I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Pengembangan perikanan budidaya di Indonesia berlangsung demikian pesatnya melalui ekstensifikasi dan intensifikasi. Kondisi ini tentunya akan memperbesar peluang berjangkitnya wabah penyakit ikan yang dapat menimbulkan kerugian ekonomis. Patogen selalu ada dalam media hidup ikan, sehingga masalah penyakit infeksi sewaktu-waktu dapat timbul dalam kegiatan perikanan budidaya dan bahkan pada ikanikan di perairan umum. Pengendalian penyebaran penyakit harus dilakukan sedini mungkin agar tidak terjadi wabah penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi. Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan pemakaian bahan kimia, namun pemakaiannya dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak negatif. Dampak ini bukan saja terhadap lingkungan perairan dan patogen-patogen yang menjadi resisten, bahkan terhadap kesehatan konsumen dan antara lain berupa adanya residu antibiotik. Untuk menghindari hal itu, pengembangan ketahanan tubuh ikan perlu dilakukan dengan imunostimulasi (imunisasi-vaksinasi) dan pemakaian immunostimulan yang ramah lingkungan (Alifuddin, 2002). Kurniawan (2012) menambahkan bahwa penyakit ikan merupakan salah satu penyebab kegagalan dalam budidaya perikanan. Pada hakikatnya, proses pencegahan terjadinya penyakit melalui pengendalian masuknya sumber penyakit adalah lebih baik dan ideal untuk dilakukan. Alginat adalah salah satu jenis polisakarida yang terdapat dalam dinding sel alga cokelat dengan kadar mencapai 40% dari total berat kering dan memegang peranan penting dalam mempertahankan struktur jaringan sel alga (Rasyid, 2010). Basmal et al. (2013), menyatakan bahwa alginat merupakan salah satu jenis hidrokoloid yaitu suatu sistem koloid oleh polimer organik di dalam air. Alginat dapat di ekstrak dari rumput laut cokelat seperti Turbinaria sp., Padina sp. dan Sargassum sp. yang potensinya di Indonesia cukup besar. Misalnya, di Jepang dan Korea menggunakan Eclonia cava dan beberapa jenis lainnya sebagai bahan baku untuk alginat (Rasyid, 2010). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menemukan berbagai bahan alami untuk obat (herbal) dan sistem manajemen yang efektif digunakan dalam tindakan pencegahan dan pengobatan penyakit ikan. Bahan alami yang dapat digunakan sebagai immunostimulan adalah alga laut yang termasuk di dalamnya alga merah dan alga cokelat. Alga cokelat dikenal mengandung senyawa kimia utama sebagai sumber alginat dan mengandung 1
protein, viamin C, tannin, iodine, dan phenol. Alginat yang terkandung dalam alga cokelat mampu meningkatkan sistem ketahanan udang vaname (L. vannamei) dan resistensinya terhadap bakteri patogen (Cheng et al., 2008). Struktur dan rendemen alginat bervariasi yang banyak dipengaruhi oleh jenis rumput laut cokelat dan lokasi tumbuhnya. Beberapa penelitian tentang cara ekstraksi alginat dari rumput laut cokelat lokal sudah banyak dilakukan. Rasyid (2001) menggunakan S. crassifolium, S. polycystum dan S. playophyllum yang diperoleh dari Perairan Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan sebagai bahan baku alginat. Ekstraksi alginat oleh Husni et al. (2010) menggunakan Sargassum sp. yang diperoleh dari Perairan Sumedang Jawa Barat. Rasyid (2010) yang menggunakan sampel alga cokelat yaitu S. echinocarphum yang diperoleh dari Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu juga berpotensi sebagai bahan baku penghasil aginat. Ekstraksi alginat oleh Anwar et al. (2013) menggunkan S. duplicatum yang diambil dari Perairan Teluk Awur Jepara juga berpotensi sebagai bahan baku penghasil alginat. Polisakarida seperti alginat dapat digunakan sebagai immunostimulan bagi sistem kekebalan Epinephelus bruneus, juvenil Epinephelus fuscoguttatus, dan abalon (Haliotisdiversicolor supertexta) (Chiu et al, 2008; Cheng & Yu, 2013). Akan tetapi, penambahan alginat Sargassum sp. dari Pantai Pasir Putih Nusakambangan untuk meningkatkan sistem pertahanan non-spesifik lele (Clarias sp.) belum pernah dilakukan. Sehingga penelitian tentang aplikasi pemberian alginat secara oral pada lele untuk meningkatkan sistem imun non-spesifik perlu dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi dari semakin meluasnya penyakit infeksi dan sebagai tindakan pencegahan untuk mengatasi penyakit infeksi pada lele. 2. Tujuan 2.1. Mengetahui pengaruh penambahan alginat kedalam pakan terhadap parameter kekebalan non-spesifik dan pertumbuhan lele pada dosis yang berbeda. 2.2. Mengetahui dosis penambahan alginat ke dalam pakan yang efektif untuk meningkatkan sistem pertahanan non-spesifik lele.
2
3. Manfaat Manfaat dari hasil penelitian ini antara lain yaitu: 3.1. Alginat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan pertahanan non-spesifik lele terhadap serangan patogen pada ikan. 3.2. Meningkatkan pemanfaatan dan nilai tambah Sargassum sp.
4. Waktu dan Tempat Penelitian
Pemberian
Alginat
Sargassum
sp.
dari
Pantai
Pasir
Putih
Nusakambangan untuk Meningkatkan Sistem Pertahanan Non-Spesifik Lele (Clarias sp.) dilaksanakan pada bulan Mei 2015- Agustus 2015. Ekstraksi alginat dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi. Pemeliharaan ikan uji dilakukan di Laboratorium Basah Penyakit Ikan Jurusan Perikanan Universitas Gadjah Mada.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Lele 1.1. Klasifikasi Lele Menurut Saanin (1984), klasifikasi lele adalah sebagai berikut: Kingdom Sub kingdom Phylum Class Sub class Ordo Sub ordo Family Genus Species
: Animalia : Metazoa : Vertebrata : Pisces : Teleostei : Ostariophysi : Siluroidae : Claridae : Clarias : Clarias sp.
Lele tergolong dalam class pisces yaitu jenis ikan yang bernafas dengan insang, lele merupakan jenis ikan yang bertulang keras yang tergolong dalam sub-class teleostei. Lele termasuk dalam ordo ostariophysi dan sub ordo siluroidae yaitu jenis ikan yang bersisik atau tidak, di sekeliling mulut terdapat sungut (1-4), tidak bergigi, mulut tidak dapat disembulkan biasanya tulang rahang bagian atas bergerigi, satu jari-jari yang mengeras atau empat jari-jari yang mengeras pada sirip punggung. Claridae merupakan kelompok ikan yang mempunyai ciri khas, seperti bentuk kepala pipih dengan lempeng tulang keras sebagai batok kepala, sirip dada berpatil, serta mempunyai alat pernapasan tambahan yang memungkinkan lele mengambil oksigen langsung dari udara yaitu arborescent. Arborescent ini merupakan organ pernapasan yang berasal dari busur insang yang telah termodifikasi. Ikan yang tergolong ke dalam jenis lele dicirikan dengan tubuhnya yang tidak memiliki sisik, berbentuk memanjang dan licin (Saanin, 1984). 1.2. Morfologi Lele Morfologi ikan lele secara umum adalah memiliki tubuh yang memanjang dan berbentuk silindris, kepala pipih berbentuk seperti setengah lingkaran, ekor berbentuk pipih, permukaan kulit licin dan tidak bersisik, mengeluarkan lendir dan warna tubuh bagian atas gelap dan bagian bawah agak terang. Ikan lele memiliki mata yang kecil, memiliki 4 pasang alat peraba atau biasa disebut sungut, terdapat 2 buah alat olfaktori 4
yang terletak dekat sungut hidung yang berfungsi sebagai alat peraba atau penciuman dan pada bagian depan sirip dada terdapat jari-jari sirip yang mengeras atau biasa disebut patil yang berfungsi sebagai alat pergerakan di air dan alat pertahanan diri. Mulut ikan lele relatif lebar, yaitu sekitar ¼ dari panjang total tubuhnya. Tanda spesifik lainnya dari lele adalah adanya mandibular (tentakel) seperti kumis di sekitar mulut sebanyak 8 buah yang berfungsi sebagai alat peraba pada saat bergerak atau mencari makan (Khairuman & Amri, 2002). 1.3. Habitat dan Kebiasaan Hidup Habitat atau tempat hidup lele adalah air tawar. Air yang baik untuk pertumbuhan lele adalah air sungai, air sumur, air tanah, dan mata air. Namun, lele juga dapat hidup dalam kondisi air kurang baik seperti di dalam lumpur atau air yang memiliki kadar oksigen rendah. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena lele memiliki alat pernapasan tambahan. Alat ini memungkinkan bagi lele untuk mengambil oksigen langsung dari udara sehingga dapat hidup di tempat beroksigen rendah. Alat ini juga memungkinkan lele untuk hidup di darat beberapa saat, asalkan udara di sekitarnya memiliki kelembapan yang cukup (Bachtiar, 2006). Menurut Najiyati (2007), lele termasuk ikan air tawar yang menyukai perairan yang tenang. Kondisi yang ideal bagi hidup ikan ini adalah air yang mempunyai pH 6,59 dan suhu 24-260C. Suhu air akan mempengaruhi laju pertumbuhan, laju metabolisme ikan dan nafsu makan serta kandungan oksigen terlarut dalam air. Lele mampu bertahan hidup di lingkungan dengan kadar oksigen yang rendah, namun untuk menunjang pertumbuhan secara optimal diperlukan lingkungan perairan dengan kadar oksigen yang cukup. Kadar oksigen optimum untuk pertumbuhan lele harus lebih dari 3 ppm. Lele termasuk hewan yang bersifat nokturnal, yaitu hewan yang lebih aktif mencari makan pada malam hari. Sifat tersebut membuat ikan ini lebih menyenangi tempat yang terlindung atau gelap. Lele termasuk hewan karnivora atau pemakan daging, pakan alami lele adalah cacing, kutu air dan bangkai binatang. Lele sangat agresif dalam memangsa makanan. Ikan lele dapat bersifat detritus feeder dan bersifat kanibal ketika jumlah pakan tidak tersedia atau kurang mencukupi kebutuhan pakannya. Hal itulah yang membuat lele sangat cepat pertumbuhannya (Bachtiar, 2006).
5
2. Sargassum sp. Alga cokelat (Phaeophyceae) merupakan salah satu jenis alga yang tersusun atas zat warna atau pigmen yang khas. Alga dari divisio ini memiliki pigmen klorofil a dan c, beta karoten, violasantin, dan fukosantin. Pigmen warna umumnya cokelat. Pada bagian dalam dinding selnya terdapat asam alginik dan alginat. Mengandung pirenoid dan tilakoid (lembaran fotosintesis). Ukuran dan bentuk thalli beragam dari yang berukuran kecil sebagai epifit, sampai yang berukuran besar, bercabang banyak, berbentuk pita atau lembaran, cabangnya ada yang sederhana dan ada pula yang tidak bercabang. Pada umumnya tumbuh sebagai algae benthik (Aslan, 1998). Alga cokelat memiliki kandungan asam alginat, silosa, dan 2 jenis fucoidan dengan kandungan sulfat yang berbeda serta 4 jenis polisakarida yang hampir sama komposisi gula dan sulfatnya (Dietrich et al., 1995; Basmal et al., 2013). Menurut Li et al. (2008) setiap jenis Sargassum sp. memiliki tipe dan jumlah kandungan karbohidrat kompleks yang tersusun dari fukosa, silosa, manosa, sulfat, galaktosa, glukosa, dan asam glukuronat. Ada sekitar 15 jenis Sargassum sp. yang diperkirakan terdapat di perairan Indonesia, dan 12 jenis di antaranya telah diidentifikasi. Berikut klasifikasi Sargassum sp. menurut Atmaja et al. (1996): Kingdom Sub Kingdom Infra Kingdom Filum Infra Filum Super Kelas Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Chromista : Harosa : Heterokonta : Ochrophyta : Marista : Fucistia : Phaeophyceae : Fucales : Sargassaceae : Sargassum : Sargassum sp.
Sargassum sp. termasuk dalam kingdom Chromista dan infra kingdom Heterokonta karena Sargassum sp. memiliki klorofil a dan klorofil c serta
tidak
memiliki flagella yang sama panjang. Tergolong dalam filum ochrophyta karena memiliki dua macam flagella (mastigonemes dan eyespot) yang berfungsi untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Ordo fucales karena tidak memiliki keturunan yang membentuk spora. Phaeophyceae merupakan jenis alga yang paling kompleks dengan dinding sel terdiri dari selulosa dan asam alginat (polisakarida kompleks) serta memiliki cadangan makanan. Ordo Fucales tidak memiliki bentuk perkembangbiakan secara 6
vegetative. Adapun perkembangbiakan secara generativ dilakukan dengan oogami. Fucales memiliki reseptakel yang terdapat pada ujung cabang-cabang thalus, di dalam reseptakel tersebut terdapat oogonium, anteridium, dan benang-benang mandul (parafisis) (Aslan, 1998). Semua spesies rumput laut cokelat mengandung alginat, meskipun kandungannya tidak sama (Zaelanie et al., 2001). Pemanfaatan alginat didasarkan pada tiga sifat utamanya yaitu yang pertama kemampuannya dalam menaikkan viskositas larutan apabila alginat dilarutkan dalam air. Kedua adalah kemampuan alginat untuk membentuk gel, gel akan terbentuk jika pada larutan natrium alginat ditambahkan garam Ca. Gel terbentuk karena adanya reaksi kimia, pada proses tersebut Ca akan menggantikan posisi natrium dari alginat dan mengikat molekul alginat yang panjang. Proses ini tidak memerlukan panas dan gel yang terbentuk tidak akan meleleh jika dipanaskan. Berbeda dengan gel agar yang mem erlukan pemanasan untuk pembentukan gelnya, sehingga air harus dipanaskan sampai suhu 80oC untuk membentuk swelling/ gelatinisasi agar dan gel terbentuk pada suhu di bawah 40oC. Sifat ketiga dari alginat adalah kemampuannya untuk membentuk film dari natrium atau kalsium alginat dan fiber dari kalsium alginat (Subaryono, 2010). Penggunaan alginat pada industri tekstil printing merupakan mayoritas penggunaan alginat dunia yang mencapai sekitar 50 % produk alginat disamping untuk industri pangan 30 % dan industri lainnya 20 % (McHugh, 2008). Alginat banyak dimanfaatkan dalam industri kosmetik, obat, farmasi, pangan dan cat. Alginat sangat dibutuhkan dalam berbagai industri, berfungsi sebagai pembentuk gel (gelling agent), penstabil (stabilizer), pengemulsi (emulsifier), pensuspensi (suspending agent), dan pendispersi suatu produk. Di bidang industri makanan, alginat sebagai bahan tambahan pembuatan mentega, es krim dan susu. Di bidang industri kosmetik berfungsi sebagai pengikat air sehingga mudah menembus jaringan kulit dan terikat sempurna. Di bidang industri tekstil berfungsi sebagai pengikat air (pengental) dalam pembuatan batik (Widyartini et al., 2012).
7
3. Alginat Alginat adalah salah satu kelompok polisakarida yang terbentuk dalam dinding sel alga cokelat, dengan kadar mencapai 40% dari total berat kering dan memegang peranan penting dalam mempertahankan struktur jaringan alga (Rasyid, 2003). Alginat merupakan suatu kopolimer linear yang terdiri dari dua unit monomer, yaitu asam Dmanuronat dan asam L-guluronat (Kirk & Othmer, 1994). Alginat terdapat dalam semua jenis alga cokelat (Phaeophyta) yang merupakan salah satu komponen utama penyusun dinding sel (Rasyid, 2005). Alginat adalah istilah untuk senyawa dalam bentuk garam dan turunan asam alginat. Asam alginat merupakan senyawa awal (prekursor) dari garam alginat yang merupakan suatu polimer poliglukoronat yang terdiri dari asam Dmannuronat dan asam L-guluronat (Darmawan et al., 2006).
a
b
c Gambar 2.1 (a) Struktur monomer alginat (Draget, 2006) (b) Unit struktur alginat: (c) struktur molekul alginat (Pawar & Edgar, 2012)
8
Sifat-sifat alginat sebagian besar tergantung pada tingkat polimerisasi dan perbandingan komposisi guluronat dan mannuronat dalam molekul. Asam alginat tidak larut dalam air dan mengendap pada pH < 3,5. Alginat tidak dapat larut dalam pelarut organik dan dapat mengendap dengan alkohol. Alginat paling stabil pada pH antara 410, tetapi pada pH yang lebih tinggi viskositasnya sangat kecil akibat adanya degradasi β-eliminatif. Ikatan glikosidik antara asam mannuronat dan guluronat kurang stabil terhadap hidrolisis asam dibanding ikatan dua asam mannuronat atau dua asam guluronat (Rasyid, 2003), tetapi pH di bawah 4,5 dan di atas 11 viskositasnya akan mudah terdegradasi atau labil (Yulianto, 2007). Thalus rumput laut Sargassum sp. mempunyai bentuk dan ukuran beranekaragam, dari thalus berbentuk batang yang terkumpul dalam suatu berkas sampai thalus besar yang kadang-kadang memperlihatkan bentuk luar seperti tumbuhan tinggi. Bentuk thalus dapat mempengaruhi kandungan alginat (Winarno, 1990). Alginat dalam pasarannya sebagian besar berupa natrium alginat, yaitu suatu garam alginat yang larut dalam air. Jenis alginat lain yang larut dalam air adalah ammonium alginat. Sedangkan, alginat yang tidak larut dalam air adalah kalsium alginat dan asam alginat dan derivat atau produk turunan yang terpenting adalah propylene glycol alginat (Zaelanie, 2001). Menurut Mutia et al. (2011), alginat dapat digunakan sebagai primary dressing pada pembalut luka karena mempunyai daya absorbsi yang tinggi, dapat menutup luka dan menjaga kelembapan di sekitar luka, mudah digunakan, elastis, antibakteri dan nontoksik, tidak menyebabkan alergi, bersifat non-karsinogenik, biodegadable, dan biocompatible, karena dapat terurai menjadi gula sederhana dan dapat diabsorpsi oleh tubuh. Diketahui pula bahwa penyembuhan luka 30-50% lebih cepat apabila menggunakan pembalut luka alginat. Penggunaan alginat sebagai immunostimulan dalam dunia perikanan telah terbukti mampu meningkatkan sistem imun dan resisten terhadap beberapa patogen pada udang, ikan,
dan
abalone.
Litopenaeus
vannamei
mengalami
peningkatan
aktivitas
phenoloxidase dan respiratory bursts setelah diberi sodium alginat dengan dosis 10, 20, dan 50 μg/g. Pemberian sodium alginat dengan dosis lebih dari 10 μg/g dapat meningkatkan kekebalan tubuh L.vannamei dalam melawan bakteri Vibrio alginolyticus (Cheng et al., 2004). Parameter imun non-spesifik seperti Alternative Complement Activity (ACH50), aktivitas lisozim, natural hemagglutination activity, respiratory bursts, Superoxide Dismutase (SOD) dan aktivitas fagositosis menunjukkan hasil yang 9
lebih baik dari pada tidak diberi alginat (Chiu et al., 2008). Isnansetyo et al. (2014) menambahkan bahwa pemberian asam alginat dari Sargassum sp. secara oral dengan dosis 4 & 6 g/kg pakan dapat meningkatkan sistem pertahanan non-spesifik lele dan memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai NBT pada hari kelima pengamatan akan tetapi mengalami penurunan pada hari kesepuluh dan kelima belas. Pemberian alginat secara oral dengan dosis 2 & 3 g/kg pakan selama 21 hari dapat meningkatkan
sintasan
H.
diversicolor
supertexta
terhadap
infeksi
Vibrio
parahaemolyticus (Cheng & Yu., 2013). Reactive Oksigen Intermediate (ROIs) yang dikeluarkan selama proses respiratory bursts merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh dalam melawan infeksi mikroba. Walaupun, akumulasi ROIs yang berlebih di dalam tubuh akan bersifat racun bagi organisme itu sendiri tapi ROIs akan dapat dinetralkan oleh antioksidan yang terdapat dalam tubuh organisme tersebut. Antioksidan tersebut dapat berupa enzim seperti SODs, katalase, enzim peroksidase, ascorbat, asam lemak tak jenuh, dan beberapa gula. Oleh karena itu aktivitas antioksidan di dalam tubuh sangat dibutuhkan dalam sistem pertahanan tubuh. Seperti Ephinephelus coioides yang diberi Na-alginat sebanyak 1 & 2 g/kg pakan menunjukkan adanya peningkatan respiratory bursts, aktivitas SOD, dan aktivitas fagosit (Cheng & Yu, 2013).
4. Sistem Pertahanan ikan 4.1. Sistem Pertahanan Spesifik Respon imun spesifik merupakan suatu mekanisme yang kompleks dari sel tertentu, protein, gen dan respon biokimia yang berfungsi untuk memberikan pertahanan tubuh terhadap antigen tertentu, antibodi dan sel penerima dengan spesifitas dan affinitas yang tinggi (Uribe et al., 2011). Benda asing (antigen) yang terpapar ulang akan lebih cepat dikenal, kemudian dihancurkan oleh imun spesifik (Baratawijaya, 2004). Pemeran utama dalam sistem imun spesifik yaitu sel B dan sel T. 4.1.1. Sel B Sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral sehingga sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi, dan berkembang menjadi sel plasma yang membentuk antibodi. Fungsi utama antibodi ialah menjadi pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya. Immunoglobulin (antibodi) yang paling 10
banyak terdapat pada teleostei yaitu tetramer IgM yang terdiri atas delapan sisi antigenik. Respon imun pada kulit dan insang penting karena kedua organ tersebut berhubungan langsung dengan lingkungan. Antibodi spesifik terdapat pada kulit, usus besar, dan insang tanpa membutuhkan adanya rangsangan terlebih dahulu. Ikan memiliki suatu memori yang dapat mengingat paparan antigen sebelum antigen tersebut menyerang untuk kedua kalinya (Whittington et al., 1994). 4.1.2. Sel T Sel T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset dengan fungsi yang berlainan yaitu sel T helper1 (Th1), T helper2 (Th2), T Delayed Type Hypersensitivity (Tdth), Cytotoxic T Lymphocyte (CTL) atau T cytotoxic atau T cytolytic (Tc) dan Ts (supresor) atau Tr (regulator) atau T helper3 (Th3). Fungsi utama sistem imun spesifik selular ialah untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, dan parasit. Cytotoxic Delayed (CD4+) berperan pada imunitas seluler dengan mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba dan sel CD8+ yang membunuh sel yang terinfeksi (Baratawijaya, 2004). Pada permukaan sel T dan sel B ditemukan berbagai reseptor antara lain untuk fraksi Fc (Fragment Crystallizable) antibodi Fcγ-R yang berperan dalam mengatur respon limfosit. Satu sel limfosit hanya membentuk reseptor untuk satu jenis antigen sehingga sel tersebut hanya dapat mengenal satu jenis antigen saja. Secara morfologik sangat sulit membedakan berbagai sel limfosit dan diferensiasi subkelas sel T. 4.2. Sistem Pertahanan Non-Spesifik Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan tubuh yang mendasar bagi ikan. Sistem tersebut memiliki reseptor protein yang dapat mengenal tipe molekul dari mikroorganisme patogen seperti lipopolysakarida (LPS), peptidoglycan DNA bakteri, virus RNA dan molekul lain yang asing pada permukaan sel suatu organisme. Respon non-spesifik terhadap molekul asing tersebut dibedakan menjadi pertahanan fisik, pertahanan seluler dan humoral (Uribe et al., 2011). Epitel dan pertahanan mukosa pada kulit, insang dan saluran pencernaan adalah pertahanan yang sangat penting pada ikan, mengingat lingkungan tempat hidup ikan memiliki potensi terhadap penyakit. Mekanisme fisiologik imunitas non-spesifik berupa komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan 11
dengan cepat menyingkirkan mikroba tersebut. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas terhadap bahan asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung (Baratawijaya, 2004). 4.2.1. Pertahanan Fisik Sisik, mukosa kulit dan insang sebagai pertahanan pertama pada infeksi. Pada mukosa ikan mengandung lektin, protease, lysozymes, dan, peptida antibakterial, yang memegang peranan penting dalam menghambat masuknya patogen. 4.2.2. Pertahanan Seluler Berbagai macam tipe leukosit menjadi pertahanan sistem imun non-spesifik pada ikan, termasuk monosit/ makrofag, granulosit, dan non-spesifik cytotoxic cells (NCCs) (Secombes dan Flecher, 1992). 4.2.2.1. Makrofag Makrofag dapat diisolasi dari beberapa sumber seperti, darah (monosit), organ limfoid (terutama ginjal), dan peritoneal cavity. Berdasarkan hasil isolasi dapat diketahui bahwa makrofag merupakan sel mononuklear, nonspesifik esterase positif, dan peroxidase negatif. Makrofag dapat hidup lama, mempunyai beberapa ganul dan melepas berbagai bahan antara lain lisozim, komplemen, interferon, dan sitokin yang semuanya memberikan kontribusi dalam pertahanan nonspesifik dan spesifik (Bartawijaya, 2004). 4.2.2.2. Granulosit Granulosit dapat dibedakan menjadi neutrofil, eosinofil, dan basofil. Sebagian besar ikan dalam tubuhnya lebih banyak mengandung neutrofil dan eosinofil dan hanya sedikit yang mengandung basofil. Sama seperti makrofag, granulosit dapat diisolasi dari darah, jaringan limfoid, dan peritoneal cavity. Isolasi granulosit (khususnya neutrofil) dapat diketahui bahwa granulosit memiliki mobilitas yang tinggi, fagositik, dan dapat memproduksi reaktif oksigen tetapi aktivitas bakterisidal pada granulosit terhadap bakteri masih lebih rendah daripada makrofag (Secombes & Flecher, 1992).
12
4.2.2.3. Sel NK (Natural Killer Cells) Pada mamalia, respon non-spesifik utamanya dilakukan oleh cytotoxic cells atau natural killer cells (sel NK) (Uribe et al., 2011). Sel tersebut berfungsi dalam imunitas nonspesifik terhadap virus dan sel tumor. Secara morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan ganul besar (Large Ganular Lymphocyte/ LGL). Ciri-cirinya yaitu memiliki banyak sekali sitoplasma, ganul sitoplasma azurofilik, pseudopodia dan nukleus eksentris. Sel NK membunuh langsung sel pejamu yang terinfeksi virus/ mikroba intraseluler sehingga sumber infeksi dapat disingkirkan. Sel NK juga bekerja sama dengan makrofag yang saling mengaktifkan. Atas rangsangan interleukin-12 (IL-12) yang diproduksi makrofag, sel NK memproduksi dan melepas interferon-γ (IFN-γ). Selanjutnya IFN-γ mengaktifkan makrofag juga untuk membunuh mikroba yang dimakannya (Baratawijaya, 2004). 4.2.2.4. Fagosit Fagositosis adalah salah satu dari sekian banyak proses penting dalam tubuh hewan poikiloterm karena hewan tersebut dipengaruhi oleh temperatur. Sel yang berperan utama pada proses fagositosis yaitu neutrofil dan makrofag (Secombes dan Flecher, 1992). Sel tersebut menghilangkan bakteri dengan memproduksi reaktive oksigen selama proses respiratory burst. Serta, neutrofil memiliki myeloperoxidase dalam ganula sitoplasmik, yang dapat mengeluarkan halidedan hidrogen peroksida sehingga dapat menghalogenasi dinding sel bakteri. 4.2.3. Pertahanan Humoral Serum, mukosa, dan telur ikan mengandung berbagai macam subtansi yang nonspesifik menghambat pertumbuhan mikroorganisme penginfeksi. Subtansi tersebut spesifik dalam bereaksi dengan satu kelompok bahan kimia, tetapi subtansi tersebut disebut non-spesifik karena tidak bereaksi dan mempengaruhi pertumbuhan salah satu jenis mikroorganisme. Pertahanan humoral antara lain, lisozim, komplemen, interferon, C-reactive protein (CRP) dan lektin. 4.2.3.1. Lisozim Lisozim adalah enzim bakteriolitik yang terdistribusi secara luas di seluruh tubuh dan menjadi bagian dalam mekanisme pertahanan tubuh non-spesifik pada sebagian besar hewan (Uribe et al., 2011). Sifat bakterisidal dari enzim tersebut menyebabkan terjadinya hidrolisasi peptidoglikan pada dinding sel bakteri sehingga menyebabkan sel 13
lisis. Lisozim juga dapat merangsang terjadinya opsonin pada komplemen dan adanya fagositosis. 4.2.3.2. Komplemen Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam merespon inflamasi. Komplemen dengan spektrum aktivitas yang luas diproduksi oleh hepatosit dan monosit. Komplemen dapat diaktifkan secara langsung oleh mikroba atau produknya (jalur alternatif dalam imunitas nonspesifik) atau oleh antibodi (jalur klasik dalam imunitas spesifik). Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai faktor kemotaksis dan juga menimbulkan dektruksi/ lisis bakteri dan parasit.
Antibodi
dan
komplemen
dapat
menghancurkan
membran
lapisan
lipopolisakarida (LPS) dinding sel. Diduga komplemen mempunyai sifat esterase yang berperan pada lisis tersebut. Bila lapisan LPS menjadi lemah, lisozim, mukopeptida dalam serum dapat masuk menembus membran bakteri dan menghancurkan lapisan mukopeptida. Membran Attack Complex (MAC) dari sistem komplemen dapat membentuk lubang-lubang kecil dalam sel membran bakteri sehingga bahan sitoplasma yang mengandung bahan-bahan vital keluar sel dan menimbulkan kematian mikroba. (Baratawijaya, 2004). 4.2.3.3. Interferon Interferon (IFN) adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi makrofag yang diaktifkan, Natural Killer Cells (sel NK) dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respon infeksi virus. Interferon mempunyai sifat antivirus dan dapat menginduksi sel-sel sekitar yang terinfeksi virus sehingga menjadi resisten terhadap virus. Di samping itu, interferon juga dapat mengaktifkan sel NK. Sel yang diinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada permukaannya yang akan dikenal dan dihancurkan sel NK. Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah. IFN juga mengaktifkan berbagai sel sistem imun yang lain (Baratawijaya, 2004). 4.2.3.4. C- reactive protein (CRP) CRP merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respon imunitas nonspesifik. CRP dapat meningkat 100x atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik 14
dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforiklorin yang ditemukan pada permukaan bakteri/ jamur, yang dapat mengaktifkan komplemen (jalur klasik). Peningkatan sintesis CRP akan meningkatkan viskositas plasma sehingga laju endap darah juga akan meningkat. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang persisten (Baratawijaya, 2004). 4.2.3.5. Lektin Hemaglutinin atau lektin ditemukan di dalam mucosa kulit ikan, dan berperan dalam sistem imun non-spesifik. Lektin berinteraksi dengan permukaan dari patogen dan membuat opsonisasi, meningkatkan aktivitas fagositosis, atau mengaktifkan komplemen (Esteban, 2012).
5. Immunostimulan Alifuddin (2002) mengemukakan, bahwa respon imunitas pada hewan merupakan upaya proteksi terhadap infeksi maupun preservasi fisiologik homeostasi. Respon imunitas hewan akuatik terdiri dari respon non-spesifik dan spesifik pada ikan. Karenanya, memori, spesifitas dan pengenalan zat asing merupakan dasar mekanisme respon imunitas baik pada ikan maupun udang. Immunostimulan merupakan senyawa kimia, obat atau bahan lainnya yang mampu meningkatkan mekanisme respon imunitas ikan baik seluler maupun humoral. Anderson (1992) telah mengungkapkan berbagai jenis, aspek dan aplikasi immunostimulan yang berkaitan dengan budidaya perikanan. Lipopolisakarida (LPS) merupakan salah satu immunostimulan yang digunakan untuk stimulasi sel B. Ispir & Dorucu (2004), telah mengevaluasi efek levamisol terhadap peningkatan aktivitas fagositik ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss). Kumari dan Sahoo (2006a) mengemukakan bahwa pemberian immunostimulan berupa lactoferin,, levamisol dan vitamin C dapat meningkatkan respon imun spesifik lele (Clarias batrachus) yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila dan pemberian ß—1,3 glucan (Kumari & Sahoo, 2006b) dapat meningkatkan pertahanan non-spesifik pada ikan lele (C. batrachus). Berbeda dengan vaksin, immunostimulan tidak direspon ikan dengan mensintesis antibodi, melainkan peningkatan aktivitas dan reaktivitas sel pertahanan seluler ataupun humoral. Secara in vitro peningkatan respon seluler ditujukkan oleh aktivitas fagositik 15
yang diukur melalui uji nitro blue tetrazolium (NBT) (Perera & Pathiratne, 2008). Peningkatan
ini
didasarkan
atas
kemampuan
immunostimulan
menginduksi
berlangsungnya transformasi limfoblastik yang ditunjukkan dengan memakai isotop tritium (H3) (Alifuddin, 1999). Aktivitas fagositik ini merupakan manifestasi peningkatan respon seluler dan pada akhirnya akan meningkatkan respon humoral. Imunotimulan yang sering dipakai untuk imunostimulasi adalah LPS (lipopolisakarida), dan 1,3 β-glukan yang diperoleh dari Saccharaomyces cerevisiae, dan Levamisol. Seperti halnya dengan vaksin, immunostimulan dapat diberikan melalui injeksi, bersama pakan (per oral) dan perendaman (Anderson, 1992). Dosis immunostimulan yang digunakan sebesar 100-200 ppm. Immunostimulan ini dapat diberikan secara terus menerus selama 1 minggu kepada larva ikan ketika masih dalam hapa pendederan; kemudian dihentikan pemberiannya, diberikan kembali pada minggu ke-3 selama satu minggu. Karena itu, pada tahap awal, immunostimulan diberikan melalui perendaman, dan pada pemberian selanjutnya dapat diberikan bersama pakan. Pemilihan cara aplikasi immunostimulan didasarkan atas kepraktisan dan efisiensi dalam kegiatan budidaya. Mengingat keragaman patogen yang ada dalam media budidaya ikan, immunostimulan merupakan alternatif upaya pengendalian penyakit infeksi yang harus dilakukan bersama dengan vakinansi. Pemanfaatannya dalam kegiatan budidaya dapat mengoptimalkan produksi budidaya melalui peningkatan ketahanan tubuh ikan atau udang windu terhadap penyakit infeksi (Alifuddin, 1999; Sohn et al., 2000).
16
III. METODE PENELITIAN
1. Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan menggunakan metode Experimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Completely Randomized Design) dengan lima perlakuan dan masing-masing empat ulangan. Perlakuan kontrol adalah pakan yang disemprot dengan 20% putih telur (binder) tanpa alginat. Kontrol: Pemberian pakan tanpa campuran alginat P1
: Pakan yang dicampur dengan alginat 2 g/kg pakan
P2
: Pakan yang dicampur dengan alginat 4 g/kg pakan
P3
: Pakan yang dicampur dengan alginat 6 g/kg pakan
P4
: Pakan yang dicampur dengan alginat 8 g/kg pakan
2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pembuatan herbarium: keramik ukuran 25 x 25 cm2 dan setrika listrik. 2. Ekstraksi alginat: timbangan analitik (Shimadzu BX 6000), blender (Miyako), kertas pH universal (Merck KGaA), erlenmeyer (Iwaki Pyrex), gelas ukur (Iwaki Pyrex), gelas beaker (Iwaki Pyrex), pengaduk, hotplate stirrer (Thermolyne Nouva Stir Plate), sentrifuge (eppendorf Centrifuge 5810 R), botol falcon, dan oven (Eyela Natural Oven NDO-451SD). 3. Pengujian Kromatogafi Lapis Tipis (KLT) dan komponen alginat: mortar, plat silika gel, bejana kaca, cawan porselein, kertas saring, pipet tetes, hair drayer, timbangan analitik, mikrotube, sentrifugase, pipa kapiler dan oven. 4. Pemeliharaan ikan uji: bak fiber ukuran 50 x 50 x 60 cm3, scope net, ember, pipa PVC, dan jaring (ukuran 25 x 25 x 40 cm3). 5. Pengujian kualitas air dan pertumbuhan panjang berat: termometer, pH meter, timbangan dan penggaris 6. Uji pertahanan non-spesifik: spuit, kapiler hematokrit, vortek, sentrifugase, miktotube, mikropipet, tabung reaksi, cover glass, object glass, mikroskop, spektofotometer, kuvet kaca, dan haemocytometer.
17
3. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pembuatan herbarium: kertas minyak, plastik, dan koran. 2. Ekstraksi rumput laut: Sargassum sp., HCl 37% (Merck), akuades, etanol 96%, CaCl2 (Sigma), dan Na2C03 0,5 N. 3. Uji komponen kandungan alginat: plat silika, HCl 37% (Merck), TFA 37%, etil asetat, isopropanol, akuades, anilin dan alginat Sargassum sp. dan asam alginat standar. 4. Pemeliharaan ikan uji: lele ukuran 15 cm ( ±100 g), binder (putih telur) dan pakan ikan komersial. 5. Pengujian parameter: sampel darah ikan, phosphat buffer saline (PBS), nitroblue tetrazolium (NBT) 0,2%, etanol 95%, bovine serum albumine (BSA) (Sigma), protein test kit (Biorad), lilin vitrex, etanol, akuades, akuabides, safranin, immersion oil (Olympus), silol, EDTA 10%, larutan N,N-dimethylformalmide (Merck), dan kultur bakteri Staphylococcus aureus.
4. Tata Laksana Penelitian 4.1. Identifikasi Rumput Laut 4.1.1. Morfologi Rumput Laut Sampel rumput laut diambil dari perairan Pantai Pasir Putih, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Sampel dibersihkan dengan air tawar dan dikering anginkan tanpa terkena sinar matahari secara langsung. Sampel kemudian diamati morfologi dan struktur thalusnya serta dibandingkan dengan referensi. Rumput laut dikeringkan di atas kertas minyak dan ditutup dengan koran serta lempeng keramik untuk diawetkan sebagai herbarium. 4.2. Ekstraksi Alginat dari Sargassum sp. Metode ekstraksi yang digunakan merujuk pada metode ekstraksi alginat yang dilakukan Rasyid (2009) dan Pawar & Edgar (2013). Sampel kering diblender dan ditimbang. Sampel dimaserasi dalam aquades dengan perbandingan 1:10 (w:v) selama ± 24 jam, kemudian supernatan dibuang. Sampel rumput laut basah (filtrat) dicuci dengan aquades hingga pH residu aquades = 7 dan disaring, supernatan dibuang. Filtrat ditambahkan larutan Na2CO3 0,5 N (pH = 11) (1:10; w:v) kemudian dipanaskan pada 18
suhu 60oC selama 2 jam hingga membentuk pasta. Pasta kental ditambahkan aquades dengan perbandingan 1:10 (w:v). Bahan tidak terlarut dipisahkan dengan sentrifuge kecepatan 3500 rpm selama 5 menit, Na-alginat terlarut pada supernatan. Suspensi ditambah CaCl2 0,5 M dan distirrer 0,5 jam lalu ditambah larutan HCl 0,5 N hingga menghasilkan pH = 2. Campuran tersebut distirrer selama 0,5 jam pada suhu ruang. Material tidak terlarut (asam alginat) dipisahkan dari supernatan dengan sentrifuge. Asam alginat yang terbentuk ditimbang dan ditambahkan aquades dan Na2CO3 0,5 N (2:2:3; w:v:v) dan distirrer selama 1 jam pada suhu ruang untuk memperoleh bentuk padatan Na-alginat. Pemurnian dan penyaringan dilakukan dengan menambahkan ethanol (EtOH) 96% secara perlahan (1:1; v:v) dan diaduk kemudian dibiarkan 30 menit, setelahnya disentrifuge dengan kecepatan 3500 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang dan endapan yang diperoleh diambil lalu dikeringkan dalam oven suhu 60oC. Hasil yang diperoleh selanjutnya ditimbang, dihitung rendemen, kadar air, analisis spektrum FT-IR dan Kromatogafi Lapis Tipis.
4.3. Analisis Fourier Transformed Infrared (FT-IR) Spektra infra merah digunakan untuk mengidentifikasi alginat hasil ekstraksi. Serbuk sampel dilarutkan dengan DMSO (dimethyl sulfoxide). Pengukuran spektrum dilakukan menggunakan instrumen spektometer NICOLET AVATAR 360 IR. Pengukuran dilakukan dengan transmisi gelombang 300-4000 cm-1, dengan kecepatan scan 0,20 cm/s dan 30 akumulasi pada resolusi 4 cm-1. Uji FTIR dilakukan di Laboratorium Terpadu Universitas Islam Indonesia.
4.4. Uji Komponen Alginat 4.4.1. Hidrolisis Alginat Sampel dihidrolisis dengan cara melarutkan 50 mg alginat ke dalam 0,5 ml akuades dan kemudian ditambahkan 0,5 ml TFA (Trifluoroacetic Acid). Sampel dipanaskan dalam waterbath selama 4 jam pada suhu 100 . 4.4.2. Kromatogafi Lapis Tipis (KLT) untuk Uji Komponen Alginat Alginat yang telah dihidrolisis ditotolkan pada plat silica gel dan dibandingkan dengan asam alginat standar. Plat silica gel dikembangkan dalam pelarut etil asetat,
19
isopropanol, dan akuades dengan perbandingan 20:70:10. Plat silica gel kemudian disemprot dengan anilin dan dipanaskan dalam oven selama 5 menit pada suhu 105 .
4.5. Pengujian Alginat pada Ikan 4.5.1. Pembuatan Pakan Untuk tiap kg pakan, alginat dilarutkan dalam 200 ml akuades dicampur dengan 20% putih telur atau 200 g/kg pakan. Campuran dimasukkan ke dalam sprayer yag kemudian disemprotkan secara menyeluruh pada pelet komersial. Dosis alginat yang dicampur ke pakan disesuaikan dengan dosis perlakuan. Pakan kontrol adalah pakan yang disemprot dengan 20% putih telur tanpa alginat. Setelah tercampur dikeringanginkan pada suhu ruangan. 4.5.2. Pemeliharaan Ikan dan Pemberian Pakan Ikan diberi pakan dua kali sehari, setiap pagi (08:00 WIB) dan sore hari (16:00 WIB) dengan total pakan 3% dari biomassa tubuh. Pakan yang digunakan yaitu pelet 781 yang sudah ditambah dengan alginat sesuai perlakuan. Pemberian alginat dalam pakan dilakukan terus menerus hingga pengamatan selesai.
4.6. Parameter yang Diamati 4.6.1. Parameter Pertahanan Non-spesifik 4.6.1.1. Aktifitas Fagositosis (AF) 1. Pembuatan antigen Staphylococcus aureus Bakteri S. aureus dikultur dalam media triphtone soya agar (TSA) selama 24 jam dan dipanen dengan menggunakan larutan phosphate buffer saline (PBS) steril. Bakteri kemudian dimatikan menggunakan formalin dengan konsentrasi akhir 2% dan diulang sebanyak tiga kali. Bakteri kemudian divortex dan dicuci dengan larutan PBS, serta disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. 2. Pengambilan darah dan pembuatan preparat Darah ikan diambil dengan menggunakan spuit yang telah dibasahi dengan EDTA dan ditampung dalam mikrotub. Sampel darah dimasukkan dalam tabung kapiler kemudian disentrifuse sehingga terjadi pemisahan antara sel eritrosit, leukosit, dan plasma. Kapiler hematokrit kemudian dipotong pada batas antara leukosit dan eritrosit. Bagian leukosit ditampung pada mikrotub dan diambil sebanyak 100 µl dalam 20
mikroplatewell, kemudian ditambah dengan 100µl antigen S. aureus (kepadatan 108 sel/ml) kemudian dihomogenkan dengan cara pipetting dan diinkubasi selama 20 menit. Sebanyak 5 µl sampel diambil dari mikroplatewell, kemudian diletakkan di atas obyek glass dan dibuat preparat ulas, didiamkan hingga kering angin. Sampel kemudian difiksasi dengan etanol 95% selama 5 menit dan dikering anginkan, diwarnai dengan larutan Safranin selama 10 menit. 3. Pengamatan preparat Preparat apus diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000x sebanyak minimal 100 sel. Aktifitas Fagositosis (AF) dan Indeks Fagositosis (IF) dihitung berdasarkan rumus: Aktifitas Fagositosis (%)
=
Indeks Fagositosis
=
x 100%
4.6.1.2. Uji NBT Darah yang sudah diberi anti-koagulan ditampung dalam mikrotub. Sebanyak 30 µl darah diambil dan ditambahkan 0,2% NBT (dalam 0,85% NaCl) dengan volume yang sama. Campuran tersebut diinkubasi 30 menit. Setelah inkubasi, 50 µl campuran diambil dan dipindahkan ke tabung reaksi, kemudian ditambahkan 1000 µl N,Ndimethylformamide (DMF) dan disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Supernatan diambil dan diukur absorbansinya menggunakan kuvet kaca dalam spektofotometer pada panjang gelombang 540 nm.
4.6.1.3. Jumlah Sel Darah Putih Sampel darah diambil menggunakan mikropipet sebanyak 5 l lalu ditambahkan 20 µl solution A (methyl red 25 mg + NaCl 0,9 g dalam 100 ml akuades) dan 175 µl solution B (crystal violet 12 mg + sodium sitrat 0,8 mg + formaldehid 37% 4 ml dalam 100 ml akuades). Campuran dihomogenkan kemudian dihitung di bawah mikroskop menggunakan haemocytometer dengan perbesaran 400x.
21
4.6.1.4. Diferensiasi Leukosit Darah ikan diambil dengan menggunakan spuit yang telah dibasahi EDTA dan ditampung dalam mikrotub. Sampel darah dimasukkan dalam tabung kapiler kemudian disentrifuse sehingga terjadi pemisahan antara eritrosit, leukosit, dan plasmanya. Kapiler hematokrit kemudian dipotong pada batas antara leukosit dan eritrosit. Bagian leukosit ditampung dan diambil sebanyak 5 µl di atas obyek glass dan dibuat preparat ulas, didiamkan hingga kering angin. Sampel kemudian difiksasi dengan etanol selama 5 menit dan dikeringanginkan, diwarnai dengan larutan Giemsa selama 10 menit. Preparat apus diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x. Sebanyak 100 sel leukosit diamati dan dibedakan jenisnya (limfosit, monosit, neutrofil, dan eosinofil).
4.6.1.5. Leukokrit Hematokrit Sampel darah dimasukkan dalam tabung kapiler kemudian disentrifuse sehingga terjadi pemisahan antara sel eritrosit, sel leukosit, dan plasmanya. Kadar leukokrit dan hematokrit dihitung berdasarkan rumus: Leukokrit (%)
=
x 100%
Hematokrit (%) =
x 100%
4.6.1.6. Total Protein Plasma Pengukuran total protein plasma dilakukan dengan metode spektrofotometrik menggunakan standar BSA (bovine serum albumine). Sampel darah ikan disentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit untuk memisahkan serum dan sel darah. Sebanyak 798 µl akuabides dimasukkan pada mikrotub dan ditambah 2 µl serum serta 200 µl protein test kit (biorad), dihomogenkan dan diinkubasi selama 15 menit. Kemudian diukur absorbansinya dengan spektofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Kurva standar yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2.
22
4.6.2. Pertumbuhan Panjang dan Berat Ikan Pada awal dan akhir pemeliharaan dilakukan pengukuran panjang dan berat ikan dengan menggunakan penggaris dan timbangan digital. Pertumbuhan panjang dan berat spesifik lele dihitung berdasarkan rumus berikut: Pertumbuhan panjang spesifik
=
(Effendie,
=
(Effendie,
1979). Pertumbuhan berat spesifik 1979). 4.6.3. Kualitas Air Analisis pengukuran kadar oksigen terlarut, kandungan CO2 bebas dan kandungan ammonia dilakukan di Laboratorium Teknik dan Penyehatan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM. Sedangkan kadar keasaman air (pH) diukur menggunakan pH meter dan suhu di ukur menggunakan termometer.
5. Analisis Data Data hasil uji dari masing-masing parameter dianalisis menggunakan One-way Anova. Data yang tidak memenuhi asumsi kemudian dirtansformasi sehingga memenuhi asumsi-asumsi yang mendasari analisis ragam. Untuk perlakuan yang menunjukkan hasil beda nyata (P<0,01 atau P<0,05) kemudian dilakukan uji lanjut Duncan menggunakan DSAASTAT untuk racangan acak lengkap.
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Pengamatan 1.1. Identifikasi Rumput Laut Sargassum sp. mempunyai thallus berbentuk silindris atau gepeng, cabangnya rimbun menyerupai pohon, bentuk lamina lebar, lonjong atau seperti pedang, dan thallus berwarna cokelat kuning kehijauan. Struktur tubuh terbagi atas sebuah holdfast yang berfungsi sebagai struktur basal, sebuah stipe atau batang semu, dan sebuah frond yang berbentuk seperti daun. Morfologi Sargassum sp. dalam bentuk herbarium dapat dilihat pada Gambar 4.2. Air bladder berada pada bagia luar, pada bagian lateral tangkai pendek bergerigi, tebal, licin. Warna hijau keorengan, holdfast mengeras, reseptacle terdapat pada bagian bawah dari lateral.
Midrib Air bladder Receptacle Secondary branch
Thallus
Primary branch
Main axis Holdfast Gambar 4.2 Herbarium Sargassum sp
24
1.2. Ekstraksi Alginat dari Sargassum sp. Tahap awal ekstraksi adalah perendaman sampel alga dalam larutan HCl 0,1 N (pH 4 ±24 jam). Hal ini bertujuan untuk mengurangi jumlah garam-garam mineral yang menempel pada alga dan dapat menghidrolisis dinding sel alga sehingga alginat dapat lebih mudah diekstraksi. Jaringan selulosa pada alga akan menjadi semakin lunak pada penambahan HCl Larutan HCl merupakan agen demineralisasi dan hidrolisis (Mushollaeni, 2011). Ekstraksi Na-alginat dilakukan dengan menggunakan larutan basa yaitu larutan natrium karbonat (Na2CO3). Larutan Na2CO3 merupakan pelarut yang spesifik untuk mengekstraksi Na-alginat dari alga cokelat. Ekstraksi alginat dengan Na2CO3 dapat membantu proses pembengkaan jaringan sel-sel alga yang mempermudah keluarnya alginat dari dalam jaringan alga. Selain itu Na2CO3 dapat memisahkan protein dan selulosa dari jaringan sehingga mempermudah proses ekstraksi alginat dari jaringan alga (Mushollaeni, 2011). Ekstrak kental alginat ditambah dengan CaCl2 dan pemberian HCl 0,5 N tetes demi tetes. Pada setiap penambahan HCl 0,5 N akan terbentuk asam alginat pada permukaan larutan. Larutan HCl 0,5 N digunakan untuk membentuk asam alginat. Asam alginat tidak larut dalam air sehingga senyawa lain yang larut dalam air yang kemungkinan ikut terekstrak dalam ekstrak alginat kental dapat tertinggal pada larutan. Asam alginat diubah menjadi Na-alginat dengan penambahan larutan Na2CO3. Alginat dapat larut dalam air sehingga dapat lebih mudah digunakan dalam pemanfaatannya. Asam alginat dikonversi menjadi Na-alginat dengan penambahan larutan Na2CO3 dan dipresipitasi dengan ethanol (EtOH) 96%.
25
1.3. Rendemen Alginat dari Sargassum sp. Total berat kering Na-alginat dari 50 g Sargassum sp. yang diperoleh sebesar 24,80 g, dengan rendemen 25,89%. Penelitian Rasyid (2009) terhadap rendemen Naalginat dari beberapa spesies alga cokelat menunjukkan Na-alginat dari T.ornata (Gili Bedil) memiliki rendemen 17,05%, rendemen Sargassum polycystum (Batunampar) 18,05%, rendemen Na-alginat dari T. decurrens (Pulau Sumbawa) 13,17%, dan rendemen Na-alginat dari T.decurrens (Pulau Barranglompo) 20,30%. Rendemen Na-alginat dari
Sargassum sp. (Pantai Pasir Putih, Cilacap) memiliki rendemen lebih tinggi bila dibandingkan dengan rendemen Na-alginat dari beberapa spesies alga cokelat yang digunakan dalam Penelitian Rasyid (2009). Rendemen sebesar 25,89% memenuhi syarat yang ditetapkan oleh FAO, dimana rendemen (dry basis) dari alginat tidak kurang dari 18% (FAO, 1997). Tinggi rendahnya rendemen alginat dapat dipengaruhi oleh metode ekstraksi yang digunakan sehingga untuk menghasilkan alginat dengan rendemen lebih tinggi dapat dilakukan modifikasi metode (McHugh, 1987). Rasyid (2009), menyatakan faktor seperti jenis rumput laut, kondisi tempat tubuh atau habitat (intensitas cahaya, besar-kecil ombak atau arus, dan nutrisi perairan) ikut mempengaruhi rendemen produk akhir.
1.4. Fourier Transformed Infrared (FT-IR) Spektrum FT-IR dari asam alginat standar dan spektrum FTIR dari alginat Sargassum sp. dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan sinyal spektrum beserta gugus fungsi dari asam alginat standar dan alginat dari Sargassum sp. dapat dilihat pada Tabel 4.1. Spektrum FT-IR dari alginat dari Sargassum sp. menunjukkan band yang sama dengan band yang ada pada asam alginat standar yaitu pada 3500-1000 cm-1. Spektrum FT-IR alginat Sargassum sp. menunjukkan adanya residu asam uronik pada band 953,08 cm-1 serta residu α-L-asam guluronik pada band 902,24 cm-1, dan spektrum asam alginat menunjukkan residu asam uronik pada band 953,13 cm-1 (Chandia et al., 2004; Leal et al., 2008). Keberadaan karakteristik band pada daerah anomerik 950-750 cm-1 menunjukkan bahwa sampel adalah polisakarida alginat (Leal et al., 2008).
26
Gambar 4.3 Spektrum FT-IR Alginat dari Sargassum sp. (merah) dan Asam Alginat Standar (hitam) Tabel 4.1 Spektrum FTIR Alginat dari Sragassum sp. dan Asam Alginat Standar Bilangan Gelombang (cm-1) Vibrasi Gugus Fungsional Asam Alginat Alginat dari Standard Sargassum sp. 3404,05 3411,11 νO–H a 3003,61 3005,44 νC–H a 2916,20 2917,34 νC–H a 1654,75 1652,03 ν asim COO- b 1436,48 1436,60 ν sim COO- b 1409,28 1409,63 δ C–O–H, νsim COO− (gugus karboksil) a,c 1316,19 1316,87 δ C–H b 1020,74 1019,87 ν C-O a 953,13 953,08 ν C-O (residu asam uronik) a, c 902,24 δ C–H (residu α-L-asam guluronik) a Keterangan : ν: peregangan , ν asim : peregangan asimetris, ν sim : peregangan simetris, δ: deformasi (a Leal et al. (2008); b Campos-Vallette et al. (2010); c Chandia et al. (2004). Pembacaan FTIR alginat dari Sargassum sp. menunjukkan beberapa band yang juga ditemukan pada asam alginat standar. Band yang berada di sekitar 3400 cm -1 merupakan band yang terdapat pada semua polisakarida, band pada daerah vibrasi 3411,11 cm-1 menunjukkan adanya peregangan O-H dari hidroksil dan ikatan air, band dengan sinyal lemah pada 3005,54 cm-1 dan 2917,34 cm-1 dipengaruhi oleh adanya peregangan dari gugus C-H (Leal et al., 2008). Alginat dari Sargassum sp. menunjukkan karakteristik band asimetris COO- pada 1652,75 cm-1 dan band simetris COO- pada 27
band 1436,60 cm-1 yakni berada antara kisaran 1644-1450 cm-1 (Campos-Vallette et al., 2010). Band pada 1409,63 cm-1 menunjukkan adanya kemungkinan terjadi deformasi vibrasi C-OH dengan kontribusi dari vibrasi peregangan simetris O-C-O pada kelompok karboksil (Chandia et al., 2004 dan Leal et al., 2008). Band pada 1316,87 cm-1 menunjukkan kemungkinan terjadi deformasi vibrasi antara C-H (Campos-Vallette et al., 2010). Band pada 1019,92 cm-1 menunjukkan adanya kemungkinan peregangan vibrasi C-O (Leal et al., 2008). Daerah anomerik (wilayah finger print) berada pada range 950-750 cm-1 , menunjukkan karakteristik band dari polisakarida dari alginat. Band pada 953,08 cm-1 merupakan residu asam uronik perluasan vibrasi dari C-O dengan kontribusi deformasi C-C-H dan C-O-H dan band pada 902,24 cm-1 menunjukkan vibrasi deformasi C-H dari residu α-L-asam guluronik (Chandia et al., 2004 dan Leal et al., 2008). Spektrum FT-IR menunjukkan bahwa transformasi asam alginat menjadi Naalginat kurang berhasil yang ditandai dengan pergeseran ke kanan yang kecil yaitu pada band 1654,75 cm-1 menjadi 1652,03 cm-1. Hal yang sama terjadi pada band 1020 cm-1 menjadi 1019,87 cm-1. Konversi asam alginat menjadi Na-alginat akan lebih efisien menggunakan asam kuat seperti NaOH (untuk natrium alginat), KOH (K-alginat), Ca(OH)2 (Ca-alginat), atau Mg(OH)2 (Mg-alginat).
1.5. Komponen Alginat dari Sargassum sp. 1.5.1. Kromatogafi Lapis Tipis (KLT) Kandungan alginat berupa α-L-guluronat (G) dan β-D-manuronat (M) dianalisis dengan KLT. Asam alginat standar (Alginic acid sodium salt from brown algae, Sigma) dan alginat dari Sargassum sp. dihidrolisis dengan bantuan asam kuat. Bercak yang muncul pada plat KLT dibandingkan dengan literatur untuk menentukan jenis monosakarida alginat. Bercak yang muncul seperti ditunjukkan pada Gambar 4.4 dan nilai Rf yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.2. Hidrolisat alginat dari Sargassum sp. dan hidrolisat asam alginat standar dianalisis menggunakan silika gel TLC dengan pelarut etil asetat, isopropanol, aquades (20:70:10) yang disemprot dengan anilin. Hasil pengujian KLT terhadap hidrolisat alginat dari Sargassum sp. dan asam alginat standar menghasilkan nilai Rf guluronat yang hampir sama yakni 0,62 dan 0,63. Sedangkan, Rf manuronat untuk hidrolisat alginat dari 28
Sargassum sp. adalah 0,28 dan asam alginat standar 0,29. Hasil tersebut menunjukkan bahwa Rf dari komponen penyusun alginat dari Sargassum sp. dan asam alginat standar sama. Rf yang memiliki nilai yang sama dapat dikatakan memiliki karakteristik yang sama atau mirip (Spangeberg et al., 2011). Hasil pengujian KLT terhadap hidrolisat alginat dari asam alginat standar dan hidrolisat alginat dari Sargassum sp. dapat dilihat pada Tabel 4.2.
L-guluronat Rf = 0,63
L-Guluronat Rf = 0,62
M- mannuronat Rf = 0,28
M-mannuronat Rf = 0,29
1
2
Gambar 4.4 Kromatografi Lapis Tipis dari Alginat (1, Hidrolisat Asam Alginat Standar; 2, Hidrolisat Alginat Sargassum sp. (silika gel, etil asetat:isopropanol:aquades = 2:7:1, disemprot anilin) Tabel 4.2 Rf Hidrolisat Asam Alginat Standar dan Hidrolisat sp. Jarak Sampel Spot Pelarut (cm) Hidrolisat B (manuronat) 8,5 Alginat Sargassum sp. A (guluronat) 8,5 Hidrolisat B (manuronat) 8,5 Asam Alginat Standar A (guluronat) 8,5
29
Alginat dari Sargassum Jarak Noda (cm) 2,4 5,3 2,5 5,3
Rf 0,28 0,62 0,29 0,63
Penelitian Singh et al. (2011) terhadap monosakarida alginat dengan TLC menggunakan hidrolisis asam dan perlakuan alginate lyase. Fase gerak berupa 1butanol:asam asetat:air (3:2:2, v:v:v). Plat disemprot dengan 10% asam sulfat dalam ethanol dan dioven pada suhu 110±1oC. Rf sebesar 0,28 diperoleh baik dari Alginat dengan perlakuan alginate lyase maupun hidrolisis asam, termasuk dalam blok poly-M (blok mannuronat). Penelitian Rode (2004) mengenai isolasi dan karakterisasi bakteri EPS P. aeruginosa SG81 sebagai zat polimer ekstraseluler dengan bioflim menunjukkan bahwa Rf dari blok L-guluronat 0,53 dan Rf dari blok D-mannuronat 0,58, dimana Rf dari blok D-mannuronat lebih tinggi dari blok L-guluronat. Hasil kromatografi lapis tipis dari hidrolisat EPS P. aeruginosa SG81, L-guluronat dan Dmannuronat dapat dilihat pada Gambar 4.5.
l-Guluronat,Rf=0,53 D-Mannuronat,Rf=0,58
origin
Gambar 4.5 Kromatografi Lapis Tipis dari Hidrolisat EPS P. Aeruginosa SG81 (a, L-Guluronat; b, D-mannuronat; c, Hidrolisat ESP. P. aeruginosa SG81, disemprot asetonnitril;amil alkohol;air = 3:1:1, di semprot reagen N-(1-Naphthyl) ethylendiamin-dihydrochlorid (Rode, 2004).
30
1.6. Pengamatan Parameter Kekebalan Non-Spesifik 1.6.1. Uji Nitroblue Tetrazolium (NBT) Hasil uji sidik ragam pada awal pengamatan dan hari kedelapan menunjukkan tidak adanya beda nyata (P>0,05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan alginat dari Sargassum sp. pada berbagai dosis. Pengamatan hari keempat menunjukkan ada beda nyata (P<0,05) antar perlakuan kontrol dengan pemberian alginat pada dosis 2 dan 4 g/kg pakan dengan nilai masing-masing 1,15 dan 1,18, nilai NBT pada kedua perlakuan tersebut lebih rendah dibandingkan kontrol dengan nilai 1,34. Sedangkan pada alginat dosis 6 dan 8 g/kg pakan tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan nilai NBT jika dibandingkan dengan kontrol dengan nilai masing-masing perlakuan yaitu 1,52 dan 1,43 (P>0,05). Pada hari kedua belas hasil uji sidik ragam menunjukkan adanya beda nyata antara pemberian alginat pada dosis 6 g/kg pakan dengan perlakuan kontrol dan pemberian alginat dosis lain, nilai NBT pada perlakuan 6 g/kg pakan yaitu 0,95 lebih rendah jika dibandingkan dengan semua perlakuan. Tabel 4.3 Aktivitas Nitroblue Tetrazolium Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4 Sampling (0 g (2 g (4 g (6 g (8 g Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg pakan pakan pakan pakan pakan) Hari ke-0 1,55±0,25 1,34±0,07 1,39±0,07 1,34±0,05 1,36±0,07 Hari ke-4 1,34±0,04b 1,15±0,05a 1,18±0,14a 1,52±0,17ab 1,43±0,17b Hari ke-8 1,00±0,30 1,00±0,09 1,31±0,05 1,10±0,11 1,28±0,16 Hari ke-12 1,39±0,05b 1,24±0,16b 1,33±0,06b 0,95±0,19a 1,37±0,18b * Notasi huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05). 1.6.2. Aktifitas Fagositosis (AF) Hasil pengamatan AF pada Tabel 4.4 menunjukan bahwa pemberian alginat pada berbagai dosis memberikan pengaruh signifikan pada peningkatan aktivitas AF jika dibandingkan dengan kontrol (P<0,05). Pada awal pengamatan dan hari keempat, pengaruh antar perlakuan pemberian dosis alginat masih menunjukkan aktivitas yang sama. Namun, hal lain ditunjukan pada pengamatan hari kedelapan dan kedua belas, pengaruh pemberian alginat pada dosis 4 g/kg pakan pada hari kedelapan dengan nilai 69,96% menunjukan aktifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian alginat dosis lain (P<0,05). Pengamatan hari kedua belas, aktifitas AF pada dosis 2, 4, dan 8 31
menunjukan tingkat aktivitas yang sama (P>0,05), sedangkan pada pemberian dosis 6 g/kg pakan menunjukkan penurunan AF jika dibandingkan dengan perlakuan dosis lain (P<0,05) yaitu dengan nilai 54,49%. Tabel 4.4 Aktifitas Fagositosis (%) Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4 Sampling (0 g (2 g (4 g (6 g (8 g Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg pakan pakan pakan pakan pakan a b b b Hari ke-0 46,36±3,08 54,86±2,43 56,05±2,46 58,24±5,91 56,34±5,51b Hari ke-4 44,43±2,64a 58,95±10,16b 65,52±3,31b 60,13±5,18b 59,27±6,95b Hari ke-8 30,45±5,23a 53,22±7,34b 69,96±2,31c 55,46±4,33b 59,3±8,17bc Hari ke-12 40,02±5,49a 65,20±4,82c 71,34±1,76c 54,49±4,18b 65,55±4,09c * Notasi huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05). 1.6.3. Indeks Fagositosis (IF) Nilai IF pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa pemberian alginat tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Pada hari kedelapan nilai IF cenderung menurun dan setelah dilakukan uji sidik ragam terdapat beda nyata (P<0,05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pemberian alginat. Nilai IF antar perlakuan dosis alginat menunjukkan ada beda nyata (P>0,05) yaitu dosis 2 g/kg pakan dengan dosis lain, alginat dengan dosis 2 g/kg pakan nilai IF lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan alginat lain yaitu dengan nilai IF 0,74. Pengamatan pada hari keduabelas menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan alginat sudah tidak memberikan pengaruh pada nilai IF (P>0,05), kecuali pada perlakuan alginat 4 g/kg pakan yaitu dengan nilai IF 1,45. Nilai IF lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lain (P<0,05). Tabel 4.5 Indeks Fagositosis (%) Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4 Sampling (0 g (2 g (4 g (6 g (8 g Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg pakan pakan pakan pakan pakan Hari ke-0 1,07±0,20 0,72±0,20 1,19±0,25 1,26±0,41 0,84±0,31 Hari ke-4 1,13±0,17 1,18±0,16 1,23±0,26 1,13±0,22 1,19±0,27 Hari ke-8 0,45±0,08a 0,74±0,10b 1,38±0,21c 1,15±0,24c 1,03±0,10c Hari ke-12 0,88±0,02a 1,07±0,19a 1,45±0,19b 1,11±0,20a 1,09±0,10a * Notasi huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05).
32
1.6.4. Sel Darah Putih Hasil uji sidik ragam pengamatan jumlah sel darah putih menunjukkan bahwa tidak adanya beda nyata (P>0,05) antara perlakuan pemberian alginat secara oral pada berbagai dosis dengan kontrol dari awal hingga akhir pengamatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian alginat tidak berpengaruh terhadap peningkatan SDP. Hasil pengamatan jumlah sel darah putih dapat dilihat pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Jumlah Sel Darah Putih (106 sel/ml) Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4 Sampling (0 g (2 g (4 g (6 g (8 g Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg pakan pakan pakan pakan pakan Hari ke-0 12,0±3,06 8,18±2,16 8,21±0,55 7,8±0,51 7,86±1,51 Hari ke-4 10,1±1,29 7,94±0,97 7,03±0,35 8,9±1,65 8,63±1,13 Hari ke-8 7,6±1,33 8,79±1,23 8,24±0,47 8,2±0,84 7,87±0,87 Hari ke-12 7,8±0,28 7,74±0,46 8,93±0,58 8,2±0,63 8,71±0,85 * Notasi huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05). 1.6.5. Total Protein Plasma Pengamatan total protein plasma cenderung mengalami penurunanan dari awal hingga akhir pengamatan. Hasil analisis sidik ragam tidak menunjukkan beda nyata (P>0,05) pada pengamatan awal, hari keempat dan kedelapam pada semua perlakuan. Pengamatan hari kedua belas menunjukkan ada beda nyata (P<0,05) antara perlakuan kontrol dengan pemberian pada dosis 2 g dan 4 g alginat/kg pakan, sedangkan pada dosis 6 g dan 8 g alginat/kg pakan tidak menunjukkan beda nyata. Nilai TPP pada akhir pengamatan untuk perlakuan kontrol yaitu 67,2 mg/ml plasma, untuk perlakuan pemberian 2, 4, 6 dan 8 g alginat/kg pakan secara berturut-turut yaitu 40,1 mg/ml, 38,7 mg/ml, 55,3 mg/ml dan 59,7 mg/ml plasma. Hasil pengamatan total protein plasma dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan kurva standar total protein plasma dapat dilihat pada Lampiran 2.
33
Tabel 4.7 Total Protein Plasma (mg/ml) Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4 Sampling (0 g (2 g (4 g (6 g (8 g Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg pakan pakan pakan pakan pakan Hari ke-0 64,3±4,8 79,9±11,2 92,8±2,7 81,8±18,9 83±11,7 Hari ke-4 59,3±10 54,7±9,7 65,5±8,7 52,6±15,8 66±18,6 Hari ke-8 63±9,5 45,1±13,7 58±13 67,2±9,3 67,4±7,8 Hari ke-12 67,2±5,8b 40,1±12,4a 38,7±10,6a 55,3±6,1b 59,7±5,6b * Notasi huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05). 1.6.6. Diferensiasi Leukosit 1.6.6.1. Persentase Limfosit Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian alginat berpengaruh terhadap peningkatan jumlah limfosit jika dibandingkan dengan kontrol pada awal pengamatan, hari keempat, kedelapan dan kedua belas, kecuali pada perlakuan dosis 8 g/kg pakan pada hari keempat (Tabel 4.8). Dosis 8 g/kg pakan juga menunjukkan hasil yang berbeda nyata jika dibandingkan dengan dosis lain baik pada awal pengamatan, hari kedelapan maupun kedua belas (P<0,05). Nilai limfosit pada dosis 8 g/kg pakan cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan alginat dosis lain yaitu dengan nilai 70,30%, sedangkan pada perlakuan kontrol yaitu 60,16%. Tabel 4.8 Persentase limfosit Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4 Sampling (0 g (2 g (4 g (6 g (8 g Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg pakan pakan pakan pakan pakan Hari ke-0 53,60±3,31a 67,61±3,78c 66,56±2,19c 67,32±3,21c 61,21±1,01b Hari ke-4 59,65±4,03a 74,80±1,21b 72,32±4,41b 71,67±5,10b 63,42±1,62a Hari ke-8 52,87±4,44a 72,98±2,60bc 73,65±3,87c 75,69±1,43c 68,43±0,97b Hari ke-12 60,16±1,31a 74,14±3,35b 75,46±3,43b 75,21±3,04b 70,30±3,04b * Notasi huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05).
34
Gambar 4.6 Diferensiasi Leukosit Lele Jenis Limfosit (Perbesaran 1000x) 1.6.6.2. Persentase Monosit Hasil pengamatan persentase monosit pada Tabel 4.9 menunjukkan penurun dari awal hingga akhir pengamatan. Hasil uji sidik ragam persentase monosit pada awal dan akhir pengamatan menunjukkan adanya beda nyata (P<0,05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis. Persentase nilai monosit antar perlakuan pada akhir pengamatan secara berturut-turut adalah 10,64%, 4,39%, 4,98%, 4,81% dan 5,56%. Tabel 4.9 Persentase Monosit Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis. Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4 Sampling (0 g (2 g (4 g (6 g (8 g Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg pakan pakan pakan pakan pakan c ab a ab Hari ke-0 14,38±2,00 4,77±1,59 3,72±2,17 5,00±1,03 7,06±1,11b Hari ke-4 11,59±0,46c 5,00±1,42a 4,60±1,06a 6,62±1,65ab 7,75±1,53b b a a a Hari ke-8 12,24±0,29 5,73±1,24 6,23±1,03 5,20±0,24 5,68±1,28a Hari ke-12 10,64±1,63b 4,39±0,60a 4,98±1,39a 4,81±0,59a 5,56±0,61a * Notasi huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05).
35
Gambar 4.7 Diferensiasi Leukosit Lele Jenis Monosit (Perbesaran 1000x) 1.6.6.3. Persentase Neutrofil Hasil pengamatan persentase neutrofil meningkat pada perlakuan kontrol dan pada pemberian alginat cenderung mengalami penurunan. Hasil uji sidik ragam pada awal pengamatan, hari keempat dan kedua belas menunjukkan tidak adanya beda nyata (P>0,05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis. Hasil uji sidik ragam pada hari kedelapan menunjukkan adanya beda nyata (P<0,05) antara perlakuan pemberian dengan alginat dosis 2, 4 dan 6 g/kg pakan dengan perlakuan kontrol, persentase monosit secara berturut-turut 12,70%, 12,26%, 11,38% dan 19,05% untuk perlakuan kontrol, sedangkan dosis 8 g/kg pakan tidak menunjukan beda nyata dengan persentase 15,15%. Hasil pengamatan persentase neutrofil dapat dilihat pada Tabel 4.10. Tabel 4.10 Persentase Neutrofil Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis. Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4 Sampling (0 g (2 g (4 g (6 g (8 g Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg pakan pakan pakan pakan pakan Hari ke-0 16,36±1,73 16,05±1,74 15,81±1,16 17,48±1,26 17,62±3,41 Hari ke-4 16,81±4,78 12,98±2,56 12,60±3,05 12,92±4,06 15,96±1,76 Hari ke-8 19,05±2,14b 12,70±2,19a 12,26±2,39a 11,38±1,52a 15,15±1,81ab Hari ke-12 15,10±0,52 14,43±2,61 11,50±1,88 14,46±2,04 12,48±2,16 * Notasi huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05).
36
Gambar 4.8 Diferensiasi Leukosit Lele Jenis Neutrofil (Perbesaran 1000x) 1.6.6.4. Persentase Eosinofil Persentase eosinofil dari awal hingga akhir pengamatan cenderung mengalami penurunan pada semua perlakuan. Hasil uji sidik ragam pada awal pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata (P>0,05) antar semua perlakuan. Pada hari keempat dosis 4, 6 dan 8 g/kg pakan menunjukkan tidak beda nyata dengan perlakuan kontrol. Pada hari kedelapan perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis menunjukkan ada beda nyata dengan perlakuan kontrol dan ada pengaruh pemberian alginat terhadap peningkatan eosinofil. Sedangkan pada pengamatan hari kedua belas dosis 2, 4 dan 6 g/kg pakan ada beda nyata dengan kontrol dan dosis 8 g/kg pakan tidak beda nyata terhadap perlakuan kontrol. Persentase monosit pada akhir pengamatan secara berturut-turut dari perlakuan pemberian alginat dari dosis terendah yaitu 7,05%, 8,06%, 5,52%, 11,67% serta 14,10% untuk perlakuan kontrol. Tabel 4.11 Persentase Eosinofil Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis. Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4 Sampling (0 g (2 g (4 g (6 g (8 g Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg pakan pakan pakan pakan pakan Hari ke-0 15,67±2,30 11,59±3,65 13,92±1,62 10,20±3,10 14,12±3,41 Hari ke-4 11,96±0,74b 7,22±1,53a 10,49±2,62ab 8,80±0,87ab 12,87±3,38b Hari ke-8 15,84±2,71c 8,60±1,32ab 7,86±0,87a 7,73±0,58a 10,48±2,26b Hari ke-12 14,10±2,32c 7,05±0,54ab 8,06±0,38b 5,52±0,79a 11,67±1,64c * Notasi huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05). 37
Gambar 4.9 Diferensiasi Leukosit Lele Jenis Eosinofil (Perbesaran 1000x) 1.6.7. Pengamatan Parameter Fisiologis 1.6.7.1. Hematokrit Nilai hematokrit lele pada Tabel 4.12 cenderung menurun dari awal hingga akhir pengamatan. Hasil pengamatan tidak menunjukkan adanya pengaruh perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis pada awal pengamatan, hari kedelapan dan kedua belas. Beda nyata (P<0,05) ditunjukkan pada pengamatan hari keempat antara perlakuan alginat 2 g/kg pakan dan perlakuan pemberian alginat 4, 6 dan 8 g/kg pakan dan kontrol dimana nilai hematokrit lele mengalami penurunan. Nilai hematokrit pada hari keempat yaitu 32,24% untuk perlakuan kontrol, P1 23,35%, P2 32,07%, P3 32,46% dan P4 30,81%. Tabel 4.12 Hematokrit (%) Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4 Sampling (0 g (2 g (4 g (6 g (8 g Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg pakan pakan pakan pakan pakan Hari ke-0 39,08±3,16 32,3±3,91 31,38±5,0 33,09±2,74 37,27±2,01 Hari ke-4 32,24±3,06b 23,35±3,5a 32,07±2,49b 32,46±1,75b 30,81±5,26b Hari ke-8 27,7±9,97 21,15±1,33 27,47±2,9 22,07±2,44 23,59±2,43 Hari ke-12 23,64±4,88 20,92±5,91 26,29±2,88 20,59±1,06 25,05±2,78 * Notasi huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05).
38
1.7.2. Leukokrit Nilai leukokrit lele pada Tabel 4.13 cenderung fluktuatif antar perlakuan. Hasil uji sidik ragam pada awal pengamatan menunjukkan adanya beda nyata (P<0,05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pemberian alginat pada dosis 2 g/kg pakan, sedangkan pada dosis pemberian alginat 4, 6 dan 8 gam/kg pakan tidak ada beda nyata dengan perlakuan kontrol. Pada hari keempat hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata (P>0,05) perlakuan kontrol dengan pemberian alginat pada berbagai dosis yang menunjukkan bahwa pengaruh alginat pada dosis 2 g/kg pakan telah menurun pada hari keempat. Pemberian alginat mulai memberikan pengaruh kembali pada hari kedelapan dan kedua belas. Hasil uji sidik ragam pada hari kedelapan dan kedua belas menunjukkan adanya beda nyata (P<0,05) pada perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis dengan perlakuan kontrol. Nilai leukokrit lele pada akhir pengamatan yaitu 0,83% untuk perlakuan kontrol, P1 1,7%, P2 1,68%, P3 1,7% dan P4 1,66%. Tabel 4.13 Leukokrit (%) Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis Perlakuan Kontrol P1 P2 P3 P4 Sampling (0 g (2 g (4 g (6 g (8 g Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg Alginat/kg pakan pakan pakan pakan pakan Hari ke-0 1,96±0,44b 1,15±0,39a 1,78±0,33b 1,63±0,02ab 2,05±0,41b Hari ke-4 1,21±0,72 1,3±0,35 1,73±0,05 1,65±0,05 1,65±0,07 Hari ke-8 1,05±0,33a 1,63±0,09b 1,69±0,03b 1,66±0,1b 1,73±0,03b Hari ke-12 0,83±0,03a 1,7±0,02b 1,68±0,06b 1,7±0,02b 1,66±0,04b * Notasi huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05). 1.6.8. Pertumbuhan Panjang dan Berat Pengukuran panjang dan berat ikan menunjukkan bahwa pemberian alginat secara oral tidak menghambat pertumbuhan lele. Pertambahan panjang ikan jika dibanding dengan awal tebar meningkat antara 0,18-0,40% /hari. Sedangkan untuk peningkatan berat ikan berkisar antara 0,45-2,19% /hari. Hasil uji sidik ragam terhadap laju pertumbuhan spesifik (SG) menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata (P>0,05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pemberian alginat pada dosis 2, 6, 8 g/kg pakan dan ada beda nyata (P<0,05) pada perlakuan pemberian alginat pada dosis 4 g/kg pakan. Hasil pengukuran panjang dan berat dapat dilihat pada Tabel 4.14 dan Tabel 4.15.
39
Tabel 4.14 Spesific Growth Rate (SGR) Panjang (cm) Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis Perlakuan Panjang SGR Panjang (%) Awal Akhir K (0 g Alginat/kg pakan) 25,25±0,75 26,5±0,75 0,40±0,001 P1 (2 g Alginat/kg pakan) 25,73±0,72 26,3±0,83 0,18±0,001 P2 (4 g Alginat/kg pakan) 25,13±0,22 26,25±0,35 0,36±0,001 P3 (6 g Alginat/kg pakan) 26±0,94 26,95±0,9 0,30±0,001 P4 (8 g Alginat/kg pakan) 0,30±0,001 26±0,35 26,95±0,19 Tabel 4.15 Pertumbuhan Berat (g) Lele dengan Pemberian Alginat Secara Oral pada Berbagai Dosis Perlakuan Berat SGR Berat (%) Awal Akhir K (0 g Alginat/kg pakan) 114,1±5,37 120,5±6,58 0,45±0,001a P1 (2 g Alginat/kg pakan) 0,19±0,001a 124,3±14,3 127,13±17,9 P2 (4 g Alginat/kg pakan) 2,19±0,003b 108,8±8,67 141,38±11,87 P3 (6 g Alginat/kg pakan) 0,56±0,003a 128,8±8,84 137,75±8,47 P4 (8 g Alginat/kg pakan) 0,78±0,003a 123,63±6,2 135,75±10,9 * Notasi huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05). 1.6.9. Kualitas Air Pemeliharaan Hasil pengamatan kualitas air menunjukkan bahwa kualitas air masih dalam kisaran normal untuk kelangsungan hidup lele. Suhu air berkisar antara 25,2-27ºC, pH berkisar antara 7,11-7,96, kadar oksigen (DO) berkisar antara 3,82-6,89 mg/L, kandungan CO2 berkisar antara 3,8-8,23 dan kandungan ammonia (NH3) berkisar antara 0,0015-0,009 mg/L. Hasil pengamatan kualitas air dapat dilihat pada Tabel 4.16. Tabel 4.16 Pengamatan Kualitas Air Selama Pemeliharaan Parameter Kualitas Air Bak Suhu (ºC) pH DO (mg/L) CO2 (mg/L) 1 2 3 4 5
25,2-25,5 25,2-26,5 25,2-27 25,2-26,5 25,2-27
7,11-7,7 7,7-7,8 7,3-7,7 7,7-7,8 7,7-8
5,5-6,44 3,82-5,5 4,12-5,5 5,5-6 5,5-6,9
40
4,4-8,23 4,4-6,41 4,4-7,35 4,4-8,31 3,8-4,4
NH3 (mg/L) Awal Akhir 0,0015 0,007 0,0015 0,008 0,0015 0,006 0,0015 0,005 0,0015 0,009
2. Pembahasan Alginat adalah senyawa polimer dari kelompok polisakarida yang terdapat dalam susunan dinding sel rumput laut cokelat sebagai komponen utama. Polimer alginat merupakan kopolimer linear dari unit monomer D-manuronat dan L-guluronat (Basmal et al., 2013). Altun et al. (2010) menyatakan bahwa pemberian sodium alginat (Sigma Aldrich A2033, Germany) dan Poly (lactide-co-glycolide) mampu meningkatkan sintasan ikan rainbow trout. Pernyataan yang sama dikemukakan oleh Chiu et al. (2008), yang melaporkan bahwa pemberian sodium alginat dapat meningkatkan parameter kekebalan non-spesifik dan sintasan larva kerapu macan yang diuji tantang dengan Streptococcus sp. dan Iridovirus sp. Efektiftas pemberian alginat dalam meningkatkan kekebalan non-spesifik lele dapat diketahui dengan pengamatan hematologi ikan. Menurut Anderson (2004) dan Perera & Pathiratne (2008), dengan pengamatan hematologi ikan, maka akan dapat dievaluasi mekanisme pertahanan non-spesifik lele pada ikan. Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah nitroblue tetrazoium (NBT), aktifitas fagositosis (AF), indeks fagositosis (IF), jumlah sel darah putih (SDP), deferensiasi leukosit, total protein plasma (TPP), hematokrit leukokrit dan pertumbuhan spesifik (SGR) lele. Mekanisme immunostimulan dalam mempengaruhi sistem imun nonspesifik adalah dengan merangsang aktivitas makrofag untuk memproduksi interleukin yang akan menggiatkan sel limfosit untuk berdiferensiasi menjadi sel T dan sel B. Selanjutnya dijelaskan bahwa limfosit T memproduksi interferon yang meningkatkan kemampuan makrofag sehingga dapat melakukan aktivitas fagositosis bakteri, virus dan partikel asing lain yang masuk ke tubuh. Masuknya immunostimulan juga merangsang makrofag untuk lebih banyak memproduksi lisozim dan komplemen. Interleukin juga menggiatkan limfosit B untuk memproduksi lebih banyak antibodi. Mekanisme ini biasanya terlihat dari peningkatan aktifitas fagositosis. Efek biologi dari penggunaan immunostimulan sangat dipengaruhi oleh reseptor pada sel target yang mengenali immunostimulan sebagai molekul asing yang dapat menstimulasi sistem pertahanan ikan (Sakai, 1999; Li et al., 2008). Nilai NBT dipengaruhi oleh adanya aktivitas fagositosis (AF). Mekanisme fagosit oleh makrofag secara umum dapat digolongkan menjadi oxygen-dependent atau oxygenindependen. Mekanisme fagosit oxygen dependen secara tidak langsung dapat diamati melalui uji chemiluminescence dan NBT (Sakai, 1999). Makrofag dan neutrofil yang 41
teraktivasi memiliki kemampuan untuk menghasilkan oksigen dan nitrogen reaktif (ROS dan RNS) yang bersifat toksik terhadap beragam spesies bakteri dan protozoa. Proses pembentukan ROS dan RNS yang diaktivasi oleh proses opsonisasi menyebabkan terjadinya ledakan respiratory (respiratory burst) dengan pembentukan anion superoksida (O2-) oleh kompleks NADPH-oksidase yang nantinya dikonversi menjadi hidrogen peroksida (H2O2), dimana hidrodgen peroksida memiliki sifat bakterisidal kuat (Irianto,2005). Hasil anasilis menunjukkan bahwa pemberian alginat secara oral pada berbagai dosis tidak berpengaruh pada peningkatan nilai NBT. Aktivasi neutrofil dan sel-sel fagositosis lainnya mampu menghasilkan absorbansi 20-30% lebih tinggi yang menunjukkan produksi oksigen radikal lebih tinggi untuk pertahanan. Pemberian alginat dengan dosis 1 dan 2 g/kg pakan dapat meningkatkan nilai NBT secara signifikan pada ikan kerapu pada minggu kedua dan keempat (Harikrishnan, 2010; Nan et al., 2015). Biller-Takahashi et al. (2014), melaporkan bahwa pemberian glucan secara oral pada lele mampu meningkatkan nilai NBT selama 30 hari, namun tidak demikian pada hari selanjutnya hingga hari ke-45. Nilai NBT dipengaruhi oleh adanya aktivitas fagositosis. Selama terjadinya proses fagositosis, makrofag melakukan aktifitas respirasi besarbesaran (respiratory burst) menghasilkan Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang bersifat toksik terhadap patogen. Enzim NADPH oksidase berperan penting dalam proses menghasilkan anion superoksida (O2-) yang nantinya dikonversi menjadi hidrogen peroksida (H2O2) yang dapat membunuh bakteri (Irianto, 2005; Abreu et al., 2009). Kumar et al. (2014) menambahkan bahwa pemberian I-carrageenan dengan dosis 10 g/kg pakan dapat meningkatkan nilai NBT juvenil Labeo rohita dengan masa pemeliharaan selama enam puluh hari. Sedangkan Liu et al. (2006), menyatakan bahwa pemberian Sodium alginat komersil (Kimitsu chemical industries, Japan) dengan dosis 2 g/kg pakan pada post larva udang windu tidak menunjukkan pengaruh terhadap peningkatan nilai NBT. Isnansetyo et al. (2014) menambahkan bahwa pemberian asam alginat dari Sargassum sp. secara oral dengan dosis 4 & 6 g/kg pakan dapat meningkatkan sistem pertahanan non-spesifik lele dan memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai NBT pada hari kelima pengamatan akan tetapi mengalami penurunan pada hari kesepuluh dan kelima belas. Hasil pengamatan aktifitas fagositosis (AF) menunjukkan bahwa pemberian alginat dari Sargassum sp. menunjukkan peningkatan nilai AF yang signifikan pada 42
pengamatan hari kedelapan, kedua belas dan keenam belas. Peningkatan AF ditunjukkan pada pemberian dosis alginat 4 g dan 8 g/kg pakan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian alginat dari Sargassum sp. pada dosis tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan AF. Baratawidjaja (2004), menyatakan bahwa peran AF dalam pertahanan non-spesifik dilakukan oleh sel mononuclear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear atau granulosit. Penghancuran kuman (patogen) terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut, kemotaksis, menangkap, memakan (fagositosis), membunuh dan mencerna. Irianto (2005) menambahkan bahwa sel fagosit juga akan berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik lain. Kumari & Sahoo (2006c) menyatakan bahwa range normal aktifitas fagositosis C. batrachus berkisar 33-72%. Yeh et al. (2008) menyatakan bahwa pemberian sodium alginat dari Lessonia nigrescens dengan dosis 2 g/kg pakan dapat meningkatkan aktifitas fagositosis pada kerapu lumpur yang diinfeksi dengan Streptococcus sp. dan Iridovirus sp. selama dua belas hari masa pemeliharaan. Penelitian Johnny et al. (2010) menyatakan bahwa pemberian immunostimulan berupa peptidoglikan sebanyak 0,1 ml/ekor ikan secara intramuskular pada kerapu macan dapat meningkatkan AF, IF dan aktivitas lisozim dan meningkatkan sintasan ikan sebesar 72% setelah dilakukan uji tantang terhadap Iridovirus sp. setelah 60 jam penyuntikan. Sedangkan Eissa et al. (2008) menyatakan bahwa pemberian
sodium alginat dari alga cokelat Undaria pinnatifida dan
Macrocystis pyriter dengan dosis 0,5, 1 dan 2 g/kg pakan menunjukkan bahwa pemberian sodium alginat tidak berpengaruh terhadap peningkatan aktifitas fagositosis pada ikan nila yang diinfeksi A. hydrophila. Indeks fagositosis (IF) merupakan jumlah bakteri yang mampu difagosit oleh satu sel makrofag. Hasil pengamatan IF menunjukkan ada beda nyata (P<0,05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pemberian alginat pada dosis 4 g/kg pakan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian alginat dari Sargassum sp. berpengaruh terhadap peningkatan IF. Irianto (2005) menyatakan bahwa nilai IF biasanya dipengaruhi oleh peran komplemen dalam meningkatkan aktivitas fagositik melalui peningkatan frekuensi pelekatan komponen kompleks antigen-antibodi untuk melekat pada reseptor sel-sel fagosit dan merangsang opsonisasi sel-sel yang diselubungi antibodi. Baratawidjaja (2004) menambahkan bahwa tinggi rendahnya indeks fagositosis juga dapat menjadi parameter meningkatnya sistem pertahanan tubuh ikan dengan adanya mekanisme peningkatan fungsi sel-sel fagosit, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. 43
Pemberian sodium alginat dengan dosis 1 g/kg pakan pada ikan kerapu macan yang diinfeksi oleh bakteri V. alginolyticus menunjukkan peningkatan IF, AF dan NBT yang signifikan pada hari keempat puluh dua pemeliharaan akan tetapi mengalami penurunan pada hari berikutnya (Cheng et al., 2008). Penelitian Abdulkhalek et al. (2008), menunjukkan bahwa pemberian Immunoton® dengan dosis 150 mg/kg pakan dapat mempengaruhi peningkatan nilai aktifitas fagositosis dan indeks fagositosis nila O. niloticus. Leukosit atau sel darah putih pada ikan merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh yang bersifat non-spesifik. Sel-sel ini berfungsi untuk memangsa patogen yang masuk ke dalam tubuh. Pada umumnya bentuk sel darah putih bulat atau lonjong dan secara alami tidak berwarna. Jumlah leukosit normal berkisar antara 20.000-150.000 sel/ml. Peningkatan jumlah leukosit merupakan suatu indikasi utama adanya infeksi dan stress (Perera & Pathiratne, 2008). Mekanisme fisiologik imunitas non-spesifik berupa komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkan mikroba tersebut. Jumlah komponen imunitas non-spesifik dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit (Baratawidjaja, 2004). Jumlah leukosit pada awal pengamatan berkisar antara 7,8 x106 - 12,0 x106 sel/ml. Sedangkan pada akhir pengamatan jumlah sel darah putih lele yang diberi perlakuan alginat pada berbagai dosis antara 7,74 x106 - 8,93 x106 sel/ml. Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa tidak adanya beda nyata (P>0,05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis. Indikasi tersebut menunjukkan bahwa pemberian alginat dari Sargassum sp. secara oral tidak berpengaruh terhadap peningkatan jumlah sel darah putih lele. Penelitian Abdulkhalek et al. (2008), menunjukkan bahwa pemberian levamisol dengan dosis 225 mg/kg pakan dapat mempengaruhi jumlah leukosit ikan nila (O. niloticus) pada minggu kedua pemeliharaan dan mengalami penurunan pada minggu berikutnya. Sedangkan penelitian Ahmadi et al. (2012), menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dari Silybum marinum dengan dosis 0,4 g/kg pakan berpengaruh terhadap peningkatan total leukosit juvenil rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) pada lima belas hari pengamatan dan menurun pada pengamatan hari berikutnya. Selain parameter yang berkaitan dengan sel darah, kondisi kesehatan ikan juga dapat diketahui dengan menggunakan kadar protein yang terdapat dalam plasma ikan. 44
Kadar protein plasma pada ikan yang sehat berkisar antara 30-50 mg/ml plasma. Bila protein plasma rendah, maka dapat diduga bahwa ikan tersebut mengalami kekurangan nutrisi atau menderita infeksi kronis. Sebaliknya, bila kadar protein lebih tinggi dari kadar normal mununjukkan bahwa ikan tersebut mengalami infeksi pada tahap awal, atau respon positif setelah pemberian immunisasi (Perera & Pathiratne, 2008). Fujaya (2004) menyatakan bahwa protein plasma juga berfungsi untuk menjaga viskositas darah. Hasil pengamatan total protein plasma menunjukkan bahwa pemberian alginat tidak berpengaruh terhadap peningkatan nilai total protein plasma (P>0,05) dari awal hingga akhir pengamatan. Hasil pengamatan antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pemberian alginat dari Sargassum sp. juga menunjukkan hasil yang sama. Nilai total protein plasma pada awal pengamatan berkisara antara 64,3-92,8 mg/ml plasma, sedangkan setelah perlakuan nilai total protein plasma cenderung lebih rendah dengan kisaran nilai 38,7-67,2 mg/ml plasma. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian immunostimulan tidak berpenaguh terhadap peningkatan nilai total protein plasma, melainkan menjaga kadar protein plasma dalam tubuh pada range yang normal. Salaisa et al. (2011) menyatakan bahwa kadar total protein plasma ikan normal anatara 33,251,0 mg/ml plasma, sedangkan Abalaka (2013), menambahkan bawa kadar normal protein plasma pada lele C. gariepinus yaitu 30,12 mg/ml plasma. Myburgh et al. (2008) menambahkan bahwa kisaran nomal nilai protein plasma lele C. gariepinus berkisar antara 34,4-58 mg/ml plasma. Ghaednia et al. (2011), menyatakan bahwa pemberian ekstrak S. glaucescens dengan dosis 100 mg/L dapat meningkatkan kadar total protein plasma udang putih F. indicus dengan nilai TPP yaitu 94,34 mg/ml plasma. Nilai TPP tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol yaitu 74,15 mg/ml plasma. Leukosit dapat dibagi menjadi empat bagian besar yaitu granulosit, limfosit, monosit dan trombosit. Ikan memiliki pertahanan bawaan berupa sel-sel fagositik yang utamnya terdiri dari monosit, makrofag dan granulosit (leukosit granular) (Irianto, 2005). Granulosit ditandai dengan adanya granula-granula didalam sitoplasma yang dapat/tidak dapat menyerap pewarnaan yang diberikan. Granulosit dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu nuetrofil (tidak menyerap pewarnaan asam atau basa), eosinofil (menyerap pewarnaan asam), dan basofil (menyerap pewarnaan basa). Jumlah granulosit dalam darah ikan bervariasi antara 4-60% dari total jumlah sel darah putih 45
dan tergantung dari jenis ikannya. Sel-sel fagosit akan mengenali dan menelan partikelpartikel antigen, termasuk bakteri dan sel-sel inang yang rusak melalui tiga tahapan proses yaitu pelekatan, fagositosis dan pencernaan. Ketika mengalami aktivasi, makrofag memiliki kapasitas fagositosis lebih kuat dibanding granulosit, meskipun merupakan komponen yang signifikan dalam rangkaian pertahanan diri inang melalui proses fagositik. Limfosit merupakan jenis sel darah putih yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh. Bila menyentuh material asing, limfosit akan memperbanyak diri dan mensekresikan antibodi immunoglobulin dalam jumlah besar. Limfosit tidak bersifat fagositik tapi memegang peranan penting dalam pembentukan antibodi. Jumlah limfosit dalam darah ikan dapat mencapai 80% dari total jumlah sel darah putih (Salasia et al., 2001; Affandi & Tang, 2002; Ahmadi et al., 2012; Andayani et al., 2014). Kekurangan limfosit dapat menurunkan konsentrasi antibodi dan menyebabkan meningkatnya serangan penyakit (Fujaya, 2004). Pada ginjal ikan teleostei, ditemukan adanya limfosit mirip sel T dan sel B yang menunjukkan jaringan limfoid ginjal dan mekanisme pertahanan tubuh (Irianto, 2005). Hasil uji sidik ragam persentase limfosit menunjukkan adanya beda nyata (P<0.0,5) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis. Persentase limfosit pada perlakuan kontrol dari awal hingga akhir pengamatan berkisar antara 53-60%, sedangkan perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis berkisar antara 61-75%. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian alginat dari Sargassum sp. secara oral pada berbagai dosis dapat meningkatkan persentase limfosit. Stress dapat menimbulkan gangguan respon imun non-spesifik (pertambahan jumlah sel dan perubahan bentuk menjadi sel T dan sel B). Stress juga memacu keluarnya hormon kortisol yang dapat menekan sistem imun (immunosupresif) setelah dirangsang dan dapat menimbulkan depresi limfosit, makrofag dan leukosit (Skjermo et al., 2002). Monosit merupakan sel yang berfungsi untuk memangsa (fagosit) materi-materi asing yang masuk kedalam tubuh, termasuk mikroorganisme patogen. Jenis sel ini mempunyai sifat fagositosis yang jauh lebih tinggi daripada granulosit. Jumlah monosit dalam darah lele mencapai 1-8% dari total sel darah putih (Gabriel et al., 2004; Akinyemi et al., 2012; Agbabiaka et al., 2013; Akinrotimi et al., 2013; Erhunmwunse & Ainerua, 2013). Pada monosit atau makrofag, pelekatan dan penelanan antigen diperantarai oleh beragam reseptor-reseptor permukaan membran, termasuk LPS yang 46
merupakan komponen karbohidrat penyusun dinding sel bakteri G-Negatif (Irianto, 2005). Monosit pada umumnya ditemukan di dalam sirkulasi darah, dan dalam jumlah sedikit terdapat pada limfonodus, limfa, sumsum tulang dan jaringan penunjang pada vertebrata yang lebih tinggi tingkatnya (Vonti, 2008). Hasil uji sidik ragam persentase monosit menunjukkan adanya beda nyata (P<0,05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian alginat dari Sargassum sp. pada berbagai dosis berpengaruh terhadap penurunan jumlah monosit lele. Salasia et al. (2001) dan Andayani et al. (2014), menyatakan bahwa jumlah monosit ikan berkisar antara 7-30% dan pada ikan lele dapat mencapai 15% dari total jumlah leukosit. Berdasarkan hasil pengamatan persentase monosit dari awal hingga akhir pengamatan pada perlakuan kontrol berkisar antara 10-14%, sedangkan perlakuan pemberian alginat berkisar antara 3-7%. Proporsi monosit sangat rendah dalam populasi leukosit, akan tetapi dapat meningkat sekitar 38% dalam waktu singkat bila terjadi infeksi. Monosit diduga berfungsi sebagai makrofag dan menghancurkan benda-benda asing yang masuk kedalam tubuh. Fagositasi oleh neutrofil dilakukan dengan mendekati partikel yang akan difagositasi dengan cara mengeluarkan pseudopodi ke segala arah sekitar partikel, selanjutnya pseudopodi satu sama lain saling bersatu pada tempat yang berlawanan. Satu sel nuetrofil dapat mempagosit 5-20 bakteri sebelum neutrofil menjadi tidak aktif dan mati (Fujaya, 2004). Hasil pengamatan persentase neutrofil lele menunjukkan ada beda nyata (P<0,05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis. Persentase neutrofil lele pada perlakuan kontrol cenderung lebih tinggi yaitu 15-19% jika dibanding dengan perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian alginat dari Sargassum sp. berpengaruh terhadap penurunan persentase neutrofil lele dan cenderung lebih konstan pada kisaran 11-17% (Agbabiaka et al., 2013; Satrisno et al., 2013). Affandi & Tang (2002), menyatakan bahwa persentase neutrofil di dalam darah ikan berkisar antara 6-8% dari total leukosit. Sedangkan Andayani et al. (2014), menyatakan bahwa persentase neutrofil lele berkisar 4% dari total sel darah putih. Neutrofil biasanya hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam sebelum bermigrasi. Buti-butir azurofilik (lisosom) mengandung hidrolase asam, mieloperoksidase dan neutromidase (lisozim), sedang butir-butir sekunder atau spesifik mengandung laktoferin dan lisozim (Baratawidjaja, 47
2004). Neutrofil menunjukkan aktivitas fagositik yaitu mampu menyerang dan membunuh bakteri, virus-virus dan agen-agen lain yang menyerang tubuh. Peran utamanya adalah pertahanan awal imunitas non-spesifik terhadap infeksi bakteri (Skjermo et al., 2002). Hasil uji sidik ragam persenatse eosinofil menunjukkan ada beda nyata (P<0,05) antara perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis dengan perlakuan kontrol. Persentase eosinofil untuk semua perlakuan alginat cenderung mengalami penurunan dari awal hingga akhir pengamatan yaitu berkisar antara 5-14%, sedangkan perlakuan kontrol cenderung konstan antara 11-15%. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis berpengaruh terhadap persentase eosinofil darah lele. Baratawidjaja (2004), menyatakan bahwa persentase eosinofil dalam darah mamalia berkisar antara 2-5% dari total leukosit, sedangkan Salasia et al. (2001), menambahkan bahwa persentase eosinofil dalam darah ikan berkisar antara 2,4-8% dari total leukosit. Fujaya (2004), mengemukakan eosinofil masuk ke dalam darah dalam jumlah besar setelah terjadi infeksi benda asing. Leukosit jenis ini berfungsi sebagai detoksikasi protein sebelum menyebabkan kerusakan dalam tubuh. Baratawidjaja (2004), menambahkan bahwa eosinofil mengandung berbagai ganular yang bersifat toksik apabila dilepas, dapat menghancurkan sel sasaran. Selain itu, eosinofil juga berperan pada imunitas terhadap parasit. Fungsi utama dari sel darah merah adalah untuk mengangkut hemoglobin yang berperan membawa oksigen dari insang atau paru-paru ke jaringan. Sel darah merah juga mengandung asam karbonat dalam jumlah besar yang berfungsi mengkatalisasi reaksi antara karbondioksida dan air, dengan demikian darah dapat bereaksi dengan karbondioksida dan mentranspornya ke jaringan insang. Selain terdapat sel darah merah, dalam darah juga terdapat sel darah putih dan terdiri atas tujuh jenis leukosit (Fujaya, 2004). Hematokrit dan leukokrit ikan merupakan salah satu komponen yang dapat digunakan untuk mnegetahui kondisi fisiologi ikan. Pengukuran nilai leukokrit menjadi indikator yang lebih baik daripada hematokrit dalam menunjukkan kondisi kesehatan ikan. Nilai hematokrit normal umumnya berkisar antara 20-45%, sedangkan nilai leukokrit normal adalah 1-2%. Meningkatnya kadar hematokrit dapat menunjukkan adanya suatu kontaminan, masalah dalam osmolaritas serta stress. Sedangkan menurunnya kadar hematokrit menunjukkan kontaminasi, kekurangan makanan, kekurangan vitamin atau terjadi infeksi. Pada leukokrit, bila kadar leukokrit 48
rendah, kemungkinan terjadi infeksi kronis, kualitas nutrisi rendah, kekurangan vitamin serta adanya kontaminan. Bila kadar leukokrit tinggi, kemungkinan terjadi karena tahap awal infeksi dan stress (Perera & Pathiratne, 2008). Hasil uji sidik ragam hematokrit menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata (P>0,05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan alginat pada berbagai dosis. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian alginat pada berbagai dosis tidak berpengaruh terhadap hematokrit dan lebih cenderung menunjukkan nilai yang normal yaitu berkisar antara 20-37%. Ahmadifar et al. (2009), menyatakan bahwa pemberian asam alginat pada dosis 2, 4 dan 6 g/kg pakan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar hematokrit juvenil beluga (Huso huso). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Kim et al. (2014), bahwa pemberian Sargassum fusiforme dan Ecklonia cava pada ikan mata sebelah/halibut (P. olivaceus) tidak berpengaruh terhadap peningkatan kadar hematokrit ikan uji. Hasil uji sidik ragam leukokrit menunjukkan bahwa adanya beda nyata (P<0,05) antara perlakuan kontrol dengan perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis. Kadar leukokrit pada perlakuan dari awal pengamatan yaitu 1,96% dan menurun pada akhir pengamatan yaitu 0,83%. Sedangkan perlakuan pemberian alginat pada berbagai dosis menunjukkan nilai yang cenderung normal yaitu berkisar antara 1,1-2%. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian alginat dari Sargassum sp. pada berbagai dosis berpengaruh terhadap leukokrit lele jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Penelitian Abdulhalek et al. (2008), menunjukkan bahwa pemberian levamisol pada dosis 225 mg/kg pakan dan immunoton pada dosis 1 g/kg pakan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan spesifik ikan nila (O. niloticus) dengan persentase masing-masing yaitu 0,326%/hari dan 0,378%/hari dan masa pemeliharaan 28 hari. Sedangkan penelitian Ahmadifar et al. (2009), menunjukkan bahwa pemberian asam alginat dengan dosis 4 g/kg pakan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan spesifik juvenil beluga (Huso-huso) yaitu dengan persentase 2,18% pada masa pemeliharaan selama 60 hari. Ayala et al. (2011), menambahkan bahwa pemberian sodium alginat dengan dosis 20 g/kg yang diaplikasikan pada sea bream (Sparus aurata) tidak memberikam pengaruh terhadap pertumbuhan spesifik dan nilai yang dihasilkan cenderung sama dengan perlakuan kontrol. Pemberian immunostimulan berupa Allium sativum (bawang putih) dan cynodon dactylon (rumput bermuda/gulma) dan sodium alginat dari alga cokelat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan spesifik lobster 49
air tawar (Procambarus clarkii) (Mona et al., 2015). Hasil pengamatan berat lele selama masa pemeliharaan menunjukkan adanya pengaruh pemberian pada dosis 4 g/kg pakan alginat dari Sargassum sp. terhadap persentase pertumbuhan spesifik lele. Kondisi fisiologis ikan juga dipengaruhi oleh konsisi lingkungan. Dalam hal ini dilakukan pengamatan kualitas air selama pemeliharaan yang ditujukan untuk mengetahui dan menjaga kualitas air agar tetap optimal bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Hasil pengamatan suhu air selama masa pemeliharaan berkisar 25,2-27 ºC, pH berkisar antara 7,11-7,89 dan nilai amonia berkisar antara 0,0015-0,009 mg/L. Kisaran nilai pada ketiga parameter tersebut sudah sesuai dengan kisaran optimal bagi pemeliharaan ikan (Fujaya, 2004; Fadhil et al., 2011; Simatupang & Anggaini, 2013). Suhu air sangat berpengaruh terhadap metabolisme dan pertumbuhan organisme serta mempengaruhi persentase jumlah pakan yang dikonsumsi organisme perairan. Suhu juga dapat mempengaruhi ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, jika ketersediannya di dalam air tidak mencukupi maka aktivitas ikan akan terhambat. Limbah budidaya ikan yang merupakan hasil aktivitas metabolisme banyak mengandung ammonia (Effendi, 2003). Ikan mengeluarkan 80-90% ammonia (N-anorganik) melalui proses osmoregulasi, sedangkan dari feses dan urine sekitar 10-20% dari total nitrogen. Akumulasi ammonia pada media budidaya merupakan salah satu penyebab penurunan kualitas perairan yang dapat berakibat pada kegagalan produksi budidaya. Pengaruh yang berbahaya dari ammonia yaitu berhubungan dengan nilai pH dan suhu air. Kandungan ammonia hasil metabolisme yang meningkat cenderung menyebabkan gangguan yang bersifat fisiologis dan memicu stres pada ikan (Wijaya et al., 2014; Dauhan et al., 2014). Menurut Affandi & Tang (2002), stress pada ikan bisa disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk dan tidak nyaman bagi kehidupan ikan, seperti kondisi oksigen perairan yang kurang, kelebihan CO2 didalam air pad pH yang ekstrim. Kandungan oksigen terlarut (DO) selama pemeliharaan berkisar antara 3,82-6,89 mg/L, sedangkan nilai CO2 berkisar antara 3,8-8,23 mg/L. Kisaran DO normal untuk perairan adalah 37,84 ppm (Fujaya, 2004), sedangkan kisaran DO yang optimal untuk pertumbuhan lele adalah >3 ppm (Fadhil et al., 2011). Kandungan CO2 dalam perairan untuk pertumbuhan ikan yang optimal adalah <50 ppm (Fujaya, 2004). Kisaran CO2 yang dapat ditoleransi oleh lele menurut Yanto et al. (2015) adalah <6 ppm, sedangkan Alamanda et al. (2007) menyatakan nilai optimum CO2 adalah <12 ppm. Secara umum, 50
kisaran parameter kualitas air pemeliharaan selama pengamatan masih berada dalam batas aman untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan lele. Secara keseluruhan, pemberian alginat dari Sargassum sp. secara oral dengan dosis 4 g/kg pakan mampu meningkatkan sistem imun non-spesifik lele (Clarias sp.) hal ini ditunjukkan dengan peningkatan aktifitas dan indeks fagositosis, diferensiasi leukosit serta leukokrit lele. Hal yang sama juga dilaporkan Isnansetyo et al. (2014) dimana pemberian asam alginat dari Sargassum sp. dengan dosis 4 dan 6 g/kg pakan secara signifikan dapat meningkatkan parameter imun non-spesifik lele (Clarias sp.) yang meliputi parameter nitroblue tetrazoleum (NBT) dan persentase monosit. Aktivitas NBT memberikan efek yang signifikan terjadi pada minggu kedua pengamatan dan mengalami penurunana pada minggu selanjutnya.
51