1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Agenda revitalisasi pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan pertanian yang dicanangkan pada tahun 2005 merupakan salah satu langkah mewujudkan tujuan pembangunan yaitu mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan, yang difokuskan pada penataan kelembagaan penyuluhan pertanian, peningkatan kuantitas dan kualitas penyuluh pertanian, peningkatan kelembagaan dan kepemimpinan petani, peningkatan sistem penyelenggaraan penyuluhan pertanian, dan pengembangan kerjasama antara sistem penyuluhan pertanian dan agribisnis. Program ini berupaya memperbaiki sistem dan kinerja penyuluhan pertanian yang semenjak akhir 1990-an sangat menurun kondisinya. Salah satu tonggak untuk pelaksanaan revitalisasi ini adalah telah keluarnya Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) No. 16 Tahun 2006 tanggal 18 Oktober 2006. Dalam Undangundang (UU) ini disebutkan bahwa untuk lebih meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga pelaku pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu ikut berperan serta dalam melestarikan hutan dan lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. UU ini merupakan satu titik awal dalam pemberdayaan para petani melalui peningkatan sumberdaya manusia dan kelembagaan para penyuluh pertanian PNS, swasta, dan penyuluh pertanian swadaya. Berdasarkan Hubeis et al. (1998) dikatakan secara empiris penyuluhan pertanian melalui aktivitas penyuluh pertanian, merupakan ujung tombak keberhasilan pembangunan pertanian. Penyuluhan pertanian selama ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Latihan dan Kunjungan (LAKU). Sejak diberlakukannya
SKB
Mendagri-Mentan
Nomor
65
Tahun
1991-
539/Kpts/KP.430/9/91 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dan Petunjuk Pelaksanaannya, pola LAKU cenderung termodifikasi yang
2
menyebabkan penyuluhan pertanian menjadi mandeg atau bahkan mundur. Ruang lingkup tugas penyuluh pertanian lapangan (PPL) mengalami pergeseran dari konsep penyuluh polivalen menjadi penyuluh yang secara spesifik hanya menangani satu aspek (subsektor). Demikian pula dengan penyuluh di Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), terspesialisasi berdasarkan sektoral, yaitu: tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Menurut Mardikanto (2010b), di dalam perjalanan sejarah, sistem kerja LAKU tersebut tidak berlangsung seperti awal-awal kegiatan, terlebih setelah terjadi perubahan administrasi penyuluhan/pemberdayaan masyarakat sejak awal 1990-an, yang diikuti dengan “lepasnya” administrasi pemberdayaan masyarakat di tingkat bawah (kabupaten, kecamatan, dan desa) dari keterkaitannya dengan tugas-tugas dinas-dinas lingkup Pertanian. Lemahnya pemberdayaan masyarakat seperti itu, diperparah lagi dengan semakin lebarnya kesenjangan pemberdayaan masyarakat dengan sumber informasi/inovasi yang lain, terutama yang dilakukan melalui media massa dan kegiatan perguruan tinggi, sehingga yang terjadi, tidak sekedar ketertinggalan penyuluh/fasilitator di bidang ilmu dan teknologi, tetapi juga
semakin
menurunnya
penghargaan
masyarakat
terhadap
kinerja
penyuluh/fasilitator dan program-program pemberdayaan masayarakat. Dijelaskan Taryoto et al. (2001) dengan dikeluarkannya SKB MendagriMentan Nomor 65 Tahun 1991 tersebut terjadi perubahan yang sangat mendasar dari segi kedudukan, tugas pokok dan fungsinya dalam penyuluhan pertanian. Perubahan ini tidak diantisipasi dalam hal kesiapan daerah (terutama Pemda Tk.II) terutama dalam penyediaan dana untuk operasional dan juga kurang jelasnya petunjuk pelaksanaan bagi pihak-pihak terkait. Hubeis et al. (1998) menjelaskan
kelemahan-kelemahan
pengaturan
penyelenggaraan penyuluhan pertanian telah dicoba diperbaiki melalui SKB Mendagri-Mentan Nomor 54 Tahun 1996-30/Kpts/LP.120/4/96 tentang Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dan Petunjuk Pelaksanaannya. Pola baru ini juga mencoba mengangkat kembali peran BPP di dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Namun sampai saat ini, upaya-upaya tersebut masih belum menunjukkan hasilnya. Di tingkat masyarakat petani, kelembagaan petani pada penyuluhan pertanian yang dikelompokkan tidak selalu sesuai untuk menunjang
3
pengembangan program penyuluhan pertanian. Di samping itu, proses pembentukan kelompok tani yang umumnya dibentuk dari atas banyak terbukti menyebabkan kelompok menjadi kurang berfungsi. Namun, sehubungan dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 mengenai otonomi daerah yang kemudian direvisi dengan UU No 32 Tahun 2004 maka terdapat peluang yang baik bagi sistem penyuluhan pertanian untuk berkembang. Era otonomi daerah saat ini merupakan era yang kondusif dalam perkembangan penyuluhan pertanian di masa depan, sehingga penyuluhan pertanian dapat lebih efisien dan dapat lebih demokratis. Terkait dengan pembangunan pertanian di Indonesia, otonomi daerah menurut Sumardjo (2000) akan membawa dampak desentralisasi dalam banyak hal, termasuk dalam penyuluhan pertanian. Adanya potensi-potensi di daerah yang bisa menjalankan fungsi penyuluhan pertanian harus diperhitungkan dan dimanfaatkan perguruan tinggi, LSM, organisasi bisnis, industri, media masa, dan lain-lain. Menurut Slamet (2003a), program penyuluhan pembangunan yang efektif dan efisien dapat dikembangkan oleh tenaga-tenaga profesional di bidang penyuluhan pembangunan. Hal ini hanya memungkinkan apabila program penyuluhan diwadahi oleh sistem kelembagaan penyuluhan yang jelas dan pelaksanaannya didukung oleh tenaga-tenaga yang kompeten di bidang penyuluhan. Peningkatan kompetensi penyuluhan dalam pembangunan pertanian, bisa dikondisikan melalui berbagai upaya seperti: (1) meningkatkan efektivitas pelatihan bagi penyuluh, (2) meningkatkan pengembangan diri penyuluh melalui peningkatan kemandirian belajar dan pengembangan karir penyuluh, (3) meningkatkan dukungan terhadap penyelenggaraan penyuluhan seperti dukungan kebijakan pemerintah daerah terhadap pendanaan penyuluh, dukungan peran kelembagaan, dukungan teknologi dan sarana penyuluhan, pola kepemimpinan yang berpihak petani dan (4) memotivasi pribadi penyuluh untuk selalu meningkatkan prestasi kerja (kinerja penyuluh) dan mengikuti perubahan lingkungan strategis yang ada. Program peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu program pemerintah saat ini yang dicanangkan dalam rangka untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara swasembada pangan. Peningkatan beras nasional merupakan
4
wujud dari upaya pencapaian program revitalisasi penyuluhan pertanian, dengan mentargetkan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) sebesar 2 juta ton beras. Revitalisasi penyuluhan pertanian ini didukung oleh UU Republik Indonesia No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Provinsi Banten sebagai salah satu provinsi baru di Indonesia memiliki potensi pertanian yang sangat besar untuk dikembangkan. Menurut data BPS Banten (2011),
produksi padi Banten tahun 2010 mengalami kenaikan yang
sangat signifikan yaitu naik 10,76 persen dibandingkan tahun 2009. Peningkatan produksi padi ini sangat dipengaruhi oleh peningkatan luas panen padi yang signifikan baik untuk padi sawah maupun padi ladang. Luas panen padi sawah tahun 2010 meningkat 35,23 ribu hektar (dari 332.776 hektar pada tahun 2009 dan 368.009 hektar pada tahun 2010) atau naik 10,59 persen, sedangkan luas panen padi ladang meningkat 5,04 ribu hektar (dari 33.362 hektar pada tahun 2009 dan 38.402 hektar pada tahun 2010) atau naik 15,11 persen dibandingkan luas panen tahun 2009. Pemerintah juga terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia petani. Para petani di Banten secara kontinyu dan bergantian terus dilatih cara bertanam yang baik melalui Sekolah Lapang Pengelola Tanaman Terpadu (SL-PTT) pada tahun 2010 sudah dilatih sekitar 2.500 kelompok tani. Tahun 2011, direncanakan dilatih petani lain dengan mengandalkan 1.025 petugas penyuluh lapangan (PPL), pengamatan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (PPOPT), pengamat benih tanaman (PBT) dan peneliti (Kompasiana, 2011).
Masalah Penelitian Salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang usaha sektor pertaniannya berpeluang dan potensial untuk dikembangkan adalah Kabupaten Serang. Kabupaten ini merupakan salah satu dari empat kabupaten di Provinsi Banten yang memiliki posisi yang sangat strategis karena berada di jalur utama penghubung lintas Jawa-Sumatera. Menurut data BPS Serang (2009), wilayah Kabupaten Serang didominasi oleh lahan pertanian yang luasnya mencakup sekitar 74,51 persen dari luas total lahan.
5
Berdasarkan data Balai Informasi Penyuluhan Pertanian (BIPP) Serang (2008) yang saat ini menjadi Balai Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPKP) Serang, pembangunan pertanian di Kabupaten Serang merupakan salah satu sektor andalan di samping industri, perdagangan dan jasa. Sektor pertanian menyerap 36 persen tenaga kerja dari jumlah tenaga kerja di Kabupaten Serang. Dari luas wilayah 170.166 ha, lahan sawah memiliki luas 53.148 ha (sawah irigasi 34. 728 ha dan tadah hujan 18.420 ha) dan lahan kering 73.524 ha (pangan 25.605 ha, perkebunan 38.070 ha, hutan 5.035 ha dan lainnya 4.814 ha). Berdasarkan hasil analisis, komoditas pertanian unggulan di Kabupaten Serang adalah padi, dengan produktivitas 4,98 ton/ha. Kabupaten Serang dengan sekitar 60 persen penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian. Potensi lahannya pun ada. Sayangnya, jumlah penyuluh pertanian masih jauh dari ideal. Jumlah desa di Kabupaten ini ada 314 desa, jumlah PPL PNS ada 68 orang dan Penyuluh Tenaga Harian Lepas (THL) sebanyak 103 orang, sehingga totalnya ada 171 orang. Berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 setiap desa harus mempunyai penyuluh pertanian paling tidak satu orang penyuluh. Oleh karena itu, jumlah penyuluh di Kabupaten Serang memang masih sangat kurang. Peningkatan kompetensi penyuluh saat ini juga dirasakan belum efektif berjalan. Menurut Putra (2005), permasalahan penyuluhan saat ini adalah kegiatan penyuluhan lebih banyak pada proses pelayanan bukan mendidik petani agar mampu mengambil keputusan sendiri. Oleh karena itu, tantangan penyuluhan saat ini semakin besar. Penyelenggara program penyuluhan di Kabupaten Serang adalah BPKP Serang melalui instansi BPP di setiap kecamatan serta bekerja sama dengan penyuluh teknis dari BPTP Banten. Dengan tingginya potensi pertanian yang dimiliki oleh Kabupaten Serang dan terkenal sebagai lumbung padi di Provinsi Banten tersebut, maka akan sangat menarik melihat tingkat persepsi petani terhadap kompetensi PPL khususnya di tingkat kecamatan atau BPP. Perumusan masalah yang ditelaah pada penelitian ini adalah: (1) Bagaimana karakteristik pribadi dan karakteristik usahatani petani? (2) Bagaimana kualitas penyuluhan pertanian?
6
(3) Bagaimana persepsi petani tentang kompetensi PPL? (4) Sejauhmana hubungan antara karakteristik pribadi dan usahatani petani serta kualitas penyuluhan pertanian dengan persepsi petani terhadap kompetensi PPL?
Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan karakteristik pribadi dan karakteristik usahatani petani. (2) Menganalisis persepsi petani tentang kualitas penyuluhan pertanian. (3) Menganalisis persepsi petani tentang kompetensi PPL. (4) Menganalisis hubungan antara karakteristik pribadi dan usahatani petani serta kualitas penyuluhan dengan persepsi petani terhadap kompetensi PPL.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan, dan para praktisi yang berhubungan dengan pengembangan kelompok tani sebagai media pemberdayaan petani. Adapun manfaat khusus yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagi Perguruan Tinggi diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pengembangan kelompok tani dan juga dapat mendorong peneliti lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut. (2) Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan kepada pemerintah dan pihak terkait seperti Kementrian Pertanian, Pemerintah Daerah, dan instansi terkait lainnya dalam merumuskan perencanaan pembuatan program-program pemberdayaan pertanian selanjutnya.