1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum memiliki peranan yang sangat penting dan strategis bagi Provinsi Jawa Barat pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. DAS Citarum DS memiliki luas total 1,348 juta ha (13.480 km²) merupakan 48% dari luasan Jawa Barat (Departemen Kehutanan, 1990) dan dihuni oleh sekitar 60% penduduk, di dalamnya mengalir sungai Citarum dengan panjang 300 km (mulai dari dataran Bandung hingga Bekasi) dengan potensi sumberdaya air total 12,95 milyar m³ per tahun. Selain itu, di dalam DAS Citarum terdapat tiga waduk yaitu Saguling di wilayah hulu, Cirata di wilayah tengah dan Jatiluhur-Juanda di wilayah hilir. Air DAS Citarum tersebut 7,65 miliar m³ (59,07%) sudah dikelola atau dimanfaatkan sedangkan 5,35 miliar m³ belum dikelola. Penggunaan air terkelola 62% dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan irigasi, 23,9% pembangkit listrik tenaga air (PLTA), 6% air baku perusahaan air minum (PDAM), 2,3% rumah tangga dan industri dan 5,89% penggunaan lainlain. (PJT II, 2005, Indonesia Power, 2002). Laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan di segala sektor yang tinggi telah menyebabkan tekanan yang sangat besar terhadap sumberdaya alam dan lingkungan sehingga menurunkan daya dukung wilayah Jawa Barat, terutama perubahan tataguna lahan dan konversi hutan (land use change and forestry). Gabel dan Folmer (2000) menyatakan bahwa besarnya dampak lingkungan yang terjadi adalah perkalian jumlah penduduk dengan konsumsi perkapita dan kerusakan lingkungan per unit konsumsi, dengan notasi I = PCB (I = dampak, P= penduduk, C= konsumsi, B= kerusakan lingkungan per unit konsumsi). Dari rumus tersebut dapat diketahui bahwa pertambahan penduduk akan menyebabkan peningkatan konsumsi dan peningkatan laju kerusakan lingkungan dan pada akhirnya berimplikasi pada besarnya dampak lingkungan yang terjadi. Dinas Tata Kota dan Pemukiman Jawa Barat dan ITB (2002) menyatakan bahwa proyeksi peningkatan penduduk di DAS Citarum Hulu (Sub DAS Saguling) akan naik sebesar 30% dalam kurun waktu 10 tahun yaitu dari 5,6 juta
2 orang pada tahun 2001 menjadi 7,3 juta orang pada tahun 2010. Akumulasi dampak negatif dari kegiatan antropogenik telah menimbulkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan pemanasan global serta perubahan iklim (global warming and climate change). Keadaan tersebut menyebabkan hujan turun secara tidak merata baik dari segi jumlah maupun distribusi dan sulit untuk diprediksi. Pemanasan global dan perubahan iklim tersebut menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap ketersediaan air untuk berbagai penggunaan seperti kebutuhan rumahtangga, irigasi pertanian dan industri. Sebagai contoh, Pawitan (2003) menyatakan bahwa telah terjadi selisih 1.000 mm rataan curah hujan tahunan antara dua periode pengamatan (1931-1960 dan 1968-1988) pada banyak stasiun di sepanjang Jawa bagian selatan dan untuk daerah aliran sungai (DAS) Citarum mengalami kecenderungan penurunan curah hujan periode pengamatan 1896-1994 sebesar 10 mm per tahun. Hasibuan (2005) menyatakan bahwa kondisi DAS Citarum khususnya wilayah hulu telah mengalami degradasi kualitas lingkungan yang sangat berat berupa perubahan tataguna lahan dan konversi hutan, fluktuasi debit air tinggi, dan pencemaran air berat. Peningkatan luas lahan kritis di daerah tangkapan akan menyebabkan menurunnya kapasitas serap dan simpan lahan terhadap air dan menimbulkan aliran permukaan (surface run off), sehingga menyebabkan banjir pada musim hujan dan kering pada musim kemarau. Laju erosi dan sedimentasi yang terjadi sebesar 2,22 mm per tahun di Saguling telah melewati ambang batas toleransi sebesar 0,8-1,0 mm per tahun. Bila keadaan ini berlanjut, sisa umur pakai Waduk Saguling akan kurang dari 34 tahun sebagaimana direncanakan. Besarnya fluktuasi debit air antara musim hujan dan musim kemarau akan menyebabkan tidak stabilnya kuantitas pasokan air untuk menggerakkan turbin. Degradasi lingkungan berupa pencemaran air baik yang berasal dari pertanian, pemukiman dan industri menyebabkan karat pada peralatan dan instalasi produksi energi listrik PLTA dan peningkatan penggunaan bahan kimia PDAM serta pada proses pengolahan air. Kondisi ini menimbulkan potensi kerugian (opportunity cost) bagi PLTA dan PDAM karena tidak dapat berproduksi konstan pada kapasitas yang direncanakan.
3 Terjadinya krisis air baik dalam kuantitas dan kualitas, disebabkan oleh pengelolaan DAS yang tidak tepat. Arsyad (2000), Pagiola, et al (2002), Asdak (2004) dan Kodoatie dan Sjarief (2005) menyatakan bahwa kondisi air merupakan parameter kunci dalam menilai keberhasilan pengelolaan DAS yang dicirikan oleh beberapa faktor yaitu: 1. Kuantitas air. Pada umumnya kuantitas air sangat berkaitan dengan jumlah curah hujan, kondisi penutup dan tataguna lahan. Semakin tinggi perbandingan antara luas lahan tertutup vegetasi dengan total luas lahan, maka tingkat ketersediaan air akan semakin besar, demikian sebaliknya. Kondisi ini dapat dilihat pada besarnya air limpasan permukaan dan debit air sungai. 2. Kualitas air. Kondisi kualitas air dalam DAS sangat dipengaruhi oleh penutup lahan, limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertanian (pola tanam, pemupukan dan pestisida). Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi kualitas air limpasan, air sungai, waduk dan sumur. 3. Perbandingan debit maksimum dan debit minimum. Kondisi ini mencirikan kemampuan DAS menyimpan air (saat musim hujan) dan mengalirkannya terus-menerus (kontinuitas) walaupun musim kemarau dengan fluktuasi debit yang kecil. Kemampuan lahan menyimpan air sangat tergantung pada kondisi dan distribusi penutup lahan serta tanah. Pengelolaan DAS memerlukan pembiayaan yang sangat besar dan dibutuhkan waktu yang cukup lama. Keterbatasan pembiayaan pemerintah untuk pengelolaan DAS merupakan faktor yang dominan dalam upaya menekan laju degradasi kualitas lingkungan. Pendekatan pembiayaan pengelolaan lingkungan yang selama ini didasarkan pada polluters pay principle belum memadai sehingga perlu dikembangkan pemberian charge pada pengguna jasa lingkungan (users pay principle). Dengan demikian pembiayaan pengelolaan lingkungan merupakan tanggungjawab semua pihak (multi stakeholders). Pelibatan pengguna jasa lingkungan (di wilayah hilir) seperti rumahtangga, industri dan pertanian dalam menyediakan biaya konservasi produktif (di wilayah hulu) merupakan alternatif yang sangat konstruktif dalam pembiayaan pengelolaan DAS (Chandler dan Suyanto, 2004 dalam Agus et. al, 2004). Untuk tujuan tersebut diperlukan
4 penelitian tentang kondisi atau status lingkungan (state of nature) terkini DAS Citarum Wilayah Hulu dan pengaruhnya terhadap biaya eksternalitas pengguna air seperti PLTA dan PDAM. Untuk
menjawab
tujuan
penelitian,
dikembangkan
hipotesa
dan
pertanyaan penelitian. Hipotesa penelitian adalah sebagai berikut : 1. Selama periode 1993-2003 DAS Citarum Wilayah Hulu telah mengalami perubahan penutup lahan; 2. Perubahan penutup lahan tersebut telah menyebabkan perubahan karakteristik hidrologis; 3. Perubahan karakteristik hidrologis telah menimbulkan biaya eksternalitas bagi pengguna air; sedangkan pertanyaan penelitian adalah : Berapa besar biaya eksternalitas pengguna air Citarum sebagai akibat degradasi kualitas lingkungan ?
1.2. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dan pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan ekosistem dan identifikasi terhadap aktor-aktor ekonomi. Pada Gambar 1 ditampilkan kerangka pemikiran penelitian dengan pendekatan ekosistem. 1.2.1. Pendekatan Ekosistem Paling tidak ada 4 (empat) komponen utama penyusun ekosistem dalam suatu DAS yaitu komponen fisik (tanah), biologi (vegetasi), manajemen (manusia) dan iklim (curah hujan). Keempat komponen tersebut membentuk suatu kesatuan yang terintegrasi antara satu dengan yang lain, sehingga perubahan pada suatu komponen akan mempengaruhi komponen lain. Vegetasi (hutan) merupakan komponen ekosistem yang paling rentan (fragile) terhadap perubahan dan berdampak luas terhadap komponen ekosistem yang lain. Ekosistem DAS tersebut menghasilkan jasa lingkungan antara lain adalah sumberdaya air, biodiversitas flora dan fauna, penambat karbon, rekreasi dan penelitian bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
5
Keterangan : ------- : Pengaruh parsial : Pengaruh kolektif : Pengaruh antar ekosistem
Manajemen Manusia
Hujan Iklim
EKOSISTEM DAS
Tanah Fisik
Hutan Biologi
Biologi
Fisik dan Kimia
KUANTITAS DAN KUALITAS AIR
Debit Fluktuasi
Sedimen REPLACEMENT COST
Pemeliharaan turbin, waduk, kolam
BIAYA MARGINAL LINGKUNGAN
Kehilangan Produksi
Penggunaan Bahan Kimia
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian dengan pendekatan ekosistem.
Indikator utama kesehatan suatu ekosistem DAS adalah kondisi karakteristik hidrologis berupa debit dan volume air, sedimentasi dan kualitas kimiawi sumberdaya air baik berupa fisik, kimia maupun biologi yang terdapat di badan-badan air seperti sungai, danau dan waduk. Karakteristik hidrologis DAS tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi pada komponen ekosistem wilayah hulu terutama perubahan pada penutup lahan sebagai akibat perubahan tataguna lahan. Perubahan karakteristik DAS tersebut berdampak pada
6 pengguna (pemanfaat) sumberdaya air baik sebagai sumberdaya energi bagi PLTA maupun sumber air baku air minum bagi PDAM dalam menghasilkan produknya. Beberapa dampak yang ditimbulkannya antara lain adalah meningkatnya biaya pemeliharaan peralatan dan waduk atau kolam tampung, meningkatnya penggunaan bahan kimia dan muaranya adalah potensi kehilangan produksi semakin besar setiap tahunnya. Keadaan ini akan menyebabkan kerugian bagi PLTA dan PDAM. Tindakan konservasi di wilayah hulu DAS sangat diperlukan untuk dapat memperbaiki dan memulihkan kualitas sumberdaya air yang dihasilkan oleh DAS, agar laju pertumbuhan kerugian PLTA dan PDAM dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan atau mendatangkan keuntungan. Konservasi tersebut membutuhkan biaya yang besar dengan waktu yang relatif lama. Untuk itu diperlukan suatu valuasi ekonomi dikaitkan dengan pengguna jasa lingkungan. Komponen ekosistem yang divaluasi adalah : 1. Perubahan tataguna lahan dan penutup hutan (land use change and forest) pada tahun 1992 dan 2002. Pemilihan tataguna lahan dan hutan sebagai komponen yang dianalisa dikarenakan tataguna lahan dan hutan merupakan komponen ekosistem yang paling sensitif dan fragile serta berdampak penting baik on-site maupun off-site. Proses perubahan terjadi di wilayah hulu DAS. 2. Kuantifikasi perubahan karakteristik hidrologis (fisik, kimia dan biologi) yang terdapat dalam waduk PLTA dan kolam tampung (PDAM) dan perubahan karakteristik hidrologis DAS (debit dan fluktuasi). Pemilihan parameter fisik, kimia, biologi, sedimen dan debit air dikarenakan parameter tersebut merupakan indikator utama dalam menilai kesehatan ekosistem dan tingkat pengelolaan DAS. Proses ini terjadi di wilayah tengah (transisi) DAS. 3. Penilaian ekonomi jasa lingkungan bagi pengguna (users) dilakukan berdasarkan besarnya tambahan biaya lingkungan (environmental marginal cost) yang harus dikeluarkan oleh pengguna sebagai akibat penurunan kualitas jasa lingkungan yang diterima (biaya ekstenalitas). Pendekatan teori (grand theory model) yang digunakan adalah pembentukan fungsi permintaan, yang merupakan turunan (derivasi) dari utilitas yang diterima oleh pengguna pada
7 tingkat pendapatan tertentu. Pada tahapan ini dilakukan identifikasi jenis jasa lingkungan (environmental services)
yang menyebabkan tambahan biaya
dalam proses produksi. Proses ini terjadi di wilayah hilir DAS. 4. Penetapan besarnya biaya marjinal lingkungan atau biaya eksternalitas untuk setiap output produksi para pengguna PLTA atau PDAM.
Nilai tersebut
merupakan nilai ekonomi jasa lingkungan yang dapat dijadikan sebagai biaya pengganti (replacement cost) bagi perbaikan lingkungan di wilayah hulu DAS, dengan penggunaan harga bayangan (shadow price). Penggunaan harga pasar memang akan menyebabkan underprice bagi perhitungan nilai jasa lingkungan, tetapi sangat berguna dalam memberikan gambaran willingness to pay pengguna jasa lingkungan. Proses ini merupakan umpan balik (causal loop) ke ekosistem DAS. 1.2.2. Identifikasi Aktor-Aktor Ekonomi Pendekatan ekonomi dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi aktor-aktor ekonomi yang terlibat (sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2) dan perilakunya baik yang berada di DAS wilayah hulu maupun di wilayah hilir dalam penggunaan jasa lingkungan.
1.3. Perumusan Masalah Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem yang di dalamnya terdapat interaksi antara komponen penyusunnya yaitu komponen biologis (vegetasi), komponen fisik (tanah), komponen klimatologis (hujan) dan manusia (pengelola). saling
Komponen-komponen tersebut saling terkait (intercorrelation),
tergantung
(interdependent),
terdapat
aliran
bahan
dan
energi
(flow of material and energy) dan membentuk suatu sistem ekologis (system). Terjadinya gangguan atau kerusakan pada salah satu komponen ekosistem tersebut menyebabkan gangguan pada keseluruhan sistem. Dari keempat komponen tersebut, komponen vegetasi (penutup lahan) merupakan faktor yang paling sensitif terhadap perubahan dan memiliki dampak yang lebih besar dan luas kepada komponen ekosistem lainnya (Purwanto dan Ruitjer, 2004 dalam Agus et. al, 2004). Kerusakan tata guna lahan terutama hutan di daerah hulu
8 menyebabkan degradasi kualitas jasa lingkungan di daerah hilir berupa peningkatan laju erosi dan sedimentasi, fluktuasi debit air yang semakin besar, dan kualitas air yang semakin menurun.
HULU
HILIR 1
• • • • • •
Wil. Hulu Up-stream Produsen-1 Supplier-1 WTP-1/WTA-1 PJT - II
• • • • • • • •
• • • • • •
Wil. Hilir-2 Down-stream Konsumen-2 End-user WTA-3/WTP-3 R – Cost 2
Wil. Hilir-1 In-stream
HILIR 2
Demander-1 Konsumen-1 Supplier-2 WTP-2/WTA-2 R – Cost 1 PLTA & PDAM
Gambar 2. Identifikasi aktor – aktor ekonomi.
Hasil kajian FAO/UNDP (1990) memperkirakan bahwa 8 dari 15 satuan wilayah sungai (SWS) yang ada di Jawa dan Madura telah mencapai kondisi kritis dalam penyediaan air baik dari aspek kuantitas, kualitas maupun kontinuitas dan mengalami defisit air yang serius di musim kemarau. Faktor penyebab utamanya adalah kerusakan lingkungan DAS terutama di daerah hulu berupa perubahan tataguna lahan terutama hutan dan pencemaran lingkungan. Keadaan tersebut meningkatkan erosi, sedimentasi, pencemaran kimiawi air sungai atau waduk dan menyebabkan pendangkalan waduk dan korosivitas pada turbin dan sangat merugikan PLTA (PJT–II, 2002). Oleh karena itu, pengelolaan DAS wilayah
9 hulu sangat penting dan strategis bagi pembangkit listrik tenaga hidro seperti PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur, disamping juga manfaat yang sangat besar bagi irigasi pertanian, perikanan dan penyedia air bersih untuk minum bagi kebutuhan rumahtangga seperti perusahaan air minum (PAM). Sanim (2003) menyatakan bahwa 52% air tanah digunakan sebagai bahan air baku PAM. Angka ini jauh di atas pemakaian sungai yang hanya 23% digunakan sebagai sumber bahan air baku. Sejak tahun 1984 pemakaian air sungai oleh PAM sebagai bahan baku air bersih mengalami kenaikan tajam dari 28 unit pada tahun 1978 menjadi 100 unit pada tahun 1984 dan terus meningkat sampai tahun 1990. Apabila dilihat kecenderungan pemakaian, maka air sungai menunjukkan kenaikan yang lebih tajam daripada pemakaian air tanah (mata air) sebagai bahan air baku PAM. Mengingat kecenderungan penggunaan air sungai sebagai bahan baku air PAM tampak naik dengan tajam setelah tahun 1984, maka pemerintah harus mengambil langkah pengamanan terhadap sungai sebagai sumber air PAM agar tidak tercemar. Dalam jangka pendek pencemaran membawa dampak negatif terhadap biaya produksi air bersih dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan penurunan produktivitas kerja penduduk akibat terkontaminasi dengan air tercemar. Terjadinya pencemaran air sungai telah menyebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan oleh PAM dalam mengelola air baku. Keadaan tersebut diperparah oleh krisis ekonomi yang dimulai sejak tahun 1997, sehingga berdampak keberadaan perusahaan daerah air minum (PDAM). Sebanyak 87 dari 303 PDAM di Indonesia berada dalam keadaan kritis (Anonim, 1999 dalam Bunasor, 2003). Beberapa PDAM termasuk PDAM Bekasi Jawa Barat terancam disita Bank Dunia karena dililit utang Rp. 56,971 milyar. Hingga tahun 2003, hutang 87 PDAM yang kondisinya parah telah mencapai Rp. 4,1 trilyun terhadap lembaga donor seperti Bank Dunia, ADB dan JBIC. Pada kondisi tersebut, semakin memudahkan perusahaan asing dalam mewujudkan rencananya untuk menguasai jaringan distribusi air di Indonesia (Sanim, 2003). Dengan demikian perbaikan lingkungan daerah hulu DAS Citarum sangat berdampak positif terhadap PDAM DKI Jakarta khususnya.
10 Permasalahan lingkungan hidup timbul disebabkan adanya interaksi yang tidak harmonis antara aktivitas ekonomi dengan eksistensi dan terbatasnya kapasitas sumberdaya alam dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia. Semakin besar jumlah dan eksploitasi sumberdaya alam itu, dampaknya terhadap degradasi kualitas lingkungan juga cenderung meningkat menurut dimensi ruang (lokal, regional dan global) dan waktu (jangka panjang) terhadap lingkungan (Tietenberg, 1992). Kasus di daerah aliran sungai merupakan bukti nyata, aktivitas di hulu seperti penebangan pohon secara liar (illegal logging), pertanian non-konservasi, kegiatan rumahtangga, menimbulkan dampak negatif di daerah hilir seperti penurunan kualitas air, erosi dan sedimentasi (Landell-Mills dan Porras, 2002). Untuk menyeimbangkan antara hulu dan hilir, maka aktivitas ekonomi dan pelestarian lingkungan harus mendapatkan perhatian yang sejajar. Kegiatan produksi dan ekonomi di hulu harus memperhatikan aspek kelestarian dan keselamatan di daerah hilir. Kerusakan lingkungan di daerah hulu merupakan keuntungan ekonomi yang hilang karena adanya biaya yang ditimbulkan atau diperlukan untuk perbaikan seperti keadaan semula. Sebaliknya perbaikan kualitas lingkungan merupakan keuntungan ekonomi karena terhindarnya biaya yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan. Estimasi nilai kerusakan lingkungan melibatkan penilaian moneter untuk menggambarkan nilai sosial dari perbaikan kondisi
lingkungan
atau
biaya
sosial
dari
kerusakan
lingkungan
(Pearce et. al, 1994). Pengalaman negara-negara Philippina (Francisca, 2003; Jensen, 2003; Rosales, 2003; Salas, 2004),
Vietnam (Bui et. al, 2004), dan
Sri Lanka (Kallesoe, 2004) telah membuktikan bahwa perbaikan kondisi lingkungan di daerah hulu DAS sangat menguntungkan pengguna air di daerah hilir. Masalah utama yang dihadapi dalam melakukan valuasi jasa lingkungan adalah keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan DAS tidak mempunyai nilai pasar (non-marketted) langsung atau belum dapat dinyatakan secara jelas seberapa besar nilai ekonomi yang dikandungnya (tidak memiliki nilai moneter langsung). Di dalam ekonomi, hal ini dikenal dengan eksternalitas, karena keuntungan atau
11 manfaat pengelolaan lingkungan atau kerugian dan biaya kerusakan lingkungan berada di luar sistem pasar. Aplikasi
ekonomi
lingkungan
ke
dalam
pengambilan
kebijakan
perlindungan dan perbaikan lingkungan menghadapi beberapa permasalahan seperti sulitnya mengidentifikasi dan mengkuantifikasi jasa lingkungan, valuasi keuntungan dan biaya serta faktor diskonto (discounting factor). Dampak lingkungan dari pengelolaan DAS mempunyai kompleksitas yang tinggi terutama dalam mengintegrasikan dan mengkuantifikasi nilai ekonomi dampak pada tapak (on-site) dan di luar tapak (off-site) dan kesulitan dalam menilai keterkaitan atau hubungan antara hulu dan hilir DAS.
Pemilihan metode atau teknik valuasi
ekonomi jasa lingkungan DAS terutama off-site stream impact sangat penting untuk mendapatkan data dan informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam perbaikan pengelolaan ekosistem DAS. Pelibatan sebanyak mungkin pemangku kepentingan (stakeholders) secara bersama-sama
bertanggung
jawab
dalam
penjagaan
kawasan
lindung
(guardianship) dan pengelolaan sumberdaya alam (stewardship) melalui mekanisme pembayaran (transfer payment) dari pengguna air di wilayah hilir (PLTA dan PDAM) kepada penyedia jasa lingkungan (environmental services) sebagai biaya pengganti (replacement cost) merupakan hal yang sangat penting bagi perbaikan lingkungan DAS, terutama di daerah hulu. Dari uraian terdahulu, maka perumusan masalah adalah sebagai berikut : 1. Perubahan tataguna lahan terutama hutan telah menyebabkan kerusakan ekosistem DAS Citarum terutama wilayah hulu, sehingga menurunkan kualitas jasa lingkungan yang dihasilkannya seperti pengaturan tata air (debit dan fluktuasi), kualitas air (kimia, fisika dan biologi) dan erosi serta sedimentasi. 2. Degradasi jasa lingkungan yang dihasilkan DAS tersebut selain merugikan penyedia di wilayah hulu (on-site), juga menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi pengguna (PLTA dan PDAM) di wilayah hilir (off-site) sebagai akibat adanya tambahan biaya (marginal cost) dan kehilangan potensi untuk berproduksi maksimal secara konstan pemeliharaan waduk dan turbin
12 (PLTA), pengerukan sedimen (PLTA dan PDAM), pemakaian bahan kimia (PDAM), pemeliharaan mesin produksi dan pipa distribusi (PDAM). Kehilangan produksi untuk berproduksi maksimal secara konstan antara lain disebabkan debit air rendah (musim kemarau), debit air besar (musim hujan) tidak termanfaatkan maksimal, turbin dan mesin pabrik tidak dapat dioperasikan maksimal. 3. Untuk mengetahui nilai ekonomi jasa lingkungan yang dihasilkan oleh DAS dilakukan valuasi ekonomi. Mengingat jasa lingkungan merupakan public goods, penilaian dilakukan secara tidak langsung (indirect valuation) yaitu dengan menghitung nilai ekonomi total dampak kerusakan ekosistem DAS terhadap pengguna air (PLTA dan PDAM) dengan menggunakan metode atau teknik valuasi biaya pengganti (replacement cost method).
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : 1. Menganalisis perubahan penutup lahan DAS Citarum Wilayah Hulu. 2. Menganalisis pengaruh perubahan penutup lahan terhadap karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu. 3. Menganalisis pengaruh perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap biaya eksternalitas bagi pengguna air Citarum.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai : 1. Dasar bagi penetapan besarnya nilai ekonomi jasa lingkungan DAS dikaitkan dengan pengguna air. 2. Dasar bagi penyusunan kebijakan, peraturan dan pengambilan keputusan dalam bidang pengelolaan DAS. 3. Dasar bagi pemberian kompensasi atas jasa lingkungan yang disediakan oleh masyarakat hulu yang relatif terbelakang dan miskin oleh masyarakat di daerah hilir yang relatif lebih maju dan kaya.
13 4. Dapat dijadikan sebagai tolok ukur data (benchmarking data) bagi penelitian selanjutnya dalam bidang jasa lingkungan DAS untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
1.6. Novelty (Kebaruan) Sutjahjo dan Herison (2006) menyatakan bahwa novelty adalah hal–hal baru yang belum pernah ditemukan atau dilakukan pada penelitian sebelumnya. Novelty dalam penelitian dapat berupa pembaruan pendekatan (approach), obyek penelitian atau pendekatan dan obyek. Novelty penelitian ini : 1. Objek penelitian dilakukan secara komprehensif terhadap pengaruh kualitas lingkungan bagi eksternalitas biaya pengguna sumberdaya air dimulai dari wilayah hulu, tengah hingga hilir. 2. Penggunaan volume air hasil simulasi model GR4J untuk menduga sedimentasi, produksi energi listrik dan perubahan biaya eksternalitas pengguna air. 3. Diperolehnya besaran biaya eksternalitas setiap output pengguna air (Rp/MWh energi listrik yang dihasilkan PLTA atau Rp/m³ air minum yang dihasilkan PDAM).
1.7. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup wilayah penelitian adalah DAS Citarum Wilayah Hulu (Sub DAS Saguling, Sub DAS Cirata dan Sub DAS Jatiluhur) yang terdiri dari wilayah hulu, tengah dan hilir. Wilayah hulu merupakan wilayah konservasi, produsen atau supplier jasa lingkungan. Wilayah tengah merupakan wilayah transisi hulu-hilir, distributor jasa lingkungan, wilayah budidaya dan permukiman. Wilayah hilir umumnya merupakan wilayah budidaya, industri, permukiman dan pengguna atau demander jasa lingkungan. Analisis biofisik dan kimia dilakukan terhadap penutup lahan dan perubahannya tahun 1992 dan 2002, kuantitas dan kualitas air dan perubahannya (debit, sedimen, fisik, kimia dan biologi) di Waduk Saguling, Cirata, Jatiluhur, PDAM Purwakarta dan PT. Thames PAM Jaya. Analisis ekonomi meliputi aktor–
14 aktor ekonomi, pengguna air komunitas hulu dan komunitas hilir. Pengguna air komunitas hulu adalah pengguna air yang berada paling dekat dengan sumber air, sedangkan pengguna air komunitas hilir adalah pengguna air yang berada paling jauh dengan sumber air. Penilaian ekonomi pengaruh perubahan kualitas lingkungan terhadap biaya produksi dan efisiensi ekonomi PLTA dan PDAM menggunakan harga bayangan (shadow price) dengan teknik valuasi replacement cost. Penelitian yang dilakukan merupakan analisis pengaruh kualitas lingkungan DAS Citarum terhadap biaya eksternalitas terhadap penggunaan sumberdaya air oleh PLTA (Saguling, Cirata, Jatiluhur) dan PDAM (Purwakarta, DKI Jakarta). Air yang dimaksud adalah air yang terdapat, mengalir di Sungai Citarum dan ketersediaannya baik dalam jumlah maupun mutu. Aspek ekonomi yang dikaji didasarkan besarnya tambahan biaya yang harus dikeluarkan pengguna air di wilayah hilir sebagai akibat degradasi kualitas jasa lingkungan yang dihasilkan oleh wilayah hulu. PLTA dan PDAM adalah merupakan konsumen jasa lingkungan dan wilayah (masyarakat) hulu adalah penyedia. Analisis data dan informasi diarahkan untuk menentukan besarnya biaya tersebut untuk setiap unit output produksi dengan menggunakan metode atau teknik valuasi biaya pengganti. Keterbatasan penelitian ini terutama berkaitan kurangnya data dan informasi tentang hubungan antara penutup lahan dengan karakteristik hidrologis DAS luasan besar pada kerangka waktu (time frame) yang lama, misalnya 30–50 tahun.
Kecuali itu, keterbatasan lainnya adalah minim-nya data-data teknis
berkaitan dengan hubungan antara debit, volume air, sedimentasi serta kualitas air terhadap peralatan dan produksi PLTA dan PDAM, sehingga menyulitkan dalam menganalisis kecenderungan (trend analysis) yang terjadi.
Keterbatasan lain
penelitian ini adalah ketersedian waktu dan dana yang terbatas serta keterbatasan pengetahuan khususnya bidang ketehnikan kelistrikan dan pengolahan air, sehingga menyulitkan dalam melakukan analisis dan pembahasan yang lebih mendalam dan menyeluruh.