1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz) merupakan salah satu spesies tumbuhan hutan tropika yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Menurut Word Health Organisation (WHO) 1994 dalam Siswoyo dan Zuhud (1995), tanaman ini merupakan salah satu spesies yang termasuk dalam Health Book of Medicine, Traditional Medicine Division, WHO Genewa. Zuhud (2001) juga menyatakan bahwa pule pandak merupakan salah satu dari 40 jenis tumbuhan obat langka di Indonesia. Heyne (1987) tanaman tersebut digunakan secara tradisional, pemanfatan pule pandak sebagai obat tradisional digunakan untuk pengobatan sesak nafas, nyeri perut, murus, sakit kepala dan gigitan ular. Pule pandak juga dapat digunakan sebagai obat penurun panas, penurun tekanan darah tinggi, digigit ular, disentri, kolera, perut mulas, kehilangan selera makan, radang usus dan lain -lain. Saat ini kebutuhan bahan baku simplisia pule pandak masih dipenuhi dari hasil pemanenan langsung dari alam. Disisi lain kebutuhan akan bahan baku simplisia pule pandak baik dalam negeri maupun dari negara-negara industri farmasi, terus meningkat dan belum terpenuhi. Pemanfaatan tumbuhan obat ini diambil bagian akarnya dan dipanen hanya mengandalkan dari alam, dikhawatirkan akan terjadi keku rangan suplai bahan baku dan bahkan terjadi kepunahan.. Pada tahun 2000 permintaan akan bahan baku pule pandak mencapai 6.898 kg dengan trend pertambahan sebesar 25.89% per tahun (Data olahan Balitro, 1990 dalam Sandra dan Kemala, (1994). Pada saat ini tan aman tersebut baru dibudidayakan di Institut Pertanian Bogor dan di Taman Nasional Meru Betiri saja. Untuk dapat mengimbangi tingkat permintaan bahan baku simplisia pule pandak dan menyelamatkannya dari kepunahan, perlu dilakukan kegiatan konservasi. Untuk itu maka perlu produksi bibit secara masal dan terjamin kelestariannya, salah satu upayanya adalah melalui kultur in vitro. Untuk mendukung keberhasilan usaha perbanyakan tanaman yang diharapkan dapat memberikan manfaat yang optimal, maka diperlukan kajian tentang perbanyakan tanaman pule pandak secara embrio somatik.
2
Embrio somatik biasanya didapat dari organ generatif, yang dalam hal ini adalah biji yang merupakan hasil dari proses penyerbukan. Tetapi melalui kultur in vitro dapat juga dihasilkan embrio yang mempunyai struktur yang sama dengan embrio yang berasal dari biji. Aplikasi embrio somatik disamping untuk perbanyakan cepat, juga dapat dihasilkan jumlah bibit yang tidak terbatas jumlahnya, dan juga untuk mendukung program perbaikan tanaman. Untuk rekayasa genetik, embrio somatik lebih disukai karena tanaman berasal dari satu sel, sehingga akan memberikan kepastian hasil yang tinggi dengan mengurangi resiko dihasilkannya khimera. Untuk penyimpanan baik jangka pendek maupun jangka panjang embrio somatik diangggap merupakan bahan tanam yang ideal untuk disimpan karena bila diregenerasi dapat langsung membentuk bibit somatik. Dari hasil kajian tersebut diharapkan dapat diproduksi bibit secara masal dan dapat terjamin kelestariannya.
Perumusan Masalah Pule pandak merupakan tanaman penting sebagai bahan baku tanaman obat yang keberadaannya mendekati kepunahan. Perbanyakannya sudah dilakukan yaitu dengan cara konvensional melalui stek, biji dan perbanyakan secara modern dengan teknik kultur jaringan yang dilakukan dengan cara multiplikasi pucuk melalui kultur pucuk dan kultur mata tunas, perbanyakan ini dirasakan masih diperlukan teknologi yang lebih efisien dan efektif. Perbanyakan tanaman secara embrio somatik akan menghasilkan jumlah bibit persatuan wadah akan lebih banyak dari pada secara in vitro lainnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan perbanyakan tanaman secara embrio somatik adalah zat pengatur tumbuh (auksin, sitokinin dan giberellin ). Zat pengatur tumbuh khususnya auksin dan sitokin in adalah suatu zat utama yang mengendalik an proses morpogenesis didalam kultur jaringan. Pada metoda kultur jaringan, terbukti sel somatik dapat juga melakukan proses embriogenesis. Fenomena ini berhasil diamati pada tahun 50-an pada beberapa tanaman, sep erti kedelai, jagung, dan terutama pada wortel. Korteks wortel yang ditanam pada medium dasar White, sukrosa, dan 2, 4-D membentuk masa kalus, yang kemudian dipindahkan ke medium tanpa 2, 4-D. Ternyata sekumpulan sel
3
membelah teratur dan melalui tahapan normal embriogenesis yaitu tahapan globular, jantung, torpedo, dan kemudian menjadi pinak tanaman yang utuh. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa setiap sel pada tumbuhan masih memiliki kapasitas yang dipunyai oleh zigot darimana sel itu berasal, jadi hanya dengan memberikan rangsangan yaitu berupa lingkungan yang cocok terutama dari medium dan zat pengatur tumbuh tempat sel dikulturkan , maka sel tersebut akan mampu untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang utuh. Pemakaian zat pengatur tumbuh didasari oleh fungsi atau peranan dan kestabilan hormon. Zat pengatur tumbuh 2, 4-D dan thidiazuron diketahui sebagai pemacu pertumbuhan kalus. Oleh sebab itu perlu diketahui konsentrasi zat pengatur tumbuh yang harus ditambahkan kedalam media dalam menginduksi pertumbuhan embrio pada kultur pule pandak.
Kerangka Pemikiran Konsep kultur jaringan didasari oleh sifat totipotensi sel, yang pada mulanya orientasi kultur hanya untuk membuktikan teori totipotensi saja, namun kemudian pada perkembangannya teknik kultu r jaringan menjadi sarana penting dalam bidang fisiologi tumbuhan dan dalam aspek biokimia tumbuh-tumbuhan. Totipotensi didefinisikan sebagai sifat setiap sel yang dari manapun sumbernya untuk berdeferensiasi dan tumbuh membentuk individu yang sempurna apabila sel tersebut ditumbuhkan pada lingkungan yang sesuai (Katuuk, 1989). Secara umum mikropropagasi tanaman dilakukan dengan cara multiplikasi pucuk yang dapat dilakukan melalui kultur pucuk dan tunas, dinegara-negara maju seperti Jepang, teknik embrio somatik telah banyak dilakukan dengan menggunakan dorongan zat pengatur tumbuh yang lebih kuat dan mengkondisikan lingkungan yang memadai. Senyawa hormon yang banyak dilakukan adalah golongan auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh auksin, sitokinin dan giberellin adalah hormonhormon yang mempunyai peran ganda, dalam propagasi secara in vitro, hormonhormon tersebut sering digunakan karena mempunyai kemampuan untuk merangsang pertumbuhan eksplan dan mempengaruhi pertumbuhan akar.
4
Menurut Wetherell (1982) bahwa zat-zat pengatur tumbuh tersebut untuk setiap spesies dan masing-masing bagian tanaman sangat berbeda-beda, juga tergantung dari tujuan masing-masing tahap dalam propagasi. Embrio somatik secara in vitro adalah pembentukan embrio dari sel-sel non seksual yang dikulturkan. Dalam metode ini diduga pemberian jenis dan kosentrasi zat pengatur tumbuh tertentu akan mempengaruhi pertumbuhan eksplan yang ditanam. Pemberian jenis dan jumlah hormon tertentu yang tepat diharapkan menghasilkan embrio yang pertumbuhannya normal dan teratur, terbentuknya kalus atau sel-sel yeng tersuspensi dalam media kultur. Kalus atau sel-sel tersebut akan terus berkembang sehingga mencapai jumlah yang cukup banyak, sehingga sebagian besar dari sel-sel tersebut mulai memisah dan berubah menjadi embrio. Embrio ini dapat dilipat gandakan, dan masing-masing akan tumbuh menjadi tanaman normal. Embrio yang akan diperoleh dari hasil embriogenesis tersebut sangat banyak jumlahnya, kemudian melalui tahapan regenerasi akan membentuk planlet. Apabila planlet tersebut dilakukan proses aklimatisasi dan kemudian dibudidayakan secara baik, maka akan dapat dihasilkan tanaman pule pandak dalam jumlah yang sangat besar. Sebagian tanaman tersebut dapat diperbanyak kembali dan sebagian dapat dimanfaatkan sehingga kebutuhan tanaman pule pandak untuk tujuan komersial maupun konservasi baik dari segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas dapat terpenuhi.
5
Pemanfaatan akar pule pandak
Pule Pandak
Propagasi
Embrio Somatik
Tanaman mati/punah
Penambahan Hormon: •Auksin •Sitokinin •Gibberalin
tidak
Dosis tepat ya
Tidak tumbuh Embrio
Tumbuh Embrio
Regenerasi
Planlet Pemanfaatan
Pule Pandak
Budidaya
Aklimatisasi
Gambar 1 Kerangka pemikiran Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendapatkan dosis terbaik kombinasi thidiazuron + 2, 4–D dan kombinasi thidiazuron + giberellin dalam pembentukan embrio somatik pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz) melalui kultur in vitro.
Manfaat Penelitian Untuk mengetahui pengaruh penggunaan thid iazuron, 2, 4–D dan giberellin dalam pembentukan embrio somatik pule pandak dan memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan berupa ketersediaan data/ informasi mengenai kultur in vitro pule pandak (R serpentina) dalam perbanyakan tanaman secara cepat bagi industri obat tradisional maupun modern, sehingga secara tidak langsung dapat lestari dan berkelanjutan. Untuk jangka panjang diharapkan bentuk regenerasi embrio somatik dapat dibuat bersalut (coated) dengan gel yang mengandung nutrisi sehingga bentuknya menjadi seperti kapsul dan menjadi biji sintetik dan disamping itu ideal untuk cryopreservasi.
6
Hipotesis Pemberian kombinasi zat pengatur tumbuh thidiazuron + 2, 4–D dan pemberian kombinasi thidiazuron + giberellin memberikan pengaruh dalam pembentukan embrio somatik pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz).