan kondisi musim kemarau yang sudah semakin nyata, dimana aktifitas cuaca sudah semakin menurun dengan variabilitas relatif kecil. Secara umum kondisi tersebut
98
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
menyebabkan hasil hitungan nilai IC_DBD menunjukkan variasi spasial yang relatif kecil (Gambar. 38).
Gambar. 39. Peta tematik Potensi Kasus Demam Berdararah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Agustus 2007.
Berdasarkan data surveilance kasus DBD per-kecamatan di wilayah Jakarta Timur pada bulan Agustus 2007, sebagian besar wilayah kecamatan sudah menunjukkan kondisi ringan, kecuali 1 (satu) kecamatan masih menunjukkan jumlah kasus yang tinggi, yaitu Duren Sawit. Berdasarkan peta potensi kasus DBD tersebut di atas, menunjukkan bahwa di bawah kondisi Potensial (P), kasus DBD yang terjadi di 9 (sembilan) kecamatan atau 90% wilayah kecamatan menunjukkan kondisi ringan, kecuali 1 (satu) kecamatan, atau 10% masih pada kondisi tinggi. Dilihat dari polanya, nampak bahwa kecamatan Duren Sawit merupakan salah satu kecamatan yang jumlah kasusnya masih sangat tinggi pada bulan Agustus selain kecamatan Cakung (Gambar. 39).
99
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 40. Peta tematik Data Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Agustus 2007.
g. Potensi kasus DBD pada bulan September 2007 yang dihitung dengan nilai
IC_DBD bulan Juli 2007, menunjukkan kondisi Non Potensial (NP) diseluruh wilayah Jakarta Timur, dengan kisaran antara 52-64. Potensi pada bulan September lebih rendah dibandingkan dengan bulan Agustus, hal ini karena bulan Juli merupakan periode menjelang puncak musim kemarau, dimana variabilitas cuaca relatif kecil. Secara umum kondisi tersebut menyebabkan hasil hitungan nilai IC_DBD menunjukkan nilai yang rendah dengan variasi spasial yang relatif kecil (Gambar.40).
100
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 41. Peta tematik Potensi Kasus Demam Berdararah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan September 2007
Berdasarkan data surveilance kasus DBD per-kecamatan di wilayah Jakarta Timur pada bulan September 2007, semua wilayah kecamatan (100%) sudah menunjukkan kondisi ringan. Berdasarkan peta potensi kasus DBD tersebut di atas, menunjukkan bahwa di bawah kondisi Non Potensial (NP), kasus DBD yang terjadi di 10 (sepuluh) kecamatan atau 100% wilayah kecamatan di Jakarta Timur menunjukkan kondisi ringan (Gambar. 41).
101
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 42. Peta tematik Data Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan September 2007.
h. Potensi kasus DBD pada bulan Oktober 2007 yang dihitung dengan nilai
IC_DBD bulan Agustus 2007, menunjukkan kondisi Non Potensial (NP) diseluruh wilayah Jakarta Timur, dengan kisaran antara 57-64, relatif sama dibandingkan dengan bulan September. Hal ini karena bulan Agustus merupakan periode puncak musim kemarau, dimana aktifitas cuaca berada pada kondisi yang terendah. Secara umum kondisi tersebut menyebabkan hasil hitungan nilai IC_DBD menunjukkan nilai rendah dengan variasi spasial yang relatif kecil (Gambar. 42).
102
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 43. Peta tematik Potensi Kasus Demam Berdararah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Oktober 2007
Berdasarkan data surveilance kasus DBD per-kecamatan di wilayah Jakarta Timur pada bulan Oktober 2007, sebagian besar wilayah kecamatan sudah menunjukkan kondisi ringan. Berdasarkan peta potensi kasus DBD tersebut di atas, menunjukkan bahwa di bawah kondisi Non Potensial (NP), kasus DBD yang terjadi di 10 (sepuluh) kecamatan atau 100% wilayah kecamatan di Jakarta Timur menunjukkan kondisi ringan (Gambar. 43).
103
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 44. Peta tematik Data Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Oktober 2007.
i. Potensi kasus DBD pada bulan Nopember 2007 yang dihitung dengan nilai
IC_DBD bulan September 2007, menunjukkan kondisi Non Potensial (NP) diseluruh wilayah Jakarta Timur, dengan kisaran anatar 60-72.
Kondisi ini
dipengaruhi oleh periode peralihan musim (transisi) dimana aktifitas cuaca pada skala lokal sudah mulai meningkat, menyebabkan nilai hasil perhitungan IC_DBD juga mulai meningkat dibandingkan dengan bulan sebelumnya (Agustus), namun secara umum masih relatif rendah (Gambar. 44).
104
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 45. Peta tematik Potensi Kasus Demam Berdararah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Nopember 2007
Berdasarkan data surveilance kasus DBD per-kecamatan di wilayah Jakarta Timur pada bulan Nopember 2007, seluruh wilayah kecamatan (100%) menunjukkan kondisi ringan. Berdasarkan peta potensi kasus DBD tersebut di atas, menunjukkan bahwa di bawah kondisi Non Potensial (NP), kasus DBD pada bulan Nopember di 10 (sepuluh) kecamatan atau 100% wilayah kecamatan di Jakarta Timur menunjukkan kondisi ringan (Gambar. 45).
105
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 46. Peta tematik Data Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Nopember 2007.
j. Potensi kasus DBD pada bulan Desember 2007 yang dihitung dengan nilai
IC_DBD bulan Oktober 2007, menunjukkan kondisi Potensial hampir di sebagian besar wilayah Jakarta Timur, kecuali di sebagian wilayah kecamatan Cakung bagian utara kondisinya masih Non Potensial, dengan kisaran 68-94. Dibandingkan dengan bulan Nopember, nilai potensi DBD pada bulan Desember relatif lebih tinggi. Kondisi tersebut desebabkan karena pada bulan oktober aktifitas cuaca sudah mulai meningkat (Gambar. 46).
106
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 47. Peta tematik Potensi Kasus Demam Berdararah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Desember 2007
Berdasarkan data surveilance kasus DBD per-kecamatan di wilayah Jakarta Timur pada bulan Desember 2007, seluruh wilayah kecamatan (100%) masih menunjukkan kondisi ringan. Berdasarkan peta potensi kasus DBD tersebut di atas, menunjukkan bahwa di bawah kondisi Non Potensial (NP) dan Potensial (P) sedang, kasus DBD pada bulan Desember di 10 (sepuluh) kecamatan atau 100% wilayah kecamatan di Jakarta Timur masih menunjukkan kondisi ringan (Gambar. 47).
107
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Gambar. 48. Peta tematik Data Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Jakarta Timur, bulan Desember 2007.
Berdasarkan paparan mengenai hasil pemetaan nilai IC_DBD dan data kasus DBD per-kecamatan tersebut diatas, menunjukkan bahwa pada kondisi IC_DBD Potensial (P) hingga Potensial Tinggi (PT) kasus DBD yang muncul dapat bervariasi 1 (satu) hingga 2 (dua) tingkat lebih rendah atau lebih tinggi dari kondisi yang diindikasikan oleh kondisi IC_DBD. Namun pada kondisi IC_DBD Non Potensial (NP) pada umumnya bersesuaian dengan kejadian kasus DBD ringan (< 400 kasus). Hal ini menunjukkan bahwa kewaspadaan terhadap perkembangan kasus DBD adalah pada kondisi IC_DBD Potensial.
Apabila
dibandingkan dengan siklus rata-rata bulanannya, nampak bahwa pola variasi musiman nilai IC_DBD cenderung mulai tinggi pada periode menjelang musim hujan (oktober) berlangsung hingga menjelang memasuki musim kemarau (Mei), dengan puncak terjadi pada bulan Januari. Kondisi tersebut diikuti dengan siklus munculnya kasus DBD yang mulai meningkat pada bulan Desember dan berlangsung hingga bulan Juli, dengan puncak kasus terjadi pada bulan April.
108
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008
Yang menarik adalah, pola penyebaran kasus DBD ini secara spasial tidak menunjukkan hubungan yang kontinyu, hal ini mengindikasikan bahwa ada faktor lain (yang tidak dapat dijelaskan dalam model prediksi ini) di luar faktor cuaca musiman yang mempengaruhi pola penyebaran kasus DBD di setiap wilayah kecamatan. Penulis menduga hal ini dapat disebabkan oleh adanya intervensi baik langsung maupun tidak langsung terhadap nyamuk dan habitatnya, seperti pelaksanaan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), abatisasi, dan lain sebagainya.
109
Studi Mengenai..., Hadi Widiatmoko, Program Pascasarjana, 2008