PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berbadan hukum koperasi telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Tenaga kerja yang diserap industri rumah tangga (yang merupakan bagian dari usaha mikro sektor perindustrian) dan industri kecil pada tahun 2000, mencapai 65,38% dari tenaga kerja yang diserap sektor perindustrian nasional. Pada tahun yang sama sumbangan usaha kecil terhadap total PDB mencapai 39,93% (BPS, 2001). Lembaga keuangan mikro mampu bertahan menghadapi goncangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Indikator keberhasilannya serapan tenaga kerja antara kurun waktu sebelum krisis dan ketika krisis berlangsung tidak banyak berubah, dan pengaruh negatif dari krisis terhadap pertumbuhan jumlah usaha mikro dan kecil adalah lebih rendah dibanding pada usaha menengah dan besar. Usaha mikro dan usaha kecil telah berperan sebagai buffer dan katup pengaman (savety valve) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyediakan alternatif lapangan pekerjaan bagi para pekerja sektor formal yang terkena dampak krisis1. Di Nanggroe Aceh Darussalam pasca tsunami 26 Desember 2004 fungsi dan peran maksimal LKM sangat dibutuhkan untuk pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro komunitas korban. Namun keterlibatan LKM dan koperasi usaha mikro dalam proses pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro korban tsunami masih kecil. Momentum pasca tsunami seharusnya dimanfaatkan dengan baik dalam upaya pemberdayaan serta peningkatan partisipasi komunitas korban dalam proses pembangunan secara berkelanjutan. Pada pasca tsunami, di Nanggroe Aceh Darussalam lapisan kaum miskin bertambah. Menurut Kompas, 6 November 2006. Pertama, pengangguran, kemiskinan baru semakin bertambah. Kedua, sektor produktif mengalami kerusakan sekitar AS$1,2 milyar, proyeksi penurunan perekonomian mencapai 5 persen lebih dari 100.000 pengusaha kecil kehilangan usahanya, lebih dari 4,717 perahu nelayan hilang, 20.000 hektar tambak rusak atau disfungsi, 60.000 hektar sawah pertanian rusak. Ketiga, bidang pendidikan, lebih dari 2.000 gedung sekolah rusak berat, lebih dari 2.500 orang guru meninggal dunia, masih banyak sekolah yang hancur yang belum selesai dibangun bahkan belum dimulai sama 1
Di analisis dari Laporan BPS tahun 2001 berkaitan dengan usaha kecil dan koperasi
2 sekali. Keempat, bidang kesehatan juga mengalami hal serupa, banyak masyarakat korban tidak mendapat pelayanan kesehatan yang baik pasca ditinggalkan oleh tenaga medis asing. Lebih dari 8 rumah sakit rusak dan hancur, 114 Puskesmas dan Puskesmas pembantu rusak dan hancur. Kelima, masalah social budaya yang belum tertangani dengan baik, termasuk pergantian suratsurat berharga masyarakat yang hilang akibat tsunami dan konflik. Menurut Imam Budi Utama staf GTZ (Serambi, 22 Juni 2006), pada seminar ekonomi yang selenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (Himadipa) bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) di Balai Sidang Fakultas Ekonomi Unsyiah; bahwa Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berperan penting terhadap perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Nanggroe Aceh Darussalam. Sebanyak 70 persen populasi pekerja di Aceh adalah wiraswasta yang terlibat dalam kegiatan ekonomi informal, yang bergantung terhadap sektor UMKM. Dengan komunitas miskin yang mencapai 2 juta jiwa (53 persen), kini Nanggroe Aceh Darussalam menjadi salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Berdasarkan data dari BPS, tercatat bahwa tingkat pengangguran di Nanggroe Aceh Darussalam meningkat dari 9,86 persen tahun 2004 menjadi 12,50 persen pada tahun 2005. Bahwa 10 dari 21 kabupaten-kota memiliki tingkat kemiskinan di atas 50 persen.2 Pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro melalui LKM di Aceh pasca tsunami tanpa kemandirian dalam basis perekonomian komunitas korban tsunami tidak akan bertahan lama. Selama perekonomian komunitas lokal bergantung kepada perekonomian nasional dan internasional serta warga komunitas lokal tidak mempunyai wewenang untuk mengaturnya, maka akan terjadi pembatasan kemandirian komunitas lokal dalam berbagai bidang. Kemandirian komunitas korban diartikan sebagai komunitas yang mengutamakan nilai-nilai sosial untuk dapat hidup terus bersandar pada sumberdaya yang dimilikinya. Kemadirian yang dimiliki komunitas korban dalam sebuah Gampong merupakan
kesempatan
untuk
mengembangkan
prakarsa,
inisiatif,
dan
partisipasi aktif dalam proses pembangunan serta pemenuhan kebutuhan mereka sesuai dengan potensi lokal yang tersedia. Berbagai potensi sumberdaya
2
Dalam seminar tersebut dibahas secara mendalam tentang prospek ekonomi mikro di Aceh Pasca Tsunami 21 Juni 2006 di Banda Aceh yang dimuat oleh Koran Harian Serambi Indonesia 22 Juni 2006
3 yang
tersedia
dapat
dikelola,
dimanfaatkan
dan
dikembangkan
secara
berkelanjutan guna meningkatkan keberdayaan komunitas korban. Tanpa partisipasi aktif komunitas, pemberdayaan dan pengembangan tidak akan berhasil. Partisipasi merupakan komponen penting dalam membangkitkan kemandirian komunitas lokal dalam proses pemberdayaan dan pengembangan. Pemberdayaan dan partisipasi merupakan komponen yang menjadi pusat perhatian
dalam
proses
pembangunan
dan
pengembangan
komunitas.
Partisipasi dan pemberdayaan merupakan strategi yang potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi mikro, sosial, dan transformasi budaya. Proses ini pada akhirnya
dapat
menciptakan
program-program
pemberdayaan
dan
pengembangan komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan komunitas atas dasar aspirasi komunitas sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Keterlibatan komunitas korban dapat dikembangkan lebih luas tidak terbatas sebagai pelaksana dan penerima manfaat dari program pemberdayaan dan pengembangan. Tetapi diharapkan secara aktif dapat terlibat langsung dalam pelaksanaan program-program yang dilaksanakan di Gampong. Untuk merealisasikan hal tersebut diperlukan peran aktif dari berbagai kelembagaan yang ada di Gampong serta melakukan evaluasi dan kontrol atas pelaksanaan berbagai program yang ada. Untuk menunjang peran partisipasi aktif dari komunitas korban, diperlukan adanya kelembagaan yang dibentuk oleh komunitas sendiri (botton up), bukan lagi bentukan dari pemerintah (top down). Sehubungan dengan itu, diperlukan langkah-langkah baik dari pemerintah, BRR Aceh-Nias, NGO, lembaga donor (stakeholders) maupun komunitas lokal sebagai upaya untuk meningkatkan keberdayaan ekonomi komunitas dalam mengembangkan potensi sumberdaya yang tersedia dengan tetap menjaga keberlanjutan program. Merehabilitasi dan merekonstruksi kembali puing-puing kehidupan ekonomi sosial budaya komunitas korban tsunami yang begitu masif untuk kehidupan layak dan normal bukanlah kerja biasa. Memerlukan penanganan yang tepat, sejak
mencari
pendekatan
metode,
perencanaan,
sosialisasi
hingga
implementasi lapangan. Memulai hidup dari puing-puing kehancuran, adalah sebuah permulaan yang sangat berat. Oleh sebab itu nasib korban tsunami yang disebut sebagai korban (victims) maupun yang selamat (survivors) perlu mendapatkan perhatian yang besar. Mereka memerlukan upaya pemulihan
4 selain pemulihan jiwa yang trauma, memerlukan pengakuan diri, mendapat tempat yang layak dalam masyarakat. Diperlukan pemulihan dan pemberdayaan ekonomi untuk mendorong perbaikan kehidupan mereka yang hancur. Pengembangan dan pemberdayaan ekonomi lokal merupakan salah satu cara mengatasi kemiskinan pasca tsunami. Korban tsunami yang sebelumnya memiliki usaha dalam perjalanannya menghadapi kendala kehancuran akibat tsunami. Maka diperlukan dukungan permodalan untuk normalisasi usaha ekonomi yang hancur. Hasil praktek lapangan II di Kecamatan Seunuddon Gampong Keude Simpang Jalan diketahui bahwa sebagian besar jenis pekerjaan komunitas korban adalah pedagang informal, kios, warung kopi, nelayan, petani tambak, petani garam, petani sawah dan peternak. Cara yang dapat dilakukan untuk memberdayakan sektor informal ini, khususnya yang terkait dengan permodalan yaitu dengan memberikan bantuan sosial dan modal usaha. Mereka merupakan segolongan komunitas yang jarang diperhatikan dan terjamah oleh program-program pemerintah, NGOs maupun lembaga donor lainnya. Walaupun ada stakehoders yang berperan dalam pemberdayaan ekonomi lokal belum mampu meningkatkan keberdayaan komunitas korban. Mereka hanya difungsikan sebagai obyek dalam program bukan sebagai subjek. Pemikiran ini mengisyaratkan upaya penting yang perlu dilakukan secara runtun dan simultan, yaitu upaya peningkatan suplai kebutuhan bagi para korban tsunami yang paling tidak berdaya, penyadaran, penguatan institusi, penguatan kebijakan, dan pengembangan jaringan. Dalam hal ini, para korban harus menjadi pelaku utama dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Untuk itu mesti diarahkan pada bagaimana komunitas dapat mengartikulasikan kebutuhannya dan mengembangkan kapasitasnya agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif sesuai dengan konteks lingkungan budaya lokal, adat istiadat setempat. Hasil praktek lapangan I-II di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon diketahui
bahwa
kondisi
kehidupan
ekonomi
komunitas
korban
belum
menunjukkan perubahan yang signifikan. Sumber matapencaharian komunitas korban 70 persen sebagai neleyan dan petani tambak lainnya pedagang kecil, petani sawah, petani garam dan peternak. Tingkat pendidikan masih rendah rata-
5 rata hanya tamatan Sekolah Dasar/SD. Angka kemiskinan meningkat di banding dengan penyandang masalah kesejahteraan sosial lain pasca tsunami.3 Program pengembangan dan pemberdayaan ekonomi komunitas korban melalui LKM/Koperasi dilaksanakan oleh BRR Aceh-Nias di bawah koordinasi Aceh Mikro Finance (AMF), merupakan amanah untuk menanggulangi atau normalisasi kondisi ekonomi akibat tsunami, yang tertuang dalam Blue Print pembangunan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam pasca tsunami. Berdasarkan hasil praktek lapangan I- II, diketahui bahwa besarnya dana yang dikucurkan untuk LKM/Koperasi oleh BRR Aceh-Nias kurang dirasakan manfaat secara berkelanjutan oleh komunitas korban. Adanya anggapan umum dalam komunitas korban bahwa bantuan tersebut tidak perlu dikembalikan (hibah) mengakibatkan sulitnya pengembalian sehingga dana tidak dapat digulirkan kepada anggota lain. Anggapan tersebut didasari oleh banyak NGO asing tahun pertama dan kedua tsunami memberikan modal usaha secara cumacuma (hibah). Selain itu, ada pihak-pihak yang kurang senang terhadap program tersebut mempengaruhi komunitas lain yang menerima bantuan dari LKM4. Program pemberdayaan melalui LKM, kurang dilandasi oleh pemahaman terhadap konsep pemberdayaan dan pengembangan ekonomi, sehubungan dengan hal itu maka pengkaji tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentang program pengembangan dan pemberdayaan ekonomi komunitas korban tsunami yang dijalankan oleh LKM di Nanggroe Aceh Darussalam. Hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi stakehoders dalam menjalankan program tersebut di Nanggroe Aceh Darussalam. Kajian ini merupakan satu rangkaian yang diawali dari kegiatan praktek lapangan satu dan dua (PL-I dan II) berupa pemetaan sosial dan evaluasi program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro komunitas, yang pengkaji lakukan pada lokasi penelitian yang sama dengan pengambilan judul ” Pemberdayaan dan Pengembangan komunitas korban tsunami melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon Kabupatan Aceh Utara.
3
Sesuai dengan monografi Gampong Keude Simpang Jalan tahun 2007. Akibat tsunami Monografi Gampong Keude Simpang Jalan belum terdata secara baik. Hanya diperoleh data-data umum. 4 Diketahui dari hasil wawancara yang dilakukan tidak hanya dengan komunitas korban namun juga dengan pengurus LKM termasuk pihak BRR Aceh-Nias, Ketua Dekopinda Aceh Utara dan AMF.
6
I.2. Rumusan Masalah Pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami tahun ke tiga pasca tsunami, menunjukkan adanya transformasi pilihan rekonstruksi dan rehabilitasi; mulai dari emergensi, rekonstruksi infrastruktur dan pasca tiga tahun tsunami mulai dioptimalkan dan diarahkan pada pemberdayaan ekonomi lokal. Tantangan besar adalah bagaimana menuntaskan proses pemberdayaan dan pengembangan ekonomi lokal komunitas korban. Proses pemberdayaan secara holistik komunitas korban ini tentu saja bukan sebuah proses yang mudah. Keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh struktur dan mekanisme dari proses pemberdayaan, tetapi juga oleh dukungan stakeholders. Dari hasil kegiatan praktek lapangan II, berkaitan dengan evaluasi program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro bagi komunitas korban tsunami melalui LKM berasama BRR Aceh-Nias, dapat ditemukan beberapa kendala berikut: a. Ketidaklancaran pembayaran sebagai akibat cara pandang komunitas korban terhadap setiap program pemberdayaan ekonomi sebagai bantuan dari pemerintah, BRR, NGO dan lembaga donor lain dianggap hibah. b. Citra LKM berbadan hukum koperasi yang negatif selama ini menjadi kendala utama dalam pelaksanaan lapangan. c. Kurang konsisten dalam menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku oleh LKM dan koperasi. d. Kualitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola masih rendah yang terlihat dari sistem dan manajemen LKM dan koperasi yang lemah. e. Kurangnya pemahaman dan sosialisasi bagi komunitas korban terhadap sistem operasional kelembagaan LKM dan koperasi. f.
Sistem pengawasan yang kurang efektif serta kualitas pembina koperasi, LKM lemah.
g. Selain itu keterlibatan dan partisipatif komunitas korban tsunami relatif kurang. h. Lembaga lokal seperti LKM sebagai pelaksana masih kurang memahami karakteristik, identitas keacehan, adat istiadat setempat. i.
Komunitas korban tsunami tidak dilibatkan secara langsung sejak awal program dijalankan. Program tersebut kurang efektif bahkan tidak tepat
7 sasaran. Program ini hanya menguntungkan pelaksana program menjadi proyek yang instant. j.
Keberlanjutan program dalam komunitas korban kurang mendapat perhatian. Ditambah lagi, belum ada contoh keberhasilan koperasi/LKM yang dibantu dengan dana BRR dan pemerintah. Muncul ancaman adanya kegagalan dalam mencapai tujuan program tersebut.
k. Tingkat kejujuran, keihklasan para pihak yang terlibat masih sangat rendah. Dari paparan hasil praktek lapangan II diatas, maka masalah yang akan dikaji adalah: a. Apakah strategi pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro oleh LKM ”Seunuddon Finance” mampu memberdayakan korban tsunami di Kecamatan Seunuddon. b. Bagaimana tingkat keberdayaan komunitas korban tsunami pasca tiga tahun tsunami. c. Bagaimana
prospek
keberlanjutan
program
pemberdayaan
dan
pengembangan ekonomi mikro bagi komunitas korban tsunami.
I.3. Tujuan Kajian Tujuan
pokok
kajian
ini
adalah
merumuskan
apakah
strategi
pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro oleh LKM seunuddon Finance mampu memberdayakan korban tsunami dan bagaimana tingkat keberdayaan korban tsunami serta proses keberlanjutan program. Untuk merumuskan strategi tersebut, maka secara khusus kajian bertujuan: a. Menganalisis
keberhasilan
dan
kelemahan
pelaksanaan
program-
program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro yang telah dilaksanakan di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon b. Menganalisis dampak dan tingkat keberdayaan korban tsunami setelah mendapat bantuan dari LKM Seunuddon Finance. c. Menganalisis
prospek
keberlanjutan
program
pemberdayaan
dan
pengembangan ekonomi mikro korban tsunami. d. Merumuskan strategi dan agenda pemberdayaan dan pengembangan ekonomi mikro korban tsunami.
8
1. 4. Kegunaan Kajian Hasil kajian pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami yang dilaksanakan di Gampong Keude Simpang Jalan Seunuddon, ada tiga tujuan umum yang hendak dicapai oleh dalam kajian ini, yaitu: a. Secara teoritis dan akademis, kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan gagasan baru yang dapat melengkapi studi-studi sebelumnya tentang komunitas korban dan kelembagaan lokal yang tumbuh secara partisipatif. b. Secara praktis, kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif berupa masukan dan rekomendasi bagi peningkatan pemahaman atau pengertian serta komunikasi komunitas dalam ingroup maupun outgroup dalam proses pembardayaan dan pengembangan komunitas tak berdaya itu sendiri. 1. Pemerintah Gampong Keude Simpang Jalan Kecamatan Seunuddon sebagai bahan masukan tentang bagaimana normalisasi ekonomi mikro pasca tsunami. 2. Lembaga-lembaga lokal, sebagai bahan dalam rangka mengatasi masalah ekonomi mikro pasca tsunami di NAD. 3. Keluarga korban tsunami, sebagai pengembangan peran untuk mengatasi masalah perekonomian keluarganya. 4. Bagi stakeholders seperti BRR, PEMDA, NGOs, negera donor yang terlibat dalam pemberdayaan dan pengembangan komunitas korban tsunami. 5. Para pekerja sosial sebagai fasilitator dalam proses pemberdayaan dan pengembangan ekonomi pasca tsunami. 6. Pengkajian wawasan
sebagai tentang
wahana teori
pembelajaran
dan
praktek
dan
penambahan
pemberdayaan
dan
pengembangan komunitas dengan harapan dapat mengembangkan suatu model pengembangan ekonomi mikro komunitas di daerah lain. c. Kegunaan strategis, diharapkan dapat memberikan kontribusi atas penyusunan strategi pelayanan sosial yang melibatkan banyak pihak dan bertumpu pada kemampuan dan kearifan lokal. Dengan demikian, perumusan kerangka strategis penanganan masalah-masalah sosial kemasyarakat tetap mempertimbangkan konteks lokal dalam persepektif pemberdayaan komunitas.